Upload
others
View
56
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI
DALAM ILMU HADIS
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Hadis
Oleh:
Ali Moh Al Hudhaibi
(NIM: 211410468)
KONSENTRASI ULUMUL QURâAN DAN ULUMUL HADIS
PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AGAMA ISLAM
INSTITUT ILMU AL-QURâAN (IIQ) JAKARTA
1442 H/2021 M
SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI
DALAM ILMU HADIS
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Hadis
Oleh:
Ali Moh Al Hudhaibi
(NIM: 211410468)
Pembimbing:
Dr. KH. Sahabuddin, MA
Dr. KH. Ahmad Fudhaili, M. Ag
KONSENTRASI ULUMUL QURâAN DAN ULUMUL HADIS
PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AGAMA ISLAM
INSTITUT ILMU AL-QURâAN (IIQ) JAKARTA
1442 H/2021 M
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt., karena atas
taufik-Nya, tesis ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Berbagai
kendala tentu mengiringi proses penelitian tesis ini. Namun semua itu
hakikatnya adalah pembelajaran dan pengalaman berharga bagi penulis
sendiri. Selawat dan salam semoga selalu tercurah limpah keharibaan
Baginda Nabi Besar Muhammad saw., keluarganya, para sahabatnya, dan
seluruh umatnya yang senantiasa berusaha mengikuti ajaran-ajarannya.
Dalam proses penyelesaian tesis ini, tentu tidak lepas dari dukungan,
keterlibatan, dan sumbangsih berbagai pihak, baik perorangan maupun
lembaga, baik yang langsung maupun tidak langsung, mulai perencanaan,
penelitian, dan penyusunannya hingga rampung. Oleh karena itu, dalam
kesempatan yang baik ini, dan dengan segala hormat, penulis haturkan
terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka semua, terutama
kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. selaku Rektor
Institut Ilmu Al-Qurâan Jakarta.
2. Bapak Dr. H. Muhammad Azizan Fitriana MA., selaku Direktur
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qurâan Jakarta.
3. Bapak Dr. KH. Sahabuddin, MA. dan Bapak Dr. KH. Ahmad
Fudhaili, M.Ag. selaku pembimbing I dan II, yang telah membimbing
penulis, memberi masukan, arahan dan pencerahannya yang
bermanfaat hingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis
ini dengan baik.
ii
4. Seluruh guru besar dan dosen Studi Ulumul Qurâan dan Ulumul
Hadis beserta seluruh staf dan karyawan Program Pascasarjana
Institut Ilmu Al-Qurâan Jakarta.
5. SyaikhĂŽ wa Murabbi rĂťhĂŽ, al-MuqrĂŽ, al-Hâfizh, Hâmil Al-Qurâân,
Bapak KH. Mufid Masâud, rahmatullâh âalaih; (Pendiri dan
Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Ngaglik, Sleman,
Yogjakarta); yang berjasa besar dalam proses thalab al-âilm penulis.
Kepada beliau penulis berkesempatan langsung menimba ilmu dan
menghafal Alquran hingga rampung. Juga mengenal arti pentingnya
berkhidmat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.
6. SyaikhÎ wa Murabbi rÝhÎ, Khâdim as-Sunnah, Bapak Prof. Dr. KH.
Ali Mustafa Yaqub, MA. rahmatullâh âalaih; (Pendiri dan Pengasuh
Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat,
Indonesia); yang berjasa besar mengenalkan penulis pada pustaka-
pustaka hadis dan ilmu hadis, thuruq fahm al-hadĂŽts, tentang arti
pentingnya dirâsah, munazhzhamah, nasyr al-âilm, baik melalui taâlĂŽf
al-kitâb, qudwah, maupun binââ al-maâhad.
7. Kedua orang tua penulis; Ayahanda, Drs. KHR. Deden Abdul
Hakiem; orang pertama yang mengarahkan pendidikan penulis; dan
Ibunda, Dra. Hj. Een Juhairiah, M.Pd.I; orang pertama yang
mengajari penulis huruf-huruf hijaiah dan huruf-huruf abjad.
âSemoga Allah swt. selalu menyayangi keduanya, memanjangkan
umurnya, memberkahi dan menjaganya dunia dan akhirat.â ÄmĂŽn.
