73
DAFTAR ISI Kata Pengantar ………………………………………………………….. 2 Daftar Isi ……………………………………………………………….... 3 BAB I Pendahuluan Latar belakang ……………………………………………………. …… 4 BAB II Laporan Kasus 2.1 Identitas Pasien…………………………………………………… 5 2.2 Anamnesis……..........…………………………………………….. 5 2.3 Pemeriksaan Fisik ……..........……………………………………… 6 2.4 Pemeriksaan Penunjang…….……..........………………………….. 7 2.5 Diagnosis…….……..........………………………………………… 8 BAB III Tinjauan Pustaka 3.1 Anatomi Medulla Spinalis……..........…………………………….. 9 3.2 Pengertian Cedera Medulla Spinalis……………………………… 13 3.3 Epidemiologi……………………………………………………… 17 3.4 Klasifikasi Cedera Medula Spinalis……………………………….. 18 3.5 Faktor Resiko………………………………………………………. 18 3.6 Gejala Klinik………………………………………………………. 19 3.7 Patofisiologi……………………………………………………….. 22 3.8 Medika Mentosa…………………………………………………… 26 3.9 Non MedikaMentosa……………………………………………… 28 3.10 Anestesi Umum…………………………………………………… 29 1

referat anastesi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: referat anastesi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………….. 2Daftar Isi ……………………………………………………………….... 3

BAB I Pendahuluan Latar belakang ……………………………………………………. …… 4

BAB II Laporan Kasus2.1 Identitas Pasien…………………………………………………… 52.2 Anamnesis……..........…………………………………………….. 52.3 Pemeriksaan Fisik ……..........……………………………………… 62.4 Pemeriksaan Penunjang…….……..........………………………….. 72.5 Diagnosis…….……..........………………………………………… 8

BAB III Tinjauan Pustaka3.1 Anatomi Medulla Spinalis……..........…………………………….. 93.2 Pengertian Cedera Medulla Spinalis……………………………… 133.3 Epidemiologi……………………………………………………… 173.4 Klasifikasi Cedera Medula Spinalis……………………………….. 183.5 Faktor Resiko………………………………………………………. 183.6 Gejala Klinik………………………………………………………. 193.7 Patofisiologi……………………………………………………….. 223.8 Medika Mentosa…………………………………………………… 263.9 Non MedikaMentosa……………………………………………… 283.10 Anestesi Umum…………………………………………………… 293.11 Definsi……...................................................................................... 293.12 Cara Anestesi……………………………………………………… 293.13 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum……………….. 303.14 Tahapan tindakan anestesi umum………………………………… 323.15 Stadium anestesi………………………………………………….. 383.16 Teknik anestesi umum……………………………………………. 393.17 Rumatan anestesi…………………………………………………. 453.18 Tatalaksana jalan nafas…………………………………………… 46

1

Page 2: referat anastesi

2

Page 3: referat anastesi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung

ke susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk

oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan

sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti

pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan sementara

ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula spinalis, kondisi ini

disebut sebagai cedera medula spinalis. Trauma medula spinalis adalah cedera

pada tulang belakang baik langsung maupun tidak langsung, yang menyebabkan

lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan neurologis, dapat

menyebabkan kecacatan menetap atau kematian.1

Data dari bagian rekam medik Rumah sakit umum pusat Fatmawati

didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003, angka

kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di

dalamnya termasuk angka kejadian untuk cedera medulla spinalis yang berjumlah

20 orang (12,5%). Pada usia 45 tahun fraktur terjadi pada pria dibandingkan pada

wanita karena olahraga, pekerjaan dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan

ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang

diasosiasikan dengan perubahan hormonal (menopose). Vertebra yang paling

sering mengalami cedera adalah medulla spinalis pada daera servikal (leher) ke

5,6 dan 7, Torakal ke-12 dan lumbal pertama. Vertebra ini paling rentang karena

ada rentang mobilitas yang lebih besar dalam kolumna vertebral dalam area ini.

Penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%) dan cedera

yang berhubungan dengan olahraga (10%). Sisanya akibat kekerasan dan

kecelakaan kerja. Hampir 40%-50% trauma medulla spinalis mengakibatkan

defisit neurologis, sering menimbulkan gejala yang berat, dan terkadang

menimbulkan kematian.

3

Page 4: referat anastesi

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Usia : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status Pernikahan : Belum Menikah

Alamat : Blondo 1 mungkat, Magelang

Agama : Islam

Pekerjaan : TNI

Tanggal Masuk : 18 April 2016

2.2 ANAMNESIS

Diperoleh dengan cara autoanamnesis dan alloanamnesis pada hari senin tanggal 18

April 2016 pukul 16.00 WIB.

Keluhan Utama : Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang sejak 1 hari

SMRS

Keluhan Tambahan :Pasien terasa baal didaerah pinggang sampai bawah

dan sulit untuk digerakkan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke UGD hari Senin, 18 April 2016 dengan keluhan nyeri pinggang

sejak 1 hari SMRS setelah kejadian kecelakaan lalu lintas, disertai dengan rasa baal

didaerah pinggang sampai bawah dan sulit untuk digerakan, BAB susah , BAK

susah , muntah -. Mual -

4

Page 5: referat anastesi

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mempunyai riwayat hipertensi (+), DM (-), alergi (-), penyakit paru-paru (-),

penyakit jantung (-), Penyakit kuning (-), Asma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku Ht (-), DM (-) penyakit paru-paru (-), penyakit jantung (-), Asma

(-), penyakit hati (-)

Riwayat Pengobatan

Pasien tidak pernah berobat sebelumnya.

2.3. PEMERIKSAAN FISIK

Hasil pemeriksaan fisik di UGD pada tanggal 18 April 2016 pada jam 16.00 WIB.

I. Keadaan Umum

a. Kesan Sakit : Tampak sakit sedang

b. Kesadaran : Compos mentis

c. GCS : E4 V5 M3-4

d. Sikap pasien : Kooperatif

II. Tanda Vital dan Antropometri

PEMERIKSAAN NILAI

NORMAL

HASIL PASIEN

Suhu 36,50 – 37,20 C 36,10 C

Nadi 60-100 x/mnt 84 x/mnt, reguler, isi cukup,

equivalen

Tekanan darah 120/80 mmHg 131/56 mmHg

Nafas 14-18x/menit 18 x/menit

Tabel 1. Tanda vital dan antropometri di UGD

Berat badan : 62 kg

Tinggi badan : 170 cm

5

Page 6: referat anastesi

III. Status Generalis

Kepala : Normal

Mata : Normal

Telinga : Normal

Hidung : Normal

Mulut : Normal

Leher : Ukuran panjang 8-10 cm

Thorax

Paru : Normal

Jantung : Normal

Abdomen : Normal

Ekstremitas : Terasa baal dari daerah pinggang ke bawah

Status Neurologi : Nyeri di daerah pinggang

Muskuloskeletal : Normal

2.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium di UGD tanggal 18 April 2016.

DARAH RUTIN

Hemoglobin : 15.3 gr/dL

Hematocrit : 46 %

Leukosit : 15.000 ul

Trombosit : 295.000 ul

Massa pembekuan / CT : 3’ 00’’

Massa perdarahan / BT : 12’ 30’’

6

Page 7: referat anastesi

Foto MRI

Deskripsi : Tampak fraktur kompresi pada lumbal 1 berbentuk wedges.

2.5. DIAGNOSIS

Diagnosis : fraktur kompresi lumbal 1

7

Page 8: referat anastesi

2.6 TATALAKSANA ANESTESI DI RUANG OPERASI

Persiapan pra anestesi

Pasang alat EKG, saturasi O2, infusan RL 20 tpm, dan alat tensimeter .

Persiapan alat-alat intubasi inhalasi endotrakeal tube.

Anestesi endotrakeal tube dimulai

Posisi pasien supine, diberi oksigen selama 5 menit

Diberikan obat premedikasi midazolam dormicum 2,5 mg.

Diberikan obat pre entive analgesic berupa fentanyl 75 mg.

Dilakukan indukasi dengan propofol 100 mg sampai denga reflek bulu mata –

Diberikan assist ventilasi dengan sungkup.

Diberikan obat pelumpuh otot noveron 30 mg

Dilakukan ventilasi sampai dengan kondisi otot-otot rileks.

Dilakukan intubasi dengan ETT no 7,5

Cek suara nafas kanan dan kiri.

Fixasi

Maintenance anestesi dengan O2 – N2O = 2:2 dan isoflurane = 1%.

Nafas kendali dengan mesin

Pasien dipindahkan dengan posisi pronasi.

Cek alat intubasi.

Diberikan obat tambahan selama operasi seperti ondansetron 4 mg, ranitidine

50 mg, dexamethasone 5 mg, asam tranexamat 500 mg.

Operasi selesai, beri oksigen selama 5 menit, inhalasi stop.

Nafas adekuat spontan, extubasi, oksigenasi.

Selesai.

8

Page 9: referat anastesi

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi Medula Spinalis dan Dermatom

Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.

Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1. Medula spinalis terletak di

canalis vertebralis, dan dibungkus oleh tiga meninges yaitu duramater, arakhnoid

dan piamater. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra, ligament, meningen

spinal dan juga cairan LCS (liquor cerebro spinal). LCS mengelilingi medulla

spinalis di dalam ruang subarachnoid. Bagian superior dimulai dari bagian

foramen magnum pada tengkorak, tempat bergabungnya dengan medulla

oblongata. Medula spinalis berakhir di inferior di region lumbal. Dibawah

medulla spinalis menipis menjadi konus medularis dari ujungnya yang

merupakan lanjutan piamater, yaitu fillum terminale yang berjalan kebawah dan

melekat dibagian belakang os coccygea. Akar syaraf lumbal dan sakral

terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar

melalui foramen intervertebral.  Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra

dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan LCS (liquor cerebrospinal).3-6

Gambar 1. Anatomi Medula spinalis4

9

Page 10: referat anastesi

Disepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang saraf spinal melalui

radix anterior atau radix motorik dan radix posterior atau radix sensorik. Masing-

masing radix melekat pada medulla spinalis melalui fila radikularia yang

membentang disepanjang segmen-segmen medulla spinalis yang sesuai. Masing-

masing radix saraf memiliki sebuah ganglion radix posterior, yaitu sel-sel yang

membentuk serabut saraf pusat dan tepi. 31 pasang saraf spinal diantaranya yaitu

: 3-6

a. 8   pasang saraf servikal,

b. 12 pasang saraf torakal,

c. 5   pasang saraf lumbal,

d. 5   pasang saraf sacral dan

e. 1   pasang saraf coxigeal.

Gambar 1. 31 pasang saraf spinal.4

Struktur medulla spinalis terdiri dari substansi abu abu (substansia grisea)

yang dikelilingi substansia putih (substansia alba). Pada potongan melintang,

substansia grisea terlihat seperti hurup H dengan kolumna atau kornu anterior atau

posterior substansia grisea yang dihubungkan dengan commisura grisea yang tipis.

Didalamnya terdapat canalis centralis yang kecil. Keluar dari medula spinalis

merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Substansi grisea mengandung

10

Page 11: referat anastesi

badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, syaraf sensoris dan

motoris dan akson terminal dari neuron. Bagian Posterior sebagai input atau afferent,

anterior sebagai Output atau efferent, comissura grisea untuk refleks silang dan

substansi alba merupakan kumpulan serat syaraf bermyelin. Fungsi medula spinalis :3-

6

a. Pusat gerakan otot tubuh terbesar yaitu dikornu motorik atau kornu ventralis.

b. Mengurus kegiatan refleks spinalis dan refleks tungkai, Refleks merupakan respon

bawah sadar terhadap adanya suatu stimulus internal ataupun eksternal untuk

mempertahankan keadaan seimbang dari tubuh. Refleks yang melibatkan otot

rangka disebut dengan refleks somatis dan refleks yang melibatkan otot polos, otot

jantung atau kelenjar disebut refleks otonom atau visceral.

c. Menghantarkan rangsangan koordinasi otot dan sendi menuju cerebellum.

d. Mengadakan komunikasi antara otak dengan semua bagian tubuh.

11

Page 12: referat anastesi

Fungsi lengkung refleks : 3-6

a. Reseptor: penerima rangsang.

b. Aferen: sel saraf yang mengantarkan impuls dari reseptor ke sistem saraf pusat (ke

pusat refleks).

c. Pusat refleks : area di sistem saraf pusat (di medula spinalis: substansia grisea),

tempat terjadinya sinap (hubungan antara neuron dengan neuron dimana terjadi

pemindahan atau penerusan impuls).

d. Eferen: sel saraf yang membawa impuls dari pusat refleks ke sel efektor. Bila sel

efektornya berupa otot, maka eferen disebut juga neuron motorik (sel saraf atau

penggerak).

e. Efektor: sel tubuh yang memberikan jawaban terakhir sebagai jawaban refleks.

Dapat berupa sel otot (otot jantung, otot polos atau otot rangka), sel kelenjar.

DERMATOM

Berkaitan dengan masukan sensorik, setiap daerah spesifik di tubuh yang

dipersarafi oleh saraf spinal tertentu yang disebut area dermatom. Saraf spinal juga

membawa serat-serat yang bercabang untuk mempersarafi organ-organ dalam, dan

12

Page 13: referat anastesi

kadang-kadang nyeri yang berasal dari salah satu organ tersebut dialihkan ke

dermatom yang dipersarafi oleh saraf spinal yang sama.7

Gambar 3. Standard Neurological Clasification of Spinal Cord Injury7

. 3.2 Cairan Serebrospinal

Pembentukan, Sirkulasi dan Absorpsi Cairan Serebrospinal (CSS)Cairan serebrospinal

(CSS) dibentuk terutama oleh pleksus khoroideus, dimana sejumlah pembuluh

darah kapiler dikelilingi oleh epitel kuboid/kolumner yang menutupi stroma di

bagian tengah dan merupakan modifikasi dari sel ependim, yang menonjol ke

ventrikel. Pleksus khoroideus membentuk lobul-lobul dan membentuk seperti daun

pakis yang ditutupi oleh mikrovili dan silia. Tapi sel epitel kuboid berhubungan satu

sama lain dengan tigth junction pada sisi aspeks, dasar sel epitel kuboid terdapat

membran basalis dengan ruang stroma diantaranya. Ditengah villus terdapat endotel

yang menjorok ke dalam (kapiler fenestrata). Inilah yang disebut sawar darah LCS.

. Pembentukan CSS melalui 2 tahap, yang pertama terbentuknya ultrafiltrat plasma di

luar kapiler oleh karena tekanan hidrostatik dan kemudian ultrafiltrasi diubah

13

Page 14: referat anastesi

menjadi sekresi pada epitel khoroid melalui proses metabolik aktif. Mekanisme

sekresi CSS oleh pleksus khoroideus adalah sebagai berikut: Natrium

dipompa/disekresikan secara aktif oleh epitel kuboid pleksus khoroideus sehingga

menimbulkan muatan positif di dalam CSS. Hal ini akan menarik ion-ion bermuatan

negatif, terutama clorida ke dalam CSS. Akibatnya terjadi kelebihan ion di dalam

cairan neuron sehingga meningkatkan tekanan somotik cairan ventrikel sekitar 160

mmHg lebih tinggi dari pada dalam plasma. Kekuatan osmotik ini menyebabkan

sejumlah air dan zat terlarut lain bergerak melalui membran khoroideus ke dalam

CSS. Bikarbonat terbentuk oleh karbonik abhidrase dan ion hidrogen yang

dihasilkan akan mengembalikan pompa Na dengan ion penggantinya yaitu Kalium.

Proses ini disebut Na-K Pump yang terjadi dgnbantuan Na-K-ATP ase, yang

berlangsung dalam keseimbangan. Obat yang menghambat proses ini dapat

menghambat produksi CSS. Penetrasi obat-obat dan metabolit lain tergantung

kelarutannya dalam lemak. Ion campuran seperti glukosa, asam amino, amin

danhormon tyroid relatif tidak larut dalam lemak, memasuki CSS secara lambat

dengan bantuan sistim transport membran. Juga insulin dan transferin memerlukan

reseptor transport media. Fasilitas ini (carrier) bersifat stereospesifik, hanya

membawa larutan yang mempunyai susunan spesifik untuk melewati membran

kemudian melepaskannya di CSS.

. Natrium memasuki CSS dengan dua cara, transport aktif dan difusi pasif. Kalium

disekresi ke CSS dgnmekanisme transport aktif, demikian juga keluarnya dari CSS

ke jaringan otak. Perpindahan Cairan, Mg dan Phosfor ke CSS dan jaringan otak

juga terjadi terutama dengan mekanisme transport aktif, dan konsentrasinya dalam

CSS tidak tergantung pada konsentrasinya dalam serum. Perbedaan difusi

menentukan masuknya protein serum ke dalam CSS dan juga pengeluaran CO2. Air

dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan juga pengeluaran CO2. Air

dan Na berdifusi secara mudah dari darah ke CSS dan ruang interseluler, demikian

juga sebaliknya. Hal ini dapat menjelaskan efek cepat penyuntikan intervena cairan

14

Page 15: referat anastesi

hipotonik dan hipertonik.

. Ada 2 kelompok pleksus yang utama menghasilkan CSS: yang pertama dan terbanyak

terletak di dasar tiap ventrikel lateral, yang kedua (lebih sedikit) terdapat di atap

ventrikel III dan IV. Diperkirakan CSS yang dihasilkan oleh ventrikel lateral sekitar

95%. Rata-rata pembentukan CSS 20 ml/jam. CSS bukan hanya ultrafiltrat dari

serum saja tapi pembentukannya dikontrol oleh proses enzimatik.

. CSS dari ventrikel lateral melalui foramen interventrikular monroe masuk ke dalam

ventrikel III, selanjutnya melalui aquaductus sylvii masuk ke dlam ventrikel IV.

Tiga buah lubang dalam ventrikel IV yang terdiri dari 2 foramen ventrikel lateral

(foramen luschka) yang berlokasi pada atap resesus lateral ventrikel IV dan foramen

ventrikuler medial (foramen magendi) yang berada di bagian tengah atap ventrikel

III memungkinkan CSS keluar dari sistem ventrikel masuk ke dalam rongga

subarakhnoid. CSS mengisi rongga subarakhnoid sekeliling medula spinalis sampai

batas sekitar S2, juga mengisi keliling jaringan otak. Dari daerah medula spinalis

dan dasar otak, CSS mengalir perlahan menuju sisterna basalis, sisterna ambiens,

melalui apertura tentorial dan berakhir dipermukaan atas dan samping serebri

dimana sebagian besar CSS akan diabsorpsi melalui villi arakhnoid (granula

Pacchioni) pada dinding sinus sagitalis superior. Yang mempengaruhi alirannya

adalah: metabolisme otak, kekuatan hidrodinamik aliran darah dan perubahan dalam

tekanan osmotik darah.

CSS akan melewati villi masuk ke dalam aliran adrah vena dalam sinus. Villi

arakhnoid berfungsi sebagai katup yang dapat dilalui CSS dari satu arah, dimana

semua unsur pokok dari cairan CSS akan tetap berada di dalam CSS, suatu proses

yang dikenal sebagai bulk flow. CSS juga diserap di rongga subrakhnoid yang

mengelilingi batang otak dan medula spinalis oleh pembuluh darah yang terdapat

pada sarung/selaput saraf kranial dan spinal. Vena-vena dan kapiler pada piameter

mampu memindahkan CSS dengan cara difusi melalui dindingnya. Perluasan rongga

15

Page 16: referat anastesi

subarakhnoid ke dalam jaringan sistem saraf melalui perluasaan sekeliling pembuluh

darah membawa juga selaput piametr disamping selaput arakhnoid. Sejumlah kecil

cairan berdifusi secara bebas antara cairan ekstraselluler dan css dalam rongga

perivaskuler dan juga sepanjang permukaan ependim dari ventrikel sehingga

metabolit dapat berpindah dari jaringan otak ke dalam rongga subrakhnoid. Pada

kedalaman sistem saraf pusat, lapisan pia dan arakhnoid bergabung sehingga rongga

perivaskuler tidak melanjutkan diri pada tingkatan kapiler.

3.2 Pengertian Cedera Medula Spinalis

Cedera medulla spinalis adalah suatu kerusakan pada medulla spinalis

akibat trauma atau non trauma yang akan menimbulkan gangguan pada sistem

motorik, sistem sensorik dan vegetatif. Kelainan motorik yang timbul berupa

kelumpuhan atau gangguan gerak dan fungsi otot-otot, gangguan sensorik berupa

hilangnya sensasi pada area tertentu sesuai dengan area yang dipersyarafi oleh

level vertebra yang terkena, serta gangguan sistem vegetatif berupa gangguan

pada fungsi bladder, bowel dan juga adanya gangguan fungsi sexual.3,7,10

Klasifikasi menurut American Spinal Injury Association:7

Grade A Hilangnya seluruh fungsi morotik

dan sensorik dibawah tingkat lesi

Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik

dan sebagian fungsi sensorik di

bawah tingkat lesi.

Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan

kekuatan di bawah 3.

Grade D Fungsi motorik intak dengan

kekuatan motorik di atas atau sama

dengan 3.

Grade E Fungsi motorik dan sensorik

16

Page 17: referat anastesi

normal.

Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel

Score.3,10

Frankel Score A kehilangan fingsi motorik dan sensorik

lengkap

(complete loss).

Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik

utuh.

Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara praktis

tidak berguna (dapat menggerakkan

tungkai tetapi

tidak dapat berjalan).

Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat

berjalan tetapi tidak dengan normal

”gait”).

Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.

Skala kerusakan berdasarkan  American Spinal Injury

Association/International Medical society of Paraplegia (IMSOP)

Grade Tipe Gangguan spinalis

ASA/IMSOP

A Komplit Tidak ada fungsi sensorik

dan motorik sampai S4-5

B Inkomplit Fungsi sensorik masih

baik tapi fungsi motorik

terganggu sampai segmen

17

Page 18: referat anastesi

sacral S4-5

C Inkomplit Fungsi motoik terganggu

dibawah level, tapi otot-

otot motorik utama masih

punya kekuatan < 3

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu

dibawah level, otot-otot

motorik utamanya punya

kekuatan > 3

E Normal Fungsi sensorik dan

motorik normal

Sedangkan lesi pada medula spinalis menurut ASIA resived 2000, terbagi atas :7

a. Paraplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik karena

kerusakan pada segment thoraco-lumbo-sacral.

b. Quadriplegi : Suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik atau dan sensorik

karena kerusakan pada segment cervikal.

Spesifik Level7

1. C1 – C2 : Quadriplegia, kemampuan bernafas (-).

2. C3 – C4 : Quadriplegia, fungsi N. Phrenicus (-), kemampuan bernafas hilang.

3. C5 – C6 : Quadriplegia, hanya ada gerak kasar lengan.

4. C6 – C7 : Quadriplegia, gerak biceps (+), gerak triceps (-).

18

Page 19: referat anastesi

5. C7 – C8 : Quadriplegia, gerak triceps (+), gerak intrinsic lengan (-).

6. Th1 – L1-2 : Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak intercostalis tertentu (-), fungsi

tungkai (-), fungsi seksual (-).

7. Di bawah L2: Termasuk LMN, fungsi sensorik (-), bladder & bowel (-), fungsi

seksual tergantung radiks yang rusak.

Sindrom cedera medulla spinalis menurut ASIA, yaitu :3,7,9,10

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan

Central cord syndrome Cedera pada posisi

sentral dan sebagian

pada daerah lateral.

Dapat sering terjadi

pada daerah servikal

Menyebar ke daerah sacral.

Kelemahan otot ekstremitas atas

dan ekstremitas bawah jarang

terjadi pada ekstremitas bawah

Brown- Sequard Syndrome Anterior dan posterior

hemisection dari

medulla spinalis atau

cedera akan

menghasilkan medulla

spinalis unilateral

Kehilangan ipsilateral

proprioseptiv dan kehilangan

fungsi motorik.

Anterior cord syndrome Kerusakan pada

anterior dari daerah

putih dan abu- abu

medulla spinalis

Kehilangan funsgsi motorik dan

sensorik secara komplit.

19

Page 20: referat anastesi

Posterior cord syndrome Kerusakan pada

anterior dari daerah

putih dan abu- abu

medulla spinalis

Kerusakan proprioseptiv

diskriminasi dan getaran. Funsgis

motor juga terganggu

Cauda equine syndrome Kerusakan pada saraf

lumbal atau sacral

samapi ujung medulla

spinalis

Kerusakan sensori dan lumpuh

flaccid pada ekstremitas bawah

dan kontrol berkemih dan

defekasi.

3.3 Epidemiologi

Cedera medulla spinal adalah masalah kesehatan mayor yang

mempengaruhi 150.000 prang di Amerika serikat, dengan perkiraan 10.000

cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia

muda sekitar lebih 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam medic

Rumah sakit umum pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung

dari Januari sampai Juni 2003, angka kejadian angka kejadian untuk fraktur

adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk

cedera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).2

3.4 Klasifikasi Cedera medula spinalis

Klasifikasi Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:

A. Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti

yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan,

merusak medula spinalis. Sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan

beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan American

Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal

Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur,

dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra. 3,7,9,10

20

Page 21: referat anastesi

B. Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti

penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis,

atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh

gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup

penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan

inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan

metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan. 3,7,9,10

3.5 Faktor Resiko

A. Laki-laki lebih banyak dari pada perempuan : Cedera tulang tulang belakang

mempengaruhi jumlah yang tidak proporsional pria. Bahkan, perempuan

account hanya sekitar 20 persen dari trauma cedera tulang belakang di

Amerika Serikat. 3,7,9,10

B. Menjadi antara usia 16 dan 30 : Banyak terjadi cedera tulang belakang

traumatis jika berusia antara 16 dan 30. Kecelakaan kendaraan bermotor

merupakan penyebab utama cedera tulang belakang untuk orang di bawah 65,

sementara jatuh penyebab paling cedera pada orang dewasa yang lebih tua. 3,7,9,10

C. Terlibat dalam perilaku berisiko : Menyelam ke dalam air terlalu dangkal atau

bermain olahraga tanpa mengenakan peralatan keselamatan yang tepat atau

mengambil tindakan pencegahan yang tepat dapat menyebabkan cedera tulang

belakang. 3,7,9,10

D. Memiliki tulang atau kelainan sendi : Sebuah cedera yang relatif kecil dapat

menyebabkan cedera tulang belakang jika Anda memiliki gangguan lain yang

mempengaruhi tulang atau sendi, seperti arthritis atau osteoporosis. 3,7,9,10

3.6 Gejala Klinik

Jika medula spinalis mengalami cedera, maka saraf-saraf yang berada pada

daerah yang mengalami cedera dan yang di bawahnya akan mengalami gangguan

fungsi, yang menyebabkan hilangnya kontrol otot dan juga hilangnya

21

Page 22: referat anastesi

sensasi. Hilangnya kontrol otot atau sensasi dapat bersifat sementara atau

menetap, sebagian atau menyeluruh, tergantung dari beratnya cedera yang terjadi.

Cedera yang menyebabkan putusnya medula spinalis atau merusak jalur jalannya

saraf di medula spinalis menyebabkan hilangnya fungsi yang menetap, tetapi

trauma tumpul yang mengguncang medula spinalis dapat menyebabkan hilangnya

fungsi sementara, yaitu bisa sampai beberapa hari, beberapa minggu, atau

beberapa bulan. Hilangnya kontrol otot sebagian menyebabkan timbulnya

kelemahan pada otot. Sedangkan kontrol otot yang hilang seluruhnya

menyebabkan kelumpuhan. Ketika otot mengalami kelumpuhan, maka otot

tersebut seringkali kehilangan tonus ototnya sehingga menjadi lemas (flaccid).

Beberapa minggu kemudian, kelumpuhan dapat berkembang menjadi spasme otot

yang involunter (tidak disadari) dan lama (paralysis spastik). 3,7,9,10

Kerusakan hebat dari medula spinalis di pertengahan punggung bisa

menyebabkan kelumpuhan pada tungkai, tetapi lengan masih tetap berfungsi

secara normal. Gerakan refleks tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan

tetap utuh atau bahkan meningkat. Contohnya, refleks lutut tetap ada atau bahkan

meningkat. Meningkatnya refleks ini dapat menyebabkan spasme pada

tungkai. Refleks yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena

menjadi memendek, sehingga dapat terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang

spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. 3,7,9,10

Kompresi yang terjadi secara langsung pada bagian-bagian syaraf oleh

fragmen-fragmen tulang, ataupun rusaknya ligamen-ligamen pada sistem saraf

pusat dan perifer. Pembuluh darah rusak dan dapat menyebabkan iskemik. Ruptur

axon dan sel membran neuron bisa juga terjadi. Mikrohemoragik terjadi dalam

beberapa menit di substansia grisea dan meluas beberapa jam kemudian sehingga

perdarahan masif dapat terjadi dalam beberapa menit kemudian. 3,7,9,10

22

Page 23: referat anastesi

Sesaat setelah trauma, fungsi motorik dibawah tingkat lesi hilang, otot

flaksid, reflex hilang, paralisis atonik vesika urinaria dan kolon, atonia gaster dan

hipestesia. Juga dibawah tingkat lesi dijumpai hilangnya tonus vasomotor,

keringat dan piloereksi serta fungsi seksual. Kulit menjadi kering dan pucat serta

ulkus dapat timbul pada daerah yang mendapat penekanan tulang. Spingter vesika

urinaria dan anus dalam keadaan kontraksi (disebabkan oleh hilangnya inhibisi

dari pusat sistem saraf pusat yang lebih tinggi.3,7,9,10

Apabila medula spinalis cedera secara komplit dengan tiba-tiba, maka

tiga fungsi yang terganggu antara lain seluruh gerak, seluruh sensasi dan seluruh

refleks pada bagian tubuh di bawah lesi. Keadaan yang seluruh refleks hilang baik

refleks tendon, refleks autonomic disebut spinal shock. Kondisi spinal shock ini

terjadi 2-3 minggu setelah cedera medula spinalis. Fase selanjutnya setelah spinal

shock adalah keadaan dimana aktifitas refleks yang meningkat dan tidak

terkontrol. Pada lesi yang menyebabkan cedera medula spinalis tidak komplit,

spinal shock dapat juga terjadi dalam keadaan yang lebih ringan atau bahkan tidak

melalui shock sama sekali. Selain itu gangguan yang timbul pada cidera medula

spinalis sesuai dengan letak lesinya, dimana pada UMN lesi akan timbul

gangguan berupa spastisitas, hyperefleksia, dan disertai hypertonus, biasanya lesi

ini terjadi jika cidera mengenai C1 hingga L1. Dan pada LMN lesi akan timbul

gangguan berupa flaccid, hyporefleksia, yang disertai hipotonus dan biasanya lesi

ini terjadi jika cidera mengenai L3 sampai cauda equina, di samping itu juga

masih ada gangguan lain seperti gangguan bladder dan bowel, gangguan fungsi

seksual, dan gangguan fungsi pernapasan. 3,7,9,10

Dapat durumuskan gejala-gejala yang terjadi pada cedera medulla spinalis yaitu : 3,7,9,10

1. Gangguan sensasi menyangkut adanya anastesia, hiperestesia, parastesia.

23

Page 24: referat anastesi

2. Gangguan motorik menyangkut adanya kelemahan dari fungsi otot-otot dan

reflek tendon myotome.

3. Gangguan fungsi vegetatif dan otonom menyangkut adanya flaccid dan sapstic

blader dan bowel.

4. Gangguan fungsi ADL yaitu makan, toileting, berpakaian, kebersihan diri.

5. Gangguan mobilisasi yaitu Miring kanan dan kiri, Transfer dari tidur ke duduk,

Duduk, Transfer dari bed ke kursi roda, dan dari kursi roda ke bed.

6. Penurunan Vital sign yaitu penurunan ekspansi thorax, kapasitas paru dan

hipotensi.

7. Skin problem menyangkut adanya decubitus.

Cedera medulla spinalis juga mempengaruhi fungsi organ vital yaitu

diantaranya disfungsi respirasi terbesar yaitu cedera setinggi C1-C4. Cedera pada

C1-C2 akan mempengaruhi ventilasi spontan tidak efektif. Lesi setinggi C5-8

akan mempengaruhi m. intercostalis, parasternalis, scalenus, otot-otot abdominal,

otot-otot abdominal. Selain itu mempengaruhi intaknya diafragma, trafezius dan

sebagian m. pectoralis mayor. Lesi setinggi thoracal mempengaruhi otot-otot

intercostalis dan abdominal, dampak umumnya yaitu efektivitas kinerja otot

pernafasan menurun. 3,7,9,10

Selain itu mengganggu fungsi sistem kardiovaskular dimana terjadi karena

gangguan jalur otonom, terjadi pada lesi setinggi cervical dan thoracal. Akibat

disfungsi simpatis yang mempengaruhi fungsi jantung dan dinding vascular,

hilangnya control simpatis supraspinal mengakibatkan aktivitas simpatis

menurun. Lesi setinggi cervical dan thoracal mengakibatkan tonus vasomotor

menurun sehingga mengakibatkan hipotensi. 3,7,9,10

24

Page 25: referat anastesi

Fungsi sistem urinaria terganggu dimana bila terjadi lesi setinggi S2 dan

S4. Dimana bila terjadi lesi setinggi S2 akan mengakibatkan otot detrusor vesika

urinaria mengalami kelemahan tipe LMN sehingga otot detrusor melemah

sedangkan S4 mengatur spinkter urinaria eksterna berkontraksi karena bersifat

spastic, akan mengakibatkan retensi urin. Sedangkan bila lesi setinggi S4 akan

mengakibatkan SUE melemah (membuka) sedangkan fungsi dari otot VU normal

maka akan mengakibatkan inkontinensia urin. 3,7,9,10

Lesi pada badan sel parasimpatis di conus medularis, axon parasimpatis

di cauda equine dan axon somatic pudendus setinggi T10, fungsi pembentukan

fese terganggu, karena mempengaruhi dinding usus, pada lesi tersebut diatas akan

mengakibatkan tipe LMN, dimana feces lebih kering dan bundar, resiko tinggi

inkontinensia akibat rendahnya tonus spinkter ani. Lesi setinggi diatas conus

medularis akan mengakibatkan lesi tipe UMN, dimana terjadi overaktivitas

peristaltic usus, retensi fecal akibat spastic spinkter ani. 3,7,9,10

3.7. Patofisiologi

Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi

akibat dari proses cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera

berlanjut, kemungkinan penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu,

intervensi terapeutik sebaiknya tidak ditunda, pada kebanyakan kasus, window

period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar antara 6 sampai 24 jam

setelah cedera. Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer

energi ke korda spinal, deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma

yang persisten. Mekanisme ini, yang terjadi dalam hitungan detik dan menit

setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera, disrupsi aksonal dan

perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang berkelanjutan.

Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan

berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan

kaskade yang kompleks dari interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat

25

Page 26: referat anastesi

traktus. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid

endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi

inflamasi sangat berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger

Ribonucleic Acid) menunjukkan beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera

medula spinalis dan perubahan ini ditujukan sebagai target terapeutik. 3,7,9,10

Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari

cedera sekunder. Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan

kadar anti-oksidan yang cepat, oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan

sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang membrane lipid, protein dan asam

nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase yang menyebabkan

rusaknya membran sel. Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera

sekunder bergantung pada influks dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf.

Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease, dan phosphatase. Aktivasi dari

enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas mitokondria dan

kerusakan membran sel. Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid

endogen mungkin terlibat dalam proses terjadinya cedera medula spinalis dan

bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin bisa memperbaiki

penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa zat-

zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor,

serotonin) berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan

merupakan mediator dari kerusakan jaringan sekunder. Bila bagian cervical 1-4

yang terkena mengakibatkan pola nafas menjadi efektif dan kelumpuhan total dan

kemungkinan untuk bertahan hidup sangat kecil. 3,7,9,10

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil,

jatuh dari ketinggian, cedera olahraga) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio,

Spina Bifida, Friedreich dari ataxia) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla

spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena

fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat

menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut whiplash atau trauma indirek.

26

Page 27: referat anastesi

Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang

belakang secara cepat dan mendadak. Trauma whiplash terjadi pada tulang

belakang bagian cervikalis bawah maupun thorakalis bawah misalnya pada waktu

duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara

mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat

mengakibatkanparaplegia. 

Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi,

hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan

yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat

trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk

sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam

beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri

vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis

yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi,

contusion, laseratio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.

Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang

secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan atau

mengeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla

spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa,

hemitransversa, kuadran transversa). Trauma ini bersifat whiplash yaitu jatuh dari

jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau

fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla

spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.3,7,9,10

Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler

traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip

diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan

sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis

vertebralis.

27

Page 28: referat anastesi

Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat

tertarik dan mengalami jejas. pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat

mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan

yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia

radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang

belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler

dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan

menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang

bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.3,7,9,10

Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut : 3,7,9,10

1. Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan

hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan

kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi tulang dan kompresi

oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma

hiperekstensi.

2. Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada

jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medula spinalis

terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.

3. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan

gangguan aliran darah kapiler dan vena.

4. Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau sistem arteri spinalis anterior

dan posterior.

3.8 Medika Mentosa

1. Methylprednisolone merupakan pilihan pengobatan untuk cedera tulang

belakang akut. Jika metilprednisolon diberikan dalam waktu delapan jam

dari cedera, beberapa orang mengalami perbaikan ringan. Tampaknya

untuk bekerja dengan mengurangi kerusakan pada sel-sel saraf dan

mengurangi peradangan di dekat lokasi cedera. Namun, itu bukan obat

28

Page 29: referat anastesi

untuk cedera tulang belakang. Berikan metil prednisolon : dosis 30 Mg/

Kgbb, IV perlahan-lahan selama 15 menit. Metil prednisolon mengurangi

kerusakan membran sel yang berkontribusi pada kematian neuron,

mengurangi infalamasi dan menekan aktifitas sel-sel imun yang

mempunyai kontribusi serupa pada kerusakan neuron dan peningkatan

sekunder asam arakidonat mencegah peroksidasi lemak pada membran

sel. Metilprednisolon merupakan terapi yang paling umum digunakan

untuk cedera medula spinalis traumatika dan direkomendasikan

oleh National Institute of Health di Amerika Serikat. Namun demikian

penggunaannya sebagai terapi utama cedera medula spinalis traumatika

masih dikritisi banyak pihak dan belum digunakan sebagai standar terapi. 8,9,10

2. Bila terjadi spastisitas otot, berikan : Diazepam 3x5/ 10 Mg/Hari, Baklopen

3x5 Mg hingga 3x 20 Mg sehari. Spasmolitik otot atau relaksan secara

tradisional digunakan untuk mengobati gangguan musculoskeletal yang

menyakitkan. Efek samping sedasi dan pusing yang umum terjadi.8,9,10

3. Bila ada rasa nyeri bisa diberikan : Analgetika golongan NSAIDs (anti

inflamasi). Uji klinis menunjukan analgetik ini berguna sebagai pengobatan

untuk nyeri, namun penggunaan jangka panjang harus dihindari karena

sering terjadi efek samping yang merugikan pada fungsi ginjal dan

gastrointestinal. Opioid analgetik umumnya aman bila digunakan dengan

tepat, dan efek samping yang serius yang relative jarang terjadi.

4. Antidepresan trisiklik : digunakan dalam pengobatan nyeri kronik untuk

mengurangi insomnia, dan juga mengurangi sakit kepala. Seperti

amitriptilin.

B. Non Medika Mentosa

1. Fisioterapi :

29

Page 30: referat anastesi

Fisioterapi dapat berperan sejak fase awal terjadinya trauma sampai

pada tahap rehabilitasi. Pada penderita SCI kerusakan yang terjadi pada

medulla spinalis bersifat permanen, karena seperti yang kita ketahui bahwa

setiap kerusakan pada sistem saraf maka tidak akan terjadi regenerasi dari

sistem saraf tersebut dengan kata lain sistem tersebut akan tetap rusak

walaupun ada regenerasi akan kecil sekali peluangnya. Berdasarkan hal

tersebut maka intervensi yang diberikan oleh fisioterapi pun bertujuan untuk

meningkatkan kemandirian pasien dengan kemampuan yang dimilikinya

untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Peran fisioterapis menurut

KepMenKes 1363 Pasal 1 ayat 2 adalah bentuk pelayanan kesehatan yang

ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan,

memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur

kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan

gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutis dan mekanis), pelatihan fungsi,

komunikasi . Selama tahap awal rehabilitasi, terapis biasanya menekankan

pemeliharaan dan penguatan fungsi otot yang ada, pembangunan kembali

keterampilan motorik halus dan belajar teknik adaptif untuk menyelesaikan

tugas-tugas sehari-hari. 8,9,10 

2. Operasi :

Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada

kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi : 8,9,10

a. Reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah

servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.

b. Adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen

tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah

dilakukan traksi yang adekuat. 8,9,10

c. Trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak

adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh

30

Page 31: referat anastesi

herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan

mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya. 8,9,10

d. Fragmen yang menekan lengkung saraf.

e. Adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.

f. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada

mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan,

harus dicurigai hematoma. 8,9,10

3.10. Anestesi Umum Yang Digunakan Pada Cedera Medulla Spinalis

3.11. Definisi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan

aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu

tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai

prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.Istilah anestesi

digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Srpada tahun 1846.

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral

disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible.

Anestesi memungkinkan pasien untuk mentoleransi prosedur bedah yang akan

menimbulkan sakit yang tak tertahankan,mempotensiasi eksaserbasi fisiologis yang

ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Hipnotik/sedasi: hilangnya kesadaran

2. Analgesia: hilangnya respon terhadap nyeri

3. Muscle relaxant: relaksasi otot rangka

3.12 Cara anestesi

Umur

o Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum

31

Page 32: referat anastesi

o Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan

dilakukan dengan anestesi local atau umum

Status fisik

o Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah

pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah

ada komplikasi anestesia dan pasca bedah.

o Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari

penggunaan anestesia umum.

o Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa

sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.

o Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul

gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi

anestesia. Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum

endotrakeal.

Posisi pembedahan

o Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan

anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama

pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.

Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah

o Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan

keterampilan dan kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif

untuk mengurangi perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi,

pemakaian adrenalin pada bedah plastik dan lain-lain.

Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi

Keinginan pasien

Bahaya kebakaran dan ledakan

o Pemakaian obat anestesia yang tidak terbakar dan tidak eksplosif

adalah pilah utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

32

Page 33: referat anastesi

1.14 TAHAPAN TINDAKAN ANESTESI UMUM

a. Penilaian dan persiapan pra anestesia

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya

kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan

kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien

dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi

angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan.

b. Penilaian pra bedah

A. Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya

sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu

mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,

gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang

anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit menganjurkan

obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya jangan

digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu

tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan juga

jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari

sebelumnya

B. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar

sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan

laringoskopi intubasi.

33

Page 34: referat anastesi

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak

boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua

system organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi

pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)

dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG

dan foto thoraks.

D. Kebugaran untuk anestesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan

agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang

tidak perlu harus dihindari.

E. Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang

adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA).

Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena dampaksamping

anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang

yang akan dilakukan operasi. Contohnya pasien batu ureter dengan

hipertensi sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan

lekositosis dan febris.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang sampai berat

yang menganggu aktivitas. Contohnya: pasien appendisitis

perforasi dengan septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan

iskemia miokardium.

34

Page 35: referat anastesi

Kelas IV : Pasien yang akan dilakukan operasi / anestesi dengan

kelainan fisik / sistemik sedang sampai berat yang mengancam

kehidupan. Contohnya: Pasien dengan syok atau dekompensasi

kordis.

Kelas V : Pasien yang dioperasi atau tidak dalam 12 jam

kemungkinan meninggal

Kelas VI : pasien yang mati batang otak dan akan diambil

organnya untuk transplantasi.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan

mencantumkan tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE

atau IIE

F. Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko

utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan

risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif

dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa)

selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan

pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum

induksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan

untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam

sebelum induksi anestesia.

c. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah dilakukan

premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesia diberi dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi diantaranya:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien

a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:

35

Page 36: referat anastesi

i. Kunjungan pre anestesi

ii. Pengertian masalah yang dihadapi

iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi

b. Memberikan ketenangan (sedative)

c. Membuat amnesia

d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)

e. Mencegah mual dan muntah

2. Memudahkan atau memperlancar induksi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)

5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2 antagonis

6. Mengurangi rasa sakit

d. Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam, secara

intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat

darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat

dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum

induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan

pemberian premedikasi intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua

obat premedikasi bila diberikan secara intravena dapat menyebabkan

sedikit hipotensi kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi

dengan pemberian secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

36

Page 37: referat anastesi

c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB

1. Farmakodinamik

Turunan fenilpiperidin ini merupakan agonis opioid poten. Sebagai suatu analgesik,

fentanil 75-125 kali lebih poten dibandingkan dengan morfin. Awitan yang cepat dan

lama aksi yang singkat mencerminkan kelarutan lipid yang lebih besar dari fentanil

dibandingkan dengan morfin. Fentanil (dan opioid lain) meningkatkan aksi anestetik

lokal pada blok saraf tepi. Keadaan itu sebagian disebabkan oleh sifat anestetsi lokal

yamg lemah (dosis yang tinggi menekan hantara saraf) dan efeknya terhadap reseptor

opioid pada terminal saraf tepi. Fentanil dikombinasikan dengan droperidol untuk

menimbulkan neureptanalgesia.

2. Farmakokinetik

Setelah suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hampir sama

dengan dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama kali

melewatinya. Fentanil dimetabolisir oleh hati dengan N-dealkilase dan hidrosilasidan,

sedangkan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.

3. Indikasi

Efek depresinya lebih lama dibandingkan efek analgesinya. Dosis 1-3 mg /kg BB

analgesianya hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk

anastesia pembedahan dan tidak untuk pasca bedah. Dosis besar 50-150 mg/kg BB

digunakan untuk induksi anastesia dan pemeliharaan anastesia dengan kombinasi

bensodioazepam dan inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Sediaan yang

tersedia adalah suntikan 50 mg/ml.

4. Efek samping

Efek yang tidak disukai ialah kekakuan otot punggung yang sebenarnya dapat

dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar dapat mencegah peningkatan kadar gula,

katekolamin plasma, ADH, renin, aldosteron dan kortisol

Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB

37

Page 38: referat anastesi

e. Induksi Anastesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak

sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan.

Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau

rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan

dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S :Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan

jantung.Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang

sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T :Tube Pipa trakea. pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon

(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).

A :Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa

hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan

lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak

menyumbat jalan napas.

T : Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I :Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)

yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa

trakea mudah dimasukkan.

C :Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S :Suction penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

3.16. TEKNIK ANESTESI UMUM

38

Page 39: referat anastesi

a. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan

Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal

tube) kedalam trakea via oral atau nasal.

Indikasi; operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian

leher dan kepala)

Prosedur :

1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dgn

durasi singkat)

2. Intubasi setelah induksi dan suksinil

3. Pemeliharaan

Teknik Intubasi :

1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap

2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)

3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt

4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala

sedikit ekstensi → mulut membuka

5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi

sedikit, menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri

6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau

angkat epiglotis ( pada bilah lurus )

7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dari luar )

8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah

9. Masukan ET melalui rima glottis

10. fixasi alat dengan plester.

11. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas( alat

resusitasi )

39

Page 40: referat anastesi

Klasifikasi Mallampati :

Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :

Obat-obat induksi intravena:

a. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg

sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5%

( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg

disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan pasien

berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental

menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat

melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

b. Propofol (diprivan, recofol)

FARMAKOKINETIK

Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome

P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga

ekstrahepatik. Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan

40

Page 41: referat anastesi

inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan

melalui ginjal. Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol

yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4

hydroxypropofol yang memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat

diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5 – 1,5 jam tapi yang

lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8

jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh

minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus

dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.

Propofol mirip seperti aldentanil dan thiofentanil, yang memiliki efek singkat di otak

setelah pemberian melalui intravena.

FARMAKODINAMIK

Efek propofol terhadap tubuh bergantung pada konsentrasi propofol dalam

darah. Konsentrasi propofol ini biasanya merupakan proporsi dari rata-rata infus,

khususnya dalam pasien secara individu. Efek Hemodynamic selama induksi dari

anestesi beragam. Jika terjadi ventilasi spontan, efek kerdiologiknya adalah hypotensi

( turun 30%) dengan sedikit atau tidak adanya perubahan denyut jantung. Jika

ventilasi terkontrol, besarnya kejadian dari penurunan cardiac output meningkat. Oleh

karena itu diberikan premedikasi potent opioid ( fentanyl).

- Pada sistem saraf pusat

Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat

menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi

(2mg /kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat.

- Pada sistem kardiovaskular

Dapat menyebakan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat

turun sekali disertai dengan peningkatan denyut nadi, pengaruh terhadap frekuensi

jantung juga sangat minim.

- Pada Sistem pernafasan

41

Page 42: referat anastesi

Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal, dalam beberapa kasus

dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan muncul pada pemberian diprivan

INDIKASI

1. Induksi dan maintenance dari anestesi orang dewasa

2. Induksi anestesi anak-anak > 3 tahun

3. Maintenance anestesi pasien pediatri minimal 2 bulan

4. Inisiasi dan maintenance dari anestesi monitor dengan sedasi pada orang

dewasa, sedasi pada intubasi atau pasien ICU dengan ventilator terkontrol

KONTRAINDIKASI

Propofol kontraindikasi terhadap pasien yang diketahui hipersensitif terhadap

propofol dan komponennya. Karena propofol adalah sebuah emulsi lemak, sebaiknya

digunakan pada kondisi dimana metabolisme lemak tidak terganggu, contohnya

seperti hiperlipidemia patologis ataupun alergi terhadap telur dan minyak kedelai.

Peningkatan tekanan intrakranial juga merupakan kontraindikasi terhadap

penggunaan propofol.

Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic

dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,

sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesia

intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg.

pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3

tahun dan pada wanita hamil.

c. Ketamin (ketalar)

Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,

hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-muntah,

pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi

42

Page 43: referat anastesi

midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan

untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.

Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas

dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml = 10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml =

100 mg).

d. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga banyak

digunakan untuk induksi pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid

digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

b. Induksi inhalasi

A. N2O

(gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida) berbentuk

gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat

udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,

analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang

persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi

dengan salah satu cairan anastetik lain seperti halotan.

B. Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya cukup

dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10%

sekitar faring laring.

Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi

hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan

43

Page 44: referat anastesi

inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan

menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

C. Enfluran (etran, aliran)

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif

disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding halotan, tetapi

lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik

disbanding halotan.

D. Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran darah

otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi,

sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.

Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga digemari

untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan

koroner.

E. Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti

isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk

induksi anestesi.

F. Sevofluran (ultane)

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya tidak

menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk induksi

anestesi inhalasi disamping halotan.

a. Intubasi trakea

44

Page 45: referat anastesi

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea

melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea

antara pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya

digolongkan sebagai berikut:

1. Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun.

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret

jalan napas, dan lain-lainnya.

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, ventilasi jangka panjang.

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

b. Kesulitan intubasi

1. Leher pendek berotot

2. Mandibula menonjol

3. Maksila/gigi depan menonjol

4. Uvula tak terlihat

5. Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

6. Gerak vertebra servikal terbatas

c. Komplikasi intubasi

1. Selama intubasi

a. Trauma gigi geligi

b. Laserasi bibir, gusi, laring

c. Merangsang saraf simpatis

d. Intubasi bronkus

e. Intubasi esophagus

f. Aspirasi

g. Spasme bronkus

45

Page 46: referat anastesi

2. Setelah ekstubasi

a. Spasme laring

b. Aspirasi

c. Gangguan fonasi

d. Edema glottis-subglotis

e. Infeksi laring, faring, trakea

f. Ekstubasi

Ekstubasi ada 2 macam :

1. Ekstubasi sadar jika

- pasien sadar penuh

- respon terhadap rangsangan ada

- reflex reflex ada

2. Ekstubasi dalam

- keadaan pasien teranastesi dalam

- respoin terhadap rangsangan tidak ada

- reflex-refleks belum ada

DAFTAR PUSTAKA

1. PERDOSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma

Spinal. Jakarta: Perdosi ; 2006.h.19-22.

2. Cedera medulla Spinalis. Diunduh dari :

http://www.artikelkedokteran.net/2011/01/cedera-medula-spinalis.html. 2013.

3. Evans, Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian

Rakyat; 2003.h. 35-36.

4. Blumenfeld H. Neuroanatomy through Clinical Cases. Inc: Sanauer

Assiciates; 2002.h.23-36, 277-283.

5. DeGroot J. Chusid JG. Corelative Neuroanatomy. Jakarta: EGC; 1997.h.30-

42.

46

Page 47: referat anastesi

6. Snell RS. Neuroanatomi klinik : pendahuluan dan susunan saraf pusat. Edisi

ke-5. Jakarta : EGC; 2007.h.1-16.

7. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari :

http://sci.rutgers.edu. 2008.

8. Sidharta P. Tatalaksana Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian

Rakyat; 2005.h.115-116.

9. Consortium Member Organizations and Steering Committee Representatives.

Early Acute Management in Adults with Spinal Cord Injury: A Clinical

Practice Guideline for Health-Care Professionals. The Journal Of Spinal Cord

Medicine. Vol. 31. 2006.

10. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis

dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC; 2007.h.19-23.

11. Zuhardi, T.B, Anestesi untuk pembedahan darurat dalam Majalah Cermin

Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 3-5.

12. Rahardjo, E., Rahardjo, P., Sulistiyono, H., Anestesi untuk pembedahan

darurat dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran no. 33, 1984 : 6-9.

13. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI 2009. Anastetik Umum,

dalam Farmakologi dan Terapi. Balai penerbit FKUI , Jakarta. Hal 122-138.

14. Dobson, M.B.,ed. Dharma A., Penuntun Praktis Anestesi, EGC, 1994, Jakarta.

15. Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, Anestesiologi,

1989, Jakarta.

16. Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia 2009.

47