48
i PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN MAROS SKRIPSI OLEH SRI FEBRIANTI T O 111 11 111 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 brought to you by CORE View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk provided by Hasanuddin University Repository

PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

i

PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI

DI KABUPATEN MAROS

SKRIPSI

OLEH

SRI FEBRIANTI T

O 111 11 111

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk

provided by Hasanuddin University Repository

Page 2: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

ii

PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI

DI KABUPATEN MAROS

SRI FEBRIANTI T

O11111111

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

Page 3: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

iii

Page 4: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Sri Febrianti T

NIM : O111 11 111

Menyatakan dengan sebenanya bahwa :

1. Karya skripsi saya adalah asli.

2. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil

dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan

dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

3. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan

seperlunya.

Makassar, 17 November 2015

SRI FEBRIANTI T

Page 5: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

v

ABSTRAK

SRI FEBRIANTI T. O 11111111 Prevalensi Toxocariasis pada Sapi Bali di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Dibimbing oleh Lucia

Muslimin dan Hadi Purnama Wirawan

Toxocariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Toxocara

vitulorum. Toxocara vitulorum memperbanyak diri di dalam saluran pencernaan

dan menyebabkan kerusakan pada jaringan dan selanjutnya dapat mengakibatkan

gangguan pada proses digesti. Dalam penelitian ini data dianalisis dengan

menggunakan metode deskripsi bertujuan untuk mengetahui prevalensi

toxocariasis pada sapi Bali Kabupaten Maros. Sebanyak 84 sampel feses sapi Bali

dipilih secara systematic random sampling (SRS) pada peternak yang ada di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Penelitian dilakukan pada

tanggal 4 Agustus sampai 28 Agustus 2015. Pengambilan sampel feses segar

dilakukan secara langsung di kandang dan di lapangan yaitu menunggu sapi

defekasi. Pemeriksaan fases menggunakan metode uji apung yang dilakuka di

Laboratorium Parasitologi Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros. Prevalensi

dihitung dengan membagi sampel positif dengan jumlah sampel yang diperiksa

dikalikan 100%. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi toxocariasis pada sapi

Bali Kabupaten Maros sebesar 2,38 %.

Kata Kunci: Toxocariasis, Prevalensi, maros

Page 6: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

vi

ABSTRACT

SRI FEBRIANTI T. O 11111111 Prevalence of Toxocariasis on Bali Cattle in

Pucak village, Tompobulu Sub-district, Maros Regency. Suvervised by Lucia

Muslimin and Hadi Purnama Wirawan

Toxocariasis is a disease caused by a Toxocara vitulorum. Toxocara

vitulorum multiplies in the digestive tract and cause further damage to the tissue

and can cause interference of the process digestion. n this study, the data were

analyzed using methods description aims to determine the prevalence of

toxocariasis in Maros regency of Bali cattle. A total of 84 samples of cow feces

Bali selected by systematic random sampling (SRS) on farmers in the village

Pucak, District Tompobulu, Maros. The study was conducted on August 4 to

August 28, 2015. The samples of fresh faeces carried out directly in the cage and

in the field that is waiting cattle defecation. Fases proofing test method dilakuka

floating in the Great Hall of Veterinary Parasitology Laboratory (BBVet) Maros.

The prevalence of positive samples is calculated by dividing the number of

samples tested multiplied by 100%. Results showed the prevalence of toxocariasis

in Maros regency of Bali cattle by 2.38%

Key words: Toxocariasis, prevalence, Maros

Page 7: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

vii

KATA PENGANTAR

AssalamuAlaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Puji syukur dipanjatkan atas kehadirat Allah S.W.T karena atas berkat

rahmat dan kehendak-Nya dalam memberikan hidayah dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi Toxocariasis

Pada Sapi Bali Di Kabupaten Maros”.Skripsi ini disusun untuk memenuhi

sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan/S.KH

dalam program pendidikan strata satu Program Studi Kedokteran Hewan Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terlaksana dengan baik

tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis merasa

sangat bersyukur mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua, Mama Liana, S.Pd dan Bapak Drs. Tahan, S.Pd, M.Pd

yang selalu melimpahkan kasih sayang tak terhingga, suntikan semangat

setiap saat, dukungan tak kenal lelah dan pengorbanan tanpa bisa terbalas

dengan apapun dan sampai kapanpun. Kepada kakakku Fatmawati, S.Pd

dan adikku Jumnengsih yang selalu menjadi penyemangat. Semoga karya

kecil ini dapat menghadirkan senyum terindah di wajah kalian.

2. Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku Ketua Program Studi

Kedokteran Hewan Universitas Hasanuddin yang juga menjadi Penasehat

Akademik dan Pembimbing I penulis.

3. Drh. Hadi Purnama wirawan selaku dosen pembimbing skripsi atas segala

bimbingan, arahan serta dukungan yang telah diberikan sehingga penulisan

skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Drh. Sandra Diah Widyana M.Sc, Drh. Sri Utami dan Drh. Adriani Ris,

M.Si selaku dosen penguji dan pembahas atas motivasi, saran dan kritikan

kepada penulis.

5. Seluruh Dosen Pengajar dan staf pengelola pendidikan Program Studi

Kedokteran Hewan yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama

proses pendidikan.

Page 8: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

viii

6. Seluruh Staf Laboratorium Parasitologi BBVET Maros.

7. Masyarakat Desa Pucak khususnya Dg. Ngeppe sekeluarga dan para

peternak yang telah membantu pengumpulan data penelitian serta informasi-

informasi penting yang dibutuhkan peneliti dan dengan rasa kekeluargaan

menerima dan membantu penulis selama penelitian berlangsung.

8. My best team Musdalifah, Musdalifah Hasyim, dan Suci Amalia. A suka

duka telah dilewati bersama selama pembuatan proposal, pelaksanaan

penelitian hingga penyusunan skripsi

9. Sodara saya Muh. Nuralamzah Litta, ST yang banyak membantu.

10. Sahabat, teman diskusi, berbagi cerita, pemberi nasehat dan semangat,

Wahyuni, Rezky dan Masita.

11. Teman SMA yang selalu mengingatkan dan penyemangat dalam

penyusunan skripsi ini, Argi, Wiwi, Fadhil, Norma dan Dhanti

12. My GOSSIPHOLIC (Amel, unta ulan, peseg ciko) berbagi cerita dan keluh

kesah mengenai skripsi, atas saran dan dukungan kalian.

13. Teman “CARUTU” (Romy dan Decan) yang selalu memberi semangat,

motifasi, dan bantuan dalam menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Thank

you very much.

14. Teman-teman CLAVATA mulai dari pojok kiri, kanan dan belakang

sampai yang merasa terpojokkan. Semangat melangkah rekan-rekan

CADOHE, tantangan dan masalah Veteriner sedang menanti KITA

15. Semua pihak yang telah membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran

yang sifatnya membangun agar dalam penyusunan karya berikutnya dapat lebih

baik. Akhir kata, semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi setiap jiwa yang

bersedia menerimanya. Amiin ya rabbal alamain.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Penulis

Page 9: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii

PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iv

ABSTRAK ...................................................................................................... v

ABSTRACT .................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi

DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi

1. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

I.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 2

I.3 Tujuan Penelitian................................................................................. 2

I.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 3

I.5 Hipotesis .............................................................................................. 3

I.6 Keaslian Penelitian .............................................................................. 3

I.7 Kerangka Konsep ................................................................................ 4

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Bali ............................................................................................. 5

2.2 Toxocariasis

2.2.1 Etiologi ........................................................................................... 6

2.2.2 Siklus Hidup ................................................................................... 8

2.2.3 Distribusi Penyakit ......................................................................... 9

2.2.4 Patogenesis ..................................................................................... 9

2.2.5 Gejala Klinis................................................................................... 10

2.2.6 Diagnosa ......................................................................................... 10

2.2.7 Cara Penlularan .............................................................................. 11

2.2.8 Pengendalian dan Pencegaha ......................................................... 12

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 13

3.2 Materi Penelitian

3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling ........................................................ 13

3.2.2 Alat ................................................................................................. 14

3.2.3 Bahan ............................................................................................. 14

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Desain Penelitian ............................................................................ 14

3.3.2 Pengambilan Feses ......................................................................... 14

3.3.3 Pengujian Labolatorium ................................................................. 14

3.3.4 Analisis Data .................................................................................. 15

4. HASIL DAN PEMBAHAN …………………………………………….. 16

5. KESIMPUAN DAN SARAN

Page 10: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

x

5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 24

5.2 Saran ................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25

LAMPIRAN .................................................................................................... 29

Page 11: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

xi

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka konsep penelitian…………………………………………......... 4

2. Morfologi telur T. vitulorum….………….……………………………….. 7

3. Morfologi cacing jantan dan beina T. vitulorum..………………………… 7

4. Siklus Hidup Toxocara vitulorum………………………………………… 8

5. Gambar gejala klinis……………………………………………………… 10

6. Telur Toxocara vitulorum pada hasil penelitian………………………….. 17

7. Sapi umur 30 tahun yang terinfeksi toxocariasis ………………………… 20

8. Sistem pemeliharaan di Kabupaten Maros……………………………...... 22

DAFTAR TABEL

1. Data Populasi Ternak Sapi Bali Di Kecamatan Tompobulu

Kabupaten Maros Tahun 2013…………………………………………. 6

2. Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros…………………………….. 16

3. Distribusi Toxocariasis pada Sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros……………………………. 18

DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil pemeriksaan Toxocara vitulorum pada sapi Bali di Desa Pucak

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros ………………………………... 29

2. Dokumen Penelitian………………………………………………………... 33

3. Data Spesimen……………………………………………………………… 36

Page 12: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

1

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu jenis sapi asli Indonesia

yang di domestikasi dari banteng (Bibos sondaicus). Sebagai plasma nutfa

Indonesia sapi Bali sangat adatif terhadap lingkungan dan sangat produktif dengan

persentase pedet yang dipanen dapat mencapai 80% (Susilorini, 2008).

Pendapatan dan pengetahuan masyarakat Indonesia yang semakin

meningkat berdampak pada meningkatnya kebutuhan akan sumber makanan

khususnya protein hewani. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein yang

penting disamping daging ayam dan babi. Peningkatan mutu peternakan sapi bali

terus diupayakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Tujuannya adalah

mencapai swasembada daging sapi sebagai tulang punggung ketahanan pangan

hewani nasional (Hadi, 2011). Namun dalam aplikasinya dilapangan, peternak sapi bali tidaklah semudah

yang direncanakan oleh pemerintah. Ada beberapa kendala yang dialami oleh

peternak dalam beternak sapi bali, diantaranya permasalahan pakan dan nutrisi,

pencegahan dan pemberantasan penyakit serta penanggulangan limbah (Deptan,

2001). Penyakit yang sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit yang

disebabkan oleh parasit cacing. Dari segi perhitungan ekonomi, penyakit pada

sapi yang diakibatkan oleh parasit cacing mengakibatkan kerugian yang sangat

tinggi bagi peternak. Infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi mengakibatkan

gangguan pencernaan sapi dan terjadi kompetisi dalam penyerapan nutrisi

makanan sehingga pertumbuhan sapi akan terhambat (BPTP NTB, 2011).

Terlebih jika cacing tersebut bersifat zoonosis, selain kerugian ekonomi

yang ditimbulkan juga kesehatan mereka terancam (Medicastore 2011). Penyakit

parasit yang menyerang sapi bali dan bersifat zoonosis salah satunya adalah yang

disebabkan oleh infeksi cacing T. vitulorum. Cacing ini menyerang sapi disegala

umur, dapat menular melalui kontak makanan maupun melalui plasenta induk

yang menulari fetus sapi dalam kandungan (Estuningsih, 2005; Levine, 1994).

Toxocara vitulorum dapat menyebabkan anak sapi atau kerbau diare dan

ternak menjadi kurus. Pernah dilaporkan juga bisa menyebabkan kematian dan

pada anak sapi yang tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan.

Toxocara vitulorum merupakan salah satu cacing nematoda terbesar yang

memiliki distribusi luas di seluruh dunia, namun keberadaannya paling sering

dijumpai pada negara tropis dan subtropis. Prevalensinya sangat tinggi di negara

tropis. Hal tersebut sering menyebabkan masalah pada sapi (Bos spp.) dan kerbau

(Babalus spp.) di Asia Tenggara dan Afrika (Koesdarto,1999).

Stadium dewasa cacing T. vitulorum banyak dijumpai pada anak sapi

(pedet). Akibat dari penyakit cacingan (toxocariasis), sangat menekan

produktivitas ternak, berarti menjadi beban ekonomi bagi peternak secara

berkepanjangan jika tidak dilakukan pengendalian. Pedet yang menderita

toksokariasis, akan kehilangan bobot badan sebesar 16 kg pada umur 12 minggu

dibanding pedet yang bebas cacingan (Soulsby, 1982).

Prevalensi toksokariasis pada sapi di Malang telah dilaporkan oleh

Trisunuwati et al., (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi

Page 13: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

2

umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan

sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto et al.,

1999). Studi terakhir pada tahun 2008 menyebutkan prevalensi cacing T.

vitulorum pada pedet di Kabupaten Pasuruan cukup tinggi yaitu 21,33% (Susanto,

2008). Dan studi terakhir di salah satu Kabupaten di kota Makassar telah

dilaksanakan tepat pada tahun 2009 mengenai Identifikasi Cacing Saluran

Pencernaan (Gastrointestinal) Pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja Di

Kabupaten Gowa melaporkan bahwa, jenis Toxocara vitulorum menempati posisi

yang tertinggi jika dibandingkan dengan jenis cacing saluran pencernaan lainnya,

yaitu sebesar 59,21 % (Purwanta dkk, 2009).

Mengingat patogenesitas dari cacing Toxocara vitulorum pada sapi bali

sangat merugikan dan kemungkinan bisa menyebabkan kematian pada sapi bali,

maka perlu diwaspadai keberadaan penyakit toxocariasis serta pemahaman

tentang epidemiologi guna mencegah terjadinya penularan, maka peneliti tertarik

melakukan penelitian di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

Berdasarkan Badan Pusat Statistika (2013), populasi sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, merupakan populasi sapi terbesar ketiga di Kabupaten

Maros. Dimana peternak di Desa Pucak masih menggunakan sistem pemeliharaan

semi intensif yaitu sapi tidak diberikan pakan di dalam kandang. Dalam hal ini

kandang hanya berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat ternak ketika malam

tiba, kemudian sapi dilepas kembali pada pagi hari yaitu pukul 06.30 - 07.00 dan

dimasukkan ke dalam kandang pada pukul 17.00–17.30. Selain itu, di kabupaten

ini pernah dilaporkan kejadian Toxocariasis.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah

berapa prevalensi Toxocara vitulorum pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros

.

1.3 Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah prevalensi cacing Toxocara vitulorum pada

sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 30%.

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi toxocariasis pada sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

1.4.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengidentifikasi telur Toxocara vitulorum pada feses sapi Bali di

Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

2. Untuk mendiagnosa toxocariasis pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros.

Page 14: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

3

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Pengembangan Ilmu 1. Sebagai bahan informasi mengenai prevalensi toxocariasis pada sapi Bali di

Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.

2. Sebagai referensi ilmiah dalam rangka memperkaya khazanah keilmuan

terutama dalam bidang ilmu parasitologi veteriner.

1.5.2 Manfaat Aplikasi 1. Dapat dijadikan acuan untuk merancang program pengendalian toxocariasis

dengan tepat, khususnya di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten

Maros.

1.6 Keaslian Penelitian

Penelitian tentang prevalensi Toxocariasis pada sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros belum pernah dilaporkan. Penelitian

terhadap prevalensi toxocariasis di Indonesia telah banyak dilakukan, namun

tujuan dan lokasinya berbeda. Agustina (2013) pernah melaporkan prevalensi

Toxocara vitulorum pada Induk sapi dan anak sapi Bali di wilayah Bali Timur,

dan Susanto, A.(2008) prevalensi infeksi cacing Toxocara vitulorum pada anak

sapi perah dan anak sapi potong di Kabupaten Pasuruan.

.

Page 15: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

4

1.7 Alur Penelitian

Gambar 1. Kerangka Konsep Penilitian

Identifikasi telur cacing

Positif Negatif

Analisa Data

Feses

Sapi Bali

Page 16: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sapi Bali

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan sapi Bali asli Indonesia yang diduga

sebagai hasil domestikasi (penjinakan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin

bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi Bali. Sapi

Bali menyebar ke pulau - pulau di sekitar pulau Bali melalui komunikasi antar

raja-raja pada zaman dahulu. Sapi Bali telah tersebar hampir di seluruh provinsi di

Indonesia dan berkembang cukup pesat di daerah karena memiliki beberapa

keunggulan. Sapi Bali mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan

yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi dan mutu pakan yang rendah.

Tingkat kesuburan (fertilitas) sapi Bali termasuk amat tinggi dibandingkan dengan

sapi lain, yaitu mencapai 83% tanpa terpengaruh oleh mutu pakan. Tingkat

kesuburan (fertilitas) yang tinggi ini merupakan salah satu keunikan sapi Bali

(Djagra, 2009).

Bangsa sapi Bali memiliki klasifikasi taksonomi menurut (Williamson,

1993) sebagai berikut : Phylum Chordata, sub-phylum Vertebrata, class Mamalia,

ordo Artiodactyla, sub-ordo Ruminantia, family Bovidae, genus Bos, species Bos

sondaicu.

Ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi Bali murni, yaitu

warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas, pada paha kaki

bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung

ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis

hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang

paling ideal disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan

tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok ke atas, kemudian

pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada betina bentuk tanduk yang ideal

disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan

dahi arah ke belakang sedikit melengkung ke bawah dan pada ujungnya sedikit

mengarah ke bawah dan ke dalam, tanduk ini berwarna hitam (Hardjosubroto,

1994).

Handoko (1994), juga menyatakan bahwa saat ini penyebaran sapi Bali telah

meluas hampir ke seluruh wilayah Indonesia. Konsentrasi sapi Bali terbesar

adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok. Pada tahun 1991

ditaksir jumlah sapi Bali di Indonesia sekitar 3,2 juta, dengan jumlah terbanyak di

Sulawesi Selatan (1,8 juta ekor), Nusa Tenggara Timur (625 ekor) dan Pulau Bali

(456 ekor).

Sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif,

ekstensif, dan mixed farming system (sistem pertanian campuran). Pemeliharaan

secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan secara terus-

menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari

digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif

adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus -

menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and curry. Sistem ini

dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai

berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan

dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif.

Kelemahan terletak pada modal yang dipergunakan lebih tinggi, masalah penyakit

Page 17: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

6

dan limbah peternakan (Santoso, 2006)

Untuk mendapatkan bibit sapi Bali yang baik sebaiknya dipelihara secara

semi intensif disertai dengan pemberian pakan yang optimal sesuai dengan

kebutuhan fisiologik ternak, yaitu dengan jalan memberikan pakan tambahan

berupa konsentrat dan tidak hanya mengandalkan rumput lapang sebagai pakan.

(Santoso, 2006)

Adapun jumlah populasi sapi Bali di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten

Maros diliat dari tiap Desa sebagai berikut :

Tabel 1. Data Populasi Ternak Sapi Bali Di Kecamatan Tompobulu Kabupaten

Maros Tahun 2013

Desa Sapi

Benteng Gajah 680

Pucak 1436

Tompobulu 2095

Toddolimae 1762

Bonto Manai 1321

Bonto Matinggi 1158

Bonto Manurung 1516

Bonto Somba 1167

Jumlah 11.135

2.2 Toxocariasis

2.2.1 Etiologi

Cacing Toxocara vitulorum atau disebut juga Ascaris vitulorum atau

Neoascarasis vitulorum termasuk kelas nematode yang memiliki kemampuan

melintas hati, paru-paru, dan plasenta. Hampir di seluruh bagian dunia terdapat

Toxocariasis yang disebabkan oleh cacing Toxocara vitulorum (Avioglu,2011)

Hewan-hewan yang dipelihara dalam alam terbuka menjadi sakit karena

telur yang dibebaskan dapat bertahan berbulan-bulan. Infeksi hewan-hewan yang

dipelihara demikian selalu lebih tinggi dari pada yang dipelihara dalam kandang

Page 18: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

7

yang bersih. Toxocara vitulorum terdapat pada usus halus sapi dan ruminansia

besar lainya (Subronto, 2006).

Klasifikasi dan Morfologi

Adapun taksonomi dari Toxocara vitulorum menurut Kania (2012) adalah

: Phylum Nemathelminthes, class Nematoda, subclass Secernentea, ordo

Ascaridida, family Ascarididae, genus Toxocara, species Toxocara vitulorum.

Gambar 2. Telur Toxocara vitolurum

Telur cacing Toxocara vitulorum memiliki warna kecoklatan. Bentuknya

agak bulat dan memiliki ciri khas tersendiri yaitu dinding yang tebal dan

berdimensi 69 - 75μm serta lebar 75 – 103μm. Dinding tersebut sebagai

pertahanan telur cacing agar dapat bertahan hidup lama pada lingkungan sampai

termakan oleh inang. Telur tersebut dapat ditemukan setelah melakukan

pemeriksaan tinja (Yudha, 2014). Dengan pengamatan melalui scanning electron

microscope (SEM) dapat dilihat T. Vitulorum memiliki permukaan dinding

berlubang dengan struktur amorf (Koesdarto, dkk, 1996).

Gambar 3. Cacing Jantan dan Betina Toxocara vitulorum

Cacing Toxocara vitulorum memiliki permukaan tubuh yang lunak dan

tembus pandang. Cacing jantan berukuran 15-26 cm dengan lebar (pada bagian

badan) sekitar 3-5 mm, dengan ekor kecil, mirip paku besar, serta spikulum yang

Page 19: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

8

panjangnya 950-1250 mikron. Sedangkan cacing betina 22-30 cm dengan lebar 5-

6 mm. (Aydin,2006)

Cacing dewasa tersebut mempunyai 3 bibir tanpa papilla yang berfungsi

dengan baik yang terdapat pada dorsal dan subventral. Masing-masing bibir

dilengkapi dengan beberapa papilla besar dan kecil (Levine, 1994).

2.2.2 Siklus Hidup

Siklus hidup Toxocara Vitulorum dimulai dari cacing dewasa hidup di

bagian depan usus halus dan sanggup membebaskan telur dalam jumlah banyak.

Seekor cacing betina mampu bertelur sebanyak 200.000 telur/hari. Telur

dibebaskan bersama tinja, dimana telur sangat tahan terhadap udara dingin, panas

dan kekeringan (Subronto, 2001).

Lalu telur dalam tinja tertelan oleh sapi dan menetas di usus halus menjadi

larva. Selanjutnya, larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, ginjal dan plasenta

lalu masuk ke cairan kolostrum dan kelenjar mammae. Dengan ikut makanan, air

minum atau saliva akan sampai di usus halus lagi untuk bertumbuh menjadi

dewasa. Telur cacing Toxocara vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif

selama 7-12 hari pada suhu optimal 29-300 C. Perkembangan tersebut, tidak

terjadi pada suhu bawah 120C. Kendati demikian, apa bila berada pada suhu

optimal, telur akan menjadi infektif. Beberpa peneliti membuktikan bahwa telur

cacing Toxocara vitulorum dapat bertahan hidup di lingkungan selama beberapa

bulan hingga mencapai dua tahun (Holland,2000)

Pedet memperoleh larva T. vitulorum dari induknya melalui kolostrum,

hingga pada umur 10 hari telah mengandung cacing dewasa, sedangkan telur

cacing dapat ditemukan pada umur 2-3 minggu. Waktu pedet umur 5 bulan cacing

dewasa mungkin dikeluarkan secara spontan (Subronto, 2001).

Gambar 4. Siklus Hidup Toxocara vitulorum

Page 20: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

9

2.2.3 Distribusi Penyakit

Beberapa literatur luar negeri menyebutkan bahwa prevalensi toxocariasis

akibat infeksi T. vitulorum pada pedet di Nigeria adalah 61,4-91,1% (Sackey et

al., 2003), dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur

cacing T. vitulorum dalam fesesnya (Holland et al., 2000). Infeksi paten

toxocariasis pada umumnya terjadi pada hewan-hewan yang masih muda dan

sangat jarang ditemukan pada hewan-hewan dewasa (Estuningsih, 2005).

Prevalensi toxocariasis pada sapi dan kerbau di Malang telah dilaporkan

oleh Trisunuwati, et al. (1991) sebesar 76%, sedangkan di Surabaya pada anak

sapi umur kurang dari 2 bulan prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan

sebesar 51,4% dan umur kurang dari 6 bulan mencapai 43,4% (Koesdarto dkk,

1999). Penemuan telur T. vitulorum yang lebih dari 100.000 epg bisa merupakan

suatu faktor penyebab kematian anak-anak kerbau maupun anak sapi (Carmichael,

1996).

Akan tetapi berdasarkan laporan dari Robert (1990a) penemuan T.

vitulorum 20.000 epg dapat digolongkan infeksi berat dan diduga sudah

merupakan indikator dari patogenesitas cacing tersebut. Beruah et al. (1980)

menemukan kasus toksokariasis dengan jumlah telur T. vitulorum 2.700- 16.000

epg telah menyebabkan diare dan dehidrasi ringan. Sedangkan jumlah telur 31

.000-66 .000 epg sudah kelihatan toksemia. (Estuningsih, 2005). Dan studi

terakhir pada tahun 2009 mengenai Identifikasi Cacing Saluran Pencernaan

(Gastrointestinal) Pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan Tinja Di Kabupaten Gowa

melaporkan bahwa, jenis Toxocara vitulorum menempati posisi yang tertinggi jika

dibandingkan dengan jenis cacing saluran pencernaan lainnya, yaitu sebesar 59,21

% (Purwanta dkk, 2009)

2.2.4 Patogenesis

Migrasi larva di dalam hati atau usaha penyerapan oleh jaringan hati

terhadap larva yang mati, meninggalkan jejas berwarna putih di bawah kapsula

hati. Bila infestasi larva cukup berat, jejas fibrotik terlihat dominan. Kerusakan

jaringan yang berat biasanya dialami oleh paru-paru hingga alveoli dapat

mengalami luka dengan oedema atau mengalami pemadatan (konsolidasi). Larva

migrans dapat merangsang pembentukan antibodi yang dapat dideteksi di dalam

kolostrum dan serum. Adanya antibodi untuk mencegah agar jumlah cacing

dewasa tidak berlebihan atau dalam keadaan tertentu dapat menghasilkan self-

cure. Infestasi larva dalam jumlah besar dapat menyebabkan penurunan motilitas

usus (Subronto, 2001).

Cacing yang belum dewasa yang bertempat di duodenum dan abomasums

menyebabkan radang usus hebat hingga diikuti diare berat. Cacing dewasa yang

tinggal dilambung muka, rumen dan reticulum, tidak menyebabkan perubahan

patologi berat. Pada saat nekropsi cacing muda dapat terlihat berwarna pink yang

menempel pada mukosa duodenum dan dapat juga terdapat di jejunum dan

abomasum (Urquhart dkk, 2002).

Dalam usus halus, cacing dewasa mengambil nutrisi dari hospes definitif-

nya dengan mengakibatkan kelukaan dinding usus dan mengambil nutrisi dari

sirkulasi. Berdasarkan siklus hidupnya, larva menyebabkan penyakit dengan fase

migrasi dengan meninggalkan lesi pada organ dan jaringan yang dilalui.

Page 21: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

10

Keparahannya tergantung pada jumlah, baik pada cacing dewasa maupun pada

larva (Agna, 2009).

2.2.5 Gejala Klinis

Tanda-tanda klinis toxocariasis pada hewan sangat bervariasi dan

tergantung dari umur hewan itu sendiri. Infeksi Toxocara vitulorum pada sapi

lebih banyak ditemukan pada anak sapi dari pada yang dewasa. Pneumonia akan

terlihat pada anak sapi yang terinfeksi toxocara karena adanya migrasi larva ke

paru-paru. Selain itu, diare, dehidrasi, bulu berdiri dan nampak kusam, nafsu

makan menurun, lesu, pertumbuhan pedet terhambat, dan infestasi dalam jangka

lama. Keadaan ini mengakibatkan terjadinya penururnan berat badan (terjadi

kekurusan) secara drastis dalam waktu singkat bahkan berakhir dengan kematian.

(Estuningsih,2005)

Pedet yang bertahan hidup biasanya akan mengalami gangguan

pertumbuhan. Perubahan patologi anatomi yang ditemukan pada pedet yang mati

akibat serangan toxocariasis adalah terjadinya peradangan pada saluran

percernaan usus halus.

Gambar. 5 Peradangan pada usus halus pada pedet

Sapi dewasa yang terserang toxocariasis umumnya tidak menunjukkan gejala

yang jelas. Hanya saja, infestasi cacing T. vitulorum pada sapi perah biasanya

akan menurunkan kualitas susu karena mengandung larva cacing ini ( OIE, 2005)

Indikator penilaian derajat keparahan penyakit pada sapi ditentukan dari

jumlah telur cacing per gram (epg) fases. Dimana digolongkan dalam 3 tingkatan

yaitu, infeksi ringan dengan 5.000 epg, infeksi sedang 5.000- 10.000 epg, dan

infeksi berat lebih dari 10.000 epg. Jika kejadian toxocariasis di lapangan tidak

terkontrol dengan baik maka prevalensi penyakit ini bisa mencapai 100% dengan

mortalitasnya mencapai 80%. Dari beberapa literatur disebutkan bahwa infeksi

toxocariasis pada anak kerbau lebih berat daripada anak sapi, akan tetapi

keberadaan penyakitnya tidak jelas dan tingkat kematiannya paling banyak terjadi

pada anak sapi (Estuningsih,2005).

2.2.6 Diagnosa

Infeksi cacing Toxocara vitulorum pada sapi dapat didiagnosa secara

tentative mulai dari tanda-tanda klinis yang terlihat dan umur dari hewan tersebut.

Konfirmasi diagnosis harus dikuatkan dengan sejarah penyakit, adanya

pneumonia dan ditemukan telur cacing Toxocara vitulorum dalam feses. Telur

Toxocara vitulorum berbentuk bulat berwarna kecoklatan, permukaannya

Page 22: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

11

berbintik-bintik dan dinding luarnya sangat tebal. Pemeriksaan feses dengan uji

apung adalah merupakan metode untuk mendeteksi adanya infeksi cacing

nematode (Hendrix, 1995). Dengan uji apung tersebut, telur cacing akan

mengapung dalam larutan garam jenuh dan dapat dihitung di dalam kotak hitung.

Menurut laporan dari Overgauw (1997), uji apung untuk pemeriksaan telur

Toxocara vitulorum spesifitasnya adalah 51% sedangkan sensitivitasnya 100%.

Pemeriksaan dengan uji apung tersebut hanya bisa digunakan untuk mendeteksi

adanya infeksi paten, sedangkan untuk mendiagnosa adanya infeksi prepaten bisa

dilakukan dengan uji serologi. Uji serologi dengan Enzyme Linked

Immunosorbent Assay (ELISA) untuk deteksi antibody T. vitulorum pada kerbau

atau sapi dengan menggunakan antigen Excretory/Secretory (ES) dari larva yang

infektif telah dikembangkan oleh Starkebuzetti et al. (2001) dan De Souza et al.

(2004). Uji serologi juga telah diterapkan untuk melakukan penelitian

seroepidemiologi toxocariasis pada manusia (Sadjjadi et al ., 2000).

2.2.7 Cara Penularan

Berdasarkan hasil penelitian Roberts (1990b), penularan T. vitulorum

melalui kelenjar susu (transmamary infection) pada anak sapi atau anak kerbau

merupakan cara penularan yang sangat penting, dan merupakan cara penularan T.

vitulorum yang utama. Kira-kira 8 hari sebelum melahirkan, larva yang berada di

dalam hati dan paru-paru yang tadinya tidak aktif akan mulai bergerak dan

bermigrasi ke kelenjar susu. Warren (1971) melaporkan bahwa larva T. vitulorum

akan ditemukan di dalam air susu antara 2-18 hari setelah sapi melahirkan dan

90% akan ditemukan pada hari pertama setelah kelahiran. Pada kerbau, larva T.

vitulorum ditemukan dalam kolostrum 1-5 hari setelah kelahiran dan 99% larva

tersebut berada dalam kolostrum selama 8 hari (Roberts, 1990b) dan pada hari ke-

11 sudah tidak ditemukan dalam susu (Pandey et al ., 1990).

Adanya larva T. vitulorum yang di dalam susu sapi juga diindikasi dapat

menyebabkan visceral larval migrans apabila susu tersebut dikonsumsi oleh anak-

anak tanpa proses pasteurisasi sebelumnya (Banerjee et al. 1983; Kusnoto, 2005).

Kejadian toksokariasis pada manusia di Indonesia pernah dilaporkan oleh Chomel

et al. (1993).

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan pada tahun 1989 di Bali, mereka

melaporkan bahwa hasil pemeriksaan serum darah dari 190 orang anak yang

berumur 1- 23 tahun, sebanyak 120 orang anak (63,2%) dinyatakan positif

memiliki antibody Toxocara dan 20% diantaranya memberikan reaksi positif kuat.

Akan tetapi belum ada laporan adanya cacing T. vitulorum dewasa pada usus

manusia, jadi sepertinya bahwa larva T. vitulorum dalam air susu sapi yang

diminum manusia tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa. Apabila telur

infektif yang mengandung larva stadium kedua (L2) tertelan manusia, maka telur

akan menetas dan mengeluarkan larva kedalam usus halus, kemudian terjadi

penetrasi larva pada mukosa dan kemudian terbawa sirkulasi darah menuju ke hati

melalui sistem portal. Sebagian larva tinggal di dalam hati dan menyebabkan

pembentukan granuloma, yang lain terbawa ke paru-paru dan masuk dalam sistem

sirkulasi dan terbawa ke berbagai organ tubuh. Larva menembus pembuluh darah

dan bermigrasi menuju jaringan sekitarnya (Kilpatrick, 1992).

Larva yang tidak kembali ke usus halus tidak mengalami perkembangan

lebih lanjut sehingga tetap tinggal di jaringan yang disebut larva dorman. Telur

Page 23: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

12

infektif yang mengandung L2 dan cacing dewasa T. vitulorum dapat dikenali oleh

sistem imun tubuh hospes sehingga dapat memicu terbentuknya antibodi (Kusnoto

2003).

2.2.8 Pengendalian dan Pencegahan

Toxocara vitulorum dapat menyebabkan kematian yang tinggi pada hewan

muda dibandingkan pada hewan dewasa dan bersifat zoonosis. Oleh karena itu,

pencegahan dan pengendalian terhadap T. vitulorum perlu dilakukan untuk

menekan pertumbuhan dan infeksi cacing tersebut. Pengendalian yang disarankan

untuk menekan tingkat kejadian penyakit akibat T. vitulorum diantaranya

menejemen pengembalaan dan kesehatan hewan yang baik. Kebersihan kandang

juga merupakan hal yang sangat penting, terutama feses dari anak sapi atau anak

kerbau yang mengandung telur Toxocara vitulorum harus segera ditangani atau

dibersihkan sebelum telur menjadi infektif agar induknya tidak tertular. Untuk

menghindari terjadinya penularan sebaiknya anak-anak sapi maupun anak-anak

kerbau secara rutin harus dilakukan pemeriksaan terhadap adanya telur cacing

toxocarariasis dan apabila positif maka hewan hewan tersebut harus segera diberi

pengobatan untuk mencegah dari keterlambatan penaganan (Junquera, 2004).

Pengendalian dapat dilakukan juga dengan pemberian anthelmentik. Secara

periodik, terutama pada saat pedet berumur 10-16 hari untuk membunuh cacing

dewasa. Disamping itu tindakan melindungi pedet dari serangan cacing, sehingga

tidak memungkinkan untuk memproduki telur yang berpotensi mengkontaminasi

padang pengembalaan (Terry, 2013).

Levamisol bisa membunuh larva dari cacing T. vitulorum pada anak sapi 7

hari setelah infeksi (Ossain et al ., 1980). Pengobatan pada anak sapi dapat

dilakukan pada umur 2 – 3 minggu, kemudian diulangi 2 – 3 kali dengan selang

waktu satu tahun. Pengobatan massal dilakukan 3 minggu setelah datangnya

musim hujan, kemudian diulangi dengan selang waktu 6 minggu sampai

permulaan musim kemarau. Pengobatan pada sapi bunting tidak dianjurkan karena

umur kebuntingan biasanya tidak diketahui dengan pasti dan tidak akan efektif

pada hewan yang sudah bunting tua, selain itu diperlukan dosis yang lebih besar.

Page 24: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

13

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 4 Agustus sampai 28 Agustus

2015. Pengambilan sampel dilaksanakan di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros. Pemeriksaan feses dilaksanakan di Laboratorium Parasitologi

Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros.

3.2 Materi Penelitian

3.2.1 Sampel dan Teknik Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sapi Bali yang terdapat di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebanyak 1.436 ekor (BPS,

2013). Desa Pucak dipilih karena memiliki jumlah populasi sapi Bali ke tiga

tertinggi dan juga akses ke desa tersebut lebih mudah dijangkau dibanding di desa

yang jumlah populasi ternak sapinya tertinggi kedua dan pertama yaitu Desa

Toddolimae dan Tompobulu yang ada di Kecamatan Tompobulu, Kabupaten

Maros.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 84 ekor sapi Bali yag

tersebar di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Besaran

sample ditentukan dengan asumsi tingkat kejadian sebesar 30% dan tingkat

kepercayaan 90%. Besaran sampel dihitung dengan rumus penentuan jumlah

sampel menurut Budiharta (2002) mengformulasikan rumus penentuan jumlah

sampel berdasarkan prevalensi sebagai berikut :

Keterangan : n = Besaran sampel feses sapi yang diambil

P = Asumsi dugaan tingkat kejadian toxocariasis (30%)

Q = (1 - Prevalensi)

L = Galat/Tingkat kesalahan 10%

Sehingga didapatkan jumlah sampel sebagai berikut :

( )( )

( )( )

Page 25: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

14

Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada peternak sapi Bali

dengan menggunakan metode systematic random sampling dengan penentuan

besaran sampel pada peternak sapi Bali yang terdapat di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros terpilih secara klaster.

3.2.2 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam pengambilan feses yaitu berupa kantong

plastik, label, cool box, dan kamera. Alat-alat untuk pemeriksaan laboratoris

adalah timbangan yang sudah dikalibrasi, object glass, cover glass, mikroskop

(perbesaran 10 x 10), sentrifus, tabung plastik sentrifus, saringan teh, gelas

plastik, gelas ukur, sendok plastik, pipet tetes, alu dan gelas ukur.

3.2.3 Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah feses sapi, garam

jenuh (NaCl) dan formalin 10%.

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Desain Penelitian

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif, yang

memberikan gambaran atau uraian mengenai prevalensi toxocariasis pada sapi

Bali. Keberadaan telur Toxocara vitulorum dalam feses dideteksi dengan

menggunakan metode uji apung, sedangkan untuk mengetahui angka prevalensi

toxocariasis menggunakan rumus prevalensi.

3.3.2 Pengambilan Feses

Fases yang digunakan dalam penelitian ini adalah feses segar, sebanyak

kurang lebih 4 gram setiap ekor sapi. Pengambilan feses segar dilakukan secara

langsung di kandang dan di lapangan yaitu menunggu sampai sapi defekasi lalu

lalu dimasukkan kedalam kantong plastik kemudian diberi formalin 10 %

secukupnya untuk mencegah menetasnya telur selama pengangkutan dan

penyimpanan. Setiap spesimen diberi label yang memuat keterangan nama sapi,

tanggal, waktu pengambilan dan catatan lain yang dianggap perlu. Setelah itu,

specimen dibawa dengan menggunakan coolbox dari tempat pengambilan sampel,

kemudian pemeriksaan di labolatorium.

3.3.3 Pengujian Laboratorium

Pemeriksaan feses dengan metode uji apung digunakan untuk

mengidentifikasi telur nematoda (Toxocara vitulorum.) di dalam feses karena telur

nematoda yang relatif ringan dibandingkan dengan telur trematoda. Feses

ditimbang sebanyak 2 gram lalu, dicampur NaCl sebanyak 30 ml kemudian

diaduk sampai merata dengan menggunakan alu. Setelah campuran homogen, lalu

disaring menggunakan saringan teh dan hasil saringan tersebut dimasukkan ke

dalam tabung sentrifus. Setelah itu, tabung sentrifus diseimbangkan kemudian

disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 5 menit. Tambahkan lagi sedikit

larutan gula atau garam jenuh sampai permukaan cairan itu naik tepat diatas

permukaan tabung. Letakkan cover glass diatas tabung, biarkan selama 5 menit,

ambil cover glass letakkan diatas object glass dan periksa dibawah mikroskop

dengan pembesaran 10 x 10.

Page 26: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

15

3.3.4 Analisa Data

Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis secara

deskriptif. Prevalensi dihitung dengan menggunakan rumus di bawah ini

(Budiharta, 2002) :

Keterangan:

F : Jumlah frekuensi dari setiap sampel yang diperiksa dengan hasil positif.

N: Jumlah dari seluruh sampel yang diperiksa.

Prevalensi =

Page 27: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

16

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Untuk mengetahui kejadian toxocariasis di Kabupaten Maros telah

dilakukan penelitian mulai tanggal 4 Agustusi 2015 sampai 28 Agustus 2015.

Sebanyak 84 sampel feses dikumpulkan secara systematic random sampling

(SRS) dengan mengambil sampel pada tingkat peternak. Dari cara tersebut,

diperoleh 17 peternak terpilih yang mewakili seluruh peternak yang ada di Desa

Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. Penentuan jumlah sampel pada

masing-masing peternak terpilih dilakukan secara klaster atau mengambil semua

feses Sapi Bali yang dimiliki oleh peternak. Hasil jumlah sampel yang terpilih

pada tingkat peternak disajikan pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Jumlah Sampel pada Peternak Terpilih di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros

No. Nama Peternak Jumlah Ternak (Ekor) Jumlah Sampel

1. Dg. Buang 14 14

2. Pak Arman 1 1

3. Dg. Kanang 2 2

4. Lengko 5 5

5. Pak Baso Raga 4 4

6. Dg. Eppe 5 5

7. Nenek Hasnah 9 9

8. Yauri Haryanto 8 8

9. Bahtiar 6 6

10. Muhammad Saleh 5 5

11. Sabri 3 3

12. Nahlan 3 3

13. Megawati 5 5

14. Sumiati 4 4

15. Nirwana 3 3

16. Kamaruddin 4 4

17. Teki 3 3

Jumlah 84 84

Page 28: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

17

Pemeriksaan feses dilakukan dengan menggunakan metode uji apung di

Laboratorium Parasitologi, Balai Besar Veteriner (BBVET) Maros. Hasil

pemeriksaan tersebut dapat diidentifikasi telur Toxocara vitulorum yang nampak

di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x, seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Hasil pemeriksaan feses dengan metode uji apung (telur Toxocara

vitulorum) dengan pembesaran 10x10

Telur Toxocara vitulorum dengan morfologi warna kecoklatan, bentuknya

agak bulat dan memiliki ciri khas tersendiri yaitu dinding yang tebal. Telur

Toxocara vitulorum memiliki dinding telur yang tebal hingga parasit tersebut

dapat bertahan lebih lama meskipun mengalami goncangan suhu dan kelembaban.

Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium dari seluruh jumlah sampel

maka dapat diketahui distribusi kejadian toxocariasis pada sapi Bali di Kabupaten

Maros pada table 3 berikut:

Page 29: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

18

Tabel 3. Distribusi Toxocariasis pada Sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros

No.

Nama Peternak

Jumlah Sampel

Toxocara vitulorum

Positif Negatif

1. Dg. Buang 14 1 -

2. Pak Arman 1 - -

3. Dg. Kanang 2 - -

4. Lengko 5 - -

5. Pak Baso Raga 4 - -

6. Dg. Eppe 5 - -

7. Nenek Hasnah 9 1 -

8. Yauri Haryanto 8 - -

9. Bahtiar 6 - -

10. Muhammad Saleh 5 - -

11. Sabri 3 - -

12. Nahlan 3 - -

13. Megawati 5 - -

14. Sumiati 4 - -

15. Nirwana 3 - -

16. Kamaruddin 4 - -

17. Teki 3 - -

Jumlah 84 2 -

Table 3 di atas dapat dilihat 84 sampel fases yang diambil dari 17 peternak

terpilih, terdapat 2 ekor sapi Bali yang positif toxocariasis pada peternak yang

yang berbeda. Pada sampel feses sapinya positif toxocariasis yaitu sapi Bali milik

Dg. Buang dan nene Hasnah, dimana umur sapi yang positif berumur 3 bulan dan

30 tahun. 82 Peternak lainnya tidak ditemukan adanya telur Toxocara vitulorum.

Berdasarkan data di atas, sebanyak 2 ekor dari 84 ekor Sapi Bali yang positif

toxocariasis sehingga prevalensi toxocariasis pada Sapi Bali di Desa Pucak,

Page 30: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

19

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros dengan menggunakan rumus

prevalensi (Budiharta, 2002) adalah sebagai berikut :

Keterangan: F : Jumlah sampel positif Toxocariasis (2)

N : Total jumlah sampel yang diperiksa (84)

Prevalensi =

= 2,38 %

Berdasarkan perhitungan di atas maka diperoleh hasil bahwa prevalensi

Toxocara vitulorum pada sapi Bali di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten yaitu 2,38%. Nilai prevalensi toxocariasis di Kabupaten Maros ini

lebih rendah bila dibandingkan dengan prevalesni di Kabupaten Gowa yaitu

sebesar 59,21, di Malang telah dilaporkan oleh Trisunuwati, et al. (1991) sebesar

76%, sedangkan di Surabaya pada anak sapi umur kurang dari 2 bulan

prevalensinya adalah 68,2%, pada umur 2-4 bulan sebesar 51,4% dan umur

kurang dari 6 bulan mencapai 43,4%.

Rendahnya nilai prevalensi toxocariasis di Desa Pucak, Kecamatan

Tompobulu, Kabupaten Maros ini disebkan oleh beberapa faktor, yaitu : Karena

rata-rata umur sapi yang dijadikan sample berumur dewasa Dimana beberapa

literatur menyebutkan bahwa infeksi paten Toxocariasis pada umumnya terjadi

pada hewan-hewan yang masih muda (pedet) dan sangat jarang ditemukan pada

hewan-hewan dewasa. Ini dapat disebabkan karena T.vitulorum pada induk sapi

Bali memungkinkan terjadinya kontaminasi lingkungan disekitarnya, akibat yang

ditimbulkan adalah pakan yang tersedia akan terkontaminasi telur T. vitulorum

yang dapat termakan oleh pedetnya. Cara penularan lain yang memungkinkan

adalah infeksi secara vertikal melalui cara transplasenta. Larva T.vitulorum yang

dorman di jaringan uterus induk sapi, ketika sapi tersebut bunting maka larva akan

dapat masuk ketubuh janin dan berkembang dalam saluran pencernaan pedet

untuk menjadi cacing dewasa. Penurunan prevalensi pada umur sapi yang lebih

dewasa disebabkan oleh setidaknya oleh tiga penyebab yang mungkin, yaitu

terhentinya infeksi baru secara transmammary pada pedet beberapa hari setelah

lahir, kematian cacing dewasa dan meningkatnya kekebalan hewan (inang).

Kematian cacin dewasa terjadi akibat asa hidup cacing ini tergolong pendek,

sekitar 35 ± 12 hari (Anderson, 2000). Biasanya cacing dewasa menua, mati dan

keluar dengan sendiriya dari inang (ekspulsi). Ekspulsi cacing dewasa mungkin

ada hubungannya dengan perkembangan imunitas inang. Terdapatnya telur cacing

toxocariasis pada salah satu sample sapi berumur 30 tahun milik nene Hasnah

(Gambar.7, 8, & 9) diduga kemungkinan sapi tersebut mengalami sistem

kekebalan tubuh menurun sehingga mudah terjangkit.

Prevalensi =

Page 31: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

20

Gambar. 7 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum

Gambar. 8 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah kiri)

Gambar. 9 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah

kanan)

Page 32: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

21

Selanjutnya sampel yang digunakan itu adalah fases sapi Bali (Sapi

Potong) bukan sapi Perah. Dimana Infeksi transmammary merupakan rute infeksi

utama yang menghasilkan cacing dewasa di usus sapi. Pedet lebih banyak

menerima infeksi larva toxocara ketika menyusu. Bila inang tempat larva adalah

sapi betina maka, menjelang periode partus, larva tersebut akan bermigrasi ke

kelenjar susu. Larva keluar bersama sekresi ambing, termasuk kolostrum dan susu

hingga 12 hari post partum kemudian menginfeksi pedet yang menyusu. Setelah

infeksi bersama susu, cacing dewasa berkembang diusus halus pedet dan molting

pada hari ke-12 (pada saat pedet berusia 12 hari).

Berdasarkan hasil penelitian Winarso (2015) mengemukakan perbedaan

nyata kejadian toxocariasis berdasarkan jenis kelamin. Dimana prevalensi pada

kelompok jantan sebesar 12,7 % dan pada kelompok betina sebesar 3,00 %.

Avcioglu & Balkaya (2011) juga mengemukakan bahwa kejadian infeksi T.

vitulorum pada sapi jantan cenderung lebih tinggi daripada betina sebagaimana

penelitian-penelitian lainnya. Sedangkan peternak yang ada di Desa Pucak,

Kecaamatan Tompobulu, Kabupaten maros kebanyakan ternak sapi Bali betina,

sehingga diduga alasan mengapa prevalensi di daerah tersebut rendah.

Perbedaan tingkat prevalensi disetiap daerah berbeda-beda, hal tersebut

dapat disebabkan oleh perbedaan geografis dan daya tahan metaserkaria di

lingkungan serta teknik diagnosa (Mage et al., 2002). Sistem pemeliharaan juga

berpengaruh pada tingkat kejadian cacingan. Ternak sapi yang dipelihara dengan

sistem tradisional (ekstensif atau digembalakan) lebih beresiko terserang penyakit

cacingan dibandingkan dengan sapi yang dipelihara dengan sistem yang lebih

modern (intensif atau dikandangkan). Pada pemeliharaan dengan sistem ekstensif,

sapi dibiarkan bebas merumput atau mencari makan sendiri di lahan

penggembalaan. Padahal tidak jarang tempat-tempat yang dijadikan sebagai lahan

penggembalaan tersebut telah terkontaminasi telur atau larva cacing. Sedangkan

pada pemeliharaan dengan sistem intensif, sapi sepanjang hari dikandangkan dan

pakan diberikan pada waktu tertentu oleh pemilik ternak. Hal ini tentu saja dapat

mengurangi resiko sapi untuk kontak dengan telur maupun larva cacing

(Muhibullah, 2001).

Pola pemeliharaan di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten

Maros didominasi oleh pola pemeliharaan semi intensif (100%). Sistem

pemeliharaan yang dilakukan peternak di daerah tersebut semuanya menggunakan

semi intensif yaitu digembalakan pada pagi hari dan diistirahatkan dalam kandang

pada malam hari. Hal tersebut mempengaruhi rendahnya tingkat kejadian

cacingan di Desa Pucak karena ternak sapi tidak dilepas selama 24 jam dan

dikandangkan dengan kondisi kandang yang baik dan memadai.

Sapi Bali yang dipelihara dengan pola pemeliharaan semi intensif

mencegah kondisi cekaman terhadap sapi, sapi yang di gembalakan juga diduga

dapat menekan kejadian stres sehingga pola tersebut lebih banyak dilakukan oleh

peternak. Selain itu, sapi Bali mempunyai daya adaptasi yang baik terhadap

lingkungan yang buruk seperti daerah yang bersuhu tinggi, mutu pakan yang

rendah, dan lain-lain (Guntoro, 2002).

Kontaminasi lapang (padang gembala) merupakan salah satu factor

penting terjadinya infeksi. Sumber utama kontaminasi telur Toxocara

dilingkungan adalah dari fases pedet yang terinfeksi. Sapi yang terinfeksi cacing

Toxocara dewasa akanmengeluarkan telur cacing melalui fases dan

Page 33: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

22

mengkontaminasi padang gembala. Selanjutnya telur cacing tersebut akan menjadi

sumber infeksi dan reinfeksi sapi yang digembalakan selanjutnya. Namun Jarak

lokasi kandang dan gembala sapi stiap peternak didaerah tersebut berjauhan atau

memiliki masing – masing lokasi gembala setiap peternak sehingga diduga salah

satu penyebab rendahnya jumlah prevalensi telur Toxocara vituloru.

Gambar 10. Sistem pemeliharaan di Desa Pucak Kecamatan Tompobulu, Kabupaten

Maros Sumber: Dokumentasi Pribadi 2015

Gambar 11. Kandang sapi Bali di Desa Pucak Kecamatan Tompobulu, Kabupaten

Maros Sumber: Dokumentasi Pribadi 2015

Pemberian anthelmintik pada ternak mutlak diperlukan dalam

pengendalian cacing parasit. Antelmintika atau obat cacing (Yunani, anti = lawan,

helmintes = cacing) adalah obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh

manusia dan hewan. Dalam istilah ini termasuk semua zat yang bekerja lokal

Page 34: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

23

menghalau cacing dari saluran cerna. Di negara berkembang seperti Indonesia,

penyakit cacing merupakan penyakit yang umum di masyarakat. Infeksinya pun

dapat terjadi secara simultan oleh beberapa cacing sekaligus. Infeksi cacing

umumnya terjadi melalui mulut, melalui luka di kulit, dari telur (kista) atau larva

cacing yang ada dimana-mana. Kebanyakan antelmintika efektif terhadap satu

macam cacing, sehingga diperlukan diagnosis tepat sebelum menggunakan obat

tertentu (Gunawan, 2009).

Pemberian obat cacing secara rutin, belum dilakukan bagi kebanyakan

masyarakat di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros. bahkan

45,24% dari jumlah responden mengaku tidak pernah memberikan obat cacing

pada sapi Bali. Jika gejala dari penyakit cacing mulai tampak seperti kurus, pucat,

bulu berdiri, lemah maka pengobatan baru dilakukan. Jika ternak yang terinfeksi

tidak menunjukkan gejala klinis, maka tidak dilakukan pengobatan sehingga

ternak tersebut menjadi sumber penularan bagi ternak-ternak yang lainnya.

Namun berdasarkan data yang diperoleh bahwa seminggu sebelum pengambilan

fases dilakukan, sebagian peternak sapi di Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu,

Kabupaten Maros telah diberikan anthelmintik kepada ternaknya, sehinggaa

diduga hal tersebut juga merupakan salah satu penyebab rendahnya prevalensi

toxocaraisis pada daerah tersebut.

Page 35: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

24

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah prevalensi toxocariasis pada sapi Bali di

Desa Pucak, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros sebesar 2,38%. Faktor yang

mempengaruhi rendahnya tingkat kejadian toxocariasis di daerah tersebut karena

pengambilan sampel dilakukan pada sapi Bali yang berumur dewasa, jenis

kelamin, sistem pemeliharaan, dan pemberian antielmintik

5.2 Saran

Dengan ditemukannya kejadian infestasi Cacing Neoascaris vitulorum pada

tenak sapi di kecamatan lubuk Kilangan, menunjukkan bahwa infestasi parasit

cacing memang masih banyak terjadi pada peternakan rakyat, Sehingga

disarankan sebagai berikut:

1. Pemberian ransum yang berkualitas tinggi dan cukup dalam kuantitasnya

2. Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan regular (pemberian obat cacing 1 kali

6 bulan atau 2 kali setahun).

3. Sanitasi kandang yang baik

4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terhadap kejadian toxocariasis pada sapi

Bali lokasi yang berbeda untuk mengetahui faktor-faktor risiko yang

mempengaruhinya sebagai bahan untuk merancang program pengendalian

toxocariasis di daerah tersebut.

Page 36: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

25

DAFTAR PUSTAKA

Agna. 2009. Toxocariasis pada kucing, (on line), (http://dr-

agna.livejournal.com/3275. Diakses pada tanggal 27 maret 2015).

Agustina, Dharmatudha, Wirata, IW. 2013. Prevalensi Toxocara Vitulorum Pada

Induk dan Anak Sapi Bali Di Wilayah Bali Timur. Fakultas Kedokteran

Hewan : Universitas Udayana

Avioglu H, Balkaya I. 2011. Efficacy of Eprinimectin against Toxocara vitulorum

in Clave, Trop Anim Health, 43(2) : 283-286

Aydin A, Goz Y, Yuksek N, Ayaz E.2006. Prevalence of Toxocara vitulorum in

Hakkari Eastern Region of Turkey.. Bull Vet Inst Pulway 50 : 51-54

Anderson, RC. 2000. Nematoda Parasites of Vetebrates, Their Development and

Transmission. 2nd

ed. Wallingford Oxon (GB); CABI Publish

Baruah, P .K ., R.P . Singh and M.K. Ball 1980. Treatment tirals and correctionof

electrolyte imbalance caused by Neoascaris vitulorum in bufallo calvet .

Indian Vet J . 4 : 76-78 .

Banerjee, D.P ., A.K. Barman Roy and P .K. Sanyal . 1983 . Public health

significance of Neoascaris vitulorum larvae in buffalo milk samples . J .

Parasitol . 69 : 1124 .

[BPS] Badan Pusat Statistika. 2013. Statistika Peternakan Sulawesi Selatan Tahun

2013. Sulawesi Selatan (ID): BPS.

BPTP NTB. 2011. 15 Jenis Cacing ditemukan pada Sapi Bali di Kabupaten Bima.

http://epetani.deptan.go.id/budidaya/ (23-11-2011)

Budiharta S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian Kesehatan

Masyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah

Mada; Yogyakarta.

Chomel, B.B ., R. Kasten, C. Adams, D . Lambillotte, J . Theis, R . Goldsmith,

J . Koss, C . Chioino, D .P . Widjana and P . Sutisna . 1993 . Serosurvey

of some major zoonotic infections in children and teenagers in Bali,

Indonesia . Southeast Asian J . Trop . Med . Public Health 24(2) : 321-326

Carmichael, I.H. and E. Mmartindah. 1996. Mortalities Of Buffalo (Bubbalus

Bubalis) Calves As A Possible Source Of loss to Indonesia Draught

Power. Bull. IPKHI 5(2) : 29-31.

De Souza, E.M., W.A . Starke-Buzetti, F .P . Ferreira, M .F . Neves and R.Z.

Machado . 2004. Humoral immune response of water buffalo monitored

with three different antigens of Toxocara vitulorum. Vet. Parasitol . 122 :

67-78.

Deptan. 2001. Beberapa Penyakit Pada Ternak Ruminansia “Pencegahan dan

Pengobatannya”. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan

Pengembangan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. NTB

Djagra, I.B. 2009. Diktat Ilmu Tilik Sapi Potong. Fakultas Peternakan Universitas

Udayana, Denpasar

Estuningsih, S.E. 2005. Toxocariasis Pada Hewan dan Bahayanya Pada

Manusia. Warta Zoa, Vol. 15 No: 3 P. 136-142

Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius. Yogyakarta.

Gunawan. (2009). Kemoterapika Antiparasit. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia

3(1): 37-40.

Page 37: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

26

Hadi, PU. 2011. Kebijakan dan Strategi Pemasaran Ternak dan Daging Sapi Bali

untuk Menjaga Kesejahteraan Peternak. Pusat Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian. SemilokaNasional PKSB Universitas Udayana,

Denpasar.

Handoko, 1994. Klimatologi Dasar. PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta.

Hendrix, C .M. 1995 . Helminthic infections of the feline small and large

intestines :diagnosis and treatment. Vet . Med. May . 456-472 .

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta

Holland, W.G., T.T. Luong, L.A. Nguyen, T.T . Do and J. Vercruysee. 2000. The

epidemiology of nematode and fluke infections in cattle in the Red River

Delta in Vietnam. Vet. Parasitol. 93 : 141-147.

Junquera P. 2014. Toxocara vitulorum, parasitic roundworms of cattle: Biology,

Prevention and Control. Neoascaris Vitulorum. [internet]

http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=article&id=

2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 2 Maret 2015].

Koesdarto, S., S. Uga, Machfudz, S.S. Mumpuni, Kusnoto and H. Puspitawati.

1999. The prevalence of Toxocara vitulorum in dairy cows in Surabaya .

Proc . Seminar on Infectious Diseases in The Tropics. TDC Airlangga

University, Surabaya . P. 46-49

Koesdarto, dkk. 1996. Perbedaan Struktur dan Morfologi Diantar Telur Cacing

Toxocara. Fakultas Kedokteran Hewan Unair.

Kilpatrick, M.E. 1992. Toxocariasis. In; Tropical Medicine. 7th ed. London: W.

B. Saunders Company; pp. 761-4.

Kusnoto. 2003. Isolasi dan Karakterisasi Protein Immunologi Larva Stadium II

Toxocara cati Isolat Lokal. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas

Airlangga. Hal.3: 11-13:14.

Kania U. 2012. Nematoda Usus

[Internet]http://parasitipedia.net/index.php?option=com_content&view=art

icle&id=2638&Itemid=2916. [Diunduh pada 27 Februari 2015].

Levine, N. D., 1994. Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Levine Norman D. 1994. Buku pelajaran parasitologi veteriner. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Medicastore. 2011. Toxocariasis. Infeksi dan Penyakit Menular.

http://medicastore.com/penyakit/220/ Toksokariasis.html (26-12-2011)

Mage C, Bourgne C, Toullieu JM, Rondelaud D, Dreyfuss G. 2002. Fasciola

hepatica and Paramphistomum daubneyi: changes in prevalences of

natural infections in cattle and in Lymnaea truncatula from central

Franceover the past 12 years. Vet Res. 33: 439–447.

Muhibullah. 2001. Efektivitas Albendazole terhadap Cacing Nematoda pada

Ayam Buras. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Ossain, M.I ., M.L . Dewan and M.A . Baki . 1980 . Preliminary studies on the

efficacy of tetramisole hydrochloride (ICI) against transmammary

migration of Toxocara (Neoascaris) vitulorum larvae in buffalo cows .

Bangladest J . Agic . Sci . 7 : 25-28

Page 38: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

27

Overgaauw, P.A.M. 1997. Prevalence of intestinal nematodes of dogs and cats in

the Netherlands . Vet . Quart . 19 : 14-17 .

OIE. 2005. Toxocariasis. Institute for International Cooperation in Animal

Biologics Collaborating Center Lowa State Unversity Collage of

Veterinary Medicine.

Pandey, V.S ., F.W.G. Hill, D .G. Hensman and L .C . Baragwanath. 1990 .

Toxocara vitulorum in beef calves kept on effluent-irrigated pastures in

Zimbabwe . Vet . Parasitol . 35 : 349-355 .

Purwanta, Nuraeni, Josephina DH, Sri S. 2009. Identifikasi Cacing Saluran

Pencernaan (Gastrointestinal) pada Sapi Bali Melalui Pemeriksaan tinja

di Kabupaten Gowa. Jurnal Agrisistem. Vol .5 No. 1.

Roberts, J .A . 1990a . The life cycle of Toxocara vitulorum in Asian buffalo

(Bubalus bubalis) . Int . J . Parasitol . 20 : 833-840 .

Roberts, J .A. 1990b. The egg production of Toxocara vitulorum in Asian buffalo

(Bubalus bubalis). Vet. Parasitol . 37 : 113-120 .

Santoso, Undang. 2006. Seri Agribisnis Tata Laksana Pemeliharaan Ternak

Sapi. PT. Penerbit Penebar Swadaya : Bogor

Sadjjadi, S.M., M. Khosravi, D . Mehrabani and A. Orya, 2000. Seroprevalence of

Toxocara infection in school children in Shiraz, Southern Iran . J . Trop.

Pediatr . 46(6) : 327-30 (Abstract) .

Sackey, A.K., B.J.B.D. George and M. Sale. 2003. Observation on the age at

initial infection of Zebu calves by Toxocara vitulorum in Northern Nigeria.

Trop. Vet . 21 : 124-128

Susilorini, T. E., Sawitri. M. E., Muharlien., 2008. Budidya 22 Ternak Potensial.

Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta

Susanto, A. 2008. Prevalensi Infeksi Cacing Toxocara Vitulorum Pada Anak Sapi

Perah dan Anak Sapi Potong di Kabupaten Pasuruan. Undergraduate

Theses of Airlangga University. Surabaya.

Subronto dan Ida Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.

Subronto. 2006. Infeksi Parasit pada Hewan Ternak Sapi. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminth, Artropods and Protozoa of Domesticated

Animals. 7th Ed. Bailliere Tindall, London

Starke-Buzetti, W.A ., R.Z. Machado and M .C . Zocollerseno, 2001 . An enzyme-

linked immunosorbent assay (ELISA) for detection of antibodies against

Toxocara vitulorum in water buffaloes . Vet . Parasitol . 97 : 55-64 .

Trisunuwati, P., T. Cornelissen and Nasich. 1991 . A parasitological study on the

impact of Nematodes on the production of livestock in the limestone area

of South Malang. Interdiciplinary Res. J. Landbouw Agric. Univ.

Wageningen. The Netherlands.

Terry JA. 2013. The Use Of Duddingtonia Flagrans For Gastrointestinal

Parasitic Nematode Control In Feces Of Exotic Artiodactylids At Disney’s

Animal Kingdom. [Tesis]. Lousiana (US): Lousiana State University

Urquhart, G.M.,Armour, J., Duncan, j.L. 2002. Veteriner Parasitology 2nd

Ed.

Blackwell Science Publishing : Skotlandia Yasin, S dan Indarsih, B. 1988.

Seluk Beluk Peternakan Sebuah Bunga Rampai. Anugrah Karya. Jakarta

Page 39: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

28

Yudha, Haddi Wisnu, dkk. 2014. Identifikasi dan Program Pengendalian

toxocara vitulorum pada Ternak Ruminansia Besar. Fakultas Kedokteran

Hewan Institut Pertanian Bogor.

Warren, E.G. 1971 . Observations on the migration and development of Toxocara

vitulorum in natural and experimental hosts . Int . J. Parasitol . 1 : 85-99.

Winarso, Aji, dkk. 2015. Factor Prevalensi Infeksi Toxocara vitulorum pada Sapi

Potong di Kecamatan Kasiman, Kabupaten Bojonegoro. Jurnal Ilmu

Pertanian Indonesia (JIPI).

Williamson, G and W.J.A Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.

Alih Bahasa : Djiwa Darmadja. UGM Press. Yogyakarta.

Page 40: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

29

LAMPIRAN

1. Hasil pemeriksaan Telur Toxocara vitulorum. pada sapi Bali di Desa Pucak,

Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros

No Kode Waktu Penelitian Nama

peternak

Hasil

Pengambilan sampel Pemeriksaan feses 1. 1 04/08/2015 20/08/2015 Dg. Buang -

2 04/08/2015 20/08/2015 -

3 04/08/2015 20/08/2015 -

4 04/08/2015 20/08/2015 -

5 04/08/2015 20/08/2015 -

6 04/08/2015 20/08/2015 -

7 04/08/2015 20/08/2015 -

8 04/08/2015 20/08/2015 -

9 04/08/2015 20/08/2015 +

10 04/08/2015 20/08/2015 -

11 04/08/2015 20/08/2015 -

12 04/08/2015 20/08/2015 -

13 04/08/2015 20/08/2015 -

14 04/08/2015 20/08/2015 -

2. 15 04/08/2015 20/08/2015 Pak Arman -

3. 16 04/08/2015 20/08/2015 Dg. Kanang -

4. 17 05/08/2015 20/08/2015 Dg. Lengko -

18 05/08/2015 20/08/2015 -

19 05/08/2015 20/08/2015 -

20 05/08/2015 20/08/2015 -

5. 21 05/08/2015 24/08/2015 Baso Raga -

Page 41: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

30

22 05/08/2015 24/08/2015 -

23 05/08/2015 24/08/2015 -

24 05/08/2015 24/08/2015 -

25 05/08/2015 24/08/2015 Dg. Kanang -

6. 26 06/08/2015 24/08/2015 Dg. Ngeppe -

27 06/08/2015 24/08/2015 -

28 06/08/2015 24/08/2015 -

29 06/08/2015 24/08/2015 -

30 06/08/2015 24/08/2015 -

7. 31 06/08/2015 24/08/2015 Nene Hasna -

32 06/08/2015 24/08/2015 -

33 06/08/2015 24/08/2015 Dg. Lengko -

8. 34 06/08/2015 24/08/2015 Yauri Haryanto -

35 06/08/2015 24/08/2015 -

36 06/08/2015 26/08/2015 -

37 06/08/2015 26/08/2015 -

9. 38 07/08/2015 26/08/2015 Bahtiar -

39 07/08/2015 26/08/2015 -

40 07/08/2015 26/08/2015 -

41 07/08/2015 26/08/2015 -

42 07/08/2015 26/08/2015 -

43 07/08/2015 26/08/2015 -

44 08/08/2015 26/08/2015 Yauri Haryanto -

45 08/08/2015 26/08/2015 -

46 08/08/2015 26/08/2015 -

Page 42: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

31

47 08/08/2015 26/08/2015 -

10. 48 08/08/2015 26/08/2015 Muhammad

Saleh

-

49 08/08/2015 26/08/2015 -

50 08/08/2015 26/08/2015 -

51 08/08/2015 27/08/2015 -

52 08/08/2015 27/08/2015 -

11. 53 08/08/2015 27/08/2015 Sabri -

54 08/08/2015 27/08/2015 -

55 08/08/2015 27/08/2015 -

12. 56 08/08/2015 27/08/2015 Nahlan -

57 08/08/2015 27/08/2015 -

58 08/08/2015 27/08/2015 -

13. 59 08/08/2015 27/08/2015 Megawati -

14. 60 09/08/2015 27/08/2015 Sumiati -

61 09/08/2015 27/08/2015 -

62 09/08/2015 27/08/2015 -

63 09/08/2015 27/08/2015 -

15. 64 09/08/2015 27/08/2015 Nirwana -

65 09/08/2015 27/08/2015 -

66 09/08/2015 27/08/2015 -

67 10/08/2015 28/08/2015 Megawati -

68 10/08/2015 28/08/2015 -

69 10/08/2015 28/08/2015 -

70 10/08/2015 28/08/2015 -

71 10/08/2015 28/08/2015 Nene Hasna -

Page 43: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

32

72 10/08/2015 28/08/2015 -

73 10/08/2015 28/08/2015 -

74 10/08/2015 28/08/2015 +

75 10/08/2015 28/08/2015 -

76 10/08/2015 28/08/2015 -

77 10/08/2015 28/08/2015 -

16. 78 10/08/2015 28/08/2015 Kamaruddin -

79 10/08/2015 28/08/2015 -

80 10/08/2015 28/08/2015 -

81 10/08/2015 28/08/2015 -

17. 82 10/08/2015 28/08/2015 Pak Teki -

83 10/08/2015 28/08/2015 -

84 10/08/2015 28/08/2015 -

10/08/2015 28/08/2015 -

Page 44: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

33

2. Dokumentasi penelitian

Foto 1. Sapi Bali di Desa Puca, Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros

Foto 2. Pengambilan feses secara langsung dikandang setelah sapi Bali

defekasi

Foto 3. Pengambilan feses secara langsung di ladang pesawahan setelah sapi

Bali defekasi

Page 45: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

34

Foto 4. Pengujian laboratorium dengan metode uji Apung

Foto 5. Hasil pemeriksaan dibawah mikroskop

Page 46: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

35

Gambar. 6 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah kiri)

Gambar. 7 sapi umur 30 tahun terinfeksi telur T. vitulorum (tampak sebelah

kanan)

Page 47: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

36

3. Data spesimen

Propinsi : Sulawesi Selatan

Kabupaten : Maros

Kecamatan : Tompobulu

Desa : Pucak

Pemeriksaan : Toxocara vitulorum (Uji Apung)

Page 48: PREVALENSI TOXOCARIASIS PADA SAPI BALI DI KABUPATEN …

37

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Sri Febrianti T, dilahirkan

pada tanggal 1 Maret 1993 di Kabupaten Enrekang,

Sulawesi Selatan dari pasangan suami istri Drs. Tahan, S.Pd,

M.Pd dan Liana, S.P di dan merupakan anak ketiga dari

empat bersaudara.

Penulis mengenyam pendidikan di SD Negeri 98

Tongko dan lulus tahun 2005. Penulis kemudian

melanjutkan pendidikan ke MTs Pesantren Darul Falah Enrekang dan lulus tahun

2008, dan melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Enrekang dan lulus pada

tahun 2011. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program

Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin.

Selama perkuliahan penulis aktif dalam berbagai organisasi internal

kampus diantaranya anggota bidang interna di Bidang Pengkaderan

(HIMAKAHA) Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

tahun 2012-2013. Selain itu penulis juga aktif pada organisasi eksternal kampus,

yakni organisasi daerah Himpunan Pelajar Mahasiswa Massenrempulu (HPMM)

Komisariat Universitas Hasanuddin sebagai kepala bidang Aparatur Organisai

(PAO). Serta penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitian didalam kampus

dan diluar kampus.