26
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Objek utama yang menjadi fokus dalam penulisan referat ini merupakan reservoir aliran debris karbonat yang berada pada Formasi Berai, Ruby Field, Cekungan Makasar Selatan. Kebanyakan dari reservoir batuan karbonat yang efektif di Indonesia merupakan batuan karbonat laut dangkal, carbonate banks, dan reefal built-ups. Pembentukan porositas pada batuan-batuan tersebut biasanya dikontrol oleh fluktuasi air laut yang memicu terbentuknya porositas sekunder. Tetapi, reservoir pada Ruby Field terbilang sangat unik dan terendapkan pada kondisi yang sangat berbeda dengan batuan-batuan diatas. Reservoir pada Rubi Field merupakan satu-satunya reservoir produktif yang berasal dari endapan debris karbonat di Indonesia. Batuan Karbonat pada Ruby Field telah terbukti sebagai reservoir dengan kualitas yang baik pada MKS-1, MKS-3 dan MKS-4, namun dengan kualitas yang buruk pada MKS-2. Sedangkan pada NW Ruby-1 yang berdasarkan studi-studi yang telah dilakjukan diinterpretasikan akan menjadi sumur yang produktif, setelah di bor menghasilkan dry hole. Karena kualitasnya yang cukup baik, endapan debris karbonat ini sangat menarik untuk dipelajari lebih lanjut sebagai salah satu alternatif baru dalam play concept hidrokarbon suatu daerah, dan pemahaman lebih lanjut mengenai geometri dan petrofisik dari endapan ini perlu lebih dipahami agar kesalahan-kesalahan seperti yang terjadi pada NW Ruby-1 tidak terulang lagi. I.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari referat ini adalah untuk memberikan pemahan yang lebih baik mengenai endapan debris karbonat sebagai reservoir hidrokarbon, terutama pada Ruby Field. Adapun tujuan dari tulisan ini antara lain:

Referat Fix

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Objek utama yang menjadi fokus dalam penulisan referat ini merupakan

    reservoir aliran debris karbonat yang berada pada Formasi Berai, Ruby Field,

    Cekungan Makasar Selatan. Kebanyakan dari reservoir batuan karbonat yang

    efektif di Indonesia merupakan batuan karbonat laut dangkal, carbonate banks, dan

    reefal built-ups. Pembentukan porositas pada batuan-batuan tersebut biasanya

    dikontrol oleh fluktuasi air laut yang memicu terbentuknya porositas sekunder.

    Tetapi, reservoir pada Ruby Field terbilang sangat unik dan terendapkan pada

    kondisi yang sangat berbeda dengan batuan-batuan diatas. Reservoir pada Rubi

    Field merupakan satu-satunya reservoir produktif yang berasal dari endapan debris

    karbonat di Indonesia.

    Batuan Karbonat pada Ruby Field telah terbukti sebagai reservoir dengan

    kualitas yang baik pada MKS-1, MKS-3 dan MKS-4, namun dengan kualitas yang

    buruk pada MKS-2. Sedangkan pada NW Ruby-1 yang berdasarkan studi-studi

    yang telah dilakjukan diinterpretasikan akan menjadi sumur yang produktif, setelah

    di bor menghasilkan dry hole.

    Karena kualitasnya yang cukup baik, endapan debris karbonat ini sangat

    menarik untuk dipelajari lebih lanjut sebagai salah satu alternatif baru dalam play

    concept hidrokarbon suatu daerah, dan pemahaman lebih lanjut mengenai geometri

    dan petrofisik dari endapan ini perlu lebih dipahami agar kesalahan-kesalahan

    seperti yang terjadi pada NW Ruby-1 tidak terulang lagi.

    I.2 Maksud dan Tujuan

    Maksud dari referat ini adalah untuk memberikan pemahan yang lebih baik

    mengenai endapan debris karbonat sebagai reservoir hidrokarbon, terutama pada

    Ruby Field. Adapun tujuan dari tulisan ini antara lain:

  • 2

    1. Untuk memberikan gambaran mengenai kondisi reservoir pada Ruby Field

    2. Untuk menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

    perkembangan dari porsitas dan permeabilitas pada endapan debris karbonat

    3. Untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik petrofisik reservoir

    dari tiap sumur pada Ruby Field

    4. Untuk memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan beberapa masalah

    yang terjadi pada Blok Ruby

    I.3 Batasan Masalah

    Penyusunan karya referat ini didasarkan kepada data-data sekunder yang

    didapatkan dari hasil studi pustaka yang antara lain bersumber kepada beberapa

    buku, jurnal, paper dan artikel ilmiah. Adapun masalah yang akan dibahas dalam

    karya referat ini dibatasi hanya kepada aspek-aspek karakteristik reservoir aliran

    debris karbonat dan proses-proses yang mempengaruhi pembentukannya.

  • 3

    BAB II

    ENDAPAN DEBRIS KARBONAT

    Endapan debris karbonat atau biasa disebut dengan lapisan breksi atau

    megabreksi, lembaran debris, lembaran rudit, jatuhan debris, dan olisostrom (dalam

    artian non-tektonik) merupakan endapan klastika batugamping dengan ukuran dari

    beberapa centimeter sampai beberapa ratus meter dengan matriks karbonat

    berukuran lempung-pasir (Walker, 1984).

    II.1. Aliran Debris

    Aliran debris dapat didefinisikan sebagai aliran non-newtonian

    berkonsentrasi tinggi. Aliran debris dapat terjadi pada berbagai macam

    lingkungan, dari padang pasir sampai continental slope. (Coussot dan

    Meunier, 1996 dalam Selley, 2000). Faktor yang sangat penting dari

    pergerakan sedimen dengan aliran debris adalah keberadaan slope yang

    memadai. Untuk tahapan selanjutnya, gempa bumi, ombak, atau badai

    umumnya menjadi pemicu pergerakan aliran ini.

    Endapan dari aliran debris ini bervariasi dalam ukurannya dari

    bongkah, pasir, lanau sampai lempung. Karakteristik utama dari endapan ini

    adalah sortasi yang buruk dan masif (Gambar 2.1)

    Gambar 2.1. Model dari endapan debris beserta dengan sifat alirannya (Hauton et al,

    2006)

  • 4

    II.2 Karakteristik Endapan Debris Karbonat

    Lapisan dari endapan debris karbonat dapat memiliki pelamparan

    dari beberapa meter sampai puluhan meter dari tepian cekungan. Sangat

    sulit untuk merekonstruksi sudut pengendanpan dari endapan debris ini,

    tetapi dari kebanyakan hasil pengamtan diperkirakan bahwa pengendapan

    terjadi pada slope yang tidak lebih tinggi dari 1o (Cook, et al, 1972 dalam

    Scholle, 1982).

    Endapan debris karbonat dicirikan dengan keanekaragaman yang

    tinggi dari tipe litologi dan ukuran dari fragmen yang angular dengan

    orientasi perlapisan yang ganjil. (Chilingarian, 1993). Kebanyakan endapan

    debris karbonat membentuk lapisan dalam bentuk tiga dimesional, namun

    bentuk-bentuk menyeruai channel dan lentikular cukup sering ditemukan.

    Endapan ini berasosiasi dengan relief yang tinggi, tektonik aktif, slope yang

    curam, dan bioerosion serta submarine dissolution dari karbonat forereef

    oleh mata air atau oversteepening platform margins. Batas bawah dari

    endapan debris merupakan batas yang jelas dan umumnya planar (Gambar

    2.2).

    Gambar 2.2: bagian bawah dari lapisan breksi pada fasies lower slope, Canning basin,

    Western Australia (Phillip E. Playford dalam Scholle, 1983)

  • 5

    Sortasi dari endapan ini sangat buruk dengan fragmen yang dapat

    mencapai ukuran 200 meter, mengapung pada matriks berukuran lumpur

    sampai pasir. Walaupun demikian, fosil-fosil berukuran mikro tetap

    ditemukan terpreservasi dalam endapan ini (Scholle, 1982). Umumnya,

    endapan debris karbonat tidak ditemukan bergradasi, walaupun di beberapa

    tempat gradasi normal dan terbalik terkadang ditemukan. Partikel pada

    endapan ini memiliki orientasi yang acak (Gambar 2.3 A), namun pada dasar

    perlapisan, dapat ditemukan orientasi yang sejajar dengan bidang

    perlapisan.

    Kandungan matriks dari endapan debris karbonat umumnya sangat

    tinggi sehingga fragmen batuan terlihat seperti mengapung diatas matriks.

    Endapan tipe ini, dapat disebut sebagai floatstone (Gambar 2.3 B) jika

    mengacu kepada Embry & Klovan (1973) (Gambar 2.4). Namun endapan

    grain/clast supported juga cukup sering ditemukan dan dapat disebut

    sebagai rudstone (Gambar 2.3 C). Endapan dengan clast supported seperti

    ini tidak harus mencirikan mud support yang sedikit pada saat trransportasi

    berlangsung karena volume matriks dapat berkurang secara signifikan pada

    proses dewatering (Schole, 1983).

    Gambar 2.3: Kenampakan inti dari breksi pada Formasi Tamabra, Poza Rica Field. (A)

    kenampakan orientasi fragmen yang chaotic. (B) Floatstone. (C) Rudstone. (Schole,

    1983)

  • 6

    Gambar 2.4: Klasifikasi batuan karbonat (Embry & Klovan, 1971)

    Komposisi dari matriks tergantung dari besarnya slope dan

    komposisi sedimen reefal. Tingginya kandungan fosil pelagik mencirikan

    lingkungan slope yang lebih dalam. Komposisi dari fragmen dapat

    mencirikan sumber dari endapan tersebut.

    II.3 Lingkungan Pengendapan

    Menurut Walker (1938), endapan karbonat aliran debris dapat

    terbentuk pada lingkungan slope bagian atas di lingkungan laut dangkal atau

    pada bagian bawah profil slope. Endapan debris karbonat yang terbentuk

    pada laut dangkal dikarakteristikan dengan endapan breksi dengan sortasi

    yang sangat buruk dan umumnya membentuk suatu channel. Sedangkan

    endapan yang terbentuk pada bagian bawah slope biasanya membentuk

    kipas bawah laut dengan litologi yang merupakan campuran dari batuan

    sedimen berukuran halus dengna karbonat, serta seringkali ditemukanya

    strukutur-struktur geologi yang mengindikasikan gerakan massa sedimen

    post-deposition (Walker, 1983 dengan modifikasi)

    Model fasies dari endapan debris yang berada pada bagian bawah

    slope dibangung dengan menggunakan pendeketan fasies model kipas

    bawah laut menurut Mutti dan Ricci Luchi, 1972 (Gambar 2.5).

  • 7

    Berdasarkan model fasies ini, (Gambar 2.5) endapan pada kipas bawah laut

    dapat dikelompokan menjadi tiga bagian berdasarkan dari suksesi

    stratigrafinya.Dimulai dari upper fan pada bagian atas yang dicirikan dengan

    endapan kasar dengan kandungan mud yang kecil, serta terlihat memiliki ketebalan

    yang tinggi disebabkan oleh morfologi kipas yang semakin menipis ke arah luar.

    Pada bagian upper fan ini sering dijumpai struktur berupa slump. Lingkungan

    middle fan merupakan lingkungan transisi antara upper fan dan lower fan. Pada

    Gambar 2.5 Model fasies kipas bawah laut (Mutti dan Ricci Luchi, 1972 dengan modifikasi)

  • 8

    lingkungan ini terlihat tipikal endapan yang masih membentuk channel pada bagian

    atas, kemudian perlapisan tabular pada bagian bawahnya (Walker, 1984).

    Bagian paling bawah dari model ini merupakan lower fan yang

    merupakan perlapisan antara endapan yang berukuran kasar dengan endapan yang

    berukuran halus. Ketebalan lapisan pada bagian ini biasanya memiliki ketebalan

    yang tipis karena terletak pada bagian paling luar dari kipas bawah laut.

  • 9

    BAB III

    STUDI KASUS : FORMASI BERAI, CEKUNGAN MAKASSAR SELATAN

    III.1 Geologi Regional Cekungan Makassar Selatan

    Cekungan Makassar Selatan terletak pada bagian selatan dari Selat

    Makassar yang menghubungkan Pulau Kalimantan dengan Pulau Sulawesi

    (Gambar 3.1). Secara tektonik, cekungan ini menjadi batas bagian timur dari kraton

    Sundaland dan juga terletak pada garis imajiner yang menjadi batas fisiografi antara

    Kraton stabil pada Indonesia bagian barat dan kondisi tektonik yang kompleks pada

    Indonesia bagian timur.

    III.1.1 Tektonik

    Cekungan Makasar Selatan dipisahkan dengan Cekungan Makassar

    Utara dengan Sesar Adang-Paternoster dan dibatasi oleh lengan selatan

    Sulawesi pada bagian timur, Peternoster Platform pada bagian barat dan

    Spermonde Platfrom serta Tinggian Masalima pada bagian Selatan.

    (Gambar 3.1)

    Gambar 3.1 Lokasi Cekungan Makassar Selatan (Tanos, 2013)

  • 10

    Terdapat dua aktifitas lempeng tektonik besar yang mempengaruhi

    sejarah geologi dari cekungan ini: subduksi dari Lempeng India terhadap

    Lempeng Eurasia, dan subduksi dari Lempeng Australia dibawah Lempeng

    Eurasia (Metcalfe, 1996; Hall, 2007 dalam Kupecz et al., 2013). Kedua

    aktifitas tektonik tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap

    pola dari struktur geologi dan stratigrafi yang terbentuk.

    Proses subduksi dari Lempeng India terhadap Lempeng Eurasia

    menghasilkan rezim tektonik ekstensi di seluruh bagian Asia Tenggara,

    yang pada daerah ini, diwakili oleh oleh pembentuk sesar-sesar turun

    dengan orientasi BL-TG (Tapponier et al., 1982) yang menandai tahap awal

    dari proses rifting. Berdasarkan studi biostratigrafi, proses pembentukan

    sesar-sesar tersebut terjadi pada kala Eosen Tengah. Selanjutnya, proses

    pendinginan kerak yang tua diduga meruapakan penyebab dari subsiden

    cekungan dan marine incursion yang terjadi pada kala Oligosen Awal

    (Kupecz et al., 2013).

    Kemudian, proses subduksi Lempeng Australia terhadap Lempeng

    Eurasia pada Miosen Tengah menghasilkan rezim tektonik kompresi yang

    menyebabkan pembalikan struktur dan reaktifitasi sesar (Kupecz et al.,

    2013). Struktur geologi regional yang terlihat pada saat ini menunjukkan

    arah TL-BD yang tergambarkan oleh orientasi platform, punggungan, dan

    pegunungan. (Gambar 3.2)

    III.2 Stratigrafi

    Dengan mengacu kepada data sumur dari beberapa publikasi,

    formasi litologi pada Cekungan Makassar Selatan memiliki banyak

    kesamaan dengan stratigrafi regional dari Cekungan Sebuku (Gambar 3.3).

    Maka dari itu, stratigrafi dari Cekungan Sebuku beserta dengan tatanamanya

    akan digunakan sebagai acuan utama dalam pembahasan yang lebih lanjut.

  • 11

    Gambar 3.2: Setting tektonik regional dari Cekungan Makasar Selatan dan sekitarnya (Kupecz et

    al., 2013)

    Gambar 3.3: Kolom stratigrafi Cekungan Sebuku (Pireno et al., 2012)

  • 12

    III.2.1 Formasi Tanjung Bawah

    Sebelum Kala Eosen Tengah, Kalimantar bagian selatan dan

    lengan Sulawesi bagian barat saling berimpitan. Kemudian proses

    rifting yang terjadi pada Eosen Tengah memulai tahap awal dari

    berpisahnya kedua daerah tersebut. Pada tahap awal dari proses rifting

    ini, terendapkan Formasi Tanjung Bawah. (Hidayat et al., 2012)

    Formasi ini tersusun atas endapan khas syn-rift yang di

    dominasi oleh fasies kompleks dataran aluvial. Selain itu, pada daerah

    sekitar sesar-sesar turun pembentuk graben, fasies kompleks kipas

    aluvial dapat ditemukan dengan pola yang sejajar dengan pola struktur

    rift utama, yaitu Sesar Taka-Tulu dengan arah TL-BD dan Sesar Adang-

    Peternosfer dengan arah BL-TG. Endapan lacustrine dan perlapisan

    batubara juga terdapat pada formasi ini, namun tidak terlalu melimpah.

    III.2.2 Formasi Tanjung Atas

    Proses rifting yang terus berlangsung menyebabkan terjadinya

    transgresi sehingga terjadi perubahan fasies secara vertikal menuju

    lingkungan shelf pada Eosen Akhir.

    Formasi ini didominasi oleh perselingan dari calcareous shale

    dan batugamping yang mencirikan fasies karbonat platform. Secara

    batimetri fasies ini terendapakan pada zona neritik. ( Hidayat et al.,

    2012)

    Distribusi dan batas dari penyebaran platform karbonat ini

    masih terlihat sangat dipengaruhi oleh struktur-struktur rift, sehingga

    diperkirakan struktur tersebut masih aktif hingga kala Eosen Akhir.

    III.2.3 Formasi Berai

    Pada kala Oligosen, aktifitas tektonik rifting mulai berhenti

    (Kupecz, 2013), sehingga secara tektonostratigrafi pengendapan

    memasuki tahap post-rift. Proses regresi yang masih berlangsung

    menyebabkan lingkungan terus mendalam hingga zona batial. Model

    pengendapan pada formasi ini menunjukan perubahan fasies secara

  • 13

    lateral dari lingkungan platform, reef, slope, hingga basinal plain.

    (Hidayat et al., 2012)

    Endapan platform karbonat pada Platrofm Peternosfer

    mengalami erosi dan terendapkan kembali di zona batial pada Pangkat

    Graben sebagai endapan debris. (Ruby Field; Gambar 3.4)

    Endapan debris karbonat pada formasi ini terbentuk pada masa

    Chattian Aquitanian yang termasuk kedalam periode second-order

    eustatic lowstand dan third-order eustatic lowstand (Kupecz et al.,

    2013) dan sudah terbukti sebagai reservoir hidrokarbon yang ekonomis.

    Gambar 3.4: Peta Gross Depositional Environment yang

    menunjukan pembentukan dari Formasi Berai

  • 14

    A. Formasi Warukin Bawah & Warukin Atas

    Formasi Warukin Bawah terbentuk pada kala Miosen Awal,

    kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Formasi Warukin Atas

    pada Miosen Akhir. Awal dari pembentukan Formasi Warukin Bawah

    bersamaan dengan mulainya fase syn-orogenic kompleks vulkano-

    plutonik di Sulawesi Barat (Coffield et al, 1993) dan bersamaan pula

    dengan tahap awal progradasi Delta Mahakam (Moss & Chambers,

    1999 dalama Hidayat et al., 2012).

    Anggota dari kedua formasi ini tidak jauh berbeda dan

    menunjukkan banyak kesamaan dengan anggota dari Formasi Berai,

    dimana terdapat perubahan fasies lateral secara gradual dari platform

    menuju slope kemudian menjadi basinal plain.

    Dengan membandingkan rekonstruksi depositional model dari

    Formasi Berai, Formasi Warukin Bawah, dan Formasi Warukin Atas

    (Gambar 3.5), terlihat bahwa posisi relatif antara tiap fasies mengalami

    progradasi ke arah tenggara. Hal tersebut dapat mengindikasikan bahwa

    Gambar 3.5: Depositional Model dari Formasi Berai (kiri), Formasi Warukin Bawah

    (kanan atas) dan Formasi Warukin Atas pada bagian kanan bawah. (Hidayat et al., 2012

    dengan modifikasi)

  • 15

    efek dari progradasi Delta Mahakam dan penurunan muka air laut

    relatif mengakibatkan bertambahnya suplai sedimen kedalam cekungan

    (Hidayat et al., 2012)

    III.2. Evaluasi endapan debris karbonat pada formasi berai sebagai reservoar gas

    Data yang digunakan dalam studi kasus ini merupakan data sumur MKS-1,

    MKS-2, MKS-3, MKS-4 (Gambar 3.6), Sumur NW Ruby-1, Takatulu-1, Larilarian-

    1 dan karakteristik batuan inti serta 3D Seismik yang banyak diambil dari publikasi

    Pireno et al. (2009) dan Tanos et al. (2013).

    Gambar 3.6: Lokasi dari sumur MKS-1, MKS-2, MKS-3 dan MKS-4 (Pireno, et al., 2012)

    III.2.1 Litologi

    Berdasarkan data batuan inti, diperkirakan terdapat paling tidak

    tujuh litofasises yang berbeda Formasi Berai (Gambar 3.7). Litofasies

    tersebut diantaranya adalah matrix dominated breccia, clast-dominated

    breccia, reefal-boundstone-supported breccia, bioclastic wackestone-

    packestone, foramalgal packestone-floatstone, dolomite & clay. Diantara

    fasies-fasies tersebut, litofasies yang paling dominan merupakan matrix-

    supported breccia & clast-supported breccia yang meliputi 90% dari

  • 16

    Formasi Berai pada lokasi ini. Maka dari itu pembahasan selanjutnya akan

    lebih dikhususkan kepada kedua fasies ini.

    Gambar 3.7: Fotografi dari batuan inti Berai Karbonat beserta deskripsi singkat pada

    tabel. (Tanos, 2013)

    Fasies C1 dan C2 merupakan breksi karbonat dengan fragmen

    berukuran kerikil sampai bongkah dengan matriks berupa lumpur

    karbonatan dan bioklastik. Fragmen didominasi oleh litik packestone &

    wackestone yang mengandung alga merah, fragmen moluska,

    echinodermata, miliolid, foraminifera besar, formainifera kecil dan fragmen

    koral. Bioklastik pada matriks memiliki tingkat kesamaan yang tinggi

    dengan bioklastik yang terdapat pada fragmen sehingga diperkirakan bahwa

    matriks pada batuan ini berasal dari hancuran fragmen-fragmen yang belum

    terlitifikasi sempurna saat transportasi terjadi. Sortasi dari batuan ini

    tergolong buruk dan tidak ditemukan adanya gradasi. Struktur sedimen yang

    dapat diamati dari sampel batuan inti hanyalah load cast dan slumping pada

    sampel yang diambil dari MKS-4.

  • 17

    Sesuai dengan pendapat dari Walker (1984) dan Schole (1983) yang

    sudah disampaikan pada dasar teori, kenampakan-kenampakan seperti

    variasi ukuran butir yang tinggi, kandungan klastika yang beragam, sortsi

    yang buruk, serta sedikitnya ditemukan struktur geologi pada sampel batuan

    inti yang diambil dari sumur-sumur ini dapat mengindikasikan bahwa

    batuan ini merupakan produk dari aliran debris.

    III.2.2 Lingkungan Pengendapan

    Interpretasi lingkungan pengendapan secara lebih lanjut dapat

    dilakukan dengan membandingkan stratigrafi yang didapatkan dari data

    log sumur dengan model fasies yang paling seusai. Dari hasi deskripsi

    sampel batuan inti pada pembahasan sub-bab selanjutnya, diduga bahwa

    proses utama yang berperan dalam pembentukan endapan ini merupakan

    proses aliran debris yang terjadi pada lingkungan marine. Model fasies

    yang digunakan dalam interpretasi daerah adalah model fasies menurut

    Mutti dan Ricci Luchi (1972) (Gambar 3.8)

    Secara umum, berdasarkan dari data batuan inti yang diambil pada

    MKS-1, MKS-2, MKS-3 dan MKS-4, fragmen batugamping yang

    menyusun batuan tersebut terlihat masih belum terlitifikasi sempurna

    sebelum terendapkan kembali, terutama pada sumur MKS-1, MKS-3 dan

    MKS-4. Hal tersebut mencirikan bahwa batuan pada sumur MKS-1, MKS-

    3 dan MKS-4 belum tertransportasi begitu jauh dari sumbernya.

    Selanjutnya, dengan mengamati log keempat sumur tersebut (Gambar 3.8),

    terlihat bahwa pada MKS-1 terdapat bentukan menyerupai channel dengan

    kandungan lumpur yang lebih rendah dibandingkan dengan sumur yang

    lain yang mecirikan lingkungan yang lebih proksimal. Jika dibandingkan

    dengan model Mutti dan Ricci Luchi (1972), diduga bahwa MKS-1

    termasuk kedalam lingkungan upper fan.

    Kemudian pada data log juga terlihat bahwa MKS-3 dan MKS-4

    memiliki kandungan lumpur pengotor yang cukup tinggi sehingga

  • 18

    Gam

    bar

    3.8

    Kole

    rasi

    lo

    g s

    um

    ur

    pad

    a R

    ub

    y F

    ield

    (T

    anos,

    et

    al

    2013)

    dib

    andin

    gkan

    den

    gan

    model

    fas

    ies

    kip

    as b

    awah

    lau

    t m

    enuru

    t

    Mutt

    i dan

    Ric

    ci L

    uch

    i (1

    972)

    den

    gan

    modif

    ikas

    i

  • 19

    diinterpretasikan terdapat pada lingkungan yang lebih distal yaitu pada

    lingkungan middle fan. Hal ini didukung dengan keberadaan struktur

    slump pada MKS-4. Walaupun MKS-3 dan MKS-4 diinterpretasikan

    berada pada bagian kipas yang sama, diperkirakan MKS-4 terletak pada

    suatu distributary channel pada bagian middle fan tersebut (Gambar 3.10),

    dikarenakan karakter endapannya yang lebih masif dengan lumpur

    pengotor yang tidak sebanyak MKS-3. Kemudian pada MKS-2 terlihat

    ketebalan reservoar yang relatif tipis dibandingkan dengan reservoar lain,

    dengan kandungan mud yang banyak pula, sehingga diinterpretasikan

    bahwa reservoar pada MKS-2 diendapkan pada lingkungan lower fan.

    Interpretasi lingkungan tersebut didukung dengan data seismik

    pada gambar 3.9. Dari data seismik tersebut terlihat secara keseluruhan

    reservoar pada Ruby Field membentuk bentukan gundukan yang

    merupakan ciri endapan kipas. Dari data seismik tersebut juga terlihat

    bahwa MKS-2 terletak pada bagian tepian gundukan sedangkan MKS-1,

    MKS-3 dan MKS-4 cenderung terletak pada bagian tengah morfologi

    gundukan tersebut.

    Gambar 3.9: Penamapang Seismik Ruby Field dan NW Ruby-1 (Tanos, 2013 dengan

    modifikasi). Pada penampang ini terlihat terdapat dua sesar turun pada Ruby Field,

    sedangkan struktur serupa tidak dapat ditemukan pada NW Ruby-1.

  • 20

    Data biostratigrafi yang diambil dari sampel cutting dari sumur

    MKS-4 dan NW Ruby-1 menunjukan bahwa endapan debris ini

    terendapakan pada zona batial. Condensed secction terendapkan setelah

    pengendapan endapan debris dan ditimpa oleh sedimen pro-delta pada

    zona neritik dalam. Endapan delta ini mengalami progradasi ke arah

    tenggara. Shale dari delta-front yang mengalami downlap kemudian

    menjadi seal yang baik dan memisahkan NW Ruby dari Ruby Field

    (Tanos, 2013).

    Dari data seismik (Gambar 3.9) terlihat bahwa terdapat dua

    kenampakan yang menyerupai gundukan, yaitu pada Ruby Field (MKS 01

    sampai MKS 04) dan yang lebih kecil pada NW Ruby 1. Pada Ruby Field,

    terlihat terdapat sesar yang terbentuk sebelum pembentukan seal, yang

    sangat berkontribusi terhadap pengisian hidrokarbon reservoir endapan

    debris karbonat. Di lain pihak, pada NW Ruby 1, struktur semacam ini

    tidak ditemukan, sehingga hal tersebut bisa jadi menjadi penyebab

    minimnya hidrokarbon pada sumur ini. Selain itu, berdasarkan data

    seismik (Gambar 3.10) terlihat bahwa kedua gundukan tersebut

    terpisahkan oleh seal yang menyebabkan NW Ruby 1 terisolasi dari

    migrasi lateral hidrokarbon yang berasal dari Ruby Field.

    Gambar 3.10 Rekonstruksi kipas bawah laut Ruby Field dan NW Ruby (Tanos,

    2013 dengan modifikasi)

  • 21

    Pada gambar 3.10 terlihat bahwa endapan debris pada MKS-2 jauh

    lebih tipis jika dibandingkan dengan endapan debris dari sumur lain karena

    letaknya yang berada pada bagian tepian kipas (gambar). Hal tersebut

    berimplikasi terhadap kualitas dari reservoir yang dalam kasus ini biasanya

    akan berbading lurus dengan ketebalan reservoir. (lebih lengkapnya akan

    dibahas di sub-bab selanjutnya)

    III.2.3 Diagenesis

    Proses diagenesa dapat dikelompokan menjadi proses-proses yang

    terjadi sebelum dan sesudah transportasi dari fragmen-fragmen

    batugamping pada endapan debris ini. Sebelum transportasi terjadi,

    fragmen batugamping dapat mengalami proses diagensis yang terjadi pada

    kondisi marine phreatic dan freshwater phreatic. Pada kondisi iini,

    batugamping mengalami leaching & replacement dari biklastik-bioklastik

    aragonit yang menyebabkan terbentuknya porositas mouldic dan vuggy

    yang kemudian terisikan oleh presipitasi kalsit pada beberapa bagian dari

    pori tersebut.

    Setelah fragmen batugamping tersebut terendapkan kembali, terjadi

    proses sedimentasi oleh kalsit yang bersifat fibrous. Kemudian, proses

    subsequent leaching mulai terjadi, terutama pada bioklastik foraminifera

    dan alga merah yang terdapat di matriks dan fragmen sehingga

    menghasilkan porositas sekunder dengan tipe mouldic dan vuggy. (Gambar

    3.8)

    Porositas tersebut saling terhubung dengan baik, karena bioklastik

    dari formanifera dan alga merah memang sangat melimpah pada batuan ini.

    Selain itu, retakan-retakan yang cukup rapat (berkisar tiap 4 sampai 5 feet)

    juga berperan dalam menambah tingkat hubungan antara pori tersebut.

  • 22

    III.2.4 Kualitas Reservoir

    Sistem pori efektif yang berada endapan debris karbonat ini dapat

    ditemukan pada matriks dan juga fragmen dari endapan ini. Aspek petrofisik

    dari karakteristik reservoir debris karbonat pada tiap sumur dirangkum

    dalam tabel 1.

    No Well Efective

    Porosity

    Permeability

    (mD)

    Gross

    Res (m)

    Net Res

    (m)

    N/G

    1 MKS-1 0.15 26.10 98.10 95.00 0.96

    2 MKS-2 0.13 2.85 45.00 19.00 0.42

    3 MKS-3 0.12 9.35 84.10 47.40 0.56

    4 MKS-4 0.14 18.30 96.90 96.90 1.00

    5 NW-Ruby-1 0.10 2.94 75.40 41.60 0.55

    6 Takatulu-1 0.12 3.98 594.40 314.10 0.53

    7 Larilarian-1 0.23 32.20 116.60 106.20 0.91

    Tabel 1. Tabel petrofisik dari sumur-sumur di Ruby Field dan sekitarnya

    Gambar 3.8: porositas sekunder tipe mouldic & vuggy pada sampel batuan inti

    endapan debris karbonat dari Formasi Berai (Pireno et al., 2009)

  • 23

    Pada tabel 1 terlihat bahwa net to gross ratio bertambah seiring

    dengan bertambahnya ketebalan reservoir. Hal ini mengindikasikan bahwa

    material debris karbonat, khususnya foraminifera besar dan alga merah

    memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap besarnya porositas dan

    permeabilitas dari reservoir ini.

    Berbeda dengan reef reservoir yang lebih sering ditemukan, endapan

    debris karbonat memiliki keunggulan pada ketidakhadirannya penghalang-

    penghalang impermeabel seperti yang berada pada reefal reservoir yang

    berkaitan dengan proses karstifikasi. Pada endapan debris karbonat, nilai

    porositas dan permeabilitas cenderung lebih homogen karena adanya

    pencampuran sedimen akibat proses transportasi yang kemudian

    terhubungkan oleh retakan-retakan sehingga, secara kualitas reservoir,

    umumnya endapan debris karbonat lebih baik daripada batugamping reefal.

  • 24

    BAB IV

    KESIMPULAN

    Reservoar utama pada Blok Ruby merupakan endapan debris karbonat

    dengan porositas efektif rata-rata 13%.

    Porositas efektif yang cukup tinggi disebabkan oleh proses pelarutan

    subsekeun pada kondisi freatik sehingga terbentuk porositas sekunder tipe

    mouldic dan vuggy.

    Lingkungan pengendapan sumur MKS-1 terletak pada submarine fan

    bagian upper fan, MKS-2 terletak pada bagian lower fan, MKS-3 terletak

    pada bagian middle fan, sedangkan MKS-4 terletak pada suatu distributary

    channel pada bagian middle fan.

    Kualitas Reservoar yang paling baik ditemukan pada sumur MKS-1 dan

    MKS-4 karena porositas efektif yang tinggi dan ketebalan reservoar yang

    relatif tinggi

    Kualitas reservoar yang paling buruk ditemukan pada sumur MKS-2

    karena porositas efektif yang relatif kecil dan ketebalan reservoar yang

    kecil

    Sumur NW Ruby-1 tidak mengandung hidrokarbon karena terletak pada

    suatu tubuh kipas yang berbeda dengan Blok Ruby. Pada kipas NW Ruby-

    1 tidak terbentuk struktur yang menjadi agen utama migrasi primer dan

    NW Ruby-1 terpisahkan dengan Blok Ruby oleh suatu seal regional.

  • 25

    DAFTAR PUSTAKA

    Chilingarian, G.V., Mazzulo, S.J., Rieke, H.H., 1996, Carbonate Reservoir

    Characterization: a Geologic engineering analysis, part II. Elsevier

    publisher, New York

    Covault, J.A., 2011, Submarine Fans and Canyon-Channel Systems: A Review of

    Process, Products, and Models. Geological Survey Eastern Energy

    Resources Science Center, Reston, USA

    Haughton, P., Davis, C., McCaffrey, W., Barker, S., 2009, Hybrid Sediment Gravity

    Flow Deposits Classification, Origin and Significance. Marine and

    Petroleum Geology Journal.

    Hidayat, R., Hussein, S., Surjono, S.S., 2012, Regional Deposition Model Of South

    Makassar Basin Depocenter, Makassar Strait, Based On Seismic Facies. J.

    SE Asian Appl. Geol, pp 42-54

    Kupecz, J., Syers, I., Tognini, P., Hilman, A., Tanos, C., Ariyono, D., 2013, New

    Insights Into The Tectono- Stratigraphic Evolution Of The South

    Makassar Basin. Proceeding, Indonesian Petroleum Association, 37th

    Annual Convention & Exhibition, IPA 13 G- 158

    Moore, C.H., 2001, Carbonate Reservoirs: Porosity and Diagenesis In a Sequence

    Stratigraphic Framework. Colorado School of Mines, Golden, Co, and

    Louisiana State University Baton Rouge, LA, USA

    Pireno, GE., Darussalam, D.N., 2010, Petroleum System Overview Of The Sebuku

    Block And The Surrounding Area: Potential As A New Oil And Gas

    Province In South Makassar Basin, Makassar Straits. Proceeding,

    Indonesian Petroleum Association, 34th Annual Convention & Exhibition,

    IPA 10 G-169

    Pireno, G.E., Yuliong, D., Lestari, S., dan Cook, C., 2009. Berai Carbonate Debris

    Flow As Reservoir In The Ruby Field, Sbuku Block, Makassar Straits: A

    New Exploration Play In Indonesia. Proceeding, Indonesian Petroleum

    Association, 33rd Annual Convention & Exhibition, IPA G- 005

    Scholle, P.A., Bebout, D.G., Moore, C.H., 1983, Carbonate Depositional

    Environment. The American Association of Petroleum Geologist,

    Oklahoma - USA

    Selley, R.C., 2000, Applied Sedimentology Second Edition. Academic Press: A

    Harcourt Science and Technology Company, United States of America

  • 26

    Tanos, C.A., Kupecz, J., Hilman, A.S., Ariyono, D., Sayers, I.L., 2013. Diagenesis

    Of Carbonate Debris Deposits From The Sebuku Block, Makassar Strait,

    Indonesia. Proceeding, Indonesian Petroleum Association, 37th Annual

    Convention & Exhibition, IPA 13 G-159

    Walker, R.G., 1984, Facies Models, Second Edition. Geological Association of

    Canada