33
1 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya maka tugas referat yang berjudul RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya. Penyusunan tugas referat ini merupakan salah satu tugas selama mengikuti kepaniteraan di SMF Anestesi di RSU Haji Surabaya. Penulis mengucapkan rasa terima kasih terhadap pihak-pihak yang telah membantu penyusunan tugas referat ini, terutama kepada dr. Arif Basuki, Sp.An yang telah bersedia memberi bimbingan agar tugas referat ini tersusun baik. Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas referat ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran selalu kami harapkan. Besar harapan penulis semoga tugas referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta penyusun pada khususnya.

referat CPR

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat resusitasi jantung paru menjelaskan urutan cara resusitasi dan penanganan kegawatdaruratan awal pada kasus trauma

Citation preview

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan

karunia-Nya maka tugas referat yang berjudul RESUSITASI JANTUNG PARU

OTAK ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Penyusunan tugas referat ini merupakan salah satu tugas selama mengikuti

kepaniteraan di SMF Anestesi di RSU Haji Surabaya.

Penulis mengucapkan rasa terima kasih terhadap pihak-pihak yang telah

membantu penyusunan tugas referat ini, terutama kepada dr. Arif Basuki, Sp.An yang

telah bersedia memberi bimbingan agar tugas referat ini tersusun baik.

Penulis menyadari bahwa penyusunan tugas referat ini masih jauh dari

kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran selalu kami harapkan. Besar harapan penulis

semoga tugas referat ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya serta

penyusun pada khususnya.

Surabaya, Juni 2012

Penyusun

Irna Farah Nadiansyah

2

BAB 1

PENDAHULUAN

Di Amerika penyakit jantung merupakan pembunuh nomor satu. Setiap

tahun hampir 330.000 warga Amerika meninggal karena penyakit jantung.

Setengahnya meninggal secara mendadak, karena serangan jantung (cardiac

arrest). Dari semua kejadian serangan jantung, 80% serangan jantung terjadi di

rumah, sehingga setiap orang seharusnya dapat melakukan resusitasi jantung paru

(RJP) atau Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Menurut American Heart

Association bahwa rantai kehidupan mempunyai hubungan erat dengan tindakan

resusitasi jantung paru, karena bagi penderita yang terkena serangan jantung,

dengan diberikan RJP segera maka akan mempunyai kesempatan yang amat

besar untuk dapat hidup kembali.

Resusitasi jantung paru otak merupakan metode untuk mengembalikan

fungsi pernafasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti nafas dan

henti jantung serta menghindari kerusakan otak akibat hipoksia yang disebabkan

karena henti sirkulasi.

Tahun 2010 American Heart Association (AHA), dalam Higlights of the

2010 American Heart Association Guidelines for CPR and ECC yang diterbitkan

2 November 2010, mempublikasikan Pedoman Cardiopulmonary Resucitation

(CPR) dan Perawatan Darurat Kardiovaskular 2010. Kehadiran rekomendasi baru

ini tidak untuk menunjukkan bahwa pedoman sebelumnya tidak aman atau tidak

efektif, melainkan untuk menyempurnakan rekomendasi terdahulu.

3

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Defenisi

Resusitasi Jantung Paru Otak yang bias kita kenal dengan nama RJPO

atau Cardiopulmonary Resuscitation adalah usaha untuk mengembalikan fungsi

pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jntung.

Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-

usaha untuk mencegah berlanjutnya episode henti jntung menjadi kematian

biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi

pernafasan dan atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal

kembali setelah fungsi pernafasan dan atau sirkulasi gagal.

Henti nafas adalah tidak adanya pergerakan dada dan aliran udara

pernafasan dari pasien. Bisa diakibatkan karena tenggelam, penyakiat staroke,

obstruksi jalan nafas, epiglotitis, overdosis obat-obatan, infark miokardium,

tersengat listrik, dan lain sebagainya. Sedangkan henti jantung itu sendiri bisa

didefinisikan sebagai ketidaksanggupan curah jantung untuk memenuhi

kebutuhan O2 ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan dapat

kembali normal jika dilakukan tindakan pertolongan yang cepat dan tepat. Hal ini

berarti henti jantung bisa disebabkan oleh berbagai hal misalnya penyakit yang

sebelumnya diderita, bisa juga tanpa adanya penyakit yng mendahului, namun

keduanya sama-sama terjadi mendadak dan masih bersifat reversible.

Resusitasi jantung paru bertujuan untuk mengembalikan fungsi

pernafasan dan atau sirkulasi, dan penanganan akibat henti nafas dan atau henti

jantung, yang mana fungsi tersebut gagal total oleh sebab yang memungkinkan

untuk hidup normal.

4

2.2 Indikasi Resusitasi Jantung Paru Otak

1. Henti Napas

Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak

hal misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi

asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tesengat listrik,

tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglotis, tercekik

(suffocation), trauma dan lain-lainnya.

Pada awal henti napas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,

pemberian O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa

menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan segera maka pasien akan

teselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan berakibat henti

jantung yang mungkin menjadi fatal.

Indikasi RJPO untuk orang awam adalah henti nafas, bahkan hilangnya

kesadaran dapat langsung dilakukan RJPO. Bila terjadi henti nafas primer,

jantung dapat terus memompa darah selama beberapa menit selama ada sisa

oksigen dalam paru yang beredar ke otak dan organ lain. Penanganan dini

pada pasien henti nafas dapat mencegah henti jantung.

a. aliran udara di hidung atau mulut tidak dapat didengar atau dirasakan

b. pada gerakan nafas spontan terlihat retraksi supraklavikula dan sela iga

serta tidak ada pengembangan dada saat inspirasi

c. adanya kesulitan inflasi paru dalam usaha memberikan ventilasi buatan

d. bisa disertai bunyi nafas tambahan (snoring, wheezing)

e. dapat disertai retraksi

f. pada keadaan klinis dapat diketahui:

- hiperkarbia: penurunan kesadaran, peningktan CO2 arteri

5

- hipoksemia: takikardi, gelisah, berkeringat, sianosis

2. Henti Jantung

Henti jantung primer (cardiac arrest) ialah ketidak sanggupan curah

jantung untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya

secara mendadak dan dapat balik normal, kalau dilakukan tindakan yang

tepat atau akan menyebabkan kematian atau kerusakan otak. Henti jantung

terminal akibat usia lanjut atau penyakit kronis tentu tidak termasuk henti

jantung atau cardiac arrest. Tanda-tanda henti jantung, antara lain :

a. hilangnya kesadaran dalam waktu 10-20 detik setelah henti jantung

b. henti nafas (apnea) yang muncul setelah 15-20 detik henti jantung

c. terlihat seperti mati, yang ditandai warna kulit pucat sampai kelabu

d. pupil dilatasi dalam waktu 45 detik setelah henti jantung

e. tidak teraba denyut arteri yang muncul setelah henti jantung

Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi ventrikel atau

takikardi tanpa denyut (80-90%), kemudian disusul oleh ventrikel asistol

(+10%) dan terakhir oleh disosiasi elektro-mekanik (+5%). Dua jenis henti

jantung yang terakhir lebih sulit ditanggulangi karena akibat gangguan

pacemaker jantung. Fibirilasi ventrikel terjadi karena koordinasi

aktivitas jantung menghilang. Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar

tak teraba (karotis, femoralis, radialis) disertai kebiruan (sianosis) atau pucat

sekali, pernapasan berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak

bereaksi terhadap rangsang cahaya dan pasien tidak sadar.

Pengiriman O2 ke otak tergantung pada curah jantung, kadar

hemoglobin (Hb), saturasi Hb terhadap O2 dan fungsi pernapasan. Iskemi

melebih 3-4 menit pada suhu normal akan menyebabkan kortek serebri rusak

menetap, walaupun setelah itu dapat membuat jantung berdenyut kembali.

6

2.3 Fase Resusitasi Jantung Paru Otak

Resusitasi jantung paru otak dibagi menjadi 3 fase diantaranya:

1. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat

mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana

melakukan RJP secara benar, yaitu terdiri dari :

A (Airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.

B (Breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuat.

C (Circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi

jantung paru.

2. Bantuan Hidup Lanjutan (Advance Life Support), yaitu tunjangan hidup dasar

ditambah dengan:

D (Drugs and fluids) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.

E (ECG) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin

setelah dimulai KJL, untuk mengetahui apakah ada

fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular

complexes.

F (Fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.

3. Bantuan Hidup Perpanjangan (Prolonged Life Support).

G (Gauging) : pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring

penderita secara terus menerus, dinilai, dicari

penyebabnya dan kemudian mengobatinya.

H (Human Mentation) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah

manusia yang mempunyai perasaan, karena itu

semua tindakan hendaknya berdasarkan

perikemanusiaan.

7

I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan

ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus

menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila

diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan

kejang.

2.4 Basic Life Support

Pada dasarnya resusitasi jantung paru terdiri dari 2 elemen: kompresi dada

dan mulut-ke-mulut (mouth-to-mouth) napas buatan. Sebelum menolong korban,

hendaklah menilai keadaan lingkungan terlebih

dahulu:

1. Apakah korban dalam keadaan sadar?

2. Apakah korban tampak mulai tidak sadar, tepuk atau goyangkan bahu korban

dan bertanya dengan suara keras “Apakah Anda baik-baik saja?”

3. Apabila korban tidak berespon, mintalah bantuan untuk menghubungi rumah

sakit terdekat, dan mulailah RJP

A. Airway (Jalan Napas)

Posisikan korban dalam keadaan terlentang pada alas yang keras

(ubin), bila diatas kasur selipkan papan. Periksa jalan napas korban sebagai

berikut :

o membuka mulut korban

o masukkan 2 jari (jaritelunjuk dan jari tengah)

o lihat apakah ada benda asing, darah, (bersihkan)

Pada korban tidak sadar, tonus otot menghilang, sehingga lidah akan

menyumbat laring. Lidah dan epiglottis penyebab utama tersumbatnya jalan

8

napas pada pasien tidak sadar. Lidah yang jatuh kebelakang(drop), menutpi

jalan napas. Beberapa cara untuk membebaskan jalan napas:

o Letakkan tangan penolong diatas kening korban dan tangan yang lain

didagu korban , tengadahkan/dongakkan kepala korban (Head tilt - chin

lift).

o Jika kita mencurigai adanya patah atau fraktur tulang

leher/servikal, maka pakai cara “jaw trust”, lalu buka jalan napas.

B. Breathing (Pernapasan)

Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara:

o Look: lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.

o Listen: dengarkan suara napas korban ada atau tidak

HEAD TILT CHIN LIFT

JAW THRUST

9

o Feel: rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung ada atau tidak.

Jika tidak ada maka dapat dilakukan napas buatan mulut ke mulut atau mulut

ke sungkup, atau mulut ke hidung atau mulut ke lubang trakheostomi sebanyak 2

kali.

C. Circulation (Sirkulasi)

Algoritma Adult Basic Life Support yang secara luas dikenal adalah suatu

konsep kerangka untuk semua tingkatan penolong pada setiap kondisi. Aspek

dasar dalam BLS meliputi pengenalan (recognition) secara cepat henti jantung

yang tiba-tiba dan aktivasi emergency response system (activation), resusitasi

jantung paru yang dini (resuscitation), dan defibrilasi yang cepat (defibrillation)

dengan Automated External Defibrillator (AED). Pengenalan dan respon yang dini

terhadap serangan jantung dan stroke juga termasuk bagian dari BLS.

a. Pengenalan henti jantung secara cepat dan aktivasi emergency response system

Ketika menjumpai seorang penderita yang mengalami henti jantung

secara tiba-tiba, penolong yang seorang diri harus pertama kali mengenali

bahwa penderita telah mengalami henti jantung, berdasarkan pada tidak

adanya atau berkurangnya respon nafas. Setelah memastikan bahwa lokasi

sekitar aman, penolong harus memeriksa respon penderita dengan cara

10

menepuk pundak penderita dan memanggil penderita. Setelah itu baik

penolong yang terlatih maupun yang tidak terlatih harus segera mengaktifkan

emergency response system (dengan menghubungi nomor darurat yang

tersedia). Setelah mengaktifkan emergency response system semua penolong

harus segera memulai RJP.

b. Pengecekan nadi

Penolong harus memeriksa nadi dalam waktu kurang dari 10 detik.

Dilakukan dengan menilai denyut arteri besar (arteri karotis, arteri femoralis)

dan harus segera melakukan kompresi dada jika tidak menemukannya. Bagi

penolong yang tidak terlatih, pijat jantung dimulai jika pasien tidak responsif

dan napas tidak normal, tanpa meraba adanya denyut karotis atau tidak.

c. Resusitasi Jantung Paru

Kompresi dada

Kompresi dada terdiri dari pemberian tekanan yang ritmis dan

bertenaga pada setengah bawah sternum. Kompresi ini akan menciptakan

aliran darah dengan cara meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara

langsung menekan jantung. Hal ini menimbulkan aliran darah dan oksigen

menuju miokardium dan otak. Kompresi dada yang efektif penting untuk

menyediakan aliran darah selama RJP. Karena alasan ini semua penderita

henti jantung harus mendapatkan kompresi dada. Untuk memperoleh

11

kompresi dada yang efektif, tekan secara kuat dan cepat (push hard and

push fast). Kecepatan kompresi harus mencapai paling sedikit 100 x/menit

dengan kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm). Penolong harus

memberi kesempatan agar daya rekoil paru dapat terjadi sempurna setiap

kali sehabis kompresi, untuk memberi kesempatan jantung mengisi

kembali secara penuh sebelum kompresi berikutnya. Penolong seharusnya

mencoba untuk mengurangi frekuensi dan durasi gangguan yang terjadi

selama kompresi untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan

tiap menit.

Kompresi dada pada anak dipakai satu tangan, sedangkan untuk bayi

hanya dipakai ujung jari telunjuk dan tengah. Ventrikel bayi dan anak

kecil terletak lebih tinggi dalam rongga dada, jadi tekanan harus

12

dilakukan di bagian tengah tulang dada. Pada bayi kedalaman kompresi

adalah 1,5 inchi.

Penyelamatan pernafasan

Perubahan yang terjadi pada AHA Guidelines for CPR and ECC

2010 adalah pada rekomendasi untuk memulai kompresi sebelum

ventilasi. Meskipun tidak ada pembuktian pada manusia maupun hewan

bahwa memulai RJP dengan 30 kompresi daripada memulai dengan 2

ventilasi yang menunjukkan hasil yang lebih baik, namun jelas bahwa

aliran darah tergantung dari kompresi dada. Oleh sebab itu, penundaan

dan interupsi dari kompresi dada harus diminimalkan selama seluruh

proses resusitasi. Selain itu, kompresi dada dapat dimulai sesegera

mungkin, sedangkan memposisikan kepala, mengambil penutup untuk

pertolongan nafas dari mulut ke mulut, dan mengambil alat bag-mask

memakan banyak waktu. Memulai RJP dengan 30 kompresi daripada 2

ventilasi menghasilkan penundaan yang lebih singkat.

Begitu kompresi dada telah dimulai, seorang penolong yang terlatih

harus memberikan nafas buatan dengan cara dari mulut ke mulut atau

13

melalui bag-mask untuk memberikan oksigenasi dan ventilasi, sebagai

berikut:

o Memberikan setiap nafas buatan selama satu detik

o Berikan volume tidal yang cukup untuk menghasilkan pengembangan

dada yang terlihat (visible chest rise)

o Melakukan rasio kompresi dan ventilasi sebanyak 30:2

o Ketika jalan nafas buatan (misalnya endotracheal tube, combitu, atau

laryngeal mask airway (LMA) telah dipasang selama RJP dengan dua

orang penyelamat, berikan nafas setiap 6-8 detik tanpa menyesuaikan

nafas dengan kompresi. Kompresi dada tidak boleh berhenti untuk

memberikan ventilasi.

d. Defibrilasi dini dengan AED

Setelah mengaktifkan emergency response system, penolong yang

seorang diri harus mencari AED (Automated External Defibrilation) (bila

AED dekat dan mudah didapatkan) dan kemudian kembali ke penderita

untuk memasang dan menggunakan AED. Penolong lalu memberikan CPR

berkualitas tinggi. Bila terdapat dua atau lebih penolong, seorang penolong

harus segera memberikan kompresi dada sedangkan penolong kedua

mengaktifkan emergency response system dan mengambil AED (atau

defibrillator manual pada kebanyakan rumah sakit). AED harus digunakan

secepat mungkin dan kedua penyelamat harus memberikan RJP dengan

kompresi dada dan ventilasi. Tahapan defibrilasi :

o Nyalakan AED

o Ikuti petunjuk

o Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan

gangguan).

14

2.5 Panduan Resusitasi Jantung Paru AHA 2010

1. Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus yang

mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini

mencakup:

Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan

dari ”kurang lebih” 100 x/menit)

Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada

dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter

anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi

(sekitar 1,5 inchi (4cm) pada bayi dan 2 inchi (5cm) pada

anak-anak)

Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada

dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih

dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for

CPR and ECC

Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang

lengkap setiap kali selesai kompresi

Meminimalisasi gangguan pada kompresi dada

Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi

ventilasi yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak

termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010

meneruskan rekomendasi untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik.

Begitu jalan nafas telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan

secara terus menerus (dengan kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan

tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas buatan kemudian dapat

15

diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas

per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.

2. Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-B

Perubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-

Breathing-Circulation berubah menjadi Compression-Airway-Breathing.

Hal ini untuk menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada

yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama

merupakan sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil

100%, terutama oleh penolong yang seorang diri. Mayoritas besar henti

jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum adalah

Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada

penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah

kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C,

kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas

untuk memberikan nafas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices)

atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency

response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai

kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian dari

protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak

ada lagi look, listen, feel, sehingga komponen ini dihilangkan dari

panduan.

Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan

dimulai sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu

hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada terpenuhi, atau sekitar 18

detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti jantung diluar

rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang

disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah

satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai

dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan

16

memberikan nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada

dapat mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

3. Rata-rata kompresi

Sebaiknya dilakukan kira-kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah

kompresi dada yang dilakukan per menit selama RJP sangat penting

untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous

circulation (ROSC)) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat

untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan

kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan

kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas, memberikan nafas

buatan, dan melakukan analisis AED (Automated Electrical

Defibrilator )). Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak

dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan

kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan

hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang

adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi

yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada komponen

penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang

sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang

diberikan per menit.

4. Kedalaman kompresi

Untuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2

inch menjadi minimal 2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan

dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan

memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran

darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara

langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen

dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak.

17

5. RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)

Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun

AHA mengesahkan tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang

belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang

pingsan didepan mereka. Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih

mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih

mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa

ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang sama jika

dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.

6. Identifikasi pernafasan agonal oleh pengantar (Dispatcher

Identification of Agonal Gasps)

Penolong diajarkan untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas

atau sulit bernafas. Penyedia layanan kesehatan seharusnya diajarkan

untuk memulai RJP jika korban tidak bernafas atau pernafasan yang tidak

normal. Pengecekan kecepatan pernafasan seharusnya dilakukan sebelum

aktivasi emergency response system.

18

7. Penekanan krikoid

Penekanan krikoid adalah suatu teknik dimana dilakukan pemberian

tekanan pada kartilago krikoid penderita untuk menekan trakea kearah

posterior dan menekan esophagus ke vertebra servikal. Penekanan krikoid

dapat menghambat inflasi lambung dan mengurangi resiko regurgitasi dan

aspirasi selama ventilasi dengan bag-mask namun hal ini juga dapat

menghambat ventilasi. Saat ini penggunaan rutin penekanan krikoid tidak

lagi direkomendasikan. Penelitian menunjukkan bahwa penekanan

krikoid dapat menghambat kemajuan airway dan aspirasi dapat terjadi

meskipun dengan aplikasi yang tepat.

8. Aktivasi Emergency Response System

Aktivasi emergency response system seharusnya dilakukan setelah

penilaian respon penderita dan pernafasan, namun seharusnya tidak

ditunda. Menurut panduan tahun 2005, aktivasi segera dari sistem

kegawatdaruratan dilakukan setelah korban yang tidak merespon. Jika

penyedia pelayanan kesehatan tidak merasakan nadi selama 10 detik, RJP

harus segera dimulai dan menggunakan defibrilator elektrik jika tersedia.

9. Tim Resusitasi

Dibutuhkan suatu tim agar resusitasi berjalan dengan baik dan

efektif. Misalnya : satu penolong mengaktifkan respon sistem

kegawatdaruratan sedangkan penolong kedua melakukan kompresi dada,

penolong ketiga membantu ventilasi atau memakaikan bag mask untuk

membantu pernafasan dan penolong ke-empat mempersiapkan dan

defibrilator.

19

20

2.6 Keputusan Untuk Mengakhiri Upaya Resusitasi

Dalam keadaan darurat, resusitasi dapat diakhiri bila terdapat salah

satu dari berikut ini : telah timbul kembali sirkulasi dan ventilasi spontan yang

efektif; ada orang lain yang mengambil alih tanggung jawab; penolong terlalu

capek sehingga tidak sanggup meneruskan resusitasi; pasien dinyatakan mati;

setelah dimulai resusitasi, ternyata kemudian diketahui bahwa pasien berada

dalam stadium terminal suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau

hampir dipastikan bahwa fungsi serebral tidak akan pulih, yaitu sesudah 30

menit-1 jam terbukti tidak ada nadi pada normotermia tanpa RJPO. Pasien

dinyatakan mati bila telah terbukti terjadi kematian batang otak, fungsi spontan

pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti/irreversible.

Petunjuk terjadinya kematian otak adalah pasien tidak sadar, tidak ada

pernafasan spontan dan reflek muntah, serta terdapat dilatasi pupil yang

menetap selama 15-30 menit atau lebih, kecuali pada pasien hipotermik,

dibawah efek barbiturat, atau dalam anestesi umum. Sedangkan mati jantung

ditandai oleh tidak adanya aktivitas listrik jantung (asistol) selama paling

sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJPO dan terapi obat yang optimal.

Tanda kematian jantung adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat

keputusan mengakhiri upaya resusitasi.

21

KESIMPULAN

Reusitasi jantung paru adalah usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk

mencegah suatu episode henti jantung dengan bantuan pernapasan dan

kompresi dada. Indikasi dilakukan RJP adalah henti napas dan serangan

jantung Fase-fase pada RJP adalah Bantuan Hidup Dasar, Bantuan Hidup

Lanjut dan Bantuan Hidup Perpanjangan.

Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan

gabungan dari tindakan yang terkoordinasi yang meliputi pengenalan segera

henti jantung dan aktivasi emergency response system, RJP awal dengan

menekankan pada kompresi dada, defibrilasi yang cepat, advanced life support

yang efektif, perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi. Pada CPR

(cardiopulmonary rescucitation) Guidelines 2010, terdapat perubahan pada

tahapan BLS yang pada awalnya tahapan sebagai berikut: A-B-C (Airway-

Breathing-Circulation) menjadi C-A-B (Circulation-Airway-Breathing) untuk

pasien dewasa dan pediatrik (anak dan bayi, tidak termasuk bayi baru lahir).

Panduan RJP yang terbaru ini juga menekankan pada pemberian RJP yang

berkualitas tinggi, dengan kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit dan

kedalamannya paling sedikit 2 inchi (5cm) pada dewasa dan anak-anak, serta

1,5 inchi (4cm) pada bayi.

RJP ini dilakukan sampai sirkulasi dan ventilasi spontan yang efektif

telah timbul kembali atau sampai ada orang lain yang mengambil alih

tanggung jawab atau penolong terlalu capai.

22

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association, 2009, Cardiopulmonary resuscitaion. Diakses

dari http://www.americanheart.org/presenter.jhtml?identifier=4479.

American Heart Association, 2010, Highlights of the 2010 American Heart

Association Guidelines for CPR and ECC

Dar Ahmed B., 2008, Cardiopulmonary Resuscitation, Assocaiate Prof of

Medicine, Chinkipora Sopore Kashmir, India.

Latief S.A., 2010, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi Kedua., Penerbit,

FKUI, Jakarta.

Stoppler M.C., 2008, The Importance of CPR, Diakses dari

http://www.emedicinehealth.com/cardiopulmonary_resuscitation_cpr/a

rticle_em.htm