Upload
hidayat
View
241
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena mendestruksi tulang
dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasalis, pipi, mata dan
tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan1. Tumor jenis ini
bersifat sangat agresif dan sering dihubungkan dengan tingginya angka morbiditas
dan mortalitas karena kecenderungan tumor yang mudah berdarah2.
Etiologi tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang
mengajukan berbagai teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2 golongan
yaitu teori jaringan asal tumbuh dan teori hormonal1. Suplai darah angiofibroma
bersifat ipsilateral. Arteri pemasok utama biasanya dari arteri maksilaris interna.
Pada tumor yang lebih besar sumber perdarahannya berasal dari arteri faringeal
asenden, arteri palatina mayor, arteri meningeal rekuren dan arteri oksipital3.
Angiofibroma kaya dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau
bagian dalam dari fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas
ke dalam sinus paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra
kranial setelah mengerosi dasar tengkorak4.
Tumor ini merupakan tumor pembuluh darah lokal yang agresif dari anak
atau remaja laki-laki, pernah juga dilaporkan pada perempuan tetapi sangat jarang.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia5. Insidens
angiofibroma nasofaring belia sebesar 0,05-0,5% dari seluruh tumor kepala-leher.
Lesi ini hampir selalu ditemukan pada pasien laki-laki remaja, dalam kisaran usia
9-19 tahun2, seringnya pada usia 15 tahun dan jarang pada usia diatas 25 tahun1.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Angiofibroma
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di
nasofaring yang secara histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas karena
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus
paranasalis, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit
dihentikan1.
2.2 Etiologi
Etiologi pasti dari angiofibroma belum diketahui. Berbagai macam teori
banyak dikemukakan. Dari beberapa teori yang telah banyak diajukan oleh para
ahli dapat di ambil dua kelompok penyebab utama, yaitu5 :
a. Teori jaringan asal tumbuh
Teori jaringan asal tumbuh pertama kali ditemukan oleh Verneuil yang
diikuti oleh Bensch, ia menduga bahwa tumor terjadi karena pertumbuhan
abnormal jaringan fibrokartilago embrional di daerah oksipitalis os sfenoidalis.
Teori yang sekarang banyak dianut adalah teori Neel, yang berpendapat
bahwa tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah dinding posterolateral atap
rongga hidung tempat prosesus sfenoid palatum bertemu dengan ala horizontal
dari vomer dan akar prosesus pterigoideus tulang sfenoid.
b. Teori hormonal
Teori hormonal menyatakan bahwa terjadinya angiofibroma diduga karena
ketidakseimbangan hormonal, yaitu adanya kekurangan hormon androgen atau
kelebihan estrogen. Anggapan ini didasarkan atas adanya hubungan erat antara
tumor dengan jenis kelamin dan usia penderita serta hambatan pertumbuhan pada
semua penderita angiofibroma nasofaring.
Banyak bukti memperlihatkan secara langsung adanya reseptor seks-hormon,
seperti reseptor androgen (RA), reseptor estrogen (RE), dan reseptor progesteron
2
(RP), pada tumor ini. Bukti ini secara langsung memperlihatkan bahwa reseptor
seks-hormon muncul pada angiofibroma dengan menggunakan teknik sensitive
immunocytochemical dan mencatat populasi sel yang mana memperlihatkan
reseptor tersebut. 24 angiofibroma nasofaring diperoleh dari jaringan
penyimpanan, dan studi imunositokimia menunjukkan dengan antibodi pada RA,
RP, dan RE. Stromal positif dan nukleus endotelial immunostaining,
menunjukkan adanya RA pada 75% dari 24 kasus, 8,3% positif andibodi RP dan
negatif dengan antibodi dengan RE. Hasil menetapkan bukti langsung pertama
adanya antibodi dari reseptor androgen pada angiofibroma6.
2.3 Patogenesis
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan
lateral koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas di bawah
mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke
arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan
ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi
kontralateral dan memipihkan konka. Pada perluasan ke arah lateral, tumor
melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan
mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fosa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan ”rasa penuh” di
wajah. Apabila tumor telah mendorong salah satu atau kedua bola mata maka
tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut ”muka kodok”.
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise1.
2.4 Patologi anatomi
Secara makroskopik, angiofibroma nampak keras, berlobulasi membengkak
terasa agak lembut, menyesuaikan dengan peningkatan umur. Warnanya
bervariasi dari merah muda sampai putih. Bagian yang terlihat di nasofaring
dibungkus oleh membran mukous tetap berwarna merah muda, sedangkan bagian
3
yang keluar ke daerah yang berdekatan ekstrafaringeal sering berwarna putih atau
abu-abu1.
Secara histologik, angiofibroma kebanyakan terdiri dari jaringan fibrosa padat
dengan pembuluh darah dari ukuran bervariasi dan konfigurasi. Pembuluh darah
biasanya mudah pecah dan dilapisi oleh lapisan tunggal dari endotelium. Karena
dindingnya hanya dari lapisan elastik dan lapisan otot halus, pembuluh darah ini
tidak dapat mengalami vasokonstriksi ketika terjadi trauma, menyebabkan
perdarahan yang berlimpah7.
Gambar 1. Gambaran histopatologi Angiofibroma nasofaring
2.5 Penyebaran
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak tetapi invasif lokal dan merusak
struktur sekitarnya. Dapat meluas ke dalam7 :
a. Cavum nasi dan nasofaring melalui foramen sfenopalatina, menyebabkan
obstruksi nasi, epistaksis dan pengeluaran cairan hidung.
b. Sinus-sinus paranasalis. Sinus maksillaris, sfenoidales dan ethmoidales
semua dapat diserang.
c. Fossa pterygomaksillaris, fossa infratemporalis dan pipi.
d. Orbita, memberikan gejala proptosis dan deformitas ”face-frog”. Masuk
melalui fissura orbitalis inferior dan juga merusak apeks dari orbita. Dapat
juga masuk ke orbita melalui fissura orbitalis superior.
e. Cavum kranial. Fossa kranialis media yang paling sering. Ada 2 jalan
masuknya :
4
1) Dengan pengrusakan lantai fossa kranialis media anterior ke foramen
lacerum. Tumor berada dilateral dari arteri karotis dan sinus
kavernosus.
2) Melalui sinus sfenoid, kedalam sella. Tumor berada di medial dari
arteri karotikus.
2.6 Diagnosis
2.6.1 Gejala Klinis
Sumbatan hidung merupakan keluhan yang paling sering (80 – 90%),
sumbatan ini bersifat progresif disertai epistaksis yang berulang (45 – 60%),
kebanyakan unilateral dan rekuren, sehingga penderita sering datang dengan
keadaan umum yang lemah dan anemia, nyeri kepala (25%); khususnya bila sudah
meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-18%). Adanya obstruksi
hidung memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinore kronis
yang diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba eustachius akan menimbulkan
ketulian atau otalgia, sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahwa tumor sudah
meluas ke intrakranial. Gejala lain adalah pembengkakan palatum dan deformitas
pipi. Tumor ini sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus sangat hati-hati karena
sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan perdarahan yang
ekstensif4.
2.6.2 Anamnesis
Pasien datang dengan riwayat epistaksis berulang diikuti dengan obstruksi
nasal, karena kedua gejala ini merupakan gejala klasik angiofibroma nasofaring.
Angiofibroma merupakan tumor yang tidak tumbuh dengan cepat dan sehingga
terkadang orang tua merasa tidak ada masalah yang serius dengan anaknya.
Kebanyakan ada keterlambatan enam sampai tujuh bulan antara onset gejala dan
presentasi angiofibroma. Pada waktu itu, biasanya anak akan mengeluh ada gejala
lain akibat pertumbuhan dan perluasan tumor berupa pembengkakan pipi,
pendengaran berkurang, anosmia4.
5
2.6.3 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa tumor
yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai merah
muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh selaput
lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar nasofaring
berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia
yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya.
Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya
ulserasi1.
Gambar 2. Angifibroma tampak melalui rinoskopi anterior
2.6.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Radiologis
1. Foto sinar-X
Pada foto sinar-X (AP, lateral dan posisi waters) tumor nampak
sebagai massa jaringan lunak dalam nasofaring yang dapat
mengerosi dinding orbita, arkus zigoma, dan tulang di sekitar
nasofaring. Selain itu juga dapat terlihat gambaran klasik yang
disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan
dinding posterior dari sinus maksila dan prosesus pterigoideus ke
belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar7.
6
Gambar 3. Holmen Miler Sign
2. CT Scan
Pada pemeriksaan CT scan dengan zat kontras akan tampak
secara tepat perluasan massa tumor serta destruksi tulang ke
jaringan sekitarnya7.
Gambar 4. Gambar Angifibroma pada CT scan potongan
coronal
3. MRI
7
MRI sangat bermanfaat untuk mengidentifikasi karakteristik
jaringan lunak dari lesi angiofibroma nasofaring sehingga bisa
menguatkan bahwa massa tersebut adalah angiofibroma
nasofaring bukan keganasan yang lain. Diindikasikan untuk
menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama pada
kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial7.
Gambar 5. Gambaran Angifibroma pada MRI potongan coronal
4. Angiografi
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak
(ramai). Pada Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama
disuplai oleh cabang dari arteri maxillaris interna. Angiografi
terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan adanya
penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada
penanganan sebelumnya gagal7.
8
Gambar 6. Gambaran angiografi terdapat hipervaskularisasi
2.7 Stadium
Sebagai neoplasma dari nasofaring, stadium tumor berdasarkan pada daerah
yang terlibat adalah penting untuk evaluasi individu dan pengobatannya. Untuk
menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini menggunakan
klasifikasi Radkowsky yang paling sering dan dapat diterima secara luas.
Klasifikasi menurut Radkowsky sebagai berikut7:
Stage I IA. Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau
nasofaringeal voult
IB. Tumor melibatkan nares posterior dan/atau
nasofaringeal voult dengan perluasan sedikitnya ke 1
sinus paranasal
Stage II IIA. Perluasan lateral minimal ke dalam fossa
pterigomaksila.
IIB. Mengisi seluruh fossa pterigomaksila dengan atau
tanpa erosi superior ke tulang orbita
IIC. Perluasan ke fosa infratemporal atau perluasan
posterior ke pterigoid plate
Stage III IIIA. Mengerosi dasar tengkorak (fosa kranial media/dasar
pterigoid); perluasan minimal intrakranial
IIIB. Perluasan ekstensif ke intrakranial dengan atau tanpa
perluasan ke dalam sinus kavernosus
2.8 Tatalaksana
a. Sebelum pembedahan:
1. anti androgen
Masih banyak belum diketahui mengenai terapi hormonal ini, Namun
peneliti mengungkapkan bahwa dengan pemberian testosteron akan
9
menyebabkan pembesaran dari masa tumor dan dengan pemberian estorogen
akan mengecilkan massa tumor. Efek esterogen masih belum diketahui apakah
langsung mempengaruhi sel-sel tumor atau secara tak langsung menghambat
sekeresi androgen. Oleh karena efek samping esterogen dapat meningkatkan
resiko ganguan jantung serta feminisasi maka pemberian esterogen sudah
banyak ditinggalkan dan digantikan oleh penghambat testosteron flutamide.
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor
stadium I dan II sampai 44%4. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon,
cara ini tidak digunakan secara rutin. Flutamide digunakan secara oral 10
mg/kgBB dengan dosis terbagi 37.
2. Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi
jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan
memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran
darah dapat berupa gel foam dapat bertahan selama 2 minggu dan polyvinyl
alcohol foam dapat bertahan selamnya di pembuluh darah. Dengan terjadinya
oklusi pada pembuluh darah asal dapat mengurangi pendarahan1. Embolisasi
saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat diikuti dengan
pembedahan untuk mengangkat tumor yang tidak melebihi 24-48 jam setelah
embolisasi7.
10
Gambar 7. (Kiri) Arteriografi angiofibroma pre-embolisasi, arteri maksilaris
bercabang ke tumor. (kanan) Arteriografi angiofibroma post-
embolisasi, arteri maksilaris tanpa percabangan ke tumor.
b. Pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan utama angiofibroma nasofaring belia yang
disesuaikan dengan stage klasifiksasi menurut radkowsky yaitu7:
Radkowsky
stage I, IIA, IIB
Pendekatan endoskopi endonasal
Pendekatan midfasial degloving mungkin digunakan
untuk kasus dengan perluasan anterior nasal yang
signifikan, atau dengan invasi tulang kanselous dari
dasar pterigoid atau clivus.
Radkowsky
stage IIC-
perluasan fosa
infratemporal
Pendekatan midfasial degloving
Pendekatan rhinotomy lateral untuk kasus dengan
paparan dural yang signifikan atau perluasan lateral
yang masif
Radkowsky
stage IIC-
perluasan fosa
pterigoid
Midfasial degloving/rhinotomy lateral dengan
pembuangan pterigoid plate
Pendekatan lateral subtemporal-infratemporal tanpa
kraniotomy temporal
Radkowsky
stage IIIA, IIIB
dengan tumor
medial ke sinus
kavernosus
Pendekatan fasial translokasi/ maxilarry swing
Radkowsky
stage IIIB
dengan
perluasan tumor
Pendekatan lateral subtemporal-infratemporal dengan
kraniotomy temporal (pendekatan Fisch tipe D)
Mungkin ditambah pendekatan anterior endoskopi
untuk tumor di hidung dan sfenoid
11
melalui fisura
orbita superior
atau invasi
tulang sfenoid,
tumor lateral ke
sinus
kavernosus
c. Radioterapi
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi
membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus.
Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari
radiasi ke jaringan sekitarnya4. Dosis radiasi dengan 36-40 Gy diberikasn
selama 3 minggu. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan
radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren7.
12
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan dalam penulisan ini:
1. Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak namun secara klinis bersifat ganas.
2. Tumor ini terjadi pada laki-laki dengan rentang usia 9 s/d 25 tahun dengan
insidens terbanyak antara usia 15 tahun dan jarang pada usia diatas 25
tahun.
3. Angiofibroma dapat mengalami penyebaran ke sinus paranasal, rongga
hidung, fosa infratemporal, rongga orbita, dan intrakranial.
4. Gejalanya dapat berupa sumbatan hidung, epistaksis, nyeri kepala,
pembengkakan wajah, rinore kronis, ketulian atau otalgia, pembengkakan
palatum dan deformitas pipi.
5. Angiofibroma biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan
gambaran radiologi.
6. Penatalaksanaan dengan tindakan bedah sebagai pilihan utama, serta
tindakan prebedah dapat berupa embolisasi dan terapi hormonal. Pada
Angifibroma recurent biasanya diobati dengan Radioterapi.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Dharmabakti U, Musa Z. 2010. Angiofibrom Nasofaring Belia,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI.
2. Wardani R, Mayangsari I, Lisnawati, Pandelaki J, Prameswari K, et al., 2012.
Bedah Sinonasal Endoskopik Angiofibroma Nasofaring Belia. ORLI. 42(2):
133-42
3. Firdaus M, Rahman S, Asyari A. Penatalaksanaan Angiofibroma Nasofaring
Juvenil dengan Pendekatan Transpalatal. Padang: FK Andalas.
4. Pradhan, B. 2005. Juvenile Angifibroma and its Management. Nepal Med Coll
J. 11(3): 186-188
5. Firdaus, Abduh M. 2006. Penatalaksanaan Angifibroma Nasofaring Juvenile
dengan Pendekatan Transpalatal. Universitas Andalas Padang.
6. Montag, Antony G. 2006. Steroid Hormone Reseptor Expresion in
Nasopharyngeal Angifibromas. American Jurnal Clinical Pathology. 125:832-
837
7. Nongrum H, Thakar A, Gupta A, Gupta S. 2009. Current Concepts in Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma. J ENT Masterclass. 2(1): 88-95
14