8. Saudari-saudari terkasih penulis; Elva Alvia Fauziyah, S.Pd., M.Pd.,
Dina Nailul Muna, S.Pd., Ummul Khair Salma, S.Farm., dan Wafa
Ghaida Aulia.
iii
9. Istri tercinta, Siti Muâawanah, S.Sos., Lc., M.Sos. yang tak bosan-
bosannya memotivasi dan mendoakan penulis. Juga ketiga anak
penulis; Fawwaz Fajrurrahman Hakiem, Mumtaz Hakiem Mubarak,
dan Sahnaz Sayeda Auliya Hakiem, yang penulis harap ketiganya
kelak menjadi sahabat kehidupan yang baik dan bermanfaat. ÄmĂŽn.
10. Seluruh sahabat Studi Ulumul Qurâan dan Ulumul Hadis
Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qurâan Jakarta 2011.
Semoga Allah swt. membalas semua kebaikan mereka dengan
balasan terbaik. Peribahasa tak ada gading yang tak retak adalah benar
adanya. Karena itu, tebar sapa, kritik dan saran dari pembaca sangatlah
diharapkan guna perbaikan tesis ini ke depan.
Jakarta, 25 Februari 2021 M
13 Rajab 1442 H
Penulis
iv
v
vi
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad satu ke
abjad lain. Dalam penulisan di Institut Ilmu Al-Qurâan Jakarta, transliterasi
Aran-Latin mengacu pada berikut ini:
1. Konsonan
th = ء a = أ
zh = ظ b = ب
â = Řš t = ŘŞ
gh = Řş ts = ŘŤ
f = Ů j = ŘŹ
q = Ů h = Ř
k = Ů kh = ŘŽ
l = Ů d = ŘŻ
m = Ů dz = Ř°
n = Ů r = Řą
w = ٠z = ز
h = ŮŮ s = Řł
â = ŘĄ sy = Ř´
y = Ů sh = Řľ
dh = Řś
2. Vokal
Vokal tunggal vokal panjang vokal rangkap
Fathah : a أ : â ٠: ai
Kasrah : i Ů : ĂŽ Ů : au Dhammah :
u Ů : Ăť
3. Kata Sandang
a. Katas sandang yang diikuti al-qamariyah
Kata sandang yang diikuti al-qamariyah ditransliterasikan sesuai
bunyinya, yaitu hurul l (el) diganti huruf yang sama dengan huruf
yang langsung mengikuti kata sandang itu. Contoh: ŘŠŘąŮبŮا : al-
Baqarah; la : ŮŘŠ Ů ŘŻŮ MadĂŽnah-اŮ
b. Kata sandang yang diikuti al-syamsiyah
Kata sandang yang diikuti al-syamsiyah ditransliterasikan sesuai
aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Contoh:
-adh : اŮŘśŘا٠;asy-syams : س٠شŮا ;as-sayyid : ŘŻŮŘłŮا ;ar-rajul : اŮŘ´ŘŹŮ
Dhahhâk.
viii
ABSTRAK
Penelitian ini bermula dari pernyataan seorang peneliti hadis yang
menyatakan bahwa ada sebagian penggiat ilmu hadis yang memberikan kesimpulan
bahwa term-term dalam ilmu hadis yang dimaksudkan dan dicetuskan oleh para
pakar hadis mutaqaddimĂŽn tidak sebagaimana yang dimaksudkan dan dicetuskan
oleh para pakar hadis mutaâakhkhirĂŽn. Kesimpulan ini tentu akan berimplikasi
signifikan pada kasus-kasus lain yang cakupannya lebih luas dalam ilmu ini. Seperti
hukum hadis, dimana darinya dipertanyakan apakah hadis itu dapat dijadikan hujjah
atau tidak; dapat diamalkan atau tidak, dan seterusnya. Persoalan lain, adanya
penerimaan secara instan dari pustaka-pustaka hadis, dimana darinya sebagian
penggiat hadis tidak dapat melihat keterkaitan historis antara pernyataan pakar hadis
tersebut dan dalam prosesnya yang seolah-olah berbeda itu. Dari sini, penulis
mencoba menggalinya lebih jauh, bagaimana sebenarnya term-term itu berproses
hingga mewujud menjadi mapan dan dijadikan basis oleh ahlinya.
Penelitian ini dipetakan ke dalam tiga fase; 1) Fase kelahiran dan
pertumbuhan; 2) Fase perkembangan; dan 3) Fase penyempurnaan. Dua fase yang
pertama penulis kelompokan ke dalam fase ahli hadis mutaqaddimĂŽn, dan satu fase-
yaitu fase yang ketiga-ke dalam fase ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn. Pendekatan yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah (historical approach),
semantik â(ilm ad-dilâlah), dan ilmu hadis sendiri. Pendekatan sejarah bertujuan
untuk memahami serangkaian peristiwa sejarah dari data yang ada dan menemukan
periodisasi munculnya term-term yang penulis teliti. Pendekatan semantik bertujuan
mempelajari makna suatu bahasa. Dan pendekatan ilmu hadis bertujuan menjaga
konsistensi tulisan agar tetap berbicara seputar ilmu ini. Penelitian ini murni
penelitian pustaka yang objek materinya karya-karya yang membahas ilmu hadis
dari klasik hingga modern. Jenis penelitiannya kualitatif yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata yang tertulis dari objek yang diamati.
Hasil penelitian ini menyimpulkan, ada sebagian term yang ungkapannya
sama, namun maksudnya berbeda. Begitu sebaliknya, ada sebagian term yang
ungkapannya berbeda, namun maksudnya sama. Perbedaan itu ada yang
berimplikasi pada keabsahan hadis, seperti term munkar dan term sahih perspektif
Imam al-Hâkim (w. 405 h) serta term munqathiâ perspektif Imam al-BardĂŽjĂŽ (w. 301
h); ada juga yang tidak, seperti term munqathiâ dan muâdhal. Perbedaan itu tidak
memengaruhi posisi hadis bersangkutan sebagai hadis daif sebab gugurnya sanad
(saqth fÎ al-isnâd), tetapi lebih kepada upaya memosisikan hadis sesuai dengan
temanya. Metodologi yang diformulasikan oleh ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn lebih
selamat diikuti, karena mereka telah mengkaji, memetakan, menertibkan, dan
menyimpulkan maksud-maksud ahli hadis mutaqaddimĂŽn dengan cermat dan
seksama. Meskipun dalam beberapa sisi perbedaan itu akan tetap ada dan tidak
dapat diabaikan.
Kata kunci: Term-term dalam ilmu hadis, sejarah, perdebatan.
ix
ABSTRACT
This study begins from the statement of hadith researcher who was stating
that some people concluded: there are differences between the terms of hadith
which have created and arranged by classical hadith scholars and modern hadith
scholars. This conclusion gives a profound impact on hadith science generally.
Such as the verdict of hadith, where this point can be questioned: is the hadith
possible to be counted as the evidence or not; is it legal to be practiced or not, and
many more. On the other hand, the acceptance to literature of hadith freely, where
some people who study hadith could not see the history correlation between the
statement of hadith scholars and its process which seem different. Therefore, an
endeavor will be made to analyze further, how the terms actually process time by
time, until it becomes established and becomes the basis for the scholars.
This study divided into three phases; 1) Nascence and emersionâs phase, 2)
Accretionâs phase; and 3) Completionâs phase. The author categorized for the first
two phases as classic hadith scholarâs phase, and for the last phaseâthat is the third
phaseâas modern hadith scholars. This study used historical approach, semantic,
and hadith science itself. The historical approach aimed to understand a chain of
history from data which has been founded and collected, as well as to determine the
periodization of the terms that will be studied. The semantic approach aimed to
study the meaning of a language. And the hadith science approach aimed to
maintain consistency in the content of this study, in order to guide the discussion
through hadith science. This study is counted as library research where it will be
focused on discussing the works of hadith science, from classical to modern. This
type of study is qualitative which delivers the descriptive data from the object that
has been studied.
The result of this study concluded there are several terms with the same
form but have different meanings, and there are some terms with different forms but
have the same meaning. The differences that exist has implications for the validity
of hadith. Such as the term of munkar and sahih belongs to Imam al-Hâkim (d. 405
h), and the term of munqathiâ belongs to Imam al-BardĂŽjĂŽ (d. 301 h); but there are
also several terms which is not affected, such as munqathiâ and muâdhal. The
differences does not give an impact on the position of hadith which caused by the
interruption in chain of transmission (saqth fÎ al-isnâd), but rather than an effort to
place hadith based on its theme. The methodology which formulated by the modern
hadith scholars is more credible to be followed, because they have analyzed,
mapped, arranged, and concluded on the terms of classical hadith scholars
accurately. Even for some parts, its will always exist and impossible to avoid.
Keywords: the terms of hadith science, history, debate.
x
اŮبŘŘŤ Ů ŮŘŽŘľ
ŘŁŮ ŮŘŤŘ°ŘŁ ٠زا اŮŘŤŘŘł Ůا ŘŁŘŘ° اŮ؍اŘŘľ Ů ŘťŮ٠اŮŘŘ°Řł ŘąŮŘ´ ŘŁ
اŮؾءŮŘا؎ Ů ŘťŮ٠اŮŘŘ°Řł اŮŘą ŮŘ°Ůا اŮŘźŮاإ اŮع٠ذ٠Ůسد Ůا Ůؾذا اŮŘźŮاإ
اŮŘąŘŹŘ ŘŞŘ§ŮعأŮŘ° سعأشش Ůؾشا ت٠اŮأسغ ؝٠اŮŘ´ŮŮا؎ اŮŘŁŘŽŘ´ ٠اŮŘąŘŁŘŽŘ´Ř Ř˛
.٠؟٠ت Řزا اŮŮ. ؝٠س؍٠اŮؾاŮŘ ŮŘŮ٠اŮŘŘ°Řł Ů Ů ŘŘŹŘ ŘŁŮ Ůا
اŮŘ´ŮŮŘ Ř§ŮŘŁŘŽŘ´ اŮ٠؍٠اŮŮŘł ٠اŮŮع؊ اŮŘŘ°ŘľŘ Ř§ŮŘą Ůا سعءغ ت؟؜ ءŮاب
ŘŘ°Ř´ اŮŘźŮŘ Ř§ŮŘą Ř°ŘŤŘ° اŮا؎عŮاŮ. ٠اŮŘŘ°Řł ŘłŘ¤Ř Ř§ŮŘźŮاŮŘ Ř§ŮŘąŘ§ŘłŘŽŘ ŘŞ ŘŁŮا٠اŮ
Ř§Ř Řا٠اŮ؍اŘŘł ŘŁ ؟٠Ůؾشا Ů ŮŮŘ Ř°Ů Ř˛ اŮؾءŮŘا؎ ذاŮا ذؾ؍Ř
أساسا ŮŮŘŘ°Ř´.
شاا ŘŮس٠اŮ؍اŘŘł زا اŮŘŤŘŘł ŘŚŮ Ř´Ůاز اŮشاŘŮ Ř ŘŁŮا ŮŘ´ŘŮŘ Ř§Ůظس اŮ
؜٠Ůا اŮ؍اŘŘł Ů ŮااŮŘ´ŘŮعا اŮأشاŮؾا ŮŘ´ŘŮŘ Ř§Ůؼذا٠اŮŘĽŮاŮ. ŘŮŘ´ŘŮŘ Ř§Ůعءس
٠اŮŘ´ŘŮŘ Ř§ŮؾاŮŘľŘ ŘśŮ Ůا اŮŘŘ°Ř´ اŮعأ؎ش. اسع؎ذ٠ŘŮŘ´ŘŮŘ Ř§ŮŘŘ°Ř´ اŮع٠ذŮ
ذ٠،٠اŮ؍اŘŘł اŮŮ Ř§ŘłŘŞŘ Ř§ŮŘąŘ§ŘłŘŽŘ ŘťŮ٠اŮŘ°ŮاŮŘ ŘťŮ٠اŮŘŘ°Řł. ŮاŮŮ Ř§ŘłŘŞŘ Ř§ŮŘąŘ§ŘłŘŽŘ Ř°
Řł ŮŮ ŘłŮŘłŮŘ Ř§ŮŘŁŘذاز اŮŘąŘ§ŘłŘŽŘ Ů Ř§Ů؍اا؎ اŮŘŹŘŻŘŹ اŮ؟ؾس ؝٠Ůعش؏ ظ
Ř°Ů ŘťŮ٠اŮŘ°ŮاŮŘ ŘŚŮ Ů٠اŮ؟ا اŮŮŘşŘ. Ř°Ů .اŮ؍اŘساŮؾءŮŘا؎ اŮŘą دسسا
اŮŮ. زا اŮŘŤŘŘł Řť زا اŮŘاساŮŘŮاظ ؝٠اذسا٠اŮŮŘąŘ§ŘŞŘ ŮاؾŮŘ ŘťŮ٠اŮŘŘ°Řł ŘŚŮ
ŘŞŘŘł ŮŮع؍ Ů ŮŘĽŮŮا؎ اŮŘźŮاإ ٠زا اŮŘŤŘŘł Ů؜؝ا. زا اŮŘŤŘŘł ŘŞŘŘł Řť
Ř´Ů٠اŮŮŮا؎ اŮŮŘąŘŞŘ Ů Ř§Ů؜ؚ اŮز Ř°Ů ŮŮاŘظع. ع؏ ٠تاا؎ ŘľŮŘ Ů
Ů Ř٠عا،؏ اŮŘŤŘŘł ŘŁ ت؟؜ اŮؾءŮŘا؎ اذŮŮ ŮŮظا ا؎عŮ٠ذ؟شŮا
ا٠ا؎عŮاŮا؎ Ůا آشاس اŮŘźŮŘł ŘŁ ت؟؜ اŮؾءŮŘا؎ ا؎عŮŮ ŮŮظا اذŮ٠ذ؟شŮا.
Ů( 504ŮؾءŮŘ Ř§ŮŮŘ´ اŮŘľŘŘ ŘťŘ° اŮŘĽŮا٠اŮŘاŮŮ )ŘŽ ؝٠ؾŘŘ Ř§ŮŘŘ°Řł
ا٠ا؎عŮاŮا؎ .Ů( 103)ŘŽ اŮ؍شد؝؏ ؾءŮŘ Ř§Ů٠ءغ ؝ذ اŮŘĽŮا٠اŮŘŤŘ´ŘŻŮ
زا اŮŘąŮŘ´Ů Ůا ŘŁŘ´Ř´ ŘťŮ ŘŻŘłŘŹŘ Ř§ŮŘŘ°Řł ŘŮؾءŮŘ Ř§Ů٠ءغ اŮ؟؜٠Ůا آشاس ŘŻŮŘł
ŘŞŮ ŮŘاŮŘ Ů؜غ اŮŘŘ°Řł Řس؊ ٠اŮؼساد ٠اŮŘŘ°Řł ؜؟Ůا ŘŞ Ůس؍؊ اŮس٠ظŮا
ŮŘ° دسسا ؎ءا سذ؍ا إذ؍ا؝ ŮŘŁ ŘĽŮاا٠. ŮŘŹ اŮعأ؎ش ŘŁŘłŮŮاŮ؜ؚ
؝٠اŮشغ٠٠أ ز اŮا؎عŮاŮا؎ Ů؎ؾا ŘŁŮا٠اŮŘŘ°Ř´ اŮع٠ذ٠تذŮ٠؝اŘ.
.سع؍٠Ůا ٠ذ؏اŮا ٠ت؟؜ اŮاŘ
xi
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ......................................................................... i
Pernyataan Penulis ................................................................. iv
Persetujuan Pembimbing ........................................................ v
Lembar Pengesahan ................................................................ vi
Pedoman Transliterasi ........................................................... vii
Abstrak ................................................................................... viii
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar belakang Masalah ................................................. 1
B. Permasalahan ............................................................... 17
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................. 19
D. Tujuan Penelitian ......................................................... 23
E. Siginifikansi Penelitian ................................................ 23
F. Metodologi Penelitian .................................................. 23
G. Sistematika Logika Penulisan ...................................... 30
BAB II
PARADIGMA KONSEPTUAL ILMU HADIS .................. 32
A. Basis Epistemologi Ilmu Hadis ..................................... 32
B. Formulasi Nalar Ilmu Hadis .......................................... 35
1. Definisi Ilmu Hadis ................................................... 41
2. Kapan Istilah Hadis Muncul? .................................... 49
3. Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah .......... 53
a. Ilmu Hadis Riwayah .............................................. 53
1). Definisi Ilmu Hadis Riwayah ........................... 54
2). Tema Pembahasan Ilmu Hadis Riwayah .......... 55
3). Peletak Ilmu Hadis Riwayah ............................ 55
b. Ilmu Hadis Dirayah ............................................... 60
1). Peletak Ilmu Hadis Dirayah .............................. 62
2). Perkembangan Ilmu Hadis Dirayah .................. 65
3). Cabang-cabang Ilmu Hadis Dirayah ................. 69
BAB III
xii
GENEALOGI ILMU MUSTHALAH HADIS DALAM KONTESTASI
SEJARAH ............................................................................... 74
A. Fase Kelahiran dan Pertumbuhan .................................. 77
1. Masa Nabi saw. dan Sahabat ..................................... 77
a. Ungkapan Shadaqta dan Kadzabta ...................... 79
b. Ungkapan Rajul Shâlih, Niâma ar-Rajul, dan Biâsa 87
c. Ungkapan Rajul, Imraâah, dan Aârabiy ................ 88
d. Upaya Pemeriksaan Berita .................................... 89
e. Praktik Pemberitaan Terputus .............................. 90
2. Masa al-Khulafââ ar-RâsyidĂťn .................................. 90
a. Upaya Penghadiran Saksi, Bukti, dan Sumpah ..... 90
b. Upaya Pelurusan dan Perbandingan Riwayat ....... 94
B. Fase Perkembangan ....................................................... 96
1. Masa Tabiin ............................................................... 96
a. Munculnya Term Mursal dan Teori Sanad .......... 97
b. Riwayat Ahli Bidah ............................................ 101
2. Masa Atbââ Tabiin ................................................... 102
a. Term Sahih, Hasan, dan Daif ............................. 103
b. Term TadlĂŽs atau Mudallas, Munqathiâ, Munkar, Syâdz,
Muâall, dan Mudhtharib ..................................... 104
c. Term MaqbĂťl al-Khabar dan MardĂťd al-Khabar 106
3. Pasca Atbâ Tabiin (200 H â 300 H) ........................ 107
4. Masa Penertiban Ilmu Hadis (300 H â 400 H) ........ 110
5. Masa Pra Penyempurnaan (400 H â 600 H) ............ 113
6. Fase Penyempurnaan (600 H â 1000 H) ................. 116
BAB 1V
PROGRESIVITAS TERM-TERM DALAM ILMU HADIS 119
A. Term Sahih dan Perdebatannya ................................... 119
1. Definisi Sahih .......................................................... 119
2. Term ShahĂŽh li GhairihĂŽ .......................................... 131
3. Hukum Hadis Sahih ................................................ 133
4. Buah Karya Pergulatan Term Sahih ....................... 138
B. Term Hasan dan Perdebatannya .................................. 140
1. Definisi Hasan ........................................................ 140
2. Menyatunya Term Hasan, Sahih, dan lainnya ........ 157
3. Term-term yang Mencakup Sahih dan Hasan ......... 161
xiii
a. Jayyid .................................................................. 161
b. Qawiyy ................................................................. 161
c. Shâlih ................................................................... 162
d. MaârĂťf dan MahfĂťzh ........................................... 163
e. Mujawwad dan Tsâbit ......................................... 163
f. MaqbĂťl ................................................................. 163
g. Musyabbah .......................................................... 163
4. Hukum Menghukumi Hasan Terhadap Sanad ....... 164
5. Buah Karya Pergulatan Term Hasan ....................... 165
C. Term Daif, Pembagian dan Perdebatannya ................. 166
1. Definisi Daif ............................................................ 168
2. Daif Sanad Tidak Mesti Daif Matan ....................... 172
3. Hukum Hadis Daif .................................................. 174
4. Sumber-sumber Hadis Daif ..................................... 181
5. Pembagian Khusus Term Daif dan
Diskusinya ............................................................... 183
a. Muâallaq ............................................................... 183
b. Mursal ................................................................. 190
c. Muâdhal ............................................................... 217
d. Munqathiâ ............................................................ 223
e. Mudallas .............................................................. 229
f. Mursal Khafiy ...................................................... 240
a. MaudhĂťâ ............................................................... 242
b. MatrĂťk ................................................................. 250
c. Munkar ................................................................ 252
d. Muâallal ............................................................... 256
e. Mudraj ................................................................. 262
f. Mudhtharib .......................................................... 266
g. MaqlĂťb ................................................................. 270
h. Mushahhaf ........................................................... 274
i. Al-MazÎd fÎ Muattashil al-AsânÎd ........................ 277
j. Syâdz .................................................................... 279
k. Al-Jahâlah bi ar-RâwÎ ......................................... 284
l. Al-Bidâah .............................................................. 287
m. SĂťâ al-Hifzh ........................................................ 292
xiv
BAB V
PENUTUP ............................................................................. 294
A. Kesimpulan .................................................................. 294
B. Saran-Saran ................................................................. 299
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 301
DAFTAR INDEKS................................................................ 314
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................... 320
BIODATA PENULIS .......................................................... 331
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hierarki sumber ajaran Islam, posisi hadis atau
sunah1 menempati urutan kedua setelah Alquran, bahkan tidak
jarang dianggap sejajar.2 Urgensi hadis tidak hanya karena
1 Istilah hadis dan sunah merupakan dua istilah yang populer dalam
disiplin ilmu hadis. Namun kedua istilah tersebut terkadang masih dinilai
kurang definitif, sehingga perlu dipertegas kembali menjadi hadis Nabi atau
hadis Nabawi dan sunah Nabi atau sunah Rasul. Di luar itu, terdapat istilah
lain, yakni khabar (berita) dan atsar (peninggalan). Namun keduanya tidak
berkembang sebagaimana kedua istilah di atas. Lihat Ali Mustafa Yaqub,
Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), cet. 4, hal. 32. Bagi para ahli
hadis, istilah hadis dan sunah adalah dua istilah yang tidak berbeda, begitu
pula atsar dan khabar, yaitu hal-hal yang berasal dari Nabi saw., baik berupa
perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifatnya, dan sifat-sifat itu baik
berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau
menjadi nabi maupun setelahnya. Berbeda dengan para pakar ilmu usul fikih
yang membedakan definisi sunah dan hadis. Bagi mereka, sunah adalah hal-hal
yang diambil dari Nabi saw., baik perkataan, perbuatan dan penetapannya.
Sedangkan hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat Nabi
saw. Mereka tidak memasukkan sifat-sifat Nabi saw. sebagai sunah. Perbedaan
ini berangkat dari perbedaan mereka dalam memandang hadis sebagai sumber
hukum dan moral di dalam Islam. Para pakar ilmu usul fikih, karena aktifitas
mereka menggali hukum Islam dari Alquran dan hadis, maka hal-hal yang
berasal dari Nabi saw. yang dapat dijadikan sumber ajaran Islam hanyalah
perkataan, perbuatan, dan penetapan saja. Terlepas dari perbedaan tersebut,
istilah sunah sepertinya lebih mendominasi peristilahan kalangan pakar ilmu
usul fikih, sementara istilah hadis lebih banyak digunakan oleh kalangan ahli
hadis. Adapun istilah atsar, para pakar fikih Khurasan memandang istilah
tersebut khusus untuk hadis mauqĂťf saja, sementara khabar khusus untuk hadis
marfĂťâ. Namun yang dianut para ahli hadis, semua istilah itu disebut dengan
atsar sebagaimana ungkapan, âAtsartu al-hadĂŽtsaâ (aku meriwayatkan hadis).
Hal ini diperkuat oleh pernyataan Imam Zain ad-DĂŽn al-âIrâqĂŽ (w. 806 h) yang
menjuluki dirinya dengan al-AtsarĂŽ. Beliau mengatakan dalam permulaan
Alfiah-nya: âYaqĂťlu râjĂŽ RabbihĂŽ al-Muqtadir âAbd ar-RahĂŽm bin al-Husain al-
AtsarĂŽ.â Selain itu, Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ (w. 852 h) juga menamakan
karyanya dalam disiