24

Redaksi - bsnp-indonesia.orgpat hadir di tengah demokrasi Eropa yang sudah dewasa. Juga Presiden Bill c. Pendidikan sebagai Pembangun Tumbuhnya Rasa Kebangsaan Dalam perjalanan kehidupan

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Keterangan Gambar Cover

Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI(Bagian VI)

Daftar Isi

Pengantar Redaksi

3-6

14-20 Berita BSNP:- Lulusan SMK Dituntut Lebih Mandiri- 281 Buku Lulus Praseleksi- BSNP Tekankan Kebersamaan dan Sikap

Toleransi- Pelaksanaan UNPK Tahap II

Lensa BSNP21-24

PenanggungjawabMoehammad Aman Wirakartakusumah

Pemimpin RedaksiEdy Tri Baskoro

Redaksi EksekutifRichardus Eko Indrajit

Djemari MardapiTeuku Ramli Zakaria

Weinata Sairin

Redaksi PelaksanaBambang Suryadi

Penyunting/EditorMungin Eddy Wibowo

Zaki BaridwanDjaali

FurqonJohannes Gunawan

Jamaris JamnaKaharuddin Arafah

Desain Grafis & FotograferDjuandi

Ibar Warsita

Sekretaris RedaksiNing Karningsih

Alamat: BADAN STANDAR NASIONAL

PENDIDIKAN

Gedung D Lantai 2, Mandikdasmen

Jl. RS. Fatmawati, CipeteJakarta Selatan

Telp. (021) 7668590 Fax. (021) 7668591

Email: [email protected]: http://www.bsnp-indonesia.org

Vol. VII/No. 4/Desember 20122

Tim ahli standar proses berpose bersama Ketua, Sekretaris, dan anggota BSNP seusai melaksanakan salah satu tahapan kegiatan pemantauan dan evaluasi standar (atas). Responden pemantauan standar sarana dan prasarana mengisi instrumen pemantauan dalam kegiatan uji coba instrumen di Dinas Pendidikan Provinsi Banten (bawah).

Pembaca yang budiman. Alhamdulillah, Buletin BSNP edisi keempat dapat terbit sesuai yang direncanakan.

Edisi kali ini memuat tiga artikel, yaitu Paradigma Pendidikan Nasional Abad XXI (bagian ke-6), Tidak ada salah konsep dalam buku teks, dan salah konsep buku teks matematika. Dua artikel terakhir ini ditulis sebagai respon terhadap tulisan Utomo Dananjaya yang dimuat di harian Kompas, Senin, 9 Juli 2012, dengan tujuan untuk meluruskan opini yang terbentuk sebagai akibat dari tulisan Utomo tersebut. Pada edisi keempat ini kami juga menyajikan kegiatan BSNP baik dalam bentuk berita maupun lensa kegiatan. Selamat membaca.

7-11 Tidak Ada salah Konsep dalam Buku Teks

Salah Konsep Buku Teks Matematika12-13

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 3

PARADIGMA PENDIDIKAN NASIONAL ABAD XXI (Bagian VI)Tim BSNP

terintegrasi dalam ekonomi pasar, dan satu sama lain semakin dalam meng alami ketergantungan ekonomi. Fukuyama (1989) pun tanpa ragu me-negaskan, era ini sebagai “the end of history.” Pergulatan ideologis yang se-lama ini berjalan intens, dianggap telah tamat.

Namun, di tengah euphoria ke-menangan demokrasi liberal, segera saja kekhawatiran muncul. Proses de-mo kratisasi yang tadinya diyakini akan membawa harapan baru terhadap tatanan kehidupan politik dunia yang lebih damai, atau menawarkan iklim perdagangan bebas yang akan me ning-katkan kemakmuran, atau era yang men dorong lebih dihormatinya hak-hak asasi manusia di seluruh dunia, ternyata di tahun 1990-an diwarnai pula oleh berbagai bentuk kekerasan komunal yang penuh dengan tindak kekejaman di luar batas. Korban-korban kemanusiaan pun telah berjatuhan di banyak kawasan seperti di Rwanda, Burundi, Somalia, kawasan bekas Yugoslavia, Caucacus, Tajikistan, Chechnya dan juga Indonesia. Proses demokratisasi yang secara dra-matis membawa perubahan, ternyata menciptakan socio-political shock, yang memperlihatkan bahwa perubahan so-sial yang terjadi dengan cepat juga semakin memungkinkan terjadinya ben-tuk-bentuk kekerasan intra-societal.

Kini suara bernada pesimistis pun muncul. Di tengah antusiasme demo-kratisasi, Kaplan (1994) telah meng-khawatirkan munculnya “the coming anarchy.” Francois Mitterand saat men-jabat Presiden Perancis (1981-1995), telah lebih dulu menyebut adanya ba-haya “neotribalisme” yang bahkan da-pat hadir di tengah demokrasi Eropa yang sudah dewasa. Juga Presiden Bill

c. Pendidikan sebagai Pembangun Tumbuhnya Rasa Kebangsaan

Dalam perjalanan kehidupan berbangsa, tak dapat disangkal bahwa akhir-akhir ini rasa kebangsaan (ke-Indonesia-an) menjadi salah satu perhatian utama. Terjadinya krisis ekonomi yang berkepanjangan, ketimpangan pembangunan antardaerah yang terus melebar, konflik antar kelompok yang merebak di hampir semua gugusan kepulauan Indonesia dan lain-lain, sedikit banyak telah menurunkan rasa percaya diri sebagian rakyat tentang kemampuan bangsa ini untuk melanjutkan usaha untuk mencapai cita-cita proklamasi. Pada saat pesimisme semacam ini tumbuh, di tingkat global juga terjadi perubahan konstelasi kekuatan politik-ideologi yang berdampak pada penataan ulang komposisi kehidupan bangsa-bangsa yang tak jarang berlanjut pada gugatan eksistensi suatu bangsa. Krisis global ini memiliki dampak psikologis terhadap Indonesia.

Kita menyaksikan, bahwa setelah kekuatan blok Soviet memudar setahun setelah runtuhnya

tem bok Berlin di tahun 1989, segera muncul euphoria kemenangan ideologi demokrasi liberal atas dua saingan utamanya, yaitu komunisme dan nasio-nalisme fasis. Maka demokrasi pun menjelma seperti virus, yang menurut Snyder (2000: 16), telah menyebar dan menyapu bekas negeri-negeri otoritarian di Amerika Latin, Eropa Selatan, dan Eropa Timur, dan bahkan kini menuju Asia Timur. Inilah era kemenangan liberalisme di mana tiap negara di dunia

Clinton dalam pidato pelantikan 1993, di samping ia menyambut era baru ini sebagai era yang menjanjikan kebebasan, ia juga menandai adanya ancaman “an-cient hatreds” (kebencian-kebencian kuno) yang dapat tumbuh subur dan mengancam peradaban manusia.

Ini semua menjelaskan, bahwa kita bangsa Indonesia yang kini pun tak lepas dari situasi transisi demokrasi yang seringkali menghadapkan kita dalam situasi kritis, karena kita pada saat ini tepat berada pada persimpangan jalan: jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tak dapat kita lalui dengan baik, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa (lepasnya wilayah tertentu dari negara), tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial, atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial, sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan berupaya saling meniadakan. Dalam situasi ini, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all, bukan lagi menjadi khayalan. Dan kini pertanyaan pun muncul: akankah kita sebagai bangsa dapat selamat melampaui masa-masa kritis ini? Kondisi apakah yang harus kita cermati bersama untuk mencegah ancaman ini? Langkah-langkah apakah yang harus segera kita lakukan untuk penyelamatan?

Sejak awal berdirinya republik ini, para pendiri negeri (the founding fa-thers) agaknya menyadari sepenuhnya bahwa proses nation building meru-pakan agenda penting yang harus te-rus dibina dan ditumbuhkan. Bung Karno, misalnya (lihat Sukarno, 1963: 3-6 dan 509), sejak awal berupaya mem-bangun rasa kebangsaan dengan mem-bangkitkan sentimen nasionalisme yang menggerakkan “suatu iktikad, suatu keinsyafan rakyat, bahwa rakyat itu adalah satu golongan, satu bangsa.” Dengan

mengacu pada pendapat Ernest Renan (1823–1892), Bung Karno mengatakan bahwa keberadaan suatu bangsa hanya mungkin terjadi bila ia memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan riwayat, dan sekarang memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Bagi Bung Karno, keinginan hidup menjadi satu bangsa itu dasarnya bukan nasionalisme sem-pit atas kesatuan ras, bahasa, agama, persamaan tubuh, ataupun sekadar batas-batas negeri, namun lebih di-da sarkan pada nasionalisme yang long gar, nasionalisme yang luhur, na-sionalisme yang mementingkan ke se-jahteraan manusia Indonesia, dan yang mengutamakan persahabatan dengan semua kelompok (inklusif). Bung Kar-no pun mengutip ucapan Mohandas Karamchand Gandhi (1869–1948): “Buat saya, maka cinta saya pada pada tanah-air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia. Saya ini seorang patriot, oleh karena saya manusia dan berbicara manusia. Saya tidak mengecualikan siapa juga”. Dengan demikian, Bung Karno secara tegas menolak nasionalisme yang ia sebut bersifat “chauvinis” dan “provinsialistis” yang memecah belah. Nasionalisme semacam ini, ia anggap sebagai bentuk “assyabiyah yang di-kutuk Allah.”

Untuk membangun rasa kebangsaan ini tentu tak cukup hanya dengan mem-bangkitkan sentimen nasionalisme yang dikobarkan melalui pidato-pi-dato yang menggelora. Oleh karena itu, begitu kemerdekaan bangsa ini di-proklamasikan, dirumuskanlah sebuah UUD 1945 yang pembukaannya secara tegas menuangkan cita-cita Indonesia, yaitu: “melindungi segenap bangsa In-donesia dan seluruh tumpah darah In-donesia dan untuk memajukan kese-jahteraan umum, mencerdasakan ke hi-dupan bangsa dan ikut melaksanakan ke tertiban dunia yang berdasarkan ke merdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Cita-cita inilah yang menjadi modal awal merekatnya rasa kebangsaan.

Vol. VII/No. 4/Desember 20124

Namun, setelah Indonesia memasuki era kemerdekaan, nampaknya dalam perjalanan bangsa selama ini terlalu banyak elemen bangsa, terutama para elit politik, sadar atau tidak, telah banyak yang mengkhianati cita-cita luhur dan menyia-nyiakan modal sosial yang telah dicoba dibangun sejak masa-masa awal kemerdekaan dengan susah payah.

Ketimpangan ekonomi jelas ber-po tensi memperkuat terjadinya kete-gangan antarkelompok. Keadaan men-jadi semakin rentan manakala garis batas antarkelompok sosial ini menjadi menebal akibat sekat-sekat sosial seperti etnis, ras, agama, atau pun asal daerah terintegrasi menjadi satu. Berbagai kelompok berbeda satu sama lain, tidak saja karena perbedaan ekonominya, namun juga etnis, ras, agama dan asal daerahnya. Di samping itu, derasnya arus globalisasi yang ternyata sering bersifat paradoksal, yang di satu sisi membawa efek penyeragaman, di sisi lain menumbuhkan kuatnya kesadaran identitas kelompok, dengan akibat ber-tambah tajamnya fragmentasi sosial.

Akibat keadaan tersebut, Indonesia belakangan ini terus diwarnai oleh konflik-konflik antara kelompok-kelompok yang bersifat emosional dan brutal serta telah memakan begitu banyak korban di banyak tempat di Indonesia.

Dengan demikian, semangat persa-tuan, rasa kebangsaan, rasa nasionalisme luhur atau tumbuhnya civic nationalism, yakni “loyalitas terhadap seperangkat cita-cita politik dan kelembagaan yang dianggap adil dan efektif” dalam bingkai suatu negara (Snyder, 2000: 24) jelas bukanlah suatu yang secara taken for granted ada dan terbangun. Rasa kebangsaan dapat menguat dan melemah atau bahkan dapat hilang sama-sekali tergantung dari cara bagaimana bangsa itu mengelolanya. Karena itu, proses nation building tidak boleh terhenti.

Dalam konteks inilah, kebijakan di bidang pendidikan harus terkait dengan tujuan menumbuhkan rasa persatuan dan rasa kebangsaan. Rumusan kurikulum pengajaran maupun arah penelitian dan kegiatan sosial (pengabdian masyarakat)

yang dicanangkan di sekolah maupun kampus, harus terkait langsung dengan upaya nation building secara terus-me-nerus, yakni mendorong tumbuhnya integrasi nasional dan integrasi sosial yang kuat. Untuk tujuan tersebut, ran-dangan kegiatan pendidikan dapat difo-kuskan pada tema-tema berikut:1. Membangun pemahaman/kesadaran

tentang cita-cita pembangunan In-donesia sebagai bangsa yang dida-sarkan pada nasionalisme kewargaan (civic nationalism) yang bertumpu pada rasa kemanusiaan.

2. Membangun pemahaman/kesadaran pentingnya toleransi dalam men ja-lankan kehidupan bersama dalam rangka membentuk “kewargaan mul-tikultural” (multicultural citizenship) menuju masyarakat kreatif dan res ponsif.

3. Merancang perangkat ajar dan te-ma-tema penelitian dan kegiatan sosial yang mendorong tumbuhnya pemahaman dan sikap saling meng-hormati pada kelompok adat, etnis, agama, ras, perbedaan gender, asal-usul, dan identitas lainnya.

4. Melatih ketrampilan mediasi dan ne-gosiasi dalam rangka membangun perdamaian melalui upaya-upaya re solusi konflik dan transformasi kon flik. Sebagaimana pembangunan watak

(cha racter building), proses pembangun-an rasa kebangsaan juga tak mungkin hanya diemban oleh lembaga pendidikan formal (sekolah maupun perguruan tinggi) semata. Keterlibatan keluarga dan komunitas yang bersifat responsif juga sangat menentukan. Karena itu, adalah tugas pemerintah untuk menciptakan komunitas-komunitas responsif ini yang mengemban misi kebangsaan.

Keseluruhan proses pendidikan ini harus selaras dengan strategi nasio-nal dalam menjalankan nation building tersebut. Prinsip-prinsip dasar strategi nasional untuk tujuan ini dapat di ru-muskan dengan memperhatikan hal-hal berikut: Pertama, nation building hanya dapat terlaksana manakala dicanangkan strategi nasional yang dilakukan secara

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 5

kreatif untuk menumbuhkan “solidaritas emosional” dalam bingkai kebangsaan. Dengan kata lain, pemerintah dan tiap komponen bangsa harus didorong untuk menerapkan “seni mencinta” (the art of loving) yang baik dalam berhubungan dengan sesama anak bangsa, khususnya yang memiliki perbedaan latar-belakang, sehingga interaksi antarkelompok dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dalam satu kebangsaan. Untuk inilah kita memerlukan pemahaman budaya tiap-tiap kelompok sehingga masing-masing kelompok memiliki sensitivitas dalam berinteraksi dengan kelompok lain. Lebih jauh, pengelolaan negara juga harus diarahkan sedemikian rupa sehingga kebijakan-kebijakan yang dijalankan tidak menciptakan rasa terpinggirkan. Pengelolaan harus mampu menciptakan the Indonesian Dream yang dinamis bagi tiap-tiap warga-negara.

Kedua, nation building harus di lan-jutkan dengan melakukan pengelolaan kehidupan bernegara sedemikian rupa sehingga menumbuhkan “solidaritas fung sional,” yakni solidaritas yang dida-sarkan pada ikatan saling ketergantungan satu sama lainnya, baik di bidang eko-nomi, sosial maupun budaya yang relatif seimbang.

Upaya pengembangan sistem pen-didikan memerlukan peta jalan yang jelas melalui perumusan tujuan yang jelas dan ditindak-lanjuti dengan meto dologi cara pencapaiannya (pro-ses) dan struktur pendukung yang fung sional. Keseluruhan mekanisme kerja ini memerlukan manajemen yang kreatif namun konsisten yang tidak hanya terpaku pada panduan-pan duan baku, tetapi juga membuka kemungkinan dikembangkannya per-u bahan-perubahan yang bersifat pro-duktif. Dalam menyusun kebijakan, kita memerlukan pemahaman menge-nai arah perkembangan ilmu penge-tahuan. Bagaimana merumuskan arah pendidikan sehingga secara rea lis-tis dapat dijabarkan ke dalam lang-kah-langkah konkret sehingga ha-silnya dapat terukur. Akhirnya, dari keseluruhan proses ini, perlu kejelasan

bentuk masyarakat seperti apakah yang ingin kita tuju sehingga masyarakat tidak kehilangan arah pada saat kita merumuskan visi, misi, dan strategi pembangunan.

Untuk terlaksananya program-pro gram ini, diperlukan pemimpin-pe mimpin visioner, yang mampu mem berikan semangat, menjelaskan arah perjalanan bangsa, mengambil keputusan secara tegas dan konsisten, serta menggalang kembali kecintaan akan kebersamaan di hadapan semua orang, terutama sekali di hadapan kaum muda terpelajar dari semua golongan, sehingga mereka bersama-sama bersedia untuk bekerja dengan semangat tinggi untuk cita-cita yang satu. Kita butuh pemimpin yang mampu membangkitkan ruh hidup bersama, yaitu ruh semangat kebangsaan dalam konteks baru, dalam konteks tatanan masyarakat yang kini tumbuh secara dinamis. Para pemimpin itu harus dapat menemukan “software sosial baru” yang kuat untuk dapat menopang dinamika perubahan sosial yang kini tengah berlangsung.

Namun, bila kita menyadari bahwa kini kita juga sedang mengalami kri-sis kepemimpinan, maka tak ada pi-lihan lain, bila bangsa ini masih ingin bertahan hidup menghadapi tan-tangan zaman yang semakin keras, kita harus melakukan upaya kolektif untuk melakukan penanggulangan masalah secara bersama-sama. Di tiap-tiap komunitas perlu digalang pembentukan “unit-unit reaksi cepat” untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Berbagai kelompok mediasi harus ditumbuhkan untuk mengatasi konflik yang muncul. Asosiasi orang-tua murid, pemuda, seniman, wartawan dan lain-lain perlu segera diaktifkan untuk mempercepat terciptanya komunitas responsif di lingkungannya masing-masing. Pada saat yang sama, kalangan pendidik yang mengabdi di berbagai lembaga pendidikan harus bangkit untuk mengambil peranannya untuk melakukan penyelamatan bangsa. l

Vol. VII/No. 4/Desember 20126

Tidak Ada Salah Konsep dalam Buku TeksBambang Suryadi*)

*) Staf Profesional BSNP dan dosen Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 7

Masing-masing dilengkapi gambar, peng-ganti kegiatan mengamati yang tidak cukup untuk mengantarkan anak pa-da pemahaman tentang apa itu energi sesungguhnya.

Masih menurut Utomo Dananjaya, kejanggalan ini diperparah dengan pem-bahasan lanjutan tentang alat rumah tangga. Pada halaman 102 tertulis, “di rumah banyak alat rumah tangga -alat-alat itu dapat menghasilkan energi- con-tohnya televisi, radio, dan telepon.

Kedua, buku teks Ilmu Pengetahuan Sosial karangan Tri Jaya Suranto dan A Dakir, PT Ghalia Indonesia Prin ting-Pusat Perbukuan. Salah satu stan dar kompetensi kelulusan ilmu penge-tahuan sosial adalah memahami iden-titas diri dan keluarga. Identitas diri diterjemahkan pengarang sebagai do-kumen pribadi dan keluarga. Maka, pem bahasan ini masuk bagian berjudul “Dokumen Pribadi dan Keluarga” dan yang dibahas adalah akta kelahiran, kartu keluarga, kartu tanda penduduk, dan surat izin mengemudi.

Menurut Utomo Dananjaya, iden-titas diri bukan dokumen identitas adminis tratif, tetapi konsep mengenali diri, karakter diri, kelebihan, dan ke kurangannya.

Ketiga, buku Matematika 2: Tema-tik. Pada halaman 72, tertulis: “Jadi 4x3=3x4”. Lalu pada halaman 74 terdapat ilustrasi gambar untuk soal pembagian 6:3=2. “Jika dibalik, sebanyak 3 orang men dapatkan 2 es krim. Kalimat mate-matiknya menjadi 2x3=6”.

Menurut Utomo Dananjaya, seha-rusnya kalimat matematikanya adalah 3x2=6. Jika dibalik: 6:3=2. Kalimat ma-tematika tersebut adalah symbol dari 6 es krim yang dibagikan kepada 3 orang, setiap orang mendapat 2 es krim atau 3 orang masing-masing mendapat 2 es krim sehingga jumlahnya 6 es krim. Utomo Dananjaya beranggapan bahwa kalimat ini tak menyimpulkan secara be-nar dan menyimpang dari konsep.

Utomo Dananjaya Direktur Institute for Education Reform Universitas Paramadina kem-

bali mempersoalkan kredibilitas BSNP. Jika sebelum ini Utomo memper masa-lahkan aspek legalitas pelaksanaan Ujian Nasional, kali ini Utomo mem per-masalahkan kesalahan konsep dalam bu ku teks pelajaran Sekolah Dasar (SD), melalui tulisannya di harian Kompas, Senin, 9 Juli 2012, dengan judul “Salah Konsep Buku Teks”.

Dengan motivasi dan semangat untuk memberikan klarifikasi dan meluruskan opini publik yang telah terbentuk, BSNP melalui media ini perlu memberikan penjelasan terhadap tulisan Utomo Da-nanjaya tersebut. Sikap BSNP ini bukan sebuah sikap defensif, apologetik atau berpolemik semata, tetapi sebuah sikap apresiatif dan terbuka terhadap saran maupun kritikan masyarakat.

Substansi Tulisan

Dalam tulisannya, Utomo Dananjaya secara substansi memberikan dua kritik terhadap BSNP. Pertama ada kesalahan konsep dalam tiga buku teks pelajaran untuk Sekolah Dasar (SD), yaitu buku teks pelajaran IPA, Matematika, dan IPS. Kedua, lembaga yang paling ber tang-gung jawab atas kesalahan ini, menurut Utomo Dananjaya, adalah BSNP, bukan penulis atau penerbit buku. Untuk lebih jelasnya, penulis ulas kembali “kesalahan konsep buku teks” sebagaimana diklaim oleh Utomo Dananjaya sebagai berikut.

Pertama, buku teks Ilmu Pengetahuan Alam 2, karya Sri Purwanti, CV Arya Duta-Pusat Perbukuan. Pada Bab 8 tentang sumber energi tertulis bahwa tujuan pembelajaran adalah mengidentifikasi sumber energi di lingkungan sekitar.

Menurut Utomo Dananjaya, kejang-galan terlihat mulai dari pembahasan bentuk-bentuk energi: bunyi adalah ben-tuk energi, cahaya adalah bentuk ener-gi, dan panas adalah bentuk energi.

Vol. VII/No. 4/Desember 20128

Utomo Dananjaya berpandangan tiga contoh buku teks dengan kekeliruan masing-masing mengandung kekeliruan konsep yang menyesatkan anak didik. Kekeliruan pemahaman bisa terbawa sampai dewasa.

Sehubungan dengan klaim kedua, Utomo Dananjaya pada akhir tulisan-nya menyebutkan: “Kekeliruan kon-sep, kekeliruan pengertian, bahkan keke liruan cetak ini justru terjadi pada buku yang sudah dianggap layak oleh BSNP. Jadi, jelaslah siapa yang harus bertanggungjawab. Tidak bisa di-lemparkan ke pengarang, apalagi guru sebagai pengguna.

Nah, persoalannya adalah, apakah klaim Utomo Dananjaya tersebut benar atau salah? Sejauh mana respon BSNP dan pakar IPA, Matematika, dan IPS ter hadap kritik Utomo Dananjaya? Ja-waban terhadap dua pertanyaan ini akan penulis ulas pada bagian berikut.

Respon BSNP BSNP menyikapi tulisan Utomo

Danan jaya dengan tikap terbuka, apre-siatif, dan professional. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa BSNP tidak langsung bereaksi dengan sikap po lemik di media, melainkan BSNP mengundang pakar dalam bidang Fisika, Matematika, dan IPS untuk membahas substansi tulisan Utomo. Kedua, setelah mendengarkan pendapat mereka, BSNP mengundang Utomo Dananjaya ke kan-tor BSNP untuk memberikan kla rifikasi sekaligus berdialog dengan para pakar dan anggota BSNP.

Perlu dicatat pula, kenyataan yang ada, setelah Kompas memuat tulisan ter-sebut, tidak ada tanggapan dari guru, penulis, atau penerbit yang muncul di media massa. Respon ini bisa dipahami dari dua sisi. Pertama, apa yang ditulis itu bukan hal yang seluruhnya benar. Kedua, masyarakat sudah mengetahui arah dan kecenderungan penulis (Utomo Dananjaya) ketika mengangkat isu buku teks pelajaran tersebut. Oleh karena itu, sikap diam adalah pilihan terbaik. Bak kata sebuah wisdom, silence is golden. Diam itu emas.

Eko Indrajit Sekretaris BSNP menilai

tulisan Utomo Dananjaya sebagai wake up call bagi BNSP. Sementara Weinata Sairin anggota BSNP yang sekaligus menjadi koordinator kegiatan penilaian buku merasa cukup dikagetkan dengan tulisan yang secara tajam mengkritik BSNP. “Karena itu BSNP perlu melakukan langkah-langkah konkrit untuk merespon tulisan ini. Misalnya pada tahap yang paling mudah adalah menggunakan hak jawab melalui surat pembaca. BSNP juga bisa menulis artikel untuk menjawab pemikiran Utomo Dananjaya”, ucap Weinata sambil menambahkan sebelum langkah ini dilakukan, BSNP perlu men-dengar pandangan para ahli pada bidang Fisika, Matematika, dan IPS terhadap tulisan Utomo Dananjaya.

Cara menyampaikan pendapat yang tepat dan bijak juga disoroti ang-gota BSNP. F.A. Moeloek misal nya, ber-pandangan bahwa cara menyam paikan pendapat ini lebih penting daripada pen dapat itu sendiri. Pendapat yang benar dan baik, bisa tidak diterima, jika disampaikan dengan cara yang ku-rang tepat dan bijak. “Jika saya sebagai penulis, pendapat seperti ini akan saya sampaikan secara langsung ke BSNP, tidak melalui media cetak”, ungkap Moeloek seraya mengusulkan BSNP per lu mengundang penulis (Utomo Da-nanjaya) untuk berdialog dan bertukar pandangan tentang buku teks pelajaran tersebut.

Pandangan Pakar

Menindaklanjuti usulan FA Moeloek, BSNP telah mengundang tiga orang pakar dalam bidang IPA (Fisika), Matematika, dan IPS untuk memberikan pandangan mereka terhadap buku teks pelajaran dan tulisan Utomo Dananjaya tersebut. Untuk bidang IPA (Fisika) adalah Terry Mart dari Universitas Indonesia, untuk bidang Matematika adalah Wono Setya Budhi dari ITB, dan untuk bidang IPS adalah Etin Solihatin dari UNJ.

Terry Mart berpandangan bahwa apa yang ditulis Utomo Dananjaya ada yang benar secara Fisika, tetapi juga ada yang salah. Permasalahannya adalah apakah kata menghasilkan identik dengan men­ciptakan. Menurut Terry, dua kata ini

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 9

memiliki arti yang berbeda. Misalnya, be kerja menghasilkan uang, harus di-maknai uang itu tidak diciptakan, te-tapi dihasilkan. Dalam buku teks ini banyak sekali kata menghasilkan. Ada kesalahan pengungkapan oleh penulis yang menyebabkan penafsiran yang berbeda.

Untuk anak SD, tambah Terry Mart, apa yang ditulis dalam buku ini sudah cukup tepat, misalnya kompor menghasilkan energi. “Menurut saya, istilah menghasilkan yang ada di da lam buku ini masih relevan, karena meng-hasilkan bukan menciptakan”, ucap dosen Unversitas Indonesia tersebut sam bil memberikan pesan perlunya keha ti-hatian dalam mengungkapkan se-suatu dan memilih kata yang tepat.

Pakar Matematika dari ITB, Wono Setya Budhi berpandangan bahwa de-ngan mengundang Utomo Dananjaya ke BSNP merupakan kesempatan yang bagus untuk berargumentasi. Menurut Wono, saat ini belajar matematika seperti belajar agama, dimana definisi ibaratnya dokma yang harus sama di-pakai untuk seluruh jenjang, dari SD sampai perguruan tinggi. Padahal hal tersebut seharusnya tidak demikian. Definisi matematika dapat diambil berbeda tanpa harus salah satu dian-taranya disalahkan. “Jadi ini merupakan pembelajaran yang baik bagi guru-guru bahwa definisi matematika itu tidak tunggal bergantung konteksnya”, ucap Wono seraya menambahkan yang bersangkutan sudah menulis tanggapan terhadap tulisan Utomo Dananjaya dan mengirimkannya ke Kompas, tetapi tidak dimuat. Untuk lebih jelasnya, baca tulisan Wono di bagian lain dari Buletin ini.

Lebih lanjut Wono mengatakan mem baca sebuah buku tidak cukup satu halaman kemudian memberikan kritik, tetapi harus membaca secara ke-seluruhan. Memang dalam buku itu, tambah Wono, ada kesalahan cetak, yai tu 4x3 dibunyikan dalam narasinya 3x4.

Sementara itu Etin Solihatin ahli IPS dari UNJ, berbeda pendapat dengan Utomo dalam memaknai identitas diri (karakter). Menurut Etin Solihatin KTP

dan SIM kurang cocok untuk identitas diri bagi anak SD. Sedangkan kartu ke-luarga dan akte kelahiran sudah te pat. Justru karakter diartikan sebagai iden-titas diri tidak tepat untuk anak SD. Kesalahan Utomo Dananjaya, tambah Etin, karena hanya membaca buku IPS tersebut pada halaman 25 dan 26, padahal ada penjelasan pada halaman 59. Sangat disayangkan penulis sekaliber Utomo Dananjaya kurang cermat dalam melakukan analisis dokumen dan terlalu gegabah membuat kesimpulan.

Pandangan Etin diperkuat oleh FA. Moeloek anggota BSNP yang mengatakan bahwa untuk anak SD pengertian iden titas diri dikaitkan dengan kartu keluarga dan akte kelahiran masih tepat dan rele van. Sebaliknya, ketika identitas diri dikaitkan dengan karakter terlalu berat untuk anak SD. Senada dengan Moeloek, Djemari Mardapi dengan meng-utip teori perkembangan kognitif Piaget, menegaskan anak SD belajar dari hal-hal konkrit kemudian ke abstrak. Artinya, tidak ada yang salah ketika menjelaskan identitas diri dengan kartu keluarga dan akte kelahiran.

Dialog dengan Utomo Dananjaya

Setelah mendengarkan pandangan ketiga pakar tersebut, BSNP mengundang Utomo Dananjaya untuk berdialog di kantor BSNP pada hari Selasa, 7 Agustus 2012. Hadir dalam dialog ini pakar Fisika Terry Mart (UI), pakar IPS Etin Solihatin (UNJ), Kepala Puskurbuk Diah Hartati, dan anggota BSNP. Sedangkan Pakar Matematika Wono Setya Budhi (ITB) berhalangan hadir.

Dalam pengantarnya, Eko Indrajit Sekretaris BSNP yang memimpin dia log saat itu, menjelaskan sistem pengem-bangan instrumen penilaian buku teks pelajaran (BTP), instrumen yang dipakai untuk menilai BTP, teknik penilaian BTP, dan komposisi ahli dan guru yang menilai BTP. Selain itu, tambah EKo In-drajit, BSNP juga menerima banyak surat mengenai saran perbaikan BTP. Diantaranya adalah dari Kedutaan Korea di Jakarta yang pernah mengajukan sikap keberatan tentang batas Negara Korea dan Jepang karena ada kekeliruan

Byun Chul-hwan (tengah) Konselor Kedutaan Korea di Jakarta berbincang dengan Edy Tri Baskoro tentang isi buku teks pelajaran sejarah di kantor BSNP.

Vol. VII/No. 4/Desember 201210

sebagaimana tertulis dalam buku Geo grafi.

Dalam forum dialog tersebut Uto-mo Dananjaya mengatakan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pe neli-tian tentang BTP sejak tahun 2006. BTP yang diteliti adalah BTP kelas II (pemula) dan kelas V (kelas terakhir) SD.

Lebih lanjut Utomo mengakui bah-wa ada perbedaan antara dirinya dan pengarang buku dalam memahami kon-sep Matematika. Menurut penulis buku, konsep tentang 3 x 2 sama dengan 2 x 3. Sebaliknya, Utomo perpandangan bahwa 3x 2 adalah satu konsep dan 2 x 3 merupakan satu konsep yang lain. Jadi keduanya tidak sama.

Menanggapi penjelasan tersebut, Edy Tri Baskoro, anggota BSNP yang no ta bene juga Guru Besar Matematika ITB menjelaskan tentang konsep Matematika yang dikritisi oleh Utomo Dananjaya.

Menurut Edy, 3 x 2 = 2 x 3 adalah benar adanya. Secara umum, kita ke-nal bahwa perkalian bilangan bulat memenuhi hukum komutatif. Jadi tidak ada yang salah bila pengarang buku teks ini menulis 3 x 2 = 2 x 3. Justru, hal ini yang harus diperkenalkan sejak dini. Tentu saja akan berbeda maknanya jika seorang dokter menuliskan resep: 3 x 2

tablet sehari dibandingkan dengan 3 x 2 tablet sehari. Dengan logika ber pikir seperti ini, Edy Tri Baskoro menyim-pulkan bahwa yang dikatakan oleh pak Utomo itu tidak benar.

Mengenai buku IPA (konsep ten-tang energy), Utomo berpendapat bah-wa energi tidak dapat diciptakan dan dimusnakan melainkan diubah. Sehing-ga tulisan tentang televisi, radio, dan telepon menghasilkan energi itu salah konsep.

Menanggapi penjelasan dari Utomo, Terry Mart (UI) mengatakan yang kurang dari tulisan atau pemahaman Utomo adalah konsep tentang energi yang di-ubah dengan mengambil energi dari listrik. Terry sependapat dengan Utomo bahwa energi itu tidak dapat diciptakan melainkan diubah. Yang paling penting memang adalah bagaimana menjelaskan energi itu dapat diubah bentuknya dengan menggunakan kata konversi, meskipun istilah ini juga tidak benar.

Pakar IPS dari UNJ, Etin Solihatin ber pandangan identitas diri yang dia-sosiakan dengan akte kelahiran, KTP dan kartu keluarga tidak salah sebab dokumen tersebut merupakan contoh konkrit yang mudah dipahami oleh anak SD. Merujuk teori Piaget dan Hilda Tabah, Etin mengatakan bahwa usia

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 11

anak yang sesuai dengan tingkatan ber-pikir mereka masih berada pada fase konkrit. Jadi apa yang dipelajari akan lebih bermakna jika dimulai dari hal-hal yang lebih dekat dengan dirinya seperti keluarga. Mengenai karakter sebagai bagian dari identitas diri, tidak disebutkan secara eksplisit dalam buku teks tersebut, sebab guru yang akan mengulasnya dalam proses belajar meng ajar.

Sangat disayangkan, meskipun su-dah ada penjelasan dari anggota BSNP dan pakar di bidang Matematika, IPA, dan IPS, Utomo Dananjaya tetap ber-sikukuh dengan pandangannya.

“Sekali lagi dalam kesempatan ini

memberikan penilaian dan kesimpulan sendiri. Namun, tidak berlebihan jika ada pembaca yang menyimpulkan bahwa tidak ada kesalahan fatal dalam buku teks IPA, IPS, dan Matematika SD sebagaimana yang diklaim oleh Utomo Dananjaya.

Bagi BSNP, tulisan tersebut tetap ada hikmahnya, yaitu sebagai wake up call dan masukan untuk penyempurnaan buku teks pelajaran. Lebih penting lagi, penjelasan ini bukan untuk menentukan siapa yang menang dan kalah atau siapa yang salah dan benar, tetapi untuk di-jadikan proses pembelajaran. Sebab hal ini terkait dengan bidang keahlian. Adalah sebuah kenaifan jika pada

Lajur depan, dari kiri ke kanan, Diah

Hartati Kepala Puskurbuk,

Terry Mart Guru Besar Fisika

UI, dan Utomo Dananjaya,

saat berdialog tentang buku teks

saya ingin menekankan bahwa sesuai dengan tulisan saya yang dimuat dalam Kompas, ada salah konsep dalam buku Matematika, IPA, dan IPS. Satu hal yang membuat saya kecewa adalah setiap buku yang terbit itu disertai dengan kata pengantar dari Kepala Pusat Perbukuan yang menyatakan bahwa buku ini telah dinilai kelayakannya oleh BSNP. Oleh karena itu yang harus bertanggung Ja-wab terhadap semua ini adalah BSNP”, ucap Utomo Dananjaya.

Terlepas dari sikap Utomo Dananjaya tersebut, setelah memperhatikan uraian dan penjelasan dari para pakar Fisika, Matematika, dan IPS, pembaca sudah bisa

zaman sekarang ini ada orang yang ku-rang menghormati bidang keahlian orang lain.

Last but not least, BSNP sebagai lembaga profesional dan independen, mengucapkan terima kasih kepada Utomo Dananjaya dalam usianya yang tidak muda tetapi masih tetap da-pat memberi kritikan kepada BSNP. Dan kritikan ini akan lebih bijak jika lang sung disampaikan kepada BSNP, bukan melalui media massa, jika spirit dan semangat yang dibangun adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, bukan sekedar mencari po pu-leritas personal. l

Pada hari Senin 9 Juli 2012 Kompas memuat tulisan Sdr Utomo Danajaya tentang adanya

salah konsep di buku Matematika 2: Tematik. Salah satu yang disebutkan salah konsep adalah “Jadi 4 x 3 =3 x4”. Langsung tampak bahwa penulis bukan seorang matematikawan. Dugaan saya, saudara penulis dan juga banyak guru yang melihat hukum perhitungan yang bersifat komutatif sebagai suatu hal yang tidak realitis. Saya mencoba untuk menjelaskan bahwa pemahaman ini terjadi karena adanya dua pembicaraan yang berbeda tetapi dianggap sama.

Definisi di matematika tidak harus selalu sama di dua buku atau dua pembicaraan yang berbeda. Hal ini berbeda dengan hal-hal yang mempunyai kebenaran mutlak atau pengetahuan yang berasal dari satu orang atau satu sumber. Definisi di matematika dapat diambil berbeda oleh dua buku tanpa harus salah satu di antaranya merupakan kesalahan. Dalam satu pembicaraan tentu suatu definisi harus satu yang diambil. Demikian pula tulisan 3 x 4, apa artinya tulisan ini. Tetapi terlebih dahulu, perhatikan perbedaan menjawab pertanyaan berikut: “ Sehari berapa kali saudara makan?”. Orang berbahasa Indonesia akan menjawab 3 kali dan orang yang berbahasa Inggris akan menjawab 3 times. Tetapi saya dan orang yang berbahasa Jawa akan menjawab “ping telu” atau kali 3. Oleh karena itu orang berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris akan mengartikan tulisan 3 x 4 sebagai 4+4+4 (tiga kali atau 3 times). Tetapi saya dan orang berbahasa Jawa boleh saja mengartikan sebagai 3+3+3+3 (ping 4). Walaupun saat ini saya harus menghormati orang yang mengartikan tulisan tersebut

Oleh Wono Setya Budhi1

Salah Konsep Buku Teks Matematika

1Pengajar di ITB dan Penulis Buku Matematika

sebagai 4+4+4. Apakah ini membingungkan karena

adanya perbedaan definisi? Tentu saja tidak. Di matematika, kita lebih mempelajari kalimat “Jika harga 1 kerbau adalah Rp 200 maka harga 2 kerbau adalah Rp 400”, yaitu kalimat implikasi. Kita tidak mempertanyakan tentang kebenaran tentang “harga 1 kerbau adalah Rp 200”, tetapi lebih kepada hubungan sebab dan akibat. Di matematika kita akan mempertimbangkan bahwa kalimat “harga 1 kerbau adalah Rp 200” bisa benar dan bisa juga salah. Kalimat tersebut benar untuk orang yang hidup saat tahun 1970 dan tentu saja salah untuk saat ini. Oleh karena itu definisi di matematika dapat diambil salah satu dari definisi yang mungkin dan harus konsisten selama pembicaraan tersebut. Selanjutnya, pada pembicaraan lain, orang yang sama tentu dapat mengambil definisi yang lain dan membahas sebab dan akibat saja. Itulah sebabnya sangat penting untuk melihat secara jelas anggapan-anggapan awal dalam pembahasan di matematika.

Kembali ke masalah 3 x 4 di atas. Untuk orang berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, tulisan tersebut menggambarkan proses yang berbeda dengan proses yang ada di pikiran orang yang berbahasa Jawa. Untuk orang berbahasa Indonesia, model dari tulisan tersebut terlihat di Gambar 1. Sedangkan untuk orang berbahasa Jawa, model dari tulisan tersebut terlihat di Gambar 2. Tetapi jika ditanya: “Berapa banyak kotak yang ada?”, maka jawaban dari dua proses tersebut adalah sama, yaitu 12. Tulisan “3 x 4 =4 x 3” adalah tulisan ringkas untuk menyatakan bahwa dua proses tersebut mempunyai hasil akhir

Vol. VII/No. 4/Desember 201212

yang sama, dalam hal ini jumlah kotak. Selain perkalian angka dengan

dimensi yang sama, misalkan menghitung luas persegi panjang , perlu diperhatikan pula jika angka tersebut mempunyai dimensi yang berbeda. Misalkan saja siswa A mengerjakan empat soal untuk tiga hari berturut-turut, tentu berbeda dengan siswa B yang membuat tiga soal untuk empat hari berturut-turut. Tetapi jika ditanya berapa banyak soal yang dibuat oleh siswa A dan siswa B, sekali lagi keduanya membuat soal yang sama banyak dan di matematika maupun kehidupan sehari-hari, hasil tersebut tetap 3x4=4x3=12. Jadi, disini harus dibedakan antara proses yang terjadi, dan pertanyaan tentang jumlah benda yang terlibat. Sedangkan tulisan pada resep 3 x 1 tablet atau 3 x 1 sendok tentu tidak boleh diganti dengan 3 tablet x 1. Disini proses yang diperlukan, bukan hasil akhir.

Sebagai akhir tulisan, saya harapkan dengan mempelajari matematika seperti di atas, mengajar kepada siswa bahwa sesuatu selalu dapat dipandang dari berbagai sudut. Kita harus selalu dapat menghargai pendapat orang lain tanpa harus mengatakan bahwa pendapat kita mempunyai kebenaran mutlak. Hal lain,

kita juga harus memberikan teladan kepada siswa kita, bahwa suatu buku harus dibaca dengan hati-hati. Dari 200 halaman tentu ada saja kesalahan dan harus dilihat secara keseluruhan. Ingatkan bahwa Michael Jordan, pebasket yang terbaik, “hanya mempunyai” kemampuan memasukkan kurang lebih 7 bola dari 10 kali usaha. Demikian pula Lionel Messi, dia tidak harus membuat gol pada setiap pertandingan, tetapi banyak orang, termasuk saya, yang menerima bahwa dia pemain sepak bola terbaik saat ini.

Kembali ke masalah 3 x 4 di atas. Untuk orang berbahasa Indonesia atau bahasa Inggris, tulisan tersebut menggambarkan proses yang berbeda dengan proses yang ada di pikiran orang yang berbahasa Jawa. Untuk orang berbahasa Indonesia, model dari tulisan tersebut terlihat di Gambar 1. Sedangkan untuk orang berbahasa Jawa, model dari tulisan tersebut terlihat di Gambar 2. Tetapi jika ditanya: “Berapa banyak kotak yang ada?”, maka jawaban dari dua proses tersebut adalah sama, yaitu 12. Tulisan “3 x 4 =4 x 3” adalah tulisan ringkas untuk menyatakan bahwa dua proses tersebut mempunyai hasil akhir yang sama, dalam hal ini jumlah kotak. Selain perkalian angka dengan dimensi yang sama, misalkan menghitung luas persegi panjang , perlu diperhatikan pula jika angka tersebut mempunyai dimensi yang berbeda. Misalkan saja siswa A mengerjakan empat soal untuk tiga hari berturut-turut, tentu berbeda dengan siswa B yang membuat tiga soal untuk empat hari berturut-turut. Tetapi jika ditanya berapa banyak soal yang dibuat oleh siswa A dan siswa B, sekali lagi keduanya membuat soal yang sama banyak dan di matematika maupun kehidupan sehari-hari, hasil tersebut tetap 3x4=4x3=12. Jadi, disini harus dibedakan antara proses yang terjadi, dan pertanyaan tentang jumlah benda yang terlibat. Sedangkan tulisan pada resep 3 x 1 tablet atau 3 x 1 sendok tentu tidak boleh diganti dengan 3 tablet x 1. Disini proses yang diperlukan, bukan hasil akhir. Sebagai akhir tulisan, saya harapkan dengan mempelajari matematika seperti di atas, mengajar kepada siswa bahwa sesuatu selalu dapat dipandang dari berbagai sudut. Kita harus selalu dapat menghargai pendapat orang lain tanpa harus mengatakan bahwa pendapat kita mempunyai kebenaran mutlak. Hal lain, kita juga harus memberikan teladan kepada siswa kita, bahwa suatu buku harus dibaca dengan hati-hati. Dari 200 halaman tentu ada saja kesalahan dan harus dilihat secara keseluruhan. Ingatkan bahwa Michael Jordan, pebasket yang terbaik, “hanya mempunyai” kemampuan memasukkan kurang lebih 7 bola dari 10 kali usaha. Demikian pula Lionel Messi, dia tidak harus membuat gol pada setiap pertandingan, tetapi banyak orang, termasuk saya, yang menerima bahwa dia pemain sepak bola terbaik saat ini. Gambar 1 Gambar 2

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 13

Tim penilai menilai kelayakan

buyku teks pelajaran dari

aspek kelayakan isi, bahasa,

penyajian dan kegrafikaan.

Berita BSNP*

* Bambang Suryadi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menetapkan kebijakan rasio SMA

dan SMK adalah 40 banding 60. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menyiapkan generasi muda yang siap kerja sesuai dengan tun-tutan dunia usaha dan industri. Seiring de-ngan kebijakan tersebut, Direktorat Pembi-naan SMK Kemdikbud senantiasa melakukan peningkatan mutu layanan dan inovasi untuk menghasilan lulusan SMK yang berkualitas. Salah satu usaha yang dilakukan adalah revisi spektrum atau nama jurusan di SMK.

“Perubahan atau revisi spektrum ini dil-akukan berdasarkan masukan dari lapangan sehingga mutu lulusan SMK memenuhi tuntutan dari dunia usaha dan industri”, ungkap seorang perwakilan dari Direktorat Pembinaan SMK saat presentasi di BSNP pada awal Agustus yang lalu.

Saat ini di SMK ada 6 Bidang Keahlian, 40 Program Studi Keahlian, dan 121 Kompetensi

Keahlian. Keenam bidang keahlian tersebut adalah Teknologi dan Rekayasa, Tekonologi Informasi dan Komunikasi, Kesehatan, Seni, Kerajinan, dan Pariwisata, Agrobisnis dan Teknologi serta Bisnis dan Manajemen.

Animo masyarakat untuk masuk SMK sangat tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah siswa SMK yang selalu meningkat dari ta-hun ke tahun. Jumlah siswa SMK tahun 2011 mencapai lebih dari 4 juta siswa. Per kem-bangan yang paling cepat adalah bidang Tek nologi dan Rekayasa dengan jumlah 1.496.004 siswa.

Farid A Moeloek anggota BSNP ber-pan dangan perlu ada usaha-usaha untuk mem buat lulusan SKM mandiri. Untuk itu mereka perlu dibekali dengan keterampilan hidup (life skills). “Karena mandiri, maka murid-murid tidak akan bergantung kepada perusahaan dan industri”, ungkap Moeloek.

Sependapat dengan Moeloek, Fur-qon mengatakan perlu strategi untuk me-

Perwakilan dari Direktorat Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempresentasikan revisi spectrum SMK di BSNP

LULUSAN SMK DITUNTUTLEBIH MANDIRI

Vol. VII/No. 4/Desember 201214

Berita BSNP

nanamkan jiwa kewirausahaan di kalangan siswa SMK sehingga mereka tidak hanya ber-gantung kepada dunia usaha dan industri. Untuk membantu siswa-siswa SMK bisa mandiri, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu modal dan pemasaran.

Menurut Djemari Mardapi, untuk dite-rima di dunia usaha dan industri, siswa SMK harus memiliki keterampilan dasar (basic skills). Mereka juga perlu mendapat bantuan modal dan pembinaan supaya bisa usaha mandiri. Selain itu perlu ditanamkan soft skills termasuk akhlak mulia.

Sementara itu Edy Tri Baskoro menilai SMK bersifat dinamis karena banyak tun-

tutan di dunia kerja yang begitu cepat ber-ubah. Oleh karena itu SMK dituntut untuk mengikuti perubahan yang terjadi di la-pangan. Konsekuensinya spektrum jurusan di SMK juga harus bersifat luas dan fleksibel.

Untuk menghasilkan lulusan SMK yang berkualitas, menurut T. Ramli Zakaria, per-lu dibuat proses pembelajaran dimana mu-rid-murid menyatu dengan alam dunia kerja mereka. Sedangkan Weinata Sairin mene-kankan pentingnya buku teks pelajaran yang menunjang proses belajar mengajar. “Bu ku-buku teks pelajaran yang menunjang pen-didikan SMK perlu diperhatikan”, ungkap Weinata yang mendapat dukungan dari se-luruh anggota BSNP. l

Salah satu wewenang BSNP adalah menilai kelayakan buku teks pelajaran. Ada empat

jenis kelayakan yang dinilai, yaitu kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran. Dalam pelaksanaannya, BSNP bekerjasama dengan Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kementerian Pen-didikan dan Kebudayaan.

Sampai akhir Agustus yang lalu, BSNP bersama Puskurbuk telah melakukan pra-seleksi terhadap buku teks pelajaran. Me-nurut Weinata Sairin anggota BSNP dan Koordinator kegiatan, dari 336 buku teks

pelajaran yang dinilai, 281dinyatakan lulus dan akan diikutsertakan dalam proses pe-nilaian berikutnya. Sedangkan 55 buku di-nya takan tidak lulus. “Tujuan praseleksai ini adalah untuk memastikan bahwa buku teks pelajaran tersebut sudah memenuhi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar atau SKKD yang telah ditetapkan oleh BSNP”, ucap Weinata Sairin.

Rekapitulasi hasil praseleksi SK-KD untuk 336 buku teks pelajaran tersebut adalah sebagai berikut.

Herry Widiastono (berbaju biru)

bersama anggota tim ahli

penilaian buk teks pelajaran dan

staf Puskurbuk memaparkan hasil praseleksi buku di

BSNP

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 15

281 BUKU LULUS PRASELEKSI

Berita BSNP

Menurut Djaali masih banyak sekolah yang menggunakan buku yang tidak la-yak. Padahal banyak sekali buku yang su-dah dinilai kelayakannya. “Oleh sebab itu Puskurbuk perlu melakukan kajian berapa banyak sekolah yang memakai buku yang layak dan tidak layak”, ucap Djaali seraya me nambahkan ada persepsi di masyarakat bahwa buku yang boleh dipakai hanya buku yang berasal dari Buku Sekolah Elektronik atau BSE.

Farid A Moeloek mengusulkan untuk meningkatkan mutu buku teks pelajaran, BSNP dan Puskurbuk perlu bekerjasama dengan IKAPI sehingga permasalahan yang

Menurut Tatok Hindarto anggota tim ahli penilaian buku teks pelajaran, untuk buku Keterampilan, salah satu faktor penyebab banyak yang tidak lulus adalah karena tidak ada aspek pengemasan.

Menanggapi hasil penilaian tersebut, Djemari Mardapi berpandangan BSNP perlu memberi kesempatan kepada penulis buku untuk memperbaiki buku yang dinyatakan tidak lulus karena faktor pengemasan. Selain itu, juga perlu ada jaminan dari penerbit untuk menerbitkan buku yang sudah dinilai. Untuk buku SMK perlu lebih hati-hati dalam menampilkan gambar-gambar yang ada.

Vol. VII/No. 4/Desember 201216

Berita BSNP

NO. MAPEL/JENJANG HASIL TOTALL TL1 Kristen SD 7 4 112 Kristen SMP 7 2 93 Kristen SMA 3 0 34 Buddha SD 3 5 85 Buddha SMP 6 0 66 Buddha SMA 3 0 37 Khonghucu SD 10 0 108 Khonghucu SMP 1 0 19 Jerman SMA 1 0 110 Keterampilan SMP 15 16 3111 Keterampilan SMA 6 2 812 Busana Butik SMK 24 0 2413 Jasa Boga SMK 32 2 3414 Patiseri SMK 23 8 3115 Akuntansi SMK 58 8 6616 Perbankan SMK 82 8 90 TOTAL 281 55 336

HALAL BI HALAL: BSNP UTAMAKAN KEBERSAMAAN DAN SIKAP TOLERANSI

Sederhana namun penuh makna dan sarat dengan keakraban, kekeluargaan,

kebersamaan, dan keharmonisan. Itulah ke-san yang muncul dari pelaksanaan halal bi halal BSNP yang diselenggarakan pada tanggal 31 Agustus 2012 di Jakarta. Acara dihadiri oleh anggota BSNP periode pertama dan periode kedua, serta staf dan karyawan BSNP. Namun karena alasan tertentu ada ang gota BSNP baik yang masih aktif maupun yang sudah paripurna, berhalangan hadir dalam acara tersebut.

Moehammad Aman Wirakartakusumah Ketua BSNP dalam sambutannya menga-takan telah menjadi tradisi BSNP untuk me-laksanakan halal bi halal dengan meng-undang anggota BSNP beserta keluarga dan seluruh staf. “Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan tali silaturahim dan persaudaraan antar sesama anggota dan staf sehingga dapat meningkatkan produktifitas kerja”, ucap Aman seraya menambahkan melalui acara seperti ini diharapkan juga dapat menghilangkan

Berita BSNP

rasa penat dan letih setelah menjalankan rutinitas harian yang begitu padat.

M. Yunan Yusuf anggota BSNP paripurna dalam tausiyahnya menjelaskan makna dan urgensi halal bi halal. Menurut Yunan, istilah halal bi halal adalah istilah khas di Indonesia yang mengakar dengan nilai kultural umat Islam di Indonesia. “Istilah ini tidak kita temukan di negara lain tetapi memiliki mak-na yang dalam karena telah menjadi tradisi

Suasana halal bi halal BSNP ditandai

dengan saling maaf-memaafkan atas segala kesalahan

dan kekhilafan serta mendoakan untuk kebaikan bersama.

bagi umat Islam di Indonesia”, ungkap Yunan. Yunan menambahkan, biasanya dalam

merayakan idul fitri ada ucapakan khusus, yaitu minal a’idin wal faizin. Minal ‘aidin berarti kembali kepada fitrah manusia karena selama perjalanan hidup banyak hal yang menyimpang dari fitrahnya. Sedangkan al-faizun berarti pemenang atau kembali kepada kemenangan. Mengapa harus menang? Selama sebulan penuh berpuasa umat Islam dihadapkan berbagai tantangan dan gangguan. Kemenangan sejati diraih dengan menyempurnakan ibadah puasa satu bulan penuh.

Selama menunaikan ibadah puasa, tam bah Yunan, manusia menyalin sifat-

sifat ketuhanan, diantaranya adalah sifat bah wa Tuhan tidak makan, minum, dan tidak melakukan hubungan seksual. Keme-nangan ini sangat tergantung kepada hu-bungan silaturahim sesama manusia. De-ngan melakukan silaturahim, Allah akan me-manjangkan umur atau usia kita dan akan melapangkan rezeki kita.

Dengan mengutif sebuah wisdom yang dikirim melalui pesan singkat oleh

anggota BSNP Weinata Sairin, M. Yunan Yusuf menekankan pentingnya memaafkan: Vincere est honestum, opprimere acerbum, pulchrum ignoscere. Menang itu terhormat, menghancurkan itu pahit, memaafkan itu indah. Melahirkan kemenangan dalam setiap perjuangan dan hidup saling me-maafkan adalah bagian integral dari ka rakter umat beriman.

Kebersamaan dan sikap saling meng -hargai dan toleransai antar ummat bera gama ditemukan di BSNP. “Karena itu siapa yang ingin melihat sikap menghargai dan toleransi antar umat beragama, silahkan datang ke BSNP”, ucap Yunan yang langsung disambut dengan tepuk tangan oleh para hadirin.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 17

Sekitar pukul 17.25 sore hari telpon di sekretariat berdering. “Halo saya tim

stan dar yang akan melakukan pemantauan di lapangan minggu depan, tetapi sampai sekarang saya belum menerima surat tugas dari BSNP. Mohon dikirim segera karena saya

Karningsih seorang staf sekretariat BSNP dengan ramah. Menurut Ning, ungkapan yang serupa juga diterima melalui layanan pesan singkat (SMS) dan email.

Rasanya waktu yang tersedia lebih sedikit dibanding tugas dan pekerjaan yang harus diselesaikan. Begitu juga jajaran staf dan karyawan yang ada, terasa kewalahan karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Sementara ruang kantor sekretariat dan keuangan lebih terkesan seperti gudang dibanding ruang kerja sebuah institusi atau lembaga pemerintahan. Itulah gambaran kesibukan dan beban kerja di BSNP dalam mempersiapkan kegiatan pemantauan dan evaluasi standar nasional pendidikan. Suasana seperti itu terjadi sejak

PERSIAPAN PEMANTAUANWaktu Terbatas, Tugas Harus Tuntas

Berita BSNP

Vol. VII/No. 4/Desember 201218

Suasana kesibukan di sekretariat BSNP menjelang pelaksanaan pemantauan standar.

perlu memesan tiket dan meminta izin dari atasan saya”, ucap penelpon tersebut.

“Baik Bapak, akan kami kirim segera. Mohon maaf jika ada keterlambatan, kare-na pada minggu ini ada dua standar yang me lakukan pemantauan”, jawab Ning

bulan Agustus sampai awal Oktober 2012. Menurut Sisworo koordinator peman-

tau an standar, ada delapan standar yang di pantau. Delapan standar tersebut adalah stan dar proses, sarana dan prasarana, biaya, pendidik dan tenaga kependidikan,

Selain ceramah keagamaan dan saling berjabat tangan untuk maaf memaafkan, acara halal bi halal kali ini juga dilengkapi dengan nyanyi bersama yang dikomandani oleh Edy Tri Baskoro. “Lagu ini merupakan ekspresi hati untuk menghilangkan

perasaan letih dan sedih karena rutinitas sehari-hari yang kita lakukan”, ungkap Edy.

Acara menjadi lebih meriah ketika Anggani Sudono membacakan puisi tentang pendidikan dan Weinata membacakan puisi tentang guru. l

pengelolaan, penilaian, buku teks pelajaran, dan pendidikan nonformal. Kegiatan pe-mantauan dilaksanakan di 32 provinsi dan di setiap provinsi melibatkan 40 responden dan 5 orang panitia pelaksana. Sedangkan dari BSNP untuk setiap tempat melibatkan satu anggota BSNP, dua orang tim ahli, dan dua orang pendamping.

Sementara itu Nurul Najmah, staf sekre-tariat mengatakan selama bekerja di BSNP sejak tahun 2005 yang lalu, baru kali ini me nangani pekerjaan yang sangat rumit dan kompleks.Waktu dan tenaga terbatas, tetapi perkerjaan dan tugas harus tuntas. “Sekretariat sudah menetapkan jadwal kegiatan, tetapi ternyata bentrok dengan kegiatan di dinas pendidikan, sehingga harus dijadwalkan kembali”, ungkap Nurul.

Selama ini BSNP didukung oleh 6 staf sekretariat dan 12 staf keuangan. Ketika mereka harus mendampingi kegiatan di daerah, jumlah tersebut tidak cukup. Sementara masih banyak persiapan yang harus dilakukan. Untuk mengatasi masalah tersebut, BSNP melibatkan staf Balitbang dan Puskurbuk. “Kita minta bantuan tenaga dari

Berita BSNP

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 19

Balitbang dan Puskurbuk supaya mobilitas kegiatan tidak terganggu”, ujar Sugi di tengah-tengah kesibukannya mengecek per siapan pengepakan instrumen pada pertengahan September yang lalu.

Secara terpisah Djaali anggota BSNP ber-pandangan bahwa penjadwalan kegiatan yang ada, terlalu dekat rentang waktu antara satu kegiatan dengan kegiatan lain. Hal ini perlu dijadikan pelajaran pada penyusunan jadwal berikutnya.

Edy Tri Baskoro anggota BSNP yang sejak awal mendesain jadwal kegiatan juga merasakan kompleksitas persiapan dan pelaksanaan kegiatan pemantauan. Namun tetap memberikan semangat kepada tim ahli dan staf sekretariat untuk bisa mengelola dan mengatur kegiatan sebaik mungkin.

Kegiatan pemantauan dilaksanakan mulai dari bulan Februari sampai bulan No-vem ber 2012. Seusai pengumpulan data, tim ahli akan melakukan analisis data pada bulan Oktober dan direncanakan seluruh tahapan kegiatan akan selesai pada pertengahan bulan November 2012. Semoga lancar dan sukses. l

Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Tahap II untuk Paket C dan Paket C

Kejuruan dilaksanakan tanggal 8-11 Oktober 2012 dan untuk Paket A/Ula dan Paket B/Wustha dilaksanakan tanggal 15-17 Oktober 2012. Sebagai persiapan, pada tanggal 1-2 Oktober 2012 telah diselenggarakan rapat koordinasi pelaksanaan UNPK di Jakarta, dihadiri oleh Ketua dan Bendahara Pelaksana UNPK Tingkat Provinsi, Kepala dan Sekretariat Balitbang, serta anggota BSNP. Bertindak sebagai nara sumber adalah Khairil Anwar Notodiputro Kepala Balitbang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Moehammad Aman Wirakartakusumah Ketua BSNP, Djemari Mardapi, dan Jamaris Jamna keduanya anggota BSNP.

Menurut Kepala Balitbang berdasarkan hasil pemantauan UNPK Tahap I, ada beberapa hal yang perlu ditingkatkan. Diantaranya adalah distribusi soal, penyimpanan soal, dan kedisiplinan peserta ujian. “Hal-hal seperti ini untuk

pada pelaksanaan UNPK Tahap II supaya diperbaiki sesuai dengan POS yang telah ditetapkan BSNP”, ucap Khairil Anwar sambil menambahkan semangat rapat koordinasi ini adalah memperbaiki yang belum baik dan memantapkan yang sudah baik.

Sementara itu Ketua BSNP M. Aman Wirakartakusumah menilai bahwa Koodinasi kelembagaan saat ini dirasakan sudah baik, tetapi ada beberapa hal yang masih bermasalah, misalnya masalah penandatanganan ijazah UNPK. “Melalui rapat koordinasi ini diharapkan masalah-masalah yang muncul dalam penyelenggaraan UNPK dapat diminimalisir”, ungkap Aman.

Selama pelaksanaan UNPK, anggota BSNP melakukan pemantauan dan evaluasi di lapangan. Tujuannya adalah untuk memastikan pelaksanaan UNPK sesuai dengan POS yang telah ditetapkan BSNP.

Jadwal Pelaksanaan UNPK adalah sebagai berikut.

PELAKSANAAN UNPK TAHAP II

Program Hari Tanggal Jam Mata Ujian

Paket CIPS

Senin 8 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Pendidikan KewarganegaraanBahasa Indonesia

Selasa 9 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

SosiologiGeografi

Rabu 10 Okober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Bahasa InggrisEkonomi

Kamis 11 Okober 2012 13.00 – 15.00 Matematika

Paket CIPA

Senin 8 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Pendidikan KewarganegaraanBahasa Indonesia

Selasa 9 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

BiologiKimia

Rabu 10 Okober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Bahasa InggrisFisika

Kamis 11 Okober 2012 13.00 – 15.00 Matematika

Paket CKejuruan

Senin 8 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Pendidikan KewarganegaraanBahasa Indonesia

Selasa 9 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Bahasa InggrisMatematika

Paket B/ Wustha

Senin 15 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Pendidikan KewarganegaraanBahasa Indonesia

Selasa 16 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Ilmu Pengetahuan SosialMatematika

Rabu 17 Oktober 2012 13.00 – 15.0015.30 – 17.30

Bahasa InggrisIlmu Pengetahuan Alam

Berita BSNP

Vol. VII/No. 4/Desember 201220

Ketua, Anggota, dan Staf Badan Standar Nasional PendidikanMengucapkan

Selamat dan SuksesAtas dilantiknya Ketua dan Anggota

Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT)Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN-S/M)

Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal (BAN-PNF)Periode Tahun 2012-2017

oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Pada hari Jumat tanggal 17 Oktober 2012 di Jakarta

Semoga dapat mengemban amanat dengan baikdemi kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan nasional.

Lensa BSNP

Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Tengah dan tim standar proses serta pengelolaan di dinas pendidikan Kalimantan Tengah.

Peserta Pemantauan Standar Pengelolaan

di Dinas Pendidikan Jawa Tengah.

Peserta Pemantauan dan Evaluasi Standar Biaya dan

Sarana dan Prasarana di Dinas Pendidikan Banten.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 21

Lensa BSNP

Utomo Dananjaya (kedua dari kiri) memberikan penjelasan

tentang buku teks pelajaran di kantor BSNP.

Perwakilan dari Casio Jepang berdialog dengan BSNP seputar fasilitas belajar mengajar di sekolah.

Vol. VII/No. 4/Desember 201222

Ketua dan Sekretaris Tim Ahli untuk masing-masing Standar

melakukan rapat koordinasi sebelum pengumpulan data di

lapangan.

Lensa BSNP

Nyanyi bersama di kalangan ibu-ibu untuk memeriahkan acara halal bi halal BSNP di Jakarta

Pleno hasil pra penilaian buku teks pelajaran di kantor BSNP. Dari 336

buku teks pelajaran, 281 buku dinyatakan lolos untuk dinilai pada

tahap berikutnya.

Pewakilan dari Gandhi Memorial International School Jakarta menyerahkan dokumen tentang pelaksanaan pendidikan kepada R. Eko Indrajit Sekretaris BSNP di ruang sidang BSNP.

Vol. VII/No. 4/Desember 2012 23

Lensa BSNP

Staf Sekretariat dan Keuangan berpose bersama dalam acara halal bi halal BSNP tahun 2012.

Dcari kiri ke kanan, Neneng Tresnaningsih,

Edy Tri Baskoro, dan M. Aman

Wirakartakusumah unjuk keahlian menyanyi

dan main gitar dalam acara halal bi halal BSNP.