Upload
agungwibowo
View
297
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
medis
Citation preview
PRESENTASI KASUS
INTRA UTERINE FETAL DEATH
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul
Diajukan Kepada :
dr. Bambang Basuki, Sp.OG (K)
Disusun oleh :
Dwi Yuliannisa Amri
20100310133
SMF OBSTETRI GINEKOLOGI
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2015
HALAMAN PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
INTRA UTERINE FETAL DEATH
Disusun oleh:
Dwi Yuliannisa Amri
20100310133
Telah dipresentasikan pada:
Maret 2015
Bantul, Maret 2015
Menyetujui dan mengesahkan,
Pembimbing
dr. Bambang Basuki, Sp.OG (K)
BAB I
PENDAHULUAN
IUFD (Intra Uterine Fetal Death) merupakan kematian janin yang terjadi tanpa sebab
yang jelas, yang mengakibatkan kehamilan tidak sempurna (Uncomplicated Pregnancy).
Kematian janin terjadi kira-kira pada 1% kehamilan dan dianggap sebagai kematian janin jika
terjadi pada janin yang telah berusia 20 minggu atau lebih, dan bila terjadi pada usia di bawah
usia 20 minggu disebut abortus. Sedangkan WHO menyebutkan bahwa yang dinamakan
kematian janin adalah kematian yang terjadi bila usia janin 20 minggu dan berat janin waktu
lahir diatas 1000 gram.
Pada dasarnya untuk membedakan IUFD dengan aborsi spontan, WHO dan American
College of Obstetricians and Gynaecologists telah merekomendasikan bahwa statistik untuk
IUFD termasuk di dalamnya hanya kematian janin intra uterine dimana berat janin 500 gr atau
lebih, dengan usia kehamilan 22 minggu atau lebih. Tapi tidak semua negara menggunakan
pengertian ini, masing-masing negara berhak menetapkan batasan dari pengertian IUFD
(Kliman, 2000)
Penyebab dari kematian janin intra uterine yang tidak dapat diketahui sekitar 25-60%,
insiden meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan. Pada beberapa kasus yang
penyebabnya teridentifikasi dengan jelas, dapat dibedakan berdasarkan penyebab dari faktor
janin, maternal dan patologi dari plasenta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Intra Uterine fetal death (IUFD)
Intra Uterine fetal death (IUFD) merupakan kematian yang terjadi saat usia kehamilan
lebih dari 20 minggu dan janin sudah mencapai ukuran 500 gram atau lebih. Umumnya, IUFD
terjadi menjelang persalinan saat kehamilan sudah memasuki usia 32 minggu dan istilah lahir
mati (stillbirth) yang merupakan kelahiran hasil konsepsi dalam keadaan mati yang telah
mencapai usia kehamilan 28 minggu, sering digunakan bersamaan dengan IUFD (Nasdaldy,
2007). Bobak, et al (2005) menyatakan bahwa IUFD adalah kematian in utero sebelum terjadi
pengeluaran lengkap dari hasil konsepsi dan bukan disebabkan oleh aborsi terapeutik atau
elektif. Winkosastro (2005) menggolongkan IUFD ke dalam empat golongan, yaitu:
1. golongan I: kematian janin sebelum masa kehamilan mencapai 20 minggu penuh;
2. golongan II: kematian janin sesudah masa kehamilan mencapai 20 hingga 28 minggu
3. golongan III: kematian janin sesudah masa kehamilan lebih dari 28 minggu;
4. golongan IV: kematian janin yang tidak dapat digolongkan pada ketiga golongan di atas.
B. EpidemilogiJanin saat ini dipandang sebagai pasien yang menghadapi resiko mortalitas dan morbiditas
yang cukup serius. Secara epidemiologi, angka insidensi kematian janin di seluruh dunia
diperkirakan mencapai rentang 2,14 – 3,82 juta jiwa. Angka ini mengalami penurunan pada
tahun 2009, yaitu sejumlah 14,5%. Kisaran angka tersebut adalah 18,9 lahir mati per 1000
kelahiran (MacDorman, 2009).Pada tahun 2005, data dari Laporan Statistik Vital Nasional
menunjukkan tingkat nasional AS kelahiran mati rata-rata 6,2 per 1000 kelahiran (Barfield,
2002). Pada tahun 2009, jumlah global diperkirakan saat dilahirkan adalah 2,64 juta (berkisar
ketidakpastian, 2,14-3820000). Tingkat kelahiran mati di seluruh dunia menurun 14,5% dari 22,1
bayi lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun 1995-18,9 lahir mati per 1000 kelahiran pada tahun
2009 (MacDorman, 2009).
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intra Uterine fetal death (IUFD)
IUFD dapat disebabkan oleh banyak hal (Suheimi, 2007), pada umumnya penyebab
tersebut dikelompokkan menjadi; 1) Kausa janin (berkonstribusi sebesar 25-40 % kematian
janin), terdiri dari anomali atau malformasi kongenital mayor (Neural tube defects, hidrops
fetalis, hidrosefalus, kelainan jantung kongenital) dan infeksi janin oleh bakteri dan virus. 2)
Kausa plasenta (berkonstribusi sebesar 15-25 % kematian bayi), terdiri dari solusio plasenta,
infeksi plasenta dan selaput ketuban, infark plasenta dan perdarahan di belakang plasenta. 3)
Kausa ibu, berupa penyakit hipertensi dan diabetes yang diderita ibu hamil merupakan penyakit
yang paling sering menyebabkan 5-8% bayi lahir mati. 4) Kematian yang tidak dapat dijelaskan,
sekitar 10 % kematian janin tetap tidak dapat dijelaskan. Kesulitan dalam memperkirakan kausa
kematian janin paling besar adalah pada janin preterm.
Ketidaksesuaian rhesus dan golongan darah juga bisa mengakibatkan kematian janin.
Masalah rhesus terjadi jika ibu memiliki rhesus negatif dengan suami yang memiliki rhesus
positif, kemudian anak mengikuti rhesus dominan yaitu rhesus positif sehingga antara ibu dan
janin mengalami ketidaksesuaian rhesus. Ketidaksesuaian ini mempengaruhi kondisi janin,
diantaranya menyebabkan terjadinya hidrops fetalis yang merupakan suatu reaksi imunologis
yang menimbulkan berbagai gejala antara lain edema abdomen akibat terbentuknya cairan
berlebih dalam rongga perut (asites), pembengkakan kulit janin, penumpukan cairan di dalam
rongga dada atau rongga jantung, bahkan darah bercampur dengan air, sehingga janin tidak dapat
diselamatkan lagi. Sedangkan ketidaksesuaian golongan darah antara ibu dan janin terjadi antara
golongan darah anak A atau B dengan ibu yang memiliki golongan darah O atau sebaliknya.
Darah ibu dan janin akan mengalir bersamaan melalui plasenta ketidaksesuaian antara kedua
darah tersebut akan menyebabkan tubuh ibu membentuk zat antibodi (Nasdaldy, 2002).
Jamiyah (2002) menambahkan bahwa gerakan janin yang hiperaktif dan kelainan
kromosom juga dapat menjadi penyebab dari kematian janin. Gerakan janin yang sangat
berlebihan, terutama pada satu arah yang sama akan menyebabkan tali pusat terpelintir sehingga
aliran darah ke janin menjadi terhambat, menyebabkan janin kekurangan oksigen atau nutrisi.
Kondisi janin akan semakin memburuk jika aktivitas ibu berlebihan, hal ini dikarenakan
kebutuhan ibu akan oksigen dan nutrisi semakin meningkat sehingga janin relatif kekurangan
kedua unsur tersebut. Kelainan kromosom termasuk dalam kelainan genetik. Kematian janin
akibat kelainan genetik pada umumnya baru terdeteksi setelah terjadi kematian melalui tindakan
otopsi bayi. Pemeriksaan kromosom saat janin masih dalam kandungan masih jarang dilakukan,
hal ini berkaitan dengan biaya pemeriksaan yang mahal dan risiko yang tinggi dari tindakan
amniocentesis berupa aborsi, cacat janin dan kelahiran prematur.
Trauma kehamilan dan status gizi ibu hamil juga dianggap sebagai pencetus terjadinya
kematian janin. Trauma bisa mengakibatkan terjadinya solusio plasentae. Trauma yang terjadi,
misalnya kecelakaan, benturan atau pemukulan menyebabkan pecahnya pembuluh darah di
plasenta, sehingga menimbulkan perdarahan pada plasenta atau terlepasnya plasenta (Lubis,
Siddik & Wibisono, 2007). Gangguan pada asupan gizi selama kehamilan dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan daya tahan tubuh janin sehingga beberapa penyakit bisa berdampak
kepada janin, kebiasaan ibu hamil dalam mengkonsumsi minuman beralkohol dan menghisap
rokok sebagai perokok aktif maupun pasif juga sangan membahayakan bagi kesehatan janin
(Depkes RI, 2003).
1. Faktor Ibu
a. Umur
Bertambahnya usia ibu, maka terjadi juga perubahan perkembangan dari organ-
organ tubuh terutama organ reproduksi dan perubahan emosi atau kejiwaan seorang
ibu. Hal ini dapat mempengaruhi kehamilan yang tidak secara langsung dapat
mempengaruhi kehidupan janin dalam rahim. Usia reproduksi yang baik untuk
seorang ibu hamil adalah usia 20-30 tahun (Wiknjosastro, 2005).
Pada umur ibu yang masih muda organ-organ reproduksi dan emosi belum cukup
matang, hal ini disebabkan adanya kemunduran organ reproduksi secara umum
(Wiknjosastro, 2005).
b. Paritas
Paritas yang baik adalah 2-3 anak, merupakan paritas yang aman terhadap
ancaman mortalitas dan morbiditas baik pada ibu maupun pada janin. Ibu hamil yang
telah melahirkan lebih dari 5 kali atau grandemultipara, mempunyai risiko tinggi
dalam kehamilan seperti hipertensi, plasenta previa, dan lain-lain yang akan dapat
mengakibatkan kematian janin (Saifuddin, 2002).
c. Pemeriksaan Antenatal
Setiap wanita hamil menghadapi risiko komplikasi yang mengancam jiwa, oleh
karena itu, setiap wanita hamil memerlukan sedikitnya 4 kali kunjungan selama
periode antenatal.
Satu kali kunjungan selama trimester pertama (umur kehamilan 1-3 bulan)
Satu kali kunjungan selama trimester kedua (umur kehamilan 4-6 bulan).
Dua kali kunjungan selama trimester ketiga (umur kehamilan 7-9 bulan).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan sedini mungkin pada seorang wanita
hamil penting sekali sehingga kelainan-kelainan yang mungkin terdapat pada ibu
hamil dapat diobati dan ditangani dengan segera. Pemeriksaan antenatal yang baik
minimal 4 kali selama kehamilan dapat mencegah terjadinya kematian janin dalam
kandungan berguna untuk mengetahui pertumbuhan dan perkembangan dalam rahim,
hal ini dapat dilihat melalui tinggi fungus uteri dan terdengar atau tidaknya denyut
jantung janin (Saifuddin, 2002).
d. Penyulit / Penyakit
Anemia
Hasil konsepsi seperti janin, plasenta dan darah membutuhkan zat besi dalam
jumlah besar untuk pembuatan butir-butir darah pertumbuhannya, yaitu sebanyak
berat zat besi. Jumlah ini merupakan 1/10 dari seluruh zat besi dalam tubuh.
Terjadinya anemia dalam kehamilan bergantung dari jumlah persediaan zat besi
dalam hati, limpa dan sumsum tulang.
Selama masih mempunyai cukup persediaan zat besi, Hb tidak akan turun dan bila
persediaan ini habis, Hb akan turun. Ini terjadi pada bulan kelima sampai bulan
keenam kehamilan, pada waktu janin membutuhkan banyak zat besi. Bila terjadi
anemia, pengaruhnya terhadap hasil konsepsi salah satunya adalah kematian janin
dalam kandungan (Mochtar, 2004).
Menurut Manuaba (2003), pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan
dengan menggunakan alat sahli, dapat digolongkan sebagai berikut :
- Normal : 11 gr%
- Anemia ringan : 9-10 gr%
- Anemia sedang : 7-8 gr%
- Anemia berat : <7 gr%.
Pre-eklampsi dan eklampsi
Pada pre-eklampsi terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tekanan
darah akan naik, sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tekanan perifer agar
oksigen jaringan dapat dicukupi. Maka aliran darah menurun ke plasenta dan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen terjadi
gawat janin (Mochtar, 2004).
Solusio plasenta
Solusio plasenta adalah suatu keadaan dimana plasenta yang letaknya normal
terlepas dari perlekatannya sebelum janin lahir. Solusio plasenta dapat terjadi akibat
turunnya darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke ruang
intervirale maka terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum ini
terjadi nekrotis, spasme hilang darah kembali mengalir ke dalam intervilli, namun
pembuluh darah distal tadi sudah demikian rapuh, mudah pecah terjadinya hematoma
yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Sehingga aliran darah ke janin
melalui plasenta tidak ada dan terjadilah kematian janin (Wiknjosastro, 2005).
Diabetes Mellitus
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit keturunan dengan ciri-ciri
kekurangan atau tidak terbentuknya insulin, akibat kadar gula dalam darah yang
tinggi dan mempengaruhi metabolisme tubuh secara menyeluruh dan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan janin. Umumnya wanita penderita diabetes
melarikan bayi yang besar (makrosomia). Makrosomia dapat terjadi karena glukosa
dalam aliran darahnya, pancreas yang menghasilkan lebih banyak insulin untuk
menanggulangi kadar gula yang tinggi. Glukosa berubah menjadi lemak dan bayi
menjadi besar. Bayi besar atau makrosomia menimbulkan masalah sewaktu
melahirkan dan kadang-kadang mati sebelum lahir (Stridje, 2000).
Rhesus Iso-Imunisasi
Jika orang berdarah rhesus negatif diberi darah rhesus positif, maka antigen
rhesus akan membuat penerima darah membentuk antibodi antirhesus. Jika transfusi
darah rhesus positif yang kedua diberikan, maka antibodi mencari dan menempel
pada sel darah rhesus negatif dan memecahnya sehingga terjadi anemia ini disebut
rhesus iso-imunisasi. Hal ini dapat terjadi begitu saja di awal kehamilan, tetapi
perlahan- lahan sesuai perkembangan kehamilan. Dalam aliran darah, antibodi
antihresus bertemu dengan sel darah merah rhesus positif normal dan menyelimuti
sehingga pecah melepaskan zat bernama bilirubin, yang menumpuk dalam darah, dan
sebagian dieklaurkan ke kantong ketuban bersama urine bayi. Jika banyak sel darah
merah yang hancur maka bayi menjadi anemia sampai akhirnya mati (Llewelyn,
2005).
Infeksi dalam kehamilan
Kehamilan tidak mengubah daya tahan tubuh seorang ibu terhadap infeksi, namun
keparahan setiap infeksi berhubungan dengan efeknya terhadap janin. Infeksi
mempunyai efek langsung dan tidak langsung pada janin. Efek tidak langsung timbul
karena mengurangi oksigen darah ke plasenta. Efek langsung tergantung pada
kemampuan organisme penyebab menembus plasenta dan menginfeksi janin,
sehingga dapat mengakibatkan kematian janin in utero (Llewellyn, 2001).
Ketuban Pecah Dini
Ketuban pecah dini merupakan penyebab terbesar persalinan prematur dan
kematian janin dalam kandungan. Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban
sebelum terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda
persalinan. Kejadian ketuban pecah dini mendekati 10% semua persalinan. Pada umur
kehamilan kurang dari 34 mninggu, kejadiannya sekitar 4%.
Ketuban pecah dini menyebabkan hubungan langsung antara dunia luar dan
ruangan dalam rahim, sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Salah satu fungsi
selaput ketuban adalah melindungi atau menjadi pembatas dunia luar dan ruangan
dalam rahim sehingga mengurangi kemungkinan infeksi. Makin lama periode laten,
makin besar kemungkinan infeksi dalam rahim, persalinan prematuritas dan
selanjutnya meningkatkan kejadian kesakitan dan kematian ibu dan kematian janin
dalam rahim (Manuaba, 2003).
Letak lintang
Letak lintang adalah suatu keadaan dimana janin melintang di dalam uterus
dengan kepala pada sisi yang satu sedangkan bokong berada pada sisi yang lain. Pada
letak lintang dengan ukuran panggul normal dan cukup bulan, tidak dapat terjadi
persalinan spontan. Bila persalinan dibiarkan tanpa pertolongan, akan menyebabkan
kematian janin. Bahu masuk ke dalam panggul sehingga rongga panggul seluruhnya
terisi bahu dan bagian-bagian tubuh lainnya. Janin tidak dapat turun lebih lanjut dan
terjepit dalam rongga panggul. Dalam usaha untuk mengeluarkan janin, segmen
bawah uterus melebar serta menipis, sehingga batas antara dua bagian ini makin lama
makin tinggi dan terjadi lingkaran retraksi patologik sehingga dapat mengakibatkan
kematian janin (Wiknjosastro, 2005).
2. Faktor Janin
a. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang
timbul sejak kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan
sebab penting terjadinya kematian janin dalam kandungan, atau lahir mati. Bayi dengan
kelainan kongenital, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir rendah bahkan
sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya.
Dilihat dari bentuk morfologik, kelainan kongenital dapat berbentuk suatu
deformitas atau bentuk malformitas. Suatu kelainan kongenital yang berbentuk
deformitas secara anatomik mungkin susunannya masih sama tetapi bentuknya yang akan
tidak normal. Kejadian ini umumnya erat hubungannya dengan faktor penyebab mekanik
atau pada kejadian oligohidramnion. Sedangkan bentuk kelainan kongenital malformitas,
susunan anatomik maupun bentuknya akan berubah. Kelainan kongenital dapat dikenali
melalui pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air ketuban, dan darah janin (Kadri,
2005).
b. Infeksi intranatal
Infeksi melalui cara ini lebih sering terjadi daripada cara yang lain. Kuman dari
vagina naik dan masuk ke dalam rongga amnion setelah ketuban pecah. Ketuban pecah
dini mempunyai peranan penting dalam timbulnya plasentitis dan amnionitis. Infeksi
dapat pula terjadi walaupun ketuban masih utuh, misalnya pada partus lama dan
seringkali dilakukan pemeriksaan vaginal. Janin kena infeksi karena menginhalasi
likuor yang septik, sehingga terjadi pneumonia kongenital atau karena kuman-kuman
yang memasuki peredaran darahnya dan menyebabkan septicemia. Infeksi intranatal
dapat juga terjadi dengan jalan kontak langsung dengan kuman yang terdapat dalam
vagina, misalnya blenorea dan oral thrush (Monintja, 2006).
3. Kelainan Tali Pusat
Tali pusat sangat penting artinya sehingga janin bebas bergerak dalam cairan amnion,
sehingga pertumbuhan dan perkembangannya berjalan dengan baik. Pada umumnya tali pusat
mempunyai panjang sekitar 55 cm. Tali pusat yang terlalu panjang dapat menimbulkan lilitan
pada leher, sehingga mengganggu aliran darah ke janin dan menimbulkan asfiksia sampai
kematian janin dalam kandungan.
a. Kelainan insersi tali pusat
Insersi tali pusat pada umumnya parasentral atau sentral. Dalam keadaan tertentu
terjadi insersi tali pusat plasenta battledore dan insersi velamentosa. Bahaya insersi
velamentosa bila terjadi vasa previa, yaitu pembuluh darahnya melintasi kanalis
servikalis, sehingga saat ketuban pecah pembuluh darah yang berasal dari janin ikut
pecah. Kematian janin akibat pecahnya vase previa mencapai 60%-70% terutama bila
pembukaan masih kecil karena kesempatan seksio sesaria terbatas dengan waktu
(Wiknjosastro, 2005).
b. Simpul tali pusat
Pernah ditemui kasus kematian janin dalam rahim akibat terjadi peluntiran
pembuluh darah umblikalis, karena jelli Whartonnya sangat tipis. Peluntiran pembuluh
darah tersebut menghentikan aliran darah ke janin sehingga terjadi kematian janin dalam
rahim. Gerakan janin yang begitu aktif dapat menimbulkan simpul sejati sering juga
dijumpai (Manuaba, 2002).
c. Lilitan tali pusat
Gerakan janin dalam rahim yang aktif pada tali pusat yang panjang besar
kemungkinan dapat terjadi lilitan tali pusat. Lilitan tali pusat pada leher sangat berbahaya,
apalagi bila terjadi lilitan beberapa kali. Tali pusat yang panjang berbahaya karena dapat
menyebabkan tali pusat menumbung, atau tali pusat terkemuka. Dapat diperkirakan
bahwa makin masuk kepala janin ke dasar panggul, makin erat lilitan tali pusat dan
makin terganggu aliran darah menuju dan dari janin sehingga dapat menyebabkan
kematian janin dalam kandungan (Wiknjosastro, 2005).
D. Diagnosis
Diagnosis IUFD ditegakkan dengan melakukan pengkajian berupa anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Data yang didapatkan antara lain:
1. Anamnesis
a. Ibu tidak merasakan gerakan janin dalam beberapa hari, atau gerakan janin sangat
berkurang.
b. Ibu merasakan perutnya tidak bertambah besar, bahkan bertambah kecil atau kehamilan
tidak seperti biasa.
c. Perubahan pada payudara atau nafsu makan
d. Ibu merasakan belakangan ini perutnya sering menjadi keras dan merasa sakit-sakit
seperti mau melahirkan.
2. Inspeksi
Tidak kelihatan gerakan-gerakan janin, yang biasanya dapat terlihat terutama pada ibu
yang kurus.
3. Palpasi
a. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya tua kehamilan, tidak teraba gerakan-gerakan
janin.
b. Dengan palpasi yang teliti, dapat dirasakan adanya krepitasi pada tulang kepala janin.
4. Auskultasi
Baik memakai stetoskop, monoral maupun dengan doptone tidak terdengar denyut jantung
janin (DJJ)
5. Reaksi kehamilan
Reaksi kehamilan baru negatif setelah beberapa minggu janin mati dalam kandungan.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Ultrasonografi
Tidak ditemukan DJJ (Denyut Jantung Janin) maupun gerakan janin, seringkali tulang-
tulang letaknya tidak teratur, khususnya tulang tengkorak sering dijumpai overlapping
cairan ketuban berkurang.
2. Rontgen foto abdomen
a. Tanda Spalding
Tanda Spalding menunjukkan adanya tulang tengkorak yang saling tumpang tindih
(overlapping) karena otak bayi yang sudah mencair, hal ini terjadi setelah bayi
meninggal beberapa hari dalam kandungan.
b. Tanda Nanjouk
Tanda ini menunjukkan tulang belakang janin yang saling melenting (hiperpleksi).
c. Tanda Robert
Tampak gelembung-gelembung gas pada pembuluh darah besar, tanda ini ditemui
setelah janin mati paling kurang 12 jam.
d. Tampak udema di sekitar tulang kepala
3. Pemeriksaan darah lengkap, jika dimungkinkan kadar fibrinogen (Achadiat 2004).
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan reaksi biologis negatif setelah 10 hari
janin mati dan hipofibrinogenemia setelah 4-5 minggu janin mati (Winkjosastro,2005)
F. Patologi
Janin yang meninggal intra uterin biasanya lahir dalam kondisi maserasi. Kulitnya
mengelupas dan terdapat bintik-bintik merah kecoklatan oleh karena absorbsi pigmen darah.
Seluruh tubuhnya lemah atau lunak dan tidak bertekstur. Tulang kranialnya sudah longgar dan
dapat digerakkan dengan sangat mudah satu dengn yang lainnya. Cairan amnion dan cairan yang
ada dalam rongga mengandung pigmen darah. Maserasi dapat terjadi cepat dan meningkat dalam
waktu 24 jam dari kematian janin. Dengan kata lain, patologi yang terjadi pada IUFD dapat
terjadi perubahan-perubahan sebagai berikut:
1. Rigor mortis (tegang mati)
Berlangsung 2 ½ jam setelah mati, kemudian janin menjadi lemas sekali.
2. Stadium maserasi I
Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh-lepuh ini mula-mula berisi cairan jernih kemudian
menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah janin mati.
Stadium maserasi II
3. Lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat. Terjadi setelah 48
jam janin mati.
4. Stadium maserasi III
Terjadi kira-kira 3 minggu setelah janin mati. Badan janin sangat lemas dan hubungan
antar tulang sangat longgar. Terdapat edema di bawah kulit.
G. Manifestasi Klinis
IUFD dapat menimbulkan berbagai komplikasi berupa kerusakan pada desidua plasenta,
menghasilkan tromboplastin yang kemudain masuk kedalam peredaran darah ibu, terjadi
pembekuan intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit, lalu
pembekuan darah semakin meluas (Disseminated Intravascular Coagulation) dan
hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%), Kadar normal fibrinogen pada wanita hamil
adalah 300-700 mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik postpartum
( Suheimi, 2007).
H. Penanganan
Penanganan terhadap IUFD dilakukan berdasarkan usia kehamilan, jika uterus tidak lebih
dari 12 minggu kehamilan, maka penggosongan uterus dilakukan dengan tindakan kuret, jika
ukuran uterus antara 12-28 minggu, dapat digunakam prostaglandin E2 vaginal supositoria
dimulai dengan dosis 10 mg. Jika kehamilan >28 minggu dapat dilakukan dengan induksi dengan
oksitosin (Nasdaldy, 2007)
1. Penanganan Pasif
a. Menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu
b. Pemeriksaan kadar fibrinogen setiap minggu
Jika trombosit dalam 2 minggu menuruntanpa persalinan spontan maka dilakukan
penangganan aktif
2. Penanganan Aktif
a. Untuk rahim yang usianya 12 minggu atau kurang dapat dilakukan dilatasi atau
kuretase.
b. Untuk rahim yang usia lebih dari 12 minggu, dilakukan induksi persalinan dengan
oksitosin. Untuk oksitosin diperlukan pembukaan serviks dengan pemasangan kateter
foley intra uterus selama 24 jam (Achdiat, 2004).
c. Persalinan dengan seksio sesaria merupakan alternatif terakhir seperti pada kondisi
bayi dengan posisi melintang atau ibu mengalami preeklamsia ( Nasdaldy, 2007).
Janin yang sudah meninggal harus segera dikeluarkan karena dapat membahayakan ibu,
jika lebih dari dua minggu bersemayam dalam rahim maka akan menggangu proses pembekuan
darah dan menurukan kadar fibrinogen ibu sehingga pada saat persalinan, perdarahan akan sulit
dihentikan dan jika terlalu lama dapat mengalami pengerasan atau membatu di dalam rahim
sehingga dapat menyebabkan ruptur uterus dan laserasi jalan lahir.
I. Prognosis
Ibu hamil dengan riwayat IUFD masih mempunyai kesempatan untuk hamil kembali dan
bisa memulai program tersebut kapan saja, namun sebaiknya penyebab IUFD terdahulu sudah
diketahui sebelum menjalani kehamilan berikutnya sehingga hal- hal yang menjadi permaslahan
pada kasus sebelumnya dapat dicegah. Riwayat kehamilan dengan IUFD sbelumnya dapat
menyebabkan gangguan hasil konsepsi pada kehamilan berikutnya, sehingga perlu dilakukan
evaluasi prenatal untuk memastikan penyebab sebelumnya. Tindakan pengambilan sampel villus
khorionik atau amniocentesis dapat mempermudah deteksi dini dan memungkinkan
dipertimbangkannya terminasi kehamilan jika penyebab lahir mati terdahulu diketahui sebagai
kelainan karyotipe atau kausa poligenik (Saifuddin, 2002). Pada kasus ibu hamil dengan
diabetes, cukup banyak terjadi kematian perinatal berkaitan dengan kongenital. Pengendalian
kadar glukosa yang intensif pada periode prekonsepsi dan perinatal dilaporkan menurunkan
insiden malformasi dan secara umum dapat memperbaiki hasil (Engler, 2000).
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Identitas
Nama : Ny. S
Umur : 36 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SD
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Blawong II RT2 Trimulyo Jetis Bantul
B. Anamnesis
Tanggal : 27 Februari 2015 Pukul : 17.25
1. Keluhan utama
Gerakan janin berkurang.
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dengan keterangan G2P1A0 dengan usia kehamilan 32 minggu merasa gerakan
bayi berkurang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Gerakan janin dirasakan hanya ±
3 kali dalam 24 jam, riwayat jatuh dan dipijat disangkal. Kenceng-kenceng(-), air
ketuban(-), lendir darah(-), gerakan janin(-).
3. Riwayat Obstetri Ginekologi
Riw. Haid : menarche 12 th, lama haid 5 hari, siklus 30 hari, nyeri saat haid(+)
Riw. Menikah: menikah 1x dengan suami sekarang sejak 11 th yll saat berumur 18
tahun
Riw. KB : Suntik 1 tahun
Riwayat Kehamilan : G2P1A0
I : 16 Januari 1999, aterm, partus spontan pervaginam, ditolong oleh dukun beranak,
♂, BB 3600 gr
II : Hamil ini
Hari Pertama Haid Terakhir : 15/07/2014
Hari Perkiraan Lahir : 22/4/2015
Umur Kehamilan : 32+3 minggu
Riw. ANC : 8 kali oleh bidan, Trimester I : 2 kali
Trimester II : 3 kali
Trimester III : 3 kali
Imunisasi TT : (-)
Keluhan selama hamil : (-)
4. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, DM, asma, dan alergi disangkal.
5. Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung, hipertensi, DM, asma, dan alergi disangkal.
C. Pemeriksaan fisik
1. Status Generalis
KU : baik, composmentis, tidak anemis
Vital sign : TD : 120/80 mmHg R : 20 x/menit
N : 82 x/menit t : 36,5 ‘C
TB : 156 cm
BB : 66 kg
Kepala : CA (-)/(-), SI (-)/(-), edema palpebra(-)
Leher : pemb. kel. limfonodi(-), pemb. kel. tyroid(-)
Thorax : simetris(+), retraksi(-), SDV(+)/(+), ST(-)
S1 S2 reguler(+), bising jantung(+)
Abdomen : sikatrik(+), besar perut sesuai usia kehamilan(+),
bising usus(+) normal
Ekstremitas : hangat(+)/(+), edema(-)/(-)
2. Status Obstetri
Inspeksi : KU baik, sadar, tidak anemis, perut membuncit,
tampak striae gravidarum
Palpasi abd : teraba janin tunggal, memanjang, punggung kanan,
presantasi kepala, kepala floating, TFU 20 cm, TBJ 1390 gr, , HIS
(-), gerak janin (-)
Leopold I : teraba bagian besar, bulat, dan lunak
Leopold II : kanan: teraba bagian yang memanjang
kiri : teraba bagian kecil-kecil dr janin
Leopold III : teraba bagian bulat, keras, melenting
Leopold IV : teraba 5/5 bagian kepala
Auskultasi : DJJ ( - )
Px. Dalam : V/U tenang, dinding vagina licin, serviks kaku tebal
di belakang, EFF 0%, Ø (-), selket(+), AK(-), STLD(-)
D. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium:
HB : 11,1 gr%
AL : 9,90 ribu/µL
AT : 382 ribu/µL
HMT : 34,5 %
Gol. Darah : O
PPT : 12,5 detik
APTT : 28,7 detik
Control PPT : 14,0 detik
Control APTT : 30,7 detik
HbsAg : negatif
USG:
Janin tunggal ,preskep, DJJ (-), placenta di corpus anterior
E. Diagnosis
IUFD, Sekundigravida Hamil 32 minggu Belum Dalam Persalinan
F. Terapi
Induksi Balon Kateter
Evaluasi His dan Balon Lepas
G. Laporan Tindakan Operasi
Pukul 17.30
Telah dilakukan pemasangan balon kateter + 75 ml aquabides
Tx : Obs his
Observasi balon lepas
Evaluasi 6 jam
Pukul 12.00
Balon lepas His (+) belum teratur
PD : v/u tenang, dinding vagina licin, servix tebal lunak ditengah ø 3 cm, selket (+),
kepala ↓ H1-2, STLD (-), AK (-)
Dx : IUFD, multigravida h. Preterm dp kala I fase laten dalam riwayat Induksi Balon
kateter + 75 ml aquabides
Tx : Stimulasi Oksitosin 5IU/500ml RL mulai 8 tpm sampai his adekuat
Pukul 19.30
Ketuban Pecah, ibu ingin mengejan, vulva dan anus membuka
His (+) 4x/10’/30-45” DJJ(-)
PD: v/u tenang, dinding vagina licin, servix tidak teraba ø lengkap, selket (-), kepala ↓
H3, STLD (+), AK (+)
Dx : Kala II,
Tx : Pimpin Persalinan
Pukul 19.35
Bayi lahir spontan pervaginam , JK Perempuan, tidak ada kelainan kongenital.
BBL 2600/ PB 40 /LK 22/ LD 24/ Lila 10 A/S 0/0 Maserasi derajat III
Inj. Oksitosin IA IM
Pukul 19.40
Placenta lahir spontan kesan tidak lengkap dilanjutkan eksplorasi kesan tidak bersih. Tali
pusat terdapat striktur.
Kontraksi Uterus kuat , TFU 2 jari dibawah pusat.
Perdarahan ± 50cc.
Perineum Utuh.
Dx: Post partum Spontan dengan retensi sisa placenta, dalam stimulasi oksitosin
5IU/500ml RL 20 tpm botol I, dalam riwayat induksi balon kateter a/i IUFD, preterm,
P2A1
Tx: Amoxicillin 3x500mg
Asam Mefenamat 3x500mg
SF 1x1 tab
Bromocriptine 3x2.5 mg
Pro Curetage
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini ny. S seorang G2P1A0 merasa hamil 8 bulan datang dengan keluhan gerak
janin mulai berkurang sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada palpasi didapatkan tinggi
fundus uteri terukur 20 cm, sedangkan pada pemeriksaan dalam didapatkan bahwa serviks masih
utuh mencucu dan OUE masih menutup. Diagnosa pada pasien ini ditegakkan dari hasil
anamnesa, pemeriksaan fisik, dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan hasil
anamnesa dan pemeriksaan fisik didapatkan keterangan bahwa usia kehamilan pasien ini adalah
32 minggu 3 hari, umur ibu 36 tahun, adanya riwayat gerakan janin berkurang yang merupakan
salah satu gejala yang sering dikeluhkan oleh pasien dengan IUFD.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan Tinggi Fundus Uteri (TFU) sebesar 20cm, hal ini
tidak sesuai dengan usia kehamilan yang seharusnya setinggi 6 cm dibawah xiphoideus atau
sekitar 30 cm. Tinggi fundus lebih rendah dari seharusnya usia kehamilan dan tidak adanya
gerakan janin saat palpasi. Serta dari pemeriksaan penunjang dengan USG menyatakan tidak
adanya denjut jantung janin.
Didapatakan setelah partus pervaginanm didapatkan tidak ada kelainan kongenital,
maserasi derajat III serta tali pusat terdapat striktur. Maserasi derajat III menunjukan bahwa janin
telah mati kurang lebih 3 minggu, dan dari hal tersebut dapat ditentukan penyebab dari IUFD
pada kasus ini yaitu striktur tali pusat. Striktur tali pusat berkaitan dengan defisiensi fokal jeli
Wharton yang parah, dan hal ini sering berkaitan dengan bayi lahir mati dan sering terjadi
bersamaan dengan torsio tali pusat.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah partus pervaginam dengan riwayat induksi balon
kateter dilanjutkan dengan oksitosin dan diberikan bromocriptine yang berguna untuk
menstimulan reseptor dopamin pada otak, juga menghambat penglepasan prolaktin oleh hipofisis
sehingga membantu mengurangi air susu ibu.
BAB V
KESIMPULAN
Telah diuraikan di atas kasus seorang wanita 36 tahun gerakan janin berkurang. Dari
hasil anamnesis, pemeriksaan klinis danUSG pasien didiagnosis Intra Uterine fetal death
(IUFD). Pasien kemudian menjalani rawat inap untuk dilakukan partus pervaginam dengan
induksi balon kateter dilanjutkan induksi oksitosin.
IUFD dapat disebabkan oleh banyak hal, pada umumnya penyebab tersebut
dikelompokkan menjadi; 1) Kausa janin, 2) Kausa plasenta 3) Kausa ibu, 4) Kematian yang tidak
dapat dijelaskan, sekitar 10 % kematian janin tetap tidak dapat dijelaskan. Kesulitan dalam
memperkirakan kausa kematian janin paling besar adalah pada janin preterm.
Terdapat 2 jenis penanganan yaitu penanangan pasif dan aktif. Penanganan pasif yaitu
menunggu persalinan spontan dalam waktu 2-4 minggu. Penanganan aktif yaitu dilakukan
induksi persalinan dan persalinan dengan seksio sesaria merupakan alternatif terakhir seperti
pada kondisi bayi dengan posisi melintang atau ibu mengalami preeklamsia.
DAFTAR PUSTAKA
ACOG Committee opinion. 1995. Perinatal and infant mortality statistics. Committee on Obstetric Practice : Number 167.. American College of Obstetricians and Gynecologists. Int J Gynaecol Obstetry (on-line).Diakses pada 7 april 2014.
Cousens S, Blencowe H, Stanton C, et al. 2011. National, Regional, and Worldwide Estimates of Stillbirth Rates in 2009 with Trends since 1995, a systematic analysis. Lancet ; 377(9774):1319-30 (on-line). Diakses pada 7 April 2014
Cuningham FG., Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth, JC., Wenstrom KD. 2004. Williams Obstetrics Edisi ke 21. New York : McGraw-Hill.
French AE, Gregg VH, Newberry Y, et al. 2005. Umbilical cord stricture: a cause of recurrent fetal death. Obstet Gynecol;105(5 Pt 2):1235-9(on-line). Diakses pada 8 April 2014
Gomez Ponce de Leon R, Wing DA. 2009. Misoprostol for termination of pregnancy with intrauterine fetal demise in the second and third trimester of pregnancy - a systematic review. Contraception ; 79(4):259-71 (on-line). Diakses pada 9 April 2014
Korteweg, F.J., etc. 2009. Diverse Placental Pathologies as the Main Causes of Fetal Death.Obstet Gynecol ; 114 (4) : 809-17 (on-line). Diakses pada 7 April 2014
Lembar, S., etc. 2009.Hubungan Sindrom Antifosfolipid dengan Gangguan Kehamilan.Majalah Kedokteran Damianus vol. 8, no.1, Departemen Patologi Klinik FK Unika Atmajaya (on-line).Diakses pada 9 April 2014
MacDorman, M.F., etc. 2009. Fetal and Perinatal Mortality. National Vital Statistic Reproduction ; 57 (8) ; 1-19 (on-line). Diakses pada 5 April 2014
Ma’roef, S., etc. 2003. Toksoplasmosis Ibu Hamil di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran no.139, edisi Kebidanan dan Kandungan (on-line).Diakses pada 5 April 2014
Nybo Andersen AM, Hansen KD, Andersen PK, et al. 2004. Advanced paternal age and risk of fetal death: a cohort study. Am J Epidemiol.;160(12):1214-22 (on-line).Diakses pada 5 April 2014.
Petersson K. 2003. Diagnostic Evaluation of Fetal Death with Special Reference toIntrauterine Infection. Thesis dari Departement of Clinical Science, Divison ofObstetrics and Gynecology, Karolinska Institutet, Huddinge University Hospital,Stockholm, Sweden.
Roeshadi, H.R., 2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu pada Penderita Preeklampsia dan Eklampsia. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Kebidanan dan Kandungan (on-line). Diakses pada 6 April 2014.
Silver RM. 2007. Fetal death. Obstet Gynecol. Jan 2007;109(1):153-67. Diakses pada 9 April 2014.
Smith, G., etc. 2004. Second-Trimester Maternal Serum Levels of Alpha-Fetoprotein and the Subsequent Risk of Suddent Infant Death Syndrome. The New England Journal of Medicine : 351 ; 978-86 (on-line). Diakses pada 9 April 2014.
Utama, S.Y. 2008. Faktor Resiko yang Berhubungan dengan Kejadian Preeklampsia Berat pada Ibu Hamil di RS Raden Mattaher Jambi tahun 2007.Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi vol. 8, no. 2, Juli 2008 (on-line).Diakses pada 7 April 2014.
Weiss HB, Songer TJ, Fabio A. 2001. Fetal deaths related to maternal injury.JAMA;286(15):1863-8 (on-line). Diakses pada 9 April 2014.
Winknjosastro H. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi III,cetakan enam. Yayasan Bina PustakaSarwono Prawirohardjo. Balai Penerbit FK UI. Jakarta. 732-35.