Upload
yulia-dyah-savitri
View
479
Download
34
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Produksi meabolit sekunder dengan kultur jaringan
Citation preview
MAKALAH KULTUR JARINGAN
PRODUKSI METABOLIT SEKUNDER DENGAN
KULTUR JARINGAN
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kultur Jaringan
Disusun Oleh :
YULIA DYAH SAVITRI
NIM. K4310090
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2013
A. Pendahuluan
Permasalah yang kerap muncul dalam industri farmasi adalah pengadaan
bahan baku obat. Salah satu sumber bahan baku obat tersebut berasal dari
metabolit sekunder yang diproduksi oleh tanaman. Namun, produksi metabolit
sekunder secara konvensional pada tanaman biasanya memiliki kadar yang
sedikit. Salah satu metode yang digunakan untuk menghasilkan metabolit
sekunder yaitu dengan menggunakan metode bioteknologi.
Metode bioteknologi telah terbukti dapat meningkatkan beberapa produksi
beberapa metabolit sekunder pada tanaman. Salah satu metode bioteknologi yang
dimanfaatkan untuk memproduksi metabolit sekunder yaitu kultur jaringan
tanaman. Kultur jaringan yaitu metode perbanyakan organ, jaringan, sel, atau
bagian sel di dalam suatu media yang sessuai secara aseptic dengan tujuan tertentu
yang sifat-sifatnya akan sama dengan sifat genetik induknya (Santosa, 2008).
Tanaman memiliki daya regenerasi yang kuat, hal ini telah lama disadari dan
ini adalah merupakan titik tolak berkembangnya industri kultur jaringan tanaman.
Beberapa peneliti mengembangkan hasil penelitian sebelumnya bahwa
sel/jaringan dapat ditanam secara terpisah dalam suatu kultur/media tertentu.
Usaha pengembangan tanaman dengan metoda kultur jaringan tanaman
merupakan usaha perbanyakan varietas tanaman/spesies tanaman secara vegetatif.
Spesies tanaman yang sering dikembangkan adalah tanaman hias, bunga, tanaman
pertanian seperti sayur-sayuran, buah- buahan. Selain untuk perbanyakan varietas
tanaman, saat ini kultur jaringan diarahkan untuk beberapa tujuan, antara lain
untuk memproduksi metabolit sekunder (alkaloid, flavonoid, dll). Prinsip
budidaya melalui kultur jaringan bertitik tolak dari teori sel yang ditemukan oleh
Schleiden dan Schwann, bahwa sel memiliki kemampuan autonom bahkan
memiliki sifat totipotensi. Totipotensi merupakan kemampuan tiap-tiap sel yang
diambil dari bagian manapun, yang jika diletakkan pada lingkungan sesuai akan
tumbuh menjadi tanaman yang sempurna. Produksi metabolit sekunder melalui
kultur in vitro sel atau organ merupakan jalur yang lebih tepat dibandingkan
dengan mengkonstruksi suatu mikroba untuk melakukan fungsi-fungsi sintesis
produk sekunder. Metabolit sekunder yang dipergunakan dalam industry diisolasi
dari berbagai jenis tanaman. Sebagian dari tanaman ditemukan tumbuh liar ditepi
jurang atau ditengah hutan. Disamping faktor habitat tumbuh pada tempat yang
sukar dicapai dan umur yang panjang, variasi kandungan metabolit penting,
karena genotype dan lingkungan telah menimbulkan masalah untuk produksi
skala industri. Oleh karena itu, penggunaan sisitem in vitro membuka suatu
alternative yang menarik untuk produk-produk yang suplai bahan mentahnya
tidak dapat dipastikan
B. Metabolit Sekunder
Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial bagi
pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam bentuk yang unik atau berbeda-
beda antara spesies yang satu dan lainnya. Senyawa ini umumnya mempunyai
kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari
gangguan hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya.
Sebagian besar dari metabolik sekunder adalah turunan dari lemak. Setiap
organisme biasanya menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berbeda-
beda, bahkan mungkin satu jenis senyawa metabolit sekunder hanya ditemukan
pada satu spesies dalam suatu kingdom. Senyawa ini juga tidak selalu dihasilkan,
tetapi hanya pada saat dibutuhkan saja atau pada fase-fase tertentu.
Fungsi metabolit sekunder adalah untuk mempertahankan diri dari kondisi
lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya untuk mengatasi hama dan
penyakit, menarik polinator, dan sebagai molekul sinyal. Secara umum kandungan
metabolit sekunder dalam bahan alam hayati dikelompokkan berdasarkan sifat
dan reaksi khas suatu metabolit sekunder dengan pereaksi tertentu. Atas dasar ini,
kandungan metabolit sekunder dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Alkaloid
Merupakan suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan
di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloida berasal dari tumbuh-tumbuhan
dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloida
mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa
dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini bagian dari cincin heterosiklik.
Hampir semua alkaloid yang ditemukan dialam mempunyai keaktifan
biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat
berguna dalam pengobatan. Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai
bagian tumbuhan seperti biji, daun, ranting dan kulit batang. Sifat fisika dan
kimia alkaloid :
a. Berupa kristal, amorf, dan ada yang cair (nikotina dan sparteina)
b. Tidak berwarna
c. Jika bersifat basa, larut dalam pelarut organic
d. Garam alkaloida larut dalam air, tidak larut dalam pelarut organic
Alkaloid biasanya diklasifikasikan menurut sifat seperti :
a. Alkaloida (alkaloid sejati)
Alkaloida mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklik, berasal dari
asam amina.biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai asam organik.
b. Proto alkaloida
Proto alkaloida berasal dari asam amino, tetapi nitrogennya tidak terletak
pada cincin heterosiklik.
c. Asenda alkaloida
Asenda alkaloida tidak difotosintesis dari asam amino, 2 macam
asenda alkaloida yang terpenting adalah alkaloida steroida, misalnya
konssina dan alkaloid purina, misalnya koffeina.
2. Triterpenoid / Steroid
Triterpenoid merupakan senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari
enam satuan isoprene dan secara biosinesis dirumuskan dari hidrokarbon
yang kebanyakan berupa alkohol, aldehid, dan asam karbohidrat. Senyawa
ini tidak berwarna, berbentuk kristal, bertitik leleh tinggi dan bersifat optis
aktif. Steroid adalah golongan senyawa triterpenoid yang mengandung inti
siklopentana perhidrofenantren yaitu dari tiga cincin sikloheksana dan
sebuah cincin siklopentana.
3. Flavonoid
Merupakan senyawa metabolit sekunder yang banyak terdapat pada
tumbuh-tumbuhan. Selain itu, merupakan senyawa fenil propanoid dengan
kerangka karbon C6-C3-C6. Artinya kerangka karbonnya terdiri dari dua
gugus C6 disambung dengan rantai alifatik tiga karbon. Sebagian besar
senyawa flavonoid ditemukan di alam dalam bentuk glikosida, dimana unit
flavonoid terikat pada suatu gula.
4. Fenolik
Merupakan kelompok senyawa aromatik dengan gugus fungsi hidroksil.
Sisi dan jumlah grup hidroksil pada grup fenol diduga memiliki hubungan
dengan toksisitas relatif mereka terhadap mikroorganisme dengan bukti
bahwa hidroksitasi yang meningkat menyebabkan toksisitas yang
meningkat.
5. Saponin
Merupakan kelompok senyawa dalam bentuk glikosida terpenoid /
steroid. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada
bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap
pertumbuhan. Dikenal dua jenis saponin yaitu glikosida triterpenoid alkohol
dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping
spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak
larut dalam Eter. Saponin triterpenoid dapat mempunyai asam oleanolat
sebagai aglikonnya dan asam ini ditemukan juga bebas, meskipun demikian
dalam beberapa kasus, aglikonnya hanya dikenal sebagai sapogenin.
6. Kumarin
Merupakan kelompok senyawa fenol yang umumnya berasal dari
tumbuhan tinggi dan jarang ditemukan pada mikroorganisme, kumarin ini
mempunyai kerangka C6-C3. Senyawa kumarin dibagi empat kelompok :
Kumarin sederhana dan turunannya yang berupa hasil hidroksidasi
alkoksida, glikosida. Contohnya : suberosin.
Furano kumarin jenis linear dan anguler, dimana terdapat subtitusi pada
posisi benzoid. Contohnya : angelicin.
Pyranokumarin analog dengan furano kumarin tapi memiliki cincin
enzim pada subtituennya. Contohnya : xantyletin.
Kumarin yang tersubtitusi pada cincin purin. Seperti 4-hidroksi kumarin.
7. Zat warna kuinon
Merupakan suatu heterosikel cincin terpadu yang strukturnya berubah
dengan naftalena, tetapi dengan nitrogen pada posisi isokaindina adalah
isomer 2-nya.
8. Karotenoid
Senyawa turunan dari isoprena yang berantai panjang. Karotenoid
adalah golongan senyawa kimia organik bernutrisi yang terdapat pada
pigmen alami tumbuhan dan hewan. Berdasarkan struktur kimianya,
karotenoid masuk kedalam golongan ttiterpenoid. Karotenoid merupakan zat
yang menyebabkan warna merah, kuning, orange, dan hijau pada buah dan
sayuran. Peran penting karotenoid adalah sebagai agen antioksidan dan
dalam sistem fotosintesis. Selain itu karotenoid juga dapat diubah menjadi
vitamin esensial.
C. Produksi Metabolit Sekunder dengan Kultur Jaringan
Tumbuhan merupakan sumber utama senyawa-senyawa kimia yang
digunakan untuk industri farmasi, industri makanan, minyak wangi. Banyak
dari senyawa tersebut diekstrak dari tumbuhan tropis, namun karena
ketersediaan, biaya yang mahal serta struktur senyawa tersebut yang sangat
kompleks, hal ini menjadi tidak ekonomis.
Metabolit sekunder tanaman dihasilkan dari proses metabolisme
respirasi dan melalui kultur jaringan dapat ditingkatkan kandungan metabolit
sekunder bahkan dari yang tidak ada menjadi ada dengan penambahan
senyawa-senyawa yang merupakan prekursor.
Dalam usaha menghasilkan metabolit sekunder untuk skala besar,
sangat diperlukan pemahaman yang besar tentang tingkah laku sel, biosintesis
metabolit sekunder didalam tubuh tanaman tersebut. Oleh karena itu,
biosintesis metabolit sekunder dengan menggunakan kultur jaringan menjadi
alternatif pilihan dan akhirnya menjadi tujuan yang berharga.
Berikut ini beberapa usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan
produksi metabolit sekunder adalah
1. Penggunaan Fusi Sel Untuk Produksi Senyawa Metabolik Sekunder
Produksi senyawa metabolit sekunder bisa dilakukan dengan kultur
sel tanaman. Akan tetapi, produktivitas kultur sel masih lebih rendah
daripada produktivitas tanaman di lapang. Akhir-akhir ini, sudah
dilaporkan beberapa lini sel yang berhasil dimantapkan dengan melakukan
seleksi. Lini-lini sel ini menghasilkan senyawa metabolit sekunder dalam
jumlah besar. Kultur protoplast juga sudah digunakan untuk pemuliaan
tanaman, untuk mendapatkan muatan yang resisten terhadap obat-obatan,
dan auxotrof serta untuk hibridisasi somatik. Sebagian besar tanaman yang
dipelajari berasal dari genus Solanaceae. Teknologi protoplast yang
dikembangkan dari kultur protoplast yang berasal dari lini-lini sel yang
menghasilkan metabolit sekunder dalam jumlah besar akan menjadi
bidang yang penting dalam teknologi kultur jaringan tanaman. Kultur
protoplast penting untuk menyeleksi sel tunggal yang mengandung
metabolit sekunder dalam jumlah tinggi.
Yamada (1985) sudah mengkulturkan protoplast (klon sel tunggal)
dari lini sel Coptis yang memproduksi sejumlah besar Berberine. Dari
protoplast tersebut kemudian berhasil diinisiasi koloni kalus dan
kandungan berberinnya dianalisis. Ternyata kemudian didapatkan bahwa
lini-lini sel yang berasal dari protoplast mempunyai kandungan berberin
yang serupa dengan lini sel induknya. Pertumbuhan lini sel dari protoplast
lebih besar dari pada lini sel induknya. Hal yang menarik adalah lini-lini
sel yang berasal dari protoplast menunjukkan variasi kromosom meskipun
setiap klon diturunkan dari protoplast tunggal. Dengan mempergunakan
kultur protoplast, hal ini penting untuk mendapatkan lini sel yang tumbuh
sangat cepat akan menghasilkan hibridoma tanaman.
2. Seleksi sel
Seleksi Klon pada kultur jaringan tanaman telah digunakan untuk
mendapatkan lini sel yang menghasilkan produk metabolit sekunder dalam
jumlah besar. Seleksi ini telah berhasil meningkatkan metabolit sekunder
pada beberapa lini sel tanaman. Pada tanaman Morinda citrifolia seleksi
telah meningkatkan produksi Anthraquinone 10 kali lebih tinggi dari pada
tanaman dilapang (Zenk et al., 1975). Pada tanaman ubi jalar, lini sel yang
menghasilkan Antosianin tinggi juga dihasilkan dengan cara seleksi kultur
kalus (Nozue et al., 1986). Sedang pada tanaman Polygonum tinchtorium
Ait, seleksi agregat telah meningkatkan kandungan Antosianin 4 kali
kultur tanpa seleksi pada kultur suspensi sel telah menghasilkan 10 kali
lebih tinggi (Ernawati et al., 1991 a, b). Yamamoto et al.,(1982)
melaporkan bahwa seleksi lini sel pada Euphorbia millii meningkatkan
kandungan Antosianin tujuh kali lebih tinggi dari kandungan awalnya.
Demikian juga Yamada dan Sato (1981) mendapatkan lini sel Coptis
japonica yang menghasilkan Berberine yang lebih tinggi dari pada
tanaman aslinya.
Dasar dari seleksi pada kultur jaringan untuk menghasilkan
senyawa-senyawa metabolit sekunder adalah adanya variasi pada sel-sel
dalam kemampuannya untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi ini
dikenal sebagai variasa somaklonal dan secara genetik variasi ini cukup
besar sehingga telah terbukti dapat dimanfaatkan sebagai sumber
keragaman untuk menghasilkan senyawa tertentu. Variasi somaklonal ini
dapat diperoleh dari kultur sel yang berasal dari protoplast atau cara¬-cara
lain.
Jenis seleksi yang digunakan relatif spesifik tergantung jenis
senyawa yang dihasilkan. Jenis senyawa yang dihasilkan ini menentukan
disain metode seleksi dan memilih lini sel untuk digunakan. Hal mendasar
yang harus diketahui adalah inisiasi kultur awal harus mempertimbangkan
spesies dan kultivar yang menghasilkan senyawa yang bersangkutan.
Untuk mendesain cara seleksi yang harus dipertimbangkan tidak hanya
aspek biokimia dari senyawa yang diinginkan dan spesies tanaman yang
dikulturkan, tetapi juga jenis kultur yang dipakai.
Penggunaan kultur kalus pada banyak study dibatasi oleh kontak
langsung sel dengan medium, karena sel-selnya berikatan satu sama lain.
Dalam hal ini juga sulit untuk melakukan pemindahan / sub kultur yang
seragam baik jumlah / massa sel maupun keseragaman tipe sel jika
memindahkan sekelompok kecil dengan spatula. Selain kultur kalus,
sistem yang telah digunakan adalah sistem kultur suspensi sel. Sistem
kultur suspensi mempunyai keuntungan-keuntungan tertentu mencakup:
Kecepatan pertumbuhan yang lebih cepat
Transfer/sub kultur sel relative homogeny
Sel-sel yang ada dapat diamati dengan mikroskop karena
merupakan sel-sel bebas
Medium cair berada dalam kontak langsung dengan setiap sel
Medium dapat diperbaharui dengan mudah dengan penambahan
medium baru
Sel-sel dapat diplating secara langsung
Sistem kultur suspensi sudah digunakan untuk menyeleksi lini-lini
sel yang resisten terhadap asam amino (Gathercole dan Street, 1976;
Palmer dan Widholm, 1975; Widholm, 1972; Widholm 1974) dan NaCl
(Nabors et al, 1975). Emawati et al. (1991 b) jugs mempergunakan sistem
ini untuk mendapatkan lini yang menghasilkan antosianin.
Seleksi Klon adalah teknik yang sangat berguna dimana, sebuah
lini sel berasal dari sebuah sel tunggal sehingga sel-sel dalam satu lini
mempunyai informasi genetik yang sama. Hal ini sangat penting untuk
memastikan kemurnian dan stabilitas lini¬lini yang diinginkan. Tetapi
pada umumnya teknik pengklonan ini sangat tidak efisen untuk dikerjakan
secara rutin. Salah satu sistem yang mungkin digunakan adalah
mikrospora yang diisolasi dari Nicotiana tabacum, Nicotiana sylvestris
dan Datura innoxia sudah diinduksi untuk membentuk embrio dan
kemudian menjadi tanaman. Sistem ini memungkinkan isolasi sel tunggal,
yaitu sel-sel haploid yang mungkin sangat berguna untuk seleksi.
Kesesuaian teknik ini tergantung pada jumlah embrio yang dapat
diperoleh. Nitsch (1977) mendapatkan bahwa rata-rata 5% dari \
mikrospora Nicotiana tabacum berkembang menjadi platlets. Karena
terdapat 5 anther pads setiap bunga, dan setiap anther mengandung 30.000
mikrospora, maka rata-rata 7000 plantlet dapat diproduksi dari setiap,
bunga. Karena itu terdapat sejumlah besar dari embrio yang sedang
berkembang dapat diperoleh dengan sistem ini. Kenyataan sampai saat ini
adalah bahwa tidak mudah bekerja dengan set tumbuhan bila
dibandingkan dengan mikroba. Sel-sel tumbuhan umumnya tumbuh
dengan sangat lambat, untuk agregat sel, jika diplating tidak akan tumbuh
bila kerapatannya rendah dan menunjukkan ketidakstabilan kromosom dan
ploidy. Kesulitan-kesulitan ini tidak mengecualikan manipulasi sel-sel
tanaman yang sukses, tetapi menyebabkan lambatnya kemajuan.
3. Penggunaan Elicitor untuk Produksi Metabolit sekunder
Penggunaan kultur suspensi tanaman untuk memproduksi
senyawa-senyawa biokimia sampai saat ini masih jauh dari target yang
diinginkan. Untuk memperbaiki produk yang dihasilkan, bermacam-
macam teknik sudah dikembangkan untuk menyeleksi kultur sel tanaman
yang dihasilkan senyawa dalam jumlah besar. Dasar yang digunakan
dalam seleksi ini adalah variasi somaklonal. Klon hasil seleksi kemudian
disub kultur. Selama periode sub kultur ini, klon yang menghasilkan
produk dalam jumlah besar tersebut, sering menunjukkan penurunan
produktivitas, sehingga untuk memproduksi dalam skala besar menjadi
sulit. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan seleksi berulang pada waktu
tertentu.
Sebuah pendekatan lain untuk memperbaiki produk yang
dihasilkan pada kultur sel tanaman adalah alterasi metabolisme sel melalui
faktor-faktor eksternal, misalnya stress. Kultur sel tanaman pada dasarnya
bersifat totipotensi karena itu semua produk yang ada pada tanaman induk
seharusnya juga disinetsi pada kultur dalam kondisi yang tepat. Pada
interaksi antara tanaman inang dengan pathogen yang biasanya bersifat
spesifik species, infeksi pathogen menginduksi pembentukan produk
(fitoaleksi) yang toksik terhadap organism yang menginvasi. Enzim-enzim
dari metabolisme sekunder juga diinduksi oleh pathogen yang menginvasi
yang menghasilkan fitoaleksin. Dalam hal ini elicitor berperan penting
dalam menginduksi enzim yang terlibat dalam siklus metabolisme.
Proses penambahan elisitor pada sel tumbuhan dengan tujuan
untuk menginduksi dan meningkatkan pembentukan metabolit sekunder
disebut elisitasi. Selain itu, elisitasi merupakan suatu respon dari suatu sel
untuk menghasilkan metabolit sekunder. Dalam hal ini adanya interaksi
patogen dengan inang akan menginduksi pembentukan fitoaleksin pada
tumbuhan. Fitoaleksin itu sendiri merupakan senyawa antibiotik yang
mempunyai berat molekul rendah, dan dibentuk pada tumbuhan tinggi
sebagai respons terhadap infeksi mikroba patogen. Senyawa yang
merupakan bagian dari mekanisme tersebut dapat dianalogikan dengan
antibody yang terbentuk sebagai respons imun pada hewan (Yoshikawa &
Sugimito, 1993). Elisitor selain dapat menginduksi sintesis fitoaleksin,
ternyata dapat juga menginduksi sintesis metabolit sekunder yang bukan
fitoaleksin pada kultur kalus dan sel (Eilert et al 1986).
Elicitor yang dipakai dapat berupa fraksi karbohidrat yang diambil
dari kultur suspense cendawa atau ekstrak yeast, atau lebih dikenal sebagai
glucas. Struktur glucan yang diperlukan untuk aktivitas elicitor adalah
(1,6)-B-B-glucopyranosyl. Sedang molekul aktif terkecilnya adalah
glukoheptose.
Dosis elicitor yang dipakai juga menentukan efektivitasnya dalam
menginduksi senyawa yang diinginkan. Dosis yang terlalu tinggi
menyebabkan timbulnya gejala nekrosa yaitu terjadinya pencoklatan sel.
Dosis yang tepat ddapat ditentukan dengan percobaan, dan tergantung
pada jenis elicitor yang dipakai serta sel tanaman yang diberi perlakuan.
Pada kultur suspense sel kedelai, elicitor yang diberikan berasal dari
cendawan Phytopthora mega sperma, dan dosis yang diberikan adalah
untuk 20 μg elicitor per mg berat kering sel untuk menginduksi sintesis
senyawa-senyawa yang merupakan isomer glyceollin. Apabila elicitor
yang dipakai berasal dari ekstrak yeast, konsentrasi yang dipakai adalah
5,2 mg/ml dari ekstrak yang sudah dianalisis. Pada kultur Tabernaemonta
spp., dosis yang dipakai adalah 100 mg cellulase, atau 100 gr pectinase
atau 100 mg suspense Mycellium Aspergillus niger untuk menghasilkan
indole alkolodi apparicine sebagai salah satuu produk utama. Pada kultur
suspense Thalictrum rugosum dosis elicitor 200 μg/g berat basah sel
menghasilkan berberin maksimum.
Pemberian elicitor dapat dilakukan pada berbagai fase
pertumbuhan sel, tetapi nampaknya tidak terdapat keserupaan antara sel
yang diberi perlakuan elicitor dengan sel tanpa perlakuan elicitor. Pada
kultur Thalictrum rugosum, berberine dihasilkan berasosiasi dengan
pertumbuhan sel. Tetapi pada kultur sel yang diberi elicitor produk
berberin tertinggi dipakai apabila elicitor pada fase lag tidak
mengakibatkan terjadinya peningkatan produksi berberin. Pemberian pada
fase stasioner mengaskibatkan terjadinya penurunan berat kering total
yang lebih besar daripada pemberian pada fase pertumbuhan eksponensial,
tetapi pemberian pada kedua fase ini meningkatkan hasil berberine.
Perbedaan ini mungkin terjadi pada sel-sel yang berada pada fase awal
pertumbuhan, sel tidak memproduksi Tyrosine atau prekutsor-prekursor
lain yang terlibat pada sintesa berberin. Sebab lain mungkin enzim-enzim
yang bertanggug jawab pada sintesa berberine tidak diinduksi pada sel-sel
muda tersebut. Pada kultur sel Tabernaemontana sp, elicitor diberikan
pada saat kultur berumur 10 hari yang merupakan fase akhir pertumbuhan
ekponensial. Pada kultur suspense sel tembakau pemberian elicitor
dilakukan pada fase pertumbuhan eksponensial.
Frekuensi pemberian elicitor juga dapat dilakukan lebih dari satu
kali, teragantung pada jenis sistem yang digunakan dan juga jenis tanaman
yang dikulturkan. Pada kultur Papaver somniverum L. yang dikulturkan
dengan proses semi continous, elicitasi dengan sanguinarine (SGE) dan
dihydrosanguinarine (DSGE). Elisitas yang sama, hanya mediumnya yang
diganti. Elicitasi kembali ini menunjukkan peningkatan sensivitas kultur
terhadap elicotir yang diberikan (pertumbuhan menurun, produknya
meningkat). Hal ini membawa harapan untuk memudahkan dalam
penyusunan sistem produksi secara besar-besaran. Pada kultur suspense
tanaman lainnya elicitor diberikan hanya sekali pada sel yang sama.
Waktu yang diperlukan oleh sel untuk menghasilkan produk dalam
jumlah maksimum setelah pemberian elicitor berbeda-beda tergantung
jenis kulturnya. Pada kultur suspense sel tembakau, capsidiol mencapau
jumlah maksimum antara 15 samapai 20 jam sesudah sel diberi perlakuan
elicitor. Pada kultur T. rugosum, berbeda mencapai jumlah maksimal 120
jam sesudah kultur diberi perlakuan elicitor. Sedang pada kultur Papever
somniforum L. SGE dan SDGE dipanen dari sel sesudah sel berumur 14
hari setelah diberi perlakuan. Pada kultur Tabernaemontana sp.
pemanenan dilakukan pada saat kultur berumur 4 hari setelah kultur diberi
perlakuan elicitor. Hal ini menunjukkan bahwa waktu yang diperlukan
untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder tidak tergantung pada
konsentrasi elicitor.
Suatu hal yang menarik, pemberian elicitor mampu menaikkan
hasil pada produksi senyawa yang diinginkan dan juga menghasilkan
senyawa yang tidak dihasilkan oleh kultur tanpa elicitor. Pada kultur
suspense sel tembakau, sel yang diberi perlakuan elicitor menghasilkan
capsidiol lebih dari 10 μg/g berat basah pemberian elicitor pada kultur
Thalictrum rugosum menghasilkan berberin 4-4,5% berat kering, sedang
kultur yang sama tanpa elicitor hanya menghasilkan berberin 0,5% berat
kering kultur. Pada kultur Tabernaemontana sp., pemberian elicitor selain
meningkatkan produksi de novo zat bioaktif antimikroba yang tergolong
triterpene, juga meningkatkan berat basah total. Sedang pada kultur
Papever somniforum L. kultur yang mengalami elicitasi menghasilkan
DSGE dan SGE sedang kultur yang tidak dielicitasi hanya menghasilkan
SGE. Jumlah total DSGE dan SGE yang dihasilkan oleh kultur yang tidak
dielicitasi.
Sumber Metabolit Sekunder Pada Tanaman.
Beberapa jenis senyawa metabolit sekunder yang telah diproduksi
secara komersial melalui kultur jaringan adalah
Produksi Shikonin yaitu suatu senyawa napthaquinon yang digunakan
sebagai bahan pewarna dan bahan obat-obatan telah diproduksi dalam
skala komersial oleh Mitsui Petrochemical Co.
Produksi nikotin dalam konsentrasi tinggi dari beberapa kalus
Nicotiana
Produksi berberin dari Coptis japonica.
(George, E. R. 1984)
Sedikitnya senyawa metabolit sekunder yang telah diproduksi secara
komersial antara lain disebabkan oleh masih rendahnya kuantitas produksi
senyawa tersebut dalam kultur jaringan tanaman. Oleh karena itu, tujuan
produksinya melalui kultur jaringan adalan untuk memproduksi sel, kalus
atau embrio somatik yang dapat memproduksi senyawa metabolir
sekunder dalam kuantitas dan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan produksinya pada tanaman. Beberapa contoh perbandingan
produksi senyawa metabolit sekunder melalui kultur jaringan dengan
isolasi di daun antara lain penigkatan kadar kurkumin pada tanaman kunyit
dan temulawak (Eigner, 1999).
Senyawa Kurkumin pada tanaman Kunyit dan Temulawak
Kunyit (Curcuma domestica Val ) dan temulawak (Curcuma
xanthorhiza Val) merupakan tanaman obat potensial penghasil kurkumin.
Selain sebagai bahan baku obat, dapat juga digunakan sebagai bumb dapur
dan zat pewarna alami. Rimpangnya sangat bermanfaat sebagai
antikoagulan, menurunkan tekanan darah, obat cacing, obat asma,
penambah darah, mengobati sakit perut, penyakit hati, karminatif
stimulant, gatal-gatal, gigitan serangga, diare dan rematik. Kandungan
utama didalamnya salah satu yaitu kurkumin (Rahardjo dan Rostiana,
2004). Kunyit mengandung 3-4% kurkumin, terdiri atas kurkumin I 94%,
kurkumin II 6%, dan kurkumin III 0,3% (Chattopadhyay et al, 2004).
Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit
sekunder dari tanaman Zingiberaceae, khusunya kunyit dan temulawak
yang telah dimanfaatkan dalam industry farmasi, makanan, farfum dan
lain-lain (Joe et al. 2004). Senyawa kurkumin ini, seperti halnya senyawa
kimia lain seperti antibiotic, alkaloid, steroid, minyak atsiri, resin, fenol
yang merupakan hasil dari metabolit sekunder suatu tanaman (Indrayanto,
1987).
Kurkominoid adalah sekelompok senyawa fenolik yang terkandung
dalam rimpang tanaman family Zingiberaceae antara lain: Curcuma longa
syn. Curcuma domestica (kunyit) dan Curcuma xanthorhiza (temulawak).
Kurkumanoid bermanfaat untuk mencegah timbulnya infksi berbagai
penyakit. Kandungan utama dari kurkumanoid adalah kurkumin yang
berwarna kuning. Kandungan kurkumin di dalam kunyit berkisar 3-4%
(Joe et al, 2004; Eigner dan Schulz, 1999). Kurkumin (C2H20O6) atau
diferuloyl methane pertama kali diisolasi pada tahun 1815. Kemudian
tahun 1910, kurkumin diperoleh dalam bentuk Kristal dan dapat dilarutkan
pada tahun 1913. Kurkumin tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut
dalam etanol dan aceton (Joe et al, 2004; Chattopadhyay et al, 2004;
Araujo).
Metabolit sekunder seperti kurkumin dari tanaman kunyit dan
temulawak dapat dibentuk dengan cara menginduksi jaringan tanaman
pada media yang mengandung zat pengatur tumbuh untuk membentuk
kalus. Kalus berasal dari potongan organ yang telah steril dalam media
yang telah mengadung auksin dan kadangkala sitokinin. Kalus selanjutnya
diperbanyak dengan cara kultur kalus ataupun suspensi dan dapat juga
menggunakan elisitor dalam fermentor atau bioreactor, contohnya ginseng
(Furaya, 1982).
Senyawa metabolit sekunder melalui kultur jaringan dapat diisolasi
dari kalus atau sel. Kandungannya dapat ditingkatkan melalui seleksi
bahan tanaman atau jaringan, tingkat pertumbuhan tanaman, pemakaian
zat pengatur tumbuh dan prekusor, pemakaian mutagen baik secara fisik
maupun kimia serta manipulasi faktor lingkungan. Kalus sebagai bahan
senyawa sekunder dan produk lainnya dapat dipacu pembentukan dan
pertumbuhannya dengan pemakaian zat pengatur tumbuh 2,4D, NAA, dan
sering pula direkombinasikan dengan sitokinin. Adakalanya, kombinasi
auksin dengan sitokinin selain slain dapat merangsang proses pembelahan
sel juga mempengaruhi kandungan senyawa sekundernya. Hasil penelitian
Staba (1976) mendapatkan peningkatan kandungan diosgenin dengan
penggunaan 2,4D pada tanaman Dioscarea deltoidea.
Pada kultur sel, kalus akan kehabisan hara yang disebabkan karna
masa kultur yang panjang yang mengakibatkan penguapan air dan unsur
hara dari waktu ke waktu. Selain kehabisan hara, sel-sel dalam kalus juga
mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil metabolit sekunder.
Sehingga akan menghasilkan senyawa kurkumin dalam jumlah besar
dalam waktu singkat (Kristina, 1992).
Kultur suspensi adalah kalus yang ditumbuhkan pada media cair
dan kultur suspensi ini praktis digunakan untuk produksi bahan-bahan
sekunder. Dalam kultur suspensi ini dikenal dua kelompok kultur yaitu
kultur batch dan continues. Dalam kerangka batch, media hara dan volume
tetap, tetapi konsentrasi hara berubah sesuai dengan pertumbuhan sel.
Pada masa inkubasi terjadi pertambahan biomassa yang mengikuti pola
sigmoid. Setelah mencapai suatu masa tertentu sel berhenti membelah.
Oleh karena itu, kultur batch harus selalu diperbaharui. Sementara kultur
continues merupakan kultur jangka panjang dengan suplai hara yang
konstan dalam wadah yang besar. Dalam kultur ini terdapat system untuk
sirkulasi mengeluarkan media lama dan ditambahkan dengan media baru.
Dalam kultur sel continuous terdapat dua tipe yaitu tipe tertutup (close
type) dan tipe terbuka (open type). Dalam tipe tertutup sel bertambah trus
tanpa dipanen, hanya media yang disirkulasi. Sedangkan pada tipe terbuka,
penambahan media baru disertai juga dengan panen sel dan mdia. Tipe
kultur continuous yang terbuka dapat menggunakan chemostat atau
turbidostat. Chemostat mengguanakan standar konsentrasi bahan-bahan
kimia tertentu yang mengatur laju pertumbuhan misalnya konsentrasi N, P,
atau glukosa (Syahid, 2002).
Keberhasilan sintesa metabolit sekunder dipengaruhi oleh faktor
lingkungan dan kendala biologis. Faktor lingkungan dapat meliputi
cahaya, penggunaan zat pengatur tumbuh, prekusor, unsur hara yang
tersedia, komposisi medium, perbedaan morfologi, jaringan tanaman yang
digunakan dan aktivitas biosintesa (Tabata dalam Dalimuthe, 1987).
Bahan aktif dari suatub tanaman ini, dapat diperoleh dari tanaman lengkap.
Tanaman berinteraksi dengan lingkungan memperoleh metabolit sekunder
yang bermacam-macam (Harborne, 1996).
Seleksi in vitro untuk mendaparkan kalus dari tanaman kunyit dan
temulawak yang mengandung kurkumin tinggi dapat dilakukan dengan
menggunakan agen seleksi filtrate atau elisitor yang ditambahkan ke
dalam media tumbuh. Agen seleksi filtrat adalah jasad renik atau bagaian
dari gen-gen jasad renik yang mampu menampung gen asing yang
ditumpangkan pada struktur jasad renik tersebut dan ditransplantasikan ke
dalam sel-sel yang diharapkan mampu mengubah sifat-sifat sel (Xiaojie et
al, 2005).
Metabolit sekunder adalah senyawa yang tidak terlibat langsung
dalam pertumbuhan, perkembangan, dan reproduksi makhluk hidup.
Metabolit sekunder memegang peranan penting sebagai system pertahanan
terhadap virus (bakteri dan fungi), herbivore (molusca, anthropoda dan
vertebrata), tanaman lain (melalui allelopati), sebagai atractan bagi
binatang membantu polinasi dan penyerbukan, penyimpanan nitrogen,
system transport nitrogen dan proteksi terhadap sinar UV.
Senyawa metabolit sekunder dari tanaman kunyit dan temulawak
berada pada rimpangnya. Salah satu kandungannya metabolit sekunder
yaitu kurkumin sebanyak 3-4%. Kurkumoanoid merupakan senyawa
fenolik yang bermanfaat untuk mencegah timbulnya infeksi berbagai
penyakit.
Peningkatan kadar kurkumin pada tanaman ini dapat dilakuakn
melalui metode bioteknologi yaitu kultur jaringan. Bahan eksplan yang
digunakan berasal dari organ tanaman untuk membentuk kalus, yang
selanjutnya kalus diperbanyak dengan suspensi. Selain itu, dapat pula
digunakan lisitor dalam fermentor atau bioraktor dan menggunakan agen
seleksi filtrat.
DAFTAR PUSTAKA
Gangga, Erlindha,dkk.2007. Analisis Metabolit Sekunder dari Kalus Mahkota
Dewa (Phaleria macrocarpa).Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia.ISSN
1693-1831.Vol 5, No 1. Hal. 17-22.
Eilert, U., F. Constable, and W.G.W. Kurz, 1986, Elicitor stimulation of
monoterpene indole alkaloid formation in suspension cultures of
Catharanthus roseus, J. Plant Phys., 126, 11-22.
Hashimoto, T. and Y. Yamada, 1994, Alkaloid Biogenesis: Molecular Aspect, J.
Plant Mol. Biol., 45, 257-285.
http://e-learning.unram.ac.id/kuljar.html
http://www.fp.unud.ac.id/biotek/genetika-dan-pemuliaan-tanaman/metode-
pemuliaan-dengan-kultur-jaringan/
http://puspata.blogspot.com/makalah-kultur-jaringan.html