Upload
ferawati-wen
View
74
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
-----
1
A. Definisi
Penyakit Hischsprung adalah kelainan kongenital yang ditandai
dengan tidak adanya ganglion di pleksus myenterikus (Auerbach’s) dan
pleksus submukosa (Meissner’s) dalam lapisan dinding usus, mulai dari
sfingter ani ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. Tujuh puluh
sampai delapan puluh persen terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai
seluruh kolon dan sekitar 5% kurang dapat mengenai seluruh usus sampai
pylorus. Insiden penyakit ini diperkirakan satu diantara 5000-10.000
kelahiran. Laki-laki lebih sering dijumpai daripada wanita. 1,2
Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon
kongenital yang dimana penyakit ini merupakan salah satu penyebab paling
umum dari obstruksi usus neonatal (bayi berumur 0-28 hari).3
B. Anatomi dan Fisiologi Usus Besar
Panjang dari usus besar adalah dari katup ileocecal sampai dengan
anus. Usus besar dibagi secara anatomi dan fungsional menjadi kolon, rektum
dan saluran anal/ anal canal. Dinding dari kolon dan rektum terdiri dari lima
lapisan yang berbeda yakni : mukosa, submukosa, otot sirkular interna, otot
longitudinal eksterna dan serosa. Di dalam kolon, otot longitudinal eksterna
dipisah menjadi tiga teniae coli, bagian proksimalnya berkumpul pada
appendiks dan bagian distal pada rektum, dimana lapisan otot longitudinal
eksterna ini melingkar. Dalam rectum bagian distal, lapisan otot polos dalam
bersatu membentuk sfingter anal internal. Kolon intraperitoneal dan 1/3
proksimal dari rectum dibungkus oleh serosa, bagian tengah dan bawah
rectum serosanya kurang.4
2
Gambar 1. Letak Anatomis Usus Besar dalam Rongga Abdomen
Kolon merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5
kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani, diameter
usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5
inci (sekitar 6,5 cm, tetapi makin dekat ke anus diameternya semakin kecil.
Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Sekum menepati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ilosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Sekum adalah
bagian usus besar dengan diameter terluas (biasanya 7,5-8,5 cm) dan memiliki
dinding otot tipis. Akibatnya, sekum yang paling rentan terhadap perforasi dan
paling rentan terhadap obstruksi. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens,
transversum, desendens, dan sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk
belokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
dinamakan fleksura hepatica dan fleksura lienalis. Kolon asendens biasanya
terfiksasi di retroperitoneum. Fleksura hepatica menandai transisi ke kolon
3
transversum. Kolon transversum intraperitoneal relatif mobile, namun
ditambatkan oleh ligament gastrokolik dan mesenterium usus. Omentum
mayor melekat pada anterior/ tepi superior kolon transversum. Penambahan
ini menjelaskan karakteristik triangular appearance dari kolon transversa yang
diamati selama kolonoskopi. Fleksura lienalis menandai transisi dari kolon
transversum ke kolon desendens. Penambahan fleksura lienalis dan limpa
(ligament lienocolic) bisa pendek dan padat, membuat pergerakan dari
fleksura ini lentur selama kolektomi. Kolon desendens relatif terfiksasi di
retroperitoneum.1,4,5,6
Kolon sigmoid mulai setinggi Krista iliaka dan berbentuk suatu
lekukan berbentuk-S. lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon
sigmoid bersatu dengan rectum, yang menjelaskan alasan anatomis
meletakkan penderita pada sisi kiri bila diberi enema. Kolon sigmoid adalah
bagian tersempit dari usus besar dan sangat mobile. Meskipun kolon sigmoid
biasanya berada di kuadran kiri bawah, pergerakan dapat mengakibatkan
sebagian dari kolon sigmoid berada dalam kuadran kanan bawah. Pergerakan
ini menjelaskan mengapa vovulus paling sering terjadi pada kolon sigmoid
dan mengapa penyakit yang mempengaruhi kolon sigmoid seperti
diverticulitis mungkin kadang-kadang dihadirkan sebagai nyeri perut bagian
kanan. Ukuran sempit dari kolon sigmoid membuat segmen usus besar ini
yang paling rentan terhadap obstruksi. Satu inci terakhir dari rectum
dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfinter ani eksternus dan internus.
Panjang rectum dan kanalis ani sekitar (5,9 inci (15 cm).4
4
Gambar 2. Ileum terminal dan Usus Besar
Usus besar memiliki lapisan morfologik seperti juga bagian usus
lainnya. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna, tetapi terkumpul
dalam tiga pita yang dinamakan teniae coli. Panjang tenia lebih pendek
daripada usus, hal ini menyebabkan usus tertarik dan terkerut membentuk
kantong-kantong kecil yang dinamakan haustra. Pendises eipploika adalah
kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak dan melekat di sepanjang
teniae. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa
usus halus dan tidak mengandung vili atau rugae. Kriptus Lieberkuhn
(kelenjar intestinal) terletak lebih dalam dan mempunyai lebih banyak sel
goblet daripada usus halus.1,5,6
5
Gambar 3. Struktur Makroskopis Usus Besar
Pasokan arteri ke kolon sangat bervariasi. Secara umum, cabang-
cabang arteri mesenterika superior ke arteri ileocolic, yang memasok aliran
darah ke ileum terminal dan proksimal kolon ascenden; arteri colic dextra,
yang mensuplai kolon ascenden; dan arteri colic media, yang mensuplai kolon
transversum. Cabang dari arteri mesenterika inferior ke dalam arteri colic kiri,
yang mensuplai kolon descenden; beberapa cabang sigmoidal yang mensuplai
kolon sigmoid; dan arteri rectal superior yang mensuplai proksimal rektum.
Suplai darah tambahan untuk rektum adalah melalui arteri sakralis media dan
arteri hemoroidalis inferior dan media yang dicabangkan dari arteria iliaka
interna dan aorta abdominalis. Kecuali untuk vena mesenterika inferior, vena-
vena dari kolon menyertai arteri-arteri yang sesuai dan menunjang terminologi
yang sama. Vena mesenterika inferior naik ke retroperitoneal di otot psoas dan
berlanjut ke posterior pankreas untuk bergabung dengan vena splenika.
Selama kolektomi, vena ini sering dimobilisasi secara independen dan diligasi
pada tepi inferior dari pankreas.4,7
6
Gambar 4. Suplai darah arteri ke kolon
Gambar 5. Drainase vena dari kolon
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,
7
dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal.
Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus
untuk mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan
sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan
perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Sistem saraf
autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus : (1) Pleksus Auerbach :
terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal, (2) Pleksus Henle :
terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler, (3) Pleksus Meissner : terletak
di sub-mukosa. Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai
ganglion pada ke-3 pleksus tersebut.
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile.
Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian
anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal)
adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus
yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani (eksternal dan internal)
serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar.
8
Gambar 6. Struktur Anatomis Rektum
Gambar 7. Lapisan kanalis anal
Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf
simpatis (N.hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
saraf parasimpatis (N.splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua
jenis serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus
levator ani dipersarafi oleh N.sakralis III dan IV. Nervus pudendalis
mempersarafi sphincter ani eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh
N.splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya dipengaruhi
oleh N.pudendalis dan N.splanknikus pelvik (saraf parasimpatis).7
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi
mukus serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700
- 1000 ml cairan usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang
dikeluarkan sebagai feses setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan,
minum, atau menelan ludah. Oksigen dan karbondioksida di dalamnya di
serap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dari
peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500
ml sehari. Pada infeksi usus, produksi gas meningkat dan bila mendapat
obstruksi usus gas tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan flatulensi.7
9
C. Etiologi dan Patofisiologi
Sel neuroblas bermigrasi dari krista neuralis saluran gastrointestinal
bagian atas dan selanjutnya mengikuti serabut-serabut vagal yang telah ada ke
kaudal. Penyakit Hirschsprung terjadi bila migrasi sel neuroblas terhenti di
suatu tempat dan tidak mencapai rektum. Sel-sel neuroblas tersebut gagal
bermigrasi ke dalam dinding usus dan berkembang ke arah kraniokaudal di
dalam dinding usus.8 Mutasi gen banyak dikaitkan sebagai penyebab
terjadinya penyakit Hirschsprung. Mutasi pada Ret proto-onkogen telah
dikaitkan dengan neoplasia endokrin 2A atau 2B pada penyakit Hirschsprung.
Gen lain yang berhubungan dengan penyakit Hirschsprung termasuk sel
neurotrofik glial yang diturunkan dari faktor gen yaitu gen endhotelin-B dan
gen endothelin -3.9
Gambar 8. Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada bagian akhir usus
Pleksus Myenterik (Auerbach) dan Pleksus Submukosal (Meissner)
Istilah megakolon aganglionik menggambarkan adanya kerusakan
primer dengan tidak adanya sel-sel ganglion parasimpatik otonom pada
pleksus submukosa (Meissner) dan myenterik (Auerbach) pada satu segmen
kolon atau lebih. Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak
adanya gerakan tenaga pendorong (peristaltik), yang menyebabkan akumulasi/
penumpukan isi usus dan distensi usus yang berdekatan dengan kerusakan
(megakolon). Selain itu, kegagalan sfingter anus internal untuk berelaksasi
10
berkontribusi terhadap gejala klinis adanya obstruksi, karena dapat
mempersulit evakuasi zat padat (feses), cairan, dan gas.
Persarafan parasimpatik yang tidak sempurna pada bagian usus yang
aganglionik mengakibatkan peristaltik abnormal, konstipasi dan obstruksi usus
fungsional. Di bagian proksimal dari daerah transisi terjadi penebalan dan
pelebaran dinding usus dengan penimbunan tinja dan gas yang banyak.
Penyakit Hirschsprung disebabkan dari kegagalan migrasi
kraniokaudal pada prekursor sel ganglion sepanjang saluran gastrointestinal
antara usia kehamilan minggu ke-5 dan ke-12. Distensi dan iskemia pada usus
bisa terjadi sebagai akibat distensi pada dinding usus, yang berkontribusi
menyebabkan enterokolitis (inflamasi pada usus halus dan kolon), yang
merupakan penyebab kematian pada bayi/anak dengan penyakit Hirschsprung.
Dasar patofisiologi dari penyakit Hirschprung adalah tidak adanya
gelombang propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter
anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau
disganglionosis pada usus yang terkena.
D. Tipe Penyakit Hirschsprung
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang
terkena. Tipe Hirschsprung disease meliputi:
a. Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil
dari rektum.
b. Short segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari
kolon.
c. Long segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar colon.
d. Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rektum dan
kadang sebagian usus kecil.
11
Pada penyakit ini, bagian kolon dari yang paling distal sampai pada
bagian usus yang berbeda ukuran penampangnya, tidak mempunyai ganglion
parasimpatik intramural. Bagian kolon aganglionik itu tidak dapat
mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Akibat gangguan
defekasi ini kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang
tertimbun, membentuk megakolon. Pada Morbus Hirschsprung segmen
pendek, daerah aganglionik meliputi rectum sampai sigmoid, ini disebut
penyakit Hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada
anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih sering daripada anak perempuan. Bila daerah
aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid disebut Hirschsprung segmen
panjang. Bila aganglionosis mengenai seluruh kolon disebut kolon
aganglionik total, dan bila mengenai kolon dan hampir seluruh usus halus,
disebut aganglionosis universal.10
E. Diagnosis
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus ditegakkan sedini mungkin.
Keterlambatan diagnosis dapat meyebabkan berbagai komplikasi yang
merupakan penyebab kematian tersering, seperti enterokolitis, perforasi usus,
dan sepsis. Melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti,
pemeriksaan radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi rektum,
diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan. 1,6
1. Anamnesis
Trias tanda yang khas pada penyakit Hirschsprung adalah
keterlambatan evaluasi mekonium, muntah hijau dan distensi abdomen.2
Diagnosis penyakit ini dapat dibuat berdasarkan adanya konstipasi pada
neonatus. Gejala konstipasi yang sering ditemukan adalah terlambatnya
pengeluaran mekonium dalam waktu 24 jam setelah lahir. Gejala lain yang
biasanya terdapat adalah: distensi abdomen, gangguan pasase usus, poor
feeding, vomiting. Apabila penyakit ini terjadi pada neonatus yang berusia
12
lebih tua maka akan didapatkan kegagalan pertumbuhan. Hal penting lainnya
yang harus diperhatikan adalah didapatkan periode konstipasi pada neonatus
yang diikuti periode diare yang massif, kita harus mencurigai adanya
enterokolitis. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khusus di sekitar
umbilikus, punggung, dan disekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat
komplikasi peritonitis. Faktor genetik adalah faktor yang harus diperhatikan
pada semua kasus.11
Gambar 9. Gambaran klinis pasien dengan penyakit Hirschsprung
2. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi, perut kembung atau membuncit di seluruh lapang
pandang. Apabila keadaan sudah parah, akan terlihat pergerakan usus pada
dinding abdomen. Saat dilakukan pemeriksaan auskultasi, terdengar bising
usus melemah atau jarang. Untuk menentukan diagnosis penyakit
Hirschsprung dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal touche dapat dirasakan
sfingter anal yang kaku dan sempit, saat jari ditarik terdapat explosive
stool.12,13
13
Gambar 10. Foto penderita penyakit Hirschsprung berumur 3 hari
3. Pemeriksaan Penunjang
Diagnostik utama pada penyakit Hirschsprung adalah dengan
pemeriksaan:
a. Foto Polos Abdomen
PH pada neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus
letak rendah. Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Gambaran
obstruksi usus letak rendah dapat ditemukan penyakit lain dengan
sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti atresia ileum, sindrom
sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya enterokolitis
nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan
diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster.
Pada foto polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus
besar tidak selalu mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak
gambaran distensi kolon dan gambaran masa feses lebih jelas dapat
terlihat. Selain itu, gambaran foto polos juga menunjukan distensi usus
karena adanya gas. Enterokolitis pada PH dapat didiagnosis dengan foto
polos abdomen yang ditandai dengan adanya kontur irregular dari kolon
yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem, spasme, ulserase dari
dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas dengan barium
enema.11
14
Gambar 11. Foto polos abdomen pada neonates dengan penyakit Hirschsprung
b. Barium enema
Pemeriksaan yang digunakan sebagai standar untuk menentukan
diagnosis Hirschsprung adalah contrast enema atau barium enema. Pada
bayi dengan penyakit Hirschsprung, zona transisi dari kolon bagian
distal yang tidak dilatasi mudah terdeteksi. Pada total aganglionsis colon,
penampakan kolon normal. Barium enema kurang membantu penegakan
diagnosis apabila dilakukan pada bayi, karena zona transisi sering tidak
tampak. Gambaran penyakit Hirschsprung yang sering tampak, antara
lain; terdapat penyempitan di bagian rectum proksimal dengan panjang
yang bervariasi; terdapat zona transisi dari daerah yang menyempit
(narrow zone) sampai ke daerah dilatasi; terlihat pelebaran lumen di
bagian proksimal zona transisi.14
15
Gambar 12. Pemeriksaan Barium Enema pada PH
c. Foto Retensi Barium
Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema
merupakan hal yang penting pada PH, khusunya pada masa neonatus.
Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan foto
polos abdomen untuk melihat retensi barium. Gambaran yang terlihat
yaitu barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon
berganglion normal. Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan
disebabkan PH terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum
dan sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema
barium ataupun yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda
PH.11
16
Gambar 13. Foto retensi barium 24 jam menunjukan rettensi barium dengan zona transisi pada fleksura splenik pada bayi berumur 10 hari
d. Anorectal manometry
Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan
relaksasi sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsic pada
jaringan rectal, absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada
pasien yang terdiagnosis penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa
diduplikasi ke dalam laboratorium motilitas dengan menggunakan
metode yang disebut anorectal manometry. Selama anorektal
manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter anal. Normalnya
pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada sfingter anal,
tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip
seperti distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap
tekanan pada balon. Pada bayi baru lahir, keakuratan anorektal
manometri dapat mencapai 100%.14
17
Gambar 14. gambaran manometri anorekatal,yang memakai balon berisi udara sebagai transducernya. Pada penderita Hirschsprung (kanan), tidak terlihat relaksasi sfingter ani.
e. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya
sel ganglion pada pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus submukosa
(Meissner). Disamping itu akan terlihat dalam jumlah banyak penebalan
serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan akan semakin tinggi
jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis,
dibandingkan dengan pengecatan konvensional dengan haematoxylin
eosin.5,6
18
f. Biopsi rektal
Merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan
morbiditas minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsi
rektum. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum
karena contoh yang diambil pada mukosa rektal lebih tebal.
Gambar 15. Lokasi Pengambilan Sampel Biopsi pada Penyakit Hirschprung
F. Diagnosis Banding
Pada masa neonatus, harus dipikirkan kemungkinan atresia ileum atau
sumbatan anorektum oleh mekonium yang sangat padat (meconium plug
sindrome). Penyakit ini hampir tidak pernah dijumpai di Indonesia. Sedangkan
pada masa bayi dan anak, obstipasi dapat disebabkan oleh obstipasi dietik,
retardasi mental, hipotiroid, dan psikogenetik.5
Banyak kelainan-kelainan yang menyerupai penyakit Hirschsprung
akan tetapi pada pemeriksaan patologi anatomi ternyata didapatkan sel-sel
ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain Intestinal neuronal dysplasia,
Hypoganglionosis, Immature ganglia, Internal sphincter achalasia dan
kelainan-kelainan otot polos.15
19
G. Tatalaksana
Sampai pada saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya
dapat dilakukan dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat
dilakukan tetapi untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa
anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika
dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan
mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk menjaga
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa tubuh.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan
operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk
mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi,
sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki
kondisi pasien. Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif
dengan membuang segmen yang ganglionik dengan bagian bawah rektum.
Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson’s
sigmoidectomy, prosedur Duhamel, prosedur Soave’s Transanal Endorectal
Pull-Through, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur
Laparoskopic Pull-Through, prosedur dan prosedur miomektomi anorektal.
Setelah diagnosis penyakit Hirschsprung ditegakkan maka sejumlah
tindakan praoperasi harus dikerjakan terlebih dahulu. Apabila penderita dalam
keadaan dehidrasi atau sepsis maka harus dilakukan stabilisasi dan resusitasi
dengan pemberian cairan intravena, antibiotik, dan pemasangan pipa lambung.
Apabila sebelum operasi ternyata telah mengalami enterokolitis maka cairan
resusitasi cairan dilakukan secara agresif, pemberian antibiotik broad
spektrum secara ketat kemudian segera dilakukan tindakan dekompresi usus.11
1. Tindakan Bedah
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung
adalah berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling
20
distal. Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan
mencegah enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya.15
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi
kolostomi adalah dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk
bedah reseksi usus pada radang, atau perforasi, dan sebagai anus setelah
reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal.15
Kolostomi dikerjakan pada:
1. Pasien neonatus : Tindakan Bedah defenitif langsung tanpa kolostomi
menimbulkan banyak komplikasi dan kematian. Kematian dapat
mencapai 28,6%, sedangkan pada bayi 1,7%. Kematian ini disebabkan
oleh kebocoran anastomosis dan abses dalam rongga pelvis.
2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis. Kelompok
pasien ini mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang terlalu besar
untuk dianastomosiskan dengan rektum dalam bedah defenitif.
Dengan tindakan kolostomi, kolon dilatasi akan mengecil kembali
setelah 3 sampai 6 bulan pasca bedah, sehingga anastomosis lebih
mudah dikerjakan dengan hasil yang lebih baik.
3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang
buruk. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi
pascabedah, dengan kolostomi pasien akan cepat mencapai perbaikan
keadaan umum.
Beberapa metode operasi biasa digunakan dalam penatalaksanaan
penyakit hirschsprung:
1. Secara klasik, dengan melakukan insisi di bagian kiri bawah abdomen
kemudian lakukan identifikasi zona transisi dengan melakukan biopsi
seromuskuler.
2. Terapi definitive yang dilakukan pada penyakit hirschsprung ada 3
metode15:
21
a) Metode Swenson: pembuangan daerah aganglion hingga batas
sphincter ani interna dan dilakukan anastomosis koloanal pada
perineum
Gambar 16. Metode Swenson
b) Metode Duhamel: daerah ujung aganglionik ditinggalkan dan bagian
yang ganglionik ditarik ke bagian belakang ujung daerah
aganglioner. stapler GIA kemudian dimasukkan melalui anus.
Gambar 17. Metode Duhamel
c) Teknik Soave: pemotongan mukosa endorektal dengan bagian distal
aganglioner.
22
Gambar 18. Metode Soave
H. Komplikasi
Komplikasi potensial untuk operasi kompleks terkait dengan penyakit
Hirschsprung mencakup seluruh spektrum komplikasi dari tindakan bedah
gastrointestinal. Komplikasi termasuk peningkatan insiden enterokolitis pasca
operasi dengan prosedur Swenson, sembelit setelah perbaikan Duhamel, dan
diare dan inkontinensia dengan prosedur Soave.
Secara umum, komplikasi kebocoran anastomosis dan pembentukan
striktur (5-15%), obstruksi usus (5%), abses pelvis (5%), infeksi luka (10%),
dan membutuhkan re-operasi kembali (5%). seperti prolaps atau striktur.
Kemudian, komplikasi yang terkait dengan manajemen bedah penyakit
Hirschsprung termasuk enterocolitis, gejala obstruktif, inkontinensia, sembelit
kronis (6-10%), dan perforasi.
1. Enterokolitis
Enterokolitis menyumbang morbiditas dan mortalitas yang signifikan
pada pasien dengan penyakit Hirschsprung. Hasil enterokolitis dari proses
inflamasi pada mukosa dari usus besar atau usus kecil. Sebagai penyakit
berlangsung, lumen usus menjadi penuh dengan eksudat fibrin dan berada
pada peningkatan risiko untuk perforasi. Proses ini dapat terjadi di kedua
bagian aganglionik dan ganglionik usus transisi. Pasien mungkin hadir pasca
operasi dengan distensi perut, muntah, sembelit atau indikasi obstruksi yang
23
sedang berlangsung. Obstruksi mekanik dapat dengan mudah didiagnosis
dengan rektal digital dan barium enema.
2. Aganglionosis Persistent
Jarang terjadi dan mungkin karena kesalahan patologis, reseksi tidak
memadai, atau hilangnya sel ganglion setelah di tarik keluar.
3. Internal sphincter achalasia
Dapat mengakibatkan obstruksi persisten. Hal ini dapat diobati dengan
sfingterotomi internal intrasphincteric toksin botulinum, atau nitrogliserin
pasta. Sebagian besar kasus akan menyelesaikan pada usia 5 tahun.
4. Inkontinensia
Hal ini mungkin hasil dari fungsi sfingter normal, ataupun kesalahan
dalam tindakan operasi sehingga penurunan sensasi, atau inkontinensia
sekunder. Secara umum manometri anorectal dan USG harus membantu
dalam membedakan antara diagnosa ini.17
I. Prognosis
Prognosis baik kalau gejala obstruksi segera diatasi. Penyulit pasca bedah
seperti kebocoran anastomosis atau striktur anastomosis umumnya dapat
diatasi. Kurang lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung
membutuhkan kolostomi permanen untuk memperbaiki inkontinensia.
Umumnya, lebih dari 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung memiliki
hasil memuaskan.11
24
Daftar Pustaka
1. Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Chapter 38 Pediatric Surgery in:
Schwartz’s PRINCIPLES OF SURGERY. 8th edition. McGraw-Hill. New
York. Page 1496-1498
2. Reksoprodjo, S., dkk. 2013. Penyakit Hirschsprung Neonatus dalam
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Binarupa Aksara Publisher. Tangerang.
3. Greene, E. 2010. Hirschsprung Disease : A Personal Perspective.
www.springer.com/cda/content/.../cda.../9783540339342-c1.pdf. Diakses pada
tanggal 20 Maret 2015.
4. Brunicardi, F.C., et al. 2015. Colon, Rectum, and Anus in : Schwartz’s
Principles of Surgery Tenth Edition. McGraw-Hill. New York.
5. Kenneth P., 2012. Penyakit Kolon dan Rektum. Dalam: Sabiston Buku Ajar
Ilmu Bedah.Vol 2. Hal.14-20
6. Sjamsuhidajat.R, De Jong,Wim. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi III.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 763-786.
7. Richard S Snell., 2006 Anatomi Klinik. Jakarta: EGC. Hal. 231-33
8. Sodikin, 2011. Gangguan Sistem Gastrointestinal dan Hepatobilier. Salemba
Medika. Jakarta
9. Eketjall, S. dan Carlos F. I., 2002. Functional Characterization of Mutations
in the GDNF gene of Patients with Hirschsprung Disease. Human Molecular
Genetics, 2002, Vol. 11, No.3 hal. 325-32. Diakses pada tanggal 20 Maret
2015
10. Leonidas J.C., Singh S.P., Slovis T.L. 2004. Chapter 4 Congenital Anomalies
of The Gastrointestinal Tract In: Caffey’s Pediatric Diagnostic Imaging 10th
edition. Elsevier-Mosby. Philadelphia. Page 148-153.
11. Trisnawan, I.P. dkk. 2013. Metode Diagnosis Penyakit Hirschsprung. Bagian
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
12. Kessmann; J. 2006. Hirschsprung’s Disease: Diagnosis and Management.
American Family Physician; 74: 1319-1322
25
13. Lakshmi, P; James, W. 2008. Hirschsprung’s Disease. Hershey Medical
Center; 44-46
14. Surya, P.A.N, dkk. 2014. Gejala dan Diagnosis Penyakit Hirschsprung.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
15. Charles B., 2010. Pediatric Surgery in: Schwartz’s PRINCIPLES OF
SURGERY. 10th edition. McGraw-Hill. New York. Page 1624-1626
16. Kartono, D., 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung
Seto.Jakarta
17. Lee,S,2012. Hirschprung disease. http://emedicine.medscape.com/article
/178493-overview. Hal 1-4.