26
BAB I Pendahuluan Hematom subdural (SDH) adalah kumpulan darah di antara lapisan duramater dan arakhnoid. Perdarahan dalam ruang subdural sering disebabkan karena adanya disrupsi dari ‘bridging veins’ yang disertai memar otak dan biasa berlokasi di regio temporal. Hematom subdural tidak hanya terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi juga pada pasien dengan cedera kepala ringan, terutama mereka yang berusia lanjut atau yang mengonsumsi obat antikoagulan. Hematom subdural bisa terjadi secara spontan atau disebabkan oleh prosedur suatu tindakan. Tingkat mortalitas dan morbiditas bisa tinggi, bahkan dengan perawatan terbaik. Hematom subdural biasanya diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi dan lama terjadinya (akut, subakut, atau kronis). Gambaran hematom pada studi neuroimaging dapat membantu menentukan kapan hematom terjadi. Kondisi neurologis dan medis pasien juga menjadi faktor yang menentukan pengobatan dan prognosisnya. Hematom subdural akut adalah jenis yang paling umum dari hematom intrakranial traumatik, terjadi pada 24 % dari pasien dengan kesadaran menurun. Trauma yang signifikan bukanlah satu-satunya penyebab hematom subdural. Hematom subdural kronis dapat terjadi pada orang tua setelah trauma kepala yang tampaknya tidak penting. Seringkali, kejadian sebelumnya tidak pernah disadari. Sebagian kecil hematom subdural kronis berasal dari fase akut yang telah ‘jatuh tempo’ karena kurangnya perawatan. Hematom subdural pada pasien yang lebih tua dapat menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnostik dan 1

Referat Subdural Hematoma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

neuro

Citation preview

Page 1: Referat Subdural Hematoma

BAB I

Pendahuluan

Hematom subdural (SDH) adalah kumpulan darah di antara lapisan duramater dan arakhnoid.

Perdarahan dalam ruang subdural sering disebabkan karena adanya disrupsi dari ‘bridging veins’ yang

disertai memar otak dan biasa berlokasi di regio temporal.

Hematom subdural tidak hanya terjadi pada pasien dengan cedera kepala berat, tetapi juga pada

pasien dengan cedera kepala ringan, terutama mereka yang berusia lanjut atau yang mengonsumsi obat

antikoagulan. Hematom subdural bisa terjadi secara spontan atau disebabkan oleh prosedur suatu

tindakan. Tingkat mortalitas dan morbiditas bisa tinggi, bahkan dengan perawatan terbaik.

Hematom subdural biasanya diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi dan lama terjadinya (akut,

subakut, atau kronis). Gambaran hematom pada studi neuroimaging dapat membantu menentukan

kapan hematom terjadi. Kondisi neurologis dan medis pasien juga menjadi faktor yang menentukan

pengobatan dan prognosisnya.

Hematom subdural akut adalah jenis yang paling umum dari hematom intrakranial traumatik,

terjadi pada 24 % dari pasien dengan kesadaran menurun. Trauma yang signifikan bukanlah satu-

satunya penyebab hematom subdural. Hematom subdural kronis dapat terjadi pada orang tua setelah

trauma kepala yang tampaknya tidak penting. Seringkali, kejadian sebelumnya tidak pernah disadari.

Sebagian kecil hematom subdural kronis berasal dari fase akut yang telah ‘jatuh tempo’ karena

kurangnya perawatan.

Hematom subdural pada pasien yang lebih tua dapat menimbulkan kesulitan dalam

menegakkan diagnostik dan terapeutik. Hematom subdural kronis, biasanya terjadi pada orang

tua dengan insiden paling tinggi pada dekade keenam dan ketujuh dari kehidupan.

Insiden hematom subdural kronis adalah sekitar 1 dari 100.000 penduduk per tahun,

kejadian meningkat pada usia 70-79 kelompok. Secara signifikan, hematom subdural

merupakan penyebab demensia reversibel.

