184
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Kelekatan masyarakat dengan media massa itu terkait dengan beragamnya fungsi yang bisa dijalankannya. Enam fungsi yang paling penting adalah menghibur, meyakinkan atau persuasi, menginformasikan, menganugerahkan status, membius, dan menciptakan rasa kebersamaan (DeVito,1997: 515). Salah satu media massa yang cukup jamak digunakan adalah surat kabar selain televisi, radio, dan majalah. Sebagai salah satu bentuk media massa, tentu saja surat kabar juga menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Surat kabar pada umumnya dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai informasi yang disajikan dalam wacana berita. Dalam kajian media, berita mendapatkan perhatian yang besar karena merupakan sumber utama informasi. Berita sering dianggap memiliki berbagai kualitas netralitas dan otoritas yang pada kenyataannya tidak dimilikinya dan tidak dapat diharapkan secara logis untuk dimilikinya (Burton, 2008:153). Menurut Prisgunanto (2004: 48), mewujudkan pemberitaan yang objektif adalah sesuatu yang sulit bagi media massa. Wartawan media massa cenderung memilih perangkat asumsi tertentu yang berimplikasi pada pemilihan judul berita, struktur berita, dan keberpihakan kepada seseorang atau sekelompok orang meskipun keberpihakan tersebut sering bersifat subtil dan tidak sepenuhnya disadari (Mulyana dalam Eriyanto, 2002). 1

(rtrwp) bali dalam harian bali post

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: (rtrwp) bali dalam harian bali post

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Media massa menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan

sehari-hari masyarakat. Kelekatan masyarakat dengan media massa itu terkait

dengan beragamnya fungsi yang bisa dijalankannya. Enam fungsi yang paling

penting adalah menghibur, meyakinkan atau persuasi, menginformasikan,

menganugerahkan status, membius, dan menciptakan rasa kebersamaan

(DeVito,1997: 515). Salah satu media massa yang cukup jamak digunakan adalah

surat kabar selain televisi, radio, dan majalah. Sebagai salah satu bentuk media

massa, tentu saja surat kabar juga menjalankan fungsi-fungsi tersebut.

Surat kabar pada umumnya dimanfaatkan untuk memperoleh berbagai

informasi yang disajikan dalam wacana berita. Dalam kajian media, berita

mendapatkan perhatian yang besar karena merupakan sumber utama informasi.

Berita sering dianggap memiliki berbagai kualitas netralitas dan otoritas yang

pada kenyataannya tidak dimilikinya dan tidak dapat diharapkan secara logis

untuk dimilikinya (Burton, 2008:153). Menurut Prisgunanto (2004: 48),

mewujudkan pemberitaan yang objektif adalah sesuatu yang sulit bagi media

massa. Wartawan media massa cenderung memilih perangkat asumsi tertentu

yang berimplikasi pada pemilihan judul berita, struktur berita, dan keberpihakan

kepada seseorang atau sekelompok orang meskipun keberpihakan tersebut sering

bersifat subtil dan tidak sepenuhnya disadari (Mulyana dalam Eriyanto, 2002).

1

Page 2: (rtrwp) bali dalam harian bali post

2

Hal yang sama juga disampaikan van Dijk (1988a:7) bahwa ”News is not

characterized as a picture of reality, which may be correct or biased but as a

frame through which the social world is routinely constructed.” Jadi, berita

bukanlah gambaran atas realitas, melainkan pengonstruksian realitas yang

mengandung ketidaknetralan. Ketidaknetralan berita tersebut tidak lepas dari

peran subjektivitas wartawan dalam memandang objek yang diberitakan.

Piliang (2009: 133) menyampaikan bahwa perbincangan mengenai media

tidak dapat dipisahkan dari kepentingan yang ada di balik media tersebut,

khusunya kepentingan terhadap informasi yang disampaikan. Lebih lanjut, Piliang

(2009) mengidentifikasi dua kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan

ekonomi dan kepentingan kekuasaan yang membentuk isi media, informasi yang

disajikan, dan makna yang ditawarkannya. Dominasi kedua kepentingan tersebut

dalam media membuat kepentingan yang lebih mendasar justru terabaikan, yakni

kepentingan publik. Kepentingan publik dikatakan terabaikan karena publik tidak

lagi disuguhi informasi yang netral, objektif, jujur, adil, dan terbuka, tetapi

informasi yang sudah sarat dengan kepentingan sehingga menjadi tidak netral dan

tidak objektif. Karena ketidaknetralan media, sering kali suara pihak-pihak

dengan kekuatan yang lebih kecil atau oposisi mendapat perhatian yang kurang,

bahkan memiliki kemungkinan besar untuk dihapus atau diabaikan (van Dijk,

1988: 136).

Perbincangan mengenai media sebagai sebuah discourse (wacana) tidak

dapat dipisahkan dari kesalingterkaitan antara bahasa yang digunakan di

dalamnya, pengetahuan (knowledge) yang melandasinya, serta bentuk-bentuk

Page 3: (rtrwp) bali dalam harian bali post

3

kepentingan dan kekuasaan (power) yang beroperasi di balik bahasa dan

pengetahuan tersebut (Piliang, 2009: 134). van Dijk (1988b: 11) menegaskan

bahwa “The media are not a neutral, common-sense, or rational mediator of

social events, but essentially help reproduce preformulated ideologies.” Dengan

demikian, perbincangan mengenai media termasuk wacana berita yang merupakan

bagian darinya tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang membentuknya.

Untuk dapat memahami wacana berita yang disajikan media secara

komprehensif, diperlukan perspektif kritis sehingga bahasa dan praktik

kebahasaan tidak lagi dipahami sebagai alat atau medium yang netral. Hikam

(1996: 77-93) menguraikan tiga perspektif mengenai bahasa dalam wacana, yaitu

empirisme-positivisme, fenomenologi, dan discursive-practice. Dalam perspektif

pertama, empirisme-positivisme, terjadi pemisahan yang tegas antara pemikiran

dan realitas. Yang dipentingkan adalah apakah suatu pernyataan dilontarkan

secara benar menurut kaidah sintaksis dan semantik. Dengan kata lain, gramatikal

menjadi fokus kajian empirisme-positivisme. Perspektif kedua, fenomenologi

sangat keberatan dengan pemisahan subjek dan objek pada perspektif empirisme-

positivisme karena fenomenologi menganggap peran subjek sangat sentral dalam

kegiatan wacana dan hubungan-hubungan sosialnya. Bahasa, di tangan

fenomenologi, tidak hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapi sebagai

perantara bagi pengungkapan maksud dan makna tertentu (Hikam, 1996: 81).

Perspektif ketiga, discursive-practice, beranggapan bahwa perspektif

fenomenologi masih belum menganalisis faktor-faktor hubungan kekuasaan yang

terdapat dalam setiap wacana. Bahasa masih dilihat sebagai suatu benda yang

Page 4: (rtrwp) bali dalam harian bali post

4

terletak di luar atau sebagai medium antara subjek dan objek meskipun dalam hal

ini subjek telah dilibatkan karena posisinya sebagai pencipta. Perspektif ketiga ini

lebih menekankan konstelasi kekuatan apa yang ada dalam proses pembentukan

dan reproduksi makna. Bahasa sebagai representasi berperan pula dalam

membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, dan strategi-strategi di

dalamnya. Perspektif ketiga ini disebut perspektif kritis oleh Eriyanto (2006: 6).

Karena menggunakan perspektif kritis, analisis wacana kategori yang ketiga ini

juga disebut sebagai analisis wacana kritis. Wodak (2001: 2) menyebutkan bahwa

analisis wacana kritis secara khusus mengkaji hubungan antara bahasa dan

kekuasaan. Meyer (2001: 15) menyatakan bahwa dalam pandangan analisis

wacana kritis, hubungan antara bahasa dan masyarakat tidak bersifat sederhana,

tetapi melibatkan gagasan mengenai penghubung di antara keduanya.

Salah satu model analisis wacana kritis ini adalah model kognisi sosial

yang ditawarkan oleh Teun A. van Djik. van Dijk memperkenalkan analisis

kognisi sosial, yang menjadi penghubung antara wacana dan masyarakat (Meyer,

2001: 15). Model ini menarik sebab mengelaborasi elemen-elemen wacana

sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis (Eriyanto, 2000).

Pendekatan van Dijk ini juga menganalisis aspek kebahasaan secara terperinci,

paling detail jika dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Hal ini sangat

relevan dengan bidang yang peneliti pelajari. Seperti ditulis Thornborrow (2007:

80) bahwa satu hal yang penting untuk ditelaah ahli linguistik adalah institusi

media bisa memengaruhi cara menyajikan berita dan kerangka yang digunakan

untuk menampilkan orang-orang yang berbicara dalam media.

Page 5: (rtrwp) bali dalam harian bali post

5

van Dijk (1988b: 18) menyatakan ketika wacana didefinisikan sebagai

interaksi verbal atau peristiwa komunikasi, proses dan konteks sosial komunikasi

harus dilibatkan dalam pendekatan yang integratif. Oleh karena itu, pendekatan

kognisi sosial menyajikan penghubung yang unik dan diperlukan di antara aspek

makro masyarakat dan aspek mikro wacana dan interaksi (van Dijk, 2005: 87).

Pendekatan yang interdisipliner dalam mengkaji wacana tidak dibatasi hanya pada

analisis struktur wacana, tetapi juga dibutuhkan analisis proses kognitif dan

representasi memori dalam wacana (van Dijk, 1985g: 5). van Dijk (2008: ix)

memfokuskan tiga dimensi wacana untuk menganalisis wacana secara

komprehensif, yaitu wacana, kognisi, dan masyarakat. Namun, fokus asumsi

teoretis pada kajian yang rumit ini adalah partisipan komunikasi berita (jurnalis

dan pengguna media massa) sebagai aktor sosial dan anggota kelompok (van Dijk,

1988b: 19).

Analisis dilakukan pada berita-berita mengenai Rancangan Tata Ruang

Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali dalam harian Bali Post yang terbit sejak

pertengahan April hingga Juni 2009. Dalam jangka waktu itu berita-berita

mengenai RTRWP menjadi berita utama harian Bali Post. Pemerintah berada pada

posisi mendukung keberadaan RTRWP, sedangkan tokoh-tokoh masyarakat Bali

cenderung menolak (beberapa substansi) keberadaan RTRWP. Berita-berita yang

dimuat harian Bali Post cenderung menolak keberadaan RTRWP ini sehingga dari

segi kuantitas, jumlah berita yang mendukung dan menolak keberadaan RTRWP

ini menjadi tidak seimbang.

Page 6: (rtrwp) bali dalam harian bali post

6

Berita RTRWP mengandung nilai berita, yaitu nilai berita

deviansi/kenegatifan dan nilai berita kedekatan. Disebut memiliki nilai berita

kenegatifan karena berita-berita tersebut sempat menimbulkan konfik. Konflik

dalam hal ini bukanlah konflik fisik, melainkan konflik pemikiran (Ishwara,

2005). Nilai kedekatan berarti bahwa masalah RTRWP ini, baik secara geografis

maupun psikologis, memiliki kedekatan dengan masyarakat Bali. Berita-berita ini

menjadi penting artinya bagi masyarakat Bali sehingga mendapat sorotan dan

perhatian karena adat, budaya, dan agama merupakan elemen utama dalam

pembentukan identitas budaya Bali. Namun, ketika masyarakat Bali sampai pada

wacana identitas dan modernitas, persoalan selalu muncul mengenai adat dan

tradisi yang manakah yang harus dipertahankan dan mana yang mesti

ditransformasi (Putra, 2004: xi). Beberapa substansi RTRWP dinilai para

tokoh masyarakat mencoba menggeser nilai-nilai yang mengorbankan budaya

masyarakat Bali. Dalam konteks ini, harian Bali Post sebagai media nasional yang

ada di Bali memegang peranan penting dalam mengendalikan wacana dan

memengaruhi paradigma pembacanya. Untuk itulah, dipandang sangat perlu

dilakukan analisis wacana dengan paradigma kritis terhadap berita-berita tentang

RTRWP Bali.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah struktur teks berita-berita RTRWP dalam harian Bali Post?

Page 7: (rtrwp) bali dalam harian bali post

7

2. Kognisi sosial apakah yang dicerminkan oleh wartawan penulis berita-

berita tentang RTRWP dalam harian Bali Post?

3. Konteks sosial apakah yang digambarkan dalam berita-berita tentang

RTRWP dalam harian Bali Post?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi

pemberitaan mengenai RTRWP Bali pada harian Bali Post. Gambaran mengenai

strategi pemberitaan akan menunjukkan kecenderungan keberpihakan media

dalam pemberitaan mengenai RTRWP Bali pada harian Bali Post.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini dirumuskan sesuai dengan rumusan masalah

penelitian yaitu sebagai berikut.

1) Mendeskripsikan struktur teks berita-berita tentang RTRWP dalam harian

Bali Post. Struktur teks berita yang dimaksud meliputi tiga struktur, yakni

struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.

2) Mendeskripsikan kognisi sosial wartawan penulis berita-berita tentang

RTRWP dalam harian Bali Post.

3) Mendeskripsikan konteks sosial berita-berita tentang RTRWP dalam

harian Bali Post.

Page 8: (rtrwp) bali dalam harian bali post

8

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat, baik secara teoretis maupun

secara praktis. Adapun kedua manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain,

khususnya dalam bidang wacana. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam

melakukan penelitian lain yang sejenis sehingga dapat dihasilkan kajian wacana

yang lebih komprehensif.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi pekerja

media. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan refleksi atau evaluasi bagi para

pekerja media, baik wartawan maupun redaktur untuk lebih netral dan objektif

dalam memproduksi berita. Tidak tertutup kemungkinan bahwa ketidaknetralan

atau ketidakobjektifan wartawan dilakukan secara tidak sengaja karena telah

terbiasa dengan cara berpikir yang digunakan selama ini. Setiap wartawan

kemungkinan besar memiliki pengetahuan dan pengalaman yang berbeda tentang

sebuah perisitiwa, dan hal ini sangat memengaruhi pemberitaannya. Dengan

adanya hasil penelitian ini, wartawan akan lebih berhati-hati dalam memproduksi

sebuah teks.

Penelitian ini diharapkan juga bermanfaat bagi masyarakat. Hasil penelitian

ini bermanfaat untuk memberikan gambaran posisi media, khususnya Bali Post

dalam berita tentang RTRWP kepada masyarakat. Hasil penelitian ini sekaligus

bermanfaat untuk menyadarkan masyarakat bahwa dalam membaca berita-berita

Page 9: (rtrwp) bali dalam harian bali post

9

dalam media cetak, khususnya surat kabar, sangat diperlukan sikap yang kritis,

sehingga masyarakat tidak terlalu mudah terpengaruh oleh pemberitaan-

pemberitaan di media.

Page 10: (rtrwp) bali dalam harian bali post

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Salah satu aspek penting yang perlu diupayakan dalam sebuah penelitian

adalah originalitas. Untuk mengetahui tingkat originalitas sebuah penelitian,

diperlukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian sejenis yang pernah dilakukan.

Berikut ini disajikan tinjauan singkat terhadap penelitian-penelitian sejenis di

bidang analisis wacana.

Analisis terhadap wacana dalam media cetak dilakukan oleh Mulyawan

(2005) dalam tesisnya “Wacana Iklan Komersial Media Cetak: Kajian

Hipersemiotika”. Penelitian yang memanfaatkan teori struktur wacana van Dijk

dan teori hipersemiotika oleh Yasraf Amir Piliang ini bertujuan untuk (1)

mengetahui komposisi struktur iklan komersial media cetak, (2) struktur

gramatika dan leksikalnya, (3) makna dan pesan iklan, serta (4) ideologi yang

melatarbelakangi pembuatan iklan tersebut.

Kesamaan penelitian Mulyawan dengan penelitian ini adalah

menggunakan teori analisis wacana van Dijk, tetapi terdapat beberapa perbedaan

mendasar. Pertama, subjek penelitian Mulyawan adalah iklan komersial pada

media cetak sementara penelitian peneliti menggunakan berita pada harian Bali

Post khususnya mengenai Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali

(RTRWP Bali) sebagai subjek. Kedua, objek penelitian Mulyawan adalah struktur

10

Page 11: (rtrwp) bali dalam harian bali post

11

iklan, struktur gramatikal dan leksikal, serta makna dan ideologi yang melatari

iklan. Sementara, objek penelitian ini adalah struktur teks, kognisi wartawan, dan

konteks sosial yang melatari pemberitaan mengenai RTRWP di Bali Post.

Perbedaan lainnya adalah terdapat perbedaan penerapan teori van Dijk.

Mulyawan menerapkan teori van Dijk hanya pada tataran struktur teks yang

diajukan van Dijk yang terdiri atas tiga elemen yaitu struktur makro,

superstruktur/skema, dan struktur mikro. Pada tahap analisis, tiap-tiap struktur

dianalisis dengan teori lain. Struktur makro dianalisis dengan teori hipersemiotika

yang diajukan oleh Yasraf Amir Piliang; superstruktur dianalisis dengan teori

struktur iklan. Sementara, penelitian ini dirancang untuk meneliti ketiga elemen

analisis wacana yang disampaikan van Dijk, yaitu analisis teks, kognisi sosial, dan

konteks sosial. Dengan demikian, penelitian ini dirancang untuk menerapkan

analisis wacana van Dijk secara lebih menyeluruh. Hal ini sejalan dengan yang

disampaikan van Dijk (2006) “… none of these approaches can be reduced to the

other and all three of them are needed in an integrated theory that also

establishes explicit links between the defferent dimensions of manipulation.”

Lebih lanjut, van Dijk (2008: 16) menyatakan bahwa tidak satu pun dari ketiga

dimensi wacana ini benar-benar dapat dipahami tanpa yang lain. Jadi, sangat

penting untuk menerapkan ketiga dimensi analisis wacana ini secara bersama agar

analisis wacana dapat dilaksanakan secara menyeluruh dan baik.

Wacana iklan juga menjadi topik tesis berjudul “Wacana Iklan Komersial

Kecantikan Wanita” oleh Astini (2008). Astini khusus membahas iklan kecantikan

wanita dengan teori struktur wacana van Dijk dan teori semiotika sebagaimana

Page 12: (rtrwp) bali dalam harian bali post

12

yang digunakan oleh Mulyawan. Masalah penelitian ini pun sama dengan

penelitian Mulyawan, yaitu (1) bagaimanakah komposisi struktur iklan komersial

kecantikan wanita, (2) bagaimanakah struktur gramatikal dan leksikalnya, (3)

makna dan pesan apakah yang ingin disampaikan, dan (4) ideologi apakah yang

melatarbelakanginya.

Penelitian ini menyimpulkan sebagai berikut. Pertama, iklan komersial

kecantikan wanita terdiri atas iklan untuk rambut, mata, pipi, wajah, bibir, kuku,

kaki, tubuh secara keseluruhan, dan wewangian. Iklan rambut, mata, bibir, wajah,

kaki, dan tubuh secara keseluruhan memiliki struktur yang lengkap yaitu

illustration, body copy, signature line, dan standing details. Di pihak lain, struktur

iklan untuk pipi, kuku, dan wewangian terdiri atas tiga struktur yaitu headline,

body copy dan signature line. Kedua, secara gramatikal setiap iklan

mengoptimalkan penggunaan semua bentuk kaidah gramatikal yang ada, seperti

referensi, substitusi, elipsis, dan perangkaian. Ketiga, makna dan pesan dalam

iklan terdiri atas unsur verbal dan unsur nonverbal. Kedua unsur ini saling

mendukung sehingga mudah diingat oleh konsumen. Keempat, ideologi setiap

iklan kecantikan pada umumnya bersifat konsumerisme karena wanita cenderung

lebih konsumtif soal kecantikan.

Penelitian Astini (2008) mengkaji iklan dengan menggunakan analisis

wacana yang dikemukanan van Dijk. Namun, sama halnya dengan penelitian

Mulyawan, analisis wacana yang diterapkan hanya pada tataran analisis teks yang

meliputi tiga struktur, yakni struktur mikro, superstruktur, dan struktur makro.

Sementara, analisis kognisi dan konteks sosial tidak dilakukan, padahal dalam

Page 13: (rtrwp) bali dalam harian bali post

13

pandangan van Dijk, ketiga level ini (analisis teks, kognisi, dan konteks sosial)

mesti dilaksanakan secara komprehensif sebagai tahapan yang terintegrasi dalam

analisis wacana agar analisis lebih komprehensif dan bersifat kritis.

Selain penelitian terhadap wacana iklan, juga ditemukan penelitian

terhadap wacana berita media cetak, yaitu majalah Sabili oleh Khotimah (2004)

yang berjudul “Analisis Wacana Ideologi Tandingan (Wacana Terorisme dalam

Media-Analisis Kritis Pemberitaan Abu Bakar Ba’asyir)”. Penelitian ini

menggunakan analisis wacana kritis khususnya yang dikemukakan oleh van Dijk.

Penelitian yang berdasar pada teori analisis wacana van Dijk ini menemukan

beberapa hal. Pertama, struktur dan skema strategi wacana secara tekstual yang

ditulis wartawan Sabili dalam pemberitaan Ba’asyir secara keseluruhan

mendukung argumen pembelaan atas Ba’asyir sebagai representasi umat Islam;

Strategi wacana secara ideologis juga mewarnai struktur wacana teks yang

ditampilkan Sabili. Teks-teks yang menggunakan argumen melalui data-data,

fakta yang ditampilkan Sabili pun menampakkan sikap Sabili baik secara

ideologis maupun psikologis penulisnya.

Kedua, kognisi sosial wartawan Sabili sebagai representasi mentalnya

terekspresikan dalam struktur teks yang ditampilkan. Lebih dari itu, struktur

wacana bahasa ini juga mengekspresikan sikap, keyakinan, pandangan, norma,

nilai, aturan, dan pengetahuan yang dimiliki wartawan Sabili. Islam sebagai

ideologi religius tampak baik pada teks, struktur kognisi, maupun aspek-aspek

behavioral yang ditunjukkan oleh wartawan Sabili. Sikap-sikap kontra Amerika

Serikat dan sekutunya yang ditunjukkan secara tegas dalam teks berita juga

Page 14: (rtrwp) bali dalam harian bali post

14

menjadi skema mental para wartawan Sabili dalam hal memandang kebijakan-

kebijakan AS, sekutunya, dan pemerintah Indonesia yang kerap memarginalkan

umat Islam khususnya dalam wacana terorisme.

Ketiga, media massa pada penelitian Khotimah ini terbukti menjadi

wilayah yang dipertarungkan oleh berbagai kalangan, baik untuk mengukuhkan

hegemoni maupun pihak yang ingin mendobrak atau menumbangkan hegemoni

sebagaimana wacana yang ditampilkan Sabili. Wacana hegemonik tentang

terorisme juga telah menyebabkan media massa cenderung melakukan trial by the

press terhadap Abubakar Ba’asyir dan Jamaah Islamiyah. Di samping itu, Islam

dan kelompok Islam dimarjinalkan dalam konteks perpolitikan di Indonesia juga

pada wacana politik global. Hal lainnya yaitu bias ideologis (anti-Islam lebih

spesifik anti-Islam radikal) dalam wacana terorisme terbukti ‘powerful’ dalam

membangun sentimen anti-Islam pada satu sisi. Namun, pada sisi lain telah

menjadi salah satu bentuk publisitas yang ‘powerful’ juga bagi Islam sebagai

ideologi dominan politik internasional.

Selain penelitian terhadap wacana tertulis, juga ditemukan penelitian

sejenis terhadap wacana lisan sebagai berikut. “Wacana Kantola di Kabupaten

Muna dalam Perspektif Linguistik Kebudayaan” oleh La Ode Bardia (2006) yang

mendeskripsikan struktur linguistik, struktur tematik, struktur skematik, makna

lingual-kultural, dan nilai budaya Kantola yang berdasar pada teori wacana Van

Dijk dan teori semiotik Saussure.

Penelitian ini merumuskan beberapa simpulan. Pertama, dilihat dari segi

bentuknya, kontola terdiri atas beberapa lirik/bait. Setiap lirik/bait terdiri atas

Page 15: (rtrwp) bali dalam harian bali post

15

beberapa baris yang jumlahnya tidak tentu. Lirik yang panjang terdiri atas empat

belas baris, sementara yang pendek terdiri atas tiga baris. Setiap baris terdiri atas

tiga sampai sepuluh kata. Dari segi intonasi, setiap baris selalu diakhiri dengan

nada naik kemudian turun.

Dari struktur skematik, penelitian ini menyimpulkan bahwa wacana

Kontola di Kabupaten Muna (WKM) terdiri atas prapendahuluan, pendahuluan,

isi, pra-penutup, dan penutup. Prapendahuluan ditandai dengan menyuarakan

bunyi vokal [a, e, o] yang dipanjangkan selama kurang lebih lima belas menit. Hal

ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana. Selanjutnya, tema yang terdapat

dalam WKM, yakni kritik sosial, kritik moral, pelipur lara, nasihat, cinta,

kekecewaan, dan kebencian, dan dendam.

Dari segi makna lingual-kultural terkandung nilai-nilai budaya, seperti

solidaritas, keadilan, pendidikan, etika, kewaspadaan, kearifan, keagamaan,

kesabaran, kesetaraan, dan ketangguhan.

Penelitian Bardia (2006) memang menerapkan analisis wacana yang

disampaikan van Dijk, tetapi pada pelaksanaannya tidak terlalu terperinci

menerapkan analisis terhadap kognisi sosial. Padahal, kognisi sosial justru

menjadi fokus analisis wacana ini, sebagaimana disampaikan van Dijk (1988a: 20)

“….our cognitive approach focus on social cognition”. Kognisi ini dibutuhkan

untuk menghubungkan situasi sosial dengan wacana (van Dijk, 2005: 75).

Analisis wacana lisan lain dilakukan terhadap ritual Sua Songga

masyarakat Ende oleh Antonius Kato (2007) dengan judul “ Wacana Ritual

Songga Masyaraat Ende di Kecamatan Ende: Kajian Linguistik Kebudayaan”.

Page 16: (rtrwp) bali dalam harian bali post

16

Dengan teori analisis wacana van Dijk, Fairclough, dan teori semiotik sosial

M.A.K. Halliday, penelitian ini mengungkapkan struktur tematik, struktur

skematik, serta makna dan nilai yang terkandung dalam wacana ritual Sua Songga

masyarakat Ende.

Penelitian ini merumuskan beberapa simpulan sebagai berikut. Pertama,

dari segi fonologis, semua bunyi vokal dapat direalisasikan sebagai bunyi rendah,

kecuali vokal /θ/. Dari aspek morfologi, terdapat empat bentuk kata yang

didayagunakan, yakni nomina, verba, adjektiva, dan adverbia seperti pada bahasa

Indonesia ataupun bahasa daerah lainnya. Dari aspek sintaksis, terdapat nilai

eksperiensial yang ditunjukkan proses dan partisipan. Partisipan yang berperan

sebagai aktor atau agen hanya muncul pada bagian awal dan akhir, sedangkan

pada bagian tengah (isi permohonan), peran partisipan sebagai aktor dan agen

selalu dilesapkan. Aspek leksikalisasi dalam teks wacana ritual sua songga ‘doa

adat’ tergolong unik karena memanfaatkan bentuk-bentuk yang bersinonim,

berantonim, dan berhiponim. Dari aspek gaya bahasa, pararelisme dan repetisi

merupakan gaya yang paling menonjol dan unik dengan ungkapan-ungkapan yang

mengandung makna hiperbola, aliterasi, asonansi, metafora, persamaan atau

simile dan personifikasi.

Pada struktur makro, teks wacana ritual sua songga ‘doa adat’ memiliki

struktur tematik yang menunjukkan hal, antara lain kepercayaan/keyakinan

kepada wujud tertinggi, kebersamaan dan kekeluargaan, sejarah, kesehatan dan

keselamatan, dan kesuksesan/keberhasilan dalam usaha dan kehidupan keluarga.

Page 17: (rtrwp) bali dalam harian bali post

17

Strutur skematik terdiri atas tiga bagian. Ketiga bagian tersebut adalah (a)

pendahuluan/pembukaan, dengan langkah-langkah: salam/sapaan; pemberitahuan;

dan transisi; (b) batang tubuh/isi permohonan-permohonan; dan (c) penutup, yaitu

pemberitahuan/pamitan.

Teks wacana ritual sua songga ‘doa adat’ memiliki makna yang terdiri atas

(a) makna religius yaitu makna yang menyatakan hubungan dengan kekuasaan

Wujud Tertinggi; (b) makna sosiologis yaitu makna kebersamaan dan

kekeluargaan, penghargaan akan kesehatan dan keselamatan, penghargaan akan

keberhasilan dalam keluarga; dan (c) makna sejarah (historis). Sementara, nilai

sosiokultural, yakni (a) nilai religi, kesadaran diri, keyakinan akan peran leluhur,

dan kebenaran sejarah; (b) nilai sosiologis, persaudaraan, kesadaran akan adanya

herarki sosial, kesadaran akan peran pelayanan dan perjuangan.

Penelitian Kato (2007) menerapkan analisis wacana yang disampaikan van

Dijk untuk menganalisis wacana dalam ritual kebudayaan. Hal ini tentu berbeda

dengan penelitian yang peneliti lakukan yang menganalisis teks berita pada harian

Bali Post. Selain itu, penelitian ini juga berbeda dengan yang peneliti lakukan

karena penelitian Kato (2007) hanya menerapkan teori yang disampaikan van Dijk

pada level analisis teks, yakni pada level struktur mikro, superstruktur, dan

struktur makro. Sementara, dua dimensi analisis, yakni kognisi dan konteks sosial

tidak dianalisis. Dalam penelitian ini, dianalisis ketiga dimensi wacana tersebut

yaitu analisis teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Ketiga dimensi analisis

meliputi analisis teks/wacana, kognisi sosial, dan konteks sosial merupakan satu

kesatuan yang seharusnya diterapkan secara bersama-sama untuk menganalisis

Page 18: (rtrwp) bali dalam harian bali post

18

sebuah wacana. van Dijk (2001) menyampaikan “I thus limit my own endeavours

to the domain, defined by the theoritical discourse-cognition-society triangle.”

Dengan demikian, ketiga dimensi analisis ini tidak terpisahkan. Mengabaikan

analisis terhadap kognisi, justru mengabaikan bagian terpenting dalam analisis

wacana kritis, khususnya yang disampaikan van Dijk. Meyer (2001) menyebutkan

“CDA (Critical Discourse Analysis) does not take this relationship - between

language and society - to be simply deterministic involves an idea of mediation.”

Jadi, karakteristik utama analisis wacana kritis yang dikemukakan van Dijk justru

pada kognisi yang merupakan penghubung antara wacana dan masyarakat.

Haryanto (1999) dalam tesisnya menganalisis kolom “Pojok” dalam surat

kabar Republika periode Januari sampai dengan April 1999 dengan menggunakan

kajian gramatikal dan pragmatik. Judul penelitian Haryanto adalah “Wacana

Kolom Pojok Rehat Dalam Surat Kabar Republika: Kajian Gramatikal dan

Pragmatik”. Dalam penelitian itu, Haryanto mengkaji aspek gramatikal dan

pragmatik kolom tersebut untuk (1) mengetahui bentuk-bentuk kebahasaan yang

digunakan, (2) menjelaskan variasi bahasa yang digunakan, (3) memerikan cara-

cara menemukan maksud, dan (4) menganalisis maksud penulis kolom tersebut.

Kajian ini merumuskan simpulan sebagai berikut. Pertama, bentuk

kebahasaan yang digunakan dalam Wacana Kolom Pojok Rehat (WKPR) untuk

menyampaikan maksudnya meliputi (1) kalimat berklausa dan tak berklausa, (2)

kalimat tunggal dan kalimat majemuk, (3) kalimat deklaratif, interogatif, dan

imperatif. Kedua, variasi bahasa yang digunakan oleh penulis WKPR untuk

menjadikan wacana ini menarik dan mengena sasaran, antara lain (1) pemakaian

Page 19: (rtrwp) bali dalam harian bali post

19

campur kode (campur kode ke dalam dan campur kode ke luar), (2) pemakaian

bahasa ringkas (tingkat kata, frasa, dan klausa), (3) pemakaian bahasa sebagai

hasil kreativitas penulis, dan (4) pemakaian ungkapan-ungkapan. Ketiga, maksud

penulis yang diungkapkan dalam WKPR ini dapat dipahami dengan mudah berkat

hadirnya alat-alat analisis wacana, antara lain (1) kohesi (referensi, substitusi,

elipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal, (2) koherensi, (3) konteks situasi, (4)

prinsip analogi, dan (5) latar belakang pengetahuan. Keempat, munculnya

berbagai bentuk kebahasan dan berbagai macam variasi bahasa dalam KPR ini

dimaksudkan oleh penulis WKPR dapat menjadi sarana untuk mengomunikasikan

maksud hatinya. Maksud yang disampaikan antara lain: sindiran, kritikan, saran,

keluhan, dan perintah.

Meskipun sama-sama merupakan kajian wacana, kajian Haryanto berbeda

dengan dengan penelitian ini, baik dari segi subjek, objek analisis maupun teori

yang digunakan dalam menganalisis. Perbedaan ini menciptakaan keunikan pada

tiap-tiap penelitian. Dalam penelitian itu, Haryanto menganalisis wacana “Kolom

Pojok” dengan menggunakan analisis gramatikal dan pragmatik, sedangkan

peneliti menganalisis wacana berita dengan menggunakan teori analisis wacana

yang disampaikan van Dijk. Jadi, meskipun sama-sama merupakan analisis

wacana, kedua penelitian ini sangat berbeda.

Penelitian-penelitian sejenis tersebut dapat digolongkan, yaitu (1) analisis

terhadap wacana tertulis berupa “kolom pojok” berjumlah satu buah penelitian (2)

analisis terhadap wacana tertulis berupa iklan yang berjumlah dua buah penelitian,

(3) analisis wacana tertulis berupa berita berjumlah satu buah penelitian, dan (4)

Page 20: (rtrwp) bali dalam harian bali post

20

analisis wacana lisan tradisi masyarakat berjumlah dua buah penelitian. Setelah

dilakukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian tersebut, diketahui bahwa

penelitian ini paling menyerupai penelitian yang tergolong pada jenis ketiga, yaitu

penelitian yang dilakukan oleh Ema Khotimah (2004). Penelitian ini sama dengan

penelitian tersebut dalam hal jenis wacana yang dianalisis, yakni berita dan dari

segi teori analisis wacana yang digunakan, yaitu analisis wacana van Dijk.

Perbedaannya adalah pada sumber data penelitian. Sumber data penelitian Ema

Khotimah adalah majalah Sabili yang sudah jelas menganut ideologi tertentu,

yaitu ideologi Islam. Hal ini tampak pada latar belakang penelitiannya yang

mengutip pandangan Agus Sudibyo (2004: 9) tentang Sabili sebagai media

partisan karena keberpihakannya yang transparan dan tegas membela umat Islam,

sedangkan sumber data penelitian ini adalah koran harian Bali Post yang

memegang semboyan “Pengemban, Pengamal Pancasila”. Semboyan ini

merepresentasikan ideologi yang idealnya dianut dan diterapkan oleh media Bali

Post.

Wibowo (2009: 196) menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila dalam kode

etik jurnalistik, yakni (1) wartawan Indonesia beriman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa; (2) menghormati kebebasan orang lain; (3) tidak bekerja

untuk kepentingan sendiri atau kelompok, tidak memfitnah, tidak sadis, tidak

cabul, tidak memutarbalikkan fakta; (4) demokrasi substantif, menghargai off the

record, mengakui kesalahan, menghargai ketentuan embargo, memberi informasi

yang benar; (5) berita selaras-seimbang, check and recheck, hak jawab, dan hak

koreksi. Dengan demikian, secara ideal Bali Post tidak memihak kepada

Page 21: (rtrwp) bali dalam harian bali post

21

golongan atau pihak tertentu dalam produksi berita-beritanya karena menganut

ideologi Pancasila, yang menjunjung tinggi kepentingan umum di atas

kepentingan golongan. Hal ini membuktikan bahwa sumber data yang digunakan

oleh Ema Khotimah dan peneliti memang memiliki perbedaan yang mendasar.

Jadi, penelitian ini memiliki originalitas.

2.2 Konsep

2.2.1 Wacana dan Teks

Pada awalnya, kata wacana dalam bahasa Indonesia digunakan untuk

mengacu pada bahan bacaan, percakapan, dan tuturan. Dalam konteks ini, wacana

yang digunakan merupakan kata wacana sebagai padanan dari istilah discourse

dalam bahasa Inggris. Kata discourse berasal dari bahasa Latin discursus yang

berarti ’lari ke sana kemari’, ’lari bolak-balik’.

Tarigan (1993: 27) mendefinisikan wacana sebagai satuan bahasa yang

terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi

dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang

nyata disampaikan secara lisan atau tertulis. Wacana didefinisikan oleh Zaimar

dan Harahap (2009: 12) wacana didefinisikan sebagai bahasa yang komunikatif,

yaitu yang sedang menjalankan fungsinya.

Gee membedakan ”discourse” dengan ”Discourse”. Such language-in-

use I will call ”discourse” with a ”little d” (Gee, 2005: 7). Jadi, ”discourse”

didefinisikan sebagai bahasa dalam penggunaannya. Sementara ”Discourse”

Page 22: (rtrwp) bali dalam harian bali post

22

digunakan untuk mengacu kepada bahasa dalam pengunaannya dengan

melibatkan pula atribut yang bersifat nonbahasa.

Pandangan selanjutnya disampaikan oleh van Dijk (1985c: 108):

”Discourse is not just a set of sentence but an ordered sequence, with

conventional constraints on the possible orderings if it is to be meaningful and if

it is to represent certain fact structures, for example, episode”. Wacana bukan

hanya kumpulan kalimat, melainkan rangkaian pesan dengan ketentuan

konvensional dalam susunan yang mungkin jika itu menjadikannya bermakna dan

jika itu merepresentasikan struktur fakta tertentu, seperti peristiwa. van Dijk

(1992: 3) juga menyebutkan bahwa wacana secara sistematis berhubungan dengan

tindakan komunikatif. van Dijk (1984: 53) menggambarkan kehadiran wacana

sebagai salah satu media terpenting yang menghubungkan individu dengan

masyarakat, pengetahuan dengan dimensi interaksional. Wacana menjadi sarana

untuk menyampaikan kognisi sosial. Pandangan mengenai kognisi sosial

merupakan fokus perhatian van Dijk karena kognisi memiliki peran penting dalam

produksi dan pemahaman wacana. Kognisi menjadi penghubung antara situasi

sosial dan wacana.

Fairclough (1994: 43) mengemukakan ”Discourse as a place where

relations of power are actually exercised an enacted”. Fairclough (1994: 22)

juga mengemukakan bahwa wacana merupakan penggunaan bahasa yang

ditentukan secara sosial. Lebih lanjut, Fairclough (1995: 63) menyampaikan ”In

using the term ’discourse’ I’am proposing to regard language use as a form of

social practice, rather than a purely individual activity or a reflex of situasional

Page 23: (rtrwp) bali dalam harian bali post

23

varieables.” Pandangan ini menyiratkan bahwa dalam pandangan Fairclough,

wacana merupakan bentuk tindakan yang bersifat sosial dan melibatkan

kekuasaan. Kedua, wacana menunjukkan hubungan dialektik antara wacana dan

struktur sosial. Wacana berfungsi mengonstruksi struktur sosial tertentu.

Sebaliknya, struktur sosial akan memengaruhi produksi wacana.

Brown dan Yule (1996: 1) menggunakan istilah wacana untuk mengacu

pada bahasa yang sedang digunakan. Sejalan dengan itu, Zaimar dan Harahap

(2009: 12) menggunakan istilah wacana untuk mengacu pada satuan bahasa yang

komunikatif, yaitu yang sedang menjalankan fungsinya. Dengan demikian,

wacana harus mempunyai pesan yang jelas dan otonom, dapat berdiri sendiri.

