187
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI PADA KELOMPOK LANJUT USIA DI KELURAHAN SAWAH BARU KECAMATAN CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2011 SKRIPSI OLEH : RINAWANG FRILYAN SARASATY NIM : 106101003354 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M

RINAWANG JADI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RINAWANG JADI

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIPERTENSI

PADA KELOMPOK LANJUT USIA DI KELURAHAN SAWAH BARU

KECAMATAN CIPUTAT, KOTA TANGERANG SELATAN

TAHUN 2011

SKRIPSI

OLEH :

RINAWANG FRILYAN SARASATY

NIM : 106101003354

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1432 H/ 2011 M

Page 2: RINAWANG JADI
Page 3: RINAWANG JADI

ii

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 19 Oktober 2011 Rinawang Frilyan Sarasaty, NIM 106101003354 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi pada Kelompok Lanjut Usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun 2011 xvi + 143 halaman, 24 tabel, 3 bagan, 5 lampiran

ABSTRAK

Meningkatnya umur harapan hidup (UHH), menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk lansia yang berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif seperti hipertensi. Hipertensi perlu diwaspadai karena sudah menjadi masalah global bagi kesehatan masyarakat. Survey riskesdas tahun 2007 menyebutkan bahwa penyakit ini pada usia 55 sampai diatas 75 tahun mencapai 62,8%. Hasil studi pendahuluan terhadap lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2009 didapatkan bahwa prevalensi hipertensi sebesar 32,4%. Angka ini jauh lebih besar dari prevalensi hipertensi yang ditetapkan Depkes RI (20-30%) untuk lansia di tahun 2000.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan desain studi cross-sectional. Sampel penelitian ini berjumlah 105 orang lansia usia 55 tahun keatas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tekanan darah lansia masih tinggi yaitu TDS sebesar 148,67 mmHg dan TDD sebesar 91,28 mmHg. Terdapat 65,7% lansia menderita hipertensi. Berdasarkan analisis bivariat diketahui bahwa konsumsi natrium serta konsumsi buah dan sayur memiliki hubungan yang bermakna dengan hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011.

Dari hasil penelitian saran yang dapat diberikan bagi puskesmas kampung sawah yaitu mengaktifkan posbindu, membuat program dengan pendekatan kepada tokoh masyarakat sebagai wadah penyampaian informasi kepada warga melalui media informasi untuk demo melakukan diet rendah garam, peningkatan konsumsi buah dan sayur. Bagi masyarakat, melalui perubahan gaya hidup sehat untuk mengurangi konsumsi natrium seperti mengurangi penggunaanya dalam pengolahan makanan, tidak meletakkan garam di meja, patuh terhadap saran tenaga kesehatan, mengecek kadarnya dalam makanan kemasan, menggantinya dengan bumbu dapur alami. Selain itu, peningkatan konsumsi buah dan sayur dengan menanam bibit sayur dan buah, menyediakan dan mengkonsumsinya setiap hari sejak dini, serta memperhatikan proses pengolahannya. Bagi peneliti lain, menambah variabel penelitian serta penggunaan rancangan sampel yang lebih baik.

Daftar bacaan: 73 (1980-2011)

Page 4: RINAWANG JADI

iii

STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND SCIENCE OF HEALTH PUBLIC HEALTH PROGRAM Skripsi, 19 Oktober 2011 Rinawang Frilyan Sarasaty, NIM 106101003354 Factors Associated with Hypertension in the Elderly Group in Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, South Tangerang City Year 2011 xvi + 143 pages, 24 tables, 3 schemes, 5attachments

ABSTRAC

Increasing of life expectation, causing will add elderly population total that will affect the changes of disease from infection to degenerative disease, such as hypertension. Hypertension needs to be bewared since have become global problem for public health. Riskesdas survey is year 2007 mentions that the disease on age 55 until above 75 year up to 62,8%. The results of a preliminary study to the elderly people in Kelurahan Sawah Baru 2009 is gotten that hypertension prevalence as big as 32,4%. This number much greater than prevalence of hypertension defined of Depkes RI (20 - 30%) for the elderly people in year 2000.

This research is aimed to know factors associated with hypertension on the elderly people in Kelurahan Sawah Baru in year 2011. This research is a quantitative research using of cross sectional design studi. The research sample total 105 elderly people age 55 years or older.

The result of this research showed that elderly people blood pressure average stills hight which is TDS as big as 148,67 mmHg and TDD as big as 91,28 mmHg. There are 65,7% the elderly people suffers hypertension. Based on bivariate analysis is known that sodium consumption and fruit and vegetable consumption had significant associate with hypertension on the elderly people in Kelurahan Sawah Baru year 2011.

From the research result that can be given suggestion for puskesmas kampung sawah isactivating posbindu, making program with approaching to society figure as a forum deliver information to society via media information for demo low salt diet, increased consumption fruit and vegetable. For the society, through healthy life style changes to reduce sodium consumption as reducing it’s using in food processing, do not put salt on the table, obedient to the advice of health personel, check the levels in food packaging, replacing it with natural herbs. In addition, the increased consumption of fruits and vegetables by planting the seeds of vegetables and fruits, provide and consume them every day early, and pay attention to the processing process. For other researchers, adding research variable, and use a better design of the sample.

Reading list: 73 (1980-2011)

Page 5: RINAWANG JADI
Page 6: RINAWANG JADI
Page 7: RINAWANG JADI

vi

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

PERSONAL DATA

Nama : Rinawang Frilyan Sarasaty

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 11 April 1988

Agama : Islam

Alamat : Komp. Depag Blok 12/E.8 Rt 02/07 Bambu Apus-

Pamulang 15415, Tangsel

Nomor Telepon/HP : (021) 91503777

Email : [email protected]

RIWAYAT PENDIDIKAN

1994-2000 : MI Pembangunan IAIN Jakarta

2000-2003 : SLTP Negeri 87 Jakarta

2003-2006 : SMU Negeri 29 Jakarta

2006-2010 : Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PENGALAMAN ORGANISASI

2008-2010 : Anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

PENGALAMAN KERJA

PBL I di Puskesmas Serpong Kota Tangerang Selatan

PBL II di Puskesmas Serpong Kota Tangerang Selatan

Magang di RSIA Citra Insani, Parung-Bogor, Februari 2010

Enumerator Survey Kesehatan Ibu dan Anak Dinas Kesehatan Kabupaten

Tangerang Tahun 2009

Page 8: RINAWANG JADI

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobil’alamin adalah untaian kata terindah sebagai ungkapan

puji syukur kehadirat Allah SWT yang patut penulis ucapkan atas rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan

judul ”faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia

di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2011.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak

terdapat kekurangan dan kesalahan baik dari segi isi, bahasa, maupun pengetikannya.

Namun berkat bimbingan Ibu Catur Rosidati, MKM dan Ibu Raihana Nadra Al Kaff,

MMA yang telah sabar dalam membimbing dan memberikan banyak masukan.

Dalam penyusunan laporan ini, penulis telah mendapat banyak dukungan dan

arahan dari berbagai pihak, untuk itu perkenankan saya menyampaikan penghargaan

dan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. DR (hc). Dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. dr. Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan

Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah membantu

dan segenap dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat

berguna bagi peneliti.

3. Catur Rosidati, SKM, MKM selaku Dosen Pembimbing 1

4. Raihana Nadra Alkaff, SKM, MMA selaku Dosen Pembimbing 2

Page 9: RINAWANG JADI

viii

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan kasih sayang, dorongan

moril maupun materil yang tak terhingga sehingga penulis mampu dalam

menyelesaikan skripsi ini..

6. Adikku M. Zachfier. Mezhar yang telah memberikan bantuan dalam proses

penyelesaian skripsi ini.

7. Segenap staff Kelurahan Sawah Baru yang telah memberikan kesempatan dan

membantu saya dalam penelitiaan ini.

8. Kepala Puskesmas Kampung Sawah yang telah mengizinkan peneliti untuk

proses pengumpulan data-data yang diperlukan.

9. Teman-teman 3G angkatan 2006 atas ikatan persahabatan, persaudaraan,

perhatian, dukungan, masukan, arahan serta bantuan yang telah diberikan.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan

bantuannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi

penulis pada khususnya. Sehingga, saran dan kritik yang membangun sangatlah

penulis harapkan demi kesempurnaannya.

Jakarta, 19 Oktober 2011

Penulis

Page 10: RINAWANG JADI

ix

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i

ABSTRAK ............................................................................................................... ii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PENGUJI ..........................................................v

RIWAYAT HIDUP .................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR .............................................................................................. vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ix

DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii

DAFTAR BAGAN .................................................................................................. xv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................... 11

1.3 Pertanyaan Penelitian .............................................................................. 10

1.4 Tujuan ..................................................................................................... 13

1.4.1 Tujuan Umum ............................................................................... 13

1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 13

1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 15

1.5.1 Bagi Peneliti .................................................................................. 15

1.5.2 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan .............................. 15

1.5.3 Bagi Masyarakat ............................................................................ 15

1.5.4 Bagi Instasi yang Terkait ............................................................... 15

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ....................................................................... 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 17

2.1 Hipertensi ............................................................................................... 17

2.1.1 Definisi hipertensi ......................................................................... 17

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi .................................................................... 18

2.1.3 Cara Pengukuran Tekanan Darah ................................................... 19

Page 11: RINAWANG JADI

x

2.1.4 Diagnosis Hipertensi ..................................................................... 20

2.1.5 Gejala Klinis Hipertensi ................................................................ 22

2.1.6 Patofisiologis Hipertensi ................................................................ 22

2.1.7 Komplikasi Hipertensi ................................................................... 24

2.1.8 Penatalaksanaan Hipertensi ........................................................... 26

2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Hipertensi ................ 27

2.2.1 Umur ............................................................................................. 28

2.2.2 Jenis Kelamin ............................................................................... 29

2.2.3 Riwayat Keluarga .......................................................................... 31

2.2.4 Etnis .............................................................................................. 32

2.2.5 Obesitas ........................................................................................ 32

2.2.6 Konsumsi Natrium ........................................................................ 35

2.2.7 Konsumsi Lemak .......................................................................... 40

2.2.8 Konsumsi Alkohol ........................................................................ 42

2.2.9 Konsumsi Buah dan Sayur ............................................................. 43

2.2.10 Konsumsi Air .............................................................................. 48

2.2.11 Merokok ...................................................................................... 50

2.2.12 Olahraga atau Aktifitas Fisik ....................................................... 54

2.2.13 Stres ............................................................................................ 57

2.3 Metode Food Frequency Questioner ....................................................... 61

2.4 Lansia .................................................................................................... 62

2.4.1 Hipertensi Pada Usia Lanjut .......................................................... 63

2.5 Kerangka teori ........................................................................................ 65

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL,

DAN HIPOTESIS ..................................................................................... 66

3.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 66

3.2 Definisi Operasional ............................................................................... 68

3.3 Hipotesis ................................................................................................ 71

BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 73

4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 73

Page 12: RINAWANG JADI

xi

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................. 73

4.2.1 Lokasi Penelitian ........................................................................... 73

4.2.2 Waktu Penelitian ........................................................................... 73

4.3 Populasi dan Sampel .............................................................................. 74

4.3.1 Populasi ........................................................................................ 74

4.3.2 Sampel .......................................................................................... 74

4.4 Instrumen Penelitian ............................................................................... 76

4.5 Pengumpulan Data ................................................................................. 77

4.5.1 Data Primer ................................................................................... 77

4.5.2 Data Sekunder ............................................................................... 80

4.6 Pengolahan Data ..................................................................................... 80

4.7 Analisis Data .......................................................................................... 83

4.7.1 Analisis Univariat........................................................................... 83

4.7.2 Analisis Bivariat ............................................................................ 83

BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................... 85

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ....................................................... 85

5.1.1 Keadaan Geografi .......................................................................... 85

5.1.2 Keadaan Demografi ....................................................................... 85

5.2 Gambaran Hasil Analisis Univariat ......................................................... 87

5.2.1 Gambaran Kejadian Hipertensi pada Lansia .................................. 87

5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin pada Lansia ........................................... 88

5.2.3 Gambaran Konsumsi Natrium pada Lansia ..................................... 89

5.2.4 Gambaran Konsumsi Lemak pada Lansia ...................................... 90

5.2.5 Gambaran Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia ........................ 91

5.2.6 Gambaran Konsumsi Air pada Lansia ............................................ 92

5.2.7 Gambaran Kegiatan Olah Raga pada Lansia .................................. 93

5.2.8 Gambaran Merokok pada Lansia ................................................... 93

5.2.9 Gambaran Kejadian Stres pada Lansia ........................................... 94

5.2.10 Gambaran Obesitas pada Lansia .................................................. 94

5.3 Gambaran Hasil Analisis Bivariat ........................................................... 95

Page 13: RINAWANG JADI

xii

5.3.1 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi ....................... 96

5.3.2 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi ................ 96

5.3.3 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi .................. 97

5.3.4 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi .... 98

5.3.5 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi ........................ 99

5.3.6 Hubungan antara Olah Raga dengan Hipertensi ............................100

5.3.7 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi ..............................101

5.3.8 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi .....................................102

5.3.9 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi ...............................103

BAB VI PEMBAHASAN ......................................................................................105

6.1 Keterbatas Penelitian ..............................................................................105

6.2 Gambaran Kejadian Hipertensi pada lansia ............................................106

6.3 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi ...............................109

6.4 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi ........................111

6.5 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi ..........................114

6.6 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi ............117

6.7 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi ................................119

6.8 Hubungan antara Olah Raga dengan Hipertensi .....................................121

6.9 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi .......................................124

6.10 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi ............................................126

6.11 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi ......................................129

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ..............................................................131

7.1 Kesimpulan ...........................................................................................131

7.2 Saran .....................................................................................................133

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................138

LAMPIRAN ..........................................................................................................144

Page 14: RINAWANG JADI

xiii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Halaman

2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC-7 ................................... 19

2.2 Rekomendasi Tindak Lanjut Tekanan Darah

Pengukuran Pertama .......................................................................

19

2.3 Klasifikasi IMT (Indeks Masa Tubuh) Orang

Indonesia.........................................................................................

34

2.4 Kandungan Natrium Beberapa Bahan Makanan (mg/100gr) ........ 39

3.1 Definisi Operasional Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Hipertensi .......................................................................................

68

5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................

88

5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................

88

5.3 Distribusi Frekuensi Konsumsi Natrium pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................

89

5.4 Distribusi Frekuensi Konsumsi Lemak pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................

90

5.5 Distribusi Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................

91

5.6 Distribusi Frekuensi Konsumsi Air pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................

92

5.7 Distribusi Frekuensi Kegiatan Olah Raga pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................................

93

5.8 Distribusi Frekuensi Merokok pada Lansia di Kelurahan Sawah

Baru Tahun 2011 ...........................................................................

93

5.9 Distribusi Frekuensi Kejadian Stres pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011 ................................................................

94

Page 15: RINAWANG JADI

xiv

5.10 Distribusi Frekuensi Kejadian Obesitas pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 .............................................. 95

5.11 Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

96

5.12 Hubungan Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

97

5.13 Hubungan Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

98

5.14 Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada

Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..............................

99

5.15 Hubungan Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

100

5.16 Hubungan Olah Raga dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

101

5.17 Hubungan Merokok dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

102

5.18 Hubungan Stres dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

103

5.19 Hubungan Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 ..........................................

104

Page 16: RINAWANG JADI

xv

DAFTAR BAGAN

Nomor Bagan Halaman

2.1 Patofisiologis Hipertensi ........................................................... 25

2.2 Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Hipertensi ..................................................................................

65

3.1 Kerangka Konsep Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Hipertensi ..................................................................................

67

Page 17: RINAWANG JADI

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian Kepada Dinas Kesehatan Tangerang Selatan

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian Kepada Kepala Kelurahan Sawah Baru

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian

Lampiran 4. Form Food Frequency Questioner (FFQ)

Lampiran 5. Hasil Output SPSS

Page 18: RINAWANG JADI

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar BeLakang

Menurut Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2009 Pasal 3,

pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan

kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan

masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, ditetapkan

bahwa sasaran pembangunan kesehatan adalah meningkatnya derajat kesehatan

masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan

yang berkualitas. Pencapaian tersebut tercermin dari indikator dampak

pembangunan kesehatan, yaitu: menurunnya angka kematian bayi dari 34

menjadi 24/1000 kelahiran hidup, menurunnya angka kematian ibu melahirkan

dari 228 menjadi 118/100.000 kelahiran hidup, menurunnya prevalensi gizi

kurang pada anak balita dari 18,4 % menjadi kurang dari 15,0% dan

meningkatnya umur harapan hidup (UHH) dari 70,6 tahun menjadi 72,0 tahun

(Sarjuni, 2009).

Semakin meningkatnya UHH penduduk, menyebabkan jumlah penduduk

lanjut usia terus meningkat. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998

tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Lansia), lansia adalah penduduk yang telah

Page 19: RINAWANG JADI

2

mencapai usia 60 tahun ke atas. Namun, hal ini disesuaikan dengan kondisi

Indonesia, dimana masa pensiun yang tergolong pada tahap dewasa akhir adalah

55 tahun, kecuali untuk orang dengan fungsi tertentu seperti professor, ahli

hukum, dokter atau profesi lain (Depkes RI, 1998). Proses penuaan penduduk

tentunya berdampak pada berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, dan

terutama kesehatan, karena dengan semakin bertambahnya usia, fungsi organ

tubuh akan semakin menurun baik karena faktor alamiah maupun karena

penyakit (Badan Pusat Statistik, 2006).

Menurut U.S. Census Bureau, International Data Base (2009), tahun 2007

jumlah penduduk lansia sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat menjadi

20.547.541 jiwa pada tahun 2009. Badan Pusat Statistik (1992), memprediksi

bahwa penduduk lansia di Indonesia tahun 2020 mencapai angka 11,34% atau

28,8 juta jiwa. Di wilayah Kota Tangerang Selatan menurut Dinas Kesehatan

Tangerang Selatan (2009), jumlah lansia mencapai 222.093 jiwa, sedangkan di

wilayah kerja Puskesmas Kampung Sawah mencapai 1.562 jiwa.

Perubahan struktur umur penduduk menjadi struktur penduduk umur tua

(UHH) meningkat akan mengakibatkan terjadinya pergeseran pola penyakit

serta tingkat kesehatan di masyarakat. Terjadinya pergeseran pola penyakit

menunjukan terjadinya perubahan status kesehatan masyarakat. Keadaan tersebut

dikatakan sebagai transisi epidemiologi yakni lebih memfokuskan aspek

pergeseran pola penyakit yang diawali wabah dan berbagai penyakit infeksi

(Penyakit Menular/PM) bergeser ke penyakit degeneratif (Penyakit Tidak

Menular/PTM) (Khomsan, 2001).

Page 20: RINAWANG JADI

3

Hasil SKRT 1995 dan SKRT 2001, menurut penyebab kematian tampak

bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi yang

diikuti transisi demografi. Proses ini diprediksi akan berjalan terus seiring dengan

perubahan status sosial ekonomi dan gaya hidup. Proporsi penyebab kematian

oleh PM di Indonesia telah menurun sepertiganya dari 44% menjadi 28%,

sedangkan akibat PTM mengalami peningkatan yang cukup tinggi dari 42%

menjadi 60% (Depkes, 2008). Berdasarkan data WHO, tahun 2000 PTM

diperkirakan mencapai 60% kematian di dunia dan diprediksikan pada tahun

2020 PTM mencapai 73% kematian di dunia (Soemantri, dkk, 2005).

Penyakit PTM atau degeneratif telah banyak muncul di Indonesia, yang

penyebabnya tidak terlepas dengan pola makan, diantara penyakit degeneratif

yakni hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung koroner, kanker dan obesitas.

Penyakit degeneratif adalah penyakit yang sulit untuk diperbaiki yang ditandai

dengan degenerasi organ tubuh yang dipengaruhi gaya hidup (Walqvist (1997)

dalam Modul Gizi Kesmas (2008)). Gaya hidup sehat menggambarkan pola

perilaku yang berkaitan dengan upaya atau kegiatan seseorang untuk

mempertahankan dan meningkatkan kesehatannya (Notoatmodjo, 2003).

Salah satu penyakit degeneratif yang perlu diwaspadai adalah hipertensi.

Hipertensi adalah penyebab kematian utama ketiga di Indonesia untuk semua

umur (6,8%), setelah stroke (15,4%) dan tuberculosis (7,5%) (Depkes, 2008).

Menurut JNC 7 (2003), hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan

tekanan darah diastolik ≥90 mmHg pada seseorang yang tidak sedang makan

obat antihipertensi (Yogiontoro, 2006). Hipertensi sering disebut the silent killer

Page 21: RINAWANG JADI

4

karena penderita hipertensi mengalami kejadian tanpa gejala (Asymtomatic)

selama beberapa tahun dan kemudian mengalami stroke, gagal jantung yang fatal

atau penyakit degeneratif lainnya (Krummel, 2004).

Hipertensi kini menjadi masalah global karena prevalensinya yang terus

meningkat sejalan dengan perubahan gaya hidup, terutama dalam pola makan.

Pola makan tradisional yang tadinya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar, dan

rendah lemak bergeser ke pola makan baru yang rendah karbohidrat, rendah serat

kasar, dan tinggi lemak sehingga menggeser mutu makanan ke arah tidak

seimbang. Perubahan pola makan ini dipercepat oleh makin kuatnya arus budaya

makanan asing yang disebabkan oleh kemajuan teknologi informasi dan

globalisasi ekonomi. Disamping itu, perbaikan ekonomi menyebabkan

berkurangnya aktifitas fisik masyarakat tertentu. Perubahan pola makan dan

aktifitas fisik ini berakibat semakin banyaknya penduduk golongan tertentu

mengalami masalah gizi lebih berupa kegemukan dan obesitas yang berdampak

pada timbulnya penyakit degeneratif (Almatsier, 2001).

Berikut ini merupakan beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap

kenaikan tekanan darah pada seseorang antara lain: faktor yang tidak dapat

diubah (umur, riwayat keluarga) dan faktor yang dapat diubah (obesitas, perokok,

konsumsi alkohol, dan konsumsi makanan yang banyak mengandung lemak atau

garam) (Cahyono, 2008).

Menurut Depkes (2006), pada golongan umur 55-64 tahun, penderita

hipertensi pada pria dan wanita sama banyak. Dari beberapa penelitian, tingginya

prevalensi hipertensi sejalan dengan bertambahnya umur. Berdasarkan Penelitian

Page 22: RINAWANG JADI

5

yang dilakukan di 6 kota besar seperti Jakarta, Padang, Bandung, Yogyakarta,

Denpasar, dan Makasar terhadap usia lanjut (55-85 tahun), didapatkan prevalensi

hipertensi sebesar 52,5%. Dalam Cahyono (2008), seseorang yang beresiko

terkena hipertensi adalah orang yang berusia diatas 55 tahun. Bila ditinjau

perbandingan prevalensi hipertensi antara perempuan dan laki-laki, ternyata

menunjukkan angka yang bervariasi. Hasil penelitian Irza (2009) di Sumatera

Barat, hipertensi lebih banyak dialami oleh wanita (66,67%) dibandingkan pria

(33,33%). Sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan

14,6% pria dan 13,7% perempuan (Sugihartono, 2007)

Hasil penelitian Hasirungun (2002) terhadap lansia di Kota Depok

menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara riwayat keluarga dengan

hipertensi. Lansia yang hipertensi lebih banyak didapatkan dengan riwayat

keluarga hipertensi yaitu sebesar 69,2% dibandingkan dengan yang tidak

memiliki riwayat keluarga sebesar 52,3%. Dalam Cahyono (2008), faktor genetik

berperan besar dan diperburuk dengan asupan garam yang banyak atau suka

makan-makanan yang asin. Penelitian DASH-Natrium yang dilakukan National

Heart, Lung and Blood Institute menunjukkan hasil yang bermakna. Dengan

membatasi asupan natrium, yaitu melalui pengurangan konsumsi garam hanya

sebanyak 1.500 mg per hari (2/3 sendok teh sehari), maka terjadi penurunan

tekanan darah.

Sumber utama natrium atau sodium di Negara Barat adalah garam dapur.

Tetapi di Indonesia, disamping garam dapur dan ikan asin, sumber lain yang

lebih potensial adalah monosodium glutamate (MSG/Vetcin). Menurut

Page 23: RINAWANG JADI

6

Perhimpunan Hipertensi Indonesia (Ina SH) mencatat, konsumsi garam rata-rata

orang Indonesia tiga kali lebih besar dari anjuran badan kesehatan dunia (WHO)

yang maksimal 6 gram atau satu sendok teh sehari. Menurut Prof Dr Jose

Roesma, Konsumsi garam rata-rata masyarakat Indonesia sebesar 15 gram/hari.

Hal ini akan menyebabkan prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20 %.

Itulah salah satu sebab angka penderita hipertensi di Indonesia terus meningkat

setiap tahun. Selain itu, Budaya penggunaan MSG (bumbu masak) sudah sampai

pada taraf yang sangat mengkhawatirkan. Hampir semua ibu rumah tangga,

penjual makanan, dan jasa katering selalu menggunakannya (Suara karya, 2009).

Faktor berikutnya adalah kegemukan, yang terjadi karena masukan kalori

yang melebihi pemakaiannya untuk memelihara dan pemulihan kesehatan yang

berlangsung cukup lama. Akibat kelebihan kalori tersebut akan disimpan dalam

jaringan lemak, yang lama kelamaan akan mengakibatkan kegemukan (Waspadji,

2003). Kegemukan atau obesitas meningkatkan risiko terjadinya hipertensi dan

penyakit jantung, karena dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan

meningkatnya tekanan darah (Cahyono, 2008). Hasil penelitian Widiastuti (2006)

pada usia lanjut di wilayah kerja Puskesmas Ngemplak II Kabupaten Sleman,

terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian hipertensi. Selain

itu, menurut Depkes (2006), risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang

gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang berat badannya

normal.

Melakukan olahraga merupakan salah satu penanggulangan masalah gizi

lebih. Efektivitas pemompaan jantung pada setiap denyut 40-50% lebih besar

Page 24: RINAWANG JADI

7

pada atlet terlatih dibandingkan dengan orang yang tidak terlatih. Melalui

olahraga, frekuensi denyut nadi berkurang dan tekanan darah menurun. Dalam

penelitian di Amerika Serikat hanya 20% penduduknya yang mempunyai

kebiasaan berolahraga aktif. Sebagian besar, yaitu sebanyak 60% tidak memiliki

kebiasaan berolahraga (Cahyono, 2008). Hasil penelitian Sanusi (2002) di

poliklinik geriatri menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan

olahraga dengan hipertensi dengan P value sebesar 0,004 dan odds ratio sebesar

3,98.

Dalam Cahyono (2008), merokok dapat merusak dinding pembuluh darah

dan mempercepat proses pengerasan pembuluh darah arteri. Penelitian oleh

Sanusi (2002) terhadap lansia di poliklinik geriatri RSCM menunjukkan adanya

hubungan yang bermakna antara merokok dengan hipertensi yang P valuenya

sebesar 0,03 dan odds rasio sebesar 3,47. Lansia yang hipertensi lebih banyak

didapatkan dengan kebiasaan merokok yakni sebesar 84,4% dibandingkan

dengan yang tidak merokok yakni sebesar 60,9%. Sedangkan minuman

berakohol dapat meningkatkan tekanan darah. Alkohol mengandung kalori

sehingga dapat mengganggu program diet yang telah diatur jumlah kalorinya

perhari.

Selain itu, faktor stres juga berpengaruh pada kenaikan tekanan darah

secara bertahap karena dapat meningkatkan aktivitas saraf simpatis (Depkes,

2006). Hasil penelitian Hasirungun (2002) terhadap lansia di Kota Depok

didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara stres dan hipertensi. Lansia

yang mengalami stres tinggi sebesar 70,9%, stres sedang sebesar 65,2% dan stres

Page 25: RINAWANG JADI

8

rendah sebesar 38,5% terhadap hipertensi. Stres tinggi berpeluang 3,89 kali dan

stres sedang berpeluang 2,99 kali terhadap hipertensi dibandingkan dengan stres

rendah.

Menurut Dr. Siti Fadilah, di negara maju, pengendalian hipertensi belum

memuaskan, bahkan di banyak negara pengendalian tekanan darah hanya 8%

karena menyangkut banyak faktor baik dari penderita, tenaga kesehatan, obat-

obatan maupun pelayanan kesehatan. Hipertensi sebenarnya merupakan penyakit

yang dapat dicegah bila faktor risiko dapat dikendalikan. Upaya tersebut meliputi

monitoring tekanan darah secara teratur, program hidup sehat tanpa asap rokok,

peningkatan aktivitas fisik atau gerak badan, diet yang sehat dengan kalori

seimbang melalui konsumsi tinggi serat, rendah lemak dan rendah garam. Hal

tersebut merupakan kombinasi upaya mandiri oleh individu atau masyarakat dan

didukung oleh program pelayanan kesehatan yang ada serta harus dilakukan

sedini mungkin (Madina, 2010).

Data WHO tahun 2000 menunjukkan, di seluruh dunia, sekitar 972 juta

orang atau 26,4% penghuni bumi menderita hipertensi, dan angka ini

diperkirakan akan meningkat menjadi 29,2% di tahun 2025 (Farmacia, 2007).

Prevalensi hipertensi di seluruh dunia diperkirakan antara 15-20% (Depkes,

2006). Sedangkan angka Proporsional Mortality Rate di dunia akibat hipertensi

adalah 13% atau sekitar 7,1 juta kematian (Yahya, 2005). Hasil Riskesdas (2007),

prevalensi hipertensi di Indonesia pada penduduk berumur ≥18 tahun sebesar

7,2% yang didiagnosa oleh tenaga kesehatan, 7,6% pada kasus minum obat atau

didiagnosis oleh tenaga kesehatan, dan 31,7 berdasarkan hasil pengukuran

Page 26: RINAWANG JADI

9

tekanan darah dan di DKI Jakarta, kasus hipertensi mencapai 9,5%. Didapatkan

juga kasus pada wanita lebih tinggi (8,6%) dibandingkan pada laki-laki (5,8%).

Sedangkan, prevalensi hipertensi yang tergolong lansia (55 sampai 75+ tahun) di

Indonesia mencapai 62,8%.

Menurut data Dinas Kesehatan Tangerang Selatan (2009), di Wilayah

Kota Tangerang Selatan prevalensi hipertensi pada lansia (45 sampai >60 tahun)

mencapai 3,9%. Namun, angka kasus di Wilayah Kota Tangerang selatan ini

masih jauh dari yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan usia diatas 50 tahun

yakni sebesar 20-30%. Dari 10 Puskesmas yang berada di wilayah kerja Dinas

kesehatan Tangerang selatan prevalensi terendah berada di wilayah kerja

Puskesmas Pamulang (0,6%) dan tertinggi berada di wilayah kerja Puskesmas

Kampung Sawah (33,94%).

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan oktober 2010, dari

dua wilayah kerja Puskesmas Kampung sawah lansia yang mempunyai tekanan

darah ≥140/90 mmHg yakni sebagai berikut: pada Kelurahan Sawah terhadap 55

lansia prevalensi hipertensi sebesar 29%, sedangkan pada Kelurahan Sawah Baru

terhadap 37 lansia prevalensi hipertensi sebesar 32,4%. Data ini didapat

berdasarkan hasil rekam medis para lansia yang datang dan diperiksa tekanan

darahnya di puskesmas dan posbindu tahun 2009. Sebelum dibuat diagnosa

hipertensi, diperlukan pengukuran secara berulang pada tiga kesempatan disertai

dengan konsultasi tentang perubahan gaya hidup kepada dokter. Jika hasil

pengukuran tekanan darah pada tiga kesempatan masih tinggi atau ≥140/90

mmHg, maka pasien didiagnosa menderita hipertensi oleh dokter. Terlihat bahwa

Page 27: RINAWANG JADI

10

angka kasus di Kelurahan Sawah Baru lebih tingi jika dibandingkan dengan batas

yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yakni sebesar 20-30%. Keadaan

tersebut jika tidak segera dilakukan upaya-upaya preventif dan promotif secara

dini akan mengganggu penderitanya, yang menyebabkan penderitanya tidak bisa

menjalankan peran normalnya secara wajar dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan data-data tersebut, maka penulis merasa tertarik untuk

melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi

pada kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang selatan tahun 2011.

1.2 Rumusan Masalah

Penuaan tidak dapat dicegah dan sering disertai dengan adanya

peningkatan gangguan organ dan fungsi tubuh serta perubahan komposisi, namun

masalah kesehatan yang berhubungan dengan penuaan dapat dicegah. Deteksi

awal dan manajemen kesehatan yang efektif dapat menurunkan konsekuensi

timbulnya penyakit degeneratif seperti hipertensi. Lansia sangat mudah terkena

penyakit degeneratif seperti hipertensi, apabila kualitas dan kuantitas dari pola

makan sehari-hari tidak terpantau dengan baik. Maka dari itu, diperlukan

perubahan gaya hidup sehat sedini mungkin. Hal ini akan fatal jika penanganan

kurang cepat dan tepat, karena berdampak pada status gizi/kesehatannya,

menurunnya aktivitas atau kegiatan para lansia, serta dapat meningkatkan risiko

kematian bagi lansia.

Page 28: RINAWANG JADI

11

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan oktober 2010, dari

dua wilayah kerja Puskesmas Kampung sawah lansia yang mempunyai tekanan

darah ≥140/90 mmHg yakni sebagai berikut: pada Kelurahan Sawah terhadap 55

lansia prevalensi hipertensi sebesar 29%, sedangkan pada Kelurahan Sawah Baru

terhadap 37 lansia prevalensi hipertensi sebesar 32,4%. Data ini didapat

berdasarkan hasil rekam medis para lansia yang datang dan diperiksa tekanan

darahnya di Puskesmas dan Posbindu Kampung Sawah tahun 2009. Sebelum

dibuat diagnosa hipertensi diperlukan pengukuran secara berulang pada tiga

kesempatan disertai dengan konsultasi tentang perubahan gaya hidup kepada

dokter. Jika hasil pengukuran tekanan darah pada tiga kesempatan masih tinggi

atau ≥140/90 mmHg, maka pasien didiagnosa menderita hipertensi oleh dokter.

Terlihat bahwa angka kasus di Kelurahan Sawah Baru lebih tingi jika

dibandingkan dengan batas yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yakni

sebesar 20-30%.

Oleh sebab itu, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian

tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada kelompok lanjut

usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan

tahun 2011.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kejadian hipertensi, jenis kelamin, konsumsi natrium,

konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air, kegiatan olahraga,

Page 29: RINAWANG JADI

12

merokok, kejadian stres, dan obesitas pada kelompok lanjut usia di Kelurahan

Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan tahun 2011?

2. Apakah ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

selatan tahun 2011?

3. Apakah ada hubungan antara konsumsi natrium dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang selatan tahun 2011?

4. Apakah ada hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang selatan tahun 2011?

5. Apakah ada hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan hipertensi

pada kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011?

6. Apakah ada hubungan antara konsumsi air dengan hipertensi pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

selatan tahun 2011?

7. Apakah ada hubungan antara olahraga dengan hipertensi pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

selatan tahun 2011?

8. Apakah ada hubungan antara merokok dengan hipertensi pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

selatan tahun 2011?

Page 30: RINAWANG JADI

13

9. Apakah ada hubungan antara stres dengan hipertensi pada kelompok lanjut

usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan

tahun 2011?

10. Apakah ada hubungan antara obesitas dengan hipertensi pada kelompok lanjut

usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan

tahun 2011?

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang selatan tahun 2011.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kejadian hipertensi, jenis kelamin, konsumsi

natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air,

kegiatan olah raga, merokok, kejadian stres, dan obesitas pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang selatan tahun 2011.

2. Diketahuinya hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011.

Page 31: RINAWANG JADI

14

3. Diketahuinya hubungan antara konsumsi natrium dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011.

4. Diketahuinya hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011.

5. Diketahuinya hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan

hipertensi pada kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru,

Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang selatan tahun 2011.

6. Diketahuinya hubungan antara konsumsi air dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011.

7. Diketahuinya hubungan antara olahraga dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011.

8. Diketahuinya hubungan antara merokok dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011.

9. Diketahuinya hubungan antara stres dengan hipertensi pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang selatan tahun 2011.

Page 32: RINAWANG JADI

15

10. Diketahuinya hubungan antara obesitas dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat,

Kota Tangerang selatan tahun 2011.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Peneliti

Sebagai pembelajaran dan pengalaman dalam melakukan penelitian

yang terkait dengan gizi masyarakat serta media pengembangan kompetensi

diri sesuai dengan keilmuan yang diperoleh selama perkuliahan dalam

meneliti masalah yang berkaitan dengan gizi masyarakat.

1.5.2 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Salah satu wujud Tridharma Perguruan Tinggi (akademik, penelitian,

dan pengabdian masyarakat) dalam bidang gizi masyarakat dan menjadi

bahan masukan untuk penelitian selanjutnya.

1.5.3 Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi masyarakat

dalam menjaga kesehatannya dan dapat meningkatkan kesadaran terhadap

penyakit hipertensi sehingga dapat dilakukan pencegahan dini.

1.5.4 Bagi Puskesmas Kampung Sawah

Sebagai bahan informasi untuk mengambil langkah-langkah kebijakan

dimasa depan, seperti memberikan penyuluhan/informasi yang terkait

dengan hipertensi dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat, dan

Page 33: RINAWANG JADI

16

perhatian dalam upaya pencegahan penyakit degeneratif, sehingga dapat

menurunkan prevalensi hipertensi dikawasan tersebut.

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan hipertensi pada kelompok lansia. Penelitian ini dilakukan

oleh mahasiswa peminatan gizi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN pada

bulan Februari 2011 di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang Selatan dan yang diteliti adalah para lansia di wilayah tersebut.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif dengan disain cross-

sectional. Alasan penelitian ini dilakukan karena berdasarkan studi pendahuluan

diketahui proporsi lansia yang menderita hipertensi dari hasil rekam medis di

Puskesmas dan Posbindu Kampung Sawah sebesar 32,4 %. Angka ini lebih tinggi

jika dibandingkan dengan angka yang ditetapkan oleh Departemen kesehatan RI

untuk usia diatas 50 tahun yakni 20-30%.

Page 34: RINAWANG JADI

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi

2.1.1 Definisi Hipertensi

Tekanan darah berubah-ubah sepanjang hari sesuai dengan situasi.

Tekanan darah akan meningkat dalam keadaan gembira, cemas atau

sewaktu melakukan aktivitas fisik dan turun selama tidur. Setelah itu

berlalu, tekanan darah akan kembali menjadi normal. Apabila tekanan

darah tetap tinggi maka disebut sebagai hipertensi atau tekanan darah tinggi

(Hull, 1996).

Hipertensi adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang

memberikan gejala yang akan berlanjut untuk suatu target organ seperti

stroke (untuk otak), penyakit jantung koroner (untuk pembuluh darah), dan

left ventricle hypertrophy (untuk otot jantung). Dengan target di otak yang

berupa stroke, hipertensi adalah penyebab utama stroke yang membawa

kematian yang tinggi (Bustan, 2000).

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik

yang menetap. Pada waktu anda membaca tekanan darah bagian atas

adalah tekanan darah sistolik, sedangkan bagian bawah adalah tekanan

diastolik. Tekanan sistolik (bagian atas) adalah tekanan puncak yang

tercapai pada waktu jantung berkontraksi dan memompakan darah melalui

arteri. Sedangkan tekanan diastolik (angka bawah) adalah tekanan pada

Page 35: RINAWANG JADI

18

waktu jatuh ke titik terendah dalam arteri. Secara sederhana seseorang

disebut hipertensi apabila tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan

tekanan diastolik lebih besar dari 90 mmHg. Tekanan darah yang ideal

adalah 120/80 mmHg (Sunardi, 2000).

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

1. Klasifikasi Berdasarkan Etiologi

a. Hipertensi esensial/primer.

Tidak jelas penyebabnya dan merupakan sebagian besar ±

90% dari seluruh kejadian hipertensi. Hipertensi esensial adalah

penyakit multifaktoral yang timbul terutama karena interaksi antara

faktor-faktor risiko tertentu (Yogiantoro, 2006). Hipertensi primer

ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (Ditjen Bina

Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2006).

Menurut Gunawan (2004), penyebab utama hipertensi yaitu

gaya hidup modern, sebab dalam gaya hidup modern situasi penuh

tekanan dan stres. Dalam kondisi tertekan, adrenalin dan kortisol

dilepaskan ke aliran darah sehingga menyebabkan peningkatan

tekanan darah. Gaya hidup yang penuh kesibukan juga membuat

orang kurang berolah raga dan berusaha mengatasi stresnya dengan

merokok, minum alkohol atau kopi sehingga risiko terkena

hipertensi. Kedua yaitu pola makan yang salah dan yang ketiga

adalah berat badan berlebih.

b. Hipertensi sekunder

Page 36: RINAWANG JADI

19

Hipertensi yang penyebabnya dapat diketahui, sering

berhubungan dengan beberapa penyakit misalnya ginjal, jantung

koroner, diabetes, kelainan sistem syaraf pusat. Jumlah kejadiannya

mencapai ± 10% (Sunardi, 2000).

2. Klasifikasi Berdasarkan Derajat Hiptertensi

Berikut ini adalah klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa

berdasarkan JNC-VII (The Joint National Committee On Prevention,

Detection Evaluation, and Treatment Of High Blood Pressure (JNC 7).

Table 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7 Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD (mmHg) Normal < 120 < 80 Prahipertensi 120-139 80-89 Hipertensi derajat 1 140-159 90-99 Hipertensi derajat 2 ≥ 160 ≥100

Sumber : Yogiantoro, 2006

2.1.3 Cara Pengukuran Tekanan Darah

Tabel 2.2 Rekomendasi untuk Tindak Lanjut Tekanan Darah Pengukuran Pertama

Tekanan Sistolik (mmHg)

Tekanan Diastolik (mmHg)

Pemeriksaan Lanjutan

< 130 < 85 Periksa ulang dalam 2 tahun 130-139 85-89 Periksa ulang dalam 1 tahun 140-159 90-99 Pastikan dalam 2 bulan 160-179 100-109 Pastikan dan obati dalam 1 bulan 180-209 110-119 Pastikan dan obati dalam 1 bulan

Sumber : JNC VI (1998) dan WHO-ISH (1999)

Pasien dibiarkan istirahat dengan tenang, ≤ lima sampai 10 menit.

Pasien tidak boleh merokok dan minum zat perangsang (stimulant) seperti

teh, kopi, dan minuman ringan yang mengandung kafein 30 menit sebelum

pengukuran. Ukuran manset harus sesuai dengan lengan penderita yaitu

Page 37: RINAWANG JADI

20

paling sedikit 80% lebar manset harus dapat menutupi lingkar lengan.

Pasien di ukur dalam posisi duduk atau berbaring dengan lengan sejajar

jantung. Rabalah denyut nadi radialis pada sisi ipsilateral dan kembangkan

karet sfigmomanometer secara bertahap sampai tekanan sistolik 20 mmHg

diatas titik dimana denyut nadi radialis menghilang. Auskultasi pada arteri

brakialis dan kempiskan karet kurang lebih dua mmHg per detik, catat titik

pertama pulsasi yang terdengar (korotkoff 1) yang merupakan tekanan

darah sistolik dan titik di mana bunyi pulsasi menghilang (korotkoff 5)

yaitu tekanan diastolik. Ukurlah tekanan darah minimal dua kali dengan

jarak dua menit dan pastikan tidak ada perbedaan antara kedua lengan. Jika

terdapat perbedaan, lengan yang mempunyai angka yang lebih tinggi

digunakan sebagai patokan. Semua orang dewasa harus mengukur tekanan

darahnya secara teratur setidaknya setiap lima tahun sampai umur 80

tahun. Jika hasilnya berada pada nilai batas, pengukuran perlu dilakukan

setiap tiga sampai12 bulan (Gray, 2005).

2.1.4 Diagnosis Hipertensi

Sebelum dibuat diagnosis hipertensi diperlukan pengukuran berulang

paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda selama empat sampai

enam minggu. Pengukuran dirumah dapat menggunakan sfigmomanometer

yang tepat sehingga menambah jumlah pengukuran untuk analisis (Gray,

2005).

Sebuah komite yang dibentuk oleh Experimental Medical Care

Review Organisation (EMCRO) di Amerika menambahkan bahwa untuk

Page 38: RINAWANG JADI

21

menentukan kriteria hipertensi yang menetap adalah apabila tekanan darah

tetap tinggi setelah diperiksa tiga kali berturut-turut dengan interval tidak

kurang dari satu minggu (Soelaeman, 1980).

Sedangkan menurut Depkes (2006), upaya deteksi faktor risiko

penyakit hipertensi dilakukan dalam beberapa tahapan sebagai berikut :

1. Wawancara dengan menggunakan kuesioner yang meliputi identitas

diri, riwayat penyakit, riwayat anggota keluarga, perubahan aktifitas

atau kebiasaan (seperti merokok, konsumsi makanan, riwayat dan

faktor psikososial lingkungan keluarga, dan lain-lain)

2. Pengukuran tekanan darah.

3. Pengukuran indeks antropometri, seperti pengukuran berat badan dan

tinggi badan.

4. Pemeriksaan penunjang. Menurut Mansjoer, dkk (2001) dalam

Sugihartono (2007), pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan

laboratorium rutin yang dilakukan sebelum memulai terapi bertujuan

menentukan adanya kerusakan organ dan faktor risiko lain atau

mencari penyebab hipertensi. Biasanya diperiksa urinalisa, darah

perifer lengkap, kimia darah (kalium, natrium, kreatinin, gula darah

puasa, kolesterol total, kolesterol HDL). Sebagai tambahan dapat

dilakukan pemeriksaan lain, seperti klirens kreatinin, protein urin 24

jam, asam urat, kolesterol LDL, TSH, dan ekokardiografi.

Page 39: RINAWANG JADI

22

2.1.5 Gejala Klinis Hipertensi

Gejala-gejala penyakit yang biasa terjadi baik pada penderita

hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal

hipertensi yaitu sakit kepala, pusing, gelisah, jantung berdebar, perdarahan

hidung, sukar tidur, sesak nafas, cepat marah, telinga berdenging, tekuk

terasa berat, berdebar dan sering kencing di malam hari. Gejala akibat

komplikasi hipertensi yang pernah dijumpai meliputi gangguan;

penglihatan, saraf, jantung, fungsi ginjal dan gangguan serebral (otak) yang

mengakibatkan kejang dan perdarahan pembuluh darah otak yang

mengakibatkan kelumpuhan, ganguan kesadaran hingga koma (Cahyono,

2008).

2.1.6 Patofisiologis Hipertensi

Hipertensi atau tekanan darah tinggi terjadi karena adanya gangguan

dalam sistem peredaran darah. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan

sirkulasi darah, gangguan keseimbangan cairan dalam pembuluh darah

atau komponen dalam darah yang tidak normal. Gangguan tersebut

menyebabkan darah tidak dapat disalurkan ke seluruh tubuh dengan lancar.

Untuk itu, diperlukan pemompaan yang lebih keras dari jantung. Hal ini

akan berdampak pada meningkatnya tekanan dalam pembuluh darah atau

disebut hipertensi (Price dan Wilson, 2002).

Tekanan darah adalah fungsi berulang-ulang dari cardiac output

karena adanya resistensi periferal (resistensi dalam pembuluh darah untuk

mengalirkan darah). Diameter pembuluh darah ini sangat mempengaruhi

Page 40: RINAWANG JADI

23

aliran darah. Jika diameter menurun misalnya pada aterosklerosis,

resistensi dan tekanan darah meningkat. Jika diameter meningkat misalnya

dengan adanya terapi obat vasodilator, resistensi dan tekanan darah

menurun. Ada dua mekanisme yang mengontrol homeostatik dari tekanan

darah, yaitu:

1. Short term control (sistem saraf simpatik). Mekanisme ini sebagai

respon terhadap penurunan tekanan, system saraf simpatetik

mensekresikan norepinephrine yang merupakan suatu vasoconstrictor

yang akan bekerja pada arteri kecil dan arteriola untuk meningkatkan

resistensi peripheral sehingga tekanan darah meningkat.

2. Long term control (ginjal). Ginjal mengatur tekanan darah dengan cara

mengontrol volume cairan ekstraseluler dan mensekresikan renin yang

akan mengaktivasi system renin dan angiotensin (Price dan Wilson,

2002). Bagan dibawah ini adalah patologi dari hipertensi, yakni:

Bagan 2.1 Patofisiologis Hipertensi

Sumber: Price dan Wilson ( 2002)

Page 41: RINAWANG JADI

24

Berdasarkan bagan di atas, proses terjadinya hipertensi melalui tiga

mekanisme, yaitu: gangguan keseimbangan natrium, kelenturan atau

elastisitas pembuluh darah berkurang (menjadi kaku), dan penyempitan

pembuluh darah.

2.1.7 Komplikasi Hipertensi

Tekanan darah tinggi dalam jangka waktu lama akan merusak

endothel arteri dan mempercepat atherosklerosis. Bila penderita memiliki

faktor-faktor risiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan

mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut.

Menurut Studi Farmingham, pasien dengan hipertensi mempunyai

peningkatan risiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke,

penyakit arteri perifer, dan gagal jantung (Ditjen Bina Kefarmasian dan

Alat Kesehatan, 2006).

Dalam Gray (2005) dan Suhardjono (2006), hipertensi yang tidak

diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan akhirnya akan

memperpendek harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Selain itu penurunan

tekanan darah dapat mencegah demensia dan penurunan kognitif pada usia

lanjut. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal-hal yang baru,

akan tetapi masih dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Kerusakan organ

yang terjadi berkaitan dengan derajat keparahan hipertensi. Perubahan-

perubahan utama organ yang terjadi akibat hipertensi dapat dilihat dibawah

ini:

Page 42: RINAWANG JADI

25

1. Jantung. Komplikasi berupa infark miokard, angina pectoris, gagal

jantung.

2. Ginjal. Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler-kapiler ginjal, glomerolus. Dengan

rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional

ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksik

dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerous, protein akan

keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma

berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi

kronik.

3. Otak. Komplikasinya berupa stroke dan serangan iskemik. Stroke

dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat

embulus yang terlepas dari pembuluh non-otak yang terpajan tekanan

tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri

yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi dan menebal, sehingga

aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahi berkurang. Arteri-arteri

otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga

meningkatkan kemungkinan terbentuknya anurisma.

4. Mata. Komplikasi berupa perdarahan retina, gangguan penglihatan

sampai dengan kebutaan.

5. Pembuluh perifer

Penelitian meta-analisis yang melibatkan lebih dari 420.000 pasien

telah menunjukkan hubungan yang kontinyu dan independen antara

Page 43: RINAWANG JADI

26

tekanan darah dengan stroke dan penyakit jantung koroner. Peningkatan

tekanan diatolik >10 mmHg dalam jangka panjang akan meningkatkan

risiko stroke sebesar 56% dan penyakit jantung koroner sebesar 37%

(Gray, 2005).

2.1.8 Penatalaksanaan Hipertensi

Diketahui bahwa tingginya pendidikan dan pendapat pada masyarakat

memiliki kemampuan yang lebih dalam memanfaatkan pelayanan

kesehatan untuk melakukan pengobatan sedangkan dengan pendapatan

yang rendah kurang memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada,

mungkin oleh karena tidak mempunyai uang yang cukup untuk membeli

obat atau keperluan yang lain, hal itu dapat mengakibatkan penyakit yang

diderita bertambah parah (Baliwati, 2004).

1. Penatalaksanaan Non Farmakologis atau Perubahan Gaya Hidup

Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien

hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan

mengendalikan faktor-faktor resiko serta penyakit lain. Terapi

nonfarmakologis meliputi : menghentikan merokok, menurunkan berat

badan berlebih, menurunkan konsumsi alkohol berlebih, latihan fisik

serta menurunkan asupan garam (Yogiantoro, 2006). Meningkatkan

konsumsi asupan buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak.

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk

mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting

Page 44: RINAWANG JADI

27

dalam penanganan hipertensi (Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat

Kesehatan, 2006).

2. Penatalaksanaan Farmakologis

Terapi farmakologis adalah dengan menggunakan obat-obatan

antihipertensi. Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas

dan keamanan dalam pengobatan hipertensi. Berdasarkan uji klinis,

hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi menyatakan bahwa :

a. Keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan

darah.

b. Pengelompokan pasien berdasarkan keperluan pertimbangan

khusus yaitu kelompok indikasi yang memaksa dan keadaan

khusus lain.

c. Terapi dimulai secara bertahap dan target tekanan darah dicapai

secara progresif dalam beberapa minggu. Dengan dosis rendah lalu

perlahan ditingkatkan dosisnya.

d. Menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau

yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari.

e. Pilihan memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau

dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada

tidaknya komplikasi (Yogiantoro, 2006).

2.2 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penyakit Hipertensi

Dari beberapa sumber kepustakaan yang diperoleh penulis, maka faktor-

faktor yang berhubungan dengan penyakit hipertensi adalah sebagai berikut :

Page 45: RINAWANG JADI

28

2.2.1 Umur

Dengan bertambahnya umur, risiko terkena hipertensi menjadi lebih

besar sehingga prevalensi hipertensi dikalangan usia lanjut cukup tinggi,

yaitu sekitar 40%, dengan kematian sekitar diatas usia 65 tahun (Depkes,

2006). Hipertensi berdasarkan gender ini dapat dipengaruhi oleh faktor

psikologis. Wanita seringkali mengadopsi perilaku tidak sehat seperti

merokok dan pola makan yang tidak seimbang sehingga menyebabkan

kelebihan berat badan, depresi dan rendahnya status pekerjaan. Sedangkan

kaum pria lebih berkaitan erat dengan pekerjaan seperti perasaan kurang

nyaman terhadap pekerjaan dan pengangguran (Sutanto, 2010).

Sedangkan Yogiantoro (2006) menyebutkan bahwa individu berumur

55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi. Menurut

Krummel (2004) memaparkan bahwa tekanan sistolik terus meningkat

sampai usia 80 tahun dan tekanan diastolik terus meningkat sampai usia

55-60 tahun, kemudian berkurang secara perlahan atau bahkan menurun

drastis.

Penyakit hipertensi umumnya berkembang pada saat umur seseorang

mencapai paruh baya yakni cenderung meningkat khususnya yang berusia

lebih dari 40 tahun bahkan pada usia lebih dari 60 tahun keatas. Setelah

usia 45 tahun terjadi peningkatan resistensi perifer dan aktivitas simpatik.

Dinding arteri akan mengalami penebalan oleh karena adanya penumpukan

zat kolagen pada lapisan otot, sehingga pembuluh darah akan berangsur-

angsur menyempit dan menjadi kaku. Disamping itu, pada usia lanjut

Page 46: RINAWANG JADI

29

sensitivitas pengaturan tekanan darah yaitu refleks baroreseptor mulai

berkurang, demikian juga halnya dengan peran ginjal, dimana aliran darah

ginjal dan laju filtrasi glomerulus menurun (Kumar, et all, 2005 ).

Dalam penelitian Dian, dkk (2008) diketahui tidak terdapatnya

hubungan yang bermakna antara usia dengan penderita hipertensi. Namun,

penelitian Aisyiyah (2009) diketahui bahwa ada hubungan nyata positif

antara umur dan hipertensi. Dan penelitian Irza (2009) menyatakan bahwa

resiko hipertensi 17 kali lebih tinggi pada subjek >40 tahun dibandingkan

dengan yang berusia ≤ 40 tahun. Berarti diketahui bahwa meningkatnya

umur seseorang akan diikuti dengan meningkatnya kejadian hipertensi.

2.2.2 Jenis Kelamin

Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana pria

lebih banyak dibandingkan wanita. Pria diduga memiliki gaya hidup yang

cenderung dapat meningkatkan tekanan darah dibanding wanita. Namun

setelah memasuki menepouse, prevalensi hipertensi pada wanita

meningkat (Depkes, 2006). Hal tersebut dikarenakan adanya pengaruh

hormon estrogen yang dapat melindungi wanita dari penyakit

kardiovaskuler. Kadar hormon ini akan menurun setelah menepouse (Gray,

2005).

Wanita yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon

estrogen yang berperan dalam meningkatkan kadar High Density

Lipoprotein (HDL). Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor

pelindung dalam mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek

Page 47: RINAWANG JADI

30

perlindungan estrogen dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas

wanita pada usia premenopause. Pada premenopause wanita mulai

kehilangan sedikit demi sedikit hormon estrogen yang selama ini

melindungi pembuluh darah dari kerusakan. Proses ini terus berlanjut

dimana hormon estrogen tersebut berubah kuantitasnya sesuai dengan

umur wanita secara alami, yang umumnya mulai terjadi pada wanita umur

45-55 tahun (Kumar, et all, 2005)

Data Riskesdas menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi

di Indonesia lebih besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki

(5,8%). Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan

(2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi

dibanding perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun, sedikit lebih banyak

perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi.

Hasil penelitian Sulistiani (2005) diketahui bahwa faktor jenis

kelamin tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan

kejadian hipertensi. Demikian juga Herke (1995) tidak dapat membuktikan

bahwa perempuan mempunyai risiko hipertensi yang lebih besar daripada

laki-laki, walaupun secara presentase diperoleh hipertensi lebih tinggi pada

perempuan.

Namun penelitian Yuliarti (2007), diketahui bahwa ada hubungan

yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kejadian hipertensi pada perempuan

dipengaruhi oleh kadara hormon estrogen. Hormon estrogen tersebut akan

Page 48: RINAWANG JADI

31

menurun kadarnya ketika perempuan memasuki usia tua (menepouse)

sehingga perempuan menjadi lebih rentan terhadap hipertensi.

2.2.3 Riwayat Keluarga

Riwayat keluarga mempertinggi risiko terkena penyakit hipertensi,

terutama pada hipertensi primer (esensial). Tentunya faktor genetik ini

juga diperngaruhi faktor-faktor lingkungan lain. Faktor genetik juga

berkaitan dengan metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel

(Depkes, 2006). Hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika

seorang dari orang tua kita mempunyai hipertensi maka sepanjang hidup

kita mempunyai 25% kemungkinan mendapatkannya pula. Jika kedua

orang tua kita mempunyai hipertensi, kemungkinan kita mendapatkan

penyakit tersebut 60% (Sheps, 2005).

Peran faktor genetik terhadap timbulnya hipertensi terbukti dengan

ditemukannya kejadian bahwa hipertensi lebih banyak pada kembar

monozigot (satu sel telur) daripada heterozigot (berbeda sel telur). Seorang

penderita yang mempunyai sifat genetik hipertensi primer (esensial)

apabila dibiarkan secara alamiah tanpa intervensi terapi, bersama

lingkungannya akan menyebabkan hipertensinya berkembang dan dalam

waktu sekitar 30-50 tahun akan timbul tanda dan gejala (Sutanto, 2010).

Pada kenyataannya, 70-80 % kasus hipertensi, ternyata pada keluarga

yang mempunyai riwayat hipertensi (Sunardi, 2000). Hasil penelitian

Hasirungan (2002) pada lansia dikota Depok usia 55 sampai ≥70 tahun

Page 49: RINAWANG JADI

32

diketahui terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat keluarga sakit

dengan hipertensi.

2.2.4 Etnis

Hipertensi lebih banyak terjadi pada orang berkulit hitam daripada

yang berkulit putih, serta lebih besar tingkat morbiditas maupun

mortalitasnya. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti penyebabnya.

Beberapa peneliti menyebutkan bahwa terdapat kelainan pada gen

angiotensinogen tetapi mekanismenya mungkin bersifak poligenik (Gray,

2005).

Berbagai golongan etnik dapat berbeda dalam kebiasaan makan,

susunan genetika, dan sebagainya yang dapat mengakibatkan angka

kesakitan dan kematian. Salah satu contoh dari pengaruh pola makan yaitu

angka tertinggi hipertensi di Indonesia tahun 2000 adalah suku Minang.

Hal ini dikarenakan suku Minang atau orang yang tinggal di pantai,

biasanya mengkonsumsi garam lebih banyak dan menyukai makanan asin

(Cahyono, 2008).

2.2.5 Obesitas

Menurut Hull (1996), penelitian menunjukkan adanya hubungan

antara berat badan dan hipertensi. Bila berat badan meningkat diatas berat

badan ideal maka risiko hipertensi juga meningkat. Penurunan berat badan

dan pengobatan berat badan merupakan pengobatan yang efektif untuk

hipertensi.

Page 50: RINAWANG JADI

33

Obesitas juga erat kaitannya dengan kegemaran mengkonsumsi

makanan yang mengandung tinggi lemak. Obesitas meningkatkan risiko

terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh,

makin banyak darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan

makanan ke jaringan tubuh. Ini berarti volume darah yang beredar melalui

pembuluh darah menjadi meningkat sehingga memberi tekanan lebih besar

pada dinding arteri, yang akan meimbulkan terjadinya kenaikan tekanan

darah Selain itu, kelebihan berat badan juga meningkatkan frekuensi

denyut jantung (Sheps, 2005).

Sedangkan hipertensi pada seseorang yang kurus atau normal bisa

juga disebabkan oleh sistem simpatis dan sistem renin angiotensin

(Suhardjono, 2006). Aktivitas dari saraf simpatis adalah mengatur fungsi

saraf dan hormon, sehingga dapat meningkatkan denyut jantung,

menyempitkan pembuluh darah, dan meningkatkan retensi air dan garam

(Syaifudin, 2006). Dan pada sistem renin-angiotensin, renin memicu

produksi aldosteron yang akan mempengaruhi ginjal untuk menahan air

dan natrium sedangkan angiotensin akan mengecilkan diameter pembuluh

darah sehingga tekanan darah akan naik (Gray (2005) dan Almatsier

(2001)).

Kegemukan atau obesitas adalah persentase abnormalitas lemak yang

dinyatakan dalam Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index) (Depkes, 2006).

IMT merupakan indikator yang paling sering digunakan untuk mengukur

tingkat populasi berat badan lebih dan obes pada orang dewasa.

Page 51: RINAWANG JADI

34

(Sidartawan, 2006). Menurut Supariasa (2002), penggunaan IMT hanya

berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. Pengukuran

berdasarkan IMT dianjurkan oleh FAO/WHO/UNU tahun 1985. Nilai IMT

dihitung menurut rumus :

Sumber : Depkes (2006)

Berikut ini adalah klasifikasi status gizi menggunakan IMT dapat

dilihat dalam tabel 2.3, yakni:

Tabel 2.3 Kalsifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT) Orang Indonesia

Klasifikasi IMT (kg/m2) Keadaan Berat badan kurang tingkat berat < 17,0 Kurus Berat badan kurang tingkat ringan 17,0 – 18,5 Normal 18,5 – 25,0 Normal Berat badan lebih tingkat ringan >25,0 – 27,0 Obesitas Berat badan lebih tingkat berat >27

Sumber : Depkes RI, 2006

Hasil pengukuran tinggi badan (TB) lansia sebagian besar tidak

akurat karena komponen penelitian TB lansia sebenarnya telah berubah.

Dengan demikian, hasil pengukuran TB pada lansia tidak akan sama

dengan pengukuran ketika yang bersangkutan masih balita. Pada keadaan

ini, TB selain diukur langsung dengan mikrotoa, dapat pula dihitung

dengan menggunakan ukuran rentang tangan (PRT). Pengukuran PRT

dilakukan dengan posisi responden sama seperti ketika ditimbang dan

diukur tinggi, kecuali kedua lengan direntangkan ke samping badan

Berat badan (kg) Indeks Massa Tubuh =

Tinggi badan (m) 2

Page 52: RINAWANG JADI

35

sehingga terbentuk sudut (lengan/ketiak) 900. kemudian diukur jarak antara

2 ujung jari tangan kiri dan kanan terpanjang melalui tulang dada.

Penentuan TB menggunakan data PRT dihitung dengan rumus (Reeves SL

et all, 1996), dibawah ini:

a. TB laki-laki = 53,4 + (0,67 x PRT)

b. TB perempuan = 81,0 + (0,48 x PRT) (Arisman, 2010)

Kelebihan berat badan dapat juga menggunakan ukuran komposisi

lemak tubuh. Lemak tubuh dapat diukur dengan menggunakan skin fold

atau body fat analyzer. Wanita dikatakan obesitas bila komposisi lemak

tubuhnya >25% berat badan, sedangkan laki-laki dikatakan obesitas bila

komposisi lemak tubuhnya >20% berat badan (Cahyono, 2008). Dengan

demikian, hasil pengukuran Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan

tetapi risiko relatif untuk menderita hipertensi pada orang gemuk lima kali

lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang badannya normal.

Ditemukan 20-33% penderita hipertensi memiliki berat badan lebih

(overweight) (Depkes, 2006).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian hasirungan (2002)

bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT atau obesitas

pada lansia. Namun, dalam penelitian Yuliarti (2007) bahwa terdapat

hubungan pada usia lanjut di Posbindu Kota Bogor.

2.2.6 Konsumsi Natrium (Na)

Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah kation utama dalam

cairan ekstraseluler. Pengaturan keseimbangan natrium dalam darah diatur

Page 53: RINAWANG JADI

36

oleh ginjal. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl, selain

itu garam lainnya bisa dalam bentuk soda kue (NaHCO3), baking powder,

natrium benzoat, dan vetsin (monosodium glutamat). Kelebihan natrium

akan menyebabkan keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan

edema dan hipertensi. WHO menganjurkan bahwa konsumsi garam yang

dianjurkan tidak lebih dari 6 gram/hari setara dengan 110 mmol natrium

atau 2400 mg/hari. Berikut ini merupakan fungsi dari natrium, yaitu

sebagai berikut:

1. Sebagai kation utama dalam cairan ekstraseluler, natrium menjaga

keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut.

2. Mengatur osmolaritas cairan, pH, dan volume darah

3. Membantu transmisi rangsangan saraf dan kontraksi otot.

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsumsi natrium

didalam cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya kembali,

cairan intraseluler harus ditarik keluar sehingga volume cairan

ekstraseluler meningkat. Meningkatnya volume cairan ekstraseluler

tersebut menyebabkan meningkatanya volume darah, sehingga berdampak

pada timbulnya hipertensi (Sutanto, 2010).

Disamping itu, diet tinggi garam dapat mengecilkan diameter dari

arteri. Sehingga jantung harus memompa lebih keras untuk mendorong

volume darah yang meningkat melalui ruang yang makin sempit. Maka

terjadilah penyakit hipertensi. Diet yang mengandung 500 mg Na dapat

mempertahankan kadar Na yang normal dalam badan. Asupan yang

Page 54: RINAWANG JADI

37

melebihi jumlah ini didasarkan atas rasa bukan kebutuhan. Makanan yang

sudah diproses biasanya mengandung Na yang tinggi. Pada umumnya,

makin diproses suatu makanan maka makin tinggi kandungan garamnya

(Hull, 1996).

Williams (1991) dalam Aisyiyah (2009), menjelaskan bahwa

mekanisme yang mendasari sensitivitas garam pada beberapa pasien

mungkin disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: ketidakmampuan ginjal

mengeskresikan natrium, pengaturan sirkulasi ginjal yang tidak normal dan

sekresi aldosteron. Reaksi atau sensitivitas seseorang terhadap jumlah

natrium didalam tubuh berbeda-beda.

Cahyono (2008) memaparkan bahwa Dash-eating Plan (Dietary

Approaches to stop Hypertension Eating Plan) atau pengaturan pola

makan yang bertujuan untuk mengendalikan hipertensi. Diet ini pada

intinya mengatur pola makan dengan mengurangi asupan natrium dan

banyak mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran, serelia, biji-bijian,

makanan rendah lemak, dan produk susu rendah lemak. DASH-

NATRIUM yang dilakukan National Heart, Lung and Blood Institute

menunjukkan hasil yang bermakna. Dengan membatasi asupan natrium,

yaitu melalui pengurangan konsumsi garam hanya sebanyak 1.500 mg/hr

(2/3 sendok teh sehari), maka terjadi penurunan tekanan darah.

Contoh bahan-bahan makanan yang tidak dianjurkan karena

mengandung natrium yang kadarnya cukup tinggi antara lain sebagai

berikut:

Page 55: RINAWANG JADI

38

1. Sumber karbohidrat, yakni roti, biskuit dan kue yang dimasak dengan

garam dapur dan atau baking powder dan soda.

2. Sumber protein hewani, yakni otak, ginjal, lidah, sardin, daging, ikan,

susu, dan telur yang diawetkan dengan garam dapur seperti daging

asap, ham, bacon, dendeng, abon, keju, ikan asin, ikan kaleng, kornet,

ebi, udang kering, dan telur asin. Dianjurkan daging dan ikan

maksimal 100 gram sehari; telur maksimal 1 butir sehari.

3. Sumber protein nabati, yakni keju, kacang tanah dan semua kacang-

kacangan dan hasilnya yang dimasak dengan garam dapur atau ikatan

natrium lain.

4. Sayuran dan buah-buahan yang diawetkan dengan menggunakan

natrium benzoat ataupun garam dapur. Seperti yang dikemas dalam

kaleng.

5. Lemak, yakni margarin dan mentega biasa.

6. Minuman bersoda (soft drink).

7. Bumbu, yakni garam dapur, kecap, tomato ketchup, vetsin (Almatsier,

2006).

Nilai zat gizi Na dalam bahan makanan disajikan dalam tabel

dibawah ini:

Page 56: RINAWANG JADI

39

Tabel 2. 4 Kandungan Natrium Beberapa Bahan Makanan (mg/100 gram)

Bahan Makanan Mg Bahan Makanan Mg Roti putih 530 Telur bebek 191 Biskuit 500 Telur ayam 158 Kue-kue 250 Sosis 1000 Daging bebek 200 Keju 1250 Daging sapi 93 Margarin 950 Ikan sardin 131 Mentega 987 Udang segar 185 Tomato ketchup 2100 Teri kering 885 Garam 38758 Corned Beef 1250 Kecap 4000 Ham 1250 Roti coklat 500 Sumber: Almatsier (2006)

Makanan asin dan awetan biasanya memiliki rasa gurih (umami),

sehingga dapat meningkatkan nafsu makan (Cahyono, 2008). Pada sekitar

60% kasus hipertensi primer (esensial) terjadi respon penurunan tekanan

darah dengan mengurangi asupan garam. Pada masyarakat yang

mengkonsumsi tiga gram atau kurang, ditemukan tekanan darah rata-rata

rendah, sedangkan mengkonsumsi sekitar tujuh sampai delapan gram

tekanan darah rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006).

Hasil penelitian Hasirungan (2002), diketahui tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian

hipertensi. Suhardjo (2006) menyatakan bahwa kesukaan terhadap

makanan mempunyai pengaruh terhadap pemilihan makanan. Sehingga

jika seseorang tidak suka terhadap makanan sumber natrium maka akan

cenderung tidak memilih makanan tersebut untuk dikonsumsi oleh dirinya.

Namun, hasil penelitian Widiastuti (2006) di wilayah kerja

Puskesmas Ngemplak II diketahui ada hubungan yang bermakna antara

Page 57: RINAWANG JADI

40

asupan natrium dengan hipertensi. Dari penelitian Sugihartono (2007)

didapatkan bahwa kebiasaan mengkonsumsi asin berisiko menderita

hipertensi sebesar 3,95 kali dibandingkan orang yang tidak mempunyai

kebiasaan mengkonsumsi asin.

2.2.7 Konsumsi Lemak

Diet tinggi lemak berkaitan dengan kenaikan tekanan darah.

Penurunan konsumsi lemak jenuh, terutama lemak dalam makanan yang

bersumber dari hewan dan peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh

polivalen secukupnya yang berasal dari minyak sayuran, biji-bijian, dan

makanan lain yang bersumber dari tanaman dapat menurunkan tekanan

darah (Hull, 1996).

Komponen lemak polivalen tidak jenuh, yang disebut asam lemak

esensial, merupakan rintangan untuk zat-zat yang mirip hormon didalam

darah yang disebut prostaglandin. Beberapa jenis prostaglandin membantu

mengatur tekanan darah dengan melebarkan pembuluh darah dan

meningkatkan diameter dari arteri dan mengurangi jumlah darah yang

harus dipompa oleh jantung. Tekanan darah berkurang bila asupan asam

lemak esensisal dalam diet ditingkatkan. Lemak merupakan 42% dari

kalori total yang dikonsumsi dalam diet rata-rata orang Amerika. Tekanan

darah menurun bila lemak dikurangi sampai 25% dari total kalori (Hull,

1996).

Bila mengkonsumsi makanan berlemak, maka didalam usus makanan

tersebut akan diubah menjadi kolesterol. Kolesterol yang tinggi dapat

Page 58: RINAWANG JADI

41

menyebabkan terjadinya ateroklerosis yaitu suatu kondisi dimana

kolesterol menumpuk di dinding pembuluh darah arteri. Pembentukan

ateroklerosis diawali dengan rusaknya pembuluh darah. Setelah pembuluh

darah rusak, maka kolesterol yang dibawa LDL terperangkap pada dinding

pembuluh darah tersebut dalam waktu bertahun-tahun Maka terjadilah

pembentukan plak sehingga pembuluh darah makin sempit dan

elastisitasnya berkurang (Cahyono, 2008). Kandungan lemak yang dapat

mengganggu kesehatan jika jumlahnya berlebih lainnya adalah: kolesterol,

trigliserida, low density lipoprotein (LDL) (Almatsier 2001).

Secara umum, asam lemak jenuh cenderung meningkatkan kolesterol

darah, 25-60% lemak yang berasal dari hewani dan produknya merupakan

asam lemak jenuh. Setiap peningkatan 1% energi dari asam lemak jenuh,

diperkirakan akan meningkatkan 2.7 mg/dL kolesterol darah, akan tetapi

hal ini tidak terjadi pada semua orang. Lemak jenuh terutama berasal dari

minyak kelapa, santan dan semua minyak lain seperti minyak jagung,

minyak kedelai yang mendapat pemanasan tinggi atau dipanaskan

berulang-ulang. Kelebihan lemak jenuh akan menyebabkan peningkatan

kadar LDL kolesterol. Sedangkan lemak tidak jenuh, meskipun

mengkonsumsinya kadar kolesterol tidak meningkat dan tetap stabil

(Almatsier, 2001).

Berikut ini merupakan contoh bahan-bahan makanan yang

mengandung lemak sedang sampai lemak yang cukup tinggi antara lain

meliputi: ayam dengan kulit, bebek, corned beef, daging babi, kuning telur

Page 59: RINAWANG JADI

42

ayam, sosis, bakso, daging kambing, daging sapi, hati ayam, hati sapi,

otak, telur ayam, telur bebek, usus sapi, susu kerbau, susu kental manis,

sarden dalam kaleng, kelapa, lemak babi/sapi, mentega, minyak kelapa,

santan dan lain-lain (Almatsier, 2006).

Penelitian Hasirungan (2001) didapatkan hubungan yang tidak

bermakna antara konsumsi lemak dengan hipertensi. Namun, hasil

penelitian Sugihartono (2007) diketahui sering mengkonsumsi lemak jenuh

mempunyai risiko untuk terserang hipertensi sebasar 7,72 kali

dibandingkan orang yang tidak biasa mengkonsumsi lemak jenuh. Preuss

(1996) juga menyatakan pada penelitian ditujuh negara, rata-rata tekanan

darah populasi berkorelasi signifikan dengan rata-rata konsumsi lemak

jenuh, tetapi tidak dengan diet lemak total.

2.2.8 Konsumsi Alkohol

Alkohol dapat menaikkan tekanan darah, memperlemah jantung,

mengentalkan darah dan menyebabkan kejang arteri (Sutanto, 2010).

Beberapa studi menunjukkan hubungan langsung antara tekanan darah dan

asupan alkohol, diantaranya melaporkan bahwa efek terhadap tekanan

darah baru nampak apabila mengkonsumsi alkohol sekitar dua sampai tiga

gelas ukuran standar setiap harinya. Di negara barat seperti Amerika,

konsumsi alkohol yang berlebihan berpengaruh terhadap terjadinya

hipertensi. Sekitar 10% hipertensi di Amerika disebabkan oleh asupan

alkohol yang berlebihan dikalangan pria usia 40 tahun keatas (Depkes,

2006).

Page 60: RINAWANG JADI

43

Konsumsi alkohol seharusnya kurang dari dua kali per hari pada laki-

laki untuk pencegahan peningkatan tekanan darah. Bagi perempuan dan

orang yang memiliki berat badan berlebih, direkomendasikan tidak lebih

dari 1 kali minum per hari (Krummel, 2004).

2.2.9 Konsumsi Buah dan Sayur

Mengkonsumsi buah dan sayur satiap hari sangat penting, karena

mengandung vitamin dan mineral, yang mengatur pertumbuhan dan

pemeliharaan tubuh serta mengandung serat yang tinggi (Depkes, 2008).

Asupan serat yang cukup dapat menetralisir kenaikan kadar lemak darah

(kolesterol, trigliserid, LDL, HDL), dapat mengangkut asam empedu,

selain itu, serat juga dapat mengatur kadar gula darah dan menurunkan

tekanan darah (Sutanto (2010) dan Iqbal (2008)).

Menurut Dirjen Hortikultura Kementerian Pertanian, Ahmad

Dimyati, tingkat konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia saat ini

masih rendah. Bahkan masih jauh dari standar konsumsi yang

direkomendasikan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) (Pikiran

Rakyat, 2010). Selain faktor budaya, rendahnya konsumsi sayuran

dikarenakan belum munculnya kesadaran yang masif di masyarakat untuk

mengkonsumsi sayuran agar menyehatkan tubuh. Menu utama masih

didominasi nasi (Kompas, 2011). Sesuai dengan Suhardjo (2006) bahwa

sistem sosial, ekonomi, potitik dalam suatu negara merupakan salah satu

penyebab mendasar yang mempengaruhi perilaku konsumsi di masyarakat.

Page 61: RINAWANG JADI

44

Individu yang menjalani diet vegetarian, mengkonsumsi diet rendah

lemak yang mengandung terutama lemak polivalen tidak jenuh. Vegetarian

juga memiliki insiden hipertensi yang rendah. Bila individu yang

mengkonsumsi daging beralih ke diet vegetarian maka tekanan darahnya

akan menurun. Efek penurunan tekanan darah dari diet vegetarian juga

mungkin disebabkan oleh asupan tinggi serat dan tinggi kalium, atau

asupan garam yang berkurang. Diet tinggi kalium yang berasal dari buah-

buahan dan sayur-sayuran mungkin dapat melindungi individu dari

hipertensi. Asupan kalium yang meningkat akan menurunkan tekanan

sistolik dan diastolik pada beberapa kasus (Hull, 1996).

Bersama natrium, kalium juga memiliki peranan penting dalam

pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam

basa. Bersama kalsium, kalium berperan dalam transmisi saraf dan

relaksasi otot. Di dalam sel kalium berfungsi sebagai katalisator dalam

banyak reaksi biologik, terutama dalam metabolisme energi dan sintesis

glikogen dan protein. Kalium berperan dalam pertumbuhan sel. Taraf

kalium dalam otot berhubungan dengan masa otot dan simpanan glikogen,

oleh karena itu bila otot berada dalam pembentukan, dibutuhkan kalium

dalam jumlah cukup. Tekanan darah normal memerlukan perbandingan

antara natrium dan kalium yang sesuai didalam tubuh (Almatsier, 2001).

Kalium merupakan bagian esensial semua sel hidup dan banyak

terdapat dalam bahan makanan. Kekurangan kalium menyebabkan lemah,

lesu, kehilangan nafsu makan, kelumpuhan, mengigau, dan konstipasi.

Page 62: RINAWANG JADI

45

Jantung akan berdebar detaknya, dan menurunkan kemampuannya untuk

memompa darah. Sumber utama kalium adalah makanan mentah atau

segar, terutama buah, sayuran dan kacang-kacangan, seperti pepaya,

bayam, wortel tomat, dan lain-lain (Almatsier, 2001).

Selain itu, penderita hipertensi mengkonsumsi lebih sedikit kalsium

dan makanan yang kaya kalsium seperti susu tanpa lemak dan rendah

lemak serta yogurt daripada individu yang bebas hipertensi. Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa pengaruh hipertensi dari asupan garam

yang berlebihan mungkin merupakan akibat dari pengaruh natrium

terhadap metabolisme kalsium (Hull, 1996).

Di usia 40 tahun keatas, seseorang perlu memperhatikan kebutuhan

kalsium tambahan. Kalsium dan mineral dapat membantu menurunkan

tekanan darah, mengurangi risiko diabetes atau kencing manis. Dalam hal

ini, penderita hipertensi mempunyai ambang kemampuan manyalurkan

natrium dari dalam tubuh, lalu kalsium itulah yang akan mendorong

pengeluaran sodium lewat air seni (Candraningrum, 2010). Bahan

makanan yang mengandung kalsium nabati bisa diperoleh dari sayuran

daun hijau seperti sawi, bayam, brokoli, daun pepaya, daun singkong, dan

lain-lain (Almatsier, 2001).

Penelitian yang dilakukan oleh Dauchet et al. (2007) dalam Aisyiyah

(2009), menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah,

penurunan konsumsi lemak pangan, disertai dengan penurunan konsumsi

lemak total dan lemak jenuh, dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi

Page 63: RINAWANG JADI

46

buah dan sayur >400 gr/hari dapat menurunkan risiko hipertensi dengan

bertambahnya umur. Hal ini tidak saja disebabkan oleh aktivitas

antioksidan dalam buah dan sayur, tetapi juga karena adanya komponen

lain seperti serat, mineral kalium, dan magnesium.

Magnesium merupakan mineral makro yang diperlukan tubuh untuk

menormalkan tekanan darah dan mempengaruhi kinerja hormon insulin,

sehingga penyakit hipertensi dan diabetes dapat dikendalikan. Magnesium

di alam merupakan bagian dari klorofil daun. Contoh buah-buahan yang

mengandung sumber magnesium seperti alpukat dan pisang. Sedangkan

contoh sayurannya seperti labu, buncis dan bayam (Astawan, 2010).

Defisiensi magnesium dapat menyebabkan kekejangan arteri koronaria

sehingga menimbulkan serangan jantung (Hull, 1996).

Dengan bertambahnya magnesium dapat secara cepat terlihat adanya

perbaikan yang nyata dalam hipertensi, arrhytmias dan jantung berdebar.

Hal ini dikarenakan magnesium dapat melebarkan dan merilekskan

pembuluh-pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi lancar. Mineral

ini juga membantu mengencerkan darah, serta mencegah pembentukan

platelet (Subecha, 2011).

Diet yang memberikan banyak buah-buahan dan sayuran, merupakan

sumber yang baik dari kalium dan magnesium, secara konsisten dikaitkan

dengan tekanan darah rendah (Appel LJ, et al,1997). Penelitian DASH

(Dietary Approaches to Stop Hipertensi), percobaan klinis pada manusia,

menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi dapat secara signifikan

Page 64: RINAWANG JADI

47

diturunkan dengan diet yang menekankan buah-buahan, sayuran, dan

makanan susu rendah lemak. Seperti diet akan tinggi magnesium, kalium,

dan kalsium, dan rendah sodium dan lemak (Sacks FM, et al. 1999)

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kerusakan pembuluh darah

bisa dicegah dengan mengkonsumsi antioksidan sejak dini. Radikal bebas

adalah suatu molekul oksigen dengan atom pada orbit terluarnya memiliki

elektron yang tidak berpasangan. Karena kehilangan pasangannya itu,

molekul lalu menjadi tidak stabil, liar, dan radikal. Dalam hal ini,

antioksidan mampu menstabilkan radikal bebas dengan melengkapi

kekurangan elektronnya dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari

pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stress oksidatif

(Almatsier, 2003).

Antioksidan yang memiliki peran khusus adalah golongan flavonoid.

Flavonoid yang terdapat dalam buah anggur dan apel dapat mengurangi

bahaya kolesterol dan mencegah penggumpalan darah. Beberapa penelitian

yang menunjang pendapat ini antara lain, pada 36 manusia tidak merokok

yang sehat terlihat bahwa peningkatan konsumsi buah dan sayur dari lima

porsi/hari menjadi 10 porsi/hari menghasilkan peningkatan kapasitas

antioksidan plasma secara nyata (Sutanto, 2010). Penelitian yang

dilakukan oleh Ledikwe et al. (2007) pada 810 orang penderita

prehipertensi dan hipertensi ringan, menemukan hubungan nyata antara

konsumsi pangan yang memiliki densitas energi rendah dengan penurunan

berat badan.

Page 65: RINAWANG JADI

48

Menurut Krisnatuti (2005), serat pangan dapat membantu

meningkatkan pengeluaran kolesterol melalui feces dengan jalan

meningkatkan waktu transit bahan makanan melalui usus kecil. Konsumsi

serat sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang. Keadaan ini dapat

mengurangi pemasukan energi dan obesitas, dan akhirnya akan

menurunkan risiko hipertensi.

2.2.10 Konsumsi Air

Dalam Almatsier (2001) diketahui bahwa air atau cairan tubuh

merupakan bagian utama tubuh, yaitu 55-60 % dari berat badan orang

dewasa atau 70 % dari bagian tubuh tanpa lemak (lean body mass). Pada

proses menua manusia kehilangan air. Kandungan air bayi pada waktu

lahir adalah 75 % berat badan, sedangkan pada usia tua menjadi 50 %.

Kandungan air tubuh relatif berbeda antarmanusia, tergantung pada

proporsi jaringan otot dan jaringan lemak. Tubuh yang mengandung relatif

lebih banyak otot mengandung lebih banyak air. Air mempunyai beberapa

fungsi dalam proses vital tubuh , yaitu:

1. Pelarut dan alat angkut zat-zat gizi dan hormon-hormon, kemudian

dibawa ke seluruh sel yang membutuhkan. Disamping itu, air sebagai

pelarut mengangkut sisa metabolisme, termasuk karbon dioksida dan

ureum untuk dikeluarkan dari tubuh melalui paru-paru, kulit dan ginjal.

Selain itu juga untuk menjaga agar darah dan getah bening dalam tubuh

mempunyai volume dan kekentalan yang cukup. Bila tubuh kurang

cairan, darah dan getah bening akan menjadi kental karena cairan

Page 66: RINAWANG JADI

49

dalam darah dan getah bening disedot untuk kebutuhan dalam tubuh.

Hal ini berakibat pada aliran darah yang tidak lancar karena sudah

mengental

2. Katalisator dalam berbagai reaksi biologik dalam sel, termasuk di

dalam saluran cerna.

3. Pelumas dalam cairan sendi-sendi tubuh.

4. Fasilisator pertumbuhan. Disini, air berperan sebagai zat pembangun.

5. Pengatur suhu. Karena kemampuan air untuk menyalurkan panas, air

memegang peranan dalam mendistribusikan panas didalam tubuh..

6. Peredam benturan.

Menurut Yahya (2003), ketersediaan jumlah air harus dipertahankan

untuk mendapatkan metabolisme tubuh yang stabil. Kehilangan air karena

berkeringat, buang air, dan lain-lain, harus segera digantikan. Untuk itu

disarankan agar mengkonsumsi air minimal setara dengan delapan gelas

atau dua liter sehari. Pada saat seseorang beraktivitas dengan banyak

mengeluarkan keringat, misalnya berolahraga, berendam air panas atau

masuk sauna, biasanya akan mengalami keadaan kepala yang terasa

berkunang-kunang. Hal ini dikarenakan kandungan air dalam darah

berkurang yang menyebabkan darah menjadi kental dan kurang lancar

mengalir terutama dalam pembuluh-pembuluh kapiler yang sangat kecil.

Keadaan ini sangat membahayakan karena dapat mengakibatkan kerusakan

pada saraf- saraf otak sebab kekurangan oksigen. Hal diatas menyebabkan

jantung bekerja lebih keras untuk memasok darah keseluruh tubuh.

Page 67: RINAWANG JADI

50

Hasil penelitian Suryanto (2002) menunjukkan total konsumsi air

putih lansia per hari rata-rata minum enam sampai tujuh gelas 51,43% dan

kurang dari lima gelas 21,43%. Lansia dianjurkan minum lebih dari

delapan gelas per hari. Lansia dianjurkan Banyak minum dan kurangi

garam, dapat memperlancar pengeluaran sisa makanan, dan menghindari

makanan yang terlalu asin akan memperingan kerja ginjal serta mencegah

kemungkinan terjadinya darah tinggi (Depkes RI, 2003)

Dalam memenuhi kebutuhan cairan lansia, ada beberapa faktor yang

mempengaruhinya, yaitu: pertama, Berat badan (lemak tubuh) cenderung

meningkat dengan bertambahnya usia, sedangkan sel-sel lemak

mengandung sedikit air, sehingga komposisi air dalam tubuh lansia kurang

dari manusia dewasa yang lebih muda atau anak-anak dan bayi. Kedua,

Fungsi ginjal menurun dengan bertambahnya usia. Terjadi penurunan

kemampuan untuk memekatkan urin, mengakibatkan kehilangan air yang

lebih tinggi (Depkes, 2003).

2.2.11 Merokok

Winniford (1990) memaparkan bahwa rokok mengandung nikotin

yang dapat meningkatkan denyut jantung, tekanan darah sistolik dan

diastolik. Peningkatan denyut jantung pada perokok terjadi pada menit

pertama merokok dan sesudah 10 menit peningkatan mencapai 30%.

Sedangkan tekanan sistolik meningkat mancapai 10%. Diketahui pula

bahwa merokok dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung

melalui mekanisme sebagai berikut: pertama, merangsang saraf simpatis

Page 68: RINAWANG JADI

51

untuk melepaskan nonepinefrin melalui saraf adrenergi dan meningkatkan

catecolamin yang dikeluarkan melalui medula adrenal. Kedua, merangsang

chemoreseptor di arteri karotis dan aorta bodies dalam meningkatkan

denyut jantung dan tekanan darah. Ketiga, secara langsung terhadap otot

jantung.

Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008), telah dibuktikan dalam

penelitian bahwa dalam satu batang rokok terkandung 4000 racun kimia

berbahaya termasuk 43 senyawa. Bahan utama rokok terdiri dari 3 zat,

yaitu 1) Nikotin, merupakan salah satu jenis obat perangsang yang dapat

merusak jantung dan sirkulasi darah dengan adanya penyempitan

pembuluh darah, peningkatan denyut jantung, pengerasan pembuluh darah

dan pengumpalan darah. 2) Tar, dapat mengakibatkan kerusakan sel paru-

paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon Monoksida (CO), merupakan

gas beracun yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah

membawa oksigen.

Gas CO yang dihisap menurunkan kapasitas sel darah merah untuk

mengangkut oksigen, sehingga sel-sel tubuh akan mati. Di tubuh perokok,

tempat untuk O2 ditempati oleh CO, karena kemampuan darah 200 kali

lebih besar untuk mengikat CO ketimbang O2. Akibatnya otak, jantung

dan organ vital tubuh lainnya akan kekurangan oksigen. Jika jaringan yang

kekurangan oksigen adalah otak, maka akan terjadi stroke (kelumpuhan).

Bila yang kekurangan oksigen adalah jantung, maka akan terjadi serangan

Page 69: RINAWANG JADI

52

jantung. Zat kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan dalam dinding

arteri sehingga arteri rentan terhadap penumpukan plak (Depkes, 2008).

2.2.11.1 Jumlah rokok yang dihisap

Jumlah rokok yang dihisap dapat dalam satuan batang,

bungkus, pak per hari, terbagi atas 3 kelompok yaitu :

1. Perokok Ringan, apabila seseorang menghisap kurang dari 10

batang rokok per hari.

2. Perokok Sedang, apabila seseorang menghisap 10 – 20 batang

rokok per hari.

3. Perokok Berat, apabila seseorang menghisap lebih dari 20

batang rokok per hari (Bustan, 1997).

2.2.11.2 Lama menghisap rokok

Menurut Bustan (2000), merokok dimulai sejak umur < 10

tahun atau lebih dari 10 tahun. Semakin awal seseorang merokok

makin sulit untuk berhenti merokok. Rokok juga punya dose-

response effect, artinya semakin muda usia merokok, akan

semakin besar pengaruhnya. Selain itu, menurut Smet (1994),

apabila perilaku merokok dimulai sejak usia remaja, merokok

sigaret dapat berhubungan dengan tingkat arterosclerosis. Risiko

kematian bertambah sehubungan dengan banyaknya merokok dan

umur awal merokok yang lebih dini.

Mangku Sitepoe (1997) dalam Suheni (2007), merokok

sebatang setiap hari akan meningkatkan tekanan sistolik 10–25

Page 70: RINAWANG JADI

53

mmHg dan menambah detak jantung lima sampai 20 kali per

menit. Berdasarkan hasil penelitian eksperimen yang dilakukan

oleh petugas U.S Army Medical Corp terhadap enam pria yang

merokok (perokok berat) menunjukkan bahwa penyempitan

sementara pada arteri setelah merokok. Kecepatan denyut nadi

kembali normal lima sampai 15 menit setelah merokok, tetapi

pembatasan arteri vaskular bertahan selama setengah sampai satu

jam, dalam sejumlah kasus lebih lama lagi (Marvyn, 1987).

Asap rokok bukan saja memberikan dampak buruk bagi perokok,

melainkan juga bagi orang lain yang menghisap asap rokok tersebut tanpa

dirinya sendriri merokok (disebut perokok pasif). Para ilmuwan

membuktikan bahwa zat-zat kimia yang dikandung asap rokok dapat

mempengaruhi kesehatan orang-orang disekitar perokok yang tidak

merokok. Dampak bahaya merokok tidak langsung bisa dirasakan dalam

jangka pendek tetapi terakumulasi beberapa tahun kemudian, terasa setelah

10-20 tahun pasca digunakan. Dengan demikian secara nyata dampak

rokok berupa kejadian hipertensi akan muncul kurang lebih setelah berusia

lebih dari 40 tahun, sebab dipastikan setiap perokok yang menginjak usia

40 tahun ke atas telah menghisap rokok lebih dari 20 tahun. Jika merokok

dimulai usia muda, berisiko mendapat serangan jantung menjadi dua kali

lebih sering dibanding tidak merokok. Serangan sering terjadi sebelum usia

50 tahun (Depkes, 2008).

Page 71: RINAWANG JADI

54

Setiap tahun tidak kurang dari tiga koma lima sampai lima juta jiwa

melayang akibat merokok (sekitar 10.000 orang/hari). Di Negara Cina

dilaporkan dari 300 juta populasi laki-laki berusia 0-29 tahun, 200 juta di

antaranya memiliki kebiasaan merokok (Cahyono, 2008).

Dalam penelitian Sanusi (2002) diketahui terdapat hubungan yang

bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi. Namun, dalam

penelitian Hasirungan (2002) didapatkan tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara merokok dengan kejadian hipertensi.

2.2.12 Olahraga atau Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan

sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot

membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan

jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk mengantarkan

zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk mengeluarkan sisa-sisa

dari tubuh (Supariasa, 2001).

Menurut Lee, et all (2002), olahraga dapat menurunkan risiko

penyakit jantung koroner melalui mekanisme; penurunan denyut jantung

dan tekanan darah, penurunan tonus simpatik, meningkatkan diameter

arteri koroner, dan sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan

HDL dan menurunkan LDL darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung

dapat bekerja secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun

kekuatan memompa jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen

Page 72: RINAWANG JADI

55

jantung pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan

serta menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).

Berbagai penelitian menyebutkan bahwa berolahraga secara teratur

merupakan intervensi pertama untuk mengendalikan berbagai penyakit

degeneratif (tidak menular). Hasilnya secara teratur terbukti bermanfaat

untuk menurunkan tekanan darah, mengurangi risiko stroke, serangan

jantung, dan lain-lain. Pengaruh olahraga dalam jangka panjang sekitar

empat sampai enam bulan dapat menurunkan tekanan darah sebesar 7,4/5,8

mmHg tanpa bantuan obat hipertensi. Pengaruh penurunan tekanan darah

ini dapat berlangsung sampai sekitar 20 jam setelah berolahraga (Sutanto,

2010).

Olahraga memerlukan suatu ukuran tertentu agar dapat memberikan

kebugaran jasmani. Olahraga yang tidak sesuai dengan patokan, maka

yang didapatkan hanya kegembiraan saja, sementara kebugarannya tidak

diperoleh. Akibatnya, walaupun seseorang sudah merasa olahraga,

tubuhnya tidak sesehat yang diharapkan (Cahyono, 2008).

Olahraga secara teratur idealnya dilakukan tiga hingga lima kali

dalam seminggu dan minimal 30 menit setiap sesi (Sutanto, 2010).

Semakin lama berada dalam zona tersebut akan memberikan efek yang

lebih baik. Sebagai contoh, apabila melakukan olahraga yang lamanya

mencapai 40 sampai 90 menit bahan bakar yang digunakan sebagai sumber

tenaga berasal dari asam lemak. Dengan demikian kadar glukosa darah dan

lemak darah (kolesterol) akan digunakan tubuh sehingga kedua kadar zat

Page 73: RINAWANG JADI

56

tersebut akan menuju normal. Namun, olahraga yang berlebihan bisa

berdampak tidak baik bagi kesehatan karena tubuh dapat menjadi lelah

(Cahyono, 2008).

Pemilihan jenis olahraga juga perlu diperhatikan, karena tidak semua

jenis olahraga memberikan efek baik bagi tubuh. Terdapat dua jenis olah

raga, yaitu:

1. Olahraga isotonik (sering disebut olah raga aerobik), contohnya jenis

olahraganya adalah joging, berenang, naik sepeda, dansa dan maraton.

Olahraga ini lebih memanfaatkan gerakan kaki daripada lengan. Olah

raga aerobik memiliki efek terbesar pada kesegaran fisik dan

kesehatan, karena meningkatkan ketahanan kardio-respirasi.

2. Olah aga yang bersifat isometrik (gerak badan statik), lebih banyak

melibatkan lengan daripada kaki, misalnya angkat beban. Olahraga ini

kurang menguntungkan pada sistem kardio-respirasi. Olahraga

isometrik, lebih mengutamakan ketahanan dan kakuatan otot

(Cahyono, 2008).

Melalui olahraga yang isotonik dan teratur (aktifitas fisik aerobik ±

30 menit/hari) dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan

tekanan darah. Kurang olahraga dapat memperbesar risiko obesitas dan

apabila asupan garam bertambah maka akan menambah risiko timbulnya

hipertensi (Sutanto, 2010).

Hasil penelitian Sanusi (2002) di poli klinik geriatri RSUPN Cipto

Mangunkusumo diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara

Page 74: RINAWANG JADI

57

aktifitas fisik dengan hipertensi. Sedangkan penelitian Sugihartono (2007),

menyatakan bahwa tidak biasa melakukan olah0raga mempunyai risiko

menderita hipertensi sebesar 4,73 kali dan olah raga tidak ideal mempunyai

risiko sebesar 3,46 kali dibandingkan orang yang mempunyai kebiasaan

olah raga ideal.

2.2.13 Stress

Dalam Cahyono (2008), stres adalah respon fisiologik, psikologik,

dan perilaku seseorang individu dalam menghadapi penyesuaian diri

terhadap tekanan yang bersifat internal maupun eksternal. Sedangkan

menurut Hawari (2001), stress adalah respons tubuh yang sifatnya non

spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (stresor psikososial) yang

berdampak pada sistem kardiovaskuler. Stresor Psikososial itu sendiri

terdiri dari: perkawinan, orangtua, antar pribadi, pekerjaan, lingkungan,

keuangan, hukum, perkembangan, penyakit fisik, faktor keluarga, dan

trauma.

Menurut Depkes RI (2006) dan Sutanto (2010), stres atau ketegangan

jiwa (rasa murung, tertekan, marah, dendam, takut dan bersalah). Ketika

otak menerima sinyal bahwa seseorang sedang stres, perintah untuk

meningkatkan sistem simpatetik berjalan dan mengakibatkan hormon stres

dan adrenalin meningkat. Lever melepaskan gula dan lemak dalam darah

untuk menambah bahan bakar. Nafas menjadi lebih cepat sehingga jumlah

oksigen bertambah. Sehingga menyebabkan kerja jantung menjadi semakin

cepat.

Page 75: RINAWANG JADI

58

Sutanto (2010) menjelaskan bahwa pelepasan hormon adrenalin oleh

anak ginjal sebagai akibat stres berat akan menyebabkan naikknya tekanan

darah dan meningkatkan kekentalan darah yang membuat darah mudah

membeku atau menggumpal. Adrenalin juga dapat mempercepat denyut

jantung, menyebabkan gangguan irama jantung dan mempersempit

pembuluh darah koroner. Dengan demikian aliran darah ke otot jantung

akan berkurang atau terhambat sehingga dapat menyebabkan kematian.

Seseorang dalam kondisi stres akan mengalami hal-hal seperti mudah

jenuh, mudah marah, bertindak secara agresif dan defensif, sulit

konsentrasi, pelupa serta selalu merasa tidak sehat. Syaifudin (2006)

menambahkan bahwa hubungan stres dengan hipertensi juga dapat

meningkatkan retensi air dan garam.

Menurut Sarafindo (1990) dalam Smet (1994), stres adalah suatu

kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang

menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari

situasi dengan sumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari

seseorang. Selain itu, stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk

sementara waktu dan bila stres sudah hilang tekanan darah bisa normal

kembali. Peristiwa mendadak menyebabkan stres dapat meningkatkan

tekanan darah.

Baliwati (2004) mengungkapkan bahwa pekerjaan juga berhubungan

dengan tingkat penghasilan. Sementara itu, penghasilan berhubungan

dengan gaya hidup seseorang. Berbagai jenis pekerjaan akan menimbulkan

Page 76: RINAWANG JADI

59

respon stress atau tekanan psikis yang berbeda akibat pengahasilan yang

dimiliki. Pegawai tetap cenderung lebih stabil daripada pegawai tidak

tetap. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Penelitian Caval Cante (1995)

dalam Hasirungan (2002), melihat dari 1766 responden, 76 diantaranya

hipertensi. Dari observasi diketahui bahwa sebagian besar individu dengan

hipertensi memiliki pendapatan keluarga yang rendah dan tingkat

pendidikan yang rendah.

Sutanto (2010), stres dianggap sebagai suatu yang buruk ketika

seseorang tidak mampu menanggulangi stressor dengan baik. Stressor

dapat menggangu kesehatan emosi maupun fisik. Berikut ini adalah

beberapa cara untuk melepaskan diri dari stres, yaitu : Pertama,

memperbaiki kondisi emosi, merelaksasikan tubuh dan otak serta pikirkan

hal-hal yang menyenangkan. Berbagai penelitian mengenai bio-feedback

telah menunjukkan bahwa manusia sebenarnya memiliki kamampuan

untuk mengendalikan respons relaksasinya dan sejumlah orang yang

melakukan bio-feedback, kunci untuk memicu munculnya respons

relaksasi ternyata sederhana, yaitu memikirkan hal-hal yang

menyenangkan dan bernapas dengan tenang secara teratur. Hal ini

bermanfaat mengatasi stres dengan cepat dan mengurangi jumlah kejadian

yang dipersepsikan sebagai stresor. Kedua, aromaterapi. Ketiga, keluar

dari stresor atau pemicu stress serta putuskan lingkaran stres. Keempat,

seimbangkan pola makan. Untk melakukan diet sehat konsumsilah

makanan bergizi tinggi, rendah lemak dan kolesterol, banyak serat, tidak

Page 77: RINAWANG JADI

60

mengandung pengawet, kurangi junkfood serta banyak minum air putih.

Kelima, tidur yang berkualitas. Dan Keenam, hindari alkohol dan

merokok..

Hasil penelitian Sigarlaki (2006) di Desa Bocor, Kecamatan Bulus

Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah didapatkan bahwa

responden yang mengalami stres terhadap jenis hipertensi, didapatkan

bahwa responden prehipertensi yang mengaku tidak mengalami stres

(6,86%), sementara yang menderita hipertensi grade I (37,25%), dan yang

menderita hipertensi grade II (22,57%). Dari hasil pengolahan penyebab

stres terhadap hipertensi, didapatkan bahwa sebagian besar responden

mengaku penyebab stres terbanyak yang dialami adalah karena ekonomi

(47,05%).

Hal ini disebabkan karena mereka berpenghasilan rendah. Tingkat

pendidikan, status ekonomi dan lingkungan sosial kultural dari seseorang

merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengembangan

program kesehatan masyarakat (Baliwati, 2004).

Penelitian Yuliarti (2007) menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi. Namun,

penelitian Hasirungan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara

stres dengan kejadian hipertensi.

Page 78: RINAWANG JADI

61

2.3 Metode Food Frequency Questioner (FFQ)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi

konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu

seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi

makanan dapat memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara

kualitatif, tapi karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan

individu berdasarkan ranking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling

sering digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi. Kuesioner frekuensi

makanan memuat tentang daftar bahan makanan dan frekuensi penggunaan

makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar

kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering

oleh responden. Metode frekuensi makanan memiliki kelebihan dan kekurangan.

Kelebihannya adalah Relative murah dan sederhana, dapat dilakukan sendiri oleh

responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dapat membantu untuk

menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan. Sedangkan kekurangannya

adalah tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan

kuesioner pengumpulan data, cukup menjemukan bagi pewawancara, diperlukan

studi pendahuluan untuk menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk

dalam daftar kuesioner, dan responden harus jujur dan mempunyai motivasi

tinggi (Supariasa, 2001).

Page 79: RINAWANG JADI

62

2.4 Lansia

Menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan

dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari

60 tahun. Sedangkan jika disesuaikan dengan masa pensiun di Indonesia, disebut

lansia apabila telah mencapai usia 55 tahun keatas.

Menjadi lansia secara alami akan dialami oleh setiap orang. Prosesnya tidak

dapat dihindari. Kekuatan fisik dan daya tahan tubuh pada lansia telah menurun,

serta mekanisme kerja organ tubuh mulai terganggu. Berikut ini merupakan

kadaan fisiologis lansia, yaitu:

1. Proses menjadi tua merupakan proses alami secara fisiologis dan biologis

yang terjadi pada seluruh organ dan sel tubuh.

2. Berkurangnya kemampuan sensitifitas indera penciuman dan perasa pada

lansia mengakibatkan selera makan menurun. Hal itu sering menyebabkan

kurangnya asupan atau penggunaan bumbu, seperti kecap atau garam.

Sehingga lansia cenderung berlebih dalam penggunaannya dan hal ini akan

berdampak pada menurunnya kesehatan lansia.

3. Kekuatan, ketahanan dan kelenturan otot rangka berkurang, mengakibatkan

kepala dan leher terfleksi ke depan, ruas tulang belakang mengalami kifosis,

panggul dan lutut juga terfleksi sedikit. Keadaan tersebut menyebabkan

postur tubuh terganggu (Arisman (2004) dan Sari (2006))

Selain itu, lansia juga mengalami perubahan dalam lingkungan sosialnya.

Menurut Darmojo (2006) dipaparkan bahwa kinerja (fungsi dalam masyarakat)

seorang lanjut usia ditentukan oleh 3 faktor, yaitu: faktor fisis, faktor psikologis

Page 80: RINAWANG JADI

63

atau mental, dan faktor sosio-ekonomi. Pensiunan, sebagai sistem pada

industrialisasi, dapat merupakan kendala untuk orang-orang usia lanjut terhadap

keadaan sosio ekonominya, finansial dan sebagainya. Maka dari itu harus

dipersiapkan dengan persiapan pensiun (MPP) yang baik dan terencana. Selain

faktor fisis harus juga diperhatikan faktor psikologis atau mental pada usia lanjut

tadi, karena pada waktu pensiun akan terjadi kehilangan pada bidang finansial,

statuts dan fasilitas, kenalan dan komunikasi. Pada perempuan, faktor psikologis

akan banyak terjadi apalagi dengan datangnya klimakterium dan menepouse.

2.4.1 Hipertensi Pada Usia Lanjut

Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya berbagai penyakit

kardiovaskular, infeksi dan gagal jantung. TDS (tekanan darah siastolik)

meningkat sesuai dengan peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah

diastolik) meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun,

yang kemudian menurun oleh karena kekakuan arteri akibat ateroklerosis

(Suhardjono, 2006). Di Negara maju saat ini tekanan darah yang terkontrol

(TDS <140, TDD <90 mmHg) hanya terdapat 20% pasien hipertensi.

Keberhasilan pengobatan yang rendah pada usia lanjut diakibatkan juga

oleh karena banyak dokter tidak mengobati hipertensi usia lanjut sampai

optimal (kurang dari 140/90). Pada usia lanjut, prevalensi gagal jantung dan

stroke tinggi, yang keduanya merupakan akibat dari hipertensi. Oleh karena

itu pengobatan hipertensi penting sekali dalam mengurangi morbiditas dan

mortalitas kardiovaskular (Suhardjono, 2006).

Page 81: RINAWANG JADI

64

Telah diperhitungkan bahwa seorang pria berusia 55 tahun dengan

tekanan darah sistolik 160 mmHg, mempunyai risiko masalah vascular

dalam 10 tahun mendatang sekitar 14%. Baik pria maupun wanita hidup

lebih lama dan 50% dari mereka yang berusia di atas 60 tahun akan

menderita hipertensi sistolik terisolasi (TDS 160 mmHg dan diatolik 90

mmHg). Dengan menurunkan tekanan darah telah terbukti mengurangi

insiden gagal jantung, mengurangi demensia, dan dapat membantu

mempertahankan fungsi kognitif (Gray, 2005).

Hasil penelitian riskesdas (2007), menyebutkan bahwa prevalensi

penyakit hipertensi di Indonesia berdasarkan kasus minum obat atau

terdiagnosis oleh tenaga kesehatan yakni sebesar 65,2% pada lansia (usia

55 tahun keatas) lebih besar dibandingkan pada usia orang dewasa (usia <

55 tahun) sebesar 22,7%. Menurut data Dinas Kesehatan Kota Tangerang

Selatan (2009), angka prevalensi hipertensi pada lansia sebesar 33,94%.

Sedangkan penelitian hasirungan (2002), didapatkan prevalensi pada lansia

usia 55 tahun keatas di Kota Depok mencapai 57,5%.

Menurut Depkes RI (2000), batas prevalensi kasus hipertensi usia 50

tahun keatas yang ditetapkan mencapai 20-30%. Jika angka prevalensi

kasus disebuah wilatah melebihi angka tersebut, maka dapat dikatakan

sebagai sebuah kasus yang cukup tinggi.

Page 82: RINAWANG JADI

65

HIPERTENSI

Umur

Jenis kelamin

Stres

Pola konsumsi

- Konsumsi natrium - Konsumsi lemak - Konsumsi buah dan sayur - Konsumsi air

Riwayat keluarga

Etnis

Konsumsi Alkohol

Merokok

Olahraga

Obesitas

2.5 Kerangka Teori

Kerangka teori dalam penelitian ini disusun berdasarkan kesimpulan dari

beberapa tinjauan pustaka yang ada, bahwa faktor-faktor yang berpengaruh

terhadap kejadian hipertensi yaitu meliputi umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,

etnis, pola konsumsi (konsumsi natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan

sayur, konsumsi air), konsumsi alkohol, merokok, olah raga, stres, serta obesitas.

Kerangka teori secara sistematik dapat dilihat sebagai berikut dalam bagan 2.2:

Bagan 2.2 Kerangka Teori Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi

Sumber : Modifikasi Almatsier (2001), Gray (2005) dan Sutanto (2010)

Page 83: RINAWANG JADI

66

BAB III

KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan penyederhanaan dari kerangka teori. Dalam

pelaksanaan penelitian berdasarkan kerangka teori yang ada, peneliti memilih

beberapa faktor risiko yang fisibel (dapat diukur) untuk diteliti sebagai variabel

penelitian. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah hipertensi, sedangkan

variabel independennya adalah jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi

natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air, olah raga,

merokok, stres, dan obesitas.

Dalam penelitian ini terdapat variabel independen yang tidak akan diteliti

berdasarkan suatu alasan, berikut ini adalah variabel yang tidak diteliti meliputi:

1. Variabel umur, tidak diikutsertakan karena semua sampel adalah usia 55

tahun keatas yang termasuk dalam kategori lanjut usia dan responden dengan

usia tersebut memiliki risiko yang sama untuk terkena hipertensi.

2. Variabel etnis, merupakan faktor risiko yang kurang tepat diteliti karena

lokasi penelitian mayoritas penduduknya mempunyai etnis atau ras yang

sama atau homogen.

3. Variabel riwayat keluarga, tidak diikutsertakan dalam penelitian ini karena

akan menimbulkan bias tinggi. Hal ini disebabkan lansia hampir seluruhnya

tidak mengetahui penyakit apa yang pernah diderita oleh orang tuanya.

Page 84: RINAWANG JADI

67

4. Variabel konsumsi alkohol, tidak diikutsertakan karena berdasarkan

informasi dari petugas kesehatan di Puskesmas Kampung Sawah, para lansia

tidak mengkonsumsi alkohol.

Berikut ini merupakan bagan dari kerangka konsep penelitian, yakni:

Bagan 3.1 Kerangka Konsep Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi

Variabel Independen Variabel Dependen

Pola konsumsi

- Konsumsi natrium - Konsumsi lemak - Konsumsi buah

dan sayur - Konsumsi air Kejadian

Hipertensi

Jenis kelamin

Stress

Olahraga

Merokok

Obesitas

Page 85: RINAWANG JADI

68

3.2 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Hipertensi

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1 Hipertensi Kondisi seseorang yang memiliki tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan diastolik ≥ 90mmHg atau keduanya. Dikatakan hipertensi apabila pernah melakukan pengukuran tekanan darah dan hasilnya tetap tinggi setelah diperiksa 3 kali dalam waktu yang berbeda.

Spyghmomanometer

Air Rakasa dan

Stetoskop

- Tekanan darah diukur dalam posisi beridiri/duduk, penurunan lengan dari posisi hampir mendatar/setinggi jantung ke posisi hampir vertikal,

- Dilakukan setelah responden istirahat selama 5 menit, dilakukan 2 kali dengan jarak 5-10 menit.

- Auskultasi dengan stetoskop

(Gray, 2005)

0. Hipertensi, jika TDS ≥140 & atau TDD ≥90

1. Tidak hipertensi, jika TDS <140 & atau TDD <90 mmHg

(Kategori JNC-7, 2003)

Ordinal

2 Jenis kelamin Tanda-tanda seks sekunder yang diperlihatkan seseorang

Kuesioner Pengamatan 0. Perempuan 1. Laki-laki (Darmodjo, 1993 dalam Hasirungan, 2002)

Ordinal

3 Konsumsi natrium

Jumlah konsumsi bahan makanan yang mengandung

FFQ semi kuantitatif

Wawancara mendalam

0. Lebih, jika konsumsi natrium ≥ 876gram/tahun

Ordinal

Page 86: RINAWANG JADI

69

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

sumber natrium (makanan asin) oleh responden dan diakumulasikan dalam jangka waktu maksimal satu tahun

1. Cukup, jika konsumsi natrium < 876gram/tahun

(Almatsier, 2006)

4 Konsumsi lemak

Jumlah konsumsi bahan makanan yang mengandung sumber lemak oleh responden dan diakumulasikan dalam jangka waktu maksimal satu tahun

FFQ semi kuantitatif

Wawancara mendalam

0. Lebih, jika konsumsi lemak pada laki-laki =>16.608 gram/tahun, perempuan = > 12.956 gram/tahun

1. Cukup, jika konsumsi lemak pada laki-laki = ≤16.608 gram/tahun, perempuan = ≤ 12.956 gram/tahun

(Depkes (2003) & AKG (2004)

Ordinal

5 Konsumsi Buah dan Sayur

Jumlah konsumsi buah dan sayur oleh responden yang diakumulasikan dalam jangka waktu satu hari

FFQ semi kuantitatif

Wawancara mendalam

0. Kurang, jika konsumsi buah dan sayur < 400 gram/hari

1. Cukup, jika konsumsi buah dan sayur ≥ 400 gram/hari

(Dauchet et al., 2007)

Ordinal

6 Konsumsi air Jumlah konsumsi air putih oleh responden dalam yang diakumulasikan dalam jangka waktu satu hari

Kuesioner Wawancara 0. Kurang, jika konsumsi air putih < 8 Gelas/hari

1. Cukup, jika konsumsi air putih ≥ 8 gelas/hari

(Depkes, 2003)

Ordinal

7 Olah raga Kegiatan latihan fisik sehari-hari yang dilakukan

Kuesioner Wawancara 0. Tidak, jika tidak olahraga/olahraga tapi

tidak rutin

Ordinal

Page 87: RINAWANG JADI

70

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

seseorang secara teratur agar dapat memberikan kebugaran jasmani dalam seminggu minimal 30 menit/3-4 kali seminggu

1. Ya, jika Olahraga 30-45 menit, 3-4 kali/minggu

(Depkes, 2006)

8 Merokok Kebiasaan/perilaku menghisap rokok dan pernah merokok dalam kehidupan responden

Kuesioner Wawancara 0. Merokok/Pernah merokok 1. Tidak merokok (Depkes, 2008)

Ordinal

9 Stres Suatu keadaan non spesifik yang dialami individu akibat tuntutan emosi, fisik atau lingkungan yang melebihi daya dan kemampuan responden untuk mengatasinya dengan efektif

Kuesioner Wawancara Terdiri dari 20 butir pertanyaan 0. Stres, jika menjawab ≥ 6

pertanyaan jawaban “ya” 1. Tidak stres, jika menjawab <

6 pertanyaan jawaban “ya” (Depkes, 2008)

Ordinal

10 Obesitas Kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan yang dikategorikan dengan IMT (Waspadji, 2003)

Timbangan digital dan Meteran

IMT = BB/TB2

Lansia yang membungkuk ukuran TB diganti dg rentang lengan, rumus: Lk =53,4+(0,67xPRT) PR=81,0+(0,48xPRT)

0. Obesitas, jika IMT > 25 kg/m2

1. Tidak obesitas, jika IMT ≤ 25 kg/m2 s

(Depkes, 2006)

Ordinal

Page 88: RINAWANG JADI

71

3.3 Hipotesis

1. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan hipertensi pada kelompok lanjut

usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan

tahun 2011.

2. Ada hubungan antara konsumsi natrium dengan hipertensi pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

Selatan tahun 2011.

3. Ada hubungan antara konsumsi lemak dengan hipertensi pada kelompok

lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

Selatan tahun 2011.

4. Ada hubungan antara konsumsi buah dan sayur dengan hipertensi pada

kelompok lanjut usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota

Tangerang Selatan tahun 2011.

5. Ada hubungan antara konsumsi air dengan hipertensi pada kelompok lanjut

usia di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan

tahun 2011.

6. Ada hubungan antara olah raga dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia

di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun

2011.

7. Ada hubungan antara merokok dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia

di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun

2011.

Page 89: RINAWANG JADI

72

8. Ada hubungan antara stres dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia di

Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun

2011.

9. Ada hubungan antara obesitas dengan hipertensi pada kelompok lanjut usia di

Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun

2011.

Page 90: RINAWANG JADI

73

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dengan desain

studi cross sectional, yaitu mempelajari hubungan antara variabel dependen

(hipertensi) dan variabel independen (jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi

natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, olahraga, merokok, stres,

dan status gizi/IMT melalui pengukuran sesaat atau hanya satu kali saja serta

dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Desain cross sectional digunakan

berdasarkan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian hipertensi pada kelompok lanjut usia di

Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun

2011.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kelurahan Sawah Baru,

Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan

4.2.2 Waktu Penelitian

Dilaksanakan pada bulan Oktober 2010 sampai dengan Maret

2011.

Page 91: RINAWANG JADI

74

4.3 Populasi dan Sampel

4.3.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari unit didalam pengamatan yang

akan dilakukan (Sabri, 2008). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh

lanjut usia ≥ 55 tahun (lansia) yang ada di Kelurahan Sawah Baru,

Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.

4.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang nilai/karakteristiknya

diukur dan yang nantinya dipakai untuk menduga karakteristik dari

populasi (Sabri, 2008). Sampel dalam penelitian ini diperoleh dari

perhitungan dengan rumus uji hipotesis beda dua proporsi (Ariawan,

1998), yaitu sebagai berikut:

[Z1-α/2√2P(1-P)+Z1- β√P1(1-P1)+P2(1-P2)]2 n =

(P1-P2)2 Keterangan :

n = Besar sampel

Z1-α/2 = Nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kepercayaan α

pada uji dua sisi (two tail), yaitu sebesar 5% = 1,96

Z 1- β = Nilai Z pada kekuatan uji 1- β, yaitu sebesar 80% = 0,84

P = Proporsi rata-rata = (P1-P2)/2

P1 = Proporsi lansia dengan status gizi (IMT) lebih (86,4%) yang

menderita hipertensi (Yuliarti, 2007)

P2 = Proporsi lansia dengan statuts gizi (IMT) tidak lebih (61,0%)

Page 92: RINAWANG JADI

75

yang menderita hipertensi (Yuliarti, 2007)

Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut,

diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 48 orang yang kemudian

dikalikan dua menjadi 96. Untuk mengantisipasi ketidaklengkapan data,

maka besar sampel ditambahkan oleh peneliti sehingga total sampel dalam

penelitian ini berjumlah 105 orang lansia.

Pengambilan sampel penelitian menggunakan metode simple

random sampling, dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Melakukan pendataan para lansia yang sedang berada dirumah dari

para pengurus wilayah setempat seperti kader posbindu, kader

posyandu, Ibu atau Bapak RT maupun RW.

2. Melakukan pengambilan secara acak terhadap beberapa lansia yang

terdaftar dalam kerangka sampel sampai terambil 105 orang lansia.

Sampel yang diikut sertakan pada penelitian ini memiliki kriteria

tertentu yaitu sebagai berikut:

1. Kriteria inklusi, terdiri dari:

a. Seluruh lansia berusia ≥ 55 tahun yang ada di Kelurahan Sawah

Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan dan bersedia

menjadi responden

b. Dapat berkomunikasi dengan baik.

2. Kriteria eksklusi, terdiri dari:

Page 93: RINAWANG JADI

76

a. Lansia yang memiliki penyakit demensia (pikun atau pelupa),

perubahan tingkah laku, atau penyakit lain (seperti stroke atau

lumpuh)

b. Lansia yang sedang menjalani terapi pengobatan anti hipertensi

baik kimia atau tradisional dan diet penyakit hipertensi dengan

teratur. Diketahui berdasarkan hasil wawancara dengan responden

maupun anggota keluarganya.

c. Subyek meninggal dunia atau tidak ditemukan.

4.4 Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk

pengumpulan data (Notoatmodjo, 2005). Instrumen penelitian yang digunakan

pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Alat Spyghmomanometer air raksa dan stetoskop, digunakan untuk

pengukuran penyakit hipertensi atau penentuan nilai tekanan darah (sistole

dan diastole).

2. Kuesioner, yang berisi sejumlah pertanyaan mengenai jenis kelamin,

konsumsi air, olahraga, merokok, dan stres.

3. Formulir FFQ semi kuantitatif, yang digunakan untuk mengetahui tingkat

konsumsi: natrium, lemak, serta buah dan sayur ukuran.

4. Timbangan digital dan meteran (mikrotoa). Timbangan digunakan untuk

mengetahui berat badan (BB) responden, sedangkan meteran untuk

mengetahui panjang rentang tangan (PRT) atau tinggi badan (TB).

Page 94: RINAWANG JADI

77

Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui status gizi (obesitas) pada

responden dengan metode IMT yang berasal dari data berat badan dan tinggi

badan.

4.5 Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara, pengisian

kuesioner dan pengukuran variabel penelitian yang dilakukan langsung oleh

peneliti. Sebelum dilakukan pengukuran data primer, peneliti melakukan uji

coba kuesioner terlebih dahulu dan dilakukan terhadap lansia di wilayah lain

yang bukan sampel. Uji coba ini dilakukan untuk mendapat kejelasan dari setiap

pertanyaan yang dibuat.

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan data primer

dan data sekunder.

4.5.1 Data Primer

Data primer diperoleh diperoleh secara langsung dari responden.

Yang terdiri dari :

1. Data tekanan darah atau hipertensi, diperoleh dengan menggunakan

alat Spyghmomanometer air raksa dan stetoskop sesuai prosedur

pengukuran tekanan darah yang benar. Dilakukan sebanyak 2 kali

dengan posisi pengukuran yang sama dan hasilnya diambil dari rata-

rata 2 pengukuran terakhir. Selain itu, peneliti juga melakukan

pengecekan terhadap data hasil diagnosis dan pemeriksaan

laboratorium yang ada sebagai data pendukung jika responden

Page 95: RINAWANG JADI

78

memilikinya. Bagi responden yang telah terdianosis memiliki

hipertensi oleh dokter atau tenaga kesehatan dan sering memeriksakan

tekanan darahnya secara teratur, pengukuran tekanan darah hanya

dilakukan 1 kali pengukuran. Tetapi, jika tidak atau belum pernah

terdiagnosis hipertensi maka peneliti melakukan pengukuran tekanan

darah sebanyak 3 kali dalam kurun waktu tidak lebih dari 1 minggu.

Dalam penelitian dikatakan hipertensi jika tekanan sistolik ≥ 140

mmHg secara terus menerus, tekanan diastolik ≥ 90 mmHg secara

terus menerus atau keduanya dan tidak hipertensi jika tekanan sistolik

< 140 mmHg dan atau tekanan diatolik < 90 mmHg.

Pengukuran tekanan darah dilakukan dalam kondisi sebagai

berikut:

a. Dalam keadaan tenang, santai, tidak stress atau sedang mengalami

suatu masalah berat.

b. Beristirahat 5-10 menit terlebih dahulu, setelah responden sedang

melakukan suatu pekerjaan yang berat.

c. Tidak diperbolehkan merokok atau minum kopi ± 30 menit

sebelum pengukuran tekanan darah.

2. Data konsumsi natrium, konsumsi lemak serta konsumsi buah dan

sayur didapatkan dari pengukuran menggunakan form FFQ semi

kuantitatif. Bahan makanan sudah terlebih dahulu disurvey. Form

FFQ berisi: 1) daftar bahan makanan (sumber natrium, lemak dan

buah dan sayur) dengan kadar zat gizi pada masing-masing makanan

Page 96: RINAWANG JADI

79

dan kadar ukuran rumah tangga, 2) frekuensi konsumsi bahan

makanan tersebut, 3) jumlah bahan makanan yang dikonsumsi (URT

dan berat/gr) dalam sekali makan. Setelah form terkumpul dan diisi

akan diolah. Pertama, mengkalikan antara frekuensi konsumsi dengan

jumlah bahan makanan yang dikonsumsi per sekali makan dalam

ukuran gram. Lalu hasil yang didapat akan dikalikan dengan nilai zat

gizi dari natrium dan lemak. Sedangkan konsumsi buah dan sayur

tidak perlu dikalikan dengan nilai gizinya, cukup dengan mengkalikan

gram yang dikonsumsi setiap harinya dengan frekuensi sekali makan.

Nilai gizi dari setiap sumber bahan makanan dianalisis menggunakan

software nutri survey dan DKBM (daftar konsumsi bahan makanan).

3. Data jenis kelamin, konsumsi air, olah raga, merokok, dan stres

didapat dari wawancara terstruktur dengan bantuan kuesioner.

Pengisian kuesioner dalam penelitian ini diisi langsung oleh peneliti.

4. Data obesitas, diperoleh dari pengukuran berat badan (BB) dengan

menggunakan timbangan dan tinggi badan (TB) dengan menggunakan

mikrotoa/meteran. Jika responden masih bisa berdiri tegak maka yang

diukur adalah TB dengan melepas alas kaki, tetapi jika responden

sudah membungkuk atau tidak dapat berdiri tegak maka yang diukur

adalah PRT. Pengukuran PRT digunakan untuk mengganti data TB

bagi lansia yang sudah membungku/tidak dapat berdiri tegak. Rumus

dari ukuran rentang lengan (PRT), yaitu: TB laki-laki= 53,4 + (0,67 x

PRT) dan TB perempuan= 81,0 + (0,48 x PRT) (Arisman, 2010).

Page 97: RINAWANG JADI

80

Sedangkan pengukuran BB responden juga diminta untuk melepas

alas kaki dan berdiri dengan tegak diatas timbangan. Kemudian untuk

mendapatkan hasil status gizi (obesitas), maka digunakan rumus : BB

(kg)/TB (m)2.

4.5.2 Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari :

1. Laporan LB-3 Dinas Kesehatan Tangerang Selatan tahun 2009 berupa

data tingginya prevalensi lansia yang menderita hipertensi sewilayah

Tangsel, yakni sebesar 33,94 %.

2. Arsip Puskesmas Kampung Sawah berupa data rekam medis

mengenai tingginya prevalensi lansia yang menderita hipertensi di

wilayah Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang

Selatan, yakni sebesar 32,4 %.

3. Arsip Kelurahan Sawah Baru berupa data profil Kelurahan Sawah

baru dan data yang berhubungan dengan lansia di wilayah Kelurahan

Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.

4.6 Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu bagian rangkaian kegiatan

penelitian setelah kegiatan pengumpulan data. Data mentah (raw data) yang telah

dikumpulkan selanjutnya diolah sehingga menjadi sumber yang dapat digunakan

untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan program komputer.

Page 98: RINAWANG JADI

81

Tahapan pengolahan data melalui beberapa proses yakni sebagai berikut :

1. Editing data

Tahap ini merupakan kegiatan penyutingan data yang telah

terkumpul dengan cara memeriksa kelengkapan data dan kesalahan

pengisian kuesioner untuk memastikan data yang diperoleh telah lengkap

dapat dibaca dengan baik, relevan, dan konsisten.

2. Coding data

Setelah melakukan proses editing kemudian dilakukan pengkodean

pada jawaban dari setiap pertanyaan terhadap setiap variabel sebelum

diolah dengan komputer, dengan tujuan untuk memudahkan dalam

melakukan analisa data. Adapun pengkodean untuk setiap variabel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Hipertensi, diberi kode 0 = Hipertensi, jika TDS ≥140 & atau TDD

≥90, atau TDS ≥140 dan TDD <90/mengkonsumsi obat antihipertensi,

dan kode 1 = Tidak hipertensi, jika TDS <140 & atau TDD <90

mmHg.

b. Jenis kelamin, diberi kode 0 = Perempuan, dan kode 1 = Laki-laki

c. Konsumsi natrium, diberi kode 0 = Lebih, jika konsumsi natrium ≥876

gram/tahun, dan kode 1 = Cukup, jika konsumsi natrium <876

gram/tahun.

d. Konsumsi lemak, diberi kode 0 = Lebih, jika konsumsi lemak pada

laki-laki: >16.608 gram/tahun, perempuan: >12.956 gram/tahun, dan

Page 99: RINAWANG JADI

82

kode 1 = Cukup, jika konsumsi lemak pada laki-laki: ≤16.608

gram/tahun, perempuan: ≤12.956 gram/tahun.

e. Konsumsi buah dan sayur, diberi kode 0 = Kurang, jika konsumsi buah

dan sayur <400 gram/hari, dan kode 1 = Cukup, jika konsumsi buah

dan sayur ≥400 gram/hari.

f. Konsumsi air, diberi kode 0 = Kurang, jika konsumsi air putih <8

Gelas/hari, dan kode 1 = Cukup, jika konsumsi air putih ≥ 8 gelas/hari.

g. Olahraga, diberi kode 0 = Tidak, jika Tidak Olahraga/Olahraga Tapi

Tidak Rutin, dan kode 1 = Ya, jika Olahraga 30-45 menit, 3-4

kali/minggu.

h. Merokok, diberi kode 0 = Merokok atau Pernah merokok, dan kode 1 =

Tidak merokok.

i. Stres, diberi kode 0 = Stres, jika menjawab ≥6 pertanyaan jawaban

“ya”, dan kode 1 = Tidak stres, jika menjawab <6 pertanyaan jawaban

“ya”.

j. Obesitas, diberi kode 0 = Obesitas, jika IMT > 25 kg/m2, dan kode 1 =

Tidak Obesitas, jika IMT ≤ 25 kg/m2.

3. Data structure dan Data file

Membuat struktur data (data structure) dan file data (data file), yaitu

membuat tamplate sesuai dengan format kuisioner yang digunakan

4. Entry data

Page 100: RINAWANG JADI

83

Tahap ini merupakan proses memasukkan data dari kuesioner ke

dalam komputer untuk kemudian diolah dengan bantuan perangkat lunak

komputer.

5. Cleaning

Pada tahap ini dilakukan proses pengecekan kembali dan

pemeriksaan kesalahan pada data yang sudah dientry untuk diperbaiki dan

disesuaikan dengan data yang telah dikumpulkan.

4.7 Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis

univariat dan analisis bivariat.

4.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk melihat menyajikan dan

mendeskripsikan karakteristik data variabel dependen yaitu hipertensi

maupun independen yaitu yaitu jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi

natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air,

olahraga, merokok, stres, dan obesitas yang diteliti. Penyajian data yang

diolah berupa tabel distribusi frekuensi.

4.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat kemungkinan adanya

hubungan yang bermakna antara variabel dependen, yaitu hipertensi

dengan variabel independen yaitu jenis kelamin, riwayat keluarga,

konsumsi natrium, konsumsi lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi

Page 101: RINAWANG JADI

84

air, olahraga, merokok, stres, dan obesitas. Analisa bivariat ini

menggunakan uji chi square dengan rumus :

(O-E)2

X2 = ∑ E

DF = (k-1)(b-1)

Keterangan :

X2 = Chi square

O = Nilai observasi

E = Nilai Ekspektasi

k = jumlah kolom

b = jumlah baris

Melalui uji statistik chi square akan diperoleh nilai p, dimana dalam

penelitian ini digunakan tingkat kemaknaan sebesar 0,05. Penelitian antar

dua variabel dikatakan bermakna jika mempunyai nilai P ≤ 0,05 artinya

terdapat hubungan yang bermakna antara variabel dependen dan variabel

independen. Namun sebaliknya, bila nilai P > 0,05 berarti tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara variabel dependen dan variabel

independen.

Page 102: RINAWANG JADI

85

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

5.1.1 Keadaan Geografi

Kelurahan Sawah Baru merupakan salah satu bagian dari wilayah

kerja Puskesmas Kampung Sawah dengan luas wilayah 298,153 Ha/Km2,

yang terletak di Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Adapun

batas-batas wilayah Kelurahan Sawah Baru adalah sebagai berikut:

Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pondok Pucung dan

Kelurahan Pondok Aren.

Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Serua Indah.

Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Jombang.

Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Sawah.

5.1.2 Keadaan Demografi

Kelurahan Sawah Baru terdiri dari 9 RW, 51 RT dan 4.601 KK

(kepala keluarga). Jumlah penduduk Kelurahan Sawah Baru berdasarkan

data survei Kelurahan Sawah Baru tahun 2009 sebanyak 19.409 jiwa,

terdiri dari 9.787 jiwa penduduk laki-laki dan 9.622 jiwa penduduk

perempuan. Komposisi penduduk usia lanjut (55 tahun keatas) menurut

kelompok umur sebesar 3,09% dari total penduduk. Laki-laki umur 55

tahun keatas sebesar 303 jiwa dan perempuan sebesar 298 jiwa.

Page 103: RINAWANG JADI

86

Jumlah penduduk Kelurahan Sawah baru berdasarkan jenis

pekerjaan, sebagian besar sebagai: pelajar atau mahasiswa sebesar 5103

jiwa (26%), belum atau tidak bekerja sebesar 4010 jiwa (20,6%), IRT (ibu

rumah tangga) sebesar 3115 jiwa (16,3%), dan buruh 2470 jiwa (12,7%).

Selebihnya berprofesi sebagai karyawan BUMN/BUMD/Swasta, pedagang,

guru, PNS/TNI/POLRI, pensiunan, dan lain-lain.

Penduduk Kelurahan Sawah Baru menurut tingkat pendidikan terdiri

dari tidak atau belum sekolah 2.704 jiwa, belum tamat SD 2.8.47 jiwa,

tamat SD 3.230 jiwa, SLTP 3.760 jiwa, SLTA 4.643 jiwa, Akademik atau

Diploma III 876 jiwa dan Strata I, II, III 1.349 jiwa.

Berdasarkan data profil Kota Tangerang Selatan pada tahun 2009

jumlah fasilitas kesehatan di Kelurahan Sawah Baru terdiri dari 1

Puskesmas Pembantu, 2 Klinik Umum/Gigi/Bersalin, 2 Rumah Bersalin, 5

Dokter Praktek, 8 Bidan Praktek, dan 20 Posyandu. Tenaga kesehatan

terdiri dari dokter umum 5 orang, dokter anak 2 orang, dokter kandungan 2

orang, dokter gigi 2 orang, dokter spesialis lainnya 3 orang, bidan 7 orang,

perawat 18 orang dan dukun bayi atau beranak 7 orang.

Kelurahan Sawah Baru memiliki beberapa sarana pendukung lain,

meliputi: 1) Sarana peribadatan (mesjid dan mushola), 2) Sarana

pendidikan (kelompok bermain, TK, SD, SLTP, SLTA, dan PONPES), 3)

Sarana olah raga (lapangan sepak bola, futsal, volley, badminton, basket,

dan kolam renang umum), 4) Sarana perdagangan (pertokoan/ruko, pasar

swalayan/toserba, restoran/rumah makan, dan warung), 5) Sarana Hiburan

Page 104: RINAWANG JADI

87

(Bilyar), 6) Sarana perbankan dan koperasi (Bank Perkreditan Rakyat,

koperasi non KUD dan koperasi jasa keuangan syariah), 7) Sarana jalan

dan jembatan.

5.2 Gambaran Hasil Analisis Univariat

Analisis univariat adalah distribusi frekuensi untuk mendapatkan

gambaran dari variabel dependen dan variabel independen.

5.2.1 Gambaran Kejadian Hipertensi pada Lansia di Kelurahan Sawah

Baru Tahun 2011

Keadaan hipertensi didapatkan dengan cara pengukuran tekanan

darah menggunakan alat sphygmomanometer air raksa dan stetoskop. Hasil

didapatkan dari rata-rata pengukuran yang dilakukan pada lengan kanan

dan lengan kiri. Hasil pengukuran hipertensi yang didapat dalam penelitian

ini akan dibandingkan berdasarkan The Joint National Committe on

Prevention, Detection Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure

(JNC-7) tahun 2003. Nilai batas dikatakan terdiagnosis hipertensi yaitu

memiliki tekanan darah sistolik (TDS) ≥140 mmHg dan atau tekanan darah

diastolik (TDD) ≥90 mmHg.

Rata-rata tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik

(TDD) lansia masih tergolong tinggi sesuai standar JNC, yaitu TDS sebesar

148,67 mmHg dan TDD sebesar 91,28 mmHg, dengan standar deviasi TDS

22,631 mmHg dan TDD 10,261 mmHg. Selain itu diketahui pula nilai

tekanan darah terendah yaitu 110 mmHg untuk TDS serta 70 mmHg untuk

Page 105: RINAWANG JADI

88

TDD dan pula nilai tekanan darah tertinggi yaitu 230 mmHg untuk TDS

serta 125 mmHg untuk TDD.

Adapun gambaran kejadian hipertensi pada kelompok lanjut usia di

Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan dapat

dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 5.1 Distibusi Frekuensi Kejadian Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kejadian Hipertensi Jumlah Persentase

Hipertensi 69 65,7 Tidak hipertensi 36 34,9

Total 105 100 Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa sebanyak 69 lansia (65,7%)

menderita hipertensi. Hasil tersebut menunjukkan proporsi lansia yang

menderita hipertensi lebih banyak daripada proporsi lansia yang tidak

menderita hipertensi.

5.2.2 Gambaran Jenis Kelamin pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru

Tahun 2011

Gambaran distribusi frekuensi jenis kelamin dapat dilihat pada tabel

5.2 dibawah ini:

Tabel 5.2 Distibusi Frekuensi Jenis Kelamin pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Perempuan 70 66,7 Laki-laki 35 33,3

Total 105 100

Page 106: RINAWANG JADI

89

Berdasarkan tabel 5.2 diketahui bahwa sebanyak 70 lansia (66,7%)

berjenis kelamin perempuan. Hasil tersebut menunjukkan proporsi lansia

yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak daripada proporsi lansia

yang berjenis kelamin laki-laki.

5.2.3 Gambaran Konsumsi Natrium pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru

Tahun 2011

Konsumsi natrium didapatkan dengan cara wawancara

menggunakan metode Food Frequency Questionare Semi Quantitative.

Hasil wawancara tersebut dibandingkan dengan angka kebutuhan konsumsi

natrium menurut WHO (1990), yaitu 2400 mg/hari atau setara akumulasi

dalam waktu 1 tahun yaitu 876 gr. Rata-rata konsumsi natrium lansia masih

lebih dari angka kebutuhan konsumsi yang dianjurkan, yaitu sebesar 920,04

gram/tahun, dengan standar deviasi 117,177 gram. Selain itu diketahui pula

konsumsi natrium terendah yaitu 605 gram/tahun dan konsumsi natrium

tertinggi yaitu 1.378 gram/tahun.

Adapun gambaran distribusi frekuensi konsumsi natrium dapat

dilihat pada tabel 5.3 dibawah ini:

Tabel 5.3 Distibusi Frekuensi Konsumsi Natrium pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Natrium Jumlah Persentase

Lebih 66 62,9 Cukup 39 37,1 Total 105 100

Page 107: RINAWANG JADI

90

Berdasarkan tabel 5.3 diketahui bahwa sebanyak 66 lansia (62,9%)

mengkonsumsi natrium dalam jumlah berlebih. Hal tersebut menunjukkan

bahwa proporsi lansia yang konsumsi natriumnya berlebih jumlahnya lebih

banyak daripada proporsi lansia yang konsumsi natriumnya cukup.

5.2.4 Gambaran Konsumsi Lemak pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru

Tahun 2011

Konsumsi lemak didapatkan dengan cara wawancara menggunakan

metode Food Frequency Questionare Semi Quantitative. Hasil wawancara

tersebut dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG) tahun 2004

yang diakumulasikan dalam setahun. Nilai konsumsi lemak dikatakan

cukup, yaitu sebesar ≤ 16.608 gr/tahun bagi lansia laki-laki dan ≤ 12 956

gr/tahun bagi lansia perempuan. Nilai Rata-rata konsumsi lemak lansia

masih dalam batas cukup dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan, yaitu

sebesar 8.708,61 gram/tahun, dengan standar deviasi 2.111,36 gram/tahun.

Selain itu diketahui pula konsumsi lemak terendah yaitu 1.844 gram/tahun

dan konsumsi lemak tertinggi yaitu 15.284 gram/tahun.

Adapun gambaran distribusi frekuensi konsumsi lemak dapat dilihat

pada tabel 5.4 dibawah ini:

Tabel 5.4 Distibusi Frekuensi Konsumsi Lemak pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Lemak Jumlah Persentase

Lebih 5 4,8 Cukup 100 95,2 Total 105 100

Page 108: RINAWANG JADI

91

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa sebanyak 100 lansia (95,2%)

mengkonsumsi lemak dalam jumlah cukup. Hal tersebut menunjukkan

bahwa proporsi lansia yang konsumsi lemaknya cukup lebih banyak

daripada proporsi lansia yang konsumsi lemaknya lebih.

5.2.5 Gambaran Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011

Konsumsi buah dan sayur didapatkan dengan cara wawancara

menggunakan metode Food Frequency Questionare Semi Quantitative.

Hasil wawancara tersebut dibandingkan dengan angka kebutuhan konsumsi

buah dan sayur dalam sehari menurut depkes, yaitu dikatakan cukup bila ≥

400 gr/hari. Rata-rata konsumsi buah dan sayur lansia masih kurang dari

angka kecukupan konsumsi yang dianjurkan, yaitu sebesar 205,75

gram/hari, dengan standar deviasi 101,26 gram/hari. Selain itu diketahui

pula konsumsi buah dan sayur terendah yaitu 59 gram/hari dan konsumsi

buah dan sayur tertinggi yaitu 561 gram/hari.

Adapun gambaran distribusi frekuensi konsumsi buah dan sayur

dapat dilihat pada tabel 5.5 dibawah ini:

Tabel 5.5 Distibusi Frekuensi Konsumsi Buah dan Sayur pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Buah dan Sayur Jumlah Persentase

Kurang 97 92,4 Cukup 8 7,6 Total 105 100

Page 109: RINAWANG JADI

92

Berdasarkan tabel 5.5 diketahui bahwa sebanyak 97 lansia (92,4%)

mengkonsumsi buah dan sayur dalam jumlah kurang. Hal tersebut

menunjukkan bahwa proporsi lansia yang konsumsi buah dan sayurnya

kurang lebih banyak daripada proporsi lansia yang konsumsi buah dan

sayurnya cukup.

5.2.6 Gambaran Konsumsi Air pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru

Tahun 2011

Gambaran distribusi frekuensi konsumsi air dapat dilihat pada tabel

5.6 dibawah ini:

Tabel 5.6 Distibusi Frekuensi Konsumsi Air pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Konsumsi Air Jumlah Persentase

Kurang 53 50,5 Cukup 52 49,5 Total 105 100

Berdasarkan tabel 5.6 diketahui bahwa sebanyak 53 lansia (50,5%)

konsumsi airnya kurang. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang

konsumsi airnya kurang lebih banyak daripada proporsi lansia yang

konsumsi airnya cukup.

Selain itu diketahui pula informasi tentang banyaknya konsumsi air

dalam gelas yang dikatakan kurang. Lansia yang mengkonsumsi air ≤ lima

gelas/hari sebanyak lima lansia (4,8%) dan enam sampai tujuh gelas/hari

sebanyak 48 lansia (45,7%).

Page 110: RINAWANG JADI

93

5.2.7 Gambaran Kegiatan Olah Raga pada Lansia di Kelurahan Sawah

Baru Tahun 2011

Gambaran distribusi frekuensi kegiatan olah raga dapat dilihat pada

tabel 5.7 dibawah ini:

Tabel 5.7 Distibusi Frekuensi Kegiatan Olah Raga pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kegiatan Olah Raga Jumlah Persentase

Tidak Olah Raga 52 49,5 Olah Raga 53 50,5

Total 105 100 Berdasarkan tabel 5.7 diketahui bahwa sebanyak 53 lansia (50,5%)

melakukan kegiatan olah raga. Hal ini menunjukkan bahwa proporsi lansia

yang melakukan kegiatan olah raga lebih banyak daripada proporsi lansia

yang tidak melakukan kegiatan olah raga.

5.2.8 Gambaran Merokok pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun

2011

Gambaran distribusi frekuensi merokok dapat dilihat pada tabel 5.8

dibawah ini:

Tabel 5.8 Distibusi Frekuensi Merokok pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Merokok Jumlah Persentase

Merokok/Pernah merokok 41 39 Tidak merokok 64 61

Total 105 100

Berdasarkan tabel 5.8 diketahui bahwa sebanyak 64 lansia (61%)

tidak merokok. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang tidak

Page 111: RINAWANG JADI

94

merokok lebih banyak daripada proporsi lansia yang merokok/pernah

merokok. Selain itu diketahui pula bahwa dari 41 lansia yang merokok 20

lansia diantaranya sudah berhenti merokok.

5.2.9 Gambaran Kejadian Stres pada Lansia Di Kelurahan Sawah Baru

Tahun 2011

Gambaran distribusi frekuensi kejadian stres dapat dilihat pada

tabel 5.9 dibawah ini:

Tabel 5.9 Distibusi Frekuensi Kejadian Stress pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kejadian Stres Jumlah Persentase

Stres 65 61,9 Tidak stres 40 38,1

Total 105 100

Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa sebanyak 65 lansia (61,9%)

mengalami kejadian stress. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang

mengalami stress lebih banyak daripada proporsi lansia yang tidak

mengalami stress.

5.2.10 Gambaran Kejadian Obesitas pada Lasia di Kelurahan Sawah Baru

Tahun 2011

Kejadian obesitas didapatkan dari hasil pengukuran tinggi badan

(TB) dan berat badan (BB) dengan menggunakan rumus IMT (kg/m2). Hasi

pengukuran tersebut dibandingkan dengan klasifikasi IMT berdasarkan

Depkes (2006). Nilai seseorang dikategorikan mengalami obesitas, yakni

nilai IMT > 25 kg/m2. Rata-rata IMT lansia dalam masih dalam kategori

Page 112: RINAWANG JADI

95

tidak obesitas atau normal (IMT ≤ 25 kg/m2), yaitu sebesar 23,41 kg/m2,

dengan standar deviasi 3,86 kg/m2. Selain itu, diketahui pula nilai IMT

terendah yaitu 14,8 kg/m2 dan nilai IMT tertinggi yaitu 33,7 kg/m2.

Gambaran distribusi frekuensi kejadian obesitas dapat dilihat pada

tabel 5.10 dibawah ini:

Tabel 5.10 Distibusi Frekuensi Kejadian Obesitas pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011 Kejadian Obesitas Jumlah Persentase

Obesitas 28 26,7 Tidak obesitas 77 73,3

Total 105 100 Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa sebanyak 77 lansia (73,3%)

tidak mengalami obesitas. Hal tersebut menunjukkan proporsi lansia yang

tidak mengalami obesitas lebih besar daripada proporsi lansia yang

obesitas.

5.3 Gambaran Hasil Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan mengetahui hubungan dan besar risiko dari

masing-masing faktor risiko (variabel independen) dan kejadian hipertensi

(variabel dependen) dengan menggunakan uji Chi Square. Dikatakan bermakna

jika nilai p ≤ 0,05 dan tidak bermakna jika mempunyai nilai p > 0,05.

Gambaran dari analisis bivariat akan disajikan dalam sub bab dibawah ini.

Page 113: RINAWANG JADI

96

5.3.1 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat jenis kelamin dengan hipertensi disajikan

pada tabel 5.11 dibawah ini:

Tabel 5.11 Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Jenis Kelamin

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

1,000 Perempuan 46 65,7 24 34,3 70 100 Laki-laki 23 65,7 12 34,3 35 100

Total 69 65,7 36 34,3 105 100 Berdasarkan table 5.11, hasil analisis hubungan antara jenis kelamin

dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 70 responden yang jenis

kelaminnya perempuan, terdapat 46 responden (65,7%) yang menderita

hipertensi. Sedangkan diantara 35 responden yang jenis kelaminnya laki-

laki, terdapat 23 responden (65,75%) yang menderita hipertensi. Dari hasil

uji statistic diperoleh nilai Pvalue sebesar 1,000. Hal ini menunjukkan

bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada hubungan yang

bermakna antara jenis kelamin dengan hipertensi kelompok lansia.

5.3.2 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara konsumsi natrium dengan hipertensi

disajikan pada tabel 5.12 dibawah ini:

Page 114: RINAWANG JADI

97

Tabel 5.12 Hubungan Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Konsumsi Natrium

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

0.000 Lebih 65 98,5 1 1,5 66 100 Cukup 4 10,3 35 89,7 39 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100

Berdasarkan table 5.12, hasil analisis hubungan antara konsumsi

natrium dalam satu tahun terakhir dengan hipertensi diperoleh bahwa

diantara 66 responden yang konsumsi natriumnya lebih, terdapat 65

responden (98,5%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara 39

responden yang konsumsi natriumnya cukup, terdapat empat responden

(10,3%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistic diperoleh nilai

Pvalue sebesar 0,000. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan

5 %, artinya ada hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan

hipertensi kelompok lansia.

5.3.3 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara konsumsi lemak dengan hipertensi

disajikan pada tabel 5.13 dibawah ini:

Page 115: RINAWANG JADI

98

Tabel 5.13 Hubungan Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Konsumsi Lemak

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

0,658 Lebih 4 80 1 20 5 100 Cukup 65 65 35 35 100 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100

Berdasarkan table 5.13, hasil analisis hubungan antara konsumsi

lemak dalam 1 tahun terakhir dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara

lima responden yang konsumsi lemaknya lebih, terdapat empat responden

(80%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara 100 responden

yang konsumsi lemaknya cukup, terdapat 65 responden (65%) yang

terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistic diperoleh nilai Pvalue sebesar

0,658. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya

tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan

hipertensi kelompok lansia.

5.3.4 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada

Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara konsumsi buah dan sayur dengan

hipertensi disajikan pada tabel 5.14 dibawah ini:

Page 116: RINAWANG JADI

99

Tabel 5.14 Hubungan Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Konsumsi Buah

dan Sayur

Hipertensi Total

P- Valu

e Hipertensi Tidak

Hipertensi N % N % N %

0,019 Kurang 67 69,1 30 30,9 97 100 Cukup 2 25 6 75 8 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100

Berdasarkan table 5.14, hasil analisis hubungan antara konsumsi

buah dan sayur dalam satu hari dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara

97 responden yang konsumsi buah dan sayurnya kurang, terdapat 67

responden (69,1%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara

delapan responden yang konsumsi buah dan sayurnya cukup, terdapat dua

responden (25%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik

diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,019. Hal ini menunjukkan bahwa pada

tingkat kemaknaan 5 %, artinya ada hubungan yang bermakna antara

konsumsi buah dan sayur dengan hipertensi kelompok lansia.

5.3.5 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara konsumsi air dengan hipertensi

disajikan pada tabel 5.15 dibawah ini:

Page 117: RINAWANG JADI

100

Tabel 5.15 Gambaran Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Konsumsi Air

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

0,131 Kurang 39 73,6 14 26,4 53 100 Cukup 30 57,7 22 42,3 52 100 Total 69 65,7 36 34,3 105 100

Berdasarkan table 5.15, hasil analisis hubungan antara konsumsi air

dalam satu hari dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 53 responden

yang konsumsi airnya kurang, terdapat 39 responden (73,6%) yang

terdiagnosis hipertensi. Sedangkan diantara 52 responden yang konsumsi

airnya cukup, terdapat 30 responden (57,7%) yang terdiagnosis hipertensi.

Dari hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,131. Hal ini

menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada

hubungan yang bermakna antara konsumsi air dengan hipertensi kelompok

lansia.

Berdasarkan hasil analisis, diketahui pula dari 53 responden yang

mengkonsumsi air kurang terdapat 4,8% lansia dengan konsumsi air ≤ lima

gelas/hr dan 45,7% dengan konsumsi air enam sampai tujuh gelas/hr.

5.3.6 Hubungan antara Olah Raga dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara olah raga dengan hipertensi disajikan

pada tabel 5.16 dibawah ini:

Page 118: RINAWANG JADI

101

Tabel 5.16 Gambaran Olah Raga dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Olah Raga

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

0,075 Tidak 39 75 13 25 52 100 Ya 30 56,6 23 43,4 53 100

Total 69 65,7 36 34,3 105 100 Berdasarkan table 5.16, hasil analisis hubungan antara olah raga

dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 52 responden yang tidak

melakukan olah raga, terdapat 39 responden (75%) yang terdiagnosis

hipertensi. Sedangkan diantara 53 responden yang melakukan olah raga,

terdapat 30 responden (56,6%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji

statistik diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,075. Hal ini menunjukkan bahwa

pada tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada hubungan yang bermakna

antara olah raga dengan hipertensi kelompok lansia.

5.3.7 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara merokok dengan hipertensi disajikan

pada tabel 5.17 dibawah ini:

Page 119: RINAWANG JADI

102

Tabel 5.17 Gambaran Merokok dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Merokok

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

0,656 Merokok/pernah 28 68,3 13 31,7 41 100 Tidak merokok 41 64,1 23 35,9 64 100

Total 69 65,7 36 34,3 105 100 Berdasarkan table 5.17, hasil analisis hubungan antara merokok

dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 41 responden yang merokok,

terdapat 28 responden (68,3%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan

diantara 64 responden yang tidak merokok, terdapat 41 responden (64,1%)

yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai Pvalue

sebesar 0,656. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan 5 %,

artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan

hipertensi kelompok lansia.

5.3.8 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara stres dengan hipertensi disajikan pada

tabel 5.18 dibawah ini:

Page 120: RINAWANG JADI

103

Tabel 5.18 Hubungan Stres dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Stres

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

0,109 Stres 47 72,3 18 27,7 65 100 Tidak stres 22 55 18 45 40 100

Total 69 65,7 36 34,3 105 100

Berdasarkan table 5.18, hasil analisis hubungan antara stres dengan

hipertensi diperoleh bahwa diantara 65 responden yang mengalami stres,

terdapat 47 responden (72,3%) yang terdiagnosis hipertensi. Sedangkan

diantara 40 responden yang tidak mengalami stres, terdapat 22 responden

(55%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik diperoleh nilai

Pvalue sebesar 0,109. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kemaknaan

5 %, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara stres dengan

hipertensi kelompok lansia.

5.3.9 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hasil analisis bivariat antara obesitas dengan hipertensi disajikan

pada tabel 5.19 dibawah ini:

Page 121: RINAWANG JADI

104

Tabel 5.19 Hubungan Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia

di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Obesitas

Hipertensi Total P-

value Hipertensi Tidak Hipertensi

N % N % N %

0,150 Obesitas 22 78,6 6 21,4 28 100 Tidak obesitas 47 61 30 39 77 100

Total 69 65,7 36 34,3 105 100

Berdasarkan table 5.19, hasil analisis hubungan antara obesitas

dengan hipertensi diperoleh bahwa diantara 28 responden yang mengalami

obesitas, terdapat 22 responden (78,6%) yang terdiagnosis hipertensi.

Sedangkan diantara 77 responden yang tidak mengalami obesitas, terdapat

47 responden (61%) yang terdiagnosis hipertensi. Dari hasil uji statistik

diperoleh nilai Pvalue sebesar 0,150. Hal ini menunjukkan bahwa pada

tingkat kemaknaan 5 %, artinya tidak ada hubungan yang bermakna antara

obesitas dengan hipertensi kelompok lansia.

Page 122: RINAWANG JADI

105

BAB VI

PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dapat mempengaruhi

hasil penelitian, antara lain:

1. Responden pada penelitian ini adalah usia lanjut, beberapa orang mungkin

memiliki keterbatasan daya ingat atau cepat merasa jenuh dengan pertanyaan

yang terlalu banyak sehingga pada saat menjawab responden terburu-buru

atau semaunya. Maka dari itu, pewawancara harus memiliki kemampuan

yang baik dalam mengatur jalannya wawancara sehingga responden tidak

terlalu jenuh.

2. Pengumpulan data makanan untuk konsumsi natrium, lemak serta buah dan

sayur dengan menggunakan Food Frequency Questionare Semi

Quantitative, yang tentunya memiliki kelemahan dalam tingkat ketelitiannya

karena memerlukan daya ingat lansia ketika mengkonsumsinya dalam waktu

setahun. Hal ini dimungkinkan lansia bisa saja lupa dengan makanan yang

dikonsumsinya, sehingga hanya mengira-ngira ketika menjawab kuesioner

tersebut.

3. Ketepatan diagnosis penyakit. Hal ini dapat menyebabkan bias, karena

dalam penelitian ini untuk mendiagnosis seseorang terkena hipertensi hanya

menggunakan pengukuran tekanan darah dan faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap tekanan darah tanpa adanya pemeriksaan laboratorium

Page 123: RINAWANG JADI

106

atau pemeriksaan diagnosis lainnya. Untuk mengurangi terjadinya bias,

maka pengukuran tekanan darah dilakukan sebanyak tiga kali dalam waktu

yang berbeda selama satu minggu dan menanyakan kepada responden

”apakah pernah terdiagnosis hipertensi oleh dokter”.

6.2 Gambaran Kejadian Hipertensi pada Lansia di Kelurahan Sawah Baru

Tahun 2011

Di negara maju saat ini hanya sedikit pasien hipertensi dengan tekanan

darah yang terkontrol (TDS <140, TDD <90 mmHg), hal ini disebabkan oleh

pengobatan yang tidak maksimal pada lansia yaitu <140/90 (Suhardjono, 2006).

Hasil penelitian riskesdas (2007) menyebutkan bahwa prevalensi hipertensi di

Indonesia berdasarkan kasus minum obat atau terdiagnosis oleh tenaga kesehatan

yakni sebesar 65,2% pada lansia (usia 55 tahun keatas) lebih besar dibandingkan

pada usia orang dewasa (usia <55 tahun) sebesar 22,7%.

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik yang

menetap. Tekanan darah yang normal adalah 120/80 mmHg (Sunardi, 2000).

Saat ini Cut-off point yang biasa digunakan untuk menentukan seseorang

menderita hipertensi adalah berdasarkan The Seventh Report of Joint National

Committee (JNC-7) tahun 2003 adalah dikatakan hipertensi derajat 1, jika TDS

140-159 mmHg dan TDD 90-99, serta dikatakan hipertensi derajat 2, jika TDS

≥160 mmHg dan TDD ≥100 mmHg (Yogiantoro, 2006).

Page 124: RINAWANG JADI

107

Pada penelitian ini, hipertensi dikelompokkan ke dalam dua kategori

yaitu dikatakan hipertensi, jika TDS ≥140 mmHg dan atau TDD ≥90 mmHg dan

tidak hipertensi, jika TDS <140 mmHg dan atau TDD <90 mmHg.

Hasil penelitian di Kelurahan Sawah Baru didapatkan nilai rata-rata

tekanan darah lansia masih dikatakan tinggi yaitu TDS sebesar 148,68 mmHg

dan TDD sebesar 91,28 mmHg. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa

proporsi lansia yang menderita hipertensi (65,7%) jumlahnya lebih banyak

daripada lansia yang tidak menderita hipertensi (34,9%). Angka prevalensi

hipertensi lansia tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi sewilayah

kerja Puskesmas Kampung Sawah pada tahun 2009 yaitu sebesar 33,94%.

Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa kejadian hipertensi

pada kelompok lanjut usia (55 tahun keatas) di Kelurahan Sawah Baru lebih

tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Hasirungan (2002) pada lansia (55

tahun keatas) di Kota Depok, yaitu sebesar 57,4%. Selain itu, angka prevalensi

hipertensi di Kelurahan Sawah Baru tersebut sudah termasuk dalam kategori

tinggi menurut batas yang ditetapkan oleh Depkes RI (2000) untuk usia 50 tahun

keatas yaitu melebihi 20-30%. Hal ini sudah termasuk dalam masalah kesehatan

masyarakat yang tinggi maka itu diperlukan adanya penanggulangan yang baik

dalam mengurangi kejadian hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru.

Pengendalian yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kejadian

hipertensi adalah dengan melakukan program gaya hidup sehat seperti: tidak

merokok, olah raga teratur, mengurangi asupan garam natrium, lemak, banyak

konsumsi buah dan sayur, mengontrol berat badan, menciptakan suasana rileks

Page 125: RINAWANG JADI

108

dan lain-lain. Selain itu, untuk mengendalikan agar seseorang yang terdiagnosis

hipertensi diperlukan pengobatan hipertensi dalam mengurangi morbiditas dan

mortalitas kardiovaskular akibat dampak kelanjutan dari tekanan darah tinggi.

Perubahan gaya hidup juga diperlukan terutama diet rendah garam. Akibat yang

ditimbulkan dari seseorang yang menderita hipertensi baik pada lansia maupun

orang dewasa muda adalah sama. Namun, pada lansia risiko terjadinya

komplikasi lebih besar (Yogiantoro, 2006).

Dalam Gray (2005) dan Suhardjono (2006) diketahui bahwa hipertensi

yang tidak diobati akan mempengaruhi semua sistem organ dan memperpendek

harapan hidup sebesar 10-20 tahun. Selain itu, efek dari penurunan tekanan

darah dapat mencegah demensia dan penurunan kognitif serta terjadinya

kerusakan organ yang berkaitan dengan derajat keparahan dari penyakit

hipertensi tersebut, seperti penyakit jantung, gagal ginjal, stroke, penyakit mata

dan pembuluh darah

Dari hasil kuesioner juga diketahui bahwa proporsi lansia yang

memeriksakan tekanan darahnya dalam satu bulan terakhir sebelum

dilakukannya pemeriksaan tekanan darah oleh peneliti sebanyak 48 lansia

(45,7%) dan proporsi lansia yang tidak memeriksakan tekanan darahnya

sebanyak 57 lansia (54,3%). Diketahui pula dari 105 lansia sebanyak 50 lansia

(47,6%) pernah terdiagnosa hipertensi sebelumnya oleh tenaga kesehatan. Selain

itu, dari 50 lansia yang pernah terdiagnosis hipertensi 35 lansia (70%)

diantaranya telah melakukan pemeriksaan atau pengontrolan terhadap tekanan

darahnya dan dari 55 lansia yang belum pernah terdiagnosis hipertensi, 13 lansia

Page 126: RINAWANG JADI

109

(23,6%) diantaranya telah melakukan telah melakukan pemeriksaan atau

pengontrolan terhadap tekanan darahnya.

Menurut teori-teori dan hasil penelitian diketahui bahwa terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian hipertensi pada seseorang,

terutama lansia. Diantaranya yaitu jenis kelamin, konsumsi natrium, konsumsi

lemak, konsumsi buah dan sayur, konsumsi air, olah raga, merokok, stres serta

obesitas. Hasil analisis data pada penelitian ini menunjukkan terdapat faktor

diatas yang berhubungan dengan kejadian hipertensi pada lansia di Kelurahan

Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2010.

Hubungan antara faktor independen dengan faktor dependen tersebut akan

dijelaskan pada sub bab berikutnya.

6.3 Hubungan antara Jenis Kelamin dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Dalam Depkes (2006), hipertensi lebih banyak didapatkan pada laki-laki

dibandingkan perempuan, karena laki-laki memiliki gaya hidup yang cenderung

meningkatkan tekanan darah dibanding wanita, seperti merokok. Namun setelah

memasuki masa menepouse, prevalensi hipertensi pada wanita meningkat.

Menurut Kumar, et all, (2005), wanita yang belum mengalami menopause

dilindungi oleh hormon estrogen yang berperan meningkatkan kadar High

Density Lipoprotein (HDL) sehingga mencegah terbentuknya aterosklerosis.

Sebelum memasuki masa menepouse, wanita mulai kehilangan hormon estrogen

Page 127: RINAWANG JADI

110

sedikit demi sediki dan sampai masanya hormon estrogen harus mengalami

perubahan sesuai dengan umur wanita, yaitu dimulai sekitar umur 45-55 tahun.

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia berjenis

kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lansia berjenis kelamin

laki-laki. Selain itu diketahui pula bahwa lansia yang jenis kelamin perempuan

lebih banyak menderita hipertensi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Gray

(2005) bahwa di usia 45 tahun keatas wanita dipengaruhi oleh hormon estrogen

yang dapat melindungi tubuh dari penyakit kardiovaskuler.

Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh tidak terdapatnya hubungan yang

bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Sulistiani (2005) diketahui bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan kejadian

hipertensi. Namun, hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian Yuliarti

(2007). Dengan kata lain, hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang

berlawanan dengan teori-teori yang disebutkan diatas. Demikian juga Herke

(1995) tidak dapat membuktikan bahwa perempuan mempunyai risiko hipertensi

yang lebih besar daripada laki-laki, walaupun diperoleh proporsi hipertensi lebih

tinggi pada perempuan.

Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh telah menebalnya dinding

arteri akibat dari akumulasi menumpuknya zat kolagen pada lapisan otot selama

bertahun-tahun, yang berdampak pada penyempitan dan pengerasan pembuluh

darah. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh penurunan refleks baroreseptor dan

Page 128: RINAWANG JADI

111

fungsi ginjal. Sehingga hal-hal tersebut dapat memicu timbulnya hipertensi tanpa

memandang jenis kelamin laki-laki ataupun perempuan (Kumar, et all, 2005).

Price dan Wilson (2002) menambahkan bahwa penyebab hipertensi dapat

disebabkan pula oleh penurunan elastisitas pembuluh darah sehingga pembuluh

darah menjadi kaku. Pembuluh darah tidak dapat menjalankan fungsinya dengan

baik untuk mengembang pada saat jantung memompa darah melalui pembuluh

darah tersebut. Sehingga jantung harus meningkatkan denyutnya pada pembuluh

darah yang menyempit agar aliran darah dapat didistribusikan keseluruh tubuh.

Hal ini menyebabkan naiknya tekanan darah.

Selain itu, adanya faktor lain yang mendukung adalah adanya faktor

psikologis. Salah satu contohnya adalah baik perempuan maupun laki-laki pada

ketika memasuki usia lansia kecenderungan mengalami depresi atau stres.

Disebabkan oleh status pekerjaan ataupun sudah tidak bekerja lagi

(pengangguran). Selain itu, seseorang yang pendapatannya rendah kurang

memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada sehingga kurang mendapatkan

pengobatan yang baik ketika seseorang menderita hipertensi (Sutanto, 2010 dan

Baliwati, 2004).

6.4 Hubungan antara Konsumsi Natrium dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Menurut Almatsier (2001) dan (2006), natrium adalah suatu komponen

dalam darah. Sumber utama natrium adalah garam dapur atau NaCl. WHO

menganjurkan untuk mengkonsumsi garam kurang dari enam gram/hari setara

Page 129: RINAWANG JADI

112

dengan 2400 mg/hari. Salah satu dari fungsi natium dalam tubuh, yaitu mengatur

osmolaritas volume darah yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan

masuk ke dalam sel-sel serta membantu transmisi kontraksi otot.

Dalam Hull (1996) diketahui bahwa meningkatnya asupan garam lama-

kelamaan dapat menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena menarik

cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, selain itu dapat mengecilkan diameter

arteri. Sehingga berdampak pada peningkatan volume dan tekanan darah

meningkatkan.

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia yang

konsumsi natriumnya berlebih jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan

lansia yang konsumsi natriumnya cukup. Akibat proses menua, seseorang

mengalami penurunan sensitifitas indera pengecapan dan perasa yang

mengakibatkan berkurangnya nafsu makan. Hal tersebut mengakibatkan

penggunaan bumbu masak atau garam dalam jumlah yang lebih banyak

(Arisman, 2004 dan Sari, 2006). Diketahui pula bahwa lansia yang konsumsi

natriumnya berlebih cenderung menderita hipertensi. Almatsier (2006)

memaparkan bahwa kelebihan natrium yang berkepanjangan bisa mengakibatkan

keracunan, edema serta hipertensi.

Berdasarkan uji statistik diketahui bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara konsumsi natrium dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian

ini sejalan dengan hasil penelitian Widiastuti (2006) yang menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang bermakna antara asupan natrium dengan hipertensi pada

usia lanjut. Namun, berlawanan dengan penelitian Hasirungan (2002) bahwa

Page 130: RINAWANG JADI

113

tidak terdapatnya hubungan yang bermakna antara konsumsi natrium dengan

kejadian hipertensi pada lansia.

Menurut Williams (1991) dalam Aisyiyah (2009) dan Cahyono (2008),

pada penderita hipertensi maupun non hipertensi, pengaturan, pencegahan

maupun perbaikan pola makan, salah satunya dapat dilakukan dengan

mengurangi konsumsi natrium sebanyak 1.500 mg/hr (2/3 sendok teh sehari).

Karena setiap individu memiliki sensitivitas yang berbeda terhadap jumlah

natrium yang dikonsumsinya didalam tubuh.

Berikut ini merupakan mekanisme terjadinya hipertensi akibat kadar

natrium yang berlebih, yaitu pengaturan keseimbangan natrium dalam darah

diatur oleh ginjal. Asupan natrium yang terlalu tinggi secara terus menerus atau

adanya gangguan fungsi ginjal menyebabkan keseimbangan natrium terganggu.

Hal ini terjadi jika terdapat kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu

membuang sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Hal ini menyebabkan

natrium tidak dapat atau sedikit dikeluarkan sehingga kadar natrium dalam darah

tinggi. Penurunan pengeluaran natrium akan diikuti dengan penahanan air.

Bertambahnya cairan dalam sirkulasi menyebabkan peningkatan volume

darah dalam tubuh, sehingga tekanan darahpun meningkat (Price dan Wilson,

2002).

Dari hasil food frekuency questioner diketahui bahwa rata-rata lansia baik

yang menderita hipertensi maupun yang tidak hipertensi masih tinggi dalam

mengkonsumsi garam, bumbu masak atau penyedap disetiap pengolahan bahan

makanan disertai mengkonsumsi makanan yang mengandung kadar natrium

Page 131: RINAWANG JADI

114

tinggi, seperti konsumsi mie instan, ikan asin dan ikan teri kering dalam jangka

waktu yang dekat.

Hal ini sependapat dengan Suhardjo (2006), Cahyono (2008) dan Hull

(1996) memaparkan bahwa kesukaan, rasa atau kenikmatan terhadap makanan

berpengaruh terhadap pemilihan makanan. Makanan asin dan siap saji dapat

meningkatkan nafsu makan seseorang karena rasanya yang gurih. Sehingga jika

seseorang menyukai dan terbiasa mengkonsumsi makanan sumber natrium

seperti ikan asin, maka akan cenderung mengkonsumsinya terus-menerus.

6.5 Hubungan antara Konsumsi Lemak dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Hull (1996) menjelaskan bahwa asupan lemak tinggi berhubungan

dengan meningkatnya tekanan darah. Penurunan konsumsi lemak jenuh dan

peningkatan konsumsi lemak tidak jenuh dapat menurunkan tekanan darah.

Cahyono (2008) menambahkan bahwa didalam usus makanan yang berlemak

akan dirubah menjadi kolesterol. Kolesterol yang tinggi dapat menyebabkan

terjadinya ateroklerosis. Pembentukan ateroklerosis ini, lama-kelamaan

membentuk plak yang berdampak pada penyempitan dan berkurangnya

elastisitas pembuluh darah.

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa sebagian besar lansia

mengkonsumsi lemak dalam jumlah yang cukup. Almatsier (2001) mamaparkan

bahwa konsumsi lemak berlebih yang berasal dari hewani cenderung

meningkatkan kolesterol yang berisiko terhadap hipertensi. Dalam penelitian

Page 132: RINAWANG JADI

115

diketahui bahwa lansia cenderung kurang dalam mengkonsumsi lemak yang

berasal dari hewan. Diperoleh juga bahwa lansia yang menderita hipertensi lebih

besar pada lansia yang mengkonsumsi lemak cukup.

Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian hipertensi. Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Hasirungan (2001) yang menunjukkan

bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan

kejadian hipertensi. Namun, hasil penelitian ini berlawanan dengan penelitian

Abdullah (2005) yang menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara

konsumsi lemak berlebih dengan kejadian hipertensi. Preuss (1996) juga

menyatakan pada penelitian ditujuh negara, rata-rata tekanan darah populasi

berkorelasi signifikan dengan rata-rata konsumsi lemak jenuh, tetapi tidak

dengan diet lemak total.

Tidak adanya hubungan pada penelitian ini kemungkinan disebabkan oleh

adanya perbedaan dalam analisis, dimana dalam penelitian ini yang dianalisis

adalah total lemak, sedangkan hasil penelitian lain yang menunjukkan adanya

hubungan adalah meneliti salah satu komponen dari lemak tersebut, seperti

lemak jenuh atau kolesterol, trigliserida, dan LDL (low density lipoprotein).

Menurut Cahyono (2008) diketahui bahwa arterioklerosis terjadi akibat

konsumsi lemak berlebih sehingga menyebabkan penumpukan kolesterol (plak)

pada dinding pembuluh darah dalam kurun waktu bertahun-tahun. Artinya dalam

penelitian ini analisis konsumsi lemak hanya dalam waktu yang relatif singkat

yaitu satu tahun. Sedangkan proses terjadinya arterioklerosis yang mencetuskan

Page 133: RINAWANG JADI

116

penyakit hipertensi diperlukan dalam waktu bertahun-tahun bukan dengan waktu

singkat yang ditetapkan dalam penelitian ini. Diasumsikan bahwa pada masa

mudanya lansia kemungkinan mengkonsumsi lemak yang berlebih sehingga

memiliki risisko hipertensi, tetapi ketika memasuki masa tua mereka melakukan

pengurangan konsumsi makanan sumber lemak. Dalam penelitian ini tidak bisa

memperlihatkan besarnya konsumsi lemak pada masa muda lansia.

Diketahui pula dari hasil tabulasi silang antara konsumsi lemak dengan

konsumsi natrium bahwa lansia yang mengkonsumsi lemak cukup ternyata

memiliki kecenderung mengkonsumsi natrium lebih (93,9%). Artinya seseorang

berisiko menderita hipertensi akibat konsumsi natrium yang berlebih walaupun

konsumsi lemaknya dalam jumlah yang cukup. Lansia cenderung mengkonsumsi

bahan makanan tinggi natrium daripada bahan makanan tinggi lemak. Dari hasil

food frekuency questioner diketahui bahwa lansia cenderung sering

mengkonsumsi makanan ikan asin. Dalam ikan asin hanya mengandung lemak

sebesar 0,3 gram. Selain itu, makanan sumber lemak yang paling banyak

dikonsumsi lansia adalah daging ayam dan telur ayam sedangkan daging

kambing atau sejenisnya yang mengandung kadar lemak yang tinggi pula jarang

dikonsumsi lansia.

Suhardjo (2006) menyatakan bahwa kesukaan terhadap makanan

mempunyai pengaruh terhadap pemilihan makanan. Sehingga jika seseorang

tidak suka terhadap makanan sumber lemak, maka akan cenderung tidak

memilih makanan tersebut untuk dikonsumsi oleh dirinya. Tetapi jika seseorang

menyukai ikan asin maka akan sering pula mengkonsumsinya. Hal ini diperkuat

Page 134: RINAWANG JADI

117

oleh Depkes (2006) bahwa efek dari penurunan tekanan darah pada penderita

hipertensi didapat dengan mengurangi asupan garam.

6.6 Hubungan antara Konsumsi Buah dan Sayur dengan Hipertensi pada

Lansia di Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Mengkonsumsi buah dan sayur sangatlah penting bagi kesehatan tubuh

karena mengandung berbagai mineral, vitamin serta serat (Depkes, 2008).

Asupan serat yang cukup dapat menetralisir kenaikan kadar lemak darah

(Sutanto, 2010). Seseorang yang melakukan diet vegetarian, mengkonsumsi

rendah lemak akan memiliki risiko hipertensi yang rendah. Selain itu, asupan

tinggi serat dan tinggi kalium, atau asupan garam yang berkurang dapat

menyebabkan penurunan tekanan darah (Hull, 1996).

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa lansia yang kurang

mengkonsumsi buah dan sayur jumlahnya lebih banyak. Kompas (2011) dan

Suhardjo (2006) memaparkan kurangnya konsumsi buah dan sayur kemungkinan

disebabkan oleh faktor budaya atau sosial ekonomi yang merupakan penyebab

utama perilaku konsumsi masyarakat. Selain itu, masih rendahnya kesadaran

masyarakat untuk mengkonsumsi sayur-sayuran dikarenakan sayur bukan

merupakan menu utama, bagi penduduk Indonesia menu utama adalah nasi.

Maka hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam mengkonsumsi buah dan

sayur. Diperoleh pula hasil bahwa lansia yang kurang dalam mengkonsumsi

buah dan sayur memiliki kecenderungan untuk menderita hipertensi. Hal ini

sependapat dengan Appel LJ, et al (1997) bahwa konsumsi buah dan sayur

Page 135: RINAWANG JADI

118

berhubungan dengan penurunan tekanan darah, karena mengandung kalium dan

magnesium.

Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan terdapat hubungan yang

bermakna antara konsumsi buah dan sayur dengan kejadian hipertensi. Penelitian

ini sejalan dengan penelitian Dauchet et al. (2007) dalam Aisyiyah (2009),

menyebutkan bahwa peningkatan konsumsi sayur dan buah, penurunan

konsumsi lemak pangan, disertai dengan penurunan konsumsi lemak total dan

lemak jenuh, dapat menurunkan tekanan darah. Konsumsi buah dan sayur >400

gr/hari dapat menurunkan risiko hipertensi dengan bertambahnya umur. Hal ini

disebabkan oleh beberapa faktor yaitu aktivitas antioksidan, pengaruh serat,

mineral kalium, dan magnesium.

Almatsier (2003) memaparkan bahwa mengkonsumsi antioksidan sejak

dini dapat mencegah kerusakan pembuluh darah dan menangkap radikal bebas.

Susanto (2010) mengungkapkan bahwa antioksidan yang berperan khusus adalah

golongan flavonoid, yang dapat mengurangi dampak dari kolesterol dan

mencegah terjadinya pengumpalan darah.

Krisnatuti (2005) juga memaparkan bahwa serat pangan berguna untuk

membantu pengeluaran kolesterol melalui feces. Selain itu konsumsi serat

sayuran dan buah akan mempercepat rasa kenyang, sehingga dapat mengurangi

penambahan energi dan obesitas, yang berefek pada menurunnya risiko

hipertensi. Iqbal (2008) menambahkan bahwa serat berfungsi untuk menurunkan

kadar kolesterol, mengatur kadar gula darah dan menurunkan tekanan darah.

Penelitian Ledikwe et al. (2007) pada penderita prehipertensi dan hipertensi

Page 136: RINAWANG JADI

119

ringan, menemukan hubungan nyata antara konsumsi pangan yang memiliki

densitas energi rendah dengan penurunan berat badan.

Selain itu efek penurunan tekanan darah disebabkan pula oleh adanya

mineral kalium, kalsium dan magnesium. Almatsier (2001), Candraningrum

(2010), Subecha (2011) dan Hull (1996) memaparkan bahwa kalium bersama

natrium berperan dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta

keseimbangan asam basa. Kekurangan kalium dapat menyebabkan jantung

berdebar dan menurunnya kemampuan dalam memompa darah. Selain itu,

penambahan kalsium di masa tua penting dalam membantu menurunkan tekanan

darah, karena kalsium berperan untuk mendorong keluarnya natrium lewat air

seni akibat keterbatasan menyalurkan natrium dari tubuh. Ditambahkan dengan

mengkonsumsi magnesium dalam jumlah yang cukup, berfungsi untuk

melebarkan dan merilekskan pembuluh darah sehingga aliran darah menjadi

lancar.

6.7 Hubungan antara Konsumsi Air dengan Hipertensi pada Lansia di

Kelurahan Sawah Baru Tahun 2011

Menurut Almatsier (2001), air atau cairan tubuh merupakan bagian utama

tubuh. Pada proses menua manusia kehilangan air. Kandungan air tubuh setiap

orang berbeda, tergantung pada proporsi jaringan otot dan jaringan lemak.

Fungsinya sehubungan dengan pengaruh tekanan darah adalah sebagai Pelarut

dan alat angkut zat-zat gizi serta hormon-hormon lain, kemudian dibawa ke

seluruh sel yang membutuhkannya. Akibat tubuh kekurangan air, darah dan

Page 137: RINAWANG JADI

120

getah bening akan menjadi kental karena cairan dalam darah dan getah bening

disedot untuk kebutuhan dalam tubuh. Hal ini berakibat pada aliran darah yang

tidak lancar karena sudah mengental.

Hasil penelitian didapatkan bahwa proporsi lansia yang mengkonsumsi

airnya kurang lebih banyak daripada lansia yang mengkonsumsi air cukup.

Lansia yang mengkonsumsi air kurang memiliki kecenderungan menderita

hipertensi. Hal ini sejalan dengan pendapat Yahya (2003) memaparkan bahwa

konsumsi cairan yang cukup akan membuat viskositas atau kekentalan darah

menjadi rendah sehingga tekanan darah tidak tinggi. Sebaliknya jika konsumsi

cairan kurang, maka akan terjadi kekentalan darah yang meningkat sehingga

memperberat kerja jantung untuk memompa darah lebih keras dan menyebabkan

tekanan darah menjadi meningkat.

Selain itu diketahui pula, banyaknya konsumsi air lansia yang tergolong

kurang adalah kurang dari sama dengan lima gelas/hari yaitu sebesar 4,8% dan

enam sampai tujuh gelas/hari sebesar 45,7%. Berdasarkan uji statistik

menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi

air dengan kejadian hipertensi. Dalam penelitian Suryanto (2002) menunjukkan

bahwa total konsumsi air putih lansia per hari rata-rata enam sampai tujuh gelas

yakni sebesar 51,43% dan kurang dari lima gelas yakni sebesar 21,43%.

Tidak terdapatnya hubungan kemungkinan disebabkan oleh adanya

penurunan fungsi ginjal seiring dengan bertambahnya usia, sehingga berdampak

pada kehilangan air yang lebih tinggi akibat proses pemekatan urin terganggu

(Depkes, 2003). Jadi meskipun tingkat konsumsi air lansia sudah cukup, tetapi

Page 138: RINAWANG JADI

121

jika tubuh atau ginjal lansia mengalami penurunan fungsi maka akan tetap

berisiko untuk mengalami hipertensi.

Selain itu, adanya faktor lain yang mendukung adalah konsumsi natrium.

Berdasarkan hasil tabulasi silang diketahui bahwa lansia yang mengkonsumsi air

kurang kecenderungan mengkonsumsi natrium lebih. Artinya bahwa dengan

konsumsi air yang kurang dan konsumsi natrium yang lebih merupakan faktor

risiko terjadinya hipertensi. Sacks FM, et al (1999) memaparkan Penelitian

DASH, menunjukkan tekanan darah tinggi dapat diturunkan dengan pengurangan

natrium dalam makanan.

6.8 Hubungan antara Olahraga dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011

Aktifitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem

penunjangnya. Selama beraktifitas, otot membutuhkan energi diluar metabolisme

untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi

untuk menyuplai zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk

mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001). Berolahraga teratur baik

untuk menambah kekuatan jantung dalam memompa darah yang berefek pada

pengontrolan tekanan darah, dan cukup dilakukan dengan olahraga ringan atau

sedang sehari tiga hinga lima kali dalam seminggu dan minimal 30 menit

(Sutanto, 2010).

Pada penelitian ini diketahui bahwa lansia cenderung melakukan aktifitas

atau kegiatan olahraga. Diperoleh pula hasil bahwa lansia yang melakukan

Page 139: RINAWANG JADI

122

kegiatan olah raga cenderung menderita hipertensi dibandingkan dengan yang

tidak melakukan kegiatan olahraga. Tetapi, proporsi lansia yang tidak

berolahraga dengan hipertensi (75%) proporsinya lebih besar daripada lansia

yang berolahraga dengan hipertensi (56,6%). Artinya adalah risiko hipertensi

akan lebih tinggi pada seseorang yang tidak olahraga daripada yang melakukan

olahraga. Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa jenis-jenis olahraga yang

biasa dilakukan lansia adalah 38 lansia (36,2%) berolah raga jalan kaki, dan 15

lansia (14,3%) berolahraga jenis lain meliputi bersepeda dan bertani atau

memacul. Hal ini sependapat dengan Cahyono (2008) bahwa berolahraga

memiliki beberapa keuntungan yaitu: dapat menurunkan frekuensi denyut nadi,

kelebihan lemak dan berat badan, serta menormalkan tekanan darah.

Berdasarkan hasil uji statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara olahraga dengan kejadian hipertensi pada lansia. Hasil

penelitian ini sejalan dengan Wijayanti (2010) bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara aktifitas fisik dengan kejadian hipertensi lansia. Namun,

penelitian ini tidak sejalan dengan Sanusi (2002) diketahui bahwa ada hubungan

yang signifikan antara aktifitas fisik dengan hipertensi.

Tidak terdapatnya hubungan dapat dimungkinkan karena olahraga yang

dilakukan lansia masih belum sepenuhnya dengan mekanisme yang baik.

Maksudnya adalah pada saat mereka melakukan olahraga, jenis, waktu,

intensitas serta frekuensinya kurang tepat atau terlalu lama sehingga tidak sesuai

dengan standar kesehatan. Salah satu contoh aktifitas atau kegiatan olahraga

yang dikatakan kurang baik yaitu bertani atau memacul. Pertama, pada saat

Page 140: RINAWANG JADI

123

seseorang menggemburkan tanah (bertani), biasanya hal pertama yang dilakukan

adalah memacul. Proses memacul ini membutuhkan waktu cukup lama yang

menyebabkan postur kerja dalam keadaan statis dan berulang sampai proses

selesai.

Kedua, proses menanam padi, ketika proses ini berlangsung akan sama

risikonya dengan proses pertama. Jadi dapat disimpulkan bahwa aktifitas atau

kegiatan bertani ini termasuk dalam jenis olahraga isometrik. Olahraga ini

merupakan olahraga yang kurang baik untuk sistem pernafasan jantung,

menyebabkan denyut jantung kurang stabil sehingga memicu meningkat tekanan

darah. Selain itu, bagi lansia akan berdampak pada risiko penyakit lain di seperti

osteoporosis. Ditambahkan pula bahwa waktu dan intensitas olahraga yang

dilakukan oleh lansia mungkin terlalu lama dan berat sehingga menimbulkan

risiko dalam membuat kerja jantung kurang baik. Maka hal-hal tersebut dapat

mempengaruhi hasil analisis.

Cahyono (2008) memaparkan bahwa olahraga yang tidak sesuai dengan

standar kesehatan tidak akan memberikan efek kesehatan. Selain itu, olahraga

isotonik yang memanfaatkan gerakan kaki seperti jalan lebih baik daripada

olahraga isometrik yang memanfaatkan tangan seperti angkat beban. Karena efek

dari olahraga isotonik adalah meningkatkan ketahanan pernafasan jantung atau

menekan menyempitnya pembuluh darah. Sedangkan olahraga isometrik kurang

menguntungkan pada sistem pernafasan jantung atau dapat meningkatkan

tekanan darah.

Page 141: RINAWANG JADI

124

Asumsi lainnya diketahui dari food frekuency questioner yaitu hasil

tabulasi silang didapatkan bahwa lansia yang melakukan kegiatan olahraga

cenderung mengkonsumsi natrium lebih. Hal ini menyebabkan tubuh tidak bisa

mendapatkan kesehatan yang maksimal karena pengaruh konsumsi natrium

tersebut. Hal ini diperkuat olaeh Sutanto (2010), kurang melakukan olahraga

dapat berisiko terjadinya obesitas dan risiko untuk terjadinya hipertensi akan

bertambah dengan berlebihnya asupan garam. Gray (2005) memaparkan bahwa

dengan melakukan perubahan gaya hidup seperti diet garam akan menurunkan

risiko menderita tekanan darah tinggi.

6.9 Hubungan antara Merokok dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011

Menurut Depkes RI Pusat Promkes (2008) dan Winniford (1990), telah

dibuktikan dalam penelitian bahwa dalam 1 batang rokok mengandung berbagai

zat kimia. Bahan utama rokok terdiri dari tiga zat, yaitu 1) Nikotin, berdampak

pada jantung dan sirkulasi darah maupun pembuluh darah. 2) Tar,

mengakibatkan kerusakan sel paru-paru dan menyebabkan kanker. 3) Karbon

Monoksida (CO), yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan darah

membawa oksigen. Zat-zat kimia tersebut dapat merusak lapisan dalam dinding

arteri sehingga menyebabkan penumpukan plak dan lama-kelamaan akan terjadi

peningkatan tekanan darah atau munculnya penyakit hipertensi

Hasil analisis univariat menunjukkan bahwa proporsi lansia yang tidak

merokok (64 orang) lebih besar daripada lansia yang merokok atau pernah

Page 142: RINAWANG JADI

125

merokok. Akan tetapi, didapatkan bahwa lansia yang tidak merokok memiliki

kecenderungan menderita hipertensi. Didapatkan pula informasi bahwa 19%

lansia mulai merokok pada usia ≥ 20 tahun, 14,3% usia 16-19 tahun, dan 5,7%

≤15 tahun. Selain itu, lansia rata-rata menghabiskan satu sampai lima batang

rokok setiap harinya. Bagi lansia yang dulunya pernah merokok, mulai berhenti

merokok sejak usia ≥40 tahun (15,2%), 18,1% mengkonsumsi rokok setiap hari,

dan 11,4% mengkonsumsi rokok 1-5 batang/hari. Mangku Sitepoe (1997) dalam

Suheni (2007) memaparkan bahwa merokok sebatang setiap hari akan

meningkatkan tekanan sistolik 10 - 25 mmHg dan menambah detak jantung lima

sampai 20 kali/menit

Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian Hasirungan (2002) didapatkan tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara merokok dengan kejadian hipertensi. Namun, penelitian

ini tidak sejalan dengan penelitian Sanusi (2002) yaitu diketahui terdapat

hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian hipertensi.

Tidak terdapatnya hubungan antara merokok dengan kejadian hipertensi

kemungkinan disebabkan oleh responden yang tidak pernah merokok dulunya

memiliki riwayat terpapar rokok ataupun asapnya. Dari hasil analisis diketahui

terdapat lansia yang merokok pada usia remaja. Smet (1994) menambahkan

bahwa arterosclerosis dan risiko kematian akan meningkat sejalan dengan usia

dini merokok dan jumlah rokok yang dikonsumsi. Winniford (1990) berpendapat

bahwa peningkatan denyut jantung pada perokok terjadi pada menit pertama

Page 143: RINAWANG JADI

126

merokok dan sesudah 10 menit peningkatan mencapai 30%. Jadi dapat

disimpulkan bahwa dengan mengkonsumsi satu batang rokok saja seseorang

memiliki risiko meningkatnya tekanan darah.

Lansia yang dahulunya pernah merokok, tidak diketahui dalam penelitian

ini berapa banyak rokok yang dikonsumsinya dimasa lampau. Selain itu bagi

lansia perempuan yang tidak merokok kemungkinan besar terpapar oleh asap

rokok yang dikonsumsi oleh sanak keluarganya. Sehingga berdampak pada

kesehatannya dalam waktu beberapa tahun kemudian setelah memasuki usia tua.

Depkes (2008) menambahkan bahwa asap dari rokok juga berdampak

terhadap orang yang menghirupnya (disebut perokok pasif) untuk terjadinya

penyakit. Para ilmuwan membuktikan bahwa zat-zat kimia didalam rokok juga

mempengaruhi kesehatan seseorang yang tidak merokok disekitar perokok.

Dampak yang akan ditimbulkan oleh rokok tersebut untuk menderita hipertensi

akan terakumulasi dalam beberapa tahun kemudian yaitu sekitar usia 40 tahun ke

atas.

6.10 Hubungan antara Stres dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011

Cahyono (2008) memaparkan bahwa stres adalah respon fisiologik,

psikologik, dan perilaku seseorang untuk penyesuaian diri terhadap tekanan.

Sedangkan menurut Hawari (2001), stress adalah respons tubuh yang sifatnya

non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya (stresor psikososial) yang

berefek pada sistem kardiovaskuler. Sutanto (2010) dan Depkes RI (2006)

Page 144: RINAWANG JADI

127

menambahkan bahwa stres dapat merangsang ginjal melepaskan hormon

adrenalin, yang menyebabkan tekanan darah naik dan meningkatkan kekentalan

darah. Selain itu, dapat mempercepat denyut jantung serta menyempitnya

pembuluh darah. Jantungpun berdenyut lebih kuat sehingga dapat meningkatkan

tekanan darah.

Hasi analisis univariat diketahui bahwa proporsi lansia yang mengalami

stress lebih banyak daripada lansia yang tidak mengalami stres. Didapatkan pula

lansia yang mengalami stres kecenderungan menderita hipertensi. Hasil

penelitian Sigalarki (2006) didapatkan bahwa responden yang mengalami stres

pada penderita hipertensi disebabkan oleh salah satu faktor yaitu sosial ekonomi.

Menurut Hawari (2001), salah satu dari stress psikososial disebabkan oleh

keuangan (faktor ekonomi). Salah satu dari faktor ekonomi adalah pekerjaan

atau penghasilan seseorang.

Penelitian Caval Cante (1995) dalam Hasirungan (2002), melihat dari

1766 responden, 76 diantaranya hipertensi. Dari observasi diketahui bahwa

sebagian besar individu dengan hipertensi memiliki pendapatan keluarga yang

rendah dan tingkat pendidikan yang rendah. Baliwati (2004) mengungkapkan

bahwa status ekonomi tingkat pendidikan dan lingkungan sossial budaya

seseorang adalah faktor yang berhubungan dengan program kesehatan

masyarakat, karena dapat menimbulkan tekanan psikis. Hal ini sejalan dengan

hasil penelitian Syaifuddin (2006) dan Sutanto (2010) menambahkan hubungan

antara stres dengan hipertensi diakibatkan melalui aktivitas saraf simpatis,

Page 145: RINAWANG JADI

128

sehingga terjadi kenaikan denyut jantung, penyempitkan pembuluh darah, dan

peningkatkan penahanan air dan garam.

Berdasarkan uji statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara kejadian stres dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian

ini sejalan dengan penelitian Hasirungan (2002) bahwa tidak terdapat hubungan

yang bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi. Namun, penelitian ini

berlawanan dengan penelitian Yuliarti (2007) yaitu terdapat hubungan yang

bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi.

Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya bias informasi, seperti

responden merasa malu dan tidak jujur pada saat menjawab kuestioner, serta bias

waktu karena ketika dilakukan pengumpulan data responden sedang tidak

mengalami stres atau masalah tertentu yang dapat menimbulkan terjadimya stres

berkepanjangan. Dimaksudkan pula bahwa kemungkinan stres yang dialami oleh

lansia dapat segera diatasi sehingga tidak menimbulkan efek yang

berkepanjangan.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Sarafindo (1990) dalam Smet (1994)

bahwa stres dapat meningkatkan tekanan darah untuk sementara waktu atau

mendadak dan bila stresnya sudah hilang maka tekanan darah menjadi normal.

Sutanto (2010) menambahkan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan

untuk mengendalikan respon relaksasinya dengan memikirkan hal-hal yang

menyenangkan dan bernapas secara teratur. Hal ini menyebabkan stres dapat

cepat teratasi.

Page 146: RINAWANG JADI

129

6.11 Hubungan antara Obesitas dengan Hipertensi pada Lansia di Kelurahan

Sawah Baru Tahun 2011

Obesitas berkaitan dengan kegemaran mengkonsumsi makanan tinggi

lemak serta meningkatkan risiko terjadinya hipertensi akibat faktor lain. Makin

besar massa tubuh, makin meningkat volume darah yang dibutuhkan untuk

memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Lalu dinding arteri

mendapatkan tekanan yang lebih besar. Sehinggga jantung akan bekerja ekstra

keras pula. Kemudian tekanan darah terjadi peningkatan (Sheps, 2005).

Hasil analisis univariat diketahui bahwa proporsi lansia yang tidak

obesitas lebih banyak daripada lansia yang obesitas. Selain itu, lansia yang tidak

obesitas memiliki kecenderungan menderita hipertensi. Berdasarkan hasil uji

statistik diketahui bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara obesitas

dengan kejadian hipertensi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

hasirungan (2002) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara IMT

atau obesitas. Namun, penelitian ini berlawanan dengan penelitian Yuliarti

(2007) bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara IMT dengan kejadian

hipertensi.

Tidak terdapatnya hubungan tersebut kemungkinan disebabkan oleh

peningkatan sistem simpatis dan sistem renin-angiotensin. Pertama, peningkatan

sistem simpatif ini sejalan dengan hasil tabulasi silang antara obesitas dengan

kejadian stres, yaitu diketahui bahwa kejadian stres lebih banyak didapatkan

pada lansia yang tidak obesitas. Artinya aktifitas saraf simpatis yang mengatur

fungsi saraf dan hormon dapat menyebabkan peningkatkan denyut jantung,

Page 147: RINAWANG JADI

130

penyempitan arteri serta peningkatan penahanan air dan natrium (Syaifudin,

2006 dan Sutanto, 2010).

Kedua, sistem renin-angiotensin, sistem ini sejalan dengan hasil tabulasi

silang didapatkan bahwa lansia yang tidak obesitas cenderung mengkonsumsi

natrium dalam jumlah lebih. Dalam darah renin mengubah angiotensinogen

menjadi angiotensin. Angiotensin ini dapat menyebabkan diameter pembuluh

darah mengecil. Renin memicu produksi aldosteron. Aldosteron berfungsi untuk

mengatur volume cairan ekstraseluler. Jika natrium meningkat maka aldosteron

akan mengurangi pengeluaran natrium dengan cara meresbsorbsinya dari tubulus

ginjal. Hal ini menyebabkan natrium dalam darah meningkat, Natrium

mempunyai sifat menahan air sehingga menyebabkan volume darah menjadi

naik dan hal itu secara otomatis menyebabkan tekanan darah menjadi naik (Price

dan Wilson, 2002).

Menurut Depkes (2006) diketahui rata-rata kasus hipertensi mengalami

penurunan tekanan darah dengan mengurangi asupan garam. Jadi meskipun

seseorang itu memiliki IMT yang kurus atau normal tetapi jika konsumsi

natriumnya berlebih maka seseorang memiliki risiko hipertensi.

Page 148: RINAWANG JADI

131

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada BAB sebelumnya

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang menderita hipertensi lebih banyak

dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami hipertensi. Rata-rata

tekanan darah lansia masih tinggi dari standar JNC 7 tahun 2003 yang

dianjurkan yaitu tekanan darah sistolik (TDS) sebesar 148 mmHg dan tekanan

darah diastolic (TDD) sebesar 91 mmHg. Angka prevalensi hipertensi di

Kelurahan ini (66,7%) lebih tinggi dari standar angka kesakitan hipertensi

pada usia diatas 50 tahun yaitu 20-30%.

2. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang berjenis kelamin perempuan

jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki.

3. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi natrium lebih

jumlahnya lebih banyak daripada yang mengkonsumsi natrium cukup.

4. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi lemak cukup

jumlahnya lebih banyak daripada yang mengkonsumsi lemak kurang.

5. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi buah dan sayur kurang

jumlahnya lebih banyak daripada yang mengkonsumsi buah dan sayur cukup.

6. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengkonsumsi air kurang jumlahnya

lebih banyak daripada yang mengkonsumsi air cukup.

Page 149: RINAWANG JADI

132

7. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang melakukan kegiatan olah raga

jumlahnya lebih banyak daripada yang tidak melakukan kegiatan olah raga.

8. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang tidak merokok jumlahnya lebih banyak

daripada yang merokok.

9. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang mengalami stres jumlahnya lebih

banyak daripada yang tidak mengalami stres.

10. Lansia di Kelurahan Sawah Baru yang tidak obesitas jumlahnya lebih banyak

daripada yang obesitas.

11. Tidak ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang

menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada perempuan.

12. Terdapat hubungan yang bermakna antara natrium dengan kejadian hipertensi

pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang menderita

hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang konsumsi natriumnya

lebih.

13. Tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi lemak dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang

menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang mengkonsumsi

lemak cukup.

14. Terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi buah dan sayur dengan

kejadian hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia

yang menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang

mengkonsumsi buah dan sayur kurang.

Page 150: RINAWANG JADI

133

15. Tidak ada hubungan yang bermakna antara konsumsi air dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang

menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang mngkonsumsi

air kurang.

16. Tidak ada hubungan yang bermakna antara olahraga dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang

menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang tidak

melakukan kegiatan olahraga.

17. Tidak ada hubungan yang bermakna antara merokok dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang

menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang tidak merokok.

18. Tidak ada hubungan yang bermakna antara stres dengan kejadian hipertensi

pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang menderita

hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang mengalami stress.

19. Tidak ada hubungan yang bermakna antara obesitas dengan kejadian

hipertensi pada lansia di Kelurahan Sawah Baru tahun 2011. Lansia yang

menderita hipertensi jumlahnya lebih banyak pada lansia yang tidak obesitas.

7.2 Saran

1. Bagi Puskesmas Kampung Sawah

a. Mengaktifkan kembali posbindu setempat yang sudah tidak aktif.

Page 151: RINAWANG JADI

134

b. Membuat langkah kebijakan yang terprogram dalam mengurangi kasus

hipertensi. Dengan berbagai cara yang dapat ditempuh setelah aktifnya

posbindu adalah sebagai berikut:

1) Melakukan pendataan jumlah lansia yang ada diwilayah Kelurahan

Sawah Baru.

2) Memantau jumlah kunjungan lansia yang datang untuk

memeriksakan kesehatannya di posbindu Kelurahan Sawah Baru.

3) Melakukan pendekatan terhadap kepala desa atau lurah dan tokoh-

tokoh masyarakat untuk memperoleh dukungan dalam pembinaan

pencegahan penyakit hipertensi pada lansia dalam rangka

penggalangan pengurangan konsumsi natrium serta peningkatan

konsumsi buah dan sayur.

4) Memanfaatkan setiap kesempatan di kelurahan untuk memberikan

penyuluhan kelompok di posbindu, arisan, pengajian, kunjungan ke

rumah maupun penyuluhan massa (pengeras suara, poster, spanduk

atau selebaran) tentang pentingnya mencegah hipertensi terutama

demo pembatasan penggunaan garam dapur, MSG, makanan yang

mengandung kadar natrium tinggi seperti ikan asin, makanan

kalengan dan lain-lain. Dapat menggantinya dengan konsumsi ikan

biasa atau ikan air tawar yang rendah garam (misalnya ikan lele),

kacang-kacangan seperti tempe, tahu serta peningkatan konsumsi

sayuran (contohnya, sayur bening, bayem, timun) dan buah

(contohnya, pepaya, pisang).

Page 152: RINAWANG JADI

135

5) Menganjurkan kepada lansia untuk mengontrol tekanan darahnya di

posbindu minimal tiga sampai 12 bulan sekali bagi yang sudah

berada pada ambang pre-hipertensi. Sekaligus untuk

mengkonsultasikan agar tetap melakukan diet garam rendah secara

teratur serta konsumsi buah dan sayur setiap harinya.

6) Kader kesehatan melakukan kunjungan ke rumah terutama bagi

lansia penderita hipertensi yang tidak datang untuk mengontrol

tekanan darahnya di posbindu. Sekaligus untuk memantau diet

garam rendah masih dilakukan atau tidak.

7) Pemberian bibit sayur dan buah sederhana kepada masyarakat untuk

dibudidayakan dipekarangan rumahnya. Serta pengontrolan oleh

tokoh yang ditunjuk untuk mengawasi tumbuh dengan baik atau

tidak bibit tersebut.

2. Bagi masyarakat setempat

Melakukan pencegahan terhadap kebiasaan mengkonsumsi makanan

sumber natrium ataupun berbagai bumbu masak.

a. Saran untuk mengurangi konsumsi natrium atau garam

1) Kurangi kadar garam yang terdapat pada resep-resep masakan.

Misalnya resep menuliskan membubuhkan garam satu sendok teh,

maka bisa dikurangi menjadi setengahnya atau seperempatnya.

2) Tidak meletakkan garam di meja makan

3) Mengikuti informasi yang telah diberikan ketika konsultasi gizi

maupun penyuluhan oleh tenaga kesehatan tentang bahan makanan

Page 153: RINAWANG JADI

136

yang dianjurkan ataupun dilarang, seperti mengurangi konsumsi

makanan yang diawetkan

4) Mengecek setiap makanan siap saji pada nilai zat gizi yang

dikandungnya sehingga dapat mempertimbangkan untuk membeli

produk makanan yang kadar natriumnya rendah.

5) Mengganti garam dengan bumbu alami seperti bawang, cabe, ataupun

rempah-remaphan lainnya.

6) Mengurangi pembelian makanan sumber natrium.

b. Saran untuk meningkatkan konsumsi buah dan sayur

1) Memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanam sayur dan buah.

2) Menyediakan sayur dan buah setiap hari dirumah dengan harga

terjangkau.

3) Memperkenalkan dan membiasakan makan sayur dan buah setiap hari

sejak dini kepada anggota keluarga.

4) Memperhatikan proses pengolahan sayur dan buah agar tidak merusak

kandungan gizinya adalah dengan memakannya dalam keadaan

mentah atau dikukus.

5) Memanfaatkan setiap kesempatan berkumpul dengan anggota

keluarga untuk saling mengingatkan tentang pentingnya konsumsi

buah dan sayur.

3. Bagi peneliti lain

Peneliti lain diharapkan menambah variable-variabel lain yang

kemungkinan berhubungan dengan kejadian hipertensi yang tidak ada dalam

Page 154: RINAWANG JADI

137

penelitian ini. Penggunaan rancangan penelitian yang lebih baik seperti studi

kohort, atau dengan jumlah sampel yang lebih besar, kejadian stres kejiwaan

diteliti dengan menggunakan cara yang lebih mendalam.

Page 155: RINAWANG JADI

138

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Masqon. 2005. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipetensi pada Kelompok Usia Lanjut di Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Thesis, http://eprints.undip.ac.id. FKM UNDIP. Diakses tanggal 29 Oktober 2010, pukul 19.00 WIB.

Admin. 2009. Hipertensi, Konsumsi Garam Masyarakat Indonesia Berlebihan. Jakarta: Suara Karya

______. 2010. Menkes: Prevalensi Hipertensi di Indonesia 17-21%. Dalam http://www.madina-sk.com, diakses tanggal 27 Juni 2010, pukul 16.00 WIB.

______. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Diakses tanggal 29 mei 2010, pukul 09.30 WIB.

_____. 2010. Tingkat Konsumsi Sayur dan Buah Masyarakat Indonesia Rendah. Jakarta: Koran Pikiran Rakyat.

Aisyiyah, Farida Nur. 2009. Faktor Risiko Hipertensi pada Empat Kabupaten/Kota dengan Prevalensi hipertensi Tertinggi Di Jawa dan Sumatera. Bogor: Departemen gizi masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Almatsier, Sunita. 2006. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

______. 2001. PrinsipDasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Appel LJ, et al. 1997. A clinical trial of the effects of dietary patterns on blood pressure. N Engl J Med 336:1117-24.

Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel pada Penelitian Kesehatan. Depok: Jurusan Biostatistik dan Kependudukan FKM UI.

Arisman. 2009. Gizi Dalam Daur Kehidupan Edisi II. Jakarta: EGC.

Astawan, Made. 2010. Dahsyatnya Tangkal Hipertensi dan Diabetes. Jakarta: Majalah Senior.

Badan Pusat Statistik. 2006. Penduduk Lanjut Usia. http://www.menegpp.go.id, diakses tanggal 21 oktober 2010, pukul 21.55

Bustan, M.N. 2000. Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta : Rineka Cipta.

Cahyono, Suharjo. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Jakarta : Kanisius.

Page 156: RINAWANG JADI

139

Candraningrum, Diah. 2010. Kalsium Bukan Susu. Jakarta: Majalah Tempo.

Chalmers, et al. 1999. World Health Organization-International Society of Hypertension Guidelines for The Management of Hypertension. J Hypertension, vol 17, hal 151-185.

Depkes RI 2003. Pedoman Tata Laksana Gizi Usia Lanjut Untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI Direktorat gizi masyarakat DJBKM.

______. 2006. Pedoman Teknis Penemuan dan Tata Laksana Penyakit Hipertensi. Jakarta: Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Depkes RI.

______. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Indonesia Tahun 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI

______. 2008. Panduan Promosi Perilaku Tidak Merokok. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI.

______. 2008. Rumah Tangga Ber-Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Depkes RI.

______. 1998. Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia Lanjut bagi Petugas Kesehatan Materi Pembinaan II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dian, Ade, dkk. 2009. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi Pada Pasien yang Berobat di Poliklinik Dewasa Puskesmas Bangkinang Periode Januari sampai Juni 2008. Penelitian. http://yayanakhyar.wordpress.com. FK UNRI. Diakses tanggal 31 Mei 2010, pukul 22.20 WIB.

Dinkes Kota Tangerang Selatan. 2009. Laporan Bulanan SKDN di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2009. Banten: Tangsel

Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. 2006. Pedoman Pharmaceutical Care untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta: Depkes RI

Farmacia. 2007. Konas InaSH (Indonesian Society of Hypertension) I, Panduan dalam Upaya Pengendalian Hipertensi. Simposia, Vol. 6 No. 7, Februari 2007. http://www.majalah-farmacia.com, diakses tanggal 26 Juni 2010, pukul 13.00 WIB.

Febrianti, dkk. 2008. Modul Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat FKIK.

Gray, Huon. 2005. Kardiologi Edisi IV. Jakarta: Erlangga.

Page 157: RINAWANG JADI

140

Gunawan, Sustari Lanny. 2005. Hipertensi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Hartono, A. 2006. Terapi Gizi dan Diet Ed-2. Jakarta: EGC.

Hasirungan, Jefri. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipetensi pada Lansia Di Kota Depok Tahun 2002. Depok: Program Pasca Sarjana FKM UI.

Hawari, Dadang. 2001. Manajemen Stres, Cemas, dan Depresi. Depok: Balai Penerbit FK UI

Hull, Alison. 1996. Penyakit Jantung, Hipertensi, and Nutrisi. Jakarta: Bumi Aksara.

Indriasari, Lusiana. 2008. Waspadai Darah kental pada Usia Muda. http://www.kompas.com, diakses tanggal 18 Maret 2011, pukul 23.30 WIB. Jakarta: Kompas.

Irza, Syukraini. 2009. Analisis Faktor-Faktor Risiko Hipertensi pada Masyarakat Nagari Bungo Tanjung, Sumatera Barat. Skripsi. http://www.digilibusu.or.id. Fakultas Farmasi USU. Diakses tanggal 4 Juli 2010, pukul 15.00 WIB.

Iqbal, Ali. 2008. Gizi untuk Penderita Hipertensi. Dalam http://iqbalali.com, diakses tanggal 4 Juli 2010, pukul 15.30 WIB.

Khomsan, Ali. 2001. Transisi Demografis dan Epidemiologis. http://www.unisodem.org, diakses tanggal 30 Mei 2010, pukul 14.30 WIB.

Krummel DA. 2004. Food, Nutrition and Diet Therapy. Medical Nutrition Therapy in Hypertension. Di dalam: Mahan LK dan Escott-Stump S, editor. 2004. USA: Saunders co. hlm. 900-918.

Ledikwe et al. 2007. Reductions in dietary energy density are associated with weight loss in overweight and obesitas participants in the PREMIER trial. Am J Clin Nutr 85:1212–21

Liman, Yogi. 2011. Tingkat Konsumsi Sayuran Masih rendah. Jakarta: Koran Kompas.

Maryam, R. Siti, dkk. 2008 Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Jakarta: Salemba Medika

Muchtadi, Deddy. 1988. Kebutuhan Zat-Zat Gizi bagi Manula. http://web.ipb.ac.id, diakses pada tanggal 20 oktober 2009 pukul 21.00 WIB. Jakarta: Kompas.

Marvyn, Leonard. 1987. Hipertensi : Pengendalian Lewat Vitamin, Gizi dan Diet. Jakarta : ARCAN.

Page 158: RINAWANG JADI

141

Notoadmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Price, Wilson. 2006. Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC

Sabri, Luknis, dkk. 2005. Statistik Kesehatan Edisi Revisi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Sacks FM, et al. 1999. A Dietary Approach to Prevent Hypertension: A review of the Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH) Study. Clin Cardiol 22:6-10.

Sharma S, dkk. 2008. Hypertension. http//:www.emedicine.com., diakses tanggal 2 Agustus 2010, pukul 13.00 WIB.

Sanusi, Anita. 2002. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipetensi pada Pos Lansia Rawat Jalan Di Poli Klinik Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo Tahun 2002 (Analisis Data Rekam medik Tahun 2002). Skripsi. Depok: FKM UI.

Sari, Nina. 2006. Gangguan Nutrisi Pada Usia Lanjut dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Sarjunani, Nina. 2009. Rancangan RPJMN 2010-2014 Kesehatan, Proses Penyusunan & Materi Kebijakan. http://www.litbang.depkes.go.id, diakses tanggal 7 Januari 2011, pukul 00.00 WIB. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI.

Sheps, Sheldon G. 2005. Mayo Clinic Hipertensi, Mengatasi Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: PT Intisari Mediatama.

Sigarlaki, Herke J.O. 2006. Karakteristik dan Faktor Berhubungan dengan Hipertensi Di Desa Bocor, Kecamatan Bulus Pesantren, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, Tahun 2006. Makara, kesehatan, vol. 10, no. 2: 78-88. Jakarta: Ilmu Kesehatan Masyarakat, FK UKI.

Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT Gramedia.

Soelaeman, Rachmat. 1980. Cermin Dunia Kedokteran, N: 19. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma.

Soemantri, S, dkk. 2005. Transisi Epidemiologi Di Indonesia. Bandung: Litbangkes

Subecha, Mochamad. 2011. Berbagai Mineral Penyelamat Jantung. http://azzam.mojokertocyber.com, diakses tanggal 25 Januari 2011, pukul 13.00 WIB. Jakarta: Tabloid Aura.

Page 159: RINAWANG JADI

142

Sudijanto, Kamso. 2000. Nutritional Aspects of Hipertension In The Indonesia Elderly (A Community Study in 6 Big City). Disertasi. Depok: FKM UI

Suegondo, Sidartawan. 2006. Obesitas dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI

Sugihartono, Aris. 2007. Faktor-Faktor Risiko Hipertensi Grade II pada Masyarakat (Studi Kasus di Kabupaten Karanganyar). Tesis. http://eprints.undip.ac.id. Program Studi Magister Epidemiologi Pasca Sarjana UNDIP, Semarang. Diakses tanggal 16 Agustus 2010, pukul 14.44 WIB.

Suhardjono. 2006. Hipertensi pada Usia Lanjut dalam Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Suheni, Yuliana. 2007. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kejadian Hipertensi Pada Laki-Laki Usia 40 Tahun Ke Atas di Badan Rumah Sakit Daerah Cepu. Skripsi. http://digilib.unes.ac.id. Semarang: Universitas Negeri Semarang, Fakultas Ilmu Keolahragaan.

Sulistiani, Widi. 2005. Analisis Faktor Risiko Yang Berkaitan Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesms Kroya I Kabupaten Cilacap Tahun 2005. Tesis. http://eprints.undip.ac.id. FKM UNDIP. Diakses tanggal 8 Oktober 2010, pukul 13.00 WIB.

Sunardi, Tuti. 2000. Hidangan Sehat untuk Penderita Hipertensi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC

Suryanto, Ari. 2002. Perilaku Makan, Status Gizi dan Kesehatan Wanita Usia Lanjut Di Kelurahan Cakung Timur, Jakarta dan Kelurahan Baranangsiang. Skripsi. Bogor: Jurusan GMSK, Faperta, IPB

Susanto. 2010. Cekal (Cegah dan Tangkal) Penyakit Modern. Yogyakarta : CV. Andi

Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan Ed-3. Monica Ester, editor. Jakarta: EGC

Waspadji, Sarwono. 2003. Pengkajian Status Gizi Studi Epidemiologi. Jakarta: FKUI

Widiastuti, Devi. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi pada Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak II Kabupaten Sleman. Tesis. http://eprints.undip.ac.id. FKM UNDIP. Diakses tanggal 26 juni 2010, pukul 13.00 WIB

Page 160: RINAWANG JADI

143

Winniford, MD. 1990. Smoking and Cardiovaskuler Function. Jurnal of Hypertension, 9 (Suppl 5) : S17-S23.

Yahya. 2005. Sebelum Jantung Anda Berhenti Berdetak. Bandung: Kaifa

Yahya, Harun. 2003. Penciptaan Alam Raya. Bandung: Dzikra.

Yogiantoro, Muhammad. 2006. Hipertensi Essensial dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Depok: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Yuliarti, Dwiretno. 2007. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipetensi Pada Usia Lanjut Di Posbindu Kota Bogor Tahun 2007. Tesis. Depok: Program Pasca Sarjana FKM UI.

Page 161: RINAWANG JADI

144

Page 162: RINAWANG JADI
Page 163: RINAWANG JADI
Page 164: RINAWANG JADI

KUESIONER PENELITIAN

Nomor Responden : ............................ Tanggal Wawancara : ....................2010 A. KARAKTERISTIK INDIVIDU

1. Nama : .................................. 2. Jenis Kelamin : a. Perempuan b. Laki-laki [ ] 3. Alamat : ..................................

B. KONSUMSI AIR 1 Berapa kali anda mengkonsumsi air setiap hari?

a. < 8 gelas/hari, berapa banyak.....? b. ≥ 8 gelas/hari

[ ]

C. OLAH RAGA 1 Apakah anda berolahraga?

a. Ya b. Tidak (lanjut ke pertanyaan D)

[ ]

2 Olah raga apa yang anda lakukan? a. Jalan pagi b. Senam c. Lainnya......

[ ]

3 Berapa menit/hari? a. < 30 menit b. ≥ 30 menit

[ ]

4 Berapa hari dalam seminggu?

a. 1 hari b. 2 hari c. 3 hari/lebih

[ ]

D. MEROKOK 1 Apakah anda merokok?

a. Ya (lanjut ke pertanyaan no.4) b. Tidak pernah (lanjut ke pertanyaan E) c. Dulu pernah

[ ]

2 Bila pernah merokok, sudah berapa lama berhenti? [ ]

Assalamu’alaikum wr. wb Saya “Rinawang F.S” mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, akan melakukan penelitian tentang “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Hipertensi Pada Kelompok Lanjut Usia Di Kelurahan Sawah Baru, Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun 2010”. Oleh karena itu, saya memohon kesediaan Bapak/Ibu mengisi kuesioner ini. Adapun data individu dalam penelitian ini tidak dipublikasikan.

Page 165: RINAWANG JADI

a. ≤ 1 tahun b. > 1 tahun

3 Sejak usia berapa anda berhenti merokok? a. < 40 tahun b. ≥ 40 tahun

[ ]

4 Bila ya merokok, sejak usia berapa anda mulai merokok? a. < 15 tahun b. 15-19 tahun c. > 19 tahun

[ ]

5 Seberapa sering anda merokok? a. Kadang-kadang b. Setiap hari (lanjut pertanyaan no 6)

[ ]

6 Berapa banyak anda merokok dalam sehari? a. 1-5 batang b. 6-12 batang (1/2 – 1 bungkus) c. Lebih dari 1 bungkus

[ ]

Kuesioner riwayat keluarga, olahraga dan merokok modifikasi dari Yuliarti (2007) E. STRES 1 Apakah anda sering menderita sakit kepala? 1. Ya 2. Tidak 2 Apakah anda tidak nafsu makan? 1. Ya 2. Tidak 3 Apakah anda sulit tidur? 1. Ya 2. Tidak 4 Apakah anda mudah takut? 1. Ya 2. Tidak 5 Apakah anda merasa tegang, cemas, atau kuatir? 1. Ya 2. Tidak 6 Apakah tangan anda gemetar? 1. Ya 2. Tidak 7 Apakah pencernaan anda terganggu/buruk? 1. Ya 2. Tidak 8 Apakah anda sulit untuk berfikir jernih? 1. Ya 2. Tidak 9 Apakah anda merasa tidak bahagia? 1. Ya 2. Tidak 10 Apakah anda sering menangis? 1. Ya 2. Tidak 11 Apakah anda merasa sulit untuk menikmati kegiatan sehari-hari? 1. Ya 2. Tidak 12 Apakah anda sulit untuk mengambil keputusan? 1. Ya 2. Tidak 13 Apakah pekerjaan sehari-hari terganggu? 1. Ya 2. Tidak 14 Apakah anda tidak mampu melakukan hal-hal yang bermanfaat

dalam hidup? 1. Ya 2. Tidak

15 Apakah anda kehilangan minat dalam berbagai hal? 1. Ya 2. Tidak 16 Apakah anda merasa tidak berharga? 1. Ya 2. Tidak 17 Apakah anda mempunyai pikiran untuk mengakhiri hidup? 1. Ya 2. Tidak 18 Apakah anda merasa lelah sepanjang waktu? 1. Ya 2. Tidak 19 Apakah anda mengalami rasa tidak enak diperut? 1. Ya 2. Tidak 20 Apakah anda mudah lelah? 1. Ya 2. Tidak

Kuesioner stres dikutip dari Depkes (2008)

Page 166: RINAWANG JADI

F. PEMERIKSAAN FISIK 1 IMT

Berat badan : kg Tinggi badan : cm

[ ]

2 Tekanan Darah Pengukuran 1 Sistolik : mmHg Diastolik : mmHg Pengukuran ke 2 Sistolik : mmHg Diastolik : mmHg Kesimpulan =

a. Hipertensi b. Tidak hipertensi

[ ]

Apakah anda sudah pernah terdiagnosis atau memiliki penyakit hipertensi? a. Pernah b. Tidak pernah

[ ]

Apakah dalam satu bulan terakhir anda memeriksakan tekanan darahnya? a. Tidak b. Pernah

Page 167: RINAWANG JADI

G. KONSUMSI MAKANAN

FOOD FREQUENCY QUESTIONER

1. Konsumsi Sumber Natrium dan Lemak

No Bahan Makanan Yang Dikonsumsi

>1x/ hari

1x/ hari

4-6x/ Minggu

1-3x/ Minggu

<3x/ bulan

1 tahun sekali

Tidak Pernah

Jumlah yang dikonsumsi

URT Berat (g) 1 Daging Ayam (50 gr) 1 ptg sdg 2 Daging sapi (50 gr) 1 ptg sdg 3 Daging kambing (40 gr) 1 ptg sdg 4 Telur bebek (60 gr) 1 btr 5 Telur ayam (60 gr) 1 btr 6 Udang (50 gr) ¼ gls 7 Hati sapi (50 gr) 1 ptg sdg 8 Teri kering (15 gr) 1 sdm 9 Ikan asin (15 gr) 1 ptg kcl 10 Sosis (25 gr) 1 bh 11 Mentega (10 gr) 1 sdm 12 Tepung susu (20 gr) 4 sdm 13 Susu kental manis (75 gr) ¼ gls 14 Biskuit (30 gr) 3 bh 15 Keju (30 gr) 1 ptg sdg 16 Minyak goreng (10 gr) 1 sdm 17 Corned beef (45 gr) 2 sdm 18 Sardenes (30 gr) 19 Bakso (40 gr) 4 bj bsr 20 Roti putih (50 gr) 2 ptg sdg 21 Roti isi (50 gr) 1 bh sdg

Page 168: RINAWANG JADI

No Bahan Makanan Yang Dikonsumsi

>1x/ hari

1x/ hari

4-6x/ Minggu

1-3x/ Minggu

<3x/ bulan

1 tahun sekali

Tidak Pernah

Jumlah yang dikonsumsi

URT Berat (g) 22 Kecap (10gr) 1 sdm 23 Saos sambel (10gr) 1 bks 23 Saos tomat (10gr) 1 bks 24 Garam (3gr) 1/2 sdt 25 MSG 26 Mie Instan (75gr) 1 bks 27 Sirup (15gr) 2 sdm 28 Minuman soda 29 Lain-lain........

2. Konsumsi Buah dan Sayur

No Bahan Makanan yang Dikonsumsi

>5x/ hari

4-2x/ hari

1x/ hari

4-6x/ minggu

1-3x/ minggu

1-3x/ bulan

Tidak Pernah

Jumlah yang dikonsumsi

URT Berat (g) 1 Bayam (100gr) 1 prg kcl 2 Brokoli (100gr) 1 gls 3 Buncis (100gr) 1 prg kcl 4 Daun katuk (100gr) 1 gls 5 Daun pepaya (100gr) 5 sdm 6 Daun poh-pohan

(100gr) 5 sdm

7 Daun singkong (100gr) 5 sdm 8 Jamur putih (100 gr) 5 sdm 9 Kacang Panjang

(100gr) 5 sdm

10 Kangkung (100gr) 5 sdm

Page 169: RINAWANG JADI

No Bahan Makanan yang Dikonsumsi

>5x/ hari

4-2x/ hari

1x/ hari

4-6x/ minggu

1-3x/ minggu

1-3x/ bulan

Tidak Pernah

Jumlah yang dikonsumsi

URT Berat (g) 11 Kembang kol (100gr) 1 prg kcl 12 Labu siam (100gr) 5 sdm 13 Pare (100gr) 5 sdm 14 Sawi hijau(100 gr) 5 sdm 15 Terong (100gr) 5 sdm 16 Tauge (100gr) 5 sdm 17 Tomat (75gr) 1 bh sdg 18 Wortel (100gr) 5 sdm 19 Pisang ambon (75gr) 1 bh sdg 20 Mangga (50gr) ½ bh sdg 21 Jeruk (100gr) 1 bh sdg 22 Melon (100gr) 1 ptg sdg 23 Alpukat (50gr) ½ bh bsr 24 Semangka (150gr) 1 ptg sdg 25 Pepaya (100gr) 1 ptg bsr 26 Salak (75gr) 1 bh bsr 27 Belimbing (125gr) 1 bh bsr 28 Lain-lain................. 29 Lain-lain.................

>>>>>Terima Kasih Atas Partisipasinya<<<<

Page 170: RINAWANG JADI

Lampiran 4 HASIL OUT PUT SPSS

1. Tekanan Darah

Statistics

tekanan darah diastole

tekanan darah sistole

N Valid 105 105

Missing 0 0 Mean 91.28 148.67 Median 90.00 145.00 Mode 90 135a Std. Deviation 10.261 22.631 Variance 105.279 512.147 Skewness .247 .732 Std. Error of Skewness .236 .236 Kurtosis .787 .840 Std. Error of Kurtosis .467 .467 Minimum 70 110 Maximum 125 230 Percentiles 25 85.00 135.00

50 90.00 145.00 75 100.00 160.00

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

tek darah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid hipertensi 69 65.7 65.7 65.7

tdk hipertensi 36 34.3 34.3 100.0

Total 105 100.0 100.0 Riwayat diagnosis hipertensi sebelumnya dengan tekanan darahnya dalam satu bln terakhir.

riwayat didiagnosis HT * telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir Crosstabulation

telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir

Total tidak ya

riwayat didiagnosis HT

prnh trdiagnosis HT Count 15 35 50

% within riwayat didiagnosis HT 30.0% 70.0% 100.0%

blm trdiagnosis HT Count 42 13 55

% within riwayat didiagnosis HT 76.4% 23.6% 100.0% Total Count 57 48 105

% within riwayat didiagnosis HT 54.3% 45.7% 100.0%

Page 171: RINAWANG JADI

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

riwayat didiagnosis HT * telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir

105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

Memeriksakan tekanan darahnya dg HT

telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 57 54.3 54.3 54.3

ya 48 45.7 45.7 100.0 Total 105 100.0 100.0

Crosstab

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi

telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir

tidak Count 32 25 57

% within telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir

56.1% 43.9% 100.0%

ya Count 37 11 48

% within telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir

77.1% 22.9% 100.0%

Total Count 69 36 105

% within telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir

65.7% 34.3% 100.0%

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

riwayat didiagnosis HT * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

telah memerksakan tekanan drahnya dalam 1 buln terkhir * tek darah

105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

Page 172: RINAWANG JADI

Pernah terdiagnosis HT sebelumnya dg HT riwayat didiagnosis HT

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid prnh trdiagnosis HT 50 47.6 47.6 47.6

blm trdiagnosis HT 55 52.4 52.4 100.0

Total 105 100.0 100.0

Crosstab

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi

riwayat didiagnosis HT

prnh trdiagnosis HT

Count 50 0 50

% within riwayat didiagnosis HT 100.0% .0% 100.0%

blm trdiagnosis HT Count 19 36 55

% within riwayat didiagnosis HT 34.5% 65.5% 100.0% Total Count 69 36 105

% within riwayat didiagnosis HT 65.7% 34.3% 100.0%

2. Jenis Kelamin

jenis kelamin responden

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid perempuan 70 66.7 66.7 66.7

laki-laki 35 33.3 33.3 100.0

Total 105 100.0 100.0

Statistics

jenis kelamin responden N Valid 105

Missing 0 Mean .33 Median .00 Mode 0 Std. Deviation .474 Variance .224 Skewness .717 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis -1.515 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 0 Maximum 1 Percentiles 25 .00

50 .00 75 1.00

Page 173: RINAWANG JADI

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

jenis kelamin responden * tek darah

105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

jenis kelamin responden * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total

hipertensi tdk

hipertensi

jenis kelamin responden

perempuan Count 46 24 70

% within jenis kelamin responden 65.7% 34.3% 100.0%

laki-laki Count 23 12 35

% within jenis kelamin responden 65.7% 34.3% 100.0%

Total Count 69 36 105 % within jenis kelamin responden 65.7% 34.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .000a 1 1.000 Continuity Correctionb .000 1 1.000 Likelihood Ratio .000 1 1.000 Fisher's Exact Test 1.000 .589

Linear-by-Linear Association .000 1 1.000

N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.00.

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for jenis kelamin responden (perempuan / laki-laki) 1.000 .425 2.351

For cohort tek darah = hipertensi 1.000 .746 1.341

For cohort tek darah = tdk hipertensi 1.000 .570 1.754

N of Valid Cases 105

Page 174: RINAWANG JADI

3. Konsumsi Natrium

klasifikasi natrium

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid lebih 66 62.9 62.9 62.9

cukup 39 37.1 37.1 100.0

Total 105 100.0 100.0

Statistics

jenis kelamin responden N Valid 105

Missing 0 Mean .33 Median .00 Mode 0 Std. Deviation .474 Variance .224 Skewness .717 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis -1.515 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 0 Maximum 1 Percentiles 25 .00

50 .00 75 1.00

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

klasifikasi natrium * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

klasifikasi natrium * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi klasifikasi natrium lebih Count 65 1 66

% within klasifikasi natrium 98.5% 1.5% 100.0%

cukup Count 4 35 39

% within klasifikasi natrium 10.3% 89.7% 100.0% Total Count 69 36 105

% within klasifikasi natrium 65.7% 34.3% 100.0%

Page 175: RINAWANG JADI

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 84.696a 1 .000 Continuity Correctionb 80.825 1 .000 Likelihood Ratio 98.854 1 .000 Fisher's Exact Test .000 .000 Linear-by-Linear Association 83.889 1 .000 N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.37. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for klasifikasi natrium (lebih / cukup) 568.750 61.187 5286.665

For cohort tek darah = hipertensi 9.602 3.793 24.309 For cohort tek darah = tdk hipertensi .017 .002 .118

N of Valid Cases 105 4. Konsumsi Lemak

Statistics

konsumsi lemak N Valid 105

Missing 0 Mean 8708.61 Median 8719.00 Mode 7831a Std. Deviation 2.111E3 Variance 4.458E6 Skewness .554 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis 1.970 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 1844 Maximum 15284 Percentiles 25 7461.50

50 8719.00 75 9337.50

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

Page 176: RINAWANG JADI

klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid lebih 5 4.8 4.8 4.8

cukup 100 95.2 95.2 100.0

Total 105 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) * tek darah

105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi

klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%)

lebih Count 4 1 5

% within klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) 80.0% 20.0% 100.0%

cukup Count 65 35 100

% within klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) 65.0% 35.0% 100.0%

Total Count 69 36 105 % within klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) 65.7% 34.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .476a 1 .490 Continuity Correctionb .043 1 .836 Likelihood Ratio .518 1 .472 Fisher's Exact Test .658 .439 Linear-by-Linear Association .471 1 .493

N of Valid Casesb 105 a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.71. b. Computed only for a 2x2 table

Page 177: RINAWANG JADI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for klasifikasi kons lemak dari 2050 kkl (20%) (lebih / cukup)

2.154 .232 20.021

For cohort tek darah = hipertensi 1.231 .776 1.952

For cohort tek darah = tdk hipertensi .571 .097 3.366

N of Valid Cases 105 5. Konsumsi Buah Dan Sayur

Statistics

konsumsi buah dan sayur N Valid 105

Missing 0 Mean 205.75 Median 192.00 Mode 110a Std. Deviation 101.264 Variance 1.025E4 Skewness 1.113 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis 1.393 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 59 Maximum 561 Percentiles 25 134.50

50 192.00 75 255.50

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

klasifikasi konsumsi buah

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kurang 97 92.4 92.4 92.4

cukup 8 7.6 7.6 100.0

Total 105 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Page 178: RINAWANG JADI

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

klasifikasi konsumsi buah * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

klasifikasi konsumsi buah * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi

klasifikasi konsumsi buah

kurang Count 67 30 97

% within klasifikasi konsumsi buah 69.1% 30.9% 100.0%

cukup Count 2 6 8

% within klasifikasi konsumsi buah 25.0% 75.0% 100.0%

Total Count 69 36 105 % within klasifikasi konsumsi buah 65.7% 34.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 6.371a 1 .012 Continuity Correctionb 4.565 1 .033 Likelihood Ratio 6.021 1 .014 Fisher's Exact Test .019 .019 Linear-by-Linear Association 6.311 1 .012

N of Valid Casesb 105 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.74. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for klasifikasi konsumsi buah (kurang / cukup)

6.700 1.277 35.139

For cohort tek darah = hipertensi 2.763 .826 9.243

For cohort tek darah = tdk hipertensi .412 .250 .679

N of Valid Cases 105

Page 179: RINAWANG JADI

6. Konsumsi Air

Statistics

konsumsi air putih N Valid 105

Missing 0

konsumsi air putih

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid kurang 53 50.5 50.5 50.5

cukup 52 49.5 49.5 100.0

Total 105 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

konsumsi air putih * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

konsumsi air putih * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi

konsumsi air putih kurang Count 39 14 53

% within konsumsi air putih 73.6% 26.4% 100.0%

cukup Count 30 22 52

% within konsumsi air putih 57.7% 42.3% 100.0% Total Count 69 36 105

% within konsumsi air putih 65.7% 34.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.942a 1 .086 Continuity Correctionb 2.279 1 .131 Likelihood Ratio 2.960 1 .085 Fisher's Exact Test .102 .065 Linear-by-Linear Association 2.914 1 .088

N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.83. b. Computed only for a 2x2 table

Page 180: RINAWANG JADI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for konsumsi air putih (kurang / cukup) 2.043 .898 4.647

For cohort tek darah = hipertensi 1.275 .961 1.693

For cohort tek darah = tdk hipertensi .624 .360 1.082

N of Valid Cases 105

banyaknya jumlah air puti yang dikonsumsi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid <= 5 gls 5 4.8 4.8 4.8

6-7 gls 48 45.7 45.7 50.5

>= 8 gelas 52 49.5 49.5 100.0

Total 105 100.0 100.0 7. Kegiatan Olah Raga

Statistics kegiatan olahraga

N Valid 105

Missing 0

kegiatan olahraga

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tdk olahraga 52 49.5 49.5 49.5

olahraga 53 50.5 50.5 100.0

Total 105 100.0 100.0

jenis-jenis olah raga yang dilakukan responden

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tdk OR 52 49.5 49.5 49.5

jalan kaki 38 36.2 36.2 85.7

lainnya 15 14.3 14.3 100.0 Total 105 100.0 100.0

Page 181: RINAWANG JADI

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

kegiatan olahraga * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

kegiatan olahraga * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total

hipertensi tdk

hipertensi

kegiatan olahraga

Tdk olahraga Count 39 13 52

% within kegiatan olahraga 75.0% 25.0% 100.0%

olahraga Count 30 23 53

% within kegiatan olahraga 56.6% 43.4% 100.0%

Total Count 69 36 105 % within kegiatan olahraga 65.7% 34.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.943a 1 .047 Continuity Correctionb 3.168 1 .075

Likelihood Ratio 3.982 1 .046 Fisher's Exact Test .064 .037 Linear-by-Linear Association 3.905 1 .048

N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The

minimum expected count is 17.83. b. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for kegiatan olahraga (tdk olahraga / olahraga)

2.300 1.003 5.275

For cohort tek darah = hipertensi 1.325 .998 1.759

For cohort tek darah = tdk hipertensi .576 .328 1.011

N of Valid Cases 105

Page 182: RINAWANG JADI

8. Perilaku Merokok

Statistics perilaku merokok

N Valid 105

Missing 0

perilaku merokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid merokok/pernah 41 39.0 39.0 39.0

tdk 64 61.0 61.0 100.0

Total 105 100.0 100.0

usia berhenti merokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tdk pernah merokok 64 61.0 61.0 61.0

msh merokok 21 20.0 20.0 81.0

<40 thn 4 3.8 3.8 84.8

>= 40 thn 16 15.2 15.2 100.0

Total 105 100.0 100.0

usia mulai merokok

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tdk pernah merokok 64 61.0 61.0 61.0

<= 15 thn 6 5.7 5.7 66.7

16-19 thn 15 14.3 14.3 81.0

> =20 thn 20 19.0 19.0 100.0

Total 105 100.0 100.0

keseringan merokok

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tdk/pernah merokok 84 80.0 80.0 80.0

kdang 2 1.9 1.9 81.9

setiap hari 19 18.1 18.1 100.0

Total 105 100.0 100.0

Page 183: RINAWANG JADI

jumlah rokok yang d konsumsi dalam sehari

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tdk merokok 84 80.0 80.0 80.0

kadang2 2 1.9 1.9 81.9

1-5 btg 12 11.4 11.4 93.3

6-12 btg (1/2-1 bgks) 4 3.8 3.8 97.1

> 1 bgks 3 2.9 2.9 100.0

Total 105 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

perilaku merokok * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

perilaku merokok * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total Hipertensi tdk hipertensi

perilaku merokok merokok/pernah Count 28 13 41

% within perilaku merokok 68.3% 31.7% 100.0%

tdk Count 41 23 64

% within perilaku merokok 64.1% 35.9% 100.0% Total Count 69 36 105

% within perilaku merokok 65.7% 34.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .198a 1 .656

Continuity Correctionb .055 1 .814

Likelihood Ratio .199 1 .655

Fisher's Exact Test .680 .409

Linear-by-Linear Association .197 1 .657

N of Valid Casesb 105

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.06.

b. Computed only for a 2x2 table

Page 184: RINAWANG JADI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for perilaku merokok (merokok/pernah / tdk) 1.208 .525 2.778 For cohort tek darah = hipertensi 1.066 .807 1.407 For cohort tek darah = tdk hipertensi .882 .506 1.538 N of Valid Cases 105 9. Stres

Statistics

keadaan stres N Valid 105

Missing 0

keadaan stres

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid stress 65 61.9 61.9 61.9

tdk stress 40 38.1 38.1 100.0

Total 105 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

keadaan stres * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

keadaan stres * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi

keadaan stres stress Count 47 18 65

% within keadaan stres 72.3% 27.7% 100.0%

tdk stress Count 22 18 40

% within keadaan stres 55.0% 45.0% 100.0% Total Count 69 36 105

% within keadaan stres 65.7% 34.3% 100.0%

Page 185: RINAWANG JADI

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 3.292a 1 .070 Continuity Correctionb 2.569 1 .109 Likelihood Ratio 3.257 1 .071 Fisher's Exact Test .091 .055 Linear-by-Linear Association 3.261 1 .071

N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.71. b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for keadaan stres (stress / tdk stress) 2.136 .935 4.882

For cohort tek darah = hipertensi 1.315 .956 1.807

For cohort tek darah = tdk hipertensi .615 .365 1.036

N of Valid Cases 105 10. Obesitas

Statistics

indeks masa tubuh N Valid 105

Missing 0 Mean 23.409 Median 22.900 Mode 21.7 Std. Deviation 3.8576 Variance 14.881 Skewness .653 Std. Error of Skewness .236 Kurtosis .225 Std. Error of Kurtosis .467 Minimum 14.8 Maximum 33.7 Percentiles 25 20.800

50 22.900 75 25.400

Page 186: RINAWANG JADI

klasifikasi IMT

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid obesitas 28 26.7 26.7 26.7

tdk obesitas 77 73.3 73.3 100.0

Total 105 100.0 100.0

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

klasifikasi IMT * tek darah 105 100.0% 0 .0% 105 100.0%

klasifikasi IMT * tek darah Crosstabulation

tek darah

Total hipertensi tdk hipertensi

klasifikasi IMT obesitas Count 22 6 28

% within klasifikasi IMT 78.6% 21.4% 100.0%

tdk obesitas Count 47 30 77

% within klasifikasi IMT 61.0% 39.0% 100.0% Total Count 69 36 105

% within klasifikasi IMT 65.7% 34.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 2.801a 1 .094 Continuity Correctionb 2.077 1 .150 Likelihood Ratio 2.955 1 .086 Fisher's Exact Test .109 .072 Linear-by-Linear Association 2.775 1 .096

N of Valid Casesb 105 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.60. b. Computed only for a 2x2 table

Page 187: RINAWANG JADI

Risk Estimate

Value

95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for klasifikasi IMT (obesitas / tdk obesitas) 2.340 .851 6.440

For cohort tek darah = hipertensi 1.287 .989 1.675 For cohort tek darah = tdk hipertensi .550 .257 1.179

N of Valid Cases 105