Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
0
LAPORAN KASUS Kepada Yth. :
Dipresentasikan pada:
Hari/Tanggal :
Jam :
SEBUAH KASUS MORBUS HANSEN TIPE
BORDERLINE LEPROMATOUS YANG AWALNYA
DIDUGA SEBAGAI SYSTEMIC LUPUS
ERYTHEMATOSUS
Oleh :
dr. Putu Nila Wardhani Batan
Pembimbing :
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/
RSUP SANGLAH DENPASAR
2016
Dr. dr. Luh Made Mas Rusyati, Sp.KK, FINSDV
(Pembimbing)
1
PENDAHULUAN
Morbus Hansen (MH) atau yang dikenal pula sebagai kusta adalah sebuah penyakit
infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Micobacterium leprae (M.
leprae).1,2 Morbus Hansen merupakan suatu penyakit menular yang menimbulkan
masalah yang kompleks tidak hanya dari segi medis, tapi juga mempengaruhi
kehidupan sosial penderita karena adanya stigma yang buruk dari masyarakat.3
Prevalensi MH bervariasi pada berbagai negara di seluruh dunia. World
Health Organization (WHO) melaporkan terdapat 213.899 kasus MH baru dari 121
negara di dunia tahun 2014, dengan angka prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk.4
Indonesia menempati urutan prevalensi ketiga di dunia setelah India, dan Brazil
dengan jumlah kasus MH baru sebanyak 17.025 kasus pada tahun 2014 dan 14.213
kasus diantaranya merupakan kasus MH tipe multibasiler (MB) baru.4 Di Indonesia
penderita MH terdapat hampir pada seluruh propinsi dengan pola penyebaran yang
tidak merata. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali tahun 2013 mencatat adanya
84 kasus baru MH (75 kasus merupakan MH tipe MB) dengan angka penemuan
kasus baru sebesar 2,07 per 100.000 penduduk.5 Di Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Sanglah terdapat 107 kasus MH baru dari tahun 2013-2015 dengan 43 kasus
merupakan kasus MH tipe borderline-lepromatous (BL) baru.6
Morbus Hansen merupakan sebuah penyakit infeksi kronis dengan ranah
manifestasi klinis dan serologis yang luas. Manifestasi klinis MH bervariasi dari
lesi kulit atau saraf tunggal hingga keterlibatan integumen dan organ sistemik.7
Manifestasi klinis kusta yang bervariasi tersebut menyebabkan penyakit ini
memiliki julukan “the great imitators” dikarenakan oleh penyakit ini sering sekali
disangka dan dikelirukan dengan berbagai penyakit lainnya. Morbus Hansen sejak
lama telah diketahui memiliki kaitan dengan timbulnya auto-antibodi dan gejala
klinisnya menyerupai penyakit autoimun seperti systemic lupus erythematosus
(SLE). Perjalanan klinis MH yang multisistemik kadang sulit dibedakan dengan
SLE. Sayangnya, karena berbagai kemiripan tersebut, terkadang klinisi gagal
membedakan MH dengan penyakit lainnya, sehingga terjadi keterlambatan untuk
menegakkan diagnosis yang tepat. Maka dari itu, diagnosis MH sering kali
ditegakkan pada stadium lanjut saat telah terjadi perluasan penyakit.8
2
Kurangnya kecurigaan klinis dan pengetahuan histologis MH dapat
menghambat penegakkan diagnosis dan pengobatan yang tepat pada pasien.
Diagnosis dan pengobatan dini sangatlah penting untuk mencegah atau membatasi
perkembangan penyakit dan menurunkan risiko penularan penyakit. Kemiripan
klinis dan serologis antara pasien MH dengan SLE dapat menyebabkan
misdiagnosis. Pengenalan yang baik terhadap manifestasi klinis MH sangatlah
penting dalam hal ini. Kewaspadaan klinisi terhadap penyakit ini sangatlah
diperlukan untuk memulai terapi secara dini dan tepat.8
Kasus ini dilaporkan untuk meningkatkan kewaspadaan klinisi mengenai
manifestasi klinis MH yang bervariasi tersebut dapat menyerupai penyakit lain
seperti SLE. Pengenalan manifestasi klinis MH secara dini dan cermat akan
menurunkan angka misdiagnosis penyakit MH dan untuk memulai pengobatan
yang tepat secara dini.
KASUS
Seorang laki-laki, usia 44 tahun, suku Bima, Warga Negara Indonesia, dengan
nomor rekam medis 16.00.63.94 datang ke Subdivisi Imunologi Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 2 Maret 2016 dengan keluhan
utama terdapat bercak kemerahan di wajah. Pasien merupakan rujukan dari
Poliklinik Penyakit Dalam dengan diagnosis suspek SLE.
Pasien mengeluh muncul bercak kemerahan pada kedua pipi sejak 2 bulan
yang lalu. Awalnya bercak kemerahan berukuran kecil, semakin lama semakin
melebar, dan menyebar ke tangan dan kaki. Bercak kemerahan tidak dikeluhkan
gatal dan nyeri. Bercak kemerahan kemudian menyebar ke dada, punggung, dan
ekstremitas. Sejak 2 bulan yang lalu, pasien mengeluh cepat lelah dan badan terasa
lemas. Pasien juga mengeluhkan kulit wajahnya menjadi lebih cepat merah bila
terpapar sinar matahari sejak 2 bulan yang lalu. Riwayat sariawan berulang pada
bibir sejak 2 bulan yang lalu. Selain itu, pasien juga mengeluh rasa kesemutan dan
terasa kaku pada jari-jari tangan dan kaki. Riwayat panas badan berulang, nyeri
sendi, dan penurunan berat badan disangkal. Keluhan penglihatan kabur, nyeri pada
mata, mata merah, kerontokan alis mata juga disangkal.
3
Riwayat penyakit dahulu mendapatkan pasien belum pernah menderita
keluhan serupa. Pasien sudah pernah memeriksakan diri di RSUD Bima 1 bulan
yang lalu dan didiagnosis suspek SLE. Pasien kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah
untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Riwayat penyakit sistemik seperti
hipertensi, diabetes, asma, penyakit jantung, ginjal, dan hati disangkal oleh pasien.
Riwayat pengobatan didapatkan bahwa pasien diberikan parasetamol 500
mg setiap 8 jam per oral dan multivitamin 1 tablet setiap 24 jam per oral di RSUD
Bima. Riwayat mengoleskan krim atau minyak tradisional pada bercak kemerahan
tersebut disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit pada keluarga, dikatakan tidak ada yang menderita
penyakit kusta pada keluarga. Riwayat penyakit sistemik seperti diabetes, asma,
penyakit jantung, dan SLE pada keluarga disangkal. Tetangga pasien ada yang
menderita kusta dan sedang mengkonsumsi obat paket. Pasien sering berkunjung
ke rumah tetangganya tersebut untuk bersilaturahmi. Riwayat sosial, pasien saat ini
bekerja sebagai guru SD dengan pendidikan terakhir S1.
Pemeriksan fisik ditemukan keadaan umum penderita baik, kesadaran
kompos mentis, berat badan 65 kg, tinggi badan 165 cm, tekanan darah 120/80
mmHg, denyut nadi 82x/menit, frekuensi pernafasan 20x/menit, temperatur aksila
360C. Pada pemeriksaan status generalis didapatkan kepala normosefali, pada mata
tidak didapatkan adanya hiperemia, tanda anemia serta ikterus pada konjungtiva,
tidak ditemukan adanya lagoftalmus, reflek kornea didapatkan normal, pupil
tampak isokor, reflek cahaya positif, dan tidak ditemukan adanya madarosis.
Pemeriksaan telinga, hidung, dan tenggorokan didapatkan kesan tenang, tidak
didapatkan adanya infiltrat pada telinga dan kelainan deformitas pada hidung. Pada
leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening. Pemeriksaan rongga
mulut tidak ditemukan adanya ulkus. Pada pemeriksaan toraks didapatkan suara
jantung S1 dan S2 tunggal, reguler, tidak terdapat murmur. Suara nafas paru-paru
vesikuler, tidak ditemukan adanya rhonki ataupun wheezing. Pada pemeriksaan
abdomen, hepar, dan lien tidak teraba, bising usus dalam batas normal, tidak
didapatkan distensi abdomen. Ekstremitas atas dan bawah teraba hangat, tidak
terdapat edema pada kedua tungkai bawah.
4
Status dermatologis, lokasi pada kedua pipi, thorakoabdominal, punggung,
ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra didapatkan effloresensi berupa
makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran
bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan tampak halus dan berkilat, dengan distribusi
bilateral hampir simetris (Gambar 1).
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan diagnosis suspek
SLE. Penatalaksanaan yang diberikan adalah desoksimetason 0,25% krim topikal
setiap 12 jam. Pasien direncanakan untuk melakukan biopsi kulit pada lesi. Belum
ada penatalaksaan spesifik lain yang diberikan sambil menunggu hasil pemeriksaan
histopatologi untuk menegakkan diagnosis. Penderita diberikan komunikasi,
informasi, dan edukasi (KIE) tentang penyakit, rencana biopsi kulit, dan cara
penggunaan obat.
Dari Bagian Penyakit Dalam, pasien didiagnosis dengan suspek SLE yang
memenuhi 3 dari 11 kriteria American College of Rheumatology (ACR) yaitu
(malar rash, fotosensitivitas, dan riwayat ulkus mulut). Pasien diberikan terapi
Gambar 1a-h. Tampak lesi berupa makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak
tegas, permukaannya halus berkilat, dengan distribusi bilateral hampir simetris pada daerah wajah,
thorakoabdominal, punggung, dan ekstremitas.
1a 1b 1c 1d
1c
1e 1f 1g
1f
1f
5
berupa parasetamol 500 mg setiap 8 jam per oral, dan direncanakan melakukan
pemeriksaan darah berupa darah lengkap, fungsi hati (SGOT dan SGPT), fungsi
ginjal (BUN dan SC), gula darah acak, antinuclear antibody-indirect
immunofluorescence (ANA-IF), dan profil antinuclear antibody (ANA). Pasien
dikonsulkan ke Bagian Kulit dan Kelamin untuk dilakukan biopsi kulit.
PENGAMATAN LANJUTAN I (HARI KE-14, 15 Maret 2016)
Pasien dikonsulkan dari Subdivisi Imunologi Poliklinik Kulit dan Kelamin ke
Subdivisi MH dan membawa hasil biopsi dengan kesimpulan gambaran morfologi
sesuai untuk MH tipe BL. Pasien mengeluh terdapat bercak kemerahan baru pada
pergelangan tangan kiri yang muncul sejak 3 hari yang lalu. Pasien mengeluh
bercak pada kulitnya terasa tebal dan mati rasa. Bercak kulit tidak terasa gatal
ataupun nyeri. Pasien juga mengeluh kesemutan pada kedua tangan dan kaki.
Demam, lemas badan, penurunan berat badan, dan nyeri sendi disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, frekuensi pernafasan
18 x/menit, temperatur aksila 36,50C. Status generalis masih sama seperti
sebelumnya.
Status dermatologis, lokasi pada kedua pipi, thorakoabdominal, punggung,
ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra didapatkan effloresensi berupa
makula eritema multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran
bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan tampak halus dan berkilat, dengan distribusi
bilateral hampir simetris (Gambar 2).
Pada pemeriksaan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu pada seluruh lesi
didapatkan mengalami penurunan. Terdapat pula penurunan sensibilitas rasa raba,
nyeri, dan suhu pada dorsum manus dan pedis dekstra dan sinistra. Pemeriksaan
sensoris dengan monofilamen juga ditemukan mengalami penurunan (pada kedua
dorsum dan plantar manus didapatkan warna ungu dengan nilai 2,0 gf dan pada
kedua dorsum dan plantar pedis didapatkan warna merah tua dengan nilai 4,0 gf)
Pada pemeriksaan voluntary muscle test tidak ditemukan adanya kelemahan otot.
Tidak didapatkan adanya penebalan saraf. Pada pasien terdapat penurunan fungsi
6
saraf otonom karena mengalami penurunan berkeringat pada telapak tangan dan
kaki serta kulit pada tangan dan kaki tampak kering.
Diagnosis banding pasien adalah MH tipe borderline-lepromatous DD/
SLE. Pemeriksaan penunjang berupa hapusan sayatan kulit (slit skin smear) dengan
pewarnaan Ziehl-Neelson yang dilakukan pada cuping telinga kanan ditemukan
basil tahan asam (BTA) 2-5/10 lapang pandang (lp) yang fragmented, pada cuping
telinga kiri ditemukan (BTA) 11-15/1 lp dalam bentuk fragmented dan granuler,
kelainan lesi kulit yang aktif (pada ankle sinistra) ditemukan BTA 11-15/1 lp dalam
bentuk fragmented dan granuler, serta jari tengah ruas kedua tangan kanan
ditemukan kuman BTA 2-5/10 lp dalam bentuk fragmented. Indeks bakterial (IB)
penderita adalah (2+4+4+2)/4 = 3+ dengan indeks morfologi (IM) = 0.
Hasil pemeriksaan darah lengkap pada tanggal 3 Maret 2016 didapatkan
leukosit 10,33 103/μL (4,10-11,0); neutrofil 7,40 103/μL (2,50-7,50); limfosit 3,07
Gambar 2a-f. Tampak lesi berupa makula eritema multipel, batas tegas, bentuk bulat-
geografika, permukaan halus berkilat, dengan distribusi hampir simertris yang serupa dengan
lesi saat dilakukannya pengamatan pertama.
2a 2b
2c
2a
2d
2a
2e
2a
2f
7
103/μL (1,00-4,00); monosit 0,98 103/μL (0,10-1,20); eosinofil 0,01 103/μL (0,00-
0,50); basofil 0,052 103/ μL (0,0-0,1); eritrosit 4,59 103/μL (4,0-5,2); hemoglobin
13,6 g/dL (13,5-17,5); hematokrit 37,69% (36,00-46,00); trombosit 272,40 103/μL
(150,0-440,0). Pada pemeriksaan kimia klinik diidapatkan SGOT 25,20 (11-33);
SGPT 46,80 (11-50); BUN 15,00 mg/dL (8,00-23,00); kreatinin 0,85 mg/dL (0,70-
1,20); glukosa darah sewaktu 91 mg/dL (70,00-140,00). Urinalisis mendapatkan
specific gravity 1,020 (negatif), pH 7,40 (7,35-7,45), tidak ditemukan adanya
leukosit, nitrit, protein, glukosa, keton, urobilinogen, bilirubin, dan eritrosit, serta
sedimen urin didapatkan leukosit 1-2 (<6), eritrosit 1-2 (<3), epitel 0-1, namun tidak
ditemukan adanya bakteri dan kristal. Pemeriksaan ANA-IF mendapatkan hasil
positif pola nucleoplasm granular/speckled dengan titer 1:100. Hasil pemeriksaan
profil ANA mendapatkan hasil negatif untuk antidouble stranded-DNA (anti-
dsDNA), antigen RNP/Sm, Sm, SS-A native, Ro-52 recombinant, SS-B, Scl-70,
PM-Scl100, Jo-1, Centromere B, PCNA, Nucleosomes, Histones, ribosomal P-
protein, dan AMA-M2.
Hasil pemeriksaan histopatologi pada sediaan biopsi kulit yang diambil
pada lesi aktif di daerah antebrachii sinistra menunjukkan bahwa bagian epidermis
dilapisi epitel permukaan skuamosa berlapis tanpa tanda atipia. Pada bagian
subepidermis tampak gambaran grenz zone positif, serta tampak beberapa fokus
granuloma yang terdiri dari makrofag, limfosit, dan sel epiteloid. Tampak pula
gambaran basil tahan asam. Gambaran morfologi tersebut sesuai untuk MH tipe BL
(Gambar 3).
Gambar 3a-c. Pemeriksaan histopatologis mendapatkan pada bagian subepidermis tampak
gambaran grenz zone positif, dan tampak beberapa fokus granuloma yang terdiri dari makrofag,
limfosit, dan sel epiteloid. Tampak pula gambaran basil tahan asam.
3a
2a
3b
3a
2a
2a
3c
3a
2a
2a
8
Diagnosis kerja pada pasien adalah MH tipe BL. Penatalaksanaan yang
diberikan adalah MDT-MB paket pertama, vitamin B1,B6,B12 1 tablet setiap 24
jam per oral, oleum olivarum topikal setiap 12 jam pada kulit di tangan dan kaki
yang kering. Pasien juga diberikan KIE tentang penyakit, penyebab, hasil
pemeriksaan, pengobatan, pentingnya kepatuhan pengobatan, serta jadwal kontrol
berikutnya.
Diagnosis kerja dari Bagian Penyakit Dalam adalah saat ini tidak ditemukan
adanya kelainan di bidang penyakit dalam dan diagnosis SLE telah disingkirkan.
Bagian Penyakit Dalam lepas rawat, penatalaksaaan yang diberikan adalah sesuai
dengan penatalaksanaan pada Bagian Kulit dan Kelamin dan pasien dialih rawat
oleh Bagian Kulit dan Kelamin.
PENGAMATAN LANJUTAN II (HARI KE-38, 8 April 2016)
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin untuk kontrol. Pasien mengeluh
terdapat bercak kemerahan pada kulitnya terlihat menghitam. Bercak pada kulit
pasien masih terasa tebal dan mati rasa. Bercak kulit tidak terasa gatal ataupun
nyeri. Bercak kemerahan baru tidak ada. Kesemutan pada kedua tangan dan kaki
masih dirasakan. Demam dan nyeri sendi disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos
mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 80 x/menit, frekuensi pernafasan
20 x/menit, temperatur aksila 360C. Status generalis masih sama seperti
sebelumnya.
Status dermatologis, lokasi pada kedua pipi, thorakoabdominal, punggung,
ekstremitas superior dan inferior dextra et sinistra didapatkan effloresensi makula
hiperpigmentasi multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran
bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan tampak halus dan berkilat, dengan distribusi
bilateral hampir simetris (Gambar 4).
Pada pemeriksaan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu pada seluruh lesi,
dorsum manus dan pedis dekstra dan sinistra masih didapatkan mengalami
penurunan. Pada pemeriksaan voluntary muscle test tidak ditemukan adanya
kelemahan otot. Tidak didapatkan adanya penebalan saraf pada pasien. Penurunan
9
fungsi saraf otonom karena penurunan berkeringat pada telapak tangan dan kaki,
serta kulit pada tangan dan kaki tampak kering masih didapatkan.
Diagnosis kerja pada pasien adalah follow up MH tipe BL. Penatalaksanaan
yang diberikan adalah MDT-MB paket kedua, vitamin B1,B6,B12 1 tablet setiap
24 jam per oral, oleum olivarum topikal setiap 12 jam pada kulit di tangan dan kaki
yang kering. Pasien juga diberikan KIE tentang penyakit, penyebab, hasil
pemeriksaan, cara penggunaan obat, pentingnya kepatuhan pengobatan, serta
jadwal kontrol berikutnya.
PEMBAHASAN
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman
M. leprae. Morbus Hansen dapat menyerang semua umur dengan frekuensi
tertinggi pada kelompok umur antara 30-50 tahun dan lebih sering mengenai laki-
laki daripada perempuan dengan rasio 2:1.1,2 Cara penularan MH masih belum
Gambar 4a-f. Tampak lesi semakin menghitam dengan effloresensi makula hiperpigmentasi
multipel, bentuk bulat-geografika, batas tidak tegas, ukuran bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan
tampak halus dan berkilat, dengan distribusi bilateral hampir simetris
4a
2a
4b
2a
4c
2a
4d
2a
4e
2a
4f
2a
10
diketahui secara pasti, namun beberapa peneliti menemukan penularan
kemungkinan melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat, dan dapat
pula ditularkan melalui droplet saluran pernapasan.3
Kasus adalah seorang laki-laki berusia 44 tahun, suku Bima dan telah
tinggal di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat sejak lahir. Sepengetahuan
pasien, tetangga pasien ada yang menderita kusta dan sedang mengkonsumsi obat
paket.
Diagnosis MH ditegakkan apabila ditemukan paling tidak 1 dari 3 tanda
kardinal, yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, atau ditemukannya
BTA pada hapusan sayatan kulit. Untuk kepentingan terapi, WHO membagi MH
menjadi tipe pausibasiler (PB) dengan BTA negatif dan multibasiler (MB) dengan
BTA positif. Klasifikasi MH lainnya yaitu klasifikasi Ridley-Jopling, merupakan
klasifikasi yang paling sering digunakan dalam bidang penelitian. Klasifikasi
Ridley-Jopling mengklasifikasikan MH ke dalam lima kelompok yang berbeda
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis, yaitu:
tuberculoid (TT), borderline tuberculoid (BT), mid-borderline (BB), borderline
lepromatous (BL), dan lepromatous (LL).2,7,8
Morbus Hansen tipe BL memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi.
Pada MH tipe BL ditemukan banyak lesi kulit yang berbatas tidak tegas. Lesi kulit
biasanya berupa makula dengan warna merah tembaga dan permukaan yang halus
mengkilat, berbentuk bulat atau oval dengan diameter 2-3 cm, dengan distribusi
yang cenderung simetris dan masih terdapat kulit yang normal di antara lesi.
Dengan terjadinya progresi penyakit, pada MH tipe BL dapat ditemukan adanya
papul, nodul, dan plak. Infiltrat dapat timbul pada makula yang telah muncul sejak
awal, dan membentuk gambaran seperti plak terutama pada daerah wajah dan
telinga. Hapusan sayatan kulit ditemukan positif dengan jumlah basil yang cukup
banyak (IB ≥ 2). Lesi kulit seringkali mengalami hipestesia atau pun anestesia. Pada
MH tipe BL dapat pula ditemukan adanya penebalan saraf..2,3,7,9,10,11
Pada pasien didapatkan 2 gejala kardinal MH yaitu bercak kulit yang mati
rasa dan ditemukannya BTA pada pemeriksaan hapusan sayatan kulit dengan IB =
3+. Lesi kulit pada pasien berupa makula eritema multipel, berbentuk bulat-
11
geografika, berukuran 2x2-4x5 cm, dan terdapat kulit yang normal di antara lesi,
dengan distribusi yang cenderung simetris dengan permukaan lesi yang halus
berkilat dan ditemukannya BTA yang cukup banyak (IB = 3+) pada hapusan
sayatan kulit, mengarahkan didiagnosis klinis pasien menjadi MH tipe BL.
Gambaran histopatologis MH tipe BL adalah ditemukannya granuloma
yang umumnya terdiri atas makrofag yang dikelilingi oleh sel epiteloid. Limfosit
jarang terlihat dan tersebar pada granuloma.12 Epidermis tidak mengalami
perubahan. Sub epidermal clear zone (grenz zone) masih tampak jelas terlihat.
Respon klasik dermal pada MH tipe BL adalah terdapatnya infiltrat limfositik yang
padat dan terbatas pada daerah yang terisi oleh makrofag. Makrofag biasanya
foamy, namun sering pula ditemukan makrofag yang belum berdiferensiasi. Pada
pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan adanya sel plasma dan basil.2,12
Temuan histopatologis yang berbeda ditemukan pada SLE, yaitu berupa
hiperkeratosis, atrofi epidermal, degenerasil sel vakuolar basalis, penebalan
dermal-epidermal junction, edema dermal, deposisi mucin dermal, dan infiltrasi sel
mononuclear pada dermal-epidermal junction dan dermis.8
Hasil pemeriksaan histopatologis menunjukkan epidermis dalam batas
normal, sedangkan pada bagian subepidermis tampak gambaran grenz zone, serta
tampak beberapa fokus granuloma yang terdiri dari makrofag, limfosit, dan sel
epiteloid. Tampak pula gambaran basil tahan asam. Temuan histopatologis tersebut
sesuai untuk MH tipe BL.
Morbus Hansen memiliki manifestasi klinis yang bervariasi sehingga tidak
jarang disangka sebagai penyakit kulit yang lain dan dijuluki sebagai “the great
imitator”.8 Manifestasi klinis MH yang bervariasi tersebut dapat menyebabkan
kekeliruan mengenali MH sebagai penyakit autoimun sistemik lain seperti SLE.
Klinisi sebaiknya memikirkan MH dalam membuat diagnosis banding SLE yang
memiliki gejala klinis yang kurang khas, terutama bila berada di daerah endemis
MH. Pasien dapat mengeluhkan adanya gejala yang tidak spesifik untuk MH,
seperti: malar rash, artritis, fotosensitivitas, polineuropati, kelemahan otot,
limfadenopati generalisata, hepatosplenomegali, glomerulonephritis, dan
ditemukannya auto-antibodi sebagaimana yang terjadi pada pasien dengan
12
SLE.8,13,14,15 Teixeira dkk. melaporkan terdapat beberapa lesi kulit menyerupai SLE
pada pasien MH seperti malar rash, fotosensitivitas, dan lesi diskoid, yang
kemudian mendukung terjadinya misdiagnosis MH itu sendiri.13 Meskipun
presentasi klinisnya dapat menyerupai SLE, MH memiliki gejala yang khas yang
dapat meningkatkan kewaspadaan klinisi terhadap penyakit ini, seperti lesi kulit
yang mati rasa, pembesaran saraf dan nyeri pada saraf. Lesi dapat mengenai saraf
perifer kulit, terutama nervus tibialis posterior, ulnaris, medianus, dan peroneus
communis. Kemiripan lesi kulit pada MH tipe borderline dengan lesi kulit pada
SLE merupakan suatu tantangan dalam penegakkan diagnosis.8,16,17,18
Systemic lupus erythematosus merupakan penyakit inflamasi kronis yang
penyebabnya masih belum diketahui pasti dan dapat mengakibatkan gangguan pada
kulit, sendi, ginjal, paru, sistem saraf, dan/atau organ lain dalam tubuh.19,20
Abnormalitas imunologis, terutama produksi antinuklear antibodi merupakan tanda
yang khas dari SLE. Penyakit ini biasanya menyerang perempuan muda, berusia
20-30 tahun. Seperti halnya MH, manifestasi kulit pada SLE juga dapat beragam.
Sering merasa lelah, myalgia, panas badan, dan penurunan berat badan umumnya
dijumpai pada 50-100% kasus SLE.19,20,21,22
Kriteria klasifikasi ACR untuk SLE yang direvisi tahun 1997 menetapkan
bahwa pasien didiagnosis menderita SLE bila memiliki empat kriteria atau lebih
dari 11 kriteria yang telah ditetapkan.8,13,19,20 Kriteria klasifikasi ACR yang
memiliki sensitivitas sebanyak 96% dan spesifisitas 84%, memiliki angka false-
positive sebesar 16% untuk SLE pada daerah endemis MH, sehingga kriteria
klasifikasi ini menjadi kurang spesifik bila digunakan pada daerah endemis MH.13,14
Sebuah studi dengan 100 subjek pasien MH tipe MB di Brazil tahun 2005
mendapatkan bahwa 16 pasien memiliki ≥ 4 kriteria klasifikasi, sehingga
didapatkan spesifisitas kriteria ACR pada penelitian tersebut adalah sebesar 84%
(95% CI 0,055-0,945). Kriteria yang paling banyak dijumpai pada pasien MH yang
dicurigai SLE antara lain malar rash (44%), artritis (23%), fotosensitivitas (29%),
limfopenia (19%), dan ditemukannya antibodi antifosfolipid yang termasuk kriteria
imunologis (20%), ANA (10%), lesi diskoid (9%), dan yang lebih jarang yaitu
13
leukopenia (3%), anemia hemoltik (1%), serositis (1%), serta manifestasi
neurologis dan ginjal (1%).8,13,15
Tabel 1. Kriteria diagnosis ACR 1997 untuk SLE
Malar rash
Discoid rash
Dikutip dari: Kasjmie YI, Handono K, Wijaya LK Hamijoyo L, Alba Z, Kalim H. Rekomendasi
Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus
Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011. p. 23.
14
Kasus MH yang sering diduga sebagai SLE, pada umumnya memiliki gejala
klinis seperti manifestasi kulit, eritema fasial, neuropati, artritis, dan fenomena
Raynaud. Abnormalitas laboratorium yang ditemukan, antara lain: leukopenia,
limfopenia, dan hasil pemeriksaan ANA yang positif.8,13 Temuan serologis dan
manifestasi klinis yang serupa dapat menyebabkan terjadinya misdiagnosis MH
dengan penyakit autoimun lain seperti SLE. Misdiagnosis sering kali
mengakibatkan pengobatan pasien dengan kortikosteroid dan imunosupresan, yang
mungkin dapat menyebabkan perubahan manifestasi klinis MH.15
Pada kasus, awalnya pasien dicurigai menderita SLE dengan gejala klinis
berupa malar rash, fotosensitivitas, dan riwayat ulkus mulut. Kecurigaan terhadap
SLE bertambah setelah didapatkan hasil pemeriksaan ANA-IF tipe nucleoplasm
granular/speckled yang positif dengan titer 1:100. Manifestasi klinis dan hasil
pemeriksaan ANA-IF yang positif tersebut memenuhi 4 kriteria ACR. Titer ANA-
IF yang ditemukan pada pasien dengan SLE pada umumnya 1:1.080, sehingga hasil
pemeriksaan ANA-IF dengan titer 1:100 termasuk positif rendah. Pemeriksaan
ANA-IF memiliki sensitivitas tinggi (99%), namun tingkat spesifisitasnya cukup
rendah untuk SLE (80%). Pemeriksaan ANA-IF ini didapatkan pula positif pada
berbagai penyakit lain seperti skleroderma, dermatomyositis, artritis rematoid,
vaskulitis rematoid, leukemia, limfoma, sindrom Sjögren, penyakit Grave, dan MH
terutama tipe MB. Hasil pemeriksaan lanjutan yang lebih spesifik yaitu anti-dsDNA
(sensitivitas 98% dan spesifisitas 99%) tidak mendukung diagnosis SLE.
Pemeriksaan profil ANA mendapatkan hasil negatif untuk anti-dsDNA, antigen
RNP/Sm, Sm, SS-A native, Ro-52 recombinant, SS-B, Scl-70, PM-Scl100, Jo-1,
Centromere B, PCNA, Nucleosomes, Histones, ribosomal P-protein, dan AMA-
M2.21,22 Pemeriksaan laboratorium lain seperti DL dan urinalisis dalam batas
normal. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, meskipun pasien memenuhi 4
dari 11 kriteria ACR, namun penerapan kriteria ACR pada daerah endemis MH
dinilai kurang spesifik karena memiliki angka false positive sebesar 16%.8,13 Pada
pengamatan pertama, didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal MH, yaitu bercak kulit
yang mati rasa dan ditemukannya BTA positif pada hapusan sayatan kulit.
Pemeriksaan histopatologis pada lesi kulit juga tidak mendukung ke arah SLE,
15
namun sebaliknya menegakkan diagnosis MH tipe BL. Dari kumpulan manifestasi
klinis dan pemeriksaan penunjang tersebut, dapat disimpulkan diagnosis SLE dapat
disingkirkan.
Kadar auto-antibodi pada pasien MH sendiri didapatkan bervariasi pada
beberapa penelitian. Hasil pemeriksaan ANA dilaporkan positif pada 37,5% pasien
MH dan biasanya dengan titer yang rendah dan pola titik (speckled) dan
homogenus. Hasil pemeriksaan ANA yang positif dengan titer yang rendah pada
beberapa pasien MH merupakan hasil reaktivitas silang lemah dengan asam nukleat
dan nukleoprotein kompleks. Sebagai tambahan, munculnya auto-antibodi tersebut
berkaitan dengan peningkatan kerusakan sel secara kronis, pelepasan antigen yang
diakibatkan oleh cedera jaringan, paparan antigen yang awalnya tersembunyi, yang
kemudian menyebabkan respon antigenik yang menstimulasi produksi auto-
antibodi. Mekanisme lain yang mugkin terjadi adalah molecular mimicry akibat
reaktivitas silang antara antigen penyebab infeksi dan antigen penjamu. Semakin
lama individu menderita penyakit, bertambahnya usia, riwayat relaps dan terapi
dengan prednisolon atau klorokuin akan meningkatkan kadar ANA. Sebagian besar
penelitian menemukan peningkatan prevalensi ANA pada pasien MH tipe
multibasiler, yang nampaknya tidak bergantung pada durasi pengobatan dengan
antimikrobial. Variabilitas hasil pemeriksaan ANA mencerminkan adanya sampel
yang heterogen, serta durasi dan tipe penyakit. Pasien dengan durasi penyakit yang
lebih panjang, usia yang lebih tua, menderita MH tipe MB, dan riwayat terjadinya
reaksi kusta berulang, dilaporkan memiliki kecenderungan untuk medapatkan hasil
pemeriksaan ANA yang positif.8,15,16
Pengenalan diagnosis MH secara dini dan cermat akan berujung pada
pengobatan yang cepat dan tepat. WHO merekomendasikan pasien MH untuk
diberikan pengobatan multidrug therapy (MDT). Adapun regimen pengobatan
MDT MH tipe MB dewasa dalam 1 paket terdiri dari rifampisin 600 mg yang
diminum 1 kali sebulan di bawah pengawasan, klofazimin 300 mg diminum 1 kali
sebulan di bawah pengawasan dan selanjutnya 50 mg/hari swakelola, serta dapson
100 mg/hari swakelola. Lama pengobatan MDT MB adalah 12 paket yang
16
diselesaikan dalam waktu 12 hingga 18 bulan.2,3,11 Setelah diagnosis MH tipe BL
ditegakkan pasien diberikan terapi MDT MB sebanyak 12 paket.
Morbus Hansen tipe BL merupakan penyakit yang progresif dan morbiditas
pada penyakit ini disebabkan oleh adanya cedera saraf atau munculnya reaksi kusta
pada pasien.2 Berbagai komplikasi dapat timbul pada pasien dengan MH, antara
lain: deformitas, neuropati perifer, lagoftalmus, keratitis, dan ulkus pedis.
Komplikasi pada MH terjadi sebagai akibat cedera saraf perifer, insufisiensi vena,
atau timbulnya jaringan parut. Neuropati perifer terjadi pada 20% pasien MH
selama tahun pertama pengobatan. Neuropati perifer ini memberikan gejala berupa
parestesia dan kesemutan pada daerah distribusi stocking and glove (stocking and
glove pattern of sensory impairment atau S-GPSI). Gejala awalnya melibatkan
ekstremitas bawah dan kemudian terjadi pada ekstremitas atas. Diperkirakan
seperempat hingga sepertiga pasien baru yang didiagnosis dengan MH memiliki
atau akan menderita disabilitas kronis sebagai akibat sekunder dari cedera saraf
ireversibel pada tangan, kaki, ataupun mata.2,3,7 Pasien pada kasus menderita
komplikasi berupa S-GPSI dengan keluhan kesemutan dengan gejala berawal dari
kedua tangan yang kemudian juga dikeluhkan pad kedua kaki. Komplikasi ini
ditandai dengan didapatkannya penurunan sensibilitas rasa raba, nyeri, dan suhu
pada kedua dorsum dan plantar manus dan pedis, serta pemeriksaan sensoris dengan
monofilamen ditemukan pula mengalami penurunan (pada kedua dorsum dan
plantar manus didapatkan warna ungu dengan nilai 2,0 gf dan pada kedua dorsum
dan plantar pedis didapatkan warna merah tua dengan nilai 4,0 gf).
Prognosis MH bervariasi tergantung dari derajat keparahan penyakit saat
diagnosis dan terapi, serta ada tidaknya komplikasi seperti reaksi dan deformitas
pada pasien. Diagnosis dan pengobatan dini sangat membantu dalam mencegah
kerusakan dan komplikasi lebih lanjut. Namun, apabila pasien telah menderita MH
cukup lama dan telah terjadi komplikasi yang mempengaruhi kehidupan pasien,
maka pasien memiliki prognosis yang buruk.9,11
Pasien didiagnosis MH tipe BL setelah 2 bulan munculnya gejala dan segera
diterapi setelah diagnosis ditegakkan. Pasien merupakan seorang guru SMP yang
memiliki tingkat edukasi yang cukup baik sehingga meningkatkan pengertian
17
pasien terhadap penyakit dan ketaatan berobat. Hingga saat ini, komplikasi yang
ditemukan hanya S-GPSI, sehingga dapat disimpulkan pasien memiliki prognosis
dubius ad bonam.
SIMPULAN
Telah dilaporkan kasus MH tipe BL yang awalnya diduga sebagai SLE pada
seorang laki-laki suku Bima berumur 44 tahun. Diagnosis MH tipe BL ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan BTA, pemeriksaan darah, dan biopsi kulit. Dari anamnesis didapatkan
bercak kemerahan pada kedua pipi sejak 2 bulan yang lalu, disertai dengan bercak
kemerahan pada dada, punggung, dan ekstremitas. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan makula eritema multipel, batas tidak tegas, bentuk geografika, ukuran
bervariasi 2x2 cm–4x5 cm, permukaan halus berkilat dengan distribusi bilateral
hampir simetris. Pemeriksaan BTA ditemukan IB = 3+ dan pemeriksaan
histopatologis mendukung diagnosis MH tipe BL. Diagnosis SLE disingkirkan,
karena meskipun memenuhi 4 kriteria ACR (malar rash, fotosensitivitas, ulkus
mulut, dan hasil pemeriksaan ANA-IF positif tipe speckled dengan titer 1:100),
hasil pemeriksaan yang lebih spesifik untuk SLE yaitu profil ANA mendapatkan
hasil negatif. Pasien diberikan pengobatan MDT MB, vitamin B1B2B12 1 tablet
setiap 24 jam per oral, dan oleum olivarum topikal setiap 12 jam. Prognosis pasien
dubius ad bonam.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Thorat DM, Sharma P. Epidemiology. In: Kar HK, Kumar B, editors. IAL
textbook of leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. p. 24-31.
2. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill companies, 2012. p. 2253-
2263.
3. Amiruddin, M.D., Hakim, Z., Darwis, E. Diagnosis Penyakit Kusta. In:
Sjamsoe-Daili, E.S., Menaldi, S.L., Ismiarto, S.P., Nilasari, H., editors. Kusta.
2nd ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2003. p. 12-32.
4. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record. World Health
Organization. 2015; 90: 461-476.
5. Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Bali tahun
2013. Available at: http://www.Baliprov.go.id. Accessed on April 2016.
6. Anonim. Buku register Kunjungan Sub Divisi Morbus Hansen, Poliklinik Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Denpasar; 2013-2015.
7. Kumar B, Dogra S. Case Definition and Clinical Types. In: Kar HK, Kumar B,
editors. IAL textbook of leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. p. 152-166.
8. Horta-Baas G, Hernandez-Cabrera MF, Barile-Fabris LA, Romero-Figueroa M,
Arenas-Guzman R. Multibacillary leprosy mimicking systemic lupus
erythematosus: case report and literature review. Lupus. 2015; 24: 1095-1102.
9. Matsuo C, Nogueira L, Santos MN, Talhari C, Rabelo RF, Talhari S. Borderline
lepromatous leprosy. An Bras Dermatology. 2010; 85(6): 921-2.
10. Mussani F. Borderline Lepromatous Leprosy: A Case to Remember. J Cutan
Med Surg. 2016; 20(2): 176-177.
11. Eichelmann K, Gonzales SE, Salas-Alanis JC, Ocampo-Candani J. Leprosy. An
Update: Definition, Pathogenesis, Classification, Diagnosis, and Treatment.
Actas Dermo-Sifiliograficas. 2013; 104: 554-63.
12. Dullobho P, Mohan N. Pathological Aspects. In: Kar HK, Kumar B, editors.
IAL textbook of leprosy. New Delhi: Jaypee Brothers; 2010. p. 100-117.
13. Teixera GJA, Silva CEF, Magalhaes V. Application of the diagnostic criteria
for systemic lupus erythematosus to patient with multibacillary leprosy. Revista
da Sociedale Brasileira de Medicina Tropical. 2011; 44(1): 85-90.
14. Karadeniz A, Lally L, Magro C, Levy R, Erkan D, Lockshin MD. Lepromatous
Leprosy Mimicking Systemic Lupus Erythematosus. HSS Journal. 2014; 10:
286-291.
15. Tsung TH, Yu HW. Leprosy mimicking lupus erythematosus. Dermatologica
Sinica. 2014; 32: 47-50.
16. Ribeiro FM, Gomez VE, Albuquerque EMN, Klumb EM, Shoenfeld Y. Lupus
and leprosy: beyond the coincidence. Immunol Res. 2015; 61: 160-163.
17. Liu D, Li G, Huang W, Gao J, Yue C, Xiao Q. Analysis of newly detected
Leprosy cases and misdiagnosis in Wuhan (1990-2004). Lepr Rev. 2009; 80:
410-415.
18. Alberti JR, Cabrera A, Martiniuk F, Sanchez M, Levis WR. Leprosy
masquerading as lupus. JAAD. 2005; 52(4): 702-703.
19
19. Costner MI, Sontheimer RD. Lupus Erythematosus. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw Hill companies,
2012. p. 1909-1926.
20. Kasjmie YI, Handono K, Wijaya LK Hamijoyo L, Alba Z, Kalim H.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Jakarta: Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2011. p. 1-46.
21. Bertsias G, Cervera R, Boumpas DT. Systemic Lupus Erythematosus:
Pathogenesis and Clinical Features. Ann Rheum Dis. 2016; 75 : 490-498.
22. Stokos GC. Systemic Lupus Erythematosus. The New England Journal of
Medicine. 2011; 365: 2110-2121.