Upload
paksi-suryo-bawono
View
104
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
PROPOSAL PENELITIAN
1. Nama : Namira Qisthina ; NIM G.0010134
Paksi Suryo Bawono ; NIM G.0010148
Puji Rahmawati ; NIM G.0010154
Satria Adi Putra ; NIM G.0010172
Yunita Asri Pertiwi ; NIM G.0010202
2. Judul : Hubungan Polimorfisme Gen TF dengan Kejadian
Anemia Defisiensi Besi pada Remaja Putri
Sekolah Menengah Atas di Surakarta
3. Bidang Penelitian : Biomedik
4. Latar Belakang
Besi (Fe) adalah elemen logam yang ditemukan pada mineral
tertentu, dalam hampir semua tanah, dan dalam air mineral (Dorland,
2010). Besi sangat penting untuk fungsi biokimia di antaranya besi
berperan dalam transportasi oksigen ke jaringan dan dalam mekanisme
fosforilasi oksidatif. Status besi dalam tubuh dapat dinilai dengan
mengukur tingkat zat besi serum, serum transferin, saturasi transferin
dengan besi, dan feritin serum (Benyamin, 2009). Kekurangan besi dalam
tubuh dapat menyebabkan anemia. Anemia defisiensi besi adalah jenis
anemia mikrositik hipokrom yang disebabkan oleh rendahnya atau tidak
adanya simpanan besi dan konsentrasi besi serum. Pada anemia defisiensi
besi juga terdapat peningkatan porfirin eritrosit bebas, saturasi transferin
yang rendah, transferin yang tinggi, feritin serum rendah dan konsentrasi
hemoglobin rendah (Dorland, 2010).
Prevalensi anemia di Indonesia menurut World Health
Organization (WHO) pada tahun 2006 pada wanita usia subur adalah
33,1%. Selain itu penelitian yang dilakukan ole Pusponegoro (2006)
bahwa prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, usia sekolah 47,2%,
dan ibu hamil sebesar 50,9%. Kemudian menurut Herman (2006) dalam
Dyah (2011) prevalensi anemia di Indonesia pada remaja putri lebih tinggi
yaitu sebesar 57,1 %. Oleh karena itu penulis menganggap penting untuk
menemukan berbagai etiologi maupun faktor resiko penyebab tingginya
angka anemia pada remaja putri.
Menurut penelitian batas kadar Hb remaja putri menurut World
Health Organization (WHO,2001) untuk diagnosis anemia apabila kurang
dari 12 gr/dl. Sedangkan batas kadar hemoglobin untuk anak balita sebesar
11gr% Hb, remaja laki-laki 13gr% Hb, ibu hamil 11gr% Hb, dan untuk ibu
menyusui 12 gr% Hb (DEPKES RI, 2012). Menurut Sutaryo (2005) dalam
Djariyanto (2008) akibat dari anemia meliputi pertumbuhan anak akan
terhambat, pembentukan sel otot kurang sehingga otot menjadi lemas,
daya tahan tubuh akan menurun, prestasi berkurang dan terjadi perubahan
perilaku. Pada remaja putri dampaknya tidak jauh berbeda yaitu dapat
terjadi gangguan kemampuan belajar, penurunan kemampuan bekerja dan
aktivitas fisik, dan dampak negatif terhadap sistem pertahanan tubuh
dalam melawan penyakit infeksi (Masrizal, 2007).
Anemia defisiensi besi dapat mengakibatkan gangguan fungsi
hemoglobin yaitu sebagai alat transport oksigen. Besi merupakan trace
element vital yang sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan
hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim. Besi di alam terdapat dalam
jumlah yang begitu berlimpah. Dilihat dari segi evolusi alat penyerapan
besi di usus, maka sejak awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi
yang berasal dari sumber hewani, tetapi kemudian pola makan berubah di
mana sebagian besar besi berasal dari sumber nabati, tetapi perangkat
absorpsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak
menimbulkan defisiensi besi. Dampak lain anemia defisiensi besi adalah
produktivitas rendah, perkembangan mental dan kecerdasan terhambat,
menurunnya sistem imunitas tubuh, morbiditas, dll (Bakta, 2006).
Transferin adalah glikoprotein yang berfungsi untuk tranport zat
besi. Setiap molekul transferin mengandung 2 atom Fe. Zat besi yang
berikatan dengan transferin akan terukur sebagai kadar besi serum yang
dalam keadaan normal sebesar 20-45%. Serum transferin dapat meningkat
pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan
akut, infeksi kronis, penyakit ginjal (Bandiara, 2003).
