96
BAB 1 PENDAHULUAN Tubuh manusia ibarat sebuah mesin canggih yang tiada tandingannya di dunia ini. Setiap organ atau komponen saling mendukung sehingga membentuk mekanisme kerja yang seirama dalam satu kesatuan. Nah, bayangkan jika salah satu organ itu rusak sehingga tak berfungsi. Niscaya sistem kerja tubuh secara keseluruhan akan terganggu. Salah satu "onderdil" vital tubuh manusia adalah darah. Darah ibarat alat transportasi internal yang mendukung semua kerja tubuh manusia. Otomatis, kelainan pada darah bisa mengganggu sistem sirkulasi tubuh. Salah satu penyakit akibat kelainan darah adalah thalasemia. Sebenarnya, penyakit ini sudah lama ada, tetapi orang-orang tak tahu pasti namanya. Penderita penyakit ini bisa menemui malaikat maut lebih cepat dari usia wajar orang sehat. 1 Nyaris tak dikenal oleh khalayak umum, tak seperti penyakit-penyakit mashur seperti kanker, HIV/AIDS atau jantung, thalasemia tak kalah mematikan dibanding penyakit-penyakit populer itu. Thalasemia adalah penyakit genetis berupa kelainan sel darah merah. Jumlah penderitanya dipandang tidak signifikan, sehingga pemerintah pun tak menganggap penting penyakit ini. Padahal Indonesia merupakan negara dengan insiden 1

Refrat Thalasemia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Thalasemia, diagnosa, patogenesis, penatalaksanaan, komplikasi

Citation preview

Page 1: Refrat Thalasemia

BAB 1

PENDAHULUAN

Tubuh manusia ibarat sebuah mesin canggih yang tiada tandingannya di dunia

ini. Setiap organ atau komponen saling mendukung sehingga membentuk mekanisme

kerja yang seirama dalam satu kesatuan. Nah, bayangkan jika salah satu organ itu

rusak sehingga tak berfungsi. Niscaya sistem kerja tubuh secara keseluruhan akan

terganggu. Salah satu "onderdil" vital tubuh manusia adalah darah. Darah ibarat alat

transportasi internal yang mendukung semua kerja tubuh manusia. Otomatis,

kelainan pada darah bisa mengganggu sistem sirkulasi tubuh.

Salah satu penyakit akibat kelainan darah adalah thalasemia. Sebenarnya,

penyakit ini sudah lama ada, tetapi orang-orang tak tahu pasti namanya. Penderita

penyakit ini bisa menemui malaikat maut lebih cepat dari usia wajar orang sehat. 1

Nyaris tak dikenal oleh khalayak umum, tak seperti penyakit-penyakit mashur

seperti kanker, HIV/AIDS atau jantung, thalasemia tak kalah mematikan dibanding

penyakit-penyakit populer itu. Thalasemia adalah penyakit genetis berupa kelainan

sel darah merah. Jumlah penderitanya dipandang tidak signifikan, sehingga

pemerintah pun tak menganggap penting penyakit ini. Padahal Indonesia merupakan

negara dengan insiden thalasemia mayor yang tinggi; dan di seluruh dunia thalasemia

merupakan penyakit genetis yang penderitanya paling banyak (saat ini diperkirakan

berjumlah 250 juta jiwa). Dan karena sifat genetisnya, bukan hanya pengidapnya

tidak bisa disembuhkan, tapi juga mereka mewariskannya kepada keturunan

(herediter), sehingga membuat jumlah penderitanya terus bertambah. 2

Thalasemia adalah kelainan pada darah akibat sumsum tulang belakang tidak

bisa membentuk protein untuk memproduksi sel darah merah (hemoglobin). Padahal,

tugas hemoglobin adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh.

Akibat penyakit ini, fungsi pengangkut oksigen tersebut tidak berjalan. Thalasemia

bukan penyakit menular, melainkan penyakit bawaan dari orangtua. Karena itu,

mayoritas penderitanya adalah anak-anak. Jika salah satu di antara ayah atau ibu

memiliki kelainan sel darah merah, kemungkinan si anak mengidap penyakit

thalasemia mencapai 25 persen. 1

1

Page 2: Refrat Thalasemia

Penderita thalasemia terus meningkat setiap tahun. Beruntung, kalau penyakit

tersebut tidak mematikan. Tetapi pencegahan sejak dini harus diutamakan karena

sampai sekarang penyakit ini belum ada obatnya. Dan untuk mencari cara mencegah

terjadinya thalasemia yang tepat, perlu ditelusuri terlebih dahulu mengenai definisi

dan penyebabnya. 1,3

Thalasemia penyakit genetik yang diturunkan dari kedua orangtua. Kedua

orangtua secara klinis boleh saja terlihat sehat, walau sebetulnya salah satu gennya

pembawa sifat penyakit itu. Nah, bila kedua gen itu bertemu, maka anak mereka akan

mengidap thalasemia. Hidup anak bergantung pada transfusi darah karena umur sel

darah merahnya tidak panjang, hanya 1-2 bulan, normalnya 3-4 bulan. 1

Secara umum, ada dua jenis thalasemia, yaitu mayor dan minor. Thalasemia

mayor berarti si pasien memang menderita penyakit itu, sedangkan thalasemia minor

berarti pembawa gen sifat penyakit itu. Karena itu, penderita thalasemia mayor perlu

mendapat perhatian khusus. Para penderita penyakit jenis ini tidak punya sel darah

merah yang cukup. Gejalanya bisa kelihatan ketika bayi berusia 3-18 bulan. Jantung

si bayi sering berdetak lebih cepat karena dipaksa bekerja keras memenuhi sel darah

merah. Tanpa penanganan khusus, usia penderita bakal segera berakhir. 1,2

Penderita thalasemia minor bisa berkembang seperti anak normal lainnya.

Hanya terkadang pada usia empat hingga enam tahun, si anak akan terus menerus

mengalami gejala anemia, seperti pusing, muka pucat, dan badan sering lemas. 2

Penanganan terhadap penderita dua jenis thalasemia tersebut tentu saja

berbeda. Namun, semua penderita thalasemia dilarang melakukan segala aktivitas

yang menguras tenaga. Pasien yang menjalani perawatan harus memenuhi beragam

pengobatan dengan biaya yang jelas tak murah. Seperti biaya transfusi darah,

peralatan, perawatan, obat, dan keperluan lain, seperti menyewa atau membeli alat

pompa infus. Setiap tahun, seorang pasien bisa menghabiskan biaya sampai Rp 300

juta. Thalasemia, penyakit yang memerlukan transfusi darah seumur hidup. 4

2

Page 3: Refrat Thalasemia

BAB 2

EPIDEMIOLOGI DAN DEFINISI THALASEMIA

2. 1. EPIDEMIOLOGI

Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah turunan yang paling banyak

terjadi, disebabkan oleh gen yang tidak normal pada darah. Kebanyakan dialami oleh

orang-orang Italia, Yunani, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Afrika. 3

Thalasemia, meski terdapat di banyak negara, memang secara khusus terdapat

pada orang-orang yang berasal dari kawasan Laut Tengah, Timur Tengah, atau Asia.

Jarang sekali ditemukan pada orang-orang dari Eropa Utara. Di Eropa, konsentrasi

tertinggi penyakit ini ditemukan di Yunani dan di bagian Italia, khususnya, Italia

Selatan dan bagian bawah lembah Po. Pulau-pulau Mediterania utama (kecuali

Balearik) seperti Sisilia, Sardinia, Malta, Korsika, Siprus dan Kreta adalah yang yang

paling banyak ditemukan penyakit thalasemia. Orang-orang Mediterania dan juga

memiliki tingkat penderita thalasemia yang tinggi, termasuk Timur Tengah dan

Afrika Utara. Asia Selatan juga cukup banyak penderitanya, dengan konsentrasi

carrier tertinggi di dunia (18% dari populasi) berada di Maladewa. 2,3,5

Hasil riset yang mencengangkan : 20 juta penduduk Indonesia membawa gen

penyakit thalasemia. Mereka berpeluang mewariskan penyakit kelainan darah itu

kepada keturunannya. Dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa dan angka kelahiran

20%, frekuensi Carrier Thalasemia-β diperkirakan mencapai 5%. Ini berarti

diperkirakan 2.500 anak yang lahir pertahun merupakan penderita Thalasemia.

"Dengan demikian, estimasi pada 2020, akan ada lebih dari 22.500 anak yang

menderita Thalasemia". 5

2. 2. INSIDEN

Saat ini thalasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak di

dunia, termasuk Indonesia. Insiden pembawa sifat Thalasemia di Indonesia berkisar

antara 3-8%, artinya dari setiap 100 orang 3-8 orang adalah pembawa sifat

Thalasemia. Insiden pembawa sifat ini berbeda-beda dari satu provinsi ke provinsi

lain. Yang tertinggi, Palembang; 10%, menyusul kemudian Makassar; 7.8%, Ambon;

3

Page 4: Refrat Thalasemia

5.8%, Jawa; 3-4%, Sumatera Utara, 1-1.5%. Untuk Jawa wilyah Jawa barat

merupakan daerah tertinggi kedua penderita Thalasemia setelah Jakarta. 5

Karena hemoglobin terdiri dari 2 jenis globin yaitu globin-α dan globin-β maka

dikenal dua jenis thalasemia, thalasemia-α dan thalasemia-β. Di Indonesia

berdasarkan parameter hematologi, frekuensi pembawa sifat thalasemia-α berkisar

antara 10-15%, sedangkan pada populasi Melayu di Palembang didapatkan

frekuensinya 13,4%, dan frekuensi pembawa sifat thalasemia-β di Sumatera Selatan

sekitar 8%. Dilihat dari tingginya frekuensi pembawa sifat thalasemia maka penyakit

ini merupakan masalah yang cukup serius. 1,5

Di Indonesia lebih banyak ditemukan kasus thalasemia-β. Di Indonesia ada 28

mutasi β thalasemia, dan 9 mutasi α thalasemia yang telah diketahui. Sementara 3-

10% pembawa sifat thalasemia adalah thalasemia-β. Untuk jumlah penderitanya

diperkirakan dari 200 juta penduduk, angka kelahiran pertahunnya sebesar 20

perseribu sedangkan pembawa sifat thalasemia-β mencapai 5%. Jadi diperkirakan

bayi baru lahir yang mengidap thalasemia akan mencapai 2500 orang setiap

tahunnya. Dari jumlah tersebut kemungkinan hanya 1500 per tahunnya yang terdaftar

di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Jumlah pasien thalasemia di pusat thalasemia

Jakarta sampai Maret 2007 sudah mencapai 1264 orang. 1,5

2. 3. PREVALENSI

Sekitar 250 juta orang atau 4.5 persen dari populasi dunia merupakan pembawa

sifat thalasemia. Dari jumlah 250 juta orang itu, 80-90 juta adalah pembawa sifat

thalasemia-β. Berdasarkan data WHO tahun 1994, setidaknya 300.000 anak yang

baru lahir mengidap thalasemia setiap tahunnya di mana 60.000-70.000 di antaranya

β thalasemia mayor. 1,5

Prevalensi carrier thalasemia di Indonesia mencapai sekitar 3-8%. Artinya 3

sampai 8 dari 100 orang Indonesia membawa sifat thalasemia. Jika diasumsikan

terdapat 5% saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari total populasi 240 juta

jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita thalasemia setiap tahunnya. 5

Di Indonesia sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita penyakit ini.

Sedang mereka yang tergolong thalasemia trait jumlahnya mencapai sekitar 200.000

orang. 1,5

4

Page 5: Refrat Thalasemia

Dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa dan angka kelahiran 20%, frekuensi

carrier Thalasemia-β diperkirakan mencapai 5%. Ini berarti diperkirakan 2.500 anak

yang lahir pertahun merupakan penderita Thalasemia. "Dengan demikian, estimasi

pada 2020, akan ada lebih dari 22.500 anak yang menderita Thalasemia". 5

2. 4. COST TERAPI TINGGI

Penyebaran penyakit Thalasemia ini sepatutnya mendapat perhatian serius dari

pemerintah. Bukan hanya resiko kematian yang akan selalu menghantui si anak,

tetapi juga cost pengobatan yang harus ditanggung orang tua tidaklah sedikit.

Pasalnya, selain harus terus memonitor tumbuh kembang si anak, biaya yang

dibutuhkan untuk transfusi darah juga tergolong mahal, bisa menghabiskan jutaan

rupiah tiap bulannya. 4

Bayangkan, saat ini sedikitnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan

sebesar Rp 300 juta per anak pertahun. Bila diperkirakan hingga tahun 2020

setidaknya lebih dari Rp 50 triliyun yang harus dihabiskan untuk mengobati 22.500

anak dengan kasus Thalasemia. 4

2. 5. DEFINISI

Penyakit thalasemia banyak diderita orang-orang Mediterania, sehinga kaitan

geografis inilah yang menjadi sejarah penamaan penyakit thalasemia ini: Thalassa

adalah bahasa Yunani untuk laut, Haema adalah bahasa Yunani untuk darah.

Thalasemia adalah kelainan hemoglobin bawaan yang ditandai dengan penurunan/

tidak ada sintesis satu atau lebih rantai globin. 7

Thalasemia adalah kelainan darah yang sifatnya menurun (genetik) di mana

penderitanya mengalami ketidakseimbangan dalam produksi hemoglobin (Hb).

Hemoglobin adalah komponen sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut

oksigen. Hemoglobin terdiri dari beberapa jenis protein, diantaranya protein-α dan

protein-β. Bila yang tidak ada adalah rantai globin-β maka disebut thalasemia-β

sedangkan jika yang tidak ada adalah rantai globin-α disebut thalasemia-α. 7,8

Kelainan gen ini akan mengakibatkan berkurang/ tidak terbentuknya rantai

globin pembentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna.

Akibatnya hemoglobin tidak dapat mengangkut oksigen dalam jumlah yang cukup.

5

Page 6: Refrat Thalasemia

Hal ini berujung dengan anemia (‘kekurangan darah’) yang dimulai sejak usia anak-

anak hingga sepanjang hidup penderitanya Akibatnya, tubuh tidak bisa membentuk

sel darah yang normal, sehingga sel darah merah mudah pecah (hemolisis) dan

terjadilah anemia. 1,8

Gambar 2. 1. The oxygen-carrying capacity of haemoglobin 5

2. 6. KLASIFIKASI MOLEKULER

Berdasarkan rantai globin yang gagal terbentuk, dibagi menjadi : 8,9,10,11

1. Thalasemia-α (hilang rantai α)

Thalasemia-α disebabkan karena adanya mutasi dari salah satu atau seluruh

globin rantai-α yang ada. Pada thalasemia-α, terjadi penurunan sintesis dari rantai-

α globulin. Dan kelainan ini berkaitan dengan delesi pada kromosom 16. Akibat

dari kurangnya sintesis rantai-α, maka akan banyak terdapat rantai-β dan gamma

yang tidak berpasangan dengan rantai-α. Maka dapat terbentuk tetramer dari

rantai-β yang disebut HbH dan tetramer dari rantai gamma yang disebut Hb Barts.

Gambar 2. 2. Genotipe Thalasemia-α 4

6

Page 7: Refrat Thalasemia

Thalasemia-α sendiri memiliki beberapa jenis :

a. Delesi pada satu rantai-α : Silent Carrier State (gangguan 1 rantai globin-α).

Disebut sebagai silent carrier karena tiga lokus globin yang ada masih bisa

menjalankan fungsi normal. Pada keadaan ini mungkin tidak timbul gejala

sama sekali pada penderita, atau hanya terjadi sedikit kelainan berupa sel darah

merah yang tampak lebih pucat (hipokrom).

b. Delesi pada dua rantai-α : α Thalasemia Trait (gangguan 2 rantai globin-α).

Juga dijumpai adanya anemia hipokromik mikrositer yang ringan. Terjadi

penurunan dari HbA2 dan peningkatan dari HbH. Penderita mungkin hanya

mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah yang tampak

pucat (hipokrom) dan lebih kecil dari normal (mikrositer).

c. Delesi pada tiga rantai-α : Hb H Disease (gangguan 3 rantai globin-α).

Dikenal sebagai HbH disease biasa disertai dengan anemia hipokromik

mikrositer. Dengan banyak terbentuk HbH, maka HbH dapat mengalami

presipitasi dalam eritrosit sehingga dengan mudah eritrosit dapat dihancurkan.

Jika dilakukan pemeriksaan mikroskopis dapat dijumpai adanya Heinz Bodies.

Gambaran klinis penderita dapat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali,

hingga anemia yang berat yang disertai dengan (splenomegali).

d. Delesi pada empat rantai α : Α Thalasemia Major (gangguan 4 rantai globin-α).

Dikenal juga sebagai hydrops fetalis. Biasanya terdapat banyak Hb Barts.

Gejalanya dapat berupa ikterus, pembesaran hepar dan spleen dan janin yang

sangat anemis. Biasanya, bayi yang mengalami kelainan ini akan mati beberapa

jam setelah kelahirannya atau dapat juga janin mati dalam kandungan pada

minggu ke 36-40. Bila dilakukan pemeriksaan seperti dengan elektroforesis

didapatkan kadar Hb adalah 80-90% Hb Barts, tidak ada HbA maupun HbF.

Thalasemia tipe ini merupakan kondisi yang paling berbahaya pada thalasemia

tipe-α. Pada kondisi ini tidak ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak

ada HbA atau HbF yang diproduksi. Biasanya fetus yang menderita α-

thalasemia mayor mengalami anemia pada awal kehamilan, membengkak

karena kelebihan cairan (hydrops fetalis), pembesaran hati dan limpa. Fetus

yang menderita kelainan ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal

tidak lama setelah dilahirkan.

7

Page 8: Refrat Thalasemia

2. Thalasemia β (hilang rantai β).

Disebabkan karena penurunan sintesis rantai-β. Dapat dibagi berdasarkan

tingkat keparahannya, yaitu thalasemia mayor, intermedia, dan karier. Pada kasus

thalasemia mayor Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya, penderita akan

mengalami anemia berat. Jika tidak diobati, bentuk tulang wajah berubah dan

warna kulit menjadi hitam. Selama hidupnya penderita akan tergantung pada

transfusi darah. Ini dapat berakibat fatal, karena efek sampingan transfusi darah

terus menerus yang berupa kelebihan zat besi (Fe). 11

Thalasemia-β terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin

yang ada. Thalasemia-β dibagi menjadi :

a. β Thalasemia Trait. Pada jenis ini penderita memiliki satu gen normal dan

satu gen yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang

ditandai dengan sel darah merah yang mengecil (mikrositer).

b. Thalasemia Intermedia. Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi

masih bisa memproduksi sedikit rantai-β globin. Penderita biasanya

mengalami anemia yang derajatnya tergantung dari mutasi gen yang terjadi.

c. Thalasemia Major (Cooley’s Anemia). Pada kondisi ini kedua gen mengalami

mutasi sehingga tidak dapat memproduksi rantai-β globin. Biasanya gejala

muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat.

Berbeda dari thalasemia minor (thalasemia trait/ bawaan), penderita

thalasemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin yang cukup di dalam

darah mereka. Sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat disalurkan ke

seluruh tubuh, yang lama-lama akan menyebabkan asfiksia jaringan (kekurangan

O2), edema, gagal jantung kongestif maupun kematian. Oleh karena itu,

penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang sering dan

perawatan medis demi kelangsungan hidupnya. Sementara itu, hilangnya rantai

asam amino bisa secara tunggal (thalasemia minor/ trait/ heterozigot) maupun

ganda (thalasemia mayor/ homozigot).

3. Mutasi thalasemia dan resistensi terhadap malaria

Walaupun sepintas thalasemia terlihat merugikan, penelitian menunjukkan

kemungkinan bahwa pembawa sifat thalasemia diuntungkan dengan memiliki

ketahanan lebih tinggi terhadap malaria. Hal tersebut juga menjelaskan tingginya

8

Page 9: Refrat Thalasemia

jumlah karier di Indonesia. Secara teoritis, evolusi pembawa sifat thalasemia

dapat bertahan hidup lebih baik di daerah endemi malaria seperti di Indonesia.

2. 7. KLASIFIKASI KLINIS

Secara klinis, terdapat tiga jenis thalasemia, yakni : 9,10

1. Thalasemia mayor : seseorang memiliki 2 gen cacat

Thalasemia mayor adalah suatu penyakit darah serius yang bermula sejak

awal anak-anak. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk haemoglobin

yang cukup di dalam darah mereka, sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat

disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama-lama akan menyebabkan asfiksia jaringan

(kekurangan O2), edema, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Oleh karena

itu, penderita thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang sering dan

perawatan medis demi kelangsungan hidupnya.

2. Thalasemia minor/ pembawa sifat : seseorang memiliki 1 gen cacat

Thalasemia minor atau disebut juga thalasemia trait/ bawaan adalah orang-

orang yang sehat, namun berpotensi menjadi carrier atau pembawa thalasemia.

9

Page 10: Refrat Thalasemia

BAB 3

ETIOPATHOBIOGENESIS

3.1. ETIOLOGI

1. Faktor Genetik

Faktor genetik ditengarai menjadi biang kerok utama gangguan

haematologi. Kelainan genetik haematologi dapat menimbulkan gangguan sejak

konsepsi sampai kelahiran. Beberapa kelainan hematologi meliputi sel darah

merah, sel darah putih, trombosit dan faktor pembukaan darah lain serta organ

yang menghasilkan sel-sel tersebut. 7,11

Penyakit thalasemia merupakan suatu kelainan darah bersifat genetik.

Kerusakan DNA tersebut menyebabkan tidak optimalnya produksi sel darah

merah penderitanya serta mudah rusak sehingga kerap menyebabkan anemia. Jika

suami atau istri membawa sifat (carrier) thalasemia, maka 25% anak mereka

memiliki kemungkinan menderita thalasemia. 7,11

Gambar 3. 1. Chromosome 16 dan 11 16

Rantai-β globin disandikan gen pada kromosom 11; rantai-α globin

dikodekan oleh dua gen pada kromosom 16. Dengan demikian, pada orang normal

dengan dua salinan dari setiap kromosom, ada dua lokus pengkodean pada rantai-

β, dan empat lokus pengkodean pada rantai-α. 11

2. Hemoglobin pada Thalasemia

Darah manusia terdiri atas plasma dan sel darah yang berupa sel darah

merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Seluruh

sel darah dibentuk oleh sumsum tulang, sementara hemoglobin merupakan salah

satu pembentuk sel darah merah. Hemoglobin terdiri dari 4 rantai asam amino (2

10

Page 11: Refrat Thalasemia

rantai amino-α dan 2 rantai amino-β) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat

dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal

dibentuk sehingga menyebabkan timbulnya thalasemia.

Gambar 3. 2. Hemoglobin pada Thalasemia 17

Berdasarkan rantai asam amino yang gagal terbentuknya, thalasemia dibagi

menjadi thalasemia-α (hilang rantai-α) dan thalasemia-β (hilang rantai-β).

Sementara itu, hilangnya rantai asam amino bisa secara tunggal (thalasemia

minor/ heterozigot) maupun ganda (thalasemia mayor/ homozigot). 10,11

3. Gen Globin Kromosom 11 dan 16

Hemoglobin terdiri dari 4 molekul zat besi (heme), 2 molekul rantai globin-

α dan 2 molekul rantai globin-β. Rantai globin α dan β adalah protein yang

produksinya disandi oleh gen globin α dan β.

Gambar 3. 3. Gen Globin β dan Gen Globin α 20

Setiap sifat dan fungsi fisik pada tubuh kita dikontrol oleh gen, yang bekerja

sejak masa embrio. Gen terdapat di dalam setiap sel tubuh. Setiap gen selalu

berpasangan. Satu belah gen berasal dari ibu, dan yang lainnya dari ayah. Diantara

banyak gen dalam tubuh kita, terdapat sepasang gen yang mengontrol

11

Page 12: Refrat Thalasemia

pembentukan hemoglobin pada setiap sel darah merah. Gen tersebut dinamakan

gen globin. Gen-gen tersebut terdapat di dalam kromosom. Penderita thalasemia

diklasifikasikan menurut rantai mana dari molekul hemoglobin-nya yang terkena.

Pada penderita α-thalasemia, produksi rantai-α globin itulah yang terkena,

sedangkan pada β-thalasemia produksi rantai-β globinnya yang terkena. 11

Gambar 3. 5. Lokus Rantai α dan β 22

Kromosom selalu ditemukan berpasangan. Gen globin β ini yang mengatur

pembentukan salah satu komponen pembentuk haemoglobin. Bila hanya sebelah

gen globin β yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat thalasemia-β.

Seorang pembawa sifat thalasemia tampak normal/ sehat, sebab masih

mempunyai 1 belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik).

Seorang pembawa sifat thalasemia jarang memerlukan pengobatan. 7

4. Causa

Gen yang rusak adalah gen penyandi hemoglobin, komponen terpenting dari

sel darah merah. Hemoglobin berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru-paru

ke seluruh tubuh. Singkatnya sel darah merah penderita akan mengecil, tak

mampu mengangkut oksigen, dan sangat fragile (mudah pecah). 5

Ketidakseimbangan dalam rantai protein globin α dan β, yang diperlukan

dalam pembentukan hemoglobin, disebabkan oleh sebuah gen cacat yang

diturunkan. Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari

12

Page 13: Refrat Thalasemia

kedua orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya

menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini. 7

Thalasemia diturunkan secara genetik dan resesif. Seseorang memiliki gen

yang berasal dari gen kedua orangtuanya. Bila salah satu orangtuanya memiliki

gen cacat (thalasemia) sementara orangtua yang lain sehat, anaknya akan tetap

sehat dan hanya mungkin menjadi pembawa (tidak memiliki gejala-gejala

thalasemia yang berat). Sementara itu, bila kedua orangtuanya memiliki gen cacat,

anaknya berpotensi menderita thalasemia mayor. Gen cacat inilah yang dapat

menyebabkan kegagalan pembentukan rantai asam amino pada hemoglobin. 6

Apabila seseorang memiliki 1 gen cacat yang menyebabkan kegagalan 1

rantai asam amino β, ia hanya menderita anemia ringan sampai sedang yang tidak

menimbulkan gejala. Sementara itu, orang yang memiliki 2 gen cacat dapat

menderita anemia berat disertai gejala-gejala thalasemia.2,7

Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua kromosom, dinamakan

penderita thalasemia (Homozigot/ Mayor). Kedua belah gen yang sakit tersebut

berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalasemia. 7

3.2. MEKANISME PENURUNAN THALASEMIA

1. Jika kedua orang tua tidak menderita thalasemia trait/ bawaan, maka tidak

mungkin mereka menurunkan thalasemia trait/ bawaan atau thalasemia mayor

kepada anak-anak mereka. Semua anak mereka akan mempunyai darah normal.

2. Apabila salah seorang dari orang tua menderita thalasemia trait/ bawaan,

sedangkan yang lain tidak maka satu dibanding dua (50%) kemungkinannya

bahwa setiap anak mereka akan menderita thalasemia trait/bawaan, tetapi tidak

seseorang diantara anak-anak mereka thalasemia mayor.

3. Apabila kedua orang tua men-derita thalasemia trait/ bawaan, maka anak-anak

mereka mungkin akan menderita thalasemia trait/ bawaan atau mungkin juga

memiliki darah normal, atau mereka mungkin menderita thalasemia mayor. 7

13

Page 14: Refrat Thalasemia

Gambar 3. 8. Pohon β-Thalasemia Trait 5

3.3. POHON THALASEMIA

Berdasarkan rantai asam amino yang terkena. 2 jenis yang utama adalah : 7

1. α-thalasemia (melibatkan rantai α). Thalasemia-α terjadi bila mengalami

penurunan atau tidak memiliki sintesis globulin-α. Gen globulin-α terletak pada

kromoson 16.

Gambar 3. 6. Pohon Thalasemia α 9

14

Page 15: Refrat Thalasemia

2. β-thalasemia (melibatkan rantai-β). Sedangkan thalasemia-β bila terjadi

penurunan atau tidak ada globulin β. sedangkan globulin β pada kromoson 11.

Gambar 3. 7. Pohon Thalasemia β 9

Pada proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin β dari

ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Bila kedua orang tuanya masing-masing

pembawa sifat thalasemia maka pada setiap pembuahan akan terdapat beberapa

kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan gen globin β yang

berubah (gen thalasemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan menderita

thalasemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalasemia dari ibu

atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah

anak mendapatkan gen globin β normal dari kedua orang tuanya.18

Dari skema diatas dapat dilihat bahwa kemungkinan anak dari pasangan

pembawa sifat thalasemia β adalah 25% normal, 50% pembawa sifat thalasemia β,

dan 25% thalasemia β mayor (anemia berat). 7

Untuk menderita penyakit ini, seseorang harus memiliki 2 gen dari kedua

orang tuanya. Jika hanya 1 gen yang diturunkan, maka orang tersebut hanya

menjadi pembawa tetapi tidak menunjukkan gejala-gejala dari penyakit ini. 16,18

15

Page 16: Refrat Thalasemia

3.4. PATHOGENESIS

Semuanya berawal dari hemoglobin yang merupakan pembawa atau

pengangkut sel darah merah ke seluruh tubuh. Normalnya, hemoglobin terdiri dari 4

rantai asam amino (2 rantai amino α dan 2 rantai amino β) yang bekerja bersama-

sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. 5

Seorang penderita thalasemia tidak dapat memproduksi salah satu atau bahkan

kedua jenis asam amino tersebut. Sehingga rantai asam amino pembentuk protein

pun gagal dibentuk dan darah menjadi tidak sempurna dan usia sel darahnya menjadi

lebih pendek sehingga menyebabkan anemia. 11

Thalasemia bukan penyakit menular, melainkan penyakit bawaan dari

orangtua. Karena itu, mayoritas penderitanya adalah anak-anak. Jika salah satu di

antara ayah atau ibu memiliki kelainan sel darah merah, kemungkinan si anak

mengidap penyakit thalasemia mencapai 25 persen. 1,7

Gambar 3. 9. Pathogenesis Thalasemia 7

Haemoglobin terdiri dari 4 rantai asam amino (2 rantai amino α dan 2 rantai

amino β) yang bekerja bersama-sama untuk mengikat dan mengangkut oksigen ke

seluruh tubuh. Rantai asam amino inilah yang gagal dibentuk sehingga menyebabkan

timbulnya thalasemia. Sehingga sel darah merah menjadi mudah rusak dan rapuh.

16

Page 17: Refrat Thalasemia

Secara normal umur sel darah merah adalah 120 hari tetapi pada kasus ini umurnya

menjadi sangat pendek yaitu bisa kurang dari ½ nya. Karena terjadi penghancuran sel

eritrosit sangat cepat sebelum waktunya sehingga penderita akan tampak pucat, gizi

kurang, pertumbuhan kurang dan perut makin lama makin membuncit karena terjadi

pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali). 2,4

Di dalam tubuh pasien thalasemia terjadi perubahan atau mutasi gen pembawa

kode genetik untuk pembuatan hemoglobin. Akibatnya, kualitas sel darah merah

tidak baik dan gagal bertahan hidup lama. Penderita thalasemia minor hampir tidak

pernah bermutasi menjadi thalasemia mayor. 7

3.5. PATHOFISIOLOGI 2,11,13,14

1. Terjadinya Gejala Anemia Pada Thalasemia

Warna merah dari darah manusia disebabkan oleh hemoglobin yang terdapat

di dalam darah merah. Hemoglobin terdiri atas zat besi dan protein yang dibentuk

oleh rantai globin α dan rantai globin β. Pada penderita thalasemia β, produksi

rantai globin β tidak ada atau berkurang. Sehingga hemoglobin yang dibentuk

berkurang. Selain itu berkurangnya produksi rantai globin β mengakibatkan rantai

globin α relatif berlebihan dan akan saling mengikat membentuk suatu benda yang

menyebabkan sel darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin

dan mudah rusaknya sel darah merah mengakibatkan penderita menjadi pucat atau

anemia atau kadar Hbnya rendah.

2. Splenomegali Pada Penderita Thalasemia

Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa

juga berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita thalasemia,

sel darah merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat.

Akibatnya limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat

untuk memproduksi sel darah merah lebih banyak.

3. Facies Cooley Pada Penderita Thalasemia

Sumsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka

adalah salah satu tulang pipih, Pada thalasemia karena tubuh selalu kekurangan

darah, maka pabrik sel darah daiam hal ini sumsum tulang pipih akan berusaha

memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang

17

Page 18: Refrat Thalasemia

meningkat maka sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka

pembesaran ini dapat dilihat dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak

antara kedua mata menjadi jauh, tulang pipi menonjol.

3.6. PATHOBIOLOGI 7

Gambar 3. 10. Pathobiologi Thalasemia 7

3.6. THALASEMIA PADA NEONATUS 9,16

18

Page 19: Refrat Thalasemia

Thalasemia pada neonatus adalah spesifik karena eritrosit pada masa fetal dan

neontal berbeda secara bermakna dibanding bayi yang lebih tua, anak-anak, dan

dewasa. Eritrosit pada masa fetal dan neonatal mempunyai umur hidup yang lebih

pendek, bentuk yang berubah dan deformabilitas, serta konsentrasi Hb fetal yang

lebih tinggi. Hal ini akan mempengaruhi kemampuan untuk membawa oksigen ke

jaringan dalam memenuhi kebutuhan metabolik.

Gambar 3. 11. Hb H Disease dan Hydrops Fetalis 6

Thalasemia pada neonatus terutama adalah thalasemia α dengan gangguan pada

3 gen (penyakit hemoglobin H) dan 4 gen (Hb-Bart's hydrops fetalis). Hb-Bart's

hyfrops fetalis manifestasi terburuk dari gen thalasemia α dan bayi yang menderita

penyakit ini lahir meninggal atau meninggal dalam beberapa jam sesudah lahir.

Thalasemia α terjadi defek sintesis rantai α dengan akibat depresi produksi Hb

yang rantai α, misalnya HbA, HbA2, dan HbF. Defisiensi rantai α menyebabkan

timbunan rantai γ pada fetus dan rantai β pada orang dewasa. Bila melihat jumlah

gen yang mengalami kelainan, thalasemia α dikelompokan sebagai silent carrier (1

gen), trait α thalasemia (2 gen), penyakit HbH (3 gen), dan Hb-Barts hydrops fetalis

(4 gen). Rantai γ membentuk tetramer Hb-Barts dan presipitat rantai β yang tidak

stabil membentuk HbH. Adanya Hb-Barts dan HbH dalam eritrosit membawa akibat

yang serius karena Hb tersebut mempunyai afinitas oksigen yang tinggi dan tidak

dapat membawa oksigen secara adekuat ke jaringan.

Sedangkan pada thalasemia β meliputi empat sindrom klinis. Yaitu silent

carrier, trait thalasemia, thalasemia intermedia, dan thalasemia mayor. Heterogenitas

klinis menunjukan perbedaan mutasi. Banyak mutasi yang mengeliminasi ekspresi

19

Page 20: Refrat Thalasemia

gen globin β, sedangkan yang lain secara bervariasi menurunkan derajat ekspresi gen

globin β. Makin ringan penurunan ekspresi gen globin β, makin baik manifestasi

klinisnya, karena derajat ketidakseimbangan antara rantai α dan β menunjukan

derajat beratnya penyakit.

Sindrom klinis thalasemia β tidak muncul sampai usia 4-6 bulan, dimana

terjadi perubahan dari HbF ke HbA. Tetapi sindrom thalasemia α sebagai hydrops

fetalis (4 gen) dan penyakit HbH (delesi 3 gen) muncul dengan anemia dan

hepatosplenomegali. Trait dan silent carrier tidak menampakan gejala-gejalanya dan

terdeteksi secara tak sengaja pada kehidupan selanjutnya.

3.7. PENURUNAN GEN THALASEMIA

Gambar 3. 12. Pohon Penurunan Thalasemia 9

BAB 4

20

Page 21: Refrat Thalasemia

MANIFESTASI PENYAKIT DAN DIAGNOSIS

4.1. FAKTOR RESIKO

Frekuensi pembawa atau carrier penyakit ini (punya gen rusak tapi tidak sakit)

di masyarakat indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 5%. Penderita thalasemia akan

lahir dari suami istri yang dua duanya carrier thalasemia. 18,19

Gambar 4. 1. Carrier Thalasemia 10

Thalasemia diturunkan dari pasangan yang membawa sifat thalasemia.

Kemungkinan anak yang dilahirkan adalah 25% thalasemia mayor, 50% carrier

(pembawa sifat) dan 25% sehat. Maksudnya, dalam setiap kehamilan dari pasangan

tersebut terdapat kemungkinan satu berbanding empat bagi anak mereka untuk

menderita thalasemia mayor, dua banding empat kemungkinan anak membawa gen

thalasemia (carrier) dan satu banding empat kemungkinan anak berdarah normal dan

tumbuh sehat. 18,20

4.2. FAKTOR PREDISPOSISI GENETIK

Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa

kemungkinan membawa sifat thalassemia β. Karena frekuensi pembawa sifat

thalassemia di Indonesia cukup signifikan. Tetapi bila ada riwayat seperti di bawah

ini, pemeriksaan pembawa sifat thalassemia sangat dianjurkan: 7,8

1. Ada saudara sedarah menderita thalassemia.

21

Page 22: Refrat Thalasemia

2. Kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl, walaupun sudah minum obat

penambah darah seperti zat besi.

3. Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb normal.

4.3. LABORATORIUM

Karena penampilan sebagian besar pembawa sifat thalasemia β tidak dapat

dibedakan dengan individu normal, maka pembawa sifat thalasemia β hanya dapat

ditentukan dengan pemeriksaan darah yang mencakup darah tepi lengkap dan analisis

hemoglobin. Pemeriksaan pembawa sifat thalasemia β dapat dilakukan di Lembaga

Eijkman, Jalan Diponegoro 69 Jakarta pada setiap hari Senin s/d Jum’at jam 9.00 s/d

14.00. Biaya pemeriksaan adalah Rp. 150.000,-/ per orang (harga sewaktu-waktu

dapat berubah). Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan oleh beberapa laboratorium

lain. 6

Pemeriksaan laboratorium untuk skrining dan diagnosis thalasemia meliputi:

1. Hematologi Rutin: untuk mengetahui kadar Hb dan ukuran sel-sel darah .

2. Gambaran darah tepi : untuk melihat bentuk, warna dan kematangan sel-sel

darah.

3. Feritin, SI dan TIBC : Untuk melihat status besi.

4. Analisis Hemoglobin : untuk diaknosis dan menentukan jenis thalassemia.

5. Analisis DNA : untuk diaknosis prenatal (pada janin) dan penelitian. 7,13

4.4. MANIFESTASI PENYAKIT

Manifestasi klinis thalassemia α bervariasi yaitu silent carrier, thalassemia α

ringan, penyakit hemoglobin H dan hidrops fetalis yang menyebabkan kematian janin

dalam rahim. Manifestasi klinis thalasemia bervariasi sesuai dengan jumlah gen

globin yang ada, di antaranya silent carrier (mempunyai 3 gen globin), thalasemia

ringan (mempunyai 2 gen globin) ditandai dengan sel darah merah yang kecil, dan

anemia ringan, penyakit Hemoglobin H (mempunyai 1 gen globin) ditandai dengan

anemia berat, sel darah merah kecil dan berfragmen, splenomegali, dan hidrops

fetalis yang menyebabkan kematian janin pada kehamilan 24-32 minggu, pada

keadaan ini tidak didapatkan gen globin atau delesi ke-empat gen globin. 22

22

Page 23: Refrat Thalasemia

Akibatnya bayi yang lahir dengan thalasemia jenis ini memberikan gambaran

klinis diantaranya anemia berat eritrosit yang hipochromik, anisopoikilositik,

eritroblast berinti hepatomegali, dapat juga splenomegali, plasentomegali, kelainan

kongenital, klinis bayi hydrops fetalis. Komplikasi pada ibu dengan janin thalasemia

yaitu plasentomegali, hipertensi dalam kehamilan, haemoragik antepartum,

melahirkan pada usia 31 minggu yaitu dengan rata-rata 24-38 minggu. 16

4.5. GEJALA

Semua thalasemia memiliki gejala yang mirip, tetapi beratnya bervariasi.

Sebagian besar penderita mengalami anemia yang ringan, sulit tidur, lemas, kurang

nafsu makan atau infeksi yang kerap berulang. Pada bentuk yang lebih berat,

misalnya β-thalasemia mayor, bisa terjadi sakit kuning (jaundice), luka terbuka di

kulit (ulkus, borok), batu empedu dan pembesaran limpa. Sumsum tulang yang

terlalu aktif bisa menyebabkan penebalan dan pembesaran tulang, terutama tulang

kepala dan wajah. Tulang-tulang panjang menjadi lemah dan mudah patah karena

penipisan/ perapuhan tulang karena sumsum tulang juga berperan penting dalam

memproduksi hemoglobin tersebut. Anak-anak yang menderita thalasemia akan

tumbuh lebih lambat dan mencapai masa pubertas lebih lambat dibandingkan anak

lainnya yang normal. Karena penyerapan zat besi meningkat dan seringnya menjalani

transfusi, maka kelebihan zat besi bisa terkumpul dan mengendap dalam otot jantung,

yang pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung. 15,24

Satu gen untuk β-thalasemia menyebabkan anemia ringan sampai sedang tanpa

menimbulkan gejala; 2 gen menyebabkan anemia berat disertai gejala-gejala. Sekitar

10% orang yang memiliki paling tidak 1 gen untuk α-thalasemia juga menderita

anemia ringan. 21

Penderita thalasemia mayor juga memiliki wajah yang merupakan ciri khas

thalasemia mayor, yang disebut facies cooley. Ciri-cirinya adalah batang hidung

masuk ke dalam dan tulang pipi menonjol. Hal ini diakibatkan karena pada keadaan

thalasemia, sumsum tulang bekerja keras mengatasi kekurangan hemoglobin.

Thalasemia mayor berarti si pasien memang menderita penyakit itu, sedangkan

thalasemia minor berarti pembawa gen sifat penyakit itu. Karena itu, penderita

thalasemia mayor perlu mendapat perhatian khusus. Para penderita penyakit jenis ini

23

Page 24: Refrat Thalasemia

tidak punya sel darah merah yang cukup. Gejalanya bisa kelihatan ketika bayi berusia

tiga bulan hingga 18 bulan. Jantung si bayi sering berdetak lebih cepat karena

dipaksa bekerja keras memenuhi sel darah merah. Tanpa penanganan khusus, usia

penderita bakal segera berakhir. 18

Adapun penderita thalasemia minor tidak merasakan gejala apapun, bisa

berkembang seperti anak normal lainnya. Hanya terkadang pada usia empat hingga

enam tahun, si anak akan terus menerus mengalami gejala anemia, seperti pusing,

muka pucat, dan badan sering lemas. Pembawa sifat thalasemia tidak memiliki ciri

khusus, mungkin hanya sekedar anemia ringan. 20

Ciri Anak Thalasemia :

Pucat lama, sehingga orangtua juga tidak pernah tahu kapan anaknya mulai pucat.

Perut tampak membesar akibat pembesaran organ hati dan limpa

Kulit menjadi kehitaman

Perubahan bentuk wajah, dimana jarak antara kedua mata menjadi jauh, disertai

hidung yang bertambah pesek. 7

4.6. DIAGNOSIS

Thalasemia dibuat berdasarkan anamnesis mengenai gejala klinis, riwayat

keluarga/ pola herediter, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk analisa hemoglobin yaitu hematologi

rutin, hapusan darah tepi dan elektroforesis. Pemeriksaan setingkat analisis DNA/

PCR, harus dirujuk ke Jakarta. 6

Thalasemia lebih sulit didiagnosis dibandingkan penyakit hemoglobin lainnya.

Hitung jenis darah komplit menunjukkan adanya anemia dan rendahnya MCV (mean

corpuscular volume). Elektroforesa bisa membantu, tetapi tidak pasti, terutama untuk

α-thalasemia. Karena itu diagnosis biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan

pemeriksaan hemoglobin khusus. 20

Penyakit thalasemia dapat dideteksi sejak bayi masih di dalam kandungan. Jika

suami atau istri merupakan pembawa sifat (carrier) thalasemia, maka anak mereka

memiliki kemungkinan sebesar 25 persen untuk menderita thalasemia. Karena itu,

ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di laboratorium

untuk memastikan apakah janinnya mengidap thalasemia atau tidak. 21

24

Page 25: Refrat Thalasemia

Selain dalam kandungan, thalasemia juga bisa dideteksi ketika si anak telah

lahir dan mulai tumbuh. Pada mereka, gejala dini thalasemia dapat dilihat dari kulit

dan wajah yang tampak pucat, pertumbuhan lebih lambat dibanding anak-anak pada

umumnya, dan terjadi pembengkakan pada perut akibat pembengkakan limpa.

Hanya saja, gejala ini amat umum dan dapat terjadi pada banyak penyakit.

”Karena itu, untuk memastikan apakah seseorang menderita thalasemia atau tidak,

maka harus dilakukan pemeriksaan darah”. 11

BAB 5

PENATALAKSANAAN

25

Page 26: Refrat Thalasemia

5.1. PENGOBATAN

Sampai saat ini belum ada obat yang menyembuhkan penyakit thalasemia

secara total. Pada dasarnya pengobatan yang diberikan pada penderita bersifat

simptomatik dan suportif. Secara garis besar, pengobatannya terdiri dari pengobatan

terhadap penyakitnya dan pengobatan terhadap komplikasi. 7

Pengobatan terhadap penyakitnya meliputi transfusi darah terus menerus atau

tiada henti dan mempertahankan kadar Hb selalu sama atau 12 g/dl, splenektomi,

induksi sintesa rantai globin, transplantasi sumsum tulang dan terapi gen. 18

Pengobatan terhadap komplikasi meliputi mencegah kelebihan dan

penimbunan besi, mengatasi akibat samping transfusi darah, pemberian kalsium,

asam folat, imunisasi dan pengobatan terhadap komplikasi lainnya. 7,15

Transplantasi Sumsum Pada beberapa keadaan, kadang diperlukan suatu

tindakan operasi untuk mengambil limpa dari dalam tubuh (splenectomy), karena

limpa telah rusak. 17,28

Satu lagi adalah terapi gen, merupakan pengobatan yang paling utama dari

semua penyakit genetik, namun terapi gen pada thalasemia masih terus dalam

penelitian. 30

26

Page 27: Refrat Thalasemia

Gambar 5. 1. Manajemen Thalasemia dan Komplikasi 7

5.2. TRANSFUSI DARAH RUTIN

Penderita thalasemia akan mengalami anemia sehingga selalu membutuhkan

transfusi darah seumur hidup. Jika tidak, maka akan terjadi kompensasi tubuh untuk

membentuk sel darah merah. Organ tubuh bekerja lebih keras sehingga terjadilah

pembesaran jantung, pembesaran limpa, pembesaran hati, penipisian tulang-tulang

panjang, yang akirnya dapat mengakibakan gagal jantung, perut membuncit, dan

bentuk tulang wajah berubah dan sering disertai patah tulang disertai trauma ringan.14

27

Page 28: Refrat Thalasemia

Akibat transfusi yang berulang mengakibatkan penumpukan besi pada organ-

organ tubuh. Terlihat dari luar kulit menjadi kehitaman, sementara penumpukan besi

di dalam tubuh umumnya terjadi pada jantung, kelenjar endokrin, sehingga dapat

megakibatkan gagal jantung, pubertas terlambat, tidak menstruasi, pertumbuhan

pendek, bahkan tidak dapat mempunyai keturunan. Akibat terburuk penderita bisa

meninggal dunia akibat penimbunan zat besi pada organ jantung. Walau penimbunan

zat besi akibat transfusi darah terjadi di berbagai organ namun karena jantung

mempunyai daya kompensasi yang kurang di banding organ lain, maka banyak

penderita thalasemia meninggal karena komplikasi jantung. 15,4

Atasi anemia dengan tranfusi PRC (Packed Red Cell). Tranfusi hanya

diberikan bila Hb < 8 g/dL. Sekali diputuskan untuk diberi tranfusi darah, Hb harus

selalu dipertahankan diatas 12 g/dL dan tidak melebihi 15 g/dL.

Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian

tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari

tambahan zat besi dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid),

karena zat besi yang berlebihan bisa menyebabkan keracunan. 24

Akibat transfusi yang berulang, kemungkinan tertular penyakit hepatitis B,

hepatitis C dan HIV cenderung besar. Imunisasi terhadap virus hepatitis B dan C

diperlukan untuk mencegah infeksi virus tersebut melalui tranfusi darah. 25

Penderita thalasemia mayor mulai terlihat sejak usia dini, mulai dari 6 bulan,

umumnya memerlukan transfusi rutin 1-2 bulan sekali. Beberapa pendapat

mengusulkan agar kadar Hb dipertahankan sama atau di atas 10 g/ dl. Sayangnya,

transfusi darah pun bukan tanpa risiko. Risikonya terjadi pemindahan penyakit dari

darah donor ke penerima. Yang lebih berbahaya, karena memerlukan transfusi darah

seumur hidup, maka anak bisa menderita kelebihan zat besi yang mengganggu fungsi

organ-organ vital seperti jantung, hati, ginjal, paru, dan alat kelamin sekunder.

Gangguan tersebut bisa mengakibatkan kematian. “Jadi, ironisnya, penderita

diselamatkan oleh darah tetapi dibunuh oleh darah juga”. Untuk mengatasi masalah

kelebihan zat besi, dilakukan dengan memberikan obat kelasi besi atau pengikat zat

besi secara teratur dan terus menerus. Pada penderita thalasemia diberikan pula

tambahan vitamin C, E, calcium dan asam folat. 24,27

28

Page 29: Refrat Thalasemia

5.3. EFEK SAMPING TRANSFUSI

Akan tetapi transfusi darah berulang dapat mengakibatkan penimbunan zat besi

pada organ-organ tubuh yang penting (jantung, hati, otak) dan dapat mengganggu

fungsi organ-organ tersebut.

Akibat transfusi darah, seumur hidup pada penderita thalasemia, maka akan

terjadi penumpukan (kelebihan) zat besi. Dalam 1 liter darah, terkandung 750

mikrogram zat besi. Sedangkan kebutuhan normal manusia akan zat besi hanya 1-2

mg per hari. Penumpukan zat besi terjadi di kelenjar pembentuk hormon, hati,

jantung, tulang dan lain sebagainya. Untuk pencegahan penimbunan zat besi tersebut

dapat digunakan dengan memberikan desferoxamine (Desferal) melalui alat pompa

(syringe drive) selama 10 sampai 15 jam, 5 hari berturut-turut dalam seminggu

sehingga zat besi dapat dikeluarkan dari jaringan tubuh. Tetapi sayangnya obat ini

masih sangat mahal harganya dan tidak semua orangtua mampu membelinya.

Penderita yang menjalani transfusi juga harus menghindari tambahan zat besi dan

obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamide) untuk mencegah

penimbunan zat besi yang lebih parah. 24,27

Efek samping lain adalah jika penderita sudah terinfeksi virus hepatitis, karena

memerlukan pengobatan antivirus yang sangat mahal harganya. 25

Anemia pada penderita thalasemia bisa sangat berat, bisa mencapai Hb 4-6

gram/ dL, sehingga tidak mungkin ditanggulangi hanya dengan pemberian suplemen

penambah darah lewat mulut/ per oral. Tidak ada pilihan lain, hanya transfusi darah

yang bisa menaikkan Hb yang sedemikian rendah pada penderita thalasemia.

Akibat samping dari pemberian darah yang hampir setiap bulan sekali, maka

zat besi akan menumpuk didalam tubuh penderita yang disebut hemosiderosis.

Hemosiderosis tidak baik bagi tubuh, akan memberi warna biru-kehitaman pada kulit

penderita dan bila menumpuk sedemikian tinggi di dalam jaringan hati, keadaan ini

disebut hemochromatosis, bisa menimbulkan kanker hati. 24,27

Untuk mengurangi kadar besi didalam tubuh, maka penderita yang telah

menjalani transfusi darah berkali-kali akan diberikan suntikan desferal

(desferioxamine). Jadi hidup penderita sangat tergantung pada pemberian transfusi

darah selama hidupnya dan sudah barang tentu sangat menderita, sangat merepotkan

keluarga dan memberatkan ekonomi keluarga. 27

29

Page 30: Refrat Thalasemia

5.4. HEMOSIDEROSIS TRANSFUSIONAL

Dalam 1 liter darah terdapat kurang lebih 500 mg zat besi (Fe), dan tubuh

dalam kondisi normal setiap harinya akan kehilangan besi kurang lebih 1 mg. Oleh

karenanya jika seseorang mendapatkan transfusi dalam secara terus menerus tanpa

disertai adanya pendarahan yang kronis maka zat besi bersama darah transfusi akan

tertimbun dalam tubuh dan mengakibatkan Hemosiderosis Transfusional (HT). 15

Penimbunan zat besi pada organ-organ tubuh menyebabkan terganggunya

fungsi organ yang bersangkutan. HT umumnya terjadi pada pasien yang mengalami

transfusi kronis seperti pada pasien anemia aplastik, anemia hemolitik dan

Thalasemia. 15,24

Untuk mengurangi kemungkinan HT maka dapat diusahakan pemberian

transfusi seminimal mungkin atau eritrosit yang ditransfusikan terpilih yang masih

muda (neocyte) untuk memperpanjang usia eritrosit. Dapat juga digunakan medikasi

membantu meningkatkan ekskresi besi melalui urine (Iron Chelation Therapy)

dengan Desferrioxamine (Desferal) dosis 20-40 mg/ KgBB per sub-kutan. Penderita

Thalasemia sering kali kekurangan vitamin C sehingga pemberian 100 mg/ hari akan

membantu memperbaiki efek chelation, namun perlu dipertimbangkan bahwa

vitamin C akan menambah reabsorpsi zat besi sehingga pemberian harus benar-benar

dengan pertimbangan konsultan kesehatan/ gizi yang ahli. 24

Pemberian obat kelasi besi atau pengikat zat besi (nama dagangnya Desferal)

secara teratur dan terus-menerus akan mengatasi masalah kelebihan zat besi. Obat

kelasi besi (Desferal) yang saat ini tersedia di pasaran diberikan melalui jarum kecil

ke bawah kulit (subkutan) dan obatnya dipompakan secara perlahan-lahan oleh alat

yang disebut “syringe driver.” Pemakaian alat ini diperlukan karena kerja obat ini

hanya efektif bila diberikan secara perlahan-lahan selama kurang lebih 10 jam per

hari. Idealnya obat ini diberikan lima hari dalam seminggu seumur hidup. 24,27

5.5. DIET THALASEMIA

Selama periode transfusi konsumsi zat besi pada pasien Thalasemia juga

dikurangi guna mengurangi kemungkinan HT. Jika kemungkinan besar terjadi

penumpukan zat besi pada pasien, maka pasien dapat menjalan protokol diet bagi

pasien dengan hemochromatosis dan anemia yang telah dimodifikasi. Pada pasien

30

Page 31: Refrat Thalasemia

pemberian protein hewani tetap dapat diberikan, misal dengan pemberian ikan laut

harus dimasak dengan baik sebelum dikonsumsi (tidak mentah atau setengah

matang). Tidak disarankan untuk pemberian vitamin C buatan, kecuali yang berasal

dari sumber natural. Konsumsi teh setelah makan juga dapat membantu menghambat

penyerapan zat besi, karena tannin di dalamnya berperan sebagai inhibitor, namun ini

bukanlah sebuah terapi pengganti diet. Pengambilan darah secara reguler untuk

mengurangi penumpukan besi tidak merupakan terapi yang disarankan. Baik diet zat

besi maupun penggunaan terapi iron chelating agents, pasien sebaiknya dipantau

kadar besi serumnya secara berkala. 15,27

5.6. SPLENEKTOMI

Splenektomi diindikasikan bila terjadi hipersplenisme atau limpa terlalu besar

sehingga membatasi gerak pasien, menimbulkan tekanan intraabdominal yang

mengganggu napas dan berisiko mengalami rupture. Pencangkokan sumsum tulang

dipertimbangkan pada setiap kasus baru dengan thalasemia mayor. 17

Splenectomi pada merupakan pilihan pada pasien thalasemia dengan

hiperplasia splenomegali. Dengan manajemen pre-operasi yang baik, splenektomi

tidak hanya aman, namun juga bermanfaat dalam mengurangi frekuensi transfusi

pada pasien, serta menghilangkan ketidaknyamanan dan tekanan mekanis akibat

pembesaran limpa. Sebuah studi perbandingan antara splenektomi parsial (SP) dan

splenektomi total (ST) pada pasien thalasemia menunjukkan bahwa pada kedua

tindakan dapat menurunkan keperluan transfusi pada pasien hingga tiga kali lipat

jumlah sebelum operasi. 3 tahun pasca operasi 22,7% pada SP dan 13,3% pada ST

memerlukan kembali jumlah transfusi yang sama seperti sebelum operasi, dan

menjadi 27,3% pada SP dan 18,3% pada ST setelah 5 tahun. Dari 143 kasus yang

diikuti selama periode 1991-1999, 2 pasien SP dan 6 pasien ST menunjukkan tanda-

tanda sepsis yang kemungkinan besar adalah dampak splenektomi. Beberapa

pendapat lain menyatakan perlu pemberian imunisasi pre-operasi oleh karena adanya

resiko sepsis pasca operasi (overwhelming post-splenectomy infection), namun

beberapa pendapat lainnya menyatakan pemberian imunisasi tidak bermakna. 17

Bila terjadi aktivitas limpa berlebihan, dapat dilakukan pengangkatan limpa.

Aktivitas limpa yang berlebihan dapat menghancurkan juga sel darah yang normal,

31

Page 32: Refrat Thalasemia

akibatnya Hb penderita cepat turun. Hal ini lebih sering terjadi pada anak yang

mendapat transfusi lebih dari satu kali dalam satu bulan. 17

5.7. CANGKOK SUMSUM TULANG

Di negara maju, pengobatan terbaru adalah dengan cangkok sumsum tulang.

Jaringan sumsum penderita diganti dengan sumsum tulang donor yang cocok

biasanya dari orangtua atau saudara, sehingga mampu memproduksi sendiri sel-sel

darah merah yang cukup mengandung hemoglobin. Hanya saja, biayanya memang

masih amat mahal. 28

Pada penderita thalasemia yang sangat berat dapat diperlukan pencangkokan

sumsum tulang. Diperlukan donor yang cocok (donor biasanya saudara kembar atau

saudara kandung penderita) dan sebaiknya dilakukan sedini mungkin sejak kecil,

yakni ketika anak belum banyak mendapat transfusi darah, karena semakin sering

transfusi semakin besar kemungkinan untuk terjadinya penolakan terhadap jaringan

sumsum tulang donor. Sayangnya, di Indonesia tindakan ini masih dalam tahap

permulaan. 6,29

Transplantasi sumsum tulang prinsipnya ialah memberikan stem cells (sel

punca) normal donor yang mempunyai kompatibilitas sama kepada penderita

thalasemia. Transplantasi sumsum tulang lebih efektif daripada transfusi darah,

namun memerlukan sarana khusus dan biaya yang tinggi. Terdapat hasil

menguntungkan transplantasi stem cells dari anggota keluarga dengan HLA (Human

Leucocyte Antigen) yang identik pada pasien thalasemia berat. 6,28,29

Penundaan transplantasi terlalu lama atau bila sudah timbul kerusakan hati dan

jantung, karena penimbunan besi akan mengurangi kemungkinan keberhasilan

transplantasi. Jadi pada pasien thalasemia yang mempunyai donor HLA identik untuk

sesegera mungkin menjalani transplantasi. 28

Darah tali pusat sebagai sumber stem cells, mampu menyusun kembali sumsum

tulang pada pasien thalasemia setelah terapi persiapan (mielo-ablasi prekondisional).

Manfaat utama darah tali pusat dibandingkan sumber stem cells lainnya adalah

kemampuan menembus sawar HLA, dan terdapat bukti lebih sedikit terjadi reaksi

penolakan. 29

32

Page 33: Refrat Thalasemia

Penggunaan donor stem cells darah tali pusat berhubungan dengan

ketidaksesuaian 1-3 antigen HLA harus dipertimbangkan sebelumnya untuk

keberhasilan transplantasi. Sumber stem cells yang lain adalah dari hewan kelinci

yang dikembangbiakkan secara khusus (xenotransplantasi). 28,29

Sumber stem cells ini menguntungkan karena tak pernah ditemukan bukti

penularan virus yang berbahaya (retrovirus) dari kelinci ke manusia dan tak pernah

ditolak tubuh yang memerlukan obat-obat penekan reaksi imun (imunosupresi). 29

5.8. TERAPI GENETIK

Selama ini belum ada terapi definitif selain transfusi darah, harapan untuk masa

depan adalah terapi genetik yaitu memasukkan kembali gen normal untuk

hemoglobin ini. 30

33

Page 34: Refrat Thalasemia

BAB 6

PENCEGAHAN

Salah satu cara terampuh untuk menanggulangi thalasemia adalah dengan

mengaktifkan konsultasi kesehatan pra-pernikahan. Setiap pasangan yang hendak

melangsungkan pernikahan diperiksa untuk mengetahui apakah mereka mempunyai

thalasemia bawaan atau pembawa sifat atau tidak. Jika hanya salah satu di antara

pasangan itu yang mengidapnya, tidak berbahaya. Tapi jika keduanya pembawa sifat,

dampaknya akan sangat berbahaya bagi keturunan mereka kelak. Konsultasi pranikah

itu penting untuk mendeteksi ada atau tidaknya thalasemia bawaan atau pembawa

sifat pada diri pasangan yang hendak menikah. 31

Cara ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, terutama pihak pemerintah

dan pemuka agama. Pemerintah bisa membuat ketentuan tentang keharusan

konsultasi kesehatan pranikah. Dalam hal pernikahan sudah terjadi dan membuahkan

kehamilan, maka upaya antisipasi bisa dilakukan sejak mulai kehamilan di bulan-

bulan pertama. Jika janin positif terjangkit thalasemia major, maka sebaiknya

dilakukan aborsi. Di sinilah pentingnya peran ahli agama untuk menjelaskan boleh

atau tidaknya aborsi dilakukan. 6

Guna mencegah penyebaran penyakit thalasemia yang diturunkan secara

genetik, pemerintah sedang mewacanakan perlunya kewajiban melakukan tes darah

pada pasangan yang akan menikah. Dengan demikian, pembawa akar genetik

thalasemia bisa terhindar menikah dengan pasangan yang memiliki genetik serupa. 6

Kalaupun terpaksa menikah, melalui konseling, pada kehamilan usia 2 bulan,

sebetulnya bisa diketahui bayi menderita thalasemia atau tidak. Jadi diperlukan

banyak pusat konseling bagi pasangan guna mengantisipasi trauma. Pasalnya, tidak

semua ibu bisa menerima kalau kandungan mereka harus digugurkan. 6

Wacana ini kemungkinan mendapat tantangan karena urusan pernikahan juga

terkait dengan perasaan. Namun, informasi calon pasangan sebagai carrier

thalasemia, membantu pasangan untuk dicarikan solusi sejak awal. Sehingga

pasangan tidak kaget ketika anaknya divonis menderita thalasemia mayor, jika

pernikahan tersebut terpaksa dilakukan. 6

34

Page 35: Refrat Thalasemia

Meskipun thalasemia belum dapat disembuhkan hingga saat ini, namun dia

menekankan bahwa sebagian besar penyakit genetik sesungguhnya dapat dicegah dan

diatasi jika penyakitnya sudah terdeteksi sejak awal, baik sebelum kelahiran maupun

sesudahnya. Thalasemia adalah penyakit yang dapat dicegah. WHO

merekomendasikan dua tahap strategi untuk pencegahan thalasemia. Pertama dengan

membangun metode yang tepat untuk diagnosis sebelum kelahiran, yakni dengan

menyediakan laboratorium yang baik. Langkah kedua dengan melakukan screening

untuk mengidentifikasi apakah seseorang atau pasangannya merupakan pembawa

sifat thalasemia. 6,31

Memastikan adanya komitmen dan kehendak dari pemerintah, terutama untuk

melakukan screening. Membuat kampanye pendidikan kesehatan dengan target para

mahasiswa kedokteran dan masyarakat umum, menggalang kesadaran masyarakat

dan para petugas kesehatan serta memberi konseling tentang masalah kesehatan

kewanitaan dan genetik merupakan beberapa langkah yang harus diambil. 6

Jadi program nasional untuk pencegahan thalasemia harus meliputi komitmen

pemerintah dengan kebijakan politisnya, pendidikan kesehatan, screening baik yang

bersifat retro maupun prospektif, penyediaan laboratorium yang berkualitas untuk

screening dan diagnosis sebelum kelahiran dan konseling genetik. 6

Pada keluarga dengan riwayat thalasemia perlu dilakukan penyuluhan genetik

untuk menentukan resiko memiliki anak yang menderita thalasemia. 31

Karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal

yang lebih penting dibanding terapi. Keluarga dengan riwayat thalasemia perlu

mendapat penyuluhan genetik untuk mengurangi resiko memiliki anak yang

menderita thalasemia.31

6.1. PRE-MARITAL SCREENING

Seperti halnya di negara-negara yang tinggi prevalensi pembawa sifat

thalasemia seperti Italia dan Yunani, premarital screening yakni skrining

pemeriksaan darah bagi pasangan yang akan menikah merupakan pemeriksaan yang

wajib dilakukan. Pemeriksaan darah bertujuan untuk mengetahui adanya gen

pembawa sifat thalasemia. Jika ternyata pasangan tersebut pembawa sifat, bukan

berarti mereka tidak boleh menikah, tetapi mereka mendapatkan konseling tentang

35

Page 36: Refrat Thalasemia

risiko yang mungkin terjadi jika mereka mempunyai keturunan. Negara lain seperti

Thailand, dan kepulauan Maldive, pemerintahnya sudah sangat mendukung program

thalasemia dengan melakukan skrining pada anak-anak sekolah secara cuma-cuma.6

Mengingat tingginya prevalensi pembawa sifat thalasemia di Indonesia,

alangkah baiknya jika pemerintah mulai memperhatikan hal ini. 6

Karena penyakit ini belum ada obatnya, maka pencegahan dini menjadi hal

yang lebih penting dibanding pengobatan. Program pencegahan thalasemia terdiri

dari beberapa strategi, yakni : 6

1. Penapisan (skrining) pembawa sifat thalasemia

2 Konsultasi genetik (genetic counseling), dan

3 Diagnosis prenatal.

Kepada pembawa sifat ini diberikan informasi dan nasihat-nasihat tentang

keadaannya dan masa depannya. Suatu program pencegahan yang baik untuk

thalasemia seharusnya mencakup kedua pendekatan tersebut. 32

Program yang optimal tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik terutama di

negara-negara sedang berkembang, karena pendekatan prospektif memerlukan biaya

yang tinggi. Atas dasar itu harus dibedakan antara usaha program pencegahan di

negara berkembang dengan negara maju. Program pencegahan retrospektif akan

lebih mudah dilaksanakan di negara berkembang daripada program prospektif. 6,32

Masalah Pokok Konsultasi genetik meliputi skrining pasangan yang akan

kawin atau sudah kawin tetapi belum hamil. Pada pasangan yang berisiko tinggi

diberikan informasi dan nasihat tentang keadaannya dan kemungkinan bila

mempunyai anak. 31

Thalasemia merupakan penyakit darah bawaan yang sebenarnya dapat dicegah

dengan menghindari memilih pasangan hidup yang membawa gen thalasemia

tersebut. Dengan melakukan skrining pasangan pembawa gen tersebut bisa mengukur

tanggung jawab apa yang harus dilakukan jika hal tersebut terjadi pada

keturunannya. Jika masing-masing pasangan memiliki bawaan gen juga bisa

memutuskan apakah akan memiliki anak atau tidak. Penyakit yang juga dikenal

sebagai penyakit kelainan darah ini memang penyakit yang dapat merenggut hidup

seseorang, bahkan ketika masih dalam kandungan sekalipun. 31

36

Page 37: Refrat Thalasemia

Mereka yang tergolong thalasemia trait bisa melakukan berbagai pencegahan

agar anak-anaknya tidak menjadi sakit. Salah satunya adalah menikah dengan

pasangan yang berdarah normal. Anak-anak yang dilahirkan pasangan ini tidak akan

terkena thalasemia mayor, meski dapat terkena thalasemia trait. Pada suami-istri

yang tergolong thalasemia trait, untuk mencegah kemungkinan melahirkan anak

penderita thalasemia mayor bisa dilakukan dengan perencanaan kelahiran yang teliti.

Hal ini bisa dilakukan dengan bantuan dokter serta seorang ahli genetika.32

Kelahiran penderita thalasemia dapat dicegah dengan 2 cara. Pertama adalah

mencegah perkawinan antara 2 orang pembawa sifat thalasemia. Kedua adalah

memeriksa janin yang dikandung oleh pasangan pembawa sifat, dan menghentikan

kehamilan bila janin dinyatakan sebagai penderita thalasemia (mendapat kedua gen

thalasemia dari ayah dan ibunya). 31,32

Mengingat tingginya prevalensi pembawa sifat thalasemia di Indonesia,

alangkah baiknya jika pemerintah mulai memperhatikan hal ini. 6

6.2. INTRAUTERIN SCREENING PADA NEONATUS

Diagnosis prenatal melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah pemeriksaan

ibu janin yang meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap dan analisis hemoglobin.

Bila ibu dinyatakan pembawa sifat thalasemia β maka pemeriksaan dilanjutkan ke

tahap kedua yaitu suami diperiksa darah tepi lengkap dan analisis hemoglobin. Bila

suami juga membawa sifat thalasemia, maka suami-istri ini diperiksa DNAnya untuk

menentukan jenis kelainannya pada gen globin β. 30

Selanjutnya diambil jaringan janin (villi choriales atau jaringan ari-ari) pada

saat janin berumur 10-12 minggu untuk diperiksa DNAnya. Bila janin ternyata hanya

membawa satu belah gen thalasemia β, maka kehamilan dapat diteruskan dengan

aman. Tetapi bila janin ternyata membawa kedua belah gen thalasemia yang artinya

janin akan menderita thalasemia β, maka penghentian kehamilan dapat menjadi

pilihan. Seandainya janin telah diketahui mengidap thalasemia, orang tua perlu

melakukan konseling genetik dengan tim yang terdiri dari dokter kebidanan, anak,

psikolog dan ahli agama sehingga orang tua mendapat informasi sejelas-jelasnya. 31

Analisa DNA merupakan prosedur standar untuk mengindentifikasi delesi gen.

Diagnosis prenatal dapat berupa sampling vili korialis, amniosentesis, dan

37

Page 38: Refrat Thalasemia

kordosentesis. Pengambilan jaringan janin dari ari-ari dilakukan dengan menusukkan

jarum melalui jalan lahir atau dinding perut ke dalam alat kandungan clan menembus

ke ari-ari, kemudian pada daerah ari-ari yang disebut villi choriales diambil dengan

cara aspirasi sejumlah jaringan tersebut untuk bahan pemeriksaan DNA. Prosedur ini

dilakukan oleh dokter ahli kandungan yang sudah berpengalaman melakukan

tindakan ini. Prosedur ini dilakukan pada kehamilan 11 minggu. Tindakan ini

mempunyai risiko keguguran sebesar 2-3%. Cara lain untuk mendapat sel dari janin

adalah dengan pengambilan cairan amnion yang baru dapat dilakukan pada

kehamilan 15 minggu. Risiko abortus pada prosedur ini adalah 1%. 30,31

6.3. PRENATAL SCREENING DETEKSI AWAL THALASEMIA 6,32

Berdasarkan hukum Mendel, Thalasemia merupakan penyakit genetik yang

diturunkan dari orang tua kepada anak mereka. Seorang ayah dan ibu yang pembawa

(carrier) Thalasemia berkemungkinan besar melahirkan anak penderita Thalasemia.

Sedangkan bila hanya salah satunya saja yang pembawa Thalasemia,

kemungkinan anak mereka lahir sebagai carrier Thalasemia juga. Karena itu,

screening prenatal merupakan pencegahan paling dianjurkan untuk mendeteksi gen

thalasemia. Apalagi bila Anda atau pasangan Anda merupakan carrier thalasemia.

Wanita hamil yang mempunyai resiko mengandung bayi thalasemia dapat

melakukan uji untuk melihat apakan bayinya akan mederita thalasemia atau tidak. Di

Indonesia, uji ini dapat dilakukan di Yayasan Geneka Lembaga Eijkman di Jakarta.

Uji ini melihat komposisi gen-gen yang mengkode Hb.

6.4. PROSEDUR DIAGNOSIS PRENATAL 6,31

Diagnosis prenatal dilakukan pada masa kehamilan 8-10 minggu, dengan

mengambil sampel darah dari villi khorialis (jaringan ari-ari) untuk analisis DNA.

Dalam rangka pencegahan penyakit thalasemia, ada beberapa masalah pokok

yang harus disampaikan kepada masyarakat, ialah :

1. Bahwa pembawa sifat thalasemia itu tidak merupakan masalah baginya;

2. Bentuk thalasemia mayor mempunyai dampak mediko-sosial yang besar,

penanganannya sangat mahal dan sering diakhiri kematian;

3. Kelahiran bayi thalasemia dapat dihindarkan.

38

Page 39: Refrat Thalasemia

Karena penyakit ini menurun, maka kemungkinan penderitanya akan terus

bertambah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, pemeriksaan kesehatan sebelum

menikah sangat penting dilakukan untuk mencegah bertambahnya penderita

thalasemia ini. Sebaiknya semua orang Indonesia dalam masa usia subur diperiksa

kemungkinan membawa sifat thalasemia.

6.5. PROGNOSIS 1,6,7

Penderita Thalasemia mayor bisa hidup antara 10 hingga 20 tahun. Tetapi

selama hidupnya, penderita Thalasemia dibantu oleh transfusi darah. Seorang dewasa

yang mengidap thalasemia trait (bawaan) dapat hidup sehat, namun ia bisa

meneruskan penyakit ini pada keturunannya; inilah yang disebut thalasemia mayor,

suatu kelainan darah yang ganas dan menyerang manusia sejak usia dini. Seorang

anak yang menderita thalasemia memerlukan transfusi darah setiap empat pekan dan

perawatan medis tanpa henti sepanjang hayat. Perawatan kontinu tersebut bukanlah

untuk menyembuhkan, tapi guna menunda ajal yang bisa datang lebih cepat.

Kerusakan sel darah merah yang dialami penderita thalasemia akan

mengakibatkan zat besi menumpuk dalam organ tubuh seperti jantung dan hati yang

kemudian, akan mengganggu fungsi organ lainnya. Ini menjadi penyebab kematian

utama dari penderita thalasemia, terutama akibat penumpukan zat besi pada jantung.

Bila tidak mendapat perawatan serius, penderita thalasemia hanya dapat hidup

hingga delapan tahun saja. ”Satu-satunya perawatan yang bisa dilakukan untuk

penderita thalasemia mayor adalah dengan transfusi darah secara teratur seumur

hidup”. Dengan perawatan rutin ini, penderita thalasemia bisa hidup normal bahkan

dapat berkarier seperti halnya orang yang tidak menderita thalasemia. Tak heran, ada

penderita thalasemia yang berhasil menjadi dokter, insinyur, atau profesi lainnya.

”Mereka memiliki kemampuan intelektual yang tidak berbeda dengan manusia

normal” .

39

Page 40: Refrat Thalasemia

BAB 7

KESIMPULAN

Thalasemia adalah penyakit turunan yang menyerang sel darah merah. Gen

yang rusak adalah gen penyandi hemoglobin (komponen terpenting dari sel darah

merah). Pendeknya, sel darah merah penderita akan mengecil, tak mampu

mengangkut oksigen, dan sangat fragil (mudah pecah), sehingga gejala utama adalah

gejala anemia (kurang darah merah) yang disertai komplikasi lain pada sistem

hemopoeitic (produksi dan distribusi sel darah). Sejauh ini, belum ada terapi definitif

untuk penderita thalasemia selain transfusi darah.

Pasien thalasemia yang menjalani transfusi berulang memiliki kemungkinan

risiko untuk mengalami hemosiderosis transfusional (HT) yang dapat mengakibatkan

gangguan multi organ. Tatalaksana untuk risiko ini adalah meningkatkan ekskresi zat

besi dengan terapi iron chelating agents (e.g. deferoxamine, deferiprone,

deferasirox), mengurangi asupan zat besi dengan diet zat besi sesuai dengan

kebutuhan (dipantau dengan pengukuran kadar besi serum secara berkala).

Splenektomi dapat dilakukan dengan indikasi mengurangi frekuensi transfusi,

sehingga menurunkan risiko hemosiderosis transfusional. Namun perlu diperhatikan

bahwa risiko terjadinya sepsis meningkat pada pasien pasca splenektomi.

Bukan hanya resiko kematian yang akan selalu menghantui si anak, tetapi juga

cost pengobatan yang harus ditanggung orang tua tidaklah sedikit. Bayangkan, saat

ini sedikitnya biaya pengobatan yang harus dikeluarkan sebesar Rp 300 juta per anak

pertahun. Bila diperkirakan hingga tahun 2020 setidaknya lebih dari Rp 50 triliyun

yang harus dihabiskan untuk mengobati 22.500 anak dengan kasus Thalasemia.

Pemerintah harus mulai menyiapkan program strategis dalam rangka

menghadapi penyakit-penyakit genetik, khususnya thalasemia yang paling banyak

muncul di seluruh dunia. "Saat ini pemerintah masih lebih banyak berkutat

menangani penyakit-penyakit infeksi seperti demam berdarah serta masalah

kekurangan gizi. Ke depannya, sesudah penyakit infeksi itu teratasi, pemerintah

harus mulai memberi perhatian pada penyakit-penyakit genetik, terutama thalasemia,

sebab di masa depan penyakit inilah yang akan lebih banyak muncul ke permukaan".

40

Page 41: Refrat Thalasemia

Ada beberapa alasan mengapa pemerintah harus serius menangani thalasemia.

Pertama, penyakit genetik, khususnya thalasemia, menimbulkan masalah kesehatan-

psiko-sosial yang besar karena tidak hanya mempengaruhi si penderita namun juga

orang tuanya, masyarakat dan penyelenggara kesehatan. "Selain itu biaya untuk

perawatan penyakit genetik seperti thalasemia juga sangat tinggi sebab si pasien

harus terus menerus transfusi darah. Jika seseorang menderita thalasemia mayor,

maka transfusi darah harus dilakukan seumur hidupnya," tandasnya.

41

Page 42: Refrat Thalasemia

DAFTAR PUSTAKA

1. Ashariati A. Thalasemia. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata KM, Setiati S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam; 2006, Jilid II Ed IV.p 720-22.

2. Cunningham MJ, Macklin EA, Neufeld EJ, Cohen AR. Complications of b-thalassemia major in North America. Blood 2004; 104:34-9.

3. Modell B, Khan M, Darlison M. Survival in β-thalassaemia major in the UK: data from the UK Thalassaemia Register. Lancet 2000;355:2051-2.

4. Karnon J, Zeuner D, Brown J, Ades AE, Wonke B, Modell B. Lifetime treatment costs of b-thalassaemia major. Clin Lab Haematol 1999;21:377-85.

5. Raiola G, Galati MC, De Sanctis V, et al. Growth and puberty in thalassemia major. J Pediatr Endocrinol Metab 2003;16:Suppl 2:259-66.

6. Deteksi Dini Thalasemia. 2009. www.litbang.depkes.go.id/aktual/.../ thalasemia 060507.htm

7. Olivieri NF. The b-thalassemias. N Engl J Med 1999;341:99-109. [Erratum, N Engl J Med 1999;341:1407.]

8. List AF, Sandberg AA, Doll DC. Thalasemia. In : Greer JP, Foerster J, Lukens JN (Eds). Wintrobe’s Clinical Hematology, 11th Ed. Lippincott Williams Wilkins Publisher; 2003. Chap 83.p 4402-40.

9. Malaspina HC, O’Reilly RJ. Thalasemia : Intoduction. In : Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo (Eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine vol 1. 17th Edition. New York: Mc Graw – Hill Medical Publishing Division; 2008.p 676-78

10. Tkachuk DC, Chun JV. Thalasemia. In : Tkachuk DC, Jan VH (Eds). Wintrobe’s Atlas of Clinical Hematology, 1st Edition. Lippincott Williams & Wilkins Publisher; 2007 Chap 3. p 95-105.

11. Shinar E, Rachmilewitz EA, Lux SE. Differing erythrocyte membrane skeletal protein defects in α and β thalassemia. J Clin Invest 1989;83:404-10.

12. Hershko C, Graham G, Bates GW, Rachmilewitz EA. Non-specific serum iron in thalassemia: an abnormal serum iron fraction of potential toxicity. Br J Haematol 1978;40: 255-63.

13. Tavazzi D, Duca L, Graziadei G, Comino A, Fiorelli G, Cappellini MD. Membranebound iron contributes to oxidative damage of b-thalassemia intermedia erythrocytes. Br J Haematol 2001;112:48-50.

14. Voskaridou E, Terpos E. New insights into the pathophysiology and management of osteoporosis in patients with β thalassaemia. Br J Haematol 2004;127:127-39.

15. Rachmilewitz EA, Weizer-Stern O, Adamsky K, et al. Iron and oxidative stress in thalassemia: Eighth International Cooley’s Anemia Symposium, March 2005. Ann N Y Acad Sci 2005;1054:1-6.

16. Di Naro E, Ghezzi F, Vitucci A, et al. Prenatal diagnosis of b-thalassemia using fetal erythroblasts enriched from maternal blood by a novel gradient. Mol Hum Reprod 2000; 6:571-4.

17. Bahador, Ali., et all. 1999. A Comparative Study of Partial vs Total Splenectomy in Thalasemia Major Patients. Journal of Indian Association Pediatric Surgery – July/September 2007 – Vol. 12 – Issue 3. Aviable at URL: http://www.jiaps.com.

42

Page 43: Refrat Thalasemia

18. Taher A, Isma'eel H, Cappellini MD. Thalassemia intermedia: revisited. Blood Cells Mol Dis 2006; 37:12-20

19. Chen S, Eldor A, Barshtein G, Zhang S, Goldfarb A, Rachmilewitz E, Yedgar S. Enhanced aggregability of red blood cells of beta-thalassemia major patients. Am J Physiol 1996; 270:H1951-1956

20. Hovav T, Goldfarb A, Artmann G, Yedgar S, Barshtein G. Enhanced adherence of beta-thalassaemic erythrocytes to endothelial cells. Br J Haematol 1999; 106:178-181.

21. Butthep P, Rummavas S, Wisedpanichkij R, Jindadamrongwech S, Fucharoen S, Bunyaratvej A. Increased circulating activated endothelial cells, vascular endothelial growth factor, and tumor necrosis factor in thalassemia. Am J Hematol 2002; 70:100-106

22. Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S, Sato S, Bhamarapravati N. Alterations in vascular endothelial cell-related plasma proteins in thalassaemic patients and their correlation with clinical symptoms. Thromb Haemost 1995; 74:1045-1049.

23. Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S, Sato S, Bhamarapravati N. Possible evidence of endothelial cell activation and disturbance in thalassemia: an in vitro study. Southeast Asian J Trop Med Public Health 1997; 28 Suppl 3:141-148A

24. Hershko C, Link GM, Konijn AM, Cabantchik ZI. Iron chelation therapy. Curr Hematol Rep 2005;4:110-6.

25. Giordano P, Galli M, Del Vecchio GC, Altomare M, Norbis F, Ruggeri L, Petronelli M, de Mattia D. Lupus anticoagulant, anticardiolipin antibodies and hepatitis C virus infection in thalassaemia. Br J Haematol 1998; 102:903-906.

26. Brittenham GM, Cohen AR, McLaren CE, et al. Hepatic iron stores and plasma ferritin concentration in patients with sickle cell anemia and thalassemia major. Am J Hematol 1993;42:81-5.

27. Lucarelli G, Clift RA, Galimberti M, et al. Marrow transplantation for patients with thalassemia: results in class 3 patients. Blood 1996;87:2082-8.

28. La Nasa G, Giardini C, Argiolu F, et al. Unrelated donor bone marrow transplantation for thalassemia: the effect of extended haplotypes. Blood 2002;99:4350-6.

29. Persons DA, Nienhuis AW. Gene therapy for the hemoglobin disorders. Curr Hematol Rep 2003;2:348-55.

30. Ding C, Chiu RWK, Lau TK, et al. MS analysis of single-nucleotide differences in circulating nucleic acids: application to noninvasive prenatal diagnosis. Proc Natl Acad Sci U S A 2004;101:10762-7.

31. Cao A, Galanello R. Effect of consanguinity on screening for thalassemia. N Engl J Med 2002;347:1200-2.

32. Anie KA, Massaglia P. Psychological therapies for thalassaemia. Cochrane Database Syst Rev 2001;3:CD002890.

43

Page 44: Refrat Thalasemia

33. Giardina PJ, Grady RW. Chelation therapy in b thalassemia: an optimistic update. Semin Hematol 2001;38:360-6.

34. Anderson LJ, Wonke B, Prescott E, Holden S, Walker JM, Pennell DJ. Comparison of effects of oral deferiprone and subcutaneous desferrioxamine on myocardial iron concentrations and ventricular function in β-thalassemia. Lancet 2002;360: 516-20.

35. Galanello R, Piga A, Alberti D, Rouan MC, Bigler H, Sechaud R. Safety, tolerability, and pharmacokinetics of ICL670, a new orally active iron-chelating agent in patients with transfusion-dependent iron overload, due to b-thalassemia. J Clin Pharmacol 2003; 43:565-72.

36. Bradai M, Abad MT, Pissard S, Lamraoui F, Skopinski L, de Montalembert M. Hydroxyurea can eliminate transfusion requirements in children with severe b-thalassemia. Blood 2003;102:1529-30.

37. Gilman JG, Huisman TH. DNA sequence variation associated with elevated fetal G gamma globin production. Blood 1985;66: 783-7.

38. Fibach E. Cell culture and animal models to screen for promising fetal hemoglobin- stimulating compounds. Semin Hematol 2001;38:374-81.

39. Tesoriere L, D’Arpa D, Butera D, et al. Oral supplements of vitamin E improve measures of oxidative stress in plasma and reduce oxidative damage to LDL and erythrocytes in b-thalassemia intermedia patients. Free Radic Res 2001;34:529-40.

1. Borgna-Pignatti C, Rugolotto S, De Stefano P, Zhao H,

Cappellini MD, Del Vecchio GC, Romeo MA, Forni GL,

44

Page 45: Refrat Thalasemia

Gamberini MR, Ghilardi R, Piga A, Cnaan A. Survival and

complications in patients with thalassemia major treated with

transfusion and deferoxamine. Haematologica 2004; 89:1187-

1193.

2. Taher AT, Otrock ZK, Uthman I, Cappellini MD. Thalassemia

and hypercoagulability. Blood Rev 2008; 22:283-292.

3. Taher A, Isma'eel H, Cappellini MD. Thalassemia intermedia: revisited.

Blood Cells Mol Dis 2006; 37:12-20.

4. Winichagoon P, Fucharoen S, Wasi P. Increased circulating

platelet aggregates in thalassaemia. Southeast Asian J Trop

Med Public Health 1981; 12:556-560.

5. Del Principe D, Menichelli A, Di Giulio S, De Matteis W,

Cianciulli P, Papa G. PADGEM/GMP-140 expression on platelet

membranes from homozygous beta thalassaemic patients. Br

J Haematol 1993; 84:111-117.

6. Ruf A, Pick M, Deutsch V, Patscheke H, Goldfarb A,

Rachmilewitz EA, Guillin MC, Eldor A. In-vivo platelet

activation correlates with red cell anionic phospholipid

exposure in patients with beta-thalassaemia major. Br J

Haematol 1997; 98:51-56.

7. Eldor A, Krausz Y, Atlan H, Snyder D, Goldfarb A, Hy-Am E,

Rachmilewitz EA, Kotze HF, Heyns AD. Platelet survival in

patients with beta-thalassemia. Am J Hematol 1989; 32:94-

99.

8. Eldor A, Lellouche F, Goldfarb A, Rachmilewitz EA, Maclouf J.

In vivo platelet activation in beta-thalassemia major reflected

by increased platelet-thromboxane urinary metabolites. Blood

1991; 77:1749-1753.

9. Rund D, Rachmilewitz E. Beta-thalassemia. N Engl J Med

2005; 353:1135-1146.

45

Page 46: Refrat Thalasemia

10. Shinar E, Rachmilewitz EA, Lux SE. Differing erythrocyte

membrane skeletal protein defects in alpha and beta

thalassemia. J Clin Invest 1989; 83:404-410.

11. Hershko C, Graham G, Bates GW, Rachmilewitz EA.

Non-specific serum iron in thalassaemia: an abnormal serum

iron fraction of potential toxicity. Br J Haematol 1978; 40:255-

263.

12. Kuypers FA, de Jong K. The role of phosphatidylserine in

recognition and removal of erythrocytes. Cell Mol Biol (Noisy-

le-grand) 2004; 50:147-158.

13. Tavazzi D, Duca L, Graziadei G, Comino A, Fiorelli G,

Cappellini MD. Membrane-bound iron contributes to oxidative

damage of beta-thalassaemia intermedia erythrocytes. Br J

Haematol 2001; 112:48-50.

14. Borenstain-Ben Yashar V, Barenholz Y, Hy-Am E,

Rachmilewitz EA, Eldor A. Phosphatidylserine in the outer

leaflet of red blood cells from beta-thalassemia patients may

explain the chronic hypercoagulable state and thrombotic

episodes. Am J Hematol 1993; 44:63-65.

15. Helley D, Eldor A, Girot R, Ducrocq R, Guillin MC,

Bezeaud A. Increased procoagulant activity of red blood cells

from patients with homozygous sickle cell disease and beta-

thalassemia. Thromb Haemost 1996; 76:322-327.

16. Chen S, Eldor A, Barshtein G, Zhang S, Goldfarb A, Rachmilewitz E,

Yedgar S. Enhanced aggregability of red blood cells of beta-thalassemia

major patients. Am J Physiol 1996; 270:H1951-1956.

17. Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S, Sato S,

Bhamarapravati N. Alterations in vascular endothelial cell-related plasma

proteins in thalassaemic patients and their correlation with clinical symptoms.

Thromb Haemost 1995; 74:1045-1049.

18. Butthep P, Bunyaratvej A, Funahara Y, Kitaguchi H, Fucharoen S,

Sato S, Bhamarapravati N. Possible evidence of endothelial cell activation

46

Page 47: Refrat Thalasemia

and disturbance in thalassemia: an in vitro study. Southeast Asian J Trop Med

Public Health 1997; 28 Suppl 3:141-148A.

19. Hovav T, Goldfarb A, Artmann G, Yedgar S, Barshtein G. Enhanced

adherence of beta-thalassaemic erythrocytes to endothelial cells. Br J

Haematol 1999; 106:178-181.

20. Butthep P, Rummavas S, Wisedpanichkij R, Jindadamrongwech S,

Fucharoen S, Bunyaratvej A. Increased circulating activated endothelial cells,

vascular endothelial growth factor, and tumor necrosis factor in thalassemia.

Am J Hematol 2002; 70:100-106.

21. Carlos TM, Harlan JM. Leukocyte-endothelial adhesion

molecules. Blood 1994; 84:2068-2101.

22. Mann KG, van't Veer C, Cawthern K, Butenas S. The role

of the tissue factor pathway in initiation of coagulation. Blood

Coagul Fibrinolysis 1998; 9 Suppl 1:S3-7.

23. Habib A, Kunzelmann C, Shamseddeen W, Zobairi F,

Freyssinet JM, Taher A. Elevated levels of circulating

procoagulant microparticles in patients with beta-thalassemia

intermedia. Haematologica 2008; 93:941-942.

24. Taher AT, Musallam KM, Nasreddine W, Hourani R, Inati

A, Beydoun A. Asymptomatic brain magnetic resonance

imaging abnormalities in splenectomized adults with

thalassemia intermedia. J Thromb Haemost 2009;

25. Taher A, Isma'eel H, Mehio G, Bignamini D, Kattamis A,

Rachmilewitz EA, Cappellini MD. Prevalence of

thromboembolic events among 8,860 patients with

thalassaemia major and intermedia in the Mediterranean area

and Iran. Thromb Haemost 2006; 96:488-491.

26. Cappellini MD, Robbiolo L, Bottasso BM, Coppola R,

Fiorelli G, Mannucci AP. Venous thromboembolism and

hypercoagulability in splenectomized patients with

thalassaemia intermedia. Br J Haematol 2000; 111:467-473.

47

Page 48: Refrat Thalasemia

27. Atichartakarn V, Angchaisuksiri P, Aryurachai K, Onpun

S, Chuncharunee S, Thakkinstian A, Atamasirikul K.

Relationship between hypercoagulable state and erythrocyte

phosphatidylserine exposure in splenectomized haemoglobin

E/beta-thalassaemic patients. Br J Haematol 2002; 118:893-

898.

28. Cappellini MD, Grespi E, Cassinerio E, Bignamini D,

Fiorelli G. Coagulation and splenectomy: an overview. Ann N

Y Acad Sci 2005; 1054:317-324.

29. Atichartakarn V, Angchaisuksiri P, Aryurachai K,

Chuncharunee S, Thakkinstian A. In vivo platelet activation

and hyperaggregation in hemoglobin E/beta-thalassemia: a

consequence of splenectomy. Int J Hematol 2003; 77:299-

303.

30. Iolascon A, Giordano P, Storelli S, Li HH, Coppola B, Piga

A, Fantola E, Forni G, Cianciulli P, Perrotta S, Magnano C,

Maggio A, Mangiagli A, Devoto M. Thrombophilia in

thalassemia major patients: analysis of genetic predisposing

factors. Haematologica 2001; 86:1112-1113.

31. Zalloua PA, Shbaklo H, Mourad YA, Koussa S, Taher A.

Incidence of thromboembolic events in Lebanese thalassemia

intermedia patients. Thromb Haemost 2003; 89:767-768.

32. Giordano P, Galli M, Del Vecchio GC, Altomare M, Norbis F,

Ruggeri L, Petronelli M, de Mattia D. Lupus anticoagulant, anticardiolipin

antibodies and hepatitis C virus infection in thalassaemia. Br J Haematol

1998; 102:903-906.

33. Ataga KI, Cappellini MD, Rachmilewitz EA. Beta-

thalassaemia and sickle cell anaemia as paradigms of

hypercoagulability. Br J Haematol 2007; 139:3-13.

34. Zurlo MG, De Stefano P, Borgna-Pignatti C, Di Palma A,

Piga A, Melevendi C, Di Gregorio F, Burattini MG, Terzoli S.

48

Page 49: Refrat Thalasemia

Survival and causes of death in thalassaemia major. Lancet

1989; 2:27-30.

35. Borgna Pignatti C, Carnelli V, Caruso V, Dore F, De

Mattia D, Di Palma A, Di Gregorio F, Romeo MA, Longhi R,

Mangiagli A, Melevendi C, Pizzarelli G, Musumeci S.

Thromboembolic events in beta thalassemia major: an Italian

multicenter study. Acta Haematol 1998; 99:76-79.

36. Logothetis J, Constantoulakis M, Economidou J, Stefanis

C, Hakas P, Augoustaki O, Sofroniadou K, Loewenson R, Bilek

M. Thalassemia major (homozygous beta-thalassemia). A

survey of 138 cases with emphasis on neurologic and

muscular aspects. Neurology 1972; 22:294-304.

37. Manfre L, Giarratano E, Maggio A, Banco A, Vaccaro G,

Lagalla R. MR imaging of the brain: findings in asymptomatic

patients with thalassemia intermedia and sickle cell-

thalassemia disease. AJR Am J Roentgenol 1999; 173:1477-

1480.

38. Michaeli J, Mittelman M, Grisaru D, Rachmilewitz EA.

Thromboembolic complications in beta thalassemia major.

Acta Haematol 1992; 87:71-74.

39. Gillis S, Cappellini MD, Goldfarb A, Ciceri L, Fiorelli G,

Rachmilewitz EA. Pulmonary thromboembolism in

thalassemia intermedia patients. Haematologica 1999;

84:959-960.

40. Sonakul D, Pacharee P, Laohapand T, Fucharoen S, Wasi

P. Pulmonary artery obstruction in thalassaemia. Southeast

Asian J Trop Med Public Health 1980; 11:516-523.

41. Sumiyoshi A, Thakerngpol K, Sonakul D. Pulmonary

microthromboemboli in thalassemic cases. Southeast Asian J

Trop Med Public Health 1992; 23 Suppl 2:29-31.

42. Eldor A, Rachmilewitz EA. The hypercoagulable state in

thalassemia. Blood 2002; 99:36-43.

49

Page 50: Refrat Thalasemia

43. Karimi M, Darzi H, Yavarian M. Hematologic and clinical

responses of thalassemia intermedia patients to hydroxyurea

during 6 years of therapy in Iran. J Pediatr Hematol Oncol

2005; 27:380-385.

44. Tripodi A, Cappellini MD, Chantarangkul V, Padovan L, Fasulo MR,

Marcon A, Mannucci PM. Hypercoagulability in splenectomized thalassemic

patients detected by whole-blood thromboelastometry, but not by thrombin

generation in platelet-poor plasma. Haematologica 2009; 94:1520-1527.

45. Aessopos A, Farmakis D, Karagiorga M, Rombos I,

Loucopoulos D. Pseudoxanthoma elasticum lesions and

cardiac complications as contributing factors for strokes in

beta-thalassemia patients. Stroke 1997; 28:2421-2424.

46. Moratelli S, De Sanctis V, Gemmati D, Serino ML, Mari R,

Gamberini MR, Scapoli GL. Thrombotic risk in thalassemic

patients. J Pediatr Endocrinol Metab 1998; 11 Suppl 3:915-

921.

50

Page 51: Refrat Thalasemia

Bahador, Ali., et all. 1999. A Comparative Study of Partial vs Total Splenectomy in

Thalasemia Major Patients. Journal of Indian Association Pediatric Surgery –

July/September 2007 – Vol. 12 – Issue 3. Aviable at URL: http://www.jiaps.com.

Wolff, James A., et all. 1960. Effect of Splenectomy on Thalasemia. Pediatric®

Official Journal of The American Academy of Pediatrics 1960;26;674-678. Aviable

at URL: http://www.pediatrics.org.

Muljono, Budi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Sub Hematologi – Sub

Hipersplenisme. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal. 681.

Al-Salem, Ahmed H. 2006. Indications and Complications of Splenectomy in

Children with Sickle Cell Disease. Journal of Pediatric Surgery – November, Volume

41, Issue 11, Pages 1909-1915. Aviable at URL: http://www.jpedsurg.org.

Artikel: Hemochromatosis and Anemia Diet. 2002. Iron Overload Disease Assn. Inc.

Aviable at: URL: http://www.ironoverload.org/Diet.html.

51

Page 52: Refrat Thalasemia

Artikel: Hemosiderosis and Iron Overload. 2007. Morefocus Group Inc. Aviable at

URL:

http://www.about-blood-disorders.com/articles/iron-disorders/hemosiderosis.php.

DAFTAR PUSTAKA

Ketika Belia Terjangkit Thalasemia

Rohmat mengeluarkan biaya rutin Rp 1-2 juta untuk transfusi darah. Gajinya,

Rp 200 ribu. Sudah jatuh tertimpa tangga. Barangkali istilah itu yang saat ini

menimpa Rohmat (30). Sejak putrinya, Belia Putri Soleha (2) berumur delapan bulan,

Rohmat dan istri, Suyatmi (32) bekerja keras untuk membiayai pengobatan putri

bungsunya.

Penderitaan bertambah berat karena rumah tinggalnya di RT 08 RW 10 N 38,

Kelurahan Kapuk, Jakarta Barat, kini tinggal menunggu waktu untuk dieksekusi.

Rumah yang sudah ditempatinya sejak 40 tahun silam bersama orangtua dan keempat

saudaranya, harus segera dieksekusi untuk normalisasi sungai

Sejak usia delapan bulan, Belia yang lahir pada 19 Maret 2006 sudah menderita

penyakit thalasemia atau penyakit kelainan darah bawaan yang menyebabkan sel

darah merah pecah.

Akibatnya, penderita thalasemia tidak dapat membentuk sel darah secara

normal, sehingga sel darah merah mudah pecah dan terjadilah anemia. Seumur

hidupnya, penderita penyakit ini akan terus melakukan tranfusi darah.

52

Page 53: Refrat Thalasemia

Untuk menyelamatkan buah hatinya itu, Rohmat yang bekerja di perusahaan

percetakan dengan gaji Rp200 ribu perbulannya, harus melakukan tranfusi darah

hampir setiap dua bulan.

Biaya tranfusi yang harus dikeluarkan Rohmat sebesar Rp1-2 juta. Biaya obat

rutin yang sekitar ratusan ribu harus dikeluarkan Rohmat.

Belum lagi, jika Belia membutuhkan obat khusus anjuran dokter yaitu,

Ferrifrox. Untuk membeli obat tersebut harganya mencapai Rp5 juta, sangat berat

sekali bagi Rohmat. Tentu, untuk seorang berpenghasilan Rp200 ribu perminggu ini,

biaya tersebut sangat memberatkan. "Beruntung saya masih dibantu kakak saya

(Dewi). Kalau tidak, saya mungkin berhutang sana-sini untuk cari biaya," ujar

Rohmat saat berbincang dengan vivanews, Jakarta, Sabtu 6 Desember 2008. Rohmat

mengaku, selama ini tidak pernah mendapatkan bantuan dari warga maupun

pengurus wilayah setempat. Rohmat juga tidak memiliki usaha sampingan. Pekerjaan

hanya dipercetakan. Istrinya, seorang ibu rumah tangga biasa. Anak pertamanya, M

Adi Nurhidayat (9) yang duduk dibangku kelas 4 sekolah Islam Nurul Mukmin,

Kelurahan Kedaung masih membutuhkan biaya pendidikan. Pernah bapak dua anak

ini mengajukan permohonan keluarga miskin (Gakin), namun dirasanya sangat sulit

untuk mendapatkan surat tersebut. Beruntung dia memiliki kakak yang baik dan

perhatian pada Belia. Walaupun, Rohmat sendiri sebenarnya malu pada suami

kakaknya jika harus meminta bantuan. Sebab, suami kakaknya hanya bekerja sebagai

karyawan biasa. "Mau bagaimana lagi, saya mau minta tolong siapa. Beruntung,

kakak saya baik," kata Rohmat sedih. Rohmat mengaku hampir putus asa, sejak

mengetahui putrinya terkena penyakit thalasemia, dan divonis oleh dokter bahwa

putrinya selama hidup akan membutuhkan tranfusi darah. Dirinya selalu murung jika

melihat penderitaan putri kesayangannya itu. Yang membuat hatinya kuat, Belia

sangat aktif dan ceria. Ditambah dengan keimanan yang dimilikinya, keputusasaan

tersebut tidak membuatnya patah asa untuk terus berjuang demi anaknya. "Walau

berapapun biayanya, untuk anakku, saya akan terus berusaha," tegasnya. Beberapa

waktu lagi, Rohmat dan istri serta dua anaknya harus mencari tempat tinggal baru,

jika rumahnya dieksekusi. Walau begitu, warga asli Kapuk ini tetap tegar.

Disadarinya, hal ini merupakan bagian dari hidup. Yang terpenting buatnya, Adi

tetap sekolah, dan Belia terus diberikan perhatian khusus atas penyakitnya itu.

53

Page 54: Refrat Thalasemia

"Rumah digusur tidak apa-apa. Yang penting anak-anak saya. Belia bisa sembuh,"

harapnya. (aries setiawan)

Ketika Salwa Tak Cuci Darah

Pasangan Tarkiman dan Siti Maryati di Cianjur, Jawa Barat, misalnya

menurunkan penyakit itu kepada buah hati mereka, Salwa Wijaya. Salwa Wijaya (3

tahun) tak seperti bocah seusianya yang tengah lucu-lucunya. Tubuh sulung 2

bersaudara itu kurus kering. Suhu tinggi kerap menghampirinya. Pertumbuhannya

juga lambat. Ia baru dapat berjalan ketika usianya 2,5 tahun. Pada tahap itu Siti

Maryati tak curiga bahwa anaknya mengidap thalasemia.

Ia hanya menduga, anaknya kurus kering lantaran enggan makan. Ketika

benjolan seukuran buah kedondong muncul di pinggang kiri perempuan itu, Siti

bergegas ke dokter. Hasil diagnosis dokter, Salwa kelelahan. Siti tak puas hati atas

diagnosis itu sehingga mendatangi dokter kedua. Ahli medis itu menyarankan agar

Salwa menjalani tes darah. Ketika itu kulit Salwa pucat, perut membuncit, dan urine

lebih gelap.

Misteri itu terpecahkan di Rumahsakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Bocah

kelahiran 5 Februari 1997 itu positif thalasemia. Benjolan di pinggang itu ternyata

limpa yang membengkak. Organ itu membesar lantaran tak dapat menjalankan

fungsinya membersihkan darah. Dokter mengatakan belum ada penawar alias obat

thalasemia. ‘Hanya transfusi darah penyambung hidupnya,’ kata Tarkiman

mengulangi pernyataan dokter. Dua minggu sekali, Salwa harus menjalani transfusi

sebanyak 2-3 kantong darah.

Transfusi

Karena lama merawat Salwa, Siti akhirnya mengetahui kapan Salwa mesti

menjalani transfusi darah. ‘Tanda-tanda Salwa harus ditransfusi darah, bibirnya putih

pucat, mimisan, lemas lunglai, dan tonjolan membengkak di pinggangnya,’ kata Siti.

Saat itu, kadar hemoglobin dalam darah Salwa hanya 6; kadar normal 12-16. Setelah

transfusi, hemoglobin hanya meningkat 1 angka, menjadi 7. Itu sebabnya tubuh

Salwa masih tetap lemah. ‘Saya hampir tak pernah mengikuti pelajaran olahraga,’

kata Salwa yang kini berusia 10 tahun.

54

Page 55: Refrat Thalasemia

Titik terang kesembuhan datang pada Mei 2007. Saat itu seorang perawat di

RSU Cianjur menceritakan ekstrak teripang untuk membantu mengatasi penderitaan

anaknya. Semula Tarkiman enggan memberikan ekstrak itu karena tidak yakin bisa

menyembuhkan penyakit Salwa. Maklum, sebelumnya ia mencoba berbagai

suplemen kesehatan anjuran rekan-rekannya, tetapi tetap gagal. ‘Semuanya sudah

dicoba, mulai dari jamu-jamuan sampai dengan pengobatan alternatif dengan

mediasi, semuanya gagal,’ kata Tarkiman.

Genetik

Suatu ketika pikiran Tarkiman berubah: tak ada salahnya untuk mencoba.

Cairan kental itu dikonsumsi Salwa 2 kali satu sendok makan sehari. Dosis itu

ditambah dengan 5 butir spirulina 2 kali sehari.Pekan pertama, Salwa tak lagi

demam. Tiga pekan kemudian, hasil laboratorium menunjukkan kadar hemoglobin

Salwa melonjak ke angka 10. Artinya, kesehatan Salwa berangsur normal. Setelah 3

bulan mengkonsumsi, frekuensi transfusi darah berkurang dari 2 kali per bulan

masing-masing 2-3 kantong menjadi 1 kali sebulan hanya 1 kantong. Walau begitu,

kadar hemoglobin tetap ajek di atas angka 10. Bobot tubuh meningkat menjadi 28 kg,

sebelumnya 20 kg. Pun, limpa Salwa, kini tak pernah membengkak. Perubahan itu

menggembirakan keluarga Tarkiman.

Glukosaminoglikan

Lalu soal ekstrak teripang mengatasi thalasemia? Itu bukan kebetulan belaka.

Paulo Antonio de Souza Mourao dari Fakultas Biomedika, Universidade Federal Rio

de Janeiro, Brazil, membuktikannya. Menurut Paulo, glukosaminoglikan dalam

teripang mampu mengatasi tulang rapuh pada penderita thalasemia mayor. Senyawa

itu berefek memperbaiki aliran darah dan melancarkan cairan yang tersumbat.

Penggunaan teripang/tripang/gamat untuk penyakit thalasemia dipatenkan oleh

Yash Sharma P dari Houston, Amerika Serikat. Menurut Yash, yang paling

berpengaruh adalah kandungan N-asam glikolineuraminat, merupakan permukaan sel

asam sialat. Sialat terbentuk dari polisakarida, glikoprotein, dan glikolipida. Saat

terjadi mutasi gen, asam glikolineuraminat hilang dari sel. Makanya, limpa yang

membersihkan darah tak bekerja semestinya. Akibatnya, limpa membengkak seperti

yang dialami Salwa di pinggang kiri.

55

Page 56: Refrat Thalasemia

Penambahan spirulina berfungsi untuk meningkatkan kadar hemoglobin dalam

darah. Salwa Wijaya tak sendirian. Di Indonesia masih banyak pengidap thalasemia

lain seperti hasil riset Departemen Kesehatan: 6-10% dari penduduk Indonesia

membawa gen penyakit thalasemia. Mengkonsumsi ekstrak teripang salah satu cara

mengatasi penyakit mematikan itu. (Vina Fitriani).

Bogor - Persatuan Orangtua Penderita Thalasemia Indonesia (POPTI) cabang

Bogor berupaya merangkul para anggota komunitas motor yang ada di Kota Bogor

untuk mensosialisasikan tentang Thalasemia.

Itu dilakukan Ketua II POPTI Bogor, Robby Kurniawan dengan mendatangi

titik-titik para anggota komunitas biasa berkumpul setiap Sabtu malam. “Kebetulan

saya juga aktif di Yamaha Motor Bogor (YMB) sebagai ketua, sehingga lebih mudah

untuk mengajak kawan-kawan sesama anggota komunitas motor berkumpul,” ujar

Robby kepada Jurnal Bogor, Sabtu (19/12) malam.

Dengan tempat ala kadarnya di emperan samping ruko ILP Jl Jenderal

Sudirman, Bogor, tak kurang dari 100 anggota komunitas motor Kota Bogor, yakni

Honda Tiger Mailing List (HTML) sebagai tuan rumah, YMB, Minerva Riders

Community (MRC), Tiger Rider Bogor (TRB), dan Maung Bogor Riders Team

(MABORT) berkumpul sambil lesehan tanpa alas.

Meski demikian, itu tak mengganggu mereka samasekali, bahkan dalam

suasana kekeluargaan yang sangat kental, mereka menyimak pemaparan Robby

tentang POPTI Bogor yang baru dibentuk pada 3 Desember 2009 lalu. Selain itu, Bro

Mbink, panggilan akrab Robby pun menjelaskan tentang Thalasemia kepada sesama

anggota komunitas motor.

Bro Mbink juga mengatakan, sosialisasi Thalasemia kepada para komunitas

motor di Kota Bogor dilakukan sebagai langkah awal program kerja yang akan

dijalankan POPTI Bogor, dalam rangka mengetuk simpati para anggota komunitas

biker.

“Seperti yang selama ini kami rasakan, khususnya saya sebagai pribadi, para

anggota komunitas merupakan orang-orang yang memiliki brotherhood yang sangat

tinggi terhadap kemanusiaan. Tentunya kami dari POPTI berharap para komunitas

biker di Bogor turut mendukung keberadaan POPTI Bogor,” kata dia.

56

Page 57: Refrat Thalasemia

Saat ini, lanjut dia, penderita Thalasemia bisa ditangani di RS PMI Bogor yang

sudah membuka satu ruangan khusus untuk melayani pasien penderita Thalasemia.

“Bagi Anda para orangtua yang anaknya menderita thalasemia atau para budiman

yang ingin menjadi donatur bagi POPTI Bogor, silakan menghubungi saya di nomor

0817151017,” tutup Robby.

BAB II

PATOGENESIS

A. DEFINISI

B. KLASIFIKASI

Bagaimana terjadinya gejala pucat atau anemia?

Warna merah dari darah manusia disebabkan oleh hemoglobin yang terdapat di

dalam darah merah. Hemoglobin terdiri atas zat besi dan protein yang dibentuk oleh

rantai globin α dan rantai globin β. Pada penderita thalasemia β, produksi rantai

globin β tidak ada atau berkurang. Sehingga hemoglobin yang dibentuk berkurang.

Selain itu berkurangnya produksi rantai globin β mengakibatkan rantai globin α

relatif berlebihan dan akan saling mengikat membentuk suatu benda yang

menyebabkan sel darah merah mudah rusak. Berkurangnya produksi hemoglobin dan

mudah rusaknya sel darah merah mengakibatkan penderita menjadi pucat atau

anemia atau kadar Hbnya rendah.

Mengapa limpa membesar pada penderita thalasemia?

Limpa berfungsi membersihkan sel darah yang sudah rusak. Selain itu limpa juga

berfungsi membentuk sel darah pada masa janin. Pada penderita thalasemia, sel darah

merah yang rusak sangat berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat. Akibatnya

limpa menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat untuk

memproduksi sel darah merah lebih banyak.

Mengapa terjadi perubahan bentuk tulang muka?

Sumsum tulang pipih adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka adalah

salah satu tulang pipih, Pada thalasemia karena tubuh selalu kekurangan darah, maka

57

Page 58: Refrat Thalasemia

pabrik sel darah daiam hal ini sumsum tulang pipih akan berusaha memproduksi sel

darah merah sebanyak-banyaknya. Karena pekerjaannya yang meningkat maka

sumsum tulang ini akan membesar, pada tulang muka pembesaran ini dapat dilihat

dengan jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak antara kedua mata menjadi jauh,

tulang pipi menonjol.

Karena hemoglobin terdiri dari 2 jenis globin, yaitu globin. Dan globin dikenal

dua jenis thalassemia.

Di Indonesia berdasarkan parameter hematologi, frekuensi pembawa sifat

thalassemia berkisar antara 10-15%, sedangkan pada populasi Melayu di Palembang

didapatkan frekuensinya 13,4% (Liliani, 2003), dan frekuensi pembawa sifat

thalassemia di Sumatera Selatan sekitar 8% (Safyudin, 2003). Dilihat dari tingginya

frekuensi pembawa sifat thalassemia di Sumatera Selatan maka penyakit ini

merupakan masalah yang cukup serius di Palembang.

Berdasarkan data bagian Obstetri dan Ginekologi FK UNSRI/ RSMH

Palembang, kasus kematian janin dari tahun ke tahun makin meningkat. Pada tahun

2000 didapatkan 6,1%, tahun 2001 didapatkan 5,4%, 2003 didapatkan 7,3%, 2004

didapatkan 7,5% dari jumlah kelahiran per tahun. Namun masih belum ada data

apakah janin mati dalam rahim ini disebabkan oleh hidrops fetalis.

(http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi/kedokteran/thalasemia)

58

Page 59: Refrat Thalasemia

Gambar 1. Pohon Thalasemia β

Thalasemia merupakan kelainan sintesis globin (komponen utama hemoglobin)

yang diwariskan secara autosomal resesif. Kelainan sintesis hemoglobin ini dapat

menyebabkan anemia berat pada individu yang homozigot. Kasus thalasemia masih

cukup tinggi di Indonesia, salah satunya Pulau Sumatera yang merupakan bagian dari

daerah sabuk thalasemia.

Sedangkan kelainan sel darah merah terdiri atas thalasemia, protein membran

dan sel darah merah. Menurut dr. Moedrik Taman SpA, thalasemia merupakan

penyakit genetik dimana produksi hemaglobin yang normal tertekan karena defek

sintesis satu atau lebih rantai globin. Penyakit ini diturunkan secara autosom resesif

dan digolongkan pada penyakit anemia hemolitik bawaan yang ditandai oleh anemia

mikrositik hipokromik. Penyakit ini merupakan kelainan genetik yang disebabkan

oleh mutasi gen tunggal dan kasusnya terbanyak di dunia. Tak kurang terdapat 300

juta penduduk dunia sebagai pembawa gen thalasemia dan sekitar 300.000 bayi

thalessemia dilahirkan setiap tahunnya

Sementara itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah dalam sambutan tertulis yang

dibacakan Staf Ahli Menkes Bidang Keuangan dan Komunitas Depkes, Eddie

Naydial Rusdal, memaparkan, Indonesia masuk dalam kelompok berisiko tinggi

terkena thalasemia.

"Prevalensi carrier thalasemia di Tanah Air mencapai sekitar 3-8 persen.

Jika diasumsikan terdapat 5 persen saja carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari

total populasi 240 juta jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita

thalasemia setiap tahunnya," ujarnya.

59

Page 60: Refrat Thalasemia

Angka prevalensi thalasemia dinilai Menkes cukup serius. Karena itu

skrining pada pengemban sifat kelainan darah di berbagai populasi perlu terus

ditingkatkan. Pada beberapa populasi, frekuensi pengemban thalasemia sangat

tinggi. Bisa mencapai 10 persen dan 36 persen.

"Dari total populasi pembawa sifat genetik thalasemia, 7 persen berada di

Palembang, 3,4 persen di Jawa dan 8 persen ditemukan di Makassar," katanya.

Permasalahan paling mencolok, menurut Menkes, manajemen klinis penyakit

thalasemia belum merata di Indonesia. Bahkan untuk ukuran ASEAN saja, jumlah

manajemen klinis di Tanah air adalah yang terburuk.

"Hanya kota Jakarta saja yang memiliki Pusat Pelayanan Thalasemia.

Padahal, tanpa penanganan klinis yang serius, penderita thalasemia mayor sulit

mencapai usia diatas 20 tahun," tutur Siti Fadilah.

- Kadar hemoglobin relatif rendah antara 10-12 g/dl, walaupun sudah minum

obat penambah darah seperti zat besi.

- Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun keadaan Hb

normal.

6. Thalasemia adalah penyakit keturunan dengan gejala utama pucat, perut

tampak membesar karena pembengkakakan limpa dan hati, dan apabila tidak

diobati dengan baik akan terjadi perubahan bentuk tulang muka dan warna

kulit menjadi menghitam. Penyebab penyakit ini adalah kekurangan salah

satu zat pembentuk hemoglobin (Hb) sehingga produksi hemoglobin

berkurang.

Thalasemia adalah sekelompok penyakit keturunan yang merupakan akibat

dari ketidakseimbangan pembuatan salah satu dari keempat rantai asam amino

yang membentuk hemoglobin. Thalasemia adalah sekelompok gejala atau

penyakit keturunan yang diakibatkan karena kegagalan pembentukan salah satu

dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sebagai bahan utama

darah.

Thalasemia adalah penyakit keturunan dengan gejala utama pucat, perut

tampak membesar karena pembengkakan limpa dan hati, apabila tidak diobati

60

Page 61: Refrat Thalasemia

dengan baik akan terjadi perubahan bentuk tulang muka dan warna kulit menjadi

menghitam. Penyebab penyakit ini adalah kekurangan salah satu zat pembentuk

hemoglobin (Hb) sehingga produksi hemoglobin berkurang.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada obat yang dapat menyembuhkan

pasien dengan thalasemia. Terapi yang dapat digunakan saat ini ialah dengan

memberikan transfusi darah dan tambahan asam folat, serta mempertahankan

Hb-nya di atas 10g/ dl, agar aktivitasnya normal dan dapat melaksanakan

kegiatan sehari-hari.

Keadaan pucat (anemia) tersebut harus ditanggulangi dengan pemberian

transfusi darah, untuk menaikkan kadar Hemoglobin (Hb) ketingkat normal.

Sehingga bisa berfungsi normal mengedarkan nutrisi dan oksigen yang

dibutuhkan setiap organ dan sel tubuh manusia.

Karena itu, ketika sang istri mengandung, disarankan untuk melakukan tes darah di

laboratorium untuk mengetahui janinnya mengidap thalesemia atau tidak. Jika janin

positif terkena thalasemia maka di kemudian hari memerlukan transfusi darah secara

rutin selama hidupnya.

HEMOGLOBINOPATHY

Penderita Thalasemia mempunyai masalah dengan jumlah globin yang

disintesis terlalu sedikit, sedangkan “anemia sel sabit” (hemoglobinopathy

atau kelainan pada hemoglobin) adalah masalah kualitatif dari sintesis globin

yang berfungsi tidak benar. Thalasemia biasanya menyebabkan rendahnya

produksi protein-protein globin yang normal. sering kali melalui mutasi pada

gen pengatur. Hemoglobinopathies (kelainan pada hemoglobin) menunjukan

kelainan struktural dalam protein globin itu sendiri. Dua kondisi bisa terjadi

overlap, namun, karena sebagian kondisi yang menyebabkan abnormalitas

pada protein-protein globin (hemoglobinopathy) juga mempengaruhi pada

hasilnya (thalasemia). Dengan demikian, beberapa thalasemias adalah

hemoglobinopathies, tapi sebagian besar bukan. Salah satu atau kedua kondisi

tersebut dapat menyebabkan anemia.

61

Page 62: Refrat Thalasemia

Gambar 3. 2. Gen Globin

Karena umurnya pendek maka produksi dan yang mati tidak seimbang,

akibatnya penderita mengalami kekurang sel darah merah. Untuk mempertahankan

kondisi yang normal penderita sangat membutuhkan tambahan darah atau yang

disebut tranfusi. Dari tranfusi ini timbul pula masalah masalah lain. Misalnya infeksi,

keracunan besi (dari hasil sel darah merah yang rusak). Saat ini pengobatan

thalasemia mayor di Indonesia masih berupa transfusi darah, biasanya sekali dalam

empat minggu. Anak-anak yang menjalani transfusi biasanya tumbuh normal dan

hidup bahagia hingga usia dua puluhan tahun.

Namun, untuk hidup lama mereka perlu suntikan desferal hampir setiap hari.

Soalnya, transfusi darah membuat zat besi menumpuk di dalam tubuh, dan desferal

berfungsi membantu mengeluarkan zat besi dari tubuh melalui air seni. Dengan cara

ini penderita thalasemia mayor bisa hidup normal dan sehat, bisa bekerja, menikah,

dan mempunyai anak-anak.

Efek samping transfusi darah adalah kelebihan zat besi dan terkena penyakit

yang ditularkan melalui darah yang ditransfusikan. Setiap 250 ml darah yang

ditransfusikan selalu membawa kira-kira 250 mg zat besi. Sedangkan kebutuhan

normal manusia akan zat besi hanya 1-2 mg per hari. Pada penderita yang sudah

sering mendapatkan transfusi kelebihan zat besi ini akan ditumpuk di jaringan-

jaringan tubuh seperti hati, jantung, paru, otak, kulit dan lain-lain. Penumpukan zat

besi ini akan mengganggu fungsi organ tubuh tersebut dan bahkan dapat

menyebabkan kematian akibat kegagalan fungsi jantung atau hati.

62

Page 63: Refrat Thalasemia

Jumlah penderita thalasemia di dalam negeri tidaklah sedikit, saat ini hal yang

paling umum yang dapat dilakukan dunia media untuk membantu orang-orang

dengan thalasemia adalah melakukan transfusi darah berulang ketika tubuh

kehilangan darah melalui perombakan darah yang rusak secara berlebihan. Namun

prosedur seperti ini dan akibat kondisi thalasemia itu sendiri berdampak tubuh

seseorang akan berlebihan atau terbebani oleh kadar zat besi yang tinggi.

Gambar 3. 4. α-β Gene Cluster Chromosome 11 dan 16

63