21
BAB I PENDAHULUAN Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan 1 . Tumor jenis ini bersifat sangat agresif dan sering dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas dan mortalitas karena kecenderungan tumor yang mudah berdarah 2 . Etiologi tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang mengajukan berbagai teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2 golongan yaitu teori jaringan asal tumbuh dan teori hormonal 1 . Suplai darah angiofibroma bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama biasanya dari arteri maksilaris interna. Pada tumor yang lebih besar sumber perdarahannya berasal dari arteri faringeal asenden, arteri palatina mayor, arteri meningeal rekuren dan arteri oksipital 3 . Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita 1

REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

  • Upload
    hidayat

  • View
    241

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

BAB I

PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang

dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan

tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan1. Tumor jenis ini

bersifat sangat agresif dan sering dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas

dan mortalitas karena kecenderungan tumor yang mudah berdarah2.

Etiologi tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang

mengajukan berbagai teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2 golongan

yaitu teori jaringan asal tumbuh dan teori hormonal1. Suplai darah angiofibroma

bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama biasanya dari arteri maksilaris interna.

Pada tumor yang lebih besar sumber perdarahannya berasal dari arteri faringeal

asenden, arteri palatina mayor, arteri meningeal rekuren dan arteri oksipital3.

Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau

bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas

ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra

kranial setelah mengerosi dasar tengkorak4.

Tumor ini merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak

atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.

Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia5. Insidens

angiofibroma nasofaring belia sebesar 0,05-0,5% dari seluruh tumor kepala-leher.

Lesi ini hampir selalu ditemukan pada pasien laki-laki remaja, dalam kisaran usia

9-19 tahun2, seringnya pada usia 15 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun1.

1

Page 2: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Angiofibroma

Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di

nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena

mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus

paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit

dihentikan1.

2.2 Etiologi

Etiologi pasti dari angiofibroma belum diketahui. Berbagai macam teori

banyak dikemukakan. Dari beberapa teori yang telah banyak diajukan oleh para

ahli dapat di ambil dua kelompok penyebab utama, yaitu5 :

a. Teori jaringan asal tumbuh

Teori jaringan asal tumbuh pertama kali ditemukan oleh Verneuil yang

diikuti oleh Bensch, ia menduga bahwa tumor terjadi karena pertumbuhan

abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis.

Teori yang sekarang banyak dianut adalah teori Neel, yang berpendapat

bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah dinding posterolateral atap

rongga hidung tempat prosesus sfenoid palatum bertemu dengan ala horizontal

dari vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang sfenoid.

b. Teori hormonal

Teori hormonal menyatakan bahwa terjadinya angiofibroma diduga karena

ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya kekurangan hormon androgen atau

kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara

tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta hambatan pertumbuhan pada

semua penderita angiofibroma nasofaring.

Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon,

seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron

2

Page 3: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

(RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor

seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive

immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan

reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan

penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA,

RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining,

menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan

negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama

adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma6.

2.3 Patogenesis

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan

lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah

mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke

arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan

ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi

kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor

melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan

mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa

intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan ”rasa penuh” di

wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka

tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut ”muka kodok”.

Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan

pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa

serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise1.

2.4 Patologi anatomi

Secara makroskopik, angiofibroma nampak keras, berlobulasi membengkak

terasa agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya

bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring

dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian

3

Page 4: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau

abu-abu1.

Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat

dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah

biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena

dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini

tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan

perdarahan yang berlimpah7.

Gambar 1. Gambaran histopatologi Angiofibroma nasofaring

2.5 Penyebaran

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak

struktur sekitarnya. Dapat meluas ke dalam7 :

a. Cavum nasi dan nasofaring melalui foramen sfenopalatina, menyebabkan

obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.

b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales

semua dapat diserang.

c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.

d. Orbita, memberikan gejala proptosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk

melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat

juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.

e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering. Ada 2 jalan

masuknya :

4

Page 5: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

1) Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen

lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus

kavernosus.

2) Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada di medial dari

arteri karotikus.

2.6 Diagnosis

2.6.1 Gejala Klinis

Sumbatan hidung merupakan keluhan yang paling sering (80 – 90%),

sumbatan ini bersifat progresif disertai epistaksis yang berulang (45 – 60%),

kebanyakan unilateral dan rekuren, sehingga penderita sering datang dengan

keadaan umum yang lemah dan anemia, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah

meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Adanya obstruksi

hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinore kronis

yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan

ketulian atau otalgia, sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah

meluas ke intrakranial. Gejala lain adalah pembengkakan palatum dan deformitas

pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena

sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang

ekstensif4.

2.6.2 Anamnesis

Pasien datang dengan riwayat epistaksis berulang diikuti dengan obstruksi

nasal, karena kedua gejala ini merupakan gejala klasik angiofibroma nasofaring.

Angiofibroma merupakan tumor yang tidak tumbuh dengan cepat dan sehingga

terkadang orang tua merasa tidak ada masalah yang serius dengan anaknya.

Kebanyakan ada keterlambatan enam sampai tujuh bulan antara onset gejala dan

presentasi angiofibroma. Pada waktu itu, biasanya anak akan mengeluh ada gejala

lain akibat pertumbuhan dan perluasan tumor berupa pembengkakan pipi,

pendengaran berkurang, anosmia4.

5

Page 6: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

2.6.3 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor

yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah

muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput

lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring

berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia

yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya.

Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya

ulserasi1.

Gambar 2. Angifibroma tampak melalui rinoskopi anterior

2.6.4 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Radiologis

1. Foto sinar-X

Pada foto sinar-X (AP, lateral dan posisi waters) tumor nampak

sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring yang dapat

mengerosi dinding orbita, arkus zigoma, dan tulang di sekitar

nasofaring. Selain itu juga dapat terlihat gambaran klasik yang

disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan

dinding posterior dari sinus maksila dan prosesus pterigoideus ke

belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar7.

6

Page 7: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

Gambar 3. Holmen Miler Sign

2. CT Scan

Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak

secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke

jaringan sekitarnya7.

Gambar 4. Gambar Angifibroma pada CT scan potongan

coronal

3. MRI

7

Page 8: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik

jaringan lunak dari lesi angiofibroma nasofaring sehingga bisa

menguatkan bahwa massa tersebut adalah angiofibroma

nasofaring bukan keganasan yang lain. Diindikasikan untuk

menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada

kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial7.

Gambar 5. Gambaran Angifibroma pada MRI potongan coronal

4. Angiografi

Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak

(ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama

disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi

terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya

penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada

penanganan sebelumnya gagal7.

8

Page 9: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

Gambar 6. Gambaran angiografi terdapat hipervaskularisasi

2.7 Stadium

Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah

yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Untuk

menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini menggunakan

klasifikasi Radkowsky yang paling sering dan dapat diterima secara luas.

Klasifikasi menurut Radkowsky sebagai berikut7:

Stage I IA. Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau

nasofaringeal voult

IB. Tumor melibatkan nares posterior dan/atau

nasofaringeal voult dengan perluasan sedikitnya ke 1

sinus paranasal

Stage II IIA. Perluasan lateral minimal ke dalam fossa

pterigomaksila.

IIB. Mengisi seluruh fossa pterigomaksila dengan atau

tanpa erosi superior ke tulang orbita

IIC. Perluasan ke fosa infratemporal atau perluasan

posterior ke pterigoid plate

Stage III IIIA. Mengerosi dasar tengkorak (fosa kranial media/dasar

pterigoid); perluasan minimal intrakranial

IIIB. Perluasan ekstensif ke intrakranial dengan atau tanpa

perluasan ke dalam sinus kavernosus

2.8 Tatalaksana

a. Sebelum pembedahan:

1. anti androgen

Masih banyak belum diketahui mengenai terapi hormonal ini, Namun

peneliti mengungkapkan bahwa dengan pemberian testosteron akan

9

Page 10: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

menyebabkan pembesaran dari masa tumor dan dengan pemberian estorogen

akan mengecilkan massa tumor. Efek esterogen masih belum diketahui apakah

langsung mempengaruhi sel-sel tumor atau secara tak langsung menghambat

sekeresi androgen. Oleh karena efek samping esterogen dapat meningkatkan

resiko ganguan jantung serta feminisasi maka pemberian esterogen sudah

banyak ditinggalkan dan digantikan oleh penghambat testosteron flutamide.

Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor

stadium I dan II sampai 44%4. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon,

cara ini tidak digunakan secara rutin. Flutamide digunakan secara oral 10

mg/kgBB dengan dosis terbagi 37.

2. Embolisasi

Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi

jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan

memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran

darah dapat berupa gel foam dapat bertahan selama 2 minggu dan polyvinyl

alcohol foam dapat bertahan selamnya di pembuluh darah. Dengan terjadinya

oklusi pada pembuluh darah asal dapat mengurangi pendarahan1. Embolisasi

saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan

pembedahan untuk mengangkat tumor yang tidak melebihi 24-48 jam setelah

embolisasi7.

10

Page 11: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

Gambar 7. (Kiri) Arteriografi angiofibroma pre-embolisasi, arteri maksilaris

bercabang ke tumor. (kanan) Arteriografi angiofibroma post-

embolisasi, arteri maksilaris tanpa percabangan ke tumor.

b. Pembedahan

Pembedahan merupakan pilihan utama angiofibroma nasofaring belia yang

disesuaikan dengan stage klasifiksasi menurut radkowsky yaitu7:

Radkowsky

stage I, IIA, IIB

Pendekatan endoskopi endonasal

Pendekatan midfasial degloving mungkin digunakan

untuk kasus dengan perluasan anterior nasal yang

signifikan, atau dengan invasi tulang kanselous dari

dasar pterigoid atau clivus.

Radkowsky

stage IIC-

perluasan fosa

infratemporal

Pendekatan midfasial degloving

Pendekatan rhinotomy lateral untuk kasus dengan

paparan dural yang signifikan atau perluasan lateral

yang masif

Radkowsky

stage IIC-

perluasan fosa

pterigoid

Midfasial degloving/rhinotomy lateral dengan

pembuangan pterigoid plate

Pendekatan lateral subtemporal-infratemporal tanpa

kraniotomy temporal

Radkowsky

stage IIIA, IIIB

dengan tumor

medial ke sinus

kavernosus

Pendekatan fasial translokasi/ maxilarry swing

Radkowsky

stage IIIB

dengan

perluasan tumor

Pendekatan lateral subtemporal-infratemporal dengan

kraniotomy temporal (pendekatan Fisch tipe D)

Mungkin ditambah pendekatan anterior endoskopi

untuk tumor di hidung dan sfenoid

11

Page 12: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

melalui fisura

orbita superior

atau invasi

tulang sfenoid,

tumor lateral ke

sinus

kavernosus

c. Radioterapi

Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi

radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi

membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus.

Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari

radiasi ke jaringan sekitarnya4. Dosis radiasi dengan 36-40 Gy diberikasn

selama 3 minggu. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan

radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren7.

12

Page 13: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan dalam penulisan ini:

1. Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara

histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas.

2. Tumor ini terjadi pada laki-laki dengan rentang usia 9 s/d 25 tahun dengan

insidens terbanyak antara usia 15 tahun dan jarang pada usia diatas 25

tahun.

3. Angiofibroma dapat mengalami penyebaran ke sinus paranasal, rongga

hidung, fosa infratemporal, rongga orbita, dan intrakranial.

4. Gejalanya dapat berupa sumbatan hidung, epistaksis, nyeri kepala,

pembengkakan wajah, rinore kronis, ketulian atau otalgia, pembengkakan

palatum dan deformitas pipi.

5. Angiofibroma biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan

gambaran radiologi.

6. Penatalaksanaan dengan tindakan bedah sebagai pilihan utama, serta

tindakan prebedah dapat berupa embolisasi dan terapi hormonal. Pada

Angifibroma recurent biasanya diobati dengan Radioterapi.

13

Page 14: REFRAT ANGIOFIBROMA DYT

DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A, Dharmabakti U, Musa Z. 2010. Angiofibrom Nasofaring Belia,

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi

keenam. Jakarta: FKUI.

2. Wardani R, Mayangsari I, Lisnawati, Pandelaki J, Prameswari K, et al., 2012.

Bedah Sinonasal Endoskopik Angiofibroma Nasofaring Belia. ORLI. 42(2):

133-42

3. Firdaus M, Rahman S, Asyari A. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring

Juvenil dengan Pendekatan Transpalatal. Padang: FK Andalas.

4. Pradhan, B. 2005. Juvenile Angifibroma and its Management. Nepal Med Coll

J. 11(3): 186-188

5. Firdaus, Abduh M. 2006. Penatalaksanaan Angifibroma Nasofaring Juvenile

dengan Pendekatan Transpalatal. Universitas Andalas Padang.

6. Montag, Antony G. 2006. Steroid Hormone Reseptor Expresion in

Nasopharyngeal Angifibromas. American Jurnal Clinical Pathology. 125:832-

837

7. Nongrum H, Thakar A, Gupta A, Gupta S. 2009. Current Concepts in Juvenile

Nasopharyngeal Angiofibroma. J ENT Masterclass. 2(1): 88-95

14