Penelitian yang dilakukan Sebetan (1993) menunjukkan bahwa
terdapat heterogenitas genetik pada gen TF (Transferrin Factor) yang
berpengaruh pada fenotip transferin. Sebetan (1993) menemukan terdapat
13 varian pada gen TF tersebut. Selain itu Benyamin et. Al (2009) juga
memaparkan bahwa tiga variansi gen TF berperan sekitar 40% dalam
variasi gen serum transferrin. Pada penelitian terakhir juga telah
menjelaskkan bahwa beberapa SNPs cukup besar pengaruhnya pada
variasi genetik serum transferrin, yaitu rs3811647 (Pichler I et al, 2011),
rs1049296, rs1799899 (Zoltan K et al, 2011), rs1799852 dan rs2280673
(Beban B et al, 2009), dua diantaranya diketahui menyebabkan anemia
defisiensi besi pada remaja putri yaitu pada rs3811647 dan rs1799852
(Rojo, 2011).
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih
lanjut apakah terdapat hubungan antara polymorphisme gen TF dengan
saturasi transferin terhadap kejadian anemia pada remaja putri di
Surakarta.
5. Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang ingin diteliti
adalah:
Apakah terdapat hubungan antara polimorfisme gen TF dan kejadian
anemia defisiensi besi pada remaja putri Sekolah Menengah Atas di
Surakarta?
6. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara polimorfisme gen TF dan kejadian
anemia defisiensi besi pada remaja putri di Surakarta.
7. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
- Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pengetahuan mengenai hubungan polimorfisme gen TF dapat
menyebabkan dengan anemia defisiensi besi pada remaja putri di
Surakarta sehingga dapat dikembangkan penelitian lebih lanjut.
b. Manfaat Praktis
- Memberikan informasi ilmiah mengenai hubungan polimorfisme
gen TF dengan anemia defisiensi besi. mengurangi angka kejadian
ADB di Indonesia.
8. Tinjauan Pustaka
1. Remaja
Remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-anak dan
dewasa yaitu antara usia 12 sampai 21 tahun. Mengingat pengertian
remaja menunjukkan ke masa peralihan sampai tercapainya masa
dewasa, maka sulit menentukan batas umurnya (Gunarsa dan
Gunarsa, 1995).
Sekitar 1200 juta orang atau sekitar 19% dari populasi total remaja
di dunia menghadapi permasalahan gizi yang cukup serius yang
berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan remaja serta
kehidupan mereka saat dewasa nanti. Namun, tetap saja sebagian
besar permasalahan remaja, terutama pada remaja putri sering
terabaikan. Padahal masa remaja merupakan masa yang penting
dalam daur hidup manusia, karena remaja akan mengalami
perkembangan fisik, psikososial dan kognitif yang sangat cepat.
Peningkatan kebutuhan zat gizi pada masa remaja berkaitan dengan
percepatan pertumbuhan yang dialaminya, dimana zat gizi yang
masuk ke dalam tubuhnya digunakan untuk peningkatan berat badan
dan tinggi badan yang disertai dengan meningkatnya jumlah dan
ukuran jaringan sel tubuh (WHO, 2002).
Remaja putri mempunyai risiko yang lebih tinggi terkena anemia
daripada remaja putra. Alasan pertama karena setiap bulan pada
remaja putri mengalami menstruasi. Seorang wanita yang mengalami
menstruasi yang banyak selama lebih dari lima hari dikhawatirkan
akan kehilangan besi, sehingga membutuhkan besi pengganti
lebih banyak daripada wanita yang menstruasinya hanya tiga
hari dan sedikit. Alasan kedua adalah karena remaja putri
seringkali menjaga penampilan, keinginan untuk tetap langsing
atau kurus sehingga berdiet dan mengurangi makan. Diet yang
tidak seimbang dengan kebutuhan zat gizi tubuh akan
menyebabkan tubuh kekurangan zat gizi yang penting
seperti besi (Utamadi, 2002).
