15
PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TENTANG TATA CARA DAN KRITERIA PENETAPAN SIMPUL DAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG SERTA LOKASI FASILITAS PERPINDAHAN MODA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Simpul dan Lokasi Terminal Penumpang; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5221); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468); 4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24); 5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);

RANCANGAN KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN

  • Upload
    halien

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR :

TENTANG

TATA CARA DAN KRITERIA PENETAPAN

SIMPUL DAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG SERTA LOKASI FASILITAS

PERPINDAHAN MODA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 68

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang

Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan tentang Tata

Cara dan Kriteria Penetapan Simpul dan Lokasi Terminal

Penumpang;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 5025);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 tentang

Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta

Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 61, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5221);

3. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2013 tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 193,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5468);

4. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang

Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara,

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2014 (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 24);

5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8);

6. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40

Tahun 2015 tentang Kementerian Perhubungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015

Nomor 75);

7. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 60 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian

Perhubungan, sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 68 Tahun

2013 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1113);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN TENTANG TATA

CARA DAN KRITERIA PENETAPAN SIMPUL DAN LOKASI

TERMINAL PENUMPANG.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

1. Jaringan lalu lintas dan angkutan jalan adalah serangkaian simpul

dan/atau ruang kegiatan yang saling terhubungkan untuk penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.

2. Ruang lalu lintas adalah prasarana yang diperuntukkan bagi gerak

pindah kendaraan, orang dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung.

3. Simpul adalah tempat yang diperuntukkan bagi pergantian antarmoda

dan intermoda berupa terminal, stasiun kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan sungai dan danau, dan/atau bandar udara.

4. Terminal adalah pangkalan kendaraan bermotor umum yang digunakan

untuk mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang dan/atau barang, serta perpindahan moda

angkutan.

5. Simpul terminal penumpang adalah tempat yang diperuntukkan bagi

pergantian antarmoda dan intermoda yaitu wilayah administrasi Kabupaten/Kota yang menjadi lokasi terminal penumpang dengan

fungsi utama melayani kendaraan umum untuk angkutan lintas batas

negara dan/atau angkutan antarkota antar provinsi dan dipadukan dengan pelayanan angkutan antarkota dalam provinsi, angkutan

perkotaan, angkutan perdesaan dan/atau angkutan orang dengan

kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek.

6. Lokasi terminal penumpang adalah letak bangunan terminal pada

simpul jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang diperuntukkan bagi pergantian antar moda dan/atau intermoda pada suatu wilayah tertentu

yang dinotasikan dengan titik koordinat.

7. Fasilitas perpindahan moda angkutan umum adalah fasilitas yang dipergunakan untuk keterpaduan antar moda angkutan dan

kemudahan akses pada simpul transportasi yang meliputi bandar

udara, pelabuhan, stasiun kereta api, dan pusat kegiatan serta sebagai

pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan dan di luar badan jalan.

8. Menteri adalah Menteri Perhubungan.

9. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perhubungan Darat.

Pasal 2

Ruang Lingkup Peraturan Menteri ini meliputi:

a. kriteria dan tata cara penetapan simpul terminal penumpang;

b. kriteria dan tata cara penetapan lokasi terminal penumpang; dan

c. kriteria dan tata cara penetapan fasilitas perpindahan moda angkutan umum.

BAB II

KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN SIMPUL TERMINAL PENUMPANG

Bagian Kesatu

Kriteria Penetapan Simpul Terminal Penumpang

Pasal 3

(1) Simpul terminal Penumpang terdiri atas:

a. simpul terminal Penumpang Tipe A;

b. simpul terminal Penumpang Tipe B; dan

c. simpul terminal Penumpang Tipe C.

(2) Simpul Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

merupakan bagian dari Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

sebagai perwujudan dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

Pasal 4

(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan memperhatikan:

a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

b. Rencana Umum Jaringan Trayek;

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional;

d. pengembangan jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional;

dan

e. berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda transportasi/ terdapat perpindahan moda transportasi.

(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan dengan kriteria:

a. berada pada jaringan trayek Angkutan Lintas Batas Negara dan/atau

Angkutan Antarkota Antarprovinsi; dan

b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan Lintas Batas Negara dan/atau Antarkota Antarprovinsi.

c. dapat berada pada lintas penyeberangan yang menghubungkan

jaringan jalan nasional dan/atau jalur kereta api nasional atau antarprovinsi sesuai dengan kebutuhan.

(3) Simpul terminal penumpang tipe A yang berada pada pada lintas

penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditentukan

berdasarkan kriteria:

a. kajian teknis;

b. rekomendasi dari penyelenggara pelabuhan;

c. rencana induk pelabuhan.

Pasal 5

(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan memperhatikan:

a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi;

b. Rencana Umum Jaringan Trayek;

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan

d. pengembangan jaringan trayek Angkutan Antar Kota Dalam Provinsi.

(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan dengan kriteria:

a. berada pada Pusat Kegiatan Wilayah (PKW); dan

b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan antarkota dalam

provinsi; dan

c. dapat berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda

transportasi sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 6

(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan memperhatikan:

a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Kabupaten/Kota;

b. Rencana Umum Jaringan Trayek;

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan

d. pengembangan jaringan trayek Angkutan Perkotaan dan/atau

Perdesaan.

(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan dengan kriteria:

a. berada pada Pusat Kegiatan Lokal (PKL); dan

b. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan antarkota dalam

provinsi; dan

c. dapat berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda transportasi sesuai dengan kebutuhan.

Bagian Kedua

Tata Cara Penetapan Simpul Terminal Penumpang

Pasal 7

Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh:

a. Menteri, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe A;

b. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe B;

c. Bupati/Walikota, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C; dan

d. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang tipe C Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 8

(1) Simpul Terminal Penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 ayat (1) huruf a, ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan masukan Gubernur.

(2) Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 ayat (1) huruf b, ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan masukan Bupati/Walikota.

(3) Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagaimana dimaksud dalam Pasal

7 ayat (1) huruf c, ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan memperhatikan usulan/masukan dari SKPD yang bertanggungjawab di

bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 9

(1) Gubernur melaporkan kepada Direktur Jenderal atas penetapan Simpul

Terminal Penumpang Tipe B dan Simpul Terminal Penumpang Tipe C

yang berada di wilayah administrasi yang merupakan kewenangannya paling lambat 3 (tiga) bulan sejak penetapan simpul terminal

penumpang.

(2) Bupati/Walikota melaporkan kepada Direktur Jenderal melalui Gubernur atas penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe C yang

berada di wilayah administrasi yang merupakan kewenangannya paling

lambat 3 (tiga) bulan sejak penetapan simpul terminal penumpang.

Pasal 10

(1) Simpul terminal penumpang Tipe A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a merupakan bagian dari Simpul Nasional Jaringan Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan sebagai perwujudan dari Rencana Induk

Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional.

(2) Simpul terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rangkaian yang saling terhubungkan dan membentuk

koridor Simpul Terminal Penumpang.

(3) Koridor Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. koridor simpul utara, koridor simpul tengah dan koridor simpul

selatan; dan

b. koridor simpul penghubung.

(4) Koridor Simpul Terminal Penumpang tipe A sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Bagian Ketiga

Tata Cara Perubahan Penetapan Simpul Terminal Penumpang

Pasal 11

(1) Penetapan Simpul Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 dapat dilakukan perubahan.

(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

berdasarkan evaluasi setiap 5 (lima) tahun sekali.

(3) Dalam hal terjadi perubahan Iingkungan strategis tertentu, evaluasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun.

(4) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh:

a. Direktur Jenderal, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe A;

b. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe B;

c. Bupati/Walikota, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C; dan

d. Gubernur, untuk Simpul Terminal Penumpang Tipe C pada Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 12

(1) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), Menteri merekomendasikan kepada Gubernur dan/atau

Bupati/Walikota untuk menetapkan perubahan Simpul Terminal

Penumpang Tipe A menjadi Simpul Terminal Penumpang Tipe B dan/atau Tipe C.

(2) Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat

(4), Gubernur dan/atau Bupati/Walikota mengusulkan kepada Menteri terhadap perubahan Simpul Terminal Penumpang Tipe B dan/atau Tipe

C menjadi Simpul Terminal Penumpang Tipe A.

Pasal 13

(1) Perubahan terhadap Penetapan Simpul Terminal Penumpang tipe A

sebagai hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan

dengan Keputusan Menteri.

(2) Perubahan atas Penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe B sebagai

hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ditetapkan dengan

Keputusan Gubernur.

(3) Perubahan atas Penetapan Simpul Terminal Penumpang Tipe C sebagai

hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat ditetapkan

dengan Keputusan Bupati/Walikota, kecuali Daerah Khusus Ibukota Jakarta ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

(4) Gubernur dan Bupati/Walikota melaporkan kepada Menteri atas

perubahan penetapan Simpul Terminal Penumpang paling lama 1 (satu)

bulan setelah ditetapkan.

BAB III

KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN LOKASI TERMINAL PENUMPANG

Bagian Kesatu

Kriteria Penetapan Lokasi Terminal Penumpang

Pasal 14

Lokasi Terminal penumpang ditetapkan dengan memperhatikan:

a. tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan;

b. kesesuaian lahan dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana

tata ruang wilayah provinsi, rencana tata ruang wilayah

kabupaten/kota;

c. kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja

jaringan jalan dan jaringan trayek;

d. kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan;

e. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain;

f. permintaan angkutan;

g. kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi;

h. keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan; dan

i. kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 15

Tingkat aksesibilitas pengguna jasa angkutan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 huruf a merupakan kemudahan untuk dijangkau dari

aspek waktu dan biaya yang memenuhi kriteria:

a. tersedia pelayanan angkutan umum yang memadai dan memenuhi

standar pelayanan minimal;

b. berada pada pusat kegiatan dan/atau pusat bangkitan perjalanan angkutan orang; dan/atau

c. berada pada lokasi yang memungkinkan perpindahan moda

transportasi.

Pasal 16

(1) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada

Lokasi Terminal Tipe A terletak pada lahan yang sesuai dengan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ;

b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan

c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

(2) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada

Lokasi Terminal Tipe B terletak pada lahan yang sesuai dengan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi; dan

b. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

(3) Kesesuaian lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b pada Lokasi Terminal Tipe C terletak pada lahan yang sesuai dengan Rencana

Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Pasal 17

Kesesuaian lahan dengan rencana pengembangan dan/atau kinerja

jaringan jalan dan jaringan trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

huruf c didasarkan atas kriteria:

a. untuk Lokasi Terminal Tipe A:

1. terhubung dengan jalan arteri atau rencana jalan arteri; dan

2. terletak dalam jaringan trayek antarkota antarprovinsi dan/atau angkutan lintas batas negara atau rencana pengembangan jaringan

trayek antarkota antarprovinsi dan/atau angkutan lintas batas

Negara.

b. untuk Lokasi Terminal Tipe B:

1. terhubung dengan jalan arteri atau kolektor; dan

2. terletak dalam jaringan trayek antar kota dalam provinsi.

c. untuk Lokasi Terminal Tipe C:

a. terhubung dengan jalan kolektor atau lokal; dan

b. terletak dalam jaringan trayek perkotaan/pedesaan.

Pasal 18

Kesesuaian dengan rencana pengembangan dan/atau pusat kegiatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d sebagai dasar rencana pengembangan terminal yang utuh.

Pasal 19

Keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 14 huruf e dimaksudkan untuk menghindari dampak negatif

akibat pembangunan dan pengoperasian terminal.

Pasal 20

Permintaan angkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f didasarkan atas kebutuhan angkutan yang dimungkinkan mengakibatkan

bangkitan perjalanan, yang meliputi perkiraan jumlah:

a. penumpang; dan

b. trayek yang melayani.

Pasal 21

(1) Kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g didasarkan atas kelangsungan operasional terminal.

(2) Kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai

berdasarkan:

a. topografi;

b. kondisi permukaan tanah, kelandaian permukaan tanah;

c. aliran air permukaan/sistem drainase;

d. status tanah;

e. daya dukung dan struktur tanah; dan

f. infrastrukur dan jaringan utilitas.

(3) Kelayakan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

analisa perhitungan keuntungan dan kerugian yang akan terjadi dari

investasi yang dilakukan dan jangka waktu pengembalian investasi

tersebut yang dihitung dengan:

a. Internal Rate of Return (IRR) yaitu tingkat bunga pengembalian suatu

kegiatan pembangunan/pengembangan Terminal Penumpang, yang

perhitungannya berdasarkan pada besaran Net Present Value (NPV) sama dengan 0 (nol);

b. Net Present Value (NPV) merupakan nilai keuntungan bersih saat

sekarang, yang perhitungannya berdasarkan pada manfaat yang

diperoleh untuk proyek pembangunan Terminal Penumpang pada suatu kurun waktu tertentu dengan mempertimbangkan besaran

tingkat bunga bank komersial;

c. Profitability Index (PI) atau Benefit Cost Ratio (BCR) merupakan suatu besaran yang membandingkan antara keuntungan yang diperoleh

dengan biaya yang dikeluarkan dalam kurun waktu penyelenggaraan

kegiatan pembangunan/pengembangan Terminal Penumpang.

(4) Kelayakan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

kelayakan yang memberikan keuntungan secara ekonomis bagi

pengembangan wilayah baik secara langsung maupun tidak langsung.

(5) Kajian kelayakan teknis, finansial, dan ekonomi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan tim teknis Direktorat

Jenderal Perhubungan Darat.

Pasal 22

Keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf h dalam penetapan lokasi terminal tidak

berada dalam daerah:

a. bencana alam;

b. konflik sosial; dan/atau

c. rawan/potensi kecelakaan lalu lintas.

Pasal 23

Kelestarian fungsi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal

14 huruf i yaitu terpeliharanya kelangsungan daya dukung dan daya

tampung lingkungan hidup dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup.

Bagian Kedua

Tata Cara Penetapan Lokasi Terminal Penumpang

Pasal 24

(1) Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditetapkan dengan memperhatikan rencana kebutuhan Simpul Terminal

yang merupakan bagian dari Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan.

(2) Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terletak pada Simpul Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang

diperuntukkan bagi pergantian antar moda dan/atau intermoda pada

suatu wilayah tertentu.

Pasal 25

Lokasi Terminal penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ditetapkan oleh:

a. Menteri, untuk Terminal penumpang tipe A;

b. Gubernur, untuk Terminal penumpang tipe B;

c. Bupati/Walikota, untuk Terminal penumpang tipe C; dan

d. Gubernur, untuk Terminal penumpang tipe C di Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta.

Pasal 26

(1) Permohonan penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25

diajukan oleh penyelenggara terminal penumpang kepada Menteri,

Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan

persyaratan sebagai berikut:

a. letak lokasi yang diusulkan dilengkapi dengan titik koordinat

geografis yang digambarkan dalam peta; dan

b. studi kelayakan yang memuat paling sedikit uraian kriteria

penetapan lokasi Terminal Penumpang sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 15.

(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya

melakukan penilaian dan pengkajian atas persyaratan permohonan

penetapan lokasi Terminal Penumpang paling lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.

(4) Dalam hal hasil penilaian dan pengkajian persyaratan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) menyatakan belum memenuhi persyaratan, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya

mengembalikan permohonan secara tertulis beserta alasannya kepada

pemohon untuk melengkapi persyaratan.

(5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dapat diajukan kembali kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota

sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi.

(6) Bentuk surat permohonan dan penolakan penetapan lokasi terminal

sebagaimana contoh 1 dan contoh 2 pada Lampiran yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB IV

KRITERIA DAN TATA CARA PENETAPAN FASILITAS PERPINDAHAN MODA

ANGKUTAN UMUM

Bagian Kesatu

Kriteria Penetapan Fasilitas Perpindahan Moda Angkutan Umum

Pasal 27

(1) Dalam rangka integrasi pelayanan untuk keterpaduan antar moda angkutan dan kemudahan akses pada simpul transportasi ditetapkan

lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum pada bandar udara,

pelabuhan, stasiun kereta api, dan pusat kegiatan.

(2) Fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan:

a. rencana induk pelabuhan, stasiun, dan bandara;

b. rencana tata ruang; dan

c. rencana jaringan pelayanan angkutan.

(3) Fasilitas perpindahan moda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dengan kriteria:

a. berada pada pusat kegiatan;

b. berada pada pelabuhan, stasiun, bandara;

c. terdapat pergerakan orang menurut asal tujuan;

d. kemudahan akses pengguna jasa angkutan;

e. permintaan angkutan.

Bagian Kedua

Tata Cara Penetapan Fasilitas Perpindahan Moda Angkutan Umum

Pasal 28

(1) Lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 ditetapkan oleh:

a. Menteri, untuk yang terletak pada lokasi bandar udara, pelabuhan,

dan stasiun kereta api;

b. Gubernur/Bupati/Walikota, untuk yang terletak pada pusat kegiatan sesuai kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(2) Fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diselenggarakan oleh penyelenggara pusat kegiatan/ pelabuhan/bandar udara/stasiun kereta api.

(3) Penyelenggaraan fasilitas perpindahan moda angkutan umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

(1) Permohonan penetapan lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diajukan oleh

penyelenggara fasilitas perpindahan moda angkutan umum kepada

Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan

persyaratan sebagai berikut:

a. letak lokasi yang diusulkan dilengkapi dengan titik koordinat geografis yang digambarkan dalam peta; dan

b. studi kelayakan yang memuat paling sedikit uraian kriteria

penetapan fasilitas perpindahan moda angkutan umum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf e.

(3) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya

melakukan penilaian dan pengkajian atas persyaratan permohonan penetapan lokasi fasilitas perpindahan moda angkutan umum paling

lama 14 (empat belas) hari kerja setelah permohonan diterima secara

lengkap.

(4) Dalam hal hasil penilaian dan pengkajian persyaratan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) menyatakan belum memenuhi persyaratan, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya

mengembalikan permohonan secara tertulis beserta alasannya kepada

pemohon untuk melengkapi persyaratan.

(5) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dapat diajukan kembali kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota

sesuai dengan kewenangannya setelah permohonan dilengkapi.

(6) Bentuk surat permohonan dan penolakan penetapan lokasi terminal sebagaimana contoh 1 dan contoh 2 pada Lampiran yang merupakan

bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB V

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 30

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI PERHUBUNGAN

REPUBLIK INDONESIA,

IGNASIUS JONAN

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

YASONNA H. LAOLY

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

Diperiksa oleh: Kasubbag Peraturan Perundang – undangan :

Terlebih dahulu: 1. Kepala Bagian Hukum dan Kerjasama :

2. Kasubdit Jaringan Transportasi Jalan :

3. Direktur LLAJ :

4. Direktur LLASDP : 5. Direktur BSTP :

6. Direktur KTD :

7. Sesditjen Hubdat :