53
STATUS RESPONSI MORBUS HANSEN Disusun oleh: Handayu Ganitafuri G0007079 Penguji: dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc KEPANITERAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

Responsi Morbus Hansen_Dayu

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Responsi Morbus Hansen_Dayu

STATUS RESPONSI

MORBUS HANSEN

Disusun oleh:

Handayu Ganitafuri

G0007079

Penguji:

dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

KEPANITERAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI

SURAKARTA

2012

Page 2: Responsi Morbus Hansen_Dayu

STATUS RESPONSI

ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp.KK, M.Sc

Nama : Handayu Ganitafuri

NIM : G 0007079

KUSTA

I. SINONIM

Lepra,Morbus Hansen1,7,8

II. DEFINISI

Penyakit Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh

Mycobacterium Leprae yang pertama menyerang saraf perifer, selanjutnya

dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem

retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis,kecuali susunan saraf pusat.6

Penyakit kusta juga dapat mengenai mukosa hidung, konka,

nasofaring dan laring.13

1

Page 3: Responsi Morbus Hansen_Dayu

III. ETIOLOGI

Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae ditemukan oleh

G.A Hansen pada tahun 1873 yang sampai sekarang belum dapat dibiakkan

dalam media artifisial. Kuman ini bersifat tahan asam, berbentuk batang

dengan ukuran 1-8, lebar 0,2-0,5 biasanya berkelompok dan ada yang

tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin

dan tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini juga dapat

menyebabkan infeksi sistemik pada hewan Armadilo. Masa belah diri

kuman ini memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan

kuman lain yakni 12-21 hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama yaitu

2-5 tahun.9

Hewan perantara yang biasa menularkan penyakit kusta antara lain

ditemukan dalam 3 spesies yaitu armadillos, simpanse dan monyet

mangabay. 2

Mycobacterium leprae

IV. EPIDEMIOLOGI

Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan karena cara

penularannya belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan

yang klasik ialah melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat.

Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. Leprae masih dapat hidup

beberapa hari dalam droplet.

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman

penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian

2

Page 4: Responsi Morbus Hansen_Dayu

genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan

imunitas dan kemungkinan adanya reservoir luar manusia. Belum

ditemukannya medium artifisial mempersulit untuk mempelajari sifat-sifat

Mycobacterium Leprae.7

Angka kejadian penyakit kusta di dunia dilaporkan mencapai 5.5 juta

kasus, kebanyakan penyakit menginfeksi penduduk yang hidup di daerah

tropis dan sub tropis. Secara keseluruhan 80 % kasus didapatkan di 5

negara, diantaranya India, Myanmar, Indonesia, Brazil dan Nigeria.

Di Amerika penyakit kusta ditemukan di negara bagian seperti

Florida, Loisiana, Texas sebanyak 112 kasus pada awal tahun 1995.2

Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat akhir maret 1997

adalah 31.699 orang, distribusi juga tidak merata yang tertinggi antara lain

di Jawa timur, Jawa barat dan sulawesi selatan. Prevalensi di Indonesia per

10.000 penduduk ialah 1,57.2

Penyakit kusta jarang menyebabkan kematian, tatapi penyakit ini

sering menyebabkan kecacatan yang signifikan, pada penderita kusta tipe

LL 70-75% mengalami kecacatan pada mata, tangan dan kaki. Berdasarkan

suatu penelitian angka kejadian dari gangguan fungsi saraf pada daerah yang

endemik tercatat 1,7 per 100 pasien pertahun pada kusta tipe paubasiler dan

12 per 100 pasien pada kusta tipe multibasiler. Frekuensi angka kejadian

lesi saraf baru selama penderita mendapatkan pengobatan adalah 2% pada

kusta tipe PB dan 11 % pada kusta tipe MB. Pada penelitian secara luas

komplikasi okular pada penyakit kusta ditemukan kebutaan akibat penyakit

kusta sekitar 10 % penderita.9

Kusta dapat terjadi pada semua ras di dunia, pada orang afrika

dilaporkan insiden kusta bentuk tuberkuloid lebih tinggi. Orang kulit putih

dan penduduk cina lebih sering terkena kusta tipe leprosa.3

Pada orang dewasa kusta tipe lepromatosa lebih sering pada laki-

laki dengan perbandingan 2 : 1. Pada anak-anak bentuk tuberkuloid pre

dominan dan tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan.2

3

Page 5: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun 13 %,

tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi pada

kelompok umur antara 25-35 tahun. Faktor sosial ekonomi memegang

peranan, makin rendah sosial ekonominya makin subur penyakit kusta.9

V. PATOGENESIS

Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum

diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa

yang tersering ialah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang

bersuhu dingin dan melalui mucosa nasal. Pengaruh M. Leprae terhadap

kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M.

Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta

sifat kuman yang avirulen dan nontoksis.9

M. Leprae merupakan parasit obligat intraseluler yang terutama

terdapat pada sel makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada

dermis atau sel schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. Leprae masuk

dalam tubuh dan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit

darah,sel mononuclear, histiosit)6

Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. Leprae, di

samping itu sel schwann berfungsi sebagai dieliminasi dan hanya sedikit

fungsinya sebagai fagositosis. Jadi bila terjadi gannguan imunitas tubuh

4

Page 6: Responsi Morbus Hansen_Dayu

dalam sel schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya

aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan yang progresif.9

VI. KLASIFIKASI

Jenis Klasifikasi yang umum

A. Klasifikasi Internasional : Klasifikasi Madrid (1953)

Indeterminate ( I )

Tuberkuloid ( T )

Borderline – Dimorphous ( B )

Lepromatosa ( L )

B. Klasifikasi untuk kepentingan riset : Klasifikasi Ridley – Jopling

(1962)

Tuberkuloid ( TT )

Borderlne Tuberkuloid ( BT )

Mid- borderline ( BB )

Borderlne Lepromatous ( BL )

Lepromatosa ( LL )

C. Klasifikasi untuk kepentingan Program Kusta : Klasifikasi WHO

(1981) dan modifikasi WHO (1988)

Paubasilar ( PB )

Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA

negatif menurut Kriteri Ridley dan Jopling atau tipe I dan T

menurut klasifikasi Madrid.

Multibasiler ( MB )

Termasuk Kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut

criteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan

semua tipe kusta dengan BTA positif.6

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan diklasifikasikan sebagai

berikut :

1. Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai MB

apapun hasil pemeriksaan BTA nya saat ini.

5

Page 7: Responsi Morbus Hansen_Dayu

2. Bila awalnya di diagnosis tipe MB harus dibuat klasifikasi baru

berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat ini.

Selain Klasifikasi diatas juga di dapatkan :

Kusta tipe neural

Yaitu penyakit kusta yang ditandai oleh hilangnya fungsi sensoris pada

daeerah sepanjang distribusi sensoris batang saraf yang menebal (dapat

disertai paralysis motoris maupun tidak), tanpa ditemukannya bercak

pada kulit.

Kusta Histoid

Pada kusta Histoid didapatkan lesi kulit berupa nodula-nodula dengan

kulit sekitarnya normal, secara klinis didapatkan nodula-nodula licin

berkilat, padat,eritematosa, bentuk bulat atau oval dengan ukuran

penampang bervariasi 1 – 20 mm.4

VII. MANIFESTASI KLINIS

KUSTA MULTIBASILER

Sifat Lepromatosa

( LL)

Borderline

Lepromatosa (BL)

Mid Borderline

( BB )

Lesi

Bentuk

Makula, Infiltrat

difus, papul, nodul

Macula, Plakat,

papul

Plakat, Dome-

shaped (kubah),

Punched-out

Jumlah Tak terhitung,

praktis tidak ada

kulit yang sehat

Sukar dihitung,

masih ada kulit

sehat

Dapat dihitung,

kulit sehat jelas

ada

Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris

Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,agak

berkilat

Batas Tak jelas Agak jelas Agak jelas

Anestesia Tak ada sampai Tak jelas Lebih jelas

6

Page 8: Responsi Morbus Hansen_Dayu

tak jelas

BTA

Lesi kulit

Sekret hidung

Banyak (ada

globus)

Banyak (ada

globus)

Banyak

Biasanya negatif

Agak banyak

Negatif

Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

KUSTA PAUBASILER

Sifat Borderline

Tuberkuloid (BT)

Tuberkuloid ( TT ) Indeterminate ( I )

Lesi

Bentuk

Makula dibatasi

infiltrat, infiltrat

saja

Makula saja,

makula dibatasi

infiltrat

Hanya makula

Jumlah Beberapa atau satu

dengan satelit

Satu dapat

beberapa

Satu atau beberapa

Distribusi Masih asimetris Asimetris Variasi

Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus agak

berkilat

Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau

dapat tidak jelas

Anesthesia Jelas Jelas Tak ada sampai

tak jelas

BTA Negatif atau + 1 Negatif negatif

Tes lepromin Positif lemah Positif kuat ( 3+) Dapat positif

lemah atau negatif

7

Page 9: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Perbedaan tipe PB dan MB

No PB MB

1. Bercak :

1. Jumlah

2. Ukuran

3. Batas

4. Permukaan

5. Mati rasa

6. Kehilangan

kemampuan

berkeringat, bulu

rontok

7. Distribusi

1-6

kecil dan besar

tegas

kering dan kasa

selalu ada dan jelas

biasanya ada

unilateral/bilateral,

asimetris

Banyak

Kecil

Tidak tegas

Halus dan berkilat

Biasanya tidak jelas

Biasanya tidak ada

Bilateral dan simetris

2. Infiltrat

1. Kulit

2. Mukosa (hidung

tersumbat, perdarahan

hidung)

Tidak ada, kadang ada

Tidak pernah ada

Ada, kadang tidak ada

Ada, kadang tidak ada

3. Nodulus Tidak ada Ada

4. Ciri-ciri khusus Penyembuhan di bag.

Tengah bercak (central

healing)

Ginekomastia,

madarosis, suara parau

5. Penebalan saraf Jumlah sedikit, unilateral,

lebih sering terjadi dini

Jumlah banyak, bilateral,

pada fase lanjut

6. Deformitas (cacat) Biasanya terjadi dini,

asimetris

Pada fase lanjut, simetris

7. Hapusan kulit BTA (-) BTA (+)

8

Page 10: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Ridley-Jopling

Gambaran Klinis organ tubuh lain yang dapat diserang :

1. Mata : Iritis, Iridosiklitis, gangguan visus sampai

kebutaan

2. Hidung : Epistaksis, hidung pelana.

3. Tulang dan sendi : Absorbsi, mutilasi, arthritis

4. Lidah : ulkus, nodus

5. Testis : ginekomastia,epididmis akut, orkitis, atrofi

6. Kelenjar Limfe : Limfadenitis

7. Rambut : Alopesia, Madarosis

8. Ginjal : Glomerulonefritis, amilodosis ginjal,

piolonefritis, nefritis interstisial

Predileksi Lesi Kulit

Bagian tubuh yang relatif lebih dingin, misalnya pada muka, hidung,

(mukosa), telinga, anggota tubuh dan bagian tubuh yang terbuka.6

Predileksi kerusakan Saraf tepi

Kuman ini lebih sering mengenai saraf tepi yang lebih superfisial dengan

suhu yang relatif lebih dingin. Saraf tepi yang terkena akan menunjukan

berbagai kelainan yaitu :

N.Fasialis : Lagoftalmus,mulut mencong

N.Trigeminus : anestesi kornea

N. aurikularis magnus : anestesi daun telinga

N. Radialis : Tangan lunglai (drop wrist)

N. Ulnaris : Anestesi dan paresis/paralysis otot tangan

jari V dan sebagian jari IV. Kerusakan N. Ulnaris dan N.

Medianus menyebabkan jari kiting (claw Toes) dan tangan cakar

(claw hand)

9

Page 11: Responsi Morbus Hansen_Dayu

N. Peroneus komunis : Kaki samper (droop foot)

N. Tibialis posterior : Mati rasa telapak kaki dan jari kiting.

Manifestasi penyakit yang menunjukan bahwa penyakit kusta masih aktif

adalah :

Kulit : Lesi membesar, jumlah bertambah, ulserasi,

eritematosa, infiltrat atau nodus.

Saraf : Nyeri, gangguan fungsi bertambah, jumlah saraf

yang terkena bertambah.

Tanda sisa penyakit kusta :

Kulit : Atrofi, keriput, non-repigmentasi dan bulu

hilang

Saraf : Mati rasa persisten, paralysis, kontarktur dan

atrofi otot.9

VIII. DIAGNOSIS

Diagnosis Penyakit kusta di dasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda

utama), yaitu

1. Bercak kulit yang mati rasa

Bercak hipopgmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau

meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja

terhadap rasa raba, rasa suhu, rasa nyeri.

2. Penebalan Saraf Tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gannguan

fungsi saraf yang terkena, yaitu :

a. Gangguan fungsi saraf sensoris : mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis

c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, tempat

pertumbuhan rambut terganggu

3. Ditemukan kuman tahan asam

10

Page 12: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Bahan pemeriksaan adalah apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada

bagian yang aktif. Kadang-kadang diperoleh dari biops di kulit atau

saraf.11

Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus

ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan

maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu

diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat

ditegakkan atau disingkirkan.9

Gejala prodormal penyakit kusta biasanya tidak terlihat dan

penyakit ini tidak dikenali sampai didapatkan erupsi pada kulit. Pada 90%

pasien menunjukan gejala kehilangan sensasi rasa beberapa tahun lebih

dulu sebelum lesi pada kulit tampak. Rangsang suhu adalah sensasi yang

pertama hilang, pasien sulit memebedakan rasa panas dan dingin,

selanjutnya pasien baru kehilangan sensasi raba dan nyeri. Kehilangan

sensasi ini terutama pada tangan dan kaki.2

IX. PEMERIKSAAN PASIEN

1. Anamnesis

a. Keluhan pasien

b. Riwayat kontak dengan pasien

c. Latar belakang keluarga, misalnya keadaan sosial ekonomi

2. Inspeksi

Dengan penerangan yang baik, lesi kulit harus diperhatikan dan juga

kerusakan kulit.

3. Palpasi

a. Kelainan kulit : nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada

tangan dan kaki

b. Kelainan saraf : Pemeriksaan saraf dengan teliti, N. Aurikularis

magnus, N.Ulnaris dan N.Peroneus. Harus dicatat adanya nyeri tekan

dan penebalan saraf, pemeriksaan harus simetris .

11

Page 13: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Pemeriksaan saraf tepi :

Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan

Membesar atau tidak

Pembesaran regular (smooth) atau irreguler, bergumpal

Perabaan keras atau kenyal

Nyeri atau tidak

4. Tes fungsi saraf

a. Tes Sensoris, dengan menggunakan kapas, jarum serta tabung reaksi

berisi air hangat dan dingin.

b. Tes otonom, berdasarkan adnya gangguan berkeringat di makula

anestesi.

Tes dengan pensil tinta (tes Gunawan)

Pensil tinta digoriskan mulai dari bagian tengah lesi yang

dicurigai terus sampai kedaerah kulit normal.

Tes Pilocarpin

Daerah kulit pada makula dan perbatasannya disuntikan

pilokarpin subkutan setelah beberapa menit tampak daerah kulit

normal berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap kering.

c. Tes motoris

Voluntary Muscle Test

( VMT )

5. Mencari komplikasi9

X. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

1. Pemeriksaan Bakterioskopis (sayatan kulit)

Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif. Tempat yang paling

sering diambil adalah cuping telinga, lengan, pungung, bokong dan paha

atau bisa juga dari sekret hidung. Dengan cara membuat kerokan pada

kulit dengan menggunakan skapel kemudian hasil kerokan diletakan pada

gelas obyek, dapat dibuat beberapa apusan dari tempat yang berbeda.

12

Page 14: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Preparat apusan dipulas dengan Ziehl-nielsen atau modifikasi dengan

Kinyoun menurut prosedurnya.7

Indeks Bakteri ( IB ) :

1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak

emersi. Hasil yang lebih akurat dan reliabel adalah dengan menghitung

indeks bakteri pada lesi kulit dengan indeks logaritma biopsi. Indeks ini

dapat mengetahui pasien terinfeksi pada awal pengobataan dan

progresifitasnya.2

Indeks Morfologi (IM)

Indeks morfologi dikalkulasi dengan menghitung kuman batang yang solid

pada pewarnaan tahan asam, basil lepra yang diwarnai dengan karbol

fuchsin yang solid merupakan bakteri yang viabel, basil yang terwarna

irreguler mungkin karena mati dan berdegenerasi.4

2. Biopsi Kulit

Biopsi kulit dapat digunakan untuk menunjukan indeks morfologi, yang

berguna untuk evaluasi pengobatan pasien yaitu jumlah bakteri yang

viabel per 100 bakteri pada jaringan lepra.5

3. Tes Lepromin

Lepromin adalah suspensi yang berisi M.Lepra yang dimatikan diambil

dari manusia yang terinfeksi dan jaringan Armadillo. Setelah terjadi

inokulasi intradermal, akan timbul reaksi cepat (48 jam, reaksi Fernandez)

juga reaksi lambat (3-4 minggu, reaksi mitsuda). Reaksi Mitsuda

merupakan respon granulomatosis terhadap antigen adalah lebih tepat.

Pasien-pasien dengan kusta tipe TT atau BT mempunyai respon positif

13

Page 15: Responsi Morbus Hansen_Dayu

kuat (> 5 mm) akan tetapi pasien dengan tipe LL tidak ada respon. Tes ini

merupakan petunjuk untuk mengetahui fungsi sistem imunitas seluler

seseorang. Respon imunitas seluler terhadap M.Leprae juga dapat dilihat

dengan menggunakan Lymphocite Transformation Test (LTT) dan

Lymphocyte Migration Inhibition Test (LMIT). Dasar test ini adalah untuk

mendeteksi antibodi atau antigen M.Leprae.4

4. Tes-tes Serologis

Tes serologi mayor meliputi Fluorescent Antibody absorbtion test (FLA-

ABS), Radioimunoassay (RIA), ELISA, Passive Hemaglutination Assay

(PHA), Serum Antibody Compettion Test (SACT) dan Particle

agglutination assay (PAA).

5. Analisa Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR bisa untuk mendeteksi dan mengidentifikasi M.Leprae.

Tehnik ini sering digunakan ketika basil tahan asam telah ditemukan

tetapi gambaran klinis atau gambaran histopatologinya atipikal. Test

ini tidak berguna saat basil tahan asam tidak ditemukan dengan

mikrosakop cahaya.4

6. Pemeriksaan Histopatologi

Pada tipe TT didapatkan bangunan epiteloid granuloma dalam

papiladermis, di sekitarnya di dapatkan struktur neovaskuler.

Granuloma tertangkap oleh Limfosit yang meluas ke epidermis dan

kadang terbentuk sel datia langhans. Nervus pada dermal dihancurkan

atau mengalami pembengkakan karena adanya granuloma, tidak

didapatkan basil tahan asam.

Pada tipe LL epidermis normal, daerah yang tidak patologik

memisahkan epidermis dari reaksi granulomatous difus dengan

makrofag, sel busa histiosit yang besar (Virchow atau sel lepra) dan

didapatkan banyak basil tahan asam yang bergabung membentuk

globi. Sel epiteloid dan sel datia tidak ditemukan. Granuloma banyak

14

Page 16: Responsi Morbus Hansen_Dayu

terdapat di sekitar pembuluh darah, saraf dan kulit kadang ditemukan

banyak sel plasma. Saraf kulit dapat terlihat dengan mudah.

Tipe BT, Granuloma terdiri dari epiteloid dan limfosit, saraf pada kulit

kebanyakan sudah rusak, basil mungkin ditemukan atau tidak ada.

Tipe BB, granuloma terdiri dari epiteloid, saraf kulit mungkin masih

ada dan basil terlihat lebih banyak dari tipe BT.

Tipe BL, granuloma dibangun oleh histiosit, saraf kulit masih ada dan

basil ditemukan lebih banyak dari tipe lainya.3

XI. KOMPLIKASI

Reaksi Kusta

Terminologi reaksi digunakan untuk menggambarkan keadaan

mengenai berbagai gejala dan tanda radang akut lesi penderita kusta,yang

dapat dianggap sebagai kelaziman pada perjalanan penyakit atau bagian

komplikasi penyakit kusta. Seluruh komplikasi penyakit kusta yang

dimaksud meliputi :

Komplikasi jaringan akibat invasi massif M.leprae

Komplikasi akibat reaksi

Komplikasi akbat imunitas yang menurun

Komplikasi akibat kerusakan saraf

Komplikasi disebabkan resisten terhadap obat antikusta

Penyebab pasti dari reaksi kusta belum diketahui dengan pasti,

kemungkinan reaksi ini menggambarkan reaksi hipersensitifitas akut

terhadap antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan

imunitas yang telah ada.

Berbagai faktor yang dianggap sering mendahului timbulnya reaksi

kusta antara lain :

Setelah pengobatan antikusta yang intensif

Infeksi rekuren

Pembedahan

Stress fisik

Imunisasi

15

Page 17: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Kehamilan

Saat-saat setelah melahirkan

Ada 2 tipe reaksi menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya, yaitu:

1. Reaksi lepra tipe 1, yang disebabkan oleh hipersensitivitas seluler

2. Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral

3. Fenomene Lucio atau reaksi kusta tipe 3, yang merupakan lanjutan

dari reaksi tipe 2.9

Raksi Kusta tipe I

Menurut Jopling reaksi kusta tipe 1 adalah delayed hypersensitivity

reaction. Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi

dengan limfosit T disertai perubahan sistem imunitas seluler yang cepat.

Jadi pada dasarnya reaksi kusta tipe 1 ini terjadi akibat perubahan

keseimbangan antar imunitas seluler dan basil maka hasil akhir reaksi

tersebut dapat terjadi upgrading/reversal apabila menuju ke arah

tuberkuloid (terjadi peningkatan SIS) atau down grading apabila menuju

ke bentuk lepromatosa (terjadi penurunan SIS).2

Secara garis besar manifestasi dari reaksi kusta tipe 1 dapat

digolongkan sebagai berikut :

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Lesi kulit yang telah ada

menjadi lepromatosa

Lesi yang telah ada

menjadi eritematosa.

Timbul lesi baru kadang-

kadang disertai panas dan

malaise.

Saraf Membesar tidak nyeri

fungsi tidak terganggu.

lesi kurang dari 6 minggu

Mrmbesar, nyeri, fungsi

terganggu berlangsung

lebih dari 6 minggu

16

Page 18: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Kulit dan saraf bersama-

sama

Lesi yang telah ada

menjadi lebih

eritematosa, nyeri saraf

berlangsung kurang dari

6 minggu

Lesi kulilt yang

eritematosa disertai

ulserasi atau edema pada

tangan/kaki dan

fungsinya terganggu,

berlangsung > 6 mg

Reaksi Kusta tipe II

Reaksi kusta tipe 2 ini dikenal dengan nama Eritema Nodusum

Leprosum (ENL). Reaksi ini merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III

menurut comb dan Gell, antigen berasal dari produk kuman yang telah

mati dan bereaksi dengan antibody membentuk kompleks Ag-Ab yang

mengaktivasi komplemen sehingga terjadi ENL. Jadi ENL merupakan

reaksi humoral yang merupakan manifestasi sindrom komplek imun.

Terutama terjadi pada bentuk LL dan kadang-kadang pada bentuk BL,

biasanya terjadi gejala sistemik.

Baik Reaksi tipe 1 maupun tipe 2 ada hubungannya dengan

pemberian pengobatan antikusta hanya saja reaksi tipe 2 tidak lazim

terjadi pada 6 bulan pertama pengobatan, tetapi justru terjadi pada akhir

pengobatan karena basil telah menjadi granular. Selain itu pada reaksi ini

tidak terlihat gambaran perubahan lesi kusta.

Manifestasi reaksi lepra tipe 2 dapat sebagai berikut :

Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat

Kulit Timbul sedikit nodus

yang beberapa

diantaranya terjadi

ulserasi. Disertai demam

ringan dan malaise

banyak nodus yang nyeri

dan mengalami ulserasi

disertai demam tinggi dan

malaise

Saraf Saraf membesar tetapi

nyeri dan fungsinya tidak

Saraf membesar ,nyeri

dan fungsinya terganggu.

17

Page 19: Responsi Morbus Hansen_Dayu

terganggu

Mata Tidak ada gangguan Nyeri, penurunan visus

dan merah di sekitar

limbus

Testis Lunak,tidak nyeri Lunak, nyeri dan

membesar

Kulit, saraf, mata dan

testis bersama-sama

Gejalanya seperti tersebut

diatas

Gejalanya seperti tersebut

diatas disertai keadaan

sakit yang keras dan

nyeri yang sangat.

Fenomena Lucio

Lucio leprosy (diffuse non-nodular type of leprosy ) yang

ditetapkan pertama kali oleh Lucio dan Alvarado pada tahun 1852 di

mexico adalah salah satu tipe dari kusta dengan gambaran klinik kusta

tipe muiltibasiler. Gambaran klinis lcio leprosy umumnya status generalis

tidak ditemukan kelainan, kulit terlihat eritem yang menebal dan

mengkilat, kerontokan rambut, penebalan kelopak mata sehingga

penderita terlihat mengantuk dan melankolik. Penurunan sensoris terjadi

biasanya setelah kelainan kulit menghilang. Sama seperti pada kusta tipe

lepromatosa dapat terjadi edema dan ulkus pada kedua tungkai.

Ulserasi juga dapat terjadi pada mukosa hidung menyebabkan

gejala-gejala hidung dan epistaksis, mengenai laring sehingga suara

menjadi serak dan iktiosis pada fase lanjut. Namun demikian tidak

terdapat nodul, kelemahan motorik, kontraksi jari-jari dan kerusakan

mata.

Pemeriksaan laboratorium biasanya didapatkan anemia normokrom

normositer ringan dan pada pemeriksaan bubur jaringan kulit dengan

pewarnaan Zeihl Neelsen ditemukan banyak basil tahan asam. Kerusakan

akibat kusta dapat menyebabkan ulserasi, selulitis, skar da destruksi

18

Page 20: Responsi Morbus Hansen_Dayu

tulang. Kerusakan pada mata dapat terjadi lagoftalmus, ectropion dan

entropion.12

Klasifikasi Cacat

Cacat pada tangan dan kaki

Tingkat 0:

Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat

Tingkat 1:

Ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat

Tingkat 2:

Terdapat kerusakan atau deformitas

Cacat pada mata

Tingkat 0 :

Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gannguan penglihatan

Tingkat 1 :

Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan penglihatan

Tingkat 2 :

Gangguan penglihatan berat (visus < 6/60;tidak dapat menghitung jari pada jarak

6 meter

XII. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding :

Ada macula hipopigmentasi

Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam

Ada daerah anestesi

Ada pembengkaan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

Tipe I ( Makula hipopigmentasi ) :

o Tinea versikolor

o Vitiligo

19

Page 21: Responsi Morbus Hansen_Dayu

o Ptiriasis Rosea

o Dermatitis seboroika

o Liken simplek kronik

Tipe TT ( Makula eritematosa dengan pinggir meninggi )

o Tinea Corporis

o Psoriasis

o Lupus eritematosus tipe discoid

o Ptiriasis rosea

Tipe BT, BB, BL (Infiltrat merah tak berbatas tegas)

o Selulitis

o Erisipelas

o Psoriasis

Tipe LL ( Bentuk nodula )

o Lupus eritematosis sistemik

o Dermatomiositis

o Erupsi obat

XIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan farmakoterapi pada penderita kusta adalah untuk

mengurangi morbiditas, mencegah komplikasi dan menghilangkan

penyakit ini nantinya.9

Manajemen paenatalaksanaan penderita mencakup terapi

medikamentosa diantaranya kemoterapi untuk menghentikan proses

infeksi, penatalaksanaan untuk meminimalkan deformitas berupa

rehabilitasi fisik, sosial dan psikologi. Deformitas potensial dapat dicegah

dengan memberi edukasi pada pasien tentang adanya kerusakan saraf

dengan perawatan diri untuk mengurangi kerusakan yang lain.

Mengetahui perjalanan penyakit pasien sangat penting untuk

mengetahui kepatuhan pasien dalam berobat, memonitor resistensi

terhadap obat dan reaksi yang timbul akibat obat.

20

Page 22: Responsi Morbus Hansen_Dayu

A. MEDIKAMENTOSA

Progaram Multi Drug Terapi (MDT) dimulai pada tahun 1981 yaitu

ketika kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan

rekomendasi pengobatan kusta dengan kombinasi yang selanjutnya dikenal

sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obatan

Dapson, Rifampisin dan klofasimin. Kombinasi obat-obatan ini dapat

membunuh bakteri patogen dan menyembuhkan pasien.

MDT adalah suatu terapi yang aman, efektif dan mudah didapatkan

oleh penderita yang kurang mampu.

Obat-obat pada rejimen MDT-WHO

1. Dapson (DDS, 4,4 diamino difenil sulfon). Obat ini bersifat

bakteriostatik dengan menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Jadi

tidak sperti pada kuman lain, dapson bekerja sebagai anti metabolit

PABA. Resistensi terhadap dapson timbul sebagai akibat kandungan

enzim sintetase yang terlalu tinggi pada kuman kusta. Dapson

biasanya diberikan dalam dosis tunggal, yaitu 50-100 mg/hari untuk

dewasa atau 2 mg/kg BB untuk anak-anak. Indeks morfologi kuman

pada penderita LL yang diobati dengan dapson biasanya menjadi 0

setelah 5 sampai 6 bulan. Obat sangat murah, efektif dan relatif aman.

Efek samping yang mungkin timbul antara lain : erupsi obat, Anemia

hemolitik, leukopenia, insomnia neuropati, nekrosis epidermal toksik,

hepatitis dan methemoglobinemia. Namun efek samping tersebut

jarang dijumpai pada dosis lazim.

2. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta

dan bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja

dengan menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara

irreversibel. Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kg bb) mampu

membunuh kuman kira-kira 99,9 % dalam waktu beberapa hari.

Pemberian seminggu sekali dengan dosis tinggi ( 900-1200 mg) dapat

menimbulkan gejala yang disebut flu like syndrom. Pemberian 600

21

Page 23: Responsi Morbus Hansen_Dayu

mg atau 1200 mg sebulan sekali ditoleransi dengan baik. Efek

samping yang harus diperhatikan adalah : hepatotoksik, nefrotoksik,

gejala gastrointestinal dan erupsi kulit. Obat ini harganya mahal dan

saat ini telah dilaporkan adanya resistensi.

3. Klofazimin (lamprene –CIBA GEIGY : B-663). Obat ini

merupakan turunan zat warna iminofenazine dan mempunyai efek

bakteriostatik sama dengan dapson. Bekerjanya mungkin melalui

gangguan metabolisme radikal oksigen. Di samping itu obat ini juga

mempunyai efek antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan

reaksi kusta khususnya : ENL. Dosis untuk kusta adalah 50 mg/hari

atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1mg/kg

BB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan

untuk mengurangi reaksi tipe 1 dan 2. Kekurangan obat ini harganya

mahal di samping itu menyebabkan pigmentasi kulit yang sering

merupakan masalah pada ketaatan penderita. Efek sampingnya hanya

terjadi pada dosis tinggi,berupa gangguan gastrointestinal (Nyeri

abdomen, diare, anoreksi dan vomitus).

4. Etionamid dan protionamid, Kedua obat ini merupakan obat

antituberkulosis dan hanya sedikit dipakai pada kusta. Dahulu dipakai

sebagai pengganti klofazimin, pada kasus-kasus yang keberatan

karena pigmentasinya obat ini bekerja bakteriostatik tetapi karena

cepat tiombul resistensi, lebih toksik harganya mahal serta efek

hepatotoksiknya, maka sekarang tidak dianjurkan lagi pada rejimen

pengobatan kusta.

Skema Rejimen MDT-WHO

Rejimemen MDT-WHO baku terdiri atas kombinasi obat-obatan dapson,

Rifampisin dan klofazimin dengan skema menurut WHO sebagai berikut :

1. Rejimen PB untuk kusta PB, terdiri atas Rifampisin 600 mg

sebulan sekali, di bawah pengawasan ditambah dapson 100

mg/hr (1-2 mg/kgBB) selama 6 bulan

22

Page 24: Responsi Morbus Hansen_Dayu

2. Rejimen MB untuk kusta MB, terdiri atas kombinasi

Rifampisisn 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan,

dapson 100 mg/hari swakelola, ditambah klofazimin 300 mg

sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari swakelola. Lama

pengobatan minimal 2 tahun dan juga mungkin sampai BTA

negatif. Dosis tersebut merupakan dosis dewasa untuk anak-

anak disesuaikan dengan berat badan

Obat dan dosis Rejimen MDT-PB

Obat Dewasa Anak

BB< 35 kg BB > 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin 450 mg/bln

(diawasi)

600 mg/bln

(diawasi)

450 mg/bln

(diawasi)

Dapson

(swakelola)

50 mg/hr (1-2

mg/kg BB/hr)

100mg/hr 50 mg/hr

1-2 mg/kgBB/hari)

Obat kusta dalam Rejimen MDT MB

Obat Dewasa Anak

BB<35 kg BB . 35 kg 10-14 tahun

Rifampisin 450mg/bln

(diawasi)

600mg/bulan

(diawasi)

450 mg/bln

(12-15

mg/kgBB/bl)

(diawsi

23

Page 25: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Klofazimin 300 mg/bln

diawasi dan

diteruskan 50

mg/hr

swakelola

200 mg/bln

diawasi

diteruskan 50 mg

selang sehari

Dapson

swakelola

50 mg/hr

(1-2 mg/kg

BB/hari)

100mg/hari 50 mg/hari

Obat Kusta baru

Dalam pelaksanaanya program MDT WHO masih ada beberapa

masalah yang timbul, yaitu adanya persisten, resistensi, rifampisin dan

lamanya pengobatan terutama untuk kusta MB. Untuk penderita kusta PB

rejimen MDT-PB juga masih menimbulkan beberapa masalah antara lain:

masih menetapnya lesi kulit setelah 6 bulan pengobatan dan late reversal

Reaction yang timbul setelah MDT. Oleh karena itu diperlukan obat-obat

baru dengan mekanisme bakterisidal yang berbeda dengan obat-obat

rejimen MDT saat ini, obat-obat kusta baru yang ideal memiliki syarat

antara lain : bersifat bakterisidal kuat terhadap M.Leprae, tidak antagonis

dengan obat yang sudah ada aman dan akseptabilitas penderita baik dapat di

berikan per oral dan sebaiknya diberikan tidak lebih dari sekali sehari. Obat-

obatan yang dipakai yaitu :

1. Ofloksasin 400 mg/hari diberikan bersama rifampisin 600mg/hari

selama 1 bulan baik untuk penderita kusta MB atau PB

2. Minosiklin 100 mg/hari

3. Klaritromisin 500 mg/hari untuk penderita kusta tipe MB.3

24

Page 26: Responsi Morbus Hansen_Dayu

B. NON MEDIKAMENTOSA

Edukasi :

- Pasien harus diberi penjelasan tentang diagnosis dan prognosis

penyakitnya.

- Pasien harus diberitahu bagaimana tentang hilangnya sensasi rasa

yang terjadi, pasien harus berhati-hati dan mencegah terjadinya

trauma dengan menggunakan alas kaki.

- Mengetahui kapan terjadinya anestesi pada anggota tubuh dan

kelemahanya serta kerusakan pada matanya.

- Pasien harus mempelajari bagaimana mengenal timbulnya reaksi

kusta dan ia harus mendapatkan pengobatan secepatnya jika hal ini

terjadi.

- Deforrmitas yang potensial kemungkinan biasa dicegah jika

penderita dapat mengatasi kerusakan saraf sejak dini dan berlatih

untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut.

- Kemungkinan pasien membutuhkan konsultasi psikologi dalam

menghadapi penyakitnya untuk mengatasi stigma yang beredar di

masyarakat.

- Fisio terapi dan terapi okupasi dibutuhkan sebagai rehabilitasi.

- Penggunaan obat sesuai aturan dan memperhatikan cara pemakaian,

jangan terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan iritasi.2

DAFTAR PUSTAKA

25

Page 27: Responsi Morbus Hansen_Dayu

1. Prof. Dr.dr. H. Muh. Dali Amiruddin. Penyakit Kusta. Dalam : Marwali

Harahap, Prof., Dr.(Ed), Ilmu Penyakit Kulit. Hipokrates, Jakarta. 2000 : 260-

76

2. Anonim. Leprosy. Available from : http//www.e medicine.com. 2005.

3. WHO Media Centre. Leprosy. Available from: http//www. whoint.co.id

4. Sidharta. What is Leprosy ?. Available from : http//www.medline.com

5. Anonim. MorbusHansen from

http//www.cdc.gov/ncidod/damd/diesinfo/Hansen.2003

6. Rea, L Modlin. Leprosy. In : Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.

6th ed. Vol. I, Mc Graw Hill, New York, 2003 : 1962-1972

7. Djuanda A. Kusta. Dalam : Kosasih, I made Wisnu, Syamsoe- Daili, Menaldi.

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi III. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2002 ;

173-80.

8. Siregar RS. Kusta. Dalam : Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. EGC.

Jakarta. 1996. Hal : 179-186.

9. Djuanda A. Kusta Diagnosis dan Penatalaksanaan.Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1997.

10. Graham R, Tony Burns. Infeksi Bakteri dan Virus. Dalam : Lecture Notes

Dermatology. EMS. Edisi Kedelapan. Balai Penerbit Erlangga. Jakarta. 2002.

Hal : 23-25

26

Page 28: Responsi Morbus Hansen_Dayu

11. Riddley S. The Pathogenesis Of A Skin Lession. In : Skin Biopsy in Leprosy

Histological interpretation and Clinical Application. Second Edition 1985.

CIBA-GEIGY Limited, Basle (Switzerland).Pp: 17-22

12. A.Haris L.,dkk.Lucio Leprosy .Dalam :Perkembangan penyakit kulit kelamin

di Indonesia menjelang Abad 21.Erlangga University Pers.Surabaya.1999

STATUS RESPONSI

ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

27

Page 29: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Pembimbing : dr. Nurrachmat Mulianto, Sp. KK, M.Sc

Nama : Handayu Ganitafuri

NIM : G 0007079

I. ANAMNESIS

A. Identitas

Nama : Tn. S

Umur : 52 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status : Menikah

Pekerjaan : Petani

Alamat : Kutukan Rt 01/04, Wonogiri

Tanggal periksa : 05 Oktober 2012

No rekam medik : 01159636

B. Keluhan utama

Timbul bercak di seluruh tubuh sewarna kulit sebagian hitam

C. Riwayat penyakit sekarang

Sejak kurang lebi 1 tahun yang lalu timbul bercak puti di pinggang

kanan disertai gatal, terasa tebal dan kurang merasa bila dibandingkan

dengan bagian tubuh lain. Keluhan semakin lama semakin banyak dan

meluas ke seluruh tubuh, tangan dan wajah. Pasien sudah berobat ke

puskesmas dan dikatakan pasien menderita kusta. Pasien sudah berobat

selama 6 bulan akan tetapi pasien sering lupa meminum obatnya.

2 bulan lalu muncul benjolan-benjolan merah di wajah dan terasa

panas. Selain itu wajah juga berwarna merah dan terasa panas. Selain itu

pasien juga merasakan demam. Pasien juga merasakan telapak tangan dan

kaki terasa tebal dan mati rasa.

28

Page 30: Responsi Morbus Hansen_Dayu

D. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat alergi makanan : (+) alergi ikan

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat kontak dengan penyakit sejenis : disangkal

E. Riwayat penyakit keluarga

Riwayat penyakit serupa : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat atopi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

F. Riwayat Kebiasaan

Pasien biasa mandi 2 kali sehari, dengan air sumur pompa. Ganti pakaian

dalam 2 kali sehari dan pakaian luar 1 kali sehari. Penderita makan tiga

kali sehari, dengan nasi dan sayur serta lauk pauk seperti telur, ayam,

tempe dan tahu.

G. Riwayat Sosial Ekonomi

Penderita sudah tidak lagi bekerja, daulu sebelum berhenti bekerja

penderita bekerja sebagai petani. Penderita tinggal bersama 4 orang

anggota keluarga lainnya. Pasien berobat dengan menggunakan biaya

sendiri.

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status generalis

29

Page 31: Responsi Morbus Hansen_Dayu

Keadaan umum : baik, compos mentis

Vital sign : TD : 120/80

HR : 88 x/ menit

RR : 16x/ menit

T : 36,8o C

Kepala : mesocephal

Mata : lagoftalmus

Mulut : dalam batas normal

Leher : lihat status dermatologi

Thorax Anterior : lihat status dermatologi

Thorax Posterior : lihat status dermatologi

Abdomen : lihat status dermatologi

Ekstremitas atas : lihat status dermatologi

Ekstremitas bawah : lihat status dermatologi

B. Status dermatologi

Regio generalisata : patch hipopigmentasi, patch eritema sebagian

hiperpigmentasi, plakat hiperpigmentasi multiple diskret. Bentuk punch

out-like lesion dengan batas tegas.

Regio digiti V manus sinistra : tampak ulcus soliter dengna ukuran Ө 1

cm, dasar bersih.

30

Page 32: Responsi Morbus Hansen_Dayu

31

Page 33: Responsi Morbus Hansen_Dayu

32

Page 34: Responsi Morbus Hansen_Dayu

33

Page 35: Responsi Morbus Hansen_Dayu

III. PEMERIKSAAN SARAF

A. Sensibilitas Lesi

Raba : anastesi

Tajam/tumpul : hipoestesi

Panas/dingin : hipoestesi

B. Pembesaran Saraf

N. Aurikularis magnus : +/+

N. Ulnaris : -/-

N. Peroneus Lateralis : +/+

N. Tibialis posterior : -/-

C. Pemeriksaan Sensorik

N. Ulnaris : kuat/kuat

N. Medianus : kuat/kuat

N. Tibialis Posterior : kuat/kuat

34

Page 36: Responsi Morbus Hansen_Dayu

D. Pemeriksaan Motorik

N. Ulnaris : kuat/kuat

N. Medianus : normal/normal

N. Radialis : normal/normal

N. Tibialis Posterior : normal/normal

IV. DIAGNOSIS BANDING

Morbus Hansen tipe Multi Basiler MDT VI tanpa reaksi

Cacat 0%

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan bakterioskopik :

Telinga kanan : Indeks Bakteri (-)

Telinga kiri : Indeks Bakteri +1, Indeks Morfologi 10%

Lengan kanan : Indeks Bakteri (-)

Usul pemeriksaan histopatologi

Usul pemeriksaan laboratorium darah

VI. DIAGNOSIS KERJA

Morbus Hansen tipe Multi Basiler,

Cacat derajat 0

Reaksi kusta tidak didapatkan

VII. TERAPI

Non medikamentosa

1. Edukasi pasien tentang penyakitnya, cara meminum obat serta efek samping

pemakaian obat

2. Konsultasi ke bagian neurologi untuk menangani gangguan saraf

35

Page 37: Responsi Morbus Hansen_Dayu

3. Bekerjasama ke Puskesmas tempat pasien mengambil obat MDT MB untuk

pemantauan terapi

4. Memakai sandal atau pelindung kaki untuk mencegah terjadinya luka

5. Memakai sarung tangan jika akan memegang benda panas

6. Merawat kulit kaki agar tidak kering dan pecah

Medikamentosa

1. MDT MB

Diminum di depan petugas kesehatan : hari ke 1

2 kapsul Rifampisin @ 300 mg (600 mg)

3 tablet Lampren @ 100 mg (300 mg)

1 tablet Dapsone/DDS 100 mg

Pengobatan harian: hari ke 2-28

1 tablet Lampren 50 mg

1 tablet Dapsone/DDS 100 mg

1 blister untuk 1 bulan

Lama pengobatan: 12 blister diminum selama 12-18 bulan

2. Gentamicin zalf 2 dd ue

3. Urea 10% cream 2 dd ue

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad sanam : dubia

Ad fungsionam : dubia

Ad kosmetikam : dubia ad malam

36