60
REFERAT ERUPSI OBAT ALERGIK Pembimbing : dr. Nurhasanah, Sp.KK Disusun oleh : Puspita Komalasari C 030.08.196 KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG

Referat KULIT-EOA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat KULIT-EOA

REFERAT

ERUPSI OBAT ALERGIK

Pembimbing :

dr. Nurhasanah, Sp.KK

Disusun oleh :

Puspita Komalasari C

030.08.196

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG

PERIODE 1 APRIL – 3 MEI 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

Page 2: Referat KULIT-EOA

LEMBAR PENGESAHAN

Nama Mahasiswa : Puspita Komalasari C

NIM : 030.08.196

Bagian : Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan kelamin

RSUD Karawang

Judul Referat : Erupsi Obat Alergik

Pembimbing : dr. Nurhasanah, Sp.KK

Karawang, April 2013

Dokter Pembimbing

Dr. Nurhasanah, Sp.KK

i

Page 3: Referat KULIT-EOA

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkat dan rahmat-Nya

penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Erupsi Obat Alergik” ini tepat pada

waktunya.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih secara khusus kepada dr. Nurhasanah,

Sp.KK yang telah membimbing dan memberikan pengarahan kepada penulis sehingga referat

ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman – teman dan

seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan kasus ini.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kepaniteraan

klinik bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di

RSUD Karawang periode 1 April – 3 Mei 2013.

Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari kata sempurna sehingga

penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan laporan kasus ini.

Akhir kata penulis sangat mengharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca

dan penulis sendiri.

Terima kasih,

Karawang, April 2013

Penulis

ii

Page 4: Referat KULIT-EOA

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN........................................................................................................i

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................................1

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Reaksi Simpang Obat dan Reaksi Obat Alergik .......................................................2

II.2 Erupsi Obat Alergi ……….......................................................................................4

II.2.1 Definisi ................................................................................................... 4

II.2.2 Imunopatogenesis…………….................................................................5

II.2.3 Mekanisme Non-Imunologis..................................................................13

II.2.4 Gambaran Klinis.....................................................................................13

II.2.5 Diagnosis……………………................................................................29

II.2.6 Pengobatan ……….................................................................................30

BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................34

BAB IV DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................35

iii

Page 5: Referat KULIT-EOA

BAB I

PENDAHULUAN

Obat adalah zat yang dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan

pengobatan. Pemberian obat secara topical dapat pula menyebabkan alergi sistemik, akibat

penyerapan obat oleh kulit.3

Konsekuensi penggunaan obat - obat baru untuk kepentingan diagnosis dan

pengobatan penyakit adalah peningkatan insidens Reaksi Simpang Obat (adverse drug

reaction) atau RSO, yang dapat menambah morbiditas dan bahkan mortalitas.2 Insidens RSO

yang berat mencapai 6,7% pada pasien rawat inap, dan yang fatal mencapai 0,32 %.

Sedangkan Pada pasien rawat jalan insidensinya diperkirakan 15 - 30% pernah mengalami

RSO.2

Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari

respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya.3 ROA merupakan masalah utama yang

dapat timbul akibat pemberian obat. ROA terjadi pada 6 - l0 % kasus RSO. Reaksi yang

terjadi dapat ringan sampai berat hingga mengancam jiwa. RSO dapat bermanifestasi pada

organ - organ dalam atau kulit dan mukosa. RSO yang bermanifestasi pada kulit dan mukosa

disebut erupsi obat.3

Erupsi obat yang terjadi pada kulit (Erupsi Obat Alergik/EOA) merupakan

manifestasi tersering dari ROA.4 Erupsi obat berkisar antara erupsi ringan sampai erupsi berat

yang mengancam jiwa manusia. Belum didapatkan angka kejadian yang tepat terhadap kasus

erupsi alergi obat, tetapi berdasarkan data dari RS, studi epidemiologi, uji klinis terapeutik

obat dan laporan dari dokter, diperkirakan kejadian alergi obat adalah 2% dari total

pemakaian obat-obatan atau sebesar 15-20% dari keseluruhan efek samping pemakaian obat-

obatan.4

Satu macam erupsi dapat disebabkan oleh berbagai macam obat, sedangkan satu

macam obat dapat menimbulkan berbagai macam erupsi.3,4 Obat masuk ke dalam tubuh

secara sistemik, dapat melalui mulut, hidung, telinga, vagina, suntikan atau infus. Juga dapat

sebagai obat kumur, obat mata, tapal gigi dan obat topical.3,4

1

Page 6: Referat KULIT-EOA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 REAKSI SIMPANG OBAT dan REAKSI OBAT ALERGIK

Reaksi Simpang Obat (RSO) didefinisikan oleh WHO sebagai respons terhadap obat

yang berbahaya dan tidak diharapkan, serta terjadi pada dosis normal pada penggunaan

sebagai profilaksis, diagnosis atau terapi penyakit, atau untuk modifikasi fungsi fisiologis.3,4,5

Rawlin dan Thompson membagi RSO menjadi 2 kelompok yaitu tipe A dan tipe B.

Reaksi tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi, lazim terjadi, bergantung pada dosis,

berhubungan dengan farmakologi obat, dan dapat terjadi pada tiap individu. Reaksi tipe A

terjadi sekitar 80% dari kasus- kasus RSO. Reaksi tipe B merupakan reaksi yang tidak dapat

diprediksi, tidak lazim terjadi, tidak bergantung pada dosis, dan sering tidak berhubungan

dengan farmakologi obat, serta hanya terjadi pada individu yang rentan. Reaksi ini meliputi

intoleransi, reaksi idiosinkrasi, reaksi alergi (hipersensitivitas), dan pseudoalergi. Sekitar 25 -

30% reaksi tipe B merupakan reaksi obat alergik.4

Belakangan ditambahkan beberapa tipe reaksi, yaitu reaksi yang berhubungan dengan

dosis dan waktu (tipe C), reaksi lambat (tipe D), efek withdrawal (tipe E) dan kegagalan

terapi yang tidk diharapkan (tipe F). Reaksi tipe C tidak Iazim terjadi, dan berhubungan

dengan dosis kumulatif, misalnya pada ketergantungan benzodiazepin, nefropati analgetik

serta penekanan aksis hypothalamic - pituitary - adrenal oleh kortikosteroid. Tipe D dapat

dibagi menjadi 2 reaksi yaitu reaksi yang berhubungan dengan waktu (yang kemudian disebut

sebagai tipe D), dan efek withdrawal (tipe E). Reaksi tipe D tidak lazim terjadi, biasanya

berhubungan dengan dosis, dan terjadi atau kadang - kadang terlihat setelah penggunaan obat,

misalnya efek karsinogenik dan teratogenik dari obat. Sedangkan reaksi tipe E tidak lazim

terjadi, dan timbul segera setelah penghentian obat, misalnya pada opiate withdrawal

syndrome. Reaksi tipe F lazim terjadi, berhubungan dengan dosis, dan seringkali disebabkan

oleh interaksi obat, misalnya pemberian dosis kontrasepsi oral yang tidak adekuat, khususnya

pada pemakaian penginduksi enzim spesifik.4

Reaksi Obat Alergik (ROA) adalah salah satu bentuk RSO yang dihasilkan dari

respons imunologik terhadap obat atau metabolitnya. ROA merupakan bagian dari RSO

(reaksi tipe B).4 ROA memiliki beberapa karakteristik klinis tertentu, yaitu :

2

Page 7: Referat KULIT-EOA

1. Reaksi alergi jarang pada pemberian obat pertama kali.

2. Reaksi alergi terbatas pada sejumlah sindroma tertentu.

3. Umumnya reaksi alergi terjadi pada populasi kecil.

4. Adanya kecendrungan pasien bereaksi terhadap obat pada dosis jauh di bawah kisaran

dosis terapeutik.

5. Adanya eosinofilia pada darah atau jaringan mendukung keterlibatan proses alergi.

6. Reaksi alergi biasanya hilang setelah penghentian obat.

Beberapa faktor risiko dapat mempengaruhi respons imun terhadap obat, yaitu faktor

yang berhubungan dengan obat dan pengobatan (sifat obat, dan pajanan obat), serta faktor

yang berhubungan dengan pasien (usia, genetik, reaksi obat sebelumnya, penyakit dan

pengobatan medis yang menyertai).2,4

- Sifat Obat

Obat dengan berat molekul besar (makromolekul) misalnya antiserum, streptokinase,

L-asparaginase dan insulin, merupakan antigen kompleks yang potensial untuk

menyebabkan sensitisasi pada pasien. Obat- obatan dengan berat molekul rendah(dibawah

1000 Dalton) merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik.2

- Pajanan Obat

Pemberian obat secara topikal umumnya memiliki risiko terbesar untuk tersenstisasi,

sedangkan pemberian oral memiliki risiko paling kecil untuk tersensitiasi. Aplikasi topikal

menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Pemberian oral atau nasal menstimulasi

produksi imunoglobulin spesifik obat, yaitu IgA dan IgE, kadang – kadang IgM.

Dosis dan lamanya pengobatan berperan pada perkembangan respons imunologik

spesifik obat, contohnya adalah pada lupus eritematosus yang diinduksi obat, dosis dan

lamanya pengobatan hidralazin merupakan faktor penting, demikian juga pada anemia

hemolitik yang diinduksi penisilin.2,4

Dosis profilaksis tunggal antibiotika kurang mensensitisasi dibandingkan dengan

pengobatan parenteral lama dengan dosis tinggi. Frekuensi pemberian obat dapat

berdampak sensitisasi. Kerapnya pemberian obat lebih memicu reaksi alergi, interval

pengobatan makin lama, maka reaksi alergi lebih jarang terjadi.2

- Usia

Secara umum reaksi obat alergik dapa terjadi pada seluruh golongan, namun

umumnya anak - anak kurang tersensitisasi oleh obat dibandingkan dengan dewasa,

3

Page 8: Referat KULIT-EOA

walaupun demikian ROA yang serius dapat juga terjadi pada anak - anak.2,4 Bayi dan usia

lanjut jarang mengalami alergi obat, dan kalaupun terjadi lebih ringan, hal tersebut

dikaitkan dengan irnaturitas atau involusi sistem imun.

- Genetik

Gen HLA spesifik dihubungkan dengan risiko terjadinya alergi obat. Kemungkinan

alergi obat familial pernah dilaporkan. Di antara individu dewasa yang orang tuanya

mengalami reaksi alergi terhadap antibiotika, 25,6 % mengalami reaksi alergi terhadap

agen antimikroba ; sedangkan individu dengan orang tua tanpa reaksi alergi, hanya 1,7%

mengalami reaksi alergi.2,4

- Reaksi Obat Sebelumnya

Faktor risiko terpenting adalah adanya riwayat reaksi terhadap obat sebelumnya.

Hipersensitivitas terhadap obat tidak sama dalam jangka waktu tidak terbatas. Sensitisasi

silang antara obat dapat terjadi, misalnya antara berbagai kelompok sulfonamid. Pasien

dengan riwayat hipersensitivitas memiliki peningkatan tendensi untuk terjadinya

sensitivitas terhadap obat baru, contohnya pasien dengan alergi penisilin memiliki

peningkatan risiko 10 kali untuk terjadinya alergi terhadap antimikroba non-β-laktam.

Reaksinya tidak terbatas pada hipersensitivitas tipe cepat.2

- Penyakit medis yang menyertai

Pasien dengan penyakit medis yang menyertai yang mempengaruhi system imun

seperti HIV-AIDS meningkatkan resiko dan frekuensi terjadinya ROA.4 Hal tersebut

terjadi akibat tertekannya sistem imun sehingga tubuh mengalami defisiensi limfosit T

supresor yang mengatur sintesis antibodi IgE.2 Contoh lain adalah ruam makulopapular

setelah pemberian ampisilin yang lebih sering terjadi selama infeksi virus Epstein-Barr

dan di antara pasien dengan leukemia limfatik.2,4

- Pengobatan medis yang menyertai

Beberapa pengobatan dapat mengubah risiko dan beratnya reaksi terhadap obat.2

II. 2 ERUPSI OBAT ALERGIK

II.2.1 Definisi

Erupsi obat alergik atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau

daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. 3,4,5

II.2.2 Imunopatogenesis

4

Page 9: Referat KULIT-EOA

Mekanisme terjadinya erupsi obat dapat secara non imunologik dan imunologik

(alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik.3 Erupsi obat dengan

mekanisme imunologik disebut erupsi obat alergik (EOA).3,4,5

Tabel 1. Reaksi imunologis dan non-imunologis

EOA terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah mempunyai

hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Obat dan metabolitnya berfungsi sebagai hapten

yang menginduksi antibody humoral. Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat

harus dimetabolisme terlebih dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reakif.

Untuk memudahkan pemahaman mengenai terjadinya erupsi obat alergik dilakukan

klasifikasi secara imunopatogenesis, yaitu :

1. Reaksi yang diperantarai oleh antibodi :

a. IgE : eritema, urtikaria, angioedema.

b. IgG : purpura, vaskulitis, erupsi morbiliformis.

2. Reaksi yang diperantarai oleh sel : fotosensitivitas

5

Page 10: Referat KULIT-EOA

3. Reaksi yang kemungkinan didasari mekanisme imunologik

a. Eksantema fikstum /fixed drug eruption

b. Eritema multifomis (Stevens Johnson Syndrome)

c. Nekrolisis epidermal toksik

4. Reaksi tersangka alergi : reaksi Jarisch- Herxheimer.1

Penggolongan alergi obat berdasarkan selang waktu timbulnya gejala-gejala alergik

sesudah pemberian obat sebagai berikut :

Tabel 2. Pengelompokan erupsi yang timbul berdasarkan waktu

Reaksi alergik yang secara (immediate), terjadi dalam beberappa menit dan ditandai

dengan urtikaria, hipotensi dan shok. Bila reaksi itu membahayakan jiwa maka disebut

syok anafilaksis. Reaksi yang cepat (accelerated) timbul dari 1 sampai 72 jam sesudah

pemberian obat dan kebanyakan bermanifestasi sebagai urtikaria. Kadang-kadang berupa

rash morbiliformis atau edema laring. Reaksi yang lambat (late) timbul lebih dari 3 hari.

Diperkirakan reaksi jenis cepat dan lambat ini ditimbulkan oleh antibody IgG, tetapi

beberapa reaksi hemolitik dan exanthema dihubungkan dengan antibody IgM.

Aspek imnunopatogensisnya adalah:

A.Metabolisme Obat dan Hipotesis Hapten

Suatu subtansi dikatakan merupakan imunogen lemah atau tidak imunogenik bila

berat molekul kurang dari 4000 Dalton.2 Sebagian besar obat-obatan merupakan senyawa

kimia organik sederhana dengan berat molekul rendah, sehingga merupakan imunogen

lemah atau bahkan tidak imunogenik.2,4 Obat-obatan dengan berat molekul rendah dapat

menjadi imunogenik bila obat atau metabolit obat berikatan dengan karier

6

Page 11: Referat KULIT-EOA

makromolekul, seringkali melalui ikatan kovalen, membentuk kompleks hapten-karier,

sehingga pengolahan antigen menjadi efektif.2,6 Untungnya, sebagian besar obat

merupakan molekul yang stabil dan memiliki sedikit kemampuan atau tidak mampu

(tidak cukup reaktif) membentuk ikatan kovalen dengan komponen jaringan. Hal ini

menerangkan rendahnya insidens alergi obat.2 Ternyata terdapat beberapa obat dengan

BM rendah (misalnya polimiksin), yang bersifat irnunogenik tanpa konjugasi dengan

jaringan. Meski mekanisme yang pasti belum diketahui, imunogenesitas suatu obat

mungkin berhubungan dengan kemampuan obat membentuk polimer rantai panjang.

Sedangkan obat-obatan dengan berat molekul tinggi merupakan antigen lengkap yang

dapat menginduksi respons imun dan memicu reaksi hipersensitivitas.2,4 Kecenderungan

obat tertentu untuk menimbulkan sensitisasi adalah karena obat tersebut memang

cenderung membentuk metabolit yang sangat reaktif.

Pemahaman baru tentang pengenalan obat oleh sistem imun berdasarkan pada

model hapten. Potensi obat untuk menjadi alergenik sangat bergantung pada struktur

kimia obat. Peningkatan ukuran molekul dan kompleksitas berhubungan dengan

peningkatan kemampuan untuk memicu respons imun.2,4

Umumnya obat - obatan yang menyebabkan reaksi hipersensitivitas harus

mengalami bioaktivasi atau metabolisme menjadi produk kimia yang reaktif. Umumnya

metabolisme obat dianggap sebagai proses detoksifikasi, obat yang sebelumnya nonpolar

dan larut lemak menjadi lebih polar dan hidrofilik sehingga mudah dieksresi. Jika

metabolit tidak mengalami detoksifikasi yang adekuat, dapat menyebabkan toksisitas

langsung pada sel atau hipersensitivitas yang diperantarai imun.2

Metabolisme obat dibagi menjadi 2 langkah, yaitu reaksi fase I dan reaksi fase II.

Reaksi fase I adalah oksidasi - reduksi atau reaksi hidrolisis, dan reaksi fase II adalah

reaksi konjugasi yang menghasilkan pembentukan senyawa inaktif yang mudah

diekskresi.3,4 Reaksi oksidasi membutuhkan isoenzim sitokrom P450, prostaglandin

sintetase, dan bermacam- macam peroksidase jaringan. Reaksi fase II diperantarai oleh

berbagai enzim antara lain epoksida hidrolase, glutation S-transferase (GST), dan N-

asetyl transferase (NAT).3 Untuk dapat menimbulkan reaksi imunologik hapten harus

bergabung dengan protein pembawa (carrier) yang ada di dalam sirkulasi atau protein

jaringan hospes. Carrier diperlukan oleh obat atau metabolitnya untuk merangsang sel

limfosit T agar merangsang sel limfosit B membentuk antibody terhadap obat atau

metabolitnya.7

Page 12: Referat KULIT-EOA

Pada umumnya metabolit reaktif yang dibentuk pada fase I seringkali mengalami

detoksifikasi dan eliminasi secara cepat.3,4 Metabolit reaktif obat yang tidak

didetoksifikasi dapat mengikat protein atau asam nukleat, sehingga menyebabkan

nekrosis sel atau menyebabkan perubahan produk gen. Reaksi tersebut merupakan efek

toksik langsung. Hal ini terjadi pada metabolit reaktif sulfonamid. Kemungkinan lain,

metabolit reaktif dapat bertindak sebagai hapten yang terikat secara kovalen dengan

makromolekul yaitu protein atau membran permukaan sel. Pengikatan tersebut

membentuk imunogen besar dan multivalen yang dapat menginisiasi respon imun.

Respon imun dapat langsung terhadap obat atau rnetabolitnya, dapat pula terhadap

determinan antigen baru (neoantigen) yang terbentuk melalui kombinasi obat dengan

protein, misalnya trombositopelia karena kuinin, terbcntuk antibodi IgG yang spcsifik

untuk kuinin yang terikat pada permukaan trombosit. Kemungkinan lain, ikatan antara

obat dan protein jaringan (komponen jaringan lain) dapat mengubah tempat pengikatan

obat pada molekul protein jauh dari tempat pengikatan yang sesungguhnya. Perubahan

pada protein jaringan ini kemudian dapat dikenali sebagai benda asing oleh sistem imun.

Mekanisme ini terjadi pada drug-induced autoimmunity. Contoh fenomena ini adalah

sindrom lupus eritematosus sistemik yang diinduksi hidralazin.4

Antigen harus memiliki multipel combining site (multivalen) sehingga dapat

memicu reaksi hipersensitivitas. Hal ini menyebabkan bridging molekul antibodi IgE dan

lgG atau reseptor antigen pada limfosit. Konjugasi obat atau metabolitnya (hapten)

dengan karier makromolekul membentuk hapten-karier yang multivalent yang penting

untuk insiasi respon imun dan elisitasi reaksi hipersensitivitas.4,6 Ligan yang univalen

(obat atau metabolitnya) dalam jumlah besar dapat menghambat respon imun melalui

kompetisi dengan konjugat multivalen pada reseptor yang sama, oleh karena itu

konsentrasi menentukan frekuensi, berat dan angka kejadian ROA.

Kulit merupakan organ yang aktif bermetabolisme, mengandung enzim untuk

memetabolisme obat baik fase I maupun II. Isoenzim sitokrom P450 multiple berada di

kulit. Netrofil, monosit dan keratinosit memiliki enzim yang potensial yang dapat

mengoksidasi obat menjadi metabolit reaktif. Kulit juga merupakan organ imunologis

yang mengandung sel Langerhans dan sel dendritic pada pathogenesis ROA. Kombinasi

aktivitas metabolic mungkin dapat menerangkan mengapa kulit merupakan organ yang

paling sering mengalami ROA.4,5

B. Pengenalan Obat Oleh Sel T8

Page 13: Referat KULIT-EOA

Berbeda dengan sel B, sel T dapat mengenali antigen peptida hanya melalui

molekul major histocornpatibitityc ontpelx (MHC). Antigen eksogen misalnya protein

ditangkap oleh antigen presenting cell (APC), diproses melalui perencanaan enzimatik

menjadi peptida kecil, yang kemudian dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II

kepada sel T CD4+. Sedangkan peptida pendek dari antigen endogen dipresentasikan

molekul MHC kelas I kepada se T CD 8+. Sel T tidak hanya mengenal suatu peptida

tetapi juga antigen nonpeptida baik alami atau sintetik, antara lain lemak, fenil-pirofosfat,

glukosa, logam, atau obat-obatan yang dipresentasikan melalui MHC atau molekul sepert

MHC kepada sel T.6

Mekanisme imunologik erupsi obat yang terpenting adalah presentasi obat oleh

APC, yaitu sel dedritik termasuk sel Langerhans kulit, kepada limfosit T. Hal tersebut

merupakan interaksi yang kompleks antara ikatan haptenated peptide pada molekul MHC

pada APC dan reseptor sel T. Pengikatan ini dimodulasi oleh beberapa faktor termasuk

sitokin, haptenated peptide itu sendiri dan molekul adhesi antara sel T dan APC.

Beberapa kemungkinan presentasi obat oleh APC telah dikemukakan sebagai berikut :

a. Metabolisme obat ekstra hepatik (aktivasi intraseluler)

Kebanyakan obat didetoksifikasi intraseluler melalui isoenzim sitokrom

P450. Metabolisme obat melibatkan reaktive intermediate yang dapat mengikat

protein secara langsung. Jalan ini dialami sulfametoksasol, dimana metabolit

reaktif yang terbentuk (hidroksilamin dan nitroso supranetoksasol) mengikat

protein secara kovalen.

b. Aktivasi ekstraseluler

Aktivasi ekstraseluler dapat terjadi secara spontan atau melalui

metabolisme dependent myeloperoksidase. Reaktive intermediate dapat mengikat

secara langsung kompleks peptida - MHC atau mengikat protein ekstraseluler.

Ikatan protein obat tersebut akan ditangkap APC dan diolah menjadi peptida -

obat, yang kemudian dipresentasikan molekul MHC pada permukaan.

c. Tidak ada aktivasi

Jalan ini melibatkan pengikatan obat secara langsung, dan agak labil

kepada kompleks peptida - MHC. Obat ini dapat mengikat MHC, peptida atau

keduanya. Tidak dibutuhkan pengikatan dengan protein sebelumnya, ambilan

9

Page 14: Referat KULIT-EOA

(uptake) maupun pengolahan, serta metabolisme untuk presentasi.

Diferensiasi subset Th bergantung pada konsentrasi antigen, sifat APC, dan

faktor lingkungan mikro (misalnya hormon). Keberadaan IL-4 menyebabkan polarisasi

kuat kepada Th2, sedangkan diferensiasi Th1 diinduksi oleh IFN-γ atau TGF - β,

terutama tanpa keberadaaan IL-4. Th2 menstimulasi produksi sel mast, eosinofil dan

antibodi IgE. IL-4 bertanggung jawab pada produksi IgE, IL-5 untuk eosinofilia, dan

kombinasi IL-3, IL-4, dan IL-10 untuk produksi sel mast. Sedangkan sitokin yang

dihasilkan Th1 memperantarari respons imun yang berbeda-beda. Aktivasi makrofag

oleh IFN-γ, dan lebih luas lagi oleh TNF dan granulocyte macrophage colony stimulating

factor. Th1 juga memperantarai respons imflamasi seluler kompleks yang dikenal

sebagai hipersensitivitas tipe lambat, dan dengan sekresi IFNγ dan TNF, juga berefek

sitotoksik langsung ke berbagai tipe sel. Jadi, tiap subset Th menginduksi dan meregulasi

kumpulan fungsi efektor yang saling berkaitan yang bekerja pada antigen dan patogen

yang spesifik.

Aktiviasi ThI menyebabkan produksi sitokin sepertiI IL-2 dan IFN-γ, yang

mengakibatkan aktivasi sel T sitotoksik, serta menyebabkan reaksi seperti dermatitis

kontak, eksim obat, NET, atau erupsi mortibiliformis. Aktivasi Th2 menyebabkan

produksi IL-4, IL-5, IL-13, dan produksi antibodi IgE yang mengakibatkan reaksi klinis

seperti urtikaria anafilaksis.

C. Klasifikasi Realesi Alergik

Reaksi Obat Alergik dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh Coombs dan

Gell yaitu Tipe I (Reaksi hipersensitivitas cepat/reaksi anafilaktik), tipe II (Reaksi

sitotoksik), tipe III (Reaksi komplek imun), dan tipe IV (Reaksi hipersensitivitas tipe

lambat). Reaksi tipe I - III diperantarai oleh antibodi spesifik obat, sementara reaksi tipe

IV oleh limfosit T spesifik obat. ROA pada beberapa keadaan dapat sesuai dengan salah

satu dari keempat tipe tersebut, namun pada umumnya sulit untuk mengklasifikasikan

ROA ini ke dalam sistem Coombs dan Gell, karena mekanisme yang bertanggung jawab

untuk elisitasi belum diketahui.3,6

- Tipe I(Reaksi Anafilaktik)

Pajanan pertama kali terhadap obat tidak menimbulkan reaksi yang merugikan,

tetapi pajanan selanjutnya dapat menimbulkan reaksi. Terjadi jika obat atau

10

Page 15: Referat KULIT-EOA

metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2 molekul IgE yang terikat pada

permukaan sel mast atau basophil sehingga mengakibatkan degranulasi sel mast dan

basofil serta pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (missal serotonin,

bradikinin, heparin, SRSA leukotrien dan prostaglandin) dari sel. Gambaran klinis

yang khas tipe I adalah urtikaria dengan atau tanpa angioederma. Selain itu juga bisa

terjadi spasme bronkus, muntah dan yang paling bahaya adalah reaksi anafilaktik.

Penisilin merupakan penyebab utama erupsi obat tipe cepat yang IgE dependent.3,4,5,6

- Tipe II (Reaksi sitotoksik)

Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan sel.

Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai

komplemen. Gabungan obat-antibodi-komplemen terfiksasi pada sel sasaran. Sebagai

sel sasaran ialah eritrosit, leukosit, trombosit yang mengakibatkan lisis sel sehingga

reaksi tipe ini disebut juga reaksi sitolisis atau sitotoksik.3,4,6

Reaksi sitotoksik memiliki 3 kemungkinan mekanisme ; pertama, obat terikat

secara kovalen pada membran sel dan antibodi kemudian mengikat obat dan

mengaktivasi komplemen (misalnya penisilin); kedua kompleks obat-antibodi yang

terbentuk, terikat pada permukaan sel dan mengaktivasi komplemen (rnisalnya

sefalosporin); ketiga obat yang terikat pada permukaan sel menginduksi respons imun

yang mengikat langsung antigen spesifik jaringan (misalnya α-methyl-dopa). Contoh

obat yang menimbulkan reaksi ini adalah sedormid (sedatif) yang dapat mengikat

trombosit dan imunoglobulin yang terbentuk terhadapnya sehingga menghancurkan

trombosit (trombositopenia) dan menimbulkan pulpura. Kloramfenikol dapat

mengikat sel darah putih dan mengakibatkan agranulositosis. Fenasetin, klorpromazin,

penisilin, kina, dan sulfonamid dapat mengikat sel darah merah, mengakibatkan

anemia hemolitik. 4

- Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi IgG

atau IgM) dalam sirkulasi darah atau jaringan dan mengaktifkan komplemen.3

Komplemen yang teraktivasi kemudian melepaskan berbagai mediator diantaranya

enzim-enzim yang dapat merusak jaringan seperti macrophage chermotatic factor. 3,4

Makrofag dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan.

Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast 11

Page 16: Referat KULIT-EOA

dan basofil rnelepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila

kompleks diendapkan di jaringan.4

Mekanisme tipe III diduga terlibat pada banyak erupsi obat, meliputi urtikaria,

vaskulitis dan eritema multiforme. Lesi urtikaria dapal juga terlihat pada awal reaksi

yang diikuti demam, limfadenopati, dan artralgia.3 Reaksi ini berhubungan dengan

kompleks imun dalam sirkulasi terdiri atas antibodi IgG dan obat, yang mengaktifkan

kaskade komplemen, menyebabkan pembentukan anafilatoksin (C3a, C5a). 6

Selanjutnya terjadi pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mas dan basofil.

Reaksi ini lebih sering disebabkan oleh sulfonamid dan penisilin. Pada vaskulitis yang

diinduksi obat, reaksi diperkirakan disebabkan oleh deposit kompleks imun obat dan

IgG pada endotel pembuluh kulit kecil yang menyebabkan peradangan yang

diperantarai komplemen. Pada eritema multiforme, peradangan yang diperantarai

kompleks imun mungkin berperan atau metabolisme yang diperantarai IgE yang

bertanggung jawab, melibatkan elemen reaksi fase lambat.4

- Tipe IV(Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat)

Reaksi ini tidak melibatkan immunoglobulin, melainkan limfosit, APC dan sel

Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit.3 Limfosit T yang sudah

tersensitisasi mengenali antigen dan 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen

menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition

factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifikan dapat

menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh klasiknya adalah dermatitis kontak alergik.3

Erupsi eksematosa, eritroderma, dan fotoalergik merupakan reaksi tipe IV.

Reaksi tipe ini melibatkan limfosit efektor yang spesifik yang juga terlibat pada

purpura, sindrom Lyell’s, bulosa, linkhenoid, dan erupsi obat yang menyerupai lupus.

Mekanisme tipe IV bersama-sama tipe III terlibat pada erupsi makulo-papular, fixed

drug emption, dan eritema nodosum.4

Pada kenyataannya, reaksi-reaksi ini tidak selalu berdiri sendiri, namun dapat

bersama sama. Limfosit T berperan pada inisiasi respons antibodi, dan antibodi

bekerja sebagai essensial link pada beberapa reaksi yang diperantarai sel, misalnya

ADCC.

II.2.3 Mekanisme Non-Imunologis

12

Page 17: Referat KULIT-EOA

Reaksi “pseudo-allergik” menstimulasi reaksi alergi yang bersifat antibody

dependent. Salah satu obat yang dapat menimbulkannya adalah aspirin dan kontras

media. Ada teor yang menyatakan bahwa ada satu atau lebih mekanisme yang terlibat,

pelepasan mediator sel mast dengan cara langsung, aktivasi langsung dari system

komplemen , atau pengaruh langsung pada metabolisme enzim arachidonat sel.

Efek kedua diakibatkan oleh proses farmakologik obat terhadap tubuh yang

dapat menimbulkan gangguan seperti alopesia yang timbul karena penggunaan

kemoterapi antikanker. Penggunaan obat-obat tertentu secara progresif ditimbun di bawh

kulit, dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan gangguan lain seperti

hiperpigmentasi generalisata diffuse.

II.2.4 Gambaran Klinis

ROA dapat mengenai setiap organ, seperti darah, pulmo, hepar, dan renal, tetapi

yang tersering mengenai kulit (EOA).3,5 Manifestasi EOA yang tersering (erupsi

morbiliformis, urtikaria, angioedema, fixed drug eruption), yang terberat (sindroma

Stevens – Jhonson, nekrosis epidermal toksik), serta beberapa manifestasi lain berupa

dermatitis kontak alergik, dermatitis eksfoliative, purpura, vaskulitis, reaksi fotoalergik,

eritema multiformis dan eritema nodosum.3,4,5

1. Erupsi Makulopapular atau Morbiliformis

Erupsi makulopapular atau morbilifonnis atau disebut juga erupsi

eksantematosa merupakan EOA yang paling sering dijumpai dan dapat diinduksi oleh

hampir semua obat. Erupsi ini timbul generalisata dan simetris, dan dapat terdiri atas

eritema, makula yang berkonfluens, dan/atau papul yang tersebar di wajah, telapak

tangan dan kaki. Membran mukosa tidak terkena. Lesi biasanya mucul dalam 1 – 2

minggu setelah inisial terapi, tapi kadang-kadang dapat muncul setelah obat dihentikan.

Lesi selalu diikuti dengan gejala pruritus, dapat pula diikuti demam, edema fasial /

kelopak mata, malaise, dan nyeri sendi yang biasanya hilang dalam beberapa hari sampai

minggu setelah obat dihentikan. Erupsi dapat hilang tanpa penghentian obat, namun hal

ini sangat jarang terjadi. Sebaliknya, ruam dapat berkembang progresif menjadi

eritroderma atau dermatitis eksfoliativa dengan melanjutkan terapi.3,4

Gambar 1. Erupsi Eksantematosa13

Page 18: Referat KULIT-EOA

Tipe khusus erupsi ini adalah pustulosa eksantematosa generalisata akut

(PEGA) yang ditandai dengan erupsi bulosa yang muncul mendadak diikuti malaise dan

demam tinggi. Lesi kulit berupa vesikopapula, pustul, dan bula yang terjadi harnpir

diseluruh tubuh. Mernbran mukosa jarang terlibat. Gambaran klinis menyerupai psoriasis

pustular.3

Mekanisme terjadinya erupsi makulopapular yang diinduksi obat belum diketahui

dengan jelas, nampaknya melibatkan lebih dari satu mekanisme, yaitu mekanisme reaksi

tipe III dan tipe IV. Reaksi ini terjadi setelah beberapa hari pemberian obat dan tidak

terjadi setelah pemberian dosis pertama, hal ini menunjukkan perlunya periode

sensitisasi sebelum reaksi terjadi. Beberapa erupsi makulopapular diperantarai oleh sel T.

Baru-baru ini dilaporkan keterlibatan sel T CD8+ dalam mekanisme terjadinya erupsi

obat morbiliformis dan bulosa. Keterlibatan limfosit CD8+ dalam erupsi obat dihasilkan

dari bioaktivasi obat menjadi intemediate reaktif. Intemediate reaktif intraseluler ini

mengikat protein sitoplasma secara kovalen, kemudian dipresentasikan oleh MHC kelas I

kepada sel T CD8+.4,6

Erupsi makulopapular sering dikaitkan dengan penggunaan ampisillin, NSAID,

sulfonamid, antikonvulsan, allopurinol, tetrasiklin, eritromisis, fenobarbital, dan bahkan

retinoid.3,4 Penyebab utama adalah antibiotika β laktam, dan arti epilepsi. Harus diingat

bahwa tidak semua eksantem morbiliformis atau makulopapular diinduksi oleh obat.

Infeksi tertentu khususnya virus dapat menginduksi eksatem yang sukar dibedakan

dengan yang diinduksi oleh obat. Kasus PEGA kebanyakan dihubungkan dengan

14

Page 19: Referat KULIT-EOA

penggunaan antibiotika terutama kelompok penisilin.

2. Urtikuria dan angioedema

Urtikaria dan angioedema merupakan erupsi obat tersering kedua. Urtikaria

merupakan reaksi vascular di kulit dengan adanya oedema setempat yang pucat atau

kemerahan dengan halo yang timbul mendadak dan terasa gatal serta panas. Lesi urtika

biasanya hilang dalam beberapa jam, jarang lebih dari 24 jam dan secara serentak

muncul lesi urtika yang baru pada tempat yang lain. Ukuran lesi urtika bervariasi antara

beberapa milimeter hingga 10 – 20 cm. Urtikaria yang diinduksi obat seringkali diikuti

demam dan gejala umum lain berupa malaise, vertigo, dan sakit kepala.3,4,5

Gambar 2. Urtikaria

Angioedema terjadi bila pembengkakan juga terjadi pada dermis dan jaringan

subkutan, ditandai dengan edema setempat yang hanya berkembang pada lokasi tertentu

saja.3 Edema biasanya simetris. Daerah predileksinya adalah bibir, kelopak mata, gentalia

eksterna, dan punggung tangan dan kaki.3,4 Edema pada glottis, laring dan lidah

merupakan reaksi edema yang paling berat dan tanpa pertolongan pertama dapat

menqakibatkan kematian akibat asfiksia. Penyebab tersering ialah penisilin, asam

asetilsalisilat dan NSAID.3

Gambar 3. Angiooedema

15

Page 20: Referat KULIT-EOA

Urtikaria selain diperantarai reaksi tipe I, juga dapat merupakan bagian dari

reaksi tipe III. Mekanisme terjadinya urtikaria diperantarai IgE, dan juga melalui

pembentukan kompeks imun. Penyebab tersering urtikaria adalah penisillin, asam

asetisalisilat, dan NSAID lain. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa antibiotika β-

laktam (melalui mekanisme alergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus, dan NSAID

(melalui mekanisme pseudoalergi) bertanggung jawab pada sepertiga kasus lainnya dari

reaksi urtikaria yang diinduksi obat.2

3. Fixed Drug Eruption (FDE)

FDE atau disebut juga exantema fikstum adalah satu-satunya EOA yang selalu

diprovokasi oleh obat atau bahan kimia.3 Tidak ada faktor etiologi lain yang dapat

mengelisitasi. FDE merupakan EOA yang sering dijumpai ketiga. Gambaran FDE berupa

eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya numular, pada kasus yang

berat dapat timbul bula. Tempat predileksi adalah di sekitar mulut, di daerah bibir dan

daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka penyakit kelamin karena berupa

erosi yang kadang-kadang cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat.3 Lesi

kemudian meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama dan baru hilang bahkan

sering menetap. Kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.

Gambar 4. Fixed drug eruption

16

Page 21: Referat KULIT-EOA

Obat yang sering menyebabkan FDE ialah sulfonamide, barbiturate, trimethoprim

dan analgesic. Ukuran lesi bervariasi dari beberapa milimeter hingga sentimeter. Dengan

pemberian obat inisial, lesi soliter dapat terbentuk. Pada pemberian ulang obat penyebab,

lesi terjadi tidak hanya pada lokasi biasanya, tapi juga pada tempat lain.3

Gambar 5. Fixed drug erupsi pada genitalia akibat sulfonamid

Mekanisme terjadinya FDE diduga melalui reaksi tipe III dan IV. Terdapat

peningkatan jumlah limfosit T baik helper maupun supresor. Limfosit T helper /

sitotoksik epidermis ditemukan dekat dengan keratinosit yang nekrotik.4,6 Limfosit T

yang menetap di lesi kulit berperan dalam memori imunologis dan menjelaskan rekurensi

lesi pada tempat yang sama. Ditemukannya keratinosit pada lesi kulit FDE menunjukkan

peningkatan ICAM 1 (yang terlibat dalam interaksi antara keratinosit dan limfosit) dan

17

Page 22: Referat KULIT-EOA

FILA-DR. Peningkatan ekspresi ICAM-1 menjelaskan migrasi limfosit T ke epidermis.

Beberapa obat penyebab FDE adalah sulfonamid, tetrasiklin, barbiturat, fenazon,

fenitoin, trimetoprim, dan analgesik.3,4

4. Dermatitis Eksfoliativa(Eritroderma)

DE atau eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya disertai

skuama. DE biasanya muncul dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari setelah

penggunaan obat. Erupsi berupa eritema diseluruh tubuh diikuti deskuamasi terutama

pada telapak tangan dan kaki3. Proses dapat berlanjut beberapa minggu atau bulan setelah

penghentian obat. Pada eritroderma karena alergi obat terlihat eritema tanpa skuama,

skuama baru timbul pada stadium penyembuhan.

Gambar 6. Dermatitis eksfoliativa, erupsi dan skuama di wajah, lengan dan tubuh.

Mekanisme yang pasti belum diketahui, diduga melalui mekanisme tipe IV. DE

dapat berasal dari erupsi eksantematosa jika obat penyebab masih dilanjutkan.2 DE selain

diinduksi obat, juga dapat merupakan perluasan penyakit kulit yang sudah ada

sebelumnya seperti psoriasis, atau berkaitan dengan limfoma hodgkin, leukemia, dan

keganasan lainnya.3,4 Banyak obat yang dapat menjadi penyebab DE, namun yang paling

sering adalah sulfonamid, penisilin, barbiturat, karbamazepin, fenitoin, fenilbutason,

allopurinol, dan garam emas.2,3

5. Purpura

Purpura adalah perdarahan di dalam kulit/mukosa berupa bercak/pembengkakan

18

Page 23: Referat KULIT-EOA

berwarna merah/kebiruan yang tidak hilang bila ditekan.3 Erupsi purpura dapat terjadi

sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Erupsi biasanya simetris serta muncul di sekitar kaki,

termasuk pergelangan kaki atau tungkai bagian bawah dengan penyebar keatas. Erupsi

terdiri atas makula atau bercak kecil berbatas tegas berwarna merah kecoklatan yang tidak

hilang dengan penekanan, dan disertai rasa gatal.2,3,4 Kelainan dapat berupa Petekie

(makula merah, diameter 2-3 mm, merah, kemudian ® coklat & akhirnya menghilang),

Ekimosis (makula kebiruan, sedikit bengkak, diameter > 2-3 mm, letak kelainan lebih

dalam; kemudian ® menguning & akhirnya menghilang), Vebeses (purpura berbentuk

linear), Hematoma (kumpulan darah dalam jaringan kulit / mukosa. Berjumlah cukup

banyak ® pembengkakkan & fluktuasi)

Gambar 7. Purpura pada tungkai bawah

Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan oleh trombositopenia.2

Mekanisme trombositopenia berhubung dengan pembentukan kompleks antigen antibodi

dengan afinitas pada trombosit. Teryata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler

tanpa mengenai tombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopenik atau

purpura vascular/purpura primer. Purpura non trombositopenik/purpura sekunder secara

umum berkaitan dengan deposit kompleks imun di dinding venula.

Beberapa obat penyebab purpura trombositopenik adalah asam asetilsalisilat,

karbamazepin, indometasin, isoniazid, nitrofurantoin, penisilinamin, fenitoin, dan

19

Page 24: Referat KULIT-EOA

derivatnya, derivat pirazolon, quinidin, sulfonamid, dan tiourasil. Sedangkan beberapa

obat penyebab purpura non trombositopenik adalah ampisilin, penisilin, sulfatrimetoprim,

sulfonamid, asam asetilsalisilat.4

6. Vaskulitis

Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat berupa palpable

purpura yang mengenai kapiler.3 Vaskulitis ditandai dengan adanya inflamasi dan nekrosis

pembuluh darah.3 Bentuk tersering adalah vaskulitis yang mengenai kapiler dan venul .

Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit, atau dapat melibatkan organ lain, antara lain

hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris

pada ekstremitas bawah dan daerah sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, malaise,

myalgia dan anoreksia.3,4 Vaskulitis clapat terjadi pada semua umur, dengar awitan rata-

rata pada dekade kelima.

Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme reaksi tipe III,

jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat hanya salah satu penyebab

vaskulitis.2 Obat-obatan yang dianggap sebagai penyebab adalah penisilin, sulfonamid,

tiourasil, hidantoin, iodida, alopurinol, tiazid, NSAID, antidepresan, antiaritmia.3,4

7. Reaksi fotoalergik

Fotosensitivitas dapat berupa fenomena non imunologik fototoksik, atau reaksi

imunologik fotoalergik.2 Reaksi fotoalergik bergantung pada obat, respons imun dan

cahaya. UVA (320-400nm) terlibat pada sebagian besar reaksi fotoalergik. Reaksi

fotoalergik dapat diinduksi oleh obat topikal atau sisternik.

Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan gambaran dermatitis kontak alergi

pada umumnya. Reaksi kulit diawali di daerah yang terpajan sinar matahari, kemudian

dapat meluas yang tidak terpajan matahari.3 Reaksi fotoalergik terhadap photosensitizer

sistemik lebih jarang dibandingkan dengan yang diinduksi kontaktan.

Gambar 8. Ruam pada reaksi fotoalergik

20

Page 25: Referat KULIT-EOA

Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan reaksi

hipersensitivitas tipe lambat serupa dengan dermatitis kontak alergik. Reaksi fotoalergik

membutuhkan fase induksi dan elisitas. Periode sensitisasi dapat beberapa hari sampai

beberapa bulan. Konsentrasi obat yang dibutuhkan untuk elisitasi dapat sangat kecil.2

sebagaian besar reaksi fotoalergik disebabkan oleh agen topikal, antara lain sulfonamid,

fenotiazin, dan halogennated salicylanilides. Fotoalergen sistemik, misalnya fenotiazin,

klorpromazin, sulfa, tiazid, kuinidin, dan griseofulvin dapat menimbulkan reaksi

fotoalergik.3,4

8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut (PEGA)

Penyakit pustulosis eksemantosa generalisata akut(PEGA) atau acute generalized

exanthematous pustulosis(AGEP) jarang terjadi, diduga disebabkan oleh alergi obat,

infeksi akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri, dan dermatitis kontak.3

Kelainan kulitnya berupa pustule-pustul miliar non-folikular yang timbul pada

kulit yang eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target. Kelainan

kulit timbul pada waktu demam tinggi(>380C), dan pustule-pustul tersebut cepat

menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari.3

Pada pemeriksaan histopatologik didapati pustule intraepidermal atau subkorneal

yang dapat disertai edema dermis, vaskulitis, infiltrate polimorfonuklear perivaskuler

dengan eosinophil atau nekrosis fokal sel-sel keratinosit.3

Terdapat 2 perbedaan utama antara PEGA dan psoriasis pustulosa yaitu PEGA

terjadinya akut dan terdapat riwayat alergi obat. Pada PEGA pustule-pustul pada kulit

21

Page 26: Referat KULIT-EOA

yang eritematosa dan demam lebih cepat menghilang, selain itu gambaran histopatologik

juga berbeda.3

9. Dermatitis Kontak Alergik (DKA)

Gambaran klinis DKA karena obat sama dengan DKA yang ditimbulkan oleh

penyebab lain. DKA yang diinduksi obat disebabkan pemberian obat topikal. Setelah

sensitisasi topikal, dermatitis kontak dapat dielisitasi oleh aplikasi topikal berikutnya.

DKA merupakan reaksi alergi tipe IV.

Gambar 9.Dermatitis Kontak Alergik

Beberapa penyebab umum tersering DKA adalah neomisin, benzokain,

etilendiamin. Penyebab lain yang kurang sering adalah paraben ester, thirmerasol,

antihistamin, basitrasin ; serta tabir surya dan kortikosteroid topikal merupakan penyebab

yang jarang.

10. Eritema nodosum (EN)

EN merupakan EOA yang jarang terjadi. Kelainan kulit berupa eritema yang lunak

dan nodus yang nyeri dengan eritema diatasnya disertai gejala umum berupa demam,

malese dan artritis tidak biasa pada EN yang diinduksi obat. Distribusi lesi simetris dengan

tempat predileksinya di daerah tungkai bawah. Pada kasus yang berat dapat mengenai

paha dan lengan. Awitan EN cepat namun regresi perlahan. EN dapat pula disebabkan

oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberculosis, infeksi streptokokus, dan leprae.

Gambar 10. Eritema nodusum pada tungkai bawah

22

Page 27: Referat KULIT-EOA

Terdapat beberapa pertentangan apakah obat dapat menyebabkan EN. Biasanya

dengan Imunofluoresen langsung gagal menunjukkan deposit imun, tapi kadang-kadang

terdapat IgG atau IgM. Reaksi imunologis yang menyebabkan inflamasi di pembuluh

darah subkutan mungkin mencetuskan lesi.

Obat-obatan yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamid, bromida,

dan kontrasepsi oral.2,3 Obat-obatan lain seperti penisilin, barbiturat, dan salisilat lebih

jarang menyebabkan EN.2

11. Eritema Multiforme (EM)

Eritema Multiforme atau disebut juga Herpes iris, dermatostomatitis dan eritema

eksudativum multiforme merupakan erupsi mendadak dan rekuren pada kulit dan kadang-

kadang pada selaput lendir dengan gambaran bermacam-macam spectrum(polimorfik) dan

23

Page 28: Referat KULIT-EOA

gambaran khas bentuk iris. Pada kasus yang berat disertai symptom konstitusi dan lesi

vesikel. Penyebab yang pasti belum diketahui. Obat merupakan penyebab EM pada 10-

20% kasus, sisanya kemungkinan disebabkan oleh infeksi dan penyakit lain.3,4

Gejala klinis berupa spectrum yang bervariasi dari erupsi local kulit dan selaput

lendir sampai bentuk berat berupa kelainan multi system yang dapat menyebabkan

kelainan. Terdapat dua tipe dasar yaitu tipe macula eritema dan tipe vesikobulosa.3

Gambar 11. Eritema Multiformis

Tipe macula-eritema mendadak, simetris dengan tempat predileksi di punggung

tangan, telapak tangan, bagian ekstensor ekstremitas , dan selaput lender. Pada keadaan

berat mengenai badan. Lesi tidak terjadi serentak, tetapi berturut-turut dalam 2-3 minggu.

Gejala khas ialah bentuk iris(target lesion) yang terdiri atas 3 bagian, yaitu bagian tengah

berupa vesikel atau eritema yang keungu-unguan, dikelilingi oleh lingkaran konsentris

yang pucat dan kemudian lingkaran yang merah.3

Pada tipe vesikobulosa lesi mula-mula berupa macula, papul,dan urtika yang

kemudian timbul lesi vesikobulosa di tengahnya. Bentuk ini dapaat juga mengenai selaput

lender.3 Pada pemeriksaan darah tepi tidak ditemukan kelainan, pada kasus yang berat

dapat terjadi anemia dan proteinuria ringan.3

12. Sindroma Stevens Jhonson (SSJ)

24

Page 29: Referat KULIT-EOA

Sindrom Steven Johnson (SSJ) disebut juga eritema multiforme mayor merupakan

sindrom yang mengenai kulit, selaput lender dan orifisium dan mata dengan keadaan

umum bervariasi dari ringan sampai berat; kelainan paada kulit berupa eritema,

vesikel/bula, dapat disertai purpura.3

Penyebab utama dari SSJ adalah alergi obat(>50% kasus). Penyebab lainnya

adalah infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma dan radiasi. Banyak obat

yang menjadi penyebab sindrom ini, yang tersering adalah sulfonamid, antikonvulsan

aromatik, beberapa NSAID dan alopurinol yang bertaggung jawab pada 2/3 kasus SSJ.

Aminopenisillin dan klormenazon juga dilaporkan sebagai penyebab tersering. Penyakit

ini serupa dengan NET disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II(sitolitik). Gambaran

klinis tergantung kepada sel sasaran(target cell). Sasaran utama SSj dan NET adalah pada

kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivasi sel T, termasuk

CD4 dan CD8. IL-5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di

dermis, sedangkan CD8 pada sel epidermis. Keratinositepidermal mengekspresi ICAM-1,

ICAM-2 dan MHC II. Sel Langerhans tidak ada atau sedikit. TNF di epidermis

meningkat.3,6

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia < 3 tahun karena imunitas belum begitu

berkembang.Keadaan umumnya dapat bervariasi dari ringan sampai berat. Mulainya

penyakit akut dapat disertai dengan gejala prodromal berupa demam tinggi, malese, nyeri

kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan.3

Gambar 12. Contoh lesi pada Sindrom Stevens Johnson

Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa kelainan kulit, kelainan selaput lender di

25

Page 30: Referat KULIT-EOA

orifisium dan kelainan mata. Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula.3 Vesikel

dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Disamping itu juga terdapat

purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kelainan selaput lender di

orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut(100%), kemudian disusul oleh kelainan

di lubang alat genital(50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang(masing-masing

8% dan 4%). Kelainanna berupa vesikel dan bula yang cepat memecah sehingga terjadi

erosierosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut juga dapat terbentuk

pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampaik ialah krusta berwarna hitam yang

tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas

dan esophagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien sulit/tidak dapat menelan. Adanya

pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernapas. Kelainan mata

terjadi pada 80% diantara semua kasus, yang tersering adalah konjungtivitis kataralis.

Selain itu dapat pula berupa konjungtivitis purulent, perdarahan, simblefaron, ulkus

kornea, iritis dan iridosiklitis. Komplikasi tersering ialah bronkopneumonia, selain itu

dapat pula terjadi kehilangan darah/cairan, gangguan keseimbangan elektrolit, syok dan

ebutaan karena gangguan lakrimasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas.3

Gambar 13. Gambaran pasien Sindrom Stevens Jhonson

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari

26

Page 31: Referat KULIT-EOA

perubahan dermal ringan sampai nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa3:

1. Infiltrat sel mononuclear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superficial

2. Edema daan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar

3. Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subdermal

4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa

5. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis

Diagnosis banding SSJ adalah NET karena NET merupakan bentuk parah dari SSJ.

Apabila terdapat epidermolisis generalisata maka diangnosanya adalah NET. Keadaan

umum pada NET lebih buruk.3

Obat yang dianggap sebagai kausanya harus dihentikan, termasuk jamu dan adiktif.

Pengobatan yang diberikan jika keadaan umum pasien baik dan lesi tidak menyeluruh

adalah dengan prednisone 30-40mg sehari. Jika keadaan umum pasien kurangbaik atau

lesi menyeluruh pasien harus dirawat inap. Penggunaan kortikosteroid merupakan life-

saving, dapat digunakan injeksi deksametason dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.

Setelah beberapa hari (2-3 hari) bila masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak

timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak mengalami involusi maka dosis diturunkan 5

mg setiap harinya dan setelah mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet

kortikosteroid. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari. Selain deksametason dapat pula

digunakan metilprednisolon degan dosis setara. Kelebihan metilprednisolon adalah efek

sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan dengan deksametason namun harganya

lebih mahal. Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan

berkurang sehingga harus diberikan antibiotic untuk mencegah infeksi, misalnya

bronkopneumonia yang menyebabkan kematian. Contoh antibiotic yang biasa digunakan

adak=lah ciprofloksasin 2 x 400 mg iv, klindamisin 2 x 600 mg iv sehari, ceftriakson 2 gr

1 x 1 sehari. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang rendah

garam dan tinggi protein karena kortikosteroid bersifat katabolic.Setelah seminggu

diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan K dapat diberikan

KCl 3 x 500 mg.3

Pada pasien dengan lesi di mulut dan tenggorokan yang menyebabkan sulit/tidak

dapat menelan dapat diberikan infus seperti dextrose 5%, NaCl 9% dan Ringer Laktat

dengan perbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali. Jika dengan terapi

tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse darah

27

Page 32: Referat KULIT-EOA

sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfusi darah (whole blood) adalah

sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leukopenia prognosisnya menjadi buruk, setelah

diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak

sitokin dan leukosit jadi meninggikan daya tahan. Indikasi pemberian transfuse pada SSJ

dan NET adalah :3

1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada

perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ 30 mg deksametason sehari dan NET 40mg

sehari.

2. Bila terdapat purpura generalis

3. Jika terdapat leukopenia

Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vit.C 500 mg atau

1000 mg sehari iv. Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik. Pada daerah erosi dan

ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak, untuk lesi di mulut dapat diberikan

kenalog in orabase dan betadine gargle Untuk bibir yang biasanya kelainannya berupa

krusta tebal kehitaman data diberikan emolien misalnya krim urea 10%.3

13. Nekrosis Epidermal Toksik (NET)

NET disebut juga Sindrom Lyell merupakan penyakit yang berat, lebih berat

daripada SSJ, sehingga jika pengobatan tidak cepat dan tepat dapat menyebabkan

kematian. NET ialah penyakit berat, gejala terpenting ialah epidermolisis generalisata

(karena sel sasarannya adalah epidermis), dapat disertai kelainan pada selaput lender di

orifisium dan mata.3,4 Etiologinya sama dengan SSJ. Penyebab utama juga alergi obat yang

berjumlah 80-95% dari semua pasien. NET merupkan penyakit yang berat dan sering

menyebabkan kematian karena gangguan cairan dan elketrolit atau karena sepsis. NET

disertai periode prodromal berupa demam, rhinitis, konjungtivitis, yang bertahan beberapa

hari hingga minggu yang dapat disertai dengan penurunan kesadaran(spoor-komatosa),

selanjutnya lesi kulit berkembang cepat, biasanya dalam 3 hari. Awalnya, pasien

merasakan seperti terbakar atau nyeri pada lesi eritema generalisata kemudian timbul

banyak vesikel dan bula dan dapat disertai dengan purpura. Bula dan pengelupasan

kulit(epidermolisis) pada area yang luas mengakibatkan tanda Nikolsky positif pada kulit

yang eritematosa, yaitu kulit yan ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.3,4,5

28

Page 33: Referat KULIT-EOA

Gambar 14. Nekrosis Epidermal Toksik

Komplikasi yang dapat terjadi adalah pada ginjal yang berupa nekrosis tubular akut

akibat terjadinya ketidakseimbangan cairan bersama-sama dengan glomerulonephritis.

Diagnosis banding NET adalah SSJ, Dermatitis kontak iritan karena baygon dan

Staphylococcus Scalded Skin Syndrome(SSSS).3

II.2.5 Diagnosis

Diagnosis erupsi obat berdasarkan :

1. Anamnesis : adanya hubungan antara timbulnya erupsi dengan penggunaan obat

sehingga perlu ditanyakan obat-obat/jamu yang didapat, kelainan yang timbul akut

atau beberapa hari setelah konsumsi obat, rasa gatal yang dapat disertai demam yang

biasanya subfebril.

2. Pemeriksaan Klinis (Kelainan kulit yang ditemukan) : adanya kelainan klinis sesuai

dengan jenis masing- masing reaksi. Penghentian obat yang diikuti penurunan gejala

klinis merupakan petunjuk kemungkinan erupsi disebabkan oleh obat tersebut. Perlu

diperhatikan distribusi lesi yang menyebar, simetris atau setempat, bentuk kelainan

yang timbul (urtikaria, purpura, eksantema, papul, eritroderma, eritema nodusum).

3. Pemeriksaan khusus ; saat ini belum ditemukan cara yang cukup sensitif dan dapat

dipercaya untuk mendeteksi erupsi obat alergik.

29

Page 34: Referat KULIT-EOA

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilaksanakan untuk membantu memastikan

penyebab erupsi obat alergik :

1. Pemeriksaan in vivo :

a. uji tempel (patch test)

b. uji tusuk (prick/scratch test)

c. uji provokasi (exposure test)

2. Pemeriksaan tersebut memerlukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan reaksi

anafilaksis.

3. Perneriksaan in vitro :

a. Y ang diperantarai antibodi :

-  Hemaglutinasi pasif

-  Radio immunoassay

-  Degranulasi basofil

-  Tes fiksasi komplemen

b. Y ang diperantarai sel :

-  Tes transformasi limfosit

-  Leucocyte migration inhibition test

Pemilihan pemeriksaan tersebut didasarkan atas mekanisme imunologis yang

mendasari erupsi obat. Namun perlu diingat bahwa pemeriksaan tersebut merupakan

pemeriksaan penunjang dan hasilnya memerlukan interpretasi yang teliti.1

II.2.6 Pengobatan

Pengobatan erupsi obat alergik belum memuaskan, antara lain karena kesukaran

dalam memastikan penyebabnya, apakah oleh obatnya sendiri atau metabolitnya.

Pengobatan dibagi dalam: 1). Pengobatan kausal, 2). Pengobatan simtomatik.

1. Pengobatan kausal : Dilaksanakan dengan menghindari obat tersangka (apabila

obat tersangka telah dapat dipastikan). Dianjurkan pula untuk rnenghindari obat yang

30

Page 35: Referat KULIT-EOA

mempunyai struktur kimia dengan obat tersangka (satu golongan).

2. Pengobatan simtomatik :Pengobatan dilaksanakan sesuai dengan tipe reaksi yang

mendasarinya :

a. A. Pada reaksi anafilaksik (reaksi tipe I) : Bila terjadi syok dapat diberikan

epinefrin 1 : 1000 sebanyak 0,3 – 0,5 ml secara subkutan atau intravena.

Antihistamin dan kortikosteroid dapat diberikan, tetapi bukan merupakan

pengobatan lini pertama. Umumnya reaksi dapat diatasi dalam waktu 15 – 20

menit, meskipun penderita masih harus diamati selama 24 jam berikutnya

untuk mencegah komplikasi.

b. B. Pada reaksi tipe yang lain :Penghentian penggunaan obat tersangka

umumnya cukup memberikan hasil yang baik. Sesuai dengan berat-ringannya

reaksi, pemberian kortikosteroid (prednison 40 – 100 mg/hari) dan

antihistamin dapat dipertimbangkan.l

Pengobatan dapat diberikan secara3 :

a. Sistemik

- Kortikosteroid

Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sisteik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan adalah tablet prednisone(1 tablet=5mg).

Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa, purpura, eritema

nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena alergi obat, dosis standar

untuk orang dewasa adalah 3x10 mg prednisone sehari. Pada eritroderma

dosisnya adalah 3x10 mg sampai 4x 10 mg sehari.

- Antihistamin

Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika terdapat rasa

gatal. Kecuali pada urtikaria, efeknya kurang kalau dibandingkan dengan

kortikosteroid.

b. Topikal

Pengobatan topical bergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau

basah. Kalau keadaan kering, seperti apda eritema atau urtikaria, dapat diberikan

bedak, contohnya bedak salisilat 2% ditambah dengan antipruritus, misalnya

menthol ½ - 1% untuk mengurangi rasa gatal. Kalau keadaan membasah seperti

dermatitis medikamentosa perlu dikompres, misalnya kompres larutan asam

salisilat 1%. Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan

31

Page 36: Referat KULIT-EOA

pengobatan topical.pada eksantema fikstum jika kelainan membasah dapat

diberikan kompres dan jika kering dapat diberi krim kortikosteroid, misalnya krim

hidrokortison 1% atau 2,5%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema

yang menyeluruh dan skuamasi dapat diberi salep lanolin 10% yang dioleskan

sebagian-sebagian.

32

Page 37: Referat KULIT-EOA

Tabel 3. Algoritme dalam mendiagnosis dan menatalaksana erupsi obat alergi

33

Page 38: Referat KULIT-EOA

BAB III

KESIMPULAN

Penting diketahui bahwa terdapat banyak tipe erupsi yang dapat disebabkan oleh obat,

dan tiap obat dapat memicu timbulnya RSO. Oleh karena itu sebelum memberikan terapi

obat, harus dipertimbangkan besar kecilnya resiko, keuntungan serta kerugian dari terapi

tersebut. Dengan mengetahui imunopatogenesis, factor resiko, manifestasi klinis EOA dan

edukasi pada pasien, serta penulisan resep yang tepat dapat menurunkan morbiditas EOA.

Apabila terjadi EOA dan obat tersangka penyebab erupsi tersebut telah dapat

dipastikan, maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan berupa kartu kecil yang

memuat jenis obat tersebut (serta golongannya). Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana

diperlukan(misalnya apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang

memungkinkan terulangnya erupsi obat alergik.1

34

Page 39: Referat KULIT-EOA

BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Retno WS, Suharti KS ; Erupsi Obat Alergik, dalam ; Sri Adi S, et al eds, Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan Empsi Obat Alergik, Balai penerbit FK- UI , Jakarta ; 1995 :

3 – 6.

2. DeSwarte RD, Patterson R. Drug allergy. Dalam : Patterson R, et al. Alergic diseases, 5th

Lippincott-Raven Publisher,Philadelpia ; 1997 : 317 – 352.

3. Djuanda, A., Hamzah,M., Aishah,S., editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

kelima. Cetakan kelima. Jakarta : FK UI ; 2010.h. 154-158, 162-168.

4. Budi Iman.Erupsi Obat Alergik. Available at :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3400/1/08E00602.pdf. Accessed on April

7th, 2013.

5. Anonym. Reaksi obat pada kulit. Available at : http://books.google.co.id/books?

id=p2rU5scf5G0C&pg=PA202&dq=bentuk+drug+eruption&hl=en&sa=X&ei=eqllUY60Ksr

SrQfXwIDwBQ&ved=0CC4Q6AEwAA#v=onepage&q=bentuk%20drug

%20eruption&f=false. Accessed on April 8th, 2013.

6. Bratawidjaya KG. Reaksi hipersensitivitas. Dalam : Bratawidjaya KG. Imunologi Dasar,

4th. Balai penerbit FKUI : Jakarta ; 2 000 : 106 – 129.

35