40
PRESENTASI KASUS ANESTESI GENERAL PADA PASIEN DENGAN SUBDURAL HEMATOM Pembimbing : dr.Hermin Prihartini, Sp. An-KIC Disusun oleh : Sigit Dwiyanto G1A210105 Nia Tri Mulyani G1A210107 Rica Anriz G1A210108 BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI RSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

PRESUS Print Fix

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PRESUS Print Fix

PRESENTASI KASUS

ANESTESI GENERAL PADA PASIEN DENGAN SUBDURAL HEMATOM

Pembimbing :

dr.Hermin Prihartini, Sp. An-KIC

Disusun oleh :

Sigit Dwiyanto G1A210105Nia Tri Mulyani G1A210107Rica Anriz G1A210108

BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASIRSUD. PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

JURUSAN KEDOKTERANPURWOKERTO

2011

Page 2: PRESUS Print Fix

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus berjudul

“ANESTESI GENERAL PADA PASIEN DENGAN SUBDURAL HEMATOM”

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik

di Bagian Anestesiologi dan Reanimasi

RSUD Prof. dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun Oleh :

Sigit Dwiyanto G1A210105Nia Tri Mulyani G1A210107Rica Anriz G1A210108

Pada tanggal Agustus 2011

Mengetahui,

Pembimbing

dr.Hermin Prihartini, Sp. An-KICNIP. 19601010.198803.2.006

Page 3: PRESUS Print Fix

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Cedera kepala merupakan epidemik yang tersembunyi, oleh karena

sebagian besar masyarakat belum begitu mengetahui tentang cedera kepala

beserta akibatnya. Limabelas persen dari pasien yang dirawat dengan cedera

kepala akan mengalami skuele (problem gangguan kronik) sepanjang

hidupnya (Listiono, 1998).

Secara statistik diperkirakan setiap tahun 2% penduduk dunia

mengalami cedera kepala. Di Amerika serikat 5,3 juta penduduk setiap tahun

mengalami cedera kepala.. Trauma menjadi penyebab utama kematian pada

pasien berusia dibawah 45 tahun dan hampir 50% merupakan cedera kepala

traumatik (Listiono, 1998).

Penyebab cedera kepala traumatik terbanyak akibat kecelakaan

kendaraan bermotor (50%), akibat jatuh (21%), akibat olahraga (10%)

sisanya akibat kejadian lain. Puncak insiden cedera kepala pada usia 5 tahun,

15-24 tahun dan diatas 70 tahun. Cedera kepala pada laki-laki lebih sering

daripada wanita (Listiono, 1998).

Cedera kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih

kompleks bila dibandingkan dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal

ini di sebabkan karena struktur anatomi dan fisiologi dari isi ruang

tengkorak yang majemuk, dengan konsisitensi cair, lunak dan padat yaitu

cairan otak, jaringan saraf, pembuluh darah dan tulang (Iskandar, 2004).

Menurut beratnya, cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala

ringan, dan cedera kepala sedang sampai berat. Adapun cedera kepala ringan

(85%) banyak tercatat di unit gawat darurat rumah sakit, praktek dokter, dan

dikenal sebagai “contussion” (gegar otak). Sebagian besar bisa membaik..

15% persen diantaranya mengalami problem kronis dalam emosi dan

berfikir, sedangkan sisanya bias kembali pulih dalam waktu 3-6 bulan

(Iskandar, 2004).

Page 4: PRESUS Print Fix

Gangguan yang terjadi setelah pasien mengalami gangguan cedera

kepala ringan dapat berupa nyeri kepala, vertigo atau gangguan

keseimbangan, mudah lupa, lamban, fatigue (mudah lelah), sensitive

terhadap suara dan sinar. Cedera kepala sedang sampai berat prosentasinya

15% dari seluruh cedera kepala dan biasanya memerlukan perawatan di

Rumah Sakit. Dari pemeriksaan dan penanganan teridentifikasi sebagai

cedera kepala. Seringkali pasien mengalami penurunan kesadaran yang

signifikan, dalam beberapa hari sampai beberapa ingu selanjutnya

mengalami gangguan berpikir, gangguan fisik, dan emosi yang

berkepanjangan (Iskandar, 2004).

Fokus utama dalam penanganan penderita dengan kecurigaan

hematom subdural (SDH) untuk mencegah cedera otak sekunder. Tindakan

pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang

cukupuntuk perfusi otak merupakan langkah penting untuk menghindari

terjadinya cedera otak sekunder, yang pada akhirnya akan meningkatkan

tingkat kesembuhan penderita. Setiap negara mempunyai petunjuk dalam

menangani cidera kepala dan telah dibuat di negara maju, seperti Dewan

resusitasi Eropa, Inggris, Australia dan Amerika Serikat (Iskandar, 2004).

B. CEDERA KEPALA HEMATOM INTRAKRANIAL

Kejadian komplikasi ini dapat menjadikan penderita cedera kepala

derajat ringan dalam waktu yang singkat masuk kedalam suatu keadaan yang

gawat dan mengancam jiwanya. Disatu pihak memang hanya sebagian saja

kasusu cedera kepala yang dating kerumah sakit menjadi hematom, tetapi

dilain pihak frekuensi hematom ini terdapat pada 75% kasus yang dating ke

RS dalam keadaan sadar dan keluar RS meninggal dunia. (Listiono, 1998).

Hematom intracranial dikelompokan menjadihematom yang

terletak diluar duramater yaitu hematom epidural (EDH) dan yang terletak

didalam duramater yaitu heamtom subdural (SDH) dan hematom intra

serebral (ICH). Dimana masing-masing dapat berdiri sendiri ataupun

bersamaan (Iskandar, 2004).

C. HEMATOM SUBDURAL (SDH)

Page 5: PRESUS Print Fix

SDH merupakan perdarahan yang menggumpidiantara korteks serebri

dan duramater. Ini disebabkan oleh regangan dan robekan vena-vena

drainase yang berjalan melintang menggantung di rongga subdural anatar

permukaan kortika otak dengan sinus duramatris. Vena-vena ini amat rentan

terhadap cedera regangan pada saat otak related mobil bergerak terhadap

sinus dura yang diam (cedera aksi deselerasi). Gejala klinisnya sangat

bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan

kesadaran. Kebanyakan kesadaran penderita SDH tidak begitu hebat pada

seperti pada kasus cedera neuronal primer. Kecuali bila ada efek massa yang

hebat atau lesi lainnya (Iskandar, 2004).

SDH diklasifikasikan berdasarkan kronologisnya menjadi:

1. Hematom subdural akut :1-3 hari pascatrauma

2. Hematom subakut : 4-21 hari pasca trauma

3. Hematom kronis : lebih dari 21 hari pasca trauma

Gambar 1. Lokasi Tersering SDH (Listiono, 1998)

Tindakan terapi yang dilakukan pada kasus-kasus seperti ini adalah

kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole.

Khusus pada penderita SDH kronis usia tua dimana biasanya memiliki

kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi,

biasanya lebih dianjurkan untuk memelakukan operasi kraniotomi

dibandingkan dengan burr-hole saja. Prognosa SDH khususnya yang akut

Page 6: PRESUS Print Fix

kurang begitu baik dibandingkan dengang hematom epidural, hal ini

dikaitkan dengan cedera otak sekunder yang kerap menyertainya. Angka

haapan hidup lebih baik bila efek massa yang terjadi dapat di evakuasi

dalam waktu kurang dari empat jam (Listiono, 1998).

D. ANESTESI UMUM

Anestesi berarti pembiusan, bersal dari bahasa yunani yaitu “an”

berarti “tidak, tanpa” dan “aestheos” berarti “persepsi, kemampuan untuk

merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit

ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang

menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakanpertmakali

oleh Oliver Wendel Homes, Sr pada tahun 1846 (Listiono, 1998).

Obat untuk menghilangkan nyeri terbagi ke dalam 2 kelompok, yaitu

analgetik dan anaestesi. Analgetik adalah obat pereda nyeri tanpa disertai

hilangnya perasaan secara total. Seseorang yang mengkonsumsi analgetik

tetap berada dalam keadaan sadar. Analgetik tidak selalu menghilangkan

seluruh rasa nyeri, tetapi selalu meringankan rasa nyeri. Beberapa jenis

anestesi menyebabkan hilangnya kesadaran, sedangkan jenis yang lainnya

hanya menghilangkan nyeri dari bagian tubuh tertentu dan pemakainya tetap

sadar (Listiono, 1998).

Terdapat beberapa jenis anestesi yang digunakan di dunia kedokteran

ini. Di Indonesia pun jenis-jenis anestesi yang sering digunakan antara lain:

1. Pembiusan total : yaitu hilangnya kesadaran total

2. Pembiusan lokal : hilangnya rasa pada daerah tertentu yang di

inginkan (pada sebagian kecil tubuh).

3. Pembiusan regional: hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas

oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan

dengannya (Listiono, 1998).

Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks,

memerlukan kesepakatan dan pengetahuan yang dalam dan baik anatara

pasien dan faktor-faktor pembedahan. Dalam beberapa kelompok populasi

pasien, pembiusan regional ternyata lebih baik daripada pembiusan total.

Page 7: PRESUS Print Fix

Blokade neuraksial bias mengurangai resiko trombosis vena, emboli paru,

transfusi pneumonia, tekanan pernapasan, infark miokardial dan kegagalan

ginjal (Listiono, 1998).

Pada kasus pembedahan khusus yang tidak tahu berapa lama

pembedahaan akan berlangsung, dapat dipilih jenis anestesi umum. Selain

itu, pada pasien yang memiliki kecemasaan yang cukup besar dapat juga

dipilih anestesi umum, agar pasien tersebut tetap tenang dan tidak berontak

saat dilakukan pembedahaan.

E. JENIS ATAU TEKNIK ANESTESI UMUM

Kebutuhan dan cara kerja anestesi beraneka ragam. Anestesi juga

memeiliki cara penggunanaan yang berbeda sesuai kebutuhaannya. Tak

hanya cara disuntikan saja, tetapi juga di hirup melalui alat bantu napas.

Beberapa cara penggunaan anestesi antara lain:

1. Melalui pernapasan (inhalasi)

Beberapa obat anestesia berupa gas seperti isoflurane dan nitrous

oxide, dapat dimasukan melalui pernapasan secara inhalasi. Gas-gas ini

mempengaruhi kerja susunan saraf pusat di otak, otot jantung, serta

paru-paru sehingga secara bersama-sama menciptakan kondisi taksadar

pada pasien. Penggunaan bius jenis inhalasi ini lebih ditujukan untuk

pasien operasi besar yang belum diketahui beberapa lama tindakan

operasi diperlukan. Sehinga perlu dipastikan pasien tetap dalam kondisi

tidak sadar selama operasi dilakukan (Boulton & Blogg,1994).

2. Injeksi intravena

Injeksi intravena adalah memeasukan obat melalui pembuluh darah

vena. Jenis obat yang digunakan seperti ketamine, thiopental, opoids

( fentanyl, sufentanil) dan propofol adalah obat-obatan yang biasanya

dimasukan ke aliran vena. Obat-obatan ini menimbulkan efek

menghilnagkan rasa seecara menyuluruh, dan membuat depresi perna-

pasan sehungga membuat pasien tak sadarkan diri. Masa bekerjanya

cukup lama dan bias ditambahkan bila ternyata terdapat penambahan

lamanya operasi (Boulton & Blogg,1994).

Page 8: PRESUS Print Fix

3. Injeksi pada spinal dan epidural

Obat-obatan jenis lidocaine dan bupivicaine yang sifatnya local

dapat di injeksikan dalam ruang spinal (rongga tulang belakang)

maupun epidural untuk menghasilkan efek mati rasa pada paruh tubuh

tertentu. Misalnya dari pusar kebawah. Beda dari injeksi epidural dan

spinal adalah pada teknik injeksi. Pada epidural, injeksi dapat

dipertahankan dengan meninggalkan selang kecil untuk menambah obat

anestesi jika diperlukan perpanjangan waktu tindakan. Sedangkan pada

spinal membutuhkan jarum lebih panjang dan hanya bias dilakukan

dalam injeksi untuk sekitar 2 jam kedepan (Boulton & Blogg,1994).

F. ANESTESI PADA SDH

Masalah anestesi pada bedah saraf bermula dari otak yang tertutup

dalam kotak yang kaku. Setiap perubahan pada volume isi kranium dapat

menyebabkan perubahan tekanan didalamnya, dan perubahan perfusi otak.

Faktor-faktor ini mempengaruhi tekanan intracranial terpisah dari lesi di

dalam ruang adalah ukuran dan distensi pembuluh darah, serta volume

cairan otak (Boulton & Blogg,1994).

Perfusi otak dipertahankan pada jangkauan tekanan darah yang

lebih besar daripada organ yang lain, tetapi perubahan tekanan atau diameter

pembuluh darah seringkali disebabkan oleh obat dan teknik anestesi.

Pembuluh darah otak dilebarkan dengan agen inhalasi( halotan, enfluran dan

isofluran). Karena peningkatan karbon dioksida arteri( yang disebabkan oleh

hipoventilasi), dan jika menggunakan obat vasodilator (nitroprusid, nitro

gliserin, atau penghambat ganglion) (Boulton & Blogg,1994).

Vena diotak dapat melebar karena sumbatan aliran keluarnya

dileher, atau melalui tekanan vena sentral yang meninggi karena sebab lain

(batuk, mengejan, gagal jantung kongestif, kelebihan transfusi) atau

mungkin melebar karena hiperkarbia atau hipoksia Boulton & Blogg,1994).

Tekanan perfusi otak adalah hasil dari selisih antara tekanan arteri dan vena,

dikurangi tekanan intracranial (TIK). Para ahli anestesi harus mencoba

untuk menghindari peninggian TIK, terutama jika tekanan tersebut sudah

Page 9: PRESUS Print Fix

meninggi karena bekuan darah, atau retensi karbon dioksida. Peninggian

TIK, yang disertai penggunaan agen yang mudah menguap, dapat

dikendalikan oleh hiperventilasi, dan sebagian besar dapat dicapai dengan

mudah setelah intubasi trachea. Laringoskopi dan pemasukan pipa juga

dapat meningkatkan TIK dan harus dikurangi dengan penggunaan secara

bebas analgesic narkotik, anestesi topical, dan dosis secukupnya agen

induksi imtravena, agen penghambat beta adrenegik juga telah digunakan

Boulton & Blogg,1994).

Masalah didalam pembedahan bagi ahli neuroanestesi termasuk

kemungkinan emboli udara, yang dapat terjadi jika vena besar terbuka dan

terpapar pada udara bebas selam eksplorasi fossa posterior pada penderita

dengan posisi duduk. Perdarahan akibat kontraksi pembuluh darah otak

yang buruk dan sulitnya jalan masuk kedalam sauran pernapasan sementara

pembedahan berlangsung (Boulton & Blogg,1994).

Metode lain yang dapat digunakan oleh ahli anestesi untuk

mengurangi TIK baik sewaktu pembedahan maupun pascabedah termasuk

penggunaan diuretic osmotik (manitol 20%), 0,5 mg/kg BB, secara intravena

untuk meningkatkan pengeluaran cairan otak (LCS) dan produksi volume

cairan otak, dan drainase LCS melalui jarum halus yang dimasukan kedalam

kanalis spinalis di region lumbalis. Deksa metason (8-20mg) juga digunakan

untuk mengurangi edema serebri dengan memantapkan membran sel,

sehingga mengurangi permeabilitasnya setelah pengaruh hipoksia atau

traumatik (Boulton & Blogg,1994).

BAB IILAPORAN KASUS

Page 10: PRESUS Print Fix

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. RF

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 14 tahun

Berat Badan : 52 kg

Tinggi Badan : 158 cm

Agama : Islam

Alamat : Srikandi RT 01/03 Purworejo, Klampok

Waktu Masuk : 26 Juli 2011 pukul 15.15 WIB

No. RM : 861267

B. PRIMARY SURVEY

Pemeriksaan

1. Airway

Clear, Mallampati 1, tidak terdapat gigi ompong dan gigi palsu.

2. Breathing

Napas spontan, thoraco-abdominal, tidak tampak ketertinggalan gerak

pada dada (gerak dada simetris), RR 22x per menit, reguler, tidak terdapat

retraksi, trakea terletak di median, suara dasar vesikuler dan tidak terdapat

suara tambahan seperti rhonki atau wheezing.

3. Circulation

Kulit hangat, nadi 64 x per menit, reguler, isi dan tegangan cukup serta

TD 120/80 mmHg.

4. Disability

GCS E4V4M5 = 13, pupil bulat isokor 3mm/3mm dan reflek cahaya +/+

normal.

5. Environment

Pakaian pasien dibuka dan didapatkan banyak jejas di tubuh.

C. SECONDARY SURVEY

1. Anamnesis

Page 11: PRESUS Print Fix

a. Keluhan utama : Penurunan kesadaran

b. Keluhan tambahan :

Nyeri kepala, muntah dan lupa bagaimanakecelakaan tersebut terjadi.

c. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien rujukan dari RS. Elisabeth datang ke IGD RSMS tanggal

26 Juli 2011 pukul 15.15 WIB dengan penurunan kesadaran setelah

kecelakaan lalu lintas sepeda motor. Sepeda motor bertabrakan

(berlawanan arah) dengan sepeda motor pukul 01.00 WIB tanggal 25

Juli 2011. Setelah kecelakaan pasien tidak sadar selama 20 menit dan

muntah.Saat pasien datang ke IGD RSMS, pasien masih mengalami

penurunan kesadaran, nyeri kepala dan muntah tetapi tidak kejang.

Pasien mengatakan tidak mengalami gangguan penglihatan setelah

kecelakaan dan lupa bagaimana kecelakaan tersebut terjadi.

d. Riwayat penyakit dahulu :

1) Riwayat asma disangkal

2) Riwayat alergi disangkal

3) Riwayat penyakit jantung disangkal

4) Riwayat trauma atau kecelakaan disangkal

e. Riwayat penyakit keluarga :

-

2. Pemeriksaan Fisik

GCS : E4V4M5 = 13

Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 64 x/menit

Suhu : 36,8C

Pernafasan : 20 x/menit

Status Generalis

a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak

sianosis, turgor kulit cukup (kurang dari 2 detik)

dan hangat.

b. Kepala : Vulnus excoriatum berjumlah dua (bentuk

memanjang dan berukuran 2x1cm), hematome

Page 12: PRESUS Print Fix

temporo-parietal dextra, rambut hitam, distribusi

merata dan tidak mudah dicabut.

c. Muka : Simetris, terdapat hematome periorbita dextra dan

vulnus excoriatum pada zygomaticum dextra.

d. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera

ikterik, pupil isokor Φ3mm/3mm dan terdapat

reflek cahaya normal.

e. Hidung : Tidak didapatkan deviasi septum, discharge (darah

atau cairan) dannapas cuping hidung.

f. Mulut/Gigi : Tidak terdapat bibir sianosis, hematome, lidah

kotor,carries dan hiperemis pada faring.

g. Telinga : Simetris dan tidak didapatkan discharge(darah atau

cairan).

h. Pemeriksaan Leher

1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas

2) Palpasi : Tidak terdapat pembesaran kelenjar tiroid dan ke-

lenjar limfe.

i. Pemeriksaan Thorax

1) Jantung

a) Inspeksi: Simetris dan tidak tampak ictus cordis.

b) Palpasi : Ictus cordis tak kuat angkat

c) Perkusi :

i. Batas atas kiri : SIC II LMC sinsitra

ii. Batas atas kanan : SIC II LPS dextra

iii. Batas bawah kiri : SIC V LMC sinistra

iv. Batas bawah kanan : SIC IV LPS dextra

d) Auskultasi : S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan

murmur.

2) Paru

a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dan di-

namis serta tidak ditemukan retraksi dan ketert-

inggalan gerak.

Page 13: PRESUS Print Fix

b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan

kiridan tidak terdapat ketertinggalan gerak.

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru

d) Auskultasi: Suara dasar vesikuler pada paru kanan dan

kiri serta tidak didapatkan suara tambahan

(rhonkhi atau wheezing).

j. Pemeriksaan Abdomen

1) Inspeksi : Perut tidak membuncit, simetris, tidak

terdapat jejas dan massa

2) Auskultasi : Terdengar suara bising usus normal

3) Perkusi : Timpani

4) Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan defans

muskular, hepar dan lien tidak teraba.

k. Pemeriksaan Ekstremitas :

1) Inspeksi :

Vulnus excoriatum

a) Antebrachii dextra dengan panjang 8 cm

b) Femur lateral dextra dengan panjang 3 cm

c) Cruris lateral dextra dengan panjang 6cm

2) Palpasi :

1) KM : Sulit dinilai 3) Turgor kulit cukup

2) Tonus : N N 4) Akral hangat

N N

l. Pemeriksaan Genitalia Eksterna

a. Inspeksi : Tidak tampak jejas dan pembesaran skrotum.

Terpasang DC 16F dengan produksi urin 60

cc/jam dan berwarna kuning jernih.

Page 14: PRESUS Print Fix

b. Palpasi : Tidak terdapat nyeri tekan dan juga tidak

terdapat jejas.

Status Lokalis

a. Kesadaran

GCS E4V4M5=13

b. Pupil

Pupil bulat isokor 3mm/3mm dan reflek cahaya +N/+ N

c. Kepala

Vulnus excoriatum (berjumlah dua dengan bentuk memanjang 2x1

cm) dan hematome temporo-parietal dextra, rambut hitam, distribusi

merata dan tidak mudah dicabut.

d. Muka

Simetris, terdapat hematome periorbita dextra dan vulnus laceratum

pada zygomaticum dextra dengan diameter 3cm.

e. Vulnus excoriatum

a) Antebrachii dextra dengan panjang 8 cm

b) Femur lateral dextra dengan panjang 3 cm

c) Cruris lateral dextra dengan panjang 6cm

3. Pemeriksaan Laboraturium

Hb 11,3 g/dl (11,5-13,5)

Leukosit 21770 /µl (4.500-14.500)

Hematokrit 40,7 % (35-45)

Eritrosit 4,1 x 106 /µl (4-5,2)

Trombosit 237.000 /µl (150.000-450.000)

MCV 82,7 fl (79-99)

MCH 27,6 pg (27-31)

PT 17 sec (11,5-15,5)

APTT 26,1 sec (30-40)

GDS 155 mg/dl (≤ 200)

Na 133 mmol/l (136-145)

K 3,6 mmol/l (3,5-5,1)

Cl 90 mmol/l (98-107)

Page 15: PRESUS Print Fix

Ureum 11,4 mg/dl (14,98-38,52)

Creatinin 0,64 mg/dl (0,8-1,3)

4. Hasil Pemeriksaan CT Scan

a. Tampak gambaran hipodens yang simetris pada os petrosus dextra et

sinistra

b. Tidak tampak pembesaran ventrikel dextra et sinistra

c. Terlihat cysterna ambiens

d. Tidak tampak sulci dan gyri (oedem cerebri)

e. Tidak tampak midline shifting

f. Tampak gambaran hiperdens pada subgaleal dextra (hematome

subgaleal)

g. Tampak gambaran hiperdens pada temporo parietal dextra dengan

bentuk semiluner.

h. Tidak tampak diskuntinuitas pada pericranium, terdapat bayangan

hiperdens pada temporoparietal dextra dengan bentuk semiluner.

D. DIAGNOSIS

1. Diagnosis Klinis :

Cedera kepala sedang, vomitus, amnesia retrograde, vulnus excoriatum

dan hematome temporo-parietal dextra, hematome periorbita dextra dan

vulnus excoriatum pada zygomaticum dextra dengan diameter 3cm,

vulnus excoriatum antebrachii dextra dengan panjang 8 cm, femur lateral

dextra dengan panjang 3 cm dan cruris lateral dextra dengan panjang 6

cm.

2. Diagnosis Topis :

Subdural hematome temporoparietal dextra dengan hematome subgaleal

dan edema cerebri.

3. Diagnosis Etiologis :

Trauma kapitis temporoparietal dextra

E. PENATALAKSANAAN

Page 16: PRESUS Print Fix

1. Dokter umum IGD konsul ke Bagian Bedah Saraf pada tanggal 26 Juli

2011 pukul 16.00WIB. Penatalaksanaan yaitu :

a Pro craniotomy evakuasi hematome cito

b O2 10 lt/menit

c IVFD 3x1500cc/24 jam

d Manitol 6x125cc

e Phenytoin 3x100mg

f Ketorolac 3x30mg

g City cholin 3x500mg

h WB 750 cc

i Post operasi HCU/rawat ruang Cempaka Observasi

2. Konsul ke Bagian Anestesi tanggal 26 Juli 2011 pukul 17.15 WIB.

F. KESIMPULAN

Status Fisik ASA II E

G. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Subdural hematome temporoparietal dextra dengan hematome subgaleal

dan edema cerebri.

2. Diagnosis Pasca Bedah

Subdural hematome temporoparietal dextra dengan hematome subgaleal

dan edema cerebri.

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a O2 10 lt/menit

b IVFD 3x1500cc/24 jam

c Manitol 6x125cc

d Phenytoin 3x100mg

e Ketorolac 3x30mg

f Citycholin 3x500mg

g Whole Blood 750 cc

4. Pernatalaksanaan Operasi

Page 17: PRESUS Print Fix

a. Jenis Pembedahan : Craniotomy

b. Jenis Anestesi : General Anestesi

c. Teknik Anestesi : ET-Semiclosed

d. Mulai Anestesi : 16.20 WIB

e. Mulai Operasi : 16.30 WIB

f. Premedikasi : Fentanyl 100 µg, ondansetron 4mg,

atropine 0,25 mg

g. Medikasi : Propofol 100 mg

h. Maintanance : O2, Isofluran

i. Relaksasi : Recuronium bromide 25 mg

j. Respirasi : Kendali

k. Posisi : Supine

l. Cairan Durante Operasi : RL, Hes, Manitol, NaCl

m. Pemantauan Tekanan Darah dan HR

Waktu Hasil Pantauan Tindakan16.20 WIB TD 120/80

mmHgHR 80x/m

Pasien masuk ke ruang OK IGD dan dilakukan pemasangan TD dan saturasi 02. Infus RL terpasang 2 jalur tangan kanan dan kaki kiri. Mulai anestesi dengan GA semiclosed dengan propofol, fentanyl dan

Page 18: PRESUS Print Fix

roculax. Dipasang ET No.7 kontrol ventilator

16.30 WIB TD 111/60 mmHgHR 76x/m

Dimulai pembedahan

16.35 WIB TD 110/60 mmHgHR 78x/m

16.50 WIB TD 115/57 mmHgHR 72x/m

17.05 WIB 100/52 mmHg Dimasukkan Hes 500 cc

HR 90x/m17.20 WIB TD 110/52

mmHgDimasukkan NaCl 500cc

HR 100x/m17.35 WIB TD 112/52

mmHgHR 98 x/m

17.50 WIB TD 105/56 mmHgHR 88 x/m

18. 05 WIB TD 106/56 mmHgHR 76x/m

18.20 WIB TD 105/52 mmHg

Oedem cerebri Dimasukkan Manitol

HR 76x/m18.35 WIB TD 105/52

mmHgHR 77 x/m

18.50 WIB TD 92/50 mmHgHR 76x/m

Dimasukkan NaCl 500cc

19.30 WIB TD 92/50 mmHgHR 76x/m

Selesai pembedahan

19.35 WIB TD 100/58 mmHg HR 76x/m

Selesai anestesi pasien dikirim ke Ruang Cempaka No.7 (Ruang Observasi)

n . Selesai operasi :19.30 WIB

o. Selesai anestesi : 19.35 WIB

p. Perdarahan : 450cc

Page 19: PRESUS Print Fix

q. Urin Tampung : 600 cc

H. PEMBAHASAN

1. PREOPERATIF

Pasien yang akan dioperasi terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan

yang meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang

untuk menentukan ASA. Kondisi pasien yang akan di operasi dalam kasus ini

adalah ASA IIE, pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik

karena penyakit bedah maupun penyakit lain dan bersifat darurat

(emergency). Lalu ditentukan rencana jenis anestesi yang akan digunakan

yaitu general anestesi.

Persiapan yang dilakukan pada pasien ini sebelum operasi :

1. Informed consent

Tujuannya untuk mendapatkan persetujuan dan ijin dari pasien

atau keluarga pasien dalam melakukan tindakan anestesi dan operasi

sehingga resiko-resiko yang mungkin akan terjadi pada saat operasi dapat

dipertimbangkan dengan baik. Informed consent ini meliputi penyakit

yang diderita pasien, tindakan-tindakan yang akan dilakukan, alasan

dilakukannya tindakan tersebut, resiko dilakukannya tindakan,

komplikasi, prognosis, biaya dan hal-hal lainnya yang berhubungan

dengan kondisi pasien maupun tindakan yang dilakukan.

2. Puasa

Tujuannya untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena

regurgitasi atau muntah pada saat dilakukannya tindakan anestesi.

Namun, pada pasien ini tidak dilakukan puasa karena operasi bersifat

CITO.

3. Laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien ini cukup baik

sehingga memenuhi syarat untuk dilakukannya operasi. Adapun

pemeriksaan laboratorium pada pasien ini meliputi: pemeriksaan darah

lengkap, waktu perdarahan, waktu pembekuan,elektrolit, tes fungsi ginjal

dan glukosa sewaktu. Data tersebut mutlak diperiksa sebelum pasien

dilakukan operasi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk menilai

Page 20: PRESUS Print Fix

ada tidaknya gangguan dan tindakan yang akan dilakukan jika terdapat

gangguan. Waktu perdarahan dan waktu pembekuan diharapkan normal.

Hal ini penting karena jika terjadi gangguan pada proses perdarahan dan

pembekuan, dapat menimbulkan akibat yang fatal. Elektrolit penting

juga untuk diperiksa untuk menghitung kondisi cairan dalam tubuh

pasien, baik kekurangan ataupun kelebihan sehingga dapat pasien dapat

dikelola secara tepat dan akurat.

4. Penatalaksanaan pre operasi

Pemberian manitol yang merupakan diuretik osmotik. Manitol

bekerja dengan cara meningkatkan jumlah cairan yang dikeluarkan oleh

ginjal dan membantu tubuh dalam mengurangi tekanan di otak dan mata.

Digunakan untuk mencegah atau mengobati kelebihan air dalam tubuh

pada keadaan ginjal tertentu, mengurangi pembengkakan otak, atau

mengurangi tekanan dalam mata. Dosis yang diberikan 0.25-2 gr/kg

melalui infus pembuluh darah (intra venous) selama 30-60 menit. Efek

samping yang dapat ditimbulkan pada sistem peredaran darah akan

meningkatkan beban kerjanya, gagal jantung kongestif (CHF), nyeri

kepala, convulsions, kedinginan, kepeningan, ruam, ketidakseimbangan

cairan dan elektrolit, instoksikasi air, dehidrasi dan hipovolemia sekunder

hingga diuresis cepat, N/V, pulmonary edema, reaksi alergi. Pemberian

ketorolac yang merupakan suatu OAINS yang menunjukkan

efek analgesia yang potensi tetapi hanya memiliki

aktifitas antiinflamasi yang moderat bila diberi secara

intramuscular atau intravena. Obat ini dipakai sebagai

analgesia paska pembedahan baik sebagai obat tunggal

(kurang nyeri pada pasien rawat jalan) maupun suplemen

dengan opioid. Ketorolac mempotensiasi aksi

antinociceptif dari opioid. Hal yang berlawanan efek

analgesia opioid tergantung dosis, ketorolak dan obat

AINS lain menimbulkan efek pada analgesia paska

pembedahan. Ketorolac merupakan struktur alfa

pengganti dari asam arilasetik, dimana secara struktural

Page 21: PRESUS Print Fix

kimia berhubungan dengan indometasin (Uddin, dkk,

2007; Basuki, 2002; Forrest, dkk, 2002; Shoelting, 1991;

Gupta, 1994). Penggunaan ketorolac sebagai obat

analgesia tunggal intraoperatif dihubungkan dengan

meningkatnya insiden bergeraknya pasien pada saat

sayatan. Ketorolac 30 mg IM menghasilkan analgesia

yang sebanding dengan 10 mg morfin atau 100 mg

petidin8. Keuntungan ketorolac sewaktu induksi adalah

tidak adanya depresi pada kardiovaskuler maupun

pernafasan. Tidak seperti opioid, ketorolac sedikit atau

tidak mempengaruhi saluran empedu (Uddin, dkk, 2007;

Forrest, dkk, 2002; Gupta, 1994). Farmakokinetiknya

adalah setelah injeksi intramuscular, maksimum plasma

konsentrasi tercapai pada 30 sampai 60 menit, dan waktu

paruh eliminasi sekitar 6-8 jam. Mula kerjanya adalah 10

menit. Efek puncak dicapai dalam 2-3 jam. Bioavailibilitas

dari ketorolak dilaporkan sekitar 81-100 %. Metabolisme

berkonjugasi dengan asam glukoronik dan para

hidroksilasi di hati. Obat dan hasil metabolitnya akan

dikeluarkan melalui urin. Ikatan dengan protein melebihi

99 % dan bersihan obat ini menurun dibandingkan opioid.

Bersihan menurun sebanding dengan bertambahnya usia

pasien, dan dosis lebih kecil pada pasien yang lebih muda

(Kissin, 2005). Farmakodinamiknya adalah bekerja di jalur

siklooksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang

kemudian menghambat sintesis dari prostaglandin dan

menghasilkan efek analgesia 200-800 kali lebih poten

dibandingkan dengan aspirin, indometasin, naproksen dan

fenil butazon. Efek anti inflamasi yang kurang

dibandingkan dengan efek analgesinya. Efek

antiinflamasinya hampir sama dengan indometasin.

Ketorolac menghambat asam arakhidonat dan kolagen

Page 22: PRESUS Print Fix

mencetuskan agregasi platelet. Tidak ada interaksi

dengan heparin dan menimbulkan efek pada waktu

trombin dan waktu protrombin (Gupta, 1994). Efek

samping yang dapat terjadi antara lain masa perdarahan

dapat meningkat pada pemberian ketorolac intravena dosis

tunggal pada pasien yang mendapat anestesi spinal (blok

setinggi Th 6) tetapi tidak pada pasien yang di anestesi

umum. Perbedaan respon ini disebabkan reflek status

hiperkoagulasi yang dihasilkan respon neuroendokrin

karena stres pembedahan selama anestesi umum

dibandingkan anestesi spinal (Gupta, 1994).

Bronkospasme yang mengancam nyawa dapat terjadi

setelah pemberian ketorolac pada pasien nasal poliposis,

asma, dan sensitif dengan aspirin. Toleransi silang antara

aspirin dengan obat AINS lain sering terjadi. Ketorolac

sedikit menyebabkan keracunan pada ginjal dengan

keseimbangan cairan yang adekuat dipertahankan dan

fungsi ginjal tidak tergantung pada prostaglandin ginjal.

Pasien dengan gagal jantung kongestif, hipovolemia, atau

sirosis hepatis melepaskan substansi vasoaktif, dimana

prostaglandin merupakan kunci dari pencegahan

konstruksi arteri di ginjal, yang bisa menurunkan aliran

darah ke ginjal. Peningkatan enzim transaminase hati bisa

terjadi pada pasien yang diterapi dengan ketorolac. Iritasi

gastrointestinal dan perforasi, mual, sedasi, dan edema

perifer dapat menyertai pemberian obat AINS. Pemberian

berulang melalui intramuscular dapat menimbulkan

somnolen sekitar 7 %, nyeri pada tempat suntikan sekitar

2 %, berkeringat sekitar 1 %, sakit kepala, dan pruritus

(Uddin, dkk, 2007; Basuki, 2002; Shoelting, 1991; Gupta,

1994).

Page 23: PRESUS Print Fix

Pemberian phenytoin yang merupakan suatu preparat anti epilepsi

yang berguna untuk pengobatan epilepsi. Bekerjanya terutama pada

korteks motoris dimana aktivitas bangkitan dihambat penyebarannya,

kemungkinan dengan mempercepat pengeluaran Natrium dari neuron-

neuron. Phenytoin cenderung menstabilkan ambang kejang terhadap

kepekaan yang berlebihan yang disebabkan oleh rangsangan beriebihan

atau perubahan-perubahan iingkungan yang dapat mengurangi derajat

membran terhadap natrium termasuk pengurangan potensiasi pasca

tetanik pada sinap. Pengurangan potensiasi pasca tetanik mencegah fokus

bangkitan pada korteks untuk menjalar ke daerah korteks disekitarnya.

Phenytoin mengurangi aktivitas maksimum dari pusat batang otak yang

menyebabkan fase tonik dari bangkitan grand mal. Manifestasi yang

paling umum yang menyertai terapi dengan Phenytoin sangat

berhubungan dengan sistem saraf pusat. Hal ini termasuk nistagmus,

ataksia, bicara tidak jelas dan konfusi mental. Juga telah diamati adanya

nyeri kepala dan tidak bisa tidur. Efek samping lain yang ditemukan pada

terapi jangka panjang, antara lain: sistem pencemaan (mual, muntah,

konstipasi, keracunan, hepatitis, dan kerusakan hati), system

integumentari (bintik merah seperti campak, dermatitis, lupus

eritematosus, sindroma Steven Johnson), sistem hematopoietic

(thrombositopenia, leukopenia, granulositopenia, agranulositosis,

pansitopenia dengan atau tanpa supresi sumsum tulang) dan dapat

menyebabkan gingival hiperplasia, penyakit Hodgkins, periartritis

nodusa, sindroma hipersensitivitas. Interaksi obat yang dapat terjadi

adalah peningkatan konsentrasi plasma oleh beberapa antibiotika ,obat

antikonvulsi lain, Cimetidine, antikoagulan Coumarin, Disulfiram,

Isoniazid, beberapa Phenothiazines, Phenylbutazone, Sulvinphyrazone

dan konsentrasi plasma dapat menurun jika phenytoin berinteraksi

dengan Carbamazepine

2. DURANTE OPERASI

Page 24: PRESUS Print Fix

Pada pasien ini dilakukan teknik General Anestesi (GA) dengan

ET- semiclosed, yaitu pemberian obat anestesi melalui intravena dan

dilakukan intubasi dengan endotracheal tube kemudian disambungkan

dengan ventilator oksigen. Anestesi general di rekomendasikan untuk

memfasilitasi kontrol fungsi respirasi dan sirkulasi. Teknik ini dilakukan

pada operasi-operasi besar, pembiusan secara total dan memerlukan

waktu lama, sehingga diperlukan pembebasan jalan nafas dengan ET dan

bantuan oksigen yang adekuat. Tujuan utama dari manajemen anestesi

yaitu :

a. Mengoptimalkan perfusi dan oksigenasi serebral

b. Menghindari kerusakan sekunder

c. Membuat kondisi bedah yang baik untuk operator neurosurgery

Premedikasi yang digunakan adalah ondansentron dengan dosis

4mg/ml i.v sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah yang

disebabkan komplikasi dari obat anestesi. Ondansentron termasuk obat

antagonis serotonin 5- hydroxytriptamine (5HT3), yang bekerja dengan

menghambat secara selektif serotonin 5-HT3 berikatan dengan

reseptornya yang ada di chemoreceptor trigger zone (CTZ) dan di saluran

cerna. 5-HT3 merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat toksin

dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang

saraf vagus menyampaikan rangsangan CTZ dan pusat muntah,

kemudian terjadi mual dna muntah (Katzung, 2002). Selain itu juga

diberikan fentanyl yang merupakan golongan narkotik dan atropin.

Pasien berada dalam posisi supine kemudian dilakukan

pemberian obat anestesi secara intravena, induksi dengan menggunakan

propofol sebanyak 100 mg. Propofol berupa campuran 1% obat dan

emulsi 10% soya bean oil, 1-2% phospatide telur, 2,25% glycerol.

Induksinya dan recoverynya bersifat cepat. Efek terhadap sistem saraf

pusat antara lain kejang, gerakan involunter, konfusi pasca operasi,

terhadap pernapasan berupa sedikit depresi pernapasan sampai dengan

apneu selama 30 menit, terhadap sistem kardiovaskular dapat

menyebabkan vasodilatasi perifer dengan menurunkan tekanan arteri

Page 25: PRESUS Print Fix

sistemik sampai dengan 80% dan dapat normal kembali dengan intubasi

trakea. Obat ini menurunkan TIK dan metabolisme otak. Dosis propofol

2-5mg/kgBB untuk induksi pre medikasi. Komplikasi yang dapat timbul

adalah mual dan muntah. Pemberian succ Lalu maintenance dengan O2

dan isofluran,sedangkan untuk relaksasi digunakan recuronium bromide

sebanyak 2,5 mg. Setelah refleks pasien menghilang, mulai dialkukan

intubasi dengan ET dan menggunakan abntuan ventilator oksigen.

Tekanan darah dipantau setiap 15 menit sekali untuk

mengetahui penurunan tekanan darah yang bermakna. Penurunan tekanan

sistole pada pasien hanya 20 mmHg (belum mencapai 20% dari tekanan

darah awal) sehingga tidak perlu diberi tindakan untuk menaikkan

tekanan darahnya. Selain itu, nadi dan SpO2 juga dipantau dengan

bantuan pulse oxymetri untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan atau

penurunan nadi maupun ada tidaknya gangguan perfusi O2 pasien.

Ketorolac 30mg diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka

pendek terhadap nyeri akut sedang samapi berat setelah prosedur

pembedahan. Ketorolac merupakan analgesik non narkotik yang

mempunyai masa kerja yang panjang. Obat ini merupakan anti inflamasi

non steroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik yang lemah (Katzung,

2002).

Pada pasien ini digunakan cairan infus ringer laktat (RL), Nacl

untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang selama durante

operatif. HES juga diberikan untuk mempertahankan circulating blood

volume.

Terapi cairan durante operatif

Usia : 14 tahun

Berat badan : 52 kg

Pasien puasa : - (CITO)

Terapi Cairan

Maintanance = 2cc x BB (kg)

= 2 x 52

= 104 cc

Page 26: PRESUS Print Fix

Pengganti Puasa

(PP)

= -

Stress Operasi = 8cc/kgBB (Sedang)

= 6cc x 52

= 316 cc

Jam I = ½ PP + M + SO

= 104 + 416

= 520 cc

Jam II = ¼ PP + M + SO

= 520 cc

Jam III = ¼ PP + M + SO

= 520 cc

Jam IV = M + SO

= 104 + 416

= 520 cc

Estimated Blood Volume = 70xBB

= 70x52 kg

= 3640 cc

Allowed Blood Volume = 20%xEBV

= 20%x3640

= 728 cc

3. POST OPERATIF

Setelah operasi selesai, pasien dibawa ke ruang pengawasan kamar

7 bangsal cempaka dengan bantuan masker oksigen. Pasien di observasi

1x24 jam karena efek obat anestesi masih ada, pemantauan secara ketat

meliputi vital sign, input cairan, urine output, produksi darah pada bekas

luka post operatif. Masker oksigen tetap terpasang, setelah keadaan

umum pasien stabil dan kesadaran pasien membaik (composmentis),

maka pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan biasa.

Page 27: PRESUS Print Fix

DAFTAR PUSTAKA

Listiono, D.1998.Ilmu Bedah Saraf.Edisi 3. Gramedia Pustaka: Jakarta

Iskandar, J. 2004. Cedera Kepala. Bhuana Ilmu Popular.:Jakarta

Boulton & Blogg. 1994. Anestesiologi. EGC: Jakarta.

Katzung, G Bertram. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba

Medika: Jakarta.

7. Uddin MB, Hossain M, Alam MM, Hossain S. Ketorolac and pethidine in post-operative pain relief. Bangladesh J Pharmacology, 2007;2: p.35-42

8. Basuki G. Peran Ketorolak pada pengelolaan nyeri paska bedah. In: Buku kumpulan makalah KONAS Indonesian Pain Society.Makassar; 2002.p 66-8

9. Forrest JB, Camu F, Greer IA, Kehlet H, Abdalla M, Bonnet F, et.al. Ketorolac, diclofenac, and ketoprofen are equally safe for pain relief after major surgery. British Journal of Anaesthesia, 2002; 88(2): p.227-33.

12. Stoelting RK. Cyclooxygenase-2 inhibitors and nonspecific nonsteroidal antiinflamatory drugs. In : Stoelting RK, editor. Pharmacology and Phisiology in Anaesthetic Practice. Philadelphia : Lippincott; 1991. p. 276-88.

34. Kissin I. Pain Medicine Preemptive Analgesia at the crossroad. Anesth Analg 2005;100: p.754-6.

Page 28: PRESUS Print Fix

35. Wilmana PF. Analgetik-antipiretik analgetik anti-inflamasi non steroid dan obat pirai. In: Gan S, editors. Farmakologi dan terapi bagian farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru; 1987. p. 183-86

36. Gupta P. Ketorolac. Drug therapy. Indian Pediatrics.1994; 31:p 575-8

37. Hoy MS, Keating GM. Fentanyl transdermal matrix patch (Durotep® MT patch; Durogesic® Dtrans; Durogesic® SMAT). Drugs. 2008;68 (12): p.1711-21

Syarif A ,EstuningtyasA ,Setiawati A , Muchtar A ,Arif A ,Bahry B, e t

a l . Farmakologi dan terapi. 5th ed. Jakarta:BalaiP enerbit FKUI;2009. p.179-85.y

Siraslewala S,MalikS,

J o s h i S,KulkarniR ,ThatteU.Bombay Hospital Journal2008; 50:572-76.y

BetteridgeT, Fink J.TheNew ZealandMedical Journal2009september;122:102-04.y

SatyanarayanR B,SinghalS,KamatV ,Y eraganiV ,Kulkarni C.Phenytoin-

InducedToxicity DueTo DRuginteractions. Journal of Clinical

andDiagnosticR esearch2007June;3: 205-08.y

StevenL,Khann,Phenytoin interacsion. J ClinInvest1989January;84:67.y

Th e o d o r e J , Ha h n , C h e r y l R ,Scharp, CatherineA ,R i c h a r d s o n e t

a l . Interaction of Diphenylhydantion (Phenytoin)

andPhenobarbitalW ithHormonalMediation of

FetalR atBoneR esorptionInV itro. J ClinInvest2001;123:401-14