26
REFERAT KELAINAN PADA CEDERA KEPALA DAN GEJALA KLINISNYA Oleh: Siti Zhahara NPM: H1A010006 Pembimbing: dr. Julian Famil, Sp. B, FICS, FINACS

referat benign prostat hyperplasia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bph

Citation preview

Page 1: referat benign prostat hyperplasia

REFERAT

KELAINAN PADA CEDERA KEPALA

DAN GEJALA KLINISNYA

Oleh:

Siti Zhahara

NPM: H1A010006

Pembimbing:

dr. Julian Famil, Sp. B, FICS, FINACS

BAGIAN BEDAH RS BHAYANGKARA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

BENGKULU

2014

Page 2: referat benign prostat hyperplasia

CEDERA KEPALA

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kecacatan dan kematian

terbanyak pada kelompok usia 6 bulan-2 tahun, usia 15-24 tahun dan lanjut usia,

yang sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.1-3

A. Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala dapat diklasifikasikan beradasarkan:

1. Mekanisme Cedera

a. Cedera Kepala Tumpul

Cedera kepala tumpul dapat terjadi dengan kecepatan tinggi

(biasanya berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas) atau kecepatan

rendah (biasanya berhubungan dengan jatuh dari ketinggian atau dipukul

dengan benda tumpul).1,2 Pada keadaan ini, duramater masih utuh dan

tidak ada jaringan otak yang terbuka atau terpapar pada lingkungan

luar.1-3

b. Cedera Kepala Tembus

Cedera kepala tembus dapat disebabkan oleh luka tembak, luka

bacok atau luka tembus lainnya yang menyebabkan isi tengkorak terbuka

atau terpapar terhadap lingkungan luar.1-3

2. Beratnya Cedera

Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara

klinis/kuantitatif beratnya cedera kepala.1 Komponen penilaian GCS antara

lain respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik/gerakan.1,4

Page 3: referat benign prostat hyperplasia
Page 4: referat benign prostat hyperplasia

Beratnya cedera kepala diklasifikasikan sebagai1,3:

Cedera kepala ringan: pasien dengan nilai GCS 13-15

Cedera kepala sedang: pasien dengan nilai GCS 9-12

Cedera kepala berat: pasien dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.

3. Morfologi

Cedera kepala dapat meliputi:

a. Fraktur Tulang Tengkorak

Fraktur tulang tengkorak/kranium dapat terjadi pada atap atau dasar

tengkorak.1,2,5

Fraktur kranium

Terdapat beberapa bentuk fraktur tulang tengkorak, yakni linear

(garis) atau stelata (bintang), depresi atau non depresi dan fraktur terbuka

atau tertutup.1,2,5

Fraktur linear merupakan bentuk fraktur terbanyak dari semua

fraktur tulang kepala, yakni sekitar 80% dan umumnya tidak

memerlukan tindakan khusus.5

Page 5: referat benign prostat hyperplasia

Fraktur Basis Kranii

Fraktur tulang dasar tengkorak pada umunya terjadi pada os

petrosum, atap orbita atau pada basis oksiput.5

Page 6: referat benign prostat hyperplasia

Tanda-tanda klinis fraktur basis cranii antara lain:

- ekimosis periorbital/raccoon eyes sign

Fraktur basis cranii anterior terjadi sekitar 70% dari

seluruh kejadian fraktur basis cranii.6 Bagian basis cranii

anterior disusun oleh sinus paranasal, cribriform plate dan atap

orbita.6 Struktur anatomi terpenting yang terdapat dibawahnya

adalah orbita.7 Pada bagian posterior tulang orbita terdapat

kanalis optikus, fisura orbitalis superior dan fisura orbitalis

inferior (tempat lewatnya berbagai saraf kranial dan pembuluh

darah) dan dinding posterior ini merupakan bagian yang tipis.7

Jika terjadi fraktur pada basis cranii anterior, maka struktur

dibawahnya ikut terkena dan dapat terjadi robekan pada

pembuluh darah disekitar mata sehingga terjadi kebocoran

darah yang menumpuk disekitar mata (raccoon eyes).5,6,8

Page 7: referat benign prostat hyperplasia

- ekimosis retroaurikuler/battle sign

Fraktur pada bagian petrosum tulang temporal (bagian

dari basis cranii media) dapat menyebabkan terjadinya

kerusakan pada pembuluh darah sehingga darah keluar dari

pembuluh darah ke jaringan disekitarnya, sehingga tampak

daerah berwarna keunguan pada kulit dibelakang telinga/daerah

mastoid.2,5,9

- kebocoran CSF melalui hidung/rhinorrhea dan telinga/otorrhea

Kebocoran CSF dari basis cranii anterior lebih sering

dibandingkan dengan kebocoran pada basis cranii media

maupun posterior, karena perlekatan yang kuat antara

duramater dan basis cranii anterior10 Fraktur pada basis cranii

anterior dapat menyebabkan terjadinya robekan duramater

sehingga terjadi kebocoran CSF ke sinus sfenoid, sinus frontalis

dan sinus ethmoidalis ataupun cribriformis yang bermanifestasi

sebagai rhinorhea.10 Fraktur pada tulang temporal juga dapat

menyebabkan terjadinya kebocoran dari CSF hingga keluar dari

lubang telinga atau otorrhea.5,10

Page 8: referat benign prostat hyperplasia

b. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai:

Lesi Fokal

- Memar Otak/Kontusio Serebri1,11,12

Kontusio adalah perdarahan di parenkim otak superfisial

akibat trauma tumpul. Otak terapung dalam CSF diruang

subarakhnoid dapat meluncur ke arah anteroposterior dan

lateral dengan jarak tertentu. Gerakan ke anteroposterior

terbatas karena terdapat perlekatan vv. Cerebri superiores

dengan sinus sagittalis superior. Pergeseran otak ke lateral

dibatasi oleh falx cerebri. Tentorium cerebelli dan falx cerebelli

juga membatasi pergerakan otak.

Bila secara tiba-tiba mendapatkan gaya gerak didalam

tengkorak, bagian otak yang bergerak menjauhi dinding

tengkorak akan mendapatkan pengurangan tekanan karena CSF

tidak mempunyai cukup waktu untuk mengakomodasi gerakan

otak. Keadaan ini menimbulkan efek hisapan pada permukaan

otak yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah superfisial.

Benturan pada kepala yang keras dan tiba-tiba, dapat

menimbulkan kerusakan pada kedua sisi otak, yaitu pada titik

benturan dan pada kutub otak yang berlawanan dengan titik

benturan, bagian otak yang terlempar ke dinding tengkorak.

Keadaan ini disebut cedera countrecoup.

Page 9: referat benign prostat hyperplasia

- Hematoma Epidural5,11,12

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah,

terutama arteri meningea media yang masuk ke dalam

tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara

duramater dan tulang di permukaan dalam os temporal.

Robeknya arteri ini menimbulkan hematom epidural dan

desakan oleh hematom akan memisahkan duramater dari tulang

kepala sehingga hematom bertambah besar.

Tanda-tanda klinisnya:

- lucid interval

ketika kepala terbentur, penderita pingsan sebentar

kemudian segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa

menit sampai jam, kesadaran berangsur menurun.

Page 10: referat benign prostat hyperplasia

- pupil mata anisokor (pupil ipsilateral melebar)

hematoma yang besar akan menekan korteks serebri. Bila

tekanan pada hemisfer sudah cukup besar maka bagian

medial lobus temporalis akan terdorong ke arah tentorial

sehingga akan menekan nervus okulomotorius (n. III) yang

berjalan sepanjang tentorium. Serabut-serabut parasimpatis

yang berfungsi melakukan konstriksi pupil mata berada

pada permukaan nervus okulomotorius, sehingga bila

terjadi penekanan dapat menyebabkan dilatasi pupil.

- Hematoma Subdural5,11,12

Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang

menyebabkan robeknya vena di dalam ruang arakhnoid. Pada

sebagian besar kasus, hematom ini disebabkan oleh kerusakan

vena penghubung (bridging veins) yang berjalan dari

permukaan otak ke sinus dura. Pembesaran hematom

memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu.

Hematom subdural dibagi menjadi hematom subdural akut bila

gejala timbul pada hari pertama sampai ketiga, subakut bila

timbul antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila

timbul sesudah minggu ketiga. Bila mengenai vena besar,

bekuan darah subdural membesar dengan cepat dan timbul

gejala-gejala akut seperti epidural bleeding, namun bila

perdarahan tidak terlalu besar, terbentuk bekuan darah kecil

yang kemudian akan menarik cairan secara osmosis dalam

beberapa bulan sehingga terbentuk kista hemoragik yang

berangsur membesar dan menimbulkan gejala penekanan.

Page 11: referat benign prostat hyperplasia

- Hematoma Intraserebral5

Page 12: referat benign prostat hyperplasia

perdarahan yang terjadi pada memar otak dapat membesar

menjadi hematom intraserebral. Lebih dari 50% hematom

intraserebral juga disertai hematom epidural atau subdural.

Hematom ini paling banyak terjadi di lobus frontalis dan lobus

temporalis, gambaran klinis pun bergantung pada lokasi dan

besarnya hematom.

Lesi Difus:

- Gegar Otak/Komosio Cerebri11

Komosio merujuk pada penurunan kesadaran dan paralisis

luas yang transien, kadang-kadang disertai oleh kejang, diikuti

oleh pemulihan dalam waktu beberapa jam hingga hari.

Keadaan ini menyebabkan kelainan morfologi minimal.

- Cedera Akson Difus11

Kondisi ini merupakan penyebab sebagian besar kasus

demensia pasca trauma dan bersama dengan cedera hipoksik-

iskemik, menjadi penyebab sebagian besar kasus keadaan

vegetatif persisten. Lesi terjadi akibat gaya deselerasi atau

akselerasi mendadak yang cukup besar untuk meregangkan atau

merobek prosesus sel saraf di dalam substansia alba serebrum.

Page 13: referat benign prostat hyperplasia

Daftar Pustaka:

1. Fildes, John. Meredith, J. Kortbeek, John. Kaufmann, Christoph. Ali, Jameel.

Brasel, Karen. Et al. Advanced Trauma Life Support for Doctors Eight Edition.

2008. Komisi Trauma IKABI.

2. Kowalak, Jennifer P. Welsh, William. Mayer, Brenna. Buku Ajar Patofisiologi.

2011. Jakarta: EGC.

3. Mansjoer, Arif. Suprohaita. Wardhani, Wahyu. Setiowulan, Wiwiek.

Wicaksono, Aditya. Hamsah, Arif. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid

Dua. 2007. Jakarta: FKUI.

4. Lumbantobing, S. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. 2010.

Jakarta: FKUI

5. Sjamsuhidajat, R. Karnadihardja, Warko. Prasetyono, T. Rudiman, Reno. Buku

Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. 2011. Jakarta: EGC.

6. Martinez, Leonel. Siddiqui, Farrah. Quin, Francis. Basillar Skull Fractures.

2013. Galveston: The University of Texas Medical Branch

7. Joshi, Arjun. Sadeghi, Nader. Katjhu, Sandeep. Wahan, Serv. Mercandetti,

Michael. Talavera, Francisco. Skull Base Anatomy. 2013. Medscape.

8. Diunduh dari http://neurosurgery.stanford.edu/patient_care/head_spine.html

9. Diunduh dari http://m.wisegeek.org/what-is-battle-sign.htm

10. Prosser, J. Vender, John. Solares, Arturo. Traumatic Cerebrospinal Fluid Leaks.

2011. Otolaryngol Clin N Am (44): 857-873.

11. Kumar, Vinay. Cotran, Ramzi, Robbins, Stanley. Buku Ajar Patologi Robbins

Edisi 7. 2007. Jakarta: EGC

12. Snell, Richard S. Neuroanatomi Klinik Edisi 5. 2007. Jakarta: EGC.

Page 14: referat benign prostat hyperplasia

REFERAT

PEMERIKSAAN SARAF

SENSORIS DAN MOTORIS

Oleh:

Siti Zhahara

NPM: H1A010006

Pembimbing:

dr. Julian Famil, Sp. B, FICS, FINACS

BAGIAN BEDAH RS BHAYANGKARA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BENGKULU

Page 15: referat benign prostat hyperplasia

BENGKULU

2014

A. Pemeriksaan Fungsi Sensorik

1. Pemeriksaan Rasa Taktil (Raba)

Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau

kain dan ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Hindarkan adanya

tekanan atau pembangkitan rasa nyeri. Periksalah seluruh tubuh dan

bandingkan bagian-bagian yang simetris. Pasien harus dalam posisi

terlentang dan mata tertutup dan rileks. Abnormalitas sensasi taktil

berupa:

a. abnormalitas pada setiap sensasi taktil yang ringan, yaitu

thigmanesthesia

b. abnormalitas untuk setia sensasi sentuhan pada rambut, yaitu

trikoanesthesia

c. abnormalitas ketika menyebutkan lokasi rangsang, yaitu

topoannesthesia

d. kesalahan dalam menyebutkan huruf yang digoreskan pada

permukaan kulit, yaitu graphanesthesia

2. Pemeriksaan Rasa Nyeri

Rasa nyeri dapat dibedakan menjadi rasa nyeri tusuk dan rasa nyeri

tumpul atau rasa nyeri cepat dan rasa nyeri lambat. Pemeriksaan

dilakukan dengan menggunakan jarum atau peniti. Tusukan hendaknya

cukup keras namun tidak sampai menimbulkan luka sehingga betul-betul

dirasakan rasa nyeri bukan rasa disentuh atau rasa raba. Pemeriksaan

Page 16: referat benign prostat hyperplasia

dilakukan seluruh tubuh, dan bagian yang simetris dibandingkan dengan

kekuatan tusukan yang sama. Abnormalitas sensasi nyeri superfisial:

a. area yang tidak sensitif pada setiap rangsang, yaitu

alganesthesia

b. penurunan kepekaan terhadap rangsang, yaitu hipalgesia

c. peningkatan kepekaan terhadap rangsang, yaitu hiperalgesia

3. Pemeriksaan Sensasi Suhu

Ada dua macam rasa suhu, yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rasa

suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air

es (10-20 derajat celcius) untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan

air panas/hangat (40-50 derajat celcius). Lakukan pemeriksaan pada

seluruh tubuh dan bagian yang simetris dibandingkan. Perubahan sensasi

suhu dinyatakan dengan therm-anesthesia/tidak merasa, therm-

hypesthesia/kurang merasa, them-hyperesthesia/lebih merasa baik untuk

suhu panas maupun dingin.

4. Pemeriksaan Rasa Gerak dan Posisi

Rasa gerak/rasa kinetik dirasakan saat tubuh atau bagian tubuh

digerakkan secara aktif atau pasif. Pada rasa sikap/rasa posisi, seseorang

tahu bagaimana sikap tubuh atau bagian tubuh. Pemeriksaan dapat

dilakukan dengan menggerakkan secara pasif jari pasien atau dengan

cara menempatkan jari yang diperiksa dalam posisi tertentu sewaktu

pasien menutup mata, kemudian pada jari yang sama pada tangan yang

lain disuruh menirukan sebagaimana posisi pada tangan sebelumnya.

Page 17: referat benign prostat hyperplasia

5. Pemeriksaan Rasa Getar

Pemeriksaan rasa getar biasanya dilakukan dengan menempatkan

garputala yang sedang bergetar pada ibu jari kaki, maleolus lateral dan

medial kaki, tibia, SIAS, sarkum, klavikula, sternum, proc stiloideus

radius dan ulna dan jari-jari. Biasanya garputala yang digunakan

berfrekuensi 128 Hz. Untuk menyatakan hilangnya rasa getar dapat

digunakan istilah pallanesthesia.

6. Pemeriksaan Rasa Tekan

Rasa tekan dapat diperiksa dengan cara menekan dengan jari atau

benda tumpul lainnya pada kulit, kemudian pasien memberitahu apakah

tekanan tersebut dirasakan serta lokasinya.

7. Pemeriksaan Nyeri Tekan

Pemeriksaan dilakukan dengan cara memencet otot atau tendon,

menekan serabut saraf yang terletak dekat permukaan, seperti otot lengan

atas, lengan bawah, paha, betis, dan tendon Achilles. Perhatikan apakah

pasien peka terhadap nyeri tekan.

B. Pemeriksaan Fungsi Motorik

Pada tiap bagian tubuh yang dapat bergerak, harus dilakukan:

1. Inspeksi

Page 18: referat benign prostat hyperplasia

Pada inspeksi harus diperhatikan sikap, bentuk, ukuran dan adanya

gerak abnormal yang tidak dapat dikendalikan.

Sikap

Perhatikan sikap pasien secara keseluruhan saat berdiri, duduk,

berbaring, bergerak dan berjalan.

Bentuk

Perhatikan apakah ada deformitas.

Ukuran

Perhatikan apakah panjang tubuh sebelah kanan dan kiri sama.

Kemudian perhatikan besar dan bentuk otot, apakah ada hipertrofi atau

atrofi.

Gerakan abnormal yang tidak terkendali

Gerakan abnormal merupakan kontraksi otot-otot volunter yang tidak

terkendali. Gerakan abnormal ini dapat mengenai tiap bagian tubuh,

seperti tremor, khorea, fasikulasi.

2. Palpasi

Pasien mengistirahatkan ototnya, kemudian otot-ototnya dipalpasi untuk

menentukan konsistensi/tonus otot dan adanya nyeri tekan.

3. Pemeriksaan Gerakan Pasif

Pasien mengistirahatkan ekstremitasnya, kemudian ekstremitas tersebut

digerakkan oleh pemeriksa pada bagian persendiannya. Sambi

digerakkan, pemeriksa menilai apakah ada tahanan, seperti rigiditas.

Page 19: referat benign prostat hyperplasia

4. Pemeriksaan Gerakan Aktif

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai kekuatan/kontraksi otot. Dapat

digunakan cara sebagai berikut:

- pasien disuruh menggerakkan ekstremitasnya dan pemeriksa

menahan gerakan ini

- pemeriksa menggerakkan ekstremitas pasien, dan pasien

menahan gerakan ini

Kekuatan otot dapat dinilai dengan:

0: Tidak didapatkan kontraksi otot/lumpuh total

1: Didapatkan sedikit kontraksi otot

2: Didapatkan gerakan, namun gerakan ini tidak dapat melawan gaya

gravitasi

3: Didapatkan gerakan yang mampu melawan gravitasi

4: Didapatkan gerakan yang mampu melawan tahanan yang diberikan

5: Tidak ada kelumpuhan/Normal

Daftar Pustaka:

1. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.. 2010.

Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

2. Mirawati, Diah. Widjojo, Sutejo. Suroto. Sudomo, Agus. Hartanto, Oemar.

Risono. Dkk. Pemeriksaan Neurologi. 2012. Surakarta: Universitas Sebelas

Maret.