40
PROPOSAL PENELITIAN 1. Nama : Namira Qisthina ; NIM G.0010134 Paksi Suryo Bawono ; NIM G.0010148 Puji Rahmawati ; NIM G.0010154 Satria Adi Putra ; NIM G.0010172 Yunita Asri Pertiwi ; NIM G.0010202 2. Judul : Hubungan Polimorfisme Gen TF dengan Kejadian Anemia Defisiensi Besi pada Remaja Putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta 3. Bidang Penelitian : Biomedik 4. Latar Belakang Besi (Fe) adalah elemen logam yang ditemukan pada mineral tertentu, dalam hampir semua tanah, dan dalam air mineral (Dorland, 2010). Besi sangat penting untuk fungsi biokimia di antaranya besi berperan dalam transportasi oksigen ke jaringan

Proposal Gabung (1)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Proposal Gabung (1)

PROPOSAL PENELITIAN

1. Nama : Namira Qisthina ; NIM G.0010134

Paksi Suryo Bawono ; NIM G.0010148

Puji Rahmawati ; NIM G.0010154

Satria Adi Putra ; NIM G.0010172

Yunita Asri Pertiwi ; NIM G.0010202

2. Judul : Hubungan Polimorfisme Gen TF dengan Kejadian

Anemia Defisiensi Besi pada Remaja Putri

Sekolah Menengah Atas di Surakarta

3. Bidang Penelitian : Biomedik

4. Latar Belakang

Besi (Fe) adalah elemen logam yang ditemukan pada mineral

tertentu, dalam hampir semua tanah, dan dalam air mineral (Dorland,

2010). Besi sangat penting untuk fungsi biokimia di antaranya besi

berperan dalam transportasi oksigen ke jaringan dan dalam mekanisme

fosforilasi oksidatif. Status besi dalam tubuh dapat dinilai dengan

mengukur tingkat zat besi serum, serum transferin, saturasi transferin

dengan besi, dan feritin serum (Benyamin, 2009). Kekurangan besi dalam

tubuh dapat menyebabkan anemia. Anemia defisiensi besi adalah jenis

anemia mikrositik hipokrom yang disebabkan oleh rendahnya atau tidak

adanya simpanan besi dan konsentrasi besi serum. Pada anemia defisiensi

besi juga terdapat peningkatan porfirin eritrosit bebas, saturasi transferin

yang rendah, transferin yang tinggi, feritin serum rendah dan konsentrasi

hemoglobin rendah (Dorland, 2010).

Page 2: Proposal Gabung (1)

Prevalensi anemia di Indonesia menurut World Health

Organization (WHO) pada tahun 2006 pada wanita usia subur adalah

33,1%. Selain itu penelitian yang dilakukan ole Pusponegoro (2006)

bahwa prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, usia sekolah 47,2%,

dan ibu hamil sebesar 50,9%. Kemudian menurut Herman (2006) dalam

Dyah (2011) prevalensi anemia di Indonesia pada remaja putri lebih tinggi

yaitu sebesar 57,1 %. Oleh karena itu penulis menganggap penting untuk

menemukan berbagai etiologi maupun faktor resiko penyebab tingginya

angka anemia pada remaja putri.

Menurut penelitian batas kadar Hb remaja putri menurut World

Health Organization (WHO,2001) untuk diagnosis anemia apabila kurang

dari 12 gr/dl. Sedangkan batas kadar hemoglobin untuk anak balita sebesar

11gr% Hb, remaja laki-laki 13gr% Hb, ibu hamil 11gr% Hb, dan untuk ibu

menyusui 12 gr% Hb (DEPKES RI, 2012). Menurut Sutaryo (2005) dalam

Djariyanto (2008) akibat dari anemia meliputi pertumbuhan anak akan

terhambat, pembentukan sel otot kurang sehingga otot menjadi lemas,

daya tahan tubuh akan menurun, prestasi berkurang dan terjadi perubahan

perilaku. Pada remaja putri dampaknya tidak jauh berbeda yaitu dapat

terjadi gangguan kemampuan belajar, penurunan kemampuan bekerja dan

aktivitas fisik, dan dampak negatif terhadap sistem pertahanan tubuh

dalam melawan penyakit infeksi (Masrizal, 2007).