Faktor predisposisi lainnya termasuk antikoagulan, alkoholisme, epilepsi, perdarahan

diatesis, tekanan intrakranial rendah sekunder akibat dehidrasi atau setelah pengambilan

cairan serebrospinal, dan karena disfungsi trombosit. Sebanyak 24% pasien dengan hematom

subdural kronik diketahui mengonsumsi warfarin atau obat antiplatelet, 5% -10% memiliki

riwayat alkoholisme dan epilepsi.(7,12)

1

Page 2: Referat Subdural Hematoma

BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Anatomi Selubung Otak

Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh tiga lapisan (meninges) yang berasal dari

mesodermal; duramater yang kuat terletak paling luar, diikuti oleh arakhnoid dan terakhir

piamater. Piamater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla spinalis. Di antara

duramater dan arakhnoid terdapat ruang subdural; antara arakhnoid dan piamater terdapat

ruang subarachnoid.(8)

Gambar 1 Central Nervous System

Dikutip dari “Anatomy & Phisiology made Incridibly Visual”

a. Duramater

Duramater terdiri dari dua lapisan jaringan penyambung fibrosa yang kuat yaitu

membran eksternal dan internal. Lapisan luar duramater kranialis adalah periosteum

di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal yang sesungguhnya;

membentuk batas terluar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua lapisan dura

terpisah satu sama lain di sinus dura. Arteri-arteri dura relatif berkaliber besar

karena pembuluh darah tersebut juga menyuplai tulang tengkorak. Pembuluh darah

terbesar pada duramater adalah arteri meningea media yang cabang-cabangnya

2

Page 3: Referat Subdural Hematoma

tersebar di seluruh konveksitas tengkorak. Arteri ini adalah cabang dari arteri

maksilaris yang berasal dari arteri karotis eksterna. Arteri meningea anterior relatif

kecil dan memvaskularisasi bagian tengah duramater frontalis dan bagian anterior

falks serebri. Arteri meningea posterior memasuki rongga tengkorak melalui

foramen jugulare untuk memvaskularisasi duramater di fossa kranii posterior.(8)

b. Arakhnoid

Arakhnoid otak dan medulla spinalis merupakan membaran avaskular yang tipis

dan rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang

antara duramater dan arakhnoid disebut ruang subdural, sedangkan ruang antara

ruang arakhnoid dan piamater disebut ruang sub arakhnoid dimana di dalamnya

terdapat cairan serebrospinal.(8)

Gambar 2 Meninges

Dikutip dari “Reinhard Rokhamm Color Atlas of Neurology”

c. Piamater

Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai endothelium.

Tidak seperti arakhnoid, struktur ini tidak hanya meliputi seluruh permukaan

eksternal otak dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak

terlihat di sulkus dalam. Pembuluh darah yang memasuki atau meninggalkan otak

dan medulla spinalis melalui ruang subrakhnoid dikelilingi oleh selubung seperti

3

Page 4: Referat Subdural Hematoma

terowongan piamater, ruang di antara pembuluh darah dan piamater di sekitarnya

disebut ruang Vischow-Robin.(8)

2.2 Definisi

Hematom subdural adalah hematom yang terbentuk karena adanya perdarahan yang

terkumpul di antara duramater dan arakhnoid (ruang subdural). Hal ini bisa terjadi oleh

karena trauma termasuk aselerasi atau deselerasi yang menyebabkan robeknya jembatan

vena dari otak ke sinus dural. Apabila volume hematom meningkat, tekanan intrakranial

juga akan meningkat dan menyebabkan herniasi.(1,10)

Kejadian hematom subdural bisa dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang

tinggi, tergantung pada ukuran hematom dan kelainan lain yang terkait dengan kerusakan

otak. Semakin cepat kejadian ini dirawat dan diatasi, semakin tinggi harapan pasien pulih.

Gambar 3 Hematom subdural

Dikutip dari “Robbins & Cotran Pathologic Basis of Disease 8th”

Hematom subdural dibagi atas tiga klasifikasi: hematom subdural akut, hematom

subdural subakut dan hematom subdural kronik.(1)

4

Page 5: Referat Subdural Hematoma

a) Subdural akut ( < 2 hari)

Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik penting dan serius dalam

24- 48 jam setelah cedera. Seringkali berkaitan dengan trauma otak berat,

hematom ini juga mempunyai mortalitas yang tinggi.

b) Subdural subakut ( 2-14 hari)

Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik yang bermakna

dalam waktu lebih 48 jam tetapi kurang dari dua minggu setelah cedera. Seperti

hematom subdural akut, hematom ini juga disebabkan oleh perdarahan vena

dalam ruangan subdural.

c) Subdural kronik ( > 14 hari)

Timbulnnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan

beberapa tahun setelah cedera pertama(2,4)

2.3 Epidemiologi

Hematom subdural bisa terjadi pada 1/3 dari kejadian cedera kepala berat.

Peningkatan usia bisa menyebabkan peningkatan faktor resiko untuk terjadinya hematom

subdural. Kejadian ini dilaporkan sebanyak 7.35 kasus per 100.000 bagi populasi

golongan yang berusia 70- 79 tahun. Penelitian yang dijalankan di UK melaporkan

sebanyak 12,5 kasus per 100.000 untuk setahun bagi populasi anak- anak yang berusia 0-

2 tahun dan sebanyak 24 kasus per 100.000 untuk anak- anak yang berusia 0- 1 tahun.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan kasus yang disebabkan oleh non- accidental injury

sebanyak 57%.(6)

Penyebab lain hematom subdural yaitu:

Komplikasi perinatal

Meningitis

Idiopatik

Hipotensi intrakranial spontan juga turut dilaporkan sebagai penyebab kasus

hematom subdural tetapi kejadiannya jarang. Hematom subdural kronik bisa terjadi pada

golongan usia lanjut akibat trauma atau penggunaan antikoagulan.

5

Page 6: Referat Subdural Hematoma

2.4 Etiologi

Penyebab dari hematom subdural akut adalah di bawah ini :

Trauma kepala akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas, atau penyerangan. Trauma yang

terjadi bisa menyebabkan robeknya pembuluh darah vena ‘bridging veins’ yang

berjalan di sepanjang permukaan otak.(11)

Gangguan perdarahan (faktor koagulan) atau orang-orang yang mengonsumsi obat

anti-koagulan (contoh: warfarin, heparin, hemofilia, gangguan hepar,

trombositopenia)

Perdarahan intrakranial non-traumatik seperti aneurisma serebri, arteri-vena

malformasi, atau tumor

Post-operasi (craniotomy, CSF shunting)

Shaken baby syndrome (pada pasien pediatri)

Spontan atau tidak diketahui (jarang) (7)

Penyebab dari hematom subdural kronik termasuk di bawah ini:

Trauma kepala

Hematom subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi

Spontan atau idiopatik(7)

Faktor risiko kronik hematom subdural:

Alkoholisme kronik

Koagulopati

Terapi Antikoagulan (termasuk aspirin)

Penyakit Kardiovascular (contoh, hipertensi, arteriosklerosis)

Trombositopenia

Diabetes mellitus(7)

Pada pasien muda, alkoholisme, trombositopenia, gangguan perdarahan, dan terapi

antikoagulan oral telah banyak ditemukan. Kista arakhnoid sering dikaitkan dengan

hematom subdural kronik pada pasien usia di bawah 40 tahun.

Pada pasien lebih tua, penyakit jantung dan hipertensi lebih banyak ditemukan.

Dalam suatu penelitian, 16% pasien dengan hematom subdural kronik tengah

6

Page 7: Referat Subdural Hematoma

mendapatkan terapi aspirin. Gejala dehidrasi berat hanya ditemukan pada 2% pasien

dengan kondisi hematom subdural kronik7. Selain itu, pada pasien lebih tua (>60 tahun)

didapatkan atrofi serebri yang menyebabkan ketegangan pada “bridging veins” yang

memungkinkan terjadinya cedera.(7,18)

2.5 Patofisiologi

Subdural hematom dapat disebabkan oleh suatu mekanisme cedera akselerasi-

deselarasi (akselerasi kepala pada bidang sagittal dari posterior ke anterior dan deselarasi

kepala dari anterior ke posterior) akibat dari perbedaan arah gerakan antara otak terhadap

fenomena yang didasari oleh keadaan otak dapat bergerak bebas dalam batas-batas

tertentu dalam rongga tengkorak dan pada saat mulai gerakan (sesaat mulai akselarasi)

otak tertinggal di belakang tengkorak untuk beberapa waktu yang singkat. Akibatnya otak

akan relatif bergeser terhadap tulang tengkorak dan duramater, kemudian terjadi cerdera

pada permukaan terutama pada vena-vena penggantung (bridging veins).(1,19,20)

Tabel 1 Tipe Trauma Kepala

Dikutip dari “Reinhard Rokhamm Color Atlas of Neurology”

Mekanisme ini juga sering dihubungkan dengan kontusio, edema otak, dan Diffuse

Axonal Injury. Pembuluh darah yang sering ruptur adalah vena-vena penghubung antara

7

Page 8: Referat Subdural Hematoma

permukaan korteks sampai sinus duramater. Secara alternatif suatu pembuluh darah

kortikal dapat terganggu akibat akselerasi langsung. Pada hematom subdural akut, ruptur

arteri kortikal mungkin berhubungan dengan cedera ringan dan tak ada kontusio.

Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah trauma otak. Pada kasus-kasus

cedera kepala berat, 44% mempunyai takanan intrakranial >20mmHg dan 82%

mempunyai tekanan >10mmHg. Tingginya tekanan intrakranial mempunya korelasi

dengan prognosis penderita yang buruk (normal tekanan intrakranial 10-15mmHg).

Peningkatan tekanan intrakranial yang lebih dari 10mmHg dikategorikan sebagai keadaan

yang patologis (hipertensi intrakranial), yang berpontensi merusak otak serta berakibat

fatal. Secara garis besar kerusakan otak akibat tekanan intrakranial yang tinggi yang

terjadi melalui dua mekanisme: yang pertama adalah sebagai akibat gangguan aliran darah

serebral dan yang kedua adalah sebagai akibat dari proses mekanis pergeseraan otak yang

kemudian menimbulkan distorsi dan herniasi otak. Penyebab umum tingginya tekanan

intrakranial antara lain: massa lesi (hematom, neoplasma, abses edema fokal), sumbatan

aliran likuor, obstruksi sinus vena yang besar, edema otak difus dan ada pula yang

idiopatik seperti pada pseudo tumor serebri.(20)

Gambar 4 Patofisiologi Hematom subdural

Dikutip dari “Essential of Rubin’s Pathology 6th Edition”

8

Page 9: Referat Subdural Hematoma

2.6 Manifestasi Klinik

Gejala dari hematom subdural sangat bergantung pada derajat perdarahannya:

Pada cedera kepala yang tiba-tiba, perdarahan hebat akan menyebabkan hematom

subdural, seseorang bisa mengalami penurunan kesadaran hingga masuk dalam

fase koma.

Seseorang yang menunjukkan keadaan normal setelah mengalami cedera kepala,

perlahan-lahan akan mengalami kebingungan kemudian penurunan kesadaran

selama beberapa hari. Hasil ini didapatkan dari perdarahan yang lambat.

Pada hematom subdural yang sangat lambat, biasanya tidak ditemukan gejala

signifikan dalam 2 minggu setelah trauma terjadi.(12)

Gejala global yang dapat muncul pada pasien dengan hematom subdural adalah

penurunan kesadaran, nyeri kepala, mual, muntah, kebingungan gangguan kognitif,

perubahan perilaku, dan kadang disertai kejang. Sedangkan gejala fokal yang ditemukan

adalah hemiparese kontralateral dengan lesi, gangguan keseimbangan atau berjalan, parese

N.III & VI ipsilateral dengan lesi, serta kesulitan dalam berbicara.(7)

Hematom subdural Akut Hematom subdural Kronik

Gejala muncul sesaat setelah cedera kepala

(ringan sampai berat)

Gejala muncul 2-3 minggu setelah trauma

Penurunan kesadaran dapat terjadi tetapi tidak

selalu

Cedera awal mungkin dianggap tidak berarti,

terutama pada pasien tua dengan terapi

antikoagulan atau alkoholisme

Kemungkinan ditemukan keadaan “lucid

interval” beberapa jam setelah trauma.

Gejala cenderung bertahap-progresif

Biasanya ditemukan defisit neurologis yang

berkembang seperti kelemahan pada kedua

tungkai, kesulitan berbicara, kebingungan,

atau perubahan perilaku

Tabel 2 Perbandingan antara SDH Akut dan SDH Kronik

Dikutip dari “patient.co.uk Hematom subdural”

9

Page 10: Referat Subdural Hematoma

Gejala Defisit Neurologi yang dapat ditemukan :

Keluhan pada pasien dapat timbul langsung setelah hematom terjadi atau jauh setelah

mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan “latent interval” dan bias

berlangsung berminggu-minggu atau bahkan lebih dari dua tahun. Pada fase ini kebanyakan

penderita hematom subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening, seperti yang

dikeluhkan oleh pasien kontusio serebri pasca trauma kapitis. Apabila di samping itu timbul

gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intrakranial, pada saat itulah

terhitung mulai muncul manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa

kesadaran yang makin menurun, hemiparese ringan, hemihipestesia, terkadang ditemukan

epilepsi fokal dengan tanda-tanda papil edema.

Hemiparese yang dapat timbul adalah hemiparese kontralateral atau ipsilateral.

Hemiparese ipsilateral berkembang sebagai hasil penekanan pedunkulus serebri pada tepi

tentorium di sisi kontralateral hematom.

Seseorang bisa saja memiliki gejala yang berbeda dengan yang lain. Selain ukuran

hematom subdural, usia seseorang dan kondisi medis lainnya dapat mempengaruhi respon

untuk mengalami hematom subdural.(7,9,16,17)

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesis

1. Riwayat trauma kepala baik dengan jejas atau tidak?

2. Adanya kehilangan kesadaran (pingsan) atau tidak setelah trauma?

3. Adanya keadaan pasien kembali sadar seperti semula (lucid interval)?

4. Apakah ada riwayat amnesia setelah trauma (amnesia retrograde atau amnesia

anterograde)?

5. Apakah ada muntah atau kejang setelah terjadinya trauma?

Kepentingan mengetahui adanya muntah dan kejang adalah untuk mencari

penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau proses intra

kranial yang masih berlanjut.

6. Apakah ada nyeri kepala atau muntah?

7. Apakah ada kelemahan anggota gerak?

8. Ditanyakan pula riwayat penyakit yang pernah diderita, obat-obatan yang pernah

dan sedang dikonsumsi, dan konsumsi alkohol(20)

10

Page 11: Referat Subdural Hematoma

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang mencakup

jalan napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan darah dan nadi (circulation)

yang dilanjutkan dengan resusitasi. Secara bersamaan pemantauan terhadap terjadinya

syok dan peningkatan tekanan intrakranial juga dilakukan. Jika terjadi hipotensi atau syok

harus segera diberikan cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Terjadinya

peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan refleks Cushing yaitu peningkatan

tekanan darah, bradikardia dan bradipnea.

Pemeriksaan neurologik meliputi :

1. Penilaian kesadaran pasien menggunakan Skala Koma Glasgow (GCS) meliputi

kemampuan pasien membuka mata, respon verbal, dan respon motorik.

2. Penilaian fungsi kortikal luhur pasien apakah ada gangguan atau tidak (contoh:

disorientasi)

3. Pemeriksaan rangsang menings (kaku kuduk dan Kernig sign)

4. Pemeriksaan nervus cranialis untuk menilai adanya tanda-tanda defisit neurologis

fokal, hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi herniasi di dalam

otak dan terganggunya sistem kortikospinal.

5. Pemeriksaan motorik untuk menilai sistem motorik pasien apakah ada parese atau

lateralisasi disertai kelumpuhan.

6. Pemeriksaan sensorik untuk menilai apakah ada hipestesi pada pasien.

7. Penilaian sistem saraf otonom pasien

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi

lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi dini adanya gangguan

neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan

hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata bisa

membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.(15,20)

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang

11

Page 12: Referat Subdural Hematoma

a. CT-scan

Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila ada kecurigaan suatu lesi

pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak dan secara

akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra- aksial dan ekstra -aksial.

Hematom subdural akut pada CT-san kepala (non kontras) tampak sebagai suatu

massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk “cressent sign” sepanjang bagian dalam

tengkorak dan paling banyak terdapat pada konveksitas otak di daerah parietal. Subdural

hematom berbentuk cekung dan terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali subdural

hematom berbentuk lensa seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.(1,20)

Pendarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan gambaran

tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT window width.

Pengeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada pendarahan subdural yang

sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline shift harus dicurigai adanya massa

kontralateral dan bila midline shift hebat harus dicurigai adanya edema serebral yang

mendasarinya. Pendarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum

relative tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ‘bridging veins’ yang

terdapat di sana.

Di dalam fase subakut pendarahan subdural menjadi isodens terhadap jaringan otak

sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu pemeriksaan CT dengan

kontras MRI sering dipergunakan pada kasus pendarahan subdural dalam waktu 48-72 jam

setelah trauma kapitis. Pada pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan

tampak jelas di permukaan otak dan membatasi hematom subdural dan jaringan otak.

Pendarah subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga

membingungkan dalm membedakannya dengan epidural hematom.(1,15,19)

Normal Hematom subdural Epidural hematom

12

Page 13: Referat Subdural Hematoma

Gambar 5 Perbandingan gambaran CT scan pada orang normal, SDH, dan EDH

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat pada

gambaran CT tanpa kontras. Seringkali, hematom subdural kronis muncul sebagai lesi

heterogen padat yang mengindikasikan terjadinya pendarahan berulang dengan tingkat

cairan antara komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).(15,19)

b. Laboratorium

Pemeriksaan minimal laboratorium minimal meliputi pemeriksaan darah rutin,

elektrolit, dan profil hemostasis/koagulasi.(22)

2.8 Diagnosis Banding

Epidural Hematom

Hematom subdural Epidural hematom

Terjadi akibat robekan dari “bridging

veins”

Terjadi akibat robekan arteri meningia

media

Subakut atau kronikBiasanya terjadi dalam 2x24 jam setelah

trauma

Nyeri kepala tidak hilang, kadang

menghebat

Dapat didahului “lucid interval”

kemudian kesadaran memburuk

Edema papil, lateralisasi, jika berat dapat Lateralisasi disertai kelumpuhan atau

13

Page 14: Referat Subdural Hematoma

terjadi penurunan kesadaran refleks patologis

Tabel 3 Perbandingan antara SDH dan EDH

Perdarahan Subarakhnoid

Hematom subdural Perdarahan Subarakhnoid

Terjadi di ruang subdural Terjadi di ruang subarakhnoid

Terjadi akibat robekan dari “bridging

veins”

Terjadi akibat pecahnya aneurisma pada

Sirkulus Willisi

Nyeri kepala tidak hilang kadang

menghebatNyeri kepala tiba-tiba dan berat

Jika perdarahan berat dapat terjadi

penurunan kesadaranKesadaran up and down

Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens

seperti bulan sabit

Pada CT scan ditemukan lesi hiperdens

batas sesuai girus

Tabel 4 Perbandingan antara SDH dan PSA

2.9 Penatalaksanaan

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH tentu kita akan

memerhatikan kondisi klinis dan radiologinya. Dalam masa mempersiapkan tindakan

operasi, perhatian hendaknya ditujukan kepada pengobatan medikamentosa untuk

menurukan tekanan intrakranial seperti pemberian mannitol 0,25gr/kgBB, atau furosemid

10 mg intravena, dihiperventilasikan.(12)

2.9.1 Non-Operatif

Pada kasus pendarahan yang kecil (volume < 30 cc) dilakukan tindakan konservatif.

Tetapi pada keadaan ini ada kemungkinan terjadi penyerapan darah pada pembuluh darah

yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.

Pemberian diuretik digunakan untuk mengurangi pembengkakan. Pemberian Fenitoin

untuk mengurangi risiko kejang yang terjadi akibat serangan pasca trauma, karena

14

Page 15: Referat Subdural Hematoma

penderita mempunyai risiko epilepsi pasca trauma 20% setelah SDH akut. Pemberian

transfusi dengan Fresh Frozen Plasma (FFP) dan trombosit, dengan mempertahankan

prothrombine time di antara rata-rata normal dan nilai trombosit >100.000. Pemberian

kortikosteroid, seperti deksametason dapat digunakan untuk mengurangi inflamasi dan

pembengkakan pada otak.(12,15)

2.9.2 Operatif

Evakuasi hematom merupakan pengobatan definitif dan tak boleh terlambat karena

menimbulkan resiko berupa iskemia otak dan hiperventilasi. Pembedahan pada SDH akut

dengan kraniotomi yang cukup luas untuk mengurangi penekanan pada otak

(dekompresi), menghentikan perdarahan aktif subdural dan evakuasi bekuan darah intra

parenkimal.(1,20,22)

Indikasi operatif pada kasus Hematom subdural

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan >10mm atau pergeseran midline

shift >5mm pada CT-scan.

b. Semua pasien SDH dengan GCS<9 harus dilakukan monitoring tekanan intrakranial

c. Pasien SDH dengan GCS<9, dengan ketebalan perdarahan <10mm dan pergeseran

struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS >2 poin antara saat kejadian

sampai saat masuk rumah sakit.

d. Pasien SDH dengan GCS <9 dan/atau didapatkan pupil dilatasi asimetris/fixed.

e. Pasien SDH dengan GCS <9, dan/atau TIK>20mmHg.(12,20,22)

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah kraniotomi burr hole, kraniotomi twist

drill, atau drainase subdural. Terapi operatif yang paling banyak dilakukan untuk

perdarahan subdural kronik adalah kraniotomi burr hole. Karena dengan teknik ini

menunjukkan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik

pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien

yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi yang

terjadi kembali, tidaklah perlu untuk melakukan operasi ulang kembali.(15,19)

15

Page 16: Referat Subdural Hematoma

Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara cepat

dengan anestesi lokal. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan

trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematom yang biasanya solid dan

kenyal apabila kalau volume hematom yang cukup besar. Lebih dari seperlima penderita

SDH akut mempunya volume hematom lebih dari 200 ml.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah yang invasif

dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya

hematom dan lokasi kerusakan parenkim otak. Usaha di atas adalah untuk memperbaiki

prognosa akhir SDH, dilakukan kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk

mengeluarkan seluruh hematom, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi

eksternal dari edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan paska operasi menunjukkan

sisa hematom dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali

lebih cepat ke posisi semula disbanding dengan penderita yang tidak dioperasi dengan

cara ini.(22)

2.10 Prognosis dan Komplikasi

Prognosis bagi kasus hematom subdural akut dan hematom subdural kronik berbeda.

Pasien yang mengalami hematom subdural akut angka mortalitasnya lebih tinggi

walaupun dioperasi dengan segera. Terkadang dapat disertai cedera lain yang

memperburuk prognosis kasus ini. Dalam beberapa kasus ditemukan defisit neurologik

menetap dimana pasiennya berhasil dioperasi. Kadar mortalitas akan meningkatn hingga

50% jika ditemukan komplikasi berupa cedera parenkim otak sedangkan pada hematom

subdural akut yang tidak berkomplikasi, kadar mortalitasnya 20%.

Komplikasi yang dapat timbul dari hematom subdural adalah kematian akibat herniasi

serebri, peningkatan tekanan intracranial, dan edema serebri. Selain itu, dapat terjadi

infeksi akibat tindakan operasi yang dilakukan. Hematom yang berulang dapat terjadi

selama proses pengobatan.(5,18)

Prognosis akan menjadi lebih baik jika kondisi pasien:

Tidak hilang kesadaran

16

Page 17: Referat Subdural Hematoma

Defisit neurologik tidak ditemukan atau sedikit

Usia pasien kurang dari 50 tahun

Tidak mengkomsumsi alkohol

Tidak ada cedera lain

Untuk kasus hematom subdural kronik, prognosisnya lebih baik. Kadar mortalitasnya

sekitar 20% setelah dioperasi. (6)

17

Page 18: Referat Subdural Hematoma

BAB III

Penutup

Hematom subdural akut membawa risiko tinggi kematian . Usia merupakan faktor penting

yang mempengaruhi prospek seseorang . Misalnya , orang-orang yang :

berusia di bawah 40 tahun memiliki risiko 20 % kematian

berusia 40 sampai 80 tahun memiliki risiko 65 % kematian

berusia 80 tahun atau lebih memiliki risiko 88 % kematian

Orang-orang yang selamat dari hematom subdural akut biasanya membutuhkan waktu

lama untuk pulih dari efek hematom . Waktu pemulihan akan tergantung pada tingkat

keparahan hematom . Ada juga kadang-kadang bisa cacat fisik dan mental permanen..

Sedikit informasi yang tersedia tentang subakut hematom subdural karena kasus ini jarang

ditemukan . Namun, prospek untuk hematom subdural subakut sering lebih baik daripada

untuk hematom subdural akut.

Prospek untuk hematom subdural kronis juga jauh lebih baik daripada prospek hematom

subdural akut . Namun, kondisi masih membawa resiko cukup tinggi kematian .

Memperkirakan 1 dari 20 orang akan mati dalam 30 hari pertama setelah menjalani operasi

untuk mengobati hematom subdural kronis.(11)

18