Pemahaman terhadap wacana hendaknya memerhatikan konteks situasinya karena

hal tersebut memengaruhi makna wacana. Bentuk wacana tidak dapat dipastikan

karena bisa berupa kata saja, kalimat, paragraf, artikel, bahkan buku. Wacana bisa

juga dipahami sebagai rangkaian kalimat yang serasi, yang menghubungkan

proposisi satu dengan proposisi lain, kalimat satu dengan kalimat lain yang

membentuk satu kesatuan (Eriyanto, 2006: 3). Selanjutnya, Jorgensen dan Phillips

(2007: 2) mendefinisikan wacana dengan agak berbeda, yakni sebagai cara

tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia) ini.

Halliday dan Hasan (1976: 1) menyatakan bahwa ”a text is a unit of

language in use”. Teks yang dimaksud dalam hal ini meliputi bentuk lisan

maupun tulis penggunaan bahasa. Selanjutnya, Halliday dan hasan (1976: 2)

menjelas bahwa teks merupakan unit semantik; bukan sekadar bentuk melainkan

makna. Teks menurut Halliday (1988: i) adalah sebagai segala sesuatu yang

Page 24: (rtrwp) bali dalam harian bali post

24

diucapkan atau ditulis dalam konteks. Halliday (1988: xi) menjelaskan “A Text

can be highly complex phenomenon, the product of a highly ideational and

interpersonal environment”.” Beaugrande (dalam van Dijk (ed), 1985b: 48-49)

menjelaskan bahwa memahami teks sebagai susunan frasa dan klausa yang

kohesif dan secara konseptual umumnya koheren tidaklah cukup. Sebuah teks

tidak hanya detentukan berdasarkan kohesi dan koherensi, melainkan juga

intensionalitas, keberterimaan, situasi, intertekstualitas, dan keinformatifannya.

Berdasarkan beberapa pemaparan tersebut, wacana dan teks agak sulit

untuk dibedakan. Wacana secara umum didefinisikan sebagai bahasa baik lisan

maupun tulis yang sedang digunakan, menjalankan fungsi, serta berada dalam

konteks tertentu. Teks juga digambarkan sebagai bentuk penggunaan bahasa yang

tidak hanya cukup dipahami berdasarkan kohesi dan koherensi saja, melainkan

melibatkan juga intensionalitas, keberterimaan, situasi, intertekstualitas, dan

muatan infirmasinya yang terdapat di dalamnya.

van Dijk (1988a: 24) tidak membedakan istilah wacana dengan teks, dan

menggunakan istilah teks dan wacana sebagai istilah yang dapat dipertukarkan.

Dalam penelitian ini, istilah teks dan wacana akan digunakan dengan mengikuti

pandan van Dijk, yakni sebagai istilah yang tidak dibedakan dan dapat

dipertukarkan. Kress (dalam van Dijk (ed), 1985e: 27) mengemukakan juga

bahwa istilah “wacana” dan “teks” cenderung digunakan tanpa perbedaan yang

tajam. Jika pembahasan didasarkan atau bertujuan sosiologis, maka istilah

“wacana” yang digunakan, namun jika pembahasan didasarkan pada linguistik,

maka istilah “teks” yang digunakan.

Page 25: (rtrwp) bali dalam harian bali post

25

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa wacana atau teks

dapat didefinisikan sebagai bahasa dalam penggunaannya yang memiliki struktur

gramatikal tertentu yang kohesif serta koheren. Dengan menekankan wacana atau

teks sebagai bahasa dalam penggunaan, wacana atau teks menjadi bentuk bahasa

yang kompleks karena tidak saja berhubungan dengan bentuk kebahasaan, tetapi

juga berhubungan dengan konteks, baik yang bersifat sosial maupun kognitif.

2.2.2 Berita

Berita lebih mudah dikenali daripada didefinisikan. Meskipun demikian,

terdapat beberapa definisi berita yang dapat memperkuat pemahaman mengenai

berita. Berita adalah laporan atau pemberitahuan tentang segala peristiwa aktual

yang menarik perhatian orang banyak (Suhandang, 2004: 103). Sejalan dengan

konsep tersebut, Kusumaningrat dan Kusumaningrat (2007: 40) merumuskan

berita sebagai informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik

perhatian orang. Iswa (2005) memaparkan pandangan mengenai berita yang

bersifat objektif sekaligus subjektif. Berita bersifat objektif karena terkait dengan

objek tertentu dan bersifat subjektif karena disampaikan oleh subjek. Iswara tidak

menyampaikan definisi berita secara eksplisit, tetapi menggambarkan berita

dengan menguraikan sifat berita bahwa objektivitas tidak cukup dalam

menyampaikan berita. Selain objektif, berita juga harus adil. Berdasarkan standar

sikap adil Washington Post, Iswara memaparkan bahwa berita yang adil harus

mengandung fakta yang lengkap, mengandung informasi yang relevan,

membimbing pembaca ke arah yang benar dan bersikap jujur; wartawan berterus

Page 26: (rtrwp) bali dalam harian bali post

26

terang dan tidak menyembunyikan prasangka atau emosi di balik kata-kata halus

yang merendahkan.

Pan dan Kosicki (1993: 58) menyebutkan “News text as consisting of

organized symbolic devices that will interact with individual agents memory for

meaning construction.” Pandangan ini merupakan bentuk ketidaksetujuan

terhadap anggapan yang meyakini berita sebagai bentuk wacana yang bersifat

objektif.

van Dijk (1988a: 4) menyebutkan tiga makna berita pada media massa

yang umum digunakan. Pertama, informasi baru tentang peristiwa, sesuatu atau

seseorang. Kedua, tipe program (TV atau radio) di mana berita disajikan. Ketiga,

berita atau laporan peristiwa, teks atau wacana di radio, TV atau surat kabar, yang

menyajikan informasi baru mengenai peristiwa terbaru.

Berdasarkan beberapa difinisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa berita

merupakan laporan mengenai peristiwa aktual yang berhubungan dengan

kepentingan khalayak yang disampaikan melalui media massa. Kepentingan

khalayak, bukanlah konsep yang bisa digambarkan secara sederhana. Kepentingan

khalayak ini ditentukan berdasarkan nilai berita yang dimiliki oleh suatu peristiwa

atau hal yang akan diinformasikan.

Konsep yang diacu dalam penelitian ini adalah nilai berita yang

dikemukakan oleh van Dijk (1988a: 121). Pertama, novelty (kebaruan). Kebaruan

menyangkut perihal kebaruan informasi dalam berita. Berita yang diterima oleh

pembaca hendaknya merupakan berita yang belum pernah dibaca atau diketahui

sebelumnya. Kedua, recency (kekinian). Recency (kekinian) tidak jauh berbeda

Page 27: (rtrwp) bali dalam harian bali post

27

dengan novelty. Jika novelty menyangkut kebaruan berita, recency menyangkut

keaktualan atau kekinian berita (berhubungan dengan waktu terjadinya peristiwa

dengan waktu diterimanya berita tersebut oleh pembaca). Ketiga, presupposition

(pengetahuan awal, skemata). Wartawan harus memiliki asumsi bahwa pembaca

mungkin belum membaca atau sudah lupa terhadap informasi sebelumnya.

Dengan demikian, dibutuhkan informasi awal sebagai latar belakang atau konteks

peristiwa aktual yang sedang diberitakan. Informasi ini bertujuan untuk

memperbarui model dan skemata pembaca. Tanpa model dan skemata

sebelumnya, pembaca tidak mampu memahami teks berita tersebut.

Keempat, consonance (kecocokan). Sebuah berita hendaknya cocok secara

sosial dengan norma-norma dan sikap yang berlaku di masyarakat, seperti

skemata, kepercayaan, opini yang sudah ada di tengah masyarakat, dan sikap-

sikap sosial. Pembaca akan lebih mudah memahami dan menerima sebuah berita

jika norma-norma jurnalis juga sama dengan pembaca. Kelima, relevance atau

hubungan atau keterkaitan. Secara umum, berita tentang peristiwa atau tindakan

yang berhubungan atau memiliki keterkaitan dengan pembaca lebih disukai

pembaca. Hal ini terjadi sebab informasi ini menyediakan model yang dapat

digunakan sebagai interpretasi terhadap wacana lain atau untuk merencanakan dan

mengeksekusi tindakan dan interaksi sosial.

Keenam, deviance and negativity (penyimpangan dan kenegatifan). Secara

umum, wacana berita adalah tentang peristiwa-peristiwa negatif, seperti masalah,

skandal, konflik, kriminalitas, perang, dan bencana. Secara psikoanalitis, berbagai

bentuk kenegatifan dalam berita merupakan ekspresi ketakutan kita sendiri.

Page 28: (rtrwp) bali dalam harian bali post

28

Selanjutnya, model kenegatifan tersebut secara langsung dihubungkan dengan

sistem emosi pertahanan diri yaitu daya tarik terhadap sesuatu yang berjalan

dengan tidak semestinya menjadi sebuah persiapan yang efektif untuk tindakan

penghindaran. Ketujuh, proximity atau kedekatan. Pesan yang disampaikan media

tentang peristiwa yang dekat dengan masyarakat akan dipahami dengan lebih baik

karena berdasarkan model yang lebih utuh dan tersedia. Selain itu, berita juga

menjadi lebih relevan untuk interaksi langsung atau aktivitas kognitif dan sosial.

2.2.3 Ideologi

Ideologi merupakan konsep yang tidak mudah dijelaskan. Fiske (2006:

228) menguraikan konsep ideologi yang dikemukakan oleh Raymond Williams

tentang tiga penggunaan utama konsep ideologi. Pertama, suatu sistem keyakinan

yang menandai kelompok atau kelas tertentu. Kedua, suatu sistem keyakinan

ilusioner – gagasan palsu atau kesadaran palsu – yang bisa dikontraskan dengan

pengetahuan sejati atau pengetahuan ilmiah. Ketiga, proses umum produksi

makna dan gagasan.

Wodak (2001) mengemukakan ideologi sebagai aspek penting dalam

menciptakan dan mempertahankan hubungan kekuasaan yang tidak setara. Hal ini

sejalan dengan konsep yang disampaikan Fairclough (1994: 2) bahwa ideologi

berhubungan sangat erat dengan kekuasaan dan bahasa. Hal ini juga sejalan

dengan konsep yang disampaikan Kress (2010) bahwa sistem ideologis eksis

dalam dan diartikulasikan melalui bahasa. Dengan demikian, sistem ideologis itu

sendiri bisa dijangkau melalui analisis bahasa. Hamad (2010: 60) menjelaskan

Page 29: (rtrwp) bali dalam harian bali post

29

ideologi dalam konteks semiotika sebagai titik tolak orang (term of refence) untuk

melakukan produksi dan interpretasi pesan. Thompson (2007: 18)

menggambarkan ideologi dalam konteks ilmu sosial sebagai perekat hubungan

sosial yang mengikat anggota masyarakat secara bersama dengan menetapkan

nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.

van Dijk (2001a: 115) menjelaskan ideologi sebagai representasi sosial

dasar kelompok sosial. Ideologi juga dijelaskan sebagai kerangka dasar untuk

mengorganisasi kognisi sosial yang disebarkan oleh anggota kelompok sosial,

organisasi, atau institusi (van Dijk. 1995a: 18). Ideologi digambarkan bersifat

kognitif sekaligus sosial. Ideologi secara keseluruhan merupakan sistem mental

yang abstrak yang mengorganisasi sikap-sikap yang disebarkan secara sosial.

Ideologi diperoleh secara bertahap oleh anggota kelompok atau kebudayaan (van

Dijk. 1995a: 18). Selanjutnya, van Dijk (1998a) menggambarkan ideologi sebagai

representasi sosial yang lain bersifat kognitif seperti halnya konstruksi sosial yang

tidak hanya disebarkan secara mental dengan orang lain sebagai bentuk kognisi

sosial, tetapi juga diproduksi secara sosial dengan orang lain sebagai anggota

kelompok.

van Dijk (2006b: 117) menguraikan fungsi kognitif dan sosial ideologi.

Pertama, mengorganisasi dan dasar representasi sosial yang disebarkan oleh

anggota (ideologis) kelompok. Kedua, ideologi merupakan dasar wacana dan

tindakan sosial yang lain anggota kelompok sosial sebagai bagian dari kelompok

tersebut. Ketiga, ideologi memungkinkan anggota kelompok untuk

mengorganisasi dan menyelaraskan tindakan dan interaksi mengenai pandangan,

Page 30: (rtrwp) bali dalam harian bali post

30

tujuan, dan minat kelompok secara keseluruhan. Keempat, ideologi berfungsi

sebagai penghubung sosiokognitif struktur sosial kelompok dengan wacana dan

tindakan sosial lainnya. Beberapa ideologi berfungsi untuk mengesahkan

dominasi, tetapi juga untuk melakukan perlawanan dalam hubungannya dengan

kekuasaan. Fungsi ideologi yang lain adalah dasar pedoman dalam bertindak bagi

bidang pekerjaan atau keahlian tertentu.

Teori tentang ideologi bersifat multidispliner. Teori ini diartikulasikan

dalam sebuah segi tiga konseptual yang berhubungan dengan masyarakat, wacana,

dan kognisi sosial dalam kerangka kerja analisis wacana kritis (van Dijk, 1995a:

17). Dalam pendekatan ini, ideologi merupakan kerangka kerja dasar untuk

mengorganisasi kognisi sosial yang dimiliki oleh anggota sebuah kelompok sosial.

Dengan demikian, ideologi bersifat kognitif dan sosial. Secara mendasar,

keduanya berfungsi sebagai penghubung antara representasi kognitif dan proses

yang mendasari wacana dan tindakan di satu sisi, posisi kemasyarakatan dan

minat kelompok sosial di sisi lain. Konsep ideologi ini juga memungkinkan kita

menetapkan hubungan yang penting antara analisis makro terhadap kelompok

sosial, formasi sosial, dan struktur sosial dengan bidang mikro, yaitu situasi,

interaksi individu, dan wacana.

Ideologi merupakan sistem mental yang abstrak dan mengorganisasi sikap

secara sosial. Sikap-sikap feminis, misalnya, secara internal telah terstruktur dan

berhubungan dengan prinsip-prinsip umum yang telah dipahami bersama sebagai

sebuah ideologi “feminis”. Contoh lain adalah rasis, antirasis, sikap-sikap

ekologis prolingkungan dengan sistem ideologis yang dimiliki.

Page 31: (rtrwp) bali dalam harian bali post

31

Melalui proses panjang dan kompleks terhadap proses pembentukan

informasi sosial, ideologi secara berangsur-angsur diperoleh oleh anggota sebuah

kelompok atau budaya. Sebagai sistem prinsip yang mengorganisasi kognisi

sosial, ideologi diasumsikan mengontrol sikap anggota kelompok melalui pikiran

dan reproduksi sosial anggota. Ideologi secara mental merepresentasikan

karakteristik sosial yang mendasar yang dimiliki oleh sebuah kelompok, seperti

identitas, tujuan-tujuan, norma-norma, dan nilai-nilai. Ideologi diorganisasikan

oleh skemata kelompok (group-schemata). Rasis kulit putih, misalnya,

merepresentasikan masyarakat secara mendasar dalam hal konflik antara kulit

putih dan nonkulit putih, yaitu identitas, tujuan, nilai, posisi, dan sumber

penghasilan orang kulit putih diancam oleh yang lain. Mereka merepresentasikan

hubungan ini sebagai ‘kami’ versus ‘mereka’, yaitu ‘kami’ diasosiasikan dengan

perangkat positif dan ‘mereka’ diasiosiasikan dengan perangkat negatif.

Ideologi ada di antara struktur sosial dan struktur pikiran anggota sosial.

Kedua struktur ini memungkinkan aktor sosial ‘menerjemahkan’ perangkat sosial

(identitas, tujuan, dan posisi) ke dalam pengetahuan dan kepercayaan yang

melatarbelakangi model konkret pengalaman hidup mereka sehari-hari. Secara

tidak langsung, ideologi mengontrol bagaimana merencanakan dan memahami

praktik sosial, termasuk di dalamnya struktur teks dan percakapan mereka sehari-

hari.

van Dijk (1998b: 21-22) menggambarkan bahwa opini dan ideologi

melibatkan keyakinan dan representasi mental, dan karena itu dibutuhakn

perspektif yang bersifat kognitif. Pada sisi lain, ideologi dan opini di media massa

Page 32: (rtrwp) bali dalam harian bali post

32

pada umumnya tidak bersifat personal, namun sosial, institusional, atau politis.

Dengan demikin, hubungan antara ideologi, media massa atau surat kabar, serta

opini yang terepresentasi dalam pemberitaan bersifat kompleks.

Dalam konteks pers Indonesia, Sudibyo (1999: 55-57) mengemukakan tiga

pandangan mengenai ideologi pers. Pertama, pers perjuangan. Ideologi pers

perjuangan ini berkembang pada masa kolonial. Tujuan utama pers saat itu adalah

untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan. Berseberangan dengan pers

perjuangan, terdapat pers kolonial, yang tentu saja memperjuangkan kepentingan

kolonial. Pers perjuangan mengusung ideologi kemerdekaan dan nasionalisme

kebangsaan. Pada masa perjuangan berkembang pandangan bahwa pers dianggap

lebih memiliki kekuatan daripada perang bersenjata (Triharyanto, 2009: 13).

Orientasi pers perjuangan tersebut membuat paradigma yang dikembangkan lebih

bersifat kritis terhadap negara (state) dan afirmatif terhadap masyarakat (society).

Kedua, ideologi industrial. Ideologi ini lahir ketika pers menjadi industri

yang melibatkan modal dan berkembang berdasarkan standar-standar profesional.

Kekritisan terhadap negara dan keberpihakan kepada masyarakat semakin

berkurang dengan masuknya, bahkan mendominasinya modal ke dalam institusi

pers. Akibat yang lebih jauh dari kondisi ini adalah kecenderungan pers yang

berpihak kepada pasar. Dengan kata lain, pers lebih berorientasi kepada

keuntungan daripada kepentingan masyarakat.

Ketiga, ideologi Pancasila atau pers pembangunan. Pers Pancasila adalah

pers yang orientasi sikap dan perilakunya bersumber pada ajaran dan doktrin

Pancasila. Pers dengan ideologi ini cenderung kondusif dan partisipatoris terhadap

Page 33: (rtrwp) bali dalam harian bali post

33

gerak langkah pembangunan. Dalam konteks ini pers nasional harus pers yang

sehat, bebas, bertanggung jawab, dan berfungsi sebagai penyebar informasi yang

konstruktif dan edukatif. Pers boleh melakukan kontrol sosial asalkan tetap dalam

term konstruktif dan bertanggung jawab.

2.2.4 Surat Kabar Bali Post

Bali Post dirintis oleh seorang wartawan Bali bernama K. Nadha. Sejarah

pers di Bali berhubungan erat dengan perjalanan K. Nadha muda yang baru tamat

Taman Dewasa di Denpasar pada sekitar 1942 - 1943. Ketika itu, usianya sekitar

17 tahun dan mulai bekerja sebagai wartawan Bali Shimbun yang dipimpin oleh

orang Jepang. Jepang memang melakukan pendudukan militer di Indonesia sejak

1942. Pada saat itu, undang-undang pemerintah no 16 tentang ”Pengawasan

Badan-badan Pengumuman dan Penerangan” dikendalikan oleh Jepang. Oleh

karena itu, koran-koran pergerakan yang ada sebelum Jepang diubah namanya. Di

Bali sendiri, saat itu belum muncul koran pergerakan. Barulah ketika Jepang

secara serentak di daerah mendirikan penerbitan, di Bali muncul Bali Shimbun, di

Sumatera bernama Kita Sumatera Shimbun, di Palembang terbit Palembang

Shimbun, di Kota Tanjung Karang terbit Lampung Shimbun, di Ambon terbit

Sinar Matahari, dan kantor berita Antara diubah menjadi Yashima dan kemudian

menjadi kantor berita Domei. Selanjutnya diganti menjadi Domei Bagian

Indonesia oleh Adam Malik.

Bali Shimbun tidak berlangsung lama. Pada 1945, ketika Jepang kalah

melawan Sekutu, Bali Shimbun mulai dipersiapkan untuk tidak terbit. K. Nadha

Page 34: (rtrwp) bali dalam harian bali post

34

sebelumnya secara diam-diam telah mencetuskan gagasan untuk meneruskan

perjuangan menerbitkan koran pergerakan. Rencana ini kemudian didukung oleh

kawan-kawannya, seperti I Gusti Putu Arka yang pulang ke Bali dari Yogyakarta

dan bekerja di Bali Shimbun pada 1944 karena sekolah Taman Siswa ditutup oleh

Jepang. Cita-cita ini ternyata memerlukan persiapan dua tahun (1946 - 1947). K.

Nadha mendirikan perpustakaan merangkap penjualan buku yang bergabung

dengan usaha tukang jahit milik saudaranya di Jl. Gajah Mada, Denpasar.

Baru pada 1948 K. Nadha berhasil menerbitkan penerbitan dengan cetak

handset. Namanya Suara Indonesia (yang kemudian menjadi Bali Post) dan

diterbitkan pertama kali dalam bentuk majalah. Menurut I Gusti Putu Arka, yang

kemudian memilih berjuang sebagai guru di Perguruan Rakyat Saraswati, Suara

Indonesia terbitnya tidak tentu, sesuai dengan situasi keamanan saat itu. Namun,

K. Nadha secara konsisten berjuang di bidang pers dan melahirkan wartawan-

wartawan muda lainnya.

Harian Bali Post yang berkembang pesat seperti sekarang serta melahirkan

”anak-anak” seperti mingguan Prima, tabloid Tokoh, harian Denpost, Bali Travel

News (tabloid pariwisata berbahasa Inggris), tabloid dwi mingguan Wiyata

Mandala. Di samping itu juga ”lahir” Radio Global FM Bali, Radio Singaraja FM

dan Radio Swara Widya Besakih, memang berkat kerja keras dan pandangan jauh

K. Nadha.

Bali Post yang kini berkantor pusat di Jalan Kepundung No. 67 A,

Denpasar semula bernama ”Suara Indoneia” dan terbit perdana pada 16 Agustus

1948. Koran ini diterbitkan oleh Penerbit Suara Indonesia dengan perintis K.

Page 35: (rtrwp) bali dalam harian bali post

35

Nadha dibantu Made Surya Udaya dan I Gusti Putu Arka – keduanya teman

seperjuangan K. Nadha.

Pada 2 Mei 1965, Badan Penerbitan Suara Indonesia diubah menjadi

Yayasan Genta Suara Revolusi Indonesia disingkat Gesuri berkedudukan di

Denpasar dengan akta No. 104, notaris Ida Bagus Ketut Rurus. Sejarah mencatat

pada 1966, berdasarkan ketentuan pemerintah bahwa semua penerbitan harus

berafiliasi kepada organisasi parpol dan instansi yang ada. Sehubungan dengan

itu, nama Suara Indonesia diubah menjadi Suluh Indonesia edisi Bali. Pada Juni

1966 sampai dengan Mei 1971, nama tersebut diganti kembali menjadi Suluh

Marhaen edisi Bali.

Pada tahun 1972, setelah terbentuk demokrasi terpimpin terjadi perubahan

iklim politik yang juga berpengaruh terhadap iklim penerbitan (pers). Sejak itu,

penerbitan pers dibebaskan dari keharusan berafiliasi sehingga dipakai kembali

nama Suara Indonesia. Namun, Departemen Penerangan tidak menyetujui karena

di Malang sudah ada surat kabar dengan nama yang sama. Dengan demikian,

dipakai nama Bali Post sampai sekarang.

Sebagai media yang terbit di Bali, Bali Post secara khusus memiliki

perhatian terhadap budaya dan kepentingan Bali. Pascabom yang meledak di

Legian, Kuta pada Oktober 2002 muncul slogan ajeg Bali. Ajeg Bali terasa

simpang siur yaitu mulai dari pencalonan gubernur, penguatan kebudayaan

manusia Bali versus globalisasi, agenda setting Bali ke depan, dan penguatan

basis ekonomi manusia Bali. Hal itu terjadi hingga 16 Agustus 2003 setelah

Page 36: (rtrwp) bali dalam harian bali post

36

harian Bali Post menerbitkan edisi khusus ulang tahun yang kemudian diterbitkan

menjadi buku berjudul Ajeg Bali Sebuah Cita-cita (Atmadja, 2010: ix)

Dalam buku Ajeg Bali, Sebuah Cita-cita (Bali Post, 2004), Ajeg Bali

dimaknai dalam tiga tataran. Pertama, tataran individu, yakni sebagai kemampuan

manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural. Kepercayaan diri tersebut

bersifat kreatif dan tidak membatasi diri pada hal-hal fisik semata. Kedua, tataran

lingkungan kultural. Ajeg Bali dimaknai sebagai terciptanya ruang hidup budaya

Bali yang bersifat inklusif, multikultural dan selektif terhadap pengaruh-pengaruh

luar. Ketiga, tataran proses kultural. Ajeg Bali adalah interaksi manusia Bali

dengan ruang hidup budaya Bali untuk melahirkan produk-produk atau penanda-

penanda budaya baru melalui proses yang berdasarkan nilai-nilai moderat,

nondikotomis, berbasis pada nilai-nilai kultural dan kearifan lokal, serta memiliki

kesadaran ruang (spasial) dan waktu yang mendalam.

Dwipayana (2005: 46-49) menguraikan pertarungan wacana dalam

gagasan ajeg Bali yang melibatkan tiga aktor utama. Pertama, kelompok dengan

perspektif konservatisme romantik. Dalam pandangan kelompok ini, satu-satunya

jalan dalam menghadapi transformasi sosial adalah dengan kembali pada

pengaturan tertib sosial yang sudah ada (tradisi-dresta). Kedua, kelompok yang

memperjuangkan tafsir ketertiban terhadap ajeg Bali yang merupakan turunan dari

mazhab fungsionalisme-struktural. Mazhab ini memandang masyarakat dan

pranata sosial sebagai sistem yang seluruh bagiannya saling bergantung dan

bekerja sama untuk menciptakan keseimbangan. Konsekuensi logis dari tafsir

ketertiban adalah penekanan yang berlebihan pada harmoni sosial. Ketiga,

Page 37: (rtrwp) bali dalam harian bali post

37

kelompok invensi kapitalisme pasar. Bagi kelompok ini, ajeg Bali dimaknai

sebagai invensi dari modernitas dalam memanfaatkan tradisi. Sebagai invensi

modernitas, makna ajeg Bali muncul sebagai kreativitas dari aktor-aktor modern,

baik industri media, maupun biro perjalanan untuk menggunakan simbol ajeg Bali

dalam kerangka kepentingan akumulasi kapital.

2.3 Landasan Teori

Metode analisis wacana yang dikemukakan van Dijk meliputi tiga level

analisis, yaitu analisis wacana atau teks, analisis kognisi sosial, dan analisis

konteks sosial. Analisis terhadap wacana atau teks dipilah lagi menjadi tiga level

analisis yang meliputi analisis struktur makro, analisis superstruktur dan analisis

struktur mikro. Tiap-tiap level analisis tersebut akan peneliti paparkan sebagai

berikut.

2.3.1 Analisis Struktur Teks

2.3.1.1 Struktur Makro (Thematic Structure)

Struktur makro merupakan makna global sebuah teks yang dapat dipahami

melalui topiknya. Topik direpresentasikan ke dalam satu atau beberapa kalimat

yang merupakan gagasan utama/ide pokok wacana. Tema atau topik merupakan

perangkat untuk memahami makna atau isi suatu teks. Sehingga, tema dan topik

memiliki peran yang penting dalam sebuah wacana, termasuk berita. Tema dan

topik secara sederhana dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan tentang apa

wacana tersebut. Sebagai level analisis yang mengkaji makna teks secara

keseluruhan, analisis struktur makro ini tergolong dalam analisis semantik.

Page 38: (rtrwp) bali dalam harian bali post

38

van Dijk (1988: 31) menyatakan “Topics belong to the global, macrolevel of

discourse description”. Analisis terhadap makna teks secara keseluruhan melalui

deskripsi tema atau topik ini disebut analisis struktur makro teks

(macrostructure).

van Dijk (1980) mengemukakan bahwa “Macrostructures are higher-level

semantic or conceptual structures that organize the ‘local’ microstructures of

discourse, interaction, and their cognitive processing.” Analisis pada level makro

memberikan gambaran tentang makna teks secara keseluruhan. van Dijk (1983b:

149) menyebutkan bahwa analisis pada tataran struktur makro berfungsi untuk

menggambarkan koherensi global wacana yang meliputi topik, tema, intisari, dan

maksud.

Tema atau topik dalam teks memiliki peran yang penting karena

memengaruhi dan mempermudah pemahaman terhadap pesan yang disampaikan

dalam teks. Dengan mengetahui tema atau topik, pemroduksi teks akan mudah

mengarahkan pesan selanjutnya yang akan disampaikan. Bagi penerima teks, tema

dan topik akan mempermudah dalam memahami teks secara keseluruhan hingga

bagian-bagian yang lebih khusus.

Tema atau topik pada umumnya ditentukan berdasarkan tingkat

kepentingan makna informasi yang akan disajikan. van Dijk (1988: 34)

menyatakan seperti di bawah seperti di bawah ini.

“A topic of a text is a strategically derived subjectivemacroproposition, which is assigned to sequences of propositions bymacroprocesses (rules, strategies) on the basis of general worldknowledge and personal beliefs and interests.”

Page 39: (rtrwp) bali dalam harian bali post

39

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui bahwa pemilihan tema dan

topik dalam suatu teks melibatkan proses yang kompleks. Proses tersebut

ditentukan oleh pengetahuan, persepsi, keyakinan, tujuan, sikap, nilai, dan minat

pemroduksi teks mengenai hal yang disampaikan.

Pada berita media massa, topik dapat dikenali melalui judul berita. Hal ini

disampaikan van Dijk (1988: 35) bahwa “Topics may be expressed and signaled

by headlines, which apparently act as summaries of the news text.” Proposisi yang

mengandung tema atau topik dibuat dengan mengurangi detail dan menggunakan

pengetahuan umum tertentu.

Sebuah teks memiliki proposisi-proposisi yang mengandung tema atau

topik, tetapi dalam level yang berbeda-beda. Suatu proposisi memayungi

proposisi yang lain sehingga membentuk kesatuan tema atau topik. Pola penataan

gagasan ini disebut sebagai macrorule. Meskipun terdiri atas beberapa proposisi

dan beberapa tema serta topik, sebuah wacana tetap memiliki kesatuan makna

yang dengan kata lain disebut koherensi global (global coherence). Koherensi

global mengacu pada kesalingterkaitan gagasan dan proposisi dalam suatu wacana

di samping mendukung suatu gagasan utama yang menjadi tema atau topik utama

dalam wacana. Topik utama dalam kalimat didukung oleh topik dan subtopik

sehingga membentuk makna yang utuh dan koheren. Hubungan antartema, topik,

kalimat, dan proposisi yang disajikan dalam wacana yang saling berkaitan dan

membentuk kesatuan makna yang disebut juga sebagai semantic macrostructures

(struktur makro semantik).

Page 40: (rtrwp) bali dalam harian bali post

40

Pengorganisasian tema, topik, dan proposisi dalam berita ditentukan oleh

pandangan dan pengetahuan wartawan tentang hal yang diberitakan. van Dijk

(1983: 29) mengatakan “The organization of news discourse is both a result of

and a condition for the cognitive operations of journalists and readers,

respectively, in the production, reproduction, or understanding of the news

‘data’.” Dengan demikian, upaya wartawan dalam menginterpretasi dan

memproduksi wacana tidak akan lepas dari pengaruh kognisi yang dimiliki

wartawan. Analisis wacana van Dijk, tidak menganalisis struktur wacana saja,

tetapi juga melibatkan analisis kognitif.

Pemilihan topik yang akan ditonjolkan diletakkan pada bagian awal berita,

yang disamarkan, bahkan yang dihilangkan dari wacana berita didasari oleh peran

kognisi wartawan. Pemilihan topik awal dalam wacana akan membantu dan

mengarahkan penerima wacana dalam memaknai dan memahami wacana. van

Dijk (1988a: 34) menyatakan “The topic acts as major control instance on the

further interpretation of the rest of the text.” Dengan kata lain, pemilihan topik

tertentu oleh wartawan atau pemroduksi wacana juga mencerminkan pandangan

subjektif, pengetahuan, keyakinan, dan ketertarikan pribadinya.

Analisis struktur makro dalam wacana berita dilakukan dengan mengamati

bagian judul (headline) dan teras berita (lead). Berikut adalah bagan struktur

makro berita.

Page 41: (rtrwp) bali dalam harian bali post

41

Tabel 2.1 Level Analisis Struktur Makro Wacana Berita

Level Analisis Hal yang Diamati Elemen AnalisisStruktur makro Tematik Tema

TopikSubtopik

(Dirumuskan berdasarkan van Dijk, 1988a)

2.3.1.2 Superstruktur (Superstructure)

Superstruktur (superstructure) merupakan struktur wacana secara

keseluruhan. Struktur wacana ini terhubung secara semantik melalui tema atau

topik. Struktur wacana secara keseluruhan disebut skema (schema). Skema

wacana ditentukan oleh jenis wacana dan maksud yang hendak disampaikan

melalui wacana tersebut. van Dijk ( 1988b: 14) menyatakan bahwa “Such a

schema can be defined by a set of characteristic categories and by a set of rules

or strategies that specify the ordering of these categories.”

Lebih lanjut, van Dijk (1988a: 51) menyatakan “This also means that the

schema determines how the topics of a text could or should be ordered and,

hence, how sequences and sentences should appear in the text.” Jadi,

superstruktur berhubungan dengan cara penyusunan tema, topik, proposisi, dan

kalimat dalam wacana sehingga membentuk struktur global wacana yang

mencerminkan pengetahuan, tujuan, nilai, keyakinan, dan minat pemroduksi

wacana. Skema wacana juga menunjukkan jenis wacana, yang kemudian

membedakannya dengan jenis wacana yang lain.

Superstruktur atau skema wacana berita pada media massa tidak memiliki

bentuk yang baku dan pasti. Namun, dapat digambarkan secara umum

berdasarkan unsur-unsur pembentuk dan struktur yang umum digunakan dalam

penyajian berita.

Page 42: (rtrwp) bali dalam harian bali post

42

Bell (1998: 67) mengutip pemaparan Labov mengenai unsur berita yang

pada umumnya terdiri atas enam elemen, yaitu abstrak, orientasi, tindakan,

evaluasi, resolusi, dan coda. Bell (1998: 68) sendiri mengajukan skema umum

berita yang terdiri atas tiga unsur utama, yaitu : attribution (pembuka atau

pengenalan), abstract (abstrak), dan story (cerita). Attribution dikhususkan

menjadi elemen-elemen sumber, tempat, dan waktu. Selanjutnya, abstrak di bagi

menjadi dua elemen lagi, yakni judul dan teras berita. Yang terakhir adalah story

(cerita) yang dapat dikhususkan menjadi episode-episode tertentu, yang masing-

masing memiliki elemen pembentuk, antara lain sumber, pelaku, tindakan, waktu,

tempat, dampak, reaksi, konteks, evaluasi, ekspektasi, episode sebelumnya, dan

sejarah atau peristiwa sebelumnya.

Pada penelitian ini, diterapkan skema berita yang diajukan oleh van Dijk

(1983a, 1985a, 1988a, 1988b, 1993a, 1995, 2006). Untuk mempermudah

penyajian, peneliti akan sajikan dalam bentuk bagan sebagai berikut.

Tabel 2.2 Level Analisis Superstruktur Wacana Berita

Level Analisis Yang Diamati Elemen AnalisisStruktursuper/Skema

Summary (ringkasan) JudulTeras berita

Story (kisah) situasi episode Peristiwa utamaKonsekwensi

latar KonteksHistoris

komentar Kesimpulan HarapanEvaluasi

Reaksiverbal

Reaksi verbal

(Dirumuskan berdasarkan van Dijk, 1983a; 1985a; 1988a; 1988b; 1993a; 1995;2006)

Page 43: (rtrwp) bali dalam harian bali post

43

van Dijk merumuskan skema berita menjadi dua elemen utama, yaitu

summary (ringkasan) dan story (kisah). Tiap-tiap elemen kemudian dijabarkan

menjadi emelen-elemen yang lebih khusus.

(1) Summary (Ringkasan)

Summary (ringkasan) terdiri atas judul (headline) dan teras berita (lead)

(van Dijk, 1988b: 15). Suatu ringkasan harus mengandung struktur makro

wacana (van Dijk, 1988a: 49). Struktur makro yang mengandung tema atau topik

ini pertama-tama dapat diidentifikasi dalam judul berita. Judul berita secara

sederhana dapat dikenali dari posisinya dalam berita dan bentuk tulisan yang lebih

besar daripada bagian lain dan warna yang lebih tebal.

Sementara itu, teras berita (lead) pada umumnya ditulis secara terpisah

dari bagian berita lain dan ditulis dengan huruf yang lebih tebal atau lebih besar

daripada bagian berita, tetapi lebih kecil daripada judul. Teras berita juga

mengandung topik utama wacana berita. Artinya, teras berita juga mengandung

kalimat yang mengandung tema atau topik.

(2) Story

Story merupakan bagian berita yang memaparkan secara lebih terperinci

rangkaian peristiwa atau hal yang diberitakan. Penyusunan rangkaian peristiwa

atau hal yang diberitakan di dalam wacana berita tentu berbeda dengan rangkaian

peristiwa yang sebenarnya. Pada wacana berita, misalnya, wacana tersebut dapat

dimulai dengan ringkasan atas peristiwa. Namun, pada peristiwa yang sebenarnya

ringkasan tersebut tidak mungkin ada. Oleh karena itu, story penting diamati

sebagai salah satu bentuk strategi wacana yang menunjukkan pandangan, nilai,

Page 44: (rtrwp) bali dalam harian bali post

44

tujuan, dan sikap pemroduksi wacana. Selain itu, story juga memengaruhi cara

pembaca memahami wacana tersebut.

Secara umum, story dapat dibedakan menjadi dua bagian. Pertama, situasi.

Menurut van Dijk (1988b: 22), situasi sebagai “…situation is represented in terms

of a subjective model.” Situasi yang merupakan pemaparan peristiwa dan bersifat

subjektif dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu episode dan latar. Episode

secara lebih terperinci lagi dapat diklasifikasi menjadi peristiwa utama dan

konsekuensi. Peristiwa utama merupakan kejadian atau hal yang menjadi fokus

pemberitaan. Sementara konsekuensi berhubungan dengan dampak yang mungkin

ditimbulkan oleh suatu peristiwa utama yang diberitakan. Nilai berita suatu

peristiwa sering kali ditentukan juga oleh konsekuensi yang mungkin ditimbulkan

oleh suatu peristiwa. Konsekuensi bisa memiliki posisi yang sejajar dengan

peristiwa utama, bahkan bisa menduduki posisi yang lebih tinggi daripada

peristiwa utama. Hal tersebut tampak pada berita yang menjadikan konsekuensi

sebagai judul atau teras berita.

Selanjutnya adalah latar. Latar merupakan bagian dari situasi yang dapat

dibedakan menjadi konteks dan historis. Konteks dalam hal ini merupakan

peristiwa lain yang dihubungkan dengan peristiwa utama yang sedang diberitakan.

van Dijk (1992: 192) menyatakan bahwa “A context is a course of events.”

Konteks (van Dijk, 2006: 163) tidak bersifat objektif atau pasti, tetapi bersifat

interpretasi subjektif yang merupakan konstruksi lingkungan sosial. Peristiwa

yang menjadi konteks sering kali merupakan peristiwa utama pada berita

sebelumnya. Secara eksplisit, konteks bisa ditandai dengan penanda “saat”,

Page 45: (rtrwp) bali dalam harian bali post

45

“selama”, “pada waktu”, dan kata lain sejenis dengan itu. Dalam memilih konteks,

pemroduksi wacana, khususnya wartawan melibatkan pengetahuan, opini, nilai,

maksud, dan tujuan subjektif untuk menyampaikan pesan dan akhirnya

memengaruhi pembaca. Berikutnya adalah historis. van Dijk (1988a: 54)

menyebutkan historis sebagai situasi pada peristiwa yang telah diberitakan atau

terjadi sebelumnya. Berbeda dengan konteks yang dapat menjadi peristiwa utama

atau judul dan teras berita, historis tidak dapat menjadi peristiwa utama pada

berita. Historis merupakan peristiwa yang telah terjadi dalam waktu yang cukup

lama, seperti beberapa minggu, bulan, bahkan beberapa tahun sebelumnya.

Yang kedua adalah komentar. Komentar dapat dibedakan menjadi dua

bagian lagi, yakni kesimpulan dan reaksi verbal. Simpulan mengacu pada

pandangan, opini, dan evaluasi jurnalis di samping media mengenai peristiwa atau

hal yang diberitakan. Kesimpulan dapat dikhususkan lagi menjadi dua bagian,

yakni harapan dan evaluasi. van Dijk (1988a: 56) menjelaskan harapan sebagai

hal yang mungkin ditimbulkan atau menjadi akibat dari peristiwa yang

diberitakan. Dengan kata lain, harapan mengandung prediksi atau hal yang

diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Evaluasi merupakan pandangan

atau pendapat wartawan mengenai peristiwa yang sedang diberitakan. Komentar

dalam berita pada umumnya disampaikan secara samar atau implisit sehingga

pembaca tidak selalu menyadarinya. Sementara itu, reaksi verbal merupakan

pernyataan narasumber terkait dengan topik dan menjadi bagian berita. Penyataan

narasumber di dalam berita bisa disampaikan baik dalam kalimat langsung

maupun tidak langsung.

Page 46: (rtrwp) bali dalam harian bali post

46

2.1.1.3 Struktur Mikro (Microstructures)

Struktur mikro merupakan analisis wacana pada level yang paling konkret

dan spesifik karena pada level ini yang dianalisis adalah kata dan kalimat. Pada

dua level sebelumnya, analisis terhadap wacana bersifat global. Struktur makro

mengkaji makna secara global, sementara superstruktur mengkaji skema wacana.

Struktur mikro wacana dapat diklasifikasi menjadi beberapa elemen, yaitu

sintaksis, leksikon, koherensi lokal, dan retorik. Tiap-tiap elemen memiliki

bagian-bagian yang lebih khusus. Untuk mempermudah pemahaman terhadap

struktur mikro, disajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

Tabel 2.3 Level Analisis Struktur Mikro Wacana Berita

LevelAnalisis

Yang Diamati Elemen Analisis

Strukturmikro Sintaksis Kalimat aktif/pasif;Nominalisasi

Leksikon Kata positif/negatifKoherensilokal

Distribusi informasi Topik/penjelasSusunan dan koherensi Koherensi

Kondisional/temporalKoherensi fungsional

Praanggapan PraanggapanRetorik Deskripsi langsung

dan laporan saksimataSumber dan kutipanNomorGaya bahasa

(Dirumuskan berdasarkan van Dijk 1983; 1985; 1988a; 1988b; 1993; 1995; 2006,

2008)

Page 47: (rtrwp) bali dalam harian bali post

47

(1) Struktur Sintaksis

Sintaksis digunakan oleh van Dijk dengan makna yang agak luas.

Mengacu pada kalimat dan pembentuknya sekaligus mengacu kepada struktur

wacana secara umum atau secara makro. van Dijk menjelaskan sebagai berikut.

“In general, syntax describes which syntactic categories (such asnoun or noun phrase) may occur in sentences and in which possiblecombinations. Thus, syntactic rules specify which sentence forms,consisting of syntactic categories, are well-formed. We also use thisnotion of syntax in a wider, non grammatical sense, for instance whenwe want to describe the overall forms of discourse” (van Dijk, 1988a:25).

Struktur sintaksis yang bersifat makro mengacu kepada struktur wacana

secara keseluruhan yang disebut sebagai superstruktur atau skema. Karena

struktur sintaksis makro telah dianalisis pada level skema atau superstruktur,

analisis sintaksis pada tahap ini lebih difokuskan pada sintaksis mikro yang

menganalisis kata, frasa, klausa, proposisi, dan struktur kalimat.

Struktur sintaksis merupakan struktur permukaan wacana yang dapat

diamati secara jelas melalui susunan kata, hubungan fungsi yang membentuknya

(subjek-objek), dan penggunaan bentuk aktif dan pasif pada kalimat (van Dijk,

1988b: 11). Pandangan, nilai, opini, ideologi, maksud, dan tujuan yang ingin

disampaikan oleh pemroduksi teks akan terealisasi dan dapat diamati melalui

analisis struktur sintaksis. Penempatan subjek dan objek, misalnya, tidak hanya

dipandang sebagai sebuah struktur dan fungsi kalimat. Penentuan subjek juga

menunjukkan hal yang ingin ditonjolkan, ditekankan, dan dijadikan fokus oleh

pemroduksi teks atau wartawan. van Dijk (1985a: 73) menyatakan seperti berikut.

“That news bias can even be expressed in syntactic structures ofsentences, such as the use of active or passive constructions,

Page 48: (rtrwp) bali dalam harian bali post

48

which allow the journalist to express or suppress the agent ofnews acts from subject positions.”

Dalam menyampaikan pesan, wartawan memiliki kebebasan untuk

menyampaikan dalam bentuk kalimat aktif ataupun kalimat pasif. Tiap-tiap

bentuk kalimat mengimplikasikan hal lain selain struktur dan pesan leksikal yang

dibawanya. Bentuk penyampaian dalam struktur kalimat aktif, mensyaratkan

adanya subjek dan objek yang jelas. Subjek ditempatkan sebelum predikat dan

objek setelah predikat. Penempatan suatu kata sebagai subjek akan berimplikasi

pada penonjolan, penekanan, dan perhatian lebih kepadanya. Sebaliknya, bentuk

kalimat pasif akan menyamarkan, bahkan meniadakan pelaku tindakan. Bentuk

kalimat pasif memungkinkan wartawan untuk tidak menyebut pelaku atau

memberikan peluang menyebut di bagian lain atau akhir berita sehingga

menimbulkan kesan tidak terlalu mendapatkan perhatian dari pembaca.

Analisis mengenai subjek, predikat, objek, pelengekap, dan keterangan

pada kalimat merupakan analisis berdasarkan fungsi sintaksis unsur-unsur

kalimat. Pada analisis kalimat, predikat merupakan konstituen pokok yang disertai

konstituen subjek di sebelah kiri dan, jika ada, konstituen objek, pelengkap,

dan/atau keterangan wajib di sebelah kanan (Alwi, dkk., 1999: 326). Predikat pada

kalimat menjadi penentu konstituen lain dalam kalimat.

Selain berdasarkan fungsi, kalimat jiga dapat dianalisis berdasarkan peran.

Verhaar (2004: 167) menyebutkan bahwa peran sintaksis adalah segi semantis

dari peserta-peserta verba. Dengan kata lain, kalimat yang menyampaikan

peristiwa atau suatu keadaan selalu melibatkan satu atau lebih peserta dengan

peran semantis yang berbeda-beda. Lebih lanjut, Alwi, dkk. (1999: 34-36)

Page 49: (rtrwp) bali dalam harian bali post

49

menyebutkan beberapa peran semantis, antara lain pelaku, sasaran, pengalam,

peruntung, dan atribut. Pelaku merupakan peserta yang melakukan perbuatan yang

dinyatakan oleh verba predikat. Peran pelaku merupakan peran semantis utama

subjek kalimat aktif dan pelengkap kalimat pasif.

Sasaran adalah peserta yang dikenai perbuatan yang dinyatakan oleh verba

predikat. Peran sasaran adalah peran utama objek atau pelengkap dalam kalimat.

Peruntung adalah perserta yang beruntung dan memperoleh manfaat dari keadaan,

peristiwa atau perbuatan yang dinyatakan oleh predikat. Peserta peruntung pada

umumnya berfungsi sebagai objek atau pelengkap, atau subjek verba jenis

menerima atau mempunyai. Yang terakhir adalah atribut yang merupakan peran

yang mengisi predikat berupa nomina. Selain peran-peran tersebut, Alwi, dkk.

(1999: 335) juga menambahkan bahwa terdapat semantis lain yang terdapat pada

fungsi keterangan, seperti keterangan waktu, keterangan tempat, keterangan alat,

dan keterangan sumber. Peran semantis tersebut pada dasarnya sesuai dengan

sifat kodrati nomina yang terdapat pada keterangan tersebut.

Struktur sintaksis juga melibatkan aspek nominalisasi. Nominalisasi

merupakan pembentukan nomina dari kelas kata lain dengan menggunakan afiks

tertentu. Nominalisasi berimplikasi pada tidak wajibnya pelaku hadir dalam

peristiwa. Andai pelaku ingin dihadirkan dalam peristiwa, hal tersebut bisa

dilakukan dengan menghadirkannya pada proposisi yang lain, sehingga kehadiran

pelaku dalam wacana tidak terlalu menonjol.

Page 50: (rtrwp) bali dalam harian bali post

50

(2) Koherensi Lokal

Koherensi merupakan aspek penting dalam wacana. Koherensi

berhubungan dengan kesatuan makna dalam wacana, termasuk kesatuan makna

unsur-unsur pembentuk wacana tersebut yang meliputi antarparagraf, kalimat,

proposisi, klausa, frasa, hingga kata. Meskipun menganalisis bentuk penggunaan

bahasa, yang menjadi fokus perhatian koherensi adalah makna yang merupakan

inti dari penggunaan bahasa atau teks. Hal ini disampaikan Halliday (1976: 2)

bahwa teks merupakan unit semantik. Unit ini bukanlah bentuk, melainkan

makna.

van Dijk (1988a: 26) menyatakan koherensi sebagai “….not only how

meanings of subsequent sentences are related but also how the facts these

sentences refer to are related.” Jadi, menurut van Dijk, koherensi tidak saja

berhubungan dengan hubungan makna antarparagraf, kalimat, atau proposisi,

tetapi juga berhubungan dengan fakta yang diacunya. Untuk dapat menganalisis

koherensi dengan baik, penganalisis membutuhkan berbagai pengetahuan atau

wawasan yang direpresentasikan dalam wacana.

“Many aspects of discourse meaning, such as macrostructures andcoherence, can be fully understood only if we know which cognitiverepresentations of discourse and knowledge are involved dininginterpretation” (van Dijk, 1988a: 30).

Pada koherensi lokal, analisis koherensi akan lebih berfokus pada struktur

mikro, yaitu hubungan antarparagraf, kalimat, proposisi, dan unsur

pembentuknya. Koherensi lokal mengacu pada hubungan makna antarkalimat

secara terperinci (van Dijk, 1988a: 51).

Page 51: (rtrwp) bali dalam harian bali post

51

Koherensi lokal wacana dikhususkan lagi menjadi tiga elemen analisis,

yaitu distribusi informasi, susunan dan koherensi, serta pranggapan. Elemen

pertama, yaitu distribusi informasi merupakan strategi wartawan dalam

menyampaikan informasi dalam wacana.

Dalam struktur makro terdapat tema dan topik yang menjadikan

keseluruhan wacana koheren. Topik akan menjadi topik apabila dijabarkan

menjadi bagian-bagian yang lebih terperinci dalam bentuk paragraf, kalimat,

proposisi yang mengandung informasi yang lebih detail.

Berita, khususnya berita langsung, pada umumnya menggunakan pola

pengembangan umum-khusus. Informasi yang bersifat umum disajikan terlebih

dahulu, kemudian diikuti informasi yang lebih detail dengan semakin terperinci

hingga akhir berita. Topik dalam berita sering memiliki subtopik untuk membuat

berita lebih detail. Pilihan topik, subtopik, dan akhirnya informasi yang akan

disampaikan dengan terperinci dan kurang terperinci menjadi strategi wacana

yang penting untuk diamati dalam melakukan analisis wacana.

Informasi yang terperinci tentang hal positif diri dan kelompok akan

menimbulkan kesan positif atas kelompok tertentu. Sebaliknya, informasi

terperinci mengenai hal buruk mengenai pihak tertentu akan menimbulkan kesan

negatif atas kelompok tersebut. Penjabaran atau perincian topik ini disebut sebagai

specification rules. van Dijk (1988a: 44) menyatakan “In formal terms, the

realization of topics in news discourse takes place by the application of inverse

macrorules, which we may call specification rules”.

Page 52: (rtrwp) bali dalam harian bali post

52

Elemen kedua adalah koherensi. Sebagai penjabaran atas koherensi yang

sebelumnya telah dibahas, pada tahap ini koherensi secara umum dibedakan

menjadi dua bagian, yakni koherensi kondisional yang juga meliputi temporal dan

koherensi fungsional. Koherensi kondisional dimaksudkan sebagai bentuk

koherensi yang menunjukkan hubungan kondisional, yaitu proposisi satu menjadi

kondisi, penyebab atau akibat atas kondisi lain. Penanda koherensi ini yang secara

eksplisit bisa diamati adalah kata “akibat”, “sebab”, “maka”, “oleh karena itu”,

“karena”, “untuk”, dan “jadi” (van Dijk, 1988a: 61; 1985b; 1988b: 274).

Koherensi temporal tergolong dalam koherensi kondisi dan ditandai secara

eksplisit dengan “sebelum” atau “setelah”.

Selanjutnya, koherensi fungsional mengacu pada koherensi yang memiliki

hubungan semantik dengan proposisi yang lain. Jika dibandingkan dengan

koherensi kondisional, koherensi fungsional memiliki bentuk yang lebih beragam,

yaitu meliputi penjelasan, perincian, penjumlahan, koreksi, pertentangan,

perbandingan, alternatif kalimat pertama atau topik, contoh, dan generalisasi (van

Dijk, 1985b: 110; 1988a: 61; 1988b: 104).

Elemen ketiga adalah praanggapan. Pranggapan merupakan informasi

yang tidak disampaikan dalam wacana, tetapi dibutuhkan untuk dapat memahami

wacana dengan baik. Pranggapan tidak disampaikan secara eksplisit karena pada

umumnya dianggap sudah diketahui oleh penerima wacana. Dengan cara lain,

praanggapan dapat digambarkan sebagai berikut.

“In cognitive terms, the definition of presupposition the set ofpropositions assumed by the speaker to be known to the listener—iseasier but more general—this may include all relevant knowledge(scripts, etc.) necessary to understand a text but also, more

Page 53: (rtrwp) bali dalam harian bali post

53

specifically, the few propositions necessary to interpret one sentenceor to establish one coherence relation”. (van Dijk, 1988a: 63).

Dengan mengikuti uraian tersebut, dapat diketahui bahwa praanggapan

merupakan salah satu fungsi kognitif yang diperlukan dalam memahami wacana.

Pranggapan merupakan seperangkat proposisi atau pengetahuan yang oleh

pembuat teks diasumsikan telah diketahui oleh penerima teks sehingga proposisi

tersebut tidak perlu disampaikan di dalam teks. Fungsi kognitif ini sekaligus

memiliki peran penting dalam memengaruhi penerima wacana sehingga tujuan

wacana dapat diraih dan berpengaruh bagi penerimanya.

(3) Leksikon

Leksikon merupakan unsur mikro wacana yang memiliki penanda kohesi

sekaligus koherensi wacana. van Dijk (1988a: 81) menjelaskan “Lexical stylistics

is not only central to a stylistic inquiry, but it also forms the link with semantic

content analysis”. Yang dimaksud leksikon pada konteks ini, bukan hanya kata,

pilihan kata atau frasa, melainkan juga kata ganti atau pronomina. Leksikon ini

oleh van Dijk disebut juga “….lexical choice as a component of style.” (1985a:

71).

Pemilihan leksikon atau kata ganti pada wacana tidak sekadar untuk

menyampaikan makna leksikal, makna yang sebenarnya kepada pembaca. Akan

tetapi, pemilihan leksikon dalam wacana juga mengandung maksud dan

kepentingan tertentu yang merepresentasikan pemosisian pembaca dan subjek

yang diberitakan, nilai, tujuan, dan ideologi pihak yang memproduksi wacana. van

Dijk menggambarkan leksikon sebagai berikut.

Page 54: (rtrwp) bali dalam harian bali post

54

“The essential constraints on lexical selection involve stylisticfactors, which depend on both cognitive and social criteria: state ofmind of speaker and the characteristics of the social frame of thespeech act” (1980: 283)

van Dijk dan Kintsch (1983a: 132) menyatakan bahwa objek, orang,

benda, peristiwa mungkin digambarkan melalui leksikon (stilistik) dengan cara

berbeda berdasarkan pengetahuan dan sikapnya. Dengan kata lain, leksikon dapat

difungsikan untuk membentuk kesan positif pihak tertentu dan kesan negatif pihak

lain. Leksikon juga dapat menggambarkan, bahkan membentuk kelompok

tertentu, seperti dalam penggunaan kata ganti “kita”, dan “mereka”. Dengan

demikan, leksikon memiliki peran yang penting dalam membentuk dan

mengarahkan persepsi pembaca atau penerima wacana.

(4) Retorik

Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga

menjadi lebih efektif. Retorik digunakan dalam upaya memengaruhi atau

mempersuasi pembaca atau penerima wacana. van Dijk (1998a: 208) menyatakan

bahwa berbeda dengan struktur wacana yang lain, struktur wacana ini bersifat

opsional dan disajikan terutama dalam konteks upaya mempersuasi dan secara

umum untuk menarik atau mengatur perhatian penerima. Penentuan bentuk

struktur retorik ini dilakukan dengan memperhatikan cara penerima menerima dan

memahami wacana yang disajikan. Dengan kata lain, penentuan struktur retorik

bersifat subjektif dan mengandung muatan ideologi tertentu. van Dijk menyatakan

bahwa struktur retorik memiliki peran yang penting dalam manipulasi secara

ideologis (1998a: 208).

Page 55: (rtrwp) bali dalam harian bali post

55

van Dijk membagi level retorik menjadi beberapa elemen yang lebih

khusus, yaitu deskripsi langsung dan laporan saksi mata, sumber dan kutipan,

nomor, serta gaya bahasa. Elemen pertama adalah pengamatan langsung.

Kebenaran informasi yang disajikan dalam wacana akan meyakinkan jika

informasinya disajikan berdasarkan pengamatan secara langsung. van Dijk

(1988a: 86) menyatakan “The immediacy of the description and the closeness of

the reporter to the events is a rhetorical guarantee for the truthfulness of the

description and, hence, the plausibility of the news”.

Saksi mata memiliki sifat yang sejenis dengan pengamatan langsung

karena melibatkan narasumber yang menyaksikan secara langsung hal atau

peristiwa yang diberitakan. “Eyewitness reports given in interviews may be used

as necessary substitutes of the reproter’s own observations (van Dijk, 1988a:

86)”. Deskripsi mengenai saksi mata peristiwa dan konsekuensinya merupakan

strategi retorik jurnalistik yang umum untuk menunjukkan kebenaran (van Dijk,

1988b: 130). Jadi, penggunaan stategi pengungkapan informasi, baik dengan

pengamatan langsung maupun dengan menggunakan saksi mata, merupakan

upaya wartawan untuk menyampaikan pesan dengan lebih efektif dan

mengupayakannya lebih berpengaruh bagi pembaca. Strategi wacana ini

merupakan salah satu unsur retorik.

Elemen kedua adalah sumber dan kutipan. Dalam situasi tertentu,

wartawan tidak dimungkinkan untuk memaparkan peristiwa dengan menggunakan

observasi langsung atau saksi mata. Dalam kondisi ini, wartawan mendapatkan

informasi tersebut dari media yang lain, misalnya agen berita atau sumber berita

Page 56: (rtrwp) bali dalam harian bali post

56

yang lain. Untuk menguji kebenaran sumber berita tersebut, perlu dilakukan

dengan cara lain, yakni penajaman informasi dan kutipan sumber. Sumber utama

adalah partisipan yang dekat dengan peristiwa yang diberitakan untuk

mendeskripsikan fakta (seperti saksi mata) dan menyampaikan opini. Terdapat

tingkatan terkait dengan sumber dan tingkatan keterpercayaannya. Narasumber

yang memiliki kedudukan atau jabatan tidak saja memiliki nilai berita (seperti

pelaku dalam berita), tetapi juga lebih dapat dipercaya sebagai pengamat atau

pencipta opini. van Dijk (1988a: 87) menyatakan “The social hierarchy seems to

be reproduced in the rhetorical hierarchy of credibility and reliability”.

Elemen ketiga adalah nomor. Dengan menggunakan nomor pada berita,

wartawan menciptakan kebenaran yang lebih meyakinkan, lebih dapat dipercaya,

dan akhirnya lebih memengaruhi pembaca (van Dijk, 1988a: 87). Oleh karena itu,

berita sering mengandung nomor, seperti jumlah peserta, usia, tanggal atau waktu

peristiwa, deskripsi lokasi, berat, ukuran, dan yang lain.

Elemen keempat adalah gaya bahasa. Gaya bahasa digunakan untuk

menyampaikan pesan tertentu dengan tidak menggunakan makna denotatif, tetapi

memakai makna konotatif. Dengan menggunakan gaya bahasa, pesan akan lebih

efektif dan lebih mewadahi pesan yang ingin disampaikan. Secara umum terdapat

berbagai gaya bahasa. Beberapa di antaranya yang paling umum dikenal adalah

repetisi, paralelisme, metafora, ironi, litotes, dan, personifikasi.

Page 57: (rtrwp) bali dalam harian bali post

57

2.3.2 Kognisi Sosial

Kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam analisis wacana yang

dikemukakan van Dijk. Sehubungan dengan itu, analisis wacana ini sering disebut

sebagai analisis wacana model kognisi sosial. Gagasan ini menekankan pada

analisis wacana yang meliputi tiga tahap analisis yang meliputi analisis wacana

atau teks, analisis kognisi, dan analisis situasi masyarakat.

van Dijk (1993b: 107) menjelaskan bahwa hubungan antara wacana dan

masyarakat tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara yang disebut kognisi

sosial. Hal ini sekaligus menyempurnakan analisis wacana yang diterapkan linguis

yang berfokus pada gramatikal dan struktur teks berita. Di samping itu, juga

melengkapi kajian dari perspektif psikologis yang menegaskan bahwa produksi

dan pemahaman wacana ditentukan oleh representasi kognitif. Oleh karena itu,

lebih lanjut van Dijk (1993b: 122) menyatakan ”Analysis, therefore, must always

be that of discourse-cognition-society. In such a triangle of relations, both

discourse and cognition are not merely linguistic or psychological objects, but

also inherently social.”

Condor dan Antaki (1991: 320) menguraikan kognisi sosial sebagai cara

memahami dan mendeskripsikan dunia sosial oleh seseorang sebagai anggota

budaya atau kelompok tertentu dan dunia sosial berpikir mengenai atau deskripsi

tentang interaksi sosial. van Dijk (1995: 18) menyebutkan ”Social cognition is,

here, defined as the system of mental representations and processes of group

members.”

Page 58: (rtrwp) bali dalam harian bali post

58

Gagasan mengenai kognisi sosial ini juga yang membuat analisis wacana

van Dijk tergolong dalam analisis wacana kritis. Sebagai pengembangan dari

metode analisis sebelumnya, analisis wacana kritis mengajukan penghubung di

antara wacana atau teks dan masyarakat berupa kognisi sosial. ”Within the socio-

cognitive framework presented here, no such direct relation exists” (van Dijk,

1998: 212). Bardasarkan pemahaman ini, wacana bersifat subjektif sekaligus

sosial. Kondisi sosial memengaruhi wacana melalui kognisi sosial. Sebaliknya,

wacana memengaruhi kondisi sosial melalui kognisi.

Pandangan mengenai kognisi sosial (social coognition) dilandasi oleh

tiga alasan teoretis yang penting, yaitu (1) wacana sesungguhnya diproduksi atau

diinterpretasikan oleh individu dengan memanfaatkan pengetahuan dan

kepercayaan yang diperoleh melalui kehidupan sosial, (2) wacana hanya akan

memengaruhi struktur sosial melalui kesadaran sosial para anggota kelompok

sosial, dan (3) struktur sosial hanya akan memengaruhi struktur wacana melalui

kognisi sosial atau kesadaran mental para pemroduksi wacana tersebut (van Djik,

1993b: 110).

Semua persepsi dan tindakan serta pada akhirnya produksi dan

interpretasi wacana didasarkan pada representasi mental atas setiap peristiwa,

yang oleh van Dijk disebut sebagai model. Model merupakan representasi mental

yang bersifat personal atas peristiwa, tindakan, atau situasi (van Dijk, 1995a: 19).

van Dijk (1995b:14) menyebutkan ”A model is a mental representation of an

experience that is, an event people witness, participate in, or read about”. Jadi, model

merupakan representasi mental atas pengalaman yang bisa diperoleh melalui

menyaksikan secara langsung, berpastisipasi, atau membaca.

Page 59: (rtrwp) bali dalam harian bali post

59

Sebuah model adalah sesuatu yang subjektif dan unik sebagaimana

dikemukakan van Dijk (1993b: 111): ”These event or situation models are

subjective and unique; they represent the current knowledge and opinions of

social actors or individual language users about an episode”. Di samping

pengalaman dan opini pribadi, model juga bersifat sosial karena berhubungan

dengan pengetahuan, sikap, dan ideologi yang diperoleh secara sosial. Sikap dan

pengetahuan sosial memungkinkan adanya kesepahaman dan komunikasi. Dalam

konteks ini, model menjadi kognisi penting yang menghubungkan antara dimensi

personal dan dimensi sosial dari sebuah wacana. Model termasuk pengetahuan,

sikap, dan ideologi tersimpan dalam memori jangka panjang. Selanjutnya, upaya

mempersepsi, memproduksi, dan memahami wacana berlangsung dalam memori

jangka pendek.

Hubungan antara wacana, kognisi sosial, dan masyarakat sangat lekat.

“Social cognition is acquired, used and changed in social situations, and

discourse is one of the major sources of its development and change” (van Dijk,

1993b: 122). Lebih lanjut, van Dijk (1988a: 111) menyatakan bahwa kerangka

kognitif memengaruhi cara informasi teks atau peristiwa dianalisis, diinterpretasi,

dan diwujudkan dalam memori. Dengan kata lain, hubungan wacana dan kognisi

sosial bersifat resiprokal, yaitu pada satu sisi kognisi sosial memengaruhi

produksi wacana, tetapi di sisi lain wacana membentuk kognisi sosial.

Selain kognisi sosial atau model mental (mental models), van Dijk (1993b:

111) juga memperkenalkan konsep context models. Konsep ini merupakan bagian

dari mental models, khususnya mengacu kepada mental model yang relevan

Page 60: (rtrwp) bali dalam harian bali post

60

dengan situasi peristiwa komunikasi. Context models sering juga disebut sebagai

context (konteks) saja. “Context models monitor discourse, telling language users

what relevant information in their event models should be expressed in their

discourse, and how such discourse should be tailored to the properties of the

communicative context”.

Analisis wacana kritis menganalisis bentuk-bentuk kognisi sosial yang

tersebar secara sosial, antara lain pengetahuan, sikap, ideologi, norma, dan nilai

(van Dijk, 2001b: 113). Salah satu kategori yang penting dalam konteks model

adalah pengetahuan (knowledge). Karena merupakan komponen penting context

models, pengetahuan memiliki kedudukan yang khusus dalam kognisi. Context

model disebut sebagai K-device. van Dijk (2005: 76) menggambarkan K-device

sebagai “The K-device of their context model tells participants which of such

event knowledge must be asserted, which knowledge should be reminded and

which knowledge can be presupposed because it is irrelevant or can be inferred

by the recipients themselves”. K-device merupakan strategi pengelolaan

pengetahuan dalam interaksi (van Dijk, 2008: 255). Jadi, penggunaan istilah

“konteks” oleh Van Dijk tidak sepenuhnya sama dengan yang digunakan secara

umum sebagai situasi, partisipan, tujuan, saluran, atau suasana saat

berlangsungnya peristiwa komunikasi. Istilah konteks yang disampaikan Van Dijk

mengacu pada konteks yang tidak saja bersifat bisa diamati sebagaimana

disebutkan sebelumnya, tetapi juga konteks yang bersifat mental.

Dalam produksi wacana, pengguna bahasa tidak hanya membutuhkan

pengetahuan umum tentang dunia dan pengetahuan mengenai situasi komunikasi

Page 61: (rtrwp) bali dalam harian bali post

61

saat itu, tetapi juga membutuhkan pengetahuan mengenai pengetahuan bersama

yang sama dengan penerima (van Dijk, 2005: 72). Pengetahuan tersebut diperoleh,

dibagi, dan digunakan dalam interaksi yakni dalam kelompok, institusi, dan

organisasi. Penggunaan pengetahuan tersebut memungkinkan dipahaminya

wacana tanpa menyampaikan semua hal secara eksplisit dalam wacana (van Dijk,

2003: 86).

Istilah “pengetahuan tentang dunia” masih bersifat umum. Terkait dengan

itu, van Dijk (2004: 12) membagi pengetahuan menjadi beberapa jenis yang lebih

khusus. Hal ini perlu dilakukan karena jenis pengetahuan yang berbeda memiliki

pengaruh yang berbeda pada proses pembentukan, pemahaman, dan struktur

wacana. van Dijk (2004: 13) membagi pengetahuan menjadi beberapa jenis.

Pertama, kind (jenis): mengetahui itu (representasi) dan mengetahui “bagaimana”

(prosedur). Kedua, (social scope) jangkauan sosial: personal, interpersonal, sosial

(kelompok), kultural. Ketiga, level: spesifik/khusus, peristiwa umum/besar.

Keempat, ontology (ontologi): nyata, konkret, abstrak, khayalan, sejarah, masa

depan. Kelima, strength (kekuatan) : yakin sekali atau agak yakin.

Secara lebih terperinci, K-device atau pengetahuan dapat dikhususkan

menjadi jenis-jenis berikut (van Dijk, 2005: 77-81). Pertama, personal knowledge

(pengetahuan personal). Pengetahuan personal adalah pengetahuan yang bersifat

pribadi sehingga tidak dimiliki oleh pihak yang tidak terlibat dalam pengalaman

yang relevan, kecuali dikomunikasikan. Oleh karena itu, pemroduksi wacana

perlu mempertimbangkan pengetahuan penerima mengenai hal yang akan

disampaikan agar komunikasi berlangsung dengan baik. Kedua, interpersonal

Page 62: (rtrwp) bali dalam harian bali post

62

knowledge (pengetahuan interpersonal). Pengetahuan interpersonal merupakan

pengetahuan personal yang telah dibagikan dan diketahui oleh dua individu atau

lebih pada komunikasi interpersonal sebelumnya atau hal tersebut merupakan

pengalaman yang biasa. Ketiga, group knowledge (pengetahuan kelompok).

Pengetahuan kelompok dapat dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki

bersama, salah satu dari pengalaman bersama kelompok, atau umum, pengetahuan

abstrak yang diperoleh anggota kelompok, seperti kelompok profesional,

pergerakan sosial, atau aliran tertentu.

Keempat, institutional or organization knowledge (pengetahuan

intitusional atau organisasional). Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang

dimiliki oleh anggota suatu institusi atau organisasi dan secara umum memenuhi

kriteria pengetahuan kelompok dan wacana. Kelima, national knowledge

(pengetahuan nasional). Pengetahuan nasional diketahui oleh masyarakat suatu

negara. Pengetahuan ini diperoleh melalui sekolah, media massa, dan digunakan

secara luas oleh masyarakat dalam komunikasi. Keenam, cultural knowledge

(pengetahuan kebudayaan). Pengetahuan ini dimiliki anggota suatu kebudayaan.

Istilah “kebudayaan” dalam konteks ini dipahami secara sederhana sebagai

bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, asal-usul, atau penampilan karena dengan

mengindentifikasi itu kebudayaan pada umumnya diidentifikasi. Pengetahuan

kultural merupakan dasar yang sangat penting bagi wacana yang lain dan bagi

seluruh jenis pengetahuan. Oleh karena itu, disyaratkan oleh seluruh bentuk

wacana kebudayaan, kecuali wacana pendidikan.

Page 63: (rtrwp) bali dalam harian bali post

63

2.3.3 Konteks Sosial

Wacana sering didefinisikan sebagai peristiwa komunikatif, dan terjadi

dalam situasi sosial, menggambarkan setting, pelibat dengan peran yang berbeda-

beda, tindakan, dan sebagainya. Namun, gambaran mengenai situasi komunikasi

tertentu hanya relevan dan bermakna apabila terdapat secara mental dalam

context models (van Dijk, 2001b: 116). ”Such context models feature

representations of the participants themselves, their ongoing actions and speech

acts, their goals, plans, the setting (time, place, circumstances) or other relative

properties of the context” (van Dijk, 1993b: 111). Jadi, meskipun wacana bersifat

sosial, kognisi tetap dibutuhkan untuk membuat kondisi sosial tersebut relevan

dengan pemahaman yang telah ada atau disebut sebagai konteks yang bersifat

mental.

Sama halnya dengan pengetahuan, ideologi yang menjadi unsur kognisi

sosial juga bersifat sosial. van Dijk (2001c: 12) menjelaskan ideologi sebagai

“….not personal beliefs, but beliefs shared by groups, as is also the case for

grammars, socioculturally shared knowledge, group attitudes or norms and

values”. Pengetahuan dan ideologi bersama-sama membentuk kognisi sosial yang

akan direpresentasikan dalam berbagai bentuk wacana dan menjadi dasar bagi

pemahaman terhadap wacana.

Untuk melakukan analisis wacana secara komprehensif, konteks sosial

juga tidak boleh diabaikan. Konteks sosial memengaruhi bentuk wacana yang ada

dan memengaruhi kognisi sosial pemroduksi wacana. Untuk menganalisis situasi

Page 64: (rtrwp) bali dalam harian bali post

64

sosial, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. van Dijk (2006a: 362)

menyatakan seperti di bawah ini.

“Social conditions of manipulative control hence need to beformulated – at least at the macro level of analysis – in terms ofgroup membership, institutional position, profession, material orsymbolic resources and other factors that define the power ofgroups and their members”.

Analisis wacana kritis tidak menyediakan pendekatan yang bisa langsung

diterapkan, tetapi menekankan bahwa analisis isu sosial yang bersifat teoretis

harus diciptakan. Dengan demikian, dapat dipilih struktur wacana dan sosial yang

akan dianalisis dan yang akan dihubungkan (van Dijk, 2001b: 95).

Pada kesempatan ini, analisis konteks sosial dibatasi hanya pada kelompok

sosial yang meliputi beberapa hal yang merupakan dasar pembentukan ideologi

dan kognisi sosial (van Dijk, 1995a; 2001b: 115; 2001c: 14, 2006c: 163).

Pertama, struktur masyarakat secara keseluruhan. Yang menjadi fokus bagian ini

adalah sistem keyakinan, prinsip, norma yang berlaku di masyarakat seperti

demokrasi, kapitalisme, pancasila, atau bentuk-bentuk keyakinan yang lebih lokal.

Kedua, struktur institusi atau organisasi. Prinsip ini menganalisis struktur

kelembagaan yang terdapat dalam masyakarat meliputi lembaga keagamaan, adat,

pemerintahan, termasuk lembaga pers.

Ketiga, hubungan antarkelompok. Hubungan antarkelompok menarik dan

penting dianalisis dalam analisis wacana karena berhubungan dengan keyakinan,

nilai, dan tujuan yang diperjuangkan kelompok yang mungkin sejalan dan

mungkin bertentangan. Hal ini akan memengaruhi kognisi sosial dan akhirnya

juga produksi wacana. Keempat, struktur kelompok. Pada bagian ini, terdapat

Page 65: (rtrwp) bali dalam harian bali post

65

beberapa hal yang lebih khusus yang dianalisis meliputi identitas kelompok,

tugas, tujuan, norma, posisi, dan sumber daya yang dimiliki. Identitas kelompok

meliputi penanda keanggotaan, seperti gender, etnik, penampilan, asal, dan lain-

lain. Tugas adalah deskripsi mengenai tindakan berhubungan dengan hal yang

dilakukan. Tujuan mengandung informasi mengenai alasan melakukan suatu

tindakan atau mengandung informasi mengenai apa yang hendak diraih. Norma

berhubungan dengan apa yang dianggap sebagai hal baik atau sebaliknya, yaitu

hal buruk. Posisi menggambarkan posisi dalam masyarakat dan hubungan dengan

kelompok lain. Sumber daya merupakan hal yang menggambarkan kepemilikan

atas sesuatu, baik berupa materi maupun nonmateri dan yang ingin dimiliki atau

dipertahankan.

Gambaran mengenai konteks sosial ini akan memberikan pemahaman

yang lebih komprehensif mengenai produksi wacana dan pemahaman wacana

yang terdapat dalam masyarakat. Wacana merupakan hasil produksi kognisi sosial

atau mental models. Kognisi sosial dipengaruhi oleh pengalaman dan nilai yang

dianut pemroduksi wacana yang diperolehnya dalam kehidupan sosial secara

bertahap dan tidak selalu disadari (van Dijk, 1995a: 19).

Page 66: (rtrwp) bali dalam harian bali post

66

2.4 Model Penelitian

Model analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial dalam penelitian ini

dapat digambarkan sebagai berikut.

Bagan 2.1 Model Penelitian

Keterangan : merupakandianalisis dengansaling memengaruhi

Wacana

Analisis WacanaKognisi Sosial

(Teun A. van Dijk)

Analisis Teks:Struktur Mikro,Superstruktur,Struktur Makro

Kognisi sosialwartawan

Konteks sosial

Berita-beritaRTRWP Bali diHarian Bali Post

Temuan Penelitian

Page 67: (rtrwp) bali dalam harian bali post

67

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

rancangan deskriptif dengan metode kualitatif. Sebagaimana disampaikan

Arikunto (1998: 310) bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk

menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan ”apa adanya” tentang

suatu variabel, gejala atau keadaan. Metode kualitatif digunakan dalam penelitian

ini karena masalah-masalah yang disajikan dianalisis secara induktif. Selain itu,

metode kualitatif juga digunakan karena penelitian ini bertujuan untuk memahami

makna di balik yang tampak dan memahami interaksi sosial (Sugiyono, 2013: 46).

3.2 Jenis dan Sumber Data

Berdasarkan rancangan penelitian tersebut, jenis data dalam penelitian ini

adalah data kualitatif berupa teks berita mengenai RTRWP Bali yang dimuat pada

harian Bali Post. Sumber data dalam penelitian ini adalah harian Bali Post periode

pertengahan April hingga Juni 2009. Subjek dalam penelitian ini adalah berita-

berita tentang RTRWP Bali dalam harian Bali Post sejak pertengahan April

hingga Juni 2009 yang berjumlah 84 buah berita.

Sugiyono (2013:298) menyatakan bahwa penelitian kualitatif tidak

menggunakan populasi karena kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada

pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke

67

Page 68: (rtrwp) bali dalam harian bali post

68

populasi. Pada penelitian ini digunakan teknik purposive sampling. Purposive

sampling merupakan teknik pengambilan sampel data dengan pertimbangan

tertentu (Sugiyono, 2013: 301; Arikunto, 1989: 113). Secara lebih terperinci,

Arikunto (1989) menguraikan bahwa penentuan sampel berdasarkan tujuan

tertentu yang harus memenuhi beberapa syarat yaitu pengambilan sampel harus

didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat, atau karakteristik tertentu yang merupakan

ciri-ciri pokok populasi; subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar

merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada

populasi; dan penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam

studi pendahuluan.

Pada penelitian ini, data yang akan dianalisis ditentukan berdasarkan

beberapa kriteria. Adapun kriteria yang dimaksud, yaitu merupakan berita utama

yang terletak pada halaman pertama; berhubungan langsung dengan tema yang

dibahas (RTRWP Bali); bukan berita iklan; dan mengandung strategi wacana

yang menyiratkan keberpihakan.

Objek dalam penelitian ini adalah struktur teks berita tentang RTRWP Bali

dalam harian Bali Post, kognisi sosial wartawan, dan konteks sosial berita tentang

RTRWP Bali dalam harian Bali Post. Objek penelitian ini akan dijabarkan lebih

rinci pada bagian selanjutnya.

Page 69: (rtrwp) bali dalam harian bali post

69

3.3 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini, digunakan tiga jenis instrumen penelitian. Tiap-tiap

instrumen penelitian digunakan untuk mengumpulkan data sesuai dengan masalah

yang berbeda. Pengumpulan data yang dilakukan untuk menjawab masalah

pertama menggunakan instrumen berupa tabel. Tabel tersebut dibuat berdasarkan

komponen analisis wacana van Dijk sebagaimana yang tersaji pada tabel berikut.

Tabel 3.1 Struktur dan Elemen Analisis Teks

Judul berita :Tanggal berita :Nomor berita :

LevelAnalisis

Yang Diamati Elemen Analisis Keterangan

Strukturmakro Tematik Tema/topikStruktursuper Summary Judul

Teras beritaStory situasi episode Peristiwa utama

Konsekuensilatar Konteks

Historiskomentar Kesimpulan Harapan

EvaluasiReaksi verbal Reaksi verbal

Strukturmikro Sintaksis Kalimat aktif/pasif;Nominalisasi

Leksikon Kata positif/negatifKoherensilokal

Distribusi informasi Topik/penjelasSusunan dan koherensi Koherensi

Kondisional/temporalKoherensi fungsional

Praanggapan PraanggapanRetorik Deskripsi langsung

dan laporan saksimataSumber dan kutipanNomorGaya bahasa

(Sumber : van Dijk, 2006a; 1995a; 1993; 1988a; 1988b; 1985b; 1983)

Page 70: (rtrwp) bali dalam harian bali post

70

Pengumpulan data untuk menjawab masalah kedua menggunakan

instrumen berupa tabel yang dibuat berdasarkan kriteria pengetahuan yang

digunakan sebagai dasar produksi dan pemahaan wacana. Pengumpulan data

untuk menjawab masalah kedua menggunakan instrumen berupa tabel sebagai

berikut.

Tabel 3.2. Kognisi dalam Wacana

Judul berita :Tanggal berita :Nomor berita :No Kriteria Pengetahuan Proposisi Keterangan

1 Pengetahuan personal

2 Pengetahuan interpersonal

3 Pengetahuan kelompok

4 Pengetahuan institusional

atau organisasional

5 Pengetahuan nasional

6 Pengetahuan kebudayaan

(Sumber: van Dijk, 2005; van Dijk, 2003: 90)

Rumusan masalah yang ketiga dijawab dengan pedoman pengumpulan

data berupa tabel. Tabel tersebut mengandung elemen-elemen analisis konteks

sosial sebagai berikut.

Page 71: (rtrwp) bali dalam harian bali post

71

Tabel 3.3 Konteks Sosial

Judul berita :Tanggal berita :Nomor berita :No Konteks Sosial Keterangan

1 Struktur masyarakat (sistem

keyakinan, prinsip, norma)

2 Struktur institusi dan organisasi

3 Hubungan antarkelompok

4 Struktur kelompok

(Dirumuskan berdasarkan van Dijk 1995a; 2001b: 115; 2001c: 14)

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan dua jenis metode pengumpulan data.

Pertama, metode pencatatan dokumen atau metode dokumentasi untuk

mengumpulkan data dan menjawab masalah pertama, yakni struktur teks berita

tentang RTRWP dalam harian Bali Post. Dalam penelitian ini, diteliti berita-berita

tentang RTRWP yang dimuat surat kabar Bali Post. Berita-berita tersebut dibaca

dan dikaji secara cermat untuk memperoleh data yang diperlukan. Data-data

tersebut kemudian dicatat untuk dianalisis. Metode dokumentasi juga digunakan

untuk mengumpulkan data dan menjawab masalah kedua, yaitu kognisi sosial

wartawan Bali Post dalam memproduksi berita-berita tentang RTRWP.

Masalah ketiga, yaitu konteks sosial dijawab dengan teknik dokumentasi

dan studi pustaka. Menurut Arikunto (Arikunto, 2002:135), di dalam melakukan

pengumpulan data melalui metode ini, diselidiki benda-benda tertulis, seperti

Page 72: (rtrwp) bali dalam harian bali post

72

buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat, catatan harian,

dan sebagainya. Dalam penelitian ini diselidiki konteks sosial yang terkait dengan

berita-berita RTRWP yang dimuat di surat kabar Bali Post.

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dalam penelitian ini dianalisis dengan

metode deskriptif kualitatif. Analisis data menggambarkan suatu keadaan dengan

kata-kata sesuai dengan kategori. Hasil analisis data kemudian disimpulkan.

Prosedur yang ditempuh dalam analisis data adalah sebagai berikut. Pertama,

mengidentifikasi dan mendeskripsikan data, yaitu menetapkan data. Pada tahap ini

dikumpulkan berita-berita terkait dengan RTRWP di harian Bali Post. Kedua,

mengklasifikasi data, yaitu mengelompokkan data menurut permasalahan atau

sesuai dengan batas kajian. Berita-berita yang ditemukan dibedakan atas berita

yang menjadi berita utama (halaman pertama), bukan berita utama, dan berita

iklan. Berita yang dianalisis adalah berita yang merupakan berita utama yang

terletak di halaman pertama. Ketiga, menganalisis data berdasarkan teori yang

telah dirumuskan. Di sini, diterapkan teknik analisis yang dikemukakan oleh Van

Dijk, yaitu terfokus pada analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.

Keempat, ditarik simpulan sesuai dengan yang disarankan oleh seluruh data.

3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis

Cara penyajian analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode

deskriptif kualitatif khususnya dengan metode penyajian informal. Sudaryanto

Page 73: (rtrwp) bali dalam harian bali post

73

(1993: 145) menyebutkan bahwa metode penyajian informal merupakan metode

analisis dengan menggunakan kata-kata biasa – walau dengan terminologi yang

teknis sifatnya tanpa menggunakan kaidah formal berupa rumus, tanda, dan

lambang, atau diagram. Dengan demikian, hasil analisis terhadap berita tentang

RTRWP Bali dalam harian Bali Post adalah pemaparan mengenai struktur teks

berita, kognisi sosial, serta konteks sosial yang terdapat dalam berita tersebut.

Page 74: (rtrwp) bali dalam harian bali post

74

BAB IV

STRUKTUR TEKS BERITA RTRWP BALI

Analisis berita mengenai RTRWP yang dimuat di harian Bali Post

dilakukan dengan menganalisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pada bab

ini, kajian difokuskan untuk memaparkan struktur teks berita RTRWP Bali.

Analisis teks merupakan analisis terhadap berita-berita mengenai RTRWP

yang meliputi analisis terhadap struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro

teks yang keseluruhannya meliputi dua puluh elemen strategi wacana. Analisis

teks secara detail diuraikan berikut ini.

4.1 Struktur Makro Berita RTRWP Bali

Tema/topik merupakan gagasan utama yang ditonjolkan dalam sebuah

berita. Tema atau topik berita dapat diketahui melalui judul berita. Selain

menyampaikan informasi utama yang hendak dipaparkan dalam berita, judul juga

menjadi landasan awal pembaca dalam memahami keseluruhan wacana. Judul

berita “Terkait Pasal ‘Bisnis’ dalam Ranperda RTRWP, Krama Bali Harus

Bersikap” mengandung tema RTRWP Bali dan topik yang merupakan

pengkhususan tema, yakni terkait pasal bisnis dalam Ranperda RTRWP, krama

Bali harus bersikap.

Kalimat pada judul menjadikan frasa Terkait Pasal ‘Bisnis’ RTRWP

sebagai keterangan yang diletakkan sebelum subjek, Krama Bali sebagai subjek,

dan harus bersikap sebagai predikat. Struktur kalimat demikian memungkinkan

74

Page 75: (rtrwp) bali dalam harian bali post

75

pesan yang terkandung pada frasa keterangan mendapatkan penekanan dalam

pemahaman pembaca. Dengan demikian, yang memperoleh penekanan pada judul

adalah frasa pasal bisnis mengandung strategi wacana yang menggiring

pemahaman pembaca untuk memahami RTRWP sebagai bentuk kebijakan yang

memiliki kepentingan bisnis atau motif finansial yang menguntungkan kelompok

tertentu.

Klausa Krama Bali Harus Bersikap menggiring pemahaman pembaca

mengenai hal yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi atau menyikapi

RTRWP tersebut. Dalam berita tidak dijabarkan mengenai bentuk sikap terhadap

RTRWP yang mesti dilakukan oleh masyarakat. Namun, berita ini mengandung

beberapa subtopik yang mendukung topik RTRWP mengandung pasal ‘bisnis’

dan Krama Bali harus bersikap.

Subtopik yang mendukung tema tersebut, antara lain (1) aspek ekonomi

dan penyelamatan alam Bali harus balance (par.1, kal.4), (2) RTRWP Bali

mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pemimpin daerah yang salah

merekomendasikan perizinan (par.2, kal.1), (3) krama Bali harus berani

mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak

aturan main (par.2, kal.3), (4) ada kecenderungan kepentingan ekonomi

mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali (par.4, kal.2), (5) perlu adanya

evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di

lapangan (par.5, kal.1).

Pada berita kedua (2) yang berjudul “Revisi terhadap Perda RTRW

Inisiatif Eksekutif”, tema RTRWP Bali dikhususkan pada topik revisi terhadap

Page 76: (rtrwp) bali dalam harian bali post

76

RTRW inisiatif eksekutif. Judul yang mengandung tema dan topik berita

berfungsi untuk mengarahkan dan memengaruhi pemahaman pembaca terhadap

berita.

Pada berita ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa eksekutif atau

pemerintah Provinsi Bali merupakan pihak yang memiliki inisiatif untuk merevisi

RTRW yang telah ada. Pemunculan topik ini menimbulkan kesan yang tidak baik

kepada eksekutif. Meskipun revisi RTRW diawali dengan alasan perbaikan agar

RTRW lebih kuat mangatur penataan wilayah dan sanksi kepada para pelanggar,

dalam berita disampaikan bahwa kenyataannya justru sebaliknya. RTRW

dipandang lebih lemah daripada yang telah ada sebelumnya. Hal ini dapat

diketahui dengan melihat subtopik yang terdapat dalam berita, antara lain

(1) RTRWP banyak disorot karena banyak “pasal bisnis” di dalamnya (parg.1),

(2) tata cara penyusunan RTRWP (parg.3 dan parg.4), (3) latar belakang yang

membuat munculnya gagasan revisi RTRWP (parg.5), (4) RTRWP yang sedang

dibahas tidak lebih baik daripada perda sebelumnya (parg.6 dan parg.7).

Judul berita ketiga (3) yang dianalisis adalah “Ranperda RTRWP Bali,

ODTWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang”. Judul ini sekaligus

menunjukkan tema dan topik berita ini. Dengan kata lain, yang menjadi fokus atau

topik pemberitaan pada berita ini adalah OTDWK menciptakan peluang

pelanggaran terhadap tata ruang. Tema ini dijabarkan lagi ke dalam subtopik

yang lebih khusus, antara lain (1) pembangunan akomodasi pariwisata di dua

wilayah OTDWK Buleleng (Air Sanih, Kubutambahan dan Kawasan Buyan –

Tamblingan) terkesan tidak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah

Page 77: (rtrwp) bali dalam harian bali post

77

disiasati (par.1,kal.2); (2) syarat pembangunan di daerah OTDWK (par.3); (3)

pelanggaran ketentuan pembangunan di daerah OTDWK di Air Sanih dan Bukti

hingga Desa Tembok Tejakula (par.5); (4) pelanggaran ketentuan pembangunan

di daerah OTDWK di Pancasari (par.6).

Judul berita keempat (4) yang dianalisis adalah “Ranperda RTRWP:

Sedikitnya Ada 133 Kata ‘arahan’, 100 Poin Diatur Gubernur.” Judul tersebut

mengandung tema dan topik yng disampaikan dengan jelas. Tema berita tersebut

adalah RTRWP (Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi) Bali. Tema tersebut

dijabarkan ke dalam topik adanya 133 kata “Arahan” dan 10 poin diatur gubernur.

Topik ini menonjolkan informasi mengenai besarnya kewenangan yang dimiliki

oleh gubernur terkait dengan penataan tata ruang wilayah Bali. Topik tersebut,

dikhususnya lagi menjadi subtopik, yaitu (1) Makin banyak saja terkuak

kelemahan ranpeda RTRWP Bali 2009, dan (2) banyak hal menarik yang

terungkap yang selama ini belum banyak diketahui masyarakat.

Dalam bentuk tabel, tataran makro berita dengan tema RTRWP Bali

adalah sebagai berikut.

Tabel 4.1 Tema, Topik, dan Subtopik Wacana Berita Mengenai RTRWP Bali

Tema : RTRWP (Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi) BaliNo Topik Subtopik Keterangan1 Terkait Pasal ‘Bisnis’

dalam RanperdaRTRWP, Krama BaliHarus Bersikap

1) Aspek ekonomi danpenyelamatan alam Baliharus balance

par.1, kal.4

2) RTRWP Bali mestinyajuga mengatur sanksi secarakhusus bagi pemimpindaerah yang salahmerekomendasikanperizinan

par.2, kal.1

3) Krama Bali harus berani par.2, kal.3

Page 78: (rtrwp) bali dalam harian bali post

78

mengambil sikap jikapemimpinnyamengakomodasi investasidengan melabrak aturanmain

4) Ada kecenderungankepentingan ekonomimengalahkan agendapenyelamatan bumi Bali

par.4, kal.2

(5) Perlu adanya evaluasi yangutuh atas pengelolaan Balidari sisi aturan danimplementasinya dilapangan

par.5, kal.1

2 Revisi terhadap PerdaRTRW InisiatifEksekutif

1) RTRWP banyak disorotkarena banyak “pasalbisnis” di dalamnya

par.1

2) Tata cara atau alurpenyusunan RTRWP

par.3 dan par.4

3) Latar belakang yangmembuat munculnyagagasan revisi RTRWP

par.5

4) RTRWP yang sedangdibahas tidak lebih baikdaripada perda sebelumnya

par.6 dan par.7

3 OTDWK menciptakanpeluang pelanggaranterhadap tata ruang

1) Pembangunan akomodasipariwisata di dua wilayahOTDWK Buleleng (AirSanih, Kubutambahan danKawasan Buyan –Tamblingan) terkesan tidakterkontrol akibat ketentuanyang terkesan mudahdisiasati

par.1,kal.2

2) Syarat pembangunan didaerah OTDWK

par.3

3) Pelanggaran ketentuanpembangunan di daerahOTDWK di Air Sanih danBukti hingga Desa TembokTejakula

par.5

4) Pelanggaran ketentuanpembangunan di daerahOTDWK di Pancasari

par.6

Page 79: (rtrwp) bali dalam harian bali post

79

4 Ranperda RTRWP,Sedikitnya ada 133 kataarahan, 10 poin diaturGubernur

1) Makin banyak saja terkuakkelemahan ranpedaRTRWP Bali 2009.

2) Banyak hal menarik yangterungkap yang selama inibelum banyak diketahuimasyarakat.

par. 1

par.4

4.2 Superstruktur Berita RTRWP Bali

4.2.1 Judul

Judul berita pertama adalah “Terkait Pasal Bisnis, Krama Bali Harus

Bersikap” (17 April 2009 – 044). Judul berita ini menggunakan struktur

keterangan – subjek – predikat. Frasa keterangan diletakkan mendahului subjek

sehingga memperoleh penekanan atau ditonjolkan. Ungkapan “pasal bisnis”

menggiring pemahaman pembaca untuk memahami bahwa beberapa pasal dalam

RTRWP mengandung kepentingan yang bertujuan untuk menguntungkan pihak-

pihak tertentu secara finansial.

Judul berita kedua adalah “Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif”. Judul

berita ini menggunakan struktur kalimat subjek – predikat. Yang menjadi frasa

subjek adalah revisi perda RTRW, sedangkan yang menjadi frasa predikat adalah

inisiatif eksekutif.

Melalui judul ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa eksekutif

yang dalam hal ini adalah pemerintah Provinsi Bali merupakan pihak yang

memiliki gagasan awal untuk merevisi perda RTRWP. Judul yang sekaligus

menjadi tema berita mencitrakan eksekutif secara negatif karena topik-topik yang

muncul dalam tubuh berita adalah hal-hal yang negatif terkait dengan ranperda

RTRW, antara lain (1) adanya “pasal bisnis”, pasal pesanan dalam perda yang

Page 80: (rtrwp) bali dalam harian bali post

80

tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali, (2) gagasan Gubernur Mangku

Pastika untuk merevisi perda karena sanksi dalam perda dianggap lemah, (3)

ranperda RTRWP yang sedang dibahas lebih lemah dari yang telah ada

sebelumnya.

Dengan judul dan topik-topik yang dimunculkan dalam tubuh berita, berita

ini dikonstruksi oleh wartawan atau media untuk mencitrakan eksekutif,

khususnya Gubernur Mangku Pastika secara negatif. Gubernur Mangku Pastika

digambarkan sebagai pihak yang memiliki inisiatif untuk merevisi perda karena

dianggap tidak memiliki sanksi yang memadai untuk menindak pelanggaran.

Kenyataannya, pada berita disebutkan bahwa sanksi pada ranperda yang sedang

dibahas malah lebih lemah dibandingkan dengan sebelumnya. Hal lain yang tidak

kalah penting adalah ranperda RTRWP yang sedang dibahas memunculkan pasal-

pasal yang mengandung muatan “bisnis” yang memberikan peluang kepada

investor untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan. Jadi, hal yang

menjadi alasan Gubenur Mangku Pastika untuk merevisi perda sama sekali tidak

terwujud dalam ranperda yang baru. Sebaliknya, yang muncul dalam ranperda

adalah pasal yang berpotensi merusak Bali dan sanksi yang lebih lemah.

Judul berita ketiga adalah “Ranperda RTRWP Bali, OTDWK Ciptakan

Peluang Langgar Tata Ruang”. Frasa ranperda RTRWP Bali ditulis pada baris

teratas, dengan huruf berwarna merah, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan

bagian lain judul. Frasa itu menjadi semacam tema berita. Topik berita yang

menjadi inti berita ketiga adalah ODTWK Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang.

Page 81: (rtrwp) bali dalam harian bali post

81

Judul berita ketiga mengarahkan persepsi pembaca untuk memahami bahwa

OTDWK menciptakan peluang pelanggaran terhadap tata ruang.

Judul berita keempat adalah “Ranperda RTRWP; Sedikitnya ada 133 kata

arahan, 10 poin diatur Gubernur.” Judul berita keempat ini mengarahkan persepsi

pembaca untuk memahami bahwa ranperda RTRWP 2009 memberikan kekuasaan

atau wewenang yang cukup besar kepada gubernur untuk membuat keputusan

serta kebijakan terkait dengan pengelolaan tata ruang wilayah Provinsi Bali.

4.2.2 Teras berita

Yang menjadi teras berita dalam berita pertama adalah “Munculnya pasal-

pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala

Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M. Dihubungi Kamis,

(16/4) kemarin, ia mengaku sudah mendengar paparan masalah RTRWP di

Gedung DPRD Bali. “Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya

mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan

kepentingan penyelamatan alam. “Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam

Bali harus balance,” tegasnya.

Teras berita pada berita pertama merupakan kutipan pernyataan Kepala

Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra. Kutipan tersebut mengandung imbauan

agar ranperda ini disusun dengan mempertimbangkan aspek ekonomi dan

penyelamatan alam Bali secara berimbang. Namun, oleh wartawan, imbauan itu

diawali dengan kalimat “Munculnya pasal-pasal ‘bisnis’ pada Ranperda RTRWP

Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir.

Page 82: (rtrwp) bali dalam harian bali post

82

R. Sudirman, M.M.” Kata “dikritisi” menimbulkan kesan bahwa imbauan itu

sebagai kritik atas RTRWP. Dengan demikian, hal tersebut juga menggiring

pemahaman pembaca bahwa RTRWP memang mengandung hal-hal yang

menyimpang dari kepentingan penyelamatan alam Bali karena mengandung

kepentingan bisnis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja.

Teras pada berita kedua adalah “Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak

disorot sebab dinilai banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan, dan ranperda yang

tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali. Sorotan ini tak hanya datang dari

pemerhati. Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda

RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak

napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW

No.3/2005 maupun Bhisama PHDI.”

Teras berita pada berita kedua didominasi oleh evaluasi wartawan terhadap

topik yang diberitakan. Meskipun terdapat pernyataan yang berhubungan dengan

pandangan anggota DPRD Bali, namun pada berita sama sekali tidak tertulis nama

atau narasumber yang mengemukakan pandangan tersebut. Dengan demikian,

pernyataan yang terkesan disampaikan oleh anggota DPRD tersebut hanya

memperkuat evaluasi yang disampaikan oleh wartawan.

Teras berita pada berita kedua menggiring pandangan pembaca untuk

memahami bahwa banyak pihak yang memperhatikan revisi perda RTRWP

karena terdapat hal yang keliru, seperti adanya pasal bisnis, pasal pesanan, dan

ranperda tersebut tidak mengakomodasi kearifan lokal. Pihak yang

memperhatikan masalah Perda RTRWP ini bukan hanya pemerhati, melainkan

Page 83: (rtrwp) bali dalam harian bali post

83

juga anggota DPRD Bali. Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk

memahami bahwa masalah ini sangat serius. Bukan hanya pemerhati yang pada

umumnya fokus hanya pada bidang tertentu yang memperhatikan dan

mempermasalahkan hal ini, melainkan pihak yang merupakan wakil rakyat dan

memiliki kapasitas sebagai anggota DPRD Provinsi Bali juga memperhatikan

penyusunan perda RTRWP ini. Perhatian tersebut diberikan karena jika revisi

ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang saat ini memang

telah mulai rusak.

Teras berita pada berita ketiga adalah “Dua objek wisata di Kabupaten

Buleleng, yakni sepanjang Pantai Air Sanih, Kubutambahan hingga Tejakula dan

kawasan Buyan-Tamblingan Desa Pancasari tampaknya sedang laris-larisnya

didatangi investor. Akibatnya, pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah

itu seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati.”

Teras berita dibuat berdasarkan evaluasi wartawan terhadap topik.

Subtopik yang dibahas dalam teras berita, yakni pembangunan akomodasi

parawisata di dua objek wisata (Air Sanih dan Buyan-Tamblingan) tidak

terkontrol secara langsung mendukung atau menunjang topik pada judul.

Teras berita keempat adalah “Makin banyak saja terkuak kelemahan

Ranperda RTRWP Bali 2009. Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana,

Bhisama PHDI, dicantumkannya kewenangan gubernur mengatur status pura dan

menetapkan ODTW di luar perda, kini para ahli Unud mengkritisi bahwa

Ranperda RTRWP sebagian masih menggunakan data kedaluwarsa”. Teras berita

ketiga merupakan evaluasi wartawan terhadap topik yang sedang diberitakan,

Page 84: (rtrwp) bali dalam harian bali post

84

sehingga frasa makin banyak saja pada teras mengandung maksud menggiring

pemahaman pembaca bahwa kelemahan RTRWP Bali sebenarnya sudah banyak,

dan menjadi semakin banyak. Pada bagian selanjutnya, sebagai pengembangan

teras berita ini, wartawan menyampaikan secara lebih datail hal-hal yang menjadi

kelemahan RTRWP Bali.

4.2.3 Peristiwa utama

Peristiwa utama dalam berita pertama adalah kritik terhadap RTRWP.

Terdapat dua orang yang menjadi narasumber yang pernyataannya dikutip dalam

berita dan menjadi peristiwa utama dalam berita. Narasumber yang pernyataannya

dikutip sebagai teras berita adalah Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra

Ir. R. Sudirman, M.M. yang menyatakan bahwa aspek ekonomi dan penyelamatan

alam Bali harus balance. Narasumber yang kedua adalah ahli geomorfologi Unud

R. Suyarto mengemukakan beberapa pandangan, antara lain: komponen

masyarakat Bali harus diberikan ruang yang terbuka untuk memberikan sumbang

saran dalam membuat aturan, ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam

penentuan kelayakan sebuah investasi, dan perlu adanya evaluasi yang utuh atas

pengelolaan alam Bali dari sisi aturan dan implementasinya.

Pada berita kedua, peristiwa atau hal yang menjadi peristiwa utama adalah

revisi Ranperda RTRWP merupakan inisiatif eksekutif. Hal ini dapat diketahui

dari judul berita kedua yakni “Revisi Perda RTRW Inisiatif Eksekutif”. Meskipun

teras berita tidak berhubungan langsung dengan judul, teras sebagai paragraf

pertama berita hingga paragraf keempat menyajikan informasi yang negatif

Page 85: (rtrwp) bali dalam harian bali post

85

tentang Ranperda RTRWP. Paragraf pertama mengenai banyak pihak yang

menyoroti revisi ranperda karena dianggap bermasalah dan merugikan

keselamatan Bali. Paragraf yang kedua mengenai bantahan Ketua Bappeda Bali

Nengah Suarca mengenai adanya pasal “bisnis” dalam Ranperda. Paragraf ketiga

mengenai alur teknis penyusunan Ranperda RTRWP. Paragraf kelima mengenai

tidak adanya keterangan terperinci saat Kepala Bappeda ditanya mengenai alasan

adanya pasal-pasal “bisnis”.

Bagian yang berhubungan langsung atau menerangkan judul muncul pada

paragraf kelima hingga ketujuh atau akhir berita. Paragraf itu secara umum

mengandung informasi mengenai latar belakang munculnya gagasan revisi

Ranperda RTRWP dan pandangan mengenai hasil revisi ranperda tersebut.

Peristiwa utama dalam berita ketiga adalah pembangunan akomodasi

pariwisata di dua wilayah objek wisata (Air Sanih dan Buyan-Tamblingan) seakan

tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati. Hal ini terdapat

pada teras berita atau paragraf pertama berita.

Peristiwa utama berita keempat adalah ranperda dengan XVIII bab itu

memunculkan banyak hal menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak

diketahui masyarakat. Informasi ini terdapat pada judul berita dan lebih khusus

lagi pada paragraf keempat.

4.2.4 Konsekuensi

Konsekuensi dalam berita pertama terdapat pada paragraf ke-2, kalimat

ke-3 yaitu “Krama Bali harus berani mengambil sikap jika pemimpin

Page 86: (rtrwp) bali dalam harian bali post

86

mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main. Proposisi ini merupakan

konsekuensi atas adanya “pasal bisnis” dalam RTRWP. Proposisi ini juga

menjadi judul berita.

Kata krama merupakan bahasa Bali yang berpadanan dengan kata warga

dalam bahasa Indonesia. Istilah krama sering digunakan untuk mengacu kepada

warga adat (krama adat), warga banjar (krama banjar), dan warga desa (krama

desa). Penggunaan kata krama menimbulkan kesan bahwa masalah ini

merupakan masalah masyarakat lokal Bali yang kepentingannya untuk menjadi

dan menyelamatkan alam Bali terganggu karena pihak-pihak yang ingin

mengambil keuntungan melalui pasal-pasal tertentu dalam RTRWP. Meskipun

konsekuensi dinyatakan pada judul dengan proposisi “Krama Bali harus

Bersikap”, pada bagian isi berita hingga penutup tidak terdapat pemaparan secara

eksplisit mengenai sikap yang harus dilakukan oleh masyarakat Bali.

Dalam berita kedua juga terdapat elemen konsekuensi yaitu sebagaimana

yang termuat dalam paragraf 1, kalimat 3 “Anggota DPRD Bali pun

mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan mendesak Bali

yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang tak lagi

mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 dan Bhisama PHDI”. Konsekuensi

dalam proposisi tersebut adalah diyakini akan merusak Bali yang kini telah

bopeng dan “sesak napas. Bali yang saat ini telah “bopeng” sebagai akibat dari

investasi yang mengeksploitasi alam Bali diyakini akan semakin “sesak napas”

apabila Ranperda RTRWP ini lolos.

Page 87: (rtrwp) bali dalam harian bali post

87

Konsekuensi ini muncul berhubungan dengan berita pertama yang

menggambarkan bahwa Ranperda RTRWP sarat dengan pasal-pasal “bisnis” yang

dianggap lebih mengakomodasi kepentingan investor dibandingkan dengan

mengakomodasi kepentingan penyelamatan alam Bali. Dengan demikian, alam

Bali yang sudah tidak indah lagi (diwakili dengan kata “bopeng”) akan lebih

parah kondisinya, seperti semakin tidak indah karena proses pembangunan di

sana-sini yang kurang mengindahkan keseimbangan alam Bali (diwakili dengan

kata “sesak napas”).

Pada berita ketiga, terdapat gambaran mengenai konsekuensi. Pertama,

terdapat pada paragraf 4 yakni “Namun, dalam kenyataannya ketentuan itu masih

bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat kontrol yang tegas.

Sehubungan dengan itu, ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek wisata,

pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau vila”

(par.4) Paragraf ini menggambarkan bahwa konsekuensi dari tidak tertatanya

OTDWK akan berdampak pada berkurangnya daya tarik objek tersebut bagi

wisatawan karena dipenuhi vila. Penikmat objek tersebut pun akhirnya hanya

terbatas pada pihak-pihak yang mengelola vila.

Konsekuensi yang kedua adalah “Akibat ODTWK yang mudah disiasati,

maka pembangunan hotel melati dan pondok wisata di kawasan pesisir Air Sanih,

Desa Bukti hingga sepanjang pantai di Kecamatan Tejakula mulai dijamuri

pondok wisata” (par.5, kal.5). Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk

memahami bahwa siasat investor dalam pengelola akomodasi pariwisata di daerah

Page 88: (rtrwp) bali dalam harian bali post

88

ODTWK berdampak pada tidak terkendalinya jumlah pondok wisata. Secara tidak

langsung, hal tersebut juga akan mengurangi daya tarik objek wisata.

Pada bagian lain, konsekuensi yang ketiga tidak disampaikan secara

ekplisit, tetapi melalui pertanyaan retoris “Jika itu yang terjadi, apakah ODTWK

masih bisa dikatakan sebagai objek daya tarik wisata khusus?” Kata itu mengacu

kepada pada kalimat sebelumnya, yakni “Belakangan, daerah itu terus didatangi

investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan

dipenuhi vila.” Jawab atas pertanyaan retoris tersebut tentu sudah pasti bahwa jika

lereng bukit dipenuhi vila, objek wisata tak akan menjadi objek wisata yang baik

lagi. Pertanyaan retoris tersebut sekaligus memberikan gambaran atas konsekuensi

yang mungkin ditimbulkan oleh pembangunan vasilitas pariwisata yang tidak

terkontrol. Jawaban atas pertanyaan retoris tersebut dapat dijawab dengan

mangacu paragraf 4 sebagaimana telah dibahas sebelumnya.

Konsekuensi yang keempat adalah “Akibatnya, pembangunan akomodasi

pariwisata di dua wilayah itu seakan tak terkontrol akibat ketentuan yang terkesan

mudah disiasati” (par. 1). Proposisi ini menyampaikan bahwa konsekuensi atas

penetapan OTDWK yang tidak diimbangi dengan penerapan atau pengawasan

terhadap penerapan aturan. Pada dua kawasan yang dimaksud (Air Sanih dan

Buyan-Tamblingan) akhirnya terdapat jumlah akomodasi pariwisata yang tidak

terkendali sehingga dapat merugikan lingkungan dan daya tarik pariwisata lokasi

ODTWK tersebut.

Konsekuensi yang kelima adalah “Belakangan, daerah itu terus didatangi

investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan

Page 89: (rtrwp) bali dalam harian bali post

89

dipenuhi vila” (par. 6, kal. 2). Proposisi ini menyajikan informasi mengenai

kemungkinan konsekuensi yang terjadi apabila kawasan Danau Buyan tidak

segera ditata dan penerapan aturan ODTWK perlu mendapatkan pengawasan yang

baik dari pemerintah.

Berita keempat yang dianalisis memiliki strategi wacana berupa

konsekuensi, yaitu dua pasal ini, 161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam

penentuan ODTW tersebut. Mereka akan berlomba-lomba menentukan ODTW

(berita 4, par. 12, kal. 1-2). Strategi wacana ini mengarahkan pemahaman

pembaca mengenai konsekuensi yang mungkin ditimbulkan oleh adanya

kewenangan kepala daerah, baik gubernur maupun bupati/wali kota, untuk

menentukan ODTW. Pada strategi wacana ini, Bali Post menggambarkan bahwa

penentuan ODTW akan menjadi rancu karena terdistribusinya kewenangan

penentuannya pada gubernur, bupati/walikota. Konsekuensi selanjutnya adalah

para kepala daerah digambarkan akan berlomba-lomba dalam menetapkan ODTW

untuk memenuhi kepentingan pemodal. Dengan penggambaran seperti ini,

pemimpin daerah yang memiliki kewenangan dalam menetapkan ODTW

dicitrakan secara negatif karena kewenangan yang dimiliki akan digunakan untuk

memenuhi kepentingan pemodal yang belum tentu, bahkan sering bertentangan

dengan kepentingan masyarakat pada umumnya.

Page 90: (rtrwp) bali dalam harian bali post

90

4.2.5 Konteks

Pada berita pertama terdapat konteks yang disampaikan melalui kutipan

pernyataan seorang narasumber. Kutipan yang memberikan konteks atas topik

yang sedang diberitakan terdapat pada paragraf ketiga, sebagai berikut.

“Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan

kelayakan sebuah investasi. Ada kecenderungan kepentingan ekonomi

mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali,” ujarnya (par.4, kal.1).

Konteks pada berita ini dapat diketahui melalui frasa selama ini. Frasa

tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun waktu sebelumnya, tetapi tidak

dijelaskan secara eksplisit kurun waktu tersebut, telah terjadi kekeliruan dalam

pengelolaan investasi dan alam Bali. Kekeliruan tersebut disebabkan oleh terlalu

diutamakannya kepentingan ekonomi, sementara kepentingan penyelamatan Bali

diabaikan. Pemberian konteks ini mengarahkan persepsi pembaca untuk

memahami bahwa RTRWP juga dibuat dengan motivasi yang tidak jauh dengan

yang terjadi selama ini, yaitu menciptakan peluang diperolehnya keuntungan

ekonomi sebanyak-banyaknya dan mengabaikan kepentingan penyelamatan Bali.

Konteks dalam hal ini dipahami sebagai peristiwa lain yang berhubungan

dengan peristiwa utama yang sedang diberitakan. Dalam berita kedua terdapat

konteks yang memberikan gambaran mengenai tanggapan dan pandangan

terhadap revisi Perda RTRWP, yakni pada paragraf 6, kalimat 2. Dalam kalimat

tersebut dinyatakan Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagaian besar yang

diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Bahkan,

ada yang menyebutkan sebuah kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering

Page 91: (rtrwp) bali dalam harian bali post

91

disebut pasal “bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk

merambah kawasan yang selama ini disakralkan.

Konteks yang diberikan pada berita kedua menggiring pemahaman

pembaca bahwa revisi Perda RTRWP memang tidak lebih baik daripada Perda

RTRWP yang telah ada sebelumnya. Dengan konteks ini, pembaca juga digiring

bahwa munculnya pasal-pasal bisnis dan diabaikan kepentingan penyelamatan

Bali pada Ranperda RTRWP berhubungan dengan inisiatif Gubernur Mangku

Pastika.

Pada berita ketiga, konteks dapat ditemukan pada paragraf 5, yakni “Pada

kawasan pantai dari Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok di Tejakula

terdapat ratusan vila atau pondok wisata. Anehnya di dalamnya terdapat sejumlah

hotel yang memiliki kamar lebih dari ketentuan maksimal 25 kamar. Namun

investornya tak bisa disalahkan karena hotel tersebut dipayungi dua perusahaan,

padahal manajemennya berada dalam satu atap. Akibat ODTWK yang mudah

disiasati, maka pembangunan hotel melati dan pondok wisata di kawasan pesisir

Air Sanih, Desa Bukti hingga sepanjang pantai di Kecamatan Tejakula mulai

dijamuri pondok wisata.” Pada berita, konteks tidak disajikan dengan penanda

eksplisit, tetapi dipaparkan dalam bentuk sebuah paragraf yang pada intinya

menyampaikan cara investor menyiasati aturan agar bisa membangun kamar lebih

dari ketentuan, yakni 25 kamar. Investor yang membangun akomodasi pariwisata

lebih dari 25 kamar menggunakan dua perusahaan, padahal sejatinya berada

dalam satu atap.

Page 92: (rtrwp) bali dalam harian bali post

92

Konteks yang lain terdapat pada paragraf 6 yakni “Di Desa Pancasari juga

terjadi hal yang mirip. Di lereng sebelah selatan Danau Buyan juga terdapat hotel

dengan kapasitas lebih dari 25 kamar. Belakangan daerah itu terus didatangi

investor sehingga dikhawatirkan lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan

dipenuhi vila. Jika itu yang terjadi, apakah ODTWK masih bisa dikatakan sebagai

objek daya tarik wisata khusus?” Pemaparan konteks ini menggiring pemahaman

pambaca bahwa pelanggaran atau siasat investor dalam menyikapi aturan

pembangunan akomodasi di daerah ODTWK akan berdampak tidak baik bagi

daerah ODTWK. Penetapan suatu kawasan menjadi ODTWK akhirnya hanya

akan berdampak negatif karena hanya akan mempermudah investor untuk

membangun vasilitas pariwisata tanpa disertai dengan pengawasan oleh

pemerintah. Akibat selanjutnya dari kondisi ini adalah rusaknya atau

berkurangnya daya tarik kawasan tersebut sebagai ODTWK.

Strategi wacana berupa konteks pada berita keempat ditemukan pada

paragraf kedua, yakni “Tim perumus kajian akademis Unud (BP, 10/5)

menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena memakai Renstra

(Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2). Informasi atau proposisi

ini meruapakan bagian dari berita yang sebelumnya telah dipublikasikan Bali Post

oleh karena itu, proposisi ini menjadi konteks dalam berita ini.

4.2.6 Historis

Berita pertama tidak mengandung historis yang memberikan gambaran

mengenai peristiwa atau kejadian yang telah terjadi jauh hari sebelumnya. Pada

Page 93: (rtrwp) bali dalam harian bali post

93

berita pertama, berita dibuat hanya berdasarkan kutipan wawancara terhadap dua

orang narasumber dan beberapa bagian yang merupakan komentar wartawan

terhadap topik.

Elemen historis muncul dalam berita kedua, yaitu “Revisi Perda RTRW ini

mencuat ke permukaan ketika muncul kasus panggung terapung di Danau Buyan.

Ketika itu, Gubernur Mangku Pastika menyatakan sanksi yang diatur dalam perda

itu sangat lemah sehingga tak mampu menjangkau kasus pelanggaran di Uluwatu

maupun Bukit Mimba, Karangasem” (par. 4). Dalam kutipan tersebut, jelas

tersurat bahwa Gubernur Mangku Pastika memunculkan gagasan revisi terhadap

Perda RTRWP setelah kasus panggung terapung di Danau Buyan yang terjadi

akibat sanksi yang diatur dalam perda tersebut sangat lemah sehingga tidak

mampu menjangkau kasus pelanggaran di beberapa tempat, seperti Uluwatu dan

Bukit Mimba Karangasem. Proposisi tersebut juga menyiratkan adanya keyakinan

terhadap Perda RTRWP yang telah direvisi akan mampu mengatasi masalah-

masalah pelanggaran wilayah. Hal ini menjadi paradoks dengan proposisi-

proposisi sebelumnya, yang mengkhawatirkan lolosnya Ranperda RTRWP ini

menjadi perda justru akan membuat Bali “sesak napas”. Dikuatkan lagi dengan

proposisi berikutnya “Namun, dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang

diundang menyatakan revisi ini tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Bahkan,

ada yang menyebutkan kemunduran, sebab sejumlah pasal yang sering disebut

“pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah

kawasan yang selama ini disakralkan” (par. 6). Dengan demikian, wartawan ingin

mengarahkan pandangan publik bahwa latar belakang munculnya gagasan revisi

Page 94: (rtrwp) bali dalam harian bali post

94

terhadap RTRW ini masih kurang pengkajian atau hanya karena gagasan pihak

tertentu (Gubernur Bali sebagai eksekutif), padahal pihak lain, seperti para ahli,

para tokoh masyarakat, justru memiliki pandangan yang sebaliknya, yaitu revisi

terhadap RTRW merupakan suatu kemunduran. Pada berita ketiga dan keempat,

tidak terdapat adanya historis dalam berita.

4.2.7 Harapan

Harapan merupakan hal yang mungkin ditimbulkan atau menjadi akibat

peristiwa yang diberitakan. Pada berita pertama, terdapat harapan pada paragraf 1,

kalimat ke-3. “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap jika

pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan” (par. 1, kal. 3).

Sumber proposisi yang mengandung harapan ini tidak secara jelas

ditampilkan dalam berita. Selain itu, proposisi ini terletak terpisah dari kalimat

dan paragraf yang mengandung kutipan pernyataan narasumber. Oleh karena itu,

dianggap bahwa proposisi ini merupakan pandangan wartawan mengenai

peristiwa yang sedang diberitakan. Artinya, tergolong sebagai harapan dalam

analisis wacana ini.

Harapan yang disajikan dalam berita mengandung ajakan bagi masyarakat

Bali untuk terlibat secara aktif menolak tindakan pemimpin Bali yang melanggar

aturan demi keuntungan finansial. Penggunaan kata krama dalam proposisi ini

menegaskan bahwa yang dimaksud bukanlah seluruh masyarakat yang tinggal di

Bali, melainkan warga Bali yang tergabung dalam masyarakat adat yang

beragama Hindu yang merupakan anggota perkumpulan masyarakat Bali yakni

Page 95: (rtrwp) bali dalam harian bali post

95

banjar dan desa adat. Jika dihubungkan dengan proposisi lain dalam judul “Tekait

Pasal “Bisnis” RTRWP, Krama Bali Harus Bertindak”, proposisi yang

mengandung harapan ini berisi ajakan wartawan atau media Bali Post kepada

masyarakat Bali untuk bersama-sama menolak “pasal-pasal bisnis” dalam

RTRWP.

Pada berita kedua ditemukan harapan yang menjadi bagian berita. Pada

berita ketiga, juga tidak ditemukan adanya harapan dalam berita.

Pada berita keempat ditemukan penggunaan strategi wacana berupa

harapan pada paragraf ketiga belas “Semestinya, Perda yang dibuat mengatur atau

membuat secara detail ruang yang boleh dimanfaatkan. Sehingga pejabat yang ada

tidak bisa main-main lagi di luar ketentuan perda tersebut.” Harapan pada

proposisi ini mengisyaratkan pandangan wartawan mengenai topik yang

disampaikan, sekaligus menggiring pemahaman pembaca untuk memahami hal

tersebut dengan cara yang sama seperti yang disampaikan oleh wartawan. Pada

proposisi harapan ini, wartawan menyampaikan pandangannya bahwa semestinya

perda telah mengatur secara detail wilayah yang bisa digunakan sebagai ODTW,

tidak memberikan kewenangan kepada kepala daerah. Pada proposisi selanjutnya

wartawan menyampaikan bahwa dengan adanya ketentuan pasti mengenai

wilayah ODTW, pemerintah tidak akan bisa melakukan penyimpangan untuk

kepentingan pribadi atau kelompok tertentu saja. Dengan kata lagi, ada kesan

yang secara implisit disampaikan bahwa penyimpangan merupakan suatu hal yang

telah biasa terjadi. Demikian melalui strategi wacana berupa harapan, wartawan

menyampaikan pandangan subjektifnya mengenai topik kepada khalayak.

Page 96: (rtrwp) bali dalam harian bali post

96

4.2.8 Evaluasi

Evaluasi merupakan pandangan atau pendapat wartawan mengenai

peristiwa yang sedang diberitakan. Pada berita pertama terdapat beberapa evaluasi

yang disampaikan dalam beberapa proposisi.

Pertama, proposisi “Untuk mencegah praktik membijaksanai aturan,

RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi secara khusus bagi pimpinan daerah

yang salah merekomendasikan perizinan” (par. 2, kal. 1). Proposisi ini

mengandung pandangan mengenai perlunya aturan mengenai sanksi kepada

pemimpin daerah yang keliru dalam merekomendasikan izin. Pandangan ini,

ditulis dalam kalimat yang tidak menyampaikan sumber sehingga dapat

disimpulkan bahwa proposisi ini merupakan evaluasi.

Kedua, proposisi “Hal ini jarang kita dengar karena kerap kali keputusan

pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari

kebijakan menyimpang” (par. 2, kal. 2). Yang dimaksud “hal ini” dalam proposisi

tersebut adalah perlunya sanksi bagi pemimpin daerah yang salah

merekomendasikan perizinan. Proposisi ini secara implisit menyampaikan kepada

pembaca bahwa sangat kecil kemungkinan seorang pemimpin mendapatkan

sanksi atas keputusannya yang keliru karena keputusan tersebut didasari oleh

kebijakan atau aturan tertentu. Padahal, anturan tersebut mungkin saja sengaja

dibuat untuk kepentingan tertentu yang menguntungkan kepentingan pemimpin

sehingga keputusan yang dibuat berdasarkan aturan tersebut terkesan benar.

Ketiga, proposisi “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil

sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan” (par.

Page 97: (rtrwp) bali dalam harian bali post

97

2, kal. 3). Proposisi ini menunjukkan sikap wartawan yang mengajak krama Bali

untuk terlibat aktif dan mengambil sikap dalam penyusunan RTRWP. Yang

dimaksud mengambil sikap dalam konteks ini adalah menolak “pasal bisnis”

dalam RTRWP karena pasal-pasal tersebut sengaja dibuat untuk menguntungkan

pihak-pihak tertentu, termasuk pemimpin dan mengabaikan kepentingan

penyelamatan alam Bali.

Wartawan menyampaikan beberapa proposisi evaluasi dalam berita kedua,

yaitu (1) Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot (par.1, kal.1). Dengan

proposisi ini, wartawan menyampaikan kepada pambaca bahwa Ranperda

RTRWP banyak disorot dan wartawan mengajak pembaca untuk ikut menyoroti

revisi perda RTRWP Bali. Hal yang disoroti tentu saja masalah-masalah yang

terungkap dalam proses revisi Perda RTRWP Bali sebab dalam berita-berita

tentang Perda RTRWP ini yang lebih banyak diberitakan adalah tanggapan negatif

terhadap revisi perda RTRWP Bali atau pandangan yang bertentangan dengan

pihak eksekutif sebagai penggagas revisi terhadap Perda RTRWP Bali. Masalah

pada ranperda RTRWP muncul dalam proposisi evaluasi (2) Sebab, di dalamnya

banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan, dan ranperda yang tidak lagi

mengakomodasi kearifan lokal Bali (par.1, kal.2). Proposisi ini paling dominan

dimunculkan sebagai alasan penolakan banyak pihak terhadap RTRWP.

Semakin banyak pembaca atau pihak yang menyoroti masalah ini

menyebabkan wartawan memiliki semakin banyak kesempatan untuk

mengarahkan pikiran lebih banyak pembaca. Terlebih lagi, pihak-pihak yang

menyoroti masalah ini adalah para ahli dan tokoh masyarakat yang merupakan

Page 98: (rtrwp) bali dalam harian bali post

98

anggota DPRD Bali, sebagimana yang tampak dalam proposisi evaluasi (3)

Sorotan ini tak hanya datang dari pemerhati (Par.1,kal.3) dan proposisi evaluasi

(4) Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos,

diyakini akan mendesak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena

kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005

maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.4). Berdasarkan evaluasi yang disampaikan

tersebut, pembaca diarahkan untuk menanggapi revisi terhadap Perda RTRWP

secara negatif karena mengandung “pasal bisnis”, pasal pesanan, dan tidak

mengakomodasi kearifan lokal sehingga berdampak tidak baik bagi Bali.

Berita ketiga, mengandung evaluasi sebagai berikut. Pertama, terdapat

pada frasa “….tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor” (par.1, kal.1).

Frasa pada kalimat ini mengandung evaluasi atau pandangan wartawan mengenai

topik yang sedang diberitakan. Pada berita tidak terdapat jumlah investor yang

telah atau akan menanamkan modal di lokasi ODTWK yang sedang diberitakan.

Dengan menyampaikan tampaknya, pemahaman pembaca digiring untuk

memahami bahwa memang benar ada banyak investor yang berminat untuk

menanamkan modal dan melakukan usaha di kawasan tersebut. Padahal,

tampaknya merupakan kata modalitas yang mengandung makna ketidakpastian,

kesan, atau pandangan yang belum cukup kuat kebenarannya.

Evaluasi yang kedua adalah “Sebagai ODTWK, pemegang kebijakan

dengan mudah menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di

daerah itu” (par.2, kal.2). Proposisi ini merupakan pandangan wartawan yang

disampaikan secara tersamar. Hal ini dapat diperhatikan dengan ada atau tidaknya

Page 99: (rtrwp) bali dalam harian bali post

99

narasumber yang menyampaikan hal tersebut. Pada berita ketiga, tidak terdapat

narasumber yang menyampaikan proposisi tersebut sehingga wartawanlah yang

membuat simpulan itu. Dengan proposisi tersebut, penguasa dianggap bisa dengan

mudah memberikan izin karena memang boleh membuat akomodasi pariwisata di

daerah ODTWK. Lebih lanjut, penguasa terkesan tidak cukup selektif atau

mengkaji dengan baik sebelum memberikan izin kepada investor.

Evaluasi yang ketiga adalah “Memang, membangun di daerah ODTWK

ada syaratnya, antara lain tidak boleh dibangun hotel berbintang dan hanya

diizinkan untuk pondok wisata dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar. Namun

dalam kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan

juga tak memiliki alat kontrol yang tegas sehingga ODTWK yang dulunya

menarik sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan

pondok wisata atau vila” (par. 3, kal.4). Pada paragraf ini evaluasi tampak jelas

pada kalimat terakhir “Sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek

wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau

vila”. Pandangan ini bukan hasil pengamatan atau hasil wawancara dengan

narasumber tertentu. Dengan demikian, proposisi ini merupakan pandangan

wartawan untuk menggiring pandangan pembaca bahwa yang akhirnya

diuntungkan dengan penetapan status ODTWK suatu kawasan adalah investor

apabila pengawasan dan penataan yang memadai tidak dilakukan.

Pada berita keempat ditemukan strategi wacana berupa evaluasi pada

proposisi “Makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda RTRWP Bali 2009.

Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana, bhisama PHDI, dicantumkannya

Page 100: (rtrwp) bali dalam harian bali post

100

kewenangan gubernur mengatur status pura dan menetapkan ODTW di luar perda,

kini para ahli Unud mengkritisi bahwa Ranperda RTRWP sebagian masing

menggunakan data kadaluwarsa (berita 4, par.1)”. Proposisi makin banyak saja

terkuak kelemahan ranperda bukan hasil wawancara atau kutipan pernyataan

narasumber, melainkan merupakan evaluasi atau pandangan wartawan mengenai

topik yang sedang diberitakan. Dengan proposisi tersebut, pembaca diarahkan

memahami bahwa ranperda bukanlah rancangan peraturan daerah yang baik.

Ketidakbaikan atau kelemahan ranperda tersebut bertambah lagi dengan hal yang

akan dipaparkan pada bagian selanjutnya, yakni terlalu besarnya kewenangan

kepala daerah, gubernur dan bupati/wali kota dalam menentukan wilayah yang

menjadi ODTW. Evaluasi yang dilakukan wartawan dalam berita ini menggiring

agar pembaca memiliki persepsi yang kurang baik terhadap ranperda. Di samping

itu, memiliki pemahaman yang sama dengan wartawan untuk menolak adanya

RTRWP tersebut.

4.2.9 Reaksi verbal

Reaksi verbal merupakan pernyataan narasumber terkait dengan topik dan

menjadi bagian berita. Dalam berita pertama, terdapat beberapa reaksi verbal yang

disajikan dalam berita.

Pertama “Saya berharap jangan sampai perda ini disusun hanya

mempertimbangkan kepentingan ekonomi yang pada akhirnya merugikan

kepentingan penyelamatan alam. Antara aspek ekonomi dan penyelamatan alam

Bali harus balance,” tegasnya (par.1, kal.2). Kutipan pernyataan ini menjadi teras

Page 101: (rtrwp) bali dalam harian bali post

101

dalam berita 1. Hal ini berarti bahwa kutipan ini dianggap penting oleh wartawan

dan media serta akan memengaruhi keseluruhan arah dan isi berita. Pada dasarnya

kutipan pernyataan tersebut bersifat netral dan tidak menyalahkan pihak tertentu

karena hanya mengandung harapan dan saran agar penyusunan perda tidak hanya

mempertimbangkan kepentingan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan

penyelamatan alam Bali. Namun, kalimat yang ditulis sebelum kutipan ini

membuat pemaknaan atas kutipan mungkin berbeda. Kalimat yang terletak

sebelum kutipan ini adalah “Munculnya pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda

RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali

Nusra Ir. R. Sudirman, M.M.” Penyebutan frasa “pasal bisnis yang dikritisi”

membentuk persepsi pembaca bahwa memang benar terdapat pasal bisnis dalam

ranperda tersebut dan Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra tidak

menyetujui hal tersebut. Kemungkinan pemaknaan seperti ini tentu berbeda

dengan makna kutipan tersebut.

Kedua, kutipan tak langsung dari pernyataan ahli geomorfologi Unud R.

Suyarto dalam kalimat “Ahli Geomorfologi Unud R. Suyarto juga mengingatkan

agar komponen masyarakat di Bali diberi ruang yang terbuka untuk memberikan

sumbang saran dalam membuat aturan terhadap wilayahnya. Bali sebagai pulau

kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga

pemetaan fungsi tanah di Bali harus jelas” (par.3). Pernyataan ini menyarankan

kepada pihak yang memiliki peluang untuk membuat kebijakan agar melibatkan

komponen masyarakat Bali dalam membuat kebijakan. Secara implisit, persepsi

yang dapat dibentuk oleh pernyataan ini adalah anggapan bahwa selama ini

Page 102: (rtrwp) bali dalam harian bali post

102

memang belum ada upaya pembuat kebijakan untuk melibatkan atau menerima

saran komponen masyarakat.

Ketiga, kutipan langsung dari narasumber yang sama dengan kutipan yang

kedua, ahli geomorfologi Unud R. Suyarto “Selama ini ada kesan tak ada

pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan sebuah investasi. Ada

kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi

Bali,” ujarnya (par.4). Kutipan pernyataan ini berhubungan dengan judul berita

dan menjadi semacam argumen atas proposi pada judul berita sehingga pembaca

lebih teryakinkan bahwa RTRWP memang mengandung pasal-pasal yang dibuat

untuk kepentingan pihak tertentu dan mengabaikan penyelamatan alam Bali.

Dalam berita kedua, wartawan mencantumkan sejumlah reaksi verbal

dalam bentuk kalimat langsung pernyataan narasumber dan kalimat tak langsung

yang disimpulkan wartawan dari pendapat para narasumber. Reaksi verbal dalam

bentuk kalimat langsung yang pertama adalah sebagai berikut. Ketua Bappeda

Bali, Nengah Suarca, Kamis (16/4) menampik adanya pasal pesanan dalam

ranperda tersebut. “Tidak ada pasal pesanan,” katanya ditemui di sela-sela rapat

evaluasi APBD Bali 2009 di Ruang Wiswa Sabha. (par. 2, kal. 1). Kutipan

langsung ini hanya mengandung informasi mengenai bantahan Ketua Bappeda

bahwa ada pasal pesanan dalam revisi Ranperda RTRWP.

Kutipan langsung yang kedua adalah “Segala rumusan berkaitan dengan

pasal-pasal tersebut digodok di Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali,” katanya

tergesa-gesa (par.4, kal.2). Kutipan langsung ini mengandung informasi mengenai

alur teknis penyusunan revisi Perda RTRWP.

Page 103: (rtrwp) bali dalam harian bali post

103

Dalam berita kedua juga terdapat beberapa kutipan tak langsung. Pertama,

terdapat pada kalimat Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi

Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng

dan “sesak napas” karena kahadiran investasi yang tak lagi mengindahkan

Perda RTRW No.3/2005 maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.3). Dalam pernyataan

tak langsung ini, narasumber tidak disampaikan dengan jelas, tetapi hanya dengan

menggunakan frasa anggota DPRD Bali. Kutipan tak langsung ini mengarahkan

persepsi pembaca untuk memahami bahwa Ranperda RTRWP yang sedang

dibahas hanya akan semakin merusak Bali apabila berhasil disahkan.

Kutipan tidak langsung yang kedua juga tidak menyampaikan narasumber

secara jelas tetapi hanya menyebut narasumber dengan ada yang menyebut

sebagai pengganti nama atau identitas subjek. Kalimat yang mengandung

pernyataan tidak langsung itu adalah Bahkan, ada yang menyebut sebuah

kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis” malah

memberikan peluang kepada investor untuk merambah yang selama ini

disakralkan. Kutipan kalimat tak langsung ini mengarahkan pandangan pembaca

bahwa Ranperda RTRWP yang sedang dibahas tidak lebih baik daripada yang

telah ada sebelumnya. Bahkan, Rapeda ini cenderung tidak lebih baik karena

mengandung pasal-pasal yang menguntungkan pihak tertentu dari segi ekonomi

tetapi akan merugikan keselamatan alam Bali.

Pada berita ketiga, ditemukan beberapa reaksi verbal. Reaksi verbal yang

pertama adalah kalimat tak langsung sebagai berikut. “Kepala Dinas Kebudayaan

dan Pariwisata (Kadisbudpar) Buleleng I Putu Tastra Wijaya didampingi Kabid

Page 104: (rtrwp) bali dalam harian bali post

104

Pengembangan Pariwisata Nyoman Dodi Irianto membenarkan adanya hotel

berbintang atau hotel yang memiliki kamar lebih dari 25 buah dalam ODTWK di

Tejakula dan Pancasari” (par. 7). Melalui kutipan tak langsung ini, wartawan

menyampaikan bahwa memang benar terdapat pelanggaran atau upaya investor

menyiasati aturan sebagaimana yang sebelumnya telah dipaparkan dalam berita.

Kedua, kutipan tak langsung dari narasumber yang sama, yakni “Tastra

mengatakan pihaknya kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata

atau vila di daerah yang masuk ODTWK. Karena, diakui memang terdapat

investor yang mencoba menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan

keinginannya” (par. 8, kal. 1, 2). Pernyataan yang dikutip pada kalimat ini, juga

membenarkan apa yang telah dipaparkan wartawan pada bagian sebelumnya pada

berita ini. Dengan demikian, kutipan dari narasumber bersifat memperkuat atau

membenarkan adanya upaya menyiasati atau melanggar aturan oleh investor.

Ketiga, reaksi verbal dalam bentuk kalimat langsung sebagai berikut.

“Kami sedang melakukan kontrol sekaligus penataan, khususnya di daerah

ODTWK,” katanya. (par. 8, kal. 3). Kalimat ini mengandung informasi bahwa

pemerintah melalui pihak terkait sedang melakukan kontrol sekaligus penataan

kawasan ODTWK. Berita atau wawancara tidak menampilkan lebih jauh,

misalnya tindakan yang akan dilakukan kepada para investor yang bermaksud

atau telah melanggar aturan. Namun, pada dasarnya, reaksi verbal baik

disampaikan dalam kalimat langsung maupun tak langsung, dimuat sesuai dengan

topik utama berita, yakni ODTWK menciptakan peluang pelanggaran tata ruang.

Page 105: (rtrwp) bali dalam harian bali post

105

Berita keempat mengandung sebuah reaksi verbal yang ditulis dalam

bentuk kalimat tidak langsung. Namun, dengan narasumber yang tidak spesifik

karena menyebut narasumber dengan frasa Tim perumus kajian akademis Unud.

Akan tetapi, siapa yang mengatakan hal tersebut dalam kapasitas sebagai bagian

dari tim akademis tidak disebutkan oleh wartawan pada kalimat: “Tim perumus

kajian akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kadaluwarsa karena

masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2,

kal. 1).

4.3 Struktur Mikro Berita RTRWP Bali

4.3.1 Sintaksis

Pada tataran sintaksis, ditemukan beberapa strategi wacana yang

digunakan dalam berita 1. Pertama, nominalisasi pada kalimat “Munculnya pasal-

pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala

Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M.” (Par.1, kal.1). Pada

kalimat tersebut, frasa Munculnya pasal-pasal ‘bisnis’ pada Reperda RTRWP Bali

menjadi nomina dan menjadi subjek dalam berita. Perubahan verba muncul

menjadi nomina munculnya memungkinkan frasa tersebut menjadi subjek dalam

kalimat dan diletakkan di bagian awal kalimat sehingga memperoleh perhatian

lebih dari pembaca.

Kedua, penggunaan bentuk aktif pada kalimat “Ahli geomorfologi Unud,

R. Suyarto juga mengingatkan agar komponen masyarakat di Bali diberikan ruang

yang terbuka untuk memberikan sumbang saran dalam membuat aturan terhadap

Page 106: (rtrwp) bali dalam harian bali post

106

wilayahnya (par. 2, kal. 1). Bentuk aktif pada kalimat ini memungkinkan

ditonjolkannya subjek. Dalam konteks ini, subjek kalimat Ahli geomorfologi

Unud, R. Suyarto mendapatkan penonjolan dalam kalimat karena diletakkan pada

awal kalimat. Hal tersebut bukan tanpa tujuan, melainkan untuk mengemukakan

bahwa yang menyampaikan pandangan adalah pihak yang memiliki kompetensi di

bidang tersebut sehingga kebenaran pandangannya dapat dipercaya dan bersifat

netral.

Ketiga, kalimat aktif “R. Suyarto juga mengatakan perlu adanya sebuah

evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di

lapangan” (par. 4, kal. 1). Dengan menggunakan kalimat aktif, subjek, R. Suyarto

mendapatkan penonjolan. Sama halnya dengan kalimat sebelumnya, disampaikan

bahwa subjek merupakan orang yang memiliki kompetensi pada bidangnya

sehingga pandangannya dapat dipercaya. Dengan demikian, pandangan bahwa

perlu ada evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan

implementasi di lapangan memang benar. Secara implisit, pandangan ini juga

menyiratkan bahwa selama ini ada masalah dalam pengelolaan alam Bali karena

aturan dan implementasinya tidak sesuai.

Dalam berita kedua juga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran

sintaksis yang terdapat dalam berita 2. Pertama, Revisi Perda RTRWP Bali kini

banyak disorot (par. 1, kal. 1). Kalimat ini merupakan kalimat pasif dengan pola

subjek – keterangan – predikat. Subjek kalimat tersebut Revisi Perda RTRWP

Bali. Keterangan kalimat tersebut adalah kini. Predikat kalimat tersebut adalah

banyak disorot. Dengan kontruksi kalimat tersebut, frasa Revisi Perda RTRWP

Page 107: (rtrwp) bali dalam harian bali post

107

Bali menjadi topik kalimat. Dengan menggunakan bentuk kalimat pasif, objek

yang dalam hal ini pihak-pihak yang menyoroti Revisi Perda RTRWP tidak harus

dihadirkan. Namun, dengan menyatakan banyak, dapat menimbulkan persepsi

pembaca mengenai jumlah yang bisa saja lebih banyak daripada yang

sebenarnya. Jadi, dengan konstruksi kalimat tersebut, wartawan atau media

berupaya untuk menimbulkan kesan bahwa banyak pihak yang menyoroti masalah

tersebut. Selain itu, konstruksi kalimat tersebut kesan yang ditimbulkan dapat

lebih banyak daripada yang sebenarnya.

Kedua, kalimat Ketua Bappeda Bali, Nengah Suarca, Kamis (16/4)

kemarin menampik adanya pasal pesanan dalam ranperda tersebut. (par. 2, kal.

1). Struktur kalimat ini adalah subjek – keterangan – predikat – objek. Subjek

dalam kalimat adalah Ketua Bappeda Bali, Nengah Suarca. Keterangan dalam

kalimat adalah Kamis (16/4) kemarin. Predikat adalam kalimat adalah menampik.

Objek dalam kalimat adalah adanya pasal pesanan dalam ranperda tersebut.

Dengan struktur kalimat ini, yang mendapat penekanan dalam kalimat adalah

subjek yang menyampaikan bantahan mengenai pasal pesanan dalam ranperda.

Ketiga, kalimat Ketika ditanya kenapa muncul pasal-pasal berbau bisnis

dalam RTRWP Bali, Suarca tak memberikan keterangan terperinci. (par. 3, kal.

1). Struktur kalimat ini adalah keterangan – subjek – predikat – objek. Keterangan

pada kalimat tersebut adalah Ketika ditanya kenapa muncul pasal-pasal berbau

bisnis dalam RTRWP Bali. Subjek dalam kalimat adalah Suarca. Predikat dalam

kalimat adalah tak memberikan. Objek dalam kalimat adalah keterangan

terperinci. Dengan meletakkan keterangan sebelum subjek, keterangan menjadi

Page 108: (rtrwp) bali dalam harian bali post

108

menonjol dalam kalimat dan lebih diperhatikan oleh pembaca. Pembaca akan

lebih fokus pada informasi yang disampaikan dalam frasa keterangan. Setelah

membaca bagian berikutnya yang mengandung tanggapan subjek atas keterangan,

yakni Suarca tak memberikan keterangan terperinci, subjek digambarkan secara

negatif karena tidak memberikan keterangan secara terperinci mengesankan

ketertutupan informasi terhadap khalayak atau ada yang hendak disembunyikan.

Pada berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran

sintaksis yang digunakan pada berita. Pertama, pada kalimat judul “ODTWK

Ciptakan Peluang Langgar Tata Ruang.” Struktur kalimat judul tersebut adalah

subjek – predikat – objek. Dengan struktur semacam ini, subjek yaitu ODTWK

memperoleh perhatian lebih bagi pembaca karena mendapat penonjolan sebagai

subjek dan di awal kalimat. Dengan penonjolan ini, pembaca akan fokus pada

ODTWK. Predikat kalimat tersebut adalah ciptakan. Bentuk lengkap kata

ciptakan adalah menciptakan, tetapi karena pada judul, previks dihilangkan.

Objek kalimat tersebut adalah peluang langgar tata ruang.

Kedua, bentuk kalimat aktif “Sebagai ODTWK, pemegang kebijakan

dengan mudah menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di

daerah itu” (par.2, kal.2). Struktur kalimat tersebut adalah keterangan – subjek –

keterangan – predikat – objek – keterangan. Dengan struktur tersebut, keterangan

sebagai ODTWK ditonjolkan dalam kalimat. Selain itu, subjek pemegang

kebijakan juga diposisikan pada bagian awal kalimat sehingga mendapat

penekanan juga sebagai pelaku yang melaksanaan tindakan menyatakan selamat

datang kepada investor. Jadi, dengan konstruksi kalimat ini, ODTWK seolah

Page 109: (rtrwp) bali dalam harian bali post

109

dimanfaatkan pihak penguasa untuk mendapatkan investor sebanyak mungkin

tanpa terlalu memedulikan, baik kelestarian ODTWK, lingkungan, maupun

masyarakat secara umum.

Pada berita keempat dianalisis empat strategi wacana pada tataran

sintaksis. Pertama, kalimat aktif “Tim perumus kajian akademis Unud

menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena masih memakai

Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par. 2, kal. 1).

Penggunakaan bentuk kalimat aktif pada proposisi ini memungkinkan

diletakkannya subjek Tim perumus akademis Unud sebagai subjek dan diletakkan

di awal kalimat sehingga menjadi bagian yang ditonjolkan dalam kalimat.

Penonjolan frasa subjek tersebut memiliki tujuan untuk menekankan bahwa

pernyataan yang disampaikan memiliki tingkat kebenaran tinggi, netralitas,

sekaligus objektif. Dengan demikian, masyarakat digiring untuk memercayai hal

yang disampaikan dalam proposisi tersebut dan proposisi selanjutnya.

Kedua, “Mereka (akedemisi) mencontohkan data dan peta yang sudah

tidak akurat lagi, baik nominal serta tahunnya” (berita 4, par. 3, kal.1). Kata ganti

mereka pada kalimat ini mengacu pada tim perumus kajian akademis Unud. Sama

halnya dengan kalimat pertama yang dianalisis, penggunaan kalimat aktif pada

kalimat ini berpotensi untuk membuat subjek mendapatkan perhatian lebih dari

pembaca sehingga pembaca lebih memercayai kebenaran pernyataan dan

penilaian yang disampaikan.

Ketiga, strategi sintaksis pada kalimat “Dari isi, Ranperda dengan XVIII

bab itu banyak hal yang menarik yang terungkap yang selama ini belum banyak

Page 110: (rtrwp) bali dalam harian bali post

110

diketahui masyarakat” (berita 4, par. 4, kal.1). Kalimat ini merupakan kalimat

pasif yang predikatnya menggunakan prefiks ter-. Dengan menggunakan struktur

kalimat ini, wartawan dimungkinkan untuk tidak mencantumkan subjek atau

pelaku dalam kalimat. Dengan kata lain, penggunaan kalimat ini bukan tanpa

tujuan, melainkan untuk mengaburkan subjek atau pihak mengungkap hal menarik

yang terdapat pada ranperda. Dengan penghilangan subjek ini dan tidak

terdapatnya informasi mengenai pihak yang telah mengungkap hal menarik yang

terdapat pada ranperda diasumsikan bahwa yang mengungkapkan itu adalah

wartawan. Dengan penggunaan kalimat pasif ini, pihak yang menyampaikan

pandangannya dapat dikaburkan, bahkan dihilangkan dari wacana berita.

Keempat, pada kalimat “Bila dicermati, dalam RTRWP ini banyak kata

“arahan” yang muncul dari bab VII” (berita 4, par. 5, kal. 1). Kalimat ini

merupakan bentuk kalimat pasif yang menggunakan prefiks di-. Sifat dan fungsi

penggunaan struktur ini sama dengan yang sebelumnya telah dipaparkan pada

kalimat ketiga di atas. Struktur kalimat pasif ini memungkinkan wartawan untuk

mengaburkan keberadaan subjek, bahkan menghilangkannya sama sekali dari

berita.

4.3.2 Koherensi

Analisis pada tataran koherensi lokal merupakan analisis hubungan

antarparagraf, kalimat, proposisi, dan unsur pembentuknya. Pada tataran

koherensi lokal, ditemukan beberapa strategi wacana yang tergolong dalam

koherensi kondisional, koherensi fungsional, dan praanggapan.

Page 111: (rtrwp) bali dalam harian bali post

111

Pada berita pertama ditemukan beberapa strategi wacana yang

menggunakan koherensi kondisional, koherensi fungsional dan praanggapan.

Pertama, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat “Untuk mencegah

praktik membijaksanai aturan, RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi

secara khusus bagi pimpinan daerah yang salah merekomendasikan perizinan.”

Koherensi kondisional pada kalimat tersebut dapat diketahui dari penggunaan kata

untuk yang menandakan hubungan kondisional dengan proposisi berikutnya.

Dalam kalimat tersebut frasa untuk mencegah praktik membijaksanai aturan

disusun mendahului subjek sehingga tujuan atau alasan memperoleh penekanan

dalam kalimat. Dalam konteks ini, membijaksanai aturan bermakna negatif

sebagai upaya akal-akalan yang bermaksud negatif untuk keuntungan pihak

tertentu saja. Hal ini tentu akan berakibat buruk bagi keselamatan alam Bali. Oleh

karena itu, proposisi selanjutnya RTRWP Bali mestinya juga mengatur sanksi

secara khusus bagi pimpinan daerah yang salah merekomendasikan perizinan

sulit untuk ditolak kebenarannya oleh khalayak pembaca. Dengan kata lain,

pembaca dikondisikan untuk memiliki pemahaman yang sama bahwa RTRWP

Bali memang perlu mengatur sanksi bagi pimpinan daerah. Jika tidak ada aturan,

seolah praktik menyiasati aturan untuk kepentingan pihak tertentu oleh pimpinan

daerah akan terus terjadi.

Kedua, koherensi kondisional pada kalimat “Hal ini jarang kita dengar,

karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin

saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang.” Frasa hal ini pada kalimat di

atas mengacu pada sanksi secara khusus bagi pemimpin daerah yang salah

Page 112: (rtrwp) bali dalam harian bali post

112

merekomendasikan perizinan. Koherensi penghubung kondisional pada kalimat

tersebut ditunjukkan dengan kata karena. Frasa karena kerap kali keputusan

pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu didasari

kebijakan menyimpang mengemukakan alasan yang membuat pemimpin daerah

tampak selalu benar dalam membuat keputusan. Padahal, keputusan tersebut

didasari oleh aturan yang keliru yang dalam penyusunannya telah

mempertimbangkan kepentingan-kepentingan terutama ekonomi yang merugikan

penyelamatan alam Bali. Kalimat ini mengondisikan pembaca untuk memahami

bahwa meskipun pimpinan daerah telah membuat kebijakan yang sesuai dengan

aturan, hal tersebut belum tentu baik dan benar karena aturan tersebut memang

telah dibuat untuk kepentingan pihak tertentu. Untuk menghindari hal tersebut,

aturan yang mendasari setiap kebijakan harus dipastikan bebas dari kepentingan

yang merugikan Bali.

Ketiga, koherensi kondisional pada kalimat “Oleh karena itu, krama Bali

harus berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi

dengan melabrak aturan main” (par.2, kal.3). Koherensi kondisional pada kalimat

tersebut ditandai dengan frasa oleh karena itu. Kata itu mengacu pada proposisi

sebelumnya, yaitu karena kerap kali keputusan pimpinan daerah dianggap benar,

padahal mungkin saja keputusan itu didasari kebijakan menyimpang. Hal ini

menjadi sebab atas gagasan pada proposisi selanjutnya yakni krama Bali harus

berani mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan

melabrak aturan main. Kata krama menunjukkan bahwa yang dimaksud bukanlah

seluruh masyarakat Bali dalam pengertian masyarakat yang tinggal di Bali,

Page 113: (rtrwp) bali dalam harian bali post

113

melainkan secara khusus masyarakat Bali yang menjadi bagian dari organisasi

adat Bali yang bersifat homogen yakni beragama Hindu. Meskipun tidak

digambarkan secara lebih terperinci tindakan yang seharusnya dilaksanakan

masyarakat, dapat disimpulkan bahwa tindakan tersebut tentu menolak adanya

pasal-pasal yang dianggap memiliki kepentingan ekonomi tertentu dan

menguntungkan pihak tertentu.

Keempat, koherensi kondisional pada kalimat “Bali sebagai pulau kecil

memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga pemetaan

fungsi tanah di Bali haruslah jelas” (par. 3, kal. 2). Kalimat tersebut memiliki

koherensi kondisional ditandai dengan adanya kata hubung sehingga yang

menunjukkan bahwa proposisi satu merupakan penyebab, sementara proposisi

yang lain adalah akibat. Dalam kalimat ini proposisi sebab adalah Bali sebagai

pulau kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis. Proposisi

akibat dalam kalimat tersebut adalah sehingga pemetaan fungsi tanah di Bali

haruslah jelas. Dengan proposisi sebab tersebut pembaca dituntun untuk

memahami bahwa Bali adalah pulau yang kecil sehingga kekeliruan dalam

pengelolaan wilayah akan sangat mudah berdampak bagi kondisi alam Bali.

Untuk itu, dalam proposisi akibat dinyatakan bahwa pemetaan fungsi tanah di Bali

harus jelas. Dengan proposisi ini, secara implisit, pembaca diarahkan untuk

memahami bahwa selama ini pemetaan tanah di Bali belum jelas. Dalam RTRWP

yang sedang menjadi pembahasan, pemetaan tanah tersebut juga belum jelas

sehingga sangat mungkin disalahgunakan berdasarkan kebijakan pimpinan daerah.

Page 114: (rtrwp) bali dalam harian bali post

114

Jadi, penyimpangan penggunaan fungsi tanah Bali untuk kepentingan pihak-pihak

tertentu sangat mungkin terjadi.

Kelima, koherensi fungsional yang terdapat pada kalimat “Sangat

mungkin terjadi aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam

menegakkan aturan tak terbangun” (par. 4, kal. 2). Koherensi fungsional tersebut

dapat diketahui dari penggunaan kata hubung namun dalam kalimat. Kata hubung

namun menunjukkan adanya hubungan pertentangan antara proposisi dalam

kalimat. Pada kalimat ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa, aturan

yang telah ditetapkan, baik dalam peraturan daerah maupun aturan lainnya,

sebanarnya sangat mungkin sudah memadai dan telah mengatur dengan baik

penggunaan wilayah daerah. Namun, yang menjadi penekanan dalam kalimat ini

adalah bahwa konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tidak

terbangun. Dengan kata lain, pejabat publik atau pimpinan daerah memiliki

kecenderungan untuk mengingkari aturan yang telah ada atau dengan menciptakan

celah bagi penafsiran lain terhadap aturan yang hanya akan menguntungkan

kepentingan pihak tertentu, tetapi mengabaikan penyelamatan alam Bali.

Praanggapan merupakan informasi yang tidak disampaikan dalam wacana

karena pemroduksi wacana beranggapan bahwa penerima wacana telah

mengetahui hal tersebut. Informasi yang tidak disampaikan ini memiliki peran

penting agar penerima wacana dapat memahami wacana dengan baik. Pada berita

pertama ditemukan penggunaan pranggapan. Pertama, pada judul berita Terkait

Pasal “Bisnis” RTRWP, Krama Bali Harus Bersikap. Dengan proposisi terkait

pasal bisnis, pembaca diasumsikan telah mengetahui bahwa di dalam RTRWP

Page 115: (rtrwp) bali dalam harian bali post

115

terdapat pasal yang bermotif bisnis atau keuntungan pihak tertentu dan berpotensi

merugikan Bali. Praanggapan atas judul tersebut adalah bahwa di dalam RTRWP

memang terdapat pasal “bisnis” yang merupakan cara pemerintah membantu

pihak tertentu untuk mendapat keuntungan ekonomi, tetapi akan merugikan alam

Bali. Oleh karena itu, krama Bali diharapkan menyikapi hal tersebut.

Praanggapan kedua yang terdapat dalam berita tersebut adalah penggunaan

istilah “krama” dalam berita. Kata krama bukanlah kata bahasa Indonesia. Dalam

berita, kata ini ditulis dengan huruf miring untuk menunjukkan bahwa kata ini

tidak berasal dari bahasa Indonesia. Istilah krama mengacu kepada anggota

komunitas adat lokal di Bali yang beranggotakan masyarakat di wilayah tertentu

dan bersifat homogen dari segi agama, yakni agama Hindu. Dengan

menggunakan kata krama dalam berita, yang diacu tentu saja bukan seluruh

masyarakat yang tinggal di Bali, melainkan secara khusus masyarakat yang bisa

disebuat sebagai krama yang merupakan penduduk asli Bali dan bukan pendatang.

Dengan penggunaan istilah ini, secara implisit pembaca diajak untuk memahami

bahwa yang harus peduli terhadap keselamatan Bali adalah krama Bali. Lebih

jauh, terdapat kemungkinan masyarakat pembaca dikondisikan untuk memahamai

bahwa selain krama Bali tidak akan ada yang memiliki kepedulian atas

keselamatan alam Bali.

Praanggapan yang ketiga terletak pada paragraf 4, khususnya pada kalimat

“Selama ini ada kesan tak ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan

sebuah investasi”. Kutipan pernyataan yang disampaikan narasumber ahli

geomorfologi Unud R. Suyarto ini mengandung praanggapan khususnya pada

Page 116: (rtrwp) bali dalam harian bali post

116

bagian “pertimbangan ilmiah”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai hal

yang dimaksud dengan “pertimbangan ilmiah”, tetapi pembaca dipersepsikan oleh

wartawan telah mengetahui maksud frasa tersebut. “Pertimbangan ilmiah” dalam

konteks ini dapat berupa hasil pengakajian secara ilmiah atau penelitian, sehingga

tingkat kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan dan terbebas dari kepentingan

apa pun. Dengan tidak melibatkan pertimbangan ilmiah, secara implisit, pembaca

digiring untuk memahami bahwa kelayakan investasi selama ini cenderung tidak

benar dan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ekonomi tanpa

memperhatikan keselamatan alam Bali.

Pada berita kedua, terdapat beberapa koherensi lokal. Pertama, koherensi

kondisional yang terdapat pada kalimat Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak

disorot. Sebab, di dalamnya banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan dan ranperda

yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali (par. 1, kal. 1, 2). Kata sebab

menjadi penanda bahwa kalimat tersebut mengandung koherensi kondisional.

Proposisi Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot menjadi akibat atas

proposisi Sebab, di dalamnya banyak pasal “bisnis”, pasal pesanan dan ranperda

yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali. Dengan proposisi ini,

pembaca diarahkan untuk memahami bahwa banyaknya perhatian yang tertuju

pada Ranperda RTRWP yang sedang dibahas karena dalam ranperda tersebut

terkandung banyak “pasal bisnis”, pasal pesanan, dan tidak mengakomodasi

kearifan lokal. Dengan menggunakan kata hubung sebab, proposisi yang berbeda

menjadi berhubungan dan memiliki hubungan sebab-akibat sehingga akhirnya

juga mengarahkan pembaca untuk memahami proposisi dengan cara tersebut.

Page 117: (rtrwp) bali dalam harian bali post

117

Kedua, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat Anggota DPRD

Bali pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan

merusak Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran

investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW tahun 2005 maupun Bhisama

PHDI (par.1, kal.3). Koherensi kondisional pada kalimat tersebut ditunjukkan

dengan adanya kata karena pada kalimat tersebut. Proposisi Anggota DPRD Bali

pun mengkhawatirkan bila Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak

Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” menjadi situasi, sementara

proposisi selanjutnya karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan

Perda RTRW tahun 2005 maupun Bhisama PHDI menjadi proposisi penyebab.

Yang ditonjolkan dalam proposisi tersebut adalah subjek yakni Anggota DPRD

Bali. Penekanan Anggota DPRD Bali sebagai subjek menunjukkan bahwa yang

tidak setuju dengan pengesahan RTRWP merupakan pihak yang memiliki

kapasitas dan legitimasi mewakili masyarakat Bali. Dengan kata lain, suara

anggota DPRD Bali manjadi representasi suara masyarakat Bali.

Proposisi penyebab menunjukkan alasan kekhawatiran anggota DPRD

Bali, yakni karena ranperda yang sedang dibahas memungkinkan masuknya

investasi yang tidak mengindahkan, baik Perda RTRWP tahun 2005, maupun

Bhisama PHDI. Kalau ranperda yang sedang dibahas disetujui dan disahkan,

Perda RTRWP Tahun 2005 secara otomatis telah digantikan dengan perda yang

baru. Sementara, yang dimaksud Bhisama PHDI adalah keputusan bersama yang

memiliki kekuatan mengikat yang mengacu kepada hukum-hukum agama dalam

ajaran Hindu. Proposisi ini mengarahkan pandangan pembaca untuk memahami

Page 118: (rtrwp) bali dalam harian bali post

118

bahwa ranperda RTRWP yang sedang dibahas tidak saja mengandung pasal yang

menguntungkan pihak tertentu saja, tetapi juga bertentangan dengan ajaran agama

Hindu dan Bhisama yang telah diputuskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia

(PHDI). Sebagai provinsi yang mayoritas penduduknya beragama Hindu dan

memiliki budaya yang dijiwai oleh nilai Hindu, proposisi yang menyatakan

ranperda bertentangan dengan bhisama akan memiliki dampak yang kuat bagi

pembentukan persepsi pembaca bahwa ranperda RTRWP yang sedang dibahas

memang seharusnya tidak disahkan.

Ketiga, koherensi kondisional pada kalimat Bahkan, ada yang menyebut

sebuah kemunduran. Sebab, sejumlah pasal yang sering disebut “pasal bisnis”

malah memberikan peluang kepada investor untuk merambah kawasan yang

selama ini disakralkan (par.6, kal.3). Penanda koherensi kondisional pada

proposisi tersebut adalah kata hubung sebab. Dengan kata hubung sebab pembaca

diarahkan untuk memahami alasan pandangan bahwa ranperda yang sedang

dibahas tidak lebih baik daripada perda sebelumnya atau merupakan kemunduran.

Dengan proposisi yang mengandung alasan, yakni Sebab, sejumlah pasal yang

sering disebut “pasal bisnis” malah memberikan peluang kepada investor untuk

merambah kawasan yang selama ini disakralkan pembaca diarahkan untuk

memahami bahwa pasal-pasal tertentu pada ranperda memang merupakan pasal

bisnis yang menguntungkan investor pada satu sisi, tetapi akan merugikan

penyelamatan alam Bali pada sisi lain.

Keempat, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat Selain itu,

sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah, malah dalam ranperda ini makin

Page 119: (rtrwp) bali dalam harian bali post

119

lemah karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar (par.7). Koherensi

kondisional pada kalimat ini dapat diketahui dengan adanya kata penghubung

karena. Dengan kalimat-kalimat tersebut, pembaca diarahkan untuk memahami

bahwa sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah oleh Gubernur Bali, kemudian

direvisi menjadi ranperda yang sedang dibahas malah lebih lemah dibandingkan

dengan sebelum perda yang direvisi. Alasan anggapan melemahnya sanksi

terdapat pada proposisi karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar.

Dengan proposisi kompromi pembaca digiring bahwa tidak akan ada sanksi tegas

kepada pelanggar karena masih ada peluang kompromi. Dalam hal ini adalah

kompromi antara investor yang melanggar dengan pihak penguasa atau

pemerintah. Sebagaimana umumnya kompromi, tentu harus ada keuntungan atau

pengurangan kerugian pada tiap-tiap pihak. Oleh karena itu, kompromi terhadap

aturan cenderung akan menguntungkan pihak yang berkompromi, tetapi

merugikan kepentingan yang lebih besar yakni kepentingan alam Bali.

Kelima, koherensi fungsional khususnya pertentangan yang terdapat pada

kalimat atas dasar itu, ada inisiatif dari eksekutif untuk merevisinya. Namun, dari

dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak

lebih baik dari perda sebelumnya (par.6, kal. 1 dan 2). Pada proposisi pertama itu

mengacu pada pandangan Gubernur Bali Mangku Pastika yang menyatakan sanksi

yang diatur pada perda sangat lemah. Pandangan inilah yang menjadi dasar

pengajuan revisi perda RTRWP. Dengan kata hubung namun, wartawan atau

media Bali Post menyanggah pandangan tersebut dengan proposisi kedua namun

dari dua kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini

Page 120: (rtrwp) bali dalam harian bali post

120

tidak lebih baik dari perda sebelumnya. Dengan demikian, maksud Gubernur Bali

untuk merevisi perda dan memperkuat aturan dengan sanksi yang lebih kuat

dianggap tidak terwujud. Lebih lanjut, tidak hanya tidak ada sanksi yang lebih,

juga muncul “pasal bisnis”. “Pasal bisnis” itu menguntungkan investor, tetapi

merugikan kepentingan Bali.

Keenam, koherensi fungsional khususnya penjumlahan pada kalimat

Selain itu, sanksi yang sebelumnya dinyatakan lemah, malah dalam ranperda ini

makin lemah karena ada kompromi-kompromi dengan pelanggar (par.7). Penanda

koherensi fungsional penjumlahan adalah frasa selain itu. Koherensi fungsional

penjumlahan ini berfungsi untuk memperkuat alasan menolak atau tidak

menyetujui ranperda yang sedang dibahas. Proposisi ini mengandung informasi

bahwa sanksi yang pada perda sebelumnya dinyatakan lemah oleh Gubernur Bali,

malah menjadi lebih lemah pada ranperda revisi yang sedang dibahas.

Praanggapan adalah pengetahuan bersama yang dimiliki, baik oleh

penyampai pesan maupun penerima agar wacana dapat dipahami dengan baik.

Dalam berita, praanggapan tidak disampaikan karena wartawan berasumsi bahwa

pembaca telah mengetahui hal tersebut. Dalam berita kedua, ditemukan beberapa

praanggapan. Pertama, praanggapan yang terdapat pada judul berita, yakni Revisi

Perda RTRW Inisiatif Eksekutif. Pranggapan yang ada dalam proposisi judul

adalah bahwa perda merupakan kependekan dari peraturan daerah dan RTRW

merupakan kependekan dari rancangan tata ruang wilayah.

Pranggapan kedua dalam judul adalah ada rencana merevisi Perda RTRW

yang telah ada. Revisi dapat dipahami sebagai kegiatan meninjau kembali atau

Page 121: (rtrwp) bali dalam harian bali post

121

memeriksa kembali untuk perbaikan. Oleh karena itu, ketika judul berita

menyatakan revisi secara tidak langsung ada praanggapan bahwa sebelumnya

telah terdapat perda.

Praanggapan ketiga adalah mengenai hal yang dimaksud eksekutif pada

judul merupakan Pemerintah Provinsi Bali. Oleh karena itu, perda yang dimaksud

juga merupakan perda Provinsi Bali.

Keempat, praanggapan mengenai kearifan lokal Bali. Dengan frasa

tersebut, pembaca dipersepsi tentang mengetahui bahwa Bali adalah wilayah

provinsi yang terletak di satu pulau, bernama Pulau Bali yang sebagian

masyarakatnya beragama Hindu dan memiliki sistem kebudayaan lokal tertentu

yang berlandaskan nilai-nilai agama.

Kelima, praanggapan mengenai bhisama PHDI. Pembaca dipersepsi oleh

wartawan dan media Bali Post mengetahui bahwa bhisama merupakan keputusan

bersama yang memiliki kekuatan mengikat yang mengacu kepada hukum-hukum

agama Hindu yang diputuskan oleh anggota Parisada Hindu Dharma Indonesia

(PHDI).

Keenam, pranggapan mengenai bappeda yang terdapat pada paragraf 2

berita 2. Bappeda merupakan singkatan dari Badan Perencanaan dan

Pembangunan Daerah.

Praanggapan yang ketujuh adalah mengenai ranperda yang merupakan

singkatan dari rancangan peraturan daerah. Apabila telah disahkan akan menjadi

perda atau peraturan daerah.

Page 122: (rtrwp) bali dalam harian bali post

122

Kedelapan, praanggapan mengenai pasal bisnis. Pembaca dipersepsikan

oleh wartawan telah mengetahui bahwa di dalam peraturan daerah terdapat bagian

bab berupa pasal-pasal yang mengandung penjelasan atau ketentuan yang khusus.

“Pasal bisnis” merupakan pasal-pasal yang mengandung kepentingan ekonomi

tertentu untuk kepentingan piha-pihak tertentu. Idealnya, hal semacam itu tidak

terjadi karena aturan yang dibuat semestinya untuk kepentingan dan kebaikan

bersama.

Pada tataran koherensi lokal ditemukan beberapa strategi wacana pada

berita ketiga. Pertama, koherensi kondisional yang terdapat pada kalimat

“Akibatnya pembangunan akomodasi di dua wilayah itu seakan tak terkontrol

akibat ketentuan yang terkesan mudah disiasati” (par.1, kal.2). Kalimat ini

berhubungan dengan kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa dua objek

wisata di Kabupaten Buleleng tampaknya sedang laris-larisnya didatangi investor.

Dengan menggunakan kata akibatnya pada awal kalimat, hubungan tersebut

menjadi sangat jelas dan mengandung koherensi kondisional. Di dalam kalimat

juga terdapat hubungan kondisional antara proposisi satu dan yang kedua.

Proposisi pembangunan akomodasi pariwisata di dua wilayah itu seakan tak

terkontrol sebagai akibat atas proposisi (aturan) terkesan bisa disiasati.

Kedua, koherensi kondisional pada kalimat “Karena sesuai ketentuan,

akomodasi pariwisata seperti hotel dan restoran memang dibolehkan dibangun

dalam radius OTDWK.” Kata hubung karena menjadi penanda koherensi

kondisional pada kalimat ini. Kalimat ini berhubungan dengan kalimat

sebelumnya, yakni “Sebagai ODTWK pemegang kebijakan dengan mudah

Page 123: (rtrwp) bali dalam harian bali post

123

menyatakan welcome kepada investor yang ingin membangun di daerah itu.”

Jadi, dengan koherensi kondisional wartawan memberikan penjelasan kepada

pembaca bahwa pemegang kebijakan bisa terbuka terhadap investor karena aturan

ODTWK memang memungkinkan hal tersebut.

Ketiga, koherensi kondisional sebagai berikut. “Namun dalam

kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak

memiliki alat kontrol yang tegas. Sehingga ODTWK yang dulunya menarik

sebagai objek wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok

wisata atau vila (par. 4). Penanda adanya hubungan kondisional di antara kalimat

tersebut adalah kata hubung sehingga. Dengan kata hubung tersebut, proposisi

yang menyatakan aturan bisa disiasati dan tak adanya alat kontrol yang tegas

menjadi penyebab atas besarnya jumlah vila di kawasan ODTWK.

Keempat, koherensi kondisional pada kalimat “Mudahnya investor masuk

kedua daerah wisata itu karena memang Desa Pancasari dan Tejakula ditetapkan

sebagai objek daya tarik wisata khusus (ODTWK)” (par. 2, kal. 1). Penanda

koherensi kondisional pada kalimat tersebut adalah kata hubung karena. Dengan

kata hubung karena kedua proposisi tersebut menjadi memiliki hubungan sebab-

akibat. Penetapan Desa Pancasari dan Tejakula sebagai ODTWK menimbulkan

akibat mudahnya investor menanamkan modal di tempat tersebut dan akhirnya

mendapatkan keuntungan dari usaha itu.

Kelima, koherensi kondisional pada kalimat “Tastra mengatakan pihaknya

kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang

masuk ODTWK. Karena, diakui memang terdapat investor yang mencoba

Page 124: (rtrwp) bali dalam harian bali post

124

menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya” (par. 8,

kal 1, 2). Penanda koherensi kondisional pada kalimat tersebut adalah kata hubung

karena. Dengan kata hubung karena kalimat “Tastra mengatakan pihaknya kini

sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang

masuk ODTWK” merupakan akibat atas situasi yang digambarkan pada kalimat

“diakui memang terdapat investor yang mencoba menyiasati peraturan agar bisa

membangun sesuai dengan keinginannya”. Dengan kata lain, penggunaan kata

hubung karena membuat kedua kalimat tersebut memiliki hubungan sebab-akibat.

Keenam, koherensi fungsional. Koherensi fungsional terdapat pada

kalimat “Memang, membangun di daerah ODTWK ada syaratnya. Antara lain,

tidak boleh dibangun hotel berbintang dan hanya diizinkan untuk pondok wisata

dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar. Namun, dalam kenyataannya,

ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tak memiliki alat

kontrol yang tegas . Sehingga ODTWK yang dulunya menarik sebagai objek

wisata, pada akhirnya bisa menjadi objek bagi sekumpulan pondok wisata atau

vila” (par.3, kal.4). Kalimat-kalimat tersebut memiliki koherensi fungsional dan

ditandai dengan adanya kata hubung namun. Kata hubung namun menunjukkan

pertentangan. Dalam konteks ini, yang dipertentangkan adalah aturan yang

melarang dibangunnya hotel berbintang dan jumlah kamar yang melebihi 25

kamar dengan kenyataan adanya pelanggaran terhadap aturan dan tidak adanya

alat kontrol yang tegas.

Ketujuh, koherensi fungsional yang terdapat pada kalimat “Terdapat juga

hotel yang memiliki kamar lebih dari ketentuan maksimal 25 kamar. Namun,

Page 125: (rtrwp) bali dalam harian bali post

125

investornya tak bisa disalahkan karena hotel tersebut dipayungi dua perusahaan,

padahal manajemennya berada dalam satu atap” (par.5, kal.3 – 4 ). Koherensi

fungsional pada kalimat tersebut ditunjukkan dengan kata hubung namun yang

menunjukkan adanya pertentangan. Dalam kalimat-kalimat ini, yang

dipertentangkan adalah adanya pelanggaran hotel yang memiliki kamar lebih dari

25. Namun, hal itu tidak bisa disalahkan karena perusahaan tersebut berada di

bawah dua berusahaan yang berbeda sehingga secara prosedur tidak melanggar

aturan.

Kedelapan, koherensi fungsional khususnya perbandingan yang dapat

dilihat pada kalimat “Di Desa Pancasari juga terjadi hal yang mirip” (par. 6, kal.

1). Kalimat ini berhubungan dengan paragraf sebelumnya yang membahas

kawasan wisata Air Sanih hingga Tejakula yang dipadati vila yang melanggar

ketentuan. Dengan kalimat ini, wartawan mengajak pembaca untuk

membandingkan kondisi Air Sanih dan Pancasari yang mengalami masalah yang

sama. Dengan perbandingan semacam ini, pembaca digiring untuk memahami

bahwa masalah ini merupakan masalah yang serius karena tidak saja terjadi di

satu tempat, tetapi terjadi beberapa tempat.

Pada berita keempat, ditemukan tiga buah proposisi yang mengandung

koherensi kondisional. Ketiga proposisi tersebut, yaitu “Tim perumus kajian

akademis Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kadaluwarsa karena masih

memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” (berita 4, par.2, kal. 1);

“Dua pasal ini, 161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam penentuan ODTW

Page 126: (rtrwp) bali dalam harian bali post

126

tersebut. Mereka (bupati/wali kota) akan berlomba-lomba menentukan ODTW”

(berita 4, par.12, kal. 1 dan 2).

Keherensi kondisional pertama menggunakan penanda keherensi karena

untuk menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antar proposisi. Klausa

“karena masih memakai Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008” menjadi

sebab, sementara klausa “tim perumus kajian akademis Unud menyatakan bahwa

dokumen RTRWP kadaluwarsa” menjadi klausa yang menggambarkan situasi

yang menjadi akibatnya. Dengan proposisi ini, pembaca diarahkan untuk

memahami bahwa RTRWP Bali tidak cukup baik karena pembuatannya

didasarkan pada data yang kedaluwarsa dan tidak relevan lagi. Dengan data yang

keliru, tentu rancangan tata ruang yang dihasilkan pun keliru.

Koherensi kondisional yang kedua terdapat pada kalimat “Dua pasal ini,

161 dan 162 akan membuat kerancuan dalam penentuan ODTW tersebut” (berita

4, par.12, kal. 1). Proposisi ini menggambarkan hal yang diakibatkan oleh adanya

pasal tertentu dalam RTRWP yakni kerancuan dalam pelaksanaan perda tersebut.

Di samping itu, dampak ikutannya adalah penetapan ODTW oleh pemerintah

daerah, baik gubernur, maupun bupati/wali kota. Penetapan itu digambarkan

untuk mewadahi kepentingan pemodal. Dengan kata lain, pemimpin daerah hanya

akan memanfaatkan pasal tersebut untuk kepentingan pemodal dan kepentingan

kelompok tertentu yang sering kali bertentangan dengan kepentingan masyarakat.

Dalam berita keempat ditemukan beberapa kalimat yang mengandung

koherensi fungsional. Pertama, “Makin banyak saja terkuak kelemahan Ranperda

Page 127: (rtrwp) bali dalam harian bali post

127

RTRWP Bali 2009. Selain tak tercantumnya falsafah tri hita karana, Bhisama

PHDI, dicantumkannya kewenangan gubernur mengatur status pura dan

menetapkan ODTW di luar perda, kini para ahli Unud mengkritisi bahwa

Ranperda RTRWP sebagian masih menggunakan data kedaluwarsa” (berita 4,

Par.1). Paragraf ini, mengandung koherensi fungsional khususnya peterperincian.

Gagasan utama praragraf ini adalah makin banyak saja terkuak kelemahan

Ranperda RTRWP Bali 2009. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan dalam

bentuk perincian dan penjabaran yang lebih terperinci mengenai kelemahan-

kelemahan Ranperda RTRWP tersebut, antara lain tak tercantumnya falsafah tri

hita karana, tak sesuai dengan Bhisama PHDI, kewenangan gubernur

menetapkan ODTW, dan yang terbaru adalah digunakannya data kedaluwarsa

dalam perancangan ranperda tersebut.

Koherensi fungsional kedua pada berita keempat terdapat pada paragraf 3,

“Mereka mencontohkan data dan peta yang tidak akurat lagi, baik nominal serta

tahunnya. Luas wilayah Kota Denpasar disebut 12.398 ha, seharusnya saat ini

12.778 ha karena sejak 1998 Pulau Serangan sudah direklamasi sehingga luas

wilayahnya bertambah. Jumlah penduduk Kota Denpasar tahun 2028

diproyeksikan 570.339 jiwa. Sedangkan Denpasar dalam angka tahun 2008 saja

sudah mencapai 608.595 juga. Begitu pula peta-peta yang disajikan tak jelas

sumber dan tahun pembuatannya. Banyak yang kedaluwarsa terutama peta

penggunaan tanah eksisting dan peta-peta lahan. Karena itu, perlu menggunakan

data satelit untuk akurasi dan pemutakhiran data” (berita 4, par. 3). Paragraf ini

mengandung koherensi fungsional khususnya berupa pengembangan contoh.

Page 128: (rtrwp) bali dalam harian bali post

128

Kalimat topik paragraf ini mengandung gagasan data dan peta yang tida akurat

yang dijadikan dasar dalam penyusunan RTRWP. Pada bagian selanjutnya,

disajikan contoh data-data yang tidak akurat tersebut hingga bagian akhir

paragraf. Dengan strategi wacana ini, pembaca diarahkan untuk meyakini bahwa

data-data yang dijadikan dasar dalam penyusunan RTRWP memang tidak akurat

atau keliru sehingga RTRWP tidak benar-benar dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan Bali dan masyarakatnya. Data-data yang tidak akurat tersebut juga

mengimplikasikan bahwa penyusun RTRWP tidak bersungguh-sungguh dalam

menyusun RTRWP atau sengaja melakukan hal tersebut untuk kepentingan

kelompok tertentu.

Kehorensi fungsional ketiga yang terdapat pada berita keempat ditemukan

pada paragraf kelima, “Bila dicermati, dalam RTRWP ini banyak kata “arahan”

yang muncul dalam bab VII – arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan

bab VIII tentang arahan pengendalian pemanfaatan ruang. Kata-kata ini terkesan

mendominasi dimana tercatat ada 133 kata “arahan”. Makna kata arahan ada

beberapa penafsiran di antaranya cenderung maksudnya arah bahasan

permasalahan. Di sisi lain maknanya berupa arahan yang mengarahkan dan atau

mengatur hal-hal yang dilakukan orang/lembaga.” Paragraf ini mengandung

gagasan utama yang terdapat pada kalimat pertama, yakni RTRWP mengandung

banyak kata “arahan” yang terdapat pada bab VII dan bab VIII. Pada bagian

selanjutnya wartawan menguraikan kemungkinan pemaknaan atas kata árahan

”tersebut”.

Page 129: (rtrwp) bali dalam harian bali post

129

4.3.3 Leksikon

Leksikon meliputi penggunaan kata, frasa dan kata ganti yang berfungsi

tidak saja untuk menyampaikan makna leksikal, tetapi juga mengandung maksud

dan kepentingan tertentu yang merepresentasikan kepentingan tertentu. Pada

berita pertama ditemukan beberapa penggunaan leksikon sebagai sebuah strategi

wacana untuk mencapai tujuan wacana yang dapat dipaparkan sebagai berikut.

Penggunaan leksikon yang pertama terdapat pada kalimat “Munculnya

pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh

Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M.” (par.1,

kal.1). Frasa “pasal-pasal bisnis” terdapat pada judul berita dan teras berita. Pasal

merupakan istilah yang mengacu pada bagian dari bab atau bagian di dalam

undang-undang. Sementara bisnis merupakan usaha komersial dalam dunia

perdagangan. Kedua kata ini digabung menjadi sebuah frasa dengan maksud

bahwa peraturan yang dibuat dalam peraturan daerah, dalam hal ini RTRWP,

dibuat dengan maksud untuk memudahkan atau memberikan jalan kepada pihak-

pihak tertentu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan memanfaatkan

alam Bali. Namun akan menimbulkan akibat yang merugikan keselamatan alam

Bali. Penggunaan kata ulang “pasal-pasal” menunjukkan bahwa peraturan yang

dirumuskan dalam butir-butir aturan dalam RTRWP tersebut berjumlah lebih dari

satu. Bahkan, dengan menggunakan kata ulang pasal-pasal, kesan jumlah yang

ditimbulkan bisa jadi melebihi jumlah sebenarnya. Jadi, dengan menggunakan

leksikon tersebut, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa terdapat cukup

banyak pasal yang dibuat untuk kepentingan bisnis sebagai upaya pihak tertentu

Page 130: (rtrwp) bali dalam harian bali post

130

mendapatkan keuntungan, sementara itu di sisi lain kepentingan penyelamatan

alam Bali terabaikan.

Kedua, terdapat pada kalimat “Hal ini jarang kita dengar, karena kerap kali

keputusan pimpinan daerah dianggap benar, padahal mungkin saja keputusan itu

didasari kebijakan menyimpang” (par. 2, kal. 2). Penggunaan frasa kerap kali

merupakan strategi wacana pada tataran leksikon yang berfungsi untuk

membentuk pemahaman pembaca bahwa keputusan pimpinan dianggap benar

karena dibuat berdasarkan kebijakan atau aturan yang menyimpang merupakan

hal yang sering terjadi atau berkali-kali terjadi. Dengan menggunakan frasa kerap

kali, jumlah penyimpangan yang sebenarnya tidak dapat diketahui oleh pembaca.

Frasa ini sangat mungkin menimbulkan kesan mengenai jumlah penyimpangan

yang lebih besar daripada yang sebenarnya.

Ketiga, terdapat pada kalimat “Oleh karena itu, krama Bali harus berani

mengambil sikap jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak

aturan main” (par. 2, kal. 3). Penggunaan kata krama merupakan strategi wacana

wartawan untuk membentuk kelompok tertentu dan menjadikan pihak lain sebagai

lawan kelompok tersebut. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya bahwa

kata krama bukanlah kata bahasa Indonesia. Hal itu ditunjukkan dengan

penggunaan huruf miring dalam penulisan kata ini. Istilah krama mengacu kepada

anggota komunitas adat lokal Bali yang beranggotakan masyarakat di wilayah

desa tertentu dan bersifat homogen dari segi agama, yakni agama Hindu. Dengan

menggunakan kata krama dalam berita yang diacu tentu saja bukan seluruh

masyarakat yang tinggal di Bali, melainkan secara khusus masyarakat yang bisa

Page 131: (rtrwp) bali dalam harian bali post

131

disebuat sebagai krama yang merupakan penduduk asli Bali, bukan pendatang.

Dengan penggunaan istilah ini, secara implisit pembaca diajak untuk memahami

bahwa yang harus peduli terhadap keselamatan Bali adalah krama Bali. Artinya,

masyarakat pembaca dikondisikan untuk memahami bahwa pendatang yang

bukan merupakan krama Bali bisa jadi tidak memiliki kepedulian terhadap

keselamatan Bali. Oleh karena itu, dengan penggunaan kata krama, media atau

wartawan membentuk kelompok tertentu yang seharusnya mengambil sikap

dengan menolak pasal-pasal “bisnis” dalam RTRWP.

Keempat, penggunaan kata melabrak pada kalimat yang sama dengan

sebelumnya, yakni “Oleh karena itu, krama Bali harus berani mengambil sikap

jika pemimpinnya mengakomodasi investasi dengan melabrak aturan main” (par.

2, kal. 3). Kata melabrak memiliki makna yang negatif karena merupakan

tindakan memukuli, mengata-ngatai (mencelai dan sebagainya) yang dilakukan

dengan kekerasan atau menyerang. Dengan menggunakan kata melabrak,

pemimpin yang mengakomodasi investasi di Bali dicitrakan secara negatif oleh

media karena dianggap sebagai tindakan yang melanggar aturan, bahkan dengan

cara kekerasan dan cara tidak baik.

Kelima, kata mengalahkan yang terdapat pada kalimat

“Ada kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan

bumi Bali” (par. 4, kal. 2). Dengan kata mengalahan, wartawan menggambarkan

bahwa terdapat pertarungan antara kepentingan ekonomi dan agenda

penyelamatan bumi Bali. Pertarungan tentu bukan hal yang baik, apalagi jika

ternyata yang kalah dalam pertarungan tersebut adalah hal yang semestinya

Page 132: (rtrwp) bali dalam harian bali post

132

diutamakan atau dimenangkan. Dalam konteks ini, proposisi tersebut

mengemukakan bahwa kepentingan ekonomi telah mengalahkan agenda

penyelamatan alam Bali.

Keenam, kata modalitas yang berfungsi untuk memberikan nuansa tertentu

pada wacana seperti yang tampak pada kalimat “Selama ini ada kesan tak ada

pertimbangan ilmiah dalam penentuan kelayakan sebuah investasi” (par.4, kal.1).

Hal serupa juga terdapat pada kalimat selanjutnya “Ada kecenderungan

kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali” (par.4,

kal.2). Selanjutnya juga terdapat penggunaan kata modalitas pada paragraf

terakhir, khususnya pada kalimat terakhir “Sangat mungkin terjadi aturan main

sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak

terbangun”. Ketiga kata tersebut, yaitu “ada kesan”, “ada kecederungan” dan

“sangat mungkin” menunjukkan sesuatu yang pada dasarnya tidak pasti, tetapi

mengarahkan pemahaman pembaca bahwa hal tersebut mungkin benar. Dengan

mengetahui pihak yang menyampaikan pandangan, khalayak pembaca digiring

untuk menerima penyataan tersebut sebagai kebenaran karena yang

menyampaikannya merupakan orang yang memiliki keahlian pada bidangnya dan

memiliki kapasitas untuk menyampaikan penilaiannya.

Beberapa penggunaan strategi wacana pada tataran leksikal ditemukan

pada berita kedua. Pertama, pasal bisnis. Pasal bisnis dalam konteks ini

merupakan pasal-pasal yang dianggap dibuat berdasaran kepentingan ekonomi

tertentu sehingga akhirnya hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Pihak

yang diuntungkan adalah investor yang telah atau akan menanamkan modal dan

Page 133: (rtrwp) bali dalam harian bali post

133

usahanya di Bali. Namun, pasal-pasal tersebut berpotensi untuk merugikan

masyarakat Bali dan alam Bali.

Kedua, pasal pesanan. Dengan frasa pasal pesanan ini pembaca diarahkan

untuk memahami bahwa penyusunan aturan yang tertuang dalam-pasal-pasal

tersebut tidak sepenuhnya dibuat secara netral dan berdasarkan maksud untuk

mengatur wilayah Bali demi kepentingan dan kebaikan bersama, tetapi telah

dipesan oleh pihak tertentu agar memenuhi kehendaknya. Pihak yang

menyampaikan permintaan agar pasal-pasal dalam perda diatur sesuai dengan

keinginnannya tentu merupakan pihak yang memiliki kekuasaan atau akses

kepada kekuasaan. Jika aturan yang tertuang dalam pasal-pasal dibuat berdasarkan

keinginan pihak tertentu, dapat dipastikan bahwa aturan tersebut tidak akan

berdampak baik bagi kepentingan alam Bali, tetapi hanya baik bagi pihak tertentu

saja.

Ketiga, frasa sebagian besar yang diundang pada kalimat Namun, dari dua

kali sosialisasi, sebagian besar yang diundang menyatakan revisi ini tidak lebih

baik dari perda sebelumnya. Frasa sebagian besar yang diundang merupakan

upaya abstraksi atau pengaburan subjek yang dilakukan oleh wartawan sehingga

tidak perlu menyebutkan jumlah pihak yang berpandangan bahwa revisi perda

tidak lebih baik daripada sebelumnya. Dengan menggunakan frasa sebagian besar

yang diundang sebagai pengganti subjek, kesan jumlah yang ditimbulkan akan

lebih banyak daripada jumlah yang semestinya. Hal itu akhirnya menggiring

pembaca untuk memiliki pandangan yang sama, yakni beranggapan bahwa revisi

perda tidak lebih baik daripada perda yang telah ada.

Page 134: (rtrwp) bali dalam harian bali post

134

Keempat, ada yang menyebut pada kalimat bahkan ada yang menyebut

sebuah kemunduran. Sama halnya dengan frasa sebagian besar yang diundang,

frasa ini juga merupakan bentuk pengaburan subjek oleh wartawan. Pembaca

tidak diinformasikan tentang subjek yang sebenarnya menyampaikan pernyataan

tersebut. Dengan bentuk frasa ini pembaca hanya diarahkan untuk memahami

bahwa perda yang merupakan hasil revisi merupakan sebuah kemunduran

dibandingkan dengan perda sebelumnya.

Dalam berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada tataran

leksikon. Pertama, tampaknya pada kalimat “Dua objek wisata di Kabupaten

Buleleng, yakni sepanjang pantai Air Sanih Kubutambahan hingga Tejakula dan

Kawasan Buyan – Tamblingan Desa Pancasari tampaknya sedang laris-larisnya

didatangi investor” (par.1, kal.1). Kata tampaknya merupakan adverbia yang

memberikan keterangan pada kata setelahnya. Penggunaan kata tampaknya, pada

berita ini menandakan bahwa informasi yang disampaikan setelahnya tidak

bersifat objektif atau kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan secara pasti.

Kedua, laris-larisnya pada kalimat yang sama dengan sebelumnya (par.1,

kal.1). Kata ulang ini menunjukkan bahwa wartawan menganalogikan objek

wisaja khususnya dua objek wisata di Kabupaten Buleleng (Air Saning dan

kawasan Buyan – Tamblingan) sebagai hal yang dijualbelikan atau barang yang

diperdagangkan karena kata laris merupakan istilah perdagangan yang mengacu

pada cepat laku atau sangat laku. Dengan leksikon ini, wartawan menggiring

pandangan pembaca untuk memahami bahwa pemerintah atau pihak yang

Page 135: (rtrwp) bali dalam harian bali post

135

membiarkan investor masuk dan menanam modal di objek wisata tersebut

menganggap alam dan objek wisata hanya sebagai barang dagangan.

Ketiga, disiasati pada kalimat “Namun kenyataannya ketentuan itu masih

bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga tidak memiliki alat kontrol yang

tegas” (par.4, kal.1). Kata itu dalam kalimat ini mengacu kepada aturan bahwa

pada kawasan ODTWK tidak diizinkan dibangun hotel berbintang dan hanya

diizinkan untuk pondok wisata dengan jumlah kamar maksimal 25 kamar.

Leksikon disiasati dalam konteks ini mengacu kepada mengadakan muslihat atau

taktik yang negatif. Dengan menggunakan leksikon disiasati, pembaca diarahkan

untuk memahami bahwa aturan sering dilanggar oleh pihak pengelola penginapan

atau investor dengan cara-cara tertentu yang dengan sengaja memanfaatkan

kelemahan aturan yang berlaku.

Keempat, sejumlah pada kalimat “Anehnya di dalamnya terdapat sejumlah

hotel dengan kategori berbintang” (par.5, kal.2). Kata sejumlah dalam konteks ini

menggambarkan jumlah atau kuantitas yang tidak pasti. Kata sejumlah dapat

berarti hanya dua atau lebih hingga jumlah yang tak terbatas. Dengan demikian,

penggunaan kata sejumlah dapat menimbulkan kesan jumlah yang lebih banyak

daripada yang semestinya selain untuk menyamarkan bahwa wartawan tidak

memiliki data atau informasi yang memadai dan pasti mengenai hal tersebut.

Kelima, leksikon ratusan pada kalimat “Pada kawasan pantai dari Air

Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok di Tejakula terdapat ratusan vila atau

pondok wisata.” Kata ratusan merupakan strategi wacana yang bertujuan untuk

mengabstraksi atau menyamarkan jumlah yang pasti dan menimbulkan kesan

Page 136: (rtrwp) bali dalam harian bali post

136

jumlah yang melebihi jumlah yang sebenarnya. Ratusan bisa bermakna seratus

atau sembilan ratus, bahkan lebih. Dengan menggunakan kata ratusan pada

kalimat ini, pembaca diarahkan untuk memahami bahwa sangat banyak vila dan

pondok wisata yang terdapat di kawasan tersebut.

Pada berita keempat ditemukan beberapa leksikon menarik yang belum

ditemukan pada berita sebelumnya. Pertama, kedaluarsa. Kata kedaluwarsa

digunakan untuk menggambarkan data yang digunakan sebagai dasar penyusunan

ranperda RTRWP. Kedaluwarsa secara leksikal bermakna sudah lewat (habis)

jangka waktu; habis tempo; atau terlewat dari batas waktu berlakunya

sebagaimana ditetapkan. Dalam konteks ini, kata kedaluwarsa mengarahkan

pandangan pembaca untuk memahami bahwa data-data yang digunakan sebagai

dasar penyusunan RTRWP tidak layak dan tidak relevan sehingga RTRWP

tersebut pun diragukan kualitasnya. Interpretasi selanjutnya, penyusun RTRWP

memang sengaja menggunakan data yang kedaluwarsa agar RTRWP tersebut

sesuai dengan yang diharapkan kelompok tertentu dan untuk kepentingan

kelompok tertentu.

Strategi wacana selanjutnya adalah berupa frasa Tim yang terdiri atas guru

besar Unud. Frasa ini tidak sekadar berfungsi sebagai subjek, tetapi

menggambarkan siapa subjek dan kapasitas subjek sehingga meningkatkan

kepercayaan publik terhadap pernyataan atau hal yang disampaikan. Frasa ini

terdapat pada kalimat “Tim perumus kajian akademik Unud (BP, 10/5)

menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa arena masih memakai Renstra

(Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008).” Guru besar diketahui sebagai jabatan

Page 137: (rtrwp) bali dalam harian bali post

137

akademik tertinggi di universitas. Dengan jenjang tersebut, guru besar memiliki

kapasitas akademi yang tinggi dan netralitas yang dapat dipercaya. Jika tim yang

beranggotakan guru besar tersebut menyampaikan suatu penilaian, tentu

masyarakat digiring untuk meyakini dan memercayai kebenaran penilaian

tersebut.

4.3.4 Retorik

Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga

menjadi lebih efektif dalam memengaruhi atau mempersuasi persepsi pembaca.

Strategi wacana pada tataran retorik dibagi menjadi empat bagian yang lebih

khusus, yaitu deskripsi langsung dan laporan saksi mata, sumber dan kutipan,

nomor, dan gaya bahasa. Pada berita pertama, tidak ditemukan adanya strategi

wacana dengan menggunakan deskripsi langsung dan laporan saksi mata serta

nomor.

Berita pertama menggunakan strategi wacana pada tataran retorik berupa

kutipan langsung sumber seperti yang terpada paragraf 1, kalimat 2, atau pada

teras berita yang merupakan kutipan pernyataan Kepala Pusreg Lingkungan Hidup

Bali Nusra Ir. R. Sudirman, M.M. Kalimat yang dimaksud adalah “Saya berharap

jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan ekonomi

yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. Antara aspek

ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,” tegasnya. Selain itu, juga

terdapat kutipan langsung pada paragraf 4 berita pertama yang merupakan kutipan

pernyataan ahli geomorfologi Unud R. Suryanto, yakni “Selama ini ada kesan tak

Page 138: (rtrwp) bali dalam harian bali post

138

ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kelayakan sebuah investasi. Ada

kecenderungan kepentingan ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi

Bali,” ujarnya.

Kedua kutipan langsung tersebut merupakan petikan pernyataan pihak

yang memiliki kapasitas dan kualifikasi untuk menyampaikan pandangan. Dengan

kapasitas tersebut, wartawan atau media berupaya menyampaikan bahwa

kebenaran pandangan yang disampaikan dapat dipercaya. Selain itu, pandangan

tersebut juga bersifat netral. Dengan strategi wacana ini, pembaca diarahkan untuk

memahami bahwa penyusunan ranperda RTRWP hanya didominasi oleh

kepentingan ekonomi dan mengabaikan aspek penyelamatan alam Bali. Di

samping itu, pembaca juga diarahkan untuk berpersepsi bahwa selama ini tidak

ada pertimbangan ilmiah dalam menentukan kebijakan atau khususnya kelayakan

investasi. Pertimbangan ilmiah merupakan hal yang dianggap memiliki tingkat

kebenaran yang tinggi dan bersifat netral. Dengan tidak adanya pertimbangan

ilmiah, besar kemungkinan kebijakan tersebut merupakan kebijakan yang keliru

dan hanya memperjuangkan kepentingan tertentu yang dalam hal ini adalah

kepentingan ekonomi pihak tertentu dan mengabaikan keselamatan Bali.

Selain kutipan langsung, juga terdapat kutipan tidak langsung di dalam

berita pertama, yakni “Ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto juga mengingatkan

agar komponen masyarakat di Bali diberi ruang yang terbuka untuk memberikan

sumbang saran dalam membuat aturan terhadap wilayahnya. Bali sebagai pulau

kecil memiliki kandungan risiko yang tinggi dari segi geografis sehingga

pemetaan fungsi tanah di Bali haruslah jelas” (par. 3). Kutipan tak langsung juga

Page 139: (rtrwp) bali dalam harian bali post

139

terdapat pada paragraf terakhir berita pertama yang juga berasal dari narasumber

yang sama, yakni “R. Suyarto juga mengatakan perlu adanya sebuah evaluasi

yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan implementasinya di lapangan.

Sangat mungkin terjadi aturan main sudah ideal, namun konsistensi pejabat publik

dalam menegakkan aturan tak terbangun” (par.5).

Berdasarkan dua kutipan tidak langsung ini, wartawan atau media

menyampaikan bahwa pandangan yang disampaikan melalui kutipan tidak

langsung merupakan pandangan yang kebenarannya dapat dipercaya. Dikatakan

demikian karena disampaikan oleh orang yang memiliki keahlian dalam bidang

geomorfologi dan berasal dari perguruan tinggi yang ternama di Bali. Isi

pernyataan yang dikutip juga mengandung beberapa pesan yang mengarahkan

pandangan masyarakat tentang masalah tersebut. Pertama, dimunculkan kesan

bahwa selama ini masyarakat Bali tidak diberikan kesempatan untuk

menyampaikan pandangan atau pendapatnya dalam pembuatan aturan tentang

pemanfaatan wilayah di Bali. Padahal, Bali merupakan pulai kecil yang rawan

terhadap permasalahan lingkungan jika lingkungan tidak dikelola dengan baik.

Kecilnya pelibatan masyarakat dalam membuat aturan penataan lingkungan

membuat peluang terciptanya aturan yang tidak berpihak kepada penyelamat alam

Bali menjadi besar. Selain memuat kritik terhadap kurangnya pelibatan

masyarakat, kutipan tak langsung tersebut juga menggiring pemahaman pembaca

bahwa selama ini, sangat besar kemungkin terjadinya ketidakkonsistenan pejabat

publik dalam menegakkan aturan, padahal bisa saja aturan tersebut sebenarnya

sudah baik. Dengan pandangan ini, masyarakat pembaca digiring untuk cenderung

Page 140: (rtrwp) bali dalam harian bali post

140

menyalahkan pimpinan daerah sebagai pihak yang menjalankan aturan dan

mengeluarkan kebijakan.

Dalam berita pertama ditemukan beberapa gaya bahasa yang digunakan.

Pertama, gaya bahasa ironi, yaitu dalam penyebutan “pasal bisnis” pada judul dan

teras berita. Gaya bahasa ini tergolong dalam gaya bahasa ironi karena istilah

pasal mengacu pada bagian dari undang-undang atau peraturan yang idealnya

mengatur kepentingan bersama dan kebaikan seluruh pihak. Namun, frasa “pasal

bisnis” bermakna sebaliknya, yakni aturan yang dibuat untuk kepentingan bisnis

yang menguntungkan pihak tertentu semata dan mengabaikan kepentingan lain

termasuk penyelamatan alam Bali.

Gaya bahasa lain adalah “aturan main” yang tergolong dalam gaya

bahasa metafora dan terdapat pada kalimat “Sangat mungkin aturan main sudah

ideal, namun konsistensi pejabat publik dalam menegakkan aturan tak terbangun”.

“Aturan main” yang dimaksud dalam konteks ini adalah peraturan pemerintah,

khususnya peraturan daerah yang mengatur pengelolaan alam dan lingkungan

Bali. Untuk melaksanakan pengelolaan lingkungan, aturan tersebut yang

semestinya dijadikan dasar dalam membuat keputusan. Pelanggaran terhadap

aturan akan membuat “permainan” (pelaksanaan kebijakan) tidak dapat berjalan

dengan baik sehingga dampaknya bagi Bali pun tidak akan baik.

Pada berita kedua ditemukan beberapa strategi wacana pada level retorik.

Berita kedua menggunakan strategi wacana pada tataran retorik berupa sumber

dan kutipan langsung yang dapat ditemukan pada paragraf kedua, kalimat kedua,

yaitu “Tidak ada pasal pesanan”, katanya ditemui di sela-sela rapat penutupan

Page 141: (rtrwp) bali dalam harian bali post

141

evaluasi APBD Bali 2009 di Ruang Wisma Sabha. Yang dimaksud –nya pada

kalimat itu adalah Ketua Bappeda Bali Nengah Suarca. Kutipan langsung itu

ditulis untuk menyampaikan kepada pembaca bahwa telah ada wawancara

langsung dengan narasumber yang memiliki kapasitas untuk berbicara mengenai

topik yang sedang dibicarakan. Narasumber membantah anggapan bahwa dalam

ranperda RTRWP terdapat pasal pesanan.

Strategi wacana yang kedua adalah dengan kutipan langsung juga yang

terdapat pada paragraf keempat, kalimat kedua, yakni “Segala rumusan berkaitan

dengan pasal-pasal tersebut digodok di Biro Hukum dan HAM Provinsi Bali,

katanya tergesa-gesa. Pada kutipan langsung ini, narasumber Ketua Bappeda Bali

Nengah Suarca menjelaskan proses penyusunan ranperda RTRWP yang sedang

dibahas. Penjelasan yang dibuat wartawan setelah mengutip secara langsung

pernyataan narasumber dengan proposisi katanya tergesa-gesa menggiring

pemahaman pembaca bahwa narasumber terburu-buru, bahkan terkesan

menghindar dari wartawan.

Strategi wacana yang ketiga adalah kutipan tak langsung yang terdapat

pada paragraf ketiga, yakni Suarca menyatakan Ranperda RTRWP Bali merujuk

UU 26/2007 tentang penataan ruang. Rujukan itu dijadikan pedoman dalam

merevisi Perda 2/2005 tentang RTRWP Bali. Selanjutnya perumusannya

diserahkan ke Badan Koordinasi Penataan Ruang Provinsi Bali. Hasil

perumusannya digodok oleh sebuah tim bersama kelompok ahli. Kutipan tak

langsung ini memaparkan dasar dan tata cara perumusan ranperda RTRWP yang

sedang dibahas. Namun, penjelasan yang cukup terperinci dan prosedural ini

Page 142: (rtrwp) bali dalam harian bali post

142

terkesan menjadi pernyataan normatif setelah wartawan menyampaikan kutipan

langsung yang diikuti proposisi katanya tergesa-gesa pada paragraf setelahnya,

yaitu paragraf empat kalimat terakhir. Dengan proposisi katanya tergesa-gesa,

wartawan menggiring pemahaman pembaca bahwa narasumber tidak bersedia

merespon lebih terperinci pertanyaan-pertanyaan terkait dengan pasal pesanan

dan yang sejenis dengan itu.

Strategi wacana yang keempat adalah strategi pada tataran retorik dengan

menggunakan gaya bahasa yang dapat ditemukan pada teras berita pada kalimat

Revisi Perda RTRWP Bali kini banyak disorot (par.1, kal.1). Kata disorot

merupakan metafora yang makna sebenarnya adalah disinari atau diberikan

cahaya. Dalam konteks ini, disorot dimaksudkan sebagai pusat perhatian atau

menjadi fokus pembicaraan.

Strategi wacana retorik yang kelima adalah penggunaan gaya bahasa pada

kalimat Anggota DPRD Bali pun mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP

ini lolos, diyakini akan merusak Bali yang kini telah bopeng dan ‘sesak napas’

karena kehadiran investasi yang tak lagi mengindahkan Perda RTRW No. 3/2005

maupun Bhisama PHDI (par.1, kal.3). Kata bopeng merupakan metafora yang

digunakan untuk memberikan gambaran kepada pembaca bahwa saat ini Bali

telah mengalami masalah. Bopeng secara leksikal berarti cacat yang berupa

lubang-lubang (lekuk-lekuk) kecil pada kulit atau burik. Dengan menyebut bahwa

Bali bopeng, wartawan mengarahkan pemahaman pembaca bahwa Bali telah cacat

dan memiliki masalah. Dengan adanya revisi perda RTRWP, masalah alam Bali

tersebut akan bertambah lagi karena aturan yang baik dan keputusan bersama

Page 143: (rtrwp) bali dalam harian bali post

143

umat Hindu melalui PHDI yang didasari oleh ajaran nilai-nilai Hindu juga tidak

dilaksanakan.

Strategi wacana yang keenam juga merupakan gaya bahasa yang terdapat

pada kalimat yang sama dengan sebelumnya, yakni Anggota DPRD Bali pun

mengkhawatirkan bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak

Bali yang kini telah bopeng dan ‘sesak napas’ karena kehadiran investasi yang

tak lagi mengindahkan Perda RTRW No. 3/2005 maupun Bhisama PHDI

(Par.1,kal.3). Pada kalimat tersebut, ungkapan sesak napas merupakan metafora.

Frasa sesak napas secara harfiah bermaksa sulit bernapas. Pada konteks ini, sesak

napas mengacu pada masalah yang sedang dialami Bali yang membuat Bali

berada dalam kesulitan.

Retorik berhubungan dengan cara penyajian informasi tertentu sehingga

menjadi lebih efektif. Retorik digunakan dalam upaya memengaruhi pembaca atau

penerima wacana. Dalam berita ketiga ditemukan beberapa strategi wacana pada

tataran retorik sebagai berikut.

Pada berita ketiga, wartawan menggunakan deskripsi langsung untuk

menyampaikan kondisi kawasan ODTWK, khususnya akomodasi pada kawasan

tersebut. Deskripsi langsung terdapat pada paragraf kelima dan keenam yang

memaparkan adanya ratusan vila dan pondok wisata di kawasan tersebut

khususnya kawasan Air Sanih dan Bukti hingga Desa Tembok. Wartawan juga

menggambarkan adanya sejumlah hotel yang menyediakan kamar melebihi

ketentuan maksimal yakni 25 kamar.

Page 144: (rtrwp) bali dalam harian bali post

144

Dalam berita ketiga terdapat dua buah kutipan tidak langsung pada dua

paragraf terakhir berita, yakni paragraf tujuh dan delapan. Kutipan tidak langsung

yang pertama adalah “Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar)

Buleleng I Putu Tastra Wijaya didampingi Kabid Pengembangan Pariwisata

Nyoman Dodi Irianto membenarkan adanya hotel berbintang atau hotel yang

memiliki kamar lebih dari 25 buah dalam ODTWK di Tejakula dan Pancasari”

(par.7). Kutipan ini menunjukkan bahwa paparan wartawan mengenai kondisi

akomodasi dan upaya menyiasati aturan oleh investor memang benar. Pernyataan

ini ditulis pada bagian akhir berita sebagai upaya wartawan meyakinkan bahwa

berita yang ditulis memang benar dan objektif karena mengutip narasumber yang

memiliki kapasitas untuk menyampaikan hal tersebut. Namun, pengutipan

narasumber di bagian akhir berita sekaligus menunjukkan bahwa bagian awal

hingga pertengahan berita dikonstruksi dengan pengetahuan dan pandangan

wartawan.

Kutipan tidak langsung yang kedua adalah “Tastra mengatakan pihaknya

kini sedang melakukan penataan terhadap pondok wisata atau vila di daerah yang

masuk ODTWK. Karena diakui memang terdapat investor yang mencoba

menyiasati peraturan agar bisa membangun sesuai dengan keinginannya.” Kutipan

tak langsung ini juga memperkuat informasi yang sebelumnya telah disajikan

dalam berita mengenai adanya upaya investor untuk menyiasati aturan demi

keuntungan usahanya.

Ketiga, kutipan langsung yang terdapat pada bagian paling akhir berita,

yakni “Kami sedang melakukan kontrol sekaligus penataan, khususnya di daerah

Page 145: (rtrwp) bali dalam harian bali post

145

ODTWK”, katanya. Kutipan langsung ini memiliki fungsi yang sama dengan dua

kutipan tidak langsung sebelumnya yakni memperkuat keyakinan pembaca bahwa

berita ini disusun dengan objektif dan dengan melakukan wawancara kepada

narasumber yang memiliki kapasitas dalam topik tersebut. Dengan akan

dilakukannya penataan sekaligus kontrol, secara implisit terdapat informasi bahwa

saat ini ada pelanggaran dan tidak tertatanya kawasan ODTWK.

Penggunaan nomor sebagai strategi wacana pada tataran retorik juga

terdapat pada berita ketiga. Penggunaan nomor muncul sebanyak tiga kali di

dalam berita, yakni pada paragraf 5, paragraf 6, dan paragraf 7. Nomor yang

muncul pada paragraf tersebut sama, yakni nomor 25 yang disampaikan untuk

menginformasikan jumlah kamar maksimal yang semestinya boleh dimiliki

investor atau pengusaha akomodasi pariwisata.

Pada berita empat ditemukan strategi wacana pada tataran retorik yang

menggunakan kutipan tidak langsung, yakni “Tim perumusan kajian akademis

Unud menyatakan bahwa dokumen RTRWP kedaluwarsa karena masih memakai

Renstra (Rencana Strategis) tahun 2003 – 2008.” Pada kalimat ini, tidak

disebutkan subjek secara spesifik, tetapi yang disebutkan hanyalah tim perumusan

kajian akademis Unud. Dengan penyebutan subjek seperti itu, pihak yang

menyatakan pernyataan tersebut juga tidak terlalu jelas. Bentuk penyampaikan

dalam kutipan tidak langsung juga memungkinkan adanya perubahan struktur dan

makna pesan. Dengan kalimat tersebut, pembaca digiring untuk memahami

bahwa dokumen RTRWP memang kedaluwarsa dan tidak relevan lagi.

Page 146: (rtrwp) bali dalam harian bali post

146

Pada tataran gaya bahasa, ditemukan gaya bahasa yang mengandung

maksud tertentu, yakni menggambarkan secara negatif kepala daerah jiga RTRWP

ini diterapkan. Gaya bahasa tersebut terdapat pada kalimat “Mereka akan

berlomba-lomba menentukan ODTW.” Yang dimaksud mereka dalam konteks ini

adalah para kepala daerah di Bali. Berlomba-lomba menggambarkan bahwa para

kepala daerah akan berkompetisi dalam hal jumlah untuk menentukan ODTW di

wilayahnya masing-masing. Dengan demikian, semakin banyak investor yang

masuk ke wilayah tersebut.

Page 147: (rtrwp) bali dalam harian bali post

147

BAB V

KOGNISI SOSIAL WARTAWAN DALAM BERITA TENTANG RTRWP

BALI DALAM HARIAN BALI POST

Analisis kognisi sosial merupakan analisis penggunaan pengetahuan yang

dimiliki pemroduksi wacana, dalam konteks ini wartawan dalam memproduksi

berita. Analisis kognisi sosial merupakan gagasan utama dalam analisis wacana

yang dikemukanan van Dijk. van Dijk (1993b) mengemukakan bahwa hubungan

antara wacana dan masyarakat tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara

yang disebut kognisi sosial.

Dalam analisis kognisi sosial, analisis difokuskan kepada analisis terhadap

enam jenis pengetahuan yang mungkin dilibatkan dalam pemroduksian wacana

berita. Keenam jenis pengetahuan tersebut, yaitu pengetahuan personal,

pengetahuan interpersonal, pengetahuan kelompok, pengetahuan institusional atau

organisasional, pengetahuan nasional, dan pengetahuan kebudayaan.

Dalam penelitian ini, tidak ditemukan keseluruhan bentuk penggunaan

pengetahuan. Jenis-jenis pengetahuan yang digunakan dalam berita-berita tentang

rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Bali meliputi pengetahuan

nasional, pengetahuan kebudayaan, dan pengetahuan kelompok. Selanjutnya akan

dibahas jenis-jenis pengetahuan yang ditemukan dalam berita RTRWP Bali dalam

harian Bali Post.

147

Page 148: (rtrwp) bali dalam harian bali post

148

5.1 Pengetahuan Nasional

Dalam berita pertama, ditemukan penggunaan pengetahuan sebagai

berikut. Pertama, pengetahuan nasional yang merupakan pengetahuan yang

diketahui oleh masyarakat suatu negara dan diperoleh melalui sekolah, media

massa, dan digunakan secara luas dalam komunikasi oleh masyarakat. Bagian

wacana yang pemahamannya membutuhkan pengetahuan nasional adalah sebagai

berikut. (1) Pasal. Pasal merupakan istilah yang digunakan dalam undang-undang

atau peraturan resmi pemerintah. Setiap undang-undang atau aturan pemerintah

mengandung sejumlah pasal. Setiap pasal mengandung suatu aturan atau

informasi khusus yang terkait dengan aturan. Penyusunan undang-undang atau

peraturan yang mengandung pasal-pasal dibuat dengan mekanisme tertentu.

Undang-undang diputuskan pada tingkat nasional. Sementara peraturan

pemerintah untuk tingkat daerah disusun berdasarkan aturan pada tingkat

nasional. Penyusunan aturan pada umumnya melibatkan lembaga negara, baik

eksekutif maupun legislatif. (2) RTRWP. RTRWP merupakan singkatan dari

Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi. RTRWP merupakan produk aturan

yang dibuat pada level provinsi dan disusun berdasarkan aturan yang berada pada

tingkat nasional.

Selanjutnya, (3) Bali. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia

yang secara geografis berada di satu pulau bernama Pulau Bali. (4) Ranperda.

Ranperda merupakan singkatan dari Rancangan Peraturan Daerah. Disebut

sebagai rancangan karena peraturan ini masih dalam proses penyusunan dan

pembahasan. Ranperda akan menjadi perda (peraturan daerah) apabila telah

Page 149: (rtrwp) bali dalam harian bali post

149

selesai dibahas dan disahkan. (5) DPRD Bali. DPRD Bali perupakan singkatan

dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali. DPRD Bali merupakan DPR pada

tingkat provinsi. Terdapat DPR pada tingkat nasional yang disebut dengan DPR

RI, dan terdapat DPRD pada tingkat kabupaten yang disebut DPRD kabupaten.

(7) Sanksi. Pada berita yang dimaksud sanksi adalah bagian dari peraturan daerah

tentang RTRWP yang mengatur hukuman atas pelanggaran aturan yang telah

ditetapkan.

Pada berita kedua, ditemukan beberapa jenis pengetahuan nasional yang

digunakan wartawan atau media dalam menyampaikan informasi dalam topik dan

sekaligus menggiring pemahaman pembaca agar memahami informasi seperti

yang diharapkan media yang akan disajikan sebagai berikut. (1) Perda. Perda

merupakan singkatan dari peraturan daerah. Perda merupakan peraturan

perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

dengan persetujuan bersama kepala daerah, baik gubernur maupun bupati atau

wali kota. Ranperda merupakan rancangan peraturan daerah yang dapat berasal

dari DPRD atau kepala daerah (gubenur, bupati, wali kota). (2) RTRW. RTRW

merupakan singkatan dari Rancangan Tata Ruang Wilayah. RTRW mengandung

tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah, rencana struktur ruang

wilayah, rencana pola ruang wilayah, penetapan kawasan strategis, arahan

pemanfaatan ruang wilayah, dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang

wilayah. RTRWP merupakan RTRW Provinsi yang mengatur tata ruang wilayah

provinsi tertentu.

Page 150: (rtrwp) bali dalam harian bali post

150

Selanjutnya, (3) Bali. Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia

yang secara geografis berada di suatu pulau bernama Pulau Bali. (4) Pasal. Pasal

merupakan istilah yang digunakan dalam perundang-undangan dan peraturan

resmi pemerintah. Setiap perundang-undangan atau peraturan resmi pemerintah

mengandung pasal-pasal yang menjadi bagian bab tertentu dan mangandung

penjelasan atau aturan khusus. (5) Eksekutif. Eksekutif dapat dipahami sebagai

salah satu pemerintah yang memiliki kekuasaan dan bertanggung jawab untuk

menerapkan hukum dan menjalankan sistem pemerintah. Dalam konteks berita 2,

yang dimaksud eksekutif adalah pemerintah Provinsi Bali, khususnya Gubernur

Bali, Mangku Pastika.

Selanjutnya, (6) UU. UU merupakan singkatan dari undang-undang yang

merupakan hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur

pemerintahan yang lainnya. Undang-undang berfungsi sebagai otoritas untuk

mengatur, menganjurkan, menyediakan (dana), menghukum, memberikan,

mendeklarasikan, atau membatasi sesuatu. Karena terdapat banyak undang-

undang, penyebutan undang-undang pada umumnya disertai dengan nomor dan

tahun seperti yang terdapat pada berita, yakni UU 26/2007. Hal yang sama juga

terjadi pada perda. (7) Biro. Istilah biro yang terdapat pada frasa Biro Hukum dan

HAM Provinsi Bali mengacu kepada bagian dari instansi yang mengurusi urusan

atau bidang tertentu. (8) HAM. HAM merupakan kependekan dari hak asasi

manusia yang merupakan hak yang dimiliki seseorang sejak dalam kandungan dan

berlaku secara universal. (9) Sanksi. Sanksi merupakan tindakan atau hukuman

untuk memaksa orang menepati perjanjiaan atau menaati ketentuan tertentu.

Page 151: (rtrwp) bali dalam harian bali post

151

Pada berita ketiga (3), ditemukan beberapa penggunaan pengetahuan

nasional. (1) ODTWK. ODTWK merupakan singkatan dari objek daya tarik

wisata khusus. ODTWK merupakan segala sesuatu yang memiliki daya tarik

tertentu yang lokasinya berada pada kawasan yang memerlukan pertimbangan dan

perlakuan khusus dari sudut pelestarian lingkungan dan sangat potensial menjadi

tujuan wisata. (2) Ketentuan pembangunan di kawasan ODTWK. Ketentuan

pembangunan fasilitas atau akomodasi pariwisata di kawasan ODTWK

semestinya mengikuti ketentuan tertentu. Meskipun tidak disebut secara jelas

ketentuan yang dimaksud, pembaca diberikan informasi bahwa terdapat ketentuan

tertentu dalam pembangunan akomodasi pariwisata di kawasan ODTWK. (3)

Ranperda. Kata ranperda terdapat pada judul berita. Sebagaimana telah

dipaparkan sebelumnya, ranperda merupakan rancangan peraturan daerah yang

dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (gubenur, bupati, wali kota) yang

setelah disahkan akan menjadi perda.

Pada berita keempat (4) terkandung pengetahuan nasional, seperti

RTRWP, pasal, ODTWK, RTRW, dan Bali sebagaimana yang juga digunakan

pada beberapa berita lain. Namun, terdapat satu buah pengetahuan nasioanl yang

belum terdapat pada berita lain, yakni gubernur, bupati/walikota. Pada berita

empat gubernur, bupati/wali kota digambarkan akan memiliki wewenang untuk

menentukan ODTW di wilayah masing-masing sehingga tiap kepala daerah

tersebut akan menetapkan ODTW secara leluasa untuk mempermudah investor.

Gubernur merupakan kepala daerah wilayah provinsi. Gubernur bersama wakilnya

dipilih secara langsung oleh masyarakat di provinsi tersebut. Masa jabatan

Page 152: (rtrwp) bali dalam harian bali post

152

Gubernur adalah lima tahun. Sementara itu, bupati adalah kepala daerah tingkat

kabupaten. Jabatan bupati sejajar dengan wali kota yang merupakan kepala daerah

untuk daerah kota. Bupati memiliki tugas dan wewenang memimpin

penyelenggaraan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD

kabupaten. Bupati dipilih dengan cara yang sama dengan gubernur, yakni dipilih

bersama dengan wakilnya serta oleh rakyat di wilayah tersebut. Gubernur,

bupati/wali kota merupakan jabatan politis, dan bukan pegawai negeri sipil.

5.2 Pengetahuan Kebudayaan

Pengetahuan kebudayaan merupakan pengetahuan yang dimiliki oleh

anggota suatu kebudayaan. Dalam konteks ini istilah kebudayaan dipahami secara

sederhana sebagai bahasa, agama, sejarah, kebiasaan, asal usul, atau penampilan

karena melalui hal tersebut kebudayaan pada umumnya diidentifikasi.

Dalam penelitian ini, ditemukan beberapa pengetahuan kebudayaan.

Pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita pertama dapat disampaikan

sebagai berikut. (1) Praktik membijaksanai aturan. Khalayak pembaca

diasumsikan telah mengetahui bahwa sering terjadi aturan tidak dilaksanakan

dengan dalih-dalih tertentu yang terkesan rasional dan benar, padahal sebenarnya

hanya untuk kepentingan tertentu yang bersifat sempit. (2) Pertimbangan ilmiah.

Pertimbangan ilmiah pada umumnya digunakan sebagai dasar dalam menentukan

kebijakan publik. Pertimbangan ilmiah tersebut merupakan hasil penelitian yang

dilakukan oleh badan atau pihak tertentu yang memiliki kualifikasi dan kapasitas

pada bidang tersebut.

Page 153: (rtrwp) bali dalam harian bali post

153

Pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita kedua dapat dilihat

pada beberapa bagian. (1) Pengetahuan kebudayaan terdapat pada frasa kearifan

lokal Bali. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai kebudayaan lokal yang menjadi

pandangan hidup yang dianut oleh komunitas masyarakat atau etnik tertentu.

Meskipun bersifat lokal, tidak tertutup kemungkinan terdapat kearifan lokal yang

sejalan dengan komunitas masyarakat lain di Indonesia sehingga nilai tersebut

menjadi nilai budaya yang bersifat nasional. Di Bali, kearifan lokal Bali dijiwai

oleh nilai-nilai agama Hindu dan kebudayaan lokal yang telah dimiliki oleh

masyarakat Bali. (2) Danau Buyan. Pada konteks ini, danau Buyan bukan semata-

mata sebuah danau, namun bagi masyarakat Bali, danau merupakan tempat yang

harus dijaga kelestarian dan kesuciannya. Danau sering menjadi salah satu tempat

umat Hindu untuk melaksanakan ritual keagamaan khususnya yang berhubungan

dengan kesuburan selain berfungsi sebagai sumber air dalam irigasi pertanian.

Selain danau, gunung, hutan, dan laut juga memiliki nilai religius dan budaya bagi

masyarakat Hindu di Bali sehingga kelestarian dan kesuciannya harus dijaga.

Pengetahuan kebudayaan dan kelompok yang terdapat dalam berita 3

adalah sebagai berikut. Yang pertama adalah pada paragraf 6, khususnya pada

kalimat “Belakangan, daerah itu terus didatangi investor sehingga dikhawatirkan

lereng-lereng bukit di daerah itu nantinya akan dipenuhi vila” (par.6, kal.2). Frasa

lereng-lereng bukit akan menjadi bermakna apabila pembaca memiliki

seperangkat pemahaman kebudayaan sekaligus kelompok. Bukit bagi masyarakat

Hindu dan Bali merupakan kawasan yang disucikan atau disakralkan. Terlebih

lagi bukit di kawasan Danau Buyan yang di areal tersebut terdapat tempat suci dan

Page 154: (rtrwp) bali dalam harian bali post

154

danaunya merupakan danau yang disucikan. Selain itu, juga menjadi sumber air

bagi masyarakat khususnya untuk irigasi pertanian. Dengan menggunakan frasa

lereng-lereng bukit wartawan membangun kesadaran orang Bali mengenai hal

yang mungkin ditimbulkan apabila tidak dilakukan upaya pencegahan

pembangunan akomodasi pariwisata oleh investor secara bebas tanpa pengawasan

dan ketaatan terhadap aturan yang berlaku.

Pengetahuan kebudayaan yang lain adalah mengenai adanya kebiasaan

perilaku menyiasati aturan atau ketentuan agar terhindar dari beban yang lebih

berat atau sanksi tertentu. Hal ini terdapat pada paragraf 4 “Namun dalam

kenyataannya ketentuan itu masih bisa disiasati dan pemegang kebijakan juga

tidak memiliki alat kontrol yang tegas” (par.4, kal.1). Adanya kebiasaan

menyiasati aturan ini telah menjadi perilaku atau pengetahuan bersama

masyarakat. Dengan demikian, oleh van Dijk, kebiasaan ini pun digolongkan ke

dalam pengetahuan kebudayaan.

5.3 Pengetahuan Kelompok

Pengetahuan kelompok dapat dipahami sebagai pengetahuan yang dimiliki

bersama antaranggota kelompok, pengetahuan abstrak yang diperoleh anggota

kelompok, seperti kelompok profesional, pergerakan sosial, atau aliran tertentu.

Pengetahuan kelompok yang terdapat dalam berita satu dapat disampaikan

sebagai berikut. (1) Krama merupakan istilah bahasa Bali yang mengacu pada

anggota komunitas atau organisasi adat lokal Bali yang keanggotaannya pada

umumnya didasarkan pada wilayah. Organisasi adat ini bersifat homogen dari segi

Page 155: (rtrwp) bali dalam harian bali post

155

agama, yakni Hindu. (2). Keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan

keselamatan alam merupakan hal yang harus dilakukan. Hal ini sesuai dengan

konsep tri hita karana yang menjadi pegangan hidup masyarakat Bali yang

beragama Hindu, yakni menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,

manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan sesamanya.

Pengetahuan kelompok juga terdapat dalam berita 2 yang berjudul Revisi

Perda RTRW Inisiatif Eksekutif antara lain sebagai berikut. (1) Bhisama. Bhisama

merupakan istilah yang dikenal dalam komunitas masyarakat yang beragama

Hindu. Bhisama mengacu pada keputusan bersama yang memiliki kekuatan

mengikat yang dibuat berdasarkan nilai dan ajaran agama Hindu. (2) PHDI. PHDI

merupakan singkatan dari Parisada Hindu Dharma Indonesia. PHDI merupakan

organisasi umat Hindu Indonesia yang menangani, baik kepentingan keagamaan

maupun sosial umat Hindu. Kepengurusan PHDI berjenjang, yaitu mulai dari

kepengurusan nasional, provinsi, hingga kabupaten.

Pengetahuan kelompok juga terdapat pada berita keempat, yakni pura

khayangan jagat. Secara umum, pura dikenal sebagai tempat suci umat Hindu.

Namun, jenis pura khayangan jagat belum banyak dikenal, kecuali oleh

kelompok umat Hindu. Pura khayangan jagat merupakan pura yang bersifat

universal atau umum. Dengan kata lain, siapa pun boleh bersembahyang ke pura

tersebut.

Page 156: (rtrwp) bali dalam harian bali post

156

BAB VI

KONTEKS SOSIAL BERITA TENTANG RTRWP BALI DALAM

HARIAN BALI POST

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai konteks sosial wacana berita

tentang rancangan tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) Bali. Dalam analisis

konteks sosial ini, dipaparkan beberapa aspek konteks sosial yang meliputi

struktur sosial, struktur institusi atau organisasi, hubungan antar kelompok, dan

struktur kelompok.

6.1 Struktur Masyarakat

Pada bagian ini yang dimaksud struktur masyarakat adalah sistem

keyakinan, prinsip, norma yang berlaku di masyarakat, seperti demokrasi,

kapitalisme, pancasila, atau bentuk-bentuk keyakinan yang lebih lokal. Pada

penelitian ini peneliti, pemaparan mengenai struktur masyarakat dibatasi hanya

pada aspek yang memiliki hubungan langsung dengan penelitian ini yang meliputi

nilai masyarakat secara nasional yang didasari oleh nilai-nilai Pancasila. Di

samping itu, juga keyakinan masyarakat yang bersifat lokal, khususnya nilai-nilai

lokal masyarakat Bali.

6.1.1 Pancasila

Kata pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yaitu panca yang berarti lima

dan sila yang berarti prinsip atau asas. Pancasila berkedudukan sebagai ideologi

156

Page 157: (rtrwp) bali dalam harian bali post

157

bangsa dan negara Indonesia dan sekaligus sebagai asas persatuan dan kesatuan

bangsa dan negara Indonesia (Kaelan, 2004: 96).

Secara historis, nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila Pancasila

sebelum dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia secara objektif

historis telah dimiliki oleh bangsa Indonesia (Kaelan, 2014: 3). Terbentuknya

Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia.

Pancasila dirumuskan oleh para pendiri negara Indonesia dengan menggali nilai-

nilai yang dimiliki bangsa Indonesia dan disintesiskan dengan pemikiran-

pemikiran besar dunia.

Nilai-nilai yang dirumuskan menjadi Pancasila merupakan nilai-nilai yang

memang telah ada dalam budaya bangsa Indonesia sebelum negara terbentuk.

Kebudayaan yang dimaksud dalam konteks ini dalam wujud kompleksitas

gagasan, ide, dan pemikiran manusia, yang dalam hal ini bersifat abstrak.

Dari berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebenarnya dapat

dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi Pancasila yang pokok.

Kedua kedudukan dan fungsi itu adalah sebagai dasar filsafat negara Republik

Indonesia dan sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia (Kaelan, 2014: 102).

Sebelum Pancasila dirumuskan dan disahkan sebagai dasar filsafat negara,

nilai-nilainya telah ada pada bangsa Indonesia yang merupakan pandangan hidup,

yaitu berupa nilai-nilai adat istiadat dan kebudayaan serta sebagai causa

materialis Pancasila. Pancasila disahkan sebagai dasar negara Republik Indonesia

setelah bangsa Indonesia mendirikan negara. Kaelan (2014:108) menyebutkan

bahwa dasar formal kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Republik

Page 158: (rtrwp) bali dalam harian bali post

158

Indonesia dapat ditemukan pada pembukaan UUD 1945 alenia IV yang berbunyi

“maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-

undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam susunan negara Republik

Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan

Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial

bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan utama dirumuskannya Pancasila adalah

sebagai dasar negara.

Pancasila sebagai pandangan hidup berfungsi sebagi kerangka, baik untuk

menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antarmanusia dalam

masyarakat serta alam sekitar (Kaelan, 2014 103). Sebelum Pancasila dirumuskan

sebagai dasar negara serta ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada

bangsa Indonesia dalam adat istiadat, budaya, dan agama-agama sebagai

pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pandangan-pandangan yang telah ada

dalam masyarakat Indonesia tersebut kemudian menjelma menjadi pandangan

hidup bangsa.

Pancasila sebagai pendangan hidup bangsa mengandung konsepsi dasar

mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Selain itu, juga terkandung dasar pikiran

terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Dengan

kata lain, Pancasila merupakan cita-cita moral yang memberikan pedoman dan

kekuatan bagi bangsa untuk berperilaku luhur dalam kehidupan sehari-hari dalam

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Page 159: (rtrwp) bali dalam harian bali post

159

6.1.2 Nilai-nilai Lokal Masyarakat Bali

Bali merupakan sebuah nama wilayah yang juga mengacu kepada

komunitas masyarakat dengan budaya tertentu. Putu Wijaya (1999: 64)

menyatakan bahwa Bali atau kebalian bukanlah kesukuan, melainkan konsep

hidup, sesuatu yang sangat khas Bali.

Sujana (dalam Pitana (ed.), 1994: 48) menyampaikan bahwa masyarakat

Bali memiliki kesadaran yang kuat mengenai (1) adanya kesatuan budaya Bali, (2)

bahasa Bali, dan (3) kesatuan agama Hindu. Di samping itu, masyarakat Bali juga

dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kesadaran mengenai sejarah, memiliki

ikatan sosial dan solidaritas yang kuat yang berpusat pada pura, organisasi sosial,

dan sistem komunal. Perkembangan industri pariwisata kemudian menimbulkan

perubahan pada beberapa aspek kehidupan masyarakat Bali. Bali yang semula

dikenal sebagai komunitas masyarakat yang homogen, agraris, tradisional, dan

memegang teguh tradisi dihadapkan pada godaan perubahan. Namun, apa pun

bentuk perubahan tersebut, masyarakat Bali memiliki nilai-nilai dasar yang

menjadi pedoman dan pandangan hidup masyarakat.

Dharmayuna (1995:12) mengutip pandangan Redfield menyatakan bahwa

tradisi dapat dipilah menjadi tradisi besar dan tradisi kecil. Tradisi besar

bersumber dari pemikiran reflektif yang diperoleh di sekolah-sekolah, tempat

ibadah. Sementara, tradisi kecil merupakan tradisi yang bersumber dari pemikiran

yang tidak reflektif dan berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Redfield juga

membedakan antara peradaban kelas satu dan peradaban kelas dua. Suatu

kebudayaan disebut peradaban kelas satu apabila terjadi proses kesinambungan

Page 160: (rtrwp) bali dalam harian bali post

160

peradabannya sendiri meskipun telah terjadi kontak dengan peradaban lain.

Peradaban kelas dua mengacu pada peradaban pribumi atau lokal yang digantikan

oleh peradaban lain (asing) atau saat tradisi besar tertanam secara tidak lengkap.

Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali

merupakan peradaban kelas satu. Kebudayaan Hindu sebagai tradisi besar tidak

menekan atau menghilangkan peradaban pribumi atau kebudayaan petani. Budaya

asli masyarakat Bali saling mendukung dengan budaya Hindu sehingga

memunculkan budaya baru yang tidak saling mendominasi satu sama lain.

Berdasarkan perpaduan tradisi besar dan tradisi kecil, Dharmayuda

(1995:12) menyebutkan bahwa peradaban Bali dapat dibagi menjadi tradisi

pertanian (tradisi kecil), tradisi Hindu (tradisi besar), dan tradisi global (tradisi

besar). Tiap-tiap peradaban memiliki karakteristik tertentu. Tradisi kecil (petani)

memiliki ciri-ciri, antara lain ada ikatan pribadi dengan tanah, keterikatan pada

desa dan komunitas lokal, pentingnya keluarga secara sentral, perkawinan sebagai

persiapan bagi kemakmuran ekonomis, keharusan untuk menghasilkan tanaman

penghasil uang, dan sebagainya.

Tradisi besar (Hindu) secara prinsip tidak bertentangan dengan ciri budaya

petani karena tradisi Hindu lahir dan berkembang di lingkungan masyarakat

petani (India). Secara umum, ciri-ciri tradisi Hindu tersebut adalah sebagai

berikut. Pertama, mengupayakan keharmonisan dengan alam. Kedua, keturunan

murupakan pusat dan tujuan keluarga. Ketiga, menekankan pentingnya

persembahan (yadnya) yang ditujukan kepada Tuhan, Dewa, leluhur, orang suci,

dan bhutakala dengan perantara para pendeta yang mempunyai kedudukan

Page 161: (rtrwp) bali dalam harian bali post

161

terhormat. Keempat, tujuan kehidupan manusia adalah mencapai kesejahteraan di

dunia dan bersatu dengan Tuhan (Brahman) melalui konsepsi dharma (kebajikan),

artha (materi), kama (kesenangan), dan moksa (kebebasan tertinggi/menyatu

dengan Tuhan). Kelima, membagi tingkat kehidupan dalam masyarakat menjadi

empat asrama (tingkat), yakni kehidupan berguru (brahmacari), hidup

berkeluarga (grihasta), hidup mengasingkan diri (vanaprastha), dan hidup

berkelana (samnyasa). Keenam, menyelenggarakan upacara kematian merupakan

satu hal yang sangat sakral dan ini merupakan proses penyucian roh manusia.

Dalam konteks penjaga keharmonisan, Hindu menganal tri hita karana.

Tri hita karana berasal dari kata tri yang berarti tiga, hita berarti kebahagiaan, dan

karana yang berarti penyebab. Tri hita karana dapat dipahami sebagai tiga

penyebab kebahagiaan. Ketiga penyebab kebahagiaan atau kesejahteraan tersebut

terletak pada keharmonisan hubungan manusia dengan tiga aspek, yakni

hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta

hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Tri hita karana menjadi

filosofi dalam menata Bali ke depan dan harus di implementasikan (Bali Post,

2004: 17).

Tradisi besar global dalam konteks ini dipahami sebagai peradaban dunia

modern yang telah merambah kehidupan masyarakat di seluruh dunia termasuk

Indonesia dan khususnya masyarakat Bali. Kehadiran teknologi dan media massa

memungkinkan arus pertukaran informasi terjadi dalam waktu cepat dan mencapai

jumlah massa yang tidak terbatas, sehingga interaksi kebudayaan pun menjadi hal

yang tidak dapat dihindarkan. Selain itu, sebagai destinasi pariwisata, Bali akan

Page 162: (rtrwp) bali dalam harian bali post

162

berinteraksi dengan wisatawan yang berasal dari berbagai latar budaya yang

berbeda. Perkenalan masyarakat Bali dengan budaya luar, baik melalui media

massa maupun interaksi dengan wisatawan, akan mendorong terjadinya perubahan

kebudayaan pada masyarakat Bali. Dhamayuda (1995: 15) menyebutkan bahwa

unsur-unsur yang menjadi karakter peradaban global adalah teknologi, sistem

pendidikan formal, sains (ilmu pengetahuan), pranata-pranata ekonomi

antarbangsa, sistem administrasi dan organisasi dengan birokrasi, dan media

massa. Keseluruhan unsur peradaban global tersebut mendorong dan

mempercepat terjadinya perubahan pada tatanan kebudayaan masyarakat Bali.

Sujana (dalam Pitana (ed.), 1994: 49) menggambarkan beberapa sifat dan

karakter masyarakat Bali yang dianggap dominan selama ini dalam perspektif

manusia yang bermakna individual atau kolektif. Pertama, terbuka. Seiring

dengan perkembangan sejarah, masyarakat Bali terbiasa menghadapi pergaulan

dan interaksi dengan suku bangsa, bahkan bangsa lain. Hal inilah yang

menumbuhkan sikap keterbukaan orang Bali dalam menghadapi masyarakat luar

termasuk budaya luar. Hal yang sama juga dikemukakan Mantra (1990: 11)

bahwa kebudayaan Bali, sejak masa lampau hingga kini, senantiasa menunjukkan

dirinya sebagai kebudayaan yang terbuka. Kedua, ramah dan luwes. Masyarakat

Bali digambarkan telah terbiasa menghadapi perbedaan, baik antar kelompok

masyarakat Bali maupun dengan kelompok masyarakat lain. Hal inilah yang

menumbuhkan sifat luwes dan fleksibel masyarakat Bali.

Ketiga, jujur. Kejujuran masyarakat Bali berhubungan erat dengan nilai

keyakinan terhadap salah satu nilai agama Hindu, yakni hukum karma. Meskipun

Page 163: (rtrwp) bali dalam harian bali post

163

saat ini nilai kejujuran ini tengah memudar seiring dengan timbuhnya

penyimpangan yang dilakukan masyarakat Bali, nilai-nilai tersebut masih berlaku

dan diyakini oleh masyarakt Bali. Keempat, kreatif dan estetis. Masyarakat Bali

memiliki sifat kreatif dalam penciptaan budaya dan seni. Hasil kreasi berkesenian

masyarakat Bali yang menjadi daya tarik wisatawan sekaligus menjadikan Bali

semakin dikenal.

Kelima, kolektif. Masyarakat Bali memiliki sifat kolektif yang kuat karena

dilahirkan dan tumbuh dalam sistem sosial yang menekankan kebersamaan dan

sistem interaksi primer dalam adat, kekerabatan, dan sistem kelompok (kasta).

Keenam, kosmologis. Masyarakat Bali sangat memperhatikan keseimbangan,

meliputi keseimbangan antara material dan spiritual, manusia dengan Tuhan,

alam, dan masyarakat sebagaimana tercermin dalam konsep tri hita karana.

Ketujuh, masyarakat Bali digambarkan sebagai masyarakat yang

berbudaya dan religius. Masyarakat Bali sering disibukkan dengan ritual agama

(panca yadnya) yang sangat kompleks. Kedelapan, manusia Bali dianggap

memiliki sifat moderat, yakni sifat yang tidak radikal, tetapi tidak lembek.

Yang paling menonjol di antara beberapa karakteristik masyarakat Bali

adalah kebudayaannya. Selain menjadi sifat dan perilaku hidup masyarakt Bali,

kebudayaan juga menjadi daya tarik wisata yang menjadikan Bali berbeda dengan

destinasi wisata lainnya. Sehubungan dengan itu, sejak 1974, pemerintah daerah

Bali melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 3 memperkenalkan konsep pariwisata

budaya. Dengan konsep pariwisata budaya diharapkan perkembangan pariwisata

Bali akan mengutamakan pengembangan objek wisata yang sebesar-besarnya

Page 164: (rtrwp) bali dalam harian bali post

164

mendukung nilai-nilai budaya masyarakat (Parimartha, 2013: 103).

Pengembangan pariwisata budaya tersebut memiliki tujuan, yakni menciptakan

iklim dan kondisi yang sehat bagi pembangunan kepariwisataan Bali. Di samping

itu, mempertahankan nilai-nilai dan ciri khas kebudayaan, kesucian agama, dan

keindahan alam Bali, mencegah pengaruh-pengaruh buruk yang mungkin

ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan kepariwisataan.

Selain nilai-nilai yang telah dipaparkan, akhir-akhir ini terdapat ungkapan

yang sangat dikenal di Bali, yakni “Ajeg Bali”. Ungkapan ini digunakan secara

luas dalam berbagai pemaknaan. Namun, secara umum, “Ajeg Bali” merupakan

strategi wacana dan strategi kebudayaan yang digunakan masyarakat Bali untuk

menghadapi berbagai tantangan yang merupakan akibat ikutan dari interaksi

dengan budaya luar melalui pariwisata, media massa, termasuk arus manusia.

Atmaja (2010) menyebutkan bahwa slogan ajeg Bali mulai riak-riak

terdengar setelah bom Bali Oktober 2002 yang berdentum di Kuta. Pemahaman

mengenai konsep ajeg Bali pada awalnya tidak begitu jelas, bahkan cenderung

dipahami dengan berbeda-beda. Bali Post kemudian menerbitkan edisi khusus

yang terkait dengan ini pada 16 Agustus 2003 yang sekaligus dikaitkan dengan

edisi khusus ulang tahunnya. Edisi khusus ini kemudian diterbitkan dalam bentuk

buku yang berjudul Ajeg Bali Sebuah Cita-cita (2004).

Ajeg Bali dapat dipamahi dalam tiga tataran. Pertama, tataran individu,

yakni kemampuan manusia Bali untuk memiliki kepercayaan diri kultural. Kedua,

pada tataran lingkungan kultural. Konsep ajeg Bali diharapkan mampu

mendorong terciptanya lingkungan budaya Bali yang bersifat inklusif,

Page 165: (rtrwp) bali dalam harian bali post

165

multikultural, dan selektif terhadap pengaruh luar. Ketiga, pada tataran proses

kultural. Ajeg Bali dipahami sebagai interaksi manusia Bali dengan lingkungan

budaya Bali untuk menciptakan produk-produk atau penanda budaya baru melalui

suatu proses tertentu dengan mempertimbangkan kearifan lokal, nilai budaya,

serta ruang dan waktu (Atmaja, 2012: ix – x).

Dwipayana (2005: 47 – 48) menguraikan bahwa konsep ajeg Bali

didukung dan diperkuat oleh tiga aktor utama yang masing-masing memiliki

silsilah pengetahuan dan basis sosial ekonomi yang berbeda-beda. Pertama adalah

kelompok dengan perspektif konservatisme-romantik. Ciri terpenting pandangan

ini adalah konservatisme dan romantik. Konservatisme mengacu kepada adanya

harapan Bali yang tidak berubah (statis). Perubahan, dalam konteks ini akan

dianggap sebagai gangguan. Di pihak lain, romantik dapat dilihat dari solusi yang

diutamakan dalam menghadapi perubahan, yakni dengan kembali pada pengaturan

tertib sosial yang sudah ada (tradisi-dresta). Sebagai implikasi dari pandangan ini,

ajeg Bali diarahkan untuk menumbuhkan kembali politik kebangsawanan yang

ahir-akhir ini mulai memudar.

Kedua, tafsir ketertiban yang merupakan turunan gagasan fungsionalisme-

struktural. Dalam hubungan ini, masyarakat dan pranata sosial dipandang sebagai

sistem yang seluruh bagiannya saling bergantung dan bekerja sama untuk

menciptakan keseimbangan. Dengan demikian, ketegangan, perbedaan, dan

konflik yang dapat menimbulkan gangguan atas keseimbangan harus dihindari.

Ketiga, kelompok invensi kapitalisme pasar. Dalam konteks ini, konsep

ajeg Bali dianggap sebagai penciptaan pihak tertentu untuk kepentingan ekonomi.

Page 166: (rtrwp) bali dalam harian bali post

166

Ajeg Bali dipandangan sebagai kreativitas aktor modern, baik industri media,

maupun biro perjalanan menggunakan simbol ajeg Bali untuk meraih keuntungan.

Beberapa pandangan mengenai ajeg Bali tersebut hidup dalam masyarakat

Bali dan dimaknai sesuai dengan kapasitas dan kepentingannya. Namun, yang

tidak kalah penting dari konsep tersebut adalah munculnya kesadaran kolektif

masyarakat Bali untuk menghadapi tantangan budaya luar. Naradha (dalam Bali

Post, 2004) mengemukakan: “Konsep ajeg Bali Kami terus wacanakan.

Sasarannya, agar tumbuh kesadaran di kalangan masyarakat Bali untuk senantiasa

menjaga Bali dan membangunnya dalam konteks negara kesatuan republik

Indonesia.”

Naradha (dalam Bali Post, 204: iii) juga menyampaikan bahwa untuk

mencapai ajeg Bali pemerintah daerah Bali, legislatif, yudikatif, pemerintah

daerah kabupaten dan kota harus memiliki kebijakan yang memihak kepada

budaya, lingkungan, dan masyarakat Bali. Selain itu, masyarakat dan pengusaha

bersinergi untuk mendukung hal tersebut.

6.2 Struktur Institusi atau Organisasi

6.2.1 Struktur Organisasi Pers Bali Post

Institusi atau organisasi dapat dipahami sebagai sekumpulan orang yang

memiliki suatu cita-cita atau tujuan usaha bersama, dan upaya pencapaiannya

dilakukan melalui kerja sama struktural (Suhandang, 2004: 43). Organisasi juga

dapat dipahami sebagai hal pembentukan manusia dalam upaya melaksanakan

Page 167: (rtrwp) bali dalam harian bali post

167

atau mencapai hal-hal tertentu yang tidak mungkin dilaksanakan secara individual

(Winardi, 2003: 1).

Dalam rangka mencapai tujuan organisasi diperlukan adanya pengelolaan

atau manajemen organisasi. Berdasarkan beberapa pandangan, Suhandang (2004:

44 – 45) menyampaikan bahwa fungsi-fungsi manajemen yang menjadi aktivitas

organisasiu. Pertama, perencanaan. Perencanaan merupakan pemikiran dan

pertimbangan yang dilakukan berdasarkan fakta dalam merangka mencapai tujuan

organisasi. Kedua, pengorganisasian. Pengorganisasian merupakan penyusunan

struktur, pembangunan fungsi dan posisi bagi orang-orang yang terlibat dalam

pelaksanaan pencapaian tujuan, serta pembagian tugas dan jabatan sesuai dengan

formasi yang tersusun dalam strukturnya. Ketiga, penggerakan. Penggerakan

merupakan kegiatan yang menggerakkan orang beserta fasilitas penunjang agar

penyelenggaraan pencapaian tujuan itu berjalan dengan lancar sesuai dengan yang

telah direncanakan. Keempat, pengawasan atau pengendalian. Pengawasan

merupakan kegiatan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan

rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Selain itu, pengawasan juga berfungsi

untuk menjaga kelancaran kerja dari penyimpangan yang mungkin terjadi.

Organisasi termasuk pers akan membentuk struktur organisasi tertentu

untuk mencapai tujuannya. Struktur dalam organisasi tersebut ditandai dengan

adanya beberapa hal. Satu, herarki yang merupakan susunan tingkatan kewajiban

dan wewenang. Dua, posisi, yakni tempat atau kedudukan untuk melaksanakan

kewajiban dan wewenang. Tiga, fungsi. Fungsi merupakan tugas yang

berhubungan dengan pelaksanaan kewajiban terkait dengan tugas pada bidang

Page 168: (rtrwp) bali dalam harian bali post

168

tertentu. Keempat, peran sosial. Peran sosial merupakan kegiatan yang didasarkan

pada tugas-tugas tertentu. Kelima, norma atau budaya yang merupakaan aturan

pelaksanaan tugas-tugas (Suhandang, 2004: 47).

Pers merupakan organisasi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik.

Jurnalistik dalam konteks ini dipahami sebagai kegiatan pelaporan peristiwa atau

hal kepada khalayak dengan menggunakan media massa sebagai salurannya.

Untuk mencapai tujuan ini, pers, khususnya dalam hal ini surat kabar Bali Post

juga memanfaatkan sistem organisasi. Bali Post juga memiliki struktur organisasi

tertentu yang disertai pembagian tugas, tanggung jawab, dan wewenang dalam

pelaksanaan tugas masing-masing. Keseluruhan bagian organisasi ini menjalankan

fungsi dan perannya masing-masing dalam upaya mencapai tujuan bersama

organisasi.

Selaku produsen, layaknya pers umumnya, Bali Post juga melakukan

kegiatan industri berupa pencarian, pengumpulan, pengolahan, dan penyajian

informasi dalam bentuk produk jurnalistik yang terdiri atas berita, komentar atau

pandangan, dan iklan (Suhandang, 2004: 51). Berdasarkan sifat dan bentuk

produk jurnalistik, terdapat tiga macam informasi, yaitu bersifat visual, seperti

yang terdapat pada surat kabar dan media cetak lain; auditif, seperti informasi

yang disampaikan melalui radio; dan audio visual, seperti yang ditayangkan

melalui televisi. Berdasarkan jenis sifat dan produk jurnalistik ini, Bali Post

merupakan media yang bersifat visual.

Bali Post merupakan surat kabar harian ibu kota Provinsi Bali. Harian Bali

Post merupakan harian terbesar di Kota Denpasar dan merupakan salah satu

Page 169: (rtrwp) bali dalam harian bali post

169

harian terbesar di Bali. Slogan yang diusung oleh Bali Post adalah “Pengemban

Pengamal Pancasila”.

Pemilik surat kabar Bali Post adalah Kelompok Media Bali Post. Koran ini

didirikan oleh Ketut Nadha pada 16 Agustus 1948. Namun, saat itu, nama harian

ini adalah Suara Indonesia yang merupakan cikal bakal adanya Bali Post. Media

ini sempat harus berganti nama menjadi Suluh Indonesia pada tahun 1966 dan

menjadi Suluh Marhaen pada 1 Juni 1966 sampai dengan 1 Mei 1971. Kemudian,

sejak 1 September 1971, Ketut Nadha mendirikan PT Bali Press dan menerbitkan

harian umum Bali Post. Sejak diterbitkan pertama kali, Bali Post menggunakan

slogan dan motto tagline “Pengemban Pengamal Pancasila”.

Sepeninggal Ketut Nadha, kepemimpinan Kelompok Media Bali Post

ditangani oleh putranya, yakni Satria Naradha yang mengembangkan Kelompok

Media Bali Post (KMB) menjadi lebih luas mencapai berbagai segmen, yaitu

mulai dari anak hingga dewasa.

Monopoli kepemilikan sebuah media, seperti yang terjadi pada Bali Post

bukan hal yang asing di Indonesia. Beberapa media nasional, misalnya,

kepemilikannya juga didominasi oleh pihak tertentu. Monopoli kepemilikan ini

tidak selalu berimplikasi negatif bagi pemberitaan media tersebut. Kusumaningrat

(2007: 96 – 97) menyatakan bahwa surat kabar yang kepemilikannya dimonopoli

oleh pihak tertentu hampir selalu kuat secara finansial. Dengan demikian, media

tersebut memiliki sarana untuk mengembangkan dan memelihara standar

pemberitaan dan redaksional secara ideal.

Page 170: (rtrwp) bali dalam harian bali post

170

Di sisi lain, terdapat juga kesadaran bahwa modal akan sangat kuat

memengaruhi arah dan cara pemberitaan. Pada bagian yang berbeda, khususnya

berbicara mengenai pengaruh pemasang iklan terhadap pemberitaan,

Kusumaningrat (2007: 98) menyebutkan bahwa pemasang iklan memiliki peluang

untuk memengaruhi arah pemberitaan. berdasarkan hal tersebut, disarankan agar

media lebih kuat menghadapi pengaruh tersebut karena dengan semakin baiknya

sebuah media massa akhirnya bukan media massa yang membutuhkan iklan,

melainkan iklan yang membutuhkan media massa.

Pandangan mengenai monopoli kepemilikan modal media massa juga

disampaikan oleh Sudibyo (2009: 53). Sudibyo menyatakan bahwa sulit

menjadikan ranah penyiaran sebagai arena pembentukan public civility ketika

pemerintah kembali menjadi penjamin establishment kepentingan modal, ketika

hampir tidak ada kekuatan yang mampu menghambat transformasi ranah

penyiaran sebagai sepenuhnya ranah komersial. Piliang (2009: 133) juga

menyatakan bahwa terdapat dua kepentingan utama di balik media massa, yaitu

kepentingan ekonomi dan kepentingan kekuasaan. Kepentingan ekonomi dan

kekuasaan ini yang akan menjadikan sulit untuk menjalankan fungsinya sebagai

ruang publik yang netral, jujur, dan berimbang.

Ketika media dimonopoli oleh pihak tertentu, wartawan juga akan

mengalami dilema tertentu saat idealisme sebagai wartawan bertentangan dengan

kepentingan pemilik modal. Wibowo (2009: 4) menyebutkan bahwa selalu terjadi

dialektika yang dikotomis antara idealisme wartawan dan institusionalsme pers,

yang sering kali justru mengabaikan idealisme wartawan. Dengan demikian,

Page 171: (rtrwp) bali dalam harian bali post

171

sebagai media yang kepemilikannya didominasi oleh pihak tertentu, Bali Post

cukup potensial untuk dimonopoli oleh pihak tertentu dalam menyampaikan

pandangan dan kepentingannya. Monopoli ini akan berimplikasi pada topik, cara,

serta arah pemberitaan dan isi media secara keseluruhan.

6.2.2 Struktur Pemerintahan Daerah

Indonesia merupakan negara yang terbagi menjadi beberapa provinsi.

Dalam sebuah provinsi terdapat beberapa daerah kabupaten dan kota. Setiap

daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki pemerintahan daerah yang diatur

berdasarkan undang-undang. Pemerintah daerah merupakan penyelenggara urusan

pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan

DPRD provinsi. Sementara pemerintah daerah kabupaten terdiri atas pemerintah

daerah kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota.

Pemerintah daerah, sebagai bagian dari pemerintah pusat, memiliki

kewenangan tertentu yang diatur dalam undang-undang. Urusan wajib yang

menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi merupakan urusan dalam skala

yang meliputi (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) perencanaan,

pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; (3) penyelenggaraan ketertiban umum

dan ketenteraman masyarakat; (4) penyediaan sarana dan prasarana umum; (5)

Page 172: (rtrwp) bali dalam harian bali post

172

penanganan bidang kesehatan; (6) penyelenggaraan pendidikan dan alokasi

sumber daya manusia potensial; (7) penanggulangan masalah sosial lintas

kabupaten/kota; (8) pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; (9)

fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas

kabupaten/kota; (10) pengendalian lingkungan hidup; (11) pelayanan pertanahan

termasuk lintas kabupaten/kota; (12) pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

(13) pelayanan administrasi umum pemerintah; (14) pelayanan administrasi

penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; (15) penyelenggaraan layanan

dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan (16)

urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Selain hal wajib tersebut terdapat pula urusan yang bersifat pilihan. Urusan

pemerintah provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang

secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

sesuai dengan kondisi kekhasan dan potensi keunggulan daerah yang

bersangkutan.

Sementara itu, pasal 22 Undang-Undang Nomor 32, Tahun 2004 tentang

pemerintahan daerah menyebutkan dalam penyelenggaraan otonomi, daerah

mempunyai sejumlah kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah (1)

melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional,

serta keutuhan negara Republik Indonesia; (2) meningkatkan kualitas kehidupan,

masyarakat; (3) mengembangkan kehidupan demokrasi; (4) mewujudkan keadilan

dan pemerataan; (5) meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; (6) menyediakan

fasilitas layanan kesehatan; (7) menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum

Page 173: (rtrwp) bali dalam harian bali post

173

yang layak; (8) mengembangkan sistem jaminan sosial; (9) menyusun

perencanaan dan tata ruang daerah; (10) mengembangkan sumber daya produkktif

daerah; (11) melestarikan lingkungan hidup; (12) mengelola administrasi

kependudukan; (13) melestarikan nilai sosial budaya; (14) membentuk dan

menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan

(15) kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

6.2.3 Struktur Desa Adat

Parimartha (2013:24) menyatakan bahwa ada dua klasifikasi pokok yang

menjadikan munculnya kelompok masyaraat desa, yakni (1) prinsip hubungan

kekerabatan atau genealogis dan (2) prinsip hubungan tinggal dekat atau terirotial.

Namun, ahli antropologi Koentjaraningrat menambahkan bahwa masih ada dua

prinsip hubungan yang lain, yakni (3) prinsip tujuan khusus, yang tidak

disebabkan oleh hubungan kekerabatan atau tinggal dekat, tetapi karena

kebutuhan lain dan (4) adalah prinsip hubungan yang datang dari atas

(pemerintah) atau raja.

Prinsip hubungan yang keempat merupakan prinsip hubungan yang

menyebabkan adanya desa dinas di Bali. Desa dinas merupakan bagian terkecil

pemerintah negara Indonesia yang dibentuk untuk kepentingan pemerintah.

Sementara itu, desa adat yang dikenal di Bali didasari oleh prinsip hubungan

kekerabatan dan prinsip hubungan tinggal dekat.

Di Bali terdapat dua organisasi desa yang berbeda secara substansial dan

fungsional, yaitu desa adat dan desa dinas. Masing-masing mempunyai struktur

Page 174: (rtrwp) bali dalam harian bali post

174

dan fungsi sendiri, sehingga sifat keterikatan anggota masyarakat terhadap

organisasi itu berbeda pula. Gorda (1999: 2) menyatakan bahwa fungsi utama

desa adat adalah mengonsepsikan dan mengaktifkan upacara keagamaan untuk

memelihara kesucian desa. Pura khayangan tiga merupakan salah satu unsur yang

mengikat rasa kesatuan warga desa adat. Orang Bali yang tidak beragama Hindu

meskipun bertempat tinggal di wilayah teritorial sebuah desa adat, tidak bisa

menjadi anggota desa adat. Warga tersebut hanya dapat menjadi anggota dari

desa dinas.

Setiap desa adat memiliki awig-awig desa adat yang merupakan

peraturan dan ketentuan dasar yang menjadi pedoman perilaku seluruh krama

desa adat di dalam kehidupan bersama (Gorda, 1999: 2). Dalam penyusunan

awig-awig desa adat, sangkep krama desa adat harus berpedoman pada catur

dresta (empat ketentuan). Pertama, sastra dresta yang merupakan ketentuan-

ketentuan yang bersumber dari ajaran agama Hindu. Kedua, purwa dresta, yaitu

ketentuan-ketentuan yang bersumber dari tradisi atau kebiasaan yang masih

berlaku; Ketiga, loka dresta merupakan ketentuan-ketentuan yang bersumber dari

pandangan-pandangan atau saran-saran krama desa adat. Keempat, desa dresta

merupakan ketentuan-ketentuan yang bersumber dari pandangan yang berlaku

khusus di lingkungan desa adat yang bersangkutan.

Gorda (1999: 3) menyampaikan bahwa tugas desa adat meliputi hal-hal

berikut. Pertama, mengatur hubungan antara krama desa adat dan pura

khayangan tiga milik desa adat. Kedua, mengatur pelaksanaan upacara

keagamaan (panca yadnya) termasuk mengatur pernggunaan kuburan. Ketiga,

Page 175: (rtrwp) bali dalam harian bali post

175

menanamkan nilai-nilai agama Hindu dan budaya melalui sangkep desa adat.

Keempat, mengorganisasikan krama desa adat dalam pembangunan desa adat

termasuk pemeliharaan tempat suci milik desa adat, dan mendamaikan

perselisihan di antara sesama krama desa adat. Kelima, mengurus tanah dan

memelihara barang milik desa adat. Keenam sekaligus yang terakhir adalah

menetapkan hukuman bagi krama desa adat yang melanggar awig-awig desa adat

beserta pasuaran (peraturan pelaksanaannya).

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa desa adat

khususnya di Bali memiliki wewenang yang cukup besar di wilayahnya dan atas

wilayah yang menjadi bagiannya. Dengan demikian, pemanfaat kawasan desa

untuk hal tertentu oleh pemerintah, baik tingkat kabupaten maupuan provinsi

memerlukan koordinasi dengan pihak desa adat.

6.3 Hubungan Antarkelompok

Pada bagian ini, diuraikan hubungan antarkelompok yang menjadi subjek

atau terlibat dalam berita RTRWP dianalisis. Kelompok-kelompok diuraikan

adalah Bali Post, pemerintah provinsi Bali yang dikepalai oleh Gubernur Mangku

Pastika, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Bali, dan akademisi.

Bali Post merupakan salah satu lembaga pers terbesar di Bali. Bali Post

memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk persepsi masyarakat Bali

dalam memahami sesuatu, termasuk RTRWP Bali. Sebagai surat kabar yang lahir

dan tumbuh di Bali, Bali Post sangat fokus memberitakan hal yang menyangkut

kepentingan Bali dan masyarakatnya dengan perspektif menjaga Bali dengan

Page 176: (rtrwp) bali dalam harian bali post

176

slogan yang dikenal sebagai ajeg Bali. Sebagai bentuk nyata perhatian Bali Post

terhadap prinsip ini, diterbitkan buku yang berjudul Ajeg Bali oleh Bali Post pada

2004.

Buku lain yang juga diterbitkan Bali Post adalah Bali Menuju Jagaditha:

Aneka Perspektif pada tahun yang sama, yaitu 2004. Dalam pengantar buku yang

mengatasnamakan penerbit Pustaka Bali Post disebutkan sebagai berikut.

“Hal dominan yang dominan kami (Bali Post) sejak dua tahun terakhiradalah memperkenalkan strategi kultural Ájeg Bali untuk memancing kesadaranmasyarakat untuk membawa Bali menuju gerak harmonis ke depan tanpakehilangan jati diri berdasarkan nilai agama, adat, dan budaya” (Putra (ed), 2004:v – vi).

Melalui pengantar ini, Bali Post secara terbuka menyampaikan tujuan atau

prinsip dalam melaksanakan kegiatan pers. Tujuannya adalah Bali yang jagadhita.

Jagadhitha merupakan bagian dari tujuan agama Hindu, yakni Moksartham

Jagadhita Ya Ca Iti Dharmah yang berarti tujuan agama adalah untuk mencapai

jagadhita dan moksa. Moksa merupakan kebebasan jiwatman atau disebut juga

mencapai kebahagiaan rohani yang langgeng setelah meninggal. Sementara,

jagadhita merupakan kemakmuran dan kebahagiaan, baik setiap orang,

masyarakat, maupun negara.

Dengan pandangan seperti itu, Bali Post mendasarkan perspektif

pemberitaannya pada pandangan ajeg Bali, agama Hindu, tetapi tetap dalam

bingkai Pancasila yang menjadi motonya, Pengemban Pengamal Pancasila.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Bali Post memberitakan dan

mencitrakan secara negatif pihak yang dianggap akan mengancam keajegan Bali,

termasuk pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Bali.

Page 177: (rtrwp) bali dalam harian bali post

177

Berdasarkan empat berita yang dianalisis dalam penelitian ini, dapat

disimpulkan bahwa Bali Post memiliki posisi yang berseberangan dengan

Gubernur Bali, Mangku Pastika. Dalam empat berita tersebut, Gubernur Bali atau

hal yang terkait dengan Gubernur Bali hanya muncul sekali dalam pemberitaan,

yakni hanya pada berita kedua, paragraf 5. Dalam berita yang berjudul “Revisi

Perda RTRW Inisiatif Eksekutif” tersebut, gubernur dicitrakan secara negatif.

Pencitraan negatif gubernur pada berita kedua dilakukan dengan menggambarkan

gubernur sebagai inisiator RTRW dengan dalih sanksi yang diatur dalam perda

sangat lemah. Namun, pada bagian berikutnya diberitakan bahwa berdasarkan dua

kali sosialisasi yang dilakukan pemerintah provinsi, sebagian besar yang diundang

menyatakan revisi ini tidak lebih baik daripada perda sebelumnya. Ada pula yang

menyebutkan bahwa revisi yang diajukan eksekutif merupakan suatu kemunduran

karena mengandung “pasal bisnis” yang memberikan peluang kepada investor

untuk merambah kawasan yang selama ini disakralkan. Selain itu, pemerintah

juga digambarkan secara negatif, khususnya terhadap Ketua Bappeda Bali Nengah

Suarca yang memberikan jawaban normatif mengenai prosedur penyusunan

RTRWP. Namun, ketika ditanya mengenai adanya “pasal bisnis” dalam RTRWP

tidak menjawab secara terperinci.

Pada berita ketiga juga terdapat penggambaran secara negatif terhadap

pemerintah, khususnya Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar)

Buleleng, I Putu Tastra Wijaya, yang membenarkan adanya penyimpangan

penerapan perda RTRW di wilayah Air Sanih, Tejakula, Buleleng. Dengan

demikian, masyarakat digiring untuk memahami bahwa RTRWP yang ada

Page 178: (rtrwp) bali dalam harian bali post

178

memang tidak baik untuk kepentingan Bali dan pemerintah belum mampu

merealisasikannya dengan baik.

Secara konsisten dalam setiap berita, Bali Post menggambarkan RTRW

yang diajukan eksekutif secara negatif. Selain menggunakan strategi bahasa, dapat

juga diamati berdasarkan pihak yang dihadirkan dalam teks berita. Pihak yang

dihadirkan secara positif dan ditonjolkan adalah pihak-pihak yang menentang atau

tidak setuju dengan RTRW yang diajukan eksekutif serta paparan mengenai

penerapan RTRW yang tidak maksimal.

Pihak-pihak yang dihadirkan dalam berita dan dicitrakan secara positif

adalah Kepala Pusat Lingkungan Hidup Bali Nusra, DPRD Provinsi Bali, dan

akademisi. Kepala Pusat Lingkungan Hidup Bali Nusra hadir pada berita pertama,

bahkan dalam teras berita, yakni “Munculnya pasal-pasal “bisnis” pada Ranperda

RTRWP Bali rupanya dikritisi juga oleh Kepala Pusreg Lingkungan Hidup Bali

Nusra, Ir. R. Sudirman, M.M. Dihubungi Kamis (16/4) kemarin, ia mengaku

sudah mendengar paparan masalah RTRWP di Gedung DPRD Bali. ‘Saya

berharap jangan sampai perda ini disusun hanya mempertimbangkan kepentingan

ekonomi yang pada akhirnya merugikan kepentingan penyelamatan alam. Antara

aspek ekonomi dan penyelamatan alam Bali harus balance,’ tegasnya.” Penyataan

ini dikutip, bahkan digunakan sebagai teras berita karena menentang kebijakan

yang diajukan oleh pemerintah Provinsi Bali.

DPRD dihadirkan secara positif di dalam berita juga karena mendukung

opini bahwa RTRW bukanlah perda yang baik untuk kepentingan Bali. DPRD

muncul pada berita kedua, bahkan dalam teras berita, yakni “Revisi Perda

Page 179: (rtrwp) bali dalam harian bali post

179

RTRWP Bali kini banyak disorot, sebab, dinilai banyak pasal “bisnis”, pasal

pesanan, dan ranperda yang tidak lagi mengakomodasi kearifan lokal Bali.

Sorotan ini tak hanya datang dari pemerhati. Anggota DPRD Bali pun

mengkhawatirkan. Bila revisi Ranperda RTRWP ini lolos, diyakini akan merusak

Bali yang kini telah bopeng dan “sesak napas” karena kehadiran investasi yang

tak lagi mengindahkan, baik Perda RTRW No.3/2005 maupun Bhisama PHDI.”

Dengan kutipan tersebut, DPRD dicitrakan secara positif karena menentang

RTRWP dengan alasan RTRWP mengandung pasal-pasal yang sengaja dibuat

untuk kepentingan kelompok tertentu, tidak mengakomodasi kearifan lokal, dan

bisa merusak Bali.

Pihak yang juga dihadirkan secara positif dalam berita adalah akademisi.

Akademisi hadir pada berita pertama dan keempat. Pada berita pertama akademisi

yang dihadirkan adalah ahli geomorfologi Unud, R. Suyarto, yang menyarankan

agar masyarakat dilibatkan dalam membuat aturan terhadap wilayah. Terdapat dua

kutipan pernyataan Suyarto yang menunjukkan bahwa tidak ada pertimbangan

ilmiah dalam menentukan kelayakan investasi. Ada kecenderungan kepentingan

ekonomi mengalahkan agenda penyelamatan bumi Bali. Di samping itu, perlu

adanya sebuah evaluasi yang utuh atas pengelolaan Bali dari sisi aturan dan

implementasi.

Page 180: (rtrwp) bali dalam harian bali post

180

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan yang telah disampaikan

pada bab sebelumnya, pada bab ini disampaikan simpulan yang berkaitan dengan

permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini dan saran yang berhubungan

dengan penelitian ini. Adapun simpulan dan saran yang dimaksud adalah sebagai

berikut.

7.1 Simpulan

Pertama, berita-berita tentang Rancangan Tata Ruang Wilayah Provinsi

(RTRWP) Bali dalam harian Bali Post dibuat dengan struktur yang mencitrakan

secara negatif RTRWP dan yang mengusulkannya, yakni pemerintah Provinsi

Bali, khususnya Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Sebaliknya, yang

menentang RTRWP dihadirkan secara positif di dalam berita, bahkan menjadi

fokus pemberitaan dengan dijadikan teras berita atau mendapat porsi besar dalam

berita. Struktur teks yang mengandung keberpihakan tersebut berada pada tatara

struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro.

Pada sruktur makro, pemilihan tema dan topik yang menggiring

pemahaman pembaca untuk memahami informasi dengan cara tertentu sudah

tampak pada judul berita. Subtopik yang tersaji pada bagian story atau tubuh

berita mengandung informasi yang menjadi rincian serta argumen atas informasi

yang disampaikan dalam judul yang menjadi topik.

180

Page 181: (rtrwp) bali dalam harian bali post

181

Superstruktur berita-berita RTRWP Bali merepresentasikan arah

pemberitaan yang telah tersirat pada struktur makro. Pemilihan summary yang

meliputi judul dan teras berita, serta story yang meliputi penyampaian peristiwa

utama, konsekuensi, konteks, historis, harapan, evaluasi, dan evaluasi verbal

disesuaikan dengan pilihan struktur makro atau makna global berita tersebut.

Dengan demikian, berita-berita tentang RTRWP Bali pada harian Bali Post

memiliki supertruktur yang mencitrakan RTRWP Bali serta pemerintah provinsi

Bali secara negatif.

Struktur mikro yang meliputi sintaksis, leksikon, koherensi, dan retorik

juga merepresentasikan makna global berita. Pemilihan bentuk sintaksis

merupakan cara wartawan dalam menonjolkan serta menyembunyikan pelaku,

atau merupakan strategi untuk menekankan dan menyamarkan informasi tertentu.

Pemilihan leksikon, bentuk koherensi, dan praanggapan juga merupakan strategi

wartawan untuk membentuk dan mengarahkan persepsi pembaca sehingga

pembaca memiliki persepsi negatif tentang RTRWP Bali dan pemerintah provinsi

Bali.

Kedua, kognisi sosial yang dicerminkan dalam berita RTRWP dalam

harian Bali Post meliputi pengetahuan kelompok, pengetahuan nasional, dan

pengetahuan kebudayaan. Yang tergolong pengetahuan kelompok, seperti krama,

keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keselamatan alam Bali, bhisama,

PHDI, dan Pura khayangan jagat.

Yang tergolong pengetahuan nasional, antara lain pasal, RTRWP, Bali,

ranperda, DPRD Bali, sanksi, perda, RTRW, Bali, eksekutif, UU, biro, HAM,

Page 182: (rtrwp) bali dalam harian bali post

182

ODTWK, ketentuan pembangunan di kawasan ODTWK, gubernur, bupati/wali

kota. Sementara itu, pengetahuan kebudayaan yang terdapat dalam berita-berita

tentang RTRWP di harian Bali Post, antara lain praktik membijaksanai aturan,

pertimbangan ilmiah, kearifan lokal Bali, Danau Buyan, bukit/lereng bukit,

menyiasati aturan dan ketentuan.

Penggunaan jenis-jenis pengetahuan dalam berita mengenai RTRWP Bali

pada harian Bali Post menggambarakan kognisi sosial yang tersirat dalam berita.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa harian Bali Post merupakan surat

kabar yang menganut ideologi Pancasila dalam pemberitaannya, namun tidak

terlepas dari ideologi kelompok tempat surat kabar tersebut diproduksi dan

dikonsumsi, yakni budaya Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu.

Ketiga, konteks sosial yang digambarkan berita-berita tentang RTRWP

Bali di harian Bali Post, meliputi Pancasila, nilai lokal masyakarat Bali, struktur

organisasi Bali Post, struktur organisasi pemerintah daerah Provinsi Bali, struktur

desa adat, serta hubungan antara Bali Post, gubernur, DPRD Provinsi Bali, dan

akademisi. Pancasila relevan sebagai konteks sosial mengingat negara Indonesia

menganut ideologi Pancasila dan dasar negara. Di samping itu, Bali Post juga

menggunakan Pancasila sebagai moto “Pengemban Pengamal Pancasila”. Hal ini

dapat diamati dengan adanya argumen-argumen berdasarkan undang-undang,

perda, gubernur, bupati/wali kota yang menjadi ciri nilai-nilai Pancasila dan nilai

demokrasi yang menjadi bagiannya. Nilai lokal masyarakat Bali sangat tampak

dalam pemberitaan, yaitu dengan munculnya berita tentang konsep tri hita

karana, ajeg Bali, krama, PHDI, desa adat, bhisama, dan kearifan lokal Bali.

Page 183: (rtrwp) bali dalam harian bali post

183

Berdasarkan pengamatan terhadap berita-berita tersebut, diketahui

hubungan antara Bali Post, Gubernur Bali, DPRD, dan akademisi yang tampak

melalui strategi wacana yang terdapat dalam berita. Bali Post sebagai media yang

independen dan mengusung ideologi Pancasila pada satu sisi, dan prinsip ajeg

Bali pada sisi lain menggunakan kedua hal tersebut untuk mencitrakan secara

negatif pemerintah Provinsi Bali, khususnya Gubernur Bali, baik dari sisi hukum

yang berdasarkan Pancasila dan undang-undang maupun dari segi nilai lokal dan

keyakinan masyarakat Bali. Dalam berita dihadirkan pula pernyataan yang dikutip

secara langsung ataupun tidak langsung anggota DPRD dan akademisi mengenai

topik yang diberitakan. Keseluruhan pernyataan DPRD dan akademisi tersebut

mendukung pandangan bahwa RTRWP yang diajukan Gubernur Bali tidak baik

untuk kepentingan Bali.

7.2 Saran

Analisis wacana kritis dengan menggunakan teori analisis wacana kognisi

sosial yang dikemukakan van Dijk yang dilaksanakan masih perlu

disempurnakan. Pada kesempatan ini, ada beberapa saran yang dapat

dikemukakan.

Pertama, pengetahuan yang utuh mengenai teori yang diterapkan menjadi

hal yang mendasar. Upaya memisahkan atau menerapkan sebagian saja dari teori

ini akan mengurangi esensi teori ini. Selain itu, pengetahuan mengenai konteks

sosial tempat teks itu dibuat dan dibaca juga penting untuk dianalisis dengan lebih

baik.

Page 184: (rtrwp) bali dalam harian bali post

184

Kedua, untuk melakukan analisis secara lebih komprehensif, jumlah teks

yang dianalisis perlu ditingkatkan lagi. Tujuannya adalah agar simpulan

penelitian lebih reliabel dan valid.

Ketiga, jika dimungkinkan akan baik juga dilakukan metode pengumpulan

data melalui wawancara dengan pemroduksi teks. Tujuannya adalah untuk

mengetahui kognisi sosial yang terdapat pada kesadaran pemroduksi teks

meskipun hal ini tidak mutlak dilakukan. Hasil wawancara tersebut dapat menjadi

informasi tambahan mengenai kognisi sosial pemroduksi teks selain yang

diperoleh dari analisis terhadap teks.