2. Anemia Defisiensi Besi
a. Definisi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan
besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya
mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang (Bakta,
2006). Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi
yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi,
konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan
konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun
(Abdulmuthalib, 2009).
b. Etiologi
Menurut Bakta (2006), anemia defisiensi besi dapat
disebabkan oleh karena rendahnya asupan besi, gangguan absorbsi,
serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
1) Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat
berasal dari:
a. Saluran cerna: akibat dari tukak peptik, pemakaian
salisilat atau NSAID, kanker lambung, divertikulosis,
hemoroid, dan infeksi cacing tambang.
b. Saluran genitalia (perempuan): menorrhagia.
c. Saluran kemih: hematuria.
d. Saluran nafas: hemoptisis.
2) Faktor nutrisi, yaitu akibat kurangnya jumlah besi total
dalam makanan (asupan yang kurang) atau kualitas besi
(bioavailabilitas) besi yang rendah. Rendahnya asupan zat
besi sering terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi
bahan makananan yang kurang beragam dengan menu
makanan yang terdiri dari nasi, kacang-kacangan dan
sedikit daging, unggas, ikan yang merupakan sumber zat
besi. Gangguan defisiensi besi sering terjadi karena
susunan makanan yang salah baik jumlah maupun
kualitasnya yang disebabkan oleh kurangnya penyediaan
pangan, distribusi makanan yang kurang baik, kebiasaan
makan yang salah, kemiskinan dan ketidaktahuan.
3) Kebutuhan besi meningkat, seperti pada prematuritas, anak
dalam masa pertumbuhan, dan kehamilan, dan menyusui.
4) Gangguan absorbsi besi, seperti pada gastrektomi dan
kolitis kronik, atau dikonsumsi bersama kandungan fosfat
(sayuran), tanin (teh dan kopi), polyphenol (coklat, teh,
dan kopi), dan kalsium (susu dan produk susu). Diet yang
kaya zat besi tidaklah menjamin ketersediaan zat besi
dalam tubuh karena banyaknya zat besi yang diserap
sangat tergantung dari jenis zat besi dan bahan makanan
yang dapat menghambat dan meningkatkan penyerapan
besi.
c. Patogenesis
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau
kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh
sehingga cadangan besi makin menurun (Bakta, 2006). Jika
cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat
besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state).
Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum,
peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi
dalam sumsum tulang negatif.
Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi
menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis
berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit
tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut
sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan
pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free
protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit.
Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron
binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor
transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus
terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik
mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency
anemia).
Batas normal kadar Hb dalam darah dapat dilihat pada tabel
berikut:
Kelompok Umur Hemoglobin (gr/dl)
Anak-anak 6-59 bulan 11,0
5-11 tahun 11,5
12-14 tahun 12,0
Dewasa Wanita >15 tahun 12,0
Wanita hamil 11,0
Laki-laki >15 tahun 13,0
Tabel 1. Batas normal kadar Hb menurut umur dan jenis kelamin (Sumber: WHO,
2000)
d. Manifestasi Klinik
1) Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom
anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi
besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala
ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-
kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik
dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan
jaringan di bawah kuku (Bakta, 2006). Pada umumnya
sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl
maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas.
2) Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi
tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah (Bakta,
2006):
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku
menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi
cekung sehingga mirip sendok.
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin
dan mengkilap karena papil lidah menghilang.
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya
keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring
e. Diagnosis
1) Anamnesis
a. Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
i. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada
masa pertumbuhan yang cepat, menstruasi, dan infeksi
kronis
ii. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari
makanan tidak adekuat malabsorpsi besi
iii. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak
lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)
b. Pucat, lemah, lesu, gejala pika
2) Pemeriksaan fisis
a. anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan
limfadenopati
b. stomatitis angularis, atrofi papil lidah
c.ditemukan takikardi, murmur sistolik dengan atau tanpa
pembesaran jantung
3) Pemeriksaan penunjang
a. Hemoglobin, Hct dan indeks eritrosit (MCV, MCH,
MCHC) menurun
Hemoglobin adalah parameter status besi yang
memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya
kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. MCV
(Mean Corpuscular Volume) adalah volume rata-rata
eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi
semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang.
MCV dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka
sel darah merah. Nilai normal MCV yaitu 70-100 fl dan
termasuk anemia mikrositik jika MCV < 70 fl. MCH
(Mean Corpuscular Hemoglobin) adalah berat hemoglobin
rata-rata dalam satu sel darah merah. MCH dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah
merah. Nilai normal MCH yaitu 27-31 pg dan termasuk
anemia mikrositik hipokrom jika MCH < 27 pg. MCHC
(Mean Corpuscular Hemoglobin Consentration) adalah
konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. MCHC dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai
normal MCHC yaitu 30-35% dan termasuk anemia
hipokrom jika MCHC < 30%.
b. Hapus darah tepi menunjukkan hipokromik mikrositik
Pemeriksaan hapusan darah perifer dapat dilakukan
secara manual yaitu dengan menggunakan mikroskop
pembesaran 100 kali dan memperhatikan ukuran, bentuk
inti, sitoplasma sel darah merah.
c. Kadar besi serum menurun dan TIBC meningkat, saturasi
transferin menurun
Besi serum (serum iron) peka terhadap kekurangan
zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis
sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Besi serum dipakai
kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran
mutlak status besi yang spesifik. TIBC (Total Iron Binding
Capacity) atau kemampuan mengikat besi total dapat
diartikan sebagai jumlah besi yang dapat diikat secara
khusus oleh plasma. Saturasi transferin adalah rasio besi
serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan
indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum
tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10%
merupakan indeks kekurangan suplai besi yang
meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit.
d. Kadar serum feritin menurun dan kadar Free Erythrocyte
Porphyrin (FEP) meningkat
Serum feritin adalah suatu parameter yang
terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi
orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam
praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin <
12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang
berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat
dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi.
FEP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis,
naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi
terjadi.
e. Sumsum tulang: aktifitas eritropoitik meningkat
Masih dianggap sebagai standar emas untuk
penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa
keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang
dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel
retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi
adalah tidak ada besi retikuler. (Riswan, 2003)
f. Dampak Anemia Defisiensi Besi
Akibat-akibat yang merugikan kesehatan pada individu yang
menderita anemia defisiensi besi adalah:
1) Bagi bayi dan anak (0-9 tahun)
a. Gangguan perkembangan motorik dan koordinasi.
b. Gangguan perkembangan dan kemampuan belajar.
c. Gangguan pada psikologis dan perilaku
2) Remaja (10-19 tahun)
a. Gangguan kemampuan belajar
b. Penurunan kemampuan bekerja dan aktivitas fisik
c. Dampak negatif terhadap sistem pertahanan tubuh dalam
melawan penyakit infeksi
3) Orang dewasa pria dan wanita
a. Penurunan kerja fisik dan pendapatan.
b. Penurunan daya tahan terhadap keletihan
4) Wanita hamil
a. Peningkatan angka kesakitan dan kematian ibu
b. Peningkatan angka kesakitan dan kematian janin
c. Peningkatan resiko janin dengan berat badan lahir
rendah.
3. Gen Transferrin Factor (`TF)
Gen TF (Transferrin Factor) adalah gen penyandi transferin
yang merupakan glikoprotein dengan berat molekul 76,5 kDa. Gen
tersebut dibentuk sebagai hasil dari peristiwa duplikasi gen yang
menyebabkan generasi domain homolog C dan N-terminal. Setiap
domain tersebut akan mengikat satu ion besi. Fungsi dari protein
transferin adalah mengangkut besi dari usus, sistem retikuloendotelial,
dan sel-sel parenkim liver ke sel-sel di seluruh tubuh. Protein tersebut
juga memiliki peran fisiologis sebagai granulosit/ pollen-binding
protein (GPBP) yang mampu memakan antigen tertentu dan alergen
di serum (Pubmed gene 7018, 2012).
Gambar 1. Struktur genomik gen TF (Pubmed gene 7018, 2012)
Gen TF (Transferrin Factor) terletak pada kromosom 3q22.1
lokus NC_000003 regio 133464977-133497850 dengan panjang
32874. Beberapa SNPs pada intron gen TF (Transferrin Factor) telah
dilakukan penelitian dan mempengaruhi konsentrasi transferin dalam
darah, yaitu: rs3811647 (Pichler I et al, 2011), rs1049296, rs1799899
(Zoltan K et al, 2011), rs3811647, rs 1799852, dan rs2280673 (Beban
B et al, 2009).
4. Transferin
Transferin adalah protein yang membawa besi dalam darah.
Kecepatan sintesis reseptor transferin meningkat apabila kadar besi
dalam darah menurun sehingga dapat menyerap besi lebih banyak
(Williams, 1996). Satu molekul transferin dapat mengikat 2 ion besi
(Davis Company, 2000). Di dalam plasma, besi berikatan dengan
transferin. Transferin mempunyai tiga fungsi penting. Pertama,
menjaga besi dalam bentuk terlarut. Kedua transferin membuat besi
tidak reaktif sehingga menjadi tidak toksik dalam sirkulasi. Ketiga,
transferin memfasilitasi pengiriman besi menuju sel yang memiliki
reseptor transferin di permukaannya (Andrew, 2005). Transferin dapat
mendistribusikan besi ke berbagai jaringan, terutama ke sumsum
tulang belakang dan depot Fe (Ian Tan, 2007).
Anemia Defisiensi Besi
Perdarahan Nutrisi Kebutuhan zat besiGangguan Absorbsi Besi Genetik
TF
Polimorfismem
ADB
9. Kerangka Pemikiran
-
Gambar 2. Kerangka Pemikiran
10. Hipotesis
Terdapat Hubungan Polimorfisme Gen TF dengan Kejadian
Anemia Defisiensi Besi pada Remaja Putri Sekolah Menengah Atas di
Surakarta.
11. Metode Penelitian
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan
rancangan penelitian case control study karena penelitian kasus
kontrol merupakan cara yang relatif murah, mudah, dan cepat untuk
mencari asosiasi antara polimorfisme gen TF dengan kejadian anemia
defisiensi besi.
B. Lokasi Penelitian
Pengambilan sampel dilakukan di Sekolah Menengah Atas yang
berada di Surakarta. Deteksi molekuler di Laboratorium Biomedik FK
UNS.
C. Subjek Penelitian
1. Populasi: Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta
2. Sampel:
a. Kriteria Inklusi Sampel Kasus:
1) Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta usia
12-18 tahun
2) Remaja putri yang memiliki MCV <70 fl, MCH <27 pg,
dan MCHC <30%
3) Remaja putri tersebut tidak sedang hamil
4) Remaja putri tersebut tidak sedang menstruasi
5) Remaja putri tersebut tidak memiliki riwayat gangguan
ginjal
6) Remaja putri tersebut bersedia menjadi responden
dengan menandatangani informed consent penelitian.
b. Kriteria Inklusi Sampel Kontrol:
1) Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta usia
12-18 tahun
2) Remaja putri yang memiliki MCV 70-100 fl, MCH 27-
31 pg, dan MCHC 30-35%
3) Remaja putri tersebut bersedia menjadi responden
dengan menandatangani informed consent penelitian.
c. Kriteria Eksklusi Sampel:
1) Remaja putri yang sedang hamil
2) Remaja putri yang sedang menstruasi
3) Remaja putri yang memiliki riwayat gangguan ginjal
4) Remaja putri yang tinggal di luar wilayah Surakarta
5) Remaja putri tersebut tidak bersedia menjadi responden
penelitian.
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah simple
randomized sampling. Besarnya sampel diperoleh menggunakan
rumus Federer sebagai berikut:
(n-1) (t-1) ≥ 15; dengan t = jumlah kelompok dan n = jumlah sampel.
Penelitian ini menggunakan 2 kelompok, sehingga perhitungannya
adalah sebagai berikut:
(n-1) (2-1) ≥ 15 => (n-1) ≥ 15 => n ≥ 16
Berdasarkan perhitungan tersebut maka jumlah sampel minimal adalah
16 sehingga total sampel pada penelitian ini adalah 32 remaja putri
Sekolah Menengah Atas di Surakarta. Sampel dipilih berdasarkan
kriteria subjek penelitian seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
E. Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas:
Polimorfisme gen TF rs3811647 dan rs1799852.
2. Variabel Terikat:
Kejadian anemia defisiensi besi pada remaja putri.
3.Variabel Luar:
- Terkendali: Usia, jenis kelamin, status pendidikan
- Tidak terkendali: Status sosial demografi, jenis makanan yang
dikonsumsi, riwayat penyakit keluarga.
F. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas :
Variabel bebas pada penelitian ini adalah ditemukan
polimorfisme pada dua lokus di gen gen TF yaitu pada
rs3811647 berupa perubahan basa nitrogen guanin ke adenin
serta rs1799852 berupa perubahan basa nitrogen citosin ke timin
(Ruth BL et al, 2011).
Deteksi polimorphisme menggunakan teknik PCR untuk
menentukan SNP pada dua lokus gen TF , masing-masing
menggunakan dua primer dilanjutkan visualisasi dengan metode
elektroforesis gel. Penentuan variasi di rs3811647 menggunakan
primer forward 5’ cgtcgtggcccgaagtatgggc dan primer backward
3’: gcaaggaggacttgatctggga. Sedangkan penentuan variasi di
rs1799852 menggunakan primer formward 5’:
ggaccagtatgagctcctttgc dan primer backward 3’:
tggacaacacccggaagccggt (Veronique et al, 2001).
2. Variabel terikat :
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian anemia
defisiensi besi yaitu kondisi dimana nilai MCV < 70 fl, MCH <
27 pg, dan MCHC < 30 %. Kadar teresbut diperoleh dengan
perhitungan sebagai berikut:
MCV = (hematokrit x 10)/jumlah eritrosit
MCH = (hemoglobin x 10)/jumlah eritrosit
MCHC = MCH/MCV x 100%
Populasi : Remaja putri Sekolah Menengah Atas di Surakarta
Kriteria Inklusi dan Kriteria Eksklusi
Simple randomized sampling
Sampel (32 orang)
Sampel Kelompok Kasus (ADB)
(16 orang)
Sampel Kelompok Kontrol (Tidak ADB)(16 orang)
Deteksi Molekuler Polimorfisme Gen TF
Sampel Darah
Isolasi
PCR
Elektroforesis
Hasil HasilAnalisis data
Simpulan
G. Rancangan Penelitian
Gambar 3. Rancangan Penelitian
H. Alat dan Bahan
1. Kapas alkohol
2. Tabung EDTA (BD, Franklin Lakes, New Jersey)
3. Spuit 5 ml
4. Handscoon dan Masker
5. PCR Microtube + cap (Bio-Rad, Hercules, California)
6. Polypropylene tube 15 ml (BD, Franklin Lakes, New Jersey)
7. Standard Micro Test Tube 1,5 ml (Eppendorf, Hamburg,
Deutschland)
8. Centrifuge (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)
9. Nichipet (Nichiryo, Weldon Parkway, Maryland Heights)
10. Filter tips 100-1000 μl, 10-100 μl, dan 1-20 μl (ART, San Diego,
California)
11. Primer
12. GoTaq® Green Master Mix (Promega, Madison, Wisconsin)
13. PureLink™ DNA Mini Kit (Invitrogen, Carlsbad, California)
14. Gel DocTM XR (Bio-Rad, Hercules, California)
15. Mastercycler Personal® PCR (Eppendorf, Hamburg, Deutschland)
16. Loading quickλ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo, Osaka, Japan)
17.SuperScript III First-Strand Synthesis SuperMix (Invitrogen,
Carlsbad, California)
18. Gel agarosa
18. Sampel plasma darah
20. Bufer TAE (Tris-acetate EDTA) 1 x (Promega, Madison,
Wisconsin)
21. Bufer TE (Tris-EDTA) pH 8,0
22. Etanol 70 % dan 100 %
23. Mesin Elektroforesis
24. Submarine gel apparatus
25. EtBr (etidium bromida) 10 mg/ml
26. Autoclave
27. Loading quick ϕX174/Hae III digest, DNA-112 (Toyobo, Osaka,
Japan)
I. Cara Kerja
1. Mendapatkan Plasma Darah
Darah di dalam tabung Ethylenediamine-tetraacetic acid
(EDTA) dimasukkan ke dalam polypropylene tube 15 ml kemudian
disentrifus dengan kecepatan 2.000 rpm selama 15 menit. Setelah
terbentuk tiga lapisan, ambil lapisan atas (plasma) dengan hati-hati.
Plasma yang telah diambil dibuat aliquot dan dilabel. Sebagian
aliquot disimpan dalam suhu -80 oC dan sebagian lain digunakan
untuk deteksi.
2. Isolasi asam nukleat
Isolasi asam nukleat menggunakan kit PureLink™ Viral
DNA Mini Kit (Invitrogen) sesuai dengan protokol pada kit, sebagai
berikut:
a. Mempersiapkan larutan Lysate
Sebanyak 25 μl Proteinase K dimasukkan ke dalam tabung
mikrosentrifus kemudian ditambahkan 200 μl plasma dan 200
μl lysis buffer. Tabung mikrosentrifus ditutup dan larutan di
dalamnya dicampur menggunakan vortex selama 15 detik.
Tabung diinkubasi pada suhu 56 oC selama 15 menit setelah
itu ditambah 250 μl etanol 100 %. Larutan di dalam tabung
dicampur menggunakan vortex selama 15 detik kemudian
diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruang.
b. Prosedur Purifikasi
Larutan Lysate dimasukkan ke dalam viral spin column yang
berada di dalam tabung penampung kemudian disentrifus
dengan kecepatan 6.000 rpm selama satu menit. Tabung
penampung dilepas dan viral spin column dimasukkan ke
dalam tabung penampung baru. Viral spin column dicuci
dengan memasukkan 500 μl wash buffer dan disentrifus
dengan kecepatan 6.000 rpm selama satu menit. Cairan di
dalam tabung penampung dibuang dan dipasangkan ke viral
spin column lagi untuk dicuci kembali. Setelah dicuci tabung
penampung dilepaskan dan viral spin column dimasukkan ke
dalam tabung penampung baru. Tabung disentrifus dengan
kecepatan 14.000 rpm selama satu menit kemudian viral spin
column dimasukkan ke dalam 1,7 ml Recovery Tube.
Terakhir, 50 μl bufer TE pH 8 dimasukkan dan diinkubasi
pada suhu ruang selama satu menit kemudian disentrifus
dengan kecepatan 14.000 rpm selama satu menit. Hasil
purifikasi di dalam recovery tube bisa langsung digunakan
atau disimpan pada suhu -80 oC.
3. Amplifikasi dengan PCR
Pembuatan reaksi PCR menggunakan kit GoTaq® Green
Master Mix (Promega). Total volume reaksi PCR adalah 25 μl
yang terdiri dari: 12,5 μl bufer reaksi, 1 μl primer forward, 1 μl
primer backward, 2,5 μl cetakan cDNA, dan 8 μl nuclease-free
water. Primer yang digunakan pada putaran pertama yaitu primer
forward forward 5’ cgtcgtggcccgaagtatgggc dan primer backward
3’: gcaaggaggacttgatctggga. Sedangkan penentuan variasi di
rs1799852 menggunakan primer formward 5’:
ggaccagtatgagctcctttgc dan primer backward 3’:
tggacaacacccggaagccggt (Veronique et al, 2001).
Tahapan siklus PCR dicantumkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Tahapan Siklus PCR
Tahapan Suhu Waktu Siklus
Denaturasi awal 95 ºC 2 menit 1 siklus
Denaturasi 95 ºC 1 menit 35 siklus
Annealing 45 ºC 1 menit 35 siklus
Elongasi 72 ºC 1 menit 35 siklus
Elongasi akhir 72 ºC 5 menit 1 siklus
Final hold 4 ºC
4. Elektroforesis menggunakan media gel agarosa 1,5 %.
Mula-mula tiga gram agarosa dimasukkan ke dalam glass beaker
dan ditambah bufer TAE 1 x sampai 200 ml. Agarosa dicairkan dengan
menggunakan autoclave kemudian dicampur dengan magnetic stirrer
dalam keadaan panas. Sambil didinginkan sampai 55 oC, EtBr
ditambahkan sampai konsentrasi 0,5 μg/ml dan diaduk dengan
magnetic stirrer. Selanjutnya cairan dituangkan ke dalam cetakan gel
yang sudah dipasangi sisir dan dibiarkan dalam suhu kamar selama 15-
20 menit sampai menjadi padat. Setelah padat, sisir diambil secara
hati-hati dan diletakkan ke dalam bak elektroforesis. Gel digenangi
(sampai cukup tergenang) dengan bufer TAE 1 x. Terakhir, 5 μl
Loading quickλ/Hind III digest, DNA-110 (Toyobo) dimasukkan ke
dalam sumur pertama dan 5 μl Loading quick ϕX174/Hae III digest,
DNA-112 (Toyobo) dimasukkan ke dalam sumur kedua, dilanjutkan
2,5 l produk PCR ke dalam sumur berikutnya secara urut sesuai
nomor sampel. Setelah semua sampel dimasukkan, mesin
elektroforesis disetel 100 Volt selama 30 menit kemudian dinyalakan
(Prasetyo, 2011).
J. Teknik Pengumpulan Data
Data merupakan data primer yang diperoleh melalui metode deteksi
molekuler yaitu PCR dan elektroforesis untuk mendeteksi
polimorfisme gen TF. Data sekunder yang melengkapi data primer
adalah data status Hb remaja putri yang diperoleh dari data rekam
medis (arsip) yang ada di sekolah.
K. Analisis Data
1.Analisis univariat untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian.
2.Analisis bivariat untuk mengetahui kemaknaan hubungan atau
korelasi antara dua variabel. Data dalam penelitian ini dianalisis
dengan uji statistik non parametrik Chi Square diolah menggunakan
program Statistical Program for Social Science versi 17. Sedangkan
untuk mengetahui besar faktor risiko digunakan analisis Odd Ratio.
Taraf signifikansi yang digunakan adalah 0,05% atau taraf
kepercayaan 95%. Nilai OR dihitung dengan menggunakan tabel 2x2
untuk menghubungkan intensifikasi polimorfisme gen TF dengan
kejadian anemia defisiensi besi pada remaja putri sekolah menengah
atas di Surakarta.
OR Interpretasi
≤ 1 tidak ada hubungan
> 1 hingga < 1,5 terdapat hubungan lemah
≥ 1,5 hingga < 3 terdapat hubungan sedang
≥ 3 hingga < 10 terdapat hubungan kuat
≥ 10 terdapat hubungan sangat kuat
12. Jadwal Penelitian
No
.Kegiatan
Minggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1
3 14
1 Mahasiswa
mengumpulkan
topic
2 Dibahas tim skripsi
3 Bimbingan dan
konsultasi
4 Proposal siap
5 Ujian proposal
6 Pengumpulan data
7 Penulisan skripsi
8 Ujian praskripsi
9 Ujian skripsi
13. Rancangan Anggaran
No. Jenis Pengeluaran Anggaran yang
Diusulkan (Rp, 00)
1. Sumber pustaka, pembuatan kuesioner, proposal,
laporan, cetak, print, foto copy, dokumentasi,
poster dan lain-lain
Rp 500.000,00
2. Alat tulis Rp 200.000,00
3. Akomodasi, biaya komunikasi & internet Rp 200.000,00
4. Transportasi Rp 200.000,00
5. Cek indeks eritrosit 32 @ 80.000 Rp 2.560.000,00
6. Biaya penggunaan laboratorium biomedik FK
UNS
Rp 520.000,00
7. Pembelian primer Rp 3.000.000,00
TOTAL Rp. 7.180.000,00
14. DAFTAR PUSTAKA
Bakta, I.M. 2006. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC
Benyamin, Beben et al. 2009. Common variants in TMPRSS6 are
associated with iron status and erythrocyte volume. National
Institutes of Health. 2009 November;41(11): 1173-1175.
Djariyanto. 2008. Hubungan Antara Lama Menstruasi Dan Kadar
Hemoglobin Pada Remaja Putri SMA Negeri 2 Sukoharjo.
http://www.etd.eprints.ums.ac.id/2739/1/J410040025.pdf (diakses
pada 28 Oktober 2012)
Dorland, 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC
Dyah, P. A. A., 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Anemia Gizi Besi Pada Siswi SMU Di Wilayah DKI Jakarta.
http://www.wnpg.org/frm_index.php?pg=informasi/info_makalah.
php&act=edit&id=63 (diakses pada 28 Oktober 2012)
Gunarsa, S.A. & Gunarsa, Y.S.A., 1995. Psikologis Perkembangan Anak
dan Remaja. BPK Gunung Mulia, Jakarta
Masrizal. 2007. Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat.
September 2007. II(I).
Riswan, Muhammad. 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil di
Beberapa Praktek Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil.
USU Institutional Repository.
Rojo, Ruth Blanco. 2011. Four Variants in Transferrin and HFE Genes as
Potential Markers of Iron Deficiency Anaemia Risk: An
Association Study in Menstruating Women. Nutrition &
Metabolism 2011, 8:6.
Sebetan IM. 1993. Transferrin (TF) polymorphism in Libyans. Int J Leg
Med 106 : 51-52.
Utamadi, G., 2002. Remaja dan Anemia. Diakses dari
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0206/28/dikbud/rema33
Véronique DG, Nicolas S, Helene F, Florence W, Elisabeth P, Sara T,
Thomas J, t al. 2011. Identification of 96 single nucleotide
polymorphisms in eight genes involved in iron metabolism:
efficiency of bioinformatic extraction compared with a systematic
sequencing approach. Hum Genet. 109 :393–401.
World Health Organization. 2001. Iron Deficiency Anaemia: Assessment,
Prevention and Control. A Guide for Programme Managers.
Geneva-Switzerland: World Health Organization.
World Health Organization. 2006. Worldwide Prevalence of Anaemia
1993–2005, WHO Global Database on Anemia. Geneva-
Switzerland: World Health Organization.