20
LAPORAN KASUS Kepada Yth. : Dipresentasikan pada: Hari/Tanggal : Jam : SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE LEPROMATOUS YANG AWALNYA DIDUGA SEBAGAI SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS Oleh : dr. Putu Nila Wardhani Batan Pembimbing : Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/ RSUP SANGLAH DENPASAR 2016 Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV (Pembimbing)

SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

0

LAPORAN KASUS Kepada Yth. :

Dipresentasikan pada:

Hari/Tanggal :

Jam :

SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE

BORDERLINE LEPROMATOUS YANG AWALNYA

DIDUGA SEBAGAI SYSTEMIC LUPUS

ERYTHEMATOSUS

Oleh :

dr. Putu Nila Wardhani Batan

Pembimbing :

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/

RSUP SANGLAH DENPASAR

2016

Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV

(Pembimbing)

Page 2: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

1

PENDAHULUAN

Morbus Hansen (MH) atau yang dikenal pula sebagai kusta adalah sebuah penyakit

infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Micobacterium leprae (M.

leprae).1,2 Morbus Hansen merupakan suatu penyakit menular yang menimbulkan

masalah yang kompleks tidak hanya dari segi medis, tapi juga mempengaruhi

kehidupan sosial penderita karena adanya stigma yang buruk dari masyarakat.3

Prevalensi MH bervariasi pada berbagai negara di seluruh dunia. World

Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 213.899 kasus MH baru dari 121

negara di dunia tahun 2014, dengan angka prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk.4

Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga di dunia setelah India, dan Brazil

dengan jumlah kasus MH baru sebanyak 17.025 kasus pada tahun 2014 dan 14.213

kasus diantaranya merupakan kasus MH tipe multibasiler (MB) baru.4 Di Indonesia

penderita MH terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang

tidak merata. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013 mencatat adanya

84 kasus baru MH (75 kasus merupakan MH tipe MB) dengan angka penemuan

kasus baru sebesar 2,07 per 100.000 penduduk.5 Di Poliklinik Kulit dan Kelamin

RSUP Sanglah terdapat 107 kasus MH baru dari tahun 2013-2015 dengan 43 kasus

merupakan kasus MH tipe borderline-lepromatous (BL) baru.6

Morbus Hansen merupakan sebuah penyakit infeksi kronis dengan ranah

manifestasi klinis dan serologis yang luas. Manifestasi klinis MH bervariasi dari

lesi kulit atau saraf tunggal hingga keterlibatan integumen dan organ sistemik.7

Manifestasi klinis kusta yang bervariasi tersebut menyebabkan penyakit ini

memiliki julukan “the great imitators” dikarenakan oleh penyakit ini sering sekali

disangka dan dikelirukan dengan berbagai penyakit lainnya. Morbus Hansen sejak

lama telah diketahui memiliki kaitan dengan timbulnya auto-antibodi dan gejala

klinisnya menyerupai penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus

(SLE). Perjalanan klinis MH yang multisistemik kadang sulit dibedakan dengan

SLE. Sayangnya, karena berbagai kemiripan tersebut, terkadang klinisi gagal

membedakan MH dengan penyakit lainnya, sehingga terjadi keterlambatan untuk

menegakkan diagnosis yang tepat. Maka dari itu, diagnosis MH sering kali

ditegakkan pada stadium lanjut saat telah terjadi perluasan penyakit.8

Page 3: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

2

Kurangnya kecurigaan klinis dan pengetahuan histologis MH dapat

menghambat penegakkan diagnosis dan pengobatan yang tepat pada pasien.

Diagnosis dan pengobatan dini sangatlah penting untuk mencegah atau membatasi

perkembangan penyakit dan menurunkan risiko penularan penyakit. Kemiripan

klinis dan serologis antara pasien MH dengan SLE dapat menyebabkan

misdiagnosis. Pengenalan yang baik terhadap manifestasi klinis MH sangatlah

penting dalam hal ini. Kewaspadaan klinisi terhadap penyakit ini sangatlah

diperlukan untuk memulai terapi secara dini dan tepat.8

Kasus ini dilaporkan untuk meningkatkan kewaspadaan klinisi mengenai

manifestasi klinis MH yang bervariasi tersebut dapat menyerupai penyakit lain

seperti SLE. Pengenalan manifestasi klinis MH secara dini dan cermat akan

menurunkan angka misdiagnosis penyakit MH dan untuk memulai pengobatan

yang tepat secara dini.

KASUS

Seorang laki-laki, usia 44 tahun, suku Bima, Warga Negara Indonesia, dengan

nomor rekam medis 16.00.63.94 datang ke Subdivisi Imunologi Poliklinik Kulit

dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 2 Maret 2016 dengan keluhan

utama terdapat bercak kemerahan di wajah. Pasien merupakan rujukan dari

Poliklinik Penyakit Dalam dengan diagnosis suspek SLE.

Pasien mengeluh muncul bercak kemerahan pada kedua pipi sejak 2 bulan

yang lalu. Awalnya bercak kemerahan berukuran kecil, semakin lama semakin

melebar, dan menyebar ke tangan dan kaki. Bercak kemerahan tidak dikeluhkan

gatal dan nyeri. Bercak kemerahan kemudian menyebar ke dada, punggung, dan

ekstremitas. Sejak 2 bulan yang lalu, pasien mengeluh cepat lelah dan badan terasa

lemas. Pasien juga mengeluhkan kulit wajahnya menjadi lebih cepat merah bila

terpapar sinar matahari sejak 2 bulan yang lalu. Riwayat sariawan berulang pada

bibir sejak 2 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluh rasa kesemutan dan

terasa kaku pada jari-jari tangan dan kaki. Riwayat panas badan berulang, nyeri

sendi, dan penurunan berat badan disangkal. Keluhan penglihatan kabur, nyeri pada

mata, mata merah, kerontokan alis mata juga disangkal.

Page 4: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

3

Riwayat penyakit dahulu mendapatkan pasien belum pernah menderita

keluhan serupa. Pasien sudah pernah memeriksakan diri di RSUD Bima 1 bulan

yang lalu dan didiagnosis suspek SLE. Pasien kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah

untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Riwayat penyakit sistemik seperti

hipertensi, diabetes, asma, penyakit jantung, ginjal, dan hati disangkal oleh pasien.

Riwayat pengobatan didapatkan bahwa pasien diberikan parasetamol 500

mg setiap 8 jam per oral dan multivitamin 1 tablet setiap 24 jam per oral di RSUD

Bima. Riwayat mengoleskan krim atau minyak tradisional pada bercak kemerahan

tersebut disangkal oleh pasien.

Riwayat penyakit pada keluarga, dikatakan tidak ada yang menderita

penyakit kusta pada keluarga. Riwayat penyakit sistemik seperti diabetes, asma,

penyakit jantung, dan SLE pada keluarga disangkal. Tetangga pasien ada yang

menderita kusta dan sedang mengkonsumsi obat paket. Pasien sering berkunjung

ke rumah tetangganya tersebut untuk bersilaturahmi. Riwayat sosial, pasien saat ini

bekerja sebagai guru SD dengan pendidikan terakhir S1.

Pemeriksan fisik ditemukan keadaan umum penderita baik, kesadaran

kompos mentis, berat badan 65 kg, tinggi badan 165 cm, tekanan darah 120/80

mmHg, denyut nadi 82x/menit, frekuensi pernafasan 20x/menit, temperatur aksila

360C. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan kepala normosefali, pada mata

tidak didapatkan adanya hiperemia, tanda anemia serta ikterus pada konjungtiva,

tidak ditemukan adanya lagoftalmus, reflek kornea didapatkan normal, pupil

tampak isokor, reflek cahaya positif, dan tidak ditemukan adanya madarosis.

Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan didapatkan kesan tenang, tidak

didapatkan adanya infiltrat pada telinga dan kelainan deformitas pada hidung. Pada

leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan rongga

mulut tidak ditemukan adanya ulkus. Pada pemeriksaan toraks didapatkan suara

jantung S1 dan S2 tunggal, reguler, tidak terdapat murmur. Suara nafas paru-paru

vesikuler, tidak ditemukan adanya rhonki ataupun wheezing. Pada pemeriksaan

abdomen, hepar, dan lien tidak teraba, bising usus dalam batas normal, tidak

didapatkan distensi abdomen. Ekstremitas atas dan bawah teraba hangat, tidak

terdapat edema pada kedua tungkai bawah.

Page 5: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

4

Status dermatologis, lokasi pada kedua pipi, thorakoabdominal, punggung,

ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra didapatkan effloresensi berupa

makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran

bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan tampak halus dan berkilat, dengan distribusi

bilateral hampir simetris (Gambar 1).

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis suspek

SLE. Penatalaksanaan yang diberikan adalah desoksimetason 0,25% krim topikal

setiap 12 jam. Pasien direncanakan untuk melakukan biopsi kulit pada lesi. Belum

ada penatalaksaan spesifik lain yang diberikan sambil menunggu hasil pemeriksaan

histopatologi untuk menegakkan diagnosis. Penderita diberikan komunikasi,

informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit, rencana biopsi kulit, dan cara

penggunaan obat.

Dari Bagian Penyakit Dalam, pasien didiagnosis dengan suspek SLE yang

memenuhi 3 dari 11 kriteria American College of Rheumatology (ACR) yaitu

(malar rash, fotosensitivitas, dan riwayat ulkus mulut). Pasien diberikan terapi

Gambar 1a-h. Tampak lesi berupa makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak

tegas, permukaannya halus berkilat, dengan distribusi bilateral hampir simetris pada daerah wajah,

thorakoabdominal, punggung, dan ekstremitas.

1a 1b 1c 1d

1c

1e 1f 1g

1f

1f

Page 6: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

5

berupa parasetamol 500 mg setiap 8 jam per oral, dan direncanakan melakukan

pemeriksaan darah berupa darah lengkap, fungsi hati (SGOT dan SGPT), fungsi

ginjal (BUN dan SC), gula darah acak, antinuclear antibody-indirect

immunofluorescence (ANA-IF), dan profil antinuclear antibody (ANA). Pasien

dikonsulkan ke Bagian Kulit dan Kelamin untuk dilakukan biopsi kulit.

PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI KE-14, 15 Maret 2016)

Pasien dikonsulkan dari Subdivisi Imunologi Poliklinik Kulit dan Kelamin ke

Subdivisi MH dan membawa hasil biopsi dengan kesimpulan gambaran morfologi

sesuai untuk MH tipe BL. Pasien mengeluh terdapat bercak kemerahan baru pada

pergelangan tangan kiri yang muncul sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh

bercak pada kulitnya terasa tebal dan mati rasa. Bercak kulit tidak terasa gatal

ataupun nyeri. Pasien juga mengeluh kesemutan pada kedua tangan dan kaki.

Demam, lemas badan, penurunan berat badan, dan nyeri sendi disangkal.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos

mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, frekuensi pernafasan

18 x/menit, temperatur aksila 36,50C. Status generalis masih sama seperti

sebelumnya.

Status dermatologis, lokasi pada kedua pipi, thorakoabdominal, punggung,

ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra didapatkan effloresensi berupa

makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran

bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan tampak halus dan berkilat, dengan distribusi

bilateral hampir simetris (Gambar 2).

Pada pemeriksaan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu pada seluruh lesi

didapatkan mengalami penurunan. Terdapat pula penurunan sensibilitas rasa raba,

nyeri, dan suhu pada dorsum manus dan pedis dekstra dan sinistra. Pemeriksaan

sensoris dengan monofilamen juga ditemukan mengalami penurunan (pada kedua

dorsum dan plantar manus didapatkan warna ungu dengan nilai 2,0 gf dan pada

kedua dorsum dan plantar pedis didapatkan warna merah tua dengan nilai 4,0 gf)

Pada pemeriksaan voluntary muscle test tidak ditemukan adanya kelemahan otot.

Tidak didapatkan adanya penebalan saraf. Pada pasien terdapat penurunan fungsi

Page 7: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

6

saraf otonom karena mengalami penurunan berkeringat pada telapak tangan dan

kaki serta kulit pada tangan dan kaki tampak kering.

Diagnosis banding pasien adalah MH tipe borderline-lepromatous DD/

SLE. Pemeriksaan penunjang berupa hapusan sayatan kulit (slit skin smear) dengan

pewarnaan Ziehl-Neelson yang dilakukan pada cuping telinga kanan ditemukan

basil tahan asam (BTA) 2-5/10 lapang pandang (lp) yang fragmented, pada cuping

telinga kiri ditemukan (BTA) 11-15/1 lp dalam bentuk fragmented dan granuler,

kelainan lesi kulit yang aktif (pada ankle sinistra) ditemukan BTA 11-15/1 lp dalam

bentuk fragmented dan granuler, serta jari tengah ruas kedua tangan kanan

ditemukan kuman BTA 2-5/10 lp dalam bentuk fragmented. Indeks bakterial (IB)

penderita adalah (2+4+4+2)/4 = 3+ dengan indeks morfologi (IM) = 0.

Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 3 Maret 2016 didapatkan

leukosit 10,33 103/μL (4,10-11,0); neutrofil 7,40 103/μL (2,50-7,50); limfosit 3,07

Gambar 2a-f. Tampak lesi berupa makula eritema multipel, batas tegas, bentuk bulat-

geografika, permukaan halus berkilat, dengan distribusi hampir simertris yang serupa dengan

lesi saat dilakukannya pengamatan pertama.

2a 2b

2c

2a

2d

2a

2e

2a

2f

Page 8: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

7

103/μL (1,00-4,00); monosit 0,98 103/μL (0,10-1,20); eosinofil 0,01 103/μL (0,00-

0,50); basofil 0,052 103/ μL (0,0-0,1); eritrosit 4,59 103/μL (4,0-5,2); hemoglobin

13,6 g/dL (13,5-17,5); hematokrit 37,69% (36,00-46,00); trombosit 272,40 103/μL

(150,0-440,0). Pada pemeriksaan kimia klinik diidapatkan SGOT 25,20 (11-33);

SGPT 46,80 (11-50); BUN 15,00 mg/dL (8,00-23,00); kreatinin 0,85 mg/dL (0,70-

1,20); glukosa darah sewaktu 91 mg/dL (70,00-140,00). Urinalisis mendapatkan

specific gravity 1,020 (negatif), pH 7,40 (7,35-7,45), tidak ditemukan adanya

leukosit, nitrit, protein, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, dan eritrosit, serta

sedimen urin didapatkan leukosit 1-2 (<6), eritrosit 1-2 (<3), epitel 0-1, namun tidak

ditemukan adanya bakteri dan kristal. Pemeriksaan ANA-IF mendapatkan hasil

positif pola nucleoplasm granular/speckled dengan titer 1:100. Hasil pemeriksaan

profil ANA mendapatkan hasil negatif untuk antidouble stranded-DNA (anti-

dsDNA), antigen RNP/Sm, Sm, SS-A native, Ro-52 recombinant, SS-B, Scl-70,

PM-Scl100, Jo-1, Centromere B, PCNA, Nucleosomes, Histones, ribosomal P-

protein, dan AMA-M2.

Hasil pemeriksaan histopatologi pada sediaan biopsi kulit yang diambil

pada lesi aktif di daerah antebrachii sinistra menunjukkan bahwa bagian epidermis

dilapisi epitel permukaan skuamosa berlapis tanpa tanda atipia. Pada bagian

subepidermis tampak gambaran grenz zone positif, serta tampak beberapa fokus

granuloma yang terdiri dari makrofag, limfosit, dan sel epiteloid. Tampak pula

gambaran basil tahan asam. Gambaran morfologi tersebut sesuai untuk MH tipe BL

(Gambar 3).

Gambar 3a-c. Pemeriksaan histopatologis mendapatkan pada bagian subepidermis tampak

gambaran grenz zone positif, dan tampak beberapa fokus granuloma yang terdiri dari makrofag,

limfosit, dan sel epiteloid. Tampak pula gambaran basil tahan asam.

3a

2a

3b

3a

2a

2a

3c

3a

2a

2a

Page 9: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

8

Diagnosis kerja pada pasien adalah MH tipe BL. Penatalaksanaan yang

diberikan adalah MDT-MB paket pertama, vitamin B1,B6,B12 1 tablet setiap 24

jam per oral, oleum olivarum topikal setiap 12 jam pada kulit di tangan dan kaki

yang kering. Pasien juga diberikan KIE tentang penyakit, penyebab, hasil

pemeriksaan, pengobatan, pentingnya kepatuhan pengobatan, serta jadwal kontrol

berikutnya.

Diagnosis kerja dari Bagian Penyakit Dalam adalah saat ini tidak ditemukan

adanya kelainan di bidang penyakit dalam dan diagnosis SLE telah disingkirkan.

Bagian Penyakit Dalam lepas rawat, penatalaksaaan yang diberikan adalah sesuai

dengan penatalaksanaan pada Bagian Kulit dan Kelamin dan pasien dialih rawat

oleh Bagian Kulit dan Kelamin.

PENGAMATAN LANJUTAN II (HARI KE-38, 8 April 2016)

Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin untuk kontrol. Pasien mengeluh

terdapat bercak kemerahan pada kulitnya terlihat menghitam. Bercak pada kulit

pasien masih terasa tebal dan mati rasa. Bercak kulit tidak terasa gatal ataupun

nyeri. Bercak kemerahan baru tidak ada. Kesemutan pada kedua tangan dan kaki

masih dirasakan. Demam dan nyeri sendi disangkal.

Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos

mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, frekuensi pernafasan

20 x/menit, temperatur aksila 360C. Status generalis masih sama seperti

sebelumnya.

Status dermatologis, lokasi pada kedua pipi, thorakoabdominal, punggung,

ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra didapatkan effloresensi makula

hiperpigmentasi multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran

bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan tampak halus dan berkilat, dengan distribusi

bilateral hampir simetris (Gambar 4).

Pada pemeriksaan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu pada seluruh lesi,

dorsum manus dan pedis dekstra dan sinistra masih didapatkan mengalami

penurunan. Pada pemeriksaan voluntary muscle test tidak ditemukan adanya

kelemahan otot. Tidak didapatkan adanya penebalan saraf pada pasien. Penurunan

Page 10: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

9

fungsi saraf otonom karena penurunan berkeringat pada telapak tangan dan kaki,

serta kulit pada tangan dan kaki tampak kering masih didapatkan.

Diagnosis kerja pada pasien adalah follow up MH tipe BL. Penatalaksanaan

yang diberikan adalah MDT-MB paket kedua, vitamin B1,B6,B12 1 tablet setiap

24 jam per oral, oleum olivarum topikal setiap 12 jam pada kulit di tangan dan kaki

yang kering. Pasien juga diberikan KIE tentang penyakit, penyebab, hasil

pemeriksaan, cara penggunaan obat, pentingnya kepatuhan pengobatan, serta

jadwal kontrol berikutnya.

PEMBAHASAN

Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman

M. leprae. Morbus Hansen dapat menyerang semua umur dengan frekuensi

tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-

laki daripada perempuan dengan rasio 2:1.1,2 Cara penularan MH masih belum

Gambar 4a-f. Tampak lesi semakin menghitam dengan effloresensi makula hiperpigmentasi

multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan

tampak halus dan berkilat, dengan distribusi bilateral hampir simetris

4a

2a

4b

2a

4c

2a

4d

2a

4e

2a

4f

2a

Page 11: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

10

diketahui secara pasti, namun beberapa peneliti menemukan penularan

kemungkinan melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat, dan dapat

pula ditularkan melalui droplet saluran pernapasan.3

Kasus adalah seorang laki-laki berusia 44 tahun, suku Bima dan telah

tinggal di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat sejak lahir. Sepengetahuan

pasien, tetangga pasien ada yang menderita kusta dan sedang mengkonsumsi obat

paket.

Diagnosis MH ditegakkan apabila ditemukan paling tidak 1 dari 3 tanda

kardinal, yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, atau ditemukannya

BTA pada hapusan sayatan kulit. Untuk kepentingan terapi, WHO membagi MH

menjadi tipe pausibasiler (PB) dengan BTA negatif dan multibasiler (MB) dengan

BTA positif. Klasifikasi MH lainnya yaitu klasifikasi Ridley-Jopling, merupakan

klasifikasi yang paling sering digunakan dalam bidang penelitian. Klasifikasi

Ridley-Jopling mengklasifikasikan MH ke dalam lima kelompok yang berbeda

berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis, yaitu:

tuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT), mid-borderline (BB), borderline

lepromatous (BL), dan lepromatous (LL).2,7,8

Morbus Hansen tipe BL memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi.

Pada MH tipe BL ditemukan banyak lesi kulit yang berbatas tidak tegas. Lesi kulit

biasanya berupa makula dengan warna merah tembaga dan permukaan yang halus

mengkilat, berbentuk bulat atau oval dengan diameter 2-3 cm, dengan distribusi

yang cenderung simetris dan masih terdapat kulit yang normal di antara lesi.

Dengan terjadinya progresi penyakit, pada MH tipe BL dapat ditemukan adanya

papul, nodul, dan plak. Infiltrat dapat timbul pada makula yang telah muncul sejak

awal, dan membentuk gambaran seperti plak terutama pada daerah wajah dan

telinga. Hapusan sayatan kulit ditemukan positif dengan jumlah basil yang cukup

banyak (IB ≥ 2). Lesi kulit seringkali mengalami hipestesia atau pun anestesia. Pada

MH tipe BL dapat pula ditemukan adanya penebalan saraf..2,3,7,9,10,11

Pada pasien didapatkan 2 gejala kardinal MH yaitu bercak kulit yang mati

rasa dan ditemukannya BTA pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit dengan IB =

3+. Lesi kulit pada pasien berupa makula eritema multipel, berbentuk bulat-

Page 12: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

11

geografika, berukuran 2x2-4x5 cm, dan terdapat kulit yang normal di antara lesi,

dengan distribusi yang cenderung simetris dengan permukaan lesi yang halus

berkilat dan ditemukannya BTA yang cukup banyak (IB = 3+) pada hapusan

sayatan kulit, mengarahkan didiagnosis klinis pasien menjadi MH tipe BL.

Gambaran histopatologis MH tipe BL adalah ditemukannya granuloma

yang umumnya terdiri atas makrofag yang dikelilingi oleh sel epiteloid. Limfosit

jarang terlihat dan tersebar pada granuloma.12 Epidermis tidak mengalami

perubahan. Sub epidermal clear zone (grenz zone) masih tampak jelas terlihat.

Respon klasik dermal pada MH tipe BL adalah terdapatnya infiltrat limfositik yang

padat dan terbatas pada daerah yang terisi oleh makrofag. Makrofag biasanya

foamy, namun sering pula ditemukan makrofag yang belum berdiferensiasi. Pada

pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan adanya sel plasma dan basil.2,12

Temuan histopatologis yang berbeda ditemukan pada SLE, yaitu berupa

hiperkeratosis, atrofi epidermal, degenerasil sel vakuolar basalis, penebalan

dermal-epidermal junction, edema dermal, deposisi mucin dermal, dan infiltrasi sel

mononuclear pada dermal-epidermal junction dan dermis.8

Hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan epidermis dalam batas

normal, sedangkan pada bagian subepidermis tampak gambaran grenz zone, serta

tampak beberapa fokus granuloma yang terdiri dari makrofag, limfosit, dan sel

epiteloid. Tampak pula gambaran basil tahan asam. Temuan histopatologis tersebut

sesuai untuk MH tipe BL.

Morbus Hansen memiliki manifestasi klinis yang bervariasi sehingga tidak

jarang disangka sebagai penyakit kulit yang lain dan dijuluki sebagai “the great

imitator”.8 Manifestasi klinis MH yang bervariasi tersebut dapat menyebabkan

kekeliruan mengenali MH sebagai penyakit autoimun sistemik lain seperti SLE.

Klinisi sebaiknya memikirkan MH dalam membuat diagnosis banding SLE yang

memiliki gejala klinis yang kurang khas, terutama bila berada di daerah endemis

MH. Pasien dapat mengeluhkan adanya gejala yang tidak spesifik untuk MH,

seperti: malar rash, artritis, fotosensitivitas, polineuropati, kelemahan otot,

limfadenopati generalisata, hepatosplenomegali, glomerulonephritis, dan

ditemukannya auto-antibodi sebagaimana yang terjadi pada pasien dengan

Page 13: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

12

SLE.8,13,14,15 Teixeira dkk. melaporkan terdapat beberapa lesi kulit menyerupai SLE

pada pasien MH seperti malar rash, fotosensitivitas, dan lesi diskoid, yang

kemudian mendukung terjadinya misdiagnosis MH itu sendiri.13 Meskipun

presentasi klinisnya dapat menyerupai SLE, MH memiliki gejala yang khas yang

dapat meningkatkan kewaspadaan klinisi terhadap penyakit ini, seperti lesi kulit

yang mati rasa, pembesaran saraf dan nyeri pada saraf. Lesi dapat mengenai saraf

perifer kulit, terutama nervus tibialis posterior, ulnaris, medianus, dan peroneus

communis. Kemiripan lesi kulit pada MH tipe borderline dengan lesi kulit pada

SLE merupakan suatu tantangan dalam penegakkan diagnosis.8,16,17,18

Systemic lupus erythematosus merupakan penyakit inflamasi kronis yang

penyebabnya masih belum diketahui pasti dan dapat mengakibatkan gangguan pada

kulit, sendi, ginjal, paru, sistem saraf, dan/atau organ lain dalam tubuh.19,20

Abnormalitas imunologis, terutama produksi antinuklear antibodi merupakan tanda

yang khas dari SLE. Penyakit ini biasanya menyerang perempuan muda, berusia

20-30 tahun. Seperti halnya MH, manifestasi kulit pada SLE juga dapat beragam.

Sering merasa lelah, myalgia, panas badan, dan penurunan berat badan umumnya

dijumpai pada 50-100% kasus SLE.19,20,21,22

Kriteria klasifikasi ACR untuk SLE yang direvisi tahun 1997 menetapkan

bahwa pasien didiagnosis menderita SLE bila memiliki empat kriteria atau lebih

dari 11 kriteria yang telah ditetapkan.8,13,19,20 Kriteria klasifikasi ACR yang

memiliki sensitivitas sebanyak 96% dan spesifisitas 84%, memiliki angka false-

positive sebesar 16% untuk SLE pada daerah endemis MH, sehingga kriteria

klasifikasi ini menjadi kurang spesifik bila digunakan pada daerah endemis MH.13,14

Sebuah studi dengan 100 subjek pasien MH tipe MB di Brazil tahun 2005

mendapatkan bahwa 16 pasien memiliki ≥ 4 kriteria klasifikasi, sehingga

didapatkan spesifisitas kriteria ACR pada penelitian tersebut adalah sebesar 84%

(95% CI 0,055-0,945). Kriteria yang paling banyak dijumpai pada pasien MH yang

dicurigai SLE antara lain malar rash (44%), artritis (23%), fotosensitivitas (29%),

limfopenia (19%), dan ditemukannya antibodi antifosfolipid yang termasuk kriteria

imunologis (20%), ANA (10%), lesi diskoid (9%), dan yang lebih jarang yaitu

Page 14: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

13

leukopenia (3%), anemia hemoltik (1%), serositis (1%), serta manifestasi

neurologis dan ginjal (1%).8,13,15

Tabel 1. Kriteria diagnosis ACR 1997 untuk SLE

Malar rash

Discoid rash

Dikutip dari: Kasjmie YI, Handono K, Wijaya LK Hamijoyo L, Alba Z, Kalim H. Rekomendasi

Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus

Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. p. 23.

Page 15: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

14

Kasus MH yang sering diduga sebagai SLE, pada umumnya memiliki gejala

klinis seperti manifestasi kulit, eritema fasial, neuropati, artritis, dan fenomena

Raynaud. Abnormalitas laboratorium yang ditemukan, antara lain: leukopenia,

limfopenia, dan hasil pemeriksaan ANA yang positif.8,13 Temuan serologis dan

manifestasi klinis yang serupa dapat menyebabkan terjadinya misdiagnosis MH

dengan penyakit autoimun lain seperti SLE. Misdiagnosis sering kali

mengakibatkan pengobatan pasien dengan kortikosteroid dan imunosupresan, yang

mungkin dapat menyebabkan perubahan manifestasi klinis MH.15

Pada kasus, awalnya pasien dicurigai menderita SLE dengan gejala klinis

berupa malar rash, fotosensitivitas, dan riwayat ulkus mulut. Kecurigaan terhadap

SLE bertambah setelah didapatkan hasil pemeriksaan ANA-IF tipe nucleoplasm

granular/speckled yang positif dengan titer 1:100. Manifestasi klinis dan hasil

pemeriksaan ANA-IF yang positif tersebut memenuhi 4 kriteria ACR. Titer ANA-

IF yang ditemukan pada pasien dengan SLE pada umumnya 1:1.080, sehingga hasil

pemeriksaan ANA-IF dengan titer 1:100 termasuk positif rendah. Pemeriksaan

ANA-IF memiliki sensitivitas tinggi (99%), namun tingkat spesifisitasnya cukup

rendah untuk SLE (80%). Pemeriksaan ANA-IF ini didapatkan pula positif pada

berbagai penyakit lain seperti skleroderma, dermatomyositis, artritis rematoid,

vaskulitis rematoid, leukemia, limfoma, sindrom Sjögren, penyakit Grave, dan MH

terutama tipe MB. Hasil pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik yaitu anti-dsDNA

(sensitivitas 98% dan spesifisitas 99%) tidak mendukung diagnosis SLE.

Pemeriksaan profil ANA mendapatkan hasil negatif untuk anti-dsDNA, antigen

RNP/Sm, Sm, SS-A native, Ro-52 recombinant, SS-B, Scl-70, PM-Scl100, Jo-1,

Centromere B, PCNA, Nucleosomes, Histones, ribosomal P-protein, dan AMA-

M2.21,22 Pemeriksaan laboratorium lain seperti DL dan urinalisis dalam batas

normal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun pasien memenuhi 4

dari 11 kriteria ACR, namun penerapan kriteria ACR pada daerah endemis MH

dinilai kurang spesifik karena memiliki angka false positive sebesar 16%.8,13 Pada

pengamatan pertama, didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal MH, yaitu bercak kulit

yang mati rasa dan ditemukannya BTA positif pada hapusan sayatan kulit.

Pemeriksaan histopatologis pada lesi kulit juga tidak mendukung ke arah SLE,

Page 16: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

15

namun sebaliknya menegakkan diagnosis MH tipe BL. Dari kumpulan manifestasi

klinis dan pemeriksaan penunjang tersebut, dapat disimpulkan diagnosis SLE dapat

disingkirkan.

Kadar auto-antibodi pada pasien MH sendiri didapatkan bervariasi pada

beberapa penelitian. Hasil pemeriksaan ANA dilaporkan positif pada 37,5% pasien

MH dan biasanya dengan titer yang rendah dan pola titik (speckled) dan

homogenus. Hasil pemeriksaan ANA yang positif dengan titer yang rendah pada

beberapa pasien MH merupakan hasil reaktivitas silang lemah dengan asam nukleat

dan nukleoprotein kompleks. Sebagai tambahan, munculnya auto-antibodi tersebut

berkaitan dengan peningkatan kerusakan sel secara kronis, pelepasan antigen yang

diakibatkan oleh cedera jaringan, paparan antigen yang awalnya tersembunyi, yang

kemudian menyebabkan respon antigenik yang menstimulasi produksi auto-

antibodi. Mekanisme lain yang mugkin terjadi adalah molecular mimicry akibat

reaktivitas silang antara antigen penyebab infeksi dan antigen penjamu. Semakin

lama individu menderita penyakit, bertambahnya usia, riwayat relaps dan terapi

dengan prednisolon atau klorokuin akan meningkatkan kadar ANA. Sebagian besar

penelitian menemukan peningkatan prevalensi ANA pada pasien MH tipe

multibasiler, yang nampaknya tidak bergantung pada durasi pengobatan dengan

antimikrobial. Variabilitas hasil pemeriksaan ANA mencerminkan adanya sampel

yang heterogen, serta durasi dan tipe penyakit. Pasien dengan durasi penyakit yang

lebih panjang, usia yang lebih tua, menderita MH tipe MB, dan riwayat terjadinya

reaksi kusta berulang, dilaporkan memiliki kecenderungan untuk medapatkan hasil

pemeriksaan ANA yang positif.8,15,16

Pengenalan diagnosis MH secara dini dan cermat akan berujung pada

pengobatan yang cepat dan tepat. WHO merekomendasikan pasien MH untuk

diberikan pengobatan multidrug therapy (MDT). Adapun regimen pengobatan

MDT MH tipe MB dewasa dalam 1 paket terdiri dari rifampisin 600 mg yang

diminum 1 kali sebulan di bawah pengawasan, klofazimin 300 mg diminum 1 kali

sebulan di bawah pengawasan dan selanjutnya 50 mg/hari swakelola, serta dapson

100 mg/hari swakelola. Lama pengobatan MDT MB adalah 12 paket yang

Page 17: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

16

diselesaikan dalam waktu 12 hingga 18 bulan.2,3,11 Setelah diagnosis MH tipe BL

ditegakkan pasien diberikan terapi MDT MB sebanyak 12 paket.

Morbus Hansen tipe BL merupakan penyakit yang progresif dan morbiditas

pada penyakit ini disebabkan oleh adanya cedera saraf atau munculnya reaksi kusta

pada pasien.2 Berbagai komplikasi dapat timbul pada pasien dengan MH, antara

lain: deformitas, neuropati perifer, lagoftalmus, keratitis, dan ulkus pedis.

Komplikasi pada MH terjadi sebagai akibat cedera saraf perifer, insufisiensi vena,

atau timbulnya jaringan parut. Neuropati perifer terjadi pada 20% pasien MH

selama tahun pertama pengobatan. Neuropati perifer ini memberikan gejala berupa

parestesia dan kesemutan pada daerah distribusi stocking and glove (stocking and

glove pattern of sensory impairment atau S-GPSI). Gejala awalnya melibatkan

ekstremitas bawah dan kemudian terjadi pada ekstremitas atas. Diperkirakan

seperempat hingga sepertiga pasien baru yang didiagnosis dengan MH memiliki

atau akan menderita disabilitas kronis sebagai akibat sekunder dari cedera saraf

ireversibel pada tangan, kaki, ataupun mata.2,3,7 Pasien pada kasus menderita

komplikasi berupa S-GPSI dengan keluhan kesemutan dengan gejala berawal dari

kedua tangan yang kemudian juga dikeluhkan pad kedua kaki. Komplikasi ini

ditandai dengan didapatkannya penurunan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu

pada kedua dorsum dan plantar manus dan pedis, serta pemeriksaan sensoris dengan

monofilamen ditemukan pula mengalami penurunan (pada kedua dorsum dan

plantar manus didapatkan warna ungu dengan nilai 2,0 gf dan pada kedua dorsum

dan plantar pedis didapatkan warna merah tua dengan nilai 4,0 gf).

Prognosis MH bervariasi tergantung dari derajat keparahan penyakit saat

diagnosis dan terapi, serta ada tidaknya komplikasi seperti reaksi dan deformitas

pada pasien. Diagnosis dan pengobatan dini sangat membantu dalam mencegah

kerusakan dan komplikasi lebih lanjut. Namun, apabila pasien telah menderita MH

cukup lama dan telah terjadi komplikasi yang mempengaruhi kehidupan pasien,

maka pasien memiliki prognosis yang buruk.9,11

Pasien didiagnosis MH tipe BL setelah 2 bulan munculnya gejala dan segera

diterapi setelah diagnosis ditegakkan. Pasien merupakan seorang guru SMP yang

memiliki tingkat edukasi yang cukup baik sehingga meningkatkan pengertian

Page 18: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

17

pasien terhadap penyakit dan ketaatan berobat. Hingga saat ini, komplikasi yang

ditemukan hanya S-GPSI, sehingga dapat disimpulkan pasien memiliki prognosis

dubius ad bonam.

SIMPULAN

Telah dilaporkan kasus MH tipe BL yang awalnya diduga sebagai SLE pada

seorang laki-laki suku Bima berumur 44 tahun. Diagnosis MH tipe BL ditegakkan

berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa

pemeriksaan BTA, pemeriksaan darah, dan biopsi kulit. Dari anamnesis didapatkan

bercak kemerahan pada kedua pipi sejak 2 bulan yang lalu, disertai dengan bercak

kemerahan pada dada, punggung, dan ekstremitas. Pada pemeriksaan fisik

ditemukan makula eritema multipel, batas tidak tegas, bentuk geografika, ukuran

bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan halus berkilat dengan distribusi bilateral

hampir simetris. Pemeriksaan BTA ditemukan IB = 3+ dan pemeriksaan

histopatologis mendukung diagnosis MH tipe BL. Diagnosis SLE disingkirkan,

karena meskipun memenuhi 4 kriteria ACR (malar rash, fotosensitivitas, ulkus

mulut, dan hasil pemeriksaan ANA-IF positif tipe speckled dengan titer 1:100),

hasil pemeriksaan yang lebih spesifik untuk SLE yaitu profil ANA mendapatkan

hasil negatif. Pasien diberikan pengobatan MDT MB, vitamin B1B2B12 1 tablet

setiap 24 jam per oral, dan oleum olivarum topikal setiap 12 jam. Prognosis pasien

dubius ad bonam.

Page 19: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Thorat DM, Sharma P. Epidemiology. In: Kar HK, Kumar B, editors. IAL

textbook of leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. p. 24-31.

2. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in

General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill companies, 2012. p. 2253-

2263.

3. Amiruddin, M.D., Hakim, Z., Darwis, E. Diagnosis Penyakit Kusta. In:

Sjamsoe-Daili, E.S., Menaldi, S.L., Ismiarto, S.P., Nilasari, H., editors. Kusta.

2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2003. p. 12-32.

4. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record. World Health

Organization. 2015; 90: 461-476.

5. Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun

2013. Available at: http://www.Baliprov.go.id. Accessed on April 2016.

6. Anonim. Buku register Kunjungan Sub Divisi Morbus Hansen, Poliklinik Kulit

dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Denpasar; 2013-2015.

7. Kumar B, Dogra S. Case Definition and Clinical Types. In: Kar HK, Kumar B,

editors. IAL textbook of leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. p. 152-166.

8. Horta-Baas G, Hernandez-Cabrera MF, Barile-Fabris LA, Romero-Figueroa M,

Arenas-Guzman R. Multibacillary leprosy mimicking systemic lupus

erythematosus: case report and literature review. Lupus. 2015; 24: 1095-1102.

9. Matsuo C, Nogueira L, Santos MN, Talhari C, Rabelo RF, Talhari S. Borderline

lepromatous leprosy. An Bras Dermatology. 2010; 85(6): 921-2.

10. Mussani F. Borderline Lepromatous Leprosy: A Case to Remember. J Cutan

Med Surg. 2016; 20(2): 176-177.

11. Eichelmann K, Gonzales SE, Salas-Alanis JC, Ocampo-Candani J. Leprosy. An

Update: Definition, Pathogenesis, Classification, Diagnosis, and Treatment.

Actas Dermo-Sifiliograficas. 2013; 104: 554-63.

12. Dullobho P, Mohan N. Pathological Aspects. In: Kar HK, Kumar B, editors.

IAL textbook of leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. p. 100-117.

13. Teixera GJA, Silva CEF, Magalhaes V. Application of the diagnostic criteria

for systemic lupus erythematosus to patient with multibacillary leprosy. Revista

da Sociedale Brasileira de Medicina Tropical. 2011; 44(1): 85-90.

14. Karadeniz A, Lally L, Magro C, Levy R, Erkan D, Lockshin MD. Lepromatous

Leprosy Mimicking Systemic Lupus Erythematosus. HSS Journal. 2014; 10:

286-291.

15. Tsung TH, Yu HW. Leprosy mimicking lupus erythematosus. Dermatologica

Sinica. 2014; 32: 47-50.

16. Ribeiro FM, Gomez VE, Albuquerque EMN, Klumb EM, Shoenfeld Y. Lupus

and leprosy: beyond the coincidence. Immunol Res. 2015; 61: 160-163.

17. Liu D, Li G, Huang W, Gao J, Yue C, Xiao Q. Analysis of newly detected

Leprosy cases and misdiagnosis in Wuhan (1990-2004). Lepr Rev. 2009; 80:

410-415.

18. Alberti JR, Cabrera A, Martiniuk F, Sanchez M, Levis WR. Leprosy

masquerading as lupus. JAAD. 2005; 52(4): 702-703.

Page 20: SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE BORDERLINE …

19

19. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. In: Wolff K, Goldsmith

LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s

Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill companies,

2012. p. 1909-1926.

20. Kasjmie YI, Handono K, Wijaya LK Hamijoyo L, Alba Z, Kalim H.

Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan

Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi

Indonesia, 2011. p. 1-46.

21. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic Lupus Erythematosus:

Pathogenesis and Clinical Features. Ann Rheum Dis. 2016; 75 : 490-498.

22. Stokos GC. Systemic Lupus Erythematosus. The New England Journal of

Medicine. 2011; 365: 2110-2121.