Anemia defisiensi besi dapat mengakibatkan gangguan fungsi

hemoglobin yaitu sebagai alat transport oksigen. Besi merupakan trace

element vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan

hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam

jumlah yang begitu berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat penyerapan

besi di usus, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi

yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makan berubah di

mana sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi perangkat

absorpsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak

menimbulkan defisiensi besi. Dampak lain anemia defisiensi besi adalah

Page 3: Proposal Gabung (1)

produktivitas rendah, perkembangan mental dan kecerdasan terhambat,

menurunnya sistem imunitas tubuh, morbiditas, dll (Bakta, 2006).

Transferin adalah glikoprotein yang berfungsi untuk tranport zat

besi. Setiap molekul transferin mengandung 2 atom Fe. Zat besi yang

berikatan dengan transferin akan terukur sebagai kadar besi serum yang

dalam keadaan normal sebesar 20-45%. Serum transferin dapat meningkat

pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan

akut, infeksi kronis, penyakit ginjal (Bandiara, 2003).

Penelitian yang dilakukan Sebetan (1993) menunjukkan bahwa

terdapat heterogenitas genetik pada gen TF (Transferrin Factor) yang

berpengaruh pada fenotip transferin. Sebetan (1993) menemukan terdapat

13 varian pada gen TF tersebut. Selain itu Benyamin et. Al (2009) juga

memaparkan bahwa tiga variansi gen TF berperan sekitar 40% dalam

variasi gen serum transferrin. Pada penelitian terakhir juga telah

menjelaskkan bahwa beberapa SNPs cukup besar pengaruhnya pada

variasi genetik serum transferrin, yaitu rs3811647 (Pichler I et al, 2011),

rs1049296, rs1799899 (Zoltan K et al, 2011), rs1799852 dan rs2280673

(Beban B et al, 2009), dua diantaranya diketahui menyebabkan anemia

defisiensi besi pada remaja putri yaitu pada rs3811647 dan rs1799852

(Rojo, 2011).

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih

lanjut apakah terdapat hubungan antara polymorphisme gen TF dengan

saturasi transferin terhadap kejadian anemia pada remaja putri di

Surakarta.

5. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ingin diteliti

adalah:

Apakah terdapat hubungan antara polimorfisme gen TF dan kejadian

anemia defisiensi besi pada remaja putri Sekolah Menengah Atas di

Surakarta?

Page 4: Proposal Gabung (1)

6. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme gen TF dan kejadian

anemia defisiensi besi pada remaja putri di Surakarta.

7. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

- Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan mengenai hubungan polimorfisme gen TF dapat

menyebabkan dengan anemia defisiensi besi pada remaja putri di

Surakarta sehingga dapat dikembangkan penelitian lebih lanjut.

b. Manfaat Praktis

- Memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan polimorfisme

gen TF dengan anemia defisiensi besi. mengurangi angka kejadian

ADB di Indonesia.

8. Tinjauan Pustaka

1. Remaja

Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan

dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian

remaja menunjukkan ke masa peralihan sampai tercapainya masa

dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya (Gunarsa dan

Gunarsa, 1995).

Sekitar 1200 juta orang atau sekitar 19% dari populasi total remaja

di dunia menghadapi permasalahan gizi yang cukup serius yang

berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja serta

kehidupan mereka saat dewasa nanti. Namun, tetap saja sebagian

besar permasalahan remaja, terutama pada remaja putri sering

terabaikan. Padahal masa remaja merupakan masa yang penting

dalam daur hidup manusia, karena remaja akan mengalami

perkembangan fisik, psikososial dan kognitif yang sangat cepat.

Page 5: Proposal Gabung (1)

Peningkatan kebutuhan zat gizi pada masa remaja berkaitan dengan

percepatan pertumbuhan yang dialaminya, dimana zat gizi yang

masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk peningkatan berat badan

dan tinggi badan yang disertai dengan meningkatnya jumlah dan

ukuran jaringan sel tubuh (WHO, 2002).

Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia

daripada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada

remaja putri mengalami menstruasi. Seorang wanita yang mengalami

menstruasi yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan

akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan besi pengganti

lebih banyak daripada wanita yang menstruasinya hanya tiga

hari dan sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri

seringkali menjaga penampilan, keinginan untuk tetap langsing

atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diet yang

tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan

menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting

seperti besi (Utamadi, 2002).

2. Anemia Defisiensi Besi

a. Definisi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat

berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan

besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya

mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta,

2006). Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi

yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi,

konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan

konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun

(Abdulmuthalib, 2009).

b. Etiologi

Page 6: Proposal Gabung (1)

Menurut Bakta (2006), anemia defisiensi besi dapat

disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi,

serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:

1) Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat

berasal dari:

a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian

salisilat atau NSAID, kanker lambung, divertikulosis,

hemoroid, dan infeksi cacing tambang.

b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.

c. Saluran kemih: hematuria.

d. Saluran nafas: hemoptisis.

2) Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total

dalam makanan (asupan yang kurang) atau kualitas besi

(bioavailabilitas) besi yang rendah. Rendahnya asupan zat

besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi

bahan makananan yang kurang beragam dengan menu

makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan

sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat

besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena

susunan makanan yang salah baik jumlah maupun

kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan

pangan, distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan

makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan.

3) Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak

dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan, dan menyusui.

4) Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan

kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat

(sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh,

dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu). Diet yang

kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi

Page 7: Proposal Gabung (1)

dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap

sangat tergantung dari jenis zat besi dan bahan makanan

yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan

besi.

c. Patogenesis

Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau

kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh

sehingga cadangan besi makin menurun (Bakta, 2006). Jika

cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat

besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state).

Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,

peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi

dalam sumsum tulang negatif.

Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi

menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis

berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit

tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut

sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan

pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free

protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit.

Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron

binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor

transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus

terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar

hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik

mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency

anemia).

Batas normal kadar Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel

berikut:

Kelompok Umur Hemoglobin (gr/dl)

Page 8: Proposal Gabung (1)

Anak-anak 6-59 bulan 11,0

5-11 tahun 11,5

12-14 tahun 12,0

Dewasa Wanita >15 tahun 12,0

Wanita hamil 11,0

Laki-laki >15 tahun 13,0

Tabel 1. Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin (Sumber: WHO,

2000)

d. Manifestasi Klinik

1) Gejala Umum Anemia

Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom

anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi

besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala

ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-

kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik

dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan

jaringan di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya

sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl

maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.

2) Gejala Khas Defisiensi Besi

Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi

tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah (Bakta,

2006):

a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku

menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi

cekung sehingga mirip sendok.

b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin

dan mengkilap karena papil lidah menghilang.

Page 9: Proposal Gabung (1)

c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya

keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai

bercak berwarna pucat keputihan.

d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel

hipofaring

e. Diagnosis

1) Anamnesis

a. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :

i. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada

masa pertumbuhan yang cepat, menstruasi, dan infeksi

kronis

ii. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari

makanan tidak adekuat malabsorpsi besi

iii. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak

lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)

b. Pucat, lemah, lesu, gejala pika

2) Pemeriksaan fisis

a. anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan

limfadenopati

b. stomatitis angularis, atrofi papil lidah

c.ditemukan takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa

pembesaran jantung

3) Pemeriksaan penunjang

a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH,

MCHC) menurun

Hemoglobin adalah parameter status besi yang

memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya

kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. MCV

(Mean Corpuscular Volume) adalah volume rata-rata

eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi

semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.

Page 10: Proposal Gabung (1)

MCV dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka

sel darah merah. Nilai normal MCV yaitu 70-100 fl dan

termasuk anemia mikrositik jika MCV < 70 fl. MCH

(Mean Corpuscular Hemoglobin) adalah berat hemoglobin

rata-rata dalam satu sel darah merah. MCH dihitung

dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah

merah. Nilai normal MCH yaitu 27-31 pg dan termasuk

anemia mikrositik hipokrom jika MCH < 27 pg. MCHC

(Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration) adalah

konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. MCHC dihitung

dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai

normal MCHC yaitu 30-35% dan termasuk anemia

hipokrom jika MCHC < 30%.

b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik

Pemeriksaan hapusan darah perifer dapat dilakukan

secara manual yaitu dengan menggunakan mikroskop

pembesaran 100 kali dan memperhatikan ukuran, bentuk

inti, sitoplasma sel darah merah.

c. Kadar besi serum menurun dan TIBC meningkat, saturasi

transferin menurun

Besi serum (serum iron) peka terhadap kekurangan

zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis

sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Besi serum dipakai

kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran

mutlak status besi yang spesifik. TIBC (Total Iron Binding

Capacity) atau kemampuan mengikat besi total dapat

diartikan sebagai jumlah besi yang dapat diikat secara

khusus oleh plasma. Saturasi transferin adalah rasio besi

serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan

indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum

tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10%

Page 11: Proposal Gabung (1)

merupakan indeks kekurangan suplai besi yang

meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit.

d. Kadar serum feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte

Porphyrin (FEP) meningkat

Serum feritin adalah suatu parameter yang

terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi

orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam

praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin <

12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang

berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat

dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.

FEP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis,

naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi

terjadi.

e. Sumsum tulang: aktifitas eritropoitik meningkat

Masih dianggap sebagai standar emas untuk

penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa

keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang

dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel

retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi

adalah tidak ada besi retikuler. (Riswan, 2003)

f. Dampak Anemia Defisiensi Besi

Akibat-akibat yang merugikan kesehatan pada individu yang

menderita anemia defisiensi besi adalah:

1) Bagi bayi dan anak (0-9 tahun)

a. Gangguan perkembangan motorik dan koordinasi.

b. Gangguan perkembangan dan kemampuan belajar.

c. Gangguan pada psikologis dan perilaku

2) Remaja (10-19 tahun)

a. Gangguan kemampuan belajar

b. Penurunan kemampuan bekerja dan aktivitas fisik

Page 12: Proposal Gabung (1)

c. Dampak negatif terhadap sistem pertahanan tubuh dalam

melawan penyakit infeksi

3) Orang dewasa pria dan wanita

a. Penurunan kerja fisik dan pendapatan.

b. Penurunan daya tahan terhadap keletihan

4) Wanita hamil

a. Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu

b. Peningkatan angka kesakitan dan kematian janin

c. Peningkatan resiko janin dengan berat badan lahir

rendah.

3. Gen Transferrin Factor (`TF)

Gen TF (Transferrin Factor) adalah gen penyandi transferin

yang merupakan glikoprotein dengan berat molekul 76,5 kDa. Gen

tersebut dibentuk sebagai hasil dari peristiwa duplikasi gen yang

menyebabkan generasi domain homolog C dan N-terminal. Setiap

domain tersebut akan mengikat satu ion besi. Fungsi dari protein

transferin adalah mengangkut besi dari usus, sistem retikuloendotelial,

dan sel-sel parenkim liver ke sel-sel di seluruh tubuh. Protein tersebut

juga memiliki peran fisiologis sebagai granulosit/ pollen-binding

protein (GPBP) yang mampu memakan antigen tertentu dan alergen

di serum (Pubmed gene 7018, 2012).

Gambar 1. Struktur genomik gen TF (Pubmed gene 7018, 2012)

Page 13: Proposal Gabung (1)

Gen TF (Transferrin Factor) terletak pada kromosom 3q22.1

lokus NC_000003 regio 133464977-133497850 dengan panjang

32874. Beberapa SNPs pada intron gen TF (Transferrin Factor) telah

dilakukan penelitian dan mempengaruhi konsentrasi transferin dalam

darah, yaitu: rs3811647 (Pichler I et al, 2011), rs1049296, rs1799899

(Zoltan K et al, 2011), rs3811647, rs 1799852, dan rs2280673 (Beban

B et al, 2009).

4. Transferin

Transferin adalah protein yang membawa besi dalam darah.

Kecepatan sintesis reseptor transferin meningkat apabila kadar besi

dalam darah menurun sehingga dapat menyerap besi lebih banyak

(Williams, 1996). Satu molekul transferin dapat mengikat 2 ion besi

(Davis Company, 2000). Di dalam plasma, besi berikatan dengan

transferin. Transferin mempunyai tiga fungsi penting. Pertama,

menjaga besi dalam bentuk terlarut. Kedua transferin membuat besi

tidak reaktif sehingga menjadi tidak toksik dalam sirkulasi. Ketiga,

transferin memfasilitasi pengiriman besi menuju sel yang memiliki

reseptor transferin di permukaannya (Andrew, 2005). Transferin dapat

mendistribusikan besi ke berbagai jaringan, terutama ke sumsum

tulang belakang dan depot Fe (Ian Tan, 2007).

Page 14: Proposal Gabung (1)

Anemia Defisiensi Besi

Perdarahan Nutrisi Kebutuhan zat besiGangguan Absorbsi Besi Genetik

TF

Polimorfismem

ADB

9. Kerangka Pemikiran

-

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

10. Hipotesis

Terdapat Hubungan Polimorfisme Gen TF dengan Kejadian

Anemia Defisiensi Besi pada Remaja Putri Sekolah Menengah Atas di

Surakarta.

11. Metode Penelitian

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

rancangan penelitian case control study karena penelitian kasus

kontrol merupakan cara yang relatif murah, mudah, dan cepat untuk

mencari asosiasi antara polimorfisme gen TF dengan kejadian anemia

defisiensi besi.

Page 15: Proposal Gabung (1)

B. Lokasi Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan di Sekolah Menengah Atas yang

berada di Surakarta. Deteksi molekuler di Laboratorium Biomedik FK

UNS.

C. Subjek Penelitian

1. Populasi: Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta

2. Sampel:

a. Kriteria Inklusi Sampel Kasus:

1) Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta usia

12-18 tahun

2) Remaja putri yang memiliki MCV <70 fl, MCH <27 pg,

dan MCHC <30%

3) Remaja putri tersebut tidak sedang hamil

4) Remaja putri tersebut tidak sedang menstruasi

5) Remaja putri tersebut tidak memiliki riwayat gangguan

ginjal

6) Remaja putri tersebut bersedia menjadi responden

dengan menandatangani informed consent penelitian.

b. Kriteria Inklusi Sampel Kontrol:

1) Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta usia

12-18 tahun

2) Remaja putri yang memiliki MCV 70-100 fl, MCH 27-

31 pg, dan MCHC 30-35%

3) Remaja putri tersebut bersedia menjadi responden

dengan menandatangani informed consent penelitian.

c. Kriteria Eksklusi Sampel:

1) Remaja putri yang sedang hamil

2) Remaja putri yang sedang menstruasi

3) Remaja putri yang memiliki riwayat gangguan ginjal

4) Remaja putri yang tinggal di luar wilayah Surakarta

Page 16: Proposal Gabung (1)

5) Remaja putri tersebut tidak bersedia menjadi responden

penelitian.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple

randomized sampling. Besarnya sampel diperoleh menggunakan

rumus Federer sebagai berikut:

(n-1) (t-1) ≥ 15; dengan t = jumlah kelompok dan n = jumlah sampel.

Penelitian ini menggunakan 2 kelompok, sehingga perhitungannya

adalah sebagai berikut:

(n-1) (2-1) ≥ 15 => (n-1) ≥ 15 => n ≥ 16

Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel minimal adalah

16 sehingga total sampel pada penelitian ini adalah 32 remaja putri

Sekolah Menengah Atas di Surakarta. Sampel dipilih berdasarkan

kriteria subjek penelitian seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

E. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas:

Polimorfisme gen TF rs3811647 dan rs1799852.

2. Variabel Terikat:

Kejadian anemia defisiensi besi pada remaja putri.

3.Variabel Luar:

- Terkendali: Usia, jenis kelamin, status pendidikan

- Tidak terkendali: Status sosial demografi, jenis makanan yang

dikonsumsi, riwayat penyakit keluarga.

F. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas :

Variabel bebas pada penelitian ini adalah ditemukan

polimorfisme pada dua lokus di gen gen TF yaitu pada

rs3811647 berupa perubahan basa nitrogen guanin ke adenin

serta rs1799852 berupa perubahan basa nitrogen citosin ke timin

Page 17: Proposal Gabung (1)

(Ruth BL et al, 2011).

Deteksi polimorphisme menggunakan teknik PCR untuk

menentukan SNP pada dua lokus gen TF , masing-masing

menggunakan dua primer dilanjutkan visualisasi dengan metode

elektroforesis gel. Penentuan variasi di rs3811647 menggunakan

primer forward 5’ cgtcgtggcccgaagtatgggc dan primer backward

3’: gcaaggaggacttgatctggga. Sedangkan penentuan variasi di

rs1799852 menggunakan primer formward 5’:

ggaccagtatgagctcctttgc dan primer backward 3’:

tggacaacacccggaagccggt (Veronique et al, 2001).

2. Variabel terikat :

Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian anemia

defisiensi besi yaitu kondisi dimana nilai MCV < 70 fl, MCH <

27 pg, dan MCHC < 30 %. Kadar teresbut diperoleh dengan

perhitungan sebagai berikut:

MCV = (hematokrit x 10)/jumlah eritrosit

MCH = (hemoglobin x 10)/jumlah eritrosit

MCHC = MCH/MCV x 100%

Page 18: Proposal Gabung (1)

Populasi : Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta

Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi

Simple randomized sampling

Sampel (32 orang)

Sampel Kelompok Kasus (ADB)

(16 orang)

Sampel Kelompok Kontrol (Tidak ADB)(16 orang)

Deteksi Molekuler Polimorfisme Gen TF

Sampel Darah

Isolasi

PCR

Elektroforesis

Hasil HasilAnalisis data

Simpulan

G. Rancangan Penelitian

Gambar 3. Rancangan Penelitian

Page 19: Proposal Gabung (1)

H. Alat dan Bahan

1. Kapas alkohol

2. Tabung EDTA (BD, Franklin Lakes, New Jersey)

3. Spuit 5 ml

4. Handscoon dan Masker

5. PCR Microtube + cap (Bio-Rad, Hercules, California)

6. Polypropylene tube 15 ml (BD, Franklin Lakes, New Jersey)

7. Standard Micro Test Tube 1,5 ml (Eppendorf, Hamburg,

Deutschland)

8. Centrifuge (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)

9. Nichipet (Nichiryo, Weldon Parkway, Maryland Heights)

10. Filter tips 100-1000 μl, 10-100 μl, dan 1-20 μl (ART, San Diego,

California)

11. Primer

12. GoTaq® Green Master Mix (Promega, Madison, Wisconsin)

13. PureLink™ DNA Mini Kit (Invitrogen, Carlsbad, California)

14. Gel DocTM XR (Bio-Rad, Hercules, California)

15. Mastercycler Personal® PCR (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)

16. Loading quickλ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo, Osaka, Japan)

17.SuperScript III First-Strand Synthesis SuperMix (Invitrogen,

Carlsbad, California)

18. Gel agarosa

18. Sampel plasma darah

Page 20: Proposal Gabung (1)

20. Bufer TAE (Tris-acetate EDTA) 1 x (Promega, Madison,

Wisconsin)

21. Bufer TE (Tris-EDTA) pH 8,0

22. Etanol 70 % dan 100 %

23. Mesin Elektroforesis

24. Submarine gel apparatus

25. EtBr (etidium bromida) 10 mg/ml

26. Autoclave

27. Loading quick ϕX174/Hae III digest, DNA-112 (Toyobo, Osaka,

Japan)

I. Cara Kerja

1. Mendapatkan Plasma Darah

Darah di dalam tabung Ethylenediamine-tetraacetic acid

(EDTA) dimasukkan ke dalam polypropylene tube 15 ml kemudian

disentrifus dengan kecepatan 2.000 rpm selama 15 menit. Setelah

terbentuk tiga lapisan, ambil lapisan atas (plasma) dengan hati-hati.

Plasma yang telah diambil dibuat aliquot dan dilabel. Sebagian

aliquot disimpan dalam suhu -80 oC dan sebagian lain digunakan

untuk deteksi.

2. Isolasi asam nukleat

Isolasi asam nukleat menggunakan kit PureLink™ Viral

DNA Mini Kit (Invitrogen) sesuai dengan protokol pada kit, sebagai

berikut:

Page 21: Proposal Gabung (1)

a. Mempersiapkan larutan Lysate

Sebanyak 25 μl Proteinase K dimasukkan ke dalam tabung

mikrosentrifus kemudian ditambahkan 200 μl plasma dan 200

μl lysis buffer. Tabung mikrosentrifus ditutup dan larutan di

dalamnya dicampur menggunakan vortex selama 15 detik.

Tabung diinkubasi pada suhu 56 oC selama 15 menit setelah

itu ditambah 250 μl etanol 100 %. Larutan di dalam tabung

dicampur menggunakan vortex selama 15 detik kemudian

diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang.

b. Prosedur Purifikasi

Larutan Lysate dimasukkan ke dalam viral spin column yang

berada di dalam tabung penampung kemudian disentrifus

dengan kecepatan 6.000 rpm selama satu menit. Tabung

penampung dilepas dan viral spin column dimasukkan ke

dalam tabung penampung baru. Viral spin column dicuci

dengan memasukkan 500 μl wash buffer dan disentrifus

dengan kecepatan 6.000 rpm selama satu menit. Cairan di

dalam tabung penampung dibuang dan dipasangkan ke viral

spin column lagi untuk dicuci kembali. Setelah dicuci tabung

penampung dilepaskan dan viral spin column dimasukkan ke

dalam tabung penampung baru. Tabung disentrifus dengan

kecepatan 14.000 rpm selama satu menit kemudian viral spin

column dimasukkan ke dalam 1,7 ml Recovery Tube.

Page 22: Proposal Gabung (1)

Terakhir, 50 μl bufer TE pH 8 dimasukkan dan diinkubasi

pada suhu ruang selama satu menit kemudian disentrifus

dengan kecepatan 14.000 rpm selama satu menit. Hasil

purifikasi di dalam recovery tube bisa langsung digunakan

atau disimpan pada suhu -80 oC.

3. Amplifikasi dengan PCR

Pembuatan reaksi PCR menggunakan kit GoTaq® Green

Master Mix (Promega). Total volume reaksi PCR adalah 25 μl

yang terdiri dari: 12,5 μl bufer reaksi, 1 μl primer forward, 1 μl

primer backward, 2,5 μl cetakan cDNA, dan 8 μl nuclease-free

water. Primer yang digunakan pada putaran pertama yaitu primer

forward forward 5’ cgtcgtggcccgaagtatgggc dan primer backward

3’: gcaaggaggacttgatctggga. Sedangkan penentuan variasi di

rs1799852 menggunakan primer formward 5’:

ggaccagtatgagctcctttgc dan primer backward 3’:

tggacaacacccggaagccggt (Veronique et al, 2001).

Tahapan siklus PCR dicantumkan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Tahapan Siklus PCR

Tahapan Suhu Waktu Siklus

Denaturasi awal 95 ºC 2 menit 1 siklus

Denaturasi 95 ºC 1 menit 35 siklus

Annealing 45 ºC 1 menit 35 siklus

Elongasi 72 ºC 1 menit 35 siklus

Elongasi akhir 72 ºC 5 menit 1 siklus

Final hold 4 ºC

Page 23: Proposal Gabung (1)

4. Elektroforesis menggunakan media gel agarosa 1,5 %.

Mula-mula tiga gram agarosa dimasukkan ke dalam glass beaker

dan ditambah bufer TAE 1 x sampai 200 ml. Agarosa dicairkan dengan

menggunakan autoclave kemudian dicampur dengan magnetic stirrer

dalam keadaan panas. Sambil didinginkan sampai 55 oC, EtBr

ditambahkan sampai konsentrasi 0,5 μg/ml dan diaduk dengan

magnetic stirrer. Selanjutnya cairan dituangkan ke dalam cetakan gel

yang sudah dipasangi sisir dan dibiarkan dalam suhu kamar selama 15-

20 menit sampai menjadi padat. Setelah padat, sisir diambil secara

hati-hati dan diletakkan ke dalam bak elektroforesis. Gel digenangi

(sampai cukup tergenang) dengan bufer TAE 1 x. Terakhir, 5 μl

Loading quickλ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo) dimasukkan ke

dalam sumur pertama dan 5 μl Loading quick ϕX174/Hae III digest,

DNA-112 (Toyobo) dimasukkan ke dalam sumur kedua, dilanjutkan

2,5 l produk PCR ke dalam sumur berikutnya secara urut sesuai

nomor sampel. Setelah semua sampel dimasukkan, mesin

elektroforesis disetel 100 Volt selama 30 menit kemudian dinyalakan

(Prasetyo, 2011).

J. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan data primer yang diperoleh melalui metode deteksi

molekuler yaitu PCR dan elektroforesis untuk mendeteksi

polimorfisme gen TF. Data sekunder yang melengkapi data primer

adalah data status Hb remaja putri yang diperoleh dari data rekam

medis (arsip) yang ada di sekolah.

K. Analisis Data

1.Analisis univariat untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian.

2.Analisis bivariat untuk mengetahui kemaknaan hubungan atau

korelasi antara dua variabel. Data dalam penelitian ini dianalisis

dengan uji statistik non parametrik Chi Square diolah menggunakan

Page 24: Proposal Gabung (1)

program Statistical Program for Social Science versi 17. Sedangkan

untuk mengetahui besar faktor risiko digunakan analisis Odd Ratio.

Taraf signifikansi yang digunakan adalah 0,05% atau taraf

kepercayaan 95%. Nilai OR dihitung dengan menggunakan tabel 2x2

untuk menghubungkan intensifikasi polimorfisme gen TF dengan

kejadian anemia defisiensi besi pada remaja putri sekolah menengah

atas di Surakarta.

OR Interpretasi

≤ 1 tidak ada hubungan

> 1 hingga < 1,5 terdapat hubungan lemah

≥ 1,5 hingga < 3 terdapat hubungan sedang

≥ 3 hingga < 10 terdapat hubungan kuat

≥ 10 terdapat hubungan sangat kuat

12. Jadwal Penelitian

No

.Kegiatan

Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1

3 14

1 Mahasiswa

mengumpulkan

topic                            

2 Dibahas tim skripsi                            

3 Bimbingan dan

konsultasi                            

4 Proposal siap                            

5 Ujian proposal                            

Page 25: Proposal Gabung (1)

6 Pengumpulan data                            

7 Penulisan skripsi                            

8 Ujian praskripsi

9 Ujian skripsi                            

13. Rancangan Anggaran

No. Jenis Pengeluaran Anggaran yang

Diusulkan (Rp, 00)

1. Sumber pustaka, pembuatan kuesioner, proposal,

laporan, cetak, print, foto copy, dokumentasi,

poster dan lain-lain

Rp 500.000,00

2. Alat tulis Rp 200.000,00

3. Akomodasi, biaya komunikasi & internet Rp 200.000,00

4. Transportasi Rp 200.000,00

5. Cek indeks eritrosit 32 @ 80.000 Rp 2.560.000,00

6. Biaya penggunaan laboratorium biomedik FK

UNS

Rp 520.000,00

7. Pembelian primer Rp 3.000.000,00

TOTAL Rp. 7.180.000,00

14. DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I.M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC

Benyamin, Beben et al. 2009. Common variants in TMPRSS6 are

associated with iron status and erythrocyte volume. National

Institutes of Health. 2009 November;41(11): 1173-1175.

Djariyanto. 2008. Hubungan Antara Lama Menstruasi Dan Kadar

Hemoglobin Pada Remaja Putri SMA Negeri 2 Sukoharjo.

http://www.etd.eprints.ums.ac.id/2739/1/J410040025.pdf (diakses

pada 28 Oktober 2012)

Dorland, 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC

Page 26: Proposal Gabung (1)

Dyah, P. A. A., 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status

Anemia Gizi Besi Pada Siswi SMU Di Wilayah DKI Jakarta.

http://www.wnpg.org/frm_index.php?pg=informasi/info_makalah.

php&act=edit&id=63 (diakses pada 28 Oktober 2012)

Gunarsa, S.A. & Gunarsa, Y.S.A., 1995. Psikologis Perkembangan Anak

dan Remaja. BPK Gunung Mulia, Jakarta

Masrizal. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat.

September 2007. II(I).

Riswan, Muhammad. 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil di

Beberapa Praktek Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil.

USU Institutional Repository.

Rojo, Ruth Blanco. 2011. Four Variants in Transferrin and HFE Genes as

Potential Markers of Iron Deficiency Anaemia Risk: An

Association Study in Menstruating Women. Nutrition &

Metabolism 2011, 8:6.

Sebetan IM. 1993. Transferrin (TF) polymorphism in Libyans. Int J Leg

Med 106 : 51-52.

Utamadi, G., 2002. Remaja dan Anemia. Diakses dari

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/28/dikbud/rema33

Véronique DG, Nicolas S, Helene F, Florence W, Elisabeth P, Sara T,

Thomas J, t al. 2011. Identification of 96 single nucleotide

polymorphisms in eight genes involved in iron metabolism:

efficiency of bioinformatic extraction compared with a systematic

sequencing approach. Hum Genet. 109 :393–401.

World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia: Assessment,

Prevention and Control. A Guide for Programme Managers.

Geneva-Switzerland: World Health Organization.

World Health Organization. 2006. Worldwide Prevalence of Anaemia

1993–2005, WHO Global Database on Anemia. Geneva-

Switzerland: World Health Organization.

Page 27: Proposal Gabung (1)