Upload
anggie-pradetya-maharani
View
287
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ilmu Bedah
Citation preview
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
KOLELITIASIS
Disusun oleh:
Nathasia Yunita Winarta
030.11.211
Disusun sebagai salah satu syarat kelulusan
Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
RSUD Bekasi
Periode 19 Oktober 2015 – 26 Desember 2015
Dipresentasikan pada tanggal :
8 Desember 2015
Telah disetujui oleh :
Dosen pembimbing/penguji
Dr. Fanny Indarto Sp.B
i
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................................................i
DAFTAR ISI .........................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................................iii
DAFTAR TABEL ..................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................2
DEFINISI ................................................................................................................2
ANATOMI DAN FISIOLOGI .....................................................................................3
ETIOLOGI ..........................................................................................................8
PATOFISIOLOGI ....................................................................................................... 10
MANIFESTASI KLINIS ..............................................................................................14
DIAGNOSIS . ................................................................................................................16
PEMERIKSAAN PENUNJANG .................................................................................18
PENATALAKSANAAN .............................................................................................23
BAB III KESIMPULAN ..........................................................................................................30
BAB IV DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................32
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi kandung empedu dan duktus .....................................................................3
Gambar 2. Kelainan system biliaris.............................................................................................14
Gambar 3. Manifestasi klinis kolelitiasis.....................................................................................15
Gambar 4. Gambaran kolelitiasis pada foto polos ...................................................................17
Gambar 5. Gambaran kolelitiasis pada ERCP ...................................................................20
Gambar 6. Gambaran kolelitiasis pada USG ...................................................................22
Gambar 7. Gambaran kolelitiasis pada kolesistografi.................................................................22
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Komposisi cairan empedu ........................................................................5
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di
dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis,
sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.1
Batu kandung empedu biasanya baru menimbulkan gejala dan keluhan bila batu
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu gambaran klinis
penderita batu kandung empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau
samar bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone). Insiden batu kandung empedu di Indonesia
belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung
empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos
abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta
orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung
empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria. Insiden batu kandung empedu di Indonesia
belum diketahui dengan pasti, karena belum ada penelitian. Banyak penderita batu kandung
empedu tanpa gejala dan ditemukan secara kebetulan pada waktu dilakukan foto polos
abdomen, USG, atau saat operasi untuk tujuan yang lain.
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru USG, maka banyak
penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah
kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang
invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan mortalitas.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi
Kolelitiasis adalah suatu keadaan terdapat batu empedu yang dapat ditemukan di dalam
kandung empedu, sedangkan batu empedu yang terdapat pada saluran disebut koledukolitiasis.1
Epidemiologi
Angka prevalensi kolelitiasis pada orang dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang
dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20% hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3%
hingga 4%). Batu empedu menimbulkan masalah kesehatan yang cukup besar. Kolelitiasis
termasuk penyakit yang jarang pada anak. Menurut Ganesh et al dalam pengamatannya dari
tahun Januari 1999 sampai Desember 2003 di Kanchi kamakoti Child trust hospital,
mendapatkan dari 13.675 anak yang mendapatkan pemeriksaan USG, 43 (0,3%) terdeteksi
memiliki batu kandung empedu. Semua ukuran batu sekitar kurang dari 5 mm, dan 56% batu
merupakan batu soliter. Empat puluh satu anak (95,3%) dengan gejala asimptomatik dan hanya 2
anak dengan gejala.
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus
tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang.
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang
yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu kandung
empedu ditemukan pada 20% wanita dan 8% pria. Pada pemeriksaan autopsy di Chicago,
ditemukan 6,3% yang menderita kolelitiasis. Sekitar 20% dari penduduk negeri Belanda
mengidap penyakit batu empedu yang bergejala atau yang tidak. Persentase penduduk yang
mengidap penyakit batu empedu pada penduduk Negro Masai ialah 15-50 %. Pada orang-
orang Indian Pima di Amerika Utara, frekuensi batu empedu adalah 80%. Di Indonesia,
2
kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu
masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan.
Anatomi
a. Vesica fellea
Gambar 1. Anatomi kandung empedu dan duktus
Kandung empedu atau vesica fellea merupakan sebuah kantong berongga berbentuk
seperti buah pir yang berukuran 4-6 cm. Kandung empedu terrtutup oleh peritoneum visceral
tetapi infundibulum kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hepar oleh lapisan
peritoneum, apabila kandung empedu mengalami distensi akibat obstruksi maka bagian
infundibulum akan menonjol seperti kantong yang disebut kantong Hartman. Kandung
empedu memiliki kapasitas 30-60 cc, namun jika terdapat obstruksi dan mengalami distensi
maka dapat menjadi 300 cc.
Secara anatomis, vesica fellea dibagi menjadi 3 bagian yaitu fundus, corpus, dan
collum. Fundus vesica fellea berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah inferior hepar,
fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi costa IX kanan. Corpus
bersentuhan dengan permukaan visceral hepar dan mengarah keatas, belakang dan kiri.
b. Duktus
3
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameter 2-3 mm. Dinding lumennya
mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan
empedu masuk kedalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya. Saluran empedu
ekstrahepatik terletak didalam ligamentum hepatoduodenale yang batas atasnya porta hepatis,
sedangkan batas bawahnya distal papilla Vater. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik
berpangkal dari saluran paling kecil yang disebut kanalikulus empedu yang meneruskan
curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutnya ke
duktus hepatikus di hilus. Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4
cm. Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara
duktus sistikus.
Duktus koledokus berjalan di belakang duodenum menembus jaringan pancreas dan
dinding duodenum membentuk papilla Vater yang terletak di sebelah medial dinding
duodenum. Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu
ke dalam duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara ditempat yang sama oleh
duktus koledokus di dalam papilla Vater, tetapi dapat juga terpisah.
c. Vaskularisasi
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a.cystica yang merupakan cabang dari
a.hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah langsung ke dalam vena porta. Sejumlah
arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
d. Pembuluh limfe dan persarafan
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum
sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju ke
kandung empedu berasal dari plexus coeliacus.
Fisiologi
a. Empedu
4
Vesica fellea berperan sebagai reservoir empedu dengan kapasitas sekitar 30-60 cc.
vesica fellea memiliki kemampuan untuk memekatkan empedu, dan untuk membantu proses ini,
mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan
sehingga permukaannya tampang seperti sarang tawon.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hepar disimpan di dalam kanalikuli, kemudian dialirkan ke
duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar
dari hepar sebagai duktus hepatikus kanan dan duktus hepatikus kiri, kemudian keudanya
membetuk duktus biliaris komunis.
Tabel 1. Komposisi cairan empedu
Komponen Dari Hati Dari Kandung Empedu
Air 97,5 gm% 95 gm%
Garam empedu 1,1 gm% 6 gm%
Bilirubin 0,04 gm% 0,3 gm%
Kolesterol 0,1 gm% 0,3-0,9 gm%
Asam lemak 0,12 gm% 0,3-1,2 gm%
Lecithin 0,04 gm% 0,3 gm%
Elektrolit - -
Empedu dialirkan sebagai akibat dari kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak ke duodenum. Lemak
akan merangsang sekresi hormone kolesistokinin dari mukosa duodenum, kemudian hormone ini
akan masuk ke darah dan mengakibatkan kontraksi dari kandung empedu. Pada saat yang sama,
otot polos yang terletak pada distal duktus koledukus dan ampula relaksasi, sehingga
memungkinkan masuknya empedu ke dalam duodenum. Garam-garam empedu sangat penting
untuk proses emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan serta absorbs
lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu:
Hormonal
5
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum
akan merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung empedu.
Neurogen
Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan menyebabkan
kontraksi dari kandung empedu
Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke duodenum dan mengenai
Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu
akan tetap keluar walaupun sedikit. Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan
neurologis maupun hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.
b. Garam Empedu.
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua macam
yaitu: Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah:
Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin yang larut
dalam lemak. Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman
usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %)
garam empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus
sedangkan sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat.
Absorbsi garam empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga
bila ada gangguan pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau
reseksi maka absorbsi garam empedu akan terganggu.
6
c. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin. Heme
bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang segera
berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh albumin.
Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80% oleh
glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada malaria
maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak.
Faktor Resiko
Pembentukan batu empedu dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga semakin banyak faktor
resiko maka semakin besar kesempatan untuk mengalami kolelitiasis. Berikut beberapa faktor
resiko kolelitiasis(1) :
a. Jenis kelamin.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eksresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan yang meningkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitas pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
usia yang lebih muda.
c. Berat badan
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Tingginya BMI menunjukkan kadar kolesterol dalam kandung
empedu cenderung tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/pengosongan kandung empedu.
7
d. Makanan
Intake rendah klorida dan kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga.
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingkan
dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
g. Gangguan pada usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah Crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama.
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal sehingga resiko
untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu
Etiologi
Penyebab batu empedu dan batu saluran empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme
yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung
empedu.
a. Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam
pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol, mengekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap
8
dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk
membentuk batu empedu. Perubahan komposisi lainnya yaitu yang menyebabkan batu
pigmen adalah terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit hemolisis
yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary spherocytosis,
dan beta-thalasemia. Selain itu terdapat juga batu campuran, batu ini merupakan
campuran dari kolesterol dan kalsium bilirubinat. Batu ini sering ditemukan hampir
sekitar 90% pada penderita kolelitiasis.
b. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif,
perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-unsur tersebut. Gangguan kontraksi
kandung empedu atau spasme spingter Oddi, atau keduanya dapat menyebabkan stasis.
Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan
keterlambatan pengosongan kandung empedu.
c. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus
meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat
presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu dibanding
panyebab terbentuknya batu.
Klasifikasi Batu Empedu
Terdapat 3 tipe batu Empedu(2), yaitu:
a. Batu Empedu Kolesterol
Batu kolesterol mengandung paling sedikit 70% kolesterol, dan sisanya adalah kalsium
karbonat, kalsium palmitit, dan kalsium bilirubinat. Bentuknya lebih bervariasi dibandingkan
bentuk batu pigmen. Terbentuknya hampir selalu di dalam kandung empedu, dapat berupa
soliter atau multipel. Permukaannya mungkin licin atau multifaset, bulat, berduri, dan ada
yang seperti buah murbei.
Batu Kolesterol terjadi kerena konsentrasi kolesterol di dalam cairan empedu tinggi. Ini
akibat dari kolesterol di dalam darah cukup tinggi. Jika kolesterol dalam kantong empedu
tinggi, pengendapan akan terjadi dan lama kelamaan menjadi batu. Penyebab lain adalah
pengosongan cairan empedu di dalam kantong empedu kurang sempurna, masih adanya sisa-
sisa cairan empedu di dalam kantong setelah proses pemompaan empedu sehingga terjadi
pengendapan.
9
b. Batu Empedu Pigmen
Penampilan batu kalsium bilirubinat yang disebut juga batu lumpur atau batu pigmen,
tidak banyak bervariasi. Sering ditemukan berbentuk tidak teratur, kecil-kecil, dapat
berjumlah banyak, warnanya bervariasi antara coklat, kemerahan, sampai hitam, dan
berbentuk seperti lumpur atau tanah yang rapuh.
Batu pigmen terjadi karena bilirubin tak terkonjugasi di saluran empedu (yang sukar larut
dalam air), pengendapan garam bilirubin kalsium dan akibat penyakit infeksi.
c. Batu Empedu Campuran
Batu ini adalah jenis yang paling banyak dijumpai (±80%) dan terdiri atas kolesterol,
pigmen empedu, dan berbagai garam kalsium. Biasanya berganda dan sedikit mengandung
kalsium sehingga bersifat radiopaque.
Patofisiologi
Pembentukan Batu
Batu kolesterol
Terdapat 3 fase dalam pembentukan batu kolesterol(1,2), yaitu :
Fase supersaturasi.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak
larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle
yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi
lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol
terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai
1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini
bisa mencapai 1: 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap. Kadar
kolesterol akan relative tinggi pada keadaan sebagai berikut:
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
10
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
Fase pembentukan inti batu.
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk
bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung
empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk
akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu
lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti
batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,
pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi,
karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi
mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal
kolesterol dan sukar dipompa keluar.
Batu bilirubin/Batu pigmen.
Batu bilirubin terdiri atas 2, yaitu :
Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
11
Batu pigmen murni (batu non infeksi).
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:
Saturasi bilirubin.
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit
yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sickle cell. Pada keadaan
infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi
unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b-
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan
empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
Pembentukan inti batu.
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh
bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55
% batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris
lumbricoides. sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah
dari cacing tambang.
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu campuran. Lebih dari 90% batu
empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran (batu
yang mengandung 20-50% kolesterol). Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana
mengandung < 20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah
keadaan statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan
material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam
empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium,
bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang
terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah
12
ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung empedu, biliary
stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi pembentukan batu empedu empedu.
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan mengakibatkan/
menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung
empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat
terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat
terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya
kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat
juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga
berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis
sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya
peritonitisgeneralisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus
koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis. Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya
fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
13
Gambar 2. Kelainan pada sistem biliaris
Manifestasi Klinis
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya
bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya
komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier yang
timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah subkapula
disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu dan
tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya
derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya
batu di saluran empedu ekstra hepatic. Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian
besar pasien. Nyeri visceral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus
oleh batu.3
istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak
memperlihatkan inflamasi akut. Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari,
berlangsung lama antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah
epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke
abdomen kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala
dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
14
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu.
Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal. Sebagian besar
(90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini timbul akibat obstruksi
duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering
mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan dan
fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,
panleneatitis dan kolangitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus
(koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit
diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang
nyata. Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul
pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar
spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar.
Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif,kolangitis
dan pankreatitis.
Gambar 3. Manifestasi klinis kolelitiasis
15
Diagnosis
Penegakkan diagnosis kolelitiasis dengan atau tanpa penyakit penyerta lainnya dilakukan melalui
proses anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang.4
a. Anamnesis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya batu
empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks ( menyebabkan
kolesistitis, koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah
asimptomatik.
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri
berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri
menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
b. Pemeriksaan Fisik.
o Batu kandung empedu.
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah
sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang
meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik
nafas.
16
o Batu saluran empedu.
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang
teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah
kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.
c. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar
amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan
akut.
o Pemeriksaan Radiologis.
Foto polos abdomen.
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas
karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat
radioopak.
Gambar 4 . gambaran kolelitiasis pada foto polos
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar
kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut
dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
17
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatica.
Pada foto polos abdomen dapat dilihat gas atau kalsium didalam traktus
biliaris. Kira-kira 10-15% batu kantung empedu mengapur (kalsifikasi)
dan dapat diidentifikasi sebagai batu kandung empedu pada foto polos.
Mungkin pula penimbunan kalsium di dalam kandung empedu yang
mirip bahan kontras. Kadang-kadang dinding kandung
empedu mengapur (kalsifikasi) yang disebut porcelain gallbladder, yang
penting sebab dari hubungan kelainan ini dengan karsinoma kandung
empedu.
Gas dapat terlihat dipusat kandung empedu gambaran berbentuk
segitiga (mercedez-sign), gas didalam duktus biliaris menyatakan secara
tidak langsung hubungan abnormal anatara gas kandung empedu atau
duktus choledochus. Ini dapat disebabkan oleh penetrasi ulkus duedeni ke
dalam traktus biliaris atau erosi batu kedalam lambung, duodenum atau
kolon. Gas kadang-kadang terlihat didalam duktus sebagai manifestasi
cholangitis disebabkan oleh organisme pembentuk gas. Gas di dalam
kandung empedu dan dindingnya (emphysematous cholecystitis) adalah
manifestasi dari infeksi serupa dan biasanya timbul pada diabetes,
sekunder terhadap kemacetan dari arteri kistik disebabkan diabetic
angiopathy.
Gas didalam vena porta, tampak perifer di dalam hepar, menyatakan
secara tidak langsung usus necrosis tetapi itu dapat terjadi dengan
cholecystitis hebat.
Ultrasonografi dapat pula untuk menemukan masa intra luminal selain
dari pada batu, seperti adenoma, polip kolestrol dan karsinoma kandung
empedu. Kolesistografi telah berkembang sebagai studi dinamik dari
patologi fisiologi dari sistem biliaris. Injeksi intravena dari technitium
labeled imminodiacetic acid compounds memberikan imaging segera
dari kandung empedu dan radioaktivitas dapat diikuti ke dalam
duodenum.
18
Pada Kolelitiasis, Batu empedu akan terlihat sebagai gambaran
hiperekoik yang bebas pada kandung empedu serta khas membentuk
bayangan akustik dibawahnya. Batu yang kecil dan tipis kadang-kadang
tidak memperlihatkan bayangan akustik. Pada keadaan yang meragukan
perubahan posisi penderita, misalnya duduk, sangat membantu.
Pada penderita-penderita yang diduga dengan obstruksi saluran empedu,
USG merupakan pemeriksaan pertama dari serangkaian prosedur
pencitraan. Saluran empedu intra hepatic akan mudah dilihat bila terjadi
pelebaran karena selaluberjalan periportal anterior. Hal ini menjadi sangat
penting karena pelebaran saluran empedu ini kadang-kadang sudah
terlihat sebelum bilirubin darah meningkat.
Bila kita ragu-ragu apakah suatu duktus koledukus melebar arau tidak,
maka pemeriksaan dilakukan setelah penderita diberi makan lemak lebih
dahulu. Pada keadaan obstruksi duktus koledukus, maka setelah fatty
meal tersebut akan terlihat lebih lebar, sedangkanpelebaran fisiologik,
misalnya pada usia tua, diman elastisitas dinding saluran sudah
berkurang, maka diameternya akan menjadi lebih kecil.
Pada dasarnya lebar saluran empedu sangat bergantung pada berat atau
tidaknya obstruksi yang terjadi. Pada penderita-penderita yang
mengalami obstruksi sebagian (partial obstruction) baik disebabkan oleh
duktus koledukus, tumor papila vateri ataukolangitis sklerosis, kadang-
kadang tidak memperlihatkan pelebaran saluran empedu sama sekali,
tetapi mungkin saja dijumpai pelebaran yang berkala.
Pada setiap pelebaran duktus koledukus, pemeriksaan terhadap kaput
pankreas dan duktus pankreatikus wirsungi adalah sangat membantu
dalam menentukan lokasi sumbatan tersebut. Pada umumnya terhadap
penderita-penderita dengan ikterus yang tidak ditemukan adanya
saluran empedu yang melebar, maka dugaan kita beralih kepada
kelainan-kelainan parenkim hati misalnya pada sirosis hati, hepatitis,
maupun metastasis, yang pada umumnya dapat dibedakan dari parenkim
hati normal.
19
Pelebaran saluran empedu merupakan tabung (tubukus) yang anekoik
(cairan) dengan dinding hiperekoik yang berkelok-kelok dan sering
berlobulasi. Kadang-kadang berkonfluensi membentuk gambaran
stellata yang tidak terdapat pada vena portae. Pada dinding bawah
bagian posteriornya mengalami penguatan akustik (acoustic
enhancement), kadang-kadang dijumpai suatu keadaan dimana lokasi
obstruksi traktus biliaris sangat sukar dideteksi, maka pemeriksaan
lanjutan seperti kolangiografi transhepatik (PTC) atau retrograd
endoskopik kolangiopankreatikografi (ERCP) sangat diperlukan.
Kekurangan pengisian kandung empedu menunjukkan adanya
obstruksi duktus sistikus dan tanda-tanda kolesistitis akuta.
Kolesskintigrafi salah satu prosdur yang dapat mendeteksi obstruksi
duktus biliaris sebelum dilatasi duktus timbul dan dapat dilihat dengang
ultrasounografi. Berguna untuk mendeteksi atresia biliaris pada neonatus
dan kebocoran empedu oleh berbagai penyebab.
Endoscopy Retrograde Cholangiography (ERC)
Memberi injeksi langsung duktus koledokus dengan bahan kontras. Ini
nilai spesial dalam mendeteksi batu di dalam duktus koledokus dan
radang serta kelainan neoplastik duktus. Papilotomi, biopsi, mencari
keterangan batu dari duktus biliaris, striktura dilatasi dan penempatan
nasobiliari stent untuk membebaskan obstruksi semua mungkin dengan
ERCP (Percutaneus Transhepatic Cholangiography” dilakukan dengan
penyuntikan bahan kontras dibawah fluoroscopy melalui jarum sempit,
gauge berada di dalam parenkim hati.ini penting, sama alasannya dengan
20
Gambar 5 . ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstra dan
intrahepatik
ERC dan keuntungannya memungkinkan operator mengadakan drainage
empedu, bila perlu biopsi jarum (needle biopsy). Drainage dari kumpulan
cairan dan menempatkan eksternal dan internal drainage stents dpat
dikerjakan secara percutan.
Computed tomography (CT)
CT tidak begitu bernilai dalam mengevaluasi kandung empedu
dan sistem duktus dari pada metoda yang lain, tetapi berguna pada studi
neoplasma parenkim hati. Dalam penentuan gas di dalam vena porta lebih
sensitif dari pada foto polos. CT sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi
dan menentukan komposisi batu.
Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas
yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga
dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau
udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang
terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena
terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum
rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas
daripada dengan palpasi biasa.
Pada saat ini kegunaan utama USG dalam pemeriksaan saluran
empedu adalah untuk menentukan ikterus, apakah berasal dari kelainan
hepatoseluler atau karena obstruksi saluran empedu. Namun demikian
sampai saat ini belum ada zat kontras yang dapat digunakan seperti
halnya pada kolesistografi. Di dalam parenkim hati, kita harus dapat
21
membedakan pelebaran saluran empedu dari vena hepatika serta vena
porta.
Ultrasonografi kandung empedu (GB-US) telah menggantikan
kolesistografi oral sebagai cara imaging utama karena ini menawarkan
bermacam-macam keuntungan yaitu tidak mempergunakan sinar x, tidak
perlu menelan kontras.
Gambar 6 . gambaran kolelitiasis pada USG
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik
karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu
radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu.
Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah,
kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis
karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi
kandung empedu.
Gambar 7. gambaran kolelitiasis pada kolesistografi
22
Kolesistografi oral ditemukan pertama kali 70 tahun yang lalu
dan banyak diadakan perubahan kontras nontoxic iodinated organic
compound diberikan oral yang diserap didalam usus kecil, diekskresi
oleh hati dan dipekatkan di dalam empedu memberikan kesempatan
untuk menemukan batu kandung empedu yang tidak mengapur sebelum
operasi. Dapat pula dideteksi kelainan intra abdominal lain dari
kandung empedu.
Kolesistografi intra vena dikerjakan sebagai pengganti kolesistografi oral.
Bahan kontras di pergunakan adalah iodipamide (biligrafin yang
mengandung iodine 50%).
Tatalaksana
Penatalaksanaan kolelitiasis berdasarkan klinis pasien, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
terdapat simptomatis, asimptomatis kolelitiasis dan kolelitiasis yang disertai dengan komplikasi.
a) Batu empedu asimtomatik5
Pada umumnya, kolesistektomi profilaksis saat ini tidak dianjurkan untuk
penanganan batu empedu yang asimptomatik. Hal ini disebabkan rendahnya kejadian
timbulnya gejala ataupun komplikasi pada penderita batu empedu yang asimptomatik.
Hal ini juga berlaku pada penderita diabetes. Meski demikian, karena tingginya
morbiditas dan mortalitas pada operasi emergensi pada pasien diabetes, penanganan
segera dilakukan begitu gejala awal timbul. Kolesistektomi insidental pada pasien batu
empedu asimtomatik yang menjalani operasi abdomen nonbilier. Yang pasti,
kolesistektomi insidental tidak dianjurkan pada pasien dengan risiko komplikasi tinggi,
misalnya pada sirosis dan hipertensi portal. Tidak didapatkan data yang cukup mengenai
tindakan kolesistektomi profilaksis pada pasien dengan anemia sel sabit, kolelitiasis
asimptomatik pada anak, pasien dengan terapi imunosupresi, yang akan menjalani
23
transplantasi, dan mereka yang tidak dapat menjangkau pelayanan kesehatan yang
memadai untuk jangka panjang. Risiko kanker kandung empedu pada pasien kolelitiasis
juga sangat rendah (1/1000 pasien pertahun), kecuali pada pasien dengan kandung
empedu yang mengalami kalsifikasi (porcelain gallbladder), yang mempunyai risiko
kanker hingga 25%, bahkan pada kandung empedu yang tidak mengandung batu.
b) Batu Empedu Simptomatik
Jika penderita batu empedu mulai mengalami keluhan (simptomatik), angka
rekurensi tinggi. Karenanya, setiap pasien perlu diterapi. Kesulitan yang dialami adalah
menentukan gejala mana yang disebabkan oleh batu empedu. Nyeri bilier yang khas
adalah nyeri yang hebat, episodik, berlokasi pada epigastrium atau kanan atas, berakhir 1-
5 jam, dan dapat membangunkan pasien saat tidur di malam hari. Hampir 90% pasien
dengan keluhan khas ini dapat hilang keluhannya setelah diterapi. Pasien dengan risiko
tinggi untuk anestesi umum diterapi secara nonoperatif. Hasil dari penanganan pasien
dengan batu empedu kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasien dengan
keluhan nyeri yang tidak khas ataupun dengan keluhan dispepsia (intoleransi makanan
berlemak, kembung, dan sering bersendawa). Pada penderita tersebut, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut untuk mencari penyebab lain, seperti
irritable bowel syndrome (IBS), ulkus peptikum, atau refluks esofageal.
c) Kolelitiasis dengan komplikasi
batu empedu mempunyai potensi membahayakan jiwa dan perlu penanganan yang sesuai
dan segera, sesuai dengan jenis komplikasi yang timbul. Pada kolesistitis akut
penanganan kolesistektomi dini (24-48 setelah gejala awal timbul) kini lebih banyak
dianut ketimbang kolesistektomi yang ditunda. Pada kolangitis, terapi meliputi terapi
suportif, antibiotika, dan dekompresi. Terapi sindrom Mirizzi tipe I adalah
kolesistektomi, sedangkan tipe II meliputi parsial kolesistektomi dan anastomosis
bilioenterik
Penatalaksanaan Non- Bedah.6
24
- Disolusi
Terapi disolusi dengan asam kenodeoksikolat (chenodeoxycholic acid, CDCA) pertama
kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Mekanisme kerjanya dengan mereduksi
sifat lithogenik dan derajat saturasi kolesterol dengan asam empedu melalui inhibisi
selektif terhadap enzim hydroxymethylglutaryl (HMG)-CoA reduktase yang berperan
dalam biosintesis kolesterol. Namun, karena efektivitasnya yang rendah dan dengan
mempertimbangkan efek samping yang ditimbulkan, penggunaannya tergantikan oleh
asam ursodeoksikolat. Penggunaan asam empedu untuk melarutkan batu empedu cukup
efektif pada pasien simptomatik dengan batu kolesterol kecil (kurang dari 5 mm) yang
mengambang pada kandung empedu yang fungsional. Keadaan ini ditemukan pada 15%
pasien batu empedu simptomatik. Terapi ini membutuhkan pemberian obat selama 6-12
bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi. Keefektivan terapi ini mencapai
60% pada batu berukuran kurang dari 10 mm dan 90% pada batu empedu berukuran
kurang dari 5 mm. Tetapi, hampir separuhnya mengalami rekurensi dalam 5 tahun.
Angka rekurensi lebih rendah pada batu tunggal, individu yang tidak gemuk, dan
penderita muda. Saat ini, indikasi terapi disolusi dengan asam empedu terbatas pada
pasien dengan kondisi komorbid yang tidak memungkinkan operasi secara aman dan
pada pasien yang menolak operasi.
- Disolusi kontak
Di akhir tahun 1980-an, kelompok peneliti dari klinik Mayo memperkenalkan konsep
kolesistolitolisis transhepatik secara perkutan. Metode ini didasarkan pada prinsip PTC
dan instilasi langsung pelarut kolesterol ke kandung empedu. Dengan anatesi lokal,
pigtail catheter dimasukkan perkutan melalui parenkim hati ke dalam kandung empedu.
Hal ini dapat dilakukan dengan tuntunan fluoroskopi atau USG. Pelarut poten kolesterol,
seperti methyltert-butylether dan monooctanoin, kemudian diinfuskan secara langsung ke
dalam kandung empedu. Pada pemberian methyltert-butylether, pembatasan waktu
kontak antara instilasi dan aspirasi sangat diperlukan untuk mencegah tumpahnya pelarut
ini ke dalam duktus biliaris. Bila hal ini terjadi, keluhan nyeri perut yang transien dan
duodenitis dapat timbul. Angka rekuresi tindakan ini mencapai 10% pertahun.
25
- Litotripsi (ExtracorporalShock WaveLithotripsy, ESWL)
ESWL diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an. Para peneliti di Jerman
mendapatkan hasil hilangnya batu pada 95% pasien simptomatik dengan batu empedu
yang tidak mengalami kalsifikasi dengan diameter berukuran kurang dari 20 mm pada
kandung empedu yang fungsional. Keberhasilan mencapai 60% pada batu serupa yang
berukuran 20-30 mm. Kelompok yang diindikasikan mendapat terapi ini mencakup 16%
pasien batu empedu yang simptomatik secara keseluruhan. Efektivitas ESWL
memerlukan terapi adjuvan asam ursodeoksikolat. Rekurensi jarang timbul pada pasien
dengan batu tunggal, namun lebih sering pada batu multipel. Komplikasi ESWL
umumnya ringan, seperti peningkatan sementara kadar enzim liver, nyeri bilier sementara
(20-40%), pankreatitis ringan (1-2%), hemobilia dan hematuria (8-14%). Meski
demikian, sampai saat ini FDA belum memberikan izin bagi pemakaian ESWL untuk
terapi batu empedu di Amerika Serikat.
Penatalaksanaan Bedah
- Kolesistektomi terbuka.7
Kolesistektomi terbuka pertama kali diperkenalkan oleh Langenbuch (1882) dan lebih
dari 100 tahun menjadi terapi pilihan untuk mengobati penderita batu empedu yang
simptomatik. Pada laparotomi, visualisasi langsung dan palpasi kandung empedu, duktus
biliaris, duktus sistikus, dan pembuluh darah memungkinkan diseksi dan pengangkatan
batu empedu secara aman dan akurat. Kadang kala kolangiografi intraoperatif dilakukan
sebagai tambahan. Eksplorasi CBD saat operasi bervariasi antara 3-21%. Komplikasi
yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, biloma, dan infeksi.
Kolesistektomi terbuka masih merupakan tindakan pembanding terhadap metode terapi
yang lain dan merupakan alternatif terapi bedah yang aman. Data baru-baru ini
menunjukkan angka mortalitas pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka yang
elektif hampir mencapai nol persen. Dari 42.000 pasien yang menjalani kolesistektomi
terbuka pada tahun 1989. Angka kematian secara keseluruhan 0,17%, pada pasien kurang
dari 65 tahun, angka kematian 0,03% sedangkan pada penderita di atas 65 tahun, angka
kematian mencapai 0,5%. Komplikasi pascaoperasi yang sering dijumpai dibagi menjadi
26
komplikasi bilier dan nonbilier. Komplikasi tersering adalah sisa batu pada CBD, leakage
atau fistula bilier, atau trauma traktus bilier.
Post-cholecystectomy syndrome8 adalah keluhan nyeri epigastrium atau perut kanan atas
yang episodik dan tidak berkaitan dengan makanan setelah seseorang menjalani
kolesistektomi. Nyeri tersebut biasanya berupa kolik dan intemiten, namun dapat pula
konstan dan berlangsung 24-48 jam. Biasanya mengenai seorang perempuan setengah
baya yang pernah kolesistektomi beberapa bulan atau tahun sebelumnya. Jika nyeri
mereda, pemeriksaan abdomen dan laboratorium biasanya normal. Etiologi pasti
timbulnya nyeri tidak jelas. Dugaan yang umum adalah adanya peningkatan tekanan di
dalam ampula Vateri karena obstruksi intermiten dari sfinkter Oddi. Hal ini dapat timbul
akibat kelainan organik (batu, neoplasma duktus, fibrosis papiler) atau kelainan
fungsional mekanisme sfinkter akibat diskinesia bilier. Asumsi lain yang berkembang
adalah adanya cystic stump syndrome, yaitu terbentuknya batu pada sisa duktus sistikus
yang panjang, dan cystic duct neuroma, berupa jaringan saraf yang mengalami transeksi
dan terperangkap di dalam jaringan fibrosis serta menghasilkan nyeri. Adanya nyeri
pasca operasi juga perlu dipikirkan penyebab lain.
- Kolesistektomi minilaparotomi
Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi yang lebih kecil dengan
efek nyeri pascaoperasi yang lebih rendah.
- Kolesistektomi laparoskopi
Dikembangkan sejak tahun 1987, kolesistektomi laparoskopi sekarang menjadi terapi
pilihan untuk penderita batu empedu yang simptomatik. Di seluruh dunia, 75% tindakan
kolesistektomi dilakukan dengan laparoskopi. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri
pascaoperasi yang lebih minimal, pemulihan yang lebih cepat, hasil kosmetik yang lebih
baik, menyingkatkan masa perawatan di rumah sakit, dan biaya yang lebih murah.
Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontraindikasi absolut serupa
dengan tindakan terbuka, yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anastesi umum dan
koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Tindakan ini mempunyai angka morbiditas dan
mortalitas yang minimal. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis,
27
leakage dari stump duktus sistikus, dan trauma duktus biliaris. Risiko trauma duktus
biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5-1%. Kolesistitis akut
awalnya menjadi kontraindikasi relatif untuk menjalani kolesistektomi laparoskopi.
Namun ternyata, bila dilakukan sesuai dengan prosedur, tindakan laparoskopi dapat
dilakukan dengan aman. Pada kondisi klinis kolesistitis akut ini, operator harus
memahami kesulitan teknik yang mungkin timbul, lama operasi yang lebih panjang, serta
besarnya kemungkinan konversi tindakan menjadi kolesistektomi terbuka (25%).
- Kolesistostomi
Drainase kandung empedu, dikombinasikan dengan pengambilan batu, dapat dilakukan
secara perkutan atau melalui operasi dengan anatesi lokal. Indikasinya terbatas pada
pasien dengan risiko operasi yang buruk dan pasien batu empedu obstruksi dengan
keadaan umum yang jelek. Kadang-kadang, kolesistostomi merupakan pilihan jika
kolesistektomi terbuka tidak aman untuk dilakukan. Angka kematian mencapai 10-12%,
biasanya berkaitan dengan penyakit penyerta.
- Kolangiografi intraoperative
Kemajuan bedah laparoskopi menjadikan tindakan kolangiografi intraoperatif menjadi
perdebatan. Tindakan kolangiografi intraoperative pada pasien yang menjalani
kolesistektomi terbuka dilakukan secara selektif, yaitu pada pasien dengan
koledokolitiasis yang teraba, distensi CBD dan adanya batu empedu yang multipel.
Namun demikian, belum ada kesepakatan pemakaiannya pada tindakan secara
laparoskopi. Peran kolangiografi, bagaimanapun, cukup membantu dalam mendeteksi
batu di CBD dan mengkonfirmasi adanya kelainan anatomis pada duktus.
- Kholedoskopi intraoperatif pada eksplorasi terbuka CBD
Pada kebanyakan laporan operasi dikatakan batu empedu yang tertinggal saat eksplorasi
CBD berkisar 10 %, akan tetapi dengan kolangiografi intraoperatif dapat menurunkan
insidensi. Banyak yang menganjurkan penggunaan koledoskopi untuk menurunkan
insidensi batu empedu yang tertingal.
- Operasi untuk batu CBD
Sekitar 12% pasien kolelitiasis simptomatik yang menjalani operasi juga disertai adanya
koledokolitiasis. Indikasi adanya kolelitiasis 90% ditunjukkan dengan adanya riwayat
ikterus, kolangitis, pankreatitis, dan tes fungsi hepar yang abnormal. Terapi yang optimal
28
meliputi pengangkatan batu pada CBD dan kandung empedu. Hal ini dapat dikerjakan
dengan dua tahap, yaitu ERCP yang dikuti dengan kolesistektomi laparoskopi atau
melalui satu tahap yaitu kolesistektomi dan eksplorasi CBD secara laparoskopi ataupun
dengan operasi terbuka. Angka morbiditas dan mortalitas bedah terbuka lebih tinggi dari
tindakan laparoskopi. Berdasarkan penelitian terakhir efektifitas tindakan eksplorasi CBD
secara laparoskopi tidak berbeda bermakna dengan ERCP dalam mengangkat batu CBD.
Pilihan diantara keduanya tergantung pada kemampuan sarana dan keahlian.
Pada pasien yang tua dan lemah, ERCP dan sfinkterotomi serta ekstraksi batu tanpa
kolesistektomi dapat dipertimbangkan, mengingat timbulnya gejala lebih lanjut hanya
terjadi pada 10% kasus. Jika dicurigai adanya batu CBD pada pasien yang sudah
menjalani kolesistektomi, ERCP dapat digunakan untuk mendiagnosis dan mengekstraksi
batu. Pengangkatan batu menggunakan dormia basket atau balon. Untuk batu yang
multipel, pigtail stent diinsersi untuk drainase empedu; hal ini akan memungkinkan
keluarnya batu. Batu yang besar atau keras dihancurkan dengan litotriptor mekanik. Jika
ERCP tidak memungkinkan, batu diangkat secara bedah.
29
BAB III
KESIMPULAN
Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di dalam saluran
empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di
dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis. Batu empedu biasanya menimbulkan gejala dan
keluhan bila batu menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu, gambaran
klinis penderita batu empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar
bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone). Kejadian batu kandung empedu atau kolelitiasis di
negara-negara industri antara 10- 15%. Di Amerika Serikat, insiden kolelitiasis diperkirakan 20
juta orang, dengan 70% diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30% sisanya terdiri dari
batu pigmen dan komposisi yang bervariasi. Pada penelitian yang dilakukan oleh Divisi
Hepatologi, Departemen IPD FKUI/RSCM Jakarta tahun 2009 pada 51 pasien didapatkan batu
pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien. Prevalensi tergantung pada jenis
kelamin, usia, etnis, dan lain sebagainya. Kasus batu empedu lebih umum ditemukan pada
wanita. Faktor resiko batu empedu memang dikenal dengan 4-F, yaitu Fatty (gemuk), Fourty (40
Th ), Fertile (subur), dan Female (wanita). Wanita lebih beresiko mengalami batu empedu karena
pengaruh hormon estrogen.
Walaupun batu empedu dapat terjadi di mana saja dalam saluran empedu, namun batu
kandung empedu ialah yang tersering didapat. Bila batu empedu ini hanya berada dalam kandung
empedu biasanya tidak menimbulkan gejala apapun. Gejala-gejala yang biasanya timbul bila
batu ini keluar menuju duodenum melalui saluran empedu dapat menyebabkan kolik bilier akibat
iritasi, hidrops, atau empiema akibat obstruksi duktus sisitikus. Bila obstruksi terjadi pada duktus
koledokus maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan kadang-kadang sirosis bilier.
Jika batu kandung empedu tidak menimbulkan gejala biasanya pasien tidak memerlukan
tindakan operasi, namun cukup dengan pemberian obat-obatan. Meski demikian, kebanyakan
kasus batu kandung empedu yang membutuhkan tindakan operasi yang disebut kolesistektomi.
Saat ini operasi sudah biasa dilakukan dengan laparaskopi atau bedah minimal. Dengan hanya
sayatan kecil, proses pemulihannya dapat lebih cepat. Bedah minimal juga hanya menimbulkan
30
sedikit nyeri dan kalaupun terjadi komplikasi hanya ringan saja, tidak seperti bedah terbuka. Ada
pula kasus yang mengharuskan kandung empedu diangkat. Walaupun organ ini sudah dibuang,
seseorang tetap bisa melanjutkan kehidupannya dengan normal dan produktif karena sebenarnya
kandung empedu hanya berfungsi sebagai tempat penampungan. Setelah menjalani
pengangkatan kandung empedu, pasien sebaiknya memperhatikan pola makan, yaitu dengan
membatasi asupan makanan berlemak atau berminyak. Pengobatan pada kolelitiasis tergantung
pada tingkat dari penyakitnya.
31
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat. Saluran empedu dan hati. In:Buku Ajar Ilmu Bedah. 2002. Jakarta:EGC.
p.663-9.
2. Meyers WC, Jones RS. Gallstones. In: Textbook of liver and biliary surgery. JB
Lippincott Co:Philadelphia.1990.p.228
3. Harris HW. Billiary system. In:Surgery, Basic science and clinical evidence. Norton JA
et al:New York.2000.p.553-84
4. Beckingham IJ. Gallstones disease, clinical review. In:BMJ.2001.p.91-4
5. Gallstones and laparoscopic cholecystectomy. National institute of health concensus
development conference statement.1992.19(3).p.1-2.
6. Giurgiu DIN, Roslyn JJ. Calculous Biliary Diseases, In: Nyhus Greenfield Mastery of
Surgery; 3rd e d; CR-Room. WB Saunders Co,chapter 41.
7. Munson JW, Sanders LE. Cholecystctomy revisited. In: The Surgical Clinics of North
America, Vol. 74, No. 4, 1994: 741-54
8. Moody,Frank G; Kwong, Karen; PostChloecystectomy syndrome; in the Practise of
General surgery; Bland Kirby I;1st ed: W B Sauders:Philadelphia.2002.p.653-8.
32