156
RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA IAIN ANTASARI PRESS 2014 Diana Rahmi

RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

i

RESTRUKTURISASI PERADILANAGAMA DALAM PERSPEKTIF

KEKUASAAN KEHAKIMANYANG MERDEKA

IAIN ANTASARI PRESS2014

Diana Rahmi

Page 2: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

ii

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMADALAM PERSPEKTIF KEKUASAAN

KEHAKIMAN YANG MERDEKA

PenulisDiana Rahmi

Cetakan I, Desember 2014

Desain CoverLuthfi Anshari

Tata LetakYokke Andini

PenerbitIAIN ANTASARI PRESS

JL. A. Yani KM. 4,5 Banjarmasin 70235Telp.0511-3256980

E-mail: [email protected]

PencetakAswaja Pressindo

Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani, NgaglikSleman YogyakartaTelp. 0274-4462377

E-mail: [email protected]

15,5 x 23 cm; vi + 150 halaman

ISBN: 978-602-0828-02-2

Page 3: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufiq danhidayahNya sehingga penulisan buku ini dapat terselesaikandengan baik. Shalawat dan salam tidak lupa dihaturkan kepadaNabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga beliau,sahabatnya dan umatnya seluruhnya. Amin.

Buku ini merupakan hasil dari Tesis berjudul“Restrukturisasi Peradilan Agama dalam Perspektif KekuasaanKehakiman yang Merdeka”, yang kemudian Penulis revisi dankembangkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terbaru.

Keinginan Penulis mempublikasikan dalam bentuk buku ini,dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan akademisi, praktisidan masyarakat luas yang ingin mengetahui eksistensi PeradilanAgama dewasa ini. Memang banyak buku mengenai PeradilanAgama di Indonesia, namun sepanjang pengetahuan Penulisbuku-buku dimaksud secara akademis ditulis sebelumberlakunya Restrukturisasi Peradilan Agama. Disamping hal itu,dalam buku ini juga mengetengahkan proses Restrukturisasiterhadap Peradilan Agama dari aspek yang berbeda yaitu politikhukumnya. Kemudian juga di kaji bahwa restrukturisasi yangdilakukan tidak hanya sekedar penataan organisasi, administrasidan finansial tetapi juga dikemukakan urgensi yang lainmengenai pentingnya restukturisasi terhadap Peradilan Agamaini dilakukan.

Page 4: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

iv

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Akhir kata Penulis berharap semoga buku ini bermanfaatbagi segenap pihak. Menjadi salah satu referensi, sumberinspirasi bagi para akademisi, aparat penegak hukum sertapemerhati Peradilan Agama di Indonesia. Sumbang saran dankritik pembaca sekalian sangatlah Penulis harapkan, gunapenyempurnaan buku ini lebih lanjut.

Banjarmasin, Juni 2011

Diana Rahmi, S.Ag, MH

Page 5: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..................................................................... iKATA PENGANTAR .................................................................. iiiDAFTAR ISI ..................................................................................v

BAB I: PENDAHULUAN ........................................................... 1A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1B. Beberapa Teori tentang Konsep Negara Hukum ........ 9C. Beberapa Teori tentang Independensi Lembaga Peradilan Agama ........................................................... 15

BAB II: MAKNA KEKUASAAN KEHAKIMANYANG MERDEKA DALAM PERSPEKTIFPENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA...................... 33A. Makna Kekuasaan Kehakiman yang

Merdeka ......................................................................... 33B. Restrukturisasi Badan-Badan Peradilan dan Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka di Indonesia .................................................... 41C. Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman Sebagai

Prasyarat Wujudkan Penegakan Hukum di Indonesia ........................................................................ 57

Page 6: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

vi

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

BAB III: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMADALAM PERSPEKTIF KEKUASAANKEHAKIMAN YANG MERDEKA .................................. 79A. Peradilan Agama: Kedudukan dan Eksistensinya

dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia ................... 79B. Restrukturisasi Peradilan Agama: Kekhususan

Ketentuan dan Latar Belakangnya ............................. 87C. Restrukturisasi Peradilan Agama dalam Perspektif

Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka.................... 110

BAB IV: PENUTUP .................................................................. 135A. Simpulan ...................................................................... 135B. Saran ............................................................................. 137

DAFTAR PUSTAKA ................................................................ 139

Curriculum Vitae ..................................................................... 149

Page 7: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

1

BAB IPENDAHULUAN

1 Purwoto S. Gandasubrata.”Kedudukan Kekuasaan Kehakiman menurut UUD1945 dalam Negara Hukum Republik Indonesia”. 2000. Artikel dalam Majalah HukumVaria Peradilan. Tahun XVI. Edisi Nopember Nomor. 182. Hal 135. Lihat pula dalamHartono Mardjono. 2001. Negara Hukum yang Demokratis Sebagai Landasan MembangunIndonesia Baru. Jakarta Selatan : Yayasan Koridor Pengabdian. Hal. 139.

A. Latar Belakang MasalahUUD 1945 menentukankan bahwa Indonesia ialah negara

berdasarkan hukum. Sebagai sebuah negara hukum, Indonesiaharus memenuhi tiga asas pokok negara hukum yaitu :1. Asas supremasi hukum atau legalitas, dimana penguasa dan

setiap penduduk /warganegara harus tunduk dan taat kepadahukum;

2. Asas mengakui dan melindungi hak asasi manusia danperikemanusiaan yang adil dan beradab;

3. Adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka (an independentjudiciary) yang mampu menegakkan supremasi hukum danhak asasi manusia apabila terjadi pelanggaran/sengketahukum dalam masyarakat.1

Di dalam sebuah negara hukum yang berasaskan sepertidi atas, juga harus diletakkan proses demokratisasi. Dimanarakyat selalu diikutsertakan kehendaknya dalam setiappengambilan suatu keputusan, lebih-lebih terhadap sesuatu yangmenyangkut hajat hidup kebanyakan rakyat. Dengan begitu

Page 8: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

2

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

supremasi hukum yang ditegakkan dalam sebuah negara hukumyang demokratik adalah hukum yang mengabdi padakepentingan rakyat.

Perubahan kondisi politik Indonesia belakangan inimelahirkan harapan baru, khususnya pada era reformasi dimanacukup banyak didengungkan suara agar hukum ditegakkansebagaimana mestinya. Mengapresiasi hal ini, banyak jalan yangbisa dilakukan pemerintah dalam rangka penegakkan hukum,antara lain dengan mewujudkan kemandirian lembaga yudikatif.Maksudnya adalah kekuasaan kehakiman yang ada benar-benarmerdeka sebagaimana dicita-citakan Pasal 24 (1) UUD 1945 yangberbunyi : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yangmerdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkanhukum dan keadilan”.

Lahirnya Ketetapan MPR-RI Nomor X/MPR/1998 tentangPokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam RangkaPenyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagaiHaluan Negara khususnya Bab IV C Hukum menegaskantentang perlunya reformasi di bidang hukum untuk mendukungpenanggulangan krisis di bidang hukum. Adapun salah satuagenda yang harus dijalankan adalah pemisahan yang tegasantar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Pemisahan inidilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administrasi, danfinansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawahdepartemen-departemen menjadi di bawah kekuasaanMahkamah Agung.

Ketentuan tentang ini tertuang pula dalam KetetapanMajelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, yaitu pada bab IV bahwa arah kebijakan dibidang hukumpada point 6 adalah “Mewujudkan lembaga peradilan yangmandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihakmanapun”.

Apabila kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak dapatditegakkan, selama itu pula kekuasaan kehakiman tidakmungkin sungguh-sungguh menjadi penegak keadilan dankebenaran. Adanya tuntutan agar kekuasaan kehakiman berdiri

Page 9: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

3

sendiri, disuarakan oleh masyarakat banyak, mulai masyarakatbawah sampai masyarakat elit. Bahkan IKAHI pernah membuatmemorandum untuk itu. Demikian ketua MA RI dalampertemuannya dengan presiden telah mengajukan tuntutanyang serupa agar mengembalikan kekuasaan kehakiman sesuaidengan bunyi Pasal 24 UUD 1945, dengan mengamandemen 2

Pasal 11 (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuanPokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Badan-badanyang melakukan peradilan tersebut Pasal 10 ayat (1)organisatoris, administratif dan finansial ada di bawahkekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan”.

Secara sederhana bahwa tuntutan ini bermaksudmemisahkan sama sekali kekuasaan kehakiman (yudikatif) darisegala bentuk hubungan dengan pemerintah (eksekutif) baikyang menyangkut hubungan administrasi, kepegawaianmaupun keuangan, sehingga kekuasaan yudikatif itu benar-benar mandiri dalam artian murni. Dengan asumsi bahwahukum, dirasakan tidak dapat ditegakkan, jika selama masihada unsur-unsur kekuasaan kehakiman yang diurus olehpemerintah.

Melalui proses yang tergolong tidak mudah pada tanggal31 Agustus 1999 pemerintah mengeluarkan Undang-UndangNomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan atas Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan PokokKekuasaan Kehakiman. Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah olehUndang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut :(1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

10 ayat (1) secara organisatoris, administratif dan finansiilberada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

(2)Ketentuan mengenai organisasi, administratif dan finansiilsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masinglingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan Undang-

2Bagir Manan. “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”. 1999. Artikel dalamJurnalDua Bulanan Mimbar Hukum. No. 43. Hal. 5

Pendahuluan

Page 10: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

4

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilanmasing-masing.

Pelaksanaan restrukturisasi lembaga peradilan tidakmungkin dapat dilakukan secara cepat, namun secara bertahap.Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 11 A Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 yang merupakan pasal sisipan antaraPasal 11 Pasal 12 yang menyatakan bahwa :(1)Pengalihan organisasi, administrasi dan finansiil sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secarabertahap, paling lama 5 (lima) tahun sejak Undang-Undangini mulai berlaku.

(2)Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagiperadilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1).

(3)Ketentuan mengenai tata cara pengalihan secara bertahapsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengankeputusan Presiden.

Melalui perubahan Undang-Undang No. 14 tahun 1970tersebut, telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusanmengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisialmaupun organisasi, administrasi dan finansial berada satu atapdi bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat perubahanmendasar yang dilakukan dalam UUD 1945, khususnyamengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, makaUndang-Undang No 14 tahun 1970 sebagaimana telah diubahdengan Undang-Undang No. 35 tahun 1999 perlu pula kiranyaada perubahan secara komprohensif. Berdasarkan hal inilahkemudian pada tanggal 15 Januari 2004 disahkan pula ketentuantentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang baru, yaituUndang-Undang Republik Indonesia No. 4 tahun 2004 tentangKekuasaan Kehakiman.

Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 4 tahun 2004menjelaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan olehsebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badanperadilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi

Page 11: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

5

badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilanagama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara”.

Adapun mengenai ketentuan peralihan dimuat dalam Pasal42, yaitu bahwa :(1)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam

lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negaraselesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.

(2)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalamlingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan palinglambat tanggal 30 Juni 2004.

(3)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalamlingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan palinglambat tanggal 30 Juni 2004.

(4)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansialsebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan (3) ditetapkandengan Keputusan Presiden.

(5)Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4)ditetapkan paling lambat :

a. 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimanadimaksud pada ayat (1) berakhir;

b. 60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimanadimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.

Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang No. 4Tahun 2004 pada dasarnya telah sesuai dengan perubahan UUD1945, namun substantif undang-undang tersebut belummengatur secara komprehensif tentang penyelenggaraankekuasaan kehakiman, yang merupakan kekuasaan yangmerdeka. Sehubungan dengan hal ini, sebagai upaya untukmemperkuat penyelenggaraan kekuasaan kehakiman danmewujudkan integrated justice system, maka Undang-Undang No.4 Tahun 2004 diganti dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman.

Mencermati ketentuan tersebut dan menghubungkannyadengan beberapa ketentuan sebelumnya, maka menarik sekalijika dikaji restrukturisasi terhadap Peradilan Agama. Sebagai

Pendahuluan

Page 12: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

6

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

sebuah lembaga, Peradilan Agama merupakan salah satupelaksana kekuasaan kehakiman serta pengemban amanatsebagai penegak hukum bagi rakyat pencari keadilan yangberagama Islam mengenai perkara perdata tertentusebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Undang-UndangPeradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989, ternyata mendapatketentuan secara khusus.

Kekhususan ketentuan yang dimaksud, diawali denganadanya ketentuan dalam Pasal 11 A Undang-Undang No. 35tahun 1999 ayat (2) bahwa “pengalihan organisasi, administrasidan finansial bagi lembaga peradilan Agama tidak ditentukansebagaimana lembaga peradilan lainnya yakni 5 tahun”.Kemudian dalam penjelasan Umum atas Undang-Undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengemukakanbahwa “ Dengan berlakunya Undang-Undang ini, pembinaanbadan peradilan umum, badan peradilan agama, badanperadilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara beradadi bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarahperkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistemperadilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agamadilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat MenteriAgama dan Majelis Ulama Indonesia”. Disamping itu pula,ketentuan tentang batas waktu pengalihan organisasi,administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Agamajuga dikondisikan berbeda dengan lingkungan Peradilan Umumdan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni 30 Juni 2004.

Kekhususan ketentuan tersebut memberikan gambaranbahwa masuknya Peradilan Agama dalam konsep satu atapMahkamah Agung, mencerminkan sebuah proses yang tidakmudah, jika dibandingkan dengan peradilan lainnya. Hal initentu menimbulkan berbagai pertanyaan dan tanggapan tentangapa yang melatarbelakanginya ? Pertanyaan ini sulit kiranyadijawab jika tidak dikaji latar belakang politik hukum yangmelingkarinya. Hal ini dikarenakan pula, sebagai suatu institusikeagamaan atau kemasyarakatan, Peradilan Agama tidak mudahpula kiranya dipahami tanpa mengkaitkannya denganperkembangan situasi sosial politik yang berkembang ditengah-

Page 13: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

7

tengah masyarakat. Karena sosial politik ikut memberikanbentuk dan warna bagi kelangsungan hidup suatu institusi, halyang sama juga ikut berlaku dan berpengaruh terhadap pranatasosial lainnya.3

Asumsi tersebut juga sejalan dengan tesis N.J. Coulson yangdikutip oleh Abdul Halim bahwa hukum senantiasa hidup danberkembang sejalan dengan laju perkembangan suatumasyarakat.4 Pendapat ini bisa pula dibuktikan secara sosiologis,dimana implementasi cita hukum5 dan kesadaran hukum turutdibentuk konfigurasi sosio-politik yang berkembang dalamtatanan kehidupan kemasyarakatan, tak terkecualidikembangkan oleh rezim suatu pemerintahan. Karena ituapapun tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh lingkungansosial politik yang mengitari, baik hukum itu sendiri maupunlembaga-lembaga keagamaan lainnya, seperti lembaga PeradilanAgama sebagai simbol kekuasaan hukum Islam di Indonesia.6

Perjalanan sejarah Peradilan Agama di Indonesia,memperlihatkan bahwa setiap rangkaian historis secara terusmenerus ditandai dengan pergumulan antara politik dan institusiPeradilan Agama, terkadang memihak dan terkadang pulamenguntungkan. Namun secara umum, dalam rangkaianperjalanan sejarah, nasib peradilan Agama lebih lama bergerak

3Abdul Halim. 2000. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Di Indonesia. Dari OtoriterKonservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.Hal. 1.

4Ibid.5Cita hukum ialah gagasan, rasa cipta dan pikiran. Pengertian yang dipakai disini

sejalan dengan pendapat Rudolf Stammer (1856-1939), seorang ahli filsafat hukumyang beraliran neo-Kantian, bahwa cita hukum ialah konstruksi pikir yang merupakankeharusan untuk mengarahkan hukum kepada cita-cita yang diinginkan masyarakat.Cita hukum berfungsi sebagai bintang pemandu bagi tercapainya cita-cita masyarakat.lihat A. Hamid S. Attamimi. “Hukum Indonesia Hendaknya Tidak MeninggalkanCita Hukum dan Cita Negara”. 1994. Artikel dalam Jurnal Dua Bulanan MimbarHukum. No. 13. Hal. 2.

6Zaini Ahmad Noeh. (trans). Daniel S. Lev. 1980. Peradilan Agama Islam diIndonesia.Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-Lembaga Hukum. Jakarta :Intermasa. Hal. 18.

Pendahuluan

Page 14: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

8

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

dalam surutnya daripada gelombang pasangnya.7 Hal initerutama menyangkut pengakuan terhadap eksistensi dankemandiriannya dalam kerangka sistem dan tata hukumnasional. Sehingga dengan demikian, adanya restrukturisasiperadilan terhadap lembaga Peradilan Agama menurut hematPenulis tidak hanya sekedar upaya mensejajarkan kedudukanPeradilan Agama dengan lembaga peradilan lainnya secaraproporsional, sehingga meminimalisir diskriminasi normatifyang pernah dirasakan, tetapi juga sebagai upayamemerdekakannya dari segala campur tangan pihak kekuasaanekstra yudisial.

Terlebih mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnyabeban yang harus dilaksanakan pengadilan dalam lingkunganbadan Peradilan Agama, tentunya perlu mendapatkanpembinaan dan pengawasan yang sebaik-baiknya secaraterpadu. Hal ini sangat penting karena bukan saja menyangkutaspek ketertiban dalam penyelenggaraan administrasi, baikdibidang teknis yustisial maupun dibidang administrasi umum,tetapi juga menyangkut kelancaran penyelenggaraan peradilanitu sendiri.8 Akan tetapi kuatnya pergumulan antara politik yangmengiringi dan institusi Peradilan Agama, justru menempatkanlembaga Peradilan Agama pada posisi yang khusus dan dalamperkembangan selanjutnya proses restrukturisasi terasa berjalanlamban, jika dibandingkan dengan peradilan lainnya.

Sebagai realisasi dari adanya restrukturisasi di tubuhPeradilan Agama, tentu saja seharusnya menuntut banyakperubahan yang terjadi, dan dalam prosesnya dapatdilaksanakan secara utuh dan konsekuen, denganmengimplementasikan prinsip-prinsip universal dari kekuasaankehakiman yang merdeka dalam segala peraturan perundang-undangannya. Pada gilirannya segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan

7Abdul Halim. Op. Cit. Hal 28Taupiq Hamami. 2003. Mengenal Lebih Dekat : Kedudukan dan Eksistensi Peradilan

Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung : Alumni. Hal. 81.

Page 15: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

9

jiwa dan prinsip dari kekuasaan kehakiman yang merdekaharuslah direvisi dan diamandemen. Akan tetapi realisasi darikehendak ini belum sepenuhnya dapat diimplementasikan,karena lambannya proses perubahan terhadap Undang-Undangtentang Peradilan Agama. Keadaan ini bisa saja akanmenghambat kinerja dari para hakim dalam upayanyamelakukan penegakan hukum dan dapat mengganggukemerdekaan Peradilan Agama itu sendiri.

Berdasarkan kerangka pemikiran itulah maka Penulismelalui penelitian ini menelusuri dan mengkaji masalahbagaimanakah makna kekuasaan kehakiman yang merdekadalam perspektif penegakan hukum di Indonesia, sertabagaimanakah restrukturisasi Peradilan Agama dalam perspektifkekuasaan kehakiman yang merdeka.

B. Beberapa Teori tentang Konsep Negara HukumPembahasan tentang adanya kekuasaan kehakiman yang

merdeka tidak dapat dilepaskan dari ide negara hukum. Adadua konsep yang sangat berpengaruh ketika membicarakantentang negara hukum, yaitu the rule of law yang berkembang dinegara-negara Anglo Saxon dan rechtssaat yang berkembang dinegara-negara Erofa Kontinental. Rule of law menurut sistemAnglo Saxon ini terdapat perbedaan dengan rechsstaat menurutErofa Kontinental. Perbedaannya terletak pada tidak adanyaperadilan administrasi yang berdiri sendiri pada sistem rule oflaw. Adapun persamaannya terdapat pada keduanya ialah bahwabaik rule of law maupun pada rechtsstaat diakui adanyakedaulatan hukum atau supremasi dari hukum.9

AV Dicey, dari kalangan ahli Anglo Saxon memberikan ciriRule of law sebagai berikut :

9Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indo-nesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indone-sia dan CV. Sinar Bakti. Hal. 161.

Pendahuluan

Page 16: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

10

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

1. Supremacy of law, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaanyang tertinggi di dalam negara adalah hukum (kedaulatanhukum);

2. Equility Before the law, artinya persamaan dalam kedudukanhukum bagi setiap orang, baik selaku pribadi maupun dalamkualifikasinya sebagai pejabat negara;

3. Constitution based on individual rights, artinya konstitusi itutidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jikahak-hak asasi manusia itu diletakkan dalam konstitusi ituhanya sebagai penegasan bahwa hak asasi itu harusdilindungi.10

Berdasarkan pencirian tersebut, Dicey memang tidakmenyebutkan secara langsung kekuasaan kehakiman yangmerdeka sebagai salah satu unsur rule of law, akan tetapi unsursupremasi hukum tentunya mengandung arti bukan sajamengatur kebebasan warga tetapi juga memberikan pembatasankewenangan pejabat agar senantiasa tunduk pada hukum.Melalui supremasi hukum ini tentunya hakim diharapkanmemperoleh jaminan untuk menyelenggarakan kekuasaankehakiman yang merdeka.

Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli hukum ErofaKontinental memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut :1. Hak-hak asasi manusia;2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-

hak asasi manusia ituyang biasa dikenal sebagai Trias Politika;3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid

van bestuur).4. Peradilan administrasi dalam perselisihan.11

10AV. Dicey. Dalam Dahlan Thaib. 2000. Kedaulatan Rakyat Negara Hukum danKonstitusi. Yogyakarta : Liberty. Hal. 24. Bandingkan pula dengan Moh. Mahfud MD.2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Studi Tentang Interaksi Politik dan KehidupanKetatanegaraan. Jakarta : Rineka Cipta. Hal. 28.

11Ibid.

Page 17: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

11

Walaupun dalam pencirian tersebut, tidak disebutkan secaralangsung bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaisalah satu unsur dari negara hukum, tetapi keduanyamenekankan bahwa pemisahan kekuasaan merupakan unsuresensial dari negara hukum.

Konsep negara hukum yang mempunyai ciri-ciripemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Dicey danStahl disebut sebagai konsep negara hukum formal (klasik) danstatis. Menjelang pertengahan abad ke 20 tepatnya sesudahperang dunia, keberadaannya mulai digugat. Gagasan bahwaPemerintah dilarang campur tangan dalam urusan warga negarabaik di bidang sosial maupun bidang ekonomi bergeser ke arahgagasan baru bahwa Pemerintah harus bertanggung jawab ataskesejahteraan rakyat. Untuk itu Pemerintah tidak boleh bersifatpasif atau berlaku sebagai penjaga malam, melainkan harus aktifmelaksanakan upaya-upaya untuk membangun kesejahteraanmasyarakatnya, dengan cara mengatur kehidupan ekonomi dansosial. Demokrasi, dalam gagasan baru ini harus meluasmencakup dimensi ekonomi dengan sistem yang dapatmenguasai kekuatan-kekuatan ekonomi dan berusahamemperkecil perbedaan sosial dan ekonomi terutama harusmampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan dikalangan rakyat.

Gagasan baru ini biasanya disebut sebagai gagasan welfarestate atau negara hukum material (dinamis) dengan ciri-ciri yangberbeda dengan yang dirumuskan dalam konsep negara hukumklasik (formal). Perumusan ciri – ciri negara hukum yangdilakukan oleh Stahl dan Dicey kemudian ditinjau lagi sehinggadapat menggambarkan perluasan tugas Pemerintahan yangtidak boleh lagi bersifat pasif.

“International Comission of Jurists” dalam konferensinya diBangkok pada tahun 1965 menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui pula adanya hak-hak sosialdan ekonomi sehingga perlu dibentuk standar-standar dasarsosial ekonomi. Komisi ini dalam konferensi tersebut jugamerumuskan syarat-syarat (ciri-ciri) Pemerintahan yangdemokratis di bawah rule of law (dinamis, baru) sebagai berikut:

Pendahuluan

Page 18: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

12

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hakindividu, konstitusi harus pula menentukan cara proseduraluntuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak;3. Pemilihan umum yang bebas;4. Kebebasan menyatakan pendapat;5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi;6. Pendidikan kewarganegaraan.12

Jika melihat pencirian dari konsep negara hukum yangklasik (formal, pasif) maupun konsep negara hukum yang baruatau welfare state (material,dinamis), maka kekuasaan kehakimanyang merdeka ditempat sebagai salah satu unsur negara hukum.Sehingga pada prinsipnya kekuasaan kehakiman yang merdekamerupakan unsur yang tak terpisahkan dari negara berdasarkanatas hukum.

Franz Magnis Suseno menjelaskan bahwa tuntutan agarnegara hukum selalu bergerak atas landasan hukum yang baikdan adil, maka ada empat ciri yang harus dipenuhi oleh sebuahnegara hukum, yaitu :1. Kekuasaannya dijalankan sesuai dengan hukum positif yang

berlaku;2. Kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan

kehakiman yang efektif;3. Berdasarkan sebuah undang-undang dasar yang menjamin

hak-hak asasi manusia;4. Menurut pembagian kekuasaan.13

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang telahdiamandemen, dijelaskan bahwa “negara Indonesia adalahnegara negara hukum”. Yang dimaksud dengan negara hukum

12Ibid. Hal 29-30.13Franz Magnis Suseno. 2001. Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hal. 298.

Page 19: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

13

disini adalah negara bukan saja melindungi segenap bangsa danseluruh tumpah darah Indonesia, tetapi juga harus memajukankesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa,sebagaimana yang tertuang dalam alenia keempat pembukaanUUD 1945. Dengan demikian prinsip negara hukum Indonesiaadalah negara hukum yang bersumber pada cita negaraPancasila.

Philipus M. Hadjon, mengemukakan tentang ciri-ciri negarahukum Pancasila adalah :1. Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat

berdasarkan asas kerukunan;2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-

kekuasaan negara;3. Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan

peradilan merupakan sarana terakhir;4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.14

Menelusuri negara hukum Indonesia yang berdasarkanPancasila dan UUD 1945 maka akan ditemukan unsur-unsurnegara hukum yaitu :1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia

dan warga negara;2. Adanya pembagian kekuasaan;3. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, pemerintah

harus selalu berdasar atas hukum yang berlaku, baik yangtertulis maupun tidak tertulis;

4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankankekuasaannya bersifat merdeka, artinya terlepas daripengaruh kekuasaan pemerintah maupun kekuasaanlainnya.15

14Philipus M. Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Surabaya: PT. Bina Ilmu. Hal. 90.

15A. Mukti Arto. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefinisi dan FungsiMahkamah Agung untuk Membangun Indonesia Baru. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.Hal.18-19.

Pendahuluan

Page 20: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

14

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Mengkaji lebih jauh tentang konsep negara hukum, makapenting kiranya disajikan tentang konsep negara hukum dalamIslam. Hal ini dikarenakan tradisi hukum Islam turut mewarnaiperkembangan hukum modern. Muhammad Tahir Azharimenggunakan istilah konsep negara hukum sebagai nomokrasiIslam. Konsep nomokrasi Islam bersumber pada Al Qur’an, AlSunnah dan Al Ro’yu. Delapan prinsip lainnya dalam nomokrasiIslam adalah : (1) Kekuasaan sebagai amanah; (2) Musyawarah;(3) Persamaan; (4) Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasimanusia; (5) Peradilan Bebas; (6) Perdamaian; (7) Kesejahteraan;dan (8) Ketaatan rakyat.16

Semangat religius yang terimplementasikan ke dalamsebuah produk perundang-undangan tentu tidak sajadipraktikkan pada negara-negara Timur Tengah, tetapi juga telahmengilhami negara-negara berpenduduk mayoritas muslimdiseluruh dunia. Di Indonesia misalnya, banyak terdapatperaturan perundang-undangan yang kelahirannyamemfasilitasi penerapan hukum Islam dan secara kelembagaanseperti eksisnya Pengadilan Agama dalam ranah hukum di In-donesia.

Dalam negara hukum Republik Indonesia yang berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, keadilan, kebenaran,ketertiban dan kepastian hukum dalam sistem danpenyelenggaraan hukum merupakan hal yang pokok dan sangatpenting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yangaman, tentram dan tertib seperti yang diamanatkan dalamGBHN. Untuk mewujudkan itu diperlukan adanya lembagayang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakimanguna menegakkan hukum dan keadilan dengan baik. Lembagauntuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan,kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum di antaranya adalahbadan-badan peradilan sebagaimana yang dimaksud dalam

16 Muhammad Tahir Azhari. 2001. Negara Hukum, Studi tentang Prinsip-prinsipnyaDilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan MasaKini. Jakarta : Bulan Bintang. Hal. 73

Page 21: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

15

Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman, yang masing-masing mempunyai lingkupkewenangan, salah satunya sebagaimana telah disinggungsebelumnya adalah Badan Peradilan Agama. Hal ini jelastertuang dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 tentang Peradilan Agama.

C. Beberapa Teori tentang Independensi LembagaPeradilanMenilik dari dimensi kesejarahan, Peradilan Agama

memiliki liku-liku yang tidak mudah untuk dapat diakuieksistensinya dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional.Peradilan Agama atau dulunya disebut Peradilan Islam tumbuhdan berkembang seiring dengan berdirinya kerajaan Islam dinusantara, seperti kerajaan Samudera Pasai, Aceh dan lain-lain.17

Oleh karena itu telah berurat berakar dalam sejarah bumi Indo-nesia.

Dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989 pada tanggal 29Desember 1989, maka terdapat kesatuan hukum yang mengaturPeradilan Agama yang sebelumnya beraneka ragam dalamberbagai ketentuan. Untuk itu Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 mencabut peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa-Madura, sebagian Kalimantan Selatan dan Timur, PP No. 45tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama di luarJawa-Madura, serta mencabut ketentuan Pasal 63 (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:“Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan olehPengadilan Umum”.

17Uraian tentang ini menjadi titik perhatian dan kajian baik bagi para praktisimaupun akdemisi, sebagaimana yang termuat dalam Jamil Lathif. 1983. Kedudukandan kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : Bulan Bintang. Hal. 9. Lihat pulaAbdul Halim. Op.Cit. Hal. 27-120. Senada dengan ini juga dikemukakan oleh CikHasan Bisri. 2000. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Bandung : PT.Remaja Roesdakarya. Hal. 35-175. Dan hal ini dikritisi pula oleh Munawir Sadjali(“et al”). 1999. Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indone-sia. Yogyakarta : UII Press. Hal. 1-28.

Pendahuluan

Page 22: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

16

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Demikian pula dengan lahirnya Undang-Undang No. 3Tahun 2006 tentang perubahan pertama terhadap UU No. 7Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang mencabut ketentuandalam penjelasan umum UU No. 7 Tahun 1989 yang menyatakanbahwa “para pihak sebelum berperkara dapatmempertimbangkan untuk memilih hukum apa yangdipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.Ketentuan ini tentunya lebih memperkuat eksistensi PeradilanAgama dalam sistem peradilan di Indonesia.

Wujud nyata bahwa Peradilan Agama diakui eksistensinya,yaitu juga dengan memperluas kewenangan yang dimilikinya.Hal ini termuat dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 tahun2006 : “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antaraorang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris,wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomisyari’ah.

Secara umum sebenarnya, isi daripada Undang-UndangNomor 7 Tahun 1989 itu memuat beberapa perubahan tentangpenyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia, yaitu :1. Perubahan tentang dasar hukum penyelenggaraan Peradilan

Agama di Indonesia.2. Perubahan tentang kedudukan Peradilan Agama di Indone-

sia dalam tata peradilan nasional.3. Perubahan tentang hakim peradilan agama.4. Perubahan tentang kekuasaan pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama di Indonesia.5. Perubahan tentang hukum acara peradilan agama.6. Perubahan tentang administrasi peradilan agama.7. Perubahan tentang perlindungan terhadap wanita.18

18Cik Hasan Bisri. 1998. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : Pt. Raja Grafindo.Hal. 118.

Page 23: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

17

Sebagaimana badan peradilan lainnya, Peradilan Agamaselaku salah satu pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia, jugadiikutsertakan dalam reformasi di bidang hukum. Hal inisebagaimana tertuang dalam TAP MPR NO.X/MPR/1998, dansalah satu agenda yang dijalankan adalah melakukanrestrukturisasi lembaga peradilan yang ada.

Restrukturisasi sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indone-sia berasal dari kata struktur yang berarti cara bagaimana sesuatudisusun atau dibangun; susunan; bangunan.19 Mendapat prefiksre, untuk menyatakan bahwa sesuatu dibuat kembali.20 AdapunRestrukturisasi21 yang dimaksud disini adalah penataan kembalilembaga-lembaga peradilan yang ada atau lembaga-lembagaperadilan akan ditata kembali dengan cara melakukanpemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif,sehingga terhadap organisasi, administrasi dan finansial darilembaga-lembaga peradilan yang semula secara strukturalberada di bawah Departemen, dialihkan pembinaannya keMahkamah Agung.

Terhadap Peradilan Agama juga dijamin kemerdekaanyadalam menegakkan hukum dan keadilan. UUD 1945 Pasal 24dijadikan sebagai dasar hukum eksistensi kekuasaan kehakimandi Indonesia dan termuat pula dalam Undang-Undang Nomor4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang kemudian

19Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1989.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta :Balai Pustaka. Hal.860.

20Gorys Keraf. 1987. Tata Bahasa Indonesia. Flores-NTT : Nusa Indah. Hal. 109.21Pemakaian kata Rekstukturisasi oleh Mahfud MD untuk maksud yang sama

menggunakan istilah “pembenahan”. Akan tetapi Abd Gofar lebih cenderungmenggunakan istilah “perubahan”. Adapun firoz Gaffar dan Ifdahl Kasim lebihmenekankan istilah kata “pembaruan sistem peradilan”. Lihat dalam Firoz Gaffardan Ifdahl Kasim. 1999. Reformasi Hukum di Indonesia : Hasil Studi Perkembangan Hukum.Proyek Bank Dunia. Jakarta : Cyberconsult. Hal. 108. Lihat pula dalam Moh. MahfudMD. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta : Gama Media. Hal.299.Bandingkan pula dengan Abd. Gofar. “Peradilan Agama dan KemandirianKekuasaan Kehakiman”. 1999. Artikel dalam Jurnal Mimbar Hukum. Edisi Juli-Agustus. No.43. Hal. 26.

Pendahuluan

Page 24: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

18

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

diganti dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.Banyaknya perubahan secara komprehensif oleh Undang-Undang tersebut maka, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989pun mengalami perubahan dan penyesuaian terutamamenyangkut ketentuan tentang penyelenggaraan sistem satuatap oleh Mahkamah Agung, terhadap Peradilan Agama.

Mencermati pengaturan tentang jangka waktu peralihanyang ditentukan pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4Tahun 2004, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,bukanlah tanpa sebab. Sebenarnya, Lahirnya Undang-Undangini tidak terlepas dari pro dan kontra, khususnya bagi kalanganHakim Peradilan Agama dan Departemen Agama sendiri.Konsep satu atap Mahkamah Agung yang mewarnai Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999, kemudian Undang-UndangNomor 4 tahun 2004, sejak awal memang telah mendapattantangan keras terutama dari pihak Departemen Agama. Padaprinsipnya pendirian Departemen Agama dan pihak lain yangmendukung adalah menolak konsep Peradilan Agama di bawahsatu atap dengan Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan inginmempertahankan ikatan historis antara Peradilan Agama denganDepartemen Agama.22

Pembinaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agamaoleh Departemen Agama, hampir bersamaan dengandidirikannya departemen itu. Berdasarkan PenetapanPemerintah Nomor 1/S.D. pada tanggal 3 Januari 1946 didirikanDepartemen Agama. Kemudian berdasarkan PenetapanPemerintah Nomor 5/S.D, sejak tanggal 25 Maret 1946Mahkamah Islam Tinggi, yang semula termasuk dalam bagiandari Kementerian Kehakiman dipindahkan ke KementerianAgama. Sejak itu tugas Departemen Agama salah satunya adalahmembina Mahkamah Islam Tinggi dan Pengadilan Agama dalamorganisasi, pembinaan administrasi dan pembinaan saranaPeradilan Agama. 23

22Abdullah Gofar. “Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”.Op. Cit. Hal. 27-28.

23Cik Hasan Bisri. Op.Cit. Hal. 163.

Page 25: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

19

Pihak Departemen Agama selanjutnya mengkhawatirkan,apabila pembinaan organisasi, administrasi dan finansialdiserahkan ke Mahkamah Agung maka Peradilan Agama yangbersifat spesifik, sejak sebelum penjajahan hingga sekarang inisuatu saat akan cair dan bias. Menurut pihak DepartemenAgama, ide dasar tentang konsep satu atap tidak hanya dapatdilihat dan diukur dari fasilitas, gaji hakim belaka, namun lebihjauh bagaimana menunjukkan supremasi hukum sebagaimanadiharapkan dari agenda reformasi dibidang hukum. Mantan-mantan Pejabat Departemen Agama mengaku tidak pernahmelakukan intervensi dan diarectiva terhadap pelaksanaan tugasteknis Peradilan Agama.24

Roihan A. Rasyid justru berpendapat sebaliknya, bahwasebagai salah satu lembaga peradilan yang melaksanakankekuasaan kehakiman, sudah sewajarnya Peradilan Agamatunduk dan taat pada peraturan perundang-undangan yangmengaturnya. Sudah selayaknya Mahkamah Agung menaungidan menjadi puncak dari keempat lingkungan badan peradilandi Indonesia. Hal ini agar tercipta bentuk keseragaman danunifikasi dalam segala bentuk kebijakan. Agar jangan sampaiada bentuk-bentuk diskriminasi, dan agar jangan sampailembaga Peradilan Agama berada pada sisi luar sistem peradilanyang ada di Indonesia. Walaupun masing-masing lingkunganperadilan di Indonesia memiliki kewenangan yang berbeda-beda, tetapi semua masing-masing dari lingkungan peradilantersebut berfungsi untuk menegakkan hukum dan keadilan diIndonesia. Oleh sebab itu, pembinaan dibidang organisatoris,administratif dan finansial tentunya dan memang seharusnyadilakukan secara seragam. Itu berarti bila pembangunan gedung-gedung Peradilan Umum masuk dalam anggaran “sektorhukum”, maka pembangunan gedung-gedung PeradilanAgamapun juga harus masuk anggaran “sektor hukum”.25

24Abd Gofar. Loc. Cit.25Roihan A.Rasyid. 1991. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta : Rajawali Press.

Hal. 14-15.

Pendahuluan

Page 26: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

20

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Zaini Ahmad Noeh, dengan memahami pendapatnya levmengatakan bahwa Peradilan Agama sebagai bagian darikekuasaan kehakiman dengan kacamata Ilmu Hukum, dimanapemikiran tentang negara hukum dengan teori Trias Politica alaHobbes, Locke dan Montesquieu sangat mempengaruhi, makadalam dewasa ini Peradilan Agama yang menurut undang-undang berada di bawah Departemen Agama, terkesan adanya“degradasi” dalam kedudukannya.26

Meletakkan lembaga peradilan di bawah satu atapMahkamah Agung sebenarnya bukanlah gagasan yang barumelainkan gagasan lama yang selalu diteriakkan. Ketika IKAHI(di dalamnya juga tergabung Hakim-Hakim di lingkunganPeradilan Agama) kembali mengusulkan agar lembaga yudikatifdilepaskan secara struktural dari lembaga eksekutif denganmelepaskan semua hakim dari status pegawai negeri untukkemudian diangkat menjadi pejabat negara. Perombakanhubungan struktural seperti ini memang bukan satu-satunyajalan dan bukan jaminan bagi mandiri dan bersihnya duniaperadilan dari korupsi dan kolusi atau “mafia” karena dalamkenyataan sakit parahnya dunia peradilan kita memangdisebabkan juga oleh moral para penegak hukum yang tidaklurus. Transaksi perkara bisa saja terjadi tanpa pengaruhkekuasaan eksekutif, tetapi dilakukan langsung oleh parapenegak hukum. Tetapi pelepasan kekuasaan kehakiman secarastruktural (dalam administratif finansial) tetap menjadi salahsatu kunci penting bagi bebas merdekanya kekuasaankehakiman dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Tentu sajareformasi struktural itu harus diikuti dengan reformasi mental,moral dan kultural yang selama ini juga memberi andil bagibobroknya dunia peradilan kita. 27

26Zaini Ahmad Noeh. 1982. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia. Disampaikanpada Simposium Sejarah Peradilan Agama tanggal 8-10 April 1982. Bogor : BagianProyek Pembinaan Administrasi Hukum dan Peradilan Agama. Hal. 35

27Moh Mahfud. MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum Di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media. Hal. 300.

Page 27: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

21

Guna menyesuaikan dengan arah kebijakan yang telahditetapkan dalam UUD 1945, juga didasarkan atas undang-undang mengenai Kekuasaan Kehakiman yang baru, makaUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MahkamahAgungpun mengalami perubahan yang signifikan, yaituUndang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985tentang Mahkamah Agung. Yang kemudian diubah lagi denganUndang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang perubahan keduaatas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985. Hal ini tentunyadimaksudkan untuk memudahkan penyelenggaraan kekuasaankehakiman yang merdeka dalam tahap selanjutnya, serta dalamrangka pengawasan diperlukan adanya kerjasama yangharmonis antara Mahkamah Agung dan Komisis Yudisial.

Ada semacam keyakinan umum “kekuasaan kehakimanyang merdeka merupakan prasyarat bagi tegaknya keadilan dankebenaran”. Tidak diragukan, tanpa kekuasaan kehakiman yangmerdeka, pasti tidak akan ada jaminan terwujudnya kebenarandan keadilan. Tetapi sama sekali tidak berarti kekuasaankehakiman yang merdeka akan selalu identik dengan kebenarandan keadilan.28

Telah disinggung sebelumnya, adanya lembaga peradilanyang bebas dari kekuasaan lain dan tidak memihak adalahmerupakan salah satu ciri dan prinsip pokok dari negarademokrasi dan negara hukum. Keduanya sama-samamenekankan pada pentingnya pembatasan kekuasaan negara.Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan didalam negara haruslah dipisah dan dibagi ke dalam kekuasaanyang mengenai bidang tertentu.29

Urgen kiranya untuk dikaji, jika kita memahami asaskekuasaan kehakiman yang merdeka, pada prinsipnya tidaklah

28Bagir Manan. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta : Fakultas Hukum .UII. Press. Hal. 97.

29Moh. Mahfud MD. Op. Cit. Hal. 270-271

Pendahuluan

Page 28: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

22

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

dapat dilepaskan dari ajaran Baron De Montesquieu mengenaitujuan dan perlunya pemisahan kekuasaan dalam negara.30

Montesquieu membagi kekuasaan pemerintahan negara dalamtiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuatundang (rule making function), kekuasaan eksekutif ataukekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application func-tion), kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili ataspelanggaran undang-undang (rule adjudication). Montesquieuberpendapat ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah satusama lain, baik mengenai tugas atau fungsi, maupun mengenaialat perlengkapan atau organ yang menyelenggarakannya.31

Ajaran Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya“pemisahan” (separation) kekuasaan yaitu untuk menjaminadanya dan terlaksananya kebebasan politik (Political Liberty)anggota masyarakat negara. Dan yang diartikan Montesquieukebebasan politik adalah “a tranquallity of mind arising from the

30Sebenarnya format paling konkrit tentang pemisahan kekuasaan yang masing-masing otonom, mula-mula ditawarkan oleh John Locke (1632-1704). Filsuf asalInggeris ini mengajukan format tentang pemisahan kekuasaan negara dalam apayang kemudian dikenal sebagai Trias Politika. Menurut Locke, untuk menghindariabsolutisme, kekuasaan di dalam negara harus dibedakan atau dibagi atas tiga macamkekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat UU, yang dilakukanoleh Parlemen atas nama rakyat), kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk mengadili)dan kekuasaan federatif (menurut John Locke adalah kekuasaan untuk melakukanhubungan dengan bangsa lain). Jadi kekuasaan eksekutif menurut Locke adalahkekuasaan dalam bidang peradilan yang harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain.Pengaruh teori John Locke tentang pemisahan kekuasaan dalam negara itu memangtidak sebesar pengaruh teori Montesquieu (1689-17755), seorang ahli hukum hukumberkebangsaan Perancis yang pada tahun 1748 menerbitkan bukum yang sangatterkenal dengan judul “L’Esprit des Lois” (jiwa dari undang-undang), buku inikemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris oleh Thomas Nugent denganjudulnya “The Spirit of the Laws”. Monterquieulah yang kemudian memberi istilahyang lebih dapat diterima bagi kekuasaan peradilan ini, yaitu lembaga yudikatif.Montesquieu menawarkan tiga poros kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif danyudikatif. Tiga poros kekuasaan ini oleh Immanuel Kant, filsuf yang datang kemudian,disebut dengan Trias Politika. Jadi istilah Trias Politika berasal dari Kant, sedangkanisinya berasal dari locke dan Montesquieu. Moh. Mahfud MD. Op.Cit. Hal. 270-271.Bandingkan pula dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Op.Cit. Hal. 140-141. Lihat pula dalam Dahlan Thaib. Op.Cit. Hal. 127.

31Miriam Budiardjo. 1987. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia. Hal.152. Lihat pula Moh Mahfud MD. Loc. Cit. Bandingkan pula dengan Dahlan Thaib.Loc. Cit.

Page 29: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

23

opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it isrequisite the government be so constituted as one man need not beafraid of another”.32 (ketenangan pikiran yang muncul daripendapat bahwa tiap-tiap orang berada dalam keadaan aman.Untuk memiliki kebebasan ini, prasyaratnya ialah pemerintahandiberi wewenang sedemikian rupa sehingga tak seorangpunperlu takut kepada orang lain).33

Mengambil inti sari dari apa yang telah dijelaskan olehMontesquieu, Bagir Manan menggariskan bahwa kebebasanpolitik akan dinikmati jika ditandai dengan adanya perasaantentram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya ataukeselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebutmaka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agarorang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orangtidak merasa takut terhadap orang lain disekitarnya. Penataanbahwa negara atau pemerintahan yang menjamin kebebasantersebut menurut Montesquieu yaitu dilakukan dengan caramemilah –milah badan pemerintahan ke dalam berbagai cabang.Tanpa pemilahan itu, maka tidak akan ada kebebasan.34 Hal inidikarenakan menurut Montesquieu :

When the legislative and executive powers are united inthe same person, or in the same body of magistrates, there canbe no liberty; because apprehensions may arise, lest the samemonarch or senate should enact tyrannical laws, to execute themin a tyrannical manner.

Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separatedfrom the legislative and executive. Were it joined with the legislative,the life and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control;for the judge would be then the legislator. Were it joined to the execu-tive power, the judge might behave with violence and oppression.35

32Thomas Nugent. (trans). Baron De Montesquieu. 1949. The Spirit Of The Law.New York : Hafner Press. Hal. 151.

33J.R. Sunaryo. (trans). Montesquieu. 1993. Membatasi Kekuasaan (Telaah MengenaiJiwa Undang-Undang). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Hal. 45.

34Bagir Manan. Op.Cit. Hal. 8.35Thomas Nugent. Op.Cit. Hal. 151-152.

Pendahuluan

Page 30: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

24

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

(Bila kekuasaan legislatif dan eksekutif disatukan pada or-ang yang sama, atau dalam satu lembaga kehakiman, tidakmungkin ada kebebasan; karena bisa terjadi penangkapan-penangkapan, kecuali kalau raja yang sama atau senatmemberlakukan hukum sewenang-wenang, serta menjalankansecara lalim. Demikian pula, tidak ada kebebasan bilamanakekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatifdan eksekutif. Seandainya kekuasaan yudikatif digabungkandengan kekuasaan legislatif, kehidupan dan kebebasan warganegara akan berada dalam pengawasan sewenang –wenang ;karena kalau demikian hakim sekaligus merupakan legislatoratau pembuat hukum. Jikakekuasaan kehakiman itudigabungkan dengan kekuasaan pelaksana hukum, hakim dapatsaja bertindak dengan kekerasan dan penindasan).36

Beranjak dari apa yang dijelaskan oleh Montesquieu, apabilakekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif,maka kehidupan dan kemerdekaan seseorang akan beradadalam suatu kendali yang dilakukan dengan sewenang-wenang.Dilain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengankekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalubertindak sewenang-wenang dan memihak. Jadi ditinjau dariajaran pemisahan kekuasaan, kekuasaan kehakiman yangmerdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjaminkebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.

Mengenai hal ini, lebih lanjut Bagir Manan menguraikanbahwa meskipun dalam perkembangan, ajaran pemisahankekuasaan mendapat berbagai modifikasi melalui berbagaiajaran seperti ajaran pembagian kekuasaan (distribution of pow-ers) menekankan pada pembagian fungsi dan bukan pada or-gan, dan ajaran “checks and balances” yang menekankan mengenaipenting adanya hubungan saling mengendalikan antara berbagaicabang penyelenggara negara, tetapi asas kekuasaan kehakimanyang merdeka tetap dipertahankan. Modifikasi ajaran pemisahankekuasaan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan esensi

36J.R. Sunaryo. Loc. Cit.

Page 31: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

25

tujuan ajaran tersebut. Prinsip kekuasaan kehakiman yangmerdeka tetap dipandang sebagai suatu pilar untuk mencegahpenyelenggaraan negara atau pemerintahan secara sewenang-wenang dan menjamin kebebasan anggota masyarakat negara.Bahkan dalam negara-negara yang bersistem parlementer-dimana terdapat fusi antara fungsi eksekutif dan legislatif-kekuasaan kehakiman tetap berdiri sendiri terpisah darikekuasaan legislatif dan eksekutif. Pemisahan ini telah pula diisidengan dimensi-dimensi lain yang berkaitan dengan upayamencegah tindakan pemerintah yang sewenang-wenang danmenjamin kebebasan sebagaimana yang dikehendakiMontesquieu.37

Senada dengan pendapat sebelumnya, Roberto mangabeiraUnger mengemukakan bahwa kekuasaan pemerintahan harusdipisahkan dengan kekuasaan peradilan agar terjaminpersamaan dan demikian halnya jaminan atas kesetaraan hanyatercipta dengan pembedaan kekuasaan peradilan dengankekuasaan pemerintah. Dengan demikian sistem hukumdiharapkan dapat menjadi penyeimbang bagi organisasi sosial.38

Menurut Hamilton, kekuasaan kehakiman yang merdekasangat esensial dalam kaitan dengan pembatasan-pembatasanyang diatur dalam konstitusi. Hanya kekuasaan kehakiman yangmerdeka yang dapat mencegah pelanggaran atas pembatasantersebut, yaitu dengan cara menyatakan batal demi hukumsemua peraturan yang bertentangan dengan UUD. Tanpa adanyakewenangan ini, maka berbagai hak yang dijamin atau hendakdilindungi berdasarkan konstitusi menjadi tidak berarti. Karenapembatasan yang diatur dalam UUD tersebut dipertahankandengan cara memberi kewenangan kepada kekuasaankehakiman untuk menyatakan batal peraturan yangbertentangan dengan UUD, maka pandangan Hamilton dapatpula dilihat dari sudut ajaran tentang hak menguji secarayustisial.

37Bagir Manan. Op. Cit. Hal. 838 Roberto Mangabeira Unger. 1976. Law in Modem Society : Toward a Criticism of

Social Theory. Macmillan Publishing Co. inc. p.54

Pendahuluan

Page 32: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

26

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

M. Scheltema menyebutkan bahwa setiap negaraberdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama yaituasas kepastian hukum (hetrechtszekerheidsbeginsel), asaspersamaan (het gelijkheidsbeginsel), asas demokrasi (hetdemocratischebeginsel), dan asas bahwa pemerintah dibentukuntuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat (het beginselvan de dienendeoverheid, government for the people). Asas kepatianhukum haruslah memenuhi berbagai persyaratan yaitu adanyakekuasaan kehakiman yang merdeka (de eis van onafhankelijkerechtspraak). Dalam hubungan dengan kekuasaan kehakimanyang merdeka ditegaskannya bahwa penyelesaian sengketahukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdekamerupakan dasar bagi perfungsinya sistem hukum yang baik.Keterkaitan kekuasaan kehakiman yang merdeka denganpenyelenggaraan pemerintahan telah menimbulkan fungsikontrol kekuasaan kehakiman terhadap penyelenggaraanpemerintahan. Fungsi kontrol ini berupa kewenangankekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menilai keabsahansecara hukum (rechtmatigheid) tindakan atau perbuatanpenyelenggaraan pemerintahan.

Secara lebih rinci Bagir Manan menjelaskan bahwakekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung beberapapilar dan tujuan dasar sebagai berikut :

Pertama, sebagai badan dari sistem pemisahan ataupembagian kekuasaan di antara badan-badan penyelenggaranegara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untukmenjamin dan melindungi kebebasan individu.

Kedua, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukanuntuk mencegah penyelenggara pemerintahan bertindak taksemena-mena dan menindas.

Ketiga, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukanuntuk dapat menilai keabsahan secara hukum tindakanpemerintahan atau suatu peraturan perundang-undangan,sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakkan denganbaik.

Page 33: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

27

Keempat, kekuasaan kehakiman yang merdeka hanya akanberkembang dalam negara yang demokratis dan egaliter(persamaan). Tanpa demokrasi dan persamaan, kekuasaankehakiman akan lumpuh, dan menjadi instrumen kekuasaanbelaka. 39

Pemisahan kekuasaan sesuai dengan Trias Politika jugaberpengaruh pada struktur ketatanegaraan yang berasal dariUUD 1945, namun Indonesia tidak sepenuhnya menganut teoritersebut dalam arti pemisahan kekuasaan. UUD 1945 tidakmenganut pemisahan kekuasaan dalam arti material, yang adadan dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan adalahpemisahan kekuasaan dalam arti formal. Hal ini dikarenakanpembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas. Dengandemikian maka Indonesia menganut sistem pembagiankekuasaan dan tidak menekankan pada pemisahan kekuasaan.Indikasi bawa teori Trias Politika tidak dianut dalam UUD 1945adalah:1. UUD 1945 tidak membatasi secara tajam, bahwa setiap

kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organ/badantertentu yang tidak boleh saling campur tangan;

2. UUD 1945 tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas tigabagian saja dan juga tidak membatasi pembagian kekuasaandilakukan oleh tiga organ/badan saja;

3. UUD 1945 tidak membagi habis kekuasaan rakyat yangdilakukan oleh MPR, Pasal 1 ayat (2) kepada lembaga-lembaganegara lainnya.40

Menurut Samsul Wahidin, ajaran Trias Politika yangdicetuskan oleh Montesquieu mengandung beberapa hal, yaitu:1. Trias Politika yang dicetuskan oleh Montesquieu adalah

sebuah pemikiran tentang pemisahan kekuasaan, baik tugasmaupun fungsi serta alat perlengkapannya. Pemisahandigariskan secara tegas sebagai penerapan dari pemikirannya

39Bagir Manan, Op.Cit, Hal. 10.40Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Op. Cit. Hal. 181.

Pendahuluan

Page 34: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

28

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

itu sendiri. Dengan tanpa memperlihatkan perkembanganselanjutnya nampak bahwa nilai dari Trias Politika adalahpemisahan kekuasaan, tidak dapat diartikan secara luas.

2. Trias Politika menggariskan pemisahan kekuasaan hanya atastiga fungsi. Sedangkan UUD 1945 setidaknya menggariskanada enam fungsi yang masing-masing didasarkan atasundang-undang sendiri, sederajat (vide Tap No. XX/MPRS/1966 pada skema pembagian kekuasaan). Disebutkan dalamskema tersebut kekuasaan dalam negara Republik Indonesiaialah MPR, DPR, Presiden (dan Wapres dibantu MenteriNegara), DPA, Bapeka dan MA.

3. Bahwa kekuasaan yang digariskan oleh Trias Politika ituadalah pemisahan kekuasaan tanpa adanya salingberhubungan antara yang satu dengan lainnya dari tigakekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif.Dihubungkan dengan UUD 1945 akan ada kesulitan untukmendefinisikan siapa lembaga legislatif. Sebab melihat kepadafungsi legislatif adalah membuat undang-undang, namun disana ada pemerintah yang justru lebih dominan dalam halpembuatan undang-undang. Secara yuridis memerlukankerjasama. Demikian pula dalam hal kekuasaan yudikatifternyata ada pengaruh dari Presiden dalam hal pemberiangrasi, amnesti, abolisi serta rehabilitasi.41

Senada dengan hal ini, Mahfud MD menguraikan bahwadi Indonesia yang berdasarkan UUD 1945, tidaklah menganutpaham Trias Politika, karena poros kekuasaan yang ditentukanoleh UUD 1945 tidaklah diletakkan pada posisi yang terpisahsecara mutlak melainkan dijalin oleh satu hubungan kerja samafungsional.42 Meminjam teori Jennings, Ismail Sunnymenjelaskan bahwa pada umumnya pemisahan kekuasaandalam arti material tidak terdapat dan bahkan tidak pernah

41Samsul Wahidin. 2002. Pemikiran Montesquieu tentang Pemisahan Kekuasaan danPengaruhnya Terhadap Ketatanegaraan RI. Banjarmasin : Makalah Program MagisterIlmu Hukum Universitas Lambung Mangkurat. Hal. 8-10.

42Moh. Mahfud MD. Op.Cit. Hal. 274.

Page 35: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

29

dilaksanakan. Atau dengan perkataan lain, di Indonesia terdapatpembagian kekuasaan dengan tidak menekankan kepadapemisahannya.43 Namun pelembagaan berbagai kekuasaannegara menunjukkan dengan tegas adanya pengaruh ajaran Triaspolitika. Hal ini, minimal bisa dilihat dari adanya kekuasaan-kekuasaan yang dibangun dalam Trias Politika yaitu legislatif,eksekutif dan yudikatif. Prinsip Trias Politika yang juga dianutUUD 1945 adalah adanya kekuasaan kehakiman yang bebas dantidak memihak sebagai ciri dan syarat tegaknya negara hukum.Penganutan prinsip ini tertuang dalam ketentuan Pasal 24 UUD1945. Oleh sebab itu, pembinaan badan peradilan diletakkan dibawah satu atap Mahkamah Agung tetap relevan danmerupakan salah satu agenda politik hukum yang strategisdalam upaya membangun kekuasaan kehakiman yang bebasmerdeka.44

Penerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia tidakterlepas dari konsep Lawrence Meir Friedman tentang tiga unsursistem hukum.45 Ketiga unsur sistem hukum tersebut yangdikenal teori sistem hukum adalah : legal structure, legal subtancedan legal culture. Persoalan besar yang harus diperdalam tentangpenerapan sistem peradilan satu atap di Indonesia adalahefektivitas dalam penerapan ketiga unsur sistem hukum tersebut,sehingga kekuasaan lembaga peradilan yang independen dapatdiwujudkan.

Ketentuan kekuasaan kehakiman yang merdeka ini ternyataterdapat pula didalam The Universal Declaration of Human Rightspada Pasal 10 yang berbunyi :

Every one entitled in full equality to a fair and public hearing byin independent and impartial tribunal in the determination of hisrightsand obligations and of any criminal charge against him. (Setiap or-ang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan

43Ismail Sunny. 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta : Aksara Baru. Hal. 6-7.44Moh. Mahfud MD. Op.Cit. Hal. 274-275,282.45 Lawrence Meir Friedman, American Law : an Introduction, second edition, New

York : WW.Nothron & Company, 1998. Hal. 14-20

Pendahuluan

Page 36: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

30

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yangmerdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hakdan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yangditujukan kepadanya).46

Guna terwujudnya independensi kekuasaan kehakimansecara universal, Konsorsium Reformasi Hukum NasionalLembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan,menyebutkan ada beberapa instrumen hukum internasionalyang menyebutkan tentang pentingnya independensi kekuasaankehakiman. Instrumen-instrumen tersebut antara lain :1. Universal Declaration of Human Rights, article 10, yang

menyatakan “Setiap orang, dalam persamaan yang penuh,berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilanyang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dankewajiban-kewajibannya, serta dalam setiap tuntutan pidanayang dijatuhkan kepadanya”.

2. International Covenant on Civil an Political Rights (ICCPR) ar-ticle 14 menyatakan bahwa setiap orang berhak ataspengadilan formal yang kompeten, independen dan tidakmemihak;

3. Vienna Declaration and Programme for Action 1993, paragraph27, menyatakan bahwa salah satu hal penting dalammewujudkan hak-hak asasi manusia dan sangat diperlukandalam proses demokratisasi serta pembangunan yangberkelanjutan adalah adanya hakim dan profesi hukum yangindependen dan sesuai dengan standar yang ada dalaminstrumen internasional hak-hak asasi manusia;

4. International Bar A Association Code of Minimum Standartsof Judicial Independence, New Delhi 1982;

5. Universal Declaration on the Independence of Juctice, Montreal1983; dan

46Bambang Waluyo. 1992. Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.Jakarta : Sinar Grafika. Hal. 5.

Page 37: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

31

6. Beijing Statement of Principles of the Independence of Judi-ciary in the Law Asia Region, 1995.47

Terwujudnya kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indo-nesia sangat membutuhkan kemauan politik karena buruknyapelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia selama ini,membutuhkan pembenahan struktural dari penyelenggaranegara untuk dapat memperbaikinya. Oleh karen itu, kesadaranuntuk memandirikan kekuasaan kehakiman melalui sistem satuatap Mahkamah Agung, patutlah dihargai. Proses restrukturisasilembaga-lembaga peradilan di Indonesia, memerlukan kepastianwaktu dari segi pengalihan organisasi, administrasi danfinansialnya, oleh karena itu lahirnya Undang-Undang Nomor4 tahun 2004 salah satunya adalah mengatur pula ketentuanperalihan ini.

47Konsorsium Reformasi Hukum Nasional Lembaga Kajian dan Advokasi untukIndependesi Peradilan. 1999. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Jakarta : ICEL.Hal. 3.

Pendahuluan

Page 38: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

32

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 39: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

33

BAB IIMAKNA KEKUASAAN KEHAKIMAN

YANG MERDEKA DALAM PERSPEKTIFPENEGAKAN HUKUM

DI INDONESIA

48Romli Atmasasmita. 2001. Reformasi Hukum Hak Asasi Manusia & PenegakanHukum. Bandung : Mandar Maju. Hal. 3

A. Makna Kekuasaan Kehakiman yang MerdekaKeinginan untuk mengkaji lebih mendalam tentang

persoalan kekuasaan kehakiman yang merdeka, haruslahdiawali dengan pemahaman terhadap makna hakiki darikekuasaan kehakiman yang merdeka itu sendiri. Menciptakankekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka, dan mandirimerupakan cita-cita universal sebagaimana telah ditegaskandalam “Basic Principles on the independence of Judiciary” (1985),yang telah merupakan salah satu keputusan kongres PBB ke 7,tentang The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,Milan, yang diajukan oleh Majelis Umum PBB (Resolusi 40/32tanggal 29 November 1985 dan 40/146 tanggal 13 Desember1985).

Resolusi tersebut memberikan pemaknaan yang tegasterhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka. Kekuasaankehakiman yang merdeka, bebas dan mandiri adalah suatuproses peradilan yang bebas dari setiap pembatasan-pembatasan, pengaruh-pengaruh yang tidak proporsional,hasutan-hasutan, tekanan-tekanan, ancaman-ancaman ataucampur tangan secara langsung ataupun tidak langsung darisetiap sudut kemasyarakatan atau dengan alasan apapun.48

Page 40: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

34

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Di dalam resolusi PBB tersebut juga dimasukkan ketentuantentang kebebasan menyampaikan pendapat dan berkumpul,kualifikasi, seleksi dan pelatihan, persyaratan pelayanan dan gaji,rahasia profesi, dan kekebalan , disiplin penangguhan sertapemutasian.

Secara spesifik “Independence Judiaciary” dalam makna yangluas meliputi hal-hal sebagai berikut :(1)Pengadilan memiliki yurisdiksi yang tidak terbatas terhadap

seluruh isu-isu yang menyangkut peradilan dan harusmemiliki wewenang untuk menetapkan apakah isu –isu yangdihadapkan adalah dalam lingkup wewenangnyasebagaimana diperintahkan dalam undang-undang;

(2)Pengadilan harus menjamin bahwa proses peradilandilaksanakan secara jujur dan hak-hak para pihak (yangberperkara) dihormati dan dilindungi;

(3)Perlindungan hak asasi manusia para hakim dalammelaksanakan tugasnya terutama menghadapi setiaptuduhan-tuduhan dalam rangka melaksanakan tugasnya;

(4)Persoalan rekrutmen, seleksi, mutasi, pelatihan dan promosihakim;

(5)Penegakan disiplin para hakim dan penggajian.Menurut Romli Atmasasmita, bertitik tolak dari substansi

resolusi tersebut di atas nampak bahwa PBB tidak melihat makna“independence Judiaciary” sebagai masalah yang berdiri sendiridan terlepas dari pengaruh-pengaruh faktor man, money danmaterials, sehingga dapat dikatakan bahwa cita-cita “IndependenceJudiciary” harus didukung oleh ketiga faktor tersebut. Dukunganketiga faktor ini tidak berarti dan tidak mutatis mutandismenunjukkan ada pengaruh eksekutif terhadap yudikatif, olehkarena di dalam menjalankan roda kekuasaan kehakiman ituterdapat pemisahan yang tegas antara kekuasaan administratifdalam arti luas (court administration) sebagaimana telahdisebutkan di atas dan kekuasaan kehakiman (dalam arti sempit)yudisial.49

49Ibid. Hal. 3-4.

Page 41: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

35

Penggalian makna kemerdekaan kekuasaan kehakimandalam konteks ketatanegaraan di Indonesia, harus bertitik tolakdan bertumpu pada konstitusi seperti dikemukakan dalam Pasal24 UUD 1945 yaitu :(1)Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkanhukum dan keadilan.

(2)Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MahkamahAgung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalamlingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahanegara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

(3)Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengankekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang.

Kosa kata “kekuasaan kehakiman” dalam konstitusimerupakan terjemahan dari istilah Belanda yang biasa disebut“rechterlijke macht”. Kata dimaksud mengacu pada teoriMontesquieu mengenai pemisahan kekuasaan atau “separationof power”. Maksud istilah “kekuasaan” dapat diartikan sebagai“orgaan” (badan) atau juga berarti “functie” (tugas). Jika demikianpenggunaan istilah “sebuah Mahkamah Agung” haruslahdiartikan bahwa UUD hanya mengakui satu badan atau lembagaMA saja. Sedangkan kosa kata istilah “badan peradilan” dalamarti umum disebut sebagai “genus begrip”. Jadi dengan begitu“Mahkamah Agung” dimaknai dalam arti khusus yaitu sebagai“species begrip”.

Dalam konteks ajaran Montesquieu, kekuasaan tidak hanyaberbeda tapi juga merupakan suatu institusi yang harus terpisahsatu dan lainnya didalam melaksanakan kewenangannya(maksudnya satu organ satu fungsi). Biasa juga dikemukakansebagai “communis opinio doctrum”, dimana kekuasaankehakiman adalah satu kekuasaan yang harus benar-benarterbebas dari pengaruh kekuasaan yang lainnya. Dalam Consti-tutional Rule biasa dikemukakan atau disebutkan sebagai “theindependence of judiciary”.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 42: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

36

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Teori Montesquieu jika diletakkan dengan ajaran atau fahamkonstitusionalisme, maka hakim harus mempunyai kewenanganuntuk mengkonstetasi dan membatalkan setiap peraturan,kebijakan dan tindakan presiden serta setiap perundang-undangan yang bertentangan dan melanggar konstitusi. Dalamposisi dan titik ini Hakim Kasasi dapat bertindak untuk dan atasnama serta sebagai “interpreter of the constitution”. Disampinghal ini, penegakan peran profesional hakim dilakukan denganmembebaskannya dari pengaruh extra judicial sertamembebaskannya dari kekuasaan apapun. Kehendak yang bebasatau “freedom and independency judiciary” inilah yang harusterwujud dan diwujudkan secara konkrit.50

Pada kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia,kesadaran akan krusialnya keberadaan kekuasaan kehakimanyang mandiri dalam setiap negara hukum modern melahirkanbeberapa instrumen hukum. Instrumen hukum ini dibuat untukmendesakkan terwujudnya pemahaman secara konkrit terhadapmakna kekuasaan kehakiman yang merdeka secara universal.

Amandemen UUD 1945 yang dilakukan, tidak lagimenempatkan makna kekuasaan kehakiman yang merdekadalam bagian penjelasan, melainkan telah diletakkan padabagian isi dari Pasal 24 UUD 1945. Sebagai tindak lanjut dariketentuan ini dan sebagai upaya menampakkan wujudpemaknaan tentang independensi kekuasaan kehakiman di In-donesia, yang sebelumnya masih terkondisi dan terkendalaberdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-UndangNomor 14 Tahun 1970, yang meletakkan lembaga yudikatifsebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman tampak berperanmarjinal bahkan tersubordinasi oleh kekuasaan eksekutif.Pensubordinasian kekuasaan kehakiman selama ini olehkekuasaan eksekutif terjadi karena format politik otoritarian baikpada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, yang tidakmenghendaki manifestasi independensi peradilan, yang pada

50Possition Paper KRHN & LeIP. Op. Cit. Hal. ix-xiii.

Page 43: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

37

akhirnya akan bermuara pada upaya keseimbangan kekuasaandiantara cabang kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif.Akhirnya penempatan urusan administrasi peradilan di bawahDepartemen merupakan replika upaya pengkaburan maknakekuasaan kehakiman yang merdeka. Oleh karena itu, melaluituangan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004tentang Kekuasan Kehakiman, mulai dilakukan perubahansecara komprehensif.

Pemaknaan yang tegas terhadap kekuasaan kehakiman yangmerdeka juga dimuat dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4Tahun 2004 yaitu bahwa “ Kekuasaan kehakiman adalahkekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakanperadilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkanPancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik In-donesia”. Penjelasan Pasal ini menyatakan bahwa:

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam ketentuan inimengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebasdari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifattidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakanhukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehinggaputusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang baruyaitu Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, dalam Pasal 1 dan 3Ayat (2) beserta penjelasannya, makna kekuasaan kehakimanyang merdeka sebagaimana termuat dalam Pasal di atas, masihdipertahankan dengan menambahkan bahwa penegakan hukumdan keadilan tidak hanya berdasarkan Pancasila namun jugaberdasarkan UUD 1945.

Apabila jeli disimak ketentuan tersebut di atas, selainmengembalikan asas kekuasaan kehakiman yang merdekasekaligus menjelaskan pula kandungan pengertian kekuasaankehakiman yang merdeka, yakni :

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 44: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

38

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Pertama, kekuasaan kehakiman yang merdeka adalahkebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasanmenyelenggarakan fungsi yustisial. Kebebasan ini mencakupkebebasan memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara.Bagir Manan51 mendesripsikan bahwa hal-hal di luar fungsiperadilan (fungsi non yustisial) tidak termasuk kandunganpengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka. Namundemikian, tidak pula serta merta berarti bahwa fungsi nonyustisial dapat dicampuri secara tanpa batas. Fungsi-fungsi nonyustisial yang bertalian erat dengan perwujudan kebebasanfungsi yustisial harus selalu mendapat perhatian yang seksama.Tata cara pengaturan atau campur tangan terhadap fungsi nonyustisial tanpa memperhatikan fungsi yustisial dapatmengurangi atau memudarkan kebebasan fungsi yustisial.Pengangkatan hakim untuk masa jabatan seumur hidup,meskipun sebagai suatu yang non yustisial dipandangmempunyai pengaruh terhadap kebebasan fungsi yustisial.

Kedua, kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandungmakna larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial mencampuriproses penyelenggaraan peradilan. Karena larangan itu hanyaberlaku pada kekuasaan ektra yustisial, maka kekuasaankehakiman tertentu dimungkinkan mencampuri pelaksanaanfungsi peradilan kekuasaan kehakiman lainnya. KewenanganPengadilan Tinggi untuk memeriksa perkara banding,wewenang Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksanaantingkat kasasi merupakan campur tangan atas putusan yangtelah diambil oleh suatu kekuasaan kehakiman yang lebih rendahtingkatannya. Meskipun secara umum ditentukan mengenailarangan campur tangan dari kekuasaan ekstra yustisial, hal initidak bersifat mutlak. Campur tangan dimungkinkan sepanjangdiizinkan oleh Undang-Undang Dasar. Yang dimaksud diizinkanoleh Undang-Undang Dasar adalah pemberian hak khususkepada Presiden untuk memberikan Grasi misalnya. Lebih lanjut

51Bagir Manan. Op. Cit. Hal. 12

Page 45: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

39

Bagir Manan mengemukakan bahwa perlu pula diperhatikantentang kemungkinan campur tangan dari kekuasaan ekstrayustisial, selain harus diatur secara pasti (spesifik) juga hanyadapat diatur dalam Undang-Undang Dasar. Peraturanperundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar tidakdapat “menciptakan” hak khusus atau kewenangan semacamitu. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa semua kewenanganasli (original power) badan penyelenggara negara bersifatkonstitusional, karena itu hanya dapat diatur dalam Undang-Undang Dasar. Pemberian kekuasaan atau wewenang di luarUndang-Undang Dasar hanya bersifat derivatif, yaitu hanyadalam rangka menyelenggarakan kewenangan aslinya.

Ketiga, kekuasaan kehakiman yang merdeka diadakandalam rangka terselenggaranya negara berdasarkan atas hukum(de rechtsstaat). Dengan penegasan ini maka kekuasaankehakiman dimungkinkan untuk melakukan pengawasanyustisial (rechttelijke control) terhadap tindakan badanpenyelenggara negara atau penyelenggara pemerintahanlainnya. Pengawasan ini sekaligus bertalian dengan pahamkonstitusionalisme yang dianut oleh Undang-Undang Dasar1945. Prinsip ini telah menjelmakan kewenangan badanperadilan untuk menguji peraturan perundangan-undanganatau ketetapan yang dikeluarkan Pemerintah.52

Dengan demikian, dapatlah dikonsepsikan bahwakekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan negarayang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan gunamenegakan hukum dan keadilan. Sifat merdeka yang melekatpada kekuasaan kehakiman berarti bahwa baik secara fungsionaldan struktural, haruslah bebas dari pengaruh, paksaan,rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial, kecualidalam hal-hal yang telah diizinkan oleh UUD 1945. Hal inidikarenakan kekuasaan kehakiman adalah pemegang danpelaksana kedaulatan hukum yang dalam tugas dan fungsinya

52Ibid. Hal. 13.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 46: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

40

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

bertanggung jawab kepada hukum, kebenaran, keadilan dankepastian hukum menurut UUD 1945 dan Pancasila, sesuaidengan keyakinan dan nurani hukum “demi keadilanberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sehingga dalamnegara hukum Indonesia, kedudukan kekuasaan kehakimanadalah tetap merupakan kekuasaan negara yang merdeka dantidak tunduk kepada kekuasaan negara yang lain.

Pemaknaan kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut,jika dikontekskan dengan paparan Yahya Harahap yang dikajidari tulisannya berjudul “Beberapa Tinjauan Mengenai SistemPeradilan dan Penyelesaian Sengketa”, maka terdapat term yangsama yaitu bahwa tuntutan pokok dari “the independence of thejudiciary” selain dari benar-benar menegakkan peradilan yang“imparsial” (impartiality), dalam arti bebas sepenuhnya daripengaruh-pengaruh pihak yang berperkara, juga harus bebasdari pengaruh dan genggaman eksekutif atau “independence fromthe executive power”. Pengadilan dimaksudkan disini sebagaikekuasaan kehakiman, harus merdeka dari kekuasaan eksekutif.Tujuan utama kebebasan dari pengaruh dan kekuasaaneksekutif, mempunyai dua sasaran pokok yaitu pertama, untukmenjamin terlaksana peradilan yang jujur dan adil (to ensures afair and just trial). Kedua, agar peradilan mampu berperanmengawasi semua tindakan pemerintahan (to enable the judges toexersice control over government action).53

Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) danLembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan(LeIP) mengemukakan terminologi dari kata Independensikekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kemandirian ataukemerdekaan, dalam arti adanya kebebasan penuh dan tidakadanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman. Possition Pa-per ini sendiri mengartikan independensi kekuasaan kehakimanmenjadi tiga hal, yaitu : pertama, bebas dari campur tangan

53Yahya Harahap. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan danPenyelesaian Sengketa. Bandung : Citra Aditya Bakti. Hal. 5.

Page 47: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

41

kekuasaan apapun. Kedua, bersih dan berintegritas. Ketiga,profesional. Oleh karena itu pembahasan yang dilakukan olehKRHN & LeIP tidak hanya terbatas pada kemerdekaankekuasaan kehakiman dalam makna yang sempit, melainkandalam arti mandiri, bersih dan profesional.54

B. Restrukturisasi Badan-badan Peradilan danPenyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yangMerdeka Di IndonesiaPembahasan tentang adanya kekuasaan kehakiman yang

merdeka tidak dapat dilepaskan dari ide negara hukum. Sebab,gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengangagasan negara demokrasi dan negara hukum. Keduanya sama-sama menekankan pada pentingnya pembatasan kekuasaannegara. Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruhkekuasaan di dalam negara haruslah dipisah dan dibagi ke dalamkekuasaan yang mengenai bidang tertentu. Salah satu ciri danprinsip pokok dari negara demokrasi dan negara hukum adalahadanya lembaga peradilan yang bebas dari kekuasaan lain dantidak memihak.55

Berdasarkan analisis historis dari penerapan konstitusi diIndonesia, jaminan dan kepastian akan hakekat kemerdekaankekuasaan kehakiman, ternyata sangat tergantung denganpenerapan dan pelaksanaan sistem politik yang mengitarinya.Pengalaman historis dalam kehidupan ketatanegaraan kita,terutama di bawah rezim Demokrasi Terpimpin Orde Lama dandi bawah rezim Demokrasi Pancasila Orde Baru,memperlihatkan betapa kekuasaan kehakiman telah didudukansebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan negara. Denganposisi tersebut maka fungsi yang dijalan semata-matamelaksanakan dan mengamankan program-program politik

54Possition Paper KRHN & LeIP. Op. Cit. Hal. 1155Moh. Mahfud. MD. Op.Cit. Hal. 289-292.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 48: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

42

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

yang ditetapkan pemerintah. Padahal fungsi primer darikekuasaan kehakiman menurut UUD adalah mewujudkan cita-cita kemerdekaan negara Republik Indonesia yakni terwujudnyamasyarakat adil dan makmur melalui jalur hukum.56

Terjadinya kondisi di atas, tidaklah terlepas dari sifat execu-tive heavy yang dianut UUD 1945 dalam hal pembagiankekuasaan terhadap lembaga-lembaga negara.57 Dengan sifat itukekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang lebih besardibandingkan dengan kekuasaan negara lainnya. Sifat executiveheavy tersebut memberi peluang yang besar bagipenyalahgunaan kewenangan oleh eksekutif. Kekhawatiranpenyalahgunaan wewenang akibat kurang tegasnya jaminanindependensi kekuasaan kehakiman dan sifat executive heavyterbukti jelas terlihat dalam beberapa kasus dimana lembagaeksekutif melakukan intervensi terhadap kekuasaan kehakiman.Memang bahwa terjadinya intervensi-intervensi tersebut sangatdipengaruhi oleh konfigurasi politik yang ada pada masa OrdeLama dan Orde Baru itu.58 Namun kurang tegasnya jaminanindependensi kekuasaan kehakiman dalam UUD 1945 dan sifatexecutive heavy UUD 1945 memberi peluang bagi legitimasiintervensi tersebut. Kondisi ini kemudian turut mempengaruhiperaturan operasional yang mengatur relasi antara lembagaeksekutif dengan yudikatif. Lahirnya Undang-Undang No. 14Tahun 1970 justru kemudian menempatkan dualisme kekuasaankehakiman.59

Yahya Harahap menjelaskan bahwa adanya Pasal 11Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 telah “mereduksi”kemandirian badan peradilan tingkat pertama dan tingkat band-ing. Reduksi ini dipertegas lagi dalam Pasal 5 (2) Undang-Undang No. 2 Tahun 1986, yang memberi kekuasaan dan

56Ipossition Paper KRHN & LeIP. Op.Cit. Hal. 18-1957Mahfud MD. 2000. Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia ( Studi tentang Interaksi

Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan). Jakarta : Rineka Cipta. Hal. 147.58Lihat pengaruh konfigurasi politik pada produk hukum dalam Moh. Mahfud

MD. Op. Cit. Hal. 28.59Possition Paper KRHN & LeIP. Op.Cit. Hal. 33-34.

Page 49: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

43

wewenang kepada Departemen Kehakiman untuk membina danmengawasi organisasi, administrasi, personil dan finansialPengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Pasal 7 (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986, memberi kekuasaan dan wewenangkepada Menteri Kehakiman melakukan pembinaan danpengawasan organisasi, administrasi, personil dan keuanganPTUN dan PTTUN. Pasal 5 (2) Undang-Undang No. 7 Tahun1989, memberi hak dan wewenang kepada Departemen Agama,membina dan mengawasi organisasi, administrasi, personil dankeuangan PA dan PTA.

Suasana yang demikian telah melahirkan sistem dualistikterhadap badan-badan peradilan. Sistem dualistik ini membuatkekuasaan kehakiman terpecah belah dalam dua posisi yaitusetengah kedudukan dan keberadaan peradilan tingkat pertamadan tingkat banding meliputi organisasi, administrasi, personildan keuangan digenggam dan dikendalikan departemen yangbersangkutan. Hanya pembinaan dan pengawasan yurisdiksisubstantif yang dipegang dan dikendalikan Mahkamah Agung.Menurut Daniel S. Lev, sebagaimana dikutip oleh Yahya Harahapbahwa ditinjau dari segi pendekatan sejarah politik hukum diIndonesia, keberadaan sistem dualisme yang menempatkankedudukan peradilan terbelah diantara dua kekuasaan,merupakan doktrin dan tradisi hukum yang ditumpuk olehBelanda di Indonesia. Jadi, selain sistem dualistik bertentangandengan ketentuan Pasal 24 UUD 1945, sistem dualismepembinaan dan pengawasan yang dipancangkan dalam Pasal11 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, merupakan warisan yangdiambil secara gegabah dari doktrin dan tradisi sistem hukumkolonial. Padahal tujuan utama melahirkan Undang-Undang No.14 Tahun 1970 di awal Orde Baru selain menyingkirkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 Pasal 19, juga bertujuan untukmentransformasi nilai dan sistem yang benar-benar sesuaidengan tuntutan konstitusi. Tetapi ironisnya, malah Pasal 11mentransformasikan doktrin dan tradisi warisan kolonial.

Adanya dua badan yang mempunyai kewenanganmelakukan pembinaan dan pengawasan dianggap menjadipenghalang dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 50: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

44

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

merdeka selama ini. Bahkan Oemar Seno Adji sebagai arsitekUndang-Undang No. 14 Tahun 1970 pun pada saat menjabatmenjadi Ketua MA merasa janggal dengan sistem dualismetersebut.60

Dalam konteks kekinian, era reformasi sepertinyamemberikan angin segar bagi upaya mewujudkan kekuasaankehakiman yang merdeka. Menyadari kondisi yang selama inidialami dan menjadi catatan kelam sejarah, berbagai kajian dandiskursus yang terjadi sampai saat ini telah mulai menampakkanhasil yang konkrit. Melalui TAP MPR NO. X/MPR/1998,diletakan kebijakan retsrukturisasi badan-badan peradilan.

Urgennya restrukturisasi dilakukan adalah dalam rangkamenghilangkan simbol departemen yang mampu mereduksikemandirian peradilan. Memang ada yang berpendapat,duduknya departemen melakukan pembinaan dan pengawasanadministrasi, personil dan keuangan terhadap peradilan tingkatpertama dan banding, tidak mengganggu dan mengurangiotonomi kebebasan dan kemerdekaan hakim melaksanakanfungsi peradilan. Namun Daniel S. Lev meragukannya. Diaberpendapat bahwa apapun pengaruh sehari-hari tanggungjawab Kementerian Kehakiman, pengaruh tersebut secarasimbolis penting sebagai peringatan akan terbatasnya secarakonseptual otonomi dan arah kesetiaan badan pengadilan.Meskipun yang dibina dan diawasi departemen hanya terbataspada bidang administrasi, personil dan finansial peradilan,kedudukan dan kewenangan departemen tersebut, langsungatau tidak langsung merupakan cap atau simbol departemenyang dilekatkan pada badan peradilan, cap atau simbol itulangsung akan mempengaruhi otonomi independensi yudisialsehingga mau atau tidak mau, diakui atau tidak diakui, baiksecara psikologis dan politis cap atau simbol selamanyamenuntut loyalitas. Jika demikian halnya, sulit untuk dibantahasumsi yang menyatakan simbol departemen yang melekat pada

60Yahya Harahap. Op.Cit. Hal. 253-255.

Page 51: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

45

badan peradilan meskipun hanya peradilan tingkat pertama dantingkat banding, telah mereduksi fungsi dan kewenanganperadilan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi hukum dankeadilan.61

Disamping itu, urgennya restrukturisasi terhadap badanperadilan dilakukan adalah dalam rangka menghilangkan sistemdualistik yang mampu mempersulit pembinaan dan pengawasanbadan-badan peradilan. Meskipun telah diatur secara deskriptifbatas-batas pembinaan dan pengawasan antara MahkamahAgung dengan departemen terkait, dalam kenyataan lapangan,sering terjadi benturan, bahkan penonjolan kekuasaan. Suatusaat Mahkamah Agung membuat rencana dan programpembinaan atau pelatihan. Pada saat itu pula datang panggilandari departemen menghadiri rapat kerja. Akibatnya sulitmembuat konsep pembinaan dan pengawasan yang berlanjutdan integratif. Sebab ada kemungkinan, pihak departemenmembuat juga program pembinaan dan pengawasan, sehinggabesar kemungkinan terjadi konsepsi tumpang tindih danpengawasan yang berlebihan.62

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh MahkamahAgung ditemukan ada empat permasalahan utama sistem duaatap yaitu adanya birokrasi/administrasi yang rumit,mengurangi independensi kehakiman, menghambat peranMahkamah Agung dalam melakukan pembinaan teknis sertadepartemen umumnya tidak memahami permasalahanperadilan.63 Dengan demikian, sebagai upaya mengatasimasalah-masalah ini, restrukturisasi terhadap badan- badanperadilan adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar lagi.

Berkaitan dengan tujuan menciptakan kekuasaankehakiman yang merdeka, adalah sebuah pembuktian akanadanya kemauan politik dari pemerintah era reformasi yaitu

61Ibid. Hal. 255-256.62Ibid.63Mahkamah Agung RI. 2003. Kertas Kerja Pembaharuan Sistem Pembinaan SDM

Hakim. Hal. 40

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 52: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

46

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

dengan diamandemennya UUD 1945 terutama menyangkutketentuan tentang kekuasaan kehakiman. Perubahan ketigaUUD 1945 telah mengubah ketentuan-ketentuan tentangkekuasaan kehakiman sebagaimana diatur Pasal 24 dan 25 UUDsebelum diadakan perubahan. Sebuah studi pernah berhasilmemetakan kondisi ideal yang dikehendaki untuk mewujudkansecara nyata kekuasaan kehakiman yang bebas, antara lain :1. Kekuasaan kehakiman, baik yang bersifat teknis maupun

adminitratif, termasuk pembinaan hakim, anggaran danfasilitas pengadilan, diselenggarakan sepenuhnya olehMahkamah Agung;

2. Hakim adalah pejabat negara dan hakim agung diangkatsemumur hidup, selama bertingkah laku baik, denganremunerasi dan fasilitas yang sepadan. Pemberianpenghargaan dan pengenaan sanksi dilakukan dengan tatacara khusus.64

Adanya jaminan dari UUD 1945 adalah agar prinsipkekuasaan kehakiman dapat diselenggarakan dengan baik diIndonesia. Jaminan dimaksud adalah dengan mempertegaspernyataan mengenai jaminan kemerdekaan kekuasaankehakiman, misalnya dengan menjadikan penjelasan Pasal 24 &25 menjadi bagian dari Pasal 24 UUD 1945. Kemudianmemberikan pembatasan agar tidak dibenarkan adanya bentuk-bentuk pengaturan lanjutan yang mereduksi independensikekuasaan kehakiman serta memberikan jaminan-jaminantertentu yang secara jelas mengatur mengenai kekuasaankehakiman yang merdeka. Disamping hal ini, perubahan secaramendasar terhadap sifat executif heavy dalam UUD 1945 jugamenjadi sesuatu yang urgen untuk dilaksanakan.

Berdasarkan perubahan ini, otomatis segala peraturan-peraturan perundangan di bawahnya yang selama ini mereduksikemerdekaan kekuasaan kehakiman tentu mengalami pula

64Muhammad Asrun. 2004. Krisis Peradilan : Mahkamah Agung di Bawah Soeharto .Jakarta : ELSAM. Hal. 230,

Page 53: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

47

perubahan. Hal ini bukanlah tanpa sebab, akan tetapi peraturanperundang-undangan di bawahnya yang mengatur mengenaikekuasaan kehakiman selalu mengacu pada ketentuan UUD.65

Pembentukan atau perubahan peraturan perundang-undangantersebut tentunya dilakukan dalam usaha memperkuat prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas daripengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakanperadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka diIndonesia, menurut Bagir Manan tak terlepas dari suatukesepakatan umum bahwa sistem UUD 1945 tidak menganutajaran pemisahan kekuasaan (machtenscheiding) sepertidikehendaki Montesquieu. Yang berlaku adalah sistempembagian kekuasaan (machtenverdeling). Dalam ajaranpembagian kekuasaan, kekuasaan kehakiman yang merdekatetap harus ditegakan baik sebagai asas dalam negaraberdasarkan atas hukum maupun untuk memungkinkankekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidakterlaksana secara sewenang-wenang dan menindas. Dengandemikian kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidaklagi ditentukan oleh stelsel pemisahan atau pembagiankekuasaan, tetapi sebagai suatu “conditio sine quanon” bagiterwujudnya negara berdasarkan atas hukum, terjaminnyakebebasan, serta pengendalian atas jalannya pemerintahannegara.66

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesiadiserahkan kepada badan-badan peradilan dengan ketentuandahulu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004tentang Kekuasaan Kehakiman, yang lahir sebagai konsekuensidari pelaksanaan TAP MPR NO. X /MPR/1998 dan AmandemenUUD 1945, sekarang diganti dengan Undang-Undang No. 48Tahun 2009, pada Pasal 18 Undang- Undang dimaksud

65Possition Paper KRHN & LeIP. Op.Cit. Hal. 29-3066Bagir Manan. Loc. Cit.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 54: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

48

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

menegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman dilakukan olehsebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama,peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, dan olehsebuah Mahkamah Konstitusi”.

Pengadilan pada keempat lingkungan peradilan di bawahMA itu memiliki cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing. Cakupan dan batasan pemberian kekuasaan untukmengadili (atributie van rechtmacht) itu, ditentukan oleh bidangyurisdiksi yang dilimpahkan Undang-Undang kepadanya.Berkenaan dengan hal itu, maka terdapat atribusi cakupan danbatasan kekuasaan masing-masing badan peradilan. Kekuasaanpengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum di bidangpidana umum, perdata adat, dan perdata Barat minus perkarapidana militer dan tindak pidana yang dilakukan oleh anggotaABRI. Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PeradilanAgama di bidang perdata di kalangan orang-orang yangberagama Islam, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.Kekuasaan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer dibidang pidana militer dan pidana umum yang dilakukan olehanggota ABRI. Kekuasaan pengadilan dalam lingkunganPeradilan Tata Usaha Negara di bidang sengketa tata usahanegara.

Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkunganterdiri atas kekuasaan relatif (relative competentie) dan kekuasaanmutlak (absolute competentie). Kekuasaan relatif berhubungandengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilantingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding. Artinya,cakupan dan batasan kekuasaan relatif pengadilan ialah meliputidaerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.67

Masing-masing lingkungan peradilan telah pula diaturdalam peraturan perundang-undangan, yang juga mengacukepada Undang-Undang kekuasaan kehakiman yang baru. Bagi

67Cik Hasan Bisri. Op.Cit. Hal. 203-204.

Page 55: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

49

lingkungan Peradilan Umum lahir Undang-Undang RepublikIndonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.Kemudian lahir Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentangperubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986tentang Peradilan Umum. Dalam lingkungan Peradilan TataUsaha Negara (PTUN) lahir Undang-Undang Nomor 9 Tahun2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun1986 tentan PTUN. Kemudian lahir pula Undang-Undang No.51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-UndangNomor 5 Tahun 1986 tentan PTUN.

Akan tetapi sangat disayangkan untuk lingkungan PeradilanAgama perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1989tentang Peradilan Agama baru dilaksanakan pada tahun 2006yaitu dengan lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006,sehingga implementasi prinsip-prinsip universal dari kekuasaankehakiman yang merdeka juga terasa berjalan lamban, jikadibandingkan dengan lingkungan peradilan di atas. PadahalUndang-Undang No. 7 Tahun 1989 sebelum perubahan, sudahtidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukummasyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut UUD 1945.Disamping itu perubahan perundang-undangan tersebuttentunya dilakukan tidak sekedar trend akan tetapi dalam usahamemperkuat prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman yangmerdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dankeadilan. Dengan demikian lambannya proses perubahan tentuakan pula mempengaruhi kinerja penyelenggaraan kekuasaankehakiman yang merdeka dalam lingkungan peradilan yangdimaksud.

Kemudian guna memperkuat prinsip dasar dalampenyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsipkemandirian peradilan dan prinsip kebebasan hakim dapatberjalan paralel dengan prinsip integritas dan akuntabilitashakim, maka lahir pula kemudian Undang-Undang No. 50 Tahun2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 7Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 56: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

50

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Disamping empat lingkungan peradilan sebagaimanadisebutkan di atas, terdapat pula salah satu penyelenggarakekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalamamandemen UUD 1945 yaitu Mahkamah Konstitusi. MahkamahKonstitusi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentangMahkamah Konstitusi adalah merupakan salah satu lembaganegara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdekauntuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukumdan keadilan. Hal ini berarti Mahkamah Konstitusi juga terikatpada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakimanyang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnyadalam menegakan hukum dan keadilan.

Mahkamah Konstitusi berdasarkan Pasal 24C ayat (1) danayat (2) UUD 1945, Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 29 Ayat (1) dan (2) sertaUndang-Undang RI Nomor 24 tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi berwenang untuk :(1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat

pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :a. menguji undang-undang terhadap UUD negara RI 1945;b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang

kewenangannya diberikan oleh UUD negara RI tahun 1945;c. memutus pembubaran partai politik;d. memutus perselisihan hasil pemilihan umum; dankewenangan lain yang diberikan oleh Undang-Undang.(2)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1),

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan ataspendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupapengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidaklagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau WakilPresiden.

Page 57: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

51

Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24tahun 2003 mengemukakan bahwa kewenangan konstitusionalMahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balancesyang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukansetara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraannegara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkahnyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antarlembaganegara.

Mahkamah Konstitusi juga memiliki susunan organisasi,administrasi dan finansial yang ketentuannya diatur dalam Pasal13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 bahwa“Ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansialMahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dankewenangan Mahkamah Konstitusi”. Ketentuan lebih lanjutmengenai hal ini diatur dalam Undang-Undang Republik Indo-nesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Disamping Mahkamah Konstitusi, penyelenggarakekuasaan kehakiman dilakukan pula oleh Mahkamah Agungdan sekaligus sebagai puncak dari empat lingkungan peradilanyang ada. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pasal 20 Ayat (1)Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 bahwa “MahkamahAgung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badanperadilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”

Membahas keberadaan Mahkamah Agung baik sebagaipenyelenggara kekuasaan kehakiman sekaligus sebagai puncakdari keempat lingkungan peradilan yang ada, kiranya terasaistimewa bila mengkaitkannya dengan hari jadinya pada tanggal18 Agustus 2004. Pada tahun ini ada beberapa hal mendasar yangterjadi dalam tubuh Mahkamah Agung. Secara de jure adanyaperaturan perundang-undangan baru yang makinmengukuhkan keberadaan Mahkamah Agung sebagaipemegang kekuasaan kehakiman yang merdeka, secara de factohal itu terwujud dengan diserahkan sepenuhnya semua lingkupperadilan, baik peradilan umum, PTUN, peradilan militermaupun peradilan agama kepada Mahkamah Agung.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 58: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

52

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Penyerahan dimaksud bukan hanya teknis yustisial tetapi jugadari segi organisatoris, administratif dan finansial.68

Roihan A. Rasyid menjelaskan, yang dimaksud denganorganisatoris, administratif dan finansial yang selama ini diurusoleh departemen misalnya tentang struktur organisasi daneselonisasi pada Pengadilan tingkat pertama dan tingkat band-ing, tentang tata kerjanya, tentang administrasinya secara umum(tidak termasuk administrasi Peradilan), tentang anggaran ru-tin dan anggaran pembangunan Pengadilan, tentang sarana danprasarana Pengadilan dan lain-lain semisal itu.69

Dalam Pasal 1 Kepres No. 21 tahun 2004 tentang PengalihanOrganisasi, Administrasi dan Finansial di Lingkungan PeradilanUmum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Agama keMahkamah Agung, dijelaskan secara rinci bahwa yang dimaksuddengan:1. Organisasi adalah kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan dan

struktur organisasi pada :a. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan

Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak AsasiManusia;

b. Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama;c. Pengadilan Tinggi;d. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara;e. Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syari’ah Propinsi;f. Pengadilan Negeri;g. Pengadilan Tata Usaha Negara;h. Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah.2. Administrasi meliputi kepegawaian, kekayaan negara,

keuangan, arsip, dan dokumen pada Direktorat Jenderal

68Handry Argatama. “Meletakkan Dasar Reformasi dan Revitalisasi SistemKekuasaan Kehakiman” (Harjad MA 18 Agustus 2004). 2004. Artikel dalamBanjarmasin Post. Edisi Rabu 18 Agustus. Hal. 20.

69Lihat Roihan A. Rasyid. Op. Cit. Hal. 14.

Page 59: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

53

Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha NegaraDepartemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, DirektoratPembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, PengadilanTinggi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, PengadilanTinggi Agama/Mahkamah Syari’ah Propinsi, PengadilanNegeri, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan PengadilanAgama/Mahkamah Syari’ah.

3. Finansial adalah anggaran yang sedang berjalan padaDirektorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan PeradilanTata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak AsasiManusia, Direktorat Pembinaan Peradilan AgamaDepartemen Agama, Pengadilan Tinggi, Pengadilan TinggiTata Usaha Negara, Pengadilan Tinggi Agama/MahkamahSyari’ah Propinsi, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata UsahaNegara, dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah.

Kebutuhan reformasi teknis-administratif peradilan sejalandengan kebutuhan praktik di era pasca jatuhnya pemerintahanSoeharto. Gagasan reformasi ini berangkat dari realitas praktikhukum selama ini., yang ditandai dengan ketidakpuasanmasyarakat terhadap putusan-putusan pengadilan yang dinilaitidak adil, tidak jujur dan memihak. Potret buram duniaperadilan tersebut diungkapkan dalam laporan sebuahpenelitian, yang ditandai dengan ketidakpuasan masyarakatterhadap kinerja lembaga peradilan dan para aparatnya.Keadaan ini muncul karena orientasi para hakim terhadap tugasutamanya dianggap sebagai tugas rutin saja, sehingga seringmengabaikan upaya pencapaian putusan pengadilan yang adil,jujur dan tidak memihak dan berkualitas.

Pentingnya reformasi teknis-administrasi peradilan sejalanpula denan tuntutan perbaikan kinerja peradilan, karenapelaksanaan teknis peradilan tidak ditunjang dengan perangkatteknologi, administrasi peradilan dan sumber daya manusiayang memadai. Akibat tidak memadainya perangkat kerja, telahmelahirkan biaya tinggi dalam proses peradilan, yang tentu sajabertentangan dengan asas peradilan yang sederhana, cepat danmurah sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor14 Tahun 1970. Proses peradilanpun menjadi suatu proses

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 60: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

54

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

hukum yang panjang dan penuh dengan ketidakpastian waktupenyelesaian. Kondisi ini telah pula melahirkan praktik mafiaperadilan, yang telah merambah kesemua pihak. Dengandemikian reformasi administrasi peradilan haruslah mampumenciptakan pelayanan peradilan yang profesional bagimasyarakat pencari keadilan. Reformasi ini juga harus dilihatsebagai upaya memberi pijakan bagi munculnya hakim-hakimdengan prestasi yang mampu melahirkan putusan-putusan yangjujur, adil dan tidak memihak serta berkualitas. Mencapai tujuanini, jelas suasana kerja hakim haruslah berlangsung bebas, yanghanya dapat dibatasi oleh undang-undang.70

Guna memperkukuh arah perubahan penyelenggaraankekuasaan kehakiman sebagaimana yang telah diletakkan UUD1945, maka kewenangan yang dimiliki oleh MahkamahAgungpun telah mempunyai garisan yang nyata, sebagaimanayang tertuang dalam Pasal 20 Ayat (2) dan (3) Undang-UndangNomor 48 tahun 2009 jo Pasal 31 Undang-Undang Nomor 5tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, serta Undang-UndangNo. 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu :(1)Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang terhadapundang-undang.

(2)Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturanperundang-undangan di bawah undang-undang atas alasanbertentangan dengan peraturan perundang-undangan yanglebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuanyang berlaku.

(3)Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambilbaik berhubungan pada tingkat kasasi maupun berdasarkanpermohonan langsung pada Mahkamah Agung.

70Muhammad Asrun. Op.Cit. Hal. 253-255

Page 61: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

55

(4)Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sahsebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan uraian terdahulu, maka selain dari MahkamahAgung dan Mahkamah Konstitusi, yaitu keempat lingkunganperadilan yang merupakan penyelenggara kekuasaankehakiman, terdapat unsur persamaan dan unsur perbedaan.

Diantara persamaannya adalah mengenai susunan danjenjang badan peradilan serta pembinaan teknis yustisial danpembinaan non yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung.Keseragaman jenjang badan peradilan (hierarki instansial) dalamkeempat lingkungan peradilan itu, meliputi pengadilan tingkatpertama dan pengadilan tingkat banding, yang seluruhnyaberpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tingkatkasasi. Pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding disebutjudex factie, artinya pemeriksaan perkara pada tingkat bandingdilakukan secara keseluruhan sebagaimana dalam pemeriksaantingkat pertama. Demikian halnya asas-asas peradilan yangditerapkan dalam keempat lingkungan peradilan itu padaumumnya sama, meskipun mengenal spesifikasi. Disamping itu,pembinaan teknis dan pengawasan jalannya peradilan padasemua lingkungan peradilan dan pembinaan dibidangorganisasi, administrasi dan finansial yang semula kewenanganpemerintah, menjadi wewenang penyelenggara kekuasaankehakiman yaitu Mahkamah Agung.

Adapun yang menjadi unsur perbedaan adalah terletakpada wewenang mutlaknya (absolute competentie), sebagaimanayang telah diatur dalam ketentuan perundang-undang masing-masing peradilan sesuai dengan ruang lingkup kekuasaan badanperadilan tersebut.

Sebagai implikasi dari adanya restrukturisasi badanperadilan dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di In-donesia, yang dimaksudkan sebagai upaya mewujudkankekuasaan kehakiman yang merdeka, maka terdapat adanyapergeseran hubungan antara kekuasaan kehakiman dengankekuasaan pemerintah. Hubungan dimaksud semula bersifat

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 62: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

56

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

struktural, maka sekarang menjadi fungsional. Dalam konteksini Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa hubunganfungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaannegara adalah sesuai dengan salah satu ciri dari negara hukumPancasila. Sebagai negara modern, Indonesia telah mengenalberbagai macam kekuasaan negara dan terbagi dalam berbagaiorgan negara yang sebelumnya tidak dikenal dalam masyarakatadat. Meskipun demikian, kekuasaan-kekuasaan negara dalamberfungsinya hendaklah selalu dikembalikan kepada idedasarnya, yaitu gotong royong. Dengan dasar tersebut, tidaklahdiharapkan adanya pertarungan atau kompetisi yang tidak sehatantara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan yang lain. Semuakekuasaan yang ada pada negara diarahkan untuk kebahagiaanbersama sesuai dengan ide dasar tentang tujuan negara yangtelah digariskan di dalam Pembukaan UUD 1945. Dengandemikian, antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan laintidak perlu ada pemisahan yang tegas karena atas dasar gotongroyong, antara kekuasaan yang satu dengan kekuasaan lainterjalin suatu hubungan fungsional yang proporsional dan wajar;dan dengan demikian pula tidak perlu ada sistem “checks andbalances”.71

Senada dengan pendapat di atas, Samsul Wahidinmenegaskan bahwa kekuasaan yang digariskan oleh TriasPolitika yang dicetuskan oleh Montesquieu adalah merupakansebuah pemikiran tentang pemisahan kekuasaan, baik tugasmaupun fungsi serta alat pelengkapannya. Pemisahan digariskansecara tegas sebagai penerapan dari pemikirannya itu sendiri.Dengan demikian, pemisahan kekuasaan yang dimaksud tanpaadanya saling berhubungan antara kekuasaan legislatif, eksekutifdan yudikatif. Dihubungkan dengan UUD 1945 akan adakesulitan untuk mendefinisikan siapa lembaga legislatif. Sebabmelihat kepada fungsi legislatif adalah membuat undang-undang, namun di sana ada pemerintah yang justru lebih

71Philipus M. Hadjon. Op. Cit. Hal. 88-89

Page 63: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

57

dominan dalam hal pembuatan undang-undang. Secara yuridismemerlukan kerjasama. Demikian pula dalam kekuasaanyudikatif ternyata ada pengaruh dari Presiden dalam halpemberian grasi dan rehabilitasi.72

Beradanya kekuasaan yudikatif di bawah satu atapMahkamah Agung, melahirkan sejumlah harapan dari semuapihak terutama masyarakat, agar reformasi dan restrukturisasiperadilan yang sedang berjalan dapat segera terwujud daritingkat yang paling bawah disemua lingkup peradilan hinggaMahkamah Agung sebagai puncak dari semua lingkunganperadilan.

Dengan demikian, pada akhirnya ada dua aspek yang dapatdilihat dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yangmerdeka di Indonesia, yaitu pertama, merdeka diartikan sebagaikemerdekaan dalam menyelenggarakan fungsi yustisial yaitumenerima, memeriksa, memutus suatu perkara danmenyelesaikannya. Kedua, kemerdekaan dalammenyelenggarakan fungsi non yustisial, dimana badan peradilandiberi wewenang mengelola sendiri organisasi, administrasi danfinansialnya.

C. Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman SebagaiPrasyarat Wujudkan Penegakan Hukum Di IndonesiaSatjipto Rahardjo mengemukakan, dalam praktik dikenal

kata “penegakan hukum” yang merupakan kata Indonesia untukLaw Enforcement. Ini adalah istilah yang juga dikenal dandigunakan oleh masyarakat luas. Disamping itu, secara sosiologisdikenal istilah yang lain, yaitu “penggunaan hukum” (the use oflaw) . Penegakan hukum dan penggunaan hukum adalah duakata yang berbeda. Orang dapat menggunakan hukum untukmemberikan keadilan, tetapi orang juga dapat menegakanhukum untuk digunakan bagi pencapaian tujuan atau

72Samsul Wahidin. Loc. Cit.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 64: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

58

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

kepentingan lain. Maka menegakan hukum tidak persis samadengan menggunakan hukum.73

Menyadari akan adanya kemungkinan pembelokanorientasi penegakan hukum ke arah yang lambat, maka upaya-upaya menuju ke arah penegakan hukum yang memiliki visireformasi amatlah didambakan. Penegakan hukum yang selamaberpuluh tahun dipinggirkan, kini mulai mendapatkanperhatian. Masyarakat mulai menganggap bahwa penegakanhukum adalah salah satu kunci dalam melakukan upayapembenahan kembali berbagai permasalahan yang melanda In-donesia. Namun proses penegakan hukum yang ada masihmerupakan bagian dari permasalahan itu sendiri.

Penggunaan kata penegakan hukum juga seringdihubungkan dengan pelaksanaan hukum. Pelaksanaan hukum,sebagaimana yang digambarkan oleh Riduan Syahrani dalamkehidupan masyarakat sehari-hari mempunyai arti yang sangatpenting, karena apa yang menjadi tujuan hukum justru terletakpada pelaksanaan hukum itu. Ketertiban dan ketentraman hanyadapat diwujudkan dalam kenyataan kalau hukum dilaksanakan.Pelaksanaan hukum dapat berlangsung dalam masyarakatsecara normal karena tiap-tiap individu menaati dengankesadaran, bahwa apa yang ditentukan hukum tersebut sebagaisuatu keharusan atau sebagai sesuatu yang memang sebaiknya.Pelaksanaan hukum juga dapat terjadi karena pelanggaranhukum, yaitu dengan menegakan hukum tersebut melaluibantuan alat-alat perlengkapan negara.74 Setidaknya dalammenegakan hukum ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitukepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.75 Oleh karena itu,Satjipto Rahardjo dalam bukunya “masalah penegakan hukum”,menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha

73Satjipto Rahardjo. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta : PenerbitBuku Kompas. Hal. 169.

74Riduan Syahrani. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung : Citra AdityaBakti. Hal. 191.

75Sudikno Mertokusumo. 1986. Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty. Hal. 130.

Page 65: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

59

untuk menunjukkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukumdan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Proses perwujudanide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.76

Hukum harus dilaksanakan dan ditegakan. Setiap orangmenginginkan dapat ditetapkannya hukum terhadap peristiwakonkrit yang terjadi. Bagaimana hukumnya, itulah yang harusdiberlakukan pada setiap peristiwa yang terjadi. Jadi padadasarnya tidak ada penyimpangan. Bagaimanapun juga hukumharus ditegakan, itulah yang diinginkan oleh kepastian hukum.dengan adanya kepastian hukum, ketertiban dalam masyarakatakan tercapai.77 Pelaksanaan dan penegakan hukum juga harusmemperhatikan kemanfaatannya atau kegunaanya bagimasyarakat. Sebab hukum justru dibuat untuk kepentinganmasyarakat. Karenanya, pelaksanaan dan penegakan hukumharus memberi manfaat bagi masyarakat. Selain dari itu perlujuga diperhatikan disini, bahwa hukum yang dilaksanakan danditegakan haruslah hukum yang mengandung nilai-nilaikeadilan. Oleh karena itu, hakikat penegakan hukum yangsebenarnya kata Soerjono Soekanto, terletak pada kegiatanmenyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabar di dalamkaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dalam sikaptindak sebagai rangkaian penjabaran nilai-nilai tahap akhir,untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankankedamaian pergaulan hidup.

Menjelaskan hal tersebut, Soerjono Soekanto mengibaratkanbahwa dalam pergaulan hidup manusia pada dasarnya adamemiliki pandangan tentang apa yang baik dan buruk, yangsenantiasa terwujud dalam pasangan tertentu. Misalnya nilaiketertiban dan ketentraman, yang dalam penegakan hukumperlu diserasikan. Pasangan nilai yang telah diserasikan tersebut,karena nilai-nilai sifatnya abstrak, memerlukan penjabaransecara lebih konkrit dalam bentuk kaidah-kaidah, yang mungkin

76Satjipto Rahardjo. T.th. Masalah Penegakan Hukum. Bandung : Sinar Baru.Hal. 1577Sudikno Mertokusumo. Loc.Cit.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 66: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

60

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Kaidah hukuminilah yang menjadi patokan dan pedoman dalam bersikaptindak, atau seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebutbertujuan untuk menciptakan, memelihara danmempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi daripenegakan hukum secara konsepsional. 78

Yahya Harahap mengungkapkan, pelaksanaan penegakanhukum sering memperlihatkan perlakuan tidak sama (unequaltreatment). Dalam kasus yang sama, tidak diterapkan ketentuanhukum yang sama dan tindakan yang sama. Kepada koruptoryang berkedudukan rendah, penegakan hukum dilaksanakansecara keras dan maksimal karena dia terdiri dari manusia yangberkedudukan tanpa daya atau “powerless”. Sebaliknya kepadakoruptor besar baik dari kalangan birokrat maupun kalanganbisnis besar, dapat berlindung di bawah payung kekuasaan danpengaruh kekayaan karena memiliki kedudukan sebagai mahlukthe power full dan influential. Hal ini tentu akan memberikanpenggambaran citra yang kurang baik atas penegakan hukum,tidak saja dirasakan dalam lingkungan domestik tetapi jugadilontarkan oleh kalangan masyarakat negara lain.79 Nampaknyaungkapan bahwa “sekalipun langit akan runtuh hukum tetapharus ditegakan” hanyalah sekedar slogan belaka.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, setiap masyarakat/negara selalu memiliki institusi/lembaga dan tata cara yangmengatur penegakan hukum. Tanpa tersedianya lembaga/institusi dan tata cara yang mengatur penegakan hukum, akandapat dipastikan setiap dalam komunitas masyarakat tersebutakan menghadapi sendiri-sendiri terhadap setiap adanyapelanggaran atau terjadinya perbuatan melawan hukum.Masyarakat semacam ini berada dalam ketidakstabilan.Ketertiban, keamanan dan ketentraman masyarakat, akan

78Soerjono Soekanto. 1986. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.Jakarta : Rajawali Press. Hal. 3

79Yahya Harahap. Op. Cit. Hal. 306 & 309.

Page 67: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

61

dipertahankan oleh anggota masyarakat yang paling kuat,sedangkan penegakan hukum akan dilakukan sesuai denganpertimbangan subjektif yang bersangkutan tanpa suatu tata caratertentu yang merupakan aturan yang tidak berlaku bagi setiapanggota masyarakat.

Untuk itulah, demi terciptanya ketertiban, ketentraman,keamanan dan kestabilan masyarakat, keberadaan lembaga dantata cara penegakan hukum yang tetap merupakan suatu condi-tio sine quanon bagi kemapanan eksistensi setiap masyarakathukum, baik ditingkat negara maupun masyarakat. Berdasarkanhal ini, sebagai pranata yang menjaga keberadaan masyarakatyang tertib dan teratur, penegakan hukum sudah semestinyasenantiasa berada dalam posisi konsisten dengan fungsi tersebut.Sehingga dalam tatanan yang wajar tidak semestinya terjadisuatu keadaan atau peristiwa yang dapat menunjukkan telahterjadi inkonsistensi. Jika dalam lingkungan tertentu terjadiinkonsistensi, berarti telah terjadi anomaly. Penegakan hukumyang tidak konsisten tersebut, dapat dikatakan telahmenyimpangi fungsi alamiahnya sendiri, yaitu sebagai penjagaketertiban untuk mewujudkan ketentraman, kesejahteraan dankeadilan bagi masyarakat yang bersangkutan.80

Pembahasan sekitar penegakan hukum tidaklah dapatdilepaskan dari pengkajian terhadap kekuasaan kehakiman. Halini dikarenakan kekuasaan kehakiman melalui peradilan diberikekuasaan sebagai pelaksana penegakan hukum.81 Cerminandari hal ini dapat dikaji dalam Pasal 1 & 3 ayat (1 & 2) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 yakni : bahwa kekuasaankehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dankeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945,demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia

80Taupiq Hamami. Op.Cit. Hal. 42-4381Yahya Harahap. Op. Cit. Hal. 34.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 68: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

62

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Peradilan negara menerapkan dan menegakan hukumdan keadilan berdasarkan Pancasila.82 Lembaga peradilanmemainkan peranan penting, karena ia satu-satunya institusiformal yang diberi mandat untuk mengelola segalapermasalahan hukum dari setiap warga negara yang mengalamikesulitan dalam mencari keadilan. Lembaga ini pula yangmenjadi andalan masyarakat dan bahkan menjadi tumpuanharapan terakhir bagi mereka yang mencari keadilan melaluitegaknya hukum. pemikiran ini dilandasi pertimbangan bahwapenegakan hukum bukan sekedar semangat menggebu-gebu,tetapi juga merupakan langkah strategis dan konsisten yangdidasari oleh komitmen pada keadilan.

Dengan demikian, dapat dikonsepsikan bahwa penegakanhukum yang dimaksudkan disini adalah merupakan salah satufungsi yang diemban oleh kekuasaan kehakiman. Fungsi tersebutyaitu melaksanakan hukum. Dalam melaksanakan hukumkekuasaan kehakiman melalui badan peradilan akan bertindaksesuai dengan hukum yang berlaku, hukum dipandang sebagaisuatu keharusan. Hal ini dikarenakan hanya melalui hukum yangberlaku dan dipandang sebagai keharusan inilah titik tekanterhadap penegakan keadilan, kebenaran, ketertiban dankepastian hukum akan mampu diwujudkan. Hal ini merupakanhal pokok yang amat penting dalam usaha mewujudkan suasanaperikehidupan yang aman, tentram dan tertib dalam negarahukum Republik Indonesia dan UUD 1945.

Pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana di atas, hanyadapat dicapai dengan prasyarat bahwa kekuasaan kehakimanyang diselenggarakan adalah kekuasaan kehakiman yangmerdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Hal inidikarenakan ada semacam keyakinan umum bahwa kekuasaankehakiman yang merdeka merupakan prasyarat bagi tegaknya

82Dalam konteks pembahasan ini, kajian hanya dikhususkan pada penegakanhukum.

Page 69: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

63

hukum. Sehingga tidak diragukan, tanpa kekuasaan kehakimanyang merdeka, pasti tidak akan ada jaminan terwujudnyapenegakan hukum.

Penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaankehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasarbagi berfungsinya sistem hukum yang baik. Dengan kekuasaankehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminanbahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yangberlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlakuitulah kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutussuatu perkara. Dalam perkembangan, kekuasaan kehakimanyang merdeka menjadi bagian tak terpisahkan dari ajarantentang paham konstitusi dan negara berdasarkan atas hukum.Dengan demikian, mengenyampingkan kekuasaan kehakimanyang merdeka merupakan pengenyampingan terhadap asasnegara berkonstitusi dan negara berdasarkan atas hukum.83

Ideologi dan konsepsi negara hukum yang menempatkankekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari pengaruh sertacampur tangan kekuasaan negara lainnya, dengan sendirinyamenuntut berbagai konsekuensi, antara lain :

Pertama, Supremasi hukum. Hukum di atas segalakehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasar “the rule oflaw”. Negara dan masyarakat diatur dan diperintah oleh“hukum”, bukan oleh “manusia”. Ungkapan tersebut menjadiprinsip yang diabadikan dalam kalimat “a government of laws andnot of men”. Peran rule of law dalam kehidupan masyarakat,menjadi unsur landasan tata tertib kehidupan dari pemaksaandalam bentuk apapun. Memang boleh dilakukan upaya paksa,namun dalam setiap penyelesaian sengketa-baik pidana danperdata- harus sesuai dengan proses yang ditentukan hukumberdasarkan asas “equal treatment the law” atau “equal dealing”(perlakuan yang sama di depan hukum). Atau “equal protectionof the law” (perlindungan yang sama di depan hukum).84

83Bagir Manan.”Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”. Loc.Cit.84Yahya Harahap. Op. Cit. Hal. 33

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 70: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

64

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Kedua, kekuasaan kehakiman melalui badan peradilanmenjadi katup penekan. Peran dan fungsi utama kekuasaankehakiman yang merdeka, memberi kewenangan kepada badanperadilan menjadi katup penekan atau pressure valve:- atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapa

dan pihak manapun tanpa kecuali.- Kewenangan itu, meliputi pelanggaran atas segala bentuk

perbuatan yang tidak konstitusional (unconstitutional),ketertiban umum (public policy) dan kepatutan (reasonableness).

Ketiga, menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai “thelast resort”. Sehubungan dengan peran dan fungsi sertakewenangan kekuasaan kehakiman sebagai “katup penekan”dalam negara hukum dan masyarakat demokrasi, dengansendirinya menempatkan kedudukan badan-badan peradilansebagai “tempat terakhir” atau “the last resort” dalam upayapenegakan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini, tidak adabadan lain yang berkedudukan sebagai tempat mencaripenegakan kebenaran dan keadilan apabila timbul sengketa ataupelanggaran hukum.85

Keempat, kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanapenegakan hukum. Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari peran,fungsi, kewenangan dan kedudukan kekuasaan kehakimansebagai pressure valve dan the last resort, maka kekuasaankehakiman melalui peradilan diberi kekuasaan sebagaipelaksana penegakan hukum. kekuasaan ini lazim diungkapkandalam kalimat “judiciary as the upholders of the rule of law”.Pemberian kekuasaan kepada kekuasaan kehakiman sebagai“upholders of the rule of law”, dengan sendirinya menempatkankedudukan peradilan sebagai lembaga atau institusi alat negarayang bertindak sebagai :a. penjaga “kemerdekaan masyarakat”.

Kekuasaan kehakiman melalui badan peradilanberkedudukan sebagai lembaga negara “in guardig the free-

85Ibid. Hal. 34

Page 71: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

65

dom of society” (penjaga kemerdekaan masyarakat). Dalam halini, peradilan bertindak mengembangkan kata-kata kunciHAM :

- “mengambil langkah” (to take step) membela dan melindungiHAM;

- “menjamin” (to guarantee) perlindungan HAM setiapanggotamasyarakat;

- “mengakui” (to recognize) setiap nilai HAM yang melekat padasetiap individu dan kelompok masyarakat;

- “menghormati” (to respect for) setiap HAM yang melekat padasetiap indinvidu dan kelompok masyarakat;

- “meningkatkan” (to promote) kualitas dan perlindungan HAMdalam segala bidang kehidupan.

Melalui kata-kata kunci HAM yang dikemukakan,kemerdekaan anggota masyarakat (baik individu dan kelompok)yang harus dijaga dan dilindungi kekuasaan kehakiman meliputisemua “generasi HAM” yang telah diakui dan dikembangkansecara nasional atau internasional yang tertuang dalam berbagaikonvensi.a. Kekuasaan Kehakiman sebagai “Wali Masyarakat”.

Peradilan dalam Negara Hukum dan masyarakatdemokratis, tidak hanya sebagai penjaga dan pelindungkebebasan dan kemerdekaan anggota masyarakat, tetapisekaligus berkedudukan sebagai “wali masyarakat” (judiciaryare regarding as costudian of society). Anggota masyarakat yangmerasa teraniaya, diperkosa hak dan kepentingannya baik olehpenguasa maupun oleh anggota masyarakat dapat memintaperlindungan kepada pengadilan.86

Kelima, secara konstitusional kekuasaan kehakimanbertindak “tidak demokratis secara fundamental”. Sesuai dengankemerdekaan dan kebebasan yang diberikan konstitusi kepada

86Ibid. Hal. 45-38

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 72: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

66

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

kekuasaan kehakiman, badan-badan peradilan dibenarkanbertindak dan mengambil putusan “fundamentally undemocratic”

Tindakan dan putusan apapun yang diambilnyamempunyai kekuatan yang harus dipatuhi. Tindakan danputusan itu langsung atau tidak langsung mempengaruhikehidupan dan perilaku semua lapisan masyarakat. EtnanBronner mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh YahyaHarahap bahwa “the court’s pronouncement, but they never haveaccess to the people making the decision. They cant’t ask them whatwent into decision, what negotiations there were, what compromises”.Pada saat peradilan mengambil tindakan dan putusan :- tidak membutuhkan “akses” dari siapapun.- Tidak memerlukan “negosiasi” dari pihak manapun.- Dan tidak perlu meminta “kompromi” dari pihak yang

berperkara.Mengapa peradilan dapat bertindak “fundametally undemo-

cratic”? karena Konstitusi telah memberi “mandat” kepadanyamelaksanakan kekuasaan kehakiman yang “independent and im-partial tribunal” (kekuasaan yang merdeka dan impasial).87

Keenam, mempunyai “imunitas” dalam melaksanakanfungsi dan kekuasaan peradilan. Berkaitan dengan mandat yangdiberikan konstitusi kepada kekuasaan kehakiman bertindaksecara “tidak demokratis” kepada para pelaksana peradilan,terutama kepada Hakim, diberi jaminan “imunitas pribadi” (per-sonal immunity).

Kerangka imunitasnya, mengandung pengertian :- imunitas para hakim dalam melaksanakan fungsi dan

kewenangan peradilan (the immunity of judges),- sifat imunitasnya absolut dan total, dalam arti mereka tidak

dapat dituntut atas pelaksanaan yustisial, meskipun tindakanyang dilakukannya malapraktek, melampaui batas

87Ibid. Hal. 39

Page 73: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

67

kewenangan (exceeds his authority) atau melakukan kesalahanproses (procedural error).

Dalam “judicial power” terhadap mereka berlaku keadaanyang seperti di atas. Kepada hakim ditegakan asas dalammelaksanakan fungsi peradilan kepada mereka berlaku “totalpersonal immunity from legal actions against them based on their ju-dicial acts”. Yahya Harahap mengkritisi tentang hal ini, bahwajaminan atas imunitas ini, seharusnya dibarengi dengan“integritas profesionalisme yang solid”. Memiliki kejujuran danmoral yang tinggi. Serta kualitas profesionalisme dan kecakapanyang penuh tanggung jawab. Jika tidak demikian, hak imunitasbisa berubah jadi tameng untuk melakukan penyelewengan.Selain itu, harus benar-benar ditegakkan secara keras ancamanadministratif kepada para hakim yang bertindak tidakprofesional maupun yang menjatuhkan putusan yang tidakprofesional.88

Ketujuh, hakim dianggap menduduki kelas tersendiri daripejabat pemerintah yang lain. “judges a class apart from govern-mental officers”. Sesuai dengan kedudukan, peran, fungsi dankewenangan kekuasaan kehakiman sebagai katup penekan,tempat terakhir mencari kebenaran dan keadilan, sebagaipelaksana kekuasaan penegakan hukum, penjaga kemerdekaananggota masyarakat, wali masyarakat, maka selain memberi hakimunitas kepadanya, sangat layak memberi kedudukan yangkhusus kepada para hakim.

Mengenai hal ini Padmo Wahjono mengemukakan bahwa“pejabat yang menggerakan kekuasaan kehakiman namanyahakim, yang syarat-syarat untuk dapat diangkat dandiperhentikannya ditentukan dengan undang-undang”.89

Ketentuan tentang ini sebenarnya telah pula digariskan olehUUD 1945 dalam Pasal 25 yaitu bahwa “syarat-syarat untukmenjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkandengan undang-undang”.

88Ibid. Hal. 39-4089Ibid.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 74: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

68

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Memang dalam berbagai literatur diakui fungsi khususperadilan dan hakim sebagai “Serve a Very Special Function”. Olehkarena itu, beralasan untuk memberi kedudukan khusus kepadahakim dalam kelas tersendiri dari pejabat pemerintah yang lain.90

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 31 menggariskanbahwa “ Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agungmerupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaankehakiman yang berada pada badan peradilan di bawahMahkamah Agung”. Sebelum lahirnya undang-undang ini, telahlahir pula Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentangPerubahan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Pengundangan dua undang-undang tersebut memberikancerminan bahwa perjuangan korps kehakiman memasuki babakbaru. Keduanya telah merealisasikan dua kondisi yang dari duludicita-citakan oleh kalangan hakim. Perubahan pertama, yaitudiberikannya kewenangan pengelolaan organisasi, administrasidan keuangan badan peradilan (termasuk pembinaan SDMhakim), dari yang tadinya berada di bawah kewenanganDepartemen kepada Mahkamah Agung, atau yang dikenalsebagai penyatuan atap lembaga peradilan. Perubahan kedua,yang tidak kalah pentingnya adalah perubahan statuskepegawaian hakim pengadilan tingkat pertama dan tingkatbanding, dari pegawai negeri sipil menjadi pejabat negara.

Selama ini dipercaya bahwa penyatuan atap dan perubahanstatus hakim tersebut merupakan dua prakondisi yangdiperlukan dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakimanyang merdeka, sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945. Halini terlihat dari betapa konsistennya upaya yang ditempuh korpshakim dalam memperjuangkan hal tersebut.91 Terlepas daribetapa panjangnya jalan yang ditempuh korps hakim sebelum

90Ibid. Hal. 41.91Deskripsi yang lengkap mengenai proses polarisasi ini dapat dilihat antara

lain pada Daniel S. Lev. 1990,. Hukum dan Politik di Indonesia, kesinambungan danPerubahan. Jakarta : LP3ES.

Page 75: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

69

dapat menikmati hasil perjuangan tersebut, perlu diperhatikanbahwa penyatuan atap dan perubahan status hakim merupakanlangkah awal bagi tercapainya kemerdekaan peradilan dalamarti sesungguhnya.

Mahkamah Agung dalam kertas kerjanya mengenaipembaharuan sistem pembinaan SDM hakim menjelaskanbahwa memang sulit menentukan hubungan antara penyatuanatap dan perubahan status hakim. Apakah penyatuan atapmerupakan conditio sine qua non dari keinginan perubahan sta-tus hakim, atau sebaliknya. Yang pasti, penyatuan atap secaratidak langsung membutuhkan perubahan status hakim. Akanjanggal jika pengelolaan organisasi, administrasi, keuanganterutama personel pengadilan telah ada pada Mahkamah Agung,lembaga yudikatif, namun status personelnya yaitu hakim-masihmerupakan PNS yang dalam konteks hukum adminstrasi negaraIndonesia adalah pegawai eksekutif. Demikian sebaliknya,bagaimana mungkin kalau status hakim telah berubah dari PNSmenjadi pejabat negara tetapi pengelolaan, administrasi dankeuangan pengadilan (termasuk pembinaan SDM hakimnya)masih di bawah eksekutif. Yang pasti penyatuan atap danperubahan status hakim ini akan memiliki implikasi yang luas,bukan hanya terhadap aspek kemerdekaan peradilan, namunterutama pada aspek pembinaan SDM hakim. Disinilahsebenarnya titik krusial dari penyatuan atap dan perubahan sta-tus hakim.92

Kedelapan,Putusan pengadilan seperti putusan Tuhan.Konsekuensi selanjutnya yang harus ditegakan atas

kemerdekaan kekuasaan kehakiman, putusan yangdijatuhkannya sama dengan seperti “putusan Tuhan”. Hal inidijelaskan oleh JR Spencer, menurutnya sedemikian rupakedudukan istimewa yang dimiliki hakim, sehingga putusanyang dijatuhkannya melalui badan peradilan adalah “JudiciumDie” atau disebut “that judgement was that of God”. Apabila

92Mahkamah Agung RI. Op.Cit. Hal. 25.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 76: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

70

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

keputusan yang dijatuhkan telah berkekuatan hukum tetap,siapapun tidak ada yang dapat mengubahnya. Mestidilaksanakan, meskipun putusan itu kejam dan tidakmenyenangkan.93

Tuntutan berbagai konsekuensi di atas, yang salah satunyamenempatkan kekuasaan kehakiman sebagai pelaksanapenegakan hukum, tentunya menghendaki perwujudanprasyarat tegaknya hukum tersebut. Akan tetapi kekuasaankehakiman yang merdeka yang berwujud kebebasan hakimdalam upayanya menegakan hukum tidaklah tanpa resiko. Atasnama kebebasan, hakim dapat menyalahgunakan kekuasaannyadan bertindak sewenang-wenang. Menurut Bagir Manan untukmencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut maka harusdiciptakan batasan-batasan tertentu tanpa mengorbankanprinsip-prinsip kemerdekaan sebagai hakekat kekuasaankehakiman. Pembatasan-pembatasan tersebut berlaku dalambentuk-bentuk sebagai berikut :1. Hakim hanya memutus menurut hukum. Setiap putusan

hakim harus dapat menunjukkan secara tegas ketentuanhukum yang ditetapkan dalam suatu perkara konkrit. Hal inisejalan dengan asas legalitas dari suatu negara yangberdasarkan atas hukum-bahwa setiap tindakan harusdidasarkan pada aturan hukum tertentu.

2. Hakim memutus semata-mata untuk memberikan keadilan.Untuk mewujudkan keadilan ini, hakim dimungkinkan untukmenafsirkan, melakukan konstruksi hukum, bahkan tidakmenerapkan atau mengenyampingkan suatu ketentuanhukum yang berlaku. Dalam hal ini hakim tidak dapatmenerapkan hukum yang berlaku, maka hakim wajibmenemukan hukum demi terwujudnya suatu putusan yangadil. Karena penafsiran, konstruksi, tidak menerapkan ataumenemukan hukum tersebut senata-mata untuk mewujudkankeadilan, maka tidak dapat dilaksanakan secara sewenang-wenang.

93M. Yahya Harahap. Loc. Cit.

Page 77: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

71

3. Dalam melakukan penafsiran, konstruksi atau menemukanhukum, hakim harus tetap berpegang teguh pada asas-asasumum hukum (general principal of law) dan asas keadilan yangumum (the general principles of natural justice).

4. Harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkanmenindak hakim yang sewenang-wenang ataumenyalahgunakan kebebasannya.

Penjelasan tersebut mengemukakan kemungkinanpenyalahgunaan kebebasan hakim, tetapi dapat pula terjadikarena kewenangan yang melekat pada kekuasaan ekstrayustisial, kebebasan hakim menjadi berkurang atau sama sekalitidak berarti. Kewenangan dari kekuasaan ektra yustisial yangdapat mempengaruhi kebebasan hakim adalah : pertama,pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim. Kedua, sistemkeuangan untuk kekuasaan kehakiman. Oleh karenanya,meniadakan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakimdari lingkup perbuatan adminitrasi negara sertapenyelenggaraan dan pengurusan sistem keuangan khususnyasistem penggajian tanpa campur tangan pemerintah, tetapmenjadi upaya yang urgen demi mewujudkan kekuasaankehakiman yang merdeka melalui kinerja hakim.94

Pendapat yang sedikit berbeda dikemukakan oleh S.A. deSmith (Constitutional dan Administratif Law) yang membuatsemacam daftar yang harus ada untuk menjamin kebebasanhakim. Ada empat kategori pokok yang akan menjaminkebebasan hakim, yaitu unsur-unsur yang bersifat politik,kebebasan hakim dalam proses hukum, pelecehan kekuasaankehakiman (contempt of court), dan yang berkaitan dengan masakerja hakim.

Menurut S.A Smith, untuk menghindari hakim daripengaruh politik, dapat dilakukan dengan berbagai cara sepertilarangan bagi hakim merangkap jabatan politik. Selanjutnyahakim harus menghindari sikap berpihak dalam masalah politik.

94Bagir Manan. Op. Cit. 13-14

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 78: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

72

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Termasuk kemungkinan berpihak dalam inisiatif sendiriterhadap suatu RUU yang sedang dibahas di DPR karena adaperbedaan pendapat antara Pemerintah dan DPR atau karenaMA mempunyai gagasan sendiri. Pertimbangan atau pendapatsemacam itu dapat dikategorikan sebagai berpihak dalampersoalan politik. Pembahasan RUU di DPR adalah suatu prosespolitik yang mencerminkan pandangan politik, kehendak politikatau program politik pemerintah atau kekuatan politik di DPR.Terhadap parlemen, hakim dilarang menyelidiki kegiatanparlemen. Sebaliknya anggota parlemen dilarang, baik dalambentuk pertanyaan atau perdebatan yang merendahkan martabathakim, mengomentari putusan-putusan atau persoalan yustisiallainnya yang menjadi wewenang peradilan (sub judice).Penilaian terhadap hakim hanya dapat dilakukan apabilaparlemen berwenang mengajukan mosi untuk memberhentikanhakim. Wewenang semacam ini tidak ada di Indonesia. PraktekDPR (dalam rapat-rapat kerja atau pada kesempatan lain)membahas atau mengomentari suatu putusan hakim, dapatdianggap mencampuri urusan peradilan.

Selanjutnya untuk menjamin kebebasannya, hakim dijaminkebal dari suatu proses hukum untuk segala hal yang dilakukanatau diucapkan selama atau ketika memeriksa dan memutusperkara yang menjadi wewenangnya. Tentu saja proses hukumdapat dilakukan apabila ada dugaan atau ada bukti hakim yangbersangkutan menyalahgunakan wewenang, menerima suapdan lain-lain perbuatan melanggar hukum.

Cara lain untuk melindungi kebebasan hakim dilakukanmelalui pranata “contempt of court”, seperti menolak perintahhakim, menolak menjawab pertanyaan dalam persidangan tanpasuatu alasan yang cukup, atau tindakan lain yang dapatmempengaruhi prinsip “fair trial”. Secara asasi “contempt ofcourt” bukan secara langsung menjamin kebebasan hakim, tetapiuntuk menjunjung tinggi kewibawaan hakim (peradilan).Dengan kewibawaannya itu hakim akan lebih bebas bertindakagar setiap orang menghormati hakim (peradilan).

Kebebasan hakim dapat pula dijamin melalui cara-caramenentukan masa kerja hakim (seumur hidup atau selama

Page 79: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

73

bertingkah laku baik), sehingga merasa lebih aman dalammenjalankan tugasnya secara bebas. Tidak perlu adakekhawatiran sewaktu-waktu diberhentikan atau dipecat, karenaputusannya dianggap tidak mencerminkan suatu kepentinganatau mungkin karena dirasa tidak adil. Tetapi hakim dapatmeminta pensiun atau diharuskan pensiun apabila telahmencapai usia tertentu. Walaupun demikian, tidak berarti hakimdapat diberhentikan karena alasan-alasan yang sangat khususdan dengan tata cara yang khusus, seperti bertingkah laku buruk,moral tercela, secara mental tidak cakap, atau tidak menjalankantugas dengan baik. Tata cara khusus ini diperlukan dalam rangkakehati-hatian untuk melindungi kebebasan dan integritas hakim.

Selain hal-hal di atas, terdapat pula tata cara lain untuk lebihmenjamin kebebasan hakim mengenai pendapatan atau gaji dansistem promosi hakim. Sistem promosi berkaitan dengan sistemrekrutmen dan karir. Untuk menjamin penilaian yang objektif,harus ada badan khusus yang menilai hakim yaitu sebuah badannetral di luar lingkungan kekuasaan kehakiman maupunpemerintah.

Menurut S. A. Smith, apabila prinsip-prinsip di atas dapatdijalankan secara benar, maka apakah pemerintah ikut serta atautidak ikut mengurus administrasi atau keuangan badanperadilan tidak lagi relevan sebagai penghalang kebebasanhakim. Sebaliknya dengan wewenang tersebut, pemerintah tidakperlu sesumbar akan memberantas mafia peradilan, yangkemudian dilupakan. Bahkan ada yang berpendapat,membebani hakim atau kekuasaan kehakiman di luar fungsi-fungsi yustisialnya justru dapat mempengaruhi kebebasanhakim itu sendiri.95

Pendapat di atas kiranya bertolak belakang denganpernyataan Mahkamah Agung tertanggal 15 Januari 1999 yangpada prinsipnya menyatakan sebagai perwujudan dari Pasal 37Undang-Undang No 14 Tahun 1985, dalam rangka realisasi dan

95S.A. de Smith dalam Bagir Manan. Op. Cit. Hal. 102-105.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 80: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

74

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

implementasi TAP MPR RI No. X/MPR/1998 yang tercantumBab II.c. dan Bab IV.b.2.c, menegaskan tentang pemisahan dankemandirian kekuasaan kehakiman dari badan eksekutifsebagaimana yang telah digariskan dalam UUD 1945.Pernyataan Mahkamah Agung tersebut telah mendapatdukungan dari IKAHI dan seluruh peserta Rapat Kerja TeknisMahkamah Agung RI dan para Ketua Pengadilan Tingkat Band-ing dari keempat lingkungan peradilan seluruh Indonesia, yangdiselenggarakan pada tanggal 9 sampai dengan 12 Desember1998.

Pada pokoknya pernyataan Mahkamah Agung tentangkemandirian kekuasaan kehakiman meliputi yakni :

Supremasi hukum merupakan pilar negara hukum, sepertiyang digariskan di dalam Penjelasan Umum UUD 1945, denganpengertian pemerintahan oleh hukum dan bukan oleh orang(Government of law not of man). Dengan demikian kekuasaan danpenguasa tunduk sepenuhnya pada hukum.

Tanpa mengurangi kebenaran yang menunjuk terdapatbeberapa negara tidak menganut sistem kekuasaan kehakimanyang mandiri dalam “satu atap” di bawah Mahkamah Agung,namun hal itu perlu dikaitkan dengan tradisi-tradisi yangberbeda antara satu negara dengan negara lain. Di Indonesiaternyata tradisi –tradisi yang berkembang secara kumulatif sejakzaman kolonial, orde lama, orde baru, telah memungkinkanterjadi intervensi dan direktiva yang sangat dominan dari pihakeksekutif. Hal ini kemudian mengakibatkan timbulnya dualismeserta fungsi dan sifat kemandirian kekuasaan kehakimanmenjadi tidak efektif. Selain itu, konsep kekuasaan kehakimanyang mandiri pada saat ini telah menjadi ideologi yang bersifatuniversal.

Mewujudkan kemandirian seperti yang digariskan TAPMPR No. X/MPR/1998, perubahan dan penghapusan Pasal 11Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 serta peraturanperundang-undangan yang terkait lainnya, mutlak dilakukan.Disamping itu kemandirian kekuasaan kehakiman di bawahMahkamah, akan membawa konsekuensi terjadi perubahan

Page 81: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

75

susunan organisasi dan tata kerja, yang telah disadari olehMahkamah Agung. Sehubungan dengan itu Mahkamah Agungtelah menyiapkan konsep susunan organisasi dan tata kerjadalam perspektif kekuasaan kehakiman yang utuh dan mandiri.96

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa tujuanutama penyatuan atap adalah membuat lembaga peradilanmenjadi lebih independen dari campur tangan politik. Denganterwujudnya independensi ini, hakim diharapkan akan mampumelaksanakan fungsi penegakan hukum dengan baik pula.Hakim yang demikian hanya dapat lahir dari suatu sistem yangbaik. Mantan Menteri kehakiman Belanda Odette Buitendammenyatakan bahwa “ good judges are not born but made”, yaitumelalui sistem rekrutmen, seleksi dan pelatihan yang baik.Rekrutmen serta seleksi yang baik adalah rekrutmen dan seleksiyang mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi,akuntabilitas, right man on the right place, obyektivitas dansebagainya. 97

Pergeseran peta politik dari executive heavy menjadi lebihlegislative heavy pada masa reformasi (pasca 1998) membawaperubahan besar dalam proses rekrutmen Hakim Agung danPimpinan MA. Pada era reformasi, DPR praktis mengambil alihdominasi pemerintah dan Mahkamah Agung dalam prosesrekrutmen hakim agung. Dalam naskah akademis dan RUUtentang Komisi Yudisial yang diterbitkan oleh MahkamahAgung, dijelaskan bahwa secara umum dapat dikatakan prosespencalonan bakal calon hakim agung pada masa pasca OrdeBaru- yang dikenal dengan fit and proper test – lebih baik darimasa sebelumnya. Proses tersebut relatif telah memenuhiprinsip-prinsip transparansi, cukup membuka peluangpartisipasi masyarakat serta mengupayakan objektivitas dalamproses rekrutmen. Disisi lain, proses rekrutmen yang sedang

96Abdullah Gofar. “Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”.Op.Cit. Hal. 25-26.

97Odette Buitendam dalam Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang TentangKomisi Yudisial. 2003. Mahkamah Agung. Hal 28.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 82: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

76

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

‘mencari bentuk’ tersebut memiliki kelemahan-kelemahan.Kelemahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitupertama, masalah siapa yang melakukan proses seleksi; kedua,masalah bagaimana proses seleksi dilakukan.98

Memperhatikan proses rekrutmen hakim agung dankelemahan-kelemahannya sebagaimana diuraikan sebelumnya,juga disamping terjadinya perubahan yang menyangkutkelembagaan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakanpada bagian terdahulu, UUD 1945 telah mengintroduksi pulasuatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraankekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi ini bersifatmandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakimagung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjagadan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilakuhakim.

Pemberian sebagian fungsi untuk merekrut hakim agungkepada Komisi Yudisial –sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Bayat (2) Amandemen Ketiga UUD 1945- adalah merupakanpilihan yang cerdas dan tepat. Pemberian fungsi tersebut kelembaga khusus yang bersifat mandiri serta beranggotakan or-ang-orang yang mengerti permasalahan hukum dan peradilandiharapkan dapat menutupi kelemahan Pemerintah, MahkamahAgung dan DPR selama ini.

Sebaik apapun nantinya Komisi Yudisial, perihal bagaimanaproses rekrutmen hakim agung harus dilakukan merupakanhal yang esensial. Tanpa proses yang partisipatif, akuntabel,obyektif, right man on the right place dan transparan, bukanmustahil praktek negatif masa lalu akan terulang kembali. Atausetidaknya mereka yang terpilih bukanlah calon-calon yangterbaik yang dapat diperoleh. Oleh karena itu, penentuanmengenai proses rekrutmen yang baik adalah suatu keharusan,hal ini dikarenakan melalui proses rekrutmen yang baik hampirbisa dipastikan akan melahirkan hakim yang baik juga. Pada

98Ibid. Hal. 30-31

Page 83: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

77

gilirannya akan mampu mewujudkan hakim yang memilikiintegritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil,profesional dan berpengalaman di bidang hukum serta mampudalam menjalankan dan menyelenggarakan peradilan gunamenegakan hukum berdasarkan Pancasila, demiterselenggaranya negara hukum Republik Indonesia, sertakewajiban menjaga kemandirian peradilan. Hal ini sebagaimanayang dicerminkan oleh Pasal 1 dan 3 Undang-Undang Nomor48 tahun 2009.

Makna Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Dalam Perspektif Penegakan Hukum...

Page 84: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

78

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 85: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

79

BAB IIIRESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA

DALAM PERSPEKTIF KEKUASAANKEHAKIMAN YANG MERDEKA

A. Peradilan Agama : Kedudukan dan Eksistensinyadalam Sistem Tata Hukum di IndonesiaSebelum pengkajian mendalam sekitar Peradilan Agama,

kedudukan dan eksistensinya, Penulis terlebih dahulumemaparkan istilah Peradilan Agama itu sendiri.

Istilah peradilan, secara etimologi berasal dari kata adil yangmendapat awalan per dan akhiran an, yang berarti segala sesuatumengenai perkara pengadilan99 Peradilan yang dalam bahasaBelandanya dikenal dengan istilah rechtpraak tersebut, dalambahasa Arabnya dikenal dengan istilah al-qadla.100 Istilah ini secaraetimologis dalam Al Qur’an mempunyai bermacam-macam arti.Bisa berarti mengakhiri atau menyelesaikan, menunaikan danbisa juga berarti memerintahkan.101

Secara terminologis, istilah peradilan ini oleh salah seorangahli hukum Islam dimaksudkan sebagai suatu urusan atau tugasuntuk menyelesaikan persengketaan guna menghentikan gugatmenggugat dan guna memotong pertengkaran dengan hukum

99Poerwadarminta. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.Hal. 16-17

100Taufig Hamami. Op.Cit. Hal. 34. Lihat pula dalam Muhammad Salam Madkur.1964. Al Qadla Fil Islam. Mesir : Darun-Nahdah al Arabiyah. Hal. 11

101Departemen Agama RI. 1992. Al Qur’an dan Terjemahannya. Bandung : GemaRisalah. Hal. 673, 933 dan 427.

Page 86: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

80

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

syara yang diambil dari Al Qur’an dan As-sunnah. MuhammadSalam Madkur mengemukakan bahwa ada juga yangberpendapat bahwa qadla itu memutuskan hukum antaramanusia dengan benar, dan memutuskan hukum dengan apayang diturunkan Allah. Ahli-ahli Fiqh bahkan memberikandefinisi qadla dengan suatu keputusan produk pemerintah.102

Adapun salah seorang ahli hukum di Indonesiamemaksudkannya sebagai segala sesuatu yang adahubungannya dengan tugas negara dalam menegakan hukumdan keadilan.103 Atau lebih tepatnya barangkali yangdimaksudkan dengannya adalah “daya upaya mencari keadilanatau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurutperaturan peraturan dan lembaga-lembaga tertentu dalampengadilan”. 104

Berdasarkan ketiga rumusan tentang istilah peradilantersebut yang tampaknya berbeda tetapi mempunyai makna danmaksud yang sama itu dapat memberi pemahaman kepada kita,bahwa yang dimaksud dengan istilah peradilan pada hakikatnyatidak lain sebagai tugas penyelesaian persengketaan-persengketaan hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukumatau undang-undang guna menegakan hukum dalam mencapaikeadilan, kebenaran, ketertiban dan kepastian hukum. Tujuanadalah untuk menciptakan suatu tata kehidupan dalammasyarakat dan negara yang tertib dan teratur, setiap orangdapat dilindungi dari setiap gangguan. Sebaliknya, setiap or-ang melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya.Dengan terciptanya suatu masyarakat yang tertib dan teratur,sudah barang tentu akan dapat mewujudkan suasanaperikehidupan yang aman dan tentram.

102Muhammad Salam Madkur. Op. Cit. Hal. 12.103R. Subekti. Dan Tjitrosoedibio. 1971. Kamus Hukum. Jakarta : Pradya Paramita.

Hal. 77.104Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan. 1983. Sejarah Singkat Pengadilan

Agama Islam di Indonesia. Surabaya : Bina Ilmu. Hal. 15.

Page 87: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

81

Menurut Zaini Ahmad Noeh, pada asal usulnya istilahPeradilan Agama ini sebagai terjemahan dari pada istilahgodsdientige rechtspraak. Suatu istilah yang tentunya berasal dariperundang-undangan Belanda. Godsdientige berarti ibadah atauagama, sedangkan rechtspraak berarti peradilan. Istilah tersebutdalam perundang-undangan Belanda dipakainya sebagaipemisahan dari Peradilan Umum yang disebutnya dengan istilahreldlijke rechtspraak, yang lebih bersifat keduniawian.105 Cik HasanBisri mengemukakan, sebenarnya dalam kajian historis terdapatpenamaan yang aneka ragam terhadap Peradilan Agama selaingodsdientige yakni priesterraad, penghoeloe gerecht, raad agama,sooryo hooin, peradilan agama Islam.106

Sebagai pelaksanaan dari tugas peradilan tersebut dalamistilah hukum dikenal dengan pengadilan. Dalam kamus UmumBahasa Indonesia, kata pengadilan mengandung pengertiandewan yang mengadili perkara; mahkamah; cara mengadili;keputusan hakim; sidang hakim ketika mengadili perkara;rumah tempat mengadili perkara.107 Sedangkan dalam kamushukum dijelaskan bahwa pengadilan adalah suatu dewan ataubadan yang berkewajiban mengadili perkara-perkara denganmemeriksa dan memberi putusan tentang persengketaan

105Ibid.106 Penamaan yang beraneka ragam tersebut berlangsung hingga awal tahun 1980,

yang terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok Peradilan Agama di Jawa-Maduradisebut Pengadilan Agama (Priesterraad) dan MIT (Hof Voor Islamietische Zaken).Kemudian kel. Peradilan Agama di sebagian Kal-Sel dan Timur yang disebutKerapatan Qadli (Kadigerecht) dan Kerapatan Qadli Besar ( Opper Kadigerecht) danterakhir kel. Peradilan Agama di luar wilayah yeng telah disebutkan dinamakanPengadilan Agama/Mahkamah Syariyyah dan Pengadilan Agama/MahkamahSyariyyah Propinsi. Aneka ragam sebutan ini kemudian disatukan dengan Kept.Menteri Agama ( Alamsyah Ratu Prawira Negara) No. 6 th. 1980 tanggal 28 Januari1980, menjadi Pengadilan Agama (untuk tingkat pertama) dan Pengadilan TinggiAgama (untuk tingk. Banding), tetapi tidak menseragamkan kompetensinya. SebabKepmen. Tidak cukup kuat untuk mengubah kompetensi Peradilan Agama yangdulunya diatur dengan Ordonantie atau PP. Sebutan seragam inilah nantinya yangdiambil over ke dalam UU No. 7 Tahun 1989. Roihan A. Rasyid. Op. Cit. Hal. 17-18.Lihat pula dalam Cik Hasan Bisri. Op. Cit. Hal. 35.

107WJS. Poerwadarminta. Loc.Cit.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 88: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

82

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

hukum, pelanggaran hukum, atau undang-undang.108 Ini berartiantara peradilan dengan pengadilan menempati pemaknaanyang berbeda, akan tetapi tidak dapat dipisahjauhkan, dimanaperadilan sebagai jiwa, ide dan policy tentang adil yang harusditerapkan sebagai realisasinya pada pengadilan.

Berdasarkan uraian sebelumnya, bukan berarti yangdimaksudkan dengan Peradilan Agama itu sebagai tugaspenyelesaian persengketaan atau perbedaan faham mengenaimasalah agama, tetapi yang dimaksudkan disini tidak lain adalahtugas penyelesaian persengketaan-persengketaan hukum danpelanggaran-pelanggaran hukum atau undang-undang bagiorang-orang yang beragama Islam mengenai perkara tertentuyang penyelesaiannya harus diselesaikan berdasarkan ketentuanhukum Islam. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama joUndang-Undang No. 3 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2bahwa “Peradilan Agama adalah Peradilan bagi orang-orangyang beragama Islam… mengenai perkara tertentu yang diaturdalam undang-undang ini”.

Taupiq Hamami memberikan garis simpul bahwa PeradilanAgama merupakan suatu institusi yang bertugas untukmenegakan hukum dan keadilan karena adanya persengketaandi antara orang-orang yang beragama Islam yang diajukankepadanya. Sebagai suatu institusi yang menyelenggarakantugas-tugas peradilan, Peradilan Agama harus memiliki tigaperangkat dasar, yakni : peraturan perundang-undangan, aparatpenegak hukum, dan tata laksana, sarana serta prasarana.109

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa dalamnegara hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasiladan UUD 1945, kedudukan badan Peradilan Agama adalahmerupakan salah satu pelaksana dan penyelenggara kekuasaankehakiman. Ia mempunyai kedudukan yang sejajar dengan

108J.T.C. Simorangkir. 1971. Kamus Hukum. Jakarta : Erlangga. Hal 90.109Taupiq Hamami. Op. Cit. Hal 37

Page 89: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

83

peradilan-peradilan lainnya dalam menegakan hukum.Sebagaimana badan peradilan lainnya, kekuasaan kehakimandi lingkungan Peradilan Agama juga berpuncak padaMahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Hal initercermin dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989. Peradilan Agama, dalam penyelesaian perkaranya makapelaksanaannya tak dapat dilepaskan sama sekali daripadahukum agama yaitu Islam. Walaupun demikian, Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 Pasal 49 telah memberikan batasanjenis perkara apa saja yang menjadi kewenangan absolutnyayaitu :

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkatpertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,shadaqah; dan ekonomi syari’ah. Pengaturan lebih lanjutmengenai bidang perkawinan termuat di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, sebagaimanajuga diuraikan dalam Penjelasan Pasal 49 Undang-UndangNomor 3 tahun 2006.

Berdasarkan ketentuan di atas, dengan demikian PeradilanAgama termasuk peradilan khusus. Kekhususan bagi PeradilanAgama karena Ia merupakan peradilan bagi para pencarikeadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yanghanya terbatas mengenai hukum kekeluargaan, sepertiperkawinan, perceraian dan kewarisan serta sebagian hukumperikatan seperti wasiat wakaf, hibah dan shadaqah, zakat, sertaekonomi syari’ah. Kekhususan dimaksud terletak padakewenangan mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenaigolongan rakyat tertentu.

Peradilan Agama sebagai perwujudan peradilan Islam diIndonesia secara garis besar wilayah pengkajiannya tercermindalam rumusan pengertiannya, yang secara rinci meliputi :1. Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman yang bebas

dari campur tangan kekuasaan negara lainnya dan dari pihakluar;

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 90: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

84

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

2. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, meliputihirarki, susunan, pimpinan, hakim, panitera, dan unsur laindalam susunan organisasi pengadilan;

3. Prosedur berperkara di Pengadilan, yang mencakup jenisperkara, hukum prosedural, dan produk-produknya;

4. Perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat,hibah, perwakafan, dan shadaqah. Ia mencakup variasi dansebarannya dalam berbagai badan peradilan;

5. Orang-orang yang beragama Islam sebagai pihak yangberperkara, atau para pencari keadilan;

6. Hukum Islam sebagai hukum substansial yang dijadikanrujukan;

7. Penegakan hukum dan keadilan.Bila dikaji secara lebih dalam, perwujudan Peradilan Agama

di Indonesia dapat dilihat dari beberapa sudut pandang.Pertama, secara filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkanuntuk menegakan hukum dan keadilan. Hukum yang ditegakanadalah hukum Allah yang telah disistematisasi oleh manusia.Sedangkan keadilan yang ditegakan adalah keadilan Allah,sebagaimanatercermin di dalam Kepala Putusan Pengadilan“Bismillaahirrahmaanirrahiim” dan Demi Keadilan BerdasarkanKetuhanan Yang Maha Esa”. Kedua, secara yuridis hukum Islam(di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf danshadaqah) berlaku di pengadilan dalam lingkungan PeradilanAgama. Ketiga, secara historis Peradilan Agama merupakansalah satu mata rantai peradilan Islam yang berkesinambungansejak masa Rasulullah SAW. Keempat, secara sosiologis PeradilanAgama didukung dan dikembangkan oleh dan di dalammasyarakat Islam.110

Daniel S. Lev menggambarkan bahwa pertumbuhan danperkembangan Peradilan Agama yang kelihatannya ganjil, tidakhanya mampu bertahan hidup tetapi dalam berbagai hal

110Cik Hasan Bisri. Op.Cit. Hal 23, 24 & 33.

Page 91: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

85

mengalami perkembangan yang semakin kuat. Sedangkan dinegara-negara Islam lainnya, pranata-pranata hukumkeagamaan banyak yang dihapus dan dibatasi.111

Eksistensi Peradilan Agama dalam sistem tata hukum diIndonesia, secara lebih nyata yaitu sejak disahkan dandiundangkannya UU Nomor 14 tahun 1970. Kemudianmenyusul UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 tahun 1975,PP Nomor 28 Tahun 1977, UU Nomor 7 tahun 1989, dan InpresNomor 1 Tahun 1991 tentang KHI. Peraturan perundang-undangan tersebut menuntut berbagai konsekuensi , antara lainpembentukan PA diseluruh wilayah kabupaten/kotamadya danPTA di seluruh wilayah propinsi ; peningkatan kualitas PA danPTA diseluruh wilayah Indonesia; penambahan jumlah hakimdan panitera pengganti; pengangkatan jurusita; peningkatankualitas hakim dan panitera; peningkatan kualitas administrasiperadilan; dan penambahan serta peningkatan sarana danprasarana yang mendukungnya.112

Abdul Halim menjelaskan bahwa RUU Nomor 7 tahun 1989sebenarnya telah ada semenjak KH. Muhammad Dahlan danH.A. Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Kendati demikian, baruditanggapi oleh pemerintah pada tahun 1982 dengan keluarnyakeputusan Menteri Kehakiman tahun 1982 Nomor G-164-PR-09.03/1982 yang berisi keputusan untuk membentuk timpembahas dan penyusun RUU tersebut. Tertunjuk sebagaiketuanya adalah Bustanul Arifin. Menurut Bustanul Arifin dalampenyusunan RUU tersebut banyak sekali tantangan dari berbagaipihak untuk menggagalkannya.113

Berkat perjuangan yang gigih dari para pakar hukum danpara ulama serta jaminan politik pemerintah, RUUPA disetujuimenjadi Undang-Undang. Sholeh Iskandar sebagaimana dikutifoleh Bustanul Arifin berkata “Kami ulama bukan bertindak atas

111Zaini Ahmad Noeh (Trans). Daniel S. Lev. Op. Cit. Hal ix.112Cik Hasan Bisri. Loc. Cit.113Abdul Halim. Op. Cit. Hal. 127-128

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 92: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

86

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

dasar iman saja atau kepentingan diri sendiri, tetapi atas dasarkepentingan negara juga.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 membawadampak positif dan dapat mengakhiri perlakuan tidak wajarterhadap Peradilan Agama sebagai peradilan yang sudah adasemenjak tahun 1882.114 Menurut Bustanul Arifin sebagaimanadikutif oleh Cik Hasan Bisri, Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989 adalah lompatan raksasa. Dari segi perundang-undangandia adalah lompatan 100 tahun dan dari segi hukum substantifdia adalah lompatan 100 windu. Itulah mungkin yangmenyebabkan RUUPA begitu ramai ditanggapi. Intisarimasyarakat Pancasila adalah keluarga, dan karena itu adanyaPeradilan Agama yang merupakan peradilan keluarga (familyCourt) bagi orang-orang Islam Indonesia amat menguntungkan,karena keadilan dan kepastian hukum yang diberikan PeradilanAgama akan mewujudkan kehidupan keluarga yang tenang dandamai. Putusan-putusan Peradilan Agama yang bertali ke langitdan berakar kebawah (masyarakat) akan mendatangkankesejukan bagi masyarakat.115 Akan tetapi walaupun demikian,rentang waktu lahirnya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989sangatlah panjang, yaitu 29 tahun kemudian setelah adanyapengaturan dalam UU Nomor 14 tahun 1970. Walaupun dalamPasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970, Peradilan Agama beradapada urutan kedua setelah Peradilan Umum, namun yang lahirlebih dahulu adalah Undang-Undang tentang Peradilan Umumdan PTUN yaitu tahun 1986. Padahal persiapan draf RUUPeradilan Agama telah dipersiapkan sekitar sepuluh tahunsebelumnya. Akhirnya Peradilan Agama jauh tertinggalbeberapa tahun. Suatu hal yang aneh terjadi bagi lembaga hukumIslam, terabaikan di tengah-tengah umatnya yang mayoritas.116

Berangkat dari perkembangan terakhir Peradilan Agamapada masa reformasi ini, seiring dengan perubahan terhadap

114Ibid. Hal. 137-138115Cik Hasan Bisri. Op.Cit. Hal. 243.116Abdul Halim. Op. Cit. Hal. 141.

Page 93: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

87

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dan dalam rangkamemperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka,sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum, makasebagai konsekuensi dari perubahan peraturan perundang-undangan yang ada, sudah seyogyanya Peradilan Agamasebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989perlu pula dilakukan perubahan. Hal ini dikarenakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dalam konteks kekinian sudahtidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukummasyarakat dan kehidupan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989oleh Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan Undang-UndangNo. 50 Tahun 2009, pada dasarnya adalah untuk menyesuaikanterhadap Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentangKekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Dengan dilakukanperubahan berarti pula telah diletakkan dasar kebijakan secaramenyeluruh bahwa segala urusan mengenai Peradilan Agama,baik menyangkut teknis yudisial maupun non yustisial yaituorganisasi, administrasi dan finansial di bawah kekuasaanMahkamah Agung. Disamping itu perubahan Undang-UndangNo 7 tahun 1989, akan semakin memantapkan kedudukan daneksistensi Peradilan Agama itu sendiri dalam sistem tata hukumdi Indonesia.

B. Restrukturisasi Peradilan Agama : KekhususanKetentuan dan Latar BelakangnyaPemikiran reformatif dalam bidang hukum, berkenaan

dengan peran kekuasaan kehakiman yang muncul dalam erareformasi pertengahan akhir tahun 1990-an adalah bahwaorganisasi, administrasi dan keuangan lembaga kekuasaankehakiman harus ditangani oleh kekuasaan kehakiman sendiri,yaitu oleh badan peradilan. Kewenangan eksekutif menanganiorganisasi, administrasi dan keuangan peradilan mengakibatkan

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 94: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

88

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

badan peradilan tidak berdiri independen, terpengaruh olehkekuasaan eksekutif. Eksekutif secara langsung dapatmempengaruhi badan peradilan, karena tiga aspek kewenanganyang berada ditangannya itu. Agar aspek negatif itu dapatditiadakan, maka agenda yang kemudian dijalankan adalahdengan melakukan restrukturisasi lembaga peradilan sebagaibentuk kebijakan kekuasaan kehakiman di bawah satu atap.

Berjalannya proses restrukturisasi ini telah menempatkanIndonesia memasuki babak baru dalam kehidupanketatanegaraan yang berkaitan dengan masalahpenyelenggaraan fungsi kekuasaan kehakiman. Berdasarkansistem peradilan satu atap, lingkup fungsi pengawasanMahkamah Agung terhadap pengadilan menjadi menyeluruh,tidak hanya pada lingkup pengawasan penyelenggaraanperadilan dan tingkah laku para hakim dan tenaga teknis sertanon teknis, tetapi juga meliputi bidang administrasi, organisasidan finansial.

Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman,keberadaan Peradilan Agama juga mendapat tempat dalamproses restrukturisasi. Meskipun demikian, ternyata realisasikehendak TAP MPR/X/1998 yakni terlepasnya kekuasaaneksekutif atas badan Peradilan Agama di bidang organisasi,administrasi dan finansial, bukanlah hal yang mudah, yanglangsung dapat dilaksanakan. Akan tetapi terdapat tarik ulurantar eksekutif (Departemen Agama) dan Yudikatif (PeradilanAgama)117, sehingga hal inilah yang kemudian justrumenempatkan badan Peradilan Agama dalam posisi yang khususdan tidak menentu dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 1999.Terhadap Peradilan Agama, tidak diberi limit waktu 5 tahununtuk masuk dalam sistem satu atap MA, sebagaimana badanperadilan lainnya (Pasal 11 A ayat (2) UUNO 35 Th. 1999).

117Taupiq Hamami. Op. Cit. Hal. 32

Page 95: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

89

Menelusuri kembali pemikiran yang berkembangsebelumnya, dapat dikatakan bahwa pemisahan kekuasaaneksekutif dari yudikatif yang diatur dalam Undang-Undang No.35 Thn. 1999 tidak lain dalam rangka memantapkan posisilembaga-lembaga peradilan pada segi-segi hukum formal danteknis peradilan sehingga terwujud kekuasaan kehakiman yangmerdeka dengan terselenggaranya peradilan yang bebas daripengaruh dan intervensi kekuasaan eksekutif. Termasuktentunya dalam cita-cita ini adalah lembaga Peradilan Agama,yang kedudukan dan eksistensinya telah sejajar dengan badanperadilan lainnya, serta diakui dalam sistem tata hukum di In-donesia.

Walaupun kerangka pikir tersebut di atas membantu untukmendapatkan gambaran betapa urgennya restrukturisasi itudijalankan, namun proses pelaksanaannya masih dihadangkesulitan, terutama dalam menggambarkan perkembanganproduk hukumnya. Seperti diketahui, proses pembuatan suatuproduk hukum seringkali berjalan dalam kurun waktu yanglama. Perdebatan tentang gagasannya berlangsung dalam waktuyang lama, begitu pula perancangan dan proses pengesahannyadi DPR. Apalagi terhadap produk hukum yang bersifat sensitifakan menyita waktu yang lebih banyak. Demikianlah misalnyadengan Undang-Undang perkawinan, sudah digagaskan sejaktahun 1950-an dan baru dihasilkan di awal tahun 1970-an.Kemudian perdebatan tentang Undang-Undang PeradilanAgama juga menunjukkan gejala serupa. Hal yang samaditemukan kembali sewaktu DPR bersama pemerintahmemberikan batas waktu yang jelas yakni 5 tahun kepada badanperadilan lain, selain Peradilan Agama. Hal ini seakan-akanmeninggalkan makna bahwa untuk Peradilan Agama, butuhwaktu yang lebih untuk dapat masuk ke dalam sistem satu atapMahkamah Agung atau bahkan dapat pula berada diluarnya.Akan tetapi kemudian lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun2004, memberikan angin segar bagi Peradilan Agama walaupunmasih ada kekhususan yang ditujukan kepadanya. Misalnyadalam penjelasan Umum dari Undang-Undang ini menggariskanbahwa “mengingat sejarah perkembangan Peradilan Agama

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 96: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

90

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaanterhadap badan Peradilan Agama dilakukan denganmemperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan MajelisUlama Indonesia”. Disamping itu ketentuan peralihan yangtertuang dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang ini jugamenempatkan Peradilan Agama dalam waktu yang berbedaterhadap pengalihan organisasi, administrasi dan finasial yaknipaling lambat tanggal 30 Juni 2004.

Memahami lebih jauh makna yang tertuang dalamPenjelasan Umum tersebut, bahwa ternyata hal yangmelatarbelakangi proses restrukturisasi terhadap PeradilanAgama, sehingga ditentukan secara khusus adalah spesifiknyasejarah Peradilan Agama yang mengakibatkan pembinaanterhadapnya haruslah memperhatikan saran dan pendapatMenteri Agama. Sebagai konsekuensi dari keadaan ini, PeradilanAgama menjadi tidak termasuk dalam RUU perubahanKekuasaan Kehakiman yang telah disetujui oleh DPR.118

Mengkaji ulang sejarah Peradilan Agama di Indonesia dalamsistem peradilan nasional, kemudian membandingkannyadengan sejarah perkembangan peradilan lainnya, makamemanglah terhadap Peradilan Agama memiliki spesifikasisejarah yang unik. Peradilan Agama harus mengalami perjalananyang panjang untuk dapat diakui kedudukan dan eksistensinyadalam sistem tata hukum di Indonesia.

Dalam kehidupan kemasyarakatan apalagi bernegara,setelah Indonesia dijajah oleh Belanda, lingkaran politikhukumnya mulai memberikan pengaruh terhadap keberadaanLembaga Peradilan Agama di Indonesia terutama terkait denganpemberlakuan hukum Islam. Munculnya teori Receptie in

118Abdullah Gofar. “Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”.Loc.Cit.

Page 97: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

91

Complexu yang diusung oleh Lodewijk Willem Christiaan van denBerg (1845-1927)119 yang pada hakikatnya mengakomodasikankenyataan hukum yang telah ada di dalam masyarakat,walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.

Daniel S. Lev menjelaskan bahwa terdapat perubahansusunan Pengadilan Agama pada tahun 1882, yang sebetulnyatidak mencapai susunan yang dikehendaki, ternyata telahmembawa beberapa perubahan penting, terutama mengenaireorganisasi. Reorganisasi ini pada dasarnya adalah membentukpengadilan-pengadilan agama yang baru disamping setiap“Landraad”, dengan daerah hukum yang sama, rata-rata seluassebuah kabupaten. Kekuasaan untuk melaksanakan keputusandiserahkan kepada Landraad. Pengadilan yang baru ini disebutpriesterraad. Hal ini disebabkan salah pengertian bahwa parapenghulu dan bawahannya dikira berkedudukan sebagaipendeta-pendeta. Pengadilan Agama bersifat kollegial, terdiridari seorang penghulu sebagai ketua serta tiga sampai delapananggota. Bentuk inipun merupakan akibat salah pengertian pulayang telah dikecam oleh Snouck dan senantiasa diulangi olehpara ahli dewasa ini, namun tetap bertahan. Salah satu efek pal-ing berarti dari reorganisasi itu adalah melonggarnya ikatanantara para pejabat agama dengan atasannya kaum priyayi.Ketua Raad Agama, yang juga berkedudukan sebagai penasehatLandraad, sejak itu ditunjuk dan diangkat oleh Residen Belanda

119L. W. C. van den Berg adalah ahli dalam hukum Islam dan disebut “orangyang menemukan dan memperlihatkan berlakunya hukum Islam di Indonesia”walaupun sebelumnya telah banyak penulis yang membicarakannya. Melalui teoriini ia mengatakan bahwa bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam . Dia jugamengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankanoleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para Qadli Islam. Lihat Sayuti Thalib.1982. Recetio A. Contrario : Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Jakarta : BinaAksara. Hal. 15-17. Taupiq. “Kebijakan-kebijakan Politik Pemerintah Orde BaruMengenai Hukum Islam” dalam Muhammad Atho Mudzhar (“et al”). 1998. HukumIslam Dalam Tatanan Masyarakat Indonesia. Jakarta : Logos. Hal. 71-72. Lihat pulaMuhammad Fajrul Falaakh. 1993. “Peradilan Agama dan Perubahan Tata HukumIndonesia”. Op. Cit. Hal. 29-30.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 98: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

92

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

atau bagi keempat daerah Swapraja Surakarta dan yogyakartaoleh Gubernur. Kebebasan Raad Agama dari penguasa di Jawa,yang menurut pikiran Belanda adalah atas prinsip pemisahanfungsi yudikatif dan eksekutif, dalam kenyataannya tidak segeradapat berjalan. Hubungan antara pejabat agama dengankeluarga kabupaten masih terlalu kuat untuk diputuskan.120

Pengalaman terpahit Peradilan Agama dirasakan pada masapemerintahan Hindia Belanda, terutama setelah Christian SnouckHurgronye (1857-1936) memunculkan teori receptie yangdidukung dan dikembangkan oleh Van Vollenhovven dan Ter HaarBzn.121 Snouck Hurgronye mengemukakan teori ini karena iakhawatir pengaruh Pan Islamisme yang dipelopori oleh SayidJamaluddin al Afghani. Ia merumuskan saran kepadapemerintah Hindia Belanda tentang kebijaksanaan terhadap Is-lam yang dikenal dengan “Islam Policy”.122

Berdasarkan teori receptie tersebut, kemudiandiberlakukannya Reglement tentang Raad Agama, MahkamahIslam Tinggi di tanah Jawa dan Madura yaitu Stbl. 1937-116dan 610, Reglement Pengadilan agama untuk sebagian residentieBorneo Selatan dan Timur yaitu Stbl 1937-638 dan 639.Pemberlakuan peraturan ini membawa pengaruh yang sangatbesar terhadap perkembangan Peradilan Agama khususnyakewenangan dan pelaksanaan keputusan. Kewenanganperadilan Agama hanya sebatas dalam menyelesaikan perkara-perkara nikah, talak dan rujuk saja. Sedangkan tentang

120Zaini Ahmad Noeh (trans). Daniel S. Lev. Op. Cit. Hal. 29-30121C. Snouck Hurgronye adalah penasihat Hindia Belanda pada tahun 1898

tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Disamping keahliannya dalam bidang hukumIslam, Snouck juga ahli dalam hukum Adat sebagian daerah Indonesia. Tulisannyaadalah De Atjehers dan De Gajoland. Melalui teori Receptie ini ia mengatakan “bahwabagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum Adat; hukum Islam berlaku kalaunorma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum Adat”. Ibid.lihat pula Ichtijanto. “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam Di Indone-sia”. Dalam Rachmat Djatnika. (“et al”). 1994. Hukum Islam di Indonesia, Perkembangandan Pembentukan. Bandung : Remaja Roesdakarya. Hal 100-123.

122S. Gunawan. (Trans). C. Snouck Hurgronje. 1973. Islam di Hindia Belanda.Jakarta : Bhratara. Hal. 9.

Page 99: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

93

perselisihan harta benda dan waris serta wakaf dialihkan menjadiwewenang landraad.

Disamping kewenangannya yang dibatasi, badanpenyelenggara Peradilan Agama juga tidak mempunyai dayapaksa dalam hal pelaksanaan keputusan. Apabila salah satupihak yang berperkara tidak mau tunduk kepada keputusanyang dijatuhkan atau tidak mau membayar ongkos perkara yangtersebut dalam vonis, maka keputusan baru dapat dijalankandengan terlebih dahulu diberikan kekuatan oleh ketua Landraadyang berkuasa dalam jajaran pengadilan Islam tersebut. Sejakberlakunya Ordonansi Hindia Belanda tersebut, maka jadilahpengadilan agama sebagai quasi pengadilan. Namanyapengadilan tetapi pada hakekatnya sama sekali bukanpengadilan, melainkan sekedar badan administrasi mengenainikah, talak dan rujuk yang tidak memiliki kekuasaan untukmelaksanakan keputusan sendiri.

Melalui peraturan itu rezim kolonial berhasil menciptakanrekayasa ilmiah dibidang hukum. Semua itu ditujukan untukmengeliminasi hukum Islam yang menjadi kesadaran hukumrakyat Indonesia dan dimata kolonial dianggap menjadipenghalang kolonialisme dan imperialisme. Hal demikian tetapberlangsung pada masa penjajahan Jepang dan tidak mengalamiperubahan yang berarti sampai Indonesia merdeka.

Setelah Indonesia merdeka Hazairin berpendapat bahwateori receptie bertentangan dengan agama dan tak berpijak padaUUD 1945, khususnya dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD1945. Karenanya harus exit dari sistem hukum nasional yangberdasarkan Pancasila. Pendapat ini kemudian lebih dikenaldengan teori receptie exit dan dikembangkan kemudian olehSayuti Thalib lewat teorinya receptie a contrario123.

123Sayuti Thalib melalui teori receptie a contrario mengemukakan bahwa hukumyang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya, hukum adat hanya berlaku kalautidak bertentangan dengan hukum agama. Teori ini adalah kebalikan dari teorireceptie. Sayuti Thalib. Receptio a Contrario : Hubungan Hukum Adat dengan HukumIslam. Loc. Cit.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 100: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

94

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Munculnya teori-teori tersebut menggambarkan betapasuatu institusi keagamaan atau kemasyarakatan dalamperkembangannya sulit memisahkan dari keterpengaruhanpolitik hukum yang berkembang. Karena setting politik secaranormatif ikut memberikan bentuk dan warna bagi kelangsunganhidup suatu institusi.

Akhir masa pendudukan Jepang, seluruh Peradilan Agamamasih di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman. Para Kiyaiyang tergabung dalam Mahkamah Islam Tinggi tidak ada yangberinisiatif untuk mengadakan perubahan dalam kedudukanPeradilan Agama tersebut. Barulah sewaktu Departemen Agamadibentuk, yaitu berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor 1/S.D pada tanggal 3 Januari 1946, terasa perlu ada sesuatuperubahan untuk menegaskan pertanggungan jawab atasPeradilan Agama ini. Kabinet telah memberikan konsesi kepadagolongan Islam, dan kini tidak memperhatikan apa yangdilakukan oleh Menteri Agama dan Departemennya. MenteriAgama Rasyidi segera menghubungi Kyai Adnan (Ketua MIT),agar mau membawa Peradilan Agama ke dalam tubuhDepartemen Agama. Oleh Kiyai Adnan dikatakan, bahwa di saatitu ia mempunyai kebebasan untuk memilih. MasuknyaPeradilan Agama ke tubuh Departemen Agama dengan syaratMenteri Agama menerima bahwa pemindahan itu tidak sajaharus mencegah terjadinya kemerosotan di dalam PeradilanAgama, tetapi juga akan meningkatkan dan memulihkanwewenang-wewenang yang telah dicabut darinya sebelumperang.124 Akhirnya kemudian berdasarkan PenetapanPemerintah Nomor 5/S.D, sejak tanggal 25 Maret 1946Mahkamah Islam Tinggi yang semula dalam kementrianKehakiman dipindahkan ke kementrian Agama. Sejak itu tugasDepartemen Agama salah satunya adalah membina MahkamahIslam Tinggi dan Pengadilan Agama dalam organisasi,administrasi dan pembinaan sarana.125

124Zaini Ahmad Noeh (Trans). Daniel S. Lev. Op.Cit. Hal. 85-86.125Cik Hasan Bisri. Loc.Cit.

Page 101: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

95

Setelah Peradilan Agama berada di bawah pembinaanDepartemen Agama, beberapa perbaikan memang telahdilakukan antara lain dengan pemberian gaji dan lain-lain halyang dituntut sejak 1930-an dan dikeluarkannya UU 22/1946.Walaupun dikala itu dikemukakan pernyataan yang agakambisius tentang kemungkinan Peradilan Agama di masamendatang, namun ternyata tidak banyak yang diperbaiki,sehingga beberapa tahun kemudian Kiyai Adnan menyatakankekecewaannya atas kegagalan dipenuhinya janji-janji perbaikanoleh pihak Departemen Agama.126 Padahal kala itu, ahli hukumnasionalis selalu menggunakan setiap kesempatan untukmenghapuskan Peradilan Agama. Usaha pertama denganditerbitkannya UU No. 19 Tahun 1948 yang tidak pernah berlaku,berhubung masih berkecamuknya perang revolusi. Pasal 35 danpasal 45 menyatakan bahwa “perkara perdata antara orang-or-ang Islam yang menurut hukum yang hidup harus diperiksadan diputuskan menurut hukum agamanya harus diperiksa olehbadan-badan peradilan umum” dan “dilakukan oleh seoranghakim yang beragama Islam sebagai ketua dan dua orang hakimahli agama Islam sebagai anggotanya”. Tidaklah nampak parapenyusun undang-undang dalam Departemen Kehakiman itutelah berkonsultasi dengan Departemen Agama atau golonganIslam, mungkin hal ini dilakukan dengan beberapa intelektuilIslam, terutama para ahli hukumnya, tetapi kemudian undang-undang ini tidak berjalan.127

Dengan demikian, sedianya Peradilan Agama pada tahun1948 dijadikan salah satu bagian Peradilan Umum, tetapisebelum ketentuan tersebut dapat berlaku sudah ada sebuahundang-undang yang memberikan pengakuan bahwa PeradilanAgama adalah Peradilan yang mandiri yakni UU Darurat No.1Tahun 1951. Undang-undang ini melakukan penghapusansemua peradilan adat dan swapraja kecuali Peradilan Agama

126Zaini Ahmad Noeh (Trans). Daniel. S. Lev. Loc.Cit.127Ibid. Hal 87-88.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 102: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

96

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

jika merupakan bagian tersendiri dari peradilan swapraja.Sehingga seiring dengan berjalannya waktu Peradilan Agamasudah mulai memperoleh legalitasnya.

Walaupun para pejabat Departemen Agama sibukmengadakan reorganisasi ke dalam, tetapi adanya kekhawatiranterhadap tekanan-tekanan golongan nasionalis telah menggugahmereka untuk lebih memperhatikan Peradilan Agama. Akantetapi terdapat adanya kerancuan pemahaman terhadapPeradilan Agama oleh pihak Departemen Agama yangmenganggapnya tercakup dalam arti administratif, sehinggaPeradilan Agama ditempatkan di bawah pertanggungan jawabJawatan Urusan Agama, yang mempunyai tugas-tugas lain pula.

Setelah persoalan Peradilan Agama dan hukum meningkat,barulah pimpinan Departemen Agama menganggap perlumengadakan suatu bagian khusus Peradilan Agama pada tahun1952 yakni Biro Peradilan Agama. Teori-teori tentang pemisahanantara fungsi eksekutif dengan yudikatif, mungkin telahmempengaruhi bentuk-bentuk reorganisasi ini. Namun menurutLev, pengambil alihan bentuk-bentuk demikian dalam praktiksering terjadi, yang menandakan bahwa para pejabat Islamsendiri memandang lembaga sipil mempunyai kedudukan lebihtinggi dari lembaga peradilan.

Semenjak itu Biro Peradilan Agama yang kemudian menjadiDirektorat Peradilan Agama, mengusahakan pembentukanPengadilan Agama di luar Jawa-Madura; mempertahankannyadari serangan-serangan bila perlu, serta melakukan apa sajauntuk mengawasi pelaksanaan peradilan yang nampaknyamemang perlu.

Suatu ancaman yang lebih umum datang dari DepartemenKehakiman, dan tumbuh semakin serius setiap kali disusunsebuah RUU tentang susunan peradilan. Nampaknya menjadipengalaman historis bagi Islam, bahwa setiap ada penyusunanUndang-Undang baru tentang organisasi peradilan, PeradilanAgama sedikit tidaknya kehilangan kekuasaanya. Seolah-olahada perasaan terpendam, bahwa masih akan ada usaha-usaha

Page 103: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

97

lagi untuk meniadakan Peradilan Agama seperti yang terjadipada masa revolusi.128

Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1970 denganlahirnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, menggariskanbahwa badan Peradilan Agama merupakan satu dari empatlingkungan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakimanyang berpuncak pada Mahkamah Agung. Dengan lahirnyaundang-undang ini juga semakin memantapkan posisiDepartemen Agama dalam tugasnya membina organisasi,administrasi dan finansial badan Peradilan Agama. Dalamrangka mencapai keseragaman sikap tindak antara MA danDepartemen Agama dalam pembinaan terhadap PeradilanAgama dan untuk menghindari perbedaan penafsiran dalampelaksanaan undang-undang, maka antara keduanya melakukankerjasama.

Setelah adanya kerjasama dengan MA, Departemen Agamamemulai langkah-langkah baru untuk menuju terwujudnyakesatuan hukum dan bentuk hukum tertulis bagi hukum Islam,yang sudah berlaku dalam masyarakat tetapi sebagiannyasebagai hukum tidak tertulis. Pertemuan antara MA denganMenteri Agama pada tanggal 15 Mei 1979 menghasilkandisepakatinya penunjukkan 6 orang Hakim Agung dari HakimAgung yang ada untuk bertugas menyidangkan danmenyelesaikan permohonan kasasi yang berasal dari lingkunganPeradilan Agama.129

Kerjasama antara Departemen Agama dan MA dalampembinaan Badan Peradilan Agama, terus ditingkatkan denganmenyelenggarakan rapat kerja bersama antara DepartemenAgama dan MA dengan PTA dan pertemuan antara para HakimAgung yang telah ditunjuk untuk menyelesaikan perkara-perkara yang berasal dari Badan Peradilan Agama dengan para

128Ibid. Hal. 88-92.129Zarkowi Soeyoeti. 1999. Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Yogyakarta

: UII Press. 57-58.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 104: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

98

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

ketua PTA. Dari pertemuan-pertemuan ini munculah gagasanketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan PeradilanAgama, yaitu Bustanul Arifin tentang penyusunan KHI denganmengusulkan adanya proyek pembangunan Hukum Islammelalui Yurisprudensi. Gagasan ini terealisasi dengan lahirnyaproyek kerjasama antara MA dan Departemen Agama yangditetapkan dengan SK Nomor. 07/KMA/1985 dan Nomor 25tahun 1985 tanggal 15 Maret 1985 di Yogyakarta.

Sejak dibentuknya proyek ini, sejarah penyusunan KHImemasuki periode baru ke arah terwujudnya secara nyata KHIdibidang yang menjadi kewenangan badan Peradilan Agama.Ide penyusunan KHI ini sendiri timbul beberapa tahun setelahMA melaksanakan pembinaan bidang teknis yustisial PeradilanAgama. Selama pembinaan ini, MA merasakan adanya beberapakelemahan dalam penyelenggaraan Peradilan Agama, antara lainmengenai hukum Islam yang ditetapkan yang cenderungsimpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalambanyak persoalan. Mengatasi ini perlu ada satu buku hukumyang menghimpun semua hukum terapan yang berlaku bagilingkungan Peradilan Agama.130 Hingga akhirnya melaluiinstruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 danKeputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No. 1 Tahun 1991, makaKHI resmi lahir dan berlaku.

Pembinaan terhadap Peradilan Agama oleh MA di bidangteknis Yustisial adalah didasarkan oleh UU No. 14 tahun 1970,namun sekalipun undang-undang tersebut ditetapkan dandiundangkan tahun 1970, baru 1980-an dilaksanakan dilingkungan Peradilan Agama, terutama setelahpenandatanganan SKB Ketua MA dan Menteri Agama No. 01,02, 03, dan 04/SK/1/1983 dan 1,2,3,4 tahun 1983. Keempat SKBini merupakan jalan pintas sambil menunggu lahirnya Undang-Undang tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara Peradilan

130Ibid. Hal. 58-59

Page 105: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

99

Agama, yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 bagi lingkungan PeradilanAgama.131

Seiring dengan berjalannya waktu, pembinaan terhadapPeradilan Agama baik oleh MA maupun oleh DepartemenAgama dituntut sejalan dengan peningkatan kebutuhan hukummasyarakat yang dilayaninya. Dalam konteks yang demikianlahirnya Undang-Undang No. 7 tahun 1989, yang walaupunsecara normatif masih menyisakan beberapa permasalahan, telahmampu memenuhi tuntutan tersebut. Perlu dicatat, hingga tahun1989, ketika undang-undang Peradilan Agama ini diberlakukantelah berdiri Pengadilan Agama sebanyak 326 dan 25 PengadilanTinggi Agama diseluruh Indonesia. Sedangkan hakimnya 2.576dan 6.753 tenaga administrasi lainnya.132

Dewasa ini, sejalan dengan semangat reformasi lahirnyakebijakan yang merumuskan bahwa untuk menanggulangi krisisdi bidang hukum dengan agenda antara lain pemisahan secarategas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum agar dapatdicapai profesionalitas, proporsionalitas dan integritas yang utuh, maka dilaksanakan dengan melakukan pemisahan yang tegasantara fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif. Kebijakan inilahyang dirasa oleh pihak Departemen Agama sebagai bentukgangguan, terhadap upayanya melakukan pembinaan terhadapPeradilan Agama dibidang organisasi, administrasi dan finansial,sehingga perlu segera ada upaya yang dilakukan.

Departemen Agama membentuk Tim pengkajian terhadapberbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitandengan badan kekuasaan kehakiman dalam hubungannyadengan TAP MPR No. X/1998, khususnya mengenai pemisahanyang tegas fungsi yudikatif dari eksekutif dan substansiKeputusan Presiden No. 21 Tahun 1999 tentang Tim KerjaTerpadu Pengkajian Pelaksanaan TAP MPR RI No. X/1998. Tim

131Ibid.132Abdullah Gofar. “Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”.

Loc. Cit.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 106: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

100

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

pengkajian ini akhirnya merekomendasikan temuannya ke TimKerja Terpadu guna mengambil langkah-langkah selanjutnya.

Dalam upayanya mempertahankan Peradilan Agama agartetap berada di bawah pembinaan Departemen Agama,setidaknya ada beberapa alasan yang dilontarkan untukdirekomendasikan, yaitu :1. Adanya keinginan mempertahankan ikatan historis antara

Peradilan Agama dengan Departemen Agama;2. Peradilan Agama yang bersifat spesifik telah berjalan sejak

sebelum penjajah datang dengan hukum materialberdasarkan hukum Islam yang bersumber pada Al Qur’andan Assunnah, dan setiap putusannya sejak tingkat pertamasampai tingkat kasasi harus diawali dengan“Bismillaahirrahmaanirrahiim” serta semua aparatnya harusberagama Islam. Sedangkan hukum formil dan prosesacaranya dapat mengikuti ketentuan yang berlakudilingkungan peradilan lain. Apabila Peradilan Agama lepasdari Departemen Agama dan sepenuhnya berada di bawahMahkamah Agung yang harus terbuka, maka tidaklahmustahil pada suatu saat kekhususan tersebut akan cair danbias. Bahkan yang telah terjadi pada saat sekarang dan telahmenjadi kenyataan, melalui SEMA Advokat/pengacara nonmuslimpun telah diizinkan dan dapat beracara di PengadilanAgama, padahal hukum yang diterapkan adalah hukum Is-lam.

3. Walaupun IKAHA sejak tahun 1965 telah diintegrasikan kedalam IKAHI, siapa yang dapat menghambat dan mencegahjika suatu saat Peradilan Agama hanya mempunyai satukamar saja di Peradilan Umum sebagaimana tertuang dalamUndang-Undang Nomor 19 tahun 1948, walaupun belumsempat berlaku.

4. Konsep satu atap yang akan membawa perubahan yang lebihbaik sebagaimana dijadikan dasar oleh sebagian kalanganhakim intern Peradilan Agama, masih perlu dibuktikankebenarannya. Ide dasar tentang konsep satu atap MA tidakhanya dapat diukur dari fasilitas, gaji hakim belaka, namun

Page 107: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

101

lebih jauh bagaimana menunjukkan supremasi hukumsebagaimana diharapkan dari agenda reformasi di bidanghukum.133

5. Ketidakbebasan dan ketidakmandirian badan peradilandikarenakan lebih pada faktor manusianya, tidak adanyakemurnian dan konsistensi pelaksanaan peraturan per-uu-anyang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Sehinggaagenda pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudikatifdari eksekutif sebagaimana diamanatkan TAP MPR No. X/1998 tidak harus diartikan bahwa semua lembaga peradilanharus berada satu atap di bawah MA.134

Selanjutnya Menko Wasbangpan selaku Ketua Umum TimKerja Terpadu pemisahan fungsi yudikatif dari eksekutif dengansuratnya tertanggal 4 Juni 1999, nomor 239/MK/WASPAN/6/1999, kepada Presiden menyampaikan rekomendasi badan-badan peradilan di bawah MA, yang kemudian ditindaklanjutioleh Presiden dengan mengajukan RUU tentang perubahan atasUndang-Undang No. 14 Tahun 1970 kepada DPR-RI melaluisuratnya tertanggal 9 Juni 1999, Nomor R.29/PU/VI/1999. Rapatparipurna DPR-RI yang dilaksanakan tanggal 30 Juli 1999akhirnya memutuskan bahwa pembinaan Peradilan Umum,Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan PeradilanMiliter, disatukan di bawah MA. Dan dilaksanakan paling lambat5 tahun sedangkan bagi Peradilan Agama tidak ditentukanwaktunya.135

Jika dirunut dari awal, dalam konteks sejarah dapatdipahami memang baik pihak Departemen Agama maupunkalangan ulama, sama-sama merasa turut membesarkan danmemberikan andil yang besar bagi perkembangan PeradilanAgama itu sendiri, sehingga ada ikatan historis yang ingindipertahankan. Namun demikian, apakah dengan adanya prosesrestrukturisasi terhadap Peradilan Agama, akan memudarkan

133Ibid.134Pengantar Redaksi dalam Mimbar Hukum. Op. Cit. Hal. 4135Ibid.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 108: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

102

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

dan membiaskan spesifikasi sejarah yang dimilikinya ataumemutuskan ikatan historis antara Peradilan Agama denganDepartemen Agama atau dengan para kalangan ulama. Penuliskira sejarah tidak akan mungkin diubah, tetapi melalui kajiansejarah dapat dijadikan pelajaran yang amat berharga untuk saatini, dan melangkah untuk masa mendatang.

Bertahannya Peradilan Agama dari segala bentuk rintanganmerupakan bukti bahwa kehadirannya memang menjadi sesuatuyang urgen bagi masyarakat Islam Indonesia. DiperlukannyaBadan Peradilan Agama sebagai salah satu pelaksana daripadakekuasaan Kehakiman dalam negara hukum Republik Indone-sia ini, karena memang merupakan bagian yang tidak dapatdipisahkan dari persoalan ketentraman bagian terbesar daribangsa Indonesia yakni umat Islam. Akibat daripada Islamsebagai agama hukum, ada bagian-bagian tertentu dalamkehidupan umat Islam khususnya di Indonesia yang tidak dapatdilepaskan sama sekali daripada aturan hukum agamanya.136

Kemampuan Peradilan Agama bertahan terutama dalam kondisisaat ini, tidaklah terlepas dari telah terpenuhinya persyaratanyang memungkinkan adanya dan beroperasinya sebuahPeradilan. Ada tiga syarat yang memungkinkan adanya lembagaperadilan yaitu adanya legalitas (peraturan hukum yangmembenarkan), adanya perangkat kelembagaan (hakim danfasilitas fisiknya), dan adanya hukum material yang dapatdijadikan pedoman dalam kompetensi absolutnya.137

Peradilan Agama telah memenuhi ketiga syarat tersebut,sehingga kedepannya kekhawatiran pihak Departemen Agamadengan adanya restrukturisasi ditubuh Peradilan Agamahanyalah trauma politis masa lalu. Mahfud MD dalam dalamtesisnya menyimpulkan bahwa “hukum adalah produk politik

136Taupiq Hamami. Loc. Cit.137Moh. Mahfud MD. 1999. Peluang Konstitusional Bagi Peradilan Agama.

Yogyakarta: UII Press. Hal. 26

Page 109: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

103

“ atau “hukum adalah kristalisasi dari kehendak-kehendakpolitik yang saling bersaingan”.138 Sehingga diskusi-diskusi yangmengiringi proses lahirnya Undang-Undang No. 35 Th. 1999sampai dengan Undang-Undang No. 4 Th. 2004, sebagai sebuahproduk hukum tidak dapat menghindarkan dirinya dari soal-soal politik, terutama kaitannya dengan keberadaan PeradilanAgama. Dalam keadaan demikian, cara berfikir atau logikayuridis memang seharusnya lebih dikedepankan daripadatenggelam di dalam kegaduhan-kegaduhan yang berbau politik.Departemen Agama masih banyak memiliki tugas yang lain,termasuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat dalambidang ibadah dan memang kaitannya dengan Peradilan Agama,ke depannya akan ada sumber anggaran yang hilang.

Pada dasarnya yang berkaitan dengan anggaran terdiri daridua bagian, yakni anggaran pendapatan dan anggaran belanja.Namun pada bagian ini hanya dijelaskan mengenai anggaranbelanja. Setiap negara atau instansi pemerintahan yang ada diIndonesia mempunyai dua komponen anggaran belanja, yaknibelanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja rutin lebihsering disebut dengan istilah anggaran rutin, sedangkan belanjapembangunan disebut dengan anggaran pembangunan.Anggaran rutin adalah komponen anggaran yang setiaptahunnya selalu ada. Contoh anggaran rutin adalah belanjapegawai (gaji, tunjangan dan uang lembur), belanja barang/jasa(pembelian alat tulis kantor, pembayaran rekening listrik dantelepon, perawatan gedung kantor, dan lain-lain). Sedangkanyang dimaksud dengan anggaran pembangunan adalahpembiayaan untuk proyek-proyek pembangunan yang sifatnyatidak rutin. Contoh dari anggaran ini adalah pembangunangedung kantor, rehab gedung, pembelian mobil, pembeliantanah untuk pembangunan gedung kantor baru, dll.

138Moh. Mahfud MD. Loc. Cit.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 110: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

104

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Mengkaji tentang proses anggaran, maka harusmembicarakan siklus anggaran keseluruhan. Siklus anggaransecara sederhana dapat dikatakan sebagai keseluruhan prosesanggaran, yakni mulai dari perencanaan atau pengajuan usulananggaran, pelaksanaan, pengawasan, sampai denganpertanggungan jawab anggaran.139

Pengelolaan manajemen anggaran pengadilan di Indone-sia pada dasarnya dibagi menjadi dua bagian, yakni pengelolaanterhadap anggaran MA dan pengelolaan terhadap anggaranpengadilan tingkat pertama dan tingkat banding baikdilingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan TataUsaha Negara dan Peradilan Militer. Pengelolaan keuangan MAdilakukan oleh MA sendiri. Sedangkan pengelolaan keuanganPengadilan tingkat pertama dan tingkat banding dilakukan olehdepartemen (eksekutif). Hal ini merupakan konsekuensi daridiberlakukannya sistem pengelolaan dua atap bagi peradilan.

Pedoman yang digunakan oleh pengadilan dalam prosesperencanaan dan pengajuan anggaran, baik anggaran rutinmaupun pembangunan adalah Buku Pola Pembinaan danPengendalian Administrasi Departemen Agama (Bindalmin).Bindalmin semacam aturan internal Departemen Agama berupastandart operating procedure (SOP) administrasi umum bagi semuapelaksana teknis yang berada di bawah Departemen Agama.Proses perencanaan dan pengajuan anggaran Peradilan Agama,dimulai saat PA dan PTA menyusun Pra Daftar Usulan Kegiatan(Pra-DUK). Penyusunan dokumen Pra- DUK ini dilakukan olehSub Bagian Keuangan yang ada di setiap pengadilan.

Komunikasi yang terjadi dalam proses penyusunan Pra-DUK hanya terjadi antara kepala Sub Bagian keuangan denganwakil sekretaris saja selaku atasan langsung KaSubBagKeuangan. Sedangkan bagian lain yang ada di pengadilan tidakterlibat. Panitera/Sekretaris biasanya hanya tinggal

139Kertas Kerja Mahkamah Agung RI. 2003. Pembaharuan Sistem PengelolaanKeuangan Pengadilan. Jakarta : MA RI dan The IMF Dutch Technical Assistance Sub.Account. Hal. 19

Page 111: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

105

menandatangi saja usulan yang diajukan tersebut. Dokumen Pra-DUK tersebut kemudian diserahkan kepada Kanwil Depag,guna dilakukan penyesuaian. Hal ini disebabkan karena adanyapola pengelolaan keuangan peradilan yang bersifat bertingkat.Pengelolaan ditingkat daerah dilaksanakan oleh Kanwil Depag,sedangkan ditingkat pusat dilakukan oleh Departemen Agama.

Proses penyesuaian dilakukan secara sepihak oleh pihakKanwil Depag, tanpa melibatkan pengadilan yangmengajukannya. Bahkan, hasil revisi itu tidak diberitahukankembali ke pengadilan. Kemudian Kanwil Depagmengkompilasi seluruh Pra-DUK yang dianggap telah realistisdari seluruh pengadilan-pengadilan diwilayahnya. KompilasiPra-DUK tersebut kemudian diserahkan kepada DepartemenAgama, yang selanjutnya mengevaluasi kembali seluruhkompilasi Pra-DUK dari seluruh Kanwil Depaq. Proses inidilakukan oleh rapat koordinasi yang dihadiri semua DirektoratJenderal di Departemen Agama.termasuk Direktorat JenderalBadan Peradilan Agama, yang bertanggung jawab terhadappengelolaan pengadilan.

Dalam proses tersebut, terlihat bahwa usulan anggaranrutin yang diajukan pengadilan dapat mengalami beberapa kalirevisi, baik oleh Kanwil Depag, Depag, kemudian juga olehDepkeu, Ditjen Anggaran Depkeu, Kanwil Ditjen AnggaranDepkeu dan oleh DPR. Kecuali pemotongan yang dilakukan olehKanwil Ditjen Anggaran Depkeu dalam menyusun DIK, praktisketika sebuah pengadilan menerima anggaran yang telahdisetujui, mereka tidak akan mengetahui apa penyebabanggarannya tersebut berkurang atau tidak sesuai dengan apayang mereka usulkan dan siapa pihak yang melakukanpemotongan tersebut. Keadaan ini pada dasarnya sama jugadalam proses perencanaan dan pengajuan usulan anggaranpembangunan, perbedaannya dalam proses ini ada keterlibatanBappenas.140

140Ibid. Hal. 23-28.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 112: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

106

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Besarnya kekuasaan yang diberikan kepada pihak eksekutifdalam hal anggaran terhadap pengadilan, tentunya memberikanpeluang masuknya berbagai kepentingan-kepentingan dalamrangka mencari keuntungan semata. Sehingga pengelolaansistem keuangan pengadilan di Indonesia termasuk tentunyaPeradilan Agama, belum mampu meningkatkan efisiensi,efektivitas, trasparansi dan akuntalibilitas. Padahal keempat halini adalah perangkat untuk mencapai tujuan utama dari prosesperubahan, yaitu memperbaiki kinerja pengadilan di Indonesiadalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga penegakanhukum dan pelayanan hukum kepada masyarakat.141

Sebagai respon terhadap harapan masyarakat akan adanyaperubahan, adalah kewajiban bagi Peradilan Agama sebagaisalah satu lembaga penegak hukum, untuk senantiasamemperbaiki diri. Untuk itu tentu saja harus tersedia dukunganyang kuat, mulai dari administrasi, struktur organisasi sertadukungan sumber daya finansial yang memadai disertai dengansistem pengelolaan keuangan yang efektif, efesien, transparandan akuntabel. Sehingga keadaan yang justru hampir sajamenempatkan Peradilan Agama terisolir dan tertinggal jauh darikonteks perubahan, terutama perubahan yang diakibatkanadanya restrukturisasi dalam sistem peradilan nasional, tidakakan tejadi.

Lahirnya sistem peradilan satu atap, tidak saja telahmenempatkan Peradilan Agama dalam satu atap MahkamahAgung, tetapi juga mengakhiri ketidakpastian yang selama inimelingkari Peradilan Agama tentang perdebatan masuktidaknya Peradilan Agama dalam sistem satu atap MahkamahAgung. Tidaklah bisa dibayangkan, jika Peradilan Agama tidakdiikutsertakan dalam sistem dimaksud, maka prosesrestrukturisasi yang dicitakan terhadap Peradilan Agama takakan mungkin dapat diwujudkan. Disamping itu pula, PeradilanAgama akan menjadi sebuah lembaga yang berada di luar sistem

141Ibid. Hal. 19

Page 113: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

107

Peradilan nasional. Karena jika lembaga Peradilan lain akandiurus oleh Mahkamah Agung baik dari segi yudisial maupunnon yudisial, tidak begitu halnya dengan Peradilan Agama.Seiring dengan ini akan muncul pula dikemudian hari bentuk-bentuk pengecualian dan pengkhususan terhadap PeradilanAgama. Peradilan Agama kelak akan kembali kepada keadaanseperti sebelum lahirnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989.Dengan tidak ikutnya Peradilan Agama dalam satu atap dibawah MA, maka kemungkinan besar para pejabat PeradilanAgama tidak akan tunduk dan diikutsertakan dalam seluruhperaturan perundang-undangan menyangkut sistem penggajian,kelas peradilan, standart gedung, sarana prasarana dansebagainya. Lebih lanjut dinyatakan bahwa Departemen Agamadalam menolak keinginan satu atap MA, tidak mengikutsertakanjajaran hakim dan intern Peradilan Agama untuk berbicara.Terbukti timbul reaksi keras dari PTA Jakarta beserta jajarannyauntuk secara mutlak mendukung sistem peradilan satu atap.142

Keadaan ini tentu saja akan mementahkan kembaliperjuangan panjang Peradilan Agama, untuk dapat diakuieksistensi dan kedudukannya dalam sistem tata hukum di In-donesia. Namun demikian, saat ini adalah momen yang tepatuntuk melakukan perubahan dan membawa Peradilan Agamakearah yang dicita-citakan, sebagaimana yang dikehendaki olehTAP MPR NO X/MPR/1998, UUD 1945, Undang-Undang NO. 4Tahun 2004, serta Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, yakniadanya pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif denganeksekutif. Tanggal 31 Juni 2004, adalah momen paling bersejarahbagi Peradilan Agama di Indonesia, yakni diserahkannyapengelolaan organisasi, administrasi dan finansial dari MenteriAgama kepada Mahkamah Agung.

Namun sebagai implikasi dari adanya tarik ulur antaraDepartemen Agama dengan Mahkamah Agung terhadap

142Abdullah Gofar. “Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”.Loc. Cit.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 114: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

108

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Peradilan Agama, maka proses restrukturisasi terasa berjalanlambat. Indikasi kearah ini dapat dikaji dalam hasil Rapat KerjaNasional Mahkamah Agung RI dengan Jajaran PengadilanEmpat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia Tahun 2004,yang menegaskan bahwa untuk menyempurnakan langkahperubahan undang-undang kekuasaan kehakiman dalam satuketerpaduan, atas usul inisiatif DPR sedang diprosespenyelesaian perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989tentang PA. Diharapkan Undang-Undang ini dapat terselesaikandalam masa persidangan terakhir DPR periode 1999-2004 ini,sebelum pergantian dengan DPR hasil Pemilu 2004.143 Namunsampai pemerintahan baru terbentuk dan Rakernas ini berakhiryakni tanggal 27 Sampai 30 September 2004, penyelesaianperubahan atas undang-undang Peradilan Agama belum jugaterealisasi. Padahal setidaknya dalam undang-undang tersebutada beberapa pasal yang harus diubah dan disesuaikan, gunameletakan dasar kebijakan bahwa segala urusan mengenaiPeradilan Agama baik menyangkut teknis yudisial maupun nonyudisial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Perubahanpenting atas undang-undang ini antara lain juga menyangkutsyarat untuk menjadi hakim dalam pengadilan di lingkunganPeradilan Agama, batas umur pengangkatan hakim danpemberhentian hakim, pengaturan tata cara pengangkatan danpemberhentian hakim serta pengaturan pengawasan terhadaphakim.

Kemudian baru pada tahun 2006 dua tahun lebih lambatdari lingkungan peradilan lainnya, Undang-Undang No. 7 Tahun1989 mengalami perubahan pertamanya dengan lahirnyaUndang-Undang No. 3 tahun 2006. Disamping itu, adanyaperubahan dimaksud, adalah juga karena ketentuan baru yangtertuang dalam Undang-Undang No 4 tahun 2004 Pasal 15 ayat(2) yakni tentang adanya pengadilan khusus dalam lingkunganPeradilan Agama, tentunya juga menghajatkan penyesuaian

143Syamsuhadi Irsyad. 2004. Catatan Rakernas Satu Atap Kekuasaan Kehakiman diSemarang Tahun 2004. Mahkamah Agung RI. Hal. 4.

Page 115: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

109

terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 1989. Pengadilan khususyang dimaksud adalah Peradilan Syari’ah Islam di PropinsiNanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengadilankhusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjangkewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama.

Sehubungan dengan hal di atas, adalah sangat janggal jikaundang-undang payung telah mengalami perubahan, sementaraundang-undang di bawahnya yang merupakan peganganlangsung dari para hakim dalam melaksanakan tugasnya sehari-sehari, masih belum disesuaikan. Lambannya proses perubahanketentuan di atas, bisa saja akan menghambat kinerja dari parahakim dilingkungan Peradilan Agama, dalam upayanyamelakukan penegakan hukum. Sebagai realisasi adanyarestrukturisasi di tubuh Peradilan Agama, tentu saja seharusnyamenuntut banyak perubahan yang terjadi, sebagaimana jugayang dialami oleh lingkungan peradilan lainnya.

Daniel S. Lev, menggambarkan bahwa kebanyakan negara-negara dalam hukum agama serta lembaga-lembaga hukumnyatelah melewati salah satu dari dua bentuk perubahan. Satu daripadanya, Pengadilan Agama Islam telah dihapuskan sama sekalidan pengadilan sipil mengambil alih tugas-tugas untukmelaksanakan aturan-aturan tertentu dalam hukum keluargaIslam untuk perkara-perkara yang bersangkutan. Bentuk yanglain, Pengadilan Agama Islam masih tetap ada, tetapi semakindibatasi dan ditempatkan di bawah penguasa-penguasa hukumdari lembaga sipil. Bila bentuk yang kedua itu sudah terjelma,hukum agama mengalami banyak sekali perubahan-perubahandari penguasa legislatif nasional, paling tidak Pengadilan Agamadiharuskan untuk memakai landasan hukum yang lebih luasserta tentunya lebih supel.144

Menurut Lev, di Indonesia walaupun nampaknya sama,tetapi dalam keseluruhannya berbeda. Elit penguasa di Indone-sia bukanlah sama sekali berinspirasikan Islam, tetapi ia tidak

144Zaini Ahmad Noeh (trans). Daniel S. Lev. Op.Cit. Hal 285.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 116: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

110

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

dapat memperkokoh kekuasaannya dalam bidang-bidangkehidupan yang dikontrol oleh lembaga-lembaga Islam.Lembaga-lembaga Islam tidaklah mengalami kemerosotan yanglambat atau cepat. Sebaliknya dalam pelbagai hal tumbuhsemakin kuat. Walaupun dalam jangka waktu yang lama sekali,nampaknya lembaga-lembaga birokrasi sipil lebihmemungkinkan mengatasi birokrasi Islam, tetapi nampak puladiwaktu mendatang adanya kecenderungan Pengadilan Agamamasih bisa dipertahankan.

Kedudukan Pengadilan Agama Islam di Indonesia dewasaini, dapatlah memberikan gambaran tentang esensiperbedaannya dengan negara-negara Islam yang lain. Secarastrukturil pengadilan itu mungkin kini sudah menemukantempatnya setelah mengalami serangkaian perubahan, sedikitbanyak mencerminkan tingkatan dari kekuatan politik Islam didalam negara. Berbeda dengan kebanyakan negara Islam lain,Peradilan Agama Islam di Indonesia telah memperoleh sertamemperkuat kedudukannya yang tangguh, walaupun jelassekali terbatas kewenangannya.145

C. Restrukturisasi Peradilan Agama dalam PerspektifKekuasaan Kehakiman yang MerdekaSebagai institusi yang ditopang oleh rangkaian prosedur

beracara, bekerjanya Peradilan Agama tidak hanya tergantungpada seperti apa putusan yang dibuat oleh hakim Agama, akantetapi lebih jauh dari itu. Cara kerja pengadilan juga diukur daribagaimana hakim menghasilkan putusan tersebut. Hakim tidakcuma disyaratkan menyelesaikan sengketa, melainkan jugaharus bisa secera efektif menerapkan hukum ditengah berbagainorma kemasyarakatan yang melingkupi permasalahan hukumtersebut, tentunya dengan terus mengembangkan kemampuanteknis yudisialnya.

145Ibid. Hal. 287.

Page 117: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

111

Sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman,Peradilan Agama secara konstitusional diserahi tanggung jawabmenjaga kepercayaan publik terhadap hukum dan peradilandisatu sisi, serta ditugaskan melayani kepentingan masyarakatkhusus tertentu disisi yang lain. Dalam konteks ini, PeradilanAgama diharuskan mampu mensinergikan tuntutan-tuntutantersebut dan mengelolanya menjadi sistem administratif-finansial peradilan yang efisien.

Sebagai upaya mewujudkan kehendak ini, urgen kiranyadilakukan pembaruan sistem peradilan yang ada. Hal inidilandasi asumsi bahwa kinerja peradilan yang baik akanmelahirkan produk-produk putusan pengadilan yangberkualitas, dimana putusan pengadilan yang bermutu padaakhirnya akan menjadi sumber hukum yang dapat dipakaidalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Gambaran idealtentang ini hanya akan lahir jika ditunjang dengan sistemadministrasi-finansial kekuasaan kehakiman dan politik hukumyang kondusif bagi pencapaian cita-cita tersebut.146 Sehinggakemudian, hal yang sangat penting dilakukan adalah penguatankekuasaan kehakiman dalam perspektif kelembagaan danteknis-administratif peradilan, melalui proses restrukturisasi.Kemudian secara paralel, dalam kerangka lebih jauh, kondisiideal yang ingin dikehendaki adalah mewujudkan secara konkritkekuasaan kehakiman yang merdeka.

Termasuk di dalam kehendak ini adalah dengan meletakkanposisi Mahkamah Agung sebagai pelaksana tunggal kekuasaankehakiman. Reformasi kekuasaan kehakiman melalui reposisiperan dan fungsi Mahkamah Agung dilakukan denganpelaksanaan satu atap kekuasaan kehakiman, baik dari sudutteknis yudisial dan aspek administratif. Perlunya dimulaireformasi peradilan di Mahkamah Agung, disandarkan padapertimbangan bahwa hasil reformasi tersebut akan membawapengaruh ke tingkat pengadilan bawahan.

146Muhammad Asrun. Op. Cit. Hal. 231.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 118: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

112

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Pasal 46 Undang-Undang Kekuasaan Kehakimanmenentukan bahwa “ Mahkamah Agung menyusun organisasidan tata kerja yang baru dilingkungan Mahkamah Agung pal-ing lambat 12 bulan sejak undang-undang ini diundangkan (15januari 2004).” Dengan Koordinasi dan persetujuan MenteriPendayagunaan Aparatur Negara, kini tengah dipersiapkanstruktur organisasi Mahkamah Agung secara lengkap. Strukturorganisasi Mahkamah Agung dipersiapkan dengan mengacukepada semua ketentuan yang diatur dalam Undang-UndangNo. 4 Tahun. 2004 (sekarang mengacu pada Undang-UndangNo. 48 Tahun 2009), Undang-Undang MA No. 5 Tahun 2004 dansemua undang-undang yang mengatur keempat lingkunganperadilan yang berada di bawah MA.147

Jika dikaji lebih dalam, ada perbedaan-perbedaan pokok didalam perubahan Undang-Undang MA ini dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1985. Undang-Undang No. 5 Th. 2004dalam Pasal 5, menggariskan bahwa pimpinan MahkamahAgung terdiri dari seorang Ketua, 2 (dua) Wakil Ketua danbeberapa orang Ketua Muda. Wakil Ketua terdiri dari WakilKetua Bidang Yudisial dan Wakil Ketua Bidang Non Yudisial.Sesuai Pasal 5 ayat (3) mengatur lebih lanjut mengenai : WakilKetua Bidang Yudisial membawahi Ketua Muda Perdata, KetuaMuda Pidana, Ketua Muda Agama, Ketua Muda Militer danKetua Muda Tata Usaha Negara. Setiap pembidangan iniMahkamah Agung dapat melakukan pengkhususan padabidang tertentu yang diketuai oleh Ketua Muda. Oleh karenaitu dalam Pimpinan Mahkamah Agung pada saat ini ada : KetuaMuda Perdata Umum, Ketua Muda Perdata Niaga, Ketua MudaPidana Umum, Ketua Muda Pidana Khusus. PembentukanKetua-Ketua Muda ini, disesuaikan dengan kepentingannya, bisaberkembang dan bisa juga pada suatu saat akan cukup dalamjumlah tertentu.

147Syamsuri Irsyad. Op. Cit. Hal. 6

Page 119: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

113

Selanjutnya pada Ayat (5 & 6), ditegaskan bahwa WakilKetua Bidang Non Yudisial membawahi Ketua Muda Pembinaandan Ketua Muda Pengawasan, dan yang terpenting adalahbahwa undang-undang dengan tegas menyatakan “masa jabatanKetua, Wakil Ketua dan Ketua Muda Mahkamah Agung selamalima (5) tahun”. Dengan pengertian bahwa masa jabatan ini tidakboleh melebihi batas usia pensiun yang ditentukan oleh Undang-Undang. Diharapkan pada masa-masa yang akan datang tidakakan terjadi lagi seseorang Ketua Muda menjabat sampai 12tahun.148

Pasal 18 Undang-Undang MA No. 5 Tahun 2004 menentukanbahwa pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya kepaniteraanyang dipimpin oleh seorang Panitera, yang dibantu olehbeberapa orang panitera muda dan beberapa orang PaniteraPengganti. Aturan sebelumnya menentukan bahwa PaniteraMahkamah Agung merangkap Sekretaris Jenderal MA. Kiniundang-undang baru ini mengatur pemisahan antarakepaniteraan dengan kesekretariatan MA secara tegas, yaitudengan menghapus Pasal 27 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985tentang Mahkamah Agung.

Dengan satu atapnya kekuasaan kehakiman dari empatlingkungan peradilan di bawah MA, maka beban dan tanggungjawab Sekretaris MA sangatlah berat dan besar. Oleh karenanyadiperlukan banyak pihak yang harus turut bertanggung jawabmembantunya. Kesekretariatan MA diatur dalam Pasal 25Undang-Undang MA No. 5 Tahun 2004 yang menentukanbahwa:(1)Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya sekretariat yang

dipimpin oleh seorang Sekretaris Mahkamah Agung;(2)Sekretaris Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung;

148Hasil Rapat Kerja Nasional MA RI dengan Jajaran Pengadilan Seluruh Indone-sia Tahun 2004. Semarang 27 sampai dengan 30 September 2004. Mahkamah AgungRI. Hal 2-3.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 120: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

114

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

(3)Pada Sektretariat Mahkamah Agung dibentuk beberapaDirektorat Jenderal dan badan yang dipimpin oleh beberapaDirektur Jenderal dan Kepala Badan;

(4)Direktur Jenderal dan Kepala Badan diangkat dandiberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua MahkamahAgung;

(5)Sebelum memangku jabatannya, Direktur Jenderal danKepala Badan diambil sumpah atau janjinya Ketua MahkamahAgung;

(6)Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas tanggungjawab, dan tata kerja Sekretariat dan Badan pada MahkamahAgung, ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usulMahkamah Agung.

Sementara ini, yang sudah disepakati dalam koordinasi dankonsultasi dengan Menteri PAN antara lain :a. Tiga Direktorat Jenderal (Ditjen) di bawah Sekretaris, yaitu

Ditjen Peradilan Umum, Ditjen Peradilan Agama, dan DitjenPeradilan Militer dan Tata Usaha Negara.

b. Tiga Badan setingkat Ditjen di bawah Sekretaris, yaitu BadanAdministrasi Umum, Badan Penelitian dan Pengembangan& Pendidikan dan Latihan (Litbang dan Diklat), dan BadanPengawas.

c. Sebelum dapat disusun sepenuhnya sesuai dengan amanatUU, untuk sementara beberapa jabatan di MA itu didudukioleh Hakim.149

Dalam rangka pelaksanaan sistem peradilan satu atap dibawah Mahkamah Agung, perlu kiranya diupayakanpemberdayaan seluruh potensi dari empat lingkungan peradilanyang beragam, tak terkecuali dalam hal ini Peradilan Agama.Sehingga kedepan akan tercipta kekuatan yang sinergis melaluipembagian wewenang yang seimbang, sesuai dengan wewenangdibidangnya masing-masing.

149Syamsuri Irsyad. Op.Cit. Hal. 8

Page 121: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

115

Dengan telah beralihnya kewenangan mengenai organisasi,administrasi dan finansial dari empat lingkungan peradilan dibawah Mahkamah Agung, maka melalui serangkaian rapat kerjanasional Mahkamah Agung RI dengan segenap jajaranpengadilan dari empat lingkungan Peradilan seluruh Indone-sia, telah dirumuskan pola tentang pembinaan organisasi,administrasi dan finansial dari empat lingkungan peradilan danMahkamah Agung RI. Kemudian disusun pula suatu polapengembangan karier tenaga teknis dan non teknis peradilandengan memperhatikan kondisi objektif di lapangan serta vol-ume/beban kerja yang berkaitan dengan tugas pokok badanperadilan yaitu menerima, memeriksa, mengadili danmenyelesaikan perkara. Disamping itu guna meningkatkanpelayanan publik maka dalam menyusun dan melaksanakanprogram penyediaan sarana dan prasarana peradilan yangmemadai dan sesuai dengan perkembangan serta kemajuanteknologi, diperlukan anggaran Mahkamah Agung yangproporsional dengan sistem pengelolaan keuangan yang efektif,efesien, trasparan dan akuntabel. Guna meningkatkan anggaran,diperlukan pendekatan yang baik oleh pimpinan MahkamahAgung kepada pimpinan lembaga legislatif dan eksekutif.Demikian pula koordinansi terhadap kedua lembaga negara ituperlu terus dilakukan sesuai tingkatan masing-masing.Kemudian dalam menangani manajemen keuangan perludilakukan usaha-usaha perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,pelaporan dan petanggung jawaban pelaksanaan anggaran yangsebaik-baiknya dengan melibatkan seluruh satuan kerjaMahkamah Agung yang terdiri dari Pengadilan Tingkat Pertama,Pengadilan Tingkat Banding, Direktorat Jenderal lingkunganmasing-masing. Badan Administrasi Umum (BAUM), BadanPengawas, Badan Litbang dan Diklat serta Kepaniteraan.150

Melihat kepada peta kelembagaan Mahkamah Agungsebagai pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi yang

150Kesimpulan Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI. Op.Cit. Hal 13

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 122: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

116

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

membawahi empat lingkungan peradilan, termasuk PeradilanAgama, maka kekhawatiran yang dilontarkan oleh pihakDepartemen Agama, bahwa Peradilan Agama bisa saja ditempatsatu kamar dengan Peradilan Umum menjadi tidak terbukti. Halini dikarenakan tiap-tiap lingkungan peradilan oleh undang-undang telah ditempatkan dalam kamarnya masing-masing.Bidang yudisial Peradilan Agama diketuai oleh Ketua MudaAgama yang selanjutnya dipayungi oleh Wakil Ketua BidangYudisial. Selanjutnya Bidang non yudisial Peradilan Agamadiketuai oleh Ketua Muda Pembinaan dan Ketua MudaPengawasan, yang selanjutnya dipayungi oleh Wakil KetuaBidang Non Yudisial.

Sejalan dengan Pasal 44 Undang-Undang KekuasaanKehakiman No. 4 Thn 2004, sejak dialihkannya organisasi,administrasi dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal42 ayat (2), maka :a. Semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama

(Ditbinpera) Departemen Agama menjadi pegawai DirektoratJenderal Badan Peradilan Agama (DitjenBapera) padaMahkamah Agung, serta pegawai Pengadilan Agama danPengadilan Tinggi Agama menjadi pegawai MahkamahAgung;

b. Semua pegawai yang menduduki jabatan struktural padaDitbenpera Departemen Agama menduduki jabatan padaDitjen Bapera pada Mahkamah Agung, sesuai denganperaturan perundang-undangan.

Untuk kelancaran pengalihan organisasi, administrasi danfinansial, maka Keputusan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2004Pasal 9-12 mengatur mengenai hal ini, yaitu dengan membentukTim pengalihan dan penataan pada Direktorat PembinaanPeradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan TinggiAgama/Mahkamah Syari’ah Propinsi dan Pengadilan Agama/Mahkamah Syari’ah, ke Mahkamah Agung. Tim pengalihan danpenataan ini mempunyai tugas : pertama, mengalihkankelembagaan, pegawai, kekayaan negara dan peralatan,keuangan, arsip dan dokumentasi dari masing-masing instansi.

Page 123: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

117

Kedua, menata kelembagaan, pegawai, kekayaan negara danperalatan, keuangan, arsip dan dokumentasi disesuaikan dengankewenangan dan beban tugas Mahkamah Agung.

Tim sebagaimana dimaksud ini terdiri dari : bidangkelembagaan, dipimpin oleh Deputi Menteri NegaraPendayagunaan Aparatur Negara Bidang Kelembagaan; bidangKepegawaian, dipimpin oleh Kepala Badan KepegawaianNegara; biang Kekayaan Negara dan Peralatan, dipimpin olehKepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; bidangKeuangan, dipimpin oleh Direktur Jenderal AnggaranDepartemen Keuangan; dan bidang Dokumentasi dan Arsip,dipimpin oleh Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia. Dalammelaksanakan tugasnya, Tim berkoordinasi dengan Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung. Akhirnya, Timpengalihan dan penataan ini melaporkan hasil pelaksanaantugasnya kepada Presiden.

Ditempatinya satu kamar oleh DitjenBapera padaMahkamah Agung membuktikan bahwa dalam rangkapelaksanaan sistem satu atap Mahkamah Agung telahdiberdayakan seluruh potensi yang ada pada empat lingkunganperadilan tak terkecuali Peradilan Agama. Hal ini seiring puladengan adanya pembagian tugas dan tanggung jawab dilingkungan Sekretariat Mahkamah Agung, dimana DitjenBaperamempunyai tugas :a. Mengelola administrasi perkara yang dilakukan oleh Kepala

Direktorat sesuai bidang dan jenis perkara masing-masing;b. Mengkoordinasikan Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan yang

terkait dengan rekruitmen, promosi dan mutasi bagi hakimdan pejabat kepaniteraan;

c. Melakukan pembinaan administrasi perkara yang terkaitdengan pranata perkara dan fasilitas persidangan.151

151Ibid. Hal. 20

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 124: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

118

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Masuknya DitjenBapera dalam tubuh SekretariatMahkamah Agung, akan sangat membantu Sekretaris dalammengelola standarisasi teknis peradilan termasuk pula dalammelakukan pembinaan SDM tenaga teknis dan pranata perkaraperadilan dalam lingkungan Peradilan Agama. Keadaan ini tentusaja telah menempatkan Peradilan Agama sejajar dengan badanperadilan lainnya, karena pengaturan yang sama juga ditetapkanterhadap badan peradilan lainnya. Pada akhirnya, kondisi yangdiinginkan dari adanya pengaturan yang demikian tentunyaadalah dalam rangka menciptakan organisasi yang efektif danefesien, sistem prosedur dan tatakerja pengadilan yangkonsisten, tersedianya SDM peradilan yang profesional dansejahtera sehingga memunculkan kinerja yang akuntabel danakhirnya mampu memberikan pelayanan publik yangberkualitas.

Namun demikian, bercermin pada praktik hukum selamaini, memperlihatkan perlunya penataan kembali seleksi danklasifikasi jenis perkara serta pendistribusiannya kepada majelishakim di mana anggota-anggotanya memiliki kemampuan ilmuhukum sesuai dengan perkara yang akan diperiksa. Sehinggatidak akan terulang suatu perkara yang diperiksa oleh majelishakim yang tidak memahami perkara tersebut.

Pembagian perkara selama ini dilakukan berdasarkanbidang hukum dalam lingkungan masing-masing lingkunganperadilan, yaitu :1. kamar perdata tertulis;2. kamar perdata tidak tertulis;3. kamar perdata niaga;4. kamar perdata agama;5. kamar pidana umum;6. kamar pidana militer;7. kamar hukum TUN;8. kamar hukum tata negara.

Pembagian kamar peradilan tersebut selama inimemperlihatkan tidak berjalan sebagaimana diharapkan.

Page 125: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

119

Pemeriksaan perkara sering melibatkan hakim agung di luarkompetensi ilmu hukum yang bersangkutan. Misalnya, hakimagung dengan keahlian perdata agama turut serta memutusperkara kepailitan. 152

Hal inilah yang juga menjadi kekhawatiran pihakdepartemen Agama dan kalangan ulama, jika Peradilan Agamamenjadi satu atap dengan Mahkamah Agung, maka akanmenjadi suatu peradilan yang terbuka dan suatu saatkespesifikan dari hukumnya akan cair dan bias.153 Mengantisipasiini kiranya kamar-kamar menurut bidang peradilan yang ada,terlebih khusus bidang Peradilan Agama hanya diisi oleh hakimagung karier dan non karier yang dapat diandalkan pengetahuanhukum Islamnya. Sehingga dimasa mendatang tercipta putusanyang benar-benar berkualitas, adil, jujur dan tidak memihak.

Adanya restruktrurisasi terhadap Peradilan Agama tidaklahdapat dilepaskan dari perjuangan gigih para hakim dalamlingkungan Peradilan Agama, yang kemudian terwadahi dalamIKAHA dan sejak tahun 1995 telah diintegrasikan ke dalamIKAHI.154 Gigihnya perjuangan ini akan sangat menarik jikadikaitkan dengan derasnya arus penentangan dari pihakDepartemen Agama terhadap restrukturisasi tersebut, sehinggapada gilirannya memunculkan pendapat yang pro maupunkontra.

Abdul Gani Abdullah, memberikan pendapat yang padaprinsipnya restrukturisasi terhadap Peradilan Agama akanbanyak memunculkan implikasi negatif. Dengan merobah Pasal11 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 berarti juga akanmerobah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang PeradilanAgama. Diketahui bahwa kehadiran Undang-Undang PeradilanAgama, melalui serangkaian pembahasan yang diwarnai oleh

152Muhammad Asrun. Op.Cit. Hal. 259-260153Abdullah Gofar. “Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”.

Loc. Cit.154Ibid.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 126: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

120

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

silang pendapat dan konflik teologis yang sangat rawan bagidisintegrasi bangsa. Merobah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989tentang Peradilan Agama berarti ada maksud untukmembangkitkan kembali silang pendapat dan konflik teologis.Padahal justru sekarang ini yang dikehendaki adalah bagaimanaintegrasi bangsa harus berjalan. Disamping itu, memindahkanpelayanan administrasi, organisasi dan finansial PeradilanAgama ke Mahkamah Agung, bukanlah hal yang berdiri sendiri.Peradilan Agama tidak dapat dipisahkan dengan pembinaankehidupan beragama (Islam). Pada Peradilan Agama sebagailembaga hukum Islam, keterlibatan Departemen Agama menjadikatup pengaman dari kemungkinan rongrongan terhadapeksistensi, kompetensi dan kemandiriannya, serta kemungkinanlepasnya katup kontrol terhadap pertumbuhan hukum Islam.Hal ini sejalan dengan kebijakan legislasi nasional yangmengeluarkan agama dari bidang-bidang otonomi PemerintahanDaerah. Hakim Peradilan Agama, adalah hakim di mata hukumdan ulama di mata masyarakat. karena itu, Peradilan Agamatidaklah dapat dipisahkan dari para ulama. Ulama berperansebagai pengontrol pembinaan dan pembangunan hukum Is-lam, termasuk produk Peradilan Agama. Oleh karena itu, AbdulGani mengasumsikan bahwa dibalik restrukturisasi itu adaangan-angan utopistik yang disampaikan, seperti kesejahteraanyang menjanjikan, hakim menjadi pejabat negara, kedepannyaakan melahirkan satu model tirani baru di dalam sebuah lembagatinggi negara. Kekangan internalistik terhadap para hakim akanterjadi, sehingga proses demokratisasi di kalangan hakimterbendung dan bahkan saluran aspiratif akan tersumbat.155

Mantan-mantan pejabat Departemen Agama, bahkanmengatakan bahwa Departemen Agama tidak pernahmelakukan intervensi dan diarectiva terhadap pelaksanaantugas-tugas teknis Peradilan Agama.156

155Abdul Gani Abdullah. “Di Balik Satu Atap”. 1999. Jurnal Dua Bulanan. MimbarHukum. Edisi Juli-Agustus. No. 43 Thn. X. Jakarta : Al Hikmah & DITBINBAPERA.Hal. 56.

156Abdullah Gofar.”Peradilan Agama dan Kemandirian Kekuasaan Kehakiman”.Loc. Cit.

Page 127: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

121

Namun Daniel S. Lev menggambarkan secara historistentang salah satu fenomena empirik yang memberikan dasarpemahaman kepada kita, yang menunjukkan adanya intervensipihak Departemen terhadap Peradilan Agama. Sejak semulatugas-tugas administratif Direktorat Peradilan Agama, sudahmengandung unsur-unsur yudikatif baik dalam arti perundang-undangan negara maupun arti hukum Islam, meneliti danmemeriksa keputusan-keputusan Pengadilan Agama untukmenjaga agar tidak terjadi perbedaan yang terlalu menyolokdalam penerapan dan pelaksanaan materi Hukum Islam diantara pengadilan-pengadilan itu.

Pada tahun 1963, kembali lagi pada waktu DemokrasiTerpimpin mengembangkan pengaruhnya disegala bidangdengan tekanan-tekanan ideologi, Direktorat Peradilan Agamamemperoleh kekuasaannya untuk merubah pelaksanaanPeradilan Agama Islam secara menyeluruh. Sebuah KeputusanMenteri Agama telah menetapkan bahwa “Kepala JawatanPeradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa danmeneliti apakah suatu keputusan Peradilan Agama baik dalamtingkat pertama maupun tingkat banding, telah mencukupisyarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalamUndang-Undang atau tidak, serta dapat menyatakan bahwakeputusan itu tidak berlaku.

Sebab utama perluasan fungsi dan kekuasaan Direktorat ini,adalah timbulnya suatu kasus yang sangat kompleks, di manaMIT telah membuat suatu kesalahan prosedur, yaknimengabaikan dan mengikuti suatu kesalahan yang dibuat olehPengadilan Agama di Jawa Barat. Lagi pula, salah seorang daripihak yang berperkara itu memohon secara khusus kepadaDirektorat untuk meninjau kembali keputusan MIT, sehinggaDirektorat merasa perlu untuk melaporkan persoalannya itukepada Menteri Agama. Para pejabat Direktorat sebelum itutentulah mempertimbangkan kemungkinan untuk memperolehtugas meninjau kembali keputusan peradilan dan setidaknyaseorang pejabat penting diantara mereka tidak menyetujuiadanya campur tangan atas tugas-tugas peradilan semacam itu.Tetapi bagi mereka yang sangat menginginkannya, termasuk

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 128: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

122

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

direkturnya sendiri, peristiwa itu merupakan suatu kesempatanuntuk memperkuat alasan diadakannya perubahan baru.157

Keadaan inilah yang kemudian justru menggelisahkan pihakhakim Agama, sehingga terbit keinginan kuat bagi pihakPeradilan Agama untuk keluar dan berdiri sendiri serta mencita-citakan terbentuknya sebuah kamar dalam Mahkamah Agung.Karena pada dasarnya hubungan tugas antara Direktorat denganPeradilan Agama hanyalah semata-mata administratif. Padaperkembangan selanjutnya, para hakim Agama memintapenjelasan tentang adanya kekuasaan yang baru pada Direktoratini. Ternyata perubahan itu dibenarkan dengan mengkaitkannyadengan praktik-praktik pada zaman kolonial sewaktu MITmasih di bawah pengawasan Departemen van justitie, yangkekuasaannya dalam hal ini dianggap telah beralih kepadaDepartemen Agama. Tetapi para pejabat tidak mengakui, bahkandengan demikian kini Direktorat Peradilan Agama sudahmenjadi Mahkamah Kasasi, tidak pula kedudukan dariDepartement van Justitie pada waktu itu. Tetapi kenyataannya,tepat seperti yang dianggapkan kepadanya. Pemeriksaan danpenelitian atas keputusan Peradilan Agama ini dapat dimajukanoleh pihak yang berkepentingan ataupun dilakukan olehDirektorat sendiri atas pertimbangan dinas. Wewenang ini dapatmencakup materi keputusan peradilan maupun terhadapprosedurnya, sebagaimana dijelaskan :

Apakah pelaksanaan keputusan Menteri Agama itu hanyasekedar dalam batas prosedur saja ataukah dapat pulamencampuri materi keputusan Peradilan Agama yang sebagianterbesar disandarkan kepada Hukum Syara, hal inipun terserahkepada kebijaksanaan Kepala Jawatan Peradilan Agama,mengingat pertimbangan-pertimbangan di atas. Sebab padahakikatnya pelaksanaan Peradilan Agama tidak dapatdipisahkan dari pertimbangan Hukum Syara dan untuk

157Zaini Ahmad Noeh (Trans). Daniel S. Lev. Op.Cit. Hal. 121-123

Page 129: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

123

menegakan pelaksanaan Hukum Syara itu sendiri sebagai suatuunsur hukum positif dalam negara Republik Indonesia.

Keputusan Menteri ini berlaku surut sampai tanggal 6Oktober 1958, yakni tanggal berlakunya Peraturan Menteri (No.3 tahun 1958 dengan perubahannya No. 16 tahun 1960) tentangperubahan susunan dan tugas bagian-bagian DepartemenAgama. Dan sejak tahun 1971 nampaknya Direktorat telahbertindak dan selalu berusaha menggunakan “kekuasaanyudikatif” lebih agresif lagi. Suatu perspektif yang penting disini,dalam meninjau kembali sebuah kasus waris yang melibatkanumat Kristen, nampak Keputusan Direktorat yang dikeluarkanjustru dapat menimbulkan ketegangan antara golongan Islamdan Kristen. Sehingga dalam konteks ini keputusan Direktorattelah melampaui bidang Syariat dengan menyangkutkan alasan-alasan keputusannya kepada simbol-simbol Negara Indonesia.158

Keadaan ini tentu bukanlah tujuan dari berdirinya PeradilanAgama, sebagai lembaga yang justru dituntut dapat memberikanpenganyoman bukan saja terhadap umat Islam yang diaturnya,tetapi juga memberikan penghormatan terhadap penganutagama lainnya.

Menyikapi keadaan ini akhirnya Mahkamah Agung, melaluiKeputusan No. 594/K/Sip/1970 tanggal 12 Juni 1971, menyatakanbahwa “Pemberian wewenang kepada Direktorat-yakniKeputusan Menteri Agama No. 19 tahun 1963- ditinjau dalamkerangka perundang-undangan mengenai kekuasaankehakiman tidak mempunyai kekuatan hukum karenabertentangan dengan makna yang terkandung dalam Pasal 24& 25 UUD 1945”. Menanggapi hal ini, pejabat-pejabat Direktoratberpendapat “arti penting Keputusan Mahkamah Agung adalahadanya kritik atas kedudukan hukum dari wewenangDirektorat, serta merupakan peringatan halus sekali terhadaptindakan semacam itu. Di kemudian hari mungkin keputusan

158Ibid. Hal. 124-127

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 130: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

124

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

itu dapat mempersulit Direktorat dalam pengelolaan masalah-masalah susunan dan wewenang Peradilan Agama”.159

Perkembangan selanjutnya Keputusan Menteri Agama No.19 tahun 1963 telah dicabut kembali dengan Keputusan MenteriAgama No. 21 tahun 1972 pada tanggal 3 Maret 1972, berhubungtelah diundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970,menunjuk Pasal 10 ayat (2) dan (3) serta Pasal (20). Namunsekalipun undang-undang ini ditetapkan dan diundangkantahun 1970, baru pada tahun 1980-an dilaksanakan di lingkunganPeradilan Agama, terutama setelah adanya penandatangan SKBKetua MA dengan Menteri Agama tahun 1983.160 Sehingga sejakini Peradilan Agama mendapat pembinaan di bidang teknisyustisial oleh Mahkamah Agung. Sebegitu jauh jarak antarapengundangan dan pelaksanaannya, mengakibatkan para pihakyang bersengketa dan para hakim Agama, berada dalam suatukesulitan hukum, sehingga ada kesan bahwa sejak awal pihakDirektorat tidak menginginkan Peradilan Agama berada dibawah Pembinaan Mahkamah Agung, karena akan sedikit demisedikit mengeliminisasi kekuasaan yang dimilikinya terhadapPeradilan Agama.

Dalam konteks ini, pengalaman menarik dari Roihan A.Rasyid ketika menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi AgamaSumatera Selatan, Lampung dan Bengkulu di Palembang (sejaktahun 1983), serta Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumatera-Barat, Riau dan Jambi di Padang (1985-1987), telah membuatSurat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi, yang isinya menerapkanbahwa tugas pokok dari pengadilan itu menerima, memeriksa,mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya,maka pada kop-kop surat di pengadilan, papan nama pengadilantidaklah selayaknya mencantumkan nama Departemen manapengadilan itu tunduk. Hal ini disebabkan Departemen ituadalah eksekutif, sehingga pula tiap-tiap pengadilan dari

159Ibid. Hal. 129160Zarkowi Soeyoeti. Loc.Cit.

Page 131: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

125

keempat lingkungan peradilan mempunyai “lambang” sendiri,tidak mempergunakan lambang Departemennya. Roihan A.Rasyid kemudian ditegur oleh Biro Organisasi DepartemenAgama Pusat, dengan dikatakan “over acting” akan memisahkanPeradilan Agama dari Departemen Agama, sehingga kemudianSurat Edaran Ketua Pengadilan Tinggi secara formal dinyatakandicabut. Walaupun demikian, Roihan A. Rasyid tetap yakinbahwa yang terbaik adalah pembinaan di bidang organisasi,administrasi dan finansial seharusnya dilakukan secara seragamdan terpadu di bawah Mahkamah Agung. Demikianlah totalsistem dari sistem Peradilan di Indonesia yang diharapkan.161

Mencermati fenomena empirik di atas, kemudianmengkontekskannya dengan asas kekuasaan kehakiman yangmerdeka, maka pada prinsipnya tidaklah dapat dilepaskan dariajaran Baron De Montesquieu mengenai tujuan dan perlunyapemisahan kekuasaan dalam negara. Keadaan ini akan menjaminadanya dan terlaksananya kebebasan politik (Political Liberty)anggota masyarakat negara. Hal ini dikarenakan jika tidak adapemisahan akan muncul bentuk tindakan sewenang-wenang danmemihak. Jadi ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan,kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dariupaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Bagir Manan menguraikan bahwa meskipun dalamperkembangan, ajaran pemisahan kekuasaan mendapat berbagaimodifikasi melalui berbagai ajaran seperti ajaran pembagiankekuasaan (distribution of powers) menekankan pada pembagianfungsi dan bukan pada organ, dan ajaran “checks and balances”yang menekankan mengenai penting adanya hubungan salingmengendalikan antara berbagai cabang penyelenggara negara,tetapi asas kekuasaan kehakiman yang merdeka tetapdipertahankan.162

161Roihan A. Rasyid. Loc. Cit.162Thomas Nugent. (Trans). Baron De Montesquieu. Loc.Cit. lihat pula dalam Bagir

Manan. Loc. Cit.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 132: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

126

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Oleh karenanya, restrukturisasi terhadap Peradilan Agamamemang benar-benar harus dijalankan, restrukturisasi inijanganlah dimaknai hanya angan-angan utopistik belaka,ataupun sekedar reformasi struktural dalam wujud menyatuatapkan pembinaan dan pengawasan di bawah MahkamahAgung, akan tetapi ia memiliki makna yang jauh lebih esensialyakni :1. Mensejajarkan kedudukan dan eksistensi Peradilan Agama

dengan badan peradilan lainnya, secara proporsional dalamsistem tata hukum di Indonesia;

2. Peradilan Agama dalam menjalankan fungsi penegakanhukum tentunya senantiasa dituntut memperbaiki diri. Untukitu, harus tersedia dukungan yang kuat mulai dari SDM yangberkualitas, administrasi, struktur organisasi serta dukungansumber daya finansial yang memadai disertai dengan sistempengelolaan keuangan yang efektif, efesien, transparan danakuntabel. Sehingga melalui restrukturisasi kondisi yangdiinginkan ini ditujukan dalam rangka menciptakanorganisasi yang efektif dan efesien, sistem prosedur dantatakerja pengadilan yang konsisten, tersedianya SDMperadilan yang profesional dan sejahtera sehinggamemunculkan kinerja yang akuntabel dan akhirnya mampumemberikan pelayanan publik yang berkualitas;

3. Mencegah terjadinya proses instrumentasi yangmenempatkan Peradilan Agama menjadi bagian darikekuasaan, sehingga mampu mewujudkan Peradilan Agamayang mandiri, bebas dari segala bentuk campur tangankekuasaan ektra yudisial;

Melihat urgennya restrukturisasi terhadap PeradilanAgama, maka dalam prosesnya haruslah dilaksanakan secarautuh dan konsekuen, dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip universal dari kekuasaan kehakiman yang merdeka.Sejalan dengan ini, segala peraturan perundang-undangan dankebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan jiwa dan prinsipdari kekuasaan kehakiman yang merdeka haruslah direvisi dandiamandemen, serta disosialisasikan dengan segera.

Page 133: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

127

Mengemukanya pemikiran ini adalah lebih dikarenakanpengalaman, keberadaan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989lebih lamban direvisi jika dibandingkan dengan peraturanperundangan peradilan lainnya. Padahal keberadaannya sudahtidak sejiwa lagi dengan prinsip-prinsip universal kekuasaankehakiman saat ini. Setidaknya dari 108 Pasal yang dimiliki olehUndang-Undang No. 7 Tahun 1989, terdapat 20 lebih Pasal yangharus diamandemen dan beberapa Pasal/ayat yang harusditambah, kaitannya dengan adanya perubahan UUD 1945 danlahirnya Undang-Undang kekuasaan kehakiman yang baru.Perubahan dimaksud menyangkut perubahan tentang dasarhukum penyelenggaraan Peradilan Agama di Indonesia,perubahan tentang kedudukan Peradilan Agama dalam tataperadilan nasional di Indonesia, tentang syarat menjadi hakim,tentang usia pengangkatan dan pemberhentian seorang hakim,tentang pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentianhakim, dan tentang tata cara pengawasan. Lambanya prosesrevisi ini akan dapat menjadi salah satu penghambat prosesrestrukturisasi yang sosialisasinya sedang berjalan di PeradilanAgama. Dalam skala lebih jauh, dapat mempengaruhi tujuandasar dari adanya restrukturisasi, yaitu mewujudkan kekuasaankehakiman yang merdeka dalam konteks mewujudkan PeradilanAgama yang mandiri. Sebaliknya, segeranya revisi dilakukan,akan mampu mendorong proses reformasi hukum danrestrukturisasi pada arah dan tujuan yang benar. Sehingga padatitik ini, keadilan, kebenaran dan kepastian hukum akan menjadimilik sejati rakyat pencari keadilan dalam lingkungan PeradilanAgama.

Kesadaran akan urgennya revisi terhadap Undang-UndangNomor 7 Tahun. 1989 yang sekarang telah dua kali mengalamiperubahan, dikarenakan undang-undang organik ini akanmemberikan pengaturan lebih rinci. Disamping menjadipegangan langsung dari para hakim, mengenai kekuasaanMahkamah Agung dalam kapasitasnya melakukan pengawasandan pembinaan, terhadap Peradilan Agama baik dalam hal teknisyustisial maupun non yustisial. Selain itu bercermin padaUndang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang perubahan atas

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 134: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

128

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum,serta Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang perubahankedua atas Undang-Undang No 2 Tahun 1986 tentang PeradilanUmum dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentangperubahan atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentangPTUN, serta Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentangperubahan kedua atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986tentang PTUN, maka terdapat beberapa perubahan yang jugadiikuti oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, yangkemudian diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006,serta perubahan keduanya dengan Undang-Undang No. 50Tahun 2009.

Salah satu perubahan yang tergolong urgen untuk diikutiadalah adanya persyaratan untuk menjadi hakim padaPengadilan Tinggi dan PTTUN, yang persyaratannya diaturdalam Pasal 15 Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 jo UndangNo. 49 Tahun 2009 dan Pasal 15 Undang-Undang No. 9 Tahun2004 jo Undang-Undang No. 51 Tahun 2009, isinya sama denganPasal 14 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 jo Undang-UndangNo. 50 Tahun 2009, yaitu :- Warga negara Indonesia;- Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;- Setia kepada Pancasila dan UUD 1945;- Sarjana Hukum;- Sehat Jasmani dan Rohani;- Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela; dan- Bukan bekas anggota terlarang PKI, termasuk organisasi

massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalamGerakan 30 September/PKI;

- Berumur serendah-rendahnya 40 tahun;- Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai Ketua,

Wakil Ketua Pengadilan Negeri, atau 15 tahun sebagai HakimPengadilan Negeri;

- Lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung;

Page 135: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

129

- Tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibatmelakukan pelanggaran Kode etik dan Pedoman PerilakuHakim.

Salah satu persyaratan baru di dalam undang-undang inidikatakan bahwa lulus eksaminasi yang dilakukan olehMahkamah Agung. Berdasarkan penjelasan Undang-Undangtersebut di atas, eksaminasi dilakukan terhadap putusan hakimyang bersangkutan, yang akan diangkat menjadi Hakim Tinggi.Untuk itu dalam Rapat Kerja Nasional MA RI dengan jajaranpengadilan Empat lingkungan peradilan seluruh IndonesiaTahun 2004, MA perlu mendapat masukan tentang apa yangharus dilakukan dalam eksaminasi, sehingga pada masa yangakan datang tidak ada hakim yang bermasalah diangkat menjadihakim tinggi. Hakim tinggi harus betul-betul pilihan. Disampingitu, pelaksanaan eksaminasi sebagaimana yang dimaksud olehUndang-Undang tersebut tidaklah mudah, karena suatuputusan adalah putusan majelis, sehingga tidak jelas siapa yangmenyusun dan membuat putusan. Namun kepada hakim yangakan diangkat menjadi hakim tinggi diberikan kebebasan untukmemilih putusan mana yang akan dieksaminasi. Tentunya bukanputusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, karena sudahdinilai oleh Pengadilan Tinggi bahkan oleh Mahkamah Agung.Dari putusan dapat dinilai bagaimana kemampuan seoranghakim untuk dapat menjadi hakim tinggi, jangan sampai hakimyang bersangkutan tidak memahami dengan baik masalah-masalah teknis yustisial yang sangat mendasar. Sebagai contohmengenai Sita, menurut HIR, Sita Jaminan hanya dimungkinkanapabila ada sangka yang beralasan bahwa tergugat akanmemindah tangankan hartanya sehingga apabila penggugatmenang, tidak akan memperoleh apa-apa, namun hakimlangsung saja meletakan Sita Jaminan. Bagaimana mungkin kitamengetahui adanya sangka yang beralasan tersebut kalau kitabelum membuka persidangan. Ketentuan dalam Undang-Undang ini sudah lebih dari 150 tahun usianya, namun masihsaja ada kejadian menetapkan Sita Jaminan pada saat perkara

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 136: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

130

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

baru masuk. Mengenai Sita telah pula ada Petunjuk MahkamahAgung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung.163

Mencermati ketentuan baru di atas, mengkontekskannyadengan rekruitmen hakim tinggi dalam lingkungan PeradilanAgama, nampak masih pada kriteria klasik sesuai denganpedoman Undang-Undang Peradilan Agama pada Pasal 14, yaituberagama Islam, sehingga kekhawatiran akan adanya hakim nonmuslim dalam tubuh Peradilan Agama serta biasnya HukumIslam menjadi tidak terbukti., karena memang sudah seharusnyasecara formal syarat ini dipertahankan. Sehingga kedepannyaakan terseleksi hakim tinggi Agama yang benar-benarberkualitas, mampu dan terampil dalam menerapkan danmenegakan hukum, yang dibuktikan melalui lulus eksaminasi.Akan tetapi dalam persoalan eksaminasi, merunut ke belakangdengan mengkaji RUU tentang perubahan Undang-UndangNomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, ketentuan dalamPasal 14 tersebut tidak disentuh sama sekali. Sehingga sepertinyasyarat lulus eksaminasi hanya diperuntukkan bagi Hakim Tinggipada PT dan PTTUN. Satu hal yang sangat disayangkanmemang, sepertinya RUU tersebut dibuat dengan belummengakomodir perkembangan yang ada pada saat itu, sebagaiakibat dari adanya retsrukturisasi dalam sistem peradilannasional. Pada gilirannya kemudian RUU ini akan dimajukanke DPR, tentunya akan dibahas kembali dan memerlukan waktuyang lebih banyak, dikarenakan belum terakomodirnya beberapaperubahan ketentuan yang ada. Implikasi selanjutnya jelasmemperlambat kembali proses restrukturisasi terhadapPeradilan Agama.

Disamping hal tersebut di atas, walaupun secarakeseluruhan telah ada jaminan kemerdekaan bagi kekuasaankehakiman dari peraturan-peraturan yang ada, namunpemuatan kalimat dalam Penjelasan atas Undang-Undang No.4 Tahun 2004 yaitu “mengingat sejarah perkembangan Peradilan

163Hasil Rapat Kerja Nasional MA RI dengan jajaran pengadilan empat lingkunganperadilan seluruh Indonesia. Op. Cit. Hal. 5

Page 137: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

131

Agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional,pembinaan terhadap badan Peradilan Agama dilakukan denganmemperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan MajelisUlama Indonesia”, telah mampu mengundang interpretasi yangberbeda-beda. Sehingga pemuatan kalimat ini kemudiandihilangkan seiring dengan lahirnya Undang-Undang kekuasaankehakiman yang baru yaitu Undang-Undang No. 48 Tahun 2009.

Sebagai sebuah badan Peradilan Negara, Peradilan Agamajuga menginginkan adanya kemandirian dalam pelaksanaannfungsi yustisialnya. Namun, khusus terhadap Peradilan SyariahIslam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam belumlah memilikikemerdekaan secara mutlak dalam menyelenggarakankekuasaan kehakiman. Muatan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 telah menempatkannya dalam duapayung yang berbeda, sehingga terdapat adanya kesulitan dalampenyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang diembannyadikarenakan adanya kekaburan pengaturan dalam hal ini.

Dalam perkembangan selanjutnya oleh Undang-UndangKekuasaan Kehakiman yang baru, pasal dimaksud tidakdisebutkan lagi. Namun demikian dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989tentang Peradilan Agama, ketentuan dimaksud masihdipertahankan dengan bunyi yang sama dengan Pasal 15 ayat(2) yaitu memberikan penjelaskan bahwa :

Peradilan Syariah Islam di Propinsi Nanggroe AcehDarussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkunganperadilan agama sepanjang kewenangannya menyangkutkewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilankhusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjangkewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Sebenarnya jika dikaji secara mendalam, Qanun ProvinsiNangroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang PeradilanSyariat Islam, Pasal 3 ayat (1) dan 2 ayat (3) menggariskan bahwa“Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Syariat Islamdilaksanakan oleh Mahkamah Syar ’iyah dan Mahkamah

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 138: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

132

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Syar’iyah Provinsi. Mahkamah Syar’iyah adalah merupakanpengembangan dari Pengadilan Agama yang telah ada”.

Adapun kewenangan yang dimilikinya adalah dalampenyelesaian perkara-perkara ahwal al-syakhshiyah, muamalah danjinayah. Sedangkan hukum materil dan hukum formil yangdigunakan dalam menyelesaikan perkara-perkara tersebutadalah bersumber dari atau sesuai dengan syariat Islam yangdiatur dengan Qanun (Pasal 49, 53 dan 54 Qanun No. 10 Tahun2002).

Sehingga dengan adanya hukum materil dan formil yangdiberlakukan terhadap Peradilan Syariat Islam, adalah suatu halyang menimbulkan kesulitan dan ketidakpastian jika perkara-perkara jinayat dan muamalah dimasukan menjadi pengadilankhusus dalam lingkungan peradilan umum yang tentu sajamemiliki hukum materil dan formil yang tidak berlandaskansyariat Islam. Sehingga agar tidak terjadi dualisme dalampelaksanaan Peradilan Syariat Islam yang dapat menimbulkankesulitan dalam implementasinya, maka lembaga PeradilanAgama beserta perangkatnya yang telah ada di Provinsi NangroeAceh Darussalam dan telah dialihkan ke dalam lembagaPeradilan Syariat Islam, dalam pengaturannya menghendakiadanya kebebasan dalam penyelenggaraan kekuasaankehakiman yang diembannya. Sehingga menjadi sebuah lembagaPeradilan Syariat Islam yang benar-benar memiliki kemandirian,akan tetapi masih berada dalam bagian dari sistem peradilannasional, yang pengawasan terhadapnya dilakukan olehMahkamah Agung secara terpadu melalui proses restrukturisasi.

Sebenarnya, dibalik restrukturisasi Peradilan Agama adagagasan pemikiran tentang perlunya perbaikan di sektorperaturan perundangan-undangan, dikarenakan kurang baiknyaperaturan yang ada dan terjadinya kemerosotan wibawa hukumyang disebabkan oleh kurangnya tindakan untuk menjaminterlaksananya hukum, sehingga kedepannya perlu adaperbaikan kualitas penegakan hukum (law enforcement). Olehkarenanya, melalui restrukturisasi Peradilan Agama setidaknyaada dua aspek yang dapat dilihat kaitannya dengan

Page 139: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

133

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Pertama,merdeka diartikan sebagai kemerdekaan dalammenyelenggarakan fungsi yustisial, menerima, memeriksa,memutus suatu perkara dan menyelesaikannya. Kedua,merdeka, diartikan sebagai kemerdekaan dalammenyelenggarakan fungsi non yustisial, dimana badan peradilandiberi wewenang mengelola sendiri organisasi, administrasi danfinansialnya.

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 140: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

134

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Page 141: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

135

BAB IVPENUTUP

A. KesimpulanBeranjak dari uraian terdahulu mengenai restrukturisasi

Peradilan Agama dalam perspektif kekuasaan kehakiman yangmerdeka, maka pada bagian ini Penulis dapat menarikkesimpulan yaitu :1. Penggalian makna kekuasaan kehakiman dalam konteks

ketatanegaraan di Indonesia, bertitik tolak dan bertumpupada UUD 1945, yang tidak lagi menempatkan maknakekuasaan kehakiman yang merdeka dalam bagianpenjelasan, melainkan telah diletakkan pada bagian isi dariPasal 24. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 menjelaskanpengertian kekuasaan kehakiman yang merdeka, yaitukebebasan dalam urusan peradilan atau kebebasanmenyelenggarakan fungsi yustisial, juga mengandung maknalarangan bagi kekuasaan ekstra yustisial mencampuri prosespenyelenggaraan peradilan. Disamping itu, kekuasaankehakiman yang merdeka diadakan dalam rangkaterselenggaranya negara berdasarkan atas hukum.

2. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia terdapatadanya pergeseran hubungan antara kekuasaan kehakiman(yudikatif) dengan pihak departemen (eksekutif). Hubungandimaksud semula bersifat struktural, maka sekarang menjadifungsional. Pergeseran hubungan ini dimaksudkan sebagaiupaya menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang benar-benar merdeka.

3. Pelaksanaan penegakan hukum (law enforcement) hanya dapatdicapai dengan prasyarat bahwa kekuasaan kehakiman yang

Page 142: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

136

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

diselenggarakan adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka,bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya. Hal ini dikarenakanada semacam keyakinan umum, bahwa kekuasaan kehakimanyang merdeka merupakan prasyarat bagi tegaknya hukum.Sehingga tidak diragukan lagi, tanpa kekuasaan kehakimanyang merdeka, pasti tidak akan ada jaminan terwujudnyapenegakan hukum.

4. Eksistensi PA dalam sistem tata hukum nasional secara lebihnyata baru dirasakan yaitu sejak disahkannya dandiundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun. 1970,Undang-Undang No. 1 Tahun. 1974, PP No. 9 Tahun. 1975,PP No. 28 Tahun. 1977, Undang-Undang No. 7 Tahun. 1989,serta Inpres No. 1 Th 1991 tentang KHI. Peradilan Agamatelah diakui sebagai salah satu pelaksana kekuasaankehakiman, mempunyai kedudukan yang sejajar denganperadilan lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan.Lahirnya Undang-Undang No. 4 Tahun. 2004 yang kemudiandiganti dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, terjadiperubahan terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakimandan konsekuensinya juga menuntut perubahan terhadapUndang-Undang No 7/89, sehingga akan semakinmemantapkan kedudukan dan eksistensi Peradilan Agamaitu sendiri dalam sistem tata hukum di Indonesia.

5. Proses restrukturisasi terhadap Peradilan Agama terdapattarik ulur antara Departemen Agama dengan MA terhadapPeradilan Agama, hal ini justru menempatkan PeradilanAgama dalam ketentuan khusus dalam Undang-Undang No.35 Tahun. 1999. Lahirnya Undang-Undang KekuasaanKehakiman yang baru, walaupun masih menyisakan beberapaketentuan khusus, telah memberikan kepastian. Akan tetapi,sebagai implikasi dari adanya tarik ulur maka prosesrestrukturisasi terasa berjalan lamban. Penyelesaianperubahan atas undang-undang tentang Peradilan Agamasebagai Undang-Undang organik, baru terealisasi tahun 2006.Dengan demikian, diskusi-diskusi yang mengiringi proseslahirnya Undang-Undang No. 35/1999, Undang-Undang No.4/2004, sampai dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009,

Page 143: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

137

sebagai sebuah produk hukum tidak dapat menghindarkandirinya dari soal-soal politik, terutama jika dikaitkan dengankeberadaan Peradilan Agama.

6. Melihat peta kelembagaan pada MA, mengkontekskannyadengan restrukturisasi Peradilan Agama, maka ia memilikimakna yang jauh lebih esensial yaitu mensejajarkankedudukan dan eksistensi Peradilan Agama dengan badanperadilan lainnya secara proporsional dalam sistem tatahukum di Indonesia; menciptakan organisasi yang efektif,efesien, sistem prosedur dan tata kerja pengadilan yangprofesional, tersedianya SDM peradilan yang profesional dansejahtera sehingga memunculkan kinerja yang akuntabel danakhirnya mampu memberikan pelayanan publik yangberkualitas; sebagai upaya mencegah proses intrumentasiyang menempatkan Peradilan Agama menjadi bagian darikekuasaan, sehingga mampu mewujudkan Peradilan Agamayang mandiri, bebas dari segala bentuk campur tangankekuasaan ektra yudisial. Sehingga akhirnya, melaluirestrukturisasi Peradilan Agama ada dua aspek yang dapatdilihat kaitannya dengan kekuasaan kehakiman yangmerdeka, yaitu merdeka diartikan sebagai kemerdekaandalam menyelenggarakan fungsi yustisial, serta kemerdekaandalam menyelenggarakan fungsi non yustisial.

B. Saran1. Bertahannya Peradilan Agama dari segala bentuk rintangan

merupakan bukti bahwa kehadirannya memang menjadisesuatu yang urgen bagi masyarakat Islam Indonesia.Kedepannya, merupakan kewajiban bagi Peradilan Agamasenantiasa memperbaiki diri. Cara berfikir atau logika yuridisharus lebih dikedepankan daripada kehendak-kehendakpolitik yang saling bersaingan. Sehingga keadaan yang dapatmenempatkan Peradilan Agama secara khusus dan tertinggaldalam konteks perubahan, terutama diakibatkan adanyarestrukturisasi dalam sistem peradilan nasional tidak perluterjadi.

Penutup

Page 144: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

138

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

2. Melihat urgennya restrukturisasi Peradilan Agama, sudahseyogyanya dalam prosesnya dapat dilaksanakan secara utuhdan konsekuen dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip universal dari kekuasaan kehakiman yang merdekadalam segala peraturan perundang-undangannya. Perlunyahal ini dilakukan juga sebagai bentuk pengakomodiranterhadap perubahan peraturan yang ada.

Page 145: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

139

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal dan Abu Bakar. 1992. Kumpulan PeraturanPerundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama.Surabaya : Pengadilan Tinggi Agama.

Abdullah, Abdul Gani. “Di Balik Satu Atap”. 1999. Jurnal DuaBulanan. Mimbar Hukum Edisi Juli-Agustus. No.43. Thn X. Jakarta : Al Hikmah & DITBINBAPERA.

Adji, Oemar Seno. 1989. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia Sejakkembali Ke UUD 1945. Bandung : Fakultas Hukum Unfad.

Ali, Mohammad Daud. 2002. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukumdan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Rajawali Press.

Anshofa, Burhan. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : RinekaCipta.

A. Rasyid, Roihan. 1991. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta :Rajawali Press.

Arifin, Bustanul. 1996. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia,Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta : GemaInsani Press.

Arto, A. Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefinisidan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangun Indone-sia Baru. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Argatama, Handry. “Meletakkan Dasar Reformasi dan RevitalisasiSistem Kekuasaan Kehakiman”, (Harjad MA 18 Agustus2004). 2004. Artikel dalam Banjarmasin Post. Edisi Rabu18 Agustus.

Asrun, Muhammad. 2004. Krisis Peradilan : Mahkamah Agung di bawahSoeharto. Jakarta : ELSAM.

Page 146: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

140

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Ash Shiddieqy, TM. Hasbi. 1970. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Attamimi, A. Hamid S. “Hukum Indonesia Hendaknya TidakMeninggalkan Cita Hukum dan Cita Negara”. 1994.Artikel dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum. No.13.

Atmasasmita, Romli. 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia& Penegakan Hukum. Bandung : Mandar Maju.

Azhari, Muhammad Tahir. 1992. Negara Hukum, Studi tentangPrinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan MasaKini. Jakarta : Bulan Bintang.

Azizy, Qodri. 2002. Eklektisisme Hukum Nasional. Yogyakarta :Gama Media.

Bisri, Cik Hasan. 1996. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta : PT.Raja Grapindo Persada.

_______ . 1997. Peradilan Islam Dalam Tatanan Masyarakat Indone-sia. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

_______. (“et al”). 1999. Kompilasi Hukum Islam Dalam SistemHukum Nasional. Jakarta : Logos.

Budiardjo. Miriam. 1987. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT.Gramedia.

Djatnika, Rachmat. (“et al”). 1994. Hukum Islam di Indonesia,Perkembangan dan Pembentukan. Bandung : RemajaRoesdakarya.

Friedman, Lawrence Meir, 1998, American Law : an Introduction,second edition, New York : WW.Nothron & Company.

Gaffar, Firoz dan Ifdahl Kasim. 1999. Reformasi Hukum di Indone-sia : Hasil Studi Perkembangan Hukum-Proyek Bank Dunia.Jakarta : CyberConsult.

Gandasubrata. Purwoto. S. “Kedudukan Kekuasaan KehakimanMenurut UUD 1945 dalam Negara Hukum RepublikIndonesia”. 2000. Artikel dalam Majalah Hukum VariaPeradilan. Tahun. XVI. Edisi November. No. 182.

Page 147: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

141

Gofar, Abdullah. “Peradilan agama dan Kekuasaan Kehakimanyang Merdeka”. 1999. Artikel dalam Jurnal Dua bulananMimbar Hukum. No. 43.

Gunawan, S. (trans). C. Snouck Hurgronje. 1973. Islam di HindiaBelanda. Jakarta : Bhratara.

Hadjon. Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat diIndonesia. Surabaya : PT. Bina Imu.

Halim, Abdul. 2000. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di In-donesia, dari Otoriter Konservatif Menuju KonfigurasiDemokratis-Responsif. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Hamami. Taufiq. 2003. Mengenal Lebih Dekat : Kedudukan danEksistensi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum DiIndonesia. Bandung : Alumni.

Harahap, Yahya. “Kekuasaan Kehakiman yang MerdekaMerupakan Ideologi Masa Kini”. 1998. Artikel dalamJurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum. No 38.

______________. 1993. Kedudukan, Kewenangan dan Acara PeradilanAgama : Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Jakarta :Pustaka Kartini.

______________. 1997. Beberapa Tinjauan Mengenai SistemPeradilan dan Penyelesaian Sengketa. Bandung : CitraAditya Bakti.

Hartono, Sunaryati. 1986. “Perspektif Politik Hukum Nasional”dalam Pembangunan Hukum Dalam Perspektif PolitikHukum Nasional. Jakarta : Rajawali.

_________________.1991. Politik Hukum Menuju Satu SistemHukum Nasional. Bandung : Alumni.

Hasil Rapat Kerja Nasional MARI dengan Jajaran PengadilanSeluruh Indonesia Tahun 2004. Semarang 27 SampaiDengan 30 September 2004. Mahkamah Agung RI.

Irsyad. Syamsuhadi. 2004. Catatan Rakernas Satu Atap KekuasaanKehakiman di Semarang Tahun 2004. Mahkamah AgungRI.

Daftar Pustaka

Page 148: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

142

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Kansil. C.S.T. 1995. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta : BumiAksara.

Kantaprawira. Rusadi. 1999. Sistem Politik Indonesia (suatu modelpengantar). Bandung : Sinar Baru Algensindo.

Keraf. Gorys. 1987. Tata Bahasa Indonesia. Flores-NTT : NusaIndah.

Kusnardi. Moh dan Harmaily Ibrahim. 1988. Pengantar HukumTata Negara Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum TataNegara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV.Sinar Bakti.

Lathif, Jamil. 1983. Kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama diIndonesia. Jakarta : Bulan Bintang.

Lev, Daniel. S. 1990. Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungandan Perubahan. Jakarta : LP3ES.

Madkur, Muhammad Salam. 1964. Al Qadla Fil Islam. Mesir :Darun-Nahdah al Arabiyah.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2003. Kertas KerjaPembaruan Sistem Pendidikan dan Pelatihan Hakim, KertasKerja Pembaruan Sistem Pembinaan SDM Hakim, KertasKerja Pembaruan Sistem Pengelolaan Keuangan Pengadilan.Jakarta : MA RI dan The IMF Dutch Technical AssistanceSub-Account.

Mahkamah Agung Republik Indonesia Lingkungan PeradilanAgama. 2003. Suara Uldilag. Tahun I No. 1 Mei. Jakarta :Pokja Perdata Agama MA-RI.

Mahfud MD, Moh. 1998. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta :Pustaka LP3ES Indonesia.

____________. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia.Yogyakarta : Gama Media.

____________. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media atas Kerjasama yayasan Adikarya IKAPIdan The Ford Foundation.

____________. 1999. Peluang Konstitusional Bagi Peradilan Agama.Yogyakarta : UII Press.

Page 149: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

143

____________. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studitentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan.Jakarta : Rineka Cipta.

Manan, Bagir. “Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”. 1999.Artikel Dalam Jurnal Dua Bulanan Mimbar Hukum. No.43.

___________. 2003. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta :FH.UII. Press.

Mardjono. Hartono. 2001. Negara Hukum Yang Demokratis, SebagaiLandasan Membangun Indonesia Baru. Jakarta : KoridorPengabdian.

Mertokusumo, Sudikno. 1986. Mengenal Hukum. Yogyakarta :Liberty.

Mudzhar, Muhammad Atho. (“et al”). 1998. Hukum Islam DalamTatanan Masyarakat Indonesia. Jakarta : Logos.

__________________________________, 2005. Peradilan Satu Atapdan Profesi Advokat Implikasi dan Tantangan Bagi FakultasSyari’ah. Jakarta : Puslitbang Kehidupan Beragama.

Mujahidin, Ahmad. 2006. Peradilan Satu Atap di Indonesia.Bandung : PT. Refika Aditama.

Mustafa. Bachsan. 2003. Sistem Hukum Indonesia Terpadu.Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Noer, Deliar. 1998. Reformasi Politik dan Kepemimpinan Nasional :Perspektif Demokratisasi, Indonesia Di Persimpangan Jalan.Bandung : Mizan.

Noeh, Zaini Ahmad. (trans). Daniel S. Lev. 1980. Peradilan AgamaIslam di Indonesia. Jakarta : Intermasa.

_________________ 1982. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia.Disampaikan pada Simposium Sejarah Peradilan Agamatanggal 8-10 April 1982. Bogor : Proyek PembinaanAdministrasi Hukum dan Peradilan Agama.

_________________ dan Abdul Basit Adnan. 1983. Sejarah SingkatPengadilan Agama Islam di Indonesia. Surabaya : Bina Ilmu.

Daftar Pustaka

Page 150: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

144

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Nugent, Thomas. (trans). Baron De Montesquieu. 1949. The SpiritOf The Law. New York : Hafner Press.

Rahardjo. Satjipto. 1986. “Hukum Dalam Perspektif Sejarah danPerubahan Sosial” dalam Pembangunan Hukum DalamPerspektif Politik Hukum Nasional. Jakarta : Rajawali.

_______________. T.Th. Masalah Penegakan Hukum. Bandung :Sinar Baru.

________________. 2003. Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia.Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Ramulyo. M. Idris. 1997. Asas-asas Hukum Islam, Sejarah Timbuldan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam SistemHukum di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Sadjali, Munawir. (“et al”). 1999. Peradilan Agama dan KompilasiHukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta :UII.

Saekan, Erniati Effendi. 1997. Sejarah Penyusunan KompilasiHukum Islam Di Indonesia. Surabaya : Arkola.

Siregar. Bismar. 1986. “Studi Kritis Terhadap Undang-UndangPokok Kekuasaan Kehakiman” dalam PembangunanHukum Dalam Perspektif Politik HukumNasional. Jakarta :Rajawali.

Simorangkir, J.T.C. 1971. Kamus Hukum. Jakarta : Erlangga.Soekanto, Soerjono.1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta :

UI Pres.________________. 2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi

Penegakkan Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo.________________ dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum

Normatif. Jakarta : PT RajaGrafindo.Soetoprawiro. Koerniatmanto. 1994. Pemerintahan dan Peradilan

di Indonesia (Asal-Usul dan Perkembangannya). Bandung :Citra Aditya Bakti.

Soeyoeti, Zarkowi. 1999. Sejarah Penyusunan Kompilasi HukumIslam. Yogyakarta : UII Press.

Page 151: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

145

Subekti dan Tjitrosoedibyo. 1971. Kamus Hukum. Jakarta : PradyaParamita.

Suma, Muhammad Amin. 2004. Himpunan Undang-UndangPerdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di NegaraHukum Indonesia. Jakarta : RajaGrafindo Persada.

Sunaryo, J.R. (trans). Montesquieu. 1993. Membatasi Kekuasaan(Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang). Jakarta :Gramedia Pustaka Utama.

Sunny. Ismail. 1977. Pergeseran Kekuasaan Eksekutif. Jakarta :Aksara Baru

___________. 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Jakarta : AksaraBaru.

Suseno. Franz Magnis. 2001. Etika Politik, Prinsip-Prinsip MoralDasar Kenegaraan Modern. Jakarta : PT. Gramedia PustakaUtama.

Syahrani, Riduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Thalib. Sayuti. 1982. Receptio A. Contrario : Hubungan Hukum Adatdengan Hukum Islam. Jakarta : Bina Aksara.

Thaib, Dahlan. “Independensi dan Peran Mahkamah Agung(Kajian dari Sudut Pandang Yuridis Ketatanegaraan”.2000. Artikel dalam Jurnal Hukum. No. 14 Vol. 7.

_____________. 2000. Kedaulatan Rakyat Negara Hukum danKonstitusi. Yogyakarta : Liberty.

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan PengembanganBahasa. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. DepartemenPendidikan dan Kebudayaan. Jakarta : Balai Pustaka.

Unger, Roberto Mangabeira. 1976. Law in Modern Society :Towarda Criticism of Society Theory. Macmillan Publishing Co.inc.

Poerwadarminta. 1982. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :Balai Pustaka.

Daftar Pustaka

Page 152: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

146

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Position Paper KRHN & LeIP. 1999. Menuju IndependensiKekuasaan Kehakiman. Jakarta : Indonesia Center for En-vironmental Law (ICEL).

Wahidin. Samsul. 2002. Pemikiran Montesquieu tentang PemisahanKekuasaan dan Pengaruhnya Terhadap Ketatanegaraan RI.Banjarmasin : Makalah Program Magister Ilmu HukumUniversitas Lambung Mangkurat.

Waluyo, Bambang. 1992. Implementasi Kekuasaan KehakimanRepublik Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Sumber lain

Al Qur’an dan Terjemahannya.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 tentang

Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam RangkaPenyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasionalsebagai Haluan Negara,

Ketetapan MPR Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999tentang GBHN Tahun 1999-2004,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1970Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok KekuasaanKehakiman. .

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974tentang Perkawinan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1985tentang Mahkamah Agung,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989tentang Peradilan Agama,

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun1999Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan PokokKekuasaan Kehakiman.

Page 153: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

147

Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2003 TentangMahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 2004tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 8 Tahun 2004 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 2004 tentangPerubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986tentang PTUN.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2004 tentangKomisi Yudisial

Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atasUndang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang PeradilanAgama.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentangMahkamah Agung.

Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang KekuasaanKehakiman.

Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentangPeradilan Umum.

Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Keduaatas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama.

Undang-Undang No. 51 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata UsahaNegara.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang PerwakafanTanah Milik.

Daftar Pustaka

Page 154: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

148

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka

Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003Tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyahProvinsi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2004tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, danFinansial di Lingkungan Peradilan Umum dan PeradilanTata Usaha Negara, dan Peradilan Agama ke MahkamahAgung.

Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 2004 tentang PelaksanaanPengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, danFinansial Lembaga Peradilan Agama dan PeradilanMiliter.

Qanun Provinsi Nagroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002tentang Peradilan Syariat Islam.

Page 155: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

149

CURRICULUM VITAE

Diana Rahmi lahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatantanggal 14 Juli 1972. Pendidikan sarjana diselesaikan di IAINAntasari Banjarmasin Fakultas Syariah Jurusan Peradilan Agamatahun 1996. Kemudian melanjutkan kuliah pada Program Mag-ister Ilmu Hukum pada Universitas Lambung MangkuratBanjarmasin, lulus pada tahun 2005. Sekarang aktif sebagai StafPengajar pada Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin,disamping juga turut aktif mengembangkan LKBH Syariah IAINAntasari Banjarmasin.

Page 156: RESTRUKTURISASI PERADILAN AGAMA DALAM … · Adanya bunyi Pasal 11 yang diubah oleh Undang-Undang No. 35 Th. 1999 adalah sebagai berikut : (1)Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud

150

Restrukturisasi Peradilan Agama Dalam Perspektif Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka