Upload
ibnuakil
View
249
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ghhgf
Citation preview
1
BAB 1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang.
Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan,
terjadi terus menerus sejak seorang lahir ke dunia. Karena tidak terjadi secara
tiba-tiba, mass tua dapat direncanakan dan ditata sesuai keinginan. Memang
disadari ada beberapa ancaman yang mungkin dihadapi oleh para lanjut usia,
dalam area organik-biologik, psiko-edukatif dan sosio-ekonomik. Namun
ancaman itu sedikit banyak dapat dikurangi, terlebih-lebih bila individu
bersangkutan memahami dan dapat mengantisipasi kemungkinan yang tidak
dikehendaki. Pemeliharaan kesehatan tubuh dan kepribadian, dalam hal
kepribadian : khususnya kemampuan memecahkan konflik secara efektif dan
baik, dapat merupakan prasyarat suatu kehidupan di hari tua yang berbahagia.
Sementara itu disadari bahwa kualitas para lanjut usia banyak ditentukan oleh
nilai sosial dan budaya masyarakatnya.
Sebenarnya lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat
dihindarkan, sebab manusia sebagai mahluk hidup, umurnya terbatas oleh
suatu peraturan alam. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan
masa tua merupakan masa hidup yang terakhir, dimana pada masa ini
seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial sedikit demi
sedikit sampai tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari. Sehingga bagi
kebanyakan orang, masa tua itu merupakan masa yang kurang menyenangkan
(Gallo, 1998)
Peningkatan jumlah orang lanjut usia diikuti dengan peningkatan
jumlah morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit-penyakit yang
menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia diantaranya
penyakit pada sistem saraf.
2
BAB 2.
PEMBAHASAN
2.1. Susunan saraf otonom
Susunan saraf otonom adalah bagian susunan saraf yang mengurus
perasaan visceral dan semua gerakan involuntary reflektorik, seperti
vasodilatasi-vasokonstriksi, bronkodilatasi-bronkokonstriksi, peristaltic,
berkeringat, merinding, dan seterusnya. Sebagai bagian yang terintegrasi pada
susunan saraf, maka susunan saraf otonom mempunyai lintasan-lintasan
desendens dan asendens. Terdiri dari bagian saraf pusat dan tepi. Walaupun
manipestasi susunan saraf otonom terjadi di luar kemauan, pengaruh korteks
serebri memberikan pengarahan secara reflektorik. Mekanisme neuronal
pengaruh serebri ini dilaksanakan oleh neuron-neuron yang menghubungkan
daerah-daerah korteks serebri tertentu dengan hipotalamus. Impuls
pengarahan tersebut, kemudian dipancarkan ke perifer ke saraf otak - saraf
otak dan saraf spinal. Sebagian dari impuls hipotalamus disalurkan ke
hipofisis dan ini merupakan “input” bagi lintasan neuroendokrin hipotalamus-
hipofisis-gonada.
2.2. Anatomi susunan saraf otonom.
Susunan saraf otonom dibagi dalam bagian pusat dan tepi. Bagian
pusatnya mencakup susunan limbic, hipotalamus dan jaras-jarasnya yang
menghubungi kolumna intermedio lateralis medullae spinalis. Bagian tepinya
terdiri dari sepasang rantai neuron-neuron yang dikenal sebagai ganglion
paravertebrale serta juluran aferen dan eferen mereka yang beersambung
dengan neuron-neuron yang berada di organ torakal , abdominal dan pelvic.
Baik secara anatomi maupun secara fisiologik, susunan saraf otonom dapat
dibedakan dalam komponan simpatetik dan parasimpatetik. Hal ini
didasarkan pada adanya dua macam zat penghantar impuls
“neurotransmitter” yang diproduksi oleh neuron-neuron susunan otonom.
3
Kedua neurotransmitter itu ialah acetylcholine dan norepinephrine. Walaupun
kurang tepat bahwa acetylcholine merupakan neurotransmitter yang
digunakan oleh bagian bagian parasimpatetik dan norepinephrine oleh bagian
simpatetik dalam penyaluran impuls melalui sinaps-sinaps, namun kebiasaan
yang sudah berakar dalam mempertahankan bagian simpatetik dan
parasimpatetik sebagai sinonim dari bagian susunan saraf otonom yang
membuat acetylcholine dan norepinephrine pada terminalianya. Hingga kini
masih berlaku isilah “chohlinpergik” dan “aderenegik” yang sinonim
dengan parasimpatetik dan (orto) simpatetik.
Semua serabut preganglionar dari bagian saraf simpatetik
mengeluarkan acetylcholine, tetapi serabut simpatetik postganglionarnya
mengeluarkan norepinephrine. Pengecualian dari neurotransmitter serabut
postganglionar simpatetik ialah serabut simpatetik yang menyarapi kelenjar
keringat. Walaupun tergolong dalam kelompok simpatetik, transmitter yang
diproduksi serabut postganglionarnya adalah acetylcholine.
Semua serabut saraf parasimpatetik, baik yang pre maupun
postganglionar, mengeluarkan pada ujung-ujungnya acetylcholine. Juga
acetylcholine merupakan neurotransmitter yang diproduksi di ujung serabut
postganglionar saraf simpatetik yang menyarafi kelenjar keringat dan ujung
saraf motorik perifer yang bersinaps di “motor end plate”.
Bagian simpatetik.
Pembagian dalam simpatetik dan parasimpatetik secara tegas dapat
dilaksanakan hanya pada bagian perifer susunan saraf otonom. Pada bagian
pusatnya, kelompok neuron “cholinergic“ dan “adrenergic” berbauran satu
dengan yang laindan sukar untuk dibeda-bedakannya secara tegas.
Badan-badan neuron yang menjulurkan serabut preganglionar
simpatetik terletak di semua segmen torakal dan lumbal 1 dan 2. Neuron-
neuron tersebut menduduki kornu laterale substansia grisea medulla spinalis,
4
dan dikenal sebagai kolumna intermediolateralis. Serabut-serabut
preganglionar meninggalkan medulla spinalis bersama-sama dengan radiks
ventralis yang setinggi foramen intervertebrale menggabungkan diri dengan
radiks dorsalis untuk menyusun saraf spinal. Pada tempat itu juga mereka
meninggalkan saraf spinal sebagai rami komunikantes alba dan menuju ke
trunkus simpatikus. Trunkus ini tersusun oleh sepasang rantai di kedua belah
sisi tulang belakang. Dan rantai itu sendiri dari ganglion-ganglion yang
bersambung satu dengan yang lain melalui juluran-juluran mereka. Pada
umumnya ditemukan 3 pasang ganglion di daerah servikal, 12 pasang di
daerah torakal, 5 pasang di daerah lumbal, 2 pasang di daerah sacral dan satu
ganglion tunggal di garis tengah os koksigis. Serabut-serabut preganglionar
tidak semuanya berakhir pada ganglion yang setingkat, banyak juga yang
berakhir di ganglion yang terletak beberapa segmen lebih atas atau lebih
rendah. Sebagian lagi melewati saja ganglion trunkus simpatikus untuk
meneruskan perjalanan mereka ke ganglion-ganglion yang terletak di dekat
organ dalam. Ganglion-ganglion tersebut terakhir sebagian menunjukan
pengelompokan dan di kenal sebagai ganglion soliaka dan ganglion
mesenterika. Serabut-serabut preganglionar, yang menuju ganglion-ganglion
tersebut dikenal sebagai nervus splanknikus mayor dan minor. Ganglion-
ganglion di kedua sisi tulang belakang dinamakan ganglion paravertebrale
dan ganglion-ganglion di dekat organ dalam disebut ganglion vertebrale.
Serabut-serabut pregnaglionar simpatetik untuk kepala berasal dari
neuron-neuron intermediolateralis T.1 dan T.2. mereka bersinaps di ganglion
servikale superior. Serabut-serabut postganglionar dari ganglion tersebut
menyusun pleksus de sekeliling arteri karotis. Seberkas saraf keluar sebagai
nervus karotikotimpanikus yang berjalan di dinding depan kavum timpani. Ia
kembali masuk ke dalam tengkorak, dan melalui fisura orbitalis superior
serabut-serabutnya ikut menyusun cabang oftalmikus nervus trigeminus.
5
Bagian parasimpatetik.
Bagian parasimpatetik dinamakan juga bagian kraniosakral dari
susunan saraf otonom, karena serabut-serabut preganglionarnya berinduk
pada neuron-neuron di dalam batang otak dan bagian akral medulla spinalis.
Bagian cranial dari serabut-serabut preganglionar parasimpatetik berasal dari
inti-inti di dekat inti nervus okulomotorius, fasialis, glosofaringeus dan vagus.
Dan mereka keluar dari batang otak bersama-sama dengan saraf otak-saraf
otak tersebut tadi. Yang paling banyak mengandung serabut-serabut
preganglionar parasimpatetik ialah nervus vagus. Serabut-serabut ini berakhir
di ganglia intramural dan ganglia postganglionar.
Serabut-serabut preganglionar parasimpatetik nervi glosofaringei berinti
pada nucleus salivatorius inferior di dalam medulla oblongata. Mereka
berakhir di ganglion optikum. Serabut-serabut postganglionar ganglion
optikum berjalan melalui nervus aurikulotemporalis ke glandula parotis.
Serabut-serabut preganglion yang berinduk pada nucleus salivatorius ikut
menyusun nervus intermedius. Mereka melewati ganglion genikulatum dan
melanjutkan perjalanannya dengan nervus petrosus superfisialis mayor ke
depan untuk berakhir di ganglion sfenopalatinum. Juluran dari ganglion
tersebut terakhir merupakan serabut post ganglionar yang menyarafi kelenjar-
kelenjar di palatum dan rongga hidung. Sebagian dari serabut preganglionar
yang ikut berjalan dengan nervus intermedius menggabungkan diri pada
nervus fasialis setelah ia melewati ganglion genikulatum. Mereka selanjutnya
mengikuti korda timpani dan akhirnya berjalan melalui nervus lingualis ke
ganglion submaksilare. Serabut postganglionar yang berasal dari ganglion
submaksilare menyarafi glandula sublingualis dan submaksilaris.
Sebagian lain dari serabut-serabut preganglionar yang mengikuti nervus
intermedius berinti pada nucleus lakrimalis di dekat nucleus salivatorius
superior. Serabut-serabut ini menuju ke ganglion sfenopalatinum bersama-
sama dengan mereka yang tersebut diatas. Tetapi serabut postganglionar yang
berasal dari ganglion sfenopalatinum juga, tidak menuju ke palatum dan
rongga hidung, namun menikuti perjalanan cabang kedua dan kemudian
6
menggabungkan diri dengan cabang ke 1 nervus trigeminus, untuk akhirnya
menuju ke glandula lakrimalis.
Serabut-serabut preganglionar yang mengikuti perjalanan nervus
okulomotorius berinti pada nucleus Edinger-Westphal. Mereka bersinaps di
ganglion siliare yang merupakan induk dari serabut postganglionar yang
menyarapi sfinkter pupil dan korpus siliare, serta muskulus siliaris. Bagian
sacral dari susunan parasimpatetik terdiri dari serabut preganglionar yang
berasal dari nucleus intermediolateralis medulla spinalis bagian sacral.
Mereka keluar dari medulla spinalis melalui radiks ventralis dan selanjutnya
ikut menyusun nervi erigentes. Saraf pelvikus ini menuju ke organ-organ
yang ada di pelvis untuk bersinaps dengan ganglion intramurale. Sebagian
dari mereka bersinaps di ganglion-ganglion kecil ekstramural. Mereka ikut
menyusun pleksus pelvikus yang sebagian besar dibentuk oleh serabut-
serabut postganglionar simpatetik. Berbeda dengan serabut postganglionar
simpatetik yang panjang-panjang, serabut postganglionar parasimpatetik
sacral adalah pendek-pendek.
Gambar 1. Saraf simpatis dan parasimpatis.
7
2.3. Gangguan otonom pada geriatri.
Definisi
Gangguan otonom merupakan salah satu diantara berbagai sindrom
geriatric, artinya gangguan otonom merupakan keadaan-keadaan yang sering
didapatkan pada usia lanjut, sering memerlukan usaha yang cukup sukar
untuk menemukan penyebab dan pengobatannya, dan menyebabkan
gangguan yang cukup berarti yang sering mengganggu kwalitas hidup
penderita lansia (Brocklehurst and Allen, 1987).
Pusat pengendali saraf otonom adalah hipotalamus. Penelitian-
penelitian tentang berbagai gangguan fungsi hipotalamus pada usia lanjut saat
ini sedang secara intensif dilakukan diberbagai sentra, yang antara lain
diharapkan bisa mengungkap berbagai penyebab terjadinya gangguan otonom
pada lansia (Brocklehurst and Allen, 1987).
Etiologi
Beberapa hal yang dikatakan sebagai penyebab seringnya gangguan saraf
otonom pada usia lanjut adalah :
a. Bahwa dengan meningkatnya usia, terdapat beberapa perubahan pada
“neurotransmisi” pada ganglion otonom, yang berupa penurunan
pembentukan asetil-kolin yang disebabkan terutama oleh penurunan
enzim utama, yaitu kolin-esterase. Keadaan tersebut diatas cenderung
untuk menurunkan fungsi otonom. Hal ini sering tertutupi oleh efek lain,
yaitu lebih sensitifnya reseptor kolin di pasca sinaps terhadap asetil-kolin
sebagai akibat proses menua. Hasil akhirnya tergantung dari resultante
kedua efek tersebut (Brocklehurst and Allen, 1987).
b. Terdapat perubahan morfologis yang mengakibatkan pengurangan
jumlah reseptor kolin.
8
Sebagai akibat keseluruhan terdapat kecenderungan dari usia lanjut untuk
mengalami penurunan aktivitas otonom. Disamping penyebab fisiologik tersebut,
perubahan patologik terutama akibat penyakit pembuluh darah otak seringkali
menyebabkan gangguan fungsi otonom. Perubahan patologik inilah yang sering
mendasari terjadinya gangguan fungsi otonom pada banyak penderita usia lanjut.
Diantara berbagai gangguan otonom pada usia lanjut yang perlu
diperhatikan adalah hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, pengaturan
kandung kemih dan gerakan esophagus dan usus besar (Hadi Martono, 1992;
Brocklehurst-Allen, 1987).
Klasifikasi
1. Hipotensi ortostatik
Hipotensi postural atau ortostatik didefinisikan sebagai penurunan
tekanan sistolik atau diastolic sebanyak 20 mmHg pada saat penderita
berubah posisi dari tidur ke posisi tegak (Brocklehurst and Allen, 1987).
Van der Cammen, 1991, menambahkan bataan tersebut dengan catatan
bahwa penurunan tekanan darah harus berlangsung setelah 1-2 menit
perubahan ke posisi tegak.
Mekanisme penurunan tekanan darah.
Mekanisme penurunan tekanan darah merupakan refleks, dimana
serabut aferen berasal dari baro-reseptor di sinus karotikus. Serabut ini
berjalan menuju ke pusat vasomotor di batang otak melalui saraf
glosofaringeus. Serabut aferen berjalan melalui medulla spinalis dan serabut
preganglionik ke rantai simpatis, kemudian melalui serabut post ganglionik
ke pembuluh darah (Brocklehurst and Allen, 1987).
Pada perubahan dari posisi baring ke posisi tegak terjadi perpindahan
hamper 700 cc darah meninggalkan rongga dada menuju ke pool cadangan
vena di daerah perut dan kaki. Tekanan di antrium kanan turun ke/lebih
rendah dari tekanan dalam rongga dada, menyebabkan venous return ke
jantung kanan menurun. Isi sekuncup menurun, dengan akibat penurunan
tekanan darah (Van der Cammen, 1991).
9
Reaksi kompensasi berupa efek simpatis dengan terjadinya vasokonstriksi
arteriol dan vena disertai dengan reaksi parasimpatis berupa percepatan denyut
jantung. Pada penelitian terhadap 100 orang penderita lansia berusia di atas 70
tahun yang dirawat di bangsal geriatric, prevalensi hipotensi postural didapatkan
pada 17% penderita. Angka pada lansia di atas usia 65 tahun yang ada di rumah di
Glasgow mendapatkan 24% penderita mengalami penurunan tekanan darah 20
mmHg, 9% turun sekitar 30 mmHg, dan 5% mengalami penurunan tekanan darah
lebih/sama dengan 40 mmHg (Van der Cammen, 1991). Hanya sedikit perbedaan
insidens antara wanita dan pria. Insidensi meningkat dengan bertambahnya umur.
Gejala dan tanda
Hipotensi ortostatik seringkali tidak member gejala walaupun tekanan darah
sering turun sampai 30 mmHg. Pada keadaan ini otoregulasi sirkulasi serebral
dapat mengkompensasi penurunan tekanan darah tersebut. Pada penderita muda,
keadaan seperti ini seringkali hanya disertai gejala light-headed (rasa melayang)
ringan dalam waktu yang tidak terlalu lama, oleh karena mekanisme pengaturan
vasomotor dengan segera mengadakan kompensasi. Pada penderita lansia,
mekanisme kompensasi tersebut sering tidak efektif, sehingga tetap terjadi
hipotensi dengan gejala-gejala selama beberapa jam. Bahkan seringkali penderita
mengalami penurunan kesadaran, yang baru membaik bila penderita diletakan
pada posisi berbaring lagi. Hipotensi postural ini juga merupakan salah satu
penyebab terjadinya jatuh pada usia lanjut yang seringkali mendadak bangun dari
tempat tidur di malam hari karena ingin buang air ke kamar mandi. Gejala lain
dari gangguan otonom sering menyertai hipotensi yang terjadi, antara lain keluar
keringat dingin, perubahan besar pupil, gangguan gastrointestinal, disfungsi
kandung kemih dan poliuria nocturnal (van dercammen,1991).
Etiologi dan patofisiologi
Patofisiologi yang terjadi pada setiap orang berbeda,tetapi antara lain mencakup
(brocklehurst and allen,1987, van der came,1991,reuben et al 1996; Reuben et al
1996) :
10
a. Penurunan fungsi otonom yang berhubungan dengan usia dan mungkin
disertai hilangnya elastisitas dinding pembuluh darah.
b. Gangguan dari aktivitas baro-refleks akibat tirah baring yang terlalu lama.
Keadaan ini sering terdapat pada penderita lansia yang tekanan darahnya di
pertahankan dengan vasokonstriksi yang hamper maksimal (misalnya setelah
terkena infark miokard). Tak terdapat lagi cadangan otot jantung, sehingga
pada saat bangun tidur tekanan darah tidak bisa dipertahankan lagi.
c. Hipovolemi dan/atau hiponatremia sebagai akibat berbagai keadaan, antara
lain pemberian diuretic.
d. Berbagai obat yang bersifat hipotensif, antara lain tiasid dan diuretika lain,
fenotiasin, antidepresan trisiklik, butirofenon, levodopa, dan bromokriptin.
e. Akibat berbagai penyakit yang mengganggu saraf otonom sebagaimana dapat
dilihat dari table dibawah ini.
Tabel 1. Penyakit yang mengganggu saraf otonom.
Penyakit mengenai susunan saraf pusat Penyakit langsung berakibat neuropati otonomParkinsonisme Diabetes mellitusSindrom Shy-Drager KeganasanEnselofati Wernicke AmiloidosisLesi hipotalamus Polineropati infektif akut sindr.gillain-barre Penyakit serebrovaskular defisiensi vitamin B kompleksTabes dorsalis Alkoholisme kronikparaplegia
Diagnosis
Penegakan diagnosis didasarkan pada ditemukannya penurunan tekanan
darah sebesar 20 mmHg/ lebih pada waktu tegak mendadak setelah berbaring.
Harus dicari kemungkinan terdapatnya berbagai penyakit seperti yang terdapat
pada tabel diatas dan penggunaan obat seperti yang telah disebutkan dimuka.
Beberapa tes untuk fungsi otonom sering tidak ditoleransi baik oleh penderita
lansia, oleh karenanya tes berikut bia dilakukan (Collin, 1980 dikutip oleh Van
der Cammen, 1991).
11
1. Tanggapan laju denyut pada saat berdiri
2. Fungsi regulatorik vasomotor
3. Tekanan negative bagian bawah badan.
Penatalaksanaan
Umum : peningggian kepala waktu tidur merupakan upaya penatalaksanaan
utama yang harus dilakukan. Tekanan ini dapat meningkatkan
volume darah penderita dengan jalan mengurangi hilangnya cairan
dan garam di malam hari. Dengan cara ini berat badan penderita
dapat meningkat sampai beberapa kilogram. Semua penyebab
hipotensi ortostatik yang bisa dikoreksi haru diobati, dan obat-obat
dengan kerja hipotensif harus dihentikan.
Khusus : terdapat beberapa upaya penatalaksanaan, tapi tidak satupun yang
berhasil secara menyeluruh. Tindakan tersebut dapat dilihat dari
tabel.
12
Tabel 2. Terapi pada hipotensi ortostatik.
Jenis tindakan/terapi
Titik tangkap-mekanisme kerja
Dosis/catatan
Pakaian anti-gravitasi/elastik
Cegah pooling darah akibat posisi tegak
Tidak praktis untuk lansia: pakaian elastik harus sebadan penuh dikombinasi dengan support abdominal elastic.
fludrokortison Hormon mineralokortikoid, meretensi cairan dan garam ekspansi darah
0,1 mg tingkatkan sp.maks.1 mg (dosis besar bisa hipertensi/gagal jantung)-efektif hanya pada jenis ringan.
Flurbiprofen Inhibitor prostaglandin sintetase efek vasokonstriksi
50 mg/hari (kombinasi dengan fludrokortison)
Pindolol Simpatomimetik 15 mg/hari efektifitas perlu di konfirmasi.
Dihidro-ergotamin (DHE)
Efek vaokonstriksi pada pembuluh darah kapasitans di cadangan vena.
3 x 2 mg/hari. Bioavailabititas rendah pada pemberian oral.
Midodrin Agonis adrenergik 3 x 2,5 – 5 mg/hari. Efektivitas baik pada seri kecil uji coba untuk derajat HO berat.
Kafein vasokonstriktor 200-250 mg sehabis makan untuk hipotensi post prandial (setara dengan 2 cangkir kopi)
2. Gangguan regulasi temperatur
Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu
termostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, dimana kemudian terjadi
berbagai faktor yang mempengaruhinya. Apabila suhu ditetapkan agak tinggi,
maka pada suhu lebih rendah dari suhu yang ditetapkan tersebut merangsang
mekanisme tegaknya rambut kuit (piloereksi), vasokonstriksi perifer, menggigil
dan perasaan dingin menyebabkan orang tersebut mengenakan baju lebih tebal
dengan akibat meningkatnya suhu tubuh mendekati suhu yang ditetapkan.
Sebaliknya bila suhu tubuh ditetapkan pada temperatur yang lebih rendah, maka
13
mekanisme vasodilatasi, berkeringat dan melepas baju akan menurunkan
temperatur ke suhu mendekati yang ditetapkan.
“Penetapan” suhu tersebut bisa dinaikkan oleh adanya pirogen atau
mekanisme sensorik tubuh yang mencatat bahwa suhu sekitar terlalu rendah,
sebaliknya penetapan suhu bisa diturunkan bila badan terpanasi sebagai akibat
olahraga atau lingkungan yang terlalu panas. Berbagai keadaan akan
menyebabkan gangguan regulasi suhu sebagai mana terlihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Penyebab gangguan regulasi temperatur tubuh.
Hipertermia Hipotermia Penetapan ambang suhu tubuh terlalu tinggi hilangnya sensasi atau kedinginanKurang/hilangnya kemampuan berkeringat gangguan atas sensasi terhadap
perubahan suhuGangguan persepsi peningkatan suhu tubuh tanggapan vasokonstriksi otonom
abdormal atas kedinginan Tanggapan abnormalaliran darah perifer atas gangguan tanggapan dari reaksi menggigilmeningkatnya suhu tubuhCadangan kardiovaskuler menurun/terkom- kerusakan termogenesispromi(Kane et al, 1994)
A. Hipertermia
Dalam serangan akut, hipertermia dikenal sebagai heat stroke dan
didefinisikan sebagai kegagalan mempertahankan suhu tubuh, yang ditandai
dengan suhu inti tubuh yang > 40,6 oC, disfungsi susunan saraf pusat hebat
(psikosis, delirium, koma) (Van der Cammen, 1991). Dua golongan yang
seringkali terserang adalah para lansia dengan penyakit kronis dan golongan
dewasa muda yang melakukan olahraga berat. Begitu manifestasi sindrom
terlihat, angka kematian bisa mencapai 80%. Faktor yang mempredisposisi
sindrom ini bisa dilihat pada tabel dibawah :
14
Tabel 4. Faktor predisposisi heat stroke.
Ambilan panas oksigen
Peningkatan produksi panas
Gangguan keluarkan panas
Suhu lingkungan yang tinggi.Peningkatan risiko pada :
a. Usia sangat tua
b. Penyakit kronis/berat
Peminum alkohol
Olahraga dan latihan.Infeksi (keadaan demam tinggi).Keadaan agitasi dan gaduh gelisah.Obat (amfetamin, eks-tasi)Hipertiroidisme.
Tidak bisa aktimatisasi.Suhu lingkungan tinggi.Obesitas.Pakaian terlalu tebal.Penyakit kardiovaskuler.Dehidrasi.Usia sangat lanjut.Hil/deplesi kalium.
Lesi di SSP.Obat-obatan :a. Fenotiazinb. Antikolinergikc. DiuretiPropanolol.Disfungsi kelainan keringat.
( Kane et al1, 994).
Gambaran klinik
Awitan gejalanya biasanya tidak spesifik; antara lain berupa rasa berputar,
lemah, perasaan hangat/demam, anoreksia , nausea, tumpah, nyeri kepala dan
sesak nafas. Pada keadaan lanjut, timbul gejala disfungsi susunan saraf pusat
berupa psikosis, delirium sampai koma dan gejala anhidrosis berupa kulit yang
panas dan kering. Apabila gejala lanjt ini tampak prognosis memburuk.
Komplikasi
Pada keadaan lanjut dapat timbul komplikasi pada berbagai organ. Komplikasi ini
yang sering memperburuk prognosis, diantaranya adalah :
a. kerusakan miokardium
1. gagal jantung
2. aritmia
b. gagal ginjal akut
c. edema serebri
1. kejang atau difus
2. dapatan fokal
15
d. Nekrosis hepatoselular
1. ikterus
2. gagal hati
e. Rebdomiolosis : mioglobinuria
f. Diathesis hemorhagi : koagulasi intravaskuler diseminata
g. Gangguan elektrolit
h. Gangguan metabolism asam basa :
1. Asidosis metabolik
2. Asidosis respiratorik
i.Infeksi :
1. Pneumonia aspirasi
2. Sepsis
j. Dehidrasi dan syok
Penatalaksanaan
Pemberian terapi spesifik terdiri dari upaya pendinginan/penurunan suhu tubuh
sampai sekitar 38,8oC dalam satu jam pertama. Penggunaan buntalan es atau
imersi penderita dalam air es jauh lebih baik disbanding alcohol bath. Pencegahan
dan monitoring atas komplikasi yang terjadi kemudian bisa dilakukan.
B. Hipotermia
Definisi
Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh (rektal, esophageal atau timpanik)
menjadi dibawah 35oC. Oleh karenanya yang paling utama dari diagnosis
adalah pengenalan dini dengan menggunakan thermometer berskala rendah,
karena thermometer biasa tidak akan bermanfaat.
16
Klasifikasi
1. Hipotermia primer :
Bila dianggap bahwa paparan ke dingin merupakan satu-satunya atau
faktor utama yang bertanggung jawab. Pada usia lanjut seringkali terdapat
gangguan regulasi temperature yang “fisiologik” dan tidak sebagai akibat
penyakit tertentu.
2. Hipotermia sekunder :
Bilamana dianggap bahwa hipotermia adalah akibat penyakit yang
mendasarinya, walaupun suhu badan yang rendah mungkin dipresipitasi oleh
paparan hawa dingin
Tabel 5. faktor predisposisi timbulnya hipotermia.
Penurunan produksi panas badan
Meningkatnya hilang panas
Gangguan pengaturan suhu
Hipotiroidisme.Hipoglisemia.Kelaparan/malnutrisi.Imobilitas/penurunan aktivitas (missal oleh karena stroke, arthritis parkinsonisme)
Lemak bawah kulit tipis.Pernafasan/imersi ke hawa/ lingkungan dingin.
Disfungsi hipotalamus/ SSP : Trauma kepala Hipoksia Tumor Penyakit
serebrovaskulerGangguan dipicu oleh obat-obatan : Alkohol Barbiturate Trankil.minor/mayor Antidep.trisiklik Salisilat/parasetamol Obat anestesi umum Glutetimid ReserpinUsia lanjut campuran : Sepsis Penyakit
kardiovaskuler Bronkopneumonia
(Kane et al, 1994)
17
Gejala klinik
Gejala awal biasanya ringan dan tidak jelas, oleh karenanya kecurigaan
akan hal ini sangat membantu penegakkan diagnosis. Riwayat bila pernah terjadi
sebelumnya akan sangat membantu, walaupun lansia bisa mengalami hipotermia
hanya akibat pemaparan pada suhu yang tidak terlalu dingin. Diagnosis banding
yang sering sukar pada hipotermia berat adalah dengan hipotiroidisme. Riwayat
penyakit tiroid sebelumnya, luka bekas operasi kelenjar tiroid di leher dan
pelambatan fase relaksasi reflex tendon dalam sering membantu diagnosis
hipotiroidisme. Makin besar penurunan suhu badan, gejala makin nyata dan makin
berat.
Tabel 6. Gejala klinik hipotermia.
Gejala awal (32-35oC) Gejala berikutnya (28-30oC)
Gejala akhir (<28oC)
Rasa capai/fatigue.Lemah.Langkah melambat.Apatis.Bicara pelo.Konfusio.Menggigil.Kulit yang dingin.Merasa dingin.
Kulit dingin.Hipopneu.Sianosis.Bradikardia.Aritmia atrial/ventrikel.Hipotensi.Semikoma-koma.Kekakuan otot.Edema umum.Refleks melambat.Reaksi pupil <Poliuria atau oliguria.
Kulit sangat dingin.Kaku/rigiditas.Nadi tidak teraba/fibrilasi ventrikel.Refleks menghilang.Tidak beri tanggapan terhadap rangsang.Pupil menetap/reaksi (-).
(Kane et al , 1991).
Komplikasi
Tabel 7. Komplikasi Hipotermia berat
Aritmia edema paruAres kardiorespirasi pankreatitisBronkopneumonia pendarahan gastrointestinalPneumonia aspirasi nekrosis tubuler ginjal akut Thrombosis intravaskuler
(Kane et al, 1991).
18
Penatalaksanaan
Terapi suportif bagi hipotermia :
1. Masukkan ke ICU (bagi penderita dengan temperature < 30oC)
2. Upayakan monitoring EKG terus menerus
3. Terapi sebagai sepsis (kecuali terbukti sebaliknya)
4. Lakukan penggantian cairan secara intravena
5. Aritmia biasanya resisiten terhadap upaya kardioversi dan obat (obat yang
diberikan selama masih hipotermi sering timbulkan masalah saat bagian
mengalami penghangatan kembali)
6. Terapi hiperglisemia hanya diberikan bila dalam derajat berat
7. Terapi asidosis dengan HCO3 harus dilakukan dengan hati-hati
8. Hindari penggunaan infuse sentral, kalau perlu cegah sampai ke jantung
(miokard sangat iritabel)
9. Periksa gas darah serial untuk ketahui fungsi repirasi
10. Sering diperlukan terapi O2 , hisap lendir bahkan intubasi endrotrakheal
11. Periksa foto thoraks untuk deteksi dini pneumonia aspirasi/bronkopneumonia
(sering terdapat)
12. Bila terdapat miksedema (hipotiroidisme) terapi dengan levotiroksin dan
kortikosteroid.
3. Sinkop
Definisi
Sinkop diartikan sebagai kehilangan kesadaran sekilas disertai dengan
hilangnya tonus postural, tetapi membaik secara spontan tanpa membutuhkan
resusitasi. Sinkop mempunyai penyebab dasar yang multiple dan
dikhawatirkan dapat meningkat risiko sudden death kalau penyebabnya adalah
kardial. Tanpa melihat penyebabnya, sinkop dapat menimbulkan terjadinya
jatuh, fraktur, hilangnya fungsi otonom, dan dapat pula menyebabkan
pendarahan subdural akibat posisi jatuhnya.
19
Etiologi
a. Penyakit-penyakit jantung (khususnya yang menurunkan cardiac output)
1) Structural (stenosis aorta, regurgitasi mitral, stenosis mitral,
kardiomiopati).
2) Vascular (infark miokard akut).
3) Konduksi (takiaritmia, bradiaritmia).
b. Hipotensi.
1) Hipotensi ortostatik
2) Hipotensi postprandial
3) Penurunan cairan tubuh (air atau darah).
c. Reflex
d. Komposisi darah yang abnormal (hipoksemia, hipoglikemia, anemia akut).
20
Tabel 8. Algoritme untuk evaluasi diagnosis sinkop penderita usia lanjut.
ElektroensefalogramDan CT Scan kepala
Peresepan yang tepat dipulangkan dengan
Resep obat/observasi
Telemetri/infark miokard lama atau baru/Ekokardiografi/pemeriksaan lain (misalnya pemeriksaan Elektrofisiologi) sesuai indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
diagnosis positif peresepan evaluasi negatif
yang tepat
positif negative
resep observasi
Pengobatan :
tujuan pengobatan sinkop pada usia lanjut adalah mencegah morbiditas dan
mortalitas sehubungan episode yang berulang. Faktor risiko yang ada diusahakan
seminimal mungkin pengaruhnya. Intervensi farmakologis jangan sampai
Sinkop
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Elektrokardiogram, pemeriksaan laboratorium, pemijatan sinus karotis.
Deficit neurologi fokal atau kejang.
Stress situasional atau hipotensi
Penyeba tak diketahui.
Identifikasi penyakit kardiak atau dugaan emboli paru
Kecurigaan penyakit kardiak
Tidak ada kecurigaaan penyakit kardiak
Perawatan RS
Evaluasi ulang dalam 24 jam
dipulangkan
Monitor holter atau loop recorder ambulatori
Kambuh
21
menimbulkan efek toksis, bila memungkinkan menghilangkan penyakit dasarnya.
Geriatric problems perlu diperhatikan.
4. Konstipasi
Definisi.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2
dari keluhan dibawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
a. Konsistensi feses yang keras
b. Mengejan dengan keras saat BAB
c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
Tabel 8. Definisi konstipasi sesuai international Workshop on Constipation
Tipe Kriteria1. Konstipasi fungsional
2. Penundaan pada muara rektum
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan : Mengedan keras 25% dari BAB Feses yang keras 25% dari BAB Rasa tidak tuntas 25% dari BAB BAB kurang dari 2 kali per
minggu
Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB
Waktu untuk BAB lebih lama Perlu bantuan jari-jari untuk
mengeluarkan feses
Patofisiologi
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltic usus besar yang menghantarkan feses
ke rectum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan amfula dari
rectum diikuti relaksasi dari sfingter anu sinterna. Untuk menghindarkan
pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfinkter anus
eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus.
Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfinkter anus eksterna
diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rectum mengeluarkan isinya dengan
22
bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot levator ani. Baik persarafan simpatis
maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
a. Diskesia rectum :
Ditandai dengan penurunan tonus rectum, dilatasi rectum, gangguan
sensasi rectum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih
besar regangan rectum untuk untuk menginduksi refleks relaksasi dari
sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pada diskesia rectum
sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan
untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rectum juga dapat diakibatkan
kurang tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti
yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus
dan rectum.
b. Dis-sinergia pelvis :
Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus
eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukan
peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
c. Peningkatan tonus rectum :
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastic seperti pada penyakit irritable bowel
syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
23
Tabel 9. Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut.Obat-obatan Golongan antikolinergik Golongan narkotik Golongan analgetik Golongan diuretic NSAID Kalsium antagonis Perparat kalsium Preparat besi Antasida aluminium Penyalahgunaan pencahar
Kondisi neurologis Strok Penyakit Parkinson Trauma medulla spinalis Neuropati diabetik
Gangguan metabolic Hiperkalsemia Hipokalsemia Hipotiroid
Kausa psikologis Psikosis Depresi Demensia Kurang privasi untuk BAB Mengabaikan dorongan BAB Konstipasi imajiner
Penyakit-penyakit saluran cerna Kanker kolon Divertikel Ileus Hernia Volvulus Irritable bowel syndrome Rektokel Wasir Fistula/fisura ani Inersia kolon
Lain-lain Diet rendah serat Kurang cairan Imobilitas/kurang olahraga Bepergian jauh Pasca tindakan bedah perut
Pemeriksaan fisik : tidak ada kelainan yang jelas. Diawali dengan pemeriksaan
rongga mulut meliputi gigi-geligi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor
yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
Pemeriksaan daerah perut :
Inspeksi : pembesaran abdomen, peregangan atau tonjolan.
Palpasi : permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih
dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta.
Perkusi : dicari pengumpulan gas berlebih, pembesaran organ, asites, atau adanya
massa feses.
Auskultasi : mendengarkan suara usus besar, normal atau berlebihan.
24
Pemeriksaan colok dubur, dapat memberikan informasi tentang :
a. Tonus rectum
b. Tonus dan kekuatan sfingter
c. Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
d. Adakah timbunan massa feses
e. Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
f. Adakah darah
g. Adakah perlukaan di anus
Pemeriksaan laboratorium :
a. Glukosa darah, kadar hormone tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan
dengan keluarnya darah dari rectum, dan sebagainya.
b. Anuskopi.
c. Foto polos.
d. Sinedefecografi.
e. Uji manometri.
f. Pemeriksaan elektromiografi.
Komplikasi
a. Impaksi feses
b. Volvulus daerah sigmoid
Pengobatan
1. Pengobatan Non farmakologis : latihan usus besar, diet, olahraga.
2. Pengobatan farmakologis : 4 golongan obat pencahar, antara lain :
a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : cereal, methyl
selulose, Psilium.
b. Melunakkan dan melicinkan feses : minyak kastor, golongan docusate.
c. Golongan osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk
digunakan, missal untuk penderita gagal jantung : sorbitol, Lactulose,
Glycerin.
d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar.
Golongan ini yang banyak dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak
25
pleksus mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya :
Bisakodil, Fenolptalein.
26
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kelainan susunan saraf otonom yang bermanifestasi antara lain sebagai
hipotensi ortostatik/postural, gangguan pengaturan suhu, gangguan gerakan
kandung kemih, esophagus dan usus besar, merupakan salah satu sindron dari
geriatric. Hal ini berarti bahwa sindroma tersebut seringkali di jumpai pada
penderita usia lanjut, menyebabkan masalah kesehatan yang cukup besar dan
member akibat bagi kwalitas hidup penderita (bahkan sering juga pada
keluarganya). Kelainan utama adalah berkurangnya aktivitas neurotransmitter
asetilkolin seiring dengan lanjutnya usia, akan tetapi sering diperberat oleh
adanya penyakit serebrovaskuler pada penderita tersebut.
3.2. Saran
Dengan adanya referat ini, bermanfaat bagi pembaca, yaitu supaya
pembaca tahu dan mengerti tentang gangguan otonom pada lansia.
27
REFERENSI
w.sudoyo, Aru ; Setiyohadi, Bambang, dkk.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV.Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.
Martono, H.Hadi ; Pranarka, Kris.2009.Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu
Kesehatan Usia Lanjut).Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Jakarta.