Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
i
REKONSTRUKSI IDENTITAS DIRI DAN
MASYARAKAT
Studi tentang anggota Majelis Tafsir Alquran (MTA)
di Blora Jawa Tengah
TESIS
Diajukan kepada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta untuk memperoleh gelar
Magister Humaniora (M.Hum.)
Oleh:
SAEFUDIN AMSA
106 322 003
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
KATA PENGANTAR
Tema agama dan pengalaman manusia menjadi hal yang menarik bagi saya.
Dalam sejarahnya, agama -baik sebagai institusi atau pengalaman spiritual- banyak
bersinggungan dengan berbagai dimensi dalam kehidupan manusia, antara lain
politik, kekuasaan, ekonomi, seni dan sebagainya. Selama itu pula persinggungan
tersebut menjadi bagian dari proses pembentukan identitas diri manusia.
Dalam beberapa dekade terakhir terjadi perubahan sosial yang berlangsung
begitu cepat. Kehidupan masyarakat global masuk dalam kondisi-kondisi modern dan
menjangkau ke seluruh belahan bumi. Globalisasi –suatu fenomena perubahan yang
terjadi secara cepat dan merupakan ciri dari modernitas- mempengaruhi tatanan
masyarakat serta diri manusia di dalamnya. Agama kemudian menjadi semacam
tempat pelarian, terbukti dari maraknya gerakan atau kelompok keagamaan dengan
berbagai varian, namun memiliki ciri dan agenda yang sama yakni memperbaiki diri
dan masyarakat sebagai respon atas berbagai persoalan sosial yang diakibatkan oleh
globalisasi dan kehidupan modern. Itulah yang menjadi salah satu dasar dari
pembuatan tesis ini yakni keberadaan Majelis Tafsir Al Quran (MTA) sebagai
organisasi Islam puritan dengan struktur organisasi yang kuat mampu berkembang
pesat dan menjangkau masyarakat, terutama di pedesaan.
Sebagai sebuah karya untuk mendapatkan gelar Magister, saya merasa bahwa
tesis ini masih jauh dari target dan harapan. Banyak hal yang tidak maksimal karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
berbagai kendala selama proses penelitian atau di tengah proses penulisan. Meski
demikian saya mengapresiasi tesis ini sebagai proses akademis yang akan terus
diperbaiki di masa mendatang. Tesis ini juga merupakan hasil dari kerja keras dan
dukungan berbagai pihak dan kepada mereka semua saya ingin mengucapkan
terimakasih dan mempersembahkan karya ini.
Penghargaan dan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan
kepada seluruh dosen dan karyawan Universitas Sanata Dharma khususnya program
Magister Ilmu Religi dan Budaya (IRB). Secara khusus ucapan terimakasih dan
penghargaan saya sampaikan kepada dosen sekaligus pembimbing tesis yakni Dr. St.
Sunardi. Adalah suatu kebanggaan dan keuntungan tersendiri bagi penulis selama
proses penulisan tesis ini karena mendapat bimbingan dari seorang intelektual
terkemuka dengan reputasi dan keluasan ilmu di bidang humaniora. Terimakasih yang
tulus juga untuk Dr. B Hari Juliawan SJ yang sempat memberi bimbingan di awal
penulisan, juga kepada Dr. FX Baskara T Wardaya SJ, Dr. G Budi Subanar SJ, Dr. A
Budi Susanto SJ, Dr. Haryatmoko SJ, Dr. Hari Susanto SJ, Prof. Dr. A Supratiknya
Dr. Katrin Bandel, Dr. George J Aditjondro, dan seluruh dosen pengampu di IRB.
Terimakasih yang sebesar-besarnya untuk mbak Desi di sekretariat IRB yang terus
mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan tesis dan memberi dukungan sampai
di menit terakhir sebelum ujian.
Tesis ini adalah karya berharga yang bisa saya persembahkan untuk keluarga.
Sembah bakti dan doa penulis kepada almarhum ayahanda KH AF Marzuqi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
telah mengajarkan dengan caranya sendiri bahwa ilmu pengetahuan adalah
kenikmatan paling lezat di muka bumi ini. Terimakasih dan doa kebaikan untuk
ibunda Hj. ibunda Siti Zaenab yang senantiasa tekun mendaraskan restunya atas
pilihan-pilihan yang saya ambil dalam kehidupan ini. Semoga Allah Swt
melimpahkan kebahagiaan dan ketentraman serta melindungi beliau dari segala mara
bahaya. Terimakasih juga untuk saudara-saudaraku terkasih dan seluruh keponakan
serta kerabat keluarga besar KH AF. Marzuqi untuk doa dan dukungannya.
Lebih khusus lagi, tesis ini saya persembahkan untuk kekasih Ida Fitri
Dianingrum untuk pertemanannya di hari-hari yang panjang selama ini. Juga untuk
kesabaran dan permaklumannya ketika kuliah dan tesis ini mengorbankan banyak
kesempatan dan waktu bersama. Terimakasih untuk bintang kecilku Freya Naury
yang tumbuh besar saat penulis sedang menjalani hari-hari di IRB, juga untuk si kecil
Kafaa Marzuqi yang hadir di tengah proses penulisan tesis ini.
Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada teman-teman seperjuangan
IRB angkatan 2010; mas Windarto yang menjadi satu-satunya hadirin dalam ujian
tesis saya, Zuhdi Sang yang diam-diam saya kagumi, kawan Irfan yang hajinya baru
sekali, Alwi Atma untuk puisi-puisi dahsyatnya, Mas Benny untuk obrolan-obrolan
yang tidak pernah selesai, Gintani dan Lisis yang sering menjadi teman saat terlambat
kuliah, pak Mardison dengan khotbah subversifnya, bang Pongkot yang rajin, bang
Armando yang mengingatkan saya untuk menggambar lagi, juga Nelly dan Nana serta
seluruh teman-teman IRB dari berbagai angkatan lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
Ucapan terimakasih yang tulus juga saya sampaikan kepada seluruh warga dan
perangkat desa Balong, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora Jawa Tengah yang
menjadi lokasi penelitian ini. Secara khusus terimakasih kepada Pak Saji selaku
Kamituwo dusun Bangkerep dan keluarga yang telah memberikan persinggahan yang
nyaman dan ramah, serta kepada warga dusun Bangkerep yang dengan tangan dan
hati terbuka menerima keberadaan penulis selama proses penelitian. Terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada pengurus dan keluarga besar Majelis Tafsir Al Quran
(MTA) di dusun Bangkerep maupun MTA Pusat atas kesediannya berbagi informasi
dan pengalaman yang secara langsung terkait dengan penelitian ini.
Selanjutnya terimakasih kepada keluarga besar Jesuit Refugee Service (JRS)
Indonesia yang selama beberapa tahun memberi banyak inspirasi dan energi luar biasa
untuk menjaga keseimbangan antara berkarya dan belajar menganalisis persoalan
kemanusiaan saat ini. Tesis ini juga saya persembahkan kepada kawan-kawan
seperjuangan di Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) seluruh Indonesia,
semoga tetap menjadi militan sambil bekerja. Tidak lupa ucapan terimakasih kepada
teman-teman dan keluarga besar SOS Children‟s Village Semarang, yang memberi
dukungan di saat-saat akhir tesis ini.
Semarang, 11 September 2014
Saefudin Amsa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari fenomena gairah kebangkitan Islam yang
dialami penduduk di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah yang bergabung ke dalam
organisasi Islam Puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo,
Jawa Tengah. Fokus tesis ini mencoba mendapatkan informasi mengenai faktor yang
membuat seseorang yang semula meyakini kepercayaan dan melaksanakan praktek-
praktek tradisi lokal berubah menjadi seseorang yang sangat religius dan taat dalam
menjalankan ajaran Islam yang murni yang bersumber dari Al Quran dan Hadits.
Selain itu tesis ini juga mengeksplorasi sejauh mana proses perubahan orientasi
beragama tersebut mempengaruhi identitas diri mereka dalam memaknai dunia yang
ada di sekitar mereka.
Kesimpulan dari tesis ini adalah bahwa perubahan sosial yang terjadi dalam skala
global dan berlangsung amat cepat menjadi alasan dibalik perubahan orientasi
beragama warga di pedesaan Blora tersebut. Fenomena globalisasi sebagai gejala
modernitas telah menghilangkan kepercayaan terhadap nilai-nilai tradisional yang
selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau individu dan digantikan dengan cara
lain di mana mereka memperoleh kepastian atau keamanan di tengah berbagai
perubahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, globalisasi juga
berpengaruh terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku
merupakan cara untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
ABSTRACT
This study aims at illustrating the rise of puritan religious movement amongst the
villagers in Blora, Central Java. The research attempts to investigate the supporting
factors of one‟s belief from the local-sincretic religious practice to a pure religious
practice merely based on Quran dan Hadith guidance. Moreover, the research
attempts to explore to what extent the transformation affects their self-identity in
perceiving the surrounding society.
This thesis conclude that the social transformation and the globalization as the main
factors which change the individual‟s and community‟s religious orientation and self-
identity. The researcher‟s argumentation which also being described in hypothesis
that globalization often eliminates people‟s belief on the traditional values and shifts
into the more secure and exact values to live in the global world. In addition,
globalization gives an impact on the self-identity so that tough and firm religious
practices are the preferred way to establish the individual‟s and community‟s identity.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
COVER i
HALAMAN PENGESAHAN ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA iii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI iv
KATA PENGANTAR v
ABSTRAK ix
ABSTRACT x
DAFTAR ISI xi
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan dan Manfaat 8
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 9
1. Modernitas dan Globalisasi 16
2. Kepercayaan, Resiko dan Keamanan Ontologis 20
3. De-tradisionalisasi 22
4. Refleksifitas 24
E. Metodologi Penelitian 27
1. Jenis Penelitian 27
2. Subyek dan Wilayah Penelitian 28
3. Jenis dan Sumber Data 29
4. Metode Pengumpulan Data 30
5. Metode Analisis Data 31
BAB II: MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN
ISLAM DALAM KONTEKS GLOBALISASI
A. Pengantar 33
B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan
Internasional 36
1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global 39
2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia 46
3. MTA sebagai Gerakan Purifikasi Agama di Tingkat Lokal 58
C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA 67
1. Doktrin dan Ideologi Organisasi 67
2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi 70
3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota 72
4. Pola Interaksi dan Solidaritas Antar Angggota 77
5. Jihad Harta dan Jihad Diri 79
D. Kesimpulan 80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
BAB III: DINAMIKA BANGKEREP: ANTARA TRADISI, MODERNITAS
DAN PURITANISME
A. Pengantar 82
B. Agama, Tradisi dan Modernitas di Bangkerep 83
1. Kehidupan Sosial Ekonomi Bangkerep 86
2. Bangkerep dan Tradisi Masyarakat Petani 90
3. Perubahan Sosial di Bangkerep 107
C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep 110
1. Konflik 110
2. Satu Dusun Dua Masjid 116
3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi
Pasca Konflik 119
4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora 122
BAB IV: REKONSTRUKSI IDENTITAS
A. Pendahuluan 132
B. Kondisi-kondisi Modernitas dan Globalisasi serta Pengaruhnya
Terhadap Tatanan Masyarakat Di Bangkerep 134
1. Kapitalisme dan Kebijakan Orde Baru 134
2. Ketika Tradisi Dipertanyakan 137
3. Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA 141
4. Antara Kamituwo dan Ustadz 143
5. Kelahiran Kembali 148
C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis 155
1. Doktrin Kemurnian 159
2. Dukungan Ekonomi dan Jaringan Informasi 161
3. Idiom dan Formasi Sosial 166
D. Rekonstruksi Identitas 170
1. Identitas Diri yang Baru 170
2. Dari Diri ke Masyarakat 174
E. Konsekuensi 177
1. Kedisiplinan 177
2. Keuangan 181
3. Dogmatisme baru 184
BAB V: KESIMPULAN 177
DAFTAR PUSTAKA 184
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh fenomena meningkatnya gairah keagamaan
di kalangan masyarakat di pedesaan untuk mempelajari dan mengamalkan ajaran
Islam secara murni (puritan). Fenomena tersebut bisa dilihat dari pesatnya
perkembangan organisasi dakwah Islam yang memiliki misi utama mengajak umat
Islam untuk meninggalkan praktek-praktek keagamaan yang menyimpang atau
dipengaruhi oleh ajaran di luar Islam dengan mengamalkan ajaran Islam sesuai
dengan dua sumber pedoman resmi yaitu Al Quran dan Hadits sekaligus membangun
masyarakat yang berlandaskan kedua hukum tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Fokus penelitian ini ingin mendalami faktor yang mempengaruhi perubahan orientasi
beragama masyarakat Islam di pedesaan yang sebelumnya masih melestarikan
praktek-praktek agama yang bercampur dengan tradisi lokal kemudian mengalami
konversi dalam waktu yang relatif singkat menjadi umat yang teguh mempelajari dan
mengamalkan Islam secara ketat sesuai dengan Al Quran dan Hadits. Selain itu,
penelitian ini juga akan menganalisa pemaknaan identitas mereka sebagai seorang
muslim setelah bergabung dalam organisasi Islam yang bercorak puritan maupun
dalam konteks identitas mereka sebagai bagian dari masyarakat lokal dan global.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Selama ini pemahaman terhadap perilaku keagamaan masyarakat Islam di
Indonesia mengacu pada seberapa jauh hukum dan prinsip keagamaan menjadi
landasan dalam kehidupan mereka sehari-hari serta ketaatan mereka dalam
menjalankan kegiatan ritual agama. Pendekatan tersebut menghasilkan gambaran
kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan Jawa yang kental dengan budaya
sinkretis, yakni perpaduan antara Islam dengan budaya lokal yang datang dari masa
pra-Islam seperti selametan, sedekah bumi, ruwatan, upacara memperingati hari
kelahiran dan kematian dan berbagai praktek lainnya. Pandangan ini terutama
diwakili oleh Clifford Geertz (1981) dengan konsep trikotomi Abangan, Santri, dan
Priyayi yang menjelaskan bahwa Abangan adalah agama yang dianut oleh sebagian
besar masyarakat Jawa, yakni mereka yang menganut Islam hanya kulit luarnya saja
tetapi dalam keyakinan dan tindakannya dipengaruhi oleh budaya Hindu, Budha dan
Animisme. Abangan mewakili karakter masyarakat Jawa yang beragama Islam tetapi
tidak terlalu taat dalam mempraktekkan ajaran Islam dan sebaliknya masih teguh
memelihara dan menjalankan tradisi-tradisi lokal yang diwarnai oleh pra-Islam seperti
Hindu, Budha dan animisme, dalam hal ini adalah para petani di pedesaan. Sementara
Santri adalah mereka yang berkomitmen menjalankan agama Islam dan diwakili oleh
kalangan pedagang, dan Priyayi merujuk pada kelompok birokrat yang secara
perilaku dekat dengan budaya Abangan. Oleh Geertz, Islam dan tradisi lokal
cenderung diposisikan sebagai entitas yang berlawanan dan tidak mungkin
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
bersenyawa dan pada akhirnya akan melahirkan pemahaman tentang Islam yang
mengalami penyimpangan dari keasliannya.1
Meski konsep trikotomi Geertz tidak relevan dengan perubahan situasi sosial
politik maupun pengaruh modernisasi yang mencairkan pembedaan-pembedaan di
masyarakat, realitas di lapangan menunjukkan sebagian besar masyarakat pedesaan di
Jawa masih kurang dalam pemahaman maupun mempraktekkan ajaran Islam dan pada
saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan lokal. Pada saat yang sama
reaksi muncul dari gerakan keagamaan yang berupaya melakukan pemurnian Islam
(puritanisme) dan menganggap pemahaman dan praktek sinkretisme sebagai unsur
penyimpangan (bid‟ah), syirik dan takhayul.
Meningkatnya faham keagamaan yang puritan di kalangan masyarakat
pedesaan di Jawa belakangan ini merupakan hal menarik mengingat berbagai kajian
utama menyatakan bahwa gerakan pemurnian agama dari berbagai unsur atau elemen
lokal hanya berkembang di daerah perkotaan atau urban. Ernest Gellner mengatakan
bahwa kota menyediakan basis yang tepat bagi gerakan keagamaan puritan karena
kekakuan (skriptualisme) dalam faham keagamaan membutuhkan kemampuan melek
1 Sementara pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Mark R Woodward (1989) yang
mengemukakan bahwa antara Islam dan budaya lokal terjadi proses akulturasi yakni hubungan yang
saling melengkapi atau saling memberi dan menerima.1 Sementara Niels Mulder (1997) menyatakan
bahwa agama di Asia Tenggara adalah agama yang telah mengalami proses lokalisasi, yakni bahwa
agama asing yang datang dan menyerap tradisi lokal yang sudah ada, termasuk Islam di Indonesia
khususnya Jawa sehingga bisa dikatakan bahwa Islam Jawa hakekatnya adalah Islam yang menyerap
tradisi lokal. Andrew Beatty (1999) dalam penelitiannya di Banyuwangi menjelaskan adanya titik temu
antar masyarakat dengan latar belakang golongan sosio-kultural dan ideologi yang berbeda dalam satu
tradisi berupa slametan.1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
huruf.2 Purifikasi merupakan proses rasionalisasi dalam kehidupan para pelakunya,
dan terutama terkait dengan agama dan tradisi (Peacock, 1978); gerakan pemurnian
agama akan mudah beradaptasi dengan masyarakat urban yang menganut pola
hubungan transaksional, birokratis dan rasional (Federspiel, 2001); kota menyediakan
basis yang kuat bagi organisasi keagamaan puritan karena tingkat pendidikan
masyarakatnya yang tinggi (Tamney, 1980).
Secara umum, fenomena meningkatnya gairah keagamaan puritan di pedesaan
tersebut bisa dianalisa melalui tiga kerangka. Pertama, religiusitas yang meningkat
merupakan kelanjutan dari fenomena kebangkitan Islam di Indonesia yang dimulai
pada tahun 1970-an dan kembali menemukan momentum pasca tumbangnya
pemerintah Orde Baru tahun 1998 yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan
atau organisasi Islam. Kedua, perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam waktu
yang relatif cepat (globalisasi) berdampak pada tradisi dan identitas diri individu,
termasuk mereka yang tinggal di wilayah pedesaan. Individu yang berada dalam
pusaran globalisasi mengalami kegamangan, kecemasan dan ketidakamanan yang
membuat mereka mencari cara untuk mengatasi situasi tersebut, yang dalam hal ini
adalah prinsip-prinsip keagamaan yang ketat dan murni yang ditawarkan oleh
organisasi Islam puritan. Ketiga, strategi yang digunakan organisasi Islam puritan
dalam menjalankan dakwahnya mampu menjawab kebutuhan utama masyarakat.
2 Ernest Gellner, Muslim Society, Cambridge: 1981, Cambridge University Press, hal 147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Kecenderungan meningkatnya faham keagamaan puritan di kalangan
masyarakat pedesaan itu juga yang dialami masyarakat di Blora, Jawa Tengah. Dalam
beberapa tahun terakhir, banyak masyarakat di pedesaan Blora yang bergabung dalam
Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi dakwah yang berpusat di
Surakarta. Fenomena ini menjadi menarik mengingat masyarakat Blora selama ini
dikenal memiliki karakter abangan sinkretis, yang ditandai dengan masih banyaknya
berbagai praktek-praktek seperti sedekah bumi, kesenian Barongan, selamatan desa
atau upacara-upacara siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan, kematian). Sementara
Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang bertujuan mengajak
masyarakat untuk menuju pada kemurnian agama Islam dengan mempelajari Al
Quran dan menggunakannya sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kesehariannya, anggota organisasi MTA menunjukkan pemahaman dan
praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan tempat
mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual yang
menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang Muslim sejati.
Perubahan orientasi keagamaan tersebut tentu saja mendapat reaksi dari warga lainnya
yang tidak bergabung dengan MTA atau warga yang masih menjalankan berbagai
ritual yang bersumber dari tradisi para leluhur mereka. Pada rentang waktu tahun
2000-2003, terjadi konflik horizontal antara warga yang bergabung dengan MTA dan
warga non-MTA di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan Kunduran,
Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Konflik terjadi karena warga dusun tidak senang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
dengan sikap warga anggota MTA yang menolak mengikuti berbagai upacara sedekah
bumi sehabis panen dengan alasan tidak sesuai dengan akidah juga syariat Islam.3
Selain penolakan terhadap penyimpangan dalam ibadah, warga MTA juga
menunjukkan perilaku keseharian dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai
dengan tuntunan Al Quran dan Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan
perempuan, pendidikan keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi
mereka, Islam adalah agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang
lengkap yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dan hanya dengan
berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber
hukum Islam tersebut secara sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau
keyakinan lainnya mereka telah menemukan identitas mereka sebagai seorang muslim
sejati.
B. Rumusan Masalah
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi
perubahan orientasi beragama masyarakat di pedesaan di Blora dari masyarakat
3 Konflik di dusun Bangkerep ini mendapat banyak perhatian dari berbagai media massa di tanah air.
Selain itu, kasus yang sama juga terjadi di berbagai wilayah lainnya di Jawa. Di Magetan, konflik
terjadi ketika sebagian besar warga desa Ringinagung membubarkan pengajian MTA yang digelar di
rumah salah seorang warga setempat. Seorang tokoh lokal, Wasis, mengatakan bahwa warga resah
sejak adanya pengajian MTA dan tidak bisa menerima ajaran yang yang melarang acara tahlilan,
selametan orang meninggal dan ritual pemakaman lainnya yang sudah menjadi tradisi (Jawa Pos Radar
Madiun, 24 Maret 2008). Konflik antara warga MTA dan non-MTA juga terjadi di Purworejo yang
memicu polemic antara Ketua Umum PBNU Said Agil Siradj yang menulis artikel yang berjudul
Menyikapi Kegarangan Puritanisme,yang berisi keprihatinan atau “protes” atas tindakan beberapa
orang anggota organisasi MTA yang dianggap melakukan provokasi di sebuah desa di Purworejo, Jawa
Tengah dengan menghalang-halangi warga setempat yang hendak pergi melakukan acara tahlilan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Abangan yakni masyarakat pedesaan yang kurang dalam pemahaman Islam serta
masih kental dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang puritan
dalam pengamalan dan praktek keagamaan.
Tujuan dari penelitian tersebut akan dicapai melalui rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Sejauh mana dinamika sosial politik ekonomi berpengaruh terhadap
kehidupan sosial budaya dan keagamaan masyarakat dusun Bangkerep
yang berkarakter tradisional dan masih mempraktekkan praktek-praktek
keagamaan yang bercampur dengan tradisi lokal ?
2. Apa saja faktor-faktor yang berkaitan dengan modernitas dan globalisasi
yang membuat sebagian warga dusun Bangkerep bergabung dengan
organisasi MTA dan dalam praktek kesehariannya meninggalkan praktek
keagamaan dan kebiasaan lokal yang tidak bersumber dari Al Quran dan
Hadits yang sebelumnya mereka lakukan?
3. Bagaimana warga dusun Bangkerep yang bergabung dalam organisasi
MTA memaknai perubahan orientasi beragama mereka serta apa
konsekuensi-konsekensi yang timbul –baik sebagai individu maupun sosial-
dalam konteks keyakinan dan praktek beragama mereka yang mereka
anggap murni (sesuai dengan tuntunan Al Quran dan Hadits)?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
C. Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian:
1. Mengetahui sejauh mana fenomena globalisasi di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya berpengaruh terhadap latar belakang perubahan orientasi
keagamaan masyarakat Dusun Bangkerep dari masyarakat yang
sebelumnya masih teguh menjaga tradisi lokal Abangan ke Islam puritan
2. Mengetahui makna perubahan dan konsekuensi individu maupun sosial dari
perubahan orientasi keagamaan masyarakat dusun Bangkerep dalam
konteks identitas baru mereka sebagai umat Islam yang mengamalkan
keyakinan mereka secara murni yang bersumber dari sumber utama Islam,
yaitu Al Quran dan Hadits.
Manfaat Penelitian :
1. Memberi gambaran dan pemahaman tentang pola perubahan orientasi
keagamaan dalam suatu komunitas (dalam relasi mereka dengan dunia.
2. Memberi gambaran sejauh mana globalisasi berdampak pada upaya suatu
komunitas dalam memelihara, mempertahankan atau bahkan meninggalkan
tradisi yang ada di komunitas mereka.
3. Memberi sumbangan pada kajian akademik yang berhubungan dengan
agama, masyarakat dan perubahan-perubahan di tingkatan global.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
D. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori
Wacana kembali ke Al Quran dan Hadits secara murni serta penerapan nilai-
nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan menjadi tema pokok dalam gerakan
Islam di Indonesia maupun global. Dalam berbagai literatur, fenomena tersebut
ditandai dengan munculnya berbagai kelompok yang mengusung tema Islam dengan
bermacam sebutan seperti puritanisme (Robert D Lee, 1997; Khaled Abou El Fadl,
2005), revivalisme (John Esposito, 1992; RH Dekmejian, 1988), fundamentalisme
(Oliver Roy, 1994), Islam politik (Graham R Fuller, 2003) dan sebagainya.
Ide pemurnian Islam yang mendasari fenomena kebangkitan Islam dalam
skala global merujuk pada munculnya gerakan kaum Wahhabi di Arab Saudi yang
terinspirasi dari pemikiran Muhammad ibn Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M).
Gerakan ini sangat gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang
mereka anggap bid‟ah (menyimpang) serta berbagai perilaku umat Islam yang tidak
mencerminkan nilai Islami. Gerakan ini kemudian mendasari munculnya gerakan
reformisme oleh Jamaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905)
dan muridnya Rashid Rida (1865-1935) yang mendukung pemikiran modernisme
dalam Islam. Pada periode berikutnya, pada rentang waktu 1970 sampai 1980, terjadi
fenomena kebangkitan Islam yang berorientasi politik yang dipelopori oleh Hasan Al
Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir (1906-1948) ) atau Abu A‟la Al
Mawdudi (1903-1978) yang mendirikan Jama'at-i Islami di Pakistan. Gerakan ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
terutama menginginkan penerapan Islam dalam seluruh aspek kehidupan, terutama di
bidang politik.
Melalui beberapa tahapan dan diwakili oleh munculnya berbagai gerakan atau
kelompok, fenomena kebangkitan Islam global memiliki benang merah yaitu ketika
dihadapkan pada perubahan sosial yang terjadi di masyarakat global. Menurut Ira M
Lapidus, gerakan Islam kontemporer merupakan respon sekaligus reaksi terhadap
kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara atau perkembangan
ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- di mana penekanan pada nilai-nilai
keislaman bukanlah cara untuk kembali ke masa lalu tetapi sebaliknya usaha untuk
mengatasi persoalan sosial kontemporer dengan cara peneguhan kembali pada nilai-
nilai prinsip dalam Islam (Lapidus: 1997). Sementara Robert D. Lee melihat bahwa
gerakan purifikasi muncul bukan semata karena aspek doktrinal Islam tetapi
dipengaruhi oleh faktor sosio-politik umat Islam di mana kebutuhan penemuan
kembali Islam di negara-negara ketiga merupakan jawaban atas kegagalan
developmentalisme, liberalisme dan modernism, di mana kalangan yang menolak
ketiga isme tersebut berusaha untuk melawan dengan berpegang pada konsep
keotentikan atau kemurnian (Lee, 1997:2-3).
Dalam konteks Indonesia, puritanisme terkait erat dengan tarik-menarik antara
upaya untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam dengan pihak yang bersikap
akomodatif terhadap budaya lokal. Sebagai wilayah dengan keragaman dan kekayaan
budaya, maka Islam dianut oleh masyarakat Indonesia dengan beragam ekspresi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
terutama pemahaman dan praktek Islam yang akomodatif terhadap budaya lokal.
Gerakan puritanisme muncul sebagai reaksi terhadap situasi tersebut, yang dimulai
ketika sejumlah orang Indonesia menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan memiliki
akses terhadap ajaran Islam yang dianggap asli. Kaum puritan ini berupaya untuk
mengajak umat Islam kembali ke sumber dasar utama Islam yakni Al Quran dan
Hadits dan meninggalkan berbagai praktek yang tidak Islami seperti bid‟ah (inovasi),
khurafat (mistisisme) dan takhayul. Dalam perkembangannya gerakan puritanisme
tidak hanya upaya pemurnian Islam dengan dari budaya lokal, tetapi berkembang ke
arah proses revitalisasi Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk politik
praktis.
Kajian tentang gerakan puritanisme yang cukup komprehensif di Indonesia
dijelaskan oleh Yon Machmudi yang menjelaskan gerakan puritanisme di Indonesia
muncul dalam beragam model, yakni revivalisme, modernisme dan konservatisme.
Gerakan revivalisme berupaya melakukan purifikasi tanpa kompromi dalam
menjalankan praktek Islam yang sesuai dengan sumber hukum Islam Al Quran dan
Hadits. Gerakan ini diwakili oleh Gerakan Padri di Sumatera Barat yang dengan keras
menentang adat yang bertentangan dengan Islam termasuk dengan menghukum
siapapun yang menolak menjalankan aturan atau syariat Islam. Pada masa berikutnya
yakni tahun 1923 di Bandung berdiri organisasi Persatuan Islam (Persis) yang
mendeklarasikan sebagai agen pemurnian Islam melalui dakwah dan pendidikan.
Sebagai organisasi kader, Persis berupaya membangun komunitas Islam yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
berkomitmen menjalankan Islam secara murni tanpa terkontaminasi elemen di luar
Islam. Sementara kelompok modernis melakukan upaya purifikasi dengan mengajak
umat Islam meninggalkan praktek-praktek non-Islami yang tidak rasional dan
menggunakan Al Quran dan Hadits sebagai dasar untuk menjalani kehidupan di dunia
modern. Di Indonesia kelompok ini direpresentasikan oleh Muhammadiyah yang
berdiri pada tahun 1912 di Yogyakarta. Dengan kata lain penerimaan terhadap
kehidupan modern mensyaratkan ijtihad, yakni penggunaan akal dalam melakukan
tafsir terhadap kedua sumber hukum tersebut. Dalam prakteknya, Muhammadiyah
banyak bergerak di bidang pendidikan dan layanan sosial. Kelompok konservatif
adalah mereka yang berasal dari gerakan revivalis yang bertujuan mempraktekkan
Islam secara ketat sesuai dengan model kehidupan Nabi Muhammad dan sahabatnya.
Mereka juga disebut kelompok Salafi. Mereka menciptakan kantong-kantong
komunitas (enklaf) yang ekslusif untuk hidup sesuai dengan apa yang dicontohkan
Nabi dan sahabatnya, termasuk dalam hal berpakaian, berkeluarga, makan dan
minum. Dalam perkembangannya kemudian muncul kelompok Jamaah Tarbiyah yang
berupaya mempromosikan ajaran Islam dalam berbagai aspek dan mewujudkannya
melalui politik praktis. Jamaah Tarbiyah ini merupakan embrio dari Partai Keadilan
(PK) yang sekarang menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).4
Fokus tesis ini adalah perubahan sosial atau globalisasi sebagai faktor yang
mengubah orientasi beragama dan identitas suatu komunitas atau individu. Hipotesis
4 Yon Machmudi, Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The Prosperous Justice
Party., edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-in-southeast-asia/islam_indo_citation/ ,
ANU Press: 2008, hal 53-63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
yang penulis kemukakan adalah bahwa globalisasi menghilangkan kepercayaan
terhadap nilai-nilai tradisional yang selama ini dipegang oleh suatu komunitas atau
individu dan digantikan dengan cara lain di mana mereka memperoleh kepastian atau
keamanan di tengah kehidupan global. Di sisi lain, globalisasi juga berpengaruh
terhadap identitas sehingga cara beragama yang lebih ketat dan kaku merupakan cara
untuk meneguhkan identitas individu atau kelompok tersebut.
Ada beberapa teori yang membahas globalisasi dan identitas, makna dan
dampaknya terhadap masyarakat. Roland Robertson (1992) mengatakan globalisasi
adalah "the compression of the world and the intensification of consciousness of the
world as a whole".5 Globalisasi membuat dunia menjadi tempat yang tunggal dan
menghilangkan otonomi aktor dan segala sesuatu yang berada dalam pusaran
globalisasi dibatasi untuk memposisikan diri dan mendefinisikan identitasnya.6 Oliver
Ray (2007) mengatakan bahwa globalisasi menciptakan dunia yang lebih kompleks
dan cair di mana hidup di era globalisasi menciptakan suatu identitas campuran. John
Tomlinson (1999) menjelaskan bagaimana : “… the globalization of mundane
experience may make a stable sense of “local” cultural identity (including national
identity) increasingly difficult to maintain, as our daily lives become more and more
interwoven with, and penetrated by, influences and experiences that have their origins
far away. 7 Globalisasi juga mengubah koneksi antara identitas dengan tempat
geografis yang sebelumnya saling berkaitan dan mengubah hal tersebut lewat
5 Roland Robertson, Globalization: Social Theory and Global Culture, London: 1992, Sage, hal. 8
6 Roberston, ibid, 29
7 John Tomlison, Localization and Culture, Cambridge: 1999, Polity Press, hal. 113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
penyebaran kebudayaan yang berbeda-beda, mobilisasi orang dari satu tempat ke
tempat lain, serta mekanisme pasar yang memudarkan kebudayaan lokal dan
kemudian mengubah identitas individu. Namun alih-alih menghancurkan, globalisasi
adalah kekuatan penting dalam menumbuhkan identitas kultural.8 Manuel Castells
(1997) mengatakan bahwa kehidupan saat ini dibentuk oleh kecenderungan konflik
antara globalisasi dan identitas.9 Globalisasi menciptakan apa yang disebut „the
widespread surge of powerful expressions of collective identity that challenge
globalization.”10
Identitas menurut Castells adalah sumber makna dan pengalaman.11
Untuk menjelaskan faktor penyebab meningkatnya gairah keagamaan
masyarakat bercorak Abangan di pedesaan menjadi Islam puritan dan pemaknaan
identitas mereka, penelitian ini didasarkan pada pemikiran Anthony Giddens tentang
masyarakat post-tradisional sebagai konsekuensi dari modernitas dan globalisasi yang
mempengaruhi masyarakat dan tradisi yang mereka miliki. Giddens (1991)
mendefinisikan globalisasi sebagai „the intensification of worldwide social relations
which link distant localities in such a way that local happenings are shaped by events
occurring many miles away and vice versa‟. Konsep Giddens mengenai time-space
distanciation menjelaskan bahwa interaksi dan relasi sosial di dunia pada hari ini
tidak tergantung pada kehadiran fisik dalam lokasi tertentu, sejak teknologi
memfasilitasi dan membuat relasi serta interaksi di dunia tidak lagi tergantung pada
8 John Tomlison, Globalization and cultural identity, Held D dan Mc Grew, A, “The Global
Transformations Reader”, Oxford: 2003, Polity Press, hal 269-277. 9 Manuel Castells, The Power of Identity Malden. MA: 1997, Blackwell, hal. 1
10 Castells, ibid, hal 2
11 Castells, ibid, hal 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
kehadiran fisik dalam lokasi tertentu dan membuat hubungan yang semakin erat
antara “…orang lain yang “tidak hadir”, yang secara lokasi berjauhan pada situasi
apappun”12
Dalam Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern
Age (1991), Giddens menjelaskan bahwa modernitas adalah suatu tatanan post-
tradisional di mana pertanyaan “bagaimana seharusnya saya hidup” merupakan
pertanyaan yang harus dijawab dan diputuskan dalam kehidupan sehari-hari tentang
bagaimana berperilaku, pakaian apa yang harus dikenakan, apa yang harus dimakan
dan pertanyaan-pertanyaan lainnya serta bagaimana memaknainya dalam proses
perkembangan identitas diri yang terus berlangsung.13
Masyarakat post-tradisional
adalah masyarakat yang mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional;
“Apa yang harus dilakukan? Bagaimana seharusnya bertindak? Harus menjadi apa?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan hal yang penting bagi setiap orang yang
hidup dalam situasi modern.14
Dengan kata lain, masyarakat post-tradisional adalah masyarakat yang
mengalami “ketidakpastian yang diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas.
Situasi ini merujuk pada ketidakpastian yang dialami manusia dalam kehidupan
sehari-hari sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan serta intervensi
manusia terhadap kehidupan sosial dan alam –terutama melalui kemajuan teknologi
12
Anthony Giddens, The Consequences of Modernity. Cambridge: 1990, Polity Press, hal. 18 13
Anthony Giddens, Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of Modern Age.
Cambridge: 1991, Polity Press, hal. 14 14
Giddens, ibid, 70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
komunikasi- sehingga menciptakan masyarakat kosmopolitan yang terhubung satu
sama lain (globalizing cosmopolitan society) dan pada akhirnya menyebabkan tradisi
yang sebelumnya menjadi pegangan di masyarakat menjadi terbuka untuk
dipertanyakan.15
Lalu ketika globalisasi menghilangkan nilai-nilai tradisional, maka
identitas ”..has to be created and recreated on a more active basis than before”.16
Pada tahap inilah muncul yang disebut oleh Giddens sebagai
fundamentalisme, yakni ketika individu mencari atau menciptakan ulang tradisi lain
sekaligus meneguhkan identitas diri mereka di tengah pusaran globalisasi. Kelompok
fundamentalis menurut Giddens berkeinginan untuk kembali kepada teks-teks suci
dan membacanya secara literal dan berupaya menerapkan doktrin tersebut dalam
kehidupan sosial, politik dan ekonomi.17
Ada beberapa kata kunci dari pemikiran Giddens mengenai masyarakat post-
tradisional yang akan digunakan dalam tesis ini, antara lain; modernitas dan
globalisasi, kepercayaan, resiko dan keamanan ontologis, detradisionalisasi dan
refleksifitas.
1. Modernitas dan Globalisasi
Modernitas menurut Giddens adalah suatu kondisi masyarakat pasca
tradisional yang dicirikan oleh tiga hal, yaitu pemisahan ruang dan waktu;
15
Chantal Mouffe, On The Political, Thinking in Action. Routledge, 2005, hal. 242. 16
Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 28,
diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm. Tulisan ini
merupakan salah satu dari beberapa kuliah Anthony Giddens yang kemudian dibukukan dengan judul
Runaway world: How Globalization Reshaping Our Lives. Di Indonesia diterbitkan dengan judul
Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita, terj. Andry Kristiawan S. dan
Yustina Koen S., Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 17
Giddens, ibid, paragraf 31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
keterlepasan dari institusi sosial yang ditandai dengan adanya pertukaran
simbolik (uang) dan sistem ahli, serta refleksifitas institusi.18
Dalam
masyarakat pramodern, waktu selalu berkaitan dengan ruang dan biasanya
tidak ada ketepatan dalam pengukuran waktu, sementara dalam masyarakat
modern ukuran waktu dibakukan (standardized) dan hubungan antara ruang
dan waktu menjadi terputus.19
Dalam masyarakat pramodern, ruang
ditentukan oleh kehadiran secara fisik, sementara modernitas membuat ruang
dilepaskan dari tempat sehingga memungkinkan orang masih bisa
berhubungan meski berjauhan secara fisik.20
Giddens menyebutkan istilah
phantasmagoric, yaitu “tempat terjadi peristiwa sepenuhnya ditembus dan
ditentukan oleh pengaruh sosial yang jauh jaraknya dari tempat terjadinya
peristiwa itu”.21
Sementara keterlepasan (disembedding) menurut Giddens berarti
“terangkat”nya hubungan sosial dari konteks lokal dan perubahannya yang
melintasi ruang dan waktu yang tak terbatas.22
Keterlepasan ini terjadi
melalui dua mekanisme, yaitu tanda simbolik dan sistem keahlian.23
Contoh
tanda simbolik yang paling terkenal adalah uang yang memungkinkan setiap
orang berhubungan dalam konteks ekonomi meski berjauhan. Sementara
18
Giddens, Modernity and Identity, 20 19
Ritzer, G & Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr. Alimandan. Jakarta:
2004, Kencana, hal. 555 20
Ritzer, Goodman, ibid, 555 21
Ritzer, 555; lihat juga Giddens, Consequences of Modernity, 19 22
Giddens, Consequences of Modernity, 21. 23
Ibid, 22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
sistem keahlian bisa dilihat dari beragamnya profesi seperti pengacara,
dokter, insinyur yang menciptakan mesin dan seterusnya.
Refleksifitas sebagai ciri modernitas bermakna “praktek sosial yang
terus menerus diuji dan diubah berdasarkan informasi yang baru masuk yang
paling praktis dan dengan demikian mengubah ciri modernitas itu”.24
Dengan
kata lain, dunia modern memiliki kecenderungan untuk memahami seluruh
aspek kehidupan yang dipengaruhi oleh pengalaman diri sendiri dan orang
lain yang mempengaruhi sudut pandang dan pemahaman terhadap dunia itu
sendiri. Konsekuensinya, apa saja menjadi terbuka untuk direfleksikan dan
dipertanyakan, sehingga terjadi ketidakpastian dalam kehidupan masyarakat
modern.
Dalam tahap selanjutnya, modernitas kemudian menyebar luas.25
Proses penyebarluasan modernitas itu disebut globalisasi, yaitu intensifikasi
atau penguatan relasi-relasi sosial di seluruh dunia yang menyambungkan
lokalitas-lokalitas melalui suatu cara di mana momen-momen yang terjadi di
wilayah yang berjauhan saling mempengaruhi satu sama lain.26
Globalisasi
adalah suatu proses yang mempengaruhi atau secara dialektis berhubungan
dengan aspek kehidupan sehari-hari dari kehidupan manusia, yang disebut
24
Ibid, 38 25
Ibid, 63 26
Ibid, 64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Giddens sebagai keintiman, yang mempunyai peran penting dalam relasi-
relasi personal yang dipengaruhi oleh situasi-situasi global.27
Selain ekonomi, globalisasi terjadi pada seluruh aspek kehidupan
manusia, baik itu politik, teknologi dan budaya yang tidak terlepas dari
perkembangan teknologi komunikasi yang dimulai sejak akhir abad 1960.28
Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tidak hanya mempermudah
hubungan masyarakat, tetapi juga mengubah keseluruhan kehidupan
masyarakat global sampai pada lingkupnya yang paling kecil, yaitu individu.
Menurut Giddens, globalisasi bukanlah fenomena “diluar sana”, jauh
dan terpencil dari individu, melainkan fenomena “di sini” yang
mempengaruhi kedekatan dan aspek personal dalam kehidupan manusia.29
Sebagai contoh, globalisasi mempengaruhi tatanan keluarga tradisional yang
bertransformasi, seperti misalnya perubahan peran perempuan dalam keluarga
menjadi lebih setara sebagai suatu fenomena yang sangat luar biasa dan
revolusioner dalam sejarah masyarakat.30
Dalam aspek budaya, globalisasi
telah menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan sirkulasi barang-barang dan
konsumsi di seluruh dunia. Fenomena tersebut menurut Giddens bisa dilihat
27
Anthony Giddens, Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash, ed. “Reflexive
Modernization” Cambridge: Polity, 1994, hal. 95 28
Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture, paragraph 12,
diambil dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm. 29
Ibid, paragraph 17 30
Ibid, paragraph 17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
dari adanya kesamaan minat orang-orang dalam bidang musik, makanan,
fashion, olahraga dan sebagainya.31
2. Kepercayaan (trust), Resiko (risk) dan Keamanan Ontologis (ontological
security).
Kepercayaan merupakan hal penting bagi kehidupan masyarakat
modern. Giddens mendefinisikan kepercayaan sebagai “...kepercayaan
terhadap keandalan (realiability) seseorang atau sistem yang berhubungan
dengan sekumpulan kejadian atau hasil tertentu dan kepercayaan itu
menyatakan keyakinan terhadap kejujuran atas kecintaan orang lain atau
terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan teknis)”.32
Dalam
hal ini, kepercayaan terjadi melalui adanya pemisahan ruang dan waktu serta
sistem abstrak (pertukaran simbolik dan keahlian) sebagai ciri modernitas
yang dijelaskan sebelumnya. Sebagai contoh adalah penggunaan uang sebagai
alat tukar yang membutuhkan kepercayaan dari orang-orang yang
menggunakannya.
Pada sisi lain, kepercayaan masyarakat modern juga dibayang-bayangi
oleh resiko. Globalisasi sebagai perluasan modernitas memunculkan
kesadaran terhadap resiko. Menurut Giddens, modernitas adalah kultur yang
beresiko, di mana modernitas pada satu sisi mengurangi resiko pada bidang
31
Anthony Giddens, Sociology, Fifth Edition. Cambridge: 2005, Polity Press, hal. 63 dan 130 32
Giddens, The Consequences of Modernity, hal 34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
dan gaya hidup tertentu tetapi pada saat yang sama memperkenalkan
parameter resiko baru yang sebagian besar tidak pernah dikenal pada era
sebelumnya.33
Resiko menurut Giddens pada bahaya yang secara aktif
diperkirakan berkaitan dengan kemungkinan yang akan terjadi, hanya ada
dalam masyarakat yang berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan
sebagai wilayah yang harus ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif
berusaha melepaskan dirinya dari masa lalu.34
Konsep resiko menurut
Giddens merupakan pengganti dari berbagai konsep tentang nasib,
keberuntungan atau takdir pada masyarakat tradisional. Ada dua jenis resiko
menurut Giddens, yaitu resiko eksternal yang berasal dari alam, sementara
resiko yang diciptakan mengacu pada dampak yang ditimbulkan oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan campur tangan manusia dalam
kehidupan.35
Kepercayaan yang dibangun masyarakat modern dibutuhkan untuk
meminimalisir resiko yang mungkin timbul dan selanjutnya menciptakan apa
yang disebut Giddens sebagai Keamanan Ontologis (Ontological Security).
Menurut Giddens, keamanan ontologis adalah suatu „keyakinan yang dimiliki
manusia terhadap kontinuitas identitas diri dan stabilnya lingkungan material
33
Giddens, Modernity and Self-Identity, 3-4 34
Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph 7, diambil dari
http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm 35
Ibid, paragraph 14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
dan sosial yang melingkupi tindakan manusia.36
Menurut Giddens,
pencapaian terhadap kepercayaan dibutuhkan seseorang untuk memelihara
kesejahteraan psikologis dan menghindari kecemasan eksistensial.37
3. Detradisionalisasi.
Dunia saat ini semakin tanpa batas sebagai akibat dari kecanggihan
teknologi informasi dan komunikasi, sehingga masyarakat mendapatkan
banyak informasi. Akibatnya, tradisi yang semula bagi masyarakat menjadi
kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap kehidupan menjadi tersisih. Giddens
menyebutnya sebagai proses detradisionalisasi. Detradisionalisasi bukan
berarti hilangnya tradisi, tetapi tradisi masih tetap ada bahkan hidup dan
berkembang dalam konteks yang berbeda.38
Tegasnya, tradisi bukan lagi satu-
satunya dasar pembuatan keputusan. Tradisi mendapatkan-istilah Giddens-
status baru. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak
memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan lain dari
sumber lain.39
Tradisi sendiri menurut Giddens berkaitan dengan ingatan –mengutip
Maurice Halbwachs ingatan kolektif. Tradisi melibatkan ritual dan berkaitan
dengan gagasan formulaik tentang kebenaran, memiliki para penjaga dan
36
Giddens Consequence hal 92 37
Giddens, Modernity and Self Identity, hal 38-39 38
Ibid, hal 100 39
I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
memiliki daya ikat terhadap kandungan moral dan emosional. 40
Sumbangan
yang khas dari Giddens tentang tradisi adalah berkaitan dengan ruang dan
waktu. Bagi Giddens, tradisi adalah cara mengontrol waktu melalui tindakan,
atau menghadirkan masa lalu di masa sekarang melalui ritual-ritual. Dengan
kata lain, tradisi adalah cara untuk mengorganisir masa lalu, kini dan masa
depan dalam konteks masyarakat tradisional. Sebaliknya, globalisasi adalah
tindakan mengendalikan ruang dengan cara mengendalikan waktu.
Globalisasi dengan demikian meniadakan jarak, atau menurut Giddens adalah
suatu “tindakan di ruang yang berjauhan”.41
Tradisi menurut Giddens juga media identitas.42
Identitas disini terkait
dengan pemaknaan, baik secara personal atau kolektif. Identitas adalah suatu
proses menciptakan keterhubungan antara masa lalu dengan masa depan yang
akan datang. Dalam semua masyarakat, memelihara identitas personal dalam
kaitannya dengan identitas sosial merupakan kebutuhan utama demi menjaga
keamanan. Ancaman kepada integritas tradisi merupakan ancaman kepada
integritas personal tersebut.43
40
Anthony Giddens, Living in a Post-Traditional Society, 63 41
Ibid, 96 42
Ibid, 80 43
Ibid.,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
4. Refleksifitas (reflexifity).
Refleksitas berarti proses diri individu yang melakukan monitoring dan
refleksi atau permenungan terus menerus terhadap berbagai informasi
mengenai berbagai kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupannya.
Menurut Giddens, refleksifitas dalam kehidupan sosial modern, “consists in
the fact that social practices are constantly examined and reformed in the light
of incoming information about those very practices, thus constitutively
altering their character‟ (Anthony Giddens, 1990: 38).
Menurut Giddens, refleksifitas merupakan karakteristik mendasar dari
semua aktifitas manusia. Giddens menyebutkan istilah Tindakan Monitoring
Refleksif (Reflexive Monotoring Action) dalam arti semua manusia selalu
bersentuhan atau berurusan dengan dasar dari setiap tindakannya sebagai
suatu elemen integral dari tindakan tersebut.44
. Monitoring refleksif merujuk
pada kemampuan agen untuk memonitoring tindakan sekaligus konteks dan
latar belakang dari tindakannya tersebut. Monitoring sebagai karakter esensial
dari agen berarti merasionalkan atau mengevaluasi keberhasilan dari setiap
upaya yang dia lakukan. Rasionalisasi dalam hal ini terkait dengan
pengetahuan, merujuk pada kompetensi atau kemampuan agen dalam mencari
alasan dari setiap tindakannya.
44
Giddens, The Consequences of Modernity, hal. 36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Proses permenungan (reflexivity) ini berpengaruh terhadap
pembentukan identitas. Proses konstruksi identitas diri menurut Giddens
merupakan suatu proyek yang mensyaratkan bahwa identitas senantiasa
dibentuk dan berubah. Identitas diri bukanlah hasil dari sistem tindakan
individu, melainkan sesuatu yang harus terus menerus diciptakan dan
dipelihara dalam tindakan permenungan individu. (Giddens, 1991:52)
Identitas diri menurut Giddens juga bukanlah sifat atau karakter, melainkan
pemahaman permenungan yang dimiliki individu mengenai biografinya
sendiri (Giddens 1991: 53). Identitas seseorang juga tidak bisa ditemukan dari
perilaku atau reaksi terhadap keberadaan liyan, melainkan kemampuan untuk
to keep a particular narrative going. (Giddens 1991: 54). Dengan kata lain
Giddens menekankan pada tantangan yang dihadapi individu dalam hal
banyaknya pilihan yang dihadapi yang kemudian berpengaruh terhadap
identitas diri melalui pembentukan narasi tentang dirinya sendiri. Narasi
mengenai identitas ini terutama berupaya menjawab pertanyaan-pertanyaan
kritis apa yang harus dilakukan, bagaimana cara melakukan, dan harus
menjadi siapa. Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut individu berusaha
mengkonstruksi cerita yang saling berkesinambungan di mana „diri
membentuk lintasan perkembangan dari pengalaman masa lalu untuk menuju
masa depan‟(Giddens, 1991:75).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
Di sisi lain, refleksifitas menurut Giddens juga cenderung pada
perasaan lebih ke pertimbangan operasional, bagaimana cara untuk ini dan
itu? Proses ini sangat terkait dengan detradisionalisasi yang dijelaskan
sebelumnya. Ketika tujuan dan makna hidup tidak lagi didapat dari kode
tradisional, maka individu berpaling pada hal yang lebih pasti. Pada tahap
kekosongan ini individu mengkonstruksikan dirinya melalui pilihan-pilihan
tujuan kehidupan yang diciptakan kehidupan modern. Dengan kata lain dalam
kehidupan tradisional berbagai kehidupan seperti pekerjaan menikah
pendidikan anak, hiburan dan lainnya diatur secara rutin tetapi penuh makna
melalui kode moral tradisional, tetapi dalam masyarakat yang mengalami
detradisionalisasi semua mekanisme pengaturan sosial terhadap individu
menjadi lemah, dan orang dipaksa menghadapi situasi yang memaksa mereka
membuat pilihan, untuk memutuskan karir, gaya hidup, cara mendidik anak
dan sebagainya. Lalu “…Ketika tradisi tergeser, dan pilihan gaya hidup
merajalela, identitas-diri diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuknya yang
lebih aktif dari sebelumnya.”45
Penelitian ini akan dikembangkan dalam kerangka teori tersebut di atas, di
mana perubahan orientasi keagamaan masyarakat di dusun Bangkerep yang memiliki
kencenderungan budaya abangan atau muslim nominal beralih menjadi Muslim
45
Anthony Giddens, Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture, paragraph 28, diambil
dari http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
puritan dipahami dalam kerangka sebagai berikut; (1) bahwa perubahan sosial politik
dan ekonomi yang terjadi dalam konteks global dan nasional mempengaruhi tatanan
dan ikatan tradisional di Bangkerep yang selama ini menjadi acuan dalam kehidupan
individu di dalamnya. Proses perubahan sosial tersebut terjadi melalui instrumen-
instrumen yang menjadi ciri dari modernitas dan globalisasi antara lain kebijakan
pembangunan dari negara serta didukung oleh perkembangan teknologi informasi,
komunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya perpindahan ide dan
manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. (2) Perubahan tersebut membuat
sekelompok individu di Bangkerep mengalami kegamangan dan mempertanyakan
berbagai tatanan tradisional yang selama ini mereka yakini untuk selanjutnya
menjadikan tradisi lain –dalam hal ini pemahaman dan praktek keagamaan yang
ketat- sebagai upaya mencari stabilitas dan menemukan identitas baru dalam
kehidupan modern saat ini.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini didesain sebagai jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan
pendekatan etnografi. Penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi menuntut
peneliti untuk melihat segala sesuatu yang terjadi, mendengarkan apa yang orang-
orang katakan dan memberikan pertanyaan kepada mereka.46
Pendekatan ini dipilih
46
Hammersley, M & Atkinson, Etnography, Principles in Practice, 2nd
ed. London: 1995, Routledge,
hal. 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
untuk memahami secara mendalam proses perubahan orientasi keagamaan masyarakat
di pedesaan Blora dari semula kaum Abangan yang kurang memahami ajaran Islam
sekaligus masih teguh dalam memelihara tradisi-tradisi lokal menjadi Muslim yang
puritan dalam memahami teks kitab suci dan cenderung tidak toleran terhadap
perbedaan ajaran yang berbeda dengan mereka.
2. Subyek dan Wilayah Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di dusun Bangkerep, Desa Balong, Kecamatan
Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Subyek penelitian adalah warga yang
bergabung dengan organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA).
Untuk alasan yang nanti akan dikaji, Blora dipilih karena beberapa alasan
sebagai berikut: Pertama, wilayah Kecamatan Kunduran dan Kabupaten Blora pada
umumnya bisa dianggap memiliki karakteristik Abangan, yakni masyarakatnya
beragama Islam tetapi minim dalam pengetahuan tentang agama Islam dan tidak
terlalu kuat dalam menjalankan ibadahnya, sekaligus masih melakukan tradisi-tradisi
yang bersumber dari kepercayaan lokal seperti sedekah bumi, slametan, dan
sebagainya. Secara historis, Blora termasuk Kunduran juga merupakan basis dari
kelompok Nasionalis-Abangan, bahkan wilayah Kunduran menjadi salah satu basis
dari Partai Komunis Indonesia (PKI).47
47
Dalhar Muhammadun dkk, 2004. Tanah berdarah di bumi merdeka : menelusuri luka-luka sejarah
1965-1966 di Blora. Yayasan Advokasi Transformasi Masyarakat (ATMA) Blora, Lembaga Penelitian
dan Aplikasi Wacana (LPAW) Jakarta, Perkumpulan ELSAM
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
Kedua, secara khusus Dusun Bangkerep dipilih sebagai wilayah penelitian
karena di satu sisi masih banyak tradisi-tradisi yang dihidupi masyarakat tetapi di sisi
lain di dusun ini pula pertama kali terdapat sekelompok warga yang mengembangkan
organisasi MTA untuk pertama kalinya di kabupaten Blora. Khususnya di dusun
Bangkerep, Desa Balong, terdapat sekitar 50 KK yang sangat militan dalam
menjalankan keyakinannya dan berakibat pada konflik horizontal dengan warga pada
rentang waktu 2000-2003. Meski hanya sebuah dusun kecil, di Bangkerep terdapat
kantor perwakilan MTA untuk tingkat kabupaten dan menjadi pusat kegiatan MTA di
seluruh kabupaten Blora. Menariknya lagi, sebagai jalan keluar akibat konflik dengan
warga setempat, di dusun Bangkerep ini juga warga MTA akhirnya mendirikan
masjid, dan merupakan satu-satunya masjid yang khusus didirikan oleh warga MTA
di Indonesia karena pada umumnya untuk beribadah mereka membaur dengan warga
non-MTA.
3. Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini akan menggunakan informasi dan data yang diambil dari dua
sumber, yaitu: Pertama, sumber bibliografis dan dokumentasi, yaitu data yang berasal
dari bahan-bahan kepustakaan, baik berupa ensiklopedi, buku-buku, artikel-artikel
karya ilmiah yang dimuat dalam media massa seperti majalah dan surat kabar, serta
jurnal ilmiah maupun laporan-laporan hasil penelitian dan data-data yang diterbitkan
oleh lembaga-lembaga penelitian atau lembaga lainnya yang terkait. Sumber data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
pustaka akan digunakan sebagai titik tolak dalam memahami dan menganalisis
fenomena radikalisme agama. Data bibliografis diposisikan sebagai data sekunder.
Kedua adalah data yang berasal dari field-work; responden, informan,
peristiwa, situasi-kondisi dan fakta yang didapat dari obyek penelitian di lapangan.
Data lapangan ini dikumpulkan dengan beberapa instrumen seperti observasi, dan
wawancara mendalam (indepth interview) dan kuesioner. Data jenis ini akan
diperlakukan sebagai sumber-sumber primer yang mendasari hasil penelitian ini.
Dengan dua macam sumber tersebut, proses dan hasil penelitian ini diharapkan dapat
mengungkap dan menjelaskan alasan perubahan orientasi keagamaan masyarakat di
pedesaan Blora secara lebih obyektif dan komprehensif.
4. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian adalah
sebagai berikut: Pertama, wawancara mendalam. Teknik ini dilakukan terhadap
warga anggota MTA di desa Bangkerep untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan perubahan orientasi beragama dan keikutsertaan mereka dalam
organisasi MTA. Wawancara ini akan dilakukan secara terarah dan intensif. Dalam
hal ini, pokok permasalahan yang ditanyakan berkaitan dengan kehidupan responden,
konsep, persepsi, peranan, kegiatan, dan peristiwa-peristiwa yang dialami berkenaan
dengan fokus yang diteliti. Selain itu, wawancara juga dilakukan dengan warga desa
dusun Bangkerep yang tidak bergabung dengan MTA, tokoh masyarakat, dan pihak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
pemerintah di dusun Bangkerep dan sekitarnya untuk menggali data tambahan yang
berkaitan dengan konteks sejarah, tradisi dan kondisi sosial politik di wilayah
tersebut.
Kedua, observasi. Observasi ini dilakukan untuk mengambil data yang terkait
dengan hal-hal sebagaimana dalam wawancara terhadap warga atau tokoh MTA.
Fokus dari observasi ini adalah mengamati tindakan-tindakan, perilaku sosial,
pandangan hidup, serta interaksi mereka dengan lingkungan sekitar mereka.
Pengamatan diarahkan kepada perhatian pada jenis kegiatan dan peristiwa tertentu
yang memberikan informasi dan pandangan yang terkait dengan tema penelitian.
Ketiga, analisa dokumen/dokumentasi. Analisa ini dilakukan untuk
memperoleh data mengenai gambaran keberadaan subyek yang diteliti, di samping
juga untuk melengkapi data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan dan
wawancara.
5. Metode Analisis Data
Analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif, yaitu
data kualitatif yang diperoleh dari subyek, yaitu warga MTA, menyangkut pandangan
keagamaan dan hal lain yang berkaitan dengan masalah penelitian akan diuji dengan
data-data sekunder. Kesimpulan yang didapat dari analisa data kualitatif ini kemudian
digabungkan dengan data sekunder yang memberi informasi mengenai hubungan
antara perubahan orientasi beragama serta pemaknaannya dengan latar belakang dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
informan untuk selanjutnya digunakan untuk menarik kesimpulan akhir dari
penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
BAB II
MTA DAN FENOMENA GERAKAN KEBANGKITAN ISLAM DALAM
KONTEKS GLOBALISASI
A. Pengantar
Setiap hari Minggu pagi, kawasan di Jalan Ronggowarsito Surakarta ramai
dipadati oleh hampir ribuan orang. Laki-laki dan perempuan dengan mengenakan
busana muslim memenuhi sebuah gedung megah berlantai empat yang terletak tepat
di depan Keraton Mangkunegaran, salah satu simbol kekuasaan dan kebudayaan
Jawa di tanah air, selain keraton Surakarta dan Yogyakarta. Kebanyakan dari mereka
datang dari kota-kota di seluruh Jawa Tengah, bahkan hampir dari seluruh Indonesia
untuk menghadiri pengajian Ahad pagi (disingkat Jihad Pagi) yang digelar oleh
Majelis Tafsir Al Quran (MTA), sebuah organisasi Islam yang berpusat di kota
tersebut.
Sebagai organisasi lokal yang berdiri di Surakarta, MTA mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Jihad Pagi menjadi salah satu kegiatan penting yang
diselenggarakan oleh MTA. Pengajian tersebut berlangsung mulai jam delapan pagi
sampai tengah hari, dipimpin langsung oleh ketua umum MTA, Ahmad Sukina.
Dalam pengajian tersebut, warga –sebutan untuk anggota MTA- menyimak dan
mencatat pelajaran agama yang disampaikan oleh Ahmad Sukina, dilanjutkan dengan
tanya jawab langsung seputar persoalan keagamaan maupun kehidupan sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Setelah pengajian selesai, acara dilanjutkan dengan konsolidasi dan pertemuan
pengurus MTA dari seluruh Indonesia.48
Majelis Tafsir Al Quran (MTA) adalah organisasi yang berdiri pada 19
September 1972.49
Kegiatan sekaligus tujuan dari organisasi adalah mempelajari dan
mengamalkan Al Quran dan Hadits sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.50
Pendiri MTA adalah seorang ulama sekaligus pedagang yakni Abdullah Thufail
Saputra pada 19 September 1972. Pada 15 September 1992, Abdullah Thufail Saputra
meninggal dan digantikan oleh penerusnya, yaitu Ahmad Sukina.51
Pada 23 Januari
1974, MTA menjadi organisasi resmi dan berkembang secara pesat dan memperoleh
banyak pengikut di hampir seluruh wilayah di Indonesia, terutama pasca tumbangnya
rezim Orde Baru tahun 1998.
Perkembangan MTA tidak terlepas dari situasi sosial politik umat Islam di
Indonesia pada akhir 1960 dan awal 1970. Ustad Thufail Saputra melihat bahwa umat
Islam dipinggirkan karena mereka tidak mempraktekkan Al Quran secara
menyeluruh. Selain itu, menurut Thufail, umat Islam di Indonesia telah menyimpang
dari ajaran Islam dengan melakukan berbagai praktek keagamaan yang bercampur
dengan berbagai tradisi lokal. Satu-satunya cara untuk mencapai kemajuan Islam
adalah dengan mempelajari, memahami dan mengamalkan Al Quran dan Hadits
secara murni dalam seluruh bidang kehidupan.
48
Catatan lapangan, tanggal 9 September 2012 49
www.mta-online.com 50
www.mta-online.com 51
www.mta-online.com
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Sebagai organisasi dakwah, MTA meneguhkan juga memiliki berbagai sarana
untuk memperluas misinya, antara lain melalui lembaga pendidikan baik formal
maupun informal mulai dari pendidikan dasar sampai menengah. Tidak hanya itu,
MTA juga meneguhkan posisinya sebagai organisasi dakwah modern dengan
memiliki stasiun radio sendiri –yang terbukti efektif dalam menyampaikan dakwah
dan menarik pengikut- menerbitkan majalah, buku dan buletin dan sedang
menyiapkan stasiun televisi mereka sendiri.
Hal yang menarik adalah bahwa selain sebagai organisasi dakwah dengan misi
purifikasi, MTA yang berkembang pesat di hampir seluruh Indonesia juga
berkembang menjadi semacam –meminjam istilah Ben Anderson- “komunitas
terbayang” di mana masing-masing warga anggota disatukan oleh beberapa hal.
Pertama, organisasi yang hirarkis dan model kepemimpinan yang sentralistis. Kedua,
sesama warga MTA diatur dalam kode-kode atau prinsip ketat yang mengatur praktek
ibadah maupun perilaku dan kehidupan sehari-hari yang membedakan mereka dari
anggota masyarakat di lingkungan tempat mereka tinggal. Ketiga, kesamaan nasib
berupa penolakan atau ketegangan dengan anggota masyarakat lainnya karena
perbedaan pemahaman serta praktek keagamaan yang tidak mengakomodasi
kepercayaan dan tradisi lokal. Pertentangan atau konflik dengan masyarakat ini terjadi
di hampir seluruh tempat di mana MTA berdiri, baik dalam skala besar dan berujung
pada tindak kekerasan atau dalam bentuk-bentuk seperti ejekan, sindiran atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
anggapan bahwa warga MTA dalam hal keagamaan adalah orang yang berbeda
dengan masyarakat kebanyakan.
Bab II membahas mengenai sejarah berdirinya MTA sebagai organisasi
dakwah puritan dan kaitannya dengan gelombang kebangkitan Islam baik di tingkat
global maupun lokal sebagai konsekuensi dari globalisasi. Gerakan yang berupaya
membangkitkan nilai-nilai keislaman yang murni dan otentik dengan berbagai sebutan
seperti puritanisme, revivalisme, fundamentalisme atau Islam politik adalah respon
sekaligus reaksi terhadap kondisi-kondisi modernitas, -sentralisasi kekuasaan negara
atau perkembangan ekonomi kapital serta kemajuan teknologi- yang menimbulkan
berbagai persoalan sosial di mana penekanan pada nilai-nilai keislaman adalah satu-
satunya cara untuk mengatasi persoalan sosial tersebut.
Di sisi lain, gagasan kebangkitan Islam yang berupaya memperjuangkan Islam
sebagai solusi atas persoalan yang ditimbulkan globalisasi meluas dan memberi
pengaruh yang sama ke berbagai penjuru dunia. Situasi ini menurut Anthony Giddens
merupakan ciri sekaligus akibat dari modernitas, yakni menguatnya ikatan-ikatan
sosial di seluruh dunia yang menghubungkan lokalitas-lokalitas yang saling berjauhan
di mana suatu kejadian yang terjadi di satu wilayah dipengaruhi oleh suatu peristiwa
di tempat lain yang jauh jaraknya dan begitu pula sebaliknya. Proses tersebut menurut
Giddens terutama menguat melalui teknologi –terutama komunikasi dan informasi-
juga teknologi transportasi yang memungkinkan manusia terhubung satu sama lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
dan memungkinkan terjadinya perpindahan ide atau gagasan serta menciptakan
keterhubungan dalam berbagai bidang, baik ekonomi, budaya atau politik.
Dalam konteks ini berdirinya MTA sebagai sebuah organisasi Islam lokal
yang berupaya membangkitkan kembali nilai-nilai keislaman merupakan pengaruh
dari fenomena yang sama yang terjadi di dunia internasional, terutama kebangkitan
Islam yang setidaknya dimulai pada abad 18 di Timur Tengah dan mencapai
puncaknya pada tahun 1970 dan 1980-an. Proses tersebut terjadi sebagai akibat dari
transfer ide dan pemikiran di bidang keagamaan melalui teknologi informasi yang
memungkinkan terjadinya penyebarluasan ide gerakan Islam misalnya media cetak
dan teknologi transportasi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi satu orang ke
tempat lain dan memungkinkan mereka menyerap gagasan baru, dalam hal ini adalah
gagasan puritanisme atau kebangkitan Islam yang murni.
Selain itu, berdirinya MTA sebagai organisasi dakwah di Surakarta dibaca
sebagai bagian dari maraknya berbagai gerakan keagamaan yang tumbuh pesat di
awal masa Orde Baru sebagai respon terhadap kebijakan sosial politik dari rezim yang
berupaya menangkal ideologi komunisme sekaligus menjalankan proyek
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi yang ditunjang oleh
investasi asing dan industrialisasi. Dalam konteks lokal, MTA muncul dan
berkembang di Surakarta yang menjadi tempat tumbuh suburnya berbagai gerakan
keagamaan baik yang moderat maupun radikal. Selanjutnya ideologi, karakteristik
gerakan, serta strategi dakwah MTA menjadi faktor kunci untuk menarik minat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
masyarakat untuk bergabung sehingga organisasi ini mengalami perluasan dan
perkembangan yang cukup pesat, terutama di pedesaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
B. MTA dan Dinamika Islam di Tingkat Lokal, Nasional dan Internasional
1. Puritanisme dan Kebangkitan Islam Global
Munculnya berbagai gerakan yang mengusung ide pemurnian Islam dan
penerapan Islam dalam berbagai aspek kehidupan menandai fenomena kebangkitan
Islam dalam skala global. Fenomena tersebut berlangsung melalui beberapa tahapan
dengan berbagai karakteristik gerakan yang berbeda-beda.
Pada abad 18 muncul sebuah gerakan keagamaan di Arab Saudi yang sangat
gencar dalam memerangi tradisi-tradisi masyarakat Arab yang mereka anggap bid‟ah
(menyimpang) seperti takhayul dan praktek pemujaan sufi serta berbagai perilaku
umat Islam yang tidak mencerminkan nilai Islami.52
Gerakan tersebu disebut Wahhabi
karena mengambil inspirasi dari pemikiran teologis pendirinya yaitu Muhammad ibn
Abd al Wahhab (w.1206 H/1792 M).
Gagasan utama teologi Wahhabi adalah bahwa umat Islam telah melakukan
kesalahan dengan menyimpang dari jalan lurus dan hanya dengan kembali ke (ajaran)
agama yang benar mereka akan mendapat ridha Allah Swt. Dengan semangat untuk
memurnikan agama, ia hendak membebaskan Islam dari semua hal yang
menggerogoti Islam, yaitu tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, syiah
dan berbagai ajaran bid‟ah.53
Dalam pandangan kaum Wahhabi, umat Islam harus
kembali kepada Islam yang murni, sederhana, dan lurus murni yang hanya bisa
dicapai melalui penerapan perintah Tuhan secara literal serta mengikuti perilaku Nabi
52
Khaled Abou El Fadl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, Tr. Helmi Mustofa, Jakarta: 2006,
Serambi, hal. 61-62 53
Abou El Fadl, ibid, hal. 61-62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
secara literal, sekaligus dengan ketat melakukan berbagai ritual ibadah secara benar.54
Hanya dengan cara demikian umat Islam akan bangkit dari kebodohan dan
keterbelakangan.
Pemikiran Muhammad Ibn „Abd al Wahab sendiri dikembangkan dari ajaran-
ajaran Taqiyuddin Ibnu Taimiyah (1263-1328) atau Ibnu Taimiyah yang merupakan
pengikut Hambalisme, mazhab paling ketat dari empat mazhab hukum dalam Islam
Sunni.55
Gagasan utama Ibn Taimiyah adalah menganjurkan umat Islam kembali
berpegang pada al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah sebagaimana yang dilakukan oleh
para generasi Salaf atau generasi yang generasi terbaik yang hidup pada masa Nabi,
yaitu sahabat Nabi. Istilah Salafi inilah yang kemudian digunakan untuk menyebut
kelompok atau gerakan yang berupaya untuk memurnikan ajaran Islam dan kembali
kepada Al Quran dan Hadits Nabi secara kaku dan absolut.56
Beberapa waktu kemudian muncul gerakan Salafisme, yakni sebuah gerakan
yang muncul satu abad setelah Abd al Wahhab memiliki pengaruh kuat di
semenanjung Arab. Gerakan ini dikembangkan oleh sarjana dari Universitas Al Azhar
di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani (1839-97), Muhammad „Abduh (1849-1905)
dan muridnya Rashid Rida (1865-1935).57
Al Azhar saat itu menjadi alternatif
perkembangan keilmuan Islam selain Mekkah (Fox, 2004:3-4). Berbeda dengan
54
Abou el Fadl, ibid, hal. 63 55
Noorhadi Hassan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca Orde
Baru, Jakarta, 2008, Pustaka LP3ES dan KITLV, hal 33 56
Ide pembaruan Ibn Abd‟ Wahhab tersebut menginspirasi berbagai gerakan di berbagai penjuru dunia,
termasuk di nusantara yang dimotori oleh kaum Paderi yang berkenalan dengan ideologi Wahhabi
seusai menunaikan ibadah haji ke Mekkah. 57
Hassan, ibid, hal. 34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
ideologi Wahabisme awal, para pemikir seperti Al Afghani, Abduh dan Ridha
mengembangkan pemikiran mereka tidak semata pada pemurnian Islam dari bid‟ah
dan taqlid, tetapi juga seruan kepada umat Islam ntuk membuka pintu ijtihad,
mendukung kemajuan dan pemikiran modern sebagai syarat untuk meraih kejayaan
Islam yang hilang. (Hassan, 2008: 34).58
Pada awal abad 20, di bawah raja Abdul Aziz bin Su‟ud, ajaran Wahabi secara
resmi menjadi ajaran resmi Kerajaan Arab Saudi.59
Ini merupakan awal mula dari
penyebaran ajaran Wahabi di seluruh dunia. Abdul Aziz ibn Saud berupaya untuk
menjadikan Saudi Arabia sebagai pusat dunia Islam, antara lain dengan mengorganisir
Kongres Dunia Islam yang bertujuan untuk membangun solidaritas antar negara-
negara Islam pada tahun 1926.60
Pada tahun 1962, dibentuk Liga Muslim Dunia
(Muslim World zxLeague/Ar. Rabitat al-„Alam al-Islami) yang kemudian menjadi
lembaga yang menyebarkan faham ini di dunia Islam.61
Penyebaran ideologi Wahhabi yang didukung penuh oleh rezim Saudi Arabia
mengalami puncak keberhasilannya terutama di Timur Tengah akibat kekalahan
58
Di Indonesia, gagasan mereka mengilhami berdirinya berbagai organisasi Islam modern yang
bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali pada kemurnian ajaran Islam yang sesuai dengan Al
Quran dan Hadits, antara lain Muhammadiyah pada tahun 1912 dan Persatuan Islam (PERSIS) pada
tahun 1923. Penerimaan kedua organisasi tersebut terhadap modernisme bisa dilihat dari metode
dakwah mereka melalui pendirian sekolah, rumah sakit dan lembaga pendidikan modern lainnya. 59
Jajang Jahroni. Gerakan Salafi di Indonesia: dari Muhammadiyah sampai Laskar Jihad, Mimbar,
Vol. 23, No. 4, 2006, hal. 359-360 60
Hassan, ibid, hal 41 61
Noorhaidi Hasan, Between Transnational Interest and Domestic Politics: Understanding Middle
Eastern Fatwas on Jihad in the Moluccas, Noorhaidi Hasan&Moch Nur Ichwan, ed. “Moving with the
Times: the Dynamics of Contemporary Islam in a Changing Indonesia, Yogyakarta: CISForm UIN
Sunan Kalijaga, 2007, hal. 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
negara-negara Arab dari Israel dalam perang Arab-Israel pada tahun 1967.62
Penyebaran Wahhabi juga semakin menemukan momentumnya ketika ketika terjadi
booming harga minyak yang membuat Arab Saudi menjadi negara kaya.63
Dengan
dana melimpah, Wahabi berusaha untuk menyebarkan ideologi mereka ke dunia Islam
–termasuk Indonesia- dengan memberi beasiswa, membangun masjid, institusi
pendidikan dan menerbitkan buku.
Pada perkembangan berikutnya, yakni rentang waktu 1970 sampai 1980, dunia
kembali menyaksikan fenomena kebangkitan Islam dengan bentuk yang sedikit
berbeda. Jika kebangkitan Islam abad ke-18 yang dimotori oleh kaum Wahhabi
cenderung menekankan aspek syariat, maka pada kurun waktu tersebut kebangkitan
Islam diwarnai oleh munculnya gerakan yang berupaya mewujudkan syariat Islam
sebagai sebuah ideologi politik (Pipes, 2002:124). Gerakan ini diwakili oleh Hasan Al
Banna (1906-1948) dan Sayyid Qutb (1906-1966) yang mendirikan Ikhwanul
Muslimin di Mesir) atau Abu A‟la Al Mawdudi (1903-1978) yang mendirikan
Jama'at-i Islami di Pakistan. Prinsip utama gerakan Islam politik tersebut adalah
kejayaan Islam akan dicapai jika setiap orang kembali pada ajaran Quran dan Sunah,
mengupayakan syariat Islam, menghindari segala macam praktek keagamaan yang
menyimpang, pembaruan komitmen dalam pemahaman dan perilaku individu sebagai
basis solidaritas bersama, mengupayakan keadilan sosial, kepedulian terhadap orang
miskin, seruan terhadap kaum perempuan kembali ke peran domestik, perjuangan
62
Hassan, ibid, hal. 42 63
Hassan, ibid, hal 42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
untuk mengganti pemerintahan yang korup dan menciptakan negara Islam sebagai
penjaga dan pengontrol moralitas Islami dalam masyarakat Islam. (Lapidus, 1997;
445).
Gagasan mereka menjadi populer, terutama slogan “Islam sebagai solusi”
merujuk pada kemunduran umat Islam yang ditandai dengan kekalahan negara Arab
dalam perang Arab-Israel pada tahun 1967.64
Kekalahan yang menimpa negara-negara
Arab yang dipimpin oleh rezim nasionalis membuat kalangan Islamis bangkit dan
mengupayakan Islam sebagai ideologi alternatif yang mampu mengembalikan
kejayaan Islam dari puing kehancuran.
Kebangkitan Islam semakin menemukan momentumnya ketika terjadi
beberapa peristiwa penting di beberapa negara. Pada tahun 1973 negara-negara Arab
berhasil membalas kekekalahannya dengan memenangkan perang Ramadhan (perang
Yom Kippur versi Israel), yang diikuti dengan embargo minyak Raja Saudi Arabia
Faishal terhadap Israel dan Amerika. Kemudian pada tahun 1977 Jenderal Zia ul-Haq
melakukan kudeta di Pakistan dan mencanangkan program Islamisasi, sementara di
Afghanistan pada tahun 1979 kelompok Islam bangkit melawan invasi Uni Soviet,
hingga berkuasanya Khomeini lewat Revolusi Iran pada tahun 1979.65
Revolusi 1979
yang membawa Ayatollah Khomeini membuat rezim Saudi Arabia yang berideologi
Wahhabi khawatir kalau revolusi tersebut justru akan meruntuhkan kekuasaannya
64
Hassan, ibid hal 42-43 65
Akbar S. Ahmed, Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise, Taylor & Francis e-
Library, 2003, hal 33-35.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
sendiri sehingga membuat mereka semakin intensif dalam menyebarkan pengaruhnya
ke seluruh dunia.66
Selain di kancah konflik, geliat ini juga terjadi di lapangan intelektual mulai
dari Konferensi dunia tentang pendidikan muslim di Makkah (1977), gagasan tentang
pendidikan Islam oleh Ali Ashraf (1979), ekonomi Islam oleh Khursid Ahmad (1981),
Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowledge) oleh Ismail Al-Faruqi
(1982), dan lain-lain.67
Meningkatnya aktifitas keislaman juga terjadi di beberapa
tempat yang jauh dari Timur Tengah sebagai pusat Islam, termasuk Indonesia.
Kebangkitan pada rentang waktu 1970 dan 1980 juga bisa dilihat dari
meningkatnya perilaku keagamaan dengan cara hadir di masjid, menjalankan sholat
dan puasa, penyebaran dakwah melalui publikasi, kegemaran memakai busana dan
nilai-nilai Islami, revitalisasi sufisme dan pernyataan kembali Islam dalam kehidupan
publik yang antara lain ditunjukkan dengan adanya peningkatan orientasi keislaman di
pemerintah maupun organisasi, hukum, perbankan, layanan kesejahteraan sosial,
maupun institusi pendidikan. (Esposito, 1999: 10). Dalam konteks yang lebih luas,
gejala kebangkitan Islam pada periode tersebut adalah upaya membangun kembali
nilai-nilai, praktek, institusi dan hukum Islam secara menyeluruh dalam berbagai
aspek kehidupan umat Islam sekaligus upaya menciptakan kembali etos dan tatanan
sosial yang Islami berdasarkan tatanan Al Quran dan Sunah (Chandra Muzaffar,
1987:2).
66
Hassan, ibid, hal. 43-44 67
Akbar S. Ahmed, ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Penting untuk dicatat bahwa perkembangan teknologi komunikasi dan
informasi memainkan peran penting bagi persebaran gagasan dan wacana keislaman
sehingga meluas ke banyak tempat. Kemajuan teknologi komunikasi dan informasi
mengubah pola konsumsi di dunia Islam seperti yang digambarkan John Anderson di
mana informasi keagamaan yang semula disampaikan lewat khotbah di mimbar ke
bentuk media cetak seperti buku atau bentuk elektronik seperti kaset dan radio dan
terakhir internet sehingga bisa menjangkau audiens dengan lebih luas. Teknologi
media cetak memungkinkan tokoh-tokoh Islam seperti Rashid Ridha dan Maulana
Maududi menyebarkan gagasannya dalam bentuk buku. Begitu juga kemunculan
media elektronik membuat wacana keislaman bisa diakses dalam kaset audio dan
radio seperti pidato revolusi Ayatullah Khumaini yang bisa didengarkan di setiap
tempat. Kemunculan media elektronik telah mengubah kebiasaan dan interaksi dalam
mengakses masalah keagamaan dari otoritas keagamaan seperti ulama dari semula
bersifat personal menjadi suatu bentuk publikasi.68
Hal tersebut membuat informasi
keagamaan tidak lagi didapat dari otoritas keagamaan dan bisa diakses oleh siapapun
tanpa mempertimbangkan jarak.
68
John W Anderson, New Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of Islam, Journal
Social Research, Vol 70, No 3, Fall 2003
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
2. Orde Baru dan Kebangkitan Islam di Indonesia
a. Dinamika Islam di Indonesia
Dengan berbagai keragaman ekspresi budaya serta latar belakang etnik, suku
maupun bahasa, maka dalam sejarahnya pemahaman dan praktek Islam di Indonesia
tidak pernah tunggal. Secara umum, dinamika Islam di Indonesia diwarnai oleh
ketegangan antara Islam dengan tradisi lokal. Perbedaan ini mengerucut pada dua
kutub; pertama, Islam ideal atau normatif, yakni Islam yang dipahami dan
dipraktekkan sesuai dengan prinsip yang murni yaitu Al Quran dan Hadits. Kedua,
Islam popular, yakni pemahaman dan praktek Islam yang tidak memiliki landasan
hukum normatif dan biasanya adalah praktek yang disesuaikan dengan tradisi lokal
yang lebih dulu berkembang di masyarakat dan oleh kelompok pertama dianggap
sebagai penyimpangan. 69
Di Jawa, Islam popular bisa ditemukan dari beragam ritual atau upacara
tradisional, seperti ritus kelahiran, perkawinan hingga kematian. Selain itu umumnya
masyarakat Jawa juga mempercayai adanya roh halus, danyang atau kekuatan-
kekuatan gaib yang bersifat baik ataupun buruk yang ada di sekitar mereka. Untuk
menghormati kekuatan gaib tersebut masyarakat Jawa melakukan berbagai upacara
seperti sedekah bumi atau ritual bersih desa sebagai ekspresi syukur atas kebaikan
yang mereka nikmati sekaligus memohon keselamatan dari mara bahaya.
69
J. D. J. Waardenburg, Official and Popular Religion as a Problem in Islamic Studies, dalam Pieter
H. Vrijhof and Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular Religion”., Paris: Mouton Publisher,
1979, hal 340-341.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Dalam kaitan dengan sejarah proses Islamisasi di Indonesia, Islam popular
merujuk pada golongan umat Islam yang cenderung akomodatif terhadap berbagai
keyakinan atau kepercayaan masa lalu serta berbagai tradisi lokal yang sudah diyakini
masyarakat sebelumnya. Yon Machmudi menyebut kelompok ini sebagai kelompok
tradisionalis yang kemudian berkembang menjadi organisasi Islam Nahdlatul Ulama.
Kelompok ini direpresentasikan oleh orang-orang yang belajar Islam di Mekkah pada
pertengahan abad 19 dan kemudian kembali ke nusantara untuk berdakwah di
masyarakat setempat. Mereka membangun pesantren yang menjadi tulang punggung
Islam tradisional di tanah air dengan mengajarkan Islam dari sumber Al Quran,
Hadits, dan teks-teks klasik karangan ulama besar di masa lalu (kitab kuning). Sikap
akomodatif mereka terlihat dari pola dakwah yang tidak serta merta mengubah
praktek-praktek tradisi lokal dan cenderung toleran sepanjang tidak bertentangan
dengan esensi ajaran Islam.
Dengan karakteristik menjalankan ajaran Islam dengan tetap bersikap
akomodatif terhadap keyakinan lokal, kelompok tradisionalis tersebut pada dasarnya
membedakan dirinya dengan kelompok yang sudah ada sebelumnya di kalangan
masyarakat Jawa yaitu Muslim nominal atau Abangan. Menurut Hefner, kaum
Abangan adalah mereka yang memeluk Islam namun tidak mempraktekkan Islam
dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya lebih mengutamakan keyakinan leluhur
serta melakukan berbagai ritual lokal. Hefner menyebut bahwa Abangan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
mulanya adalah salah satu varian Islam di Jawa yang mencapai kejayaan pada
pertengahan abad ke 18, namun kemudian memudar seiring kebijakan negara.70
Sementara kelompok puritan bercita-cita membersihkan ajaran Islam dari
berbagai unsur yang tidak memiliki dasar dalam Al Quran maupun Hadits. Jejak
puritanisme pertama di tanah air tercatat terjadi di Sumatera yang dimotori oleh kaum
Paderi. Saat itu, tiga ulama asal Minangkabau yaitu Haji Miskin, Haji Abdurrahman
dan Haji Muhammad Arif melakukan ibadah haji ke Mekkah yang saat itu dikuasai
oleh Wahhabi. Ketiganya tertarik dengan ide-ide pemurnian agama dari kaum
Wahhabi dan kemudian mencoba untuk menerapkannya di nusantara. Mereka
mengharamkan tasawuf yang ada di tanah Minangkabau dan segala macam takhayul,
bid‟ah dan khurafat. Mereka juga mewajibkan memelihara jenggot serta memberi
hukuman mati kepada orang yang meninggalkan salat.71
Gerakan tersebut kemudian
dikembangkan oleh kelompok reformis modernis yakni para ulama yang mendapat
pengaruh dari ide pembaharuan yang dimulai oleh sarjana dari Universitas Al Azhar
di Mesir seperti Jamaaludin Al Afghani (1839-1897), Muhammad „Abduh (1849-
1905) dan muridnya Rashid Rida (1865-1935). Di Indonesia, pemikiran sarjana-
sarjana tersebut memberi inspirasi bagi berdirinya berbagai organisasi Islam yang
bertujuan untuk mengajak umat Islam kembali pada kemurnian ajaran Islam yang
70
Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the Decline of Non-
Standard Islam in Indonesia dalam Rémy Madinier & Michel Picard, eds.,“The Politics of Religion in
Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali”, Contemporary
Southeast Asia Series, London and New York: Routledge, hal. 71-79
71
Abdurrahman Wahid, ed., Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia,
Jakarta, 2009, LibForAll Foudantion.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
sesuai dengan Al Quran dan Hadits, antara lain Muhammadiyah pada tahun 1912 dan
Persatuan Islam (PERSIS) pada tahun 1923. Berbeda dengan santri kolot, kaum
reformis atau disebut santri modern berusaha untuk menghilangkan seluruh elemen
non-Islami untuk mencapai kemurnian Islam.72
Tidak hanya di bidang keagamaan, polaritas yang diakibatkan perbedaan
artikulasi keislaman juga terjadi di bidang politik. Polaritas yang paling tajam dan
akan terus mewarnai situasi sosial politik Indonesia adalah ketika pada tahun 1945
kelompok Islam berupaya untuk menjadikan syariat Islam secara formal ke dalam
undang-undang, terutama adalah isu Piagam Jakarta yang ditentang oleh kelompok
abangan sekuler.73
Polaritas juga tercermin dari hasil Pemilu 1955 sebagai pemilu
pertama dan dianggap paling demokratis, di mana Partai Nasionalis Indonesia
(priyayi-abangan kolot/modern dengan wong cilik-abangan-kolot) berhasil
mengumpulkan 32 persen suara di Jawa, Masyumi (priyayi-santri-modern)
mendapatkan 11 persen suara, sementara Nahdlatul Ulama sebagai perwakilan dari
kelompok Islam tradisional (wong cilik-santri-kolot) mendapatkan 30 persen suara
dan Partai Komunis Indonesia (wong cilik-abangan-kolot/modern) mengumpulkan 27
persen suara. Hasil ini menunjukkan bahwa kaum abangan dan santri kolot masih
mendominasi Jawa.74
72
Hassan, ibid, hal 38 73
Hassan, ibid, hal 39. Salah satu isi dalam piagam Jakarta adalah kalimat yang berbunyi “dengan
keharusan menegakkan syariat Islam bagi pemeluknya”. Kalimat ini kemudian dikeluarkan dari sila
pertama Pancasila. 74
Ricklefs mengembangkan konsepsi Santri Abangan Priyayi-nya Geertz menjadi beberapa kelompok:
priyayi santri, wong cilik-abangan-kolot, priyayi-abangan kolot/modern, dan wong cilik-santri-kolot.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Ketika Orde Baru mulai berkuasa pada tahun 1966, dinamika Islam di
Indonesia diwarnai dengan munculnya berbagai organisasi dan kelompok Islam yang
secara umum memiliki kesamaan agenda yaitu mengajak umat Islam untuk kembali
mengamalkan nilai-nilai Islam ke dalam seluruh aspek kehidupan. Fenomena ini tidak
hanya terkait dengan kebangkitan Islam di dunia internasional, namun juga berkaitan
dengan dinamika sosial politik di Indonesia selama kurun waktu 1970 sampai 1980-
an, dalam hal ini adalah kebijakan pembangunan dan pasang surut hubungan
pemerintah dengan umat Islam.
b. Islam di masa Orde Baru
Sama seperti fenomena kebangkitan Islam di dunia internasional, fenomena
“kebangkitan Islam” berupa maraknya simbol ataupun aktifitas keagamaan juga
terjadi di Indonesia pada rentang waktu 1970 dan 1980. Hal tersebut terlihat dari
tumbuhnya komunitas-komunitas kecil yang berkeinginan untuk mengikuti perilaku
Nabi Muhammad dan generasi pertama umat Islam (Salafi) yang dianggap ideal dan
murni sekaligus menawarkan alternatif dan perlawanan terhadap nilai dan paham dari
Barat. Komunitas-komunitas tersebut tumbuh melalui kelompok diskusi dan
pengajian di masjid-masjid dan kampus-kampus umum. Ciri khas kelompok ini
adalah penampilan yang Islami, yaitu jilbab panjang bagi perempuan, baju gamis dan
Lihat Merle C. Ricklefs, Six Centuries of Islamization in Java, Nehemia Levtzion, ed. “Conversion to
Islam”, New York: Holmes & Meier Publishers, Inc., 1979, hal 120 dalam Muhammad Ali, Muslim
diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi, Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of
Islam and Muslim Societies, Volume 1, Number 1, June 2011: 1-35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
jenggot bagi kaum laki-laki.(Hassan, 2006:31). Tidak hanya di perkotaan, gelombang
kesalehan juga terjadi di wilayah pedesaan yang identik dengan budaya abangan pada
tahun 1980 dan 1990-an (Hefner, 2000; 122).
Fenomena kebangkitan gairah keagamaan dan munculnya komunitas-
komunitas dakwah Islam tersebut tidak lepas dari kebijakan depolitisasi Orde Baru
terhadap umat Islam Perlu diingat bahwa kebijakan Orde Baru dibawah
kepemimpinan Soeharto mencanangkan kebijakan ekonomi dan pembangunan yang
ditandai dengan masuknya investasi asing dan bantuan dari negara-negara industri
maju yang didukung dengan booming minyak pada tahun 1970-an.75
Pasca hancurnya
PKI tahun 1966, Orde Baru merasa bahwa kelompok Islam menjadi kelompok
potensial yang bisa melawan Soeharto, terutama kelompok yang berbasis di akar
rumput karena bisa menghalangi kebijakan pembangunan yang mensyaratkan adanya
demobilisasi politik di masyarakat.76
Soeharto kemudian memberlakukan kebijakan
marginalisasi dan depolitisasi aktor Islam dan organisasi/partai Islam, salah satunya
adalah membatasi aktifitas politik tokoh Islam dan pada tahun 1973 mengeluarkan
kebijakan peleburan atau fusi partai politik Islam ke dalam wadah tunggal yaitu Partai
Persatuan Pembangunan (PPP).77
75
Vedi Hadiz, Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working Paper No.74, 2010,
Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal. 7 76
Hadiz, ibid, hal. 8 77
Tokoh Islam merasa Orde Baru membatasi kepentingan umat-Islam, ditandai dengan meningkatnya
pengaruh militer dan birokrat yang identik dengan kaum abangan (misal Ali Mortopo) di jajaran
pemerintahan dan kedekatan dengan kelompok bisnis China, juga kelompok Katholik (CSIS). Muncul
aksi-aksi kekerasan seperti Komando Jihad, Bom di Borobudur, juga bom di BCA yang dianggap
sebagai representasi dari kelompok bisnis China pada tahun 1986. Ketegangan Islam Politik dengan
pemerintah Orde Baru meningkat dengan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal di tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Tersumbatnya saluran politik membuat aktifis-aktifis Islam melakukan
konsolidasi dan membangun basis gerakan melalui strategi dakwah, dalam hal ini
melalui dunia pendidikan dan media massa. Strategi tersebut membuat kelompok-
kelompok Islam berkembang pesat tanpa menimbulkan kecurigaan dari rezim Orde
Baru, terutama di kampus dan kaum menengah perkotaan. Selain itu, pesatnya
berbagai gerakan Islam pada masa tersebut juga didukung oleh sumber daya berupa
aliran dana dari Timur Tengah terutama Arab Saudi pasca booming harga minyak
tahun 1970-an. Dalam hal ini, Arab Saudi berkepentingan membendung kebangkitan
Syiah pasca Revolusi Iran tahun 1979.
Kelompok Islam yang mendapatkan pengaruh langsung dari Timur Tengah
dan kemudian menjadi embrio berbagai kelompok Islam puritan adalah Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), organisasi dakwah yang dibentuk oleh
Muhammad Natsir dan para mantan pemimpin Masyumi pada tahun 1967.78
Organisasi ini didirikan sebagai strategi setelah Soeharto yang naik ke tampuk
kekuasaan menolak keinginan Masyumi untuk kembali menjadi partai politik.79
DDI
sebagai perwakilan Rabithah Alam Islami (organisasi yang didanai Arab Saudi)
memberikan beasiswa kepada ratusan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Timur
Tengah, terutama Arab Saudi.80
Persinggungan mahasiswa yang belajar di luar negeri
1980-an. Kemudian muncul ICMI pada tahun 1990 –didirikan oleh Habibie- yang dekat dengan
kekuasaan sebagai representasi kelompok Islam birokrat dan teknokrat yang berupaya mengimbangi
Islam politik yang oposan terhadap Orde Baru. Lihat Hadiz, Political Islam 78
Hassan ibid, hal. 45 79
Hassan, ibid 80
Wahid, ed., ibid,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
membuat mereka bertentangan dengan genealogi dan ideologi yang sama dengan
Wahhabi seperti Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir.81
Selain itu, DDII juga
berperan dalam mengembangkan lembaga pendidikan yaitu LIPIA (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Islam dan Arab) yang mencetak kader-kader yang aktif mengembangkan
faham puritanisme Timur Tengah, serta mendistribusikan berbagai buku karya para
ideolog Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Abu A‟la Al Maududi dan
pemikir-pemikir Islam lainnya yang beraliran Wahhabi.82
Selain depolitisasi, Soeharto juga menerapkan kebijakan ganda terhadap umat
Islam dengan cara menumbuh-suburkan praktik ritual dan kesalehan individu.
Menurut Hefner rezim Orde Baru sangat jeli melihat agama sebagai basis bagi
moralitas publik dan benteng untuk melawan pengaruh liberalisasi Barat dan lawan
dari komunisme.83
Situasi tersebut membuat Orde Baru mengeluarkan kebijakan
building up atau pembinaan keagamaan yang terutama ditujukan di daerah-daerah
abangan di pedesaan.84
Kebijakan tersebut antara lain dilakukan dengan kewajiban
setiap warga negara untuk memeluk agama resmi mnenurut konstitusi, yaitu Islam,
Protestan, Katolik, Hindu dan Budha. Hefner menyebut kebijakan ini sebagai
“religionization”.85
Kebijakan ini memicu konversi besar-besaran masyarakat jawa
81
Wahid, ed. ibid, 82
M Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen, Yogyakarta,
2008, LKiS, hal 90-91 83
Robert Hefner, Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia, Princeton, 2008, Princeton
University Press, hal. 59 84
Hefner, ibid, 84 85
Lihat Robert W Hefner, Where Have all the Abangan Gone? hal. 71-79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
abangan ke islam dan Kristen.86
Selain itu, pemerintah juga mewajibkan pengajaran
agama kepada setiap anak di sekolah-sekolah. Kebijakan ini membuat jumlah umat
Islam berkembang sementara praktek-praktek kelompok Abangan atau Islam nominal
perlahan menghilang.87
Kelas menengah-bawah yang menjadi sasaran dari kebijakan pembinaan
agama inilah yang nantinya mengambil peran besar dalam kebangkitan aktifitas dan
penciptaan kantong-kantong Islam politik di kota-kota besar. Menurut Hassan (2005)
kebijakan pembangunan Orde Baru seperti pemberantasan buta huruf, pembangunan
infrastruktur sekolah-sekolah terutama di desa terpencil yang bersamaan dengan
meningkatnya kemakmuran ekonomi membuat para orang tua bisa menyekolahkan
anak-anak mereka ke perguruan tinggi. Pembangunan infrastruktur jalan, jembatan,
stasiun pembangkit listrik dan pusat kesehatan membuat desa-desa pun terhubung
dengan dunia luar yang memicu gelombang urbanisasi dan meningkatnya tingkat
pendapatan, ditandai dengan kemampuan penduduk desa membeli radio dan televisi
yang memicu pola hidup baru dan konsumerisme. Sementara keluarga mampu bisa
menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi di kota, pemuda-pemuda desa
yang miskin yang tidak bersekolah beramai-ramai meninggalkan desa demi harapan
hidup yang lebih baik dan mendapat pekerjaan sebagaimana yang mereka lihat di
86
Untuk kajian ini baca Robert W Hefner “Islamizing Java? Religion and Politics in Rural East Java.”
1987 dalam The Journal of Asian Studies 3:46:533-554 atau Robert W Hefner “The Political Economy
of Islamic Conversion in Modern East Java.” In William R. Roff (ed.), Islam and the Political
Economy of Meaning: Comparative Studies of Muslim Discourse, pp.53-78. Berkeley: University of
California Press 87
Hefner, Civil Islam, hal 84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
media elektronik. Dengan tingkat pendidikan yang rendah, kebanyakan dari mereka
menjadi buruh pabrik atau pekerja di sektor informal. 88
Pada saat yang kebijakan ekonomi Orde Baru telah menciptakan kesenjangan
sosial dan korupsi. Kebijakan ekonomi Orde Baru sendiri bercirikan industrialisasi,
meningkatnya kelompok pemodal yang kuat (Robison 1986), berkembangnya kelas
pekerja yang berada di perkotaan dengan upah rendah (Hadiz 1997), juga kelas
menengah profesional, serta konsumen yang berorientasi pada gaya hidup (Robison
1993).89
. Pada titik inilah, anak-anak muda baik yang bersekolah di kampus-kampus
atau bekerja di sektor informal menghadapi situasi yang tidak mereka duga seperti
perilaku masyarakat kota yang individualistis, persaingan hidup yang keras,
kesenjangan yang mencolok, gaya hidup yang mewah berbau barat serta godaan
produk-produk yang melambangkan kehidupan modern. Ketidakmampuan mengakses
atau menikmati semua hal tersebut pada akhirnya membuat mereka frustasi dan
membuat apa yang disebut Hassan (2005) sebagai “identitas yang terguncang”. Pada
saat itulah mereka mendapatkan perlindungan dari komunitas-komunitas keagamaan
yang mulai muncul di perkotaan yang menawarkan suasana kehidupan yang sama
sekali berbeda melalui diskusi-diskusi, pengajian yang menawarkan alternatif Islam
sebagai solusi bagi semua persoalan sosial yang mereka hadapi.90
88
Hassan, Laskar jihad, hal. 251-258 89
Vedi R. Hadiz, Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE WORKING PAPER, No.
74, February 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity, hal.24 90
Hassan, ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Di akhir tahun 1980-an, kebijakan Orde Baru terhadap umat Islam berubah
drastis. Soeharto mencoba untuk membangun kembali relasi politik dengan
kelompok-kelompok Islam.91
Caranya adalah dengan menekankan penggunaan
simbol-simbol Islam dalam wacana publik dan akomodasi terhadap kekuatan-
kekuatan sosial politik kelompok keagamaan.92
Strategi tersebut oleh para pengamat
merupakan cara Soeharto untuk mengamankan kekuasaannya. Kedekatan tersebut
dimulai dengan didirikannya Pengadilan agama, perbankan Islam serta serta
keputusan presiden untuk kompilasi hukum Islam.93
Bahkan pada tahun 1991
Soeharto menampilkan citra diri sebagai seorang santri Islam dengan menunaikan
ibadah haji ke Mekkah dan mengganti namanya menjadi Haji Muhammad Soeharto.94
Pemerintah juga memberi dukungan finansial untuk membentuk perguruan tinggi
Islam, membangun masjid-masjid, dan kebijakan pengajaran agama di lembaga
pendidikan umum, pencabutan larangan berjilbab di sekolah, serta mendukung
berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)95
pada tahun 1990.
Kebijakan-kebijakan tersebut membuat simbol-simbol dan identitas keislaman tampil
semarak di ruang publik.96
91
Noorhaidi Hasan, Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era of transition in
Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002, p.163. 92
Hasan, ibid 162 93
Hasan, ibid 94
Andreas Ufen, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared, Journal
Commonwealth & Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308–333, July 2009, hal. 17 95
Ufen, ibid 96
Kebijakan tersebut bukan tanpa maksud mengingat Soeharto kemudian mengajak DDII sebagai mitra
untuk menumpas kelompok oposisi pro-demokrasi yang menjadi ancaman baru bagi Orde Baru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
c. Islam pasca Orde Baru
Kebangkitan Islam kembali menemukan momentumnya ketika rezim Orde
Baru tumbang pada tahun 1998, yang ditandai dengan munculnya berbagai gerakan
atau organisasi Islam dengan berbagai agenda dan model gerakan masing-masing.
Demokratisasi, eforia kebebasan serta tersedianya beragam saluran dan media untuk
menyuarakan aspirasi dimanfaatkan oleh organisasi dan kelompok Islam politik untuk
kembali menunjukkan eksistensinya, baik yang sudah beroperasi secara laten sejak
masa Orde Baru atau kelompok yang sama sekali baru. Tercatat antara lain Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad dan kelompok-
kelompok Islam lainnya. Meski muncul dengan berbagai varian model gerakan dan
agenda, secara umum kelompok-kelompok Islam tersebut memiliki kesamaan
karakteristik yang memiliki akar sejarah yang panjang, yakni keinginan untuk
mengedepankan nilai dan praktek Islam dalam kehidupan sehari-hari secara total.
Salah satu organisasi keagamaan dengan perkembangan cukup pesat pasca
1998 adalah Majelis Tafsir Al Quran (MTA). Meskipun berdiri pada tahun 1972 atau
pada saat sedang berlangsungnya fenomena kebangkitan Islam di dunia internasional
sekaligus sebagai respon terhadap kebijakan Orde Baru yang dianggap tidak berpihak
kepada umat Islam, MTA menemukan momentum untuk berkembang dengan pesat di
era pasca Orde Baru yang memungkinkan organisasi ini tumbuh dan berkembang
hingga ke seluruh pelosok Indonesia, terutama di wilayah-wilayah pedesaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
3. MTA sebagai Gerakan Purifikasi Agama di Tingkat Lokal
a. Dinamika sosial keagamaan di Surakarta
Surakarta, sebuah wilayah di Jawa Tengah dikenal memiliki dinamika sosial
keagamaan yang tinggi. Adanya keraton Surakarta dan Mangkunegaran menjadikan
Surakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Menariknya, Surakarta juga
memiliki sejarah panjang gerakan radikalisme yang bercorak keagamaan, baik zaman
pra-kemerdekaan maupun pasca reformasi. Selain itu, Surakarta juga menjadi salah
satu pusat tumbuhnya berbagai gerakan dan organisasi yang menggelorakan semangat
nasionalisme di zaman kolonial, termasuk di antaranya organisasi yang bercorak
keagamaan.
Organisasi keagamaan dengan motif keagamaan yang paling terkenal di
Surakarta adalah Sarekat Islam (SI). SI sendiri adalah gerakan nasionalisme bercorak
Islam pertama di nusantara yang berdiri di Surakarta pada tahun 1912. Organisasi
bermotif keagamaan Islam lainnya adalah Tentara Kanjeng Nabi Muhammad
(TNKM) yang bertujuan untuk membela kehormatan Islam, Nabi dan kaum
Muslimin. Organisasi ini didirikan oleh Tjokroaminoto pada tahun 1918 di Surabaya
sebagai reaksi atas sebuah tulisan dalam surat kabar Djawi Hiswara, yang dianggap
melecehkan Islam.97 Pasca revolusi kemerdekaan 1945, Surakarta menjadi basis dari
berbagai laskar-laskar gerilya yang didirikan oleh warga sipil dengan berbagai
97
Seorang anggota SI Surakarta bernama Djojodikoro menulis artikel yang dimuat di surat kabar Djawi
Hiswara. Cuplikan dalam artikel tersebut berbunyi ”Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin,
minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium”. Lihat Takashi Siraishi, Zaman Bergerak:
Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Jakarta; 1997, Pustaka Utama Grafiti, hal. 143-147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
kepentingan masing-masing, termasuk organisasi dengan motivasi keagamaan dan
jihad yaitu Laskar Sabilillah.98
Pada tahun 1970-an berbagai organisasi Islam yang cenderung bercorak
puritan muncul dan berkembang pesat, seperti Jamaah Islamiyah (yang
direpresentasikan oleh Pesantren Al-Mukmin) Majelis Pengajian Islam
(direpresentasikan oleh pesantren modern Assalam, dan Majelis Tafsir Al-Quran).99
Belakangan, berbagai organisasi Islam muncul dan menunjukkan kecenderungan
orientasi yang lebih radikal dengan isu-isu yang lebih beragam ketika rezim Orde
Baru tumbang pada tahun 1998. Kelompok tersebut antara lain: Laskar Hizbullah
Sunan Bonang, Laskar Jundullah, Laskar Zilfikar, Laskar Salamah, Laskar Teratai
Emas, Laskar Honggo Dermo, Laskar Hamas, Laskar Hawariyyun, Barisan Bismillah,
Gerakan Pemuda Ka‟bah, Brigade Hizbullah, dan Majelis Ta‟lim al-Islah, Forum
Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front
Pemuda Islam Surakarta, HTI, Forum Umat Islam Surakarta, dan Jamaah Anshorut
Tauhid, Laskar Hizbullah Sunan Bonang, Laskar Jundullah, Laskar Zilfikar, Laskar
Salamah, Laskar Teratai Emas, Laskar Honggo Dermo, Laskar Hamas, Laskar
98
Laskar-laskar di Surakarta pada masa pasca Revolusi kemerdekaan 1945 antara lain Barisan Laskar
Banteng (BLR), Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Barisan Pemberontak Republik Indonesia
(BPRI) serta Laskar Rakyat. Namun yang memainkan peran penting adalah lascar yang didirikan oleh
para pelajar seperti Tentara Pelajar (TP), Pasukan Satria, Laskar Kere, Barisan Polisi Istemewa Sekolah
Menengah Tinggi (BPISMT), Barisan Rakyat Jelata. Pada tahun 1946 muncul berbagai kelompok lokal
di pedesaan seperti Laskar Rakyat Surakarta di Plupuh, Sragen, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda
Penjaga Desa. Lihat Soejatno dan Benedict Anderson, Revolution and Social Tension in Surakarta
1945-1950, Indonesia, Vol.17, April 1974, 99-111, hal. 102 99
Muthoharun Jinan, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta, Studi tentang Perluasan Gerakan
Majelis Tafsir Al Quran, makalah di Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) 2011 di Bangka
Belitung tanggal 10-13 Oktober 2011
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Hawariyyun, Barisan Bismillah, Gerakan Pemuda Ka‟bah, Brigade Hizbullah, dan
Majelis Ta‟lim al-Islah. Dalam konstelasi lokal Solo, di samping kelompok-kelompok
di atas terdapat juga kekuatan-kekuatan radikal lain seperti Front Pemuda Islam
Surakarta (FPIS), Forum Komunikasi Aktivis Masjid (FKAM) serta Jamaah Anshrout
Tauhid (JAT).100
Salah satu isu penting yang sering diusung oleh kelompok-kelompok
tersebut adalah isu Kristenisasi.101
b. Latar belakang pendiri dan sejarah perkembangan MTA di Surakarta
Beberapa saat setelah mendirikan DDII, M. Natsir kemudian mengajak
koleganya di Masyumi untuk membangun cabang DDII di seluruh Indonenesia,
termasuk Solo. Dalam sebuah ceramahnya di Solo di akhir 1960-an, dia meminta
kader eks-Masyumi membangun pesantren dan rumah sakit untuk mengkounter
100
Zakiyuddin Baedhawy, Dinamika Radikalisme dan Konflik bersentimen Keagamaan di Surakarta,
Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies ke-10, Banjarmasin 1-4 November 2010 101
Berbagai isu Kristenisasi tersebut antara lain: 1) Anggota Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS)
melakukan mosi pada Pendeta Ahmad Wilson dalam acara dialog interaktif dengan tema “Usaha
Mengatasi Konflik Antarumat Beragama” yang disiarkan oleh Radio PTPN Rasitania Surakarta, 3
Maret 2000 yang menyatakan bahwa sebelum menjadi Muslim, Nabi Muhammad adalah pemeluk
agama Kristen. Pendeta Wilson kemudian diadukan ke Polisi oleh sejumlah tokoh Muslim dan
Anggota DPRD dari PPP, PKB, PK, dan PAN, sehingga radio tersebut terpaksa berhenti mengudara
beberapa hari karena sebagian peralatannya disita oleh Polisi sebagai barang bukti; 2) Pada 29 April
2001, Laskar Hizbullah Surakarta mendatangi sebuah stasiun radio PTPN Rasitania, Solo, untuk
meminta klarifikasi soal pemutaran film berjudul Patriot yang tiketnya di jual oleh radio swasta itu
karena dibarengi pula dengan pembagian angket kuis dan kaset yang berisi ajaran agama Kristen
kepada setiap pengunjungnya. Pemutara film digelar oleh Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia
(LPMI), lembaga gereja Kristen Protestan yang mengkhususkan pembinaan religius pada mahasiswa
dan anak-anak muda; 3) Pada 3 September 2005, Forum Koalisi Umat Islam Surakarta mendatangi dan
menyegel rumah tinggal seorang pendeta, Syarif Hidayatullah di Grogol, Sukoharjo karena si pemilik
ngotot hendak mendirikan gereja di kawasan warga Muslim meski ijin belum keluar (Gatra no. 44,
Senin, 12 September 2005). 4) Poltabes Surakarta meminta kepada pengurus Gereja Kristen Jawa
(GKJ) Manahan di Kota Solo untuk menghentikan program penjualan paket buka seharga Rp 500
dengan alasan demi menjaga kondusivitas setelah menerima pengaduan sejumlah elemen masyarakat
yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut (Detiknews, 28 Agustus 2009). Lihat, Baedhowy, ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Kristenisasi yang menjadi isu penting di Solo pada saat itu. Pondok Ngruki, Yayasan
Rumah Sakit Islam (Yarsi) hospital, dan RS Kustati adalah respon dari seruan Natsir
tersebut. Ketika DDII berkembang, sekitar 90 masjid dibangun di Jawa Tengah.102
Pada situasi inilah embrio MTA mulai muncul. Pendiri MTA, Abdullah
Thufail Saputra adalah seorang pendakwah yang juga seorang pedagang batu permata
yang sering berkeliling ke berbagai wilayah di Indonesia. Dalam berbagai perjalanan
dagangnya, ia menyaksikan maraknya praktek-praktek keagamaan di kalangan umat
Islam yang menyimpang dari syariat Islam sekaligus adanya perpecahan dalam tubuh
umat Islam yang terwujud dalam berbagai kelompok atau organisasi.103
Ia aktif
menyampaikan gagasannya agar umat Islam mau kembali ke Al Quran melalui
berbagai ceramah atau pengajian, terutama di masjid Agung Surakarta atau di Balai
Muhammadiyah Surakarta.
Kesempatan Abdullah Thufail untuk menyebarkan gagasannya terbuka luas
mengingat pada saat itu ia bergabung dengan Badan Pelaksana Tabligh, suatu
lembaga yang berfungsi mengkoordinasikan para ulama di Solo yang memberikan
pengajian di masjid-masjid di Sukararta.104
Dalam organisasi ini juga tergabung
Abdullah Sungkar –yang kemudian mendirikan pesantren Al Mukmin Ngruki
bersama Abu Bakar Baasyir- dan Abdullah Marzuki, seorang pengusaha terkenal di
102
Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism In Solo A Study Of The Proliferation Of Radical
Islamism In Central Java, Indonesia, Jurnal Al-Jamiah, Vol. 46 No. 1, 2008, hal. 35-70 103
Majalah Respon, Ustadz Abdullah Thufail Saputro Meski Sakit Tetap Mengisi Pengajian, Edisi 268
XXVI, 20 September – 20 Oktober, 2012, hal 42, diterbitkan oleh Yayasan Majelis Tafsir Al Quran
(MTA) 104
Wawancara dengan Sektretaris I Yayasan MTA, Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Surakarta. Mereka dikenal sebagai tiga tokoh dakwah penting di Surakarta. Mereka
merintis pengajian di beberapa tempat di Surakarta seperti Kebonan Sriwedari,
Punggawan, dan bersama sejumlah aktivis Islam lainnya merintis pengajian rutin
setelah dhuhur di Masjid Agung Surakarta.105
Selain menyelenggarakan pengajian setelah shalat dhuhur di Masjid Agung,
pada tahun 1969 para ulama di Solo meluaskan aktifitas mereka menjadi lebih intensif
dalam bentuk Madrasah Diniyah. Mereka juga membangun radio Radio Dakwah
Islam (RADIS) pada tahun 1967 untuk menjangkau dakwah yang lebih luas.
Belakangan, radio ini dilarang siaran pada tahun 1975 akibat relasi pasang surut Islam
dengan pemerintah.106
Belakangan, Abdullah Thufail tidak lagi bergabung dalam
lembaga tersebut karena adanya perbedaan pendapat dengan tokoh Islam lainnya.107
Dalam perkembangannya, Abdullah Thufail bersama dengan Abdullah
Marzuki –seorang pengusaha yang dikenal sebagai donatur berbagai kegiatan
keagamaan di Surakarta- mengembangkan sebuah organisasi bernama Majlis
Pengajian Islam (MPI).108
Semula organisasi ini merupakan kegiatan pengajian
105
Muthoharun Jinan, S.Ag, M.Ag, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang
Perluasan Gerakan Majlis Tafsir Al Quran, Makalah Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)
2011 Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011 106
Wildan, ibid 107
Dalam versi lain, pada awalnya, Abdullah Thufail dan Abdullah Sungkar bersama-sama
mengadakan pengajian Masjid Agung, tetapi kemudian mereka berselisih pendapat dan Abdullah
Thufail kemudian keluar dari pengajian tersebut. Belakangan, Abdullah Sungkar bersama dengan Abu
Bakar Baasyir mendirikan Pondok Pesantren Al-Mukmin yang dikenal masyarakat luas sebagai
pesantren yang kerap berseberangan dengan pemerintah, terutama mengenai asas tunggal Pancasila.
Bersama Abdullah Sungkar, Baasyir kemudian mendirikan Jamaah Islamiyah setelah menolak ajakan
Abdullah Thufail bergabung di MTA. Abu Bakar Baasyir dan pesantren Ngruki kemudian dituding
berafiliasi dengan kelompok-kelompok yang ingin mendirikan negara Islam dan terlibat beberapa
tindak terorisme. Lihat Jinan, ibid 108
Jinan, ibid.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Majelis Ta‟lim di Jl. Yosodipuro Punggawan Surakarta yang digelar sejak tahun
1970. Di MPI, Abdullah Thufail bertindak sebagai pimpinan. Belakangan, Abdullah
Thufail keluar dari MPI dan pada tahun 1972 dan mengembangkan organisasinya
sendiri, Majelis Tafsir Al- Quran.
Keputusan Abdullah Thufail untuk berdakwah sendiri terjadi ketika dalam
sebuah pertemuan di Gedung Umat Islam Surakarta yang dihadiri oleh tokoh-tokoh
Islam setempat ia menyampaikan gagasannya untuk menyatukan berbagai lembaga
Islam dalam satu wadah sehingga tidak terpecah-pecah tidak mendapat respon dari
para tokoh Islam lainnya. Abdullah Thufail mengawali kegiatan dakwahnya dengan
mendirikan pengajian tafsir dengan peserta hanya beberapa orang. Dalam
perkembangannya, gagasan-gagasan Abdullah Thufail yang ia sampaikan dalam
pengajiannya segera saja banyak mendapat perhatian dan respon dari masyarakat
karena ketegasannya dalam menanggapi suatu permasalahan. 109
Ia sendiri dikenal
sebagai pendakwah yang ulung dengan kemampuan orasi yang memikat dengan suara
yang lantang dan tegas. Salah satu kisah yang menceritakan ketegasannya ketika
awal-awal membuka pengajian, peserta pengajian yang sudah hadir tidak serta merta
bisa langsung mengaji, tetapi harus menunggu dimulainya pengajian sampai berjam-
jam kemudian hanya untuk mengetahui apakah peserta benar-benar serius untuk
mengikuti pengajian. 110
Selain itu, komitemn yang tinggi juga menjadi ciri dari MTA
109
Majalah Respon, Ustadz Dullah Tutup sang pendiri majlis Dakwah MTA, edisi 268 XXVI 20
September-20 Oktober 2012 hal 11 110
Wawancara dengan Ustadz Suradi, Ketua MTA Perwakilan Blora
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
adalah pengajian diselenggarakan dengan presensi kehadiran setiap anggotanya
dengan maksud menjaga komitmen peserta pengajian.
Selain karena kemampuan dakwahnya, jaringan Abdullah Thufail yang luas
sebagai seorang pedagang membuat pengajian yang dirintisnya segera berkembang
dengan pesat.111
Abdullah Thufail kemudian membuka pengajian untuk umum yang
diistilahkan dengan gelombang. karena pada saat itu pemerintah menetapkan bahwa
setiap perkumpulan harus berupa lembaga resmi, maka pengajian tafsir yang didirikan
Abdullah Thufail didaftarkan ke Departemen Sosial dengan nama Majelis Tafsir Al
Quran berbentuk yayasan pada tanggal 23 Januari 1974. 112
Tidak hanya dalam kegiatan dakwah, Abdullah Thufail juga terlibat dalam
beberapa peristiwa penting di Solo. Sesaat setelah peristiwa G30S/PKI pecah pada
tahun 1965, ia aktif dalam gerakan yang melawan aksi kelompok komunis di
Surakarta. Pada tahun 1966 Abdullah Thufail menjadi Ketua Koordinasi Kesatuan
Pemuda Islam (KKPI) sejak tahun 1966-197 yang merupakan gabungan dari berbagai
organisasi di Surakarta, seperti Muhammadiyah, Pemuda Al-Irsyad, Pemuda Anshor,
Pemuda Persatuan Syarikat Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam yang aktif
melawan pengaruh PKI.113
Pada bulan September 1992, Abdullah Thufail meninggal dunia.
Sepeninggalnya, kepemimpinan MTA dilanjutkan oleh Ahmad Sukina. Sukina
111
Jinan, ibid 112
Majalah Respon, Ustadz Dullah Tutup sang pendiri majlis Dakwah MTA, edisi 268 XXVI 20
September-20 Oktober 2012 hal 11 113
Jinan, ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
disebut sebagai salah satu murid terbaik Abdullah Thufail Saputra. Ia bergabung
dengan MTA pada tahun 1974 atau dua tahun setelah MTA berdiri.114
Menariknya,
berbeda dengan organisasi Islam lainnya, Sukina menjadi pemimpin organisasi
sekaligus imam MTA dipilih secara musyawarah antar pengurus, bukan melalui
pemilihan. Salah satu yang membuat Sukina dipilih adalah karena kedekatan dan
kesetiaannya dalam mengabdikan diri kepada imam sebelumnya, Abdullah Thufail.115
Sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi keagamaan, Sukina hampir tidak
memiliki pengalaman belajar keagamaan dari lembaga pendidikan keagamaan
tradisional, semisal pesantren. Ia lahir di Gawok Sukoharjo, dari pasangan Siti
Sadiyah dan Muhammad Bisri. Kedua orang tuanya dikenal sebagai aktivis Masyumi
dan Muhammadiyah yang giat dalam dakwah Islam. Dalam bidang keagamaan,
Sukina belajar dari kakeknya, Abdullah Manan, seorang aktivis Masyumi di
Surakarta. Menamatkan pendidikan dasar dan menengah di Sragen, Sukina
melanjutkan pendidikan PGA di Surakarta116
dan memperoleh sarjana pendidikan dari
UNS Surakarta.117
Namun dibawah kepemimpinannya, MTA berkembang dengan pesat dan terus
mendapatkan pengikut. Kini, organisasi MTA memiliki 52 perwakilan (setingkat
114
Majalah Respon, Ustadz Drs Ahmad Sukina Membawa MTA Diperhitungkan di Tingkat Nasional,
edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 43 115
Jinan, ibid 116
Jinan, ibid 117
Syaefudin Zuhri, “Gerakan Purifikasi di Jantung Peradaban Jawa: Studi Tentang Majelis Tafsir Al
Quran (MTA)”, dalam Gerakan Wahhabi di Indonesia (Dialog dan Kritik), Prof. K Yudian Wahyudi,
Ph.D. ed. 2009. Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
kabupaten) dan lebih kurang 245 cabang (di bawah kabupaten).118
Jumlah tersebut
masih terus berkembang. Hampir setiap bulan, berbagai perwakilan atau cabang baru
diresmikan.
Salah satu faktor berkembang pesatnya MTA di bawah kepemimpinan Sukina
adalah penggunaan radio sebagai media dakwah. Jangkauan yang luas dan masih
digunakannya radio terutama oleh masyarakat di pedesaan menjadi kekuatan dakwah
MTA menggunakan radio. Banyak cabang baru atau binaan tumbuh di berbagai
daerah yang awalnya hanya mendengar radio.119
Selain itu, MTA juga berkembang
menjadi organisasi yang modern dengan mengembangkan televisi, media online,
majalah, buletin, usaha ekonomi, percetakan, pertokoan serta lembaga pendidikan dari
TK sampai SMA.
Satu hal yang menarik, sebaga organisasi lokal, MTA berhasil menjalin
jaringan dengan berbagai pihak, termasuk dengan tokoh-tokoh nasional dari berbagai
kalangan yang silih berganti hadir dalam berbagai kegiatan MTA, terutama pengajian
Ahad Pagi. Puncaknya adalah ketika presiden SBY datang dan meresmikan gedung
pengajian berlantai empat pada tanggal 9 Februari 2008.120
118
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012 119
Majalah Respon, Ustadz Drs Ahmad Sukina Membawa MTA Diperhitungkan di Tingkat Nasional,
edisi 268 XXVI 20 September-20 Oktober 2012 hal 43 120
Berbagai tokoh yang hadir antara lain Akbar Tanjung, Azwar Anas, Zaenuddin MZ, Din
Syamsuddin, Shalahuddin Wahid, Wiranto, MS Ka‟ban, Surya Dharma Ali dan tokoh-tokoh nasional
lainnya. Majalah Respon, edisi 268, hal 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
C. Karakteristik Gerakan dan Model Dakwah MTA
1. Doktrin dan Ideologi Organisasi
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, berdirinya MTA tidak lepas
dari gagasan pendirinya Abdullah Thufail yang melihat kemunduran umat Islam pada
tahun 1960 dan 1970 sebagai akibat dari kurangnya pemahaman dan pengamalan
Islam secara benar. Selain itu, kemunduran tersebut merupakan akibat dari masih
dilakukannya praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan berbagai ajaran
lain. Satu-satunya jalan untuk menuju pada kejayaan Islam adalah dengan
mengamalkan ajaran Islam berdasar Al Quran dan Hadits secara murni dalam seluruh
aspek kehidupan, sekaligus meninggalkan berbagai praktek yang tidak ada sumber
hukumnya.
Dalam konteks gerakan, MTA bisa dikategorikan sebagai gerakan purifikasi
agama yang berupaya menghapus elemen-elemen non-Islami dalam pemahaman dan
praktek keagamaan yang secara umum dipengaruhi oleh pemikiran Ibn abd Wahhab.
Hal tersebut bisa dilihat dari ajaran MTA yang menolak berbagai praktek keagamaan
yang lazim ditemui di masyarakat terutama di pedesaan, seperti ziarah kubur,
slametan, kenduri dan praktek lainnya. menurut MTA, praktek tersebut adalah bid‟ah
karena tidak ditemukan dalilnya baik dalam Al Quran maupun Hadits nabi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
MC Ricklefs menggolongkan MTA sebagai organisasi fundamentalis
modernis.121
Tujuan utama organisasi ini adalah mengajak umat Islam mengamalkan
ajaran Islam sesuai dengan Al Quran dan Hadits dengan penafsiran tekstual dan
menolak segala macam bentuk penafsiran kontekstual yang menghasilkan amalan
ibadah yang dianggap bid‟ah yang dikhawatirkan bisa merusak ibadah seseorang.
Sementara menurut Quintan Wiktorowitz dalam konteks kategori gerakan salafi,
MTA tergolong dalam kelompok Salafi purist, yakni tidak berkeinginan untuk
membentuk negara Islam tetapi lebih memilih untuk berdakwah di tingkatan
masyarakat bawah dan berpendapat bahwa jika semua tingkat masyarakat memahami
Syariat Islam dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, Syariat Islam
akan terwujud dengan sendirinya.122
Sekilas, tujuan MTA sama seperti organisasi puritan lainnya di tanah air,
semisal Muhammadiyah atau Persis yang juga mengajak umat Islam meninggalkan
praktek ibadah yang seperti bid‟ah dan khurafat (takhayul).123
Begitu juga dengan
metode dakwah yang mengadopsi gagasan-gagasan yang lebih modern, misalnya
melalui pendirian sekolah serta penggunaan media baik cetak maupun elektronik.
Namun, berbeda dengan organisasi puritan lainnya, MTA memiliki karakteristik yang
khas, antara lain model kepemimpinan yang hirarkis, pola kaderisasi dan keanggotaan
121
MC Ricklefs, Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and Contemporary
Rhymes dalam Greg Barton dan Sally White, ed. “Expressing Islam: Religious Life and Politics in
Indonesia”, Singapore, ISEAS, 2008, hal 126-127 122
Ricklefs, ibid, 123
Ahmad Sukina mengatakan bahwa Muhammadiyah terlalu lunak dalam menganjurkan amalan Islam
yang bebas dari bidah kepada anggotanya. Lihat Muhammad Wildan, Mapping Radical Islamism in
Solo: A Study of the Proliferation of Radical Islamism in Central Java, Indonesia, Earlier version of
paper in fellowship at ISIM, Leiden University, the Netherlands in March-April 2007
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
yang ketat, serta berbagai aturan yang berfungsi untuk mengatur perilaku sekaligus
membangun loyalitas dan solidaritas organisasi.
Karakteristik MTA tersebut tidak lepas dari peran Abdullah Thufail
membangun semacam kerangka dasar organisasi, yang kemudian menjadi landasan
dari MTA. Beberapa pemikiran MTA tersebut antara lain; pertama, konsep mengenai
imamah dan jama‟ah. Bagi Abdullah Thufail, suatu gerakan atau organisasi umat
Islam harus disatukan oleh baiat dan imamah. Imam merupakan pemimpin yang wajib
diiukuti oleh para jamaah. Kedua, satu-satunya jalan untuk menyelamatkan umat
Islam dari keterbelakangan adalah dengan kembali mempelajari dan mengamalkan
Al-Quran dan al-Sunnah. Ketiga, agar dakwah Islam Islam bisa terus berkembang
harus dilakukan dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan
harta. Dalam hal ini, pengertian jihad dengan jiwa artinya bersungguh-sungguh
mengerahkan seluruh hidupnya untuk berdakwah.124
Kerangka pemikiran tersebut
mewarnai MTA sebagai sebuah organisasi dakwah sekaligus suatu komunitas dengan
berbagai aturan yang mengikat sekaligus menyatukan warga MTA di seluruh
Indonesia.
Dalam konteks ajaran, MTA menyebut bahwa mereka tidak jauh berbeda
dengan organisasi Islam lainnya. Dalam menafsirkan Al Quran, mereka mengambil
referensi dari buku-buku tafsir yang sudah ada. Buku tafsir Al Quran yang mereka
pelajari berasal dari terbitan Departemen Agama, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu
124
Jinan, ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Abbas, dan Tafsir Al-Maraghi yang secara substansi juga dipakai oleh kebanyakan
umat Islam di Indonesia.
Meski demikian, dalam menafsirkan ayata-ayat Al Quran terlihat bahwa MTA
menafsirkan al Quran sesuai dengan ideologi puritan mereka antara lain melalui
adanya penerbitan tafsir Majelis Tafsir Al Quran yang menunjukkan kentalnya
ideologi puritan mereka.125
Dalam prakteknya, pemahaman mereka terhadap tafsir
tersebut sangat tekstual dan mengabaikan interpretasi diluar apa yang tertulis dari
referensi yang mereka pakai dan didasarkan pada pemahaman utama mereka
mengenai upaya purifikasi agama dari ajaran atau pengaruh di luar Islam. Hal ini
berimplikasi pada pandangan bahwa praktek keagamaan yang dilakukan oleh MTA
adalah benar, sementara yang dilakukan umat Islam di luar MTA salah dan
menyimpang, terutama mereka yang mengamalkan praktek-praktek keagamaan secara
sinkretis.
2. Model Kepemimpinan dan Struktur Organisasi
Salah satu karakter yang membedakan MTA dengan organisasi lain adalah
pola kepemimpinan yang hirarkis dan model keanggotaan yang ketat. Pola tersebut
berfungsi untuk menjaga komitmen terhadap pelaksanaan prinsip-prinsip Islam sesuai
dengan Al Quran dan Hadits sekaligus membangun solidaritas dan ketaatan terhadap
organisasi sebagai manifestasi dari menjadi seorang muslim yang utuh.
125
Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA, Jurnal Refleksi, Vol
XII No 2 Oktober 2011, hal 128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Model kepemimpinan MTA terdiri dari kepengurusan yang berjenjang dari
tingkat pusat, kemudian perwakilan (setingkat kabupaten), disusul cabang (setingkat
kecamatan), dan tingkatan paling bawah adalah yaitu kelompok. Pimpinan di masing-
masing tingkatan tidak hanya dalam konteks manajerial, tetapi juga sebagai orang
yang dimintai jawaban atas segala persoalan, baik agama atau kehidupan sosial
ekonomi. Keputusan-keputusan strategis dan instruksi-instruksi yang berkaitan
dengan kemajuan organisasi diambil oleh pengurus pusat dan harus dipatuhi oleh
seluruh anggota sampai di tingkat paling bawah.
Secara hirarkis, pola kepemimpinan MTA dikendalikan oleh kepengurusan
pusat yang berada di Surakarta. Ketua umum bertindak selaku posisi tertinggi di
organisasi sekaligus pada saat yang sama menjadi imam tertinggi yang menjadi
rujukan untuk masalah keagamaan bagi seluruh warga MTA. Dengan demikian, bisa
dikatakan MTA menganut model kepemimpinan yang tunggal dan sentralistik.126
Di
tingkatan selanjutnya adalah perwakilan yang merupakan organisasi setingkat
kabupaten atau wilayah. MTA perwakilan ini membawahi MTA Cabang atau
organisasi setingkat setingkat kecamatan. Kelompok menjadi struktur paling kecil,
yang terdiri dari 3-7 orang.
Dengan pola organisasi yang hirarkis, MTA perwakilan, cabang atau bahkan
kelompok tidak bisa mengambil keputusan penting sendiri-sendiri, tetapi harus
melalui konsultasi dan koordinasi dengan kepengurusan pusat. Begitu juga setiap
126
Jinan, ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
persoalan yang dihadapi organisasi atau yang dialami anggota baik untuk urusan
keagamaan maupun persoalan lainnya dipecahkan secara berjenjang di masing-
masing kelompok, lalu jika tidak selesai di bawa ke tingkat cabang, selanjutnya
perwakilan sampai ke pusat.127
Selain itu, model kepemimpinan MTA juga sangat berbeda dengan organisasi
puritan modern lainnya. MTA tidak mengenal pemilihan ketua atau pengurus secara
periodik. Hal tersebut mengikuti pola kepemimpinan nabi dan para sahabat, di mana
pimpinan ditunjuk berdasarkan kapasitas.128
Hal tersebut bisa dilihat dari proses
peralihan kepemimpinan dari Abdullah Thufail ke Ahmad Sukina.
3. Kegiatan dan Rekrutmen Anggota
Sesuai dengan namanya, organisasi dakwah MTA memfokuskan diri pada
kegiatan dakwah untuk mempelajari, memahami dan meinterpretasikan Al Quran.
Dalam berbagai kesempatan, Ahmad Sukina selalu menjelaskan bahwa MTA bukan
organisasi yang menafsirkan Al Quran, melainkan tempat mempelajari Al Quran.
Salah satu kegiatan yang menjadi ciri khas MTA adalah pengajian Ahad Pagi.
Acara ini berlangsung setiap hari minggu di gedung MTA pusat dan dipimpin
langsung oleh ketua umumnya Ahmad Sukina. Peserta adalah anggota MTA dan
masyarakat umum dari berbagai kalangan. Dalam pengajian ini, setiap peserta
mengajukan pertanyaan mengenai persoalan agama maupun persoalan kehidupan
127
Catatan lapangan dan wawancara dengan Ustadz Suradi, ketua MTA perwakilan Blora 128
Wawancara dengan Sekretaris MTA Pusat Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
sehari-hari yang dijawab langsung oleh Ahmad Sukina. Pengajian ini menjadi andalan
MTA dalam merekrut anggota karena disiarkan melalui radio satelit dan internet
sehingga bisa menjangkau seluruh wilayah dan mampu diakses semua kalangan,
terutama mereka yang berasal dari pedesaan. Banyak anggota MTA yang mengaku
bergabung dengan MTA setelah mendengar pengajian Ahad Pagi melalui radio.129
Selain pengajian Ahad Pagi yang terbuka untuk umum, MTA juga menggelar
pengajian yang khusus dihadiri oleh para anggotanya. kegiatan ini diselenggarakan
oleh masing-masing cabang, biasanya digelar seminggu sekali dengan guru dari pusat
atau daerah yang sudah mendapat rekomendasi dari pusat. Misalnya di MTA
Perwakilan Blora menggelar pengajian setiap Selasa sore dengan seorang ustadz dari
Surakarta.130
Khusus untuk perwakilan Blora, hanya ada dua orang guru yang bisa
mengajar, yaitu Suradi, ketua MTA perwakilan Blora dan Suwanto yang berasal dari
Bangkerep, Blora.
Selain pengajian khusus anggota di masing-masing perwakilan atau cabang,
ada juga pengajian khushusi, yaitu pengajian yang diselenggarakan khusus untuk
anggota yang dianggap memiliki kapasitas tertentu dan mereka yang telah
membaiatkan diri kepada sang imam (ketua umum) MTA.131
Anggota Khushusi
biasanya mereka adalah pengurus di masing-masing perwakilan atau cabang serta
anggota biasa yang dianggap layak dan memiliki komitmen tinggi atau mereka yang
129
Wawancara dengan Suraji, salah seorang warga MTA berasal dari Purwodadi. tanggal 9 September
2012 di kantor pusat MTA. Ia mengaku mengenal MTA pertama kali dari radio. 130
Catatan lapangan 131
Jinan, ibid, hal 594
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
sudah lama bergabung dengan MTA.132
Kegiatan ini diselenggarakan setiap hari
Jumat di kantor pusat MTA. Para peserta terbagi dalam beberapa kelas dan dipimpin
oleh seorang guru.133
Pengajian ini diselenggarakan setiap hari Jumat di kantor pusat
MTA dengan peserta pengurus maupun anggota khusus.
Selain itu, pengajian di MTA memiliki ciri khas. Jika pengajian pada
umumnya tidak ada interaksi langsung atau penceramah berbicara dan pendengar
menyimak, di pengajian MTA –baik pengajian terbuka atau khusus anggota- setiap
setiap orang bebas bertanya persoalan apapun, baik persoalan agama atau kehidupan
sehari-hari. Peserta juga membawa pena, buku catatan dan Al Quran terjemahan.
Dalam pengajian ini juga disebarkan brosur –istilah yang memang disebut oleh MTA-
yang berisi kumpulan ayat al-Quran dan hadis beserta terjemahannya sesuai dengan
tema yang diajarkan pada hari itu yang dikeluarkan secara resmi oleh pengurus MTA
pusat.
Yang menarik dari pengajian tertutup yang dihadiri oleh anggota adalah
adanya presensi atau pengecekan kehadiran anggota. Sebelum seorang ustadz
memulai pengajian, ia selalu menanyakan siapa saja anggota yang tidak hadir berikut
alasannya. Jika selama kurun waktu tertentu seorang anggota tidak hadir tanpa
keterangan yang jelas, ia bisa dikeluarkan dari MTA. Adanya presensi tersebut
dimaksudkan untuk menjaga ketertiban dan komitmen anggota dalam belajar agama,
132
Wawancara Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012 133
Catatan lapangan di kantor perwakilan MTA Blora dan dan kantor pusat MTA Surakarta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
karena sebagai anggota MTA mereka punya aturan dan kewajiban yang harus
ditaati.134
Keanggotaan MTA dilandaskan atas pemikiran Abdullah Thufail bahwa agar
berkembang dengan baik umat Islam harus disatukan oleh baiat dan imamah, model
perekrutan keanggotaan MTA dilakukan secara berjenjang dengan baiat atau loyalitas
sebagai syarat untuk masuk ke dalam keanggotaan MTA. Orang yang bergabung
dengan MTA biasa disebut dengan istilah warga. Istilah ini dipilih untuk menghindari
sebutan ”anggota”, karena MTA merupakan Yayasan memiliki pengurus tetapi tidak
memiliki anggota.135
Menurut Suradi, istilah warga merupakan strategi dari ustad
Abdullah Thufail selaku pendiri MTA pada masa Orde Baru karena tidak secara
spesifik menunjukkan identitas keislaman, semisal istilah Jamaah yang pada masa
Orde Baru identik dengan gerakan Islam garis keras.136
Untuk menjadi warga MTA, seseorang harus melalui beberapa tahapan.
Pertama, seorang yang akan bergabung harus terlebih dulu mengikuti pengajian MTA
di tempat dia tinggal terdekat atau mengikuti pengajian Ahad Pagi dengan status
sebagai pendengar (mustami‟). Selanjutnya calon tersebut diharuskan mengikuti
pengajian baik secara berkelompok atau secara pribadi selama beberapa kali. Tahap
berikutnya adalah pembinaan, yaitu tahapan di mana calon yang dinilai serius dalam
mengikuti pengajian calon warga diharuskan mengisi formulir peserta yang berisi data
pribadi, kerelaan menjadi anggota sekaligus menyetujui setiap aturan yang mengikat
134
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September dan catatan lapangan 135
Jinan ,ibid 136
Wawancara dengan Ustadz Suradi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
mereka sebagai warga MTA. Aturan yang harus ditaati oleh setiap anggota yang
bergabung dengan MTA adalah: 1)Niat ikhlas menuntut ilmu; 2) Bermujahadah
(bersungguh-sungguh –penulis) untuk memahami pelajaran; 3) Bermujahadah
meyakini dan mengamalkan isi pelajaran tingkat perorangan, rumah tangga dan
masyarakat; 4) Tertib dan bersih dalam berpakaian, sopan dalam pembicaraan di
dalam maupun di luar pengajian; 5) Menjaga ketertiban masuk dan keluar ruang
belajar; 6) Menjaga dan menghindari pergaulan bebas pria dan wanita; 7)
Menyebarluaskan isi pelajaran kepada keluarga dan masyarakat dengan kasih sayang,
tanpa pamrih dan mengharap ridha Allah Swt; 8) Tidak masuk pengajian tiga kali (3x)
berturut-turut tanpa ijin, dinyatakan keluar dari Majlis Tafsir Al Quran. 137
Tahap
ketiga atau terakhir adalah kemantapan, yakni bersamaan dengan proses pembinaan,
kelompok binaan diresmikan menjadi cabang atau tersendiri atau bergabung dengan
cabang yang sudah ada.
Selain kegiatan pengajian Ahad Pagi dan di masing-masing cabang atau
perwakilan, MTA juga menggelar kegiatan yang mungkin tidak ditemui di organisasi
Islam lainnya. antara lain adalah kegiatan Nafar (bahasa arab: rombongan) atau
kegiatan kunjungan silaturahim warga MTA ke wilayah lain yang dilakukan setiap
bulan Ramadhan. Khusus untuk kegiatan ini, seorang warga MTA harus
mendaftarkan dirinya untuk mengikuti kegiatan di tempat lain ke kantor pusat MTA,
di mana pengurus pusat kemudian menentukan penempatan seorang warga. Bisa jadi
137
Sumber dari Lembar Pernyataan Peserta Cabang/Gelombang, Yayasan Majlis Tafsir Al Quran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
seorang warga MTA di Blora mengikuti nafar di kota lain, atau bahkan di provinsi
atau pulau lainnya. Dengan demikian, terjadi interaksi dan berbagi pengalaman antar
anggota yang berasal dari wilayah yang berbeda. Selain itu juga terdapat kegiatan
insidental seperti Pengajian Akbar saat peresmian Cabang atau Perwakilan baru, di
mana warga MTA dari seluruh Indonesia datang dan menjadi gambaran kesolidan
organisasi dan pesatnya perkembangan MTA.
4. Pola Interaksi dan Solidaritas Anggota
Jenjang organisasi yang hirarkis, model rekrutmen anggota yang ketat, aturan
yang mengikat, serta berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan secara terjadual
dan rapi telah membuat MTA menjadi organisasi dengan anggota yang memiliki
loyalitas dan ketaatan terhadap pimpinan, solidaritas keanggotaan yang kuat serta
komitmen dan disiplin yang tinggi dalam menjalankan ajaran-ajaran keagamaan
dalam kehidupan sehari-hari.
Interaksi keanggotaan antar warga MTA dijabarkan dalam prinsip yaitu ta‟ruf,
tafahum, dan takaful. Ta‟ruf artinya sesama aggota saling mengenal satu dengan
lainnya. Kemudian Tafahum, artinya saling memahami satu sama lain. Sedangkan
Takaful artinya saling membantu dan bekerja sama. Konsep ini diambil dari
pemikiran ideolog Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna138
Ketiga konsep tersebut
138
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012. Sebagaimana dijelaskan dalam
bagian lain pada bab ini, Hasan Al Banna (1906-1948) adalah ideolog organisasi Ikhwanul Muslimin
yang berdiri di Mesir. Konsep ini ia jabarkan dalam bukunya Majmaatul Rasail atau diterjemahkan
menjadi. Lihat Himpunan Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, ebook tanpa tahun dan penerbit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
terutama diamalkan dalam kelompok yang terdiri dari 5-7 orang, di mana kelompok
berfungsi sebagai ajang untuk mengulang pelajaran sekaligus mengamalkan apa yang
sudah mereka pelajari. Dari kelompok inilah solidaritas dan persaudaraan antar
sesama warga tumbuh dan berkembang karena prinsip dalam Islam setiap umat Islam
adalah bagaikan satu tubuh yang saling berhubungan satu sama lain.139
Dengan konsep tersebut, MTA menggalang jaringan, solidaritas dan loyalitas
anggotanya di berbagai tempat. Setiap warga bisa meminta tolong warga lainnya, baik
dalam persoalan keagamaan atau urusan ekonomi, bisnis, pekerjaan atau urusan
lainnya. Dengan konsep ini maka seorang warga merasa menjadi bagian dari suatu
komunitas besar yang menaungi dirinya baik dari segi keagamaan maupun sosial
ekonomi, yang mana hal tersebut mungkin tidak ia jumpai di luar kelompoknya.
Dengan konsep tersebut, tidak heran jika anggota MTA yang berasal dari
berbagai latar belakang yang berbeda memiliki solidaritas dan kebersamaan yang
tinggi. Mereka memiliki ikatan yang kuat sebagai umat Islam yang memiliki
komitmen untuk mengkaji, memahami dan mengamalkan tuntunan Islam secara
murni. Dalam perkembangannya, solidaritas dan kebersamaan tersebut sangat
berfungsi menguatkan komitmen mereka sebagai muslim puritan di tengah kehidupan
masyarakat di sekitar mereka yang kebanyakan masih menjaga dan menjalankan
berbagai praktek agama yang bercampur tradisi lokal. Di banyak tempat, perilaku
keagamaan yang ketat dan kehidupan sehari-hari yang cenderung berbeda membuat
139
Wawancara dengan Ustadz Yoyok Mugiyanto, 9 September 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
warga MTA sering mendapat kecaman dari masyarakat lainnya. Namun bagi warga
MTA, hal itu tidak menyurutkan mereka terhadap apa yang mereka yakini, dan
menganggap hal tersebut sebagai konsekuensi yang harus ditanggung demi menjadi
seorang muslim yang utuh (kaffah), yakni muslim yang menjalankan agamanya
berdasar sumber asli, yaitu Al Quran dan Hadits.
5. Jihad Harta dan Jihad Diri
Salah satu konsep paling utama dari MTA adalah mengenai Jihad. Dalam
pandangan MTA, agar dakwah Islam Islam bisa terus berkembang harus dilakukan
dengan dua macam jihad, yaitu jihad dengan jiwa dan jihad dengan harta.
Jihad dengan harta ini menjadi ciri khas MTA yang berbeda dengan organisasi
keagamaan Islam lainnya, yakni berkaitan dengan konsep Zakat dan Infaq. Dalam
pemahaman yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia, mengeluarkan zakat
harta sebesar 2,5 persen harta merupakan kewajiban jika telah memenuhi jumlah harta
tertentu dalam satu tahun (nishob). Namun di MTA zakat harus dikeluarkan oleh
seluruh anggotanya setiap kali mendapat penghasilan, baik harian maupun bulanan.
Dana yang terkumpul baik di pusat, perwakilan atau cabang dikelola sendiri dan
digunakan sebagai dana untuk membiayai infrastruktur dan operasional untuk
kegiatan-kegiatan MTA yang dimaknai sebagai perjuangan untuk menegakkan agama
Allah, atau jihad fi sabilillah. Dengan cara seperti ini tidak heran jika MTA memiliki
infrastruktur yang lengkap dan modern, seperti gedung megah, sekolah-sekolah, radio
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
dan televisi serta untuk membiayai berbagai kegiatan lainnya yang memerlukan dana
cukup besar.
Selain zakat wajib, kegiatan operasional MTA juga didukung dari sumbangan
atau infaq. Sama seperti zakat yang ditekankan sebagai bagian dari perjuangan
menegakkan Islam, infaq atau sumbangan sukarela di MTA menjadi kata kunci yang
selalu di sampaikan kepada warga anggota MTA sebagai bagian tak terpisahkan
dalam menegakkan dakwah Islam.
Sementara konsep Jihad jiwa adalah bersungguh-sungguh mengerahkan seluruh
hidupnya untuk berdakwah. Dalam prakteknya, seluruh anggota MTA dituntut untuk
mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan di cabang, perwakilan atau pusat
baik yang sifatnya rutin seperti pengajian Ahad Pagi atau kegiatan insidental seperti
peresmian-peresmian cabang MTA di seluruh Indonesia termasuk kegiatan Nafar
selama bulan Ramadhan dimana anggota MTA dari satu cabang dikirim ke tempat
lain baik di lokal atau ke seluruh wilayah Indonesia selama satu bulan penuh untuk
belajar agama sekaligus membangun jejaring dengan anggota lainnya.
D. Kesimpulan
Melalui uraian di atas bisa diperoleh gambaran mengenai MTA yang berdiri
pada tahun 1972 di Surakarta atau pada situasi di saat umat Islam di seluruh dunia
sedang bangkit dari keterpurukan sekaligus berupaya meraih kejayaannya kembali
melalui jargon kembali kepada Al Quran dan Sunah. Tumbuh sebagai organisasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
dakwah lokal yang bertujuan menyeru umat Islam untuk mengamalkan praktek Islam
yang total sekaligus bebas dari pengaruh dari luar Islam, MTA berkembang pesat di
hampir seluruh Indonesia. Secara khusus, MTA mendapatkan banyak pengikutnya di
pedesaan-pedesaan yang masyarakatnya masih kental dengan berbagai tradisi dan
praktek keagamaan yang bercampur dengan kepercayaan lokal. Blora, terutama di
wilayah pedusunan Bangkerep menjadi salah satu ikon dan gambaran sejarah
perkembangan MTA yang mencakup warga yang awalnya masih kental dengan tradisi
lokal, kemudian melakukan konversi menuju praktek pengamalan yang ketat dan
puritan dengan segala konsekuensi dan identitas baru mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
BAB III
DINAMIKA BANGKEREP : ANTARA TRADISI, MODERNITAS DAN
PURITANISME
A. Pengantar
Ayo Podho Solat
Kanggo sangu neng akherat
Pitulas rekaat rino wengi ojo telat
Yen jejek solate bakal ngadek agamane
Yen ninggal solate bakal rubuh agamane
Senja itu, alunan irama menggunakan pelantang suara memecah keheningan
di sebuah dusun kecil di Blora, Jawa Tengah. Sholawatan140
yang mengalun merdu
dengan nada menyerupai lagu Jawa populer caping gunung141
tersebut berasal dari
sebuah masjid kecil berdinding semi permanen yang terletak tepat di tengah dusun.
Hampir bersamaan, suara adzan terdengar lantang dari sebuah masjid megah yang
hanya terletak sekitar lima belas meter sebelah barat masjid sebelumnya. Berbeda
dengan sholawatan bercengkok lagu Jawa, adzan dari masjid dengan dinding keramik
tersebut berkumandang tanpa irama.
140
Sholawatan adalah puji-pujian yang dibaca oleh umat Islam kebanyakan di Jawa. Lazimnya dibaca
antara waktu sesudah panggilan adzan dan sebelum iqomat atau pelaksanaan sholat. 141
Lagu Caping Gunung adalah lagu yang populer di masyarakat Jawa yang diciptakan oleh Gesang
dan dipopulerkan Waljinah. Dalam versi aslinya, lirik lagu tersebut berbunyi: /Dhek jaman
berjuang/Njuk kelingan anak lanang/Biyen tak openi/Ning saiki ana ngendi//Jarene wis
menang/Keturutan sing digadang/Biyen ninggal janji/Ning saiki apa lali//Ning gunung/Tak jadongi
sega jagung/Yen mendung/Tak silihi caping gunung//Sukur bisa nyawang/Gunung desa dadi reja/Dene
ora ilang/Gone padha lara lapa/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Segera saja jalanan dusun yang mulai gelap dipenuhi oleh orang-orang yang
hendak menunaikan sholat Maghrib. Laki-laki, perempuan, anak-anak berjalan
beriringan sambil berbicara hangat satu sama lain menuju masjid kecil dengan
dinding batu dan kayu. Namun, beberapa orang laki-laki terlihat bergegas terburu-
buru menuju masjid yang lebih besar, sebagian dari mereka berjalan tanpa sepatah
katapun.
Lazimnya dalam satu desa hanya terdapat satu masjid dan beberapa mushola.
Tetapi di Bangkerep, dusun kecil yang hanya dihuni oleh sekitar 151 kepala keluarga,
dua masjid yang berdekatan merupakan simbol identitas masing-masing. Masjid
Baitun Nahdliyin dengan bangunan kecil semi permanen dengan alunan sholawatan
bercengkok Jawa tadi digunakan oleh sebagian besar warga Bangkerep untuk
beribadah dan menjadi simbol keharmonisan Islam dengan tradisi lokal. Sementara
Masjid Al Furqon dengan bangunan permanen, berlantai keramik dengan arsitektur
modern tadi adalah masjid yang dibangun oleh warga Bangkerep yang bergabung
dalam organisasi Majelis Tafsir Al Quran (MTA) setempat yang menjadi salah satu
dari pengukuhan kembali identitas baru sebagai muslim yang murni dan utuh (kaffah).
B. Agama, Tradisi dan Modernitas di Bangkerep
Majelis Tafsir Al Quran (MTA) pertama kali berkembang di Blora pada tahun
1990-an di Bangkerep, sebuah dusun kecil yang terletak di Desa Balong, Kecamatan
Kunduran. Seorang warga dusun yang merantau ke Solo bergabung dengan MTA dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
kemudian merintis berdirinya MTA sampai kemudian menjadi perwakilan (setingkat
kabupaten) untuk seluruh wilayah Blora.
Blora sendiri adalah sebuah kabupaten yang terletak di pedalaman Jawa
Tengah.142
Secara geografis, Blora terletak di wilayah Pegunungan Kendeng Utara
yang didominasi batuan gamping atau karst yang cocok sebagai habitat pohon jati.
Kawasan karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati
(bagian selatan), Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro
(bagian utara) dan Lamongan (bagian barat). Karakater tanah yang didominasi tanah
kapur dan berhawa panas membuat tanaman-tanaman yang tidak terlalu banyak
membutuhkan air seperti ubi, jagung, dan tentu saja pohon jati. Karakter tanah yang
kering membuat Blora juga dikenal sebagai penghasil kayu jati terbaik. Karena jati
tersebut, Blora menjadi salah satu wilayah yang paling awal dikuasai oleh kerajaan
Jawa dan baru pada tahun 1749 menjadi wilayah pemerintahan sendiri.143
Curah hujan
yang sedikit dan tanah yang tandus menjadikan Blora sebagai penghasil palawija.
Meski dikenal sebagai wilayah yang kering, namun Blora memiliki kekayaan
alam berupa minyak dan gas yang yang dikelola oleh pihak asing. Salah satu ladang
minyak terbesar di wilayah ini ada di kecamatan Cepu, tempat di mana ladang-ladang
142
Blora berasal dari kata “Belor” yang berarti lumpur, menjadi “Mbeloran” lalu kemudian berubah
menjadi Blora. Secara etimologi Blora berasal dari kata Wai yang berarti air dan Lorah yang berarti
jurang atau tanah rendah. Perubahan penyebutan yang biasa terjadi di masyarakat Jawa antara lain
menyebut “w” dengan “b” sehingga Wailorah menjadi Bailorah, kemudian menjadi Balora dan
akhirnya menjadi Blora. Blora dengan demikian terkait dengan karakteristik geografis yaitu dataran
rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur. Lihat www.blora.go.id 143
Andre Moller, Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting, Department of History and
Anthropology of Religion, Lund University, Swedia, 2005, versi Ebook diterbitkan dan diunduh dari
www.anpere.net , hal. 21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
minyak dikelola oleh Pertamina dan beberapa investor asing seperti Exxon dan
Petrochina. Minyak menjadi pemasukan utama bagi pemerintah Kabupaten Blora.
Selain itu, berbeda dengan karakter masyarakat di pesisir yang lebih Islami –
pantura mendapat ajaran Islam dari Walisongo- Blora memiliki karakter berbeda.
Blora terletak sekitar 30 kilometer jauhnya dari kota pesisir terdekat Rembang dan
dari dua kota wali Kudus dan Tuban. Blora bisa didefinisikan sebagai Jawa yang jauh
dari Keraton.144
Selain itu wilayah Blora juga dikenal dengan gerakan perlawanan
masyarakat Samin, yakni gerakan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang
memungut pajak yang memberatkan mereka yang dipimpin oleh Samin Surosentiko
(1859-1914).
Blora dikenal memiliki kekayaan tradisi dan kebudayaan. Berbagai macam
kesenian, ritual, legenda, mitos menjadi kehidupan sehari-hari warga Blora. Dua
kesenian yang menjadi kebanggan Blora adalah Barongan dan Tayub. Kedua kesenian
khas tersebut lekat dengan mitos dan legenda dan biasanya digelar saat pesta rakyat,
upacara-upacara, peringatan hari besar atau ketika warga menggelar hajatan
pernikahan, atau sunatan. Blora juga dikenal sebagai wilayah Abangan yakni
masyarakatnya beragama Islam tetapi minim dalam pengetahuan tentang agama Islam
dan tidak terlalu kuat dalam menjalankan ibadahnya, sekaligus masih melakukan
tradisi-tradisi yang bersumber dari kepercayaan lokal. Secara historis, wilayah Blora
termasuk Kunduran juga merupakan basis dari kelompok Nasionalis-Abangan,
144
Moller, ibid, hal. 22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
bahkan wilayah Kunduran menjadi salah satu basis dari Partai Komunis Indonesia
(PKI).
1. Kehidupan sosial ekonomi Bangkerep
a. Geografis
Dari jalan utama yang menghubungkan Kabupaten Grobogan dengan Blora,
Bangkerep bisa diljangkau melewati sebuah jalan desa berbatu sejauh lebih kurang
sepuluh kilometer. Secara administratif, Bangkerep merupakan salah satu dari dua
dusun yang masuk wilayah Desa Balong, Kecamatan Kunduran. Dusun lainnya, yang
terletak sebelum Bangkerep –memiliki nama yang sama dengan nama desa- adalah
Dusun Balong.
Desa Balong memiliki luas 648.420 Ha. Secara geografis, dua dusun yakni
Dusun Bangkerep dan Dusun Balong dipisahkan oleh persawahan dan tegalan sejauh
lebih kurang satu kilometer. Sebagian besar wilayah Desa Balong terdiri dari
persawahan, tegalan kering serta dikelilingi oleh hutan jati yang biasa disebut warga
dengan nama hutan Kunduran. Hutan jati menjadi bagian dari kehidupan warga
Dusun Bangkerep dan Dusun Balong. Dulu warga Desa Balong terbiasa menebang
kayu jati untuk dijual kepada para penadah dengan resiko ditangkap aparat. Reformasi
pada tahun 1998 menjadi puncak ketika pada masa itu warga melakukan penjarahan
besar-besaran di hutan jati yang mengelilingi dusun mereka.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
b. Sosial
Secara umum, Dusun Bangkerep adalah dusun dengan ikatan relasi sosial yang
masih kuat. Hal tersebut terjadi karena antar warga memiliki hubungan kekerabatan
baik ikatan darah atau ikatan perkawinan satu dengan lainnya. Selain itu, kondisi
geografis dusun yang berada dalam satu lokasi memungkinkan terjadinya interaksi
antar warganya. .
Kata Bangkerep sendiri berasal dari kata “kembang kerep” atau yang berarti
bunga “gebang” yang banyak tumbuh di hutan sekitar Bangkerep. Tidak begitu jelas
diketahui kapan dusun ini berdiri. Namun sebagian besar warga Dusun Bangkerep
dulunya bukanlah warga asli. Dusun ini awalnya hanya terdiri dari sekitar 11 kepala
keluarga. Lalu pada tahun 1960-an para warga dari luar dusun mulai berdatangan dan
bermukim di Bangkerep. Sebagian besar pendatang tersebut berasal dari wilayah
Sragen, Jawa Tengah. Tidak ada informasi yang jelas mengenai motif kedatangan
orang-orang dari wilayah Sragen tersebut. Salah satu informasi dari warga
menyebutkan bahwa pada tahun 1960-an ada beberapa orang pendatang dari Sragen
yang membuka lahan di hutan Kunduran yang mengelilingi Dusun Bangkerep.
Karena hasil bercocok tanam yang bagus, warga pendatang tersebut kemudian
mengajak kerabat-kerabatnya di wilayah Sragen untuk bersama-sama menetap dan
mengolah lahan di hutan sekitar Dusun Bangkerep sehingga kemudian berkembang
menjadi sebuah dusun seperti sekarang ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Desa Balong dihuni oleh lebih kurang 1.294 jiwa. 90 persen dari mereka
bermata pencaharian petani, dan sisanya adalah pedagang, pegawai negeri, tentara dan
pekerja lainnya. Secara formal, Islam menjadi satu-satunya agama yang dianut oleh
seluruh warga desa Balong. Khusus untuk Dusun Bangkerep ditinggali oleh sekitar
151 KK atau lebih kurang 500 jiwa.
Hampir seluruh kepala keluarga bermata pencaharian sebagai petani padi dan
palawija, terutama jagung dan singkong. Mayoritas tingkat pendidikan hanya sampai
di sekolah dasar. Sampai tahun 2011, ada dua orang yang melanjutkan kuliah ke
perguruan tinggi, empat warga yang sedang bersekolah di tingkat menengah atas,
kurang dari sepuluh yang bersekolah di tingkat menengah pertama, dan lainnya hanya
bersekolah sampai di tingkat pendidikan dasar.
Tidak ada fasilitas publik satupun di Dusun Bangkerep. Karena semua fasilitas
umum terletak di Dusun Balong, maka anak-anak di Dusun Bangkerep harus
bersekolah atau warga yang ingin mendapatkan layanan kesehatan harus pergi ke
Dusun Balong. Sebagian besar warga tinggal di rumah berdinding papan dan berlantai
tanah. Menempel di sisi rumah atau di pekarangan, terletak kandang sapi atau
kambing, ternak yang menjadi tabungan untuk digunakan saat darurat atau kebutuhan
besar. Dengan swadaya masyarakat, pada tahun 2001, warga baru bisa menikmati
listrik.
Sementara kondisi di Dusun Balong bisa dibilang relatif lebih maju. Rata-rata
tingkat pendidian warga Dusun Balong memiliki tingkat pendidikan warga yang lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
tinggi dengan beragam jenis mata pencaharian selain petani. Dibandingkan dengan
Dusun Bangkerep, rumah-rumah warga Dusun Balong banyak yang berdinding batu
dengan arsitektur beragam. Selain itu, Dusun Balong juga menjadi pusat
pemerintahan desa, di mana selain terdapat kantor balai desa, juga terdapat berbagai
layanan publik seperti sekolah dasar, Madrasah Diniyah (sekolah sore keagamaan),
serta Polindes (poliklinik desa) dan bidan desa.
c. Ekonomi : Antara tanah tandus dan perantauan
Di penghujung bulan April, tanda-tanda kemarau sudah mulai terasa di Dusun
Bangkerep. Sawah-sawah mulai mengering tak bisa ditanami. Kali kecil dan irigasi
sudah tidak lagi mengalir. Sebagaimana wilayah Blora lainnya, lahan pertanian di
Dusun Bangkerep didominasi oleh tanah tandus dan kering. Hampir seluruh petani di
Dusun Bangkerep menggantungkan kehidupan mereka pada sawah tadah hujan. Masa
panen besar biasanya berlangsung sekitar bulan Februari atau Maret atau di akhir
musim penghujan. Di musim kemarau, jagung menjadi satu-satunya tanaman andalan
warga untuk bertahan hidup.
Kemarau yang menjelang juga menjadi pertanda bahwa sebentar lagi dusun
kecil yang terletak di tengah persawahan dan hutan jati itu akan mulai sepi
ditinggalkan para penghuninya –terutama para lelaki untuk merantau ke kota besar.
Sebagian besar para lelaki merantau ke kota untuk bekerja sebagai buruh bangunan
atau berdagang informal. Surabaya, kota besar yang yang terdekat dengan Blora
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
menjadi tujuan utama, sebagian kecil pergi ke Jakarta. Ada juga yang pergi ke luar
pulau Jawa. Mereka yang hendak merantau biasanya pergi dalam rombongan besar
dengan menyewa mobil secara bersama-sama. Laki-laki warga Dusun Bangkerep
yang tidak pergi merantau biasanya adalah mereka yang mengurusi ternak, atau
mereka yang berusia lanjut.
Namun beberapa tahun belakangan ini, warga Bangkerep menemukan
komoditas pertanian yang jauh lebih menguntungkan, yaitu singkong. Dengan masa
panen rata-rata 4-7 bulan dan perawatan yang tidak rumit, hasil yang didapat jauh
lebih besar ketimbang tanaman padi. Sebagai contoh, untuk lahan seluas 0,5 hektar,
warga bisa mendapat sekitar 3-4 juta rupiah sekali panen. Hasil panen biasanya di
ambil oleh tukang tebas yang berasal dari warga sekitar untuk dijual ke tengkulak di
kota Pati, sebagai bahan tepung kanji.
2. Bangkerep dan tradisi masyarakat petani
Sebagaimana umumnya masyarakat Jawa dan khususnya Blora, masyarakat
Dusun Bangkerep masih kental dengan kepercayaan leluhur dan kekuatan gaib seperti
danyang, mbahurekso, arwah leluhur, dan berbagai kekuatan yang tidak kasat mata
lainnya. Kekuatan gaib tersebut diyakini merupakan bagian tak terpisahkan atau satu
kesatuan antara masyarakat, alam dan kekuatan adrikodrati yang ikut berperan dalam
kelangsungan nasib manusia sehingga harus terus dijaga sehingga tercipta suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
keseimbangan dalam kehidupan.145
Keyakinan terhadap kepercayaan leluhur tersebut
mewujud dalam berbagai ritual seperti sedekah bumi, kepercayaan terhadap danyang
di tempat-tempat keramat, serta ritual siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan,
kematian) seperti lek-lekan (begadang semalaman) dalam rangka kelahiran bayi atau
hajatan pernikahan yang dalam beberapa waktu terakhir sudah diwarnai oleh ajaran
Islam. Di sisi lain Dusun Bangkerep bisa dikategorikan sebagai dusun Abangan di
mana mayoritas warganya tidak memiliki pengetahuan keagamaan Islam yang cukup
serta kurang peduli dalam mempraktekkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari
dan pada saat yang sama masih memegang teguh kepercayaan dan menjalankan
berbagai ritual-ritual dari leluhur mereka.
a. Kamituwo dan Modin: dua serangkai penjaga tradisi dusun
Rumah kayu bercat coklat di tengah dusun itu hampir tak pernah sepi. Ada saja
orang yang datang untuk suatu keperluan. Hari itu misalnya, salah seorang warga
datang untuk mengurus perceraian. Ada juga yang datang untuk berkonsultasi
mengenai kapan baiknya mengadakan acara kenduri karena berbenturan dengan
warga lainnya. Sebagian besar warga datang untuk mengurus administrasi
kependudukan atau sekedar menanyakan kepastian program pemerintah yang
menyasar langsung ke warga, seperti misalnya pembagian beras miskin.
145
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,
Jakarta, 2003, Gramedia, hal 85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Rumah itu milik pak Saji, Kamituwo (kepala dusun) Bangkerep. Lelaki berusia
sekitar 40 tahun itu menjadi rujukan warga Bangkerep untuk segala macam urusan.
Dalam struktur masyarakat pedesaan, Kamituwo tidak hanya berfungsi struktural,
tetapi juga kultural. Selain mengurus administrasi seperti pernikahan, kelahiran
maupun perceraian, ia juga bertugas untuk mengurusi hal yang berkaitan dengan
kehidupan sosial dan keagamaan di dusun.
Pak Saji menjadi Kamituwo sejak tahun 2002. Ia dipilih karena satu-satunya
warga berusia tua yang lulus sekolah menengah pertama. Saat pemilihan Kamituwo,
ia melawan bumbung kosong atau satu-satunya calon Kamituwo karena tidak ada
warga lain yang bersedia mencalonkan diri menjadi Kamituwo.
Sama seperti warga Bangkerep lainnya, pak Saji mendapatkan penghasilannya
dari bertani. Sebagai Kamituwo, ia mendapatkan tanah bengkok. Pagi hari ia sudah
mengurus sawah atau melihat tanaman singkongnya. Menjelang siang, ia mencari
rumput untuk dua ekor sapinya. Ia hampir tidak pernah ke kantor balai desa di
Balong, hanya sesekali atau bersamaan dengan jadual piketnya, hari Selasa. “Mboten
wonten damelan wonten mriko. (Tidak ada yang dikerjakan di sana)”, katanya suatu
ketika.
Bu Tuminah, istrinya, menghabiskan waktu dengan mengurus rumah. Sebagai
istri Kamituwo, ia juga berperan dalam kegiatan sosial keagamaan, seperti mengurus
kelompok musik rebana dusun atau kelompok pengajian ibu-ibu. Maulida, anak
perempuannya adalah satu dari sekitar empat anak dusun Bangkerep yang bersekolah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
ke sekolah menengah pertama di kota kecamatan. Sementara Kukuh, anak laki-
lakinya masih bersekolah di sekolah dasar di Dusun Balong.
Selain Kamituwo, tokoh berpengaruh lainnya adalah Mbah Nurhasyim, yakni
Modin atau orang yang bertugas mengurusi masalah keagamaan. Meskipun memiliki
jabatan Modin, Mbah Nurhasyim bukan tipe tokoh agama yang memiliki pengetahuan
agama Islam yang luas dan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang
berkaitan dengan masalah keagamaan. Ia hanya menjadi imam sholat di saat-saat
tertentu saja. Beberapa warga menunjukkan keraguannya pada mbah Nurhasyim,
terutama karena bacaan Qur‟annya yang tidak fasih. Menurut Pak Saji: “Riyen mbah
Modin namung ditunjuk, kowe dadi modin. Nggih namung iso-isonan.” (Dulu mbah
Modin itu ditunjuk, kamu jadi Modin. Ya cuma bisa sedikit-sedikit saja).
Selain Kamituwo dan Modin, sebenarnya ada tokoh kultural lainnya, yaitu
Petengan dan Bayan. Petengan adalah orang yang bertugas menjaga keamanan dusun.
Sementara Bayan adalah semacam juru informasi berkaitan dengan kebijakan desa
atau dusun. Namun sudah puluhan tahun kedua posisi tersebut tidak diisi karena
Dusun Bangkerep tidak memiliki tanah bengkok untuk menggaji orang yang
menduduki kedua jabatan tersebut.
b. Warung kopi : ruang publik dan transaksi ekonomi
Dari warung kopi kehidupan Bangkerep seolah dimulai. Pagi hari ketika
matahari mulai menyiratkan semburat merah di timur, lelaki-lelaki Bangkerep
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
bergegas menuju ke sebuah rumah di sebelah selatan dusun. Rumah berukuran luas
dengan bangku dan meja-meja panjang itu berfungsi sebagai warung kopi. Seiring
matahari meninggi, warung mulai ramai didatangi pembeli. Hampir semuanya adalah
lelaki Bangkerep. Gelas-gelas kopi mulai diedarkan. asap rokok mulai mengepul. Dan
obrolan dimulai.
Bagi lelaki Bangkerep, warung kopi adalah tempat untuk memulai segala
kegiatan sebelum pergi ke sawah atau ladang. Selain pagi hari, warung kopi mulai
ramai saat siang hari, ketika panas matahari mulai menyengat. Para petani Bangkerep
beristirahat ke warung kopi untuk kemudian pergi ke sawah atau ladang ketika
matahari tidak lagi menyengat. Malam hari, mereka kembali menghabiskan waktu di
warung kopi sampai larut malam. Terlebih jika ada pertandingan sepak bola atau
wayang di televisi.
Lebih dari sekedar minum kopi, warung kopi menjadi semacam ruang publik
tempat di mana mereka bisa membicarakan hal apapun secara bebas. Situasi politik,
panen, olahraga dan sebagainya. Selain itu, warung kopi adalah tempat melakukan
transaksi ekonomi. Pagi itu misalnya Mbah Nurhasyim membayarkan sejumlah uang
kepada salah seorang warga yang telah membantunya ndodos atau memanen
singkong. Warga lainnya mencari beberapa orang untuk borongan ndodos, atau
sebaliknya warga yang tidak memiliki lahan bisa mencari informasi siapa warga yang
hari itu ndodos untuk kemudian menawarkan jasanya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Tidak hanya itu, warung kopi menyediakan cara melepas penat dengan cara
judi kecil-kecilan. Pada hari-hari tertentu, pemilik warung menyediakan kupon yang
berhadiah rokok. Warga membelinya dan jika beruntung mendapatkan sebungkus
rokok. Judi kecil-kecilan juga dilakukan jika ada pertandingan bola di televisi.
c. Kenduri di bawah beringin
Hari itu, kesibukan tampak terlihat di Dusun Bangkerep. Dari atap rumah-
rumah yang sebagian besar berdinding papan dan berlantai tanah itu mengeluarkan
asap pertanda pemilik rumah memasak istimewa. Warga dusun bersiap menggelar
upacara sedekah bumi sebagai cara untuk mengungkapkan rasa syukur atas panen
melimpah yang mereka terima tahun ini. Acara ini dilaksanakan sekitar satu bulan
setelah panen pertama, dan selalu mengambil hari Rabu dan bertepatan dengan hari
Pahing dalam penanggalan Jawa. Sayur lodeh dan ayam menjadi masakan wajib di
rumah-rumah, selain jajanan pasar yang akan dipersiapkan sebagai pelengkap
upacara.
Menjelang siang, jalanan Bangkerep dipenuhi warga yang membawa
bungkusan atau rantangan makanan untuk diberikan kepada keluarga atau kerabat.
Namun acara belum dimulai. Sekitar jam dua siang, pak Kamituwo Saji memukul
kentongan yang menandakan acara akan segera dimulai. Jalanan di dusun yang
biasanya lengang itu menjadi ramai oleh laki-laki atau perempuan dewasa membawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
tampah berisi nasi yang dibungkus daun jati dan jajanan pasar seperti kue pasung,
lapis, jadah dan lainnya.
Mereka berjalan menuju sebuah tanah lapang kecil di tengah persawahan di
sebelah timur dusun. Di tanah lapang yang hanya berukuran sekitar 20 meter persegi,
tumbuh sebuah pohon beringin tua. Di lokasi inilah acara sedekah bumi akan
dilangsungkan. Menurut cerita, pohon beringin tempat berlangsungnya lokasi sedekah
bumi adalah tempat keramat. Dalam kepercayaan yang umumnya diyakini warga
Bangkerep, lokasi pohon beringin tersebut pada mulanya merupakan kandang kuda
sembrani atau kuda bersayap yang sakti di mana setiap kuda tunggangan atau kuda
penarik dokar yang melewati tempat itu pasti mati. Konon katanya pernah seorang
Adipati Blora pada zaman dahulu secara khusus datang ke dusun Bangkerep hanya
untuk membuktikan mitos tersebut dan akhirnya kuda sang Bupati mati berkelahi
dengan kuda sembrani.
Pak Kamituwo Saji dan Mbah Modin Nurhasyim menjadi orang yang pertama
kali hadir di lokasi upacara. Pak Saji membawa seikat merang yang didalamnya berisi
sejumput kecil garam yang kemudian ia letakkan di bawah pohon beringin. Setelah
membaca doa dengan perlahan, ia lalu membakar merang tersebut. Beberapa orang
warga yang datang belakangan melakukan hal sama, membawa ikatan merang berisi
garam yang dibakar dan diletakkan di bawah pohon beringin.
Di atas tanah yang berumput itu, nasi bungkus daun jati dan jajanan pasar
yang dibawa oleh warga diletakkan bertumpukan satu sama lain. Masing-masing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
orang berebut lauk atau jajanan pasar yang dibawa oleh warga lainnya. Sebagian
besar warga yang memenuhi tanah lapang itu adalah bapak-bapak dan pemuda,
sementara ibu-ibu dan remaja perempuan hanya mengikuti acara dari jalan kampung
yang berjarak sekitar 50 meter dari pohon beringin tersebut.
Acara dimulai dengan pidato Pak Saji yang mengajak warga untuk
memanjatkan doa dan mengucapkan niat acara tersebut sebagai ungkapan rasa syukur
atas panen padi yang mereka dapatkan tahun ini sekaligus untuk berdoa kepada Allah
warga Bangkerep senantiasa diberi keselamatan dan terhindar dari bencana. Setelah
itu, Mbah Modin Nurhasyim memulai doa yang diucapkan dalam campuran antara
bahasa Arab dan Jawa, menyebut arwah-arwah dan danyang dusun. Saat modin
membacakan doa, warga yang hadir terlihat mulai tidak sabar untuk melakukan ritual
yang paling ditunggu, yaitu saling melempar nasi.
Saat modin mengakhiri doa, warga langsung berteriak “Amiiiinnn…!!!”
disusul dengan teriakan “Horeeee….!!!! ” saat itulah ritual yang paling ditunggu
dimulai. Masing-masing orang melempar nasi bungkus atau apa saja yang ada
didekatnya ke udara atau melemparkannya kepada orang lain. Acara yang tadinya
penuh keheningan segera berubah menjadi semacam tawuran kecil dan kumpulan
warga menjadi berhamburan saling menyelamatkan diria masing-masing dengan
berlari meninggalkan lokasi. Acara sedekah bumi siang itupun selesai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
d. Ayam panggang di depan jenazah
Sore itu Bangkerep berduka. Salah seorang warganya meninggal dunia. Tidak
ada yang bisa menebak pasti umur mbah Kariyem. Ada yang bilang sembilan puluh
tahun, seratus atau bahkan lebih. Yang pasti ia satu dari beberapa warga paling tua di
Bangkerep.
Pagi harinya, rumah di sebelah timur dusun sudah ramai. Para lelaki
berdatangan mengusung kursi plastik. Sebagian yang lainnya mempersiapkan bambu
untuk mengusung jenazah. Ibu-ibu mempersiapkan ember untuk memandikan
jenazah. Pelayat dari dusun Bangkerep dan dusun sekitar mulai berdatangan.
Menjelang siang, jenazah Mbah Kariyem sudah dimandikan dan terbungkus kafan,
diletakkan di sebuah meja di samping pintu masuk rumah. Tak lama kemudian,
jenazah disholatkan oleh beberapa orang saja. Sebelum sholat dimulai, mbah Modin
meletakkan selembar daun pisang utuh di bawah meja tempat jenazah dibaringkan.
Secara khusus, daun pisang tidak mempunyai makna tertentu, selain sebagai cara
untuk melestarikan kebiasaan orang-orang tua Bangkerep zaman dahulu yang tidak
memiliki tikar dan hanya menggunakan daun pisang sebagai alas untuk menshalatkan
jenazah.
Tiba-tiba terdengar suara “Kajatan…!!! Kajatan…!!!”. Para pelayat yang
tadinya berada di luar rumah masuk memenuhi ruang tengah yang sempit itu. Mereka
melingkar di depan jenazah, mengelilingi beberapa baskom yang ditutupi daun jati. Di
dalam beberapa baskom tersebut tampak ayam panggang, nasi gurih, nasi putih dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
berbagai jajanan pasar lainnya. Mbah Nurhasyim selaku modin kemudian memimpin
doa singkat dalam Bahasa Arab dan Jawa dengan menyebutkan permohonan kepada
Allah agar almarhumah mendapat tempat yang baik di sisi Allah serta memberikan
kelancaran saat upacara pemakaman nantinya. Dalam doa tersebut Mbah Nurhasim
juga menyebut para danyang dan para arwah leluhur Bangkerep. Setelah itu, ayam
panggang dan nasi gurih pun dibagikan kepada warga. Sebagian dari mereka langsung
makan tepat di depan jenazah.
Setelah kenduri di depan jenazah selesai, upacara pemberangkatan jenazah di
mulai. Acara dipimpin oleh Kamituwo Dusun Balong yang meminta warga
memaafkan kesalahan almarhumah Mbah Kariyem sebagai bagian dari ajaran Islam
yang berkaitan dengan ikatan atau hubungan antar sesama manusia (Hablum min An
Nas). Sementara untuk urusan hubungan almarhumah Mbah Kariyem dengan Allah
(Hablum Min Allah) hendaknya diserahkan sepenuhnya kepada Allah.
Pak Kamituwo Dusun Balong bertanya,: “Apakah almarhumah beragama
Islam?”
Warga yang hadir pun serentak menjawab:”Islam.”
Pak Kamituwo Dusun Balong kemudian berkata: “Perkara tidak sempurna,
terutama dalam menjalankan ibadah Sholat, biarlah itui menjadi urusan almarhumah
dengan Tuhan. Yang penting kita semua menjadi saksi almarhumah beragama Islam.”
Jenazah Mbah Kariyem kemudian diberangkatkan ke makam yang terletak di
sebelah barat dusun. Sebelum dimakamkan, hanya Mbah Nurhasim yang berdoa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
dalam Bahasa Arab dan Jawa, sementara warga lainnya asyik mengobrol dan
bergerombol. Setelah mbah modin selesai berdoa, barulah warga mendekat dan mulai
mengurus pemakaman jenazah. Makam almarhumah Mbah Kariyem diberi bunga,
kendi dan payung di atasnya. Setelah upacara pemakaman selesai perlahan warga pun
satu persatu bergegas pulang meninggalkan pemakaman.
e. Lengo coblong dan tombak pusaka Kiai Singkir
Malam itu rumah Mbah Pono –salah satu kerabat pak Kamituwo- kedatangan
tamu. Seorang remaja berusia belasan tahun datang dengan bagian pergelangan
tangan terbalut perban. Tak perlu mengutarakan maksud kedatangannya, Mbah Pono
tahu apa yang harus dilakukan. Bergegas ia ke masuk ke bagian lain dari rumah itu
dan berbicara dengan seseorang. Saat kembali, seorang perempuan yang nampaknya
istri Mbah Pono mengikuti dari belakang dalam kamar dan kembali dengan membawa
sebuah tas kulit yang sudah kumal.
Dari dalam tas kumal itu istri Mbah Pono mengeluarkan dua buah guci kecil,
botol minyak yang berisi minyak sejenis kayu putih, dan beberapa buah batu. Ia
bertanya pada remaja tersebut penyebab sakit di pergelangan tangannya. Sang remaja
bercerita bahwa ia terjatuh dari sepeda motor beberapa waktu yang lalu. Ia mengaku
sudah berobat ke puskesmas dan berbagai tempat, namun belum ada tanda-tanda
sembuh. Setelah mendengar informasi dari beberapa orang, sang remaja tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
akhirnya pergi ke Bangkerep untuk mencari penyembuhan lengo coblong yang
dimiliki mbah Pono.
Lengo coblong adalah model penyembuhan alternatif khas Bangkerep khusus
untuk mengobati patah tulang atau sakit anggota tubuh akibat terkilir. Sesuai dengan
namanya, penyembuhan dilakukan dengan menggunakan lengo atau minyak dan
coblong yang berarti cupu atau guci. Minyak yang digunakan adalah minyak kayu
putih biasa yang tersedia di pasaran. Bagian terpenting dari cara pengobatan ini
adalah guci, di mana anggota tubuh yang sakit dilumuri dengan minyak kayu putih
yang telah dituang sebelumnya ke dalam guci kecil. Meski terlihat sederhana, namun
tidak sembarang orang boleh melakukan praktek penyembuhan ini. Hanya perempuan
yang boleh melakukannya, dan itu pun adalah keturunan langsung dari orang yang
memiliki guci tersebut sebelumnya.
Hal ini berhubungan dengan cerita tentang guci yang dipercaya merupakan
mahkota milik seekor ular besar yang mendiami hutan di sekitar Bangkerep. Menurut
cerita, mbah buyut dari istri Mbah Pono sedang menggembala kambing di hutan. Saat
tertidur, ia bermimpi didatangi oleh seekor ular besar bermahkota guci di kepalanya.
Ular tersebut tinggal di bawah pohon besar di hutan Bangkerep. Mbah Buyut tersebut
kemudian berpuasa selama empat puluh hari untuk mendapatkan guci tersebut dan
akhirnya mendapatkan guci mahkota dari ular besar sesuai dengan yang ia lihat dalam
mimpi. Sejak saat itu ia mewariskan guci tersebut kepada anak cucunya. Istri Mbah
Pono sendiri tidak tahu persis kebenaran tersebut dan mengaku mendapatkan guci dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
cerita tersebut dari orang tuanya. Cerita ini dibenarkan oleh Mbah Pariyo, imam
masjid yang dianggap memiliki pengetahuan agama yang cukup di kalangan warga
Bangkerep.
Yang juga unik, pasien yang datang untuk berobat ke tempat Mbah Pono tidak
membayar dalam bentuk uang, melainkan ayam berwarna hitam mulus. Kebetulan
remaja yang berobat tersebut tidak sempat membeli ayam sehingga ia pun membayar
dalam bentuk uang. Meski demikian, sang pasien harus berikrar bahwa ia menitipkan
uang tersebut agar dibelikan ayam berwarna hitam mulus. Di dusun-dusun di sekitar
Bangkerep sendiri cerita dan model pengobatan dengan lengo coblong terkenal karena
kemanjurannya. Hal tersebut membuat banyak pengobatan serupa yang muncul,
meski diyakini lengo coblong yang asli ada di Bangkerep.
Selain cupu, mbah Pono juga memiliki pusaka berupa tombak bernama Kiai
Singkir. Tombak ini terbuat dari kayu tua dengan ujung tajam dari besi yang sudah
berkarat. Bagi masyarakat Bangkerep, tombak ini sangat penting karena dipakai saat
ritual pengantin khas Bangkerep. Sepasang pengantin yang akan menikah di
Bangkerep diharuskan untuk pawai berkeliling dusun dengan diiringi tombak Kiai
Singkir untuk menghindari bala bencana bagi pengantin atau saat acara pernikahan
dilakukan. Selain Kiai Singkir, ritual pengantin di Bangkerep juga unik karena
pengantin laki-laki diharuskan mandi di sumur lanang (bahasa jawa: laki-laki) yang
terletak di sebelah barat dusun dan pengantin perempuan membersihkan diri di sumur
wadon (sebelah timur dusun, belakang rumah Kamituwo). Ritual tersebut terutama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
jika pengantin laki-laki berasal dari Bangkerep, sementara jika yang berasal dari
Bangkerep adalah pengantin perempuan maka ritual tersebut tidak wajib dilakukan.
f. Campursari dan musik rebana Islami
Tak sawang-sawang kowe ayu tenan
Rasane dadi pengen kenalan
Kenalan nang lesehan
Nggone ngadek nganggo klambi abang
Yen ra kleru aku tau ketemu
Nalikane kowe karo kancamu
Mlaku-mlaku karo nnguya ngguyu
Ombenane es jus melon karo susu
Saiki aku uwis ngrasakno
Pacaran karo wong Kertosono
Wajahe koyo arjjuno
Esemane koyo raden gatotkoco
Alunan musik campur sari membelah keheningan malam di Bangkerep. Di
sebuah rumah papan di sebelah selatan dusun, warga Bangkerep berkumpul di bawah
tenda sambil menikmati hidangan dari pak RT yang sedang menikahkan anaknya.
Beberapa lelaki asyik berjoget dengan gerakan meliuk seperti sedang menari tayub.
Tetapi mereka tidak sedang menari di pertunjukan tayub, melainkan pertunjukan
musik rebana Islam Al Anwar yang dibawakan oleh ibu-ibu dengan mengenakan
busana muslim lengkap.
Lagu campur sari yang dinyanyikan oleh kelompok rebana menjadi salah satu
tanda kuatnya karakter Blora di Bangkerep. Lebih dari itu, sedekah bumi di bawah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
pohon beringin, kajatan sebelum upacara penguburan, mitos lengo coblong, ritual
mandi di sumur bagi pengantin menjadi simbol masih kuatnya tradisi lokal bagi
masyarakat Bangkerep. Hal tersebut bersamaan dengan kurangnya pengetahuan dan
pemahaman masyarakat Bangkerep dalam masalah keagamaan.
Mayoritas warga di desa Balong beragama Islam namun memiliki pengetahuan
agama yang masih rendah.146
Selain buta huruf latin, sebagian besar dari mereka juga
buta huruf Arab. Selain Mbah Nurhasyim, salah seorang warga yang dianggap
mengetahui ilmu agama adalah Pak Mus, seorang imam langgar berusia sekitar 50-an
tahun. Ia mendapatkan ilmu agama sewaktu belajar mengaji di Madrasah Diniyah
(sekolah keagamaan sore hari) di Dusun Balong. Namun sebagai orang yang dianggap
memiliki ilmu agama Islam dibanding warga Bangkerep lainnya, Pak Mus lebih
banyak merantau untuk mencari nafkah. Terakhir ia pergi ke Kalimantan menjadi
buruh penebang kayu selama beberapa bulan. Tokoh lainnya adalah Mbah Pariyo
yang bertindak sebagai imam langgar jika pak Mus merantau. Sama seperti warga
Bangkerep lainnya, Mbah Pariyo sehari-harinya menghabiskan waktu di sawah
mengurus sawah dan ladangnya.
Di sisi lain, warga Bangkerep masih kental menjalankan berbagai tradisi
sinkretis dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan kosmologis. Berbagai
upacara Slametan baik siklus kehidupan, bersih desa maupun acara-acara yang digelar
pada waktu-waktu tertentu menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat
146
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
Bangkerep. Upacara siklus kehidupan yang sifatnya individual antara lain lek-lekan
(berkumpul semalam suntuk di rumah orang yang sedang punya hajat), sepasaran
atau selapanan bayi (peringatan 7 hari dan 40 hari setelah kelahiran), serta upacara
selamatan orang meninggal antara lain mitung dino, matangpuluhan, nyatus, nyewu (7
hari, 40 hari, 100 hari dan 1000 hari).
Sementara selain upacara sedekah bumi di pohon beringin, upacara komunal
digelar bertepatan dengan peringatan penanggalan Islam dan Jawa misalnya Syuronan
(tahun baru Islam dan Jawa), Mauludan (peringatan kelahiran Nabi Muhammad),
Rejeban atau Ruwahan (perayaan di bulan sebelum memasuki bulan Ramadhan).
Karakter masyarakat Abangan terlihat dari peringatan acara yang tidak digelar di
masjid, tetapi di rumah pak Kamituwo sebagai pemimpin pemerintahan dusun
sekaligus pemimpin kultural. Dalam acara-acara kenduri tersebut, biasanya masing-
masing kepala keluarga membawa nasi tumpeng untuk di makan bersama-sama.
Selain itu, sebagian kecil warga masih menjalankan ritual tertentu –biasanya
berkaitan dengan keselamatan atau kesejahteraan, seperti sesaji di rumah atau sawah
masing-masing. Beberapa warga juga masih memperingati weton atau hari lahir
dengan cara memasak bubur merah dan bubur putih dalam bungkusan daun jati, lalu
mengundang mbah modin untuk didoakan memohon keselamatan dan kesejahteraan.
Seperti misalnya yang dilakukan Mbah Mardi yang menggelar wetonan seusai shalat
magrib di rumahnya. Ia mengundang Pak Kamituwo Saji, Mbah Pono, dan Widodo.
Tukang tanduk (bahasa Jawa: menghidangkan nasi, namun dalam acara ini berarti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
orang yang mendoakan) adalah Mbah Mus yang kebetulan pulang dari Kalimantan.
Setelah berdoa bersama, bubur merah dan bubur putih yang terbungkus daun jati
dibagikan, namun tidak dimakan di tempat, melainkan dibawa pulang.
Sama seperti desa-desa lain di Blora, Desa Balong juga memiliki kesenian tari
tradisional Barongan. Tarian ini sendiri menjadi ciri khas Kabupaten Blora. Tarian ini
biasanya dimainkan pada acara-cara tertentu, Bentuk kesenian ini mirip dengan reog
Ponorogo, dengan menggunakan bentuk singa sebagai topeng para penarinya.147
Saat
ada acara desa atau peringatan hari kemerdekaan RI, para penari Barongan
melakukan pawai atau arak-arakan berkeliling desa. Di dusun Bangkerep sendiri
terdapat satu kelompok Barongan, namun hanya bermain saat acara-acara tertentu
misalnya upacara hari kemerdekaan bulan Agustus atau ada warga yang menggelar
hajatan.
Karakter Abangan masyarakat Bangkerep juga terlihat dari orientasi politik
mereka. pada masa Orde Baru, Golkar dan PDI mendominasi perolehan suara di
Bangkerep, termasuk di Desa Balong secara keseluruhan. Lalu pada era reformasi,
Partai Demokrat memenangi suara disusul PDI dan Golkar. Bahkan meski warga
Bangkerep secara kultural mengidentifikasikan diri mereka sebagai NU, namun PPP
yang pada masa Orde Baru adalah partai Islam tidak pernah memperoleh suara
147
Pak Saji tidak bisa menjelaskan lebih lanjut tentang cerita di balik kesenian Barongan tersebut. Dari
berbagai referensi yang saya dapat dari internet, kesenian ini berkaitan dengan cerita atau mitos tentang
harimau bernama Singa Lodra di sebuah makam tua di desa Mlangsen Kecamatan Blora Kota, serta
cerita rakyat tentang tokoh bernama Gembong Amijoyo yang bisa menjelma menjadi harimau.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
signifikan. Bahkan pada masa reformasi meski Partai Kebangkitan Islam (PKB) yang
secara historis berafiliasi dengan NU tidak pernah menang di Bangkerep.
3. Perubahan sosial di Bangkerep
Ketika mulai berkuasa di awal tahun 1966, rezim Orde Baru menggalakkan
proyek pembangunan dengan orientasi pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh
investasi asing dan industrialisasi. Demi mendukung agenda tersebut, pemerintah
memerlukan stabilitas sosial dan politik melalui serangkaian kebijakan depolitisasi.
Kebijakan ini merambah terutama di pedesaan-pedesaan pedesaan yang menjadi di
mana aparat birokrasi dan tentara melakukan mobilisasi besar-besaran terhadap
seluruh aparatur desa dan warga negaranya untuk terlibat dalam proyek-proyek
pembangunan
Salah satu yang menjadi program utama adalah dengan menjadikan
pembangunan agama sebagai salah satu bidang yang bisa mendukung terlaksananya
proyek pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pemilihan
agama sebagai salah satu proyek yang mendukung pertumbuhan ekonomi bukan tanpa
alasan, antara lain untuk menangkal ideologi komunisme di awal berdirinya rezim
sekaligus menjadikan agama sebagai salah satu bidang yang bisa mendukung dan
menyampaikan pesan pembangunan kepada masyarakat.
Situasi tersebut juga terjadi di Bangkerep. Semula Bangkerep adalah dusun
dengan karakteristik tradisi agraris. Warga Bangkerep pada tahun 1960-an masih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
kental menjalankan berbagai tradisi dan menggunakan pertimbangan-pertimbangan
kosmologis. Hampir tidak ada orang yang sholat atau menjalankan ibadah Islam
dengan baik. Bahkan kebiasaan masyarakat desa masih kental dengan kepercayaan
kosmologis, danyang dan sebagainya.
Namun situasi berubah pasca 1965 atau sesaat setelah rezim Orde Baru berdiri.
Kecamatan Kunduran pada saat itu merupakan salah satu wilayah yang menjadi basis
PKI.148
Di Desa Balong sendiri yang menang pada Pemilu tahun 1965 adalah PNI,
PKI, NU. Menurut penuturan Mantan Lurah, sesaat setelah kejadian 1965, berbagai
kebijakan pemerintah mulai merambah Desa Balong. Pemerintah kecamatan
menggelar program penerangan dan penyuluhan keagamaan pasca peristiwa politik di
tahun1965 di desa-desa di Kecamatan Kunduran, termasuk Desa Balong. Beberapa
tahun kemudian, sebagai imbas dari kebijakan tersebut pada tahun 1968 warga
bergotong royong membangun masjid secara swadaya di Dusun Balong.149
Meski
demikian, Dusun Bangkerep bisa dibilang sama sekali masih terisolasi dari kebijakan
tersebut.
Di bidang pendidikan, desa Balong pada tahun 1960-an masih belum terdapat
sekolah dasar. Menurut penuturan Mbah Mantan, sampai sebelum 1979 di desa
Balong hanya ada SD dengan jumlah kelas sebanyak 3 kelas, sehingga banyak anak
melanjutkan sekolahnya naik ke kelas 4 sampai lulus ke sekolah dasar di Kecamatan
Ngawen yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Kecamatan Kunduran. Barulah pada
148
Wawancara Rustamaji, tokoh di Kecamatan Kunduran 149
Wawancara Mbah Mantan Lurah Desa Balong
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
tahun 1979 dibangun SD Inpres dengan lokal sebanyak 6 kelas. Jalan desa sendiri
dbangun pada tahun 1990-an, sementara listrik pada tahun 1994.
Program penyuluhan pemerintah masih berlangsung sampai tahun 1980-an.
Menurut Mbah Mantan, pada waktu itu ada istilah Tilikan Deso yakni program dari
pemerintah kecamatan setiap sebulan sekali di mana petugas dari kecamatan datang
sesuai dengan kualifikasi masing-masing. Dalam kegiatan ini warga diundang ke
kelurahan untuk diberi penyuluhan tentang berbagai bidang. Misalnya petugas
penyuluh agama melakukan pembinaan di bidang keagamaan, petugas pertanian
menyampaikan informasi berkait dengan pertanian serta petugas administrasi
kecamatan menyampaikan hal-hal terkait dengan instruksi pemerintahan.
Berbagai program pemerintah tersebut lambat laun mulai berimbas ke
Bangkerep sebagai bagian dari wilayah administratif Balong. Pada masa tahun-tahun
1990-an, beberapa warga berinisiatif mengaji ke Balong. Mereka kemudian menjadi
cikal bakal berkembangnya Islam di Bangkerep. Salah satu dampak dari proses ini
adalah Mbah Nurhasyim berinisiatif mendirikan langgar kecil di Bangkerep yang
hanya dipakai oleh beberapa orang. Sementara untuk menjalankan shalat Jumat
mereka pergi ke masjid di dusun Balong.
Pada tahun 1990-an, atas inisiatif beberapa warga, sekelompok warga dusun
Bangkerep mengundang kiai dari kecamatan untuk memberi pengetahuan agama.
Pendakwah tersebut berasal dari organisasi Nahdlatul Ulama (NU) tingkat kecamatan
yang memberi pengajian sebulan sekali kepada warga. Perlahan kegiatan keagamaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
mulai terasa di Bangkerep. Pada tahun 2000, warga mendirikan masjid semi
permanen secara swadana
Belakangan, kegiatan keagamaan mulai menguat, terutama sejak munculnya
organisasi Majelis Tafsir Alquran (MTA) yang berorientasi puritan dan gencar
menolak sinkretisme dan penyimpangan elemen non-Islam. Munculnya organisasi
Islam MTA yang bercorak puritan di Dusun Bangkerep yang masih kental dengan
tradisi-tradisi leluhur pada akhirnya menimbulkan perbedaan pemahaman di bidang
keagamaan yang berujung pada konflik terbuka antar warga dan mewarnai relasi antar
warga di Bangkerep sampai sekarang ini.
C. Awal dan Perkembangan MTA di Bangkerep
1. Konflik
Pada tahun 1987, Tumin, seorang warga Bangkerep yang lama merantau di
Solo pulang ke dusun. Tidak diketahui persis apa pekerjaan atau kegiatan Tumin
selama di perantauan. Tak lama setelah kembali ke dusun, ia kemudian berinisiatif
mengadakan pengajian di langgar dusun. Saat itu, pengajian masih bersifat umum.
Warga Bangkerep yang memang masih kurang dalam pengetahuan agama pun
menyambut baik kegiatan tersebut. Saat itu, sekitar 70 orang mengikuti pengajian
yang diselenggarakan oleh Tumin.
Namun kemudian, mulai tahun 1989 terjadi beda pendapat antara peserta
pengajian dengan materi pengajian yang disampaikan Tumin. Perselisihan mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
antara lain menyangkut soal Qunut (doa saat shalat subuh). Warga yang mendapat
pengaruh dari NU menganggap doa Qunut adalah sunah Nabi, sementara Tumin
mengatakan bahwa hal tersebut tidak ada ajarannya dalam Islam. Begitu juga
mengenai jumlah Tarawih (Shalat Sunah di malam hari di bulan Ramadhan), di mana
warga umumnya melaksanakannya sebanyak 23 rekaat, namun Tumin menganjurkan
sebanyak 11 rekaat. Perbedaan tersebut mengakibatkan banyak anggota keluar dari
pengajian. Namun perbedaan tersebut belum menimbulkan gejolak di masyarakat
pada umumnya.150
Pada tahun 1990-1994, kegiatan pengajian sempat berhenti. Namun Tumin
dan beberapa warga yang menjadi anggota pengajian masih aktif datang ke Solo.
Mereka antara lain Wakidi, kawan dekat Tumin dan Sudipo, salah seorang tokoh
Bangkerep yang juga masih memiliki hubungan kekerabatan. Kemudian pada tahun
1994, pengajian kembali diselenggarakan dan mulai dikenalkan istilah MTA, yang
dilaksanakan di mushola dusun. Pada tahap inilah mulai muncul perbedaan dengan
pemuka agama di dusun dan mulai muncul benih konflik yang nantinya berujung pada
konflik fisik yang mengoyak ketenteraman di dusun kecil tersebut. .
Mulai tahun 2000 warga mulai menunjukkan ketidaksenangannya dengan
jamaah MTA karena ajarannya dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat di
Dusun Bangkerep. Ketidaksenangan tersebut bahkan sampai menimbulkan
perpecahan di keluarga, misalnya ancaman akan menceraikan istri atau tidak
150
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November
2002
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
mengakui sebagai anak jika ikut MTA.151
Sementara menurut pak Saji, konflik
bermula ketika menyangkut masalah kenduri, karena anggota MTA tidak mau
menerima nasi berkat yang biasa dibagikan setelah selesai kenduri. Keresahan itu
menyebabkan perangkat desa mengumpulkan tokoh dan warga MTA untuk mendapat
pengarahan, tetapi tidak berhasil. Bahkan timbul perselisihan yang berujung pada
bentrok fisik yang terjadi beberapa kali.
Bentrokan pertama terjadi pada bulan September 2001. Saat itu warga
Bangkerep hendak membangun masjid setelah sebelumnya hanya berupa langgar
kecil dari papan. Dalam sebuah pertemuan di balai desa, salah seorang anggota MTA
bernama Wakidi menyinggung asal-usul kayu jati yang digunakan oleh warga dusun
Bangkerep untuk membuat masjid. Pertanyaan tersebut membuat warga dusun
bernama Sarmin dan Bagiyo tersinggung. Oleh warga, pertanyaan Wakidi tersebut
ditafsirkan bahwa warga MTA akan melaporkan kepada pihak kehutanan.
Pasca pertemuan di balai desa, Sarmin dan Bagiyo bermaksud menemui
Wakidi di rumahnya untuk mengklarifikasi pertanyaan Wakidi di Balai Desa. Saat itu
Wakidi kebetulan sedang mengikuti pengajian di rumah anggota MTA lainnya yaitu
Sodipo. Saat menunggu pengajian selesai, banyak warga yang bergabung dengan
Sarmin dan Bagiyo. Lalu ketika pengajian selesai Wakidi pergi ke rumah kakaknya
Kasiyem, sehingga Sarmin dan Bagiyo beserta warga beramai ikut ke rumah Kasiyem
bermaksud menanyakan pernyataan Wakidi soal kayu.
151
Dokumen desa, Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,
November 2002
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Namun para anggota MTA menyangka warga hendak membubarkan
pengajian. Lalu terjadi keributan dan bentrok fisik sehingga Bagiyo mengalami luka
serius dan dirawat di rumah sakit. Pihak desa melaporkan ke polsek Kunduran lalu
penanganannya diserahkan ke pihak polsek.152
Pasca kejadian tersebut, beberapa
anggota MTA meninggalkan Bangkerep menuju kantor pusat MTA di Solo. Menurut
versi anggota MTA, mereka diusir dari kampung halamannya, meski menurut warga
dusun tidak ada kasus pengusiran terhadap anggota MTA. Menurut warga dusun, jika
ingin tetap tinggal Bangkerep maka anggota MTA harus menyesuaikan diri dengan
adat istiadat setempat.
Konflik berikutnya terjadi sepanjang tahun 2001-2002. Selang 4 bulan pasca
kejadian pertama, beberapa warga Bangkerep yang juga anggota MTA pergi ke Solo
unruk bekerja, namun warga dusun curiga mereka akan mengembangkan MTA lagi di
Bangkerep. Bulan September 2002, Mbah Modin Nurhasyim dan salah seorang warga
bernama Sarmin menerima undangan dari MTA pusat, tetapi Sarmin dan Nurhasyim
tidak datang ke Solo karena tidak memahami maksud dan tujuan dari undangan
tersebut. Kemudian pada bulan Oktober 2002, beberapa pengurus MTA pusat datang
ke Kecamatan Kunduran untuk mengklarifikasi undangan yang mereka buat kepada
kedua warga Bangkerep tersebut. Camat Kunduran menugaskan seorang stafnya dan
anggota polisi dari Polsek Kunduran bernama Sugito bersama seorang anggota tim
MTA menjemput Sarmin dan Nurhasyim untuk menerima penjelasan dari pengurus
152
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong, November 2002
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
MTA mengenai undangan yang mereka sampaikan. Namun oleh Sarmin dan beberapa
warga Bangkerep penjemputan itu ditafsirkan lain sehingga mereka beramai-ramai
datang ke kantor balai desa untuk memberi dukungan moril kepada Nurhasyim dan
Sarmin.
Pasca kejadian tersebut, warga Bangkerep mengadakan pertemuan yang
memutuskan bahwa Wakidi harus pergi dari dusun Bangkerep dan tidak boleh pulang
ke Bangkerep karena menjadi penyebab kekisruhan. Selain Wakidi, anggota MTA
yang lain bisa pulang ke dusun Bangkerep asal bisa menyesuaikan dengan adat
istiadat kembali. Beberapa warga anggota MTA di Solo kemudian pulang antara lain
Sutrisno, Parno, Sarmani, Nyamin Sujak dan Sarno. Sementara Wakidi dan beberapa
warga lainnya sebanyak 24 orang masih berada di Solo.153
Tahun 2003 menjadi pucak eskalasi konflik antara warga Bangkerep dengan
warga anggota MTA. Pada hari sabtu, 13 Desember 2003, anggota MTA Bangkerep
yang sebelumnya berada di Solo (paska konflik sebelumnya) bermaksud pulang
kembali ke Bangkerep. Mereka diantar oleh pengurus MTA dengan menggunakan
beberapa kendaraan, jumlah rombongan lebih kurang 80 orang. Mereka datang tidak
melewati jalan utama desa yang melewati Dusun Balong, tetapi melewati jalan
alternatif yang langsung menuju Dusun Bangkerep. Rombongan tersebut tidak
memberitahukan kedatangannya terlebih dulu kepada perangkat desa, sehingga saat
rombongan tiba dan langsung menuju rumah anggota MTA bernama Loso.
153
Dokumen desa Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
Warga dusun terkejut dan menanyakan maksud kedatangan mereka karena
sebelumnya tidak ada pemberitahuan dari perangkat desa. Warga mengajak warga
MTA untuk pergi ke balai desa di Balong. Namun anggota MTA menolak dengan
alasan mereka pulang ke rumah sendiri sehingga tidak perlu ke balai desa sehingga
terjadi ketegangan dan perkelahian fisik antar mereka. Keadaan tak terkendali karena
massa makin banyak dan warga MTA akhirnya naik kendaraan menuju ke balai desa
dan diarak ke balai desa oleh ratusan warga Bangkerep. Tiba di balai desa, warga
melarang wakil rombongan menemui kepala desa. Namun, kepala desa bersama
aparat keamanan tetap menemui rombongan MTA tersebut dan menyatakan bahwa
dengan alasan keselamatan mereka diminta kembali ke Solo. Warga anggota MTA
pun akhirnya kembali ke Solo.154
Kejadian penolakan warga terhadap warga MTA yang hendak pulang ke
Bangkerep tersebut terjadi sampai tiga kali. Kedua belah pihak bersikukuh dengan
prinsip masing-masing. Di satu sisi, warga tetap bersikeras agar warga MTA mau
menjalankan tradisi. Menurut Pak Kamituwo Saji:
Nek warga, nak gelem kajatan yo ora popo. Mbok teko ngomah berkate
pakakne pitik ora popo. Kono atine kan mboten purun. Sampai matipun
nggak mau”.
(Kalau bagi warga, kalau tidak mau ikut kenduri tidak apa-apa. Kalau sampai
rumah nasinya diberikan kepada ayam pun tidak apa-apa. Mereka anggota
MTA tidak mau. Sampai mati pun tidak mau menerima).
154
Dokumen desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep oleh warga
setempat, tertanggal 15 September 2003
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Setelah beberapa kejadian konflik terbuka tersebut, upaya rekonsiliasi dilakukan
oleh aparat keamanan bersama pihak pemerintahan. Berangsur-angsur warga MTA
yang berada di Solo kembali ke Bangkerep, termasuk Wakidi yang dianggap warga
sebagai tokoh MTA di dusun tersebut.
2. Satu Dusun Dua Masjid
Pasca konflik tahun 2003, kehidupan Bangkerep berjalan seperti biasa.
Perselisihan yang berujung bentrokan fisik tidak terjadi lagi. Namun bukan berarti
perbedaan pendapat mengenai hal yang berkaitan dengan praktek keagamaan dan
tradisi selesai begitu saja. Apalagi, perdamaian yang terjadi antara warga MTA dan
warga Bangkerep lebih karena pendekatan keamanan, terutama ancaman pihak
kepolisian yang akan menahan siapapun yang memulai keributan.
Konflik laten antar warga dan warga MTA berujung pada berdirinya Masjid Al
Furqon (bahasa Arab: Pembeda) yang dibangun oleh warga MTA yang hanya
berjarak puluhan meter dari Masjid Baitun Nahdliyin milik warga umum. Dua masjid
dalam satu dusun dengan jarak yang berdekatan merupakan hal yang tidak biasa
dalam kehidupan sosial keagamaan umat Islam, apalagi di dusun kecil seperti
Bangkerep.155
Sementara dalam sejarah MTA, Bangkerep adalah satu-satunya tempat
155
Tempat ibadah dalam Islam biasanya dibedakan dari kapasitas dan fungsinya. Langgar atau mushola
hanya dipakai untuk menjalankan ibadah sholat lima waktu dan digunakan oleh komunitas kecil,
sementara masjid umumnya juga dipakai untuk menjalankan shalat Jumat dan digunakan oleh
komunitas yang besar. Dalam pandangan kitab-kitab keagamaan klasik Islam Sunni yang umumnya
dianut masyarakat Indonesia, salah satu syarat untuk bisa menjalankan sholat Jumat adalah jumlah
jamaah minimal sebanyak 40 orang yang tinggal menetap di tempat berdirinya masjid tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
di seluruh perwakilan atau cabang MTA di seluruh Indonesia yang memiliki masjid
sendiri karena MTA memang tidak pernah memerintahkan warganya untuk
menjalankan ibadah terpisah dari warga dengan faham keagamaan yang berbeda
lainnya.
Berdirinya Masjid Al Furqon milik warga MTA berawal dari masih adanya
warga yang tidak suka dengan pemahaman warga MTA. Saat itu warga MTA masih
menjalankan shalat di masjid Baitun Nahdliyin, namun menurut Wakidi, seringkali
warga MTA mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari beberapa warga.
Misalnya sandal milik warga MTA disembunyikan atau dibuang di selokan depan
masjid. Masjid Baitun Nadhliyin sendiri awalnya bernama Baitun Nur. Ketika konflik
terbuka antara warga dusun dengan warga anggota MTA sedang mencapai
puncaknya, salah seorang kiai NU dari kecamatan mengganti nama masjid menjadi
Masjid Baitun Nahdliyin.
Beberapa waktu kemudian warga dusun secara terang-terangan meminta
warga anggota MTA untuk tidak lagi shalat di Masjid Baitun Nahdliyin. Warga
beralasan karena pemahaman dan praktek keagamaan mereka berbeda sehingga tidak
usah lagi bersama-sama dalam urusan menjalankan ibadah. Atas penolakan tersebut,
warga anggota MTA untuk sementara menjalankan ibadahnya di sebuah rumah yang
menjadi semacam kantor atau pusat kegiatan mereka. Bersamaan dengan itu pula,
pengurus MTA setempat kemudian mengajukan surat pemberitahuan dan perijinan
kepada pihak pemerintah dan kantor urusan agama setempat untuk mendirikan masjid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
sendiri. Setelah mendapatkan ijin dari pihak berwenang setempat, maka pada tahun
2009 warga MTA pun memiliki masjid sendiri yang diresmikan oleh Ketua Umum
MTA Ahmad Sukina, Ketua MUI Drs. Amidhan, dan Bupati Blora Drs Yudhi
Sanchoyo melalui sebuah acara peresmian dan pengajian yang cukup meriah.
Kontras dengan Masjid Baitun Nahdliyin yang menempati bangunan semi-
permanen sederhana, Masjid Al Furqon berdiri megah dengan model bangunan
modern dan berukuran jauh lebih besar. Berjarak satu rumah dari Masjid Al Furqon
berdiri bangunan lain yang juga besar dan modern yang menjadi kantor Perwakilan
MTA di Blora sekaligus menjadi pusat kegiatan dari organisasi tersebut.
Dengan adanya dua masjid yang saling berdekatan tersebut tak heran terjadi
semacam kontestasi dalam memperebutkan pengaruh dan otoritas keagamaan yang
tercermin dari berbagai kegiatan dan ciri khas di masing-masing masjid. Saat waktu
shalat tiba, panggilan adzan menggunakan pelantang suara terjadi hampir bersamaan.
Namun warga mudah membedakan mana panggilan adzan dari Masjid Baitun
Nahdliyin maupun Al Furqon. Panggilan adzan dari Masjid Baitun Nadliyin beirama
atau menggunakan cengkok seperti adzan pada umumnya, sementara Masjid Al
Furqon tidak memiliki irama dan lebih tegas. Seusai adzan, Muadzin (orang yang
melakukan adzan) di Masjid Baitun Nahdliyin melantunkan bacaan pujian berbahasa
Jawa atau Arab, sementara Masjid Al Furqon menganggap bacaan pujian tidak
memiliki dalil atau tuntunannya dalam Islam.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
Perbedaan lainnya adalah ketika shalat Jumat, Khotib (penceramah) di Masjid
Baitun Nahdliyin menggunakan bahasa Jawa. Sementara Khotib di Masjid Al Furqon
menggunakan bahasa Indonesia. Selain itu jika di Masjid Baitun Nahdliyin khotbah
Jumat biasanya disampaikan oleh khotib yang berbeda-beda, sementara di masjid
milik warga MTA hanya memiliki satu khotib, yaitu Ustadz Suradi yang merupakan
ketua MTA Perwakilan Blora yang juga warga di dusun tersebut.
3. Antara Ladang dan Warung Kopi: Konflik dan Integrasi Pasca Konflik
Situasi Dusun Bangkerep yang terlihat normal paska konflik beberapa tahun
sebelumnya sebenarnya hanya terjadi di permukaan. Di tingkatan bawah warga
sebenarnya masih memendam konflik. Menurut Pak Kamituwo Saji, meski kelihatan
adem ayem, antara warga dengan warga MTA sebenarnya masih saling plirik-plirikan
(saling curiga satu sama lain). Dalam beberapa hal, situasi tersebut memang bisa
dilihat dalam relasi dan interaksi sehari-hari antara warga dengan warga MTA.
Ketika pihak dusun menggelar sedekah bumi di bawah pohon beringin, Pak
Kamituwo Saji berinisiatif menggelar acara kesenian di malam hari dengan
menampilkan musik rebana yang dimaksudkan untuk menyeimbangkan tradisi dan
nilai keagamaan. Pak Kamituwo meminta seluruh kepala keluarga tanpa kecuali untuk
iuran sebagai biaya sewa peralatan dan keperluan lainnya. Di rumah Pak Kamituwo
Saji, salah seorang ibu yang bertugas menarik iuran melapor bahwa warga anggota
MTA menolak memberikan iuran tersebut, padahal menurutnya kalau ada warga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
anggota MTA sakit atau meninggal mereka tersebut juga mendapat sumbangan dari
warga. Beberapa hari kemudian Wakidi selaku tokoh MTA menemui Pak Kamituwo
Saji untuk menjelaskan bahwa warga MTA tidak akan memberikan dana untuk
keperluan yang masih ada hubungannya dengan sedekah bumi yang menurut MTA
mengandung unsur kemusyrikan. Salah seorang warga, Pak Yatno mengatakan,
“Orang Islam kok dimintai sedekah kok tidak mau. Urusan dipakai untuk apa itu
terserah.” Sementara warga lainnya, Mas Ratno mengatakan bahwa orang MTA itu
tidak bisa hidup bermasyarakat.
Di sisi lain, kedua masjid sebagai pusat ibadah masing-masing selain
membedakan pemahaman keagamaan yang berbeda juga menjadi tempat untuk
bertugar gagasan dalam lingkup internal kelompok tanpa melibatkan pihak lain.
Seusai sholat, warga di Masjid Baitun Nahdliyin bercengkerama sambil berbicara
banyak hal, mulai dari situasi dusun, pertanian, dan sebagainya. Begitu juga dengan
Masjid Al Furqon, di mana warga MTA seusai sholat juga berkumpul dan mengobrol
mengenai peristiwa sehari-hari yang mereka alami.
Tidak hanya masjid yang berbeda, bahkan warung kopi yang di Bangkerep
menjadi ruang publik bersama seolah juga menjadi tempat yang membedakan
orientasi keagamaan mereka. Laki-laki Bangkerep umumnya menghabiskan waktu
mereka di warung kopi di sebelah selatan dusun. Sementara laki-laki anggota MTA
memilih untuk menikmati kopi di sebuah warung yang berdekatan dengan Masjid Al
Furqon milik MTA. Jika warga dusun pada umunya menikmati kopi sambil menonton
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
televisi sampai larut malam, merokok, bahkan berjudi kecil-kecilan, warga anggota
MTA hanya menikmati kopi dan mengobrol seperlunya lalu pulang kembali ke rumah
masing-masing. Bagi warga MTA merokok adalah larangan.
Dalam kesehariannya, jika ada warga anggota MTA yang berpapasan dengan
warga dusun, mereka hanya menyapa tanpa berbicara banyak. Selain itu, sebagaimana
nanti akan dijelaskan di bagian selanjutnya mengenai solidaritas warga MTA, warga
MTA juga memilih untuk meminta tolong kepada warga MTA lainnya, misalnya
pinjam meminjam barang, uang atau kebutuhan lainnya.
Namun dalam beberapa situasi, antara warga dengan warga MTA juga terjadi
proses integrasi dan saling memahami perbedaan masing-masing. Dalam upacara
pemakaman, misalnya dalam pemakaman Mbah Kariyem, warga MTA yang jelas-
jelas menolak kajatan karena tidak ada tuntunannya dalam Islam tetap menunjukkan
solidaritasnya. Warga MTA laki-laki memilih untuk menggali kuburan dengan warga
lainnya sehingga mereka tidak terlibat dalam prosesi kenduri sebelum pemakaman.
Sementara perempuan anggota MTA seusai melayat biasanya langsung pulang ke
rumah masing-masing.
Integrasi juga terjadi dalam transaksi dan mata pencaharian utama, yaitu bertani.
Lazimnya dalam masyarakat, roda ekonomi digerakkan oleh kebutuhan jasa untuk
memanen hasil bumi. Ketika warga hendak ndodos atau memanen ubi jalar, biasanya
menggerakkan tenaga kerja yang cukup banyak, termasuk warga MTA, begitu pula
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
sebaliknya. Obrolan atau saling tolong menolong biasanya terjadi antara warga
dengan warga MTA yang kebetulan sawah atau ladangnya berdekatan.
Selain itu, relasi yang lebih akrab antara warga dengan warga MTA biasanya
juga mudah terjalin antar ibu atau perempuan warga dusun dengan perempuan
anggota MTA. Mereka biasanya berkumpul di gardu dekat rumah Pak Kamituwo Saji
untuk mengobrol dan mengasuh anak dan berbicara satu sama lain dengan akrab dan
hangat.
4. Konsolidasi MTA Bangkerep sebagai Pusat MTA di Wilayah Blora
a. MTA Bangkerep di Tangan Generasi Kedua
Setelah mengalami pasang surut dan penolakan dari masyarakat, MTA di
Bangkerep mengalami perkembangan yang cukup pesat. Meski bertempat di dusun
kecil, saat ini MTA di Bangkerep merupakan pusat dari kegiatan MTA di seluruh
Kabupaten Blora atau dalam struktur organisasi MTA merupakan kantor perwakilan
yang membawahi anggota di seluruh Blora (setingkat kabupaten). Secara resmi, MTA
perwakilan Blora diresmikan pada 24 April 2005 atau tepat dua tahun setelah konflik
dengan warga Bangkerep selesai. Kini MTA perwakilan Blora membawahi tujuh
MTA Cabang (setingkat kecamatan) di seluruh Blora.
Ketua MTA perwakilan Blora saat ini dipegang oleh Suradi yang secara usia
masih cukup muda. Saat konflik sepanjang tahun 2000-2003, Suradi saat itu masih
berumur sekitar 15 tahun dan baru saja lulus SMP. Ia adalah keponakan Wakidi,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
perintis MTA di Bangkerep. Setelah konflik usai, Suradi pergi ke Solo untuk bekerja
dan mengaji di MTA Pusat selama lebih kurang dua tahun. Selaku ketua perwakilan,
Suradi dibantu oleh Suwanto dan Susilo. Suwanto dan Susilo juga masih sangat muda,
beberapa tahun di bawah Suradi. Mereka bertiga merupakan generasi kedua MTA di
Bangkerep, setelah masa Tumin, Wakidi dan Sudipo. Mereka juga memiliki
kesamaan “nasib” yaitu sama-sama masih berusia remaja belasan tahun ketika konflik
antara warga Bangkerep dengan warga MTA terjadi sepanjang tahun 2000-2003.
b. Kehidupan Sehari-hari Warga MTA Bangkerep
Sebagai anggota organisasi keagamaan yang bercorak puritan, seluruh warga
MTA sangat tegas menolak dan meninggalkan berbagai praktek keagamaan sinkretis
yang masih berakar kuat di Bangkerep. Yang paling ditentang adalah sedekah bumi di
bawah pohon beringin, karena selain tidak ada tuntunannya dalam ajaran Islam,
kegiatan tersebut juga mengandung unsur kemusyrikan yang merupakan dosa besar
dalam Islam. Praktek lainnya adalah Tahlilan dan Yasinan (mendoakan orang
meninggal) serta kegiatan ibadah lainnya yang mengandung unsur kepercayaan lokal.
Selain itu, warga MTA di Bangkerep juga terikat dengan berbagai aturan yang
ditetapkan oleh organisasi MTA Pusat. Misalnya, kewajiban hadir di pengajian
dengan konsekuensi dikeluarkan jika tidak hadir tanpa keterangan selama tiga kali
berturut-turut. Warga MTA juga dilarang untuk merokok karena merupakan
perbuatan yang boros dan mengganggu kesehatan. Secara spesifik, aturan dalam MTA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
melarang pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan. Dalam kesehariannya,
aturan tersebut sangat dipatuhi oleh warga MTA, misalnya dalam acara resepsi
pernikahan. Saat warga MTA menggelar hajatan pernikahan, tamu laki-laki dan
perempuan dipisahkan oleh hijab atau kain pembatas, sesuatu yang tidak lazim jika
warga Bangkerep atau desa-desa lainnya menggelar hajatan pernikahan atau kenduri
lainnya.
Yang sangat menarik adalah penampilan warga MTA yang relatif berbeda
dengan warga Bangkerep pada umumnya. Warga MTA laki-laki bisa dikenali dari
pakaian mereka yang selalu rapi untuk ukuran dusun, terutama jika hendak melakukan
shalat atau kegiatan pengajian. Menjelang shalat Dzuhur, mereka biasanya mandi dan
membersihkan diri setelah setengah hari berada di sawah atau ladang. Hampir tidak
ada warga MTA yang memakai sarung atau kopiah saat ke masjid atau mengikuti
kegiatan di Majelis, umumnya kemeja dan celana panjang. Penampilan mereka sangat
kontras dengan warga umumnya yang sholat di masjid Baitun Nadhliyin, yang
umumnya mengenakan sarung dan kopiah, sebagian bahkan mengenakan pakaian atau
penampilan fisik yang jauh dari kesan bersih dan rapi.
Selain itu, kaum perempuan di Bangkerep sangat mudah dikenali apakah
mereka warga MTA atau bukan. Warga MTA perempuan bisa dikenali dari jilbab
atau penutup kepala mereka yang cukup lebar dan menutupi hampir separuh tubuh
mereka. Sementara kaum perempuan Bangkerep umumnya tidak mengenakan jilbab
atau kerudung dalam kehidupan sehari-harinya dan hanya dikenakan pada saat acara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
pengajian. Beberapa perempuan Bangkerep memang mengenakan penutup kepala
dalam menjalankan kegiatan sehari-hari -salah satunya istri Pak Kamituwo Saji-
namun umumnya mereka hanya mengenakan kerudung atau jilbab pendek yang hanya
menutupi kepala tanpa menutup tubuh mereka.
c. Dua Pengajian di Hari Selasa
Selasa adalah hari yang sangat sibuk di Bangkerep. Sebagian warga –terutama
warga MTA- mengakhiri kegiatannya di sawah atau ladang lebih awal. Mereka
kemudian menuju ke Majelis atau kantor MTA dengan berpakaian rapi, celana
panjang dan menenteng tas berisi Al Quran, buku tulis dan pulpen.
Seusai sholat berjamaah, kegiatan dimulai dengan kegiatan Tahsinul Quran atau
memperbaiki cara membaca Al Quran. Tidak semua warga MTA mengikuti kegiatan
tersebut dan biasanya hanya diikuti oleh mereka yang belum lancar dalam membaca
Al Quran. Kegiatan ini dipimpin oleh seorang guru khusus yang ditunjuk oleh
pengurus MTA sendiri.
Acara selanjutnya yang juga merupakan acara inti adalah pengajian cabang,
salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh warga MTA di seluruh Indonesia. Di
masing-masing cabang, biasanya diselenggarakan seminggu sekali dengan jadual
berbeda-beda.
Yang menarik dari pengajian ini adalah metode dan pelaksanaannya yang
dipimpin oleh ustadz yang khusus didatangkan dari MTA pusat. Warga MTA yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
hadir dipisah menurut jenis kelamin. Warga MTA laki-laki berada di sebelah depan,
sementara warga MTA perempuan di belakang dipisahkan dengan kain pembatas.
Selain dari Dusun Bangkerep, mereka juga berasal dari desa lain di sekitar Desa
Balong. Di sebelah depan, sebuah meja dan kursi disediakan untuk Ustadz yang
mengisi pengajian. Seluruh peserta pengajian diwajibkan membawa satu buah buku
tulis, pensil dan Al Quran terjemahan.
Ustadz Ngabdi, berusia sekitar 50-an tahun, menjadi penceramah tetap yang
mengisi pengajian di Bangkerep. Ia merupakan ustadz senior dari Surakarta. Sebelum
memulai pengajian, ia memeriksa daftar kehadiran anggota, dan menanyakan siapa
yang tidak hadir berikut apa alasannya. Pemeriksaan daftar kehadiran di pengajian
cabang dan pengajian khusus merupakan aturan baku di MTA. Bagi warga yang tidak
hadir tiga kali berturt-turut tanpa alasan yang jelas maka ia dikeluarkan dari
keanggotaan MTA. Setelah pemeriksaaan daftar hadir selesai, ustadz Ngabdi
melanjutkan dengan menyampaikan salam dari ketua umum MTA Ahmad Sukina.
Dalam pengajian rutin tersebut, Ustadz Ngabdi membawakan satu topik
tertentu. Ia mengawalinya dengan membaca salah satu ayat Al Quran. Warga
menyimak dengan Al Quran yang dibawanya. Setelah itu Ustadz Ngabdi menjelaskan
keterangan ayat tersebut sementara anggota MTA mencatat di buku masing-masing.
Di bagian akhir pengajian selalu dibuka sesi tanya jawab di mana anggota MTA bebas
bertanya hal apapun, baik masalah keagamaan, keluarga maupun organisasi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dijawab dengan merujuk pada dari pedoman
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
atau dalil dari Al Quran dan Hadits atau panduan dari pengurus MTA Pusat, dalam
hal ini ketua umumnya Ahmad Sukina. Pengajian rutin ini biasanya selesai menjelang
magrib.
Saat pengajian cabang di kantor MTA berlangsung, di tempat lain ibu-ibu
Bangkerep juga mengadakan pengajian. Berbeda dengan kegiatan MTA yang
dipusatkan di kantor, pengajian ibu-ibu Bangkerep dilaksanakan bergantian di
masing-masing rumah. Selain itu, jika pengajian cabang di kantor MTA tidak
menggunakan pelantang suara yang mengarah ke luar, maka pengajian ibu-ibu
menggunakan pelantang suara yang bisa didengar dari seluruh penjuru dusun.
Pengajian ini bukan berupa ceramah atau mengkaji materi tertentu, melainkan secara
khusus membaca yasin dan tahlil. Sementara ceramah pengetahuan agama dilakukan
sebulan sekali oleh kiai yang didatangkan dari kecamatan.
d. Pengajian warga MTA Khususi di hari Jumat
Di Dusun Bangkerep tercatat sekitar 30 KK atau hampir 90 warga bergabung
dengan MTA. Namun dari sekian jumlah tersebut, tercatat hanya 13 orang yang
merupakan anggota Khususi, atau anggota khusus yang memiliki kualifikasi di bidang
pengetahuan keagamaan yang lebih serta diukur dari berapa lama seorang anggota
bergabung dibanding anggota lainnya.
Warga anggota MTA yang sudah termasuk dalam kategori Khususi selain
mengikuti pengajian cabang juga mengikuti pengajian Khususi yang diselenggarakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
setiap hari Jumat di kantor pusat MTA di Surakarta. Tepat seusai Sholat Jumat, Suradi
dan anggota MTA lainnya secara berombongan berangkat ke Surakarta menggunakan
mobil milik Sunardi yang juga anggota MTA. Setelah menempuh perjalanan selama
lebih kurang empat jam, mereka tiba di kantor pusat MTA dan segera bergabung
dengan warga Khususi MTA lainnya di seluruh Indonesia. Acara ini berlangsung
sampai menjelang Shalat Maghrib, dan dilanjutkan dengan pertemuan informal antar
anggota. Menjelang dini hari, Suradi dan rombongan biasanya baru sampai di dusun
mereka kembali.
e. Ustadz Muda
Setiap hari Senin, Suradi bersama dengan Suwanto pergi ke Surakarta
menggunakan sepeda motor. Mereka mengikuti pengajian yang diselenggarakan
khusus untuk membina ustadz-ustadz yang mengisi pengajian di wilayahnya masing-
masing.
Selaku pengurus MTA Perwakilan Blora, Suradi dan Suwanto adalah dua warga
yang sudah mendapatkan semacam lisensi dari MTA Pusat untuk mengisi pengajian
di masing-masing cabang di Blora. Tidak heran jika jadual keduanya sangat padat. Di
hari Rabu misalnya, Suradi mengisi pengajian di MTA Cepu dan MTA Kedungtuban
yang berjarak puluhan kilometer dari Bangkerep. Sementara hari Kamis, Suwanto
berceramah di Japah dan Todanan. Belum lagi pengajian binaan, atau tahap persiapan
sebelum menjadi cabang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
Dengan model organisasi yang hirarkis, Suradi dan Suwanto sebagai ustadz
menjadi fenomena yang sangat menarik. Hal ini karena usia keduanya yang masih
sangat muda, sementara warga MTA yang mengikuti pengajian banyak yang berusia
lebih tua dari mereka. Bahkan banyak warga MTA di Blora yang berasal dari
kalangan pejabat maupun birokrat baik di kantor kecamatan maupun kabupaten.
Apalagi Suradi secara formal hanya berpendidikan SMP, meski kemudian
melanjutkan ke Kejar Paket C dan saat ini sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi
swasta di Blora. sementara Suwanto juga lulusan SMP, dan sehari-harinya berprofesi
sebagai petani. Selama pengajian, keduanya dipanggil dengan sebutan Ustadz.
f. Pengajian Ahad pagi
Sama seperti warga MTA lainnya, warga MTA Bangkerep juga menghadiri
pengajian Ahad Pagi (Jihad Pagi) yang diselenggarakan di Surakarta. Acara yang
dipimpin langsung oleh ketua umum MTA Ahmad Sukina ini menjadi semacam
puncak pertemuan warga MTA di seluruh Indonesia. Hampir seluruh warga MTA
Bangkerep hadir dalam acara ini bersama-sama dengan warga MTA dari berbagai
cabang di seluruh Kabupaten Blora.
Yang menarik adalah ketika pengajian berlangsung di Surakarta yang juga
disiarkan secara langsung melalui radio MTA FM ke seluruh Indonesia, warga
anggota MTA Bangkerep yang tidak berangkat mengikuti Jihad Pagi juga menyiarkan
siaran radio pengajian tersebut melalui pelantang suara dari masjid MTA hingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
terdengar ke seluruh dusun. Tidak heran jika pada awalnya warga dusun Bangkerep
lainnya sempat terganggu dan acapkali tersinggung dengan materi pengajian yang
banyak menyoroti berbagai praktek keagamaan yang bercampur dengan tradisi yang
masih banyak terjadi di masyarakat. Namun lama kelamaan, warga dusun
menganggap biasa siaran radio tersebut.
g. Solidaritas dalam Kelompok
Malam sehabis sholat Isya‟ (28/8/2012) saya mengikuti pertemuan kelompok di
rumah Paiman, salah seorang warga MTA yang tinggal di Dusun Balong. Seharusnya
yang datang sebanyak 6 orang, namun 2 dari anggota kelompok ijin karena pergi ke
desa sebelah. Tidak banyak yang dibicarakan pada malam itu, selain informasi bahwa
akan ada gotong royong untuk menyiapkan tempat pelaksanaan pengajian MTA
sekaligus peresmian beberapa cabang MTA yang akan dipusatkan di Blora kota.
Sebagaimana dijelaskan di bab sebelumnya, perbedaan MTA dibanding
organisasi Islam lainnya adalah model kepemimpinan yang hirarkis dan sentralistik,
serta ditunjang dengan aturan organisasi yang mengikat dan berfungsi untuk menjaga
loyalitas anggotanya. Kelompok adalah tingkatan terkecil dalam struktur organisasi di
MTA di mana setiap kelompok rata-rata terdiri dari 5-7 orang. Setiap kelompok
diharuskan menggelar pertemuan seminggu sekali dengan acara utama berupa
pendalaman materi pengajian, dilanjutkan dengan pengumuman atau informasi dari
organisai, serta diskusi dan tukar pikiran mengenai berbagai hal, terutama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
menyangkut perkembangan organisasi. Pertemuan kelompok ini biasanya digelar
secara bergiliran di rumah masing- anggota kelompok.
Setiap anggota MTA harus bergabung dalam kelompok tanpa kecuali, bahkan
meski ia mempunyai posisi atau jabatan tertentu dalam organisasi. Suwanto misalnya,
meski secara struktur menjadi pengurus dan juga salah satu ustadz yang memiliki hak
untuk memberikan ceramah untuk MTA di seluruh Blora, dia tetap tergabung dalam
kelompok bersama dengan warga MTA lainnya yaitu Paryanto dan Yatmin yang
merupakan warga Dusun Bangkerep serta Yatno dan Paiman yang berasal dari Dusun
Balong.
Selain mengkaji ilmu agama dan sarana untuk berdiskusi, kelompok juga
berfungsi untuk membangun solidaritas antar warga MTA, khususnya dalam
kelompok tersebut, terutama jika ada anggota yang membutuhkan pertolongan, baik
yang sifatnya mendesak seperti sakit, meninggal, butuh pinjaman uang, atau juga
berupa informasi mengenai pekerjaan dan sebagainya. Sebagai contoh, Paiman yang
berprofesi sebagai pemborong hasil bumi berupa padi atau singkong biasanya mencari
informasi tentang siapa saja orang yang akan panen dan menjual hasilnya dari
pertemuan kelompok tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
BAB IV
REKONSTRUKSI IDENTITAS
A. Pendahuluan
Berbagai studi tentang agama dan globalisasi dijelaskan bahwa kemajuan
dunia modern dibarengi dengan gejala tumbuhnya identitas keagamaan dan
meningkatnya gairah keagamaan di beberapa kalangan dengan karakter ortodoks dan
doktrin yang ketat. Modernitas dan globalisasi dengan segala persoalan yang
mengikutinya menciptakan reaksi berupa menguatnya kecenderungan untuk kembali
ke otentisitas teks suci dan menerapkannya dalam berbagai aspek kehidupan sebagai
konsekuensi dari pencarian stabilitas dan identitas diri.
Bab Dua menjelaskan bagaimana globalisasi menciptakan gerakan
kebangkitan Islam dalam skala global sebagai reaksi atas berbagai persoalan sosial
yang muncul. Gerakan tersebut menyebar ke seluruh pelosok dunia melalui instrumen
dari globalisasi yaitu kebijakan negara serta teknologi komunikasi informasi dan
transportasi yang memungkinkan tersebarnya ide dan gagasan mengenai globalisasi.
Sementara Bab Tiga menjelaskan mengenai tatanan tradisional di Dusun Bangkerep
yang secara perlahan mengalami perubahan sosial menuju kondisi-kondisi yang
mengarah pada memudarnya kepercayaan terhadap tradisi lama dan upaya sebagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
anggota masyarakat untuk beralih ke identitas baru sebagai Muslim yang taat dan
menenerapkannya dalam kehidupan sehari-hari secara ketat.
Bab ini menitikberatkan pada analisa di balik proses bergabungnya sebagian
anggota masyarakat ke organisasi Islam puritan MTA. Fokus dari bab ini adalah
bagaimana kondisi-kondisi modernitas dan persebarannya secara massif atau
fenomena globalisasi berpengaruh terhadap kondisi masyarakat serta identitas diri
individu di dalamnya. Dalam hal ini perubahan-perubahan sosial mengubah ikatan-
ikatan kolektif tradisional di Bangkerep dan pada saat yang sama menciptakan
kegamangan sehingga sebagian anggota memilih untuk bergabung dengan MTA
sebagai upaya pencarian stabilitas dan identitas diri di tengah arus globalisasi. Bagi
warga MTA di Bangkerep, bergabung dengan organisasi MTA bukan sekedar pilihan
untuk menjalankan ajaran Islam yang murni dengan cara melepaskan diri dari
kepercayaan tradisional di masa lalu, tetapi juga untuk menjalani kehidupan dalam
suatu komunitas besar yang dilandasi prinsip dan aturan ketat yang didasarkan dari
Al Quran dan Hadits di tengah dunia yang penuh dengan resiko dan persoalan.
Proses ini bisa dijelaskan dengan pemikiran Giddens mengenai tatanan post-
tradisional, yakni suatu tatanan masyarakat yang mengalami “ketidakpastian yang
diciptakan” sebagai konsekuensi dari modernitas. Dalam tatanan masyarakat post-
tradisional ini individu-individu di dalamnyan berupaya untuk mencari stabilitas dan
kepastian, di mana sebagian dari mereka menemukannya dalam organisasi Majelis
Tafsir Al Quran (MTA) sebagai organisasi keagamaan dengan struktur dan jaringan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
yang kuat yang mampu menyediakan keamanan ontologis bagi keberadaan mereka di
dunia sekarang ini.
B. Kondisi-kondisi Modernitatas dan Globalisasi serta Pengaruhnya Terhadap
Tatanan Masyarakat di Bangkerep
1. Kapitalisme dan Kebijakan Orde Baru
Menilik sejarahnya, dusun Bangkerep pada mula berdirinya adalah dusun
dengan gambaran sebagai komunitas lokal dengan segala tradisi dan kepercayaan
kosmologisnya. Dusun ini juga dicirikan dengan ikatan kekerabatan yang kuat,
rendahnya tingkat pendidikan, homogenitas pekerjaan sebagai buruh petani dan
tinggal di dusun yang relatif terpencil yang memungkinkan mereka tidak memiliki
akses untuk bertemu dengan nilai dan ide baru.
Dalam perkembanganya kemudian perubahan sosial mempengaruhi
karakteristik dusun tersebut, antara lain kebijakan pembangunan negara serta
masuknya nilai yang relatif baru dari luar, dalam hal ini di bidang keagamaan.
Dimulai pada tahun 1970-an, kebijakan depolitisasi pemerintah pusat merambah
Kecamatan Kunduran yang membawahi Desa Balong dan Dusun Bangkerep, antara
lain melalui serangkaian program administrasi pemerintahan dan pertanian maupun
proyek infrastruktur jalan dan sekolah. Dampak langsung dari kebijakan ini adalah
membaiknya tingkat pendidikan warga Desa Balong –termasuk di dalamnya warga
Bangkerep.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
Khusus untuk proyek pembinaan keagamaan yang menjadi program andalan
Orde Baru, proyek ini memberi dampak yang cukup besar bagi masyarakat dusun
Bangkerep. Sebagai upaya menangkal paham komunis, penguasa Orde Baru yang
didukung militer gencar melakukan penyuluhan keagamaan di wilayah-wilayah yang
menjadi basis komunis, termasuk di Blora, termasuk di wilayah Kecamatan Kunduran
yang pada saat itu dianggap dianggap menjadi basis komunis. Para tokoh agama yang
dikoordinasi oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Kunduran memberikan
penyuluhan keagamaan setiap satu bulan sekali yang dipusatkan di Desa Balong.
Selain itu pembangunan proyek infrastruktur berupa masjid dan Madrasah Diniyah
(sekolah agama informal di sore hari) memberi dampak bagi tumbuhnya gairah
keagamaan di dusun Balong. Kemudian beberapa warga seperti Wakidi dan Tumin
yang belajar agama di Madrasah Diniyah di Balong dan menjadi orang-orang pertama
yang menghidupkan kegiatan keagamaan di Bangkerep, termasuk menjadi pelopor
berdirinya MTA di Bangkerep. Kehidupan di Bangkerep juga mulai muncul setelah
salah satu warga Dusun Balong yaitu Mbah Mus menikah dengan warga Bangkerep
yang kemudian karena pengetahuan keagamaannya menjadi salah satu orang yang
dituakan di Bangkerep.
Pada tahap berikutnya perkembangan MTA di Bangkerep merupakan bagian
dari fenomena tumbuhnya gairah keagamaan yang cenderung puritan dalam skala
yang lebih luas. Hal tersebut bisa dilihat ketika pada tahun 1987 seorang pemuda
Bangkerep bernama Tumin merantau ke Solo untuk bekerja atau pada tahun-tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
tersebut MTA sebagai sebuah organisasi keagamaan baru saja berdiri di Solo
sekaligus pada masa ketika penguasa Orde Baru sedang gencarnya menggulirkan
agenda pembangunan yang berorientasi pada industri dan memberlakukan berbagai
kebijakan depolitisasi demi tercapainya stabilitas sosial politik. Situasi ini
mencerminkan berjalannya dimensi modernitas yang dimaksud Giddens, yakni ketika
negara menjadi ruang bagi ekspansi kapitalisme dan industrialisme karena negara
memiliki wilayah kekuasaan administratif dan instrumen yang melegitimasi
kekuasaan yaitu kekuatan militer. Dengan kata lain, untuk bisa berkembang dengan
baik, kapitalisme dan industrialisme membutuhkan stabilitas sosial politik dan
keamanan.
Pada tahun 1987, Tumin pulang ke Bangkerep dan berupaya mengembangkan
ajaran Islam yang dia dapatkan dari MTA pusat di Surakarta ke Bangkerep. Ia mulai
mengaktifkan kegiatan keagamaan di mushola dusun dan menggelar pengajian di
tempat tersebut. Apa yang dilakukan Tumin tersebut disambut baik oleh sebagian
warga Bangkerep yang memang pada saat itu mulai menunjukkan minat terhadap
kegiatan keagamaan sebagai dampak langsung dari kebijakan pembinaan mental
keagamaan dari pemerintah.
Dalam konteks ini agenda pembangunan Orde Baru, baik infrastruktur
maupun pembinaan mental keagamaan merupakan apa yang disebut Giddens sebagai
mekanisme pengawasan baik melalui kekuasaan administratif maupun kekerasan
untuk menciptakan ketertundukan masyarakat demi pembangunan. Giddens
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
menyebutnya sebagai pasifikasi internal yakni penundukan negara atas masyarakat
dengan membangun ketaatan hukum dan politik.156
Selain melalui proyek
penyuluhan, kondisi ini bisa dilihat dari intervensi negara ke seluruh wilayah
kehidupan sehari-hari penduduk desa melalui struktur birokrasi, di mana kepala desa
adalah anggota Golkar sebagai mesin birokrasi yang berfungsi menjaga kendali atas
kegiatan-kegiatan desa. Dengan demikian negara muncul sebagai otoritas dominan,
menggantikan bentuk-bentuk tradisional.157
2. Ketika Tradisi Dipertanyakan
Sebagai suatu dusun yang mulanya memiliki karakteristik tradisional,
Bangkerep mengalami proses yang disebut Giddens sebagai proses detradisionalisasi
yakni tersisihnya tradisi yang menjadi kerangka tafsir dan pemaknaan terhadap
kehidupan. Detradisionalisasi terjadi sebagai akibat intervensi dari luar komunitas
yang memungkinkan setiap individu di dalamnya bertemu dan menerima ide baru
yang sama berbeda dengan tradisi dan tatanan yang selama ini mereka hidupi. Dalam
konteks Bangkerep, detradisionalisasi terjadi melalui kebijakan pemerintah terutama
di bidang keagamaan, serta mobilitas dan arus informasi yang member ruang
terjadinya persinggungan beberapa individu dengan organisasi keagamaan lokal,
seperti NU dan Muhammadiyah, dan kemudian MTA.
156
Anthony Giddens, Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique of Historical
Materialism, Polity Press, 1985 157
Hassan, ibid, hal. 253
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Intervensi dari luar berpengaruh terhadap esensi beberapa ritual di Bangkerep
seperti sedekah bumi. Ritual yang mewakili apa yang disebut tradisi kecil memang
masih dilakukan oleh warga Bangkerep, namun tidak lagi menjadi pertimbangan
untuk mengambil keputusan. Adat istiadat lokal menjadi kebiasaan tak bermakna atau
dalam bahasa Giddens menjadi relic atau semacam museum.
Contoh nyata dari kasus ini sedekah bumi di bawah pohon besar. Sebelumnya,
ritual sedekah bumi identik adalah ritual untuk memohon keselamatan kepada para
danyang dan kekuatan gaib penunggu dusun dengan cara membakar kemenyan dan
merang dan menggunakan doa-doa Jawa. Belakangan sejak kepala dusun dijabat oleh
Pak Saji ia mengganti kemenyan dengan menabur garam di sekeliling pohon beringin.
Ia juga mengganti doa Jawa dengan doa Islam. Perubahan ini diakui pak Kamituwo
sejak adanya beberapa ceramah dari tokoh NU yang sering memberi pengajian rutin
pasca konflik dengan warga MTA. Menurut pak Saji:
Sebelumnya ya menggunakan (kemenyan). Orang-orang tua sudah
meninggal ganti generasinya. Saya menggantinya dengan garam.
Maksudnya ya penolakan. Intinya sama. Kepercayaan. Kan kalau yang
pakai kemenyan dianggap memuja. Ya menghindari, dirintis sedikit
demi sedikit. Doanya ya saya sarankan memakai doa Islam. Dulu saya
tidak tahu, kepercayaan masing-masing orang. Dulu yang tidak bisa
(berdoa) pakai (bahasa) Islam ya pakai (bahasa) Jawa. Kalau yang
orang Jawa tulen ya isinya penolakan roh-roh jahat, roh halus...158
Karakteristik utama detradisionalisasi adalah bukan berarti hilangnya tradisi,
tetapi tradisi menjadi lebih terbuka untuk dipertanyakan untuk kemudian berkembang
158
Terjemahan wawancara dengan Pak Kamituwo Saji, 17 April 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
dalam konteks yang berbeda. Tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan
keputusan sehingga ketika tradisi tidak lagi memberi jawaban yang memuaskan bagi
keberadaan dirinya, seseorang bisa berpaling dan memakai pertimbangan lain dari
sumber lain.159
Hal ini terjadi pada warga Bangkerep yang bergabung dengan MTA,
di mana sebagian besar dari mereka sebelumnya pernah melakukan praktek-praktek
tradisional di dusun mereka. Belakangan mereka kemudian mempertanyakan manfaat
dari berbagai praktek tradisional tersebut. Sedekah bumi, pawai mengarak pengantin,
dan praktek tradisional lainnya tidak lagi dianggap bermanfaat. Sebaliknya mereka
memilikin kebebasan untuk mengkritisi praktik tersebut dan memilih panduan hidup
lain yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini dalam bentuk tradisi yang sama
sekali berbeda, yakni Al Quran dan Hadits.
Wakidi adalah orang yang tahu persis bagaimana situasi awal di Bangkerep
yang sepi dari kegiatan agama dan sebaliknya penuh dengan ritual-ritual kosmologis
khas dusun. Ia juga mengakui dulunya ikut mengikuti ritual-ritual tersebut. Namun
setelah berkenalan dengan nilai dari luar dusun, dalam hal ini ajaran MTA yang
dibawa oleh Tumin atau ketika ia mengaji ke Todanan kepada tokoh Muhammadiyah,
secara perlahan ia mempertanyakan praktek-paktek tradisional di Bangkerep. Meski
demikian ia belum sepenuhnya meninggalkan semua praktek tersebut meninggalkan
kebiasaan tersebut meski tidak secara langsung. Wakidi mengatakan:
Tahun 1986 awal saya mulai kenal MTA. Sejarahnya dulu saya dengan
pak Tumin bersama-sama dengan rekan-rekan di sini ngaji di mbah
159
I Wibowo, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
mantan (Lurah). Pak Tumin ikut orang tua di Solo. Setelah itu karena
ngaji temannya sudah ndak banyak, agak malas, akhirnya akhirnya
saya pindah ke guru dari Todanan namanya pak Iswandi itu 2,5
tahun...bersamaan dengan waktu-waktu itu pak Tumin setiap pulang di
Bangkerep ngomong-ngomong masalah pengajian tapi tidak
mengatakan MTA.Cuma ngaji Quran Sunah. Kan sama kalo waktu itu
saya ngaji dengan Muhammadiyah, sama....ke Solo satu bulan sekali
dua bulan sekali...tahun 1987 saya menikah, sudah ngaji Quran Sunah
itu 1,5 tahun itu sudah bisa menimbang ini baik ini tidak...umumnya
tradisi di masyarakat manten pria diantar ke sendang besar membawa
tumpeng membawa tombak, mandi di situ yang putri di sana...waktu
itu saya sudah berusaha maksimal tidak melaksanakan....Waktu itu
saya masih nimbrung. Tahlilan yasinan masih mengikuti. Ya Cuma
satu itu tidak mau ke sendang itu.160
Begitu juga dengan Suradi. Sejak remaja ia mempelajari agama Islam bersama
pamannya, Wakidi dan kemudian ia mulai kritis dengan berbagai praktek tradisional
di dusunnya. Seperti kegiatan sedekah bumi, menurutnya warga dusun yang
melakukan praktek tersebut sama sekali tidak tahu maksud dan tujuannya. Hal ini
disampaikan Suradi:
Orang tua saya dulu kan tidak solat. Saya sudah mengaji di MTA. Saya
tanya sebenarnya yang di pohon besar kok dilaksanakan itu kenapa?
(Kata bapak) begini, di pohon besar itu ada penunggunya. Yang
mbahurekso. Yang menjaga kampung. Kalau tidak di beri sesaji itu
nanti orang desa bisa kena bendana. Bisa saja tidak panen atau kena
penyakit. Nah (menurut saya) itu kan sudah jelas-jelas mengarah pada
kemusyrikan.161
Suradi juga menceritakan bagaimana ia kritis terhadap pawai mengarak
pengantin ke sumur atau sendang dusun. Ia menceritakan:
160
Terjemahan wawancara dengan Wakidi, MTA, 19 April 2012 161
Terjemahan wawancara dengan Suradi, MTA, 26 April 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Dulu waktu masih muda ya sering ikut (pawai )mengantar (pengantin).
Semua sudah lengkap. Waktu masih muda sudah lengkap mengikuti
acara-acara itu. Belum tahu (Islam) ya senang. Sesudah tahu ya tapi
masih ikutan, tapi sudah mulai menyepelekan. Dulu saya kalau ada
pawai pengantin itu saya yang disuruh bawa tombak. Tombak itu tidak
boleh dibawa seperti ini. Harus dipegang dengan benar. (Tombak)
tidak boleh mengarah ke bawah. Saya kan kritis. Mulai mengaji. Saya
bertanya: Kenapa harus membawa tombak pak? (Kata bapak) itu dulu
mengantar pengantin ke sumur karena berjaga-jaga kalau ada harimau
atau binatang buas. (Saya bilang) sekarang kan sudah tidak ada
harimau kok masih pakai tombak? (Kata bapak) sudah tidak usah
macam-macam. Lalu tombak saya buat mainan seperti kalau sedang
bermain silat. Saya dimarahi warga. Tidak boleh, nanti kualat. Tombak
dianggap ada penunggunya. Jin atau apa. Tombak dianggep ada yang
menunggu. Jin atau apa. Kalau nanti membawanya tidak benar yang
membawa marah.162
Dengan kata lain, persinggungan dengan berbagai ide atau nilai lain dari luar
dusun membuat sebagian individu merasa menjadi lebih mandiri dan tidak lagi terikat
pada tradisi kosmologis yang pernah ada di kampung mereka. Mereka memiliki
kebebasan untuk merefleksikan dan mengkritisi praktik tradisional dari leluhur dan
memilih mana yang lebih sesuai dengan kondisi mereka saat ini, dalam hal ini adalah
hanya melakukan praktek yang sesuai dengan ajaran agama secara murni dan
memiliki dasar hukum, yaitu Quran dan Hadits.
3. Dari Ikatan Lokal ke Ikatan Komunitas MTA
Ketika warga Bangkerep menggelar tradisi sedekah bumi di bawah pohon
besar, mereka berupaya untuk menghadirkan makna dan nilai komunal yang
162
Terjemahan wawancara dengan Suradi, MTA, 26 April 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
dipercayai leluhur mereka di masa sekarang dengan pengharapan bahwa kehidupan
mereka di masa mendatang, terutama di bidang pertanian akan menjadi lebih baik.
Tradisi ini dilakukan sehabis panen pertama setiap tahunnya di mana seluruh warga
dusun bersama-sama hadir di bawah pohon besar dengan ritual yang dipandu oleh
Kamituwo dan Modin.
Menurut pemikiran Giddens, dalam tatanan masyarakat tradisional dimensi
kehidupan didominasi oleh kehadiran dan aktifitas yang terlokalisasi. Ritual-ritual
yang dilakukan masyarakat Bangkerep adalah cara untuk mengontrol waktu, atau
menghadirkan masa lalu di masa sekarang untuk pengharapan di masa mendatang.
Selain itu, kehidupan warga dusun mensyaratkan kebersamaan di mana setiap orang
hadir dalam setiap kegiatan bersama. Dengan tidak menghadiri suatu kegiatan
tertentu, seseorang dianggap menyalahi kebiasaan atau bahkan tidak lagi menjadi
bagian dari warga dusun. Kehadiran menjadi syarat penting untuk menegaskan
eksistensi seorang warga di dusun Bangkerep. Hal ini disampaikan Ratno, salah
seorang warga Bangkerep yang termasuk sangat vokal menentang kehadiran MTA:
Mereka (warga MTA) itu adalah orang yang tidak bisa hidup
bermasyarakat. Mereka punya aturan sendiri, zakat, iuran-iuran,
baiat.163
Sebaliknya, modernitas ditandai dengan penjarakan ruang dan waktu juga
yang membuat ketidakhadiran mendominasi hubungan perjumpaan antar-pribadi.
Penjarakan ruang dan waktu memungkinkan dibangunnya sarana organisasi modern
163
Terjemahan wawancara dengan Ratno,warga desa, 17 April 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
yang rasional, di mana sebuah organisasi semakin mampu menghubungkan satu
wilayah tertentu dengan wilayah lain di dunia yang saling berjauhan sehingga dengan
demikian organisasi modern dapat menjangkau dan mempengaruhi banyak orang.
Ketika seorang warga anggota MTA di dusun Bangkerep melepaskan diri dari ikatan
tradisional dengan meninggalkan praktik-praktik leluhur mereka, pada saat yang sama
mereka mendefinisikan diri mereka sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar,
yaitu umat Islam yang melaksanakn ajaran Islam secara murni dan Kaffah.
Struktur hirarkis MTA sebagai organisasi modern memungkinkan
pengendalian anggotanya yang tersebar di seluruh Indonesia termasuk di Bangkerep
melalui berbagai aturan yang ketat. Seorang warga MTA di dusun Bangkerep cukup
menjadi bagian dari komunitas Islam yang murni tanpa harus bertemu dengan
rekannya sesama anggota di tempat lain. Jadi lokalitas dipengaruhi oleh aktifitas di
kejauhan, dan apa yang membentuk lokal itu tidak hadir dalam aktifitas sosial
individu atau masyarakat yang bersangkutan. Jarak ditiadakan antara Bangkerep
dengan Surakarta, karena mereka menjadi satu bagian dari komunitas yang lebih
besar. Sementara berbagai aturan dan kode etik anggota membuat seseorang warga
MTA di Bangkerep mematuhi perintah dari dunia luar dirinya.
4. Antara Kamituwo dan Ustadz
Pak Saji menjadi Kamituwo pada tahun 2002. Sebagai Kamituwo, pak Saji
berperan tidak hanya dalam konteks administrasi, tetapi lebih sebagai status kultural.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Ia yang memimpin upacara sedekah bumi, bersama dengan mbah Modin. Dalam
konteks tatanan masyarakat tradisional, mereka adalah penjaga (guardian), yakni
orang yang dianggap dan dipercaya memiliki akses terhadap kebenaran dan makna
dari suatu kepercayaan kosmologis tertentu.
Salah satu ciri sekaligus dampak dari modernitas adalah mekanisme
pencabutan (disembedement) yang salah satunya ditandai kemunculan sistem ahli.
Tokoh kultural tidak lagi menjadi satu-satunya orang yang mempunyai otoritas untuk
mengambil keputusan, justru sebaliknya muncul tokoh yang memiliki keahlian
tertentu. Dalam hal ini ahli direpresentasikan oleh ustadz atau guru yang memiliki
kemampuan dan pengetahuan agama. Di Bangkerep, kehadiran ahli direpresentasikan
oleh Ustadz Suradi dan Ustadz Suwanto, selain di tingkatan pusat adalah ketua MTA
Ustadz Ahmad Sukino. Sebagi pemimpin organisasi, keduanya memiliki otoritas
formal yang menjalankan organisasi dan mengawasi anggotanya selain bertugas untuk
memberi ceramah di Bangkerep dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA.
Dalam konteks ini berlaku apa yang dimaksud Giddens sebagai ciri
modernitas yakni otoritas tradisional sebagai penjaga digantikan oleh Ustadz yang
ahli agama. Ustadz dalam konteks MTA sebagai gerakan purifikasi adalah expert
system. Posisi mereka berbeda dengan kiai dalam arti kultural karena Ustadz lebih
berfungsi sebagai pihak yang menginterpretasikan teks secara harfiah atau literal.
Dalam pandangan Weber, puritanisme adalah rasionalisasi yang ditandai dengan dua
hal, yakni disenchanment yaitu penghilangan semua prosedur magis serta methodism,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
yaitu pencarian jalan hidup yang ketat dan konsisten.164
Seorang puritan adalah orang
yang merasionalkan segala tindakannya dan melepaskan diri dari ritual-ritual non
rasional dan kosmologis, yang disebut Weber sebagai “rationalization of conduct
within the world, but for the sake of the world beyond”.165
Expert system dalam
pandangan Giddnes merefleksikan tema utama dari Pencerahan Eropa yang
didasarkan pada pengetahuan sains dan rasionalitas yang menjinakkan dunia dan
mengatasi dogma tradisi (Giddens, 1991:14-21, 28).
Menurut Giddens, pada dasarnya penjaga dan ahli memilik kesamaan. Namun
ada perbedaan yang tegas antara penjaga dengan ahli. Ketika pak Saji memimpin
sedekah bumi, ia berdoa sambil memegang seikat merang di bawah pohon besar.
Doanya tidak diikuti oleh warga yang lain yang hanya diam menunggu, di mana
dalam hal ini hal ini seorang penjaga adalah otoritas yang memiliki kualitas dan akses
yang tidak dikomunikasikan ke pihak lain, dalam hal ini para pengikut.
Penjaga memiliki karakter yang tidak dimiliki ahli, yakni status, sementara
ahli lebih menitikberatkan pada kompetensi (Giddens, 1994:65). Kamituwo bukan
semata jabatan struktural yang membutuhkan kemampuan manajerial, tetapi juga
orang yang menduduki posisi kultural dan menjadi yang dituakan (sesepuh) di dusun.
Itulah sebabnya dalam konteks kompetensi ada warga sering mempertanyakan
kepemimpinan Pak Kamituwo yang dianggap lamban dalam mengurus suatu masalah.
164
Harry Redner, Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture, Oxford, 2001, Rowman and
Littlefield Publisher, hal. 171-172 165
James Peacock, Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian Islam,,California, 1978,
University of California Press, hal. 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Sementara karakter Ustadz sebagai ahli adalah “kompetensi” dalam hal
keagamaan. Dalam konteks MTA sebagai organisasi hirarkis, Ustadz Suradi yang
pernah belajar agama di MTA meski dalam waktu singkat ditunjuk oleh pimpinan
MTA pusat karena dianggap lebih mumpuni pengetahuan keagamaannya. Ini yang
disebut Giddens di mana posisi ahli bisa dimiliki oleh siapapun yang memiliki waktu
dan sumber daya untuk dilatih menjadi ahli. Selain itu ia memiliki tingkat pendidikan
yang lebih baik dibanding warga MTA lainnya. Tidak hanya mampu menjawab setiap
persoalan keagamaan, ia juga memiliki kemampuan orasi yang baik dalam
meyakinkan pendengarnya.
Lebih jauh lagi posisi Ustadz MTA sebagai sistem ahli dalam konteks
masyarakat modern bisa dilihat dari sistem keahlian yang memiliki ciri ketercabutan,
yakni tidak tergantung pada tempat dan menyebar (decentred) serta akses bukan pada
kebenaran terformulasi melainkan pada pengetahuan. Karakter tidak terpusat
(decentred) bukan berarti bahwa ahli tidak memiliki pusat otoritas, namun dalam hal
ini peran mereka adalah menjaga kode-kode pengetahuan tertentu yang sudah menjadi
kesepakatan. Dalam hal ini para Ustadz berperan untuk menjaga kode-kode yang
sudah digariskan oleh struktur MTA mengenai cara menjalankan Islam secara murni
dan benar. Ciri ketercabutan juga bisa dilihat dari peran Ustadz Suradi dan Suwanto
yang tidak hanya menjadi pemimpin MTA atau berceramah di dusun Bangkerep saja,
tetapi juga berkeliling ke dusun dan desa-desa lain yang memiliki anggota MTA.
Dalam hal ini Giddens mengatakan “...as decentred system, „open‟ to whosever has
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
the time, resources and talent to grasp them, they can be located anywhere. Place is
not in any sense a quality relevant to their validity...”, (Giddens, 1994: 85). Kondisi
ini tentu berbeda dengan posisi Pak Saji selaku Kamituwo atau Mbah Nurhasim
sebagai Modin yang hanya diakui di Bangkerep saja dan tidak bisa menggunakan
otoritasnya di dusun lain.
Giddens menyamakan sistem ahli dengan sistem otoritas rasional-legal dalam
pemikiran Weber yang berlawanan dengan otoritas tradisional dalam konteks di mana
keduanya menggantikan sistem patrimonial. Otoritas rasional-legal melekat pada
organisasi birokratis dan cenderung mengatur disiplin dan kontrol ketat terhadap
organisasi dan anggotanya (Giddens, 1994: 82-83). Dalam hal ini posisi Ustadz
Suradi dan Ustadz Suwanto adalah kepanjangan tangan dari struktur hirarkis pusat
MTA, di mana tugas mereka tidak sekedar sebagai pemimpin agama, melainkan juga
orang yang mengontrol perilaku anggotanya dalam hal pelaksanaan praktek
keagamaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, jika ada anggota
yang melanggar aturan organisasi, bisa mendapat sanksi sesuai dengan tingkat
kesalahannya. Dalam hal ini Giddens menyebutnya sebagai karakter khas keahlian
yang membedakannya dengan otoritas formal-birokratis atau pemerintah, yakni ahli
mampu mengubah keterampilan menjadi kewajiban.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
5. Kelahiran Kembali
Giddens menyatakan bahwa detradisionalisasi memiliki dampak pada identitas
diri di mana ketika individu tidak lagi memiliki panduan yang jelas dalam hidupnya
maka mereka berupaya menciptakan kembali identitas baru. Proses ini disebut
refleksifitas atau proses ketika individu harus menyaring dan merenungi setiap
informasi dan pengetahuan yang mereka dapatkan dalam era globalisasi yang sesuai
dengan kehidupan mereka dan secara rutin bertindak menurut proses penyaringan
tersebut. Atau dengan kata lain individu harus memilih setiap aspek dalam kehidupan
sehari-hari yang sesuai dengan dirinya sekaligus mampu memberikan alasan mengapa
kita memilih hal tersebut. Dengan cara itulah individu terlibat secara aktif dalam
mengembangkan identitas dirinya sendiri. Refleksifitas juga berarti individu harus
mengkonstruksikan biografinya sendiri.
Pendapat Giddens di atas menjelaskan bagaimana seorang warga Bangkerep
memutuskan untuk bergabung dengan MTA yang secara drastis mengubah identitas
mereka sebagai suatu proses negosiasi yang panjang dengan berbagai pengalaman
dan situasi di sekitarnya. Sebagian dari mereka menganggap bahwa kehidupan
mereka di masa lalu sebelum bergabung dengan MTA adalah masa-masa kegelapan,
merujuk pada kehidupan sehari-hari mereka yang masih penuh dengan praktek atau
ritual yang tidak mereka temukan dasarnya dalam Al Quran dan Hadits. Bagi mereka
situasi tersebut terjadi akibat ketidaktahuan pengetahuan atau ilmu yang mendasari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
tindakan tersebut. Kemudian ketika mereka mendapatkan ilmu agama dari MTA,
mereka mempertanyakan sekaligus meninggalkan praktek tradisional tersebut.
Situasi ini dialami Sudipo (60). Ia termasuk generasi pertama, bahkan perintis
pertama MTA di Bangkerep bersama Wakidi. Lelaki ini mengaku dulunya tidak
hanya melaksanakan praktek tradisional, tetapi juga hal-hal lain yang dilarang agama.
Namun ia menganggap hidupnya berubah setelah bergabung dengan MTA. Sudipo
mengatakan:
Dulu saya ya sudah Islam. Tapi pengertian Islam itu bagaimana saya
belum tahu. Ikut-ikutan saja. Kadang-kadang dulu ya Islam tapi
larangan Islam belum saya tinggalkan. Masih sering berjudi. Lalu
karena sudah dapat pengertian dari saudara saya dari MTA itu, o
ternyata judi itu dilarang, minuman keras dilarang. Tapi minuman
keras saya belum pernah. Kalau main judi ya pernah, tapi kecil-kecilan
saja. Tidak pernah sampai besar. Cuma pada saat ada orang punya
hajat. Lalu begitu datang MTA akhirnya dilarang. Ditunjukkan dasar-
dasarnya di Al Quran. Akhirnya berhenti. Dulu kalau ada orang
kenduri juga ikut. Tapi waktu itu belum tahu. Tapi waktu itu belum
tau. Makanya tadi saya katakan setelah memahami Al Quran dan
isinya bagaimana kita itu mengamalkan.166
Selain itu proses refleksifitas juga terjadi tidak hanya akibat dari pengalaman
hidup di Balong, tetapi juga ketika individu berhadapan dengan situasi dunia modern
di kota besar yang membuat mereka merasa tercerabut dari komunitas mereka
sebelumnya. Proses ini terkait dengan perubahan infrastruktur yang memungkinkan
terjadinya mobilitas dari desa ke kota, baik untuk alasan pekerjaan atau pendidikan.
Dalam situasi ini individu yang terbiasa hidup dalam ikatan komunal dan kental
166
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, MTA, 27 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
dengan kegotongroyongan harus berhadapan dengan kondisi masyarakat perkotaan
yang individualistis dan berorientasi pada materi.
Seperti halnya yang dialami oleh Parwanto. Ia termasuk generasi kedua MTA
Bangkerep, bersamaan dengan Suradi, Suwanto dan Susilo. Ia juga salah satu anggota
MTA dusun Bangkerep dengan tingkat pendidikan yang paling tinggi, yaitu SMA.
Ketika MTA mulai berkembang di Bangkerep, Parwanto yang masih remaja diajak
oleh teman-temannya untuk mengaji di MTA. Ia kemudian tidak aktif mengikuti
pengajian karena dilarang oleh orang tuanya dengan alasan ajaran MTA dianggap
menyalahi adat kebiasaan setempat. Parwanto kemudian merantau ke Jakarta selama
beberapa tahun dan bekerja di sebuah perusahaan. Di Jakarta ia bahkan sempat
bersekolah sampai tingkat SMA dengan bantuan biaya dari pimpinan perusahaannya.
Belakangan ia memilih pulang ke dusun Bangkerep dengan alasan bahwa kehidupan
di Jakarta tidak sesuai dengan keyakinannya. Parwanto menjelaskan alasan mengapa
ia tidak betah hidup di Jakarta:
(Alasan) saya pulang dari Jakarta itu gara-gara diterima kerja bersama
dengan banyak perempuan. Terus ditempatkan di mes (asrama) di situ
laki dan perempuan masih muda-muda. Kan saya sedikit-sedikit masih
punya iman. Itu menyesalnya sampai sekarang, waktu berjabatan
tangan. Waktu itu baru pertama ketemu kepala cabang (kantor) itu
perempuan ya mau tidak mau berjabat tangan. Sebenarnya ragu tapi
saya lakukan karena aturannya begitu. Akhirnya saya berfikir kalau
saya seperti ini terus bisa hilang aqidah saya. Akhirnya saya putuskan
pulang. Dan saya melihat masyarakat sudah rusak. Teman-teman saya
waktu SMA perilakunya tidak karuan. Saya tahu persis kehidupan di
Jakarta. Orang sudah tidak kenal agama. Bahkan orang melakukan
pelacuran itu dijaga aparat keamanan.167
167
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Menurut Parwanto, apa yang ia lihat di Jakarta tidak jauh beda dengan
kehidupan di dusun saat ini. Parwanto mengatakan:
Masyarakat saat ini sangat jauh dari apa yang kita lakukan, terutama
dengan kajian di MTA .Saya melihat karena saya sering ke pasar,
orang melakukan maksiat. Orang pasar itu mabuk, berzina itu sudah
biasa. Bahkan lokalisasi di (kecamatan) Kunduran itu ada orang
bercerita itu dengan bangganya. Tanpa merasa berdosa. Tanpa merasa
bersalah. Ketika kita ada orang hajatan itu ada tayub diceritakan „tadi
malam aku berjoget sambal mabuk‟ itu dengan bangganya. Dengan
tidak merasa bersalah berdosa sama sekali. Bahkan seolah-olah sudah
menjadi rutinitas. Pokoknya kalo dihubungkan dengan agama sangat
jauh.168
Situasi yang sama juga dialami oleh Suyatno (40). Ia sendiri tidak tinggal di
Bangkerep, tetapi di dusun Balong. Tetapi Suyatno termasuk generasi pertama MTA
di Bangkerep dan termasuk salah satu dari 12 orang warga Bangkerep yang ikut
bekerja untuk proyek pembangunan MTA di Surakarta dan akhirnya ikut bergabung
dengan MTA. Mata pencaharian Suyatno adalah petani, namun ia lebih banyak
merantau ke Jakarta jika kondisi ekonomi keluarganya sedang memburuk. Biasanya ia
bekerja sebagai buruh bangunan selama seminggu atau satu bulan dan kemudian
pulang kembali ke dusunnya. Di Jakarta ia melihat kondisi kehidupan yang jauh
berbeda dengan apa yang dia lihat di dusun dan membuatnya terbawa arus lingkungan
pekerjaan. Misalnya setelah menerima bayaran ia diajak teman-temannya untuk
minum-minuman keras. Namun setelah ikut bergabung dengan MTA, ia merasa
168
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, MTA, 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
bahwa apa yang ia lakukan di masa lalu itu jauh dari tuntunan agama. Menurut
Suyatno:
Lingkungan pekerjaan saya itu orangnya ya bermacam-macam.
Kebanyakan kerja proyek, ya Ustadz (Sukino) bilang itu orang kafir.
Karena tidak sholat mengaku Islam. Kalau tidak pandai-pandai
membawa diri ya bisa ikut-ikutan. Habis terima uang bayaran ya pada
mabuk. Itu hal yang biasa. Berjudi. Namanya saja orang tidak mengerti
agama. Saya dulu tidak mengerti agama ya melakukan hal seperti itu.
Saya anggap biasa. Sekarang prinsipnya yang penting dia tidak
mengganggu kita. Kalau kita melihat kemaksiatan itu harusnya sebagai
orang Islam ya mengingatkan. Tapi namanya di Jakarta kalau
mengingatkan hal seperti itu malah sama saja mencari masalah. Saya
biarkan saja.169
Selain itu, karakteristik utama dari refleksifitas menurut Giddens adalah
perasaan yang cenderung pada pertimbangan operasional atau bagaimana cara praktis
melakukan suatu tindakan. Inilah yang didapatkan warga anggota MTA dari
organisasi keagamaan yang bercirikan puritan, di mana segala persoalan harus
memiliki dasar hukum atau dalil. Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang
memiliki aturan pengamalan ajaran yang ketat dan disiplin, MTA menyediakan
jawaban atas berbagai pertanyaan menyangkut persoalan kehidupan sehari-hari,
antara lain cara berpakaian, cara menjadi istri yang baik, cara bergaul dengan tetangga
dan sebagainya. Jawaban atas pertanyaan tersebut didapat dari para ahli sebagaimana
Giddens mengatakan bahwa dunia modern modern memberi banyak pilihan yang
menuntut proses refleksifitas sekaligus pada saat yang sama memunculkan sistem ahli
atau para ahli yang menawarkan nasehat praktis atas berbagai pilihan tersebut.
169
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, MTA, 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
Gambaran refleksifitas yang ditandai dengan ahli yang berperan memberikan
nasehat praktis bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan anggota MTA
dalam setiap pengajian rutin. Dalam berbagai pengajian rutin, warga MTA
menanyakan persoalan sehari-hari baik masalah pribadi, relasi dengan orang lain, dan
sebagainya kepada Ustadz Suradi atau Suwanto. Oleh Ustadz, jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dijelaskan dalam perspektif hitam putih, baik
buruk dan selalu dikembalikan kepada dalil yang ada dalam Al Quran dan Hadits.
Antara lain berikut ini :
Ibu : “Kemarin pada hari Sabtu saya tidak datang gara-gara saya
diajak suami dan keluarga mengikuti menghadiri khitanan
saudara ipar di Blora. Saya tidak tahu dari rumah saya kira
khitanan biasa. Ternyata di sana besar-besaran pakai campursari.
Biduan pakai baju transparan. Hati saya menolak sebenarnya.
Tapi mau pulang jauh. Saya waktu itu melihat hati saya menolak
terus. Saya terpaksa di sana. Saya mau meninggalkan karena itu
kemunkaran. Apakah itu saya termasuk itu munafik?”
Suradi : “Ibu tidak munafik. Tapi salah. Saya menilai salah. Kalau
kembali kepada satu hadits barang siapa melihat kemunkaran
maka ubahlah dengan tanganmu. Jika tidak mampu dengan
lisanmu. Jika tidak mampu maka cukup dengan hatimu. Maka
itulah selemah-lemahnya iman. Selemah-lemahnya iman itu
tidak suka. Tidak sukanya sudah bener. Tapi tanda tidak suka
yang belum nampak. Maka kita meninggalkan, menjauh.
Panjenengan kan bisa dirumah saudara.
Ibu : “Yang saya menyesal itu meninggalkan pengajiannya itu.”
Suradi : “Kalau saya ketua cabang sudah saya hukum.. Campursari itu
tidak masalah. Tapi campur saru- nya itu yang tidak boleh.
Biduan yang pakaiannya di atas lutut. Goyangannya. Disamping
itu ada minuman keras, laki perempuan joget bareng, dalam
Islam tidak boleh.”170
170
Percakapan dalam pengajian khusus ibu-ibu di MTA Cabang Cepu, 26 April 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
Dalam kesempatan lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz
Suradi mengenai informasi apakah sakit seseorang bisa menebus kesalahan atau dosa
yang dia perbuat:
Warga : “Apa betul kalau seseorang sedang sakit dapat menebus
kesalahan dan dosa-dosa kita. Mohon dijelaskan.”
Ustadz Suradi : “Itu benar. Bahwa apa yang dirasakan sakit yang
diberikan yang diujikan kepadanya itu menjadi Kafaroh
(penebus). Sampai dikatakan Rasulullah. Walau tertusuk duri,
sakitnya kecil. Maka dalam hadits Qudsi dikatakan „Hambaku
yang aku berikan cobaan kepadanya dia tidak sabar, maka
keluarlah dari bumiku.‟ Maka kalau diuji sabar. Sabar itu
menjadi kafaroh dosa-dosa kita. Baik tertusuk duri sekalipun itu
menjadi penebus dosa kita.”171
Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz
Ngabdi mengenai hukum membicarakan kejelekan orang di masa lalu:
Warga : “Orang yang selalu membicarakan kejelekan orang di masa
lalu itu apakah termasuk dengki?”
Ustadz Ngabdi : “Tidak boleh itu. Jangan kita mengungkit amalan
orang yang sudah meninggal. Kecuali kalau itu memang
diberitakan oleh Allah. Setiap hari saya dan anda
membicarakan Firaun dan Karun padahal amalnya tidak baik.
Abu Jahal Abu Lahab. Itu tidak membicarakan kejelekan orang
lain. Tapi kalau misalnya saudara kita atau orang lain tidak usah.
Atau kalau kita mau mencontohkan tidak usah disebut
namanya.”172
Dalam pengajian lain, seorang warga MTA laki-laki bertanya kepada Ustadz
Ngabdi bagaimana membicarakan kejelekan orang lain dengan istri sendiri: :
Warga : “Kalau kita membicarakan kejelekan orang tapi kita
membicarakan dengan istri sendiri bagaimana? Kan dalam
hadits istri itu bagaikan baju kita sendiri? Itu dosa apa tidak?”
171
Percakapan dalam pengajian MTA Cabang Kedung Tuban, 26 April 2012 172
Percakapan dalam pengajian MTA hari Selasa di Bangkerep, 26 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Ustadz Ngabdi: “Sebaiknya jangan. Apalagi istri tidak tahu diberitahu.
Itu si A senang bohong. Sebaiknya kita tidak usah
membicarakan kejelekan orang lain kepada siapapun. Kecuali
kalau si A itu mau diperbaiki. Anda minta tolong kepada orang
lain yang kira-kira bisa memperbaiki perilakunya. Itu tidak apa-
apa.”173
Dengan kata lain refleksifitas membuat ritual-ritual tradisional yang dulu
pernah memberi makna tidak lagi dianggap mampu memberikan jawaban atas
persoalan praktis dan digantikan oleh aturan atau kepastian yang lebih terlembagakan
dan baku yang mampu memberikan jawaban langsung atas berbagai persoalan yang
dihadapi individu.
.
C. Kesadaran akan Resiko, Pencarian Stabilitas dan Keamanan Ontologis
Upaya pencarian identitas-diri melalui proses refleksifitas pada dasarnya
merupakan kebutuhan individu untuk mencapai keamanan ontologis (ontological
security) yaitu perasaan aman mendasar dalam diri seseorang dalam menjalani
kehidupan dalam hubungannya dengan kontinuitas identitas diri dan kestabilan
lingkungan material dan sosial yang mendasari tindakannya. Perasaan ini untuk
menghilangkan apa yang disebut Giddens sebagai kecemasan eksistensial ketika
modernitas menawarkan berbagai kemudahan tetapi pada saat yang sama juga
memperkenalkan berbagai resiko kehidupan yang tidak pernah ada sebelumnya.
173
Terjemahan percakapan dalam pengajian MTA hari Selasa di Bangkerep, 26 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Dalam konteks ini maka bisa dilihat alasan utama mengapa ada sebagian
warga Bangkerep yang memilih untuk bergabung dengan MTA, yakni untuk
mendapatkan rasa aman dan menghindar dari kecemasan eksistensial sebagai akibat
dari berbagai persoalan dan perkembangan sosial yang mereka lihat dan mereka alami
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika basis identitas lama (keluarga, komunitas,
tradisi) tidak lagi memberikan stabilitas pada individu, mereka berupaya untuk
merekonstruksi kembali identitas-diri mereka dengan mencari basis identitas baru.
Dalam hal ini agama menjadi pilihan untuk mencapai stabilitas. Agama –
sebagaimana nasionalisme- adalah „penanda-identitas‟ yang kuat dalam menyediakan
sumber keamanan dalam masyarakat yang beresiko karena mereka menyediakan „a
picture of security, stability, and simple answers‟ (Kinvall, 2004, 742). Agama
memberikan jawaban bagi kecemasan individu karena agama menyediakan gambaran
totalitas, kesatuan dan keutuhan. Fakta bahwa Tuhan telah menyusun aturan dan
membuatnya susah untuk diperdebatkan membantu individu menghindar dari
tanggung jawab untuk memilih (Kinnvall 2004, 759)
Keamanan ontologis ini berkaitan dengan resiko dan kepercayaan. Warga
yang bergabung dengan MTA menyadari bahwa kehidupan masyarakat saat ini
memiliki resiko yang tidak bisa diprediksi. Perubahan sosial yang terjadi tidak
sepenuhnya mereka pahami dan pada saat yang sama mengancam eksistensi mereka.
Kebanyakan mereka menganggap bahwa persoalan masyarakat saat ini adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
maksiat yang merajalela dan pengaruh budaya dari luar yang bisa merusak aqidah dan
generasi muda.
Kekhawatiran atas resiko budaya dari luar tersebut misalnya disampaikan oleh
Parwanto sebagai berikut:
“Arus modernisasi sangat cepat dan orang itu untuk maksiat kan
gampang diikuti daripada kebenaran. Terutama budaya. Kalau kota
metropolitan kan sudah biasa. Tapi arus itu sudah sampai ke tingkat
desa dan orang mengikuti gaya barat, rambut di(warnai) pirang,
(badan) tatoan itu kan sudah merusak aqidah. Orang bergandengan
tangan laki perempuan itu bukan muhrimnya itu sudah menjadi hal
wajar. Bukan hal tabu untuk masyarakat pedesaan. Itu kan lambat laun
bahkan tanpa lambat laun akan merusak aqidah. Seperti itu.”174
Kekhawatiran terhadap globalisasi yang merusak aqidah juga disampaikan
oleh Susilo. Hal tersebut utamanya merupakan pengaruh dari kemajuan perangkat
komunikasi dan informasi, dalam hal ini televisi dan :
“Kalau saya melihat sekarang orang atau kehidupan ini semakin kacau.
Karena jauh dari tuntunan. Kenapa jauh dari tuntunan? Sekarang ini
desa Balong moralnya lebih jelek daripada Bangkerep. Padahal
Bangkerep itu orang yang paling jelek waktu itu. Terbalik. Kalo kita
nonton grafik itu berubah perilaku orang-orangnya. Pengaruh televisi
sama telefon seluler. Keadaan gambaran di televisi kan kayak gitu.
Bebas. HP kan bebas. Sekarang anak SD bisa mengoperasikan HP.
Pengaruh. Lha sedangkan usia segitu kan belum bisa mengontrol
nafsu. Sarana paling bagus untuk mesum. Bahkan yang dikatakan film-
film Islami tidak mencerminkan perilaku Islami. Pacaran, begitu
menikah malah cerai. Hampir semua film kayak gitu. Memori anak
gambarannya gitu terus. Berkelahi. Apalagi film anak-anak ini, orang
bisa terbang. Bisa merusak aqidah. Dandanan, kita tahu sendiri. Orang
desa kalau pulang dari kota seperti apa. Perilaku, gaya bicara dan
sopan santun hilang semua. Hampir semua pemuda yang memang
awalnya gak ada pendidikan, aqidahnya kurang, pendidikan agamanya
174
Wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
kurang, keluar ke kota terbawa arus. Bagi yang perempuan, laki-laki
apalagi perempuan. Dia dengan lawan jenis terlalu berani.”175
.
Selain itu menurut Susilo, masyarakat khususnya umat Islam juga terancam
oleh pemikiran. Susilo menyebut misalnya JIL atau Jaringan Islam Liberal.
Sayangnya Susilo menolak ketika ditanyai pendapat soal JIL.
Sementara Suradi mengkhawatirkan mengenai pengaruh pemikiran, dalam hal
ini pluralisme. Menurut Suradi:
Tantangan yang luar biasa pengaruh budaya. Budaya adalah musuh
besar dalam artian negatif yang jelas-jelas merusak. Yang datang dari
barat. Pluralisme kan kalau kita kaji latar belakang mereka itu
pendidikan mereka itu kan mendapatkan pengaruh dari barat.
Pluralisme itu kan menganggap agama itu sama. Terus menganggap
hukum-hukum yang diterapkan dalam Islam itu bukan hukum mutlak.
Yang jelas nampak misalnya jilbab itu bukan sesuatu yang wajib
padahal dalam Quran sudah jelas perintahnya. Mengenai hak
perempuan, itu dikaburkan. Sekarang itu dimunculkan. Itu merusak.
Kalau dalam tatanan negara Islam itu mendapat hukuman. Sudah
keluar dari pemahaman sebenarnya.176
Apa yang disampaikan Suradi di atas mencerminkan pandangan mengenai
bagaimana posisi warga MTA dalam melihat fenomena globalisasi. Bagi mereka,
globalisasi dianggap sebagai ancaman, di mana keterbukaan dan keberagaman
dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Menurut Giddens, parameter resiko ini hanya ada dalam masyarakat yang
berorientasi ke masa depan, yang melihat masa depan sebagai wilayah yang harus
ditaklukkan atau dikuasai, masyarakat yang aktif berusaha melepaskan dirinya dari
175
Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012 176
Terjemahan wawancara dengan Suradi, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
masa lalu. Dengan demikian menjadi MTA bukan sekedar meninggalkan kebiasaan di
masa lalu karena tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sesungguhnya, tetapi juga
menyadari akan adanya resiko yang akan terjadi di masa depan yang hanya bisa
dihadapi melalui hukum Islam.
Selain itu keamanan ontologis tergantung pada kepercayaan terhadap
keandalan seseorang atau sistem yang berhubungan dengan sekumpulan kejadian atau
hasil tertentu dan kepercayaan itu merupakan keyakinan terhadap kejujuran atas
kecintaan orang lain atau terhadap kebenaran prinsip-prinsip abstrak (pengetahuan
teknis). Dalam hal ini, kepercayaan terjadi melalui kepercayaan terhadap sistem baik
doktrin maupun girarkis yang dibangun oleh MTA sebagai organisasi keagamaan.
Kepastian dan keamanan ontologis didapat warga anggota MTA di dusun
Bangkerep dari beberapa hal, antara lain :
1. Doktrin Kemurnian
Penting untuk dicatat bahwa ketidakhadiran otoritas yang mampu menjelaskan
berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat ikut memberi alasan mengapa sebagian
warga dusun bergabung dengan MTA. Sebagaimana dijelaskan di awal, kehidupan
keagamaan Bangkerep jauh dari kegiatan keagamaan. Meski beragama Islam,
mayoritas dari mereka sama sekali tidak menjalankan praktek Islam, bahkan mbah
Modin yang merupakan tokoh agama dusun pun tidak menjalankan sholat. Baru
setelah ada madrasah Diniyah di dusun Balong, beberapa orang Bangkerep seperti
Wakidi dan Mus belajar agama di sana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
Maka ketika MTA datang dengan doktrin yang menyeru pada kemurnian
pengamalan yang sesuai dengan Al Quran dan Hadits, sebagian warga Bangkerep
menyambut dengan baik. Seperti dikatakan oleh Yatno:
Materi yang cocok semuanya. Misalnya dari materi tentang Quran dan
Sunah. Dalam Islam nabi sendiri bersabda kutinggalkan dua perkara
padamu yang dengan itu kamu tidak akan tersesat jika berpegang pada
keduanya yaitu Quran Sunah. Dari dulu kan saya sudah kenal hadits
itu. Dari muhammadiyah dari acuan MTA yang semacam itu akhirnya
saya ikuti terus. Islam itu yang ditinggalkan yang diajarkan hanya dua
perkara tadi. Ya memang jadi orang Islam mau tidak mau harus
dipaksa cocok dengan Quran dan Sunah. Kalau kita mau mengikuti
Islam dalam Quran mengikutilah Islam secara keseluruhan mau ndak
mau kita harus mengikuti apa yang dikatakan Quran apa yang
dikatakan Sunah. Prinsip saya seperti itu.177
Sementara menurut Parwanto, ketertarikannya terhadap MTA adalah karena
ketegasan doktrin yang membedakan antara yang benar dan yang salah. Parwanto
mengatakan:
“Kalo MTA itu kalo haq dikatakan haq kalo haram dikatakan haram.
Dan kita itu disuruh memilih. Maksudnya kalau ustadz mengatakan itu
dari dalil, bukan sembarangan omong. Kamu percaya silakan. Tidak
percaya silakan. La ikroha fiddin. Tidak ada paksaan dalam beragama.
Kita itu maksudnya benar-benar disuruh memilih jalan yang lurus atau
jalan yang bengkok. Kalau jalan yang lurus ini. Quran dan hadits. Dan
itu dpperlihatkan semua. Ini halal ini haram tidak ditutup-tutupi.” 178
Hal yang sama juga dikatakan oleh Paiman yang membandingkan MTA
dengan organisasi lain dalam hal pengamalan ajaran. Menurut Paiman:
“Ya karena ajaran yang dikaji itu sesuai dengan ajaran Islam. Berbeda
dengan organisasi lain, istilahnya yang dikaji Quran dan Sunah. Kalo
177
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 178
Wawancara dengan Parwanto, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
organisasi lain itu kan omong-omong biasa. Tidak ditunjukkan ini
haditsnya. Ayatnya.179
2. Dukungan Jaringan Ekonomi dan Informasi
Sebagai sebuah organisasi keagamaan yang relatif baru, MTA mendapat
banyak pengikut di Blora. Di Blora sendiri organisasi keagamaan seperti NU dan
Muhammadiyah sudah berkembang cukup lama. Meski di Bangkerep jumlahnya
relatif tetap, namun di seluruh Blora, perkembangan bisa dibilang cukup pesat. Situasi
ini tidak lepas dari model organisasi MTA yang terstruktur secara rapi mulai dari unit
terkecil yaitu individu, kelompok, cabang, perwakilan dan terakhir pimpinan pusat.
Struktur tersebut membentuk jaringan yang kuat sehingga persoalan yang dihadapi di
tingkatan bawah bisa dikendalikan sepenuhnya oleh pimpinan pusat. Begitu juga
sebaliknya pimpinan pusat bisa memberikan berbagai hal yang menjadi kebutuhan
anggota di tingkatan paling bawah.
Dengan struktur tersebut, anggota atau individu mendapatkan rasa aman dalam
segala hal, baik dari sisi keagamaan, ekonomi dan keamanan dalam arti sebenarnya.
Kelompok pada dasarnya merupakan unit terkecil dalam menjaga soliditas dan
solidaritas antar anggota. Selain untuk mengkaji agama, sistem kelompok juga
didesain untuk memastikan individu di dalamnya mendapatkan kebutuhan dan
pertolongan dari anggota lain. Seperti disampaikan oleh Suyatno, bahwa kelompok
179
Wawancara dengan Paiman 29, Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
dalam MTA itu berguna untuk mengetahui keadaan anggota dalam kelompok
tersebut. Suyanto mengatakan:
Misalnya anak saya sakit tidak punya uang mau tidak mau ya saudara
kita sesama MTA yang membantu. Saling bercerita biar kita
memahami saudara kita. Kalau kebetulan ada saudara yang keliru ya
bisa mengingatkan.180
Hal yang sama juga disampaikan Suprih. Menurutnya kelompok bisa menjadi
ruang untuk mencari solusi permasalahan yang dia alami. Menurut Suprih:
“Seperti ini yang namanya Islam itu kebersamaan. Kekompakan dalam
hal ibadah. Dalam menangani suatu permasalahan. Contohnya masalah
dari warga kita mungkin dari yang di sini tidak bisa memecahkan
mungkin saudara kita yang lain kita minta sarannya bagaimana
persoalan ini bisa terselesaikan. Memecahkan persoalan tidak harus
orang banyak, tapi dengan cara seperti itu mungkin yang dipandang
bisa memberi saran, bisa memecahkan persoalan apa yang bisa kita
mintai untuk memecahkan permasalah ke warga MTA dulu.”181
Selain persoalan-persoalan individu, jaringan dengan anggota MTA baik di
dusun Bangkerep atau di tempat lain juga memberi kepastian ekonomi. Anggota MTA
mengaku bahwa mereka mendapat dari beragam pekerjaan dan profesi antar
anggotanya baik dari sesama warga MTA baik di dusun mereka maupun dari warga
MTA yang berada di tempat lain. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Suprih.
Menurutnya, salah satu yang membuatnya tertarik dengan MTA adalah solidaritas
antar anggota yang terutama berguna dalam banyak hal, misalnya pekerjaan. Menurut
Suprih:
180
Terjemahan wawancara dengan Suyanto, 29 Juni 2012 181
Wawancara dengan Suprih, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
“Contohnya saudara kita mungkin punya pekerjaan. Mengenai
pekerjaan kalau dari jauh kita ketemu ada saudara kita yang mungkin
profesinya pekerjaannya banyak membutuhkan tenaga atau mungkin
contohnya membuat kripik nanti bisa saya bawa ke sana. Saya ikut
menjual bisa menjadikan keuntungan. Itu mengenai dunianya. Begitu
juga mengenai akheratnya otomatis kita secara bersama-sama dalam
pengajian mendengar ayat Allah dan kita amalkan. Ibaratnya dalam
majelis itu kita bertemu memahami itu termasuk suatu ibadah yang
tidak ternilai harganya.”182
Secara pragmatis, kepastian ekonomi juga yang menjadi faktor utama di awal
mula bergabungnya sebagian warga MTA Bangkerep. Ketika konflik dengan warga
dusun terjadi, sebagian warga mencari tempat perlindungan ke Surakarta. Di
Surakarta, mereka tidak hanya perlindungan keamanan, tetapi juga mendapatkan
pekerjaan membangun gedung dan asrama MTA sehingga bisa mengirimkan uang
untuk keluarganya di Bangkerep. Tentu saja mereka juga belajar agama di kantor
pusat MTA di Surakarta. Kebetulan pada saat itu kemarau panjang terjadi di
Bangkerep sehingga mengakibatkan banyak warga yang kekurangan makanan. Ketika
melihat sebagian dari warga ada yang pergi ke Surakarta dan mendapatkan pekerjaan,
sebagian warga yang lainnya pun berinisiatif untuk ikut pergi ke Surakarta. Awalnya
mereka hanya bekerja, namun kemudian mereka ikut mengaji dan akhirnya menjadi
anggota MTA.
Suyatno adalah salah satu dari anggota MTA yang bergabung dengan MTA
dengan motif tersebut. Ia mengatakan:
182
Terjemahan wawancara dengan Suprih, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
Dan yang saya kagumi itu waktu pertama kali kita diusir dan pergi ke
kantor pusat itu kenapa kiai-kiai itu mau melayani orang seperti kita.
Saya tadinya kan tidak paham masalah agama. Saya heran. Tapi
setelah mengaji jadi memahami bahwa kalau difikir manusia itu kan
pada dasarnya sama. Yang membedakan kan iman dan taqwa kita. Jadi
memang dipraktekkan betul. Itu yang saya salut. Pertama kecocokan.
Kedua melihat praktek kebersamaan di kantor pusat.183
Yang lebih strategis dari sistem yang di bangun MTA adalah kemudahan
akses informasi, baik yang berkaitan dengan organisasi atau hal lain. Sistem ini
berjalan secara aktif, sehingga setiap informasi dari pimpinan pusat atau sebaliknya
bisa segera diketahui satu sama lain. Menurut Parwanto:
Karena kekuatan jamaah kita kan dari kelompok. Dari kelompok kita
kabarkan ke ketua kelompok. Dari ketua kelompok kita dikabarkan ke
pengurus. Nanti pengurus akan dikabarkan ke pusat. Jadi ada riak
sedikit kan tahu. Gejolak sedikit tahu. Jadi ada alur dari pusat sampai
ke daerah-daerah. Seolah-olah seperti listrik tersalur.184
Selain itu, sistem tersebut juga memungkinkan anggota MTA di dusun
Bangkerep memiliki berbagai macam informasi yang lebih luas ketimbang warga
dusun lainnya tentang kejadian di luar dusun maupun dalam konteks global tanpa
harus mengakses media massa. Sebagai contoh informasi soal Jaringan Islam Liberal,
Pluralisme, Lady Gaga dan informasi lainnya. Menurut Susilo:
Kita punya istilahnya kotak informasi tersendiri yang lain dari yang
lain. Kita kan pembelajarannya kan beda. Ada informasi apa kita
ngerti. Sedangkan (masyarakat dusun) yang ada di sini yang dipelajari
cuma itu tok. Yasinan, tahlilan, manakiban, berjanjinan, maulidan kan
baca kisah begini-begini. Monoton gitu aja. Informasi lain kan banyak.
183
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 184
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
Kalau kita berita apa saja ngerti. Walau kita tidak mengikuti lewat apa
misalnya tidak beli koran, tidak menonton televisi.185
Struktur MTA yang tersebar di banyak tempat juga memungkinkan setiap
anggota memiliki daya mobilitas yang tinggi bisa saling bertemu satu sama lain dalam
berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh MTA. Misalnya peresmian cabang di
desa lain atau bahkan di provinsi lainnya. Warga MTA Bangkerep menganggap
pengalaman bepergian ke tempat-tempat jauh merupakan keuntungan tersendiri
sebagai anggota MTA. Selain itu mereka juga bangga karena bisa bertemu dengan
orang dari berbagai latar belakang yang menjadi anggota dari MTA, bahkan bertemu
dengan orang-orang di kalangan pejabat yang selama ini hanya mereka lihat di
televisi.
Seperti Sudipo yang mengaku pernah pergi ke Solo, Semarang, Wonogiri,
Ngawi, Madiun, Kudus, Ponorogo. Setelah bergabung dengan MTA ia bisa
mendapatkan pengalaman bertemu dengan para tokoh nasional:
Selama saya mengaji di MTA malah sudah berkenalan dengan orang
pejabat tinggi. Seperti Amin Rais, Akbar Tanjung. Bersalaman berkali-
kali. Kalau belum ngaji (di MTA) tidak mungkin.186
Hal yang sama dikemukakan Suprih yang banyak bepergian ke daerah lain dan
bertemu dengan banyak orang setelah bergabung dengan MTA :
“Seperti saya, pergi jauh itu belum pernah. Selama kita ngaji justru
menjadi banyak pengalaman. Tahu daerah Solo, Karanganyar Sragen,
Ibaratnya (kemarin) ayam dikurung. Setelah ngaji banyak pengalaman
185
Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012 186
Terjemahan wawancara dengan Sudipo 27 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
berjumpa dengan staf gubernur. Mungkin kalau belum ngaji ya segan
tapi setelah ngaji walau dengan staf gubernur staf bupati ya biasa.
Sebelum ngaji ya seperti raja dengan rakyat jelata.”187
3. Idiom dan Formasi Sosial
Stabilitas dan kepastian juga didapat anggota MTA dari berbagai idiom atau
bahasa yang digunakan MTA. Dalam konteks ini penting untuk melihat MTA sebagai
gerakan sosial. Dalam definisi David Meyer dan Sidney Tarrow gerakan sosial adalah
(1) gerakan kolektif yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama untuk
mengatasi tantangan (2) berada dalam suatu interaksi yang berkelanjutan dengan
kelompok elit, saingan atau musuh dan pemegang otoritas.188
Lebih lanjut Tarrow
mengatakan bahwa gerakan sosial adalah politik perseteruan yang terjadi ketika orang
biasa seringkali kerja sama dengan warga negara yang lebih berpengaruh bersama-
sama menggalang kekuatan dalam konfrontasi kolektif mereka melawan kelompok
elit, pemegang otoritas dan musuh politik.189
Dalam hal ini MTA sebagai aktor gerakan sosial melakukan mobilisasi
terhadap individu melalui berbagai bahasa, idiom atau simbol sehingga dengan
demikian mampu menarik individu-individu untuk berpartisipasi dan mengkonstruksi
mereka dalam suatu identitas dan tindakan kolektif. Dalam teori gerakan sosial hal ini
disebut sebagai proses pembingkaian yakni skema-skema yang memberikan sebuah
187
Wawancara dengan Sudipo 27 Juni 2012 188
Ihsan Ali Fauzi, Sintesis Saling Menguntungkan: Hilangnya “Orang Luar” dan “Orang Dalam”,
Kata Pengantar untuk buku Quintan Wiktorowicz (Ed.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan
Sosial, Tr. Tim Penerjemah Paramadina, Jakarta. 2012, Yayasan Abad Demokrasi, hal 5 189
Ali Fauzi, ibid, hal. 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa-
peristiwa di “dunia luar” yang berguna untuk menghasilkan dan menyebarkan
penafsiran penafsiran gerakan sebagai alat untuk memobilisasi para peserta dan
dukungan. Oleh aktor gerakan sosial, gagasan-gagasan atau kerangka pemahaman
disusun melalui konstruksi-konstruksi gramatikal dan lensa penafsiran yang
menghasilkan makna antar-subyek dan mempermudah tujuan gerakan.190
Salah satu idiom yang dipakai adalah Islam Kaffah. Dalam berbagai studi
tentang gerakan Islam, penggunaa Islam Kaffah ini dipandang sebagai cara untuk
mengatasi persoalan dan masalah sosial yang disebabkan oleh globalisasi atau apa
yang disebut budaya barat, baik yang menyangkut masalah moral atau masalah
kesenjangan sosial. Dengan argumen hanya dengan kembali pada sumber hukum
Islam yang benar maka umat Islam akan kembali pada kejayaan mereka. Menurut
Suradi:
“Kaffah itu bersih. Keseluruhan. Kalau kita lihat secara umum umat
Islam pengamalan mereka masih bercampur dengan budaya-budaya
yang banyak sekali dimana kalau tidak disadari akan merusak
kekaffahan itu sendiri. Islam akan samar-samar. Padahal Allah sudah
memberi hukum itu jelas tapi kejelasan itu akan menjadi kabur ketika
bercampur dengan budaya-budaya yang memang bertabrakan dengan
islam. Dirasakan Islam tapi justru yang negatif akan masuk dan
mewarnai yang positif.”191
Patut disimak bahwa salah satu faktor yang menentukan berhasil tidaknya
sebuah gerakan dalam mengubah potensi mobilisasi menjadi mobilisasi yang
190
Charles Tilly dalam Quintan Wiktorowitz, ibid, 69-71 191
Wawancara dengan Suradi 28, Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
sesungguhnya tergantung pada kemampuan sebuah bingkai untuk mempengaruhi
individu. Dalam hal ini dikenal proses resonansi bingkai (frame resonance) yakni
ketika sebuah bingkai gerakan bersandar pada simbol-simbol, bahasa, dan identitas
identitas budaya lokal lebih mudah dipahami oleh konstituen dan dengan demikian
memperkuat mobilisasi.192
Dalam hal ini Islam Kaffah diikuti dengan idiom Bid‟ah
atau kegiatan yang tidak ada dasarnya dalam Quran dan Sunah. Dalam konteks
tatanan tradisional Bangkerep, idiom ini terkait erat dengan banyaknya praktek seperti
kenduri, yasinan dan tahlilan. Menurut Suyatno alasan yang membuatnya bergabung
dengan MTA adalah karena ajarannya yang mengajarkan keutuhan Islam tanpa
bercampur dengan tradisi lokal:
“Islam secara keseluruhan ya kita mengikuti apa yang diajarkan Quran
dan Sunah dan meninggalkan apa yang dilarang Quran dan Sunah.
Kalau yang diajarkan mungkin secara umum sama seperti (organisasi)
yang lain. Kemudian yang ditinggalkan kan misalnya tradisi, kenduri,
danyang-danyang itu kan diselaraskan dengan Quran kan jelas gak
sampai. Itu kan unsur kemusyrikan yang sangat besar. Itu saya
tinggalkan. Kemudian bid‟ah. Ustad (Sukina) mengatakan semua yang
baru itu namanya bid‟ah dan bid‟ah itu sesat. Akhirnya saya pegang
terus itu. Yang namanya bidah itu kan ajaran-ajaran yang waktu zaman
nabi belum ada kemudian sekarang ada. Saya berusaha semaksimal
mungkin mengerti bid‟ah itu apa. Misalnya niat solat, tahlilan, yasinan,
memang ada haditsnya (tapi) ternyata lemah.”193
Makna Kaffah dalam hal ini mampu memberikan perasaan aman dan
stabilitas, baik dalam konteks persoalan dunia maupun mengatasi kecemasan di hari
akhir sebagai akibat dari kesalahan-kesalahan yang dibuat di masa lalu. Bergabung
192
Tilly, ibid, hal 71 193
Wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
dengan MTA dan mengamalkan agama secara utuh sebagaimana yang mereka pahami
menciptakan rasa tenteram dari dosa yang dibuat pada masa sebelumnya.
Selain itu penggunaan identitas budaya lokal juga bisa dilihat dari penggunaan
istilah “warga” untuk menyebut anggotanya ketimbang “jamaah” yang identik
dengan Islam. Menurut Suradi, hal ini terkait dengan sikap represif Orde Baru yang
mencurigai setiap organisasi yang menggunakan identitas Islam pada masa
kekuasaannya, terutama istilah “Jamaah”. Sementara menurut Sekretaris MTA Pusat
Yoyok Mugiyanto, tidak ada penjelasan atau strategi khusus mengenai penggunaan
istilah “warga” dan istilah tersebut berkembang dengan sendirinya.
Yang paling menarik dari soal penggunaan istilah lokal adalah “pitik ngendog
pitik, emprit ngendoge yo emprit” (ayam bertelurnya ayam, burung emprit bertelurnya
ya telur emprit). Istilah ini terkait dengan jihad harta yang menjadi salah satu landasan
doktrin MTA yakni agar setiap warga MTA bersungguh-sungguh berpartisipasi dalam
kegiatan di jalan Allah, baik dalam Zakat resmi atau Infaq (sumbangan untuk ibadah).
Istilah pitik ngendog pitik emprit ngendog emprit pertama kali dilontarkan oleh Ketua
Umum MTA Ahmad Sukina untuk mengajak warga MTA untuk ikhlas menyumbang
atau berinfaq dalam bentuk uang sesuai dengan kemampuan untuk berbagai kegiatan
operasional baik di MTA Pusat atau di tempat afiliasi masing-masing. Misalnya
ketika MTA Pusat mengumumkan rencana pemasangan pendingin ruangan yang
menelan biaya 2 milyar yang segera direspon oleh anggota MTA di seluruh Indonesia.
Istilah ini selalu dipakai berulang-ulang dan kemudian menjadi populer di MTA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
termasuk warga MTA di dusun Bangkerep untuk menjelaskan keikhlasan mereka
dalam mengeluarkan biaya untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh MTA
tersebut. Seperti disampaikan oleh Sudipo:
Karena di MTA tidak ada istilah kalau ayam bertelur ayam, kalau sapi
anaknya ya sapi. Bebek bertelur bebek. Burung emprit telurnya ya telur
burung emprit. Tidak ada kamu harus iuran dana sekian. Masing-
masing warga MTA sudah merasa sendiri, saya mampu atau tidak.
Ibaranya saya masih taraf bebek ya bertelurnya telur bebek. Siapa yang
mampu iuran yang tidak mampu ya jangan iuran. Jangan sampai
menekan warganya. Saya orang kecil ditekan sekian tidak ada. Dan itu
sudah merasa sendiri karena setiap hari ngaji.194
D. Rekonstruksi identitas
1. Identitas Diri yang Baru
Suatu malam sehabis sholat Isya‟, saya dan beberapa warga MTA berdiskusi
santai tentang banyak hal di teras masjid. Suprih, salah satu warga MTA baru saja
mengakses berita tentang penemuan piramida Garut di televisi yang katanya
peradabannya lebih tua dari peradabana manapun di bumi ini. Ustadz Suwanto, salah
satu dari dua Ustadz MTA kemudian mengatakan bahwa banyak berita televisi yang
harus dikritisi, selain banyak pengetahuan yang ada. Salah satu contoh yang diajukan
Ustadz Suwanto adalah evolusi Darwin. Menurut Ustadz Suwanto, evolusi Darwin itu
tidak berdasar karena mengatakan manusia berasal dari kera. Sementara Al Quran
tidak ada satupun pendapat mengenai hal tersebut selain manusia dari tanah dan
194
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, 27 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
melalui proses penciptaan. Menurutnya, Al Quran sudah pasti benar, sementara kalau
ilmu pengetahuan sudah pasti ada kelirunya.195
Diskusi tersebut menggambarkan adanya perbedaan pola pikir dan tingkat
yang dimiliki warga MTA dibanding warga Bangkerep lainnya. Mereka memiliki
akses pada informasi aktual dibanding warga lainnya yang didapatkan dari jaringan
mereka di MTA, baik di pusat maupun di seluruh Indonesia. Misalnya informasi
terkait dengan Jaringan Islam Liberal (JIL), pluralisme, Ahmadiyah, Lady Gaga dan
berbagai informasi lainnya. Selain itu mereka juga memiliki kemampuan menganalisa
dan mengkritisi setiap peristiwa yang mereka amati dan mencari landasan rasionalitas
atau disandarkan pada sumber hukum Al Quran dan Hadits. Hal ini berbeda dengan
warga Bangkerep lainnya yang dalam obrolan mereka di warung kopi, masjid, atau
saat kegiatan kolektif masih didominasi oleh tema pekerjaan, pertanian atau peristiwa
umum lainnya.
Dalam konteks identitas, Ricard Jenkins melihat identitas individu
didefinisikan sebagai identitas sosial. Identitas sosial adalah suatu proses individu dan
kolektif membedakan dirinya dalam relasi sosial mereka. Menurut Jenkins identitas
adalah “our understanding of who we are and of who other people are, and
reciprocally, other‟s people understanding of themselves and of others (which
includes us). Dengan demikian identitas sosial adalah suatu proses yang saling
berlawanan satu sama lain. Lebih lanjut Jenkins mengatakan bahwa identitas
195
Catatan lapangan 27 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
bukanlah sesuatu yang jadi, melainkan proses yang terus berlangsung dan dengan
demikian lebih tepat mengatakan proses identifikasi daripada identitas.196
Dalam konteks pemikiran Jenkins, bergabungnya sebagian warga Bangkerep
ke dalam organisasi MTA merupakan proses identifikasi diri mereka yang berbeda
dari lingkungan dan masa lalu mereka. Bagi warga MTA, kemajuan dalam mengakses
informasi yang tidak dimiliki warga lainnya dipandang sebagai hal yang membedakan
diri mereka dengan warga dusun lainnya. Dengan mendapatkan informasi aktual
melalui jaringan MTA, warga MTA Bangkerep merasa lebih modern dan berorientasi
pada masa depan ketimbang menjadi bagian dari orang dusun yang kolot, stagnan dan
hanya berorientasi pada masa lalu sebagai inspirasi. Hal ini disampaikan oleh Susilo
menanggapi soal darimana ia mendapat informasi mengenai JIL:
Bedanya orang belajar kan gitu. Mau gak mau orang ngomong kita
dengarkan. Disamping itu kita juga baca sedikit-sedikit dapat informasi
soal ideology seperti itu. Kan gak mungkin istilahnya kita terus
menerus lugu seperti keadaan masyarakat pada umumnya. Setiap hari
mencangkul, meski kita sendiri ya setiap hari ya pegang cangkul dan
sabit.197
Selain itu jaringan yang luas dengan warga MTA di seluruh Indonesia juga
membuat identitas mereka menjadi berbeda dari identitas mereka sebagai warga desa
biasa. Menurut Parwanto:
Kalo tidak seperti itu ya terus menerus jadi wong ndeso. Cuma ke
ladang. Mencangkul. Tidur...”198
196
Richard Jenkins, Social Identity, Second Edition, Routledge, 2004, hal. 3-5 197
Terjemahan wawancara dengan Susilo 26 Juni 2012 198
Terjemahan wawancara dengan Parwanto, 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
Selain itu identitas baru tidak hanya dibisa dilihat dari pola pikir, namun juga
penampilan. Dalam kesehariannya, mereka selalu berpakaian dan berpenampilan rapi.
Bagi anggota MTA perempuan memakai jilbab yang menutupi hampir separo badan.
Hal ini berbeda dengan warga perempuan non-MTA yang hanya beberapa orang saja
yang memakai jilbab dalam kesehariannya. Di siang hari, meski sama-sama bekerja di
sawah atau ladang, warga MTA menyelesaikan pekerjaan mereka lebih cepat untuk
kemudian membersihkan diri dan bersiap menunaikan shalat Zuhur di masjid. Mereka
biasanya bercelana panjang meski tidak ada ketentuan khusus untuk itu. Khusus jika
hari Selasa, sebagian dari mereka ada yang tidak pergi bekerja karena pada hari
tersebut diselenggarakan pengajian di majelis MTA. Menjelang pengajian dimulai,
warga MTA laki-laki berpakaian rapi, laki-laki memakai celana panjang, memakai tas
lengkap dengan alat tulis buku dan pensil dan A Quran terjemahan.
Selain itu identitas baru juga didapat dari kehidupan warga MTA yang didapat
dibatasi oleh aturan-aturan dan kedisiplinan. Selain dilarang melaksanakan kegiatan
praktek tradisional kosmologis, aturan cara berpakaian khusus bagi yang perempuan.
Kehidupan mereka kini terikat oleh aturan yang ketat, hirarkis dengan pimpinan dan
menjadi bagian dari komunitas MTA. Kesadaran untuk berubah menjadi pijakan
dalam perubahan identitas warga MTA. Mereka menganggap proses tersebut sebagai
berpindah (hijrah) dari masa lalu yang diliputi kebodohan akibat meyakini dan
menjalankan praktek tradisional menuju masa sekarang yang lebih beradab karena
dilandasi oleh ajaran Islam. Hijrah juga berarti proses berpindah dari diri yang pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
masa lalu gemar melakukan tindakan yang dilarang oleh agama menjadi muslim yang
saleh dan taat. Dengan kata lain, makna Hijrah menjadi MTA berarti identitas yang
dulu disandarkan pada ikatan atau guyub sosial yang cair di dusun diganti menjadi
identitas yang dibentuk ulang dari ikatan ketat berbasis agama yang kaku dan ketat.
Inilah yang dimaksud Giddens dengan identitas-diri yang baru pada diri individu
diciptakan dan dibuat ulang dalam bentuk yang lebih aktif dari sebelumnya.
2. Dari Diri ke Masyarakat
Sebagaimana dijelaskan Giddens, pengaruh globalisasi terhadap individu tidak
berarti individu hanya bersifat pasif. Melalui proses refleksitas menegaskan bahwa
dalam kehidupan modern individu dan segenap tindakannya mempengaruhi sistem
sosial yang lebih luas. Giddens mengatakan:
“The day-to-day activities of an individual today are globally
consequential. My decision to purchase a particular item of clothing,
for example, or a specific type of foodstuff, has manifold
implications‟,namely an „extraordinary, and still accelerating,
connectedness between everyday decisions and global
outcomes”(1994: 57–8).
Dengan demikian, bergabung dengan MTA yang penuh aturan tidak berarti
membuat individu tidak berdaya karena hilangnya kebebasan mereka. Sebaliknya
bergabung dengan MTA memiliki dua tujuan. Pertama, memperbaiki diri sendiri
dengan mengamalkan praktek Islam yang sesuai dengan Al Quran dan Sunah. Kedua,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
memperbaiki moral masyarakat agar sesuai dengan kedua sumber hukum tersebut.
Hal ini disampaikan oleh Sudipo:
Ditegakkan pengajian itu membenahi akhlak. Karena kalau tayangan
televisi, kejahatan, anak membunuh orang tua orang tua membunuh
anak istri dibunuh itu kalau akhlak tidak dibenahi apa bisa menjadi
baik. Maka untuk membenahi dari MTA warganya dulu digembleng
supaya akhlak menjadi baik. Karena kalau suatu negara kalau
rakyatnya akhlaknya baik negaranya juga baik. Maka MTA itu
istilahnya membangun akhlak itu dari dasar bukan dari atas. Dari
bawah dulu kita benahi dari akar rumput. 199
Memperbaiki diri dan masyarakat dengan sendirinya mengandaikan adanya
dunia yang terpisah, yaitu dunia yang dibangun atas dasar hukum Al Quran dan Sunah
dan masyarakat umum yang belum mengamalkan Islam secara Kaffah. Dalam
konteks dusun Bangkerep, warga MTA Bangkerep menganggap bahwa kehidupan
mereka dipisahkan oleh aturan MTA yang juga aturan Islam dengan kehidupan warga
dusun yang masih mengamalkan tradisi lokal atau mereka yang masih menjalankan
tindakan yang menjerumus pada kemaksiatan dan dosa. Selain itu bagi warga MTA,
dunia luar juga dianggap penuh kejahatan dan bahaya yang akan merusak keutuhan
dunia internal tempat mereka berada. Hal ini disampaikan Suradi:
“Setan akan senantiasa berusaha mengajak manusia semuanya untuk
mengikuti jalannya. Kalau kita kembali pada kenyataan di zaman
sekarang ini seolah-olah kita dikerumuni oleh tentara tentara musuh
yang sangat luar biasa dari kanan kiri depan belakang musuh yaitu
setan-setan yang senantiasa memerangi kita yang senantiasa melawan
kita karena kita menyampaikan kebenaran, karena senantiasa
berpegang pada kebenaran. Siapa saja yang berpegang pada kebenaran
maka setan setan sangat luar biasa berusaha melawan.” 200
199
Terjemahan wawancara dengan Sudipo, 27 Juni 2012 200
Khutbah Jumat disampaikan Suradi, 20 April 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
Menghadapi dunia yang kacau, maka bagi individu harus bersikap aktif
membuat perubahan, yakni berupaya menjadikan hukum Islam sebagai landasan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan individu. Dengan kata lain, bergabung
dengan MTA adalah upaya untuk mengubah diri sendiri dan selanjutnya membuat
perubahan di masyarakat agar mau mengamalkan ajaran dan hukum Islam. Menurut
Suradi:
“Harapan kita itu mengamalkan Islam karena hukum yang sebenarnya
itu kan hukum Allah. Allah kan yang memiliki bumi ini dan
menciptakan seisinya. Yang punya wewenang untuk mengatur atau
membuat kebijakan hukum. Lha saat sekarang ini umat Islam kalau
kita lihat sejarah selesai masa keemasan seolah hukum Islam tidak
pernah disentuh dan tidak pernah dipakai oleh umat Islam karena
ditutup-tutupi oleh hukum-hukum manusia. Harapan kita bagaimana ke
depan itu orang melihat bahwa hanya hukum Allah lah yang bisa
membuat manusia itu baik. Dunia ini baik. Tapi secara sadar. Kalau
ada sekelompok saudara itu pakai kekerasan maka kita tidak. Kalau
MTA memang dituntut untuk mengamalkan hukum Allah itu secara
pribadi di keluarga, kelompok pengajian nanti berkembang pada
manusia memberi contoh pada masyarakat dan sebagainya.”201
Namun berbeda dengan kelompok keagamaan lain, upaya MTA agar hukum
Islam bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat tidak dilakukan
dengan cara kekerasan seperti organisasi lainnya. Bagi MTA yang paling utama
adalah memulai dari individu dan kemudian menjalar ke keluarga dan masyarakat
yang lebih luas. Menurut Suradi:
201
Wawancara dengan Suradi 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
“Nah bagaimana manusia di suatu negara katakanlah Indonesia ini
yang mayoritas Islam menyadarkan mereka dalam artian mereka mau
cinta pada hukum yang ada pada dirinya sendiri. Hukum Islam itu
sendiri secara sadar. Sebagaimana Rosululloh pada awalnya di dalam
menyampaikan kebenaran itu juga akarnya mengajak dari orang per
orang, keluarga. Maka itu yang kita harapkan hukum Islam itu bisa
diamalkan dicintai oleh umat Islam tanpa paksaan MTA itu kita tidak
seperti organisasi lain. Dengan kekerasan atau apa. Yang penting kita
memberi contoh yang positif. Baik sikap perbuatan yang istilahnya
sosial kemasyarakatan.”202
E. Konsekuensi
Bagi warga MTA, rekonstruksi identitas dan pencarian stabilitas atau
keamanan ontologis bukannya tanpa konsekuensi. Stabilitas yang mereka terima dari
organisasi juga memberi dampak yang harus mereka alami ketika memilih bergabung
dengan MTA. Konsekuensi-konsekuensi yang diterima oleh warga yang bergabung
dengan MTA tersebut mengacu pada tindakan dan proses yang mereka alami baik
selama menjadi warga MTA sekaligus dalam posisi mereka sebagai warga dusun
dengan karakteristik dan kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari. Dengan kata
lain, berlaku proses refleksifitas yang terus menerus dilakukan oleh warga yang
bergabung dengan MTA terkait dengan semua tindakan yang dia lakukan.
1. Kedisiplinan
Dengan menjadi anggota MTA, seorang warga dusun Bangkerep harus siap
menjalani kehidupan sehari-hari dalam aturan yang ketat yang dikeluarkan pimpinan
MTA pusat. Selain mengatur soal praktek dan tata cara keagamaan, warga MTA juga
202
Wawancara dengan Suradi 28 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
diharuskan hidup dalam aturan-aturan yang terkait dengan pergaulan, berpakaian,
berkeluarga, mata pencaharian dan sebagainya. Bagi warga MTA, kedisiplinan yang
mengekang kebebasan mereka dianggap sebagai konsekuensi dari pilihan mereka.
Paiman mengaku tertarik dengan MTA justru karena kedisiplinan organisasi
yang menurutnya tidak ada di organisasi lain. Sementara di MTA dituntut untuk
mempraktekkan dengan konsekuensi yang cukup berat, seperti dikucilkan. Juga harus
mengaji dan jika tidak mengaji akan dikeluarkan. Paiman mengatakan:
“Kalo saya sudah mengaji di tempat-tempat lain. Tapi menurut saya
sendiri saya rasakan sendiri kurang begitu mantap. Kurang begitu
cocok. Masalahnya kalau di tempat-empat lain itu ngaji ya cuma ngaji
saja. Tidak ada peraturan-peraturan yang harus begini-begini ndak ada.
Pokoknya ngaji ya cuma kumpul-kumpul.”203
Hal yang sama dikemukakan oleh Suyatno. Ia mengaku tertarik mengaji di
MTA karena kedisiplinan dalam pengamalan, terutama amalan yang sudah menjadi
kebiasaan warga dusun. Ia mengatakan:
“Dalam Islam nabi (Muhammad) sendiri bersabda kutinggalkan dua
perkara padamu yang dengan itu kamu tidak akan tersesat jika
berpegang pada keduanya yaitu Quran Sunah. Dari dulu kan saya
sudah kenal hadits itu. Dari Muhammadiyah dari acuan MTA yang
semacam itu akhirnya saya ikuti terus. Islam itu yang ditinggalkan
yang diajarkan hanya dua perkara tadi. Ya memang jadi orang Islam
mau tidak mau harus dipaksa cocok dengan Quran dan Sunah. Kalau
kita mau mengikuti Islam dalam Quran mengikutilah Islam secara
keseluruhan mau ndak mau kita harus mengikuti apa yang dikatakan
Quran apa yang dikatakan Sunah. Prinsip saya seperti itu.”204
203
Wawancara dengan Paiman, 28 Juni 2012 204
Wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
Sementara bagi Susilo, ia sejak awal tidak tertarik mengikuti berbagai
kegiatan ritual dusun. Ia mengatakan:
Bedanya kalau di MTA itu banyak larangannya. Saya memang tidak
senang hura-hura, tidak seneng rame-rame. Kalau melihat tontonan
sama mas Suradi tidak boleh. Kata mas Suradi jangan senang begitu,
tidak baik. Kalau pas ada barongan saat peringatan 17 agustus ya tidak
boleh. Terus disamping itu juga sedekah bumi. Tadi saya katakan
bapak saya setiap menyuruh (ikut kenduri) saya menghilang kemana,
main. Lha kok di sini di MTA kok malah ora entuk. Makanya saya
senang.205
Sistem hirarkis yang mengontrol segenap aspek kehidupan warga tidak
dipandang sebagai sesuatu yang membatasi kebebasan diri, melainkan mampu
menciptakan stabilitas di tengah ketidakpastian hidup. Kedisiplinan tidak dipandang
sebagai hal yang memberatkan, melainkan sebagai alat meneguhkan identitas diri
yang berbeda dari yang lain.
Salah satu aturan kedisiplinan adalah harus mengikuti kegiatan pengajian dan
jika berhalangan hadir harus menyampaikan surat ijin. Sistem ini diberlakukan oleh
pimpinan MTA dengan cara mewajibkan anggota untuk mengisi daftar hadir. Jika
seorang anggota tidak hadir berturut-berturut. Menurut Suradi, aturan absen pada
dasarnya adalah untuk mengontrol dan benar-benar berkomitmen dengan MTA.
Menurut Suradi:
“Adanya daftar hadir itu biar tertib. Biasanya pengajian-pengajian itu
kan tidak terdaftar sehingga masuk dan tidak masuknya tidak terdata.
Maka kita titik beratnya pada keistiqomahan. Seperti barisan. Diatur
rapi. Nah diatur rapi itu kalau kita belum rapi dalam mengatur nanti
205
Terjemahan wawancara dengan Susilo, 26 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
ada salah satu yang keluar dari barusan atau membuat gaduh dalam
barusan kita akan mudah mengetahuinya. Siapa yang membuat gaduh.
Siapa yang keluar barusan. Siapa yang merusak barisan. Keluar dari
barisan itu karena dia tidak taju atau karena dia sengaja mau memecah
barisan. Itu kalau kita ada daftar hadir.”206
Begitu juga dengan konsekuensi jika melanggar aturan bisa dikeluarkan dari
MTA. Menurut Parwanto apa yang menjadi aturan MTA adalah kebijakan yang
dilandaskan pada aturan hukum Islam. Menurut Parwanto:
“Soal dikeluarkan itu karena sudah melanggar norma. Sudah berat.
Kalau cuma tidak masuk tapi ijin gak papa. Masih bisa ditolerir. Kalau
sakit ijin tidak masalah. Tapi kalau sudah dikeluarkan itu karena sudah
tidak mematuhi garis dari MTA. Pokoknya garis dari MTA itu ya dari
Islam itu sendiri. Bukan terus MTA punya hukum. Tapi hukum yang
dipakai MTA itu dari Islam. Al Quran dan Sunah. Melenceng dari
Quran dan Sunah ditegur sekali atau dua kali tetap tidak sadar akhirnya
nanti seperti itu akan merusak ke dalam.”207
Menurut Suradi, orang yang dikeluarkan adalah karena mereka tidak
berkomitmen dengan aturan MTA:
“Itu tidak mengamalkan hasil kajiannya. Kalau orang lain itu sebabnya
karena belum tahu. Tapi kalau ini kan sudah tahu tapi nekad. Nekad itu
berarti suka seperti itu. Kalau memang tidak suka berarti tidak suka
pada pengajian. Lha apa yang kamu suka itu yang kamu lakukan. Kita
memberi kemerdekaan. Tapi jangan sampai nekad ikut bergabung ke
komunitas kita tapi perilakumu keluar dari ketentuan yang sudah ada.
Itu berarti kamu datang itu untuk merusak.”208
Sanksi pelanggaran ini pada dasarnya sangat berat mengingat berhubungan
dengan konsekuensi lainnya yang lebih besar yakni terjadi benturan dengan keyakinan
206
Wawancara dengan Suradi, 26 April 2012 207
Wawancara dengan Parwanto, 29 Juni 2012 208
Wawancara dengan Suradi, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
serta praktek adat istiadat yang masih dilakukan warga dusun lainnya yang berujung
pada konflik terbuka. Ketika seorang warga dusun Bangkerep memutuskan bergabung
dengan MTA biasanya ia tidak memiliki ruang lagi di komunitas dusun, maka jika ia
melakukan pelanggaran dan dikeluarkan dari organisasi MTA maka akan susah
baginya untuk berintegrasi kembali di masyarakat.
Meski demikian konflik justru dianggap sebagai sarana perekat solidaritas
yang meneguhkan stabilitas dan identitas mereka. Konflik dianggap sebagai
konsekuensi dalam upaya mencari stabilitas. Menurut Suprih:
“Justru dengan adanya itu (konflik) dari warga tambah mantap.
Tambah semangat perjuangannya. Lebih semangat kalau ada
rintangan.Ibaratnya bumbu untuk memupuk keimanan. Mungkin kalau
tidak dengan cara itu pengamalannya biasa saja”.209
2. Keuangan
Banyaknya kegiatan yang harus diikuti warga MTA di Bangkerep tentu
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi jika melihat bahwa mayoritas dari
mereka adalah buruh tani atau pedagang kecil dengan penghasilan yang tidak
menentu.
Pengeluaran terbesar biasanya adalah transportasi untuk mengikuti pengajian
baik Jihad Pagi atau pengajian peresmian cabang di tempat lain. Di Bangkerep, warga
MTA harus mengikuti kegiatan rutin pengajian Selasa, sementara Jumat siang mereka
ke Surakarta sampai malam hari, kemudian hari minggu mengikuti pengajian Ahad
209
Wawancara dengan Suprih, 27 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
Pagi ke Surakarta. Sementara bagi Ustadz Suradi dan Suwanto jadual mereka lebih
padat dari anggota lainnya. Selain itu, pihak MTA pusat juga sering mengadakan
kegiatan yang membutuhkan dana yang berasal dari infaq (iuran yang tidak wajib)
warga MTA di seluruh Indonesia. Misalnya pengadaan AC, stasiun televisi dan radio,
dan infaq lainnya yang meski tidak wajib namun selalu ditekankan sebagai suatu jihad
fi sabilillah atau berjuang di jalan Allah khususnya dengan harta.
Bagi warga MTA, berbagai kegiatan dan dana yang tidak sedikit merupakan
bagian dari perjuangan dalam upaya menjalani Islam secara murni. Menurut Wakidi,
semuanya dijalankan dengan ikhlas, karena rejeki sudah ada yang mengatur yaitu
Allah. Seperti dikatakan oleh Suprih, biaya yang dikeluarkan merupakan suatu
kebanggan tersendiri:
“Kalau sekiranya di dalam hati itu senang dengan Fisabilillah tidak
ada rasa seperti itu. Kalau mendengar himbauan dari pimpinan pusat
untuk pembangunan atau hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan itu
justru senang ada kebanggaan tersendiri.”210
Hal yang sama dikemukakan oleh Suyatno bahwa apa yang selama ini menjadi
aturan dari MTA adalah bagian dari ibadah:
Dasarnya ya itu. Kata Ustadz Ahmad Sukina segala aktifitas yang ada
hubungannya dengan kegiatan pengajian dengan ibadah yang langsung
dengan Allah itu kita mencari ridlonya Allah. Kita berusaha untuk
Lillahi. Jadi biar hati kita itu meninggalkan yang menjadi keseharian
itu menjadi ringan. Jadi ndak ada wah pergi lagi meninggalkan
pekerjaane. Awal-awal hal semacam itu menjadi sesuatu yang lumrah.
Apalagi waktu istri saya belum ngaji diajak mengikuti kegiatan itu
berat. Tapi Alhamdulillah setelah istri ikut ngaji beban berkurang. Jadi
210
Wawancara dengan Suprih, 27 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
enteng. Istri juga memahami sendiri, anak juga ngerti, misalnya ada
kegiatan apa ya siap. Dasarnya ya itu tadi. Berusaha unuk lillahi
ta‟ala.211
Sementara menurut Susilo, bahwa balasan dari Allah jauh lebih berharga
ketimbang waktu dan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pengajian, misalnya
kegiatan nafar. Kegiatan nafar adalah kegiatan khas MTA selama bulan Ramadhan di
mana setiap anggota MTA diharuskan tinggal dan belajar agama di kantor MTA
lainnya di seluruh Indonesia. Menurut Susilo:
“Islam Kaffah ya yang mana itu perintah Allah ya kita ikuti. Yang
tidak diperintahkan kita tinggalkan. Istilahnya jangan membawa ego.
Seneng tidak senang kalo itu baik ya kita ikuti, entah itu disisi lain
menyudutkan kita atau membahagiakan kita. Seperti contoh kita
disuruh Nafar. Disisi lain ekonomi kita pas-pasan. Tapi kalo kita
mampu mengapa tidak. Kalau kita pikir kan sesuatu yang mengerikan,
kalo kita sudah punya keluarga punya anak ekonomi pas-pasan,
kebetulan harus keluar Nafar. Mau gak mau. Walaupun (sebenarnya)
tidak keluar juga tidakpapa. Tapi kalau kita mengerti lebih baik keluar
daripada tidak. Hari esok kan masih ada. Disisi lain menyulitkan kita,
di sisi yang lain ada sesuatu yang membahagiakan nanti. Sesuatu yang
tidak nampak. Sesuatu yang tidak ditampakkan oleh Allah. Sesuatu
yang gaib, balasan kan sesuatu yang gaib. Mau gak mau kita harus
yakin.”212
Dengan demikian konsekuensi tersebut justru menjadi semacam peneguhan
bagi para warga Bangkerep yang menjadi anggota MTA. Konsekuensi atau
kehilangan sesuatu pada saat yang sama juga menjadi kepenuhan atau kepuasan bagi
individu yang ada di dalamnya.
211
Terjemahan wawancara dengan Suyatno, 29 Juni 2012 212
Wawancara dengan Susilo, 29 Juni 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
3. Dogmatisme baru
Giddens mengatakan bahwa detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi,
tetapi tradisi masih tetap ada namun hidup dan berkembang dalam konteks yang
berbeda. Dalam konteks perubahan yang terjadi di Bangkerep, baik warga dusun atau
warga yang menjadi anggota MTA tentu saja mengalami dan menghadapi suatu
situasi yang sama. Ketika Wakidi dan kawan-kawannya bergabung dengan MTA
yang merupakan organisasi Islam puritan yang birokratis dan terstruktur sekaligus
meyakini doktrin dan menjalankan aturan ketat yang ada didalamnya tidak berarti
bahwa mereka menjadi individu baru yang serta merta hidup dalam pola pikir dan
situasi yang modern. Sebaliknya, berbagai pengalaman warga MTA Bangkerep
mengenai keterlepasan dari masa lalu yang dianggap kolot dan kemudian menarasikan
diri mereka sendiri menjadi “modern” melalui keyakinan, praktek keagamaan serta
keterlibatan dalam jaringan yang dimiliki MTA pada saat yang sama justru
menjadikan mereka hidup dalam bentuk tradisionalisme baru yang lebih dogmatis.
“Menjadi modern” bagi warga MTA pada dasarnya adalah kehidupan yang berada
dalam aturan-aturan ketat dan sanksi yang sepenuhnya dikendalikan oleh otoritas
yang lebih berkuasa atas mereka sendiri, dalam hal ini MTA sebagai organisasi.
Kegiatan organisasi seperti pengajian Ahad Pagi atau pengajian rutin dengan segala
tata caranya pada akhirnya menjadi semacam ritual baru yang harus dijalankan oleh
anggotanya. Dalam kondisi tersebut, ketika seorang warga dusun Bangkerep
memutuskan bergabung dengan MTA untuk mencari stabilitas atau keamanan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
mendasar (ontological security) justru pada saat yang sama ia juga mengalami suatu
bentuk rasa tidak aman yang baru karena berbagai aturan ketat dan sanksi yang
membatasi mereka.
Begitu juga dengan apa yang dialami oleh warga dusun yang tidak bergabung
dengan MTA. Dengan tetap menjalankan ritual yang bersumber dari kepercayaan
lokal tidak berarti bahwa sebagian warga dusun tersebut masih berada dalam
kerangka pikir dan kesadaran tradisional sepenuhnya. Sebagai individu mereka juga
melakukan refleksi atau proses permenungan tentang diri mereka di tengah perubahan
yang terjadi di sekitar mereka. Pada kondisi ini warga dusun yang tidak bergabung
dengan MTA juga merasakan kecemasan dalam menjalani kehidupan dunia luar yang
terus berubah dan berupaya mencari rasa aman mendasar (ontological security).
Penolakan warga dusun Bangkerep atas faham puritan yang dibawa MTA merupakan
manifestasi dari ketakutan terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka dan
dianggap bisa mengancam stabilitas dan rasa aman yang selama ini mereka miliki.
Dalam konteks tersebut apa yang dialami oleh warga dusun Bangkerep pada
umumnya atau warga lainnya yang menjadi anggota MTA pada dasarnya adalah
bagian dari upaya yang sama mempertahankan suatu kebenaran di mana menurut
Giddens, kebenaran yang terformulasikan adalah titik temu yang menghubungkan
sesuatu yang sakral dengan tradisi.213
Menurut Giddens, tradisi hanya akan bertahan
dalam dua cara; pertama, diartikulasikan dengan makna baru melalui dialog. Kedua,
213
Giddens, Living in Post-Traditional Society, hal. 104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
tradisi dipertahankan dengan jalan fundamentalisme yakni mempertahankan tradisi
tanpa dialog atau kompromi. 214
Dalam cara yang terakhir ini maka tradisi baik dalam
pengertian “tradisi lokal” atau agama sebagai “tradisi besar” memiliki
kencenderungan untuk jatuh ke dalam lubang yang sama, yaitu dogmatisme. Kondisi
ini terjadi di masa awal kedatangan MTA di Bangkerep maupun dalam
perkembangannya kemudian di mana terjadi konflik terbuka antara warga dusun yang
tidak setuju dengan ajaran MTA melawan warga dusun anggota MTA yang
menganggap bahwa praktek lokal di Bangkerep adalah sesat dan tidak sesuai dengan
tuntunan dari Al Quran dan Hadits.
214
Giddens, ibid, hal. 100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
BAB V
KESIMPULAN
Argumentasi yang dikemukakan dalam tesis ini adalah bahwa globalisasi
membuat suatu komunitas dan individu kehilangan kepercayaan terhadap nilai-nilai
tradisional yang selama ini mereka yakini dan pada saat yang sama menggantinya
dengan suatu cara atau keyakinan yang memberi kepastian atau keamanan di tengah
kehidupan global. Selain itu globalisasi juga membuat individu berupaya membentuk
ulang identitas mereka dalam suatu komunitas. Dalam hal ini identitas baru tersebut
mereka dapatkan dari kelompok agama yang memiliki aturan yang ketat dan doktrin
serta praktek keagamaan yang diyakini mampu mengatasi berbagai persoalan yang
diakibatkan oleh berbagai perubahan yang terus menerus terjadi di sekitar mereka.
Tesis ini berupaya memotret kondisi masyarakat di suatu pedesaan di Blora
yang pada mulanya bercirikan tradisional dengan karakteristik keagamaan yang
cenderung Abangan yang kemudian mengalami proses perubahan menuju gejala
modernitas yang diakibatkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam skala dan
intensitas yang luar biasa atau juga disebut sebagai fenomena globalisasi. Globalisasi
sebagai suatu proses saling keterhubungan suatu kejadian di wilayah tertentu dengan
wilayah lain yang saling mempengaruhi, dalam tesis ini digambarkan melalui
kebijakan negara sebagai perpanjangan dari kepentingan kapitalisme global,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang memungkinkan terjadinya
perpindahan ide dan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dusun Bangkerep sebagai sebuah dusun yang pada mulanya dipenuhi dengan
berbagai ritual tradisional sekaligus kurang dalam praktek agama berangsur-angsur
mengalami suatu kondisi modernitas. Kondisi ini merujuk pada apa yang disebut
Giddens sebagai masyarakat post-tradisional yakni masyarakat yang mengalami
ketidakpastian dan mempertanyakan nilai-nilai dan sudut pandang tradisional yang
sebelumnya mereka yakini sebagai konsekuensi dari perubahan sosial yang terjadi di
sekitar mereka. Dengan kata lain tradisi yang sebelumnya menjadi pegangan di
masyarakat menjadi terbuka untuk dipertanyakan dan pada akhirnya individu di
dalamnya mulai mencari cara alternatif dari sumber lain. Kata kunci dari proses ini
adalah apa yang disebut refleksifitas, yakni individu melakukan permenungan dan
mencari alasan atau dasar dari setiap tindakannya sekaligus mengevaluasi
keberhasilan dari setiap upaya yang dia lakukan.
Dalam tesis ini modernitas di Bangkerep dibaca melalui fenomena peralihan
orientasi beragama sebagian warganya yang bergabung dalam suatu organisasi Islam
bercorak puritan yaitu Majelis Tafsir Al Quran (MTA) yang berpusat di Solo. Mereka
yang semula kurang dalam pengetahuan agama dan tidak terlalu taat dalam
menjalankan ajaran Islam sekaligus teguh dalam meyakini kepercayaan tradisional
dan melakukan praktek ritual lokal mulai menunjukkan gairah gairah keagamaan yang
kuat setelah bergabung dengan organisasi tersebut. Dengan kata lain nilai-nilai dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
kepercayaan leluhur mulai dipertanyakan manfaatnya dalam menjawab berbagai
kegelisahan yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.
Proses bergabungnya sebagian warga Dusun Bangkerep ke dalam organisasi
MTA dijelaskan dalam kerangka globalisasi sebagai proses terjalinnya relasi kejadian
dan wilayah dari satu tempat ke tempat lain. Sebagai sebuah organisasi yang berdiri
pada tahun 1972, kemunculan MTA dengan misi puritanisme merupakan bagian dari
fenomena gelombang kebangkitan Islam dalam skala global pada waktu yang sama di
mana umat Islam di seluruh dunia sedang bangkit dari keterpurukan sekaligus
berupaya meraih kejayaannya kembali melalui jargon kembali kepada Al Quran dan
Sunah..Gerakan kebangkitan Islam skala global ini merupakan lanjutan dari fenomena
yang sama yang terjadi di Timur Tengah pada abad ke 18 yang memberi yang
pengaruh terhadap fenomena yang sama di berbagai belahan dunia dengan agenda
utama merebut kembali kejayaan Islam sekaligus mengedepankan nilai dan praktek
Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Persebaran ide tersebut dipotret
dalam kerangka globalisasi sebagai suatu fenomena menguatnya relasi-relasi sosial di
berbagai wilayah di dunia melalui suatu kejadian yang saling mempengaruhi satu
sama lain. Dalam konteks gerakan kebangkitan Islam skala global ini relasi terjadi
melalui instrument globalisasi, yakni kemajuan teknologi komunikasi transportasi dan
informasi yang memungkinkan terjadinya mobilisasi manusia sehingga
memungkinkan ide-ide baru mengenai Islam bisa diakses oleh umat Islam di berbagai
tempat, termasuk di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
Di Indonesia, gerakan puritanisme disebarkan oleh kaum Paderi di Sumatera
pada sekitar abad 20 dan memberi pengaruh terhadap munculnya organisasi dengan
misi puritanisme seperti Muhammadiyah dan Persis. Pada tahap selanjutnya fenomena
kebangkitan Islam di Indonesia terjadi pada tahun 1970 dan 1980-an yang
dipengaruhi ketika ide-ide pembaruan Islam dari Hasan Al Banna, Jamaluddin Al
Afghani atau Rasyid Ridha yang kemudian berkembang pesat di Indonesia melalui
berbagai organisasi-organisasi Islam di kampus serta melalui penerbitan buku-buku
dan maupun melalui mahasiswa yang belajar di Timur Tengah saat Orde Baru masih
berkuasa. Kemunculan berbagai organisasi Islam juga dipicu oleh kebijakan Orde
Baru yang berupaya untuk melanggengkan kekuasaan melalui kebijakan depolitisasi
umat Islam serta kebijakan pembangunan infrastruktur dan pembinaan agama
terutama di pedesaan-pedesaan yang memberi ruang bagi munculnya kesadaran Islam
di kalangan masyarakat.
Di Dusun Bangkerep, masuknya MTA juga merupakan bagian yang sama dari
fenomena kebangkitan Islam dalam skala global maupun nasional. Dusun Bangkerep
yang semula kental dengan kepercayaan lokal dan ritual-ritual tradisional secara
perlahan mengalami proses detradisionalisasi yang terutama dimulai ketika di masa
awal pemerintahannya, penguasa Orde Baru menerapkan kebijakan penyuluhan
terutama di bidang keagamaan Islam. Secara perlahan kegiatan agama Islam mulai
muncul di Dusun Bangkerep. Puncaknya adalah ketika sebagian warga Bangkerep
mendapatkan akses kepada organisasi Islam puritan MTA yang berpusat di Surakarta.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
Dengan kata lain mobilisasi manusia mengakibatkan terjadinya perpindahan ide
kebangkitan Islam yang dibawa MTA ke Dusun Bangkerep.
Selain itu sebagian warga Bangkerep yang menjadi anggota MTA memiliki
alasan mengapa mereka tertarik dengan organisasi Islam puritan tersebut dengan
berbagai konsekuensinya. Mereka meyakini bahwa doktrin MTA mengenai Islam
yang Kaffah dan penerapannya dalam segala aspek kehidupan menawarkan jawaban
dari pertanyaan dan kegelisahan mereka di tengah berbagai perubahan yang terjadi di
masyarakat. Warga anggota MTA melihat bahwa masyarakat mengalami kekacauan
yang tergambar dari berbagai perilaku maksiat dan kejahatan sebagai akibat dari tidak
adanya aturan dan panduan dalam menghadapi dunia yang semakin berubah. Aturan
organisasi yang ketat dalam mempraktekkan ajaran Islam tidak dianggap sebagai
pengekangan, melainkan keharusan untuk memperbaiki perilaku masyarakat sekitar
yang semakin hari semakin jauh dari sumber hukum Islam yang utama.
Dalam kesehariannya, warga anggota MTA juga menunjukkan pemahaman
dan praktek agama yang berbeda sama sekali dengan masyarakat di lingkungan
tempat mereka tinggal. Mereka tidak lagi menjalankan berbagai praktek atau ritual
tradisional yang menurut mereka merupakan bentuk penyimpangan sebagai seorang
Muslim sejati. Selain itu warga anggota MTA juga menunjukkan perilaku keseharian
dan cara pergaulan yang menurut mereka sesuai dengan tuntunan Al Quran dan
Hadits, antara lain cara berpakaian, relasi laki-laki dan perempuan, pendidikan
keluarga dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota. Bagi mereka, Islam adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
agama sempurna yang memiliki seperangkat aturan yang lengkap yang mengatur
seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya dengan berpedoman pada ajaran Islam
sebagaimana yang dituntunkan dalam kedua sumber hukum Islam tersebut secara
sungguh-sungguh dan tanpa dipengaruhi oleh ajaran atau keyakinan lainnya mereka
telah menemukan identitas mereka sebagai seorang Muslim sejati di tengah
masyarakat yang kental dengan keyakinan tradisional.
Selain itu dengan bergabung menjadi anggota MTA, warga Dusun Bangkerep
juga memiliki kebanggan dan identitas baru sebagai orang yang memiliki kelebihan
dibanding warga dusun lainnya. Keluasan jaringan yang dimiliki MTA membuat
mereka banyak bertemu dengan orang lain dari beragam profesi dan latar belakang
sehingga membuat mereka merasa memiliki kelebihan dibandingkan warga dusun
pada umumnya. Sistem organisasi MTA yang rapi, terstruktur dan hirarkis serta
jaringan komunikasi informasi yang dimiliki organisasi membuat warga Bangkerep
anggota MTA mendapatkan akses informasi yang lebih dibanding warga dusun
lainnya. Dengan kata lain, warga dusun yang menjadi anggota MTA merasa lebih
modern dibandingkan dengan warga dusun lain yang kolot dan hanya bergaul di
lingkungan dusun Bangkerep saja. Selain itu salah satu doktrin MTA mengenai
solidaritas antar anggota juga membuat warga MTA Bangkerep merasa mendapatkan
dukungan secara ekonomi dan mata pencaharian mereka, baik melalui program-
program dari MTA atau dari jaringan antar anggotanya yang tersebar di berbagai
tempat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
Di sisi lain, identitas baru serta berbagai kemudahan akses yang didapatkan
oleh warga dusun yang menjadi anggota MTA tersebut memiliki konsekuensi yaitu
hilangnya kebebasan karena terikat dengan aturan yang ketat baik aturan yang diambil
dari Al Quran dan Hadits ataupun aturan dari organisasi. Warga MTA menjalankan
hidup sehari-hari secara disiplin terutama dalam bidang keagamaan hingga dalam
urusan kehidupan sehari-hari seperti berkeluarga, bekerja, mendidik anak dan
seterusnya. Pelanggaran terhadap aturan yang sudah digariskan organisasi berakibat
pada sanksi yang berat yakni dikeluarkan dari organisasi. Konsekuensi paling besar
ketika seorang warga dusun Bangkerep memutuskan bergabung dengan MTA adalah
benturan dan konflik terbuka dengan warga dusun lainnya yang menentang kehadiran
MTA. Konsekuensi kedua adalah besarnya dana yang harus dikeluarkan setiap
anggota untuk mobilitas organisasi. Hal tersebut tentu kontras dengan kondisi
ekonomi dan mata pencaharian mereka yang sebagian besar adalah buruh tani atau
pedagang kecil. Konsekuensi ketiga adalah terjebak dalam dogmatisme baru. Bagi
warga MTA di Bangkerep, hijrah menuju identitas baru yakni menjadi “modern” dan
lepas dari masa lalu yang kolot pada saat yang sama justru menjadikan mereka hidup
dalam bentuk tradisionalisme baru yang lebih dogmatis karena pada dasarnya
kehidupan mereka berada dalam aturan-aturan ketat dan sanksi yang sepenuhnya
dikendalikan oleh otoritas yang lebih berkuasa atas mereka sendiri, dalam hal ini
MTA sebagai organisasi. Pada akhirnya, keinginan untuk mencari stabilitas atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
keamanan mendasar (ontological security) berujung pada suatu bentuk rasa tidak
aman yang baru karena berbagai aturan ketat dan sanksi yang membatasi mereka.
Apa yang terjadi di dusun Bangkerep dalam tesis ini memberi gambaran
bahwa setiap komunitas serta individu di dalamnya tidak bisa menghindar dari
perubahan sosial yang terjadi begitu cepat. Ketakutan dan kegamangan terhadap
perubahan tersebut melahirkan upaya pencarian identitas baru melalui berbagai cara.
Lalu ketika ada kelompok atau komunitas baik yang sadar atau tidak sadar berupaya
menolak tradisi dalam pengertian sesuatu yang dianggap kuno melalui cara-cara,
bentuk atau simbol modernitas –organisasi agama yang puritan dan modern- pada
akhirnya akan berpeluang menciptakan bentuk tradisi baru yang lebih kaku dan
dogmatis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al Banna, Hasan, Majmaatul Rasail: Himpunan Risalah Pergerakan Ikhwanul
Muslimin, ebook tanpa tahun dan penerbit.
Abou El Fadl, Khaled. 2006. Selamatkan Islam dari Muslim Puritan. Tr. Helmi
Mustofa. Jakarta: Serambi
Ahmed, Akbar S. 2003. Postmodernisme and Islam: Predicament and Promise.
Taylor & Francis e-Library.
Castells, Manuel. 1997. The Power of Identity. Malden. MA: Blackwell
Gellner, Ernest. 1981. Muslim Society. Cambridge: Cambridge University Press
Giddens, Anthony. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press
----------------------- 1991. Modernity and Self Identity:Self and Society in The Late of
Modern Age. Cambridge: Polity Press
------------------------ 1994. Living in Post Traditional Society, Beck, Giddens & Lash,
ed. “Reflexive Modernization” Cambridge: Polity
----------------------- 2005. Sociology, Fifth Edition. Cambridge: Polity Press
------------------------- 1985. Nation State and Violence, Vol II A contemporar Critique
of Historical Materialism. Polity Press
Hammersley, M & Atkinson. 1995. Etnography, Principles in Practice, 2nd
ed.
London: Routledge
Hassan, Noorhadi. 2008. Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di
Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Pustaka LP3ES dan KITLV
Hefner, Robert W. Where Have all the Abangan Gone? Religionization and the
Decline of Non-Standard Islam in Indonesia dalam Rémy Madinier & Michel Picard,
eds.,“The Politics of Religion in Indonesia: Syncretism, Orthodoxy, and Religious
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
Contention in Java and Bali”, Contemporary Southeast Asia Series, London and New
York: Routledge
Hefner, Robert W. 2008. Civil Islam: Muslim and Democratization In Indonesia.
Princeton: Princeton University Press
Jenkins, Richard. 2004. Social Identity, Second Edition. Routledge
Machmudi, Yon. 2008. Islamising Indonesia, The Rise of Jamaah Tarbiyah and The
Prosperous Justice Party. edisi digital library http://press.anu.edu.au/titles/islam-in-
southeast-asia/islam_indo_citation/ , ANU Press
Moller, Andre. 2005. Ramadan in Java, The Joy and Jihad of Ritual Fasting,
Department of History and Anthropology of Religion, Lund University, Swedia,
2005, versi Ebook diterbitkan dan diunduh dari www.anpere.net
Mouffe, Chantal. 2005. On The Political, Thinking in Action. Routledge
Peacock, James. 1978. Muslim Puritans, Reformist Psychology in Southeast Asian
Islam,,California: University of California Press
Rahmat, M Imdadun. 2008. Ideologi Politik PKS; Dari Masjid Kampus ke Gedung
Parlemen. Yogyakarta: LKiS.
Redner, Harry. 2001. Ethical Life: The Past and Present of Ethical Culture. Oxford:
Rowman and Littlefield Publisher
Ricklefs, MC. 2008. Religion, Politics and Social Dynamics in Java: Historical and
Contemporary Rhymes dalam Barton, G & White, S., ed. “Expressing Islam:
Religious Life and Politics in Indonesia”. Singapore: ISEAS, 2008
Ritzer, G & Goodman, Douglas J. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Tr.
Alimandan. Jakarta: Kencana
Robertson, Roland. 1992. Globalization: Social Theory and Global Culture. London:
Sage
Siraishi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
Tomlison, John. 1999. Localization and Culture. Cambridge: Polity Press
--------------------------2003. Globalization and Cultural Identity, dalam Held, D & Mc
Grew, A, “The Global Transformations Reader”. Oxford: Polity Press.
Waardenburg, J. D. J. 1979. Official and Popular Religion as a Problem in Islamic
Studies, dalam Pieter H. Vrijhof dan Jacques Waardenburg, ed. “Official and Popular
Religion”. Paris: Mouton Publisher.
Wahid, Abdurrahman, ed. 2009. Ilusi Negara Islam, Ekspansi Gerakan Islam
Transnasional di Indonesia. Jakarta: LibForAll Foudantion.
Wiktorowicz, Quintan, ed. 2012. Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial.
Tr. Tim Penerjemah Paramadina. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi
Zuhri, Syaifudin. 200. Gerakan Purifikasi di Jantung Peradaban Jawa: Studi Tentang
Majelis Tafsir Al Quran (MTA), dalam Prof. K Yudian Wahyudi, Ph.D. ed.“Gerakan
Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik). Yogyakarta: Pesantren Nawasea Press.
Jurnal
Ali, Muhammad, Muslim diversity: Islam and local tradition in Java and Sulawesi,
Indonesia, IJIMS, Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Volume 1,
Number 1, June 2011
Anderson, John W., New Media, New Publics: Reconfiguring the Public Sphere of
Islam, Journal Social Research, Vol 70, No 3, Fall 2003
Baedhawy, Zakiyuddin, Dinamika Radikalisme dan Konflik bersentimen Keagamaan
di Surakarta, Makalah untuk Annual Conference on Islamic Studies ke-10,
Banjarmasin 1-4 November 2010
Hadiz, Vedi R., Political Islam in Post-Authoritarian Indonesia, CRISE Working
Paper No.74, 2010, Center for Research on Inequality, Human Security and Ethicity
--------------------- Political Islam in Post- Authoritarian Indonesia,CRISE
WORKING PAPER, No. 74, February 2010, Center for Research on Inequality,
Human Security and Ethicity
Hassan, Noorhaidi, Between Transnational Interest and Domestic Politics:
Understanding Middle Eastern Fatwas on Jihad in the Moluccas, Noorhaidi
Hasan&Moch Nur Ichwan, ed. “Moving with the Times: the Dynamics of
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
Contemporary Islam in a Changing Indonesia, Yogyakarta: CISForm UIN Sunan
Kalijaga, 2007
-------------------------------- Faith and politics: the rise of the Laskar Jihad in the era
of transition in Indonesia, Jurnal Indonesia, No.73, 2002
Jahroni, Jajang. Gerakan Salafi di Indonesia: dari Muhammadiyah sampai Laskar
Jihad, Mimbar, Vol. 23, No. 4, 2006
Jinan, Muthoharun, Dinamika Gerakan Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang
Perluasan Gerakan Majelis Tafsir Al Quran, Makalah untuk Annual Conference on
Islamic Studies (ACIS) Departemen Agama, 10-13 Oktober 2011
Soejatno & Anderson, Benedict, Revolution and Social Tension in Surakarta 1945-
1950, Indonesia, Vol.17, April 1974
Sunarwoto, Antara Tafsir dan Ideologi Telaah Awal atas Tafsir Al Quran MTA,
Jurnal Refleksi, Vol XII No 2 Oktober 2011
Uffen, Andreas, Mobilising Political Islam: Indonesia and Malaysia Compared,
Journal Commonwealth & Comparative Politics Vol. 47, No. 3, 308–333, July 2009
Wildan, Muhammad, Mapping Radical Islamism In Solo A Study Of The Proliferation
Of Radical Islamism In Central Java, Indonesia, Jurnal Al-Jamiah, Vol. 46 No. 1,
2008, hal. 35-70
Majalah
Majalah RESPON, Edisi 268 XXVI, 20 September – 20 Oktober, 2012, diterbitkan
Yayasan Majelis Tafsir Al Quran (MTA)
Internet
Giddens, Anthony, Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture,
paragraph 12, diambil dari
http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week1/week1.htm
----------------------- Runaway World, Lecture 1 Globalisation, BBC Reith Lecture,
paragraph 28, diambil dari
http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
------------------------ Runaway World, Lecture 2 Risk, BBC Reith Lecture, paragraph
7, diambil dari
http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week2/week2.htm
----------------------- Runaway World, Lecture 3 Tradition, BBC Reith Lecture,
paragraph 28, diambil dari
http://news.bbc.co.uk/hi/english/static/events/reith_99/week3/week3.htm
Wibowo, I, Anthony Giddens, artikel diunduh dari http://www.unisosdem.org/
www.mta-online.com
www.blora.go.id
Dokumen
Dokumen desa, Laporan Keberadaan MTA dan Permasalahannya di Desa Balong,
November 2002
Dokumen Desa, Laporan penolakan kedatangan warga MTA di dusun Bangkerep
oleh warga setempat, tertanggal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI