39
KEPANITERAAN KLINIK STATUS ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF ILMU PENYAKIT BEDAH RUMAH SAKIT IMANUEL BANDAR LAMPUNG Nama Mahasiswa : Yusta Wetri Handayani Tanda Tangan : NIM : 11.2012.187 Dokter Pembimbing : dr. Budi Suanto Sp.B IDENTITAS PASIEN Nama : Ny. M Jenis kelamin : perempuan kebangsaan : Indonesia Umur : 42 tahun Status perkawinan : Menikah Agama : Hindu Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : tamat SMU Alamat : dusun jaya guna jembrana Tanggal masuk RS. Imanuel: way karya lampung timur 18 september 2014 jam 13.00 1

Presus Tiroiditis Punya Yusta

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bedah

Citation preview

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

SMF ILMU PENYAKIT BEDAH

RUMAH SAKIT IMANUEL BANDAR LAMPUNG

Nama Mahasiswa : Yusta Wetri Handayani Tanda Tangan :

NIM : 11.2012.187

Dokter Pembimbing : dr. Budi Suanto Sp.B

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. M Jenis kelamin : perempuan

kebangsaan : Indonesia Umur : 42 tahun

Status perkawinan : Menikah Agama : Hindu

Pekerjaan : Ibu rumah tangga Pendidikan : tamat SMU

Alamat : dusun jaya guna jembrana Tanggal masuk RS. Imanuel:

way karya lampung timur 18 september 2014 jam 13.00

I. Anamnesis

Diambil dari autoanamnesis Tanggal: 18 september 2014

1. Keluhan Utama: benjolan pada leher terasa sakit.

2. Riwayat Penyakit Sekarang:

OS datang dengan keluhan benjolan di leher sejak kurang lebih1,5 tahun yang lalu.

Benjolan tidak terasa sakit. 2 minggu kemudian Os merasa sakit pada benjolan dan

badan terasa panas dingin. Nyeri pada benjolan dirasakan hilang timbul. Os sempat

1

berobat ke RSIM dan dilakukan pemeriksaan kadar FT4, TSHs, dan T3 (total).

Didapati kadar TSHs rendah. Hasil pemeriksaan USG didapati tiroiditis bilateral.

Semakin lama benjolan dirasakan semakin membesar dan nyeri. Os merasa leher

sebelah kiri menjadi bengkak. Dilakukan pemeriksaan ulang USG leher dengan

hasil tiroiditis bilateral suspect tiroiditis hashimoto.

Satu bulan setelah pemeriksaan Os datang lagi ke RSIM untuk melakukan

pemeriksaan biopsi. Dengan hasil biopsi didapati tiroiditis hashimoto.

Tiga bulan setelah biopsi Os datang dengan siap untuk dilakukan tindakan

pengangkatan kelenjar tiroid.

3. Riwayat Penyakit Keluarga: tidak ada

4. Riwayat Masa Lampau

a. Penyakit Terdahulu: tidak ada.

b. Trauma Terdahulu: tidak ada

c. Operasi: tidak pernah dilakukan operasi sebelumnya

d. Sistem Saraf: tidak ada keluhan

e. Sistem Kardiovaskular: tidak ada keluhan

f. Sistem urinalis: tidak ada keluhan

g. Sistem gastrointestinal: tidak ada keluhan

h. Sistem genitalis: tidak ada keluhan

i. Sistem muskuloskeletal: tidak ada keluhan

II. Status Prasens

1. Status Umum

Keadaan Umum: Tampak Sakit Sedang

Kesadaran: Compos Mentis

Tekanan Darah: 110/70 mmHg

Nadi: 76x/menit

Pernapasan: 16 x/menit

Suhu: 36,50C

2

Kulit: warna sawo matang, tidak ada jaringan parut, turgor baik.

Kepala: normocephali

Muka: simetris

Mata: CA -/-, SI -/-

Hidung: tidak tampak septum deviasi, tidak adanya teraba krepitasi

Mulut/gigi: bibir tidak tampak sianosis, tonsil tidak tampak kelainan

Leher: kelenjar tiroid teraba membesar. teraba massa soliter ukuran 6,5 x 5 cm cm

pada regio colli sinistra dan 4,5 x 3 cm pada region colli dextra, konsistensi padat,

permukaan rata, mobilitas (+), nyeri tekan (+).

Dada: bentuk dada normal, pergerakan dada kanan dan kiri saat inspirasi dan

ekspirasi simetris, tidak tampak pelebaran sela iga.

Jantung: Bunyi jantung I-II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru: Suara Napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Perut: supel, datar, bising usus (+), nyeri tekan (-)

Hati: tidak teraba membesar

Limpa: tidak teraba membesar

Ginjal: CVA -/-, Ballotement -/-

Kemaluan: Tidak dilakukan pemeriksaan

Rektum/Anus: Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas: akral hangat, edema -

Refleks:

Kanan Kiri

Refleks Tendon Positif Positif

Bisep Positif Positif

Trisep Positif Positif

Patela Positif Positif

Achiles Positif Positif

3

Refleks patologis Negatif Negatif

2. Status Lokalis

Pada Regio Colli

Inspeksi: terlihat massa di leher kiri depan, warna sama dengan warna kulit sekitar,

rubor (-)

Palpasi : teraba massa soliter ukuran 6,5 x 5 cm cm pada regio colli sinistra dan 4,5

x 3 cm pada region colli dextra, konsistensi padat, permukaan rata, mobilitas (+),

nyeri tekan (+).

Auskultasi: bruit (-)

III. Pemerikasaan Penunjang

1. Endokrinologi (Periksa tanggal 30 april 2013)

Fungsi Tiroid Hasil Nilai Rujukan

FT4 1,25 ng/dl 0,7-1,55

TSHs 0,13 uIU/ml 0,27-4,7

T3 (Total) 1,24 ng/ml 0,6-6,52

Endokrinologi (Periksa tanggal 15 september 2014)

Fungsi Tiroid Hasil Nilai Rujukan

FT4 1,05 ng/dl 0,7-1,55

TSHs 0,24 uIU/ml 0,27-4,7

2. Hematologi (Periksa Tanggal 14 juni 2014)

CBC Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 15,4 g/dl M: 12-17; F: 11-15

Hematokrit 44,1% 37-54

4

Eritrosit 5,01 juta/ul 3,5-5,5

Trombosit 295 ribu/ul 150-300 ribu

Leukosit 6400 /ul 5.000-10.000

Segment 48% 50-70

Limposit 42% 25-40

Monosit 7% 2-8

Eosin 3% 2-4

MCHC 34,9 g/dl 31-36

MCH 30,7 pg 27-32

MCV 88.0 fl 77-94

MPV 9,6 fl 6-12

Gambaran Eritrosit Normal

Gambaran trombosit Cukup

Hematologi (Periksa Tanggal 18 september 2014)

CBC Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 15,0 g/dl M: 12-17; F: 11-15

Hematokrit 47% 37-54

Eritrosit 4,84 juta/ul 3,5-5,5

Trombosit 228.000/ul 150-300 ribu

Leukosit 4870 /ul 5.000-10.000

Segment 45% 50-70

Limposit 44% 25-40

Monosit 7% 2-8

Eosin 4% 2-4

MCHC 32 g/dl 31-36

MCH 31 pg 27-32

MCV 96 fl 77-94

5

MPV 10 fl 6-12

Gambaran Eritrosit Normal

Gambaran trombosit Cukup

Hemostatis

PT 10,3 detik 9,7-13,1

APTT 29,1 detik 25,5-42,1

Imunoserologi

Hepatitis

HbsAg Nonreaktif Nonreaktif

Kimia darah

Diabetes

Glukosa sewaktu 91 mg/dl 70-200

Fungsi Hati

SGOT 16 u/L F: <32, M: <38

SGPT 18 u/L F: 9-43, M: 9-36

Ginjal –Hipertensi

Urea 19,3mg/dl 10-50

BUN 9,01 mg/dl 6-20

Creatinin 0,66 mg/dl F: 1,1; M <1,3

3. USG Leher dan Tiroid (Periksa tanggal 30 april 2013)

Hasil USG:

Kedua tiroid berada pada posisi suprasterna dan tampak membesar

Trakea berada di tengah

Tiroid Kanan:

6

Bentuk dan besar normal dengan ukuran 60 x 40 x 18 mm dengan batas tepi yang

tampak jelas, samat tampakk berlobus-lobus, echostruktur meningkat hyperechoic,

vaskularisasi meningkat. Vena jugulare tampak collaps total saat dilakukan

kompresi.

Tiroid Kiri:

Sedikit membesar dengan ukuran 63 x 36 x 25 mm dengan batas tepi yang tampak

jelas, samar tampak berlobus-lobus, echostruktur meningkat hyperechoic,

vaskularisasi meningkat. Vena jugulare tampak collaps total saat dilakukan

kompresi.

Kesan :

Tiroiditis bilateral

USG Leher dan Tiroid (Periksa tanggal 23 mei 2013)

Hasil USG:

Kedua tiroid berada pada posisi suprasterna dan tampak membesar

Trakea berada di tengah

Tiroid Kanan dan kiri

Berukuran besar, dengan batas tepi yang jelas, tampak berlobus-lobus hypoechoic<

echostruktur meningkat, vaskularisasi meningkat.

Kesan :

Tiroiditis bilateral suspek hashimoto tiroiditis dengan DD/ malignitas (?)

4. Rongent thorax (periksa pada tanggal 14 juni 2014)

Hasil pembacaan pemeriksaan rongent thorax

Cor: tidak tampak membesar

7

Sinuses dan diafragma: normal

Pulmo: tidak tampak gambaran infiltrate / nodul / konsolidasi

Kesan:

Cor dan pulmo tampak dalam batas normal

Rongent thorax (periksa pada tanggal 10 September 2014)

Hasil pembacaan pemeriksaan rongent thorax

Cor: tidak membesar

Sinuses dan diafragma: normal

Pulmo: tampak perselubungan opak di paratracheal kiri yang agak mendesak

trachea ke sisi kanan. Tidak tampak gambaran infiltrate / nodul

Kesan :

Cor dan pulmo dalam batas normal

Gambaran struma sinistra intrathoracal

5. Pemeriksaan sitologi (periksa pada tanggal 16 juni 2014)

Hasil pemeriksaan sitologi:

Asal organ regio colli

Makroskopis: dilakukan puncture colli anterior, diameter 3 cm, mobile, nyeri bila

menelan.

Mikroskopis: sediaan sitologi terdiri dari kelompokan sel-sel bentuk relative

monomorf, dengan latar belakang limfosit dan leukosit pmn.

Kesimpulan: thyroid: tidak di dapat sel ganas

Pendapat: thyroiditis hashimoto

IV. Resume

8

Seorang wanita 42 tahun dengan keluhan utama terdapat benjolan pada leher kiri yang

diketahui sekitar kurang lebih 1,5 tahun yang lalu. Benjolan semakin membesar dan terasa

sakit. Pada pemeriksaan fisik: inspeksi terlihat massa di leher kiri depan, warna sama

dengan warna kulit sekitar; saat dilakukan palpasi teraba massa soliter ukuran 6,5 x 5 cm

cm pada regio colli sinistra dan 4,5 x 3 cm pada region colli dextra, konsistensi padat,

permukaan rata, mobilitas (+), nyeri tekan (+) . Pada pemeriksaan USG tiroid didapatkan

kesan hasil tiroiditis bilateral suspek tiroiditis hashimoto. Pada hasil sitologi didapatkan

kesimpulan tiroiditis hasimoto.

VI. Diagnosis Banding

Struma nodusa non toksik

VII. Pemeriksaan Anjuran

CT scan

VIII. Pembedahan

Subtotal Lobectomy sinistra

IX. Terapi

Inj. Ceftriaxone 3 x 1gr

Inj. Ronex 3x1 amp

Inj. Ulceranin 2x1 amp

Inj. Narfoz 4 mg prn

IX. Prognosis

a. Ad vitam : dubia ad bonam

b. Ad functionam: dubia ad bonam

c. Ad sanationam: dubia ad bonam

9

Tinjauan Pustaka

Anatomi dan Fisiologi

Kelenjar tirod terletak pada leher, bagian anterior daripada trakea, dan terdiri dari 2 lobus

konikal yang dihubungkan oleh suatu jaringan yang disebut isthmus tiroid. Kadang-kadang

ditemukan juga lobus ke 3, terdapat pada isthmus ke atas atau di bagian depan larings yang

disebut lobus piramidalis. Lobus-lobus ini dibagi atas septa-septa jaringan ikat fibrous

menjadi lobulus-lobulus, yang masing-masing terdiri dari 30-40 folikel. Kelenjar tiroid ini

mengandung banyak pembuluh darah dan mempunyai kecepatan arus darah yang tinggi.

Kelenjar tiroid berperanan mempertahankan derajat metabolisme dalam jaringan pada titik

optimal. Hormon tiroid merangsang penggunaan O2 pada kebanyakan sel tubuh, membantu

mengatur metabolisme lemak dan hidrat arang, dan sangat diperlukan untuk pertumbuhan

serta maturasi normal. Apabila tidak terdapat kelenjar tiroid, orang tidak akan tahan dingin,

akan timbul kelambanan mental dan fisik, dan pada anak-anak terjadi retardasi mental dan

dwarfisme. Sebaliknya, sekresi tiroid yang berlebihan meninbulkan penyusutan tubuh,

gugup, takikardi, tremor, dan terjadi produksi panas yang berlebihan.

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama yaitu tiroksin (T4) yang kemudian

berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triyodotironin (T3). Iodium nonorganik yang diserap

dari saluran cerna merupakan bahan baku hormon tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya

menjadi 30-40 kali sehingga mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan

tiroid. T3 dan T4 yang dihasilkan ini kemudian akan disimpan dalam bentuk koloid di

dalam tiroid. Sebagian besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya

tetap di dalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormon tiroid

akan terikat oleh protein yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid binding globulin, TBG) atau

prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding prealbumine, TBPA). Hormon stimulator

tiroid (thyroid stimulating hormone, TSH) memegang peranan terpenting untuk mengatur

10

sekresi dari kelenjar tiroid. TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses

yang dikenal sebagai negative feedback sangat penting dalam proses pengeluaran hormon

tiroid ke sirkulasi. Dengan demikian, sekresi tiroid dapat mengadakan penyesuaian

terhadap perubahan-perubahan di dalam maupun di luar tubuh. Juga dijumpai adanya sel

parafolikuler yang menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolisme

kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.

Definisi

Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses autoimun dan

berdasarkan waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik. Jika jaringan tiroid yang mengalami

tiroiditis diperiksa dibawah mikroskop maka akan tampak gambaran peradangan berupa

infiltrasi sel-sel limfosit.

Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara 30 – 50 tahun dan

dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras, membesar difus, tak nyeri. Pasien

biasanya eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid terjadi jika hormon

tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Kelenjar tiroid juga bisa

membesar membentuk goiter.

Etiologi

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan faktor

penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan faktor pemicu

lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen tiroid.

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui, berdasarkan data

epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan dalam patogenesis PTAI.

Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid

melalui mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan

11

seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi

antitiroid berikatan dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi

inflamasi. Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid

yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang bertindak

sebagai autoantigen.

Patofisiologi

Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat dari faktor genetik

dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen dan autoantibodi tiroid,

ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada

proses penyakit ini.

a. Faktor genetik

Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon imun

seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta antibodi, dan gen

yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid

peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen

kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T

Lymphocyte Antigen-4), CD40, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin,

dan TSHR.

Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul kostimulator yang

terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting Cells (APC). APC akan

mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA

kelas II pada permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein

yang diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan

reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu

presentasi antigen.

12

CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang dapat

meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain. CTLA-4

berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis Hashimoto, penyakit

Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti

diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan myasthenia gravis.

Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu jelas. Hal ini

menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto yang sering kontroversial.

Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi mulai dari hanya ditemukan antibodi

antitiroid dengan infiltrasi limfositik fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic

autoimmune thyroiditis), sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis

atrofik dengan kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara

tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus. Pada non-

Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan HLA-DRw53 pada

bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina.

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai penyebab

penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah, kelebihan dan

kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak

waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan

kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri.

Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α, amiodarone dan

Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas tiroid. Pada Tabel disajikan

beberapa faktor yang terlibat dalam etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan

fenotipenya.

Tabel 1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis autoimun

13

Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe

Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak

sempurna

Antibodi TPO

Ekses iodium Tidak terjadi escape effect

Wolff-Chaikoff; Jod-

Basedow

HT

GD

Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT

Jarak proses

reproduktif yang

panjang

Efek estradiol HT

Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO

Mikrokhimerisme fetal Sel laki-laki di sel tiroid

menimbulkan efek antitiroid

HT dan GD

Stress Upregulasi sumbu HPA GD

Alergi Tidak diketahui; kadar IgE

tinggi

GD

Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO

Infeksi Yersinia

enterocolitica

Mimikri molekuler GD

Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis

GD : Graves’ disease

GO : Graves’ ophthalmopathy

Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa penyakit tertentu

seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan selama kehamilan dapat

menyebabkan intoleransi glukosa pada kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus

dan limpa mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor intrauterin

14

tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang merupakan faktor risiko lingkungan

pertama yang terpapar pada janin untuk terjadinya PTAI di kemudian hari.

Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid. Hipotiroid

lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan dengan daerah kurang

iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di daerah kurang iodium. Hipertiroidi

Graves lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai

petanda ancaman kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium.

Asupan iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang

mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium dapat

menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek Wolf-Chaikoff.

Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional atau bentuk subklinik

penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid

(efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar

tiroid dan presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan

menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula

faktor risiko terjadinya PTAI.

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis selenocysteine,

yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium mempengaruhi sistem imun.

Defisiensi selenium akan menyebabkan individu lebih rentan terhadap infeksi virus

seperti virus Coxsackie, mungkin karena limfosit T memerlukan selenium.

Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan mengurangi

pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting dalam sintesis hormon tiroid,

karena dua enzim yaitu selenoprotein deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan

dalam produksi hormon tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka

keguguran dan kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah

di dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas, suatu petanda

adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan pemberian sodium selenite

200 ug (peneliti lain memberikan 200 ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid

15

subklinik akan menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas

hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid.

Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin. Saat stress

sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi, menimbulkan efek

imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai pengaruh berbeda terhadap sel-sel

Th1 dan Th2, mengarahkan sistem imun menjadi respons Th2, yang akan menekan

imunitas seluler dan memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B),

sedangkan imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa

penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah satu contohnya

adalah penyakit Graves. Belum diketahui apakah penyakit Hashimoto juga terkait

dengan faktor stress.

Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru, juga

mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi poliklonal sel B dan T,

meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga menstimulasi sumbu HPA.

Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi

oftalmopatia setelah pengobatan dengan iodium radioaktif.

c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan perubahan

fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.Kerusakan seluler terjadi saat

limfosit T yang tersensitisasi (sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan

membran sel, menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi

karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di

membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid

peroxidase (TPO), tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu

disebut sebagai ”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan

dalam hormogenesis tiroid.

16

Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells merupakan

penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak menghambat aktivitas

enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut berperan pada inflamasi tiroid,

hanya sebatas sebagai petanda (marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam

terjadinya hipotiroid. Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin

bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi

jaringan yang menyertai hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik.

Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup iodium,

penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan kadar Tg, karena

bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di

daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi

PTAI pada penderita struma nodusa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma

endemik.

Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid, khususnya

terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS

= Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-

Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding

Inhibitor Immunoglobulin; TSBAb = Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan

TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR

dikelompokkan menjadi:

1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon tiroid;

2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam merangsang

sintesis hormon tiroid;

3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang pertumbuhan sel

folikel;

17

4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang

pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).

Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya diskrepansi

antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada penderita dengan kelenjar

tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau sebaliknya.

Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid kedua

(second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor TSH, antibodi

terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap antigen membran otot mata

(disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin).

Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi hipo-tiroidi,

keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity. Contohnya konversi menjadi

hipertiroid Graves pada penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit

Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada

penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan.

d. Mekanisme apoptosis

Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam PTAI –

tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+), CD25(+) T regulatory

cells akan merusak (breaks) toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin

yang akan menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi

proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit

sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan kerusakan thyroid infiltrating

lymphocytes. Perbedaan mekanisme apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk

respons autotimun berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis

Hashimoto dan penyakit Graves.

e. Peran sitokin

18

Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin dapat

bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper terdiri dari sel

Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang

menimbulkan respon imun langsung pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel

Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons

imun humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan

protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun.

Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B

intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulasi MHC

kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid

untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang

selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga

memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan

berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.

Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid, terutama thyroid-

associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di jaringan retrobulbar pada

penderita dengan TAO; sel T tersebut akan diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang

akan memperluas proses inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan

MHC kelas II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di

jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast secara lokal dan

membantu pembentukan sel-sel radang baru, meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga

meningkatkan akumulasi matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek

stimulatorik pada glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase

oleh fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi sitokin

atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat dipertimbangkan untuk

menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar diobati.

19

Gejala Klinis

Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama bertahun-tahun

dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran kelanjar tiriod atau hasil

pemeriksaan darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala yang

berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada leher yang disebabkan

pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam

darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak tidak nyeri pada leher depan

bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran kelenjar tiroid dapat menambah

gejala seperti kesulitan menelan.

Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi, tergantung pada tingkat

keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis awalnya didahului dengan gejala-gejala

hipertiroid (kadar hormon tiroid meningkat) lalu normal (eutoroid) dan akhirnya berubah

menjadi hipotiroid (kadar hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya, mungkin

gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau tanda-tanda menua. Tetapi

semakin lama penyakit berlangsung, gejala dan tanda makin jelas.

Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid biasanya

menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan, sering mengantuk, jadi

pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku yang rapuh, wajah

bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan, peningkatan sensitivitas terhadap

banyak pengobatan, menstruasi yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran pada

wanita yang hamil.

Diagnosis

A. Anamnesis

1. Anamnesis

20

Anamnesis sangatlah penting untuk mengetahui patogenesis / macam kelainan dari

struma nodosa nontoksik tersebut. Perlu ditanyakan:

a. Umur, asal, tempat tinggal: penting sekali apakah penderita tinggal di daerah

pegunungan atau dataran rendah, bertujuan apakah berasal dari daerah

endemik struma.

b. Pembengakakan: mulainya kapan (jangka waktu) dan kecepatan tumbuh

c. Keluhan penekanan: apakah disphagia, dispnea dan suara serak.

d. Keluhan toksik seperti : tremor, banyak keringat, BB turun, nafsu makan,

palpitasi, nervous/gelisah tidak tenang

e. Riwayat keluarganya.

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik didapatkan

1. Puffy face dan edema periorbital

2. Kulit dingin, kasar, dan kering

3. edema perifer pada tangan dan kaki, biasanya tipe nonpitting edema

4. Thickenned dan brittle nails

5. Kehilangan rambut yang difus di daerah kepala, bulu mata, kulit, alat genital dan

wajah

6. Bradikardi karena menurunnya kontraktilitas dan denyut jantung

7. Kenaikan tekanan darah biasanya berupa hipertensi diastolik

8. Suara serak dan bicara lambat

9. Sindroma Carpal Tunnel

10. Kelenjar thyroid biasanya membesar, keras, kenyal, tanpa adanya lembut, atau bruit.

Ukurannya dapat normal bahkan tidak teraba sama sekali.

21

C. Pemeriksaan Penunjang

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pada keadaan timbulnya gejala-gejala subyektif dan temuan dalam pemeriksaan

fisik maka pemeriksaan serum TSH dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa. Pemeriksaan

TSH merupakan suatu tes yang sensitif untuk mengetahui fungsi thyroid. Biasanya

ditemukan kadar TSH meningkat, sedangkan  kadar T4 total atau T4 bebas

rendah.Sedangkan kadar serum total T3 dan T3 bebas tidak akan menurun hingga ada

kerusakan lebih lanjut, karena terjadinya peningkatan konsentrasi serum thyrotropin

menstimulasi thyroid untuk melepaskan T3. Pada saat total T4 lebih banyak ditemukan

daripada T4 bebas, T3 resin uptake dapat membantu untuk mengkoreksi kadar protein

binding antara T4 total dan T3, terutama bila ada kadar abnormalitas dari TBG. Bila kedua

serum TSH dan T4 kadarnya rendah hal ini memperkuat adanya keadaan hipothyroidisme,

begitu pula bila kadar T3 lebih rendah dibawah kadar normal maka gejala-gejala dan tanda-

tanda hypothyroidisme akan muncul. Ditemukannya autoantibodi thyroid yaitu anti –TPO

dan antibodi anti-Tg memperkuat adanya penyakit thyroiditis Hashimoto.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI DAN USG

Pemeriksaan USG biasanya tidak diperlukan dalam menegakkan diagnosa

thyroiditis Hashimoto, tetapi berguna untuk memperkirakan ukuran thyroid dan ekstensi

retrosternal dan untuk mengevaluasi bentuk dari nodul jika ada. Alat USG digunakan untuk

menentukan nodul itu kistik atau solid dan mungkin bermanfaat untuk pemeriksaan Fine-

needle aspiration dari nodul berukuran kecil pada saat ada indikasi dan penderita dalam

keadaan bentuk anatomi leher yang berubah. Diagnosa pasti untuk menentukan jinak dan

ganasnya lesi daripada thyroid hanya dapat dikonfirmasikan dengan pemeriksaan sitologi

atau histologi dari jaringan thyroid.

22

Iodium uptake dan scan biasanya tidak diindikasikan untuk mengkonfirmasi diagnosa

thyroiditis Hashimoto ( biasanya uptake iodium mungkin meningkat sementara pada pasien

thyroiditis Hashimoto dengan intake iodium dari makanannya rendah karena efek dari

peningkatan kadar TSH). Pemeriksaan T4 dan T3 berguna untuk membedakan antara

thyroiditis hashimoto dan penyakit Grave jika ada hipertiroidisme sekunder. Pada pasien

dengan nodul yang jelas uptake iodium dan scan mungkin berguna untuk mengklasifikasi

nodul tersebut nodul panas atau dingin, tetapi kadar TSH biasanya adekuat untuk

mengetahui status fungsional dari thyroid. 

Penatalaksanaan

Pengobatan pilihan untuk tiroiditis Hashimoto (atau hipotiroidisme dari sebab apapun)

adalah penggantian hormon tiroid. Obat pilihan diberikan secara oral levothyroxine sodium,

biasanya untuk hidup.

Menyesuaikan dan titrasi dosis levothyroxine sodium untuk memenuhi kebutuhan pasien

individu. Tujuan terapi adalah untuk mengembalikan keadaan klinis dan biokimia eutiroid.

Dosis standar 1,6-1,8 mcg / kg berat badan per hari, tetapi dosisnya pasien tergantung. T4

dan TSH tingkat bebas berada dalam rentang referensi dibagian biokimia eutiroid, dengan

tingkat TSH di bagian bawah kisaran referensi.

Mulai pasien yang lebih tua dari usia 50 tahun dan pasien yang lebih muda dengan penyakit

jantung pada dosis rendah 25 mcg (0,025 mg) per hari, dengan reevaluasi klinis dan

biokimia dalam 6-8 minggu. Hati-hati titrasi dosis ke atas untuk mencapai keadaan eutiroid

klinis dan biokimia. Jarang, hal itu mungkin tidak mungkin untuk mencapai keadaan

eutiroid pada pasien dengan penyakit jantung dysrhythmic dasar tanpa memperburuk status

jantung nya. Dalam kasus tersebut, dokter yang cerdik adalah konten untuk mencapai

keadaan klinis eutiroid dan menerima tingkat TSH sedikit lebih tinggi.

23

Terapi pembedahan

Teknik Pembedahan

Tiroidektomi sebagai pembedahan terapeutik pada tumor tiroid berupa:

Lumpektomi: pengangkatan nodul atau jaringan tiroid minimal di sekitarnya

Tiroidektomi parsial: pengangkatan nodul dengan jaringan tiroid di sekitarnya yang

lebih luas

Subtotal tiroidektomi: pengangkatan lebih dari setengah kelenjar tiroid pada tiap

sisi beserta istmus. Indikasinya adalah Grave’s disease, struma multinodosa toksik

dan nontoksik bilateral, tiroiditis Hashimoto.

Lobektomi atau hemitiroidektomi: pengangkatan satu lobus tiroid dan isthmus.

Indikasinya adalah nodul soliter atau multinodul unilateral.

Tiroidektomi total: pengangkatan kedua lobus tiroid beserta isthmus. Indikasinya

adalah karsinoma papiler dan meduler, beberapa kasus moltinodul yang luas,

tirotoksikosis berat dengan struma yang kecil.

Eksisi isthmus: karsinoma anaplastik atau limfoma untuk membebaskan jalan

nafas.

Komplikasi

Komplikasi utama dari tiroditis Hashimoto adalah hipotiroidisme yang progresif.

Kebanyakan pasien tiroiditis Hashimoto awalnya memiliki struma yang kecil dan

hipotiroidisme subklinis, yang ditandai dengan kadar fT4 dan T3 serum yang normal,

namun peningkatan ringan pada kadar TSH (biasanya < 10 mU/L). kondisi tersebut sangat

kontras dengan hipotiroidisme jelas, yang mana kadar fT4 berada dalam kadar subnormal.

Adapakah hipotiroidism esubklinis merupakan masalah utama yang membutuhkan terapi

masih merupakan suatu perdebatan. Beberapa pasien mungkin akan mengalami gejala

ringan dari hipotiroidisme, seiring dengan peningkatan kadar lipid dan factor resiko lainnya

24

dari penyakit kardiovaskuler aterosklerotik. Terdapat kemungkinan progresi ke arah

hipotiroidisme nyata setiap waktunya, terutama jika kadar antibody antitiroid tinggi. Pada

sisi lain, kebanyakan pasien asimtomatik, terutama jika kadar TSH masih di bawah 10

mU/L, dan hubungannya dengan aterosklerosis juga masih kontroversional.

Salah satu tipe tiroidits Hashimoto dikenal sebagai tiroiditis silent atau painless.

Keadaan ini memiliki predileksi untuk terjadi setelah partus, yang terjadi pada sekitar 5%

kasus, yang kemudian disebut sebagai tiroiditis Postpartum. Kebanyakan pasien memiliki

tanda dan gejala dari hipertiroidisme ringan, yang mungkin sulit dibedakan dengan

penyakit Grave. Tidak terdapat temuan klinis pada mata, dan tidak seperti tiroiditis subakut

lainnya, pada kelainan ini kelenjar tiroid tidak dapat dipalpasi. Kadar T4 serum meningkat

lenih tinggi daripada T3 serum, yang merupakan tipikal hampir seluruh tiroiditis, yang

dikarenakan adanya kebocoran simpanan hormone ke aliran darah. Didapatkan laju endap

darah normal, yang membedakannya dengan tiroiditis subakut; serta kadar titer antibody

TPO yang meningkat. Lebih penting lagi, kadar RAIU 24 jam rendah, yang kemudian

membedakannya dengan penyakit Grave. Tiroiditis silent berkembang dengan 3 bentuk

utama, sesuai dengan yang terlihat pada tiroiditis subakut, dengan fase hipertiroid yang

bertahan selama 1 – 3 bulan, yang diikuti oleh fase hipotiroid selama beberapa bulan. Pada

tiroiditis Postpartum, fase hipertiroid biasanya diawali sekitar 3 – 4 bulan sebelum

melahirkan. Meskipun biasanya terjadi perbaikan, sekitar 25% pasien mengalami

hipotiroidisme ringan atau subklinis yang menetap, yang dapat pula berkembang menjadi

hipotiroidism eyang nyata. Dibutuhkan follow up jangka panjang, karena hipotiroidisme

yang menetap dapat berkembang dengan cepat pada pasien setalah beberapa tahun. Dapat

pula terjadi rekurensi episode tiroiditis silent, dan tiroiditis Postpartum sering terjadi

kembali mengikuti kehamilan selanjutnya.

Pasien tiroiditis Hashimoto jarang berlanjut menjadi limfoma kelenjar tiroid.

Meskipun etiologi dari limfoma kelenjar tiroid tidak diketahui, tiroiditis Hashimoto

merupakan factor resiko definitive. Sangat mungkin bahwa limfoma tiroid berasal dari

ekspansi klon abnormal dari limfosit intratiroidal yang immortal. Limfoma tiroid

25

dikarakteristikkan sebagai pertumbuhan yang cepat pada kelenjar meskipun terapi T4

dilanjutkan, dan diagnosisnya harus ditegakkan melalui biopsy bedah.

Tidak terdapat bukti bahwa adenokarsinoma tiroid banyak terjadi pada pasien

dengan tiroiditis Hashimoto. Namun tiroiditis kronis dan karsinoma dapat terjadi secara

bersamaan pada kelenjar tiroid. Keganasan harus dicurigai ketika ditemukan nodul soliter

atau pertumbuhan massa tiroid atau kegagalan penggunaan dosis T4 yang biasanya dapat

menekan kadar TSH serum. FNAB merupakan alat diagnostik yang penting dalam kondisi

ini.

Prognosis

Dengan diagnosis dini, prognosis penyakit tiroiditis hashimoto dapat baik.

Kesimpulan

Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ spesifik, dengan

penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang mempunyai predisposisi genetik

dengan pemicu faktor lingkungan. Pada tiroiditis Hashimoto antibody anti-TPO merupakan

petanda utama. Manifestasi klinis awalnya mungkin saja hipertiroid akibat proses inflamasi

hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas pada kelenjar tiroid menyebabkan hipotiroid

yang menetap.

Daftar Pustaka

1. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta : FKUI

2. Sabiston, David C. Jr, MD. Buku Ajar Bedah Sabiston, Alih Bahasa Petrus

Andrianto, Timan IS, Editor Jonatan Oswari, Penerbit EGC, Jakarta 1995.

3. Sjamsuhidajat R, Jong DW. Sistem Endokrin. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi revisi.

EGC 2010.

26

4. Lee SL. Hashimoto’s thyroiditis. Diunduh dari www.medscape.com . 3 juni 2014

5. Zaletel K, gaberscek S. hashimoto’s thyroiditis: from genes to the disease. Diunduh

dari www. Ncbi.com. desember 2011

6. Dimitry A. immunogenetics hashimoto’s thyroiditis. Diunduh dari www.ncbi .com.

maret 2011

27