40
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang. Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan, terjadi terus menerus sejak seorang lahir ke dunia. Karena tidak terjadi secara tiba-tiba, mass tua dapat direncanakan dan ditata sesuai keinginan. Memang disadari ada beberapa ancaman yang mungkin dihadapi oleh para lanjut usia, dalam area organik-biologik, psiko-edukatif dan sosio-ekonomik. Namun ancaman itu sedikit banyak dapat dikurangi, terlebih-lebih bila individu bersangkutan memahami dan dapat mengantisipasi kemungkinan yang tidak dikehendaki. Pemeliharaan kesehatan tubuh dan kepribadian, dalam hal kepribadian : khususnya kemampuan memecahkan konflik secara efektif dan baik, dapat merupakan prasyarat suatu kehidupan di hari tua yang berbahagia. Sementara itu disadari bahwa kualitas para lanjut usia banyak ditentukan oleh nilai sosial dan budaya masyarakatnya. Sebenarnya lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindarkan, sebab manusia sebagai mahluk hidup, umurnya terbatas oleh suatu peraturan

Referat Elen

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ghhgf

Citation preview

Page 1: Referat Elen

1

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang.

Menjadi tua adalah suatu proses alamiah yang berkesinambungan,

terjadi terus menerus sejak seorang lahir ke dunia. Karena tidak terjadi secara

tiba-tiba, mass tua dapat direncanakan dan ditata sesuai keinginan. Memang

disadari ada beberapa ancaman yang mungkin dihadapi oleh para lanjut usia,

dalam area organik-biologik, psiko-edukatif dan sosio-ekonomik. Namun

ancaman itu sedikit banyak dapat dikurangi, terlebih-lebih bila individu

bersangkutan memahami dan dapat mengantisipasi kemungkinan yang tidak

dikehendaki. Pemeliharaan kesehatan tubuh dan kepribadian, dalam hal

kepribadian : khususnya kemampuan memecahkan konflik secara efektif dan

baik, dapat merupakan prasyarat suatu kehidupan di hari tua yang berbahagia.

Sementara itu disadari bahwa kualitas para lanjut usia banyak ditentukan oleh

nilai sosial dan budaya masyarakatnya.

Sebenarnya lanjut usia adalah suatu proses alami yang tidak dapat

dihindarkan, sebab manusia sebagai mahluk hidup, umurnya terbatas oleh

suatu peraturan alam. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua, dan

masa tua merupakan masa hidup yang terakhir, dimana pada masa ini

seseorang akan mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial sedikit demi

sedikit sampai tidak dapat melakukan tugasnya sehari-hari. Sehingga bagi

kebanyakan orang, masa tua itu merupakan masa yang kurang menyenangkan

(Gallo, 1998)

Peningkatan jumlah orang lanjut usia diikuti dengan peningkatan

jumlah morbiditas dan mortalitas. Banyak penyakit-penyakit yang

menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada orang lanjut usia diantaranya

penyakit pada sistem saraf.

Page 2: Referat Elen

2

BAB 2.

PEMBAHASAN

2.1. Susunan saraf otonom

Susunan saraf otonom adalah bagian susunan saraf yang mengurus

perasaan visceral dan semua gerakan involuntary reflektorik, seperti

vasodilatasi-vasokonstriksi, bronkodilatasi-bronkokonstriksi, peristaltic,

berkeringat, merinding, dan seterusnya. Sebagai bagian yang terintegrasi pada

susunan saraf, maka susunan saraf otonom mempunyai lintasan-lintasan

desendens dan asendens. Terdiri dari bagian saraf pusat dan tepi. Walaupun

manipestasi susunan saraf otonom terjadi di luar kemauan, pengaruh korteks

serebri memberikan pengarahan secara reflektorik. Mekanisme neuronal

pengaruh serebri ini dilaksanakan oleh neuron-neuron yang menghubungkan

daerah-daerah korteks serebri tertentu dengan hipotalamus. Impuls

pengarahan tersebut, kemudian dipancarkan ke perifer ke saraf otak - saraf

otak dan saraf spinal. Sebagian dari impuls hipotalamus disalurkan ke

hipofisis dan ini merupakan “input” bagi lintasan neuroendokrin hipotalamus-

hipofisis-gonada.

2.2. Anatomi susunan saraf otonom.

Susunan saraf otonom dibagi dalam bagian pusat dan tepi. Bagian

pusatnya mencakup susunan limbic, hipotalamus dan jaras-jarasnya yang

menghubungi kolumna intermedio lateralis medullae spinalis. Bagian tepinya

terdiri dari sepasang rantai neuron-neuron yang dikenal sebagai ganglion

paravertebrale serta juluran aferen dan eferen mereka yang beersambung

dengan neuron-neuron yang berada di organ torakal , abdominal dan pelvic.

Baik secara anatomi maupun secara fisiologik, susunan saraf otonom dapat

dibedakan dalam komponan simpatetik dan parasimpatetik. Hal ini

didasarkan pada adanya dua macam zat penghantar impuls

“neurotransmitter” yang diproduksi oleh neuron-neuron susunan otonom.

Page 3: Referat Elen

3

Kedua neurotransmitter itu ialah acetylcholine dan norepinephrine. Walaupun

kurang tepat bahwa acetylcholine merupakan neurotransmitter yang

digunakan oleh bagian bagian parasimpatetik dan norepinephrine oleh bagian

simpatetik dalam penyaluran impuls melalui sinaps-sinaps, namun kebiasaan

yang sudah berakar dalam mempertahankan bagian simpatetik dan

parasimpatetik sebagai sinonim dari bagian susunan saraf otonom yang

membuat acetylcholine dan norepinephrine pada terminalianya. Hingga kini

masih berlaku isilah “chohlinpergik” dan “aderenegik” yang sinonim

dengan parasimpatetik dan (orto) simpatetik.

Semua serabut preganglionar dari bagian saraf simpatetik

mengeluarkan acetylcholine, tetapi serabut simpatetik postganglionarnya

mengeluarkan norepinephrine. Pengecualian dari neurotransmitter serabut

postganglionar simpatetik ialah serabut simpatetik yang menyarapi kelenjar

keringat. Walaupun tergolong dalam kelompok simpatetik, transmitter yang

diproduksi serabut postganglionarnya adalah acetylcholine.

Semua serabut saraf parasimpatetik, baik yang pre maupun

postganglionar, mengeluarkan pada ujung-ujungnya acetylcholine. Juga

acetylcholine merupakan neurotransmitter yang diproduksi di ujung serabut

postganglionar saraf simpatetik yang menyarafi kelenjar keringat dan ujung

saraf motorik perifer yang bersinaps di “motor end plate”.

Bagian simpatetik.

Pembagian dalam simpatetik dan parasimpatetik secara tegas dapat

dilaksanakan hanya pada bagian perifer susunan saraf otonom. Pada bagian

pusatnya, kelompok neuron “cholinergic“ dan “adrenergic” berbauran satu

dengan yang laindan sukar untuk dibeda-bedakannya secara tegas.

Badan-badan neuron yang menjulurkan serabut preganglionar

simpatetik terletak di semua segmen torakal dan lumbal 1 dan 2. Neuron-

neuron tersebut menduduki kornu laterale substansia grisea medulla spinalis,

Page 4: Referat Elen

4

dan dikenal sebagai kolumna intermediolateralis. Serabut-serabut

preganglionar meninggalkan medulla spinalis bersama-sama dengan radiks

ventralis yang setinggi foramen intervertebrale menggabungkan diri dengan

radiks dorsalis untuk menyusun saraf spinal. Pada tempat itu juga mereka

meninggalkan saraf spinal sebagai rami komunikantes alba dan menuju ke

trunkus simpatikus. Trunkus ini tersusun oleh sepasang rantai di kedua belah

sisi tulang belakang. Dan rantai itu sendiri dari ganglion-ganglion yang

bersambung satu dengan yang lain melalui juluran-juluran mereka. Pada

umumnya ditemukan 3 pasang ganglion di daerah servikal, 12 pasang di

daerah torakal, 5 pasang di daerah lumbal, 2 pasang di daerah sacral dan satu

ganglion tunggal di garis tengah os koksigis. Serabut-serabut preganglionar

tidak semuanya berakhir pada ganglion yang setingkat, banyak juga yang

berakhir di ganglion yang terletak beberapa segmen lebih atas atau lebih

rendah. Sebagian lagi melewati saja ganglion trunkus simpatikus untuk

meneruskan perjalanan mereka ke ganglion-ganglion yang terletak di dekat

organ dalam. Ganglion-ganglion tersebut terakhir sebagian menunjukan

pengelompokan dan di kenal sebagai ganglion soliaka dan ganglion

mesenterika. Serabut-serabut preganglionar, yang menuju ganglion-ganglion

tersebut dikenal sebagai nervus splanknikus mayor dan minor. Ganglion-

ganglion di kedua sisi tulang belakang dinamakan ganglion paravertebrale

dan ganglion-ganglion di dekat organ dalam disebut ganglion vertebrale.

Serabut-serabut pregnaglionar simpatetik untuk kepala berasal dari

neuron-neuron intermediolateralis T.1 dan T.2. mereka bersinaps di ganglion

servikale superior. Serabut-serabut postganglionar dari ganglion tersebut

menyusun pleksus de sekeliling arteri karotis. Seberkas saraf keluar sebagai

nervus karotikotimpanikus yang berjalan di dinding depan kavum timpani. Ia

kembali masuk ke dalam tengkorak, dan melalui fisura orbitalis superior

serabut-serabutnya ikut menyusun cabang oftalmikus nervus trigeminus.

Page 5: Referat Elen

5

Bagian parasimpatetik.

Bagian parasimpatetik dinamakan juga bagian kraniosakral dari

susunan saraf otonom, karena serabut-serabut preganglionarnya berinduk

pada neuron-neuron di dalam batang otak dan bagian akral medulla spinalis.

Bagian cranial dari serabut-serabut preganglionar parasimpatetik berasal dari

inti-inti di dekat inti nervus okulomotorius, fasialis, glosofaringeus dan vagus.

Dan mereka keluar dari batang otak bersama-sama dengan saraf otak-saraf

otak tersebut tadi. Yang paling banyak mengandung serabut-serabut

preganglionar parasimpatetik ialah nervus vagus. Serabut-serabut ini berakhir

di ganglia intramural dan ganglia postganglionar.

Serabut-serabut preganglionar parasimpatetik nervi glosofaringei berinti

pada nucleus salivatorius inferior di dalam medulla oblongata. Mereka

berakhir di ganglion optikum. Serabut-serabut postganglionar ganglion

optikum berjalan melalui nervus aurikulotemporalis ke glandula parotis.

Serabut-serabut preganglion yang berinduk pada nucleus salivatorius ikut

menyusun nervus intermedius. Mereka melewati ganglion genikulatum dan

melanjutkan perjalanannya dengan nervus petrosus superfisialis mayor ke

depan untuk berakhir di ganglion sfenopalatinum. Juluran dari ganglion

tersebut terakhir merupakan serabut post ganglionar yang menyarafi kelenjar-

kelenjar di palatum dan rongga hidung. Sebagian dari serabut preganglionar

yang ikut berjalan dengan nervus intermedius menggabungkan diri pada

nervus fasialis setelah ia melewati ganglion genikulatum. Mereka selanjutnya

mengikuti korda timpani dan akhirnya berjalan melalui nervus lingualis ke

ganglion submaksilare. Serabut postganglionar yang berasal dari ganglion

submaksilare menyarafi glandula sublingualis dan submaksilaris.

Sebagian lain dari serabut-serabut preganglionar yang mengikuti nervus

intermedius berinti pada nucleus lakrimalis di dekat nucleus salivatorius

superior. Serabut-serabut ini menuju ke ganglion sfenopalatinum bersama-

sama dengan mereka yang tersebut diatas. Tetapi serabut postganglionar yang

berasal dari ganglion sfenopalatinum juga, tidak menuju ke palatum dan

rongga hidung, namun menikuti perjalanan cabang kedua dan kemudian

Page 6: Referat Elen

6

menggabungkan diri dengan cabang ke 1 nervus trigeminus, untuk akhirnya

menuju ke glandula lakrimalis.

Serabut-serabut preganglionar yang mengikuti perjalanan nervus

okulomotorius berinti pada nucleus Edinger-Westphal. Mereka bersinaps di

ganglion siliare yang merupakan induk dari serabut postganglionar yang

menyarapi sfinkter pupil dan korpus siliare, serta muskulus siliaris. Bagian

sacral dari susunan parasimpatetik terdiri dari serabut preganglionar yang

berasal dari nucleus intermediolateralis medulla spinalis bagian sacral.

Mereka keluar dari medulla spinalis melalui radiks ventralis dan selanjutnya

ikut menyusun nervi erigentes. Saraf pelvikus ini menuju ke organ-organ

yang ada di pelvis untuk bersinaps dengan ganglion intramurale. Sebagian

dari mereka bersinaps di ganglion-ganglion kecil ekstramural. Mereka ikut

menyusun pleksus pelvikus yang sebagian besar dibentuk oleh serabut-

serabut postganglionar simpatetik. Berbeda dengan serabut postganglionar

simpatetik yang panjang-panjang, serabut postganglionar parasimpatetik

sacral adalah pendek-pendek.

Gambar 1. Saraf simpatis dan parasimpatis.

Page 7: Referat Elen

7

2.3. Gangguan otonom pada geriatri.

Definisi

Gangguan otonom merupakan salah satu diantara berbagai sindrom

geriatric, artinya gangguan otonom merupakan keadaan-keadaan yang sering

didapatkan pada usia lanjut, sering memerlukan usaha yang cukup sukar

untuk menemukan penyebab dan pengobatannya, dan menyebabkan

gangguan yang cukup berarti yang sering mengganggu kwalitas hidup

penderita lansia (Brocklehurst and Allen, 1987).

Pusat pengendali saraf otonom adalah hipotalamus. Penelitian-

penelitian tentang berbagai gangguan fungsi hipotalamus pada usia lanjut saat

ini sedang secara intensif dilakukan diberbagai sentra, yang antara lain

diharapkan bisa mengungkap berbagai penyebab terjadinya gangguan otonom

pada lansia (Brocklehurst and Allen, 1987).

Etiologi

Beberapa hal yang dikatakan sebagai penyebab seringnya gangguan saraf

otonom pada usia lanjut adalah :

a. Bahwa dengan meningkatnya usia, terdapat beberapa perubahan pada

“neurotransmisi” pada ganglion otonom, yang berupa penurunan

pembentukan asetil-kolin yang disebabkan terutama oleh penurunan

enzim utama, yaitu kolin-esterase. Keadaan tersebut diatas cenderung

untuk menurunkan fungsi otonom. Hal ini sering tertutupi oleh efek lain,

yaitu lebih sensitifnya reseptor kolin di pasca sinaps terhadap asetil-kolin

sebagai akibat proses menua. Hasil akhirnya tergantung dari resultante

kedua efek tersebut (Brocklehurst and Allen, 1987).

b. Terdapat perubahan morfologis yang mengakibatkan pengurangan

jumlah reseptor kolin.

Page 8: Referat Elen

8

Sebagai akibat keseluruhan terdapat kecenderungan dari usia lanjut untuk

mengalami penurunan aktivitas otonom. Disamping penyebab fisiologik tersebut,

perubahan patologik terutama akibat penyakit pembuluh darah otak seringkali

menyebabkan gangguan fungsi otonom. Perubahan patologik inilah yang sering

mendasari terjadinya gangguan fungsi otonom pada banyak penderita usia lanjut.

Diantara berbagai gangguan otonom pada usia lanjut yang perlu

diperhatikan adalah hipotensi ortostatik, gangguan pengaturan suhu, pengaturan

kandung kemih dan gerakan esophagus dan usus besar (Hadi Martono, 1992;

Brocklehurst-Allen, 1987).

Klasifikasi

1. Hipotensi ortostatik

Hipotensi postural atau ortostatik didefinisikan sebagai penurunan

tekanan sistolik atau diastolic sebanyak 20 mmHg pada saat penderita

berubah posisi dari tidur ke posisi tegak (Brocklehurst and Allen, 1987).

Van der Cammen, 1991, menambahkan bataan tersebut dengan catatan

bahwa penurunan tekanan darah harus berlangsung setelah 1-2 menit

perubahan ke posisi tegak.

Mekanisme penurunan tekanan darah.

Mekanisme penurunan tekanan darah merupakan refleks, dimana

serabut aferen berasal dari baro-reseptor di sinus karotikus. Serabut ini

berjalan menuju ke pusat vasomotor di batang otak melalui saraf

glosofaringeus. Serabut aferen berjalan melalui medulla spinalis dan serabut

preganglionik ke rantai simpatis, kemudian melalui serabut post ganglionik

ke pembuluh darah (Brocklehurst and Allen, 1987).

Pada perubahan dari posisi baring ke posisi tegak terjadi perpindahan

hamper 700 cc darah meninggalkan rongga dada menuju ke pool cadangan

vena di daerah perut dan kaki. Tekanan di antrium kanan turun ke/lebih

rendah dari tekanan dalam rongga dada, menyebabkan venous return ke

jantung kanan menurun. Isi sekuncup menurun, dengan akibat penurunan

tekanan darah (Van der Cammen, 1991).

Page 9: Referat Elen

9

Reaksi kompensasi berupa efek simpatis dengan terjadinya vasokonstriksi

arteriol dan vena disertai dengan reaksi parasimpatis berupa percepatan denyut

jantung. Pada penelitian terhadap 100 orang penderita lansia berusia di atas 70

tahun yang dirawat di bangsal geriatric, prevalensi hipotensi postural didapatkan

pada 17% penderita. Angka pada lansia di atas usia 65 tahun yang ada di rumah di

Glasgow mendapatkan 24% penderita mengalami penurunan tekanan darah 20

mmHg, 9% turun sekitar 30 mmHg, dan 5% mengalami penurunan tekanan darah

lebih/sama dengan 40 mmHg (Van der Cammen, 1991). Hanya sedikit perbedaan

insidens antara wanita dan pria. Insidensi meningkat dengan bertambahnya umur.

Gejala dan tanda

Hipotensi ortostatik seringkali tidak member gejala walaupun tekanan darah

sering turun sampai 30 mmHg. Pada keadaan ini otoregulasi sirkulasi serebral

dapat mengkompensasi penurunan tekanan darah tersebut. Pada penderita muda,

keadaan seperti ini seringkali hanya disertai gejala light-headed (rasa melayang)

ringan dalam waktu yang tidak terlalu lama, oleh karena mekanisme pengaturan

vasomotor dengan segera mengadakan kompensasi. Pada penderita lansia,

mekanisme kompensasi tersebut sering tidak efektif, sehingga tetap terjadi

hipotensi dengan gejala-gejala selama beberapa jam. Bahkan seringkali penderita

mengalami penurunan kesadaran, yang baru membaik bila penderita diletakan

pada posisi berbaring lagi. Hipotensi postural ini juga merupakan salah satu

penyebab terjadinya jatuh pada usia lanjut yang seringkali mendadak bangun dari

tempat tidur di malam hari karena ingin buang air ke kamar mandi. Gejala lain

dari gangguan otonom sering menyertai hipotensi yang terjadi, antara lain keluar

keringat dingin, perubahan besar pupil, gangguan gastrointestinal, disfungsi

kandung kemih dan poliuria nocturnal (van dercammen,1991).

Etiologi dan patofisiologi

Patofisiologi yang terjadi pada setiap orang berbeda,tetapi antara lain mencakup

(brocklehurst and allen,1987, van der came,1991,reuben et al 1996; Reuben et al

1996) :

Page 10: Referat Elen

10

a. Penurunan fungsi otonom yang berhubungan dengan usia dan mungkin

disertai hilangnya elastisitas dinding pembuluh darah.

b. Gangguan dari aktivitas baro-refleks akibat tirah baring yang terlalu lama.

Keadaan ini sering terdapat pada penderita lansia yang tekanan darahnya di

pertahankan dengan vasokonstriksi yang hamper maksimal (misalnya setelah

terkena infark miokard). Tak terdapat lagi cadangan otot jantung, sehingga

pada saat bangun tidur tekanan darah tidak bisa dipertahankan lagi.

c. Hipovolemi dan/atau hiponatremia sebagai akibat berbagai keadaan, antara

lain pemberian diuretic.

d. Berbagai obat yang bersifat hipotensif, antara lain tiasid dan diuretika lain,

fenotiasin, antidepresan trisiklik, butirofenon, levodopa, dan bromokriptin.

e. Akibat berbagai penyakit yang mengganggu saraf otonom sebagaimana dapat

dilihat dari table dibawah ini.

Tabel 1. Penyakit yang mengganggu saraf otonom.

Penyakit mengenai susunan saraf pusat Penyakit langsung berakibat neuropati otonomParkinsonisme Diabetes mellitusSindrom Shy-Drager KeganasanEnselofati Wernicke AmiloidosisLesi hipotalamus Polineropati infektif akut sindr.gillain-barre Penyakit serebrovaskular defisiensi vitamin B kompleksTabes dorsalis Alkoholisme kronikparaplegia

Diagnosis

Penegakan diagnosis didasarkan pada ditemukannya penurunan tekanan

darah sebesar 20 mmHg/ lebih pada waktu tegak mendadak setelah berbaring.

Harus dicari kemungkinan terdapatnya berbagai penyakit seperti yang terdapat

pada tabel diatas dan penggunaan obat seperti yang telah disebutkan dimuka.

Beberapa tes untuk fungsi otonom sering tidak ditoleransi baik oleh penderita

lansia, oleh karenanya tes berikut bia dilakukan (Collin, 1980 dikutip oleh Van

der Cammen, 1991).

Page 11: Referat Elen

11

1. Tanggapan laju denyut pada saat berdiri

2. Fungsi regulatorik vasomotor

3. Tekanan negative bagian bawah badan.

Penatalaksanaan

Umum : peningggian kepala waktu tidur merupakan upaya penatalaksanaan

utama yang harus dilakukan. Tekanan ini dapat meningkatkan

volume darah penderita dengan jalan mengurangi hilangnya cairan

dan garam di malam hari. Dengan cara ini berat badan penderita

dapat meningkat sampai beberapa kilogram. Semua penyebab

hipotensi ortostatik yang bisa dikoreksi haru diobati, dan obat-obat

dengan kerja hipotensif harus dihentikan.

Khusus : terdapat beberapa upaya penatalaksanaan, tapi tidak satupun yang

berhasil secara menyeluruh. Tindakan tersebut dapat dilihat dari

tabel.

Page 12: Referat Elen

12

Tabel 2. Terapi pada hipotensi ortostatik.

Jenis tindakan/terapi

Titik tangkap-mekanisme kerja

Dosis/catatan

Pakaian anti-gravitasi/elastik

Cegah pooling darah akibat posisi tegak

Tidak praktis untuk lansia: pakaian elastik harus sebadan penuh dikombinasi dengan support abdominal elastic.

fludrokortison Hormon mineralokortikoid, meretensi cairan dan garam ekspansi darah

0,1 mg tingkatkan sp.maks.1 mg (dosis besar bisa hipertensi/gagal jantung)-efektif hanya pada jenis ringan.

Flurbiprofen Inhibitor prostaglandin sintetase efek vasokonstriksi

50 mg/hari (kombinasi dengan fludrokortison)

Pindolol Simpatomimetik 15 mg/hari efektifitas perlu di konfirmasi.

Dihidro-ergotamin (DHE)

Efek vaokonstriksi pada pembuluh darah kapasitans di cadangan vena.

3 x 2 mg/hari. Bioavailabititas rendah pada pemberian oral.

Midodrin Agonis adrenergik 3 x 2,5 – 5 mg/hari. Efektivitas baik pada seri kecil uji coba untuk derajat HO berat.

Kafein vasokonstriktor 200-250 mg sehabis makan untuk hipotensi post prandial (setara dengan 2 cangkir kopi)

2. Gangguan regulasi temperatur

Pada pengaturan suhu, hipotalamus dianggap bekerja sebagai suatu

termostat, yaitu menetapkan suatu suhu tertentu, dimana kemudian terjadi

berbagai faktor yang mempengaruhinya. Apabila suhu ditetapkan agak tinggi,

maka pada suhu lebih rendah dari suhu yang ditetapkan tersebut merangsang

mekanisme tegaknya rambut kuit (piloereksi), vasokonstriksi perifer, menggigil

dan perasaan dingin menyebabkan orang tersebut mengenakan baju lebih tebal

dengan akibat meningkatnya suhu tubuh mendekati suhu yang ditetapkan.

Sebaliknya bila suhu tubuh ditetapkan pada temperatur yang lebih rendah, maka

Page 13: Referat Elen

13

mekanisme vasodilatasi, berkeringat dan melepas baju akan menurunkan

temperatur ke suhu mendekati yang ditetapkan.

“Penetapan” suhu tersebut bisa dinaikkan oleh adanya pirogen atau

mekanisme sensorik tubuh yang mencatat bahwa suhu sekitar terlalu rendah,

sebaliknya penetapan suhu bisa diturunkan bila badan terpanasi sebagai akibat

olahraga atau lingkungan yang terlalu panas. Berbagai keadaan akan

menyebabkan gangguan regulasi suhu sebagai mana terlihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Penyebab gangguan regulasi temperatur tubuh.

Hipertermia Hipotermia Penetapan ambang suhu tubuh terlalu tinggi hilangnya sensasi atau kedinginanKurang/hilangnya kemampuan berkeringat gangguan atas sensasi terhadap

perubahan suhuGangguan persepsi peningkatan suhu tubuh tanggapan vasokonstriksi otonom

abdormal atas kedinginan Tanggapan abnormalaliran darah perifer atas gangguan tanggapan dari reaksi menggigilmeningkatnya suhu tubuhCadangan kardiovaskuler menurun/terkom- kerusakan termogenesispromi(Kane et al, 1994)

A. Hipertermia

Dalam serangan akut, hipertermia dikenal sebagai heat stroke dan

didefinisikan sebagai kegagalan mempertahankan suhu tubuh, yang ditandai

dengan suhu inti tubuh yang > 40,6 oC, disfungsi susunan saraf pusat hebat

(psikosis, delirium, koma) (Van der Cammen, 1991). Dua golongan yang

seringkali terserang adalah para lansia dengan penyakit kronis dan golongan

dewasa muda yang melakukan olahraga berat. Begitu manifestasi sindrom

terlihat, angka kematian bisa mencapai 80%. Faktor yang mempredisposisi

sindrom ini bisa dilihat pada tabel dibawah :

Page 14: Referat Elen

14

Tabel 4. Faktor predisposisi heat stroke.

Ambilan panas oksigen

Peningkatan produksi panas

Gangguan keluarkan panas

Suhu lingkungan yang tinggi.Peningkatan risiko pada :

a. Usia sangat tua

b. Penyakit kronis/berat

Peminum alkohol

Olahraga dan latihan.Infeksi (keadaan demam tinggi).Keadaan agitasi dan gaduh gelisah.Obat (amfetamin, eks-tasi)Hipertiroidisme.

Tidak bisa aktimatisasi.Suhu lingkungan tinggi.Obesitas.Pakaian terlalu tebal.Penyakit kardiovaskuler.Dehidrasi.Usia sangat lanjut.Hil/deplesi kalium.

Lesi di SSP.Obat-obatan :a. Fenotiazinb. Antikolinergikc. DiuretiPropanolol.Disfungsi kelainan keringat.

( Kane et al1, 994).

Gambaran klinik

Awitan gejalanya biasanya tidak spesifik; antara lain berupa rasa berputar,

lemah, perasaan hangat/demam, anoreksia , nausea, tumpah, nyeri kepala dan

sesak nafas. Pada keadaan lanjut, timbul gejala disfungsi susunan saraf pusat

berupa psikosis, delirium sampai koma dan gejala anhidrosis berupa kulit yang

panas dan kering. Apabila gejala lanjt ini tampak prognosis memburuk.

Komplikasi

Pada keadaan lanjut dapat timbul komplikasi pada berbagai organ. Komplikasi ini

yang sering memperburuk prognosis, diantaranya adalah :

a. kerusakan miokardium

1. gagal jantung

2. aritmia

b. gagal ginjal akut

c. edema serebri

1. kejang atau difus

2. dapatan fokal

Page 15: Referat Elen

15

d. Nekrosis hepatoselular

1. ikterus

2. gagal hati

e. Rebdomiolosis : mioglobinuria

f. Diathesis hemorhagi : koagulasi intravaskuler diseminata

g. Gangguan elektrolit

h. Gangguan metabolism asam basa :

1. Asidosis metabolik

2. Asidosis respiratorik

i.Infeksi :

1. Pneumonia aspirasi

2. Sepsis

j. Dehidrasi dan syok

Penatalaksanaan

Pemberian terapi spesifik terdiri dari upaya pendinginan/penurunan suhu tubuh

sampai sekitar 38,8oC dalam satu jam pertama. Penggunaan buntalan es atau

imersi penderita dalam air es jauh lebih baik disbanding alcohol bath. Pencegahan

dan monitoring atas komplikasi yang terjadi kemudian bisa dilakukan.

B. Hipotermia

Definisi

Hipotermia adalah penurunan suhu tubuh (rektal, esophageal atau timpanik)

menjadi dibawah 35oC. Oleh karenanya yang paling utama dari diagnosis

adalah pengenalan dini dengan menggunakan thermometer berskala rendah,

karena thermometer biasa tidak akan bermanfaat.

Page 16: Referat Elen

16

Klasifikasi

1. Hipotermia primer :

Bila dianggap bahwa paparan ke dingin merupakan satu-satunya atau

faktor utama yang bertanggung jawab. Pada usia lanjut seringkali terdapat

gangguan regulasi temperature yang “fisiologik” dan tidak sebagai akibat

penyakit tertentu.

2. Hipotermia sekunder :

Bilamana dianggap bahwa hipotermia adalah akibat penyakit yang

mendasarinya, walaupun suhu badan yang rendah mungkin dipresipitasi oleh

paparan hawa dingin

Tabel 5. faktor predisposisi timbulnya hipotermia.

Penurunan produksi panas badan

Meningkatnya hilang panas

Gangguan pengaturan suhu

Hipotiroidisme.Hipoglisemia.Kelaparan/malnutrisi.Imobilitas/penurunan aktivitas (missal oleh karena stroke, arthritis parkinsonisme)

Lemak bawah kulit tipis.Pernafasan/imersi ke hawa/ lingkungan dingin.

Disfungsi hipotalamus/ SSP : Trauma kepala Hipoksia Tumor Penyakit

serebrovaskulerGangguan dipicu oleh obat-obatan : Alkohol Barbiturate Trankil.minor/mayor Antidep.trisiklik Salisilat/parasetamol Obat anestesi umum Glutetimid ReserpinUsia lanjut campuran : Sepsis Penyakit

kardiovaskuler Bronkopneumonia

(Kane et al, 1994)

Page 17: Referat Elen

17

Gejala klinik

Gejala awal biasanya ringan dan tidak jelas, oleh karenanya kecurigaan

akan hal ini sangat membantu penegakkan diagnosis. Riwayat bila pernah terjadi

sebelumnya akan sangat membantu, walaupun lansia bisa mengalami hipotermia

hanya akibat pemaparan pada suhu yang tidak terlalu dingin. Diagnosis banding

yang sering sukar pada hipotermia berat adalah dengan hipotiroidisme. Riwayat

penyakit tiroid sebelumnya, luka bekas operasi kelenjar tiroid di leher dan

pelambatan fase relaksasi reflex tendon dalam sering membantu diagnosis

hipotiroidisme. Makin besar penurunan suhu badan, gejala makin nyata dan makin

berat.

Tabel 6. Gejala klinik hipotermia.

Gejala awal (32-35oC) Gejala berikutnya (28-30oC)

Gejala akhir (<28oC)

Rasa capai/fatigue.Lemah.Langkah melambat.Apatis.Bicara pelo.Konfusio.Menggigil.Kulit yang dingin.Merasa dingin.

Kulit dingin.Hipopneu.Sianosis.Bradikardia.Aritmia atrial/ventrikel.Hipotensi.Semikoma-koma.Kekakuan otot.Edema umum.Refleks melambat.Reaksi pupil <Poliuria atau oliguria.

Kulit sangat dingin.Kaku/rigiditas.Nadi tidak teraba/fibrilasi ventrikel.Refleks menghilang.Tidak beri tanggapan terhadap rangsang.Pupil menetap/reaksi (-).

(Kane et al , 1991).

Komplikasi

Tabel 7. Komplikasi Hipotermia berat

Aritmia edema paruAres kardiorespirasi pankreatitisBronkopneumonia pendarahan gastrointestinalPneumonia aspirasi nekrosis tubuler ginjal akut Thrombosis intravaskuler

(Kane et al, 1991).

Page 18: Referat Elen

18

Penatalaksanaan

Terapi suportif bagi hipotermia :

1. Masukkan ke ICU (bagi penderita dengan temperature < 30oC)

2. Upayakan monitoring EKG terus menerus

3. Terapi sebagai sepsis (kecuali terbukti sebaliknya)

4. Lakukan penggantian cairan secara intravena

5. Aritmia biasanya resisiten terhadap upaya kardioversi dan obat (obat yang

diberikan selama masih hipotermi sering timbulkan masalah saat bagian

mengalami penghangatan kembali)

6. Terapi hiperglisemia hanya diberikan bila dalam derajat berat

7. Terapi asidosis dengan HCO3 harus dilakukan dengan hati-hati

8. Hindari penggunaan infuse sentral, kalau perlu cegah sampai ke jantung

(miokard sangat iritabel)

9. Periksa gas darah serial untuk ketahui fungsi repirasi

10. Sering diperlukan terapi O2 , hisap lendir bahkan intubasi endrotrakheal

11. Periksa foto thoraks untuk deteksi dini pneumonia aspirasi/bronkopneumonia

(sering terdapat)

12. Bila terdapat miksedema (hipotiroidisme) terapi dengan levotiroksin dan

kortikosteroid.

3. Sinkop

Definisi

Sinkop diartikan sebagai kehilangan kesadaran sekilas disertai dengan

hilangnya tonus postural, tetapi membaik secara spontan tanpa membutuhkan

resusitasi. Sinkop mempunyai penyebab dasar yang multiple dan

dikhawatirkan dapat meningkat risiko sudden death kalau penyebabnya adalah

kardial. Tanpa melihat penyebabnya, sinkop dapat menimbulkan terjadinya

jatuh, fraktur, hilangnya fungsi otonom, dan dapat pula menyebabkan

pendarahan subdural akibat posisi jatuhnya.

Page 19: Referat Elen

19

Etiologi

a. Penyakit-penyakit jantung (khususnya yang menurunkan cardiac output)

1) Structural (stenosis aorta, regurgitasi mitral, stenosis mitral,

kardiomiopati).

2) Vascular (infark miokard akut).

3) Konduksi (takiaritmia, bradiaritmia).

b. Hipotensi.

1) Hipotensi ortostatik

2) Hipotensi postprandial

3) Penurunan cairan tubuh (air atau darah).

c. Reflex

d. Komposisi darah yang abnormal (hipoksemia, hipoglikemia, anemia akut).

Page 20: Referat Elen

20

Tabel 8. Algoritme untuk evaluasi diagnosis sinkop penderita usia lanjut.

ElektroensefalogramDan CT Scan kepala

Peresepan yang tepat dipulangkan dengan

Resep obat/observasi

Telemetri/infark miokard lama atau baru/Ekokardiografi/pemeriksaan lain (misalnya pemeriksaan Elektrofisiologi) sesuai indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

diagnosis positif peresepan evaluasi negatif

yang tepat

positif negative

resep observasi

Pengobatan :

tujuan pengobatan sinkop pada usia lanjut adalah mencegah morbiditas dan

mortalitas sehubungan episode yang berulang. Faktor risiko yang ada diusahakan

seminimal mungkin pengaruhnya. Intervensi farmakologis jangan sampai

Sinkop

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Elektrokardiogram, pemeriksaan laboratorium, pemijatan sinus karotis.

Deficit neurologi fokal atau kejang.

Stress situasional atau hipotensi

Penyeba tak diketahui.

Identifikasi penyakit kardiak atau dugaan emboli paru

Kecurigaan penyakit kardiak

Tidak ada kecurigaaan penyakit kardiak

Perawatan RS

Evaluasi ulang dalam 24 jam

dipulangkan

Monitor holter atau loop recorder ambulatori

Kambuh

Page 21: Referat Elen

21

menimbulkan efek toksis, bila memungkinkan menghilangkan penyakit dasarnya.

Geriatric problems perlu diperhatikan.

4. Konstipasi

Definisi.

Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit 2

dari keluhan dibawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :

a. Konsistensi feses yang keras

b. Mengejan dengan keras saat BAB

c. Rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB

d. Frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

Tabel 8. Definisi konstipasi sesuai international Workshop on Constipation

Tipe Kriteria1. Konstipasi fungsional

2. Penundaan pada muara rektum

Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan : Mengedan keras 25% dari BAB Feses yang keras 25% dari BAB Rasa tidak tuntas 25% dari BAB BAB kurang dari 2 kali per

minggu

Hambatan pada anus lebih dari 25% BAB

Waktu untuk BAB lebih lama Perlu bantuan jari-jari untuk

mengeluarkan feses

Patofisiologi

Defekasi dimulai dari gerakan peristaltic usus besar yang menghantarkan feses

ke rectum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan amfula dari

rectum diikuti relaksasi dari sfingter anu sinterna. Untuk menghindarkan

pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfinkter anus

eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus.

Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfinkter anus eksterna

diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rectum mengeluarkan isinya dengan

Page 22: Referat Elen

22

bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan

dalam perut, relaksasi sfingter dan otot levator ani. Baik persarafan simpatis

maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.

a. Diskesia rectum :

Ditandai dengan penurunan tonus rectum, dilatasi rectum, gangguan

sensasi rectum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih

besar regangan rectum untuk untuk menginduksi refleks relaksasi dari

sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pada diskesia rectum

sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan

untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rectum juga dapat diakibatkan

kurang tanggapnya atau penekanan pada dorongan untuk BAB seperti

yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus

dan rectum.

b. Dis-sinergia pelvis :

Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter anus

eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukan

peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.

c. Peningkatan tonus rectum :

Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering

ditemukan pada kolon yang spastic seperti pada penyakit irritable bowel

syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

Page 23: Referat Elen

23

Tabel 9. Faktor-faktor risiko konstipasi pada usia lanjut.Obat-obatan Golongan antikolinergik Golongan narkotik Golongan analgetik Golongan diuretic NSAID Kalsium antagonis Perparat kalsium Preparat besi Antasida aluminium Penyalahgunaan pencahar

Kondisi neurologis Strok Penyakit Parkinson Trauma medulla spinalis Neuropati diabetik

Gangguan metabolic Hiperkalsemia Hipokalsemia Hipotiroid

Kausa psikologis Psikosis Depresi Demensia Kurang privasi untuk BAB Mengabaikan dorongan BAB Konstipasi imajiner

Penyakit-penyakit saluran cerna Kanker kolon Divertikel Ileus Hernia Volvulus Irritable bowel syndrome Rektokel Wasir Fistula/fisura ani Inersia kolon

Lain-lain Diet rendah serat Kurang cairan Imobilitas/kurang olahraga Bepergian jauh Pasca tindakan bedah perut

Pemeriksaan fisik : tidak ada kelainan yang jelas. Diawali dengan pemeriksaan

rongga mulut meliputi gigi-geligi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor

yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.

Pemeriksaan daerah perut :

Inspeksi : pembesaran abdomen, peregangan atau tonjolan.

Palpasi : permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih

dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma aorta.

Perkusi : dicari pengumpulan gas berlebih, pembesaran organ, asites, atau adanya

massa feses.

Auskultasi : mendengarkan suara usus besar, normal atau berlebihan.

Page 24: Referat Elen

24

Pemeriksaan colok dubur, dapat memberikan informasi tentang :

a. Tonus rectum

b. Tonus dan kekuatan sfingter

c. Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis

d. Adakah timbunan massa feses

e. Adakah massa lain (misalnya hemoroid)

f. Adakah darah

g. Adakah perlukaan di anus

Pemeriksaan laboratorium :

a. Glukosa darah, kadar hormone tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan

dengan keluarnya darah dari rectum, dan sebagainya.

b. Anuskopi.

c. Foto polos.

d. Sinedefecografi.

e. Uji manometri.

f. Pemeriksaan elektromiografi.

Komplikasi

a. Impaksi feses

b. Volvulus daerah sigmoid

Pengobatan

1. Pengobatan Non farmakologis : latihan usus besar, diet, olahraga.

2. Pengobatan farmakologis : 4 golongan obat pencahar, antara lain :

a. Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : cereal, methyl

selulose, Psilium.

b. Melunakkan dan melicinkan feses : minyak kastor, golongan docusate.

c. Golongan osmotic yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk

digunakan, missal untuk penderita gagal jantung : sorbitol, Lactulose,

Glycerin.

d. Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar.

Golongan ini yang banyak dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak

Page 25: Referat Elen

25

pleksus mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya :

Bisakodil, Fenolptalein.

Page 26: Referat Elen

26

BAB 3

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Kelainan susunan saraf otonom yang bermanifestasi antara lain sebagai

hipotensi ortostatik/postural, gangguan pengaturan suhu, gangguan gerakan

kandung kemih, esophagus dan usus besar, merupakan salah satu sindron dari

geriatric. Hal ini berarti bahwa sindroma tersebut seringkali di jumpai pada

penderita usia lanjut, menyebabkan masalah kesehatan yang cukup besar dan

member akibat bagi kwalitas hidup penderita (bahkan sering juga pada

keluarganya). Kelainan utama adalah berkurangnya aktivitas neurotransmitter

asetilkolin seiring dengan lanjutnya usia, akan tetapi sering diperberat oleh

adanya penyakit serebrovaskuler pada penderita tersebut.

3.2. Saran

Dengan adanya referat ini, bermanfaat bagi pembaca, yaitu supaya

pembaca tahu dan mengerti tentang gangguan otonom pada lansia.

Page 27: Referat Elen

27

REFERENSI

w.sudoyo, Aru ; Setiyohadi, Bambang, dkk.2006.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid III Edisi IV.Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.Jakarta.

Martono, H.Hadi ; Pranarka, Kris.2009.Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri (Ilmu

Kesehatan Usia Lanjut).Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.Jakarta.