42
PENDAHULUAN Wajah merupakan pusat perhatian utama dari seorang individu. Trauma atau cedera pada wajah tidak hanya akan mengganggu penampilan, namun juga dapat menyebabkan gangguan beberapa fungsi luhur oleh karena di daerah wajah juga banyak terdapat struktur penting, seperti indera penglihatan, bicara, menelan, jalan nafas, sampai cedera otak. Cedera wajah dapat melibatkan kerusakan kulit, jaringan lunak sampai jaringan tulang, serta perlu diperhatikan secara khusus terutama pada cedera muka yang mengenai saraf sensorik maupun motorik, kelenjar dan saluran air liur. Dampak jangka panjang dari trauma maksilofasial seperti retraksi bekas luka pada bibir, hidung, dan kelopak mata serta aspek kosmetik juga penting sekali diperhatikan pada pengelolaan luka wajah. Cedera maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Begitu banyak struktur penting di daerah wajah inilah maka penatalaksanaan trauma maksilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai hasil yang memuaskan baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi. 1

Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

PENDAHULUAN

Wajah merupakan pusat perhatian utama dari seorang individu. Trauma

atau cedera pada wajah tidak hanya akan mengganggu penampilan, namun juga

dapat menyebabkan gangguan beberapa fungsi luhur oleh karena di daerah wajah

juga banyak terdapat struktur penting, seperti indera penglihatan, bicara, menelan,

jalan nafas, sampai cedera otak. Cedera wajah dapat melibatkan kerusakan kulit,

jaringan lunak sampai jaringan tulang, serta perlu diperhatikan secara khusus

terutama pada cedera muka yang mengenai saraf sensorik maupun motorik,

kelenjar dan saluran air liur. Dampak jangka panjang dari trauma maksilofasial

seperti retraksi bekas luka pada bibir, hidung, dan kelopak mata serta aspek

kosmetik juga penting sekali diperhatikan pada pengelolaan luka wajah. Cedera

maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang datangnya dari

luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga

dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.

Begitu banyak struktur penting di daerah wajah inilah maka

penatalaksanaan trauma maksilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai

hasil yang memuaskan baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi.

Penatalaksanaan dengan pembedahan bertujuan mengatasi mobiditas yang terjadi.

,

1

Page 2: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI, ETIOLOGI DAN EPIDEMIOLOGI

Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh.

Fraktur tulang muka (maksilofasial) yakni diskontinuitas tulang muka baik

komplit maupun tidak komplit yang disebabkan oleh trauma benda tajam,

benda tumpul maupun ledakan pada muka yang mengakibatkan satu hingga

banyak tulang wajah patah. Jaringan yang terlibat pada fraktur tulang muka

disamping tulang muka itu sendiri yaitu tulang kepala yang tidak membatasi

otak (tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal, maksila dan

mandibula) juga jaringan lunak pada area muka (kulit, otot, dan jaringan ikat).

Tulang zygoma dan mandibula paling sering terjadi fraktur pada kejadian

kecelakaan lalu lintas. Tulang muka bersifat spongiosa dan lebih vaskuler

dibandingkan tulang kortikal atau tulang panjang sehingga dalam waktu 5-6

minggu penyembuhan fraktur sudah selesai dan sudah rigid. Sekitar 60% dari

pasien dengan trauma muka yang berat mengalami trauma multi sistem dan

gangguan aliran udara dalam saluran pernapasan (20-50% diantaranya terjadi

cedera otak, 1-4% cedera tulang servikal dan 0.5-3% mengalami kebutaan). (2,3,7)

Fraktur maksilofasial lebih sering disebabkan oleh trauma tumpul atau

benturan dengan benda seperti pada kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja,

kecelakaan akibat olah raga dan juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan.

Penyebab trauma maksilofasial pada 25% wanita yakni kekerasan rumah

tangga dengan 30% diantaranya didapatkan trauma pada dinding orbital.

Sebanyak 25 % pasien dengan trauma fasial yang berat akan berkembang

menjadi post traumatic stress disorder. Berdasarkan beberapa penelitian,

besar kekuatan yang dapat menyebabkan fraktur dari tulang fasial berbeda-

beda namun secara umum dapat dibedakan menjadi: (3,7)

a. High impact (lebih dari 50 kali gravitasi)

1) Rima supraorbital – 200 G

2) Simphisis mandibula – 100 G

2

Page 3: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

3) Frontal– 100 G

4) Mandibula – 100 G

b. Low Impact (kurang dari 50 kali gravitasi)

1) Zygoma – 50 G

2) Tulang nasal – 30 G

2. ANATOMI

A. Tulang

Tulang maksilofasial berperan dalam menyusun struktur wajah

misalnya pada margo orbitalis dibentuk oleh tulang frontal pada pars superior,

tulang zygomatikum pada pars lateral, maxilla pada pars inferior dan pada

pars medial oleh procesus maxillaris dan os frontal. Tulang nasal membentuk

batang hidung. Tonjolan pipi dan sebagian dinding lateral serta dasar orbita

dibentuk oleh tulang zygomatikum. Kedua maxilla membentuk rahang atas,

pars anterior palatum durum, sebagian dinding lateral cavum nasi, dan

sebagian dasar orbita. membentuk. Mandibula atau rahang bawah terdiri dari

corpus yang terletak horizontal dan dua ramus yang terletak vertikal. (2,3,7)

Berdasarkan lokasi dan keterlibatan tulang, area fraktur maksilofasial

dibagi menjadi wajah atas, wajah tengah dan wajah bawah. Trauma pada

wajah bagian sepertiga atas (upper third) meliputi daerah muka tepat di atas

orbita yang melibatkan tulang frontalis dan sinus frontalis. Bagian sepertiga

tengah (middle third), meliputi fraktur tulang nasal, ethmoidalis, zygomatikus

dan maksilaris. Bagian sepertiga bawah (lower third) berkaitan dengan fraktur

mandibula (kondilus, angulus, ramus, simphisis dan alveolus). (7,11,13)

3

Page 4: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 1. Tulang-tulang maksilofasial

B. Vaskularisasi dan Persarafan.

Vaskularisasi daerah muka terutama berasal dari arteri karotis eksterna

yang menyediakan suplai darah ke wajah. Percabangan yang penting antara

lain lingualis, fasialis, maksilaris interna, dan temporalis superfisial.

Sementara persarafan pada area maksilofasial terdiri dari: (3,6,11)

1) Nervus optalmikus

Percabangan pertama dari n. trigeminus berfungsi menghantarkan

rangsangan sensorik dari kulit dahi, bulu mata atas, dan konjungtiva.

2) Nervus maksilaris

Cabang kedua dari n. trigeminus mempersarafi bagian sensorik

bagian belakang sisi hidung, bulu mata bawah, pipi, dan bibir atas.

3) Nervus mandibularis

Cabang ketiga dari n. trigeminus, mempersarafi bagian motorik dan

sensorik otot-otot mastifikasi, kulit dari bibir bawah, dagu, region

temporal, dan bagian aurikula.

4) Nervus fasialis mempersarafi semua otot-otot ekspresi wajah

5) Nervus aurikularis mayor.

Cabang dari pleksus servikalis mempersarafi angulus mandibula, kulit

di atas kelenjar parotis dan prosesus mastoideus.

4

Page 5: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

3. PATOFISIOLOGI

Cedera berat dan ringan pada trauma maksilofasial ditentukan oleh

lebih atau kurang dari 50% dari gaya gravitasi. Cedera maksilofasial berbeda-

beda tergantung pada daerah yang terkena. Margo supraorbital, mandibula

(simphisis dan angulus), dan tulang frontalis membutuhkan tenaga yang besar

untuk dapat menebabkan kerusakan. Sementara tulang nasal dan zygoma

membutuhkan tenaga yang minimal.(1,6,9,10)

Cedera jaringan lunak pada trauma maksilofasial meliputi:

a. Abrasi kulit, tusukan, laserasi,tatu

b. Cedera saraf, cabang saraf fasial

c. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen

d. Cedera kelopak mata

e. Cedera telinga

f. Cedera hidung

A. Fraktur tulang frontalis

Berasal dari pukulan berat pada wajah bagian depan (bagian anterior

atau posterior sinus frontalis dapat terlibat). Tulang frontal merupakan tulang

yang paling kuat pada tulang muka, oleh karena membutuhkan energi tinggi,

fraktur isolated os frontal merupakan fraktur fasial yang paling sedikit terjadi. (3,6)

Sinus frontalis sendiri terdiri atas dua bagian kavitas irregular yang

dibagi oleh septa yang merupakan saluran duktus nasofrontal (NFD) sampai

ethmodalis air cell ke dalam kavitas nasal melalui meatus medialis. Secara

radiografi dapat terlihat pada usia 8 tahun, sekitar 10% berkembang unilateral

dan 5 % rudimenter. Mekanisme paling umum terjadi pada cedera sinus

frontal adalah pukulan atau benturan langsung pada glabela atau rima

supraorbital. Frekuensinya jarang, fraktur secara tidak langsung dapat

disebabkan oleh penyebaran benturan dari tulang fasial bagian bawah.

Gabungan cedera maksilofacial seperti fraktur nasoorbital-ethmoidal (NOE)

adalah fraktur yang sering terjadi. Pada politrauma, termasuk hematom

intrakranial, sering menyertai fraktur frontalis. (3,6,7)

5

Page 6: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

B. Fraktur rima orbita

Orbita tersusun atas 7 buah tulang yakni os zygoma, os sphenoid, os

frontal, os ethmoid, os lakrimal, os palatina dan os maksila. Fissura orbita

superior (SOF) membelah bagian superior dan lateral sampai apeks orbita

membagi “the greater and lesser wings” os sphenoid. Sebagai jalan nervus

okulomotor (N III), nervus trokhlear (N IV), nervus Abdusen (N VI) dan

divisi optalmik dari nervus trigeminus. Fissura orbita inferior menjadi jalan

divisi maksilari n.trigeminus, cabang dari ganglion sphenopalatina dan cabang

dari vena optalmik inferior. Nervus optikus masuk ke superiomedial orbita

sampai dalam orbita kira-kira 45 mm posterior ke rima orbita. (1,3,7,12)

Fraktur pada orbita dapat terisolasi atau terjadi bersamaan dengan

fraktur dinding medial misalnya pada orbital blowout fraktur. Tekanan

intraorbital dapat meningkat bila suatu gaya mengenai margo supraorbital.

Angka kejadian dari cedera okular tinggi, namun ruptur dari bola mata jarang

terjadi. Terjadi akibat trauma langsung pada tepi tulangnya atau pada tulang

zigomatikus. Kejadian ini disebut patah tulang letup keluar (blow out

fracture). Fraktur letup dapat menyebabkan enoftalmos dan sering disertai

terjepitnya m. rektus inferior sehingga gerakan bola mata terganggu dan

penderita mengalami diplopia Jika terjadi fraktur blow-out, pada pemeriksaan

foto Waters akan tampak massa jaringan lunak di margin superior sinus

maksillaris, serta herniasi jaringan periorbital ke dalam sinus. (1,3,7,9)

Gambar 2. Fraktur pada orbita

6

Page 7: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

C. Fraktur kompleks Naso-Orbito-Ethmoid (NOE)

Komplek NOE terdiri atas: os nasal (septum, kartilago, prosesus nasal

os frontal dan processus frontal os maksila), os lakrimal, os ethmoid dan os

sphenoid. Selain itu komplek NOE juga terdiri dari ligamen canthal medial,

insersi tendo m. orbicularis okuli. Ligamen canthal medial terdiri dari bagian

anterior dan posterior sampai puncak lakrimal (mengelilingi sakus lacrimalis)

dan bagian superior ke regio nasofrontal. (3,5,12)

Benturan tumpul secara langsung yang melebihi garis hidung, tulang-

tulang pendukung hidung yang diproyeksikan kembali antara orbita,

menghasilkan tipe fraktur NOE fraktur dapat unilateral (36%) atau yang

umum terjadi bilateral (64%). Fraktur NOE sering menyertai terjadinya fraktur

blowout orbita. Fraktur dapat mengenai daerah hidung & melibatkan os

ethmoidalis. Fraktur os. ethmoidalis dapat mengakibatkan merembesnya

cairan serebrospinal. Gambaran klinis dijumpai adanya telecanthus, pelebaran

nasal bridge sampai kantus medial dan epistaksis atau rhinoroe CSS. (2,3,5,7)

Gambar 3. Fraktur kompleks Naso-Orbito-Ethmoid (NOE)

D. Fraktur nasal.

Hidung terdiri dari os nasal dan cartilago superior dan inferolateral.

Midline septum terdiri dari vomer, perpendicular plate os ethmoid, kartilago

quadrangular dan puncak nasal os maksila. Vaskularisasi hidung disuplai dari

a. optalmikus, ethmoid anterior dan posterior cabang dari a. karotis interna

7

Page 8: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

serta a. karotis eksterna pada daerah superior labial dan cabang maksila

interna (sphenopalatina, greater palatina, dan infraorbita). Sementara cabang

karotis interna memvaskularisasi nasal superior sampai pertengahan,

sedangkan cabang karotis eksterna memvaskularisasi area inferior. Nasal

bagian luar diinervasi secara primer oleh nervus infraorbital, nervus ethmoid

anterior dan nervus supratroklear. Nasal bagian dalam diinervasi secara

primer oleh nervus ethmoid, sphenoid dan nasopalatina. (3,7,8,9)

Os nasal adalah bagian paling lemah dari tulang facial dan kira-kira

40% dari fraktur facial. Trauma frontal sampai dorsum nasal seringkali terjadi

pada bagian bawah os nasal dan septum menyebabkan kerusakan pada cantus

medial, apparatus lakrimalis atau ductus nasofrontal. Benturan lateral pada

pasien yang muda cenderung menyebabkan fraktur-dislokasi segmen luas,

dimana pada pasien tua cenderung menyebabkan kominutif. Benturan yang

kuat menyebabkan ekstensi dari fraktur ke dalam regio NOE. (3,8)

Fraktur tulang hidung didiagnosa berdasarkan riwayat trauma yang

disertai pembengkakan, perlunakan, dan krepitasi batang hidung, dapat

disertai epistaxis. Indikasi penatalaksanaan fraktur tulang hidung adalah:

deformitas hidung, sumbatan jalan nafas, epistaksis dan septal hematom. (8,13)

Gambar 4. Kartilago eksternal dan internal os nasal

8

Page 9: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

E. Fraktur komplek malar dan arkus.

Zigoma juga dikenal sebagai os malar atau os tripod. Dihubungkan

dengan os frontal, os maksila, os temporal dan sayap dari os sphenoid

sepanjang dinding lateral orbita. Nervus zigomatikotemporal dan

zigomatikofasial keluar melalui foramen kecil dalam zigoma yang

memberikan inervasi pada soft tissue dari malar eminence. (3,11)

Fraktur arkus zigoma dapat terjadi sebagai fraktur terisolasi sekunder

pada benturan langsung dengan sisa artikulasio zigoma masih intak. Fraktur

zigoma pada semua artikulasio, sering terjadi primer pada benturan langsung.

Pergeseran dapat meningkat oleh karena tarikan m. masseter ke arkus zigoma. (11,12)

F. Fraktur maksila dan midfasial.

Midfasial disusun oleh vertikal dan horisontal dari sistem penunjang,

terdiri dari tulang tebal memberi daya tahan dari benturan pada muka. Dinding

penopang vertikal yang kuat mempertahankan dimensi vertikal dari muka.

Terdiri dari: (3,4,11)

1) Nasomaksilari (NM), sepanjang apertura piriformis dan medial

rima orbita.

2) Zigomatikomaksilari (ZM), dari alveolus maksilari melewati sutura

zigomatikofrontal os zygoma.

3) Pterigomaksilari (PM), sepanjang dasar kranial dari portio

posterior os maksila.

Fraktur zigomatikomaksilari disebabkan karena trauma langsung di

pipi yang terjadi pada artikulasio antara os.zigomaticum dan os.maksilaris

bagian frontal dan arkus zigomatikus. Gambaran klinis fraktur tripod adalah

oedem periorbital dan equimosis. Jika diduga terjadi fraktur tripoid, maka

dilakukan pemeriksaan dengan foto polos, termasuk Waters. (9,10,14)

9

Page 10: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 5. Fraktur zigomatikomaksilari

Fraktur maksila dari fraktur simpel dentoalveolar hingga fraktur

kominutif midfasial, tergantung pada kekuatan benturan secara langsung. Pada

fraktur maksilari komplit, dinding penopang vertikal terpecah. Fraktur maksila

dapat juga terjadi langsung pada sagital, biasanya dimulai pada perbatasan

hingga kaninus. Klasifikasi Le Fort: (3,4,10,14)

a. Le Fort I (fraktura maksilari transversa).

- Fraktur melalui maksila setinggi rima piriformis, termasuk seluruh

prosesus alveolaris, palatum dan prosesus pterigoideus.

- Letak: sepertiga bawah,

- Ditandai dengan floating fragmen pada maksila bagian bawah

Gambar 6. Le Fort I

b. Le Fort II (fraktura piramidal).

– Sepertiga tengah dan segmen maksila yang terisolasi berbentuk

piramid,

10

Page 11: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

– Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan

menggerakkan gigi atas kebelakang dan kedepan.

– Dapat menyebabkan midfasial terpisah dan mobile, ekimosis/

hematom periorbita, kerusakan nervus infraorbita, diplopia dan

perdarahan subkonjungtiva.

Gambar 7. Le Fort II

c. Le Fort III (disjunksi kraniofasial).

- merupakan separasi yang lengkap tulang fasial dari basis

tengkorak dimana letaknya sepertiga atas dari facial,

- bisa menyebabkan midfasial terlepas dari bagian atas.

- memerlukan pengikatan pada sutura zigomatikofrontal

Gambar 8. Le Fort III

G. Fraktur mandibula.

Bentuk U mandibula disusun oleh korpus, simpisis, ramus, kondilus

dan prosesus koronoid. Mandibula memiliki angulus dimana menghubungkan

korpus dengan ramus. Kondisi ini yang menyebabkan molar tiga tidak erupsi.

Daerah mandibula yang sering sakit yaitu pada area kondilus. Korpus anterior

11

Page 12: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

dan parasimpisis sering sakit karena akar yang panjang dari kaninus dan

adanya foramen mentalis. Nervus alveolaris inferior dan arteri alveolaris

inverior masuk melalui lingula pada batas medial dari ramus dan berjalan

sepanjang kanal kemudian keluar melalui foramen mentalis. (3,7,9,13)

Gambar 9. Bagian-bagian os mandibula yang sering mengalami fraktur.

Mandibula adalah tulang paling kuat dari tulang muka, tapi merupakan

salah satu tulang yang paling banyak terjadi fraktur. Lebih dari 50% fraktur

multipel mandibula. Fraktur sering terjadi bilateral pada lokasi bersebrangan

dari lokasi dimana terjadi trauma langsung serta pada umunya akan disertai

dislokasi fragmen tulang. Pada pemeriksaan diperhatikan adanya asimetris dan

maloklusi. Fraktur mandibula pada kedua colum dan medial menyebabkan

asfiksia mendadak karena obstruksi hipofaring akibat lidah terdorong

kebelakang dan epiglotis menutup laring. (3,13)

Gambar 10. Regio anatomi dan frekuensi fraktur.

(A) Anatomi Mandibula. (B) Frekuensi.

12

Page 13: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

3. DIAGNOSIS

A. Fraktur Rima Orbita

1. Tanda dan gejala klinis

a. Exopthtalmus akibat hematom retroorbita dan endophthalmos (

sunken eyes ) akibat blow out fracture.

b. Mata sejajar atau bergeser

c. Distrofia ( level orbita tidak sama )

d. Gangguan penglihatan atau gangguan visus

e. Infraorbital anesthesia.

f. Diplopia

Dapat terjadi akibat pergeseran bola mata yang mengakibatkan

jepitan otot-otot penggerak bola mata, kontusio otot ekstraokular,

paralisis nervus okulomotorius dan oedema yang membatasi

pergerakan bola mata.

g. Ptosis akibat lesi nervus III

h. Telecanthus yaitu jarak pori canthus melebar, hal ini dapat terjadi

bila terdapat lesi pada nasal.

i. Periorbital dan subconjunctival hemorragi

j. Fraktur yang mengakibatkan kerusakan pada retina atau nervus

optikus dapat menimbulkan gejala ”Marcus-Gunn pupil” atau

defek afferen pupil, dimana dengan pemeriksaan reflek cahaya

pada mata yang cedera tidak ada konstriksi pupil, namun pada

reflek cahaya mata kontralateral didapatkan konstriksi pupil positif

pada mata yang cedera. (1,7)

Gambar 11. Fraktur Rima Orbita

13

Page 14: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

2. Pemeriksaan penunjang

a. Skull AP

Foto polos tidak begitu representatif, foto dengan Water’s kadang

dapat memperlihatkan garis fraktur. Pada Orbital Blowout Fractures

didapatkan tanda khas radiologis :

1) Hanging tear drop sign

2) Open bomb bay door

3) Air fluid levels

4) Orbital emphysema

Gambar 12. Foto Polos Orbital Blowout Fractures

b. CT (axial axis)

Thin section, axial, dan coronal CT scan dibutuhkan untuk diagnosis :

1) Axial CT scan memperlihatkan dengan baik dinding orbita medial dan

lateral

2) Coronal CT scan memperlihatkan abnormalitas dinding orbita atap,

dasar dan area interorbital. Fraktur pada dasar orbita sulit didiagnosis

tanpa pencitraan coronal. Apabila leher pasien tidak dapat

hiperekstensi untuk pencitraan ini, maka dapat direkonstruksi dengan

pencitraan axial. Rekonstruksi oblique parasagittal sepanjang axis bola

mata dapat menghasilkan pencitraan yang baik dari dinding dasar

orbita. (1,7)

14

Page 15: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 13. Head CT scan dengan fraktur rima orbita

B. Fraktur Zigoma

1. Gejala klinis

a. Diplopia

b. Anesthesia atau hypoesthesia

Terutama pada daerah pipi anterior, bibir atas, dan hidung bagian

lateral akibat laserasi atau kontusio nervus infraorbitalis.

c. Trismus ( sulit membuka mulut )

Apabila terdapat cedera pada lengkungan processus coronoideus.

2. Tanda klinis

a. Depresi tonjolan tulang pipi atau pendataran malar eminens dapat

terlihat melalui pemeriksaan basilar view.

b. Edema

c. Subconjuctival hemorrhage dan periorbital ecchymosis

d. Pergerakan mandibula terbatas

e. Deformitas dan nyeri daerah fraktur dan sepanjang rima orbita

dengan palpasi.

f. Unilateral epistaksis

g. Gambaran antimongoloid pada fisura palpebra.

15

Page 16: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Akibat terjadinya pergeseran atau displacement zygoma inferior

yang terletak dibawah sutura zygomaticofrontalis.

h. Enophthalmos

Dapat terjadi akibat naiknya volume bola mata karena os zygoma

meliputi sebagian besar dinding lateral orbita.

i. Dystrophia vertikal (7,9,10)

Gambar 14. Kiri : Fraktur Zygoma sinistra; Kanan : Pendataran malar eminens.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Plain photo : Water’s, Submentovertex , dan Caldwell view

1) Water’s view : untuk penampakan garis fraktur. Merupakan

foto polos terbaik untuk fraktur zygomaticomaxillary complex

(ZMC).

2) Submentovertex view : untuk penampakan detail zygomatic

arch.

16

Page 17: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 15. Fraktur Zygoma dengan Submental view

b. CT scan : proyeksi Axial dan Coronal

1) CT scan potongan axial diperlukan untuk detail akurat dari

anatomi fraktur terutama bila disertai displacement.

2) CT scan coronal images diperlukan apabila dicurigai terdapat

fraktur blow out pada dasar orbita. (10,13)

Gambar 16. Fraktur Tripod Zygoma dengan Coronal CT scan 3 Dimensi

C. Fraktur Os. Nasale

1. Gejala klinis

a. Pembengkakan daerah fraktur

17

Page 18: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

b. Epistaksis

c. Obstruksi pernapasan

2. Tanda Klinis

a. Periorbital ecchymosis

b. Nyeri tekan saat palpasi di nasal

c. Terdapat garis fraktur

d. Krepitasi

e. Perubahan bentuk kontur hidung (Nasal deviation)

f. Pergeseran os nasal

g. Hematoma dan atau deviasi septum nasi (5,8,12)

Gambar 17. Kiri: Fraktur os nasale; Kanan: Fraktur os nasale dengan deviasi

septum nasi.

3. Pemeriksaan penunjang

Radiografi tidak diperlukan untuk membuat diagnosis. Foto polos dapat dibuat

bila diperlukan untuk dokumentasi legal, untuk hal ini dapat digunakan foto

Skull lateral dan atau Waters view untuk konfirmasi diagnosis. CT scan dibuat

hanya bila dicurigai terdapat patah tulang muka ditempat lain, misalnya bila

terdapat fraktur NOE (naso orbita ethmoidalis). Keputusan untuk operasi

tergantung pada penemuan klinis (3,5,8)

18

Page 19: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 18. Fraktur os nasale dengan foto Skull lateral

D. Fraktur Nasoorbita Ethmoidale

1. Gejala klinis

a. Epistaksis dan atau CSF rhinorrhea

CSF rhinorrhea ditemukan pada fraktur cribiformis. Untuk

membedakan antara bloody dan CSF rhinorrhea dapat ditentukan

dengan tes fluoresin, yaitu dengan kertas celup fluoresen atau bisa

juga dengan kertas tisu ditempatkan di fornix meatus inferior, bila

kertas diangkat terdapat fluoresin warna hijau maka didapat hasil

positif CSF rhinorrhea.

b. Nyeri daerah hidung

c. Krepitasi dengan pemeriksaan bimanual di region canthal

d. Mobilitas tulang dari komplek nasal.

2. Epiphora dapat terjadi bila terdapat lesi dari sistem lacrimalis.

3. Tanda klinis

a. Saddle nose

Bentuk hidung mendatar (flattened nasal bridge) bisa terjadi akibat

pembengkakan

b. Bentuk muka memanjang

c. Telecanthus (pelebaran pori canthus atau nasal bridge)

Bowstring test: kelopak mata bawah diposisikan dengan traksi ke

lateral dan palpasi ligament di region canthus untuk mendeteksi

19

Page 20: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

apakah ikatan masih intak atau tidak. Gangguan atau disruption

pada ligamen-ligamen ini dapat menyebabkan trauma pada

telecanthus yang ditandai dengan melebarnya jarak antara medial

canthus.

d. Palpasi intranasal didapatkan pergerakan dari medial canthus

e. Glabella, periorbital, dan nasal ecchymosis

f. Hilangnya tonjolan nasal bagian dorsal (loss of dorsal nasal

prominence)

g. Nyeri tekan dengan palpasi di daerah nasal (5,7,8)

Gambar 19. Regio Nasoorbita Ethmoidale.

4. Radiologis

Foto polos tidak sensitif untuk diagnosis. CT scan muka dengan

potongan coronal melalui medial orbita dan CT scan potongan axial

merupakan pemeriksaan radiologis terpilih.

20

Page 21: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 20. Head CT scan non kontras dengan fraktur Nasoorbita Ethmoidale.

E. Fraktur Maksila

1. Gejala klinis

a. Nyeri

b. Gangguan mengigit dan mengunyah

c. Perdarahan nasopharing

d. Epistaksis

Bila terdapat fraktur sinus maxillaris akan terjadi perdarahan.

2. Tanda klinis

a. Maloklusi dapat berupa open bite terutama anterior open bite, cross

bite dan trismus.

b. Elongasi muka

Terdapat dishface appearance yaitu muka datar seperti piring

c. Pembengkakan midfacial

d. Periorbital hematome

e. Unstable atau floating maxilla

Dengan menekan maxilla bagian anterior diantara ibu jari dan

telunjuk sambil fiksasi kepala dapat diperiksa stabilitas dari maxilla.

f. Deformitas

g. Gigi goyang atau lepas atau hilang

h. Pemeriksaan intraoral dapat ditemukan laserasi gingiva atau mukosa

i. Laserasi pada bibir dan palatum sering menyertai fraktur os palatina. (4,11,14)

21

Page 22: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

3. Gejala klinis dan radiologis fraktur maksila berdasarkan klasifikasi

LeFort

a. LeFort I

1) Gejala

a) Oedem muka

b) Maloklusi

c) Unstable maxilla

Gambar 21. Fraktur LeFort I

2) Radiologi

a) Foto polos Skull PA/Lateral, Water’s dan Caldwell view,

dapat terlihat penampakan garis fraktur LeFort I yang

meliputi:

− Apertura nasalis

− Maxilla inferior

− Dinding lateral maxilla.

b) CT scan muka dan kepala dengan potongan coronal dan

rekonstruksi 3 dimensi. (3,4,7)

22

Page 23: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 22. Head CT scan LeFort I

b. LeFort II

1) Gejala

a) Oedem muka

b) Pendataran nasal

c) Telecanthus

d) Epistaksis atau CSF rhinorrhea

e) Unstable maxilla dan hidung

2) Radiologis

Foto polos dan CT scan muka dan kepala dapat terlihat garis

fraktur LeFort II yang meliputi:

− Os nasal

− Medial orbita

− Sinus maxillaris

− Processus frontalis maxilla

23

Page 24: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Gambar 23. Fraktur Maxilla LeFort II.

c. LeFort III

1) Tanda dan gejala klinis

a) Muka datar seperti piring (Dish face deformity)

b) Epistaksis dan CSF rhinorrhea

c) Unstable maxilla, os nasal dan os zygoma

d) Obstruksi jalan napas berat

e) Maloklusi

f) Battle sign ( perdarahan retroauriculair)

g) Raccoon eyes

h) CSF otorrhea

i) Hemotympani

Gambar 24. Fraktur LeFort III

24

Page 25: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

2) Radiologi

Foto polos Skull AP/Lateral, Water’s view, dan CT scan muka

dan kepala dapat terlihat garis fraktur LeFort III yang meliputi :

− Sutura zygomaticofrontalis

− Os zygoma

− Dinding medial orbita

− Os nasal ( 3,4,11,13)

F. Fraktur Mandibula

1. Gejala klinis

a. Maloklusi dapat berupa open bite, cross bite dan trismus

b. Anestesia atau hipoestesia daerah rahang bawah, terjadi akibat lesi

nervus alveolaris inferior.

c. Keluar darah dari mulut

d. Nyeri daerah rahang

e. Tragus pain terutama saat menggigit dan menggerakan rahang

2. Tanda klinis

a. Deformitas, berupa deviasi midline

Fraktur subcondylus dapat terjadi deviasi pipi ke ipsilateral.

b. Terdapat step defect dengan palpasi intraoral atau ekstraoral di

sepanjang mandibula.

c. Pergerakan abnormal dari mandibula

d. Asimetris lengkung dentis

e. Laserasi intraoral, submucosal dan sublingual hematom

f. Gigi goyang, patah dan atau hilang

3. Radiologis

a. Foto polos : Skull PA / Lateral oblique, Townes view, Panoramic

view

Foto polos panoramic adalah pemeriksaan radiologis yang terbaik

untuk diagnosis fraktur mandibula, sebab dengan foto ini dapat

memperlihatkan keseluruhan mandibula. Hal ini memudahkan

penilaian lokasi fraktur, kondisi gigi, dan lokasi kanal alveolaris

25

Page 26: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

inferior. Namun foto panoramic ini haruslah sebagai suplementasi

dari foto Skull AP untuk diagnosis akurat fraktur mandibula.

b. CT Scan tidak begitu diperlukan, namun dapat digunakan pada

kasus fraktur kominutif yang ekstrim dan bila ditemukan fraktur

condylus intraartikular. (4,8,9)

Gambar 25. Foto polos panoramic

F. Fraktur Os Frontal

1. Tanda klinis

a. Contusio

b. Lacerations

c. Hematoma di area dahi atau orbita

d. Palpable step deformity

e. Orbital emphysema

f. Displaced dari bola mata

2. Gejala klinis

a. Hypesthesia pada area distribusi nervus supraorbitalis

b. Gangguan penglihatan dan visus

c. Perubahan kesadaran dan mental apabila meliputi cedera otak

3. Radiologi

a. Foto polos untuk melihat garis fraktur dan gambaran air fluid level sinus

frontalis atau pneumocephalus.

b. Skull anteroposterior dan lateral

c. Water’s, submentovertex, dan Caldwell view

26

Page 27: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

d. CT scan dengan potongan tipis axial sensitif untuk diagnostik fraktur sinus

frontalis. (6,7,12)

Gambar 26. Kiri : Fraktur os frontal dengan foto Caldwell; Kanan : Fraktur Os

Frontal.

4. PENATALAKSANAAN

PENANGANAN AWAL

a. Primary survey : Airway, Breathing, Circulation dan selanjutnya

tetap diawasi.

b. Secondary survey : pemeriksaan leher, neurologis, scalp, orbita,

telinga, hidung, wajah bagian tengah, mandibula, rongga mulut,

dan oklusi. Adanya cedera kepala (Brain injury) dapat menunda

timing operasi Open Reduction Internal Fixation (ORIF) pada

fraktur tulang muka.

c. Bila ada luka, ditutup dengan kasa lembab sambil menunggu terapi

definitif.

d. Fraktur mandibula bilateral harus distabilkan agar tidak

mengganggu jalan napas.

e. Bila ada hematoma septum nasi atau hematoma auricula, harus

dilakukan drainase dan dilanjutkan dengan balut tekan/tamponade

hidung. (2,7, 9, 13)

27

Page 28: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

.

PENANGANAN LANJUT.

a. Fraktur Mandibula

Reduksi kemudian fiksasi pada geligi dengan Wire ataupun Arch Bar

menghasilkan “union” dan “occlusi” yang dicapai dalam ± 5 minggu.

Reduksi kemudian fiksasi dengan mini Plate Screw tidak memerlukan

penguncian geligi sebagaimana pada Wire dan Arch Bar.

b. Fraktur Maxilla

Reduksi dengan pendekatan sulcus ginggivobucalis dan infra cilliar

palpebra inferior; dapat juga difiksasi dengan Wire atau mini Plate

Screw

c. Fraktur rima orbita

Penting dilakukan operasi reposisi dan fiksasi untuk mengembalikan

bentuk orbita dan memulihkan fungsi gerak mata yang terganggu.

d. Fraktur nasal

Sebaiknya direparasi tidak terlalu lama sejak traumanya, mengingat

tulang nasal adalah pipih dan sering patahnya berbentuk impresi,

deviasi, atau remuk. (2,7, 12)

5. PROGNOSIS

Jika terapi dan operasi perbaikan untuk memulihkan bentuk dilakukan

dalam waktu 1 minggu setelah cedera/ trauma maka prognosis dapat baik. Jika

penderita mempunyai penyakit kronik atau osteoporosis maka

penyembuhannya bisa jadi masalah.

Trauma kendaraan sepeda motor atau luka tembak sebagai contoh dapat

menyebabkan trauma berat pada wajah sehingga menbutuhkan bedah multipel

dan membutuhkan perawatan yang lama. Laserasi jaringan lunak karena bekas

luka biasanya dapat diatasi dengan lebih maksimal oleh ahli bedah plastik. (2,

12)

6. PENCEGAHAN

28

Page 29: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

Perlengkapan keselamatan dengan helm (pengaman kepala) yang

melindungi sampai rahang bawah dapat untuk mencegah trauma

maksilofasial. (2,7,9,12)

29

Page 30: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam J Cohen, MD. 2009. Facial Trauma, Orbital Floor Fractures

(Blowout). http://emedicine.medscape.com ( 17 Oktober 2009)

2. Sudjatmiko, G. 2007. Petunjuk Praktis Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi. P 74-

78. Yayasan Khasanah Kebajikan.

3. Daniel Cerbone D.O. 2008. Maxillofacial Trauma. Emergency Department St.

Barnabas Hospital. http:// www.sbhemresidency.com (17 Oktober 2009)

4. Kris S Moe.2009. Facial Trauma, Maxillary Fracture. Division of Facial

Plastic and Reconstructive Surgery University of Washington School of

Medicine. http://emedicine.medscape.com (17 Oktober 2009)

5. Kristin K Egan, MD. 2009. Facial Trauma, Nasoethomid Fracture.

Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of

California San Francisco. http://emedicine.medscape.com (17 Oktober 2009)

6. Thomas Widell, MD. 2009. Facial Trauma, Frontal Fracture. Department of

Emergency Medicine, Rosalind Franklin School of Medicine

http://emedicine.medscape.com (17 Oktober 2009)

7. Greer E, Steven., et all. 2006. Handbook of Plastic Surgery. New York:

Taylor & Francis e-Library

8. Vipul R Dev, MD. 2009. Facial Trauma, Nasal Fracture. California Institute

of Cosmetic&Reconstructive Surgery. http://emedicine.medscape.com (17

Oktober 2009)

9. Prasetiyono A. 2005. Penanganan fraktur arkus dan kompleks zigomatikus.

Indonesian journal of oral and maxillofacial surgeons. Feb 2005 no 1 tahun

IX hal 41-50.

10. Bailey JS, Goldwasser MS. 2004. Management of Zygomatic Complex

Fractures. Dalam : Miloro M et al. Peterson’s principles of Oral and

Maxillofacial Surgery 2nd. Hamilton, London : BC Decker Inc.

11. Sofii I, Dachlan I. Correlation between midfacial fractures and intracranial

lesion in mild and moderate head injury patients. http://bedahugm.com (17

Oktober 2009).

30

Page 31: Refrat Trauma Maxilo Kelompok

12. Dwidarto D. Affandi M. Pengelolaan deformitas dentofasial pasca fraktur

panfascial. http://www.pdgionline.com (17 Oktober 2009).

13. Tucker MR, Ochs MW. Management of facial fractures. Dalam : Peterson lj

et al. contemporary oral and maxillofacial surgery. St louis: mosby co. 2003

14. Ellis E. fractures of the zygomatic complex and arch. Dalam : fonseca rj et al.

oral and maxillofacial trauma. St. louis : Elsevier. 2005

31