Upload
nurulattika
View
31
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Presus Hirschprung Disease
PRESENTASI KASUS
HALAMAN SAMPUL
MEGACOLON KONGENITAL (HIRSCHPRUNG’S DISEASE)
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Program Kepaniteraan KlinikBagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun OlehNurul Attikah Zain
20100310120
Diajukan Kepada :dr. H. Dimyati Achmad, Sp.B
BAGIAN ILMU BEDAHRSUD SETJONEGORO WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
MEGACOLON KONGENITAL
(HISCHPRUNG DISEASE)
Disusun Oleh:
Nurul Attikah Zain
20100310120
Disetujui oleh:
Dokter Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah
RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo
dr. H. Dimyati Achmad., Sp.B
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang berkat rahmat dan hidayah-
Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan mini referat yang berjudul
Megacolon Kongenital (Hirschprung Disease) sebagai syarat mengikuti ujian
akhir program pendidikan profesi kedokteran di bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Dalam penyusunan mini referat ini telah melibatkan banyak pihak,
sehingga penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. H. Dimyati Achmad, Sp. B selaku dokter pembimbing yang telah
mengarahkan dan membimbing dalam menjalani stase Ilmu Bedah serta
dalam penyusunan presentasi kasus ini.
2. dr. Sunarto, Sp. B atas bimbingan dan bantuanya selama menjalani
kepanitraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Setjonegoro
Wonosobo.
3. dr. Gatot, Sp. B dan dr Dimas, Sp. B atas bimbingan dan bantuanya selama
menjalani kepanitraan klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD
Setjonegoro Wonosobo.
4. Rekan-rekan Co-Assistensi dan Perawat Bangsal Bougenville atas bantuan
dan kerjasamanya.
Penulis berharap bahwa mini referat ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Wonosobo, 22 Januari 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAB I 6
LAPORAN KASUS 6
A. Identitas Pasien 6
B. Anamnesis 6
C. Pemeriksaan Fisik 8
D. Diagnosis Masuk 10
F. Plan 10
G. Follow Up 11
H. Pemeriksaan Penunjang 14
BAB II 15
A. Embriologi Kolon 15
B. Anatomi Anorectal 16
C. Fisiologi 19
D. Definisi 20
E. Epidemiologi 21
F. Etiologi 21
G. Tipe Hirschprung 22
H. Faktor Resiko 23
I. Patofisiologi 24
iv
J. Manifestasi Klinis 24
K. Penegakan Diagnosis 25
L. Terapi 27
M. Komplikasi 29
BAB III 31
PEMBAHASAN 31
DAFTAR PUSTAKA 35
v
BAB I
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama Pasien : An. Ahmad hendi
Umur : 12 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Kepil
Tanggal masuk : 11 Januari 2015
B. Anamnesis
Keluhan Utama
Perut membesar.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Wonosobo dengan keluhan perut membesar.
Keluhan dimulai sejak + 2 tahun yang lalu, perut dirasa mulai membesar
sedikit demi sedikit. BAB sulit (+), 2-3 hari sekali, keras (+) sejak balita,
nyeri BAB (-). Mual (-), muntah (+) kecoklatan seperti bubuk kopi sejak 4
hari SMRS. OS tidak nafsu makan dan mengeluh nyeri perut (mules).
Nyeri hilang timbul sejak + 8 tahun yang lalu. BAK (+) N. OS pernah
mondok di RS Purworejo + 5-6 tahun yang lalu karena nyeri perut
berulang dan belum membaik, sudah dilakukan foto di perut tetapi
dinyatakan tidak ada kelainan.
Riwayat Penyakit Masa Kanak-kanak
Diare lama (-), Sembelit (+), Muntah kehijauan (-).
6
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang memiliki gejala serupa
Riwayat Kelahiran
OS lahir cukup bulan (36 minggu) dengan bidan di rumah, berat lahir 3,2
kg. Meconium (+) kehitaman keluar + 8 jam setelah lahir.
Anamnesis Sistem
Sistem Serebrospinal : Sadar penuh, lemas (+), demam (-)
Sistem Indera :
a) Mata : Penglihatan kabur (-/-), penglihatan ganda
(-), pandangan berputar (-)
b) Hidung : Penciuman dbn
c) Telinga : Pendengaran dbn
d) Mulut : Sariawan (-), Mulut kering (-)
Sistem kardiovaskuler : Berdebar (-), Nyeri dada (-)
Sistem Respiratorius : Sesak nafas (-), batuk (-)
Sistem Gastrointestinal : Nyeri perut (+), mual (-), muntah (-), BAB
sulit (+), nafsu makan berkurang (+).
Sistem Urogenital : Sering kencing (-), nyeri BAK (-), darah (-)
Sistem Integumentum : Sianosis (-), pucat (-), kuning (-), turgor
kulit (+) N
Sistem Muskuloskeletal : Tonus otot (+) N, kuat angkat anggota
gerak (+), lemes (+).
Ekstremitas
Ekstremitas atas : Luka (-), akral dingin (-), kesemutan (-),
bengkak (-), nyeri sendi (-), sianosis (-)
Ekstremitas bawah : Luka (-), tremor (-), akral dingin (-),
kesemutan (-), bengkak (-), nyeri sendi (-),
sianosis (-)
7
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Kesadaran : Compos Mentis, tampak lemah
Status Gizi : Anak tampak kurus
Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg, lengan kanan, setinggi
jantung, posisi berbaring dengan mannometer
pediatric
Nadi : 100x/menit, isi tegangan cukup, reguler,
kuat angkat
Suhu : 37,6oC axilla
Respirasi : 18x/menit, reguler, abdominothoracal
BB/TB : 29kg/120cm
Pemeriksaan Kepala
Mesochepal, rambut tipis, pertumbuhan rambut merata
Wajah
Simetris, pucat (-)
Mata
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), miosis
(+/+) pupil isokor (+/+)
Telinga
Bentuk telinga luar normal, pendengaran berkurang (-), discharge (-)
deformitas (-)
8
Hidung
Bentuk normal, nafas cuping hidung (-), rhinore (-), epistaksis (-),
deformitas (-)
Mulut
Bibir tidak tampak sianosis, kering (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah (-)
Leher
Lnn tidak teraba, JVP tidak meningkat
Cor
Inspeksi : Ictus cordis terlihat pada SIC 5-6 linea axillaris
sinistra
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat
Perkusi :Redup, Batas jantung kanan pada SIC IV LPS
dextra, batas jantung kiri pada SIC V LAM sinistra,
batas atas jantung pada SIC II LMC sinistra, batas
pinggang jantung pada SIC II LMC dextra.
Auskultasi : BJ I – II murni reguler, ST(-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris, deformitas (-), retraksi subkosta (-/-),
retraksi interkosta (-/-), ketinggalan gerak (-/-),
bentuk dada normal
Palpasi : ketinggalan gerak (-), vokal fremitus normal sama
Perkusi : Sonor di SIC I-V
Auskultasi : SDV (+/+)
9
Abdomen
Inspeksi : Distended (+), Perut menyerupai perut katak, darm
contour (+), darm steifung (-)
Auskultasi : Bising usus (+) lemah
Perkusi : hipertimpani, pekak alih (-)
Palpasi : Nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)
Anogenital
Dilakukan Rectal Toucher
Tonus sfingter ani externus cukup, mukosa licin, teraba banyak feses pada
anorectum, nyeri (-), ampula recti tidak kolaps. Saat jati di tarik feses
menyembur (+).
ST : lendir (-), darah (-).
Ekstremitas
Kelainan kulit (-), sianosis (-), akral dingin (-), edema ekstremitas (-),
deformitas (-)
D. Diagnosis Masuk
Konstipasi kronik curiga Hirschprung Disease
E. Terapi di IGD
Tujuan terapi untuk mengatasi obstruksi dan mencegah dehidrasi
sehinggan dilakukan pemasangan NGT, lavemen, dan pemberian infus RL
20tpm.
F. Plan
a) Foto polos Abdomen
b) Darah rutin lengkap
c) Kirim Bangsal
10
G. Follow Up
Px 12/1/2015 13/1/2015 14/1/2014
S/ Nyeri Perut (+), mual (+), muntah (+) kecoklatan di Flabot NGT. Bisa kentut (+). BAB (+) sedikit. BAK (+)
NGT : 800cc/24 jam kecoklatan
Nyeri Perut (+), mual (-), muntah (+) di Flabot NGT. Bisa kentut (+). BAB (+) sedikit. BAK (+)
NGT : 400cc/24 jam kecoklatan
Nyeri Perut (-), mual (-), muntah (+) di Flabot NGT. Bisa kentut (+). BAB (+) sedikit. BAK (+)
NGT : 400cc/24 jam hijau lumut
TTVNRRT
84x/menit24x/menit36,4oC
120x/menit20x/menit37oC
120x/menit20x/menit37,6oC
O/ KU Sedang Idem IdemKesadaran Compos Mentis Idem IdemKepala Mesocephal, CA (-/-)
SI (-/-)Idem Idem
Leher LNN tidak teraba, JVP tidak meningkat
Idem Idem
Pulmo Reguler, thoracoabdominal, SDV +/+
Idem Idem
Cor BJ I-II murni reguler, ST (-), iktus cordis kuat angkat, batas jantung normal
Idem Idem
Abdomen Distended (+), Perut seperti perut katak, darm contour (+), darm steifung (-), BU (+) lemah, perkusi hipertimpani, supel (+), NT (-)
Idem Perut mulai mengecil, darm contour (+),darm steifung (-), BU (+) lemah, perkusi hipertimpani, supel (+), NT (-)
Ekstremitas Akral hangat, tonus normal, kekuatan normal, edema (-)
Idem Idem
Rectal Toucher
Tonus sfingter ani externus cukup,
Idem Idem
11
mukosa licin, rectum penuh feses (+), Nyeri (-), ampula tidak kolaps, saat jari keluar feses menyembur. St : lendir (-) darah (-)
Lain-lain A/ Konstipasi kronik curiga Hirschprung T/ Infus RL 20 tpmDulcolac supp 1 dd supp IPrimperan 3 x 1 AAlinamin F 3 x 1 ARanitidin 2 x 1 A OS dipuasakan
A/ Konstipasi kronik curiga Hirschprung T/ Infus RL 20 tpmDulcolac supp 1 dd supp IPrimperan 3 x 1 AAlinamin F 3 x 1 ARanitidin 2 x 1 A Kalnex 2 x 250mgOMZ 2 x ½ AOS dipuasakan
A/ Konstipasi kronik curiga Hirschprung T/ Infus RL 20 tpmDulcolac supp 1 dd supp IPrimperan 3 x 1 AAlinamin F 3 x 1 ARanitidin 2 x 1 A OMZ 2 x ½ AOS direncanakan diet cair jika NGT minimal
Direncanakan CIL
Px 15/1/2014 16/1/2014
S/ Nyeri Perut (-), mual (-), muntah (-) setelah dicoba diit cair. Bisa kentut (+). BAB (+) mulai banyak, kecoklatan, lembek. BAK (+)
NGT : 100cc/24 jam kuning jernih
Nyeri Perut (-), mual (-), muntah (-) setelah dicoba diit lunak. Bisa kentut (+). BAB (+) mulai banyak, kecoklatan, lembek. BAK (+)
NGT : minimal + 50cc/24 jam jernih
TTVTDNRRT
120x/menit18x/menit37,6oC
100x/menit18x/menit37 oC
O/ KU Idem IdemKesadaran Idem IdemKepala Idem IdemLeher Idem IdemPulmo Idem IdemCor Idem IdemAbdomen Perut mulai mengecil, Perut mulai mengecil,
12
darm contour (+) minimal, darm steifung (-), BU (+) lemah, perkusi hipertimpani, supel (+), NT (-)
darm contour (+) minimal, darm steifung (-), BU (+) lemah, perkusi hipertimpani, supel (+), NT (-)
Ekstremitas
Idem Idem
Lain-lain Idem Idem
A/ Konstipasi kronik curiga Hirschprung T/ Infus RL 20 tpmDulcolac supp 1 dd supp IPrimperan 3 x 1 AAlinamin F 3 x 1 ARanitidin 2 x 1 A OMZ 2 x ½ AOS direncanakan diet bubur saring halus.
A/ Konstipasi kronik curiga Hirschprung
Pasien direncanakan di rujuk ke Poli Bedah Anak
13
H. Pemeriksaan Penunjang
Colon in Loop
Gambar 1. Gambaran Megacolon (hirschprung disease) pada colon in loop
(dokumentasi penulis)
Colon in Loop
Colon : dilatasi colon, peningkatan udara usus (+)
Kesan : Megacolon (hirschprung disease)
14
BAB II
A. Embriologi Kolon
Dalam perkembangan embriologis normal, sel-sel neuroenterik bermigrasi
dari krista neural ke saluran gastrointestinal bagian atas kemudian melanjutkan ke
arah distal. Sel-sel saraf pertama sampai di esofagus dalam gestasi minggu kelima.
Sel-sel saraf sampai di midgut dan mencapai kolon distal dalam minggu kedua
belas. Migrasi berlangsung mula-mula ke dalam pleksus Auerbach, selanjutnya
sel-sel ini menuju ke dalam pleksus submukosa. Sel-sel krista neural dalam
migrasinya dibimbing oleh berbagai glikoprotein neural atau serabut-serabut saraf
yang berkembang lebih awal daripada sel-sel krista neural.1
Glikoprotein yang berperan termasuk fibronektin dan asam hialuronik,
yang membentuk jalan bagi migrasi sel neural. Serabut saraf berkembang ke
bawah menuju saluran gastrointestinal dan kemudian bergerak menuju intestine,
dimulai dari membran dasar dan berakhir di lapisan muskular. Secara
embriologik, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri berasal
dari usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita
yang disebut taenia yang berukuran lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga
kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus (kantong kecil) dan biasa
disebut haustra (bejana). Kolon tranversum dan kolon sigmoideum terletak
intraperitoneal dan dilengkapi dengan mesentrium.1
Gangguan rotasi usus embrional dapat terjadi dalam perkembangan
embriologik sehingga kolon kanan dan sekum mempunyai mesentrium yang
lengkap. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau volvulus sebagian
besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesentrium yang panjang pada
kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.1,2
Normalnya sel neuroenterik bermigrasi dari krista neuralis ke saluran
gastrointestinal dari oris hingga ke anal. Pada hirschprung migrasi sel neuroblas
terhenti sebelum sampai ke rectum (gambar)
15
Gambar 1. Embriologi
B. Anatomi Anorectal
Rektum memiliki 3 buah valvula yaitu valvula superior kiri, medial kanan
dan inferior kiri. Sebesar 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan
terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian
anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. (Gambar 2).1
16
Gambar 2. Anorectum
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dikelilingi oleh sfingter
ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum
kedunia luar. Sfingter ani eksterna terdiri dari 3 sling yaitu atas, medial dan depan.
(Gambar 3)2
17
Gambar 3. Sfingter ani
Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan
medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh
a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri
hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari
a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus.3
Persyarafan motorik sfingter ani interna berasal dari serabut syaraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf
parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis
serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani
dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi sfingter ani
eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.1,3
Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis).
Kontinensia sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik
(syaraf parasimpatis). Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3
pleksus, yaitu Pleksus Auerbach (terletak diantara lapisan otot sirkuler dan
18
longitudinal), Pleksus Henle (terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler), dan
Pleksus Meissner (terletak di sub-mukosa). Pada penderita penyakit Hirschsprung,
tidak dijumpai ganglion pada ke-3 pleksus tersebut. (Gambar 4).2
Gambar 4. Skema Syaraf Autonom Intrinsik Usus
C. Fisiologi
Usus normal menerima persarafan intrinsik dari sistem persarafan
parasimpatis (kholinergis) dan simpatis (adrenergis). Serabut saraf kolinergik
menyebabkan perangsangan pada kolon (kontrasi) dan menginhibisi sphincter ani,
sedangkan serabut-serabut adrenergik menginhibisi kolon (relaksasi) dan
mengeksitasi sphincter. Sistem saraf intrinsik enterik yang luas didadalm dinding
usus sendiri yang tersusun atas berbagai macam serabut inhibisi non-adrenergic
non-cholinergic (NANC) yang berfungsi dalam pengaturan sekresi intestinal,
19
motilitas, pertahanan mukosa, dan respon imun. Sel-sel ganglion
mengkoordinasikan aktivitas muskular usus dengan menyeimbangkan sinyal-
sinyal yang diterima dari serabut serabut adrenergik dan kolinergik, dan dari
serabut inhibisi intrinsik (enterik) NANC.1,2
Pada Hirschsprung’s disease, sel-sel ini tidak ditemukan sehingga
koordinasi kontraksi dan relaksasi pada usus tidak terjadi. Kholinergik yang
berlebihan mungkin bertanggung jawab pada spastisitas dari segmen
aganglionik.Asetilkholin yang berlebihan akan menyebabkan produksi berlebihan
dari acetylcholinesterase, yang dapat dideteksi secara histokimiawi dan digunakan
dalam penegakkan diagnosis Hirschsprung’s disease. Kemungkinan yang lebih
penting dari kelainan adrenergik ataupun kolinergik dalam menyebabkan spasme
usus adalah ketiadaan dari serabut saraf inhibisi NANC dari sistem saraf enterik
dan transmitter neuropeptidanya. Peptida Vasoaktif intestinal (VIP) adalah
relaksan utama pada sphincter ani internus, VIP-mengandung serabut-serabut
saraf yang tidak ada pada usus aganglionik pasien dengan Hirschsprung’s disease.
Nitric oxide (NO) adalah suatu neurotransmitter yang kuat lainnya dalam saraf
penghambat NANC, memediasi relaksasi pada usus. Sintesis NO normalnya
terdapat pada plexus enterik dalam usus. Sintase NO dan oleh karenanya aktivitas
NO tidak terdapat pada usus aganglionik pasien dengan Hirschsprung’s disease.
Kurangnya NO- dan serabut saraf yang mengandung VIP pada usus aganglionik
pasien dengan Hirschsprung’s disease mungkin merupakan faktor utama dalam
patofisiologi penyakit ini.1,2
D. Definisi
Penyakit Hirschsprung atau disebut dengan aganglionik megakolon
kongenital merupakan salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus
neonatal (bayi berumur 0-28 hari). Penyakit Hirschsprung merupakan penyakit
dari usus besar (kolon) berupa gangguan perkembangan dari sistem saraf
enterik.1,2,3
Pergerakan dalam usus besar didorong oleh otot. Otot ini dikendalikan
oleh sel-sel saraf khusus yang disebut sel ganglion. Pada bayi yang lahir dengan
20
penyakit Hirschsprung tidak ditemui adanya sel ganglion yang berfungsi
mengontrol kontraksi dan relaksasi dari otot polos dalam usus distal. Tanpa
adanya sel-sel ganglion (aganglionosis) otot-otot di bagian usus besar tidak dapat
melakukan gerak peristaltik (gerak mendorong keluar feses).1,3 (Gambar 5)
Gambar 5. Gambaran usus pada Hirschprung’s disease
E. Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan
merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada
neonatus. Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidensi
penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata
mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Sementara untuk distribusi ras
setara untuk bayi berkulit putih dan Amerika keturunan Afrika.4
F. Etiologi
Penyebab tidak diketahui, tetapi ada hubungan dengan kondisi genetik.
Mutasi pada Ret proto-onkogen telah dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A
atau 2B pada penyakit Hirschsprung familiar. Gen lain yang berhubungan dengan
penyakit Hirschsprung termasuk sel neurotrofik glial yang diturunkan dari factor
gen, dari factor gen endhotelin-B, dan gen endothelin-3. Penyakit Hirschprung
21
juga terkait dengan Down syndrome, sekitar 5-15% dari pasien dengan penyakit
Hirschprung juga memiliki trisomi 21.1,5,6
G. Tipe Hirschprung
Hirschsprung dibedakan sesuai dengan panjang segmen yang terkena,
yaitu:1,2,3,4
a. Ultrashort Segment
Segmen aganglionisis mulai dari 1/3 bawah rectum, terjadi pada
sekitar <1% kasus penyakit Hirschsprung.
b. Short Segment
Daerah aganglionisis terdapat pada rektosgmoid, merupakan 70-
80% tipe hirschprung yang paling sering terjadi. Tipe ini lebih sering
ditemukan pada laki-laki dibandingkan anak perempuan. Pada tipe segmen
pendek yang umum, insidennya 5 kali lebih besar pada laki-laki
dibandingkan wanita dan kesempatan saudara laki-laki dari penderita anak
untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dari 20.
c. Long Segment
Daerah aganglionisis terdapat di atas rektosigmoid hingga colon
descenden. Insidensi sebesar 10-25% dari total kasus hirschprung. Laki-
laki dan perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10
kasus tanpa membedakan jenis kelamin.
d. Total Segment
Segmen aganglionisis meliputi rektosigmoid hingga seluruh colon.
Angka kejadiannya sebesar 3-15% dari total kasus hirscprung yang terjadi.
22
H. Faktor Resiko
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat banyak faktor yang
mempengaruhi terjadi kelainan kongenital, seperti :4,5,6
a. Umur Bayi
Bayi dengan umur 0-28 hari merupakan kelompok umur yang paling
rentan terkena penyakit Hirschsprung karena penyakit Hirschsprung merupakan
salah satu penyebab paling umum obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28
hari).
b. Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari
sindrom yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang
paling umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah
Sindrom Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan
penderita sindrom Down. Sindrom Down adalah kelainan kromosom di mana ada
tambahan salinan kromosom 21. Hal ini terkait dengan karakteristik fitur wajah,
cacat jantung bawaan, dan keterlambatan perkembangan anak.
c. Faktor Ibu
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat
meningkatkan risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan
Sindrom Down lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang mendekati masa menopause.
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan
kerabat dekat (sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo
(impal). Perkawinan pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah
atau incest. Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat
berat dan memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.
23
I. Patofisiologi
Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada pleksus
submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen kolon atau
lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan
tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi atau penumpukan
isi usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan (megakolon). Selain
itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi berkontribusi terhadap
gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat mempersulit evakuasi zat padat
(feses), cairan, dan gas.6,7
Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang
aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus
fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan
pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak. Penyakit
Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi kraniokaudal pada prekursor sel
ganglion sepanjang saluran gastrointestinal antara usia kehamilan minggu ke-5
dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus bisa terjadi sebagai akibat distensi pada
dinding usus, yang berkontribusi menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus
halus dan kolon), yang merupakan penyebab kematian pada bayi atau anak
dengan penyakit Hirschsprung.5,7
J. Manifestasi Klinis
Obstipasi (sembelit) merupakan tanda utama pada Hirschsprung, dan pada
bayi baru lahir dapat merupakan gejala obstruksi akut. Tiga tanda (Trias) yng
sering ditemukan meliputi mekonium yang terlambat keluar (lebih dari 24 jam),
perut kembung, muntah berwarna hijau. Pada neonatus, kemungkinan ada riwayat
keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari dan bahkan lebih mungkin
menandakan terdapat obstruksi rektum dengan distensi abdomen progresif dan
muntah, sedangkan pada anak yang lebih besar kadang-kadang ditemukan keluhan
adanya diare atau enterokolitis kronik yang lebih menonjol daripada tanda-tanda
obstipasi (sembelit).1,5,6,7
24
Terjadinya diare yang berganti-ganti dengan konstipasi merupakan hal
yang tidak lazim. Apabila disertai dengan komplikasi enterokolitis, anak akan
mengeluarkan feses yang besar dan mengandung darah serta sangat berbau dan
terdapat peristaltik dan bising usus yang nyata. Sebagian besar tanda dapat
ditemukan pada minggu pertama kehidupan, sedangkan yang lain ditemukan
sebagai kasus konstipasi kronik dengan tingkat keparahan yang meningkat sesuai
dengan pertambahan umur anak. Pada anak lebih tua biasanya terdapat konstipasi
kronik disertai anoreksia dan kegagalan pertumbuhan.4,5,6,7
K. Penegakan Diagnosis
Penyakit Hirschprung pada neonatus harus dibedakan dengan penyakit
obstruksi saluran cerna lainnya. Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta disertai dengan pemeriksaan penunjang.4,5,6
a) Anamnesis
1. Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya
keluar >24 jam.
2. Adanya muntah berwarna hijau.
25
3. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar
obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
4. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan
serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2
minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.
b) Pemeriksaan Fisik
Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami
obstipasi. Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar
maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan
kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi.
c) Pemeriksaan penunjang
1. Biopsi
Biopsi yang dilakukan dapat dengan dua cara yaitu biopsy rectal
dengan pengambilan sample yang tebal dan biopsy rectal dengan
penyedotan sederhana. Keuntungan cara yang pertama adalah hasil PA
yang didapatkan mempunyai gambaran yang khas namun cara ini agak
rumit karena sebelum biopsy dilakukan prosedur seperti operasi
dengan anastesi umum, serta resiko perdarahan lebih besar. Cara yang
kedua mempunyai keuntungan berupa prosedurnya yang tidak rumit,
resiko perdarahan lebih sedikit, akan tetapi gambaran PA tidak khas.
Hasil PA penyakit Hirschprung pada umumnya didapatkan dinding
rectum dari lapisan mukosa sampai muskularis tidak didapatkan
adanya ganglion Meissner dan Aurbachii. 3,4,5
2. Foto Rontgent
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas, yaitu:
26
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan
ke arah daerah dilatasi
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi
3. Manometri anorektal
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif
mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan
spinkter anorektal. Dalam prakteknya, manometri anorektal
dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan
histologis meragukan. Pada dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen
dasar yaitu transduser yang sensitif terhadap tekanan seperti balon
mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau
komputer.3,4,5 Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi
penyakit Hirschsprung adalah :
1. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi;
2. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen
usus aganglionik;
3. Sampling reflex tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter
interna setelah distensi rektum akibat desakan feces. Tidak
dijumpai relaksasi spontan
L. Terapi
Setelah ditemukan kelainan histologik dari Hisrchsprung, selanjutnya
mulai dikenal teknik operasi yang rasional untuk penyakit ini. Tindakan definitive
bertujuan menghilangkan hambatan pada segmen usus yang menyempit.8,9,10
1) Tindakan konservatif adalah tindakan darurat untuk menghilangkan tanda-
tanda obstruksi rendah dengan jalan memasang anal tube dengan atau
tanpa disertai pembilasan air garam hangat secara teratur. Air tidak boleh
digunakan karena bahaya absorpsi air mengarah pada intoksikasi air, hal
27
ini disebabkan karena difusi cepat dari usus yang mengalami dialatasi air
ke dalam sirkulasi. Penatalaksanaan dari gejala obstipasi dan mencegah
enterokolitis dapat dilakukan dengan bilas kolon mengunakan garam faal.
Cara ini efektif dilakukan pada Hisrchsprung tipe segmen pendek-untuk
tujuan yang sama juga dapat dilakukan dengan tindakan kolostomi
didaerah ganglioner.
2) Membuang segmen aganglionik dan mengembalikan kontiuitas usus dapat
dikerjakan dengan satu atau dua tahap. Teknik ini disebut operasi
definitive yang dapat dikerjakan bila berat badan bayi sudah cukup (lebih
dari 9 kg). tindakan konservatif ini sebenarnya akan mengaburkan
gambaran pemeriksaan barium enema yang dibuat kemudian.
3) Kolostomi merupakan tindakan operasi darurat untuk menghilangkan
gejala obstruksi usus, sambil menunggu dan memperbaiki keadaan umum
penderita sebelum operasi definitive. Berikan dukungan pada orang tua.
Karena kolostomi sementara sukar diterima. Orang tua harus belajar
bagaimana merawat anak dengan kolostomi, obsevasi apa yang perlu
dilakukan, bagaimana membersihkan stoma, dan bagaimana menggunakan
kantong kolostomi.
4) Intervensi bedah terdiri atas pengangkatan segmen usus aganglionik yang
mengalami osbtruksi. Pembedahan rektosimoidektomi dilakukan dengan
teknik pull-through dan dapat dicapai dengan prosedur tahap pertama,
tahap kedua, dan Tahap ketiga rektosigmoidoskopi didahului oleh suatu
kolostomi. Kolostomi ditutup dalam prosedur tahap kedua. Pull-through
(Swenson, renbein dan Duhamel) yaitu jenis pembedahan dengan
mereksesi segmen yang menyempit dan menarik usus sehat ke arah anus.
a. Operasi Swenson dilakukan dengan teknik anastomosis intususepsi
ujung ke ujung usus aganglionik dan ganglionik melalui anus dan
reseksi serta anastomosis sepanjang garis bertitik-titik. Secara lebih
spesifik prosedur Duhamel dilakukan dilakukan dengan cara menaikan
kolon normal kearah bawah dan menganastomosiskannya dibelakang
28
usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubang aganglionik
dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.
b. Operasi soave dilakukan dengan cara mukosa diangkat, bagian
muscular usus yang aganglionik ditinggalkan dan usus ganglionik
didorong sampai menggantung dari anus. Cara Duhamel dan Soave
bagian distal rectum tidak dikeluarkan sebab merupakan pase operasi
yang sukar dikerjakan, anastomosis koloanal dibuat secara tarik
terobos (Pull through).
Persiapan prabedah rutin antara lain Lavase kolon, antibiotic, infus
intravena, dan pemasangan Tuba nasogastrik, sedangkan penatalaksanaan
perawatan pasca bedah terdiri atas perawatan luka, perawatan kolostomi,
observasi, terhadap distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis, ileus paralitik,
dan peningakatan suhu.
M. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit
Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,
enterokolitis dan gangguan fungsi sfingter. Sedangkan tujuan utama dari setiap
operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas penyakit
Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik fungsi sfingter
ani.
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada
kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma
colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak
hati-hati. Menurut pengamatan Swenson sendiri, diperoleh angka 2,5–5 %,
sedangkan apabila dikerjakan oleh ahli bedah lain dengan prosedur Swenson
diperoleh angka yang lebih tinggi.
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur
29
Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur
Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Manifestasi yang terjadi dapat berupa distensi abdomen, enterokolitis hingga
fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung penyebab
stenosis, mulai dari businasi hingga sfingterektomi posterior.
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%
masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan
angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita
dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan
elektrolit, pemasangan pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out dengan
cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab atau prosedur operasi
yang telah dikerjakan. Prosedur Swenson biasanya disebabkan sfingter ani terlalu
ketat sehingga perlu sfingterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel
modifikasi, penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang
tidak sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang.
30
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien laki-laki 12 tahun datang ke IGD RSUD Wonosobo dengan
keluhan perut membesar sejak + 2 tahun yang lalu. BAB sulit sejak balita, muntah
(+) kecoklatan seperti bubuk kopi sejak 4 hari SMRS. OS pernah mondok di RS
Purworejo + 5-6 tahun yang lalu karena nyeri perut berulang dan belum membaik,
sudah dilakukan foto di perut tetapi dinyatakan tidak ada kelainan. OS lahir cukup
bulan di bidan, mekonium keluar + 8 jam setelah lahir, riwayat muntah kehijauan
saat kecil (-), diare lama (-).
Pada pemeriksaan fisik, anak tampak lemah dan kurus, tanda vital dalam
batas normal, pemeriksaan kepala, thorax dan ekstremitas normal. Pada abdomen
tampak overdistensi, seperti peru katak, darm contour (+), darm steifung (-), BU
(+) lemah, perkusi hipertimpani, tidak nyeri tekan. Pemeriksaan Rectal Toucher
didapat tonus sfingter ani externus cukup, mukosa licin, rectum penuh feses (+),
Nyeri (-), ampula tidak kolaps, saat jari keluar feses menyembur, sarung tangan
lendir (-) darah (-).
Saat di IGD dilakukan pemeriksaan foto polos abdomen dan didapatkan
gambaran dilatasi usus dengan peningkatan fecal material. Diagnosis di IGD ialah
meteorismus DD Ileus. Konsul ke dr. Sp. B mendapat advice pemasangan NGT,
dilakukan lavement dan pemberian dulcolac suppositoria. Berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik diagnosis lebih mengarah ke konstipasi kronik pada anak
yang dicurigai penyakit hirschprung.5,6 prinsip penanganan utama di IGD ialah
mengatasi obstruksi yang dapat dilakukan dengan pemasangan NGT.6,7
Rencana selanjutnya ialah, setelah kondisi pasien stabil, obstruksi
berkurang, pasien dapat dikirim ke bangsal dan dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Pemeriksaan penunjang pada anak yang dicurigai hirschprung antara lain foto
polos abdomen, colon in loop, manometri anorektal, serta biopsi. Pada foto polos
akan ditemukan gambaran khas U-inferted, namum pada pasien ini hanya
didapatkan gambaran dilatasi usus dengan penumpukan fecal material. Gambaran
colon in loop akan ditemukan gambaran daerah transisi dari sempit ke daerah
31
yang melebar.4,5,6,7,8 Hal ini sesuai dengan hasil colon in loop pasien, sehingga
pasien ini dapat didiagnosis dengan hirschprung disease. Pada pasien ini tidak
dilakukan manometri anorektal maupun biopsi hisap rektum.
Terdapat empat prinsip penanganan pasien yaitu mengatasi obstruksi
dengan pemasangan NGT, mencegah enterokolitis (dilakukan wash out atau
lavemen, atau kolostomi), membuang segmen yang aganglionik, dan
mengembalikan kontinuitas usus.6,7 Pada pasien ini telah dilakukan pemasangan
NGT dan lavemen, sehingga pasien dapat dirujuk untuk dilakukan prosedur
selanjutnya.
Terapi yang bersifat operatif pada kasus ini ialah kolostomi dan operasi
definitif. Kolostomi dilakukan dengan tujuan mengatasi obstruksi dan
enterokolitis, sedangkan operasi definitif dapat dilakukan jika bayi berusia lebih
dari 10 minggu, BB lebih dari 9 kg. Terdapat beberapa teknik operasi diantaranya
ialah Swanson, Duhamel, Soave, Rehbein dan modifikasi.6,7,8
Prosedur Swenson ialah operasi tarik terobos (pull-through) sebagai
tindakan bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang
dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter ani. Dengan
meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata, sebenarnya adalah
meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam pengamatan pasca operasi
masih sering dijumpai spasme rektum yang ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson
memperbaiki metode operasinya (tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi
posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1
cm rektum posterior. 8
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan
biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan
cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum
diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah
direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan
0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end
32
dengan kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan
dengan 2 lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai,
usus dikembalikan ke kavum pelvik atau abdomen. Selanjutnya dilakukan
reperitonealisasi, dan kavum abdomen ditutup. 8
Prosedur Duhamel diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah
menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior
rektum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik
dengan dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk
rongga baru dengan anastomose end to side.8
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering
terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung
rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan
beberapa modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya ialah Modifikasi Grob
(Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal setinggi
1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensia), Modifikasi Talbert dan Ravitch
(Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to side
yang panjang), Modifikasi Ikeda (Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian), Modifikasi Adang (Pada
modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps sementara.
Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca
bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua
klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan
pada fungsi hemostasis).8
Prosedur Soave diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah
pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966
diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung. Tujuan utama dari
prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik,
kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam
lumen rektum yang telah dikupas tersebut. 8
33
Prosedur Rehbein berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang
dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah stenosis.8
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Parisi MA; Pagon, RA; Bird, TD; Dolan, CR; Stephens, K; Adam, MP
(2002). Pagon RA, Bird TC, Dolan CR, Stephens K, ed. Hirschsprung
Disease Overview. GeneReviews.
2. Samuel Nurko MD, MPH- Director Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorders, Children’s Hospital, Boston. (2014).
Hirschsprung's Disease.
3. Hirschsprung's Disease and Allied Disorders. Berlin: Springer. (2007).
4. Suita S, Taguchi T, Ieiri S, Nakatsuji T (2005). Hirschsprung's disease in
Japan: analysis of 3852 patients based on a nationwide survey in 30 years.
Journal of Pediatric Surgery 40 (1): 197–201; discussion 201–2.
5. Martucciello, G; Ceccherini, I; Lerone, M; Jasonni, V (2000).
"Pathogenesis of Hirschsprung's disease". Journal of Pediatric Surgery 35
(7): 1017–1025.
6. Martucciello G, Pini Prato A, Puri P, Holschneider AM, Meier-Ruge W,
Tovar JA, Grosfeld JL. (2005). Controversies concerning diagnostic
guidelines for anomalies of the enteric nervous system: a report from the
fourth International Symposium on Hirschsprung's disease and related
neurocristopathies. J Pediatr Surg. 40 (10): 1527–31.
7. Kim, H. J.; Kim, A. Y.; Lee, C. W.; Yu, C. S.; Kim, J.-S.; Kim, P. N.; Lee,
M.-G.; Ha, H. K. (2008). Hirschsprung disease and hypoganglionosis in
adults: radiologic findings and differentiation. Radiology 247 (2): 428–34.
8. Swenson O (1989). "My early experience with Hirschsprung's disease". J.
Pediatr. Surg. 24 (8): 839–44; discussion 844–5.
9. Allan Walker (2004). Pediatric Gastrointestinal Disease:
Pathophysiology, Diagnosis, Managemen
10. Timothy R. Koch (2003). Colonic diseases. Humana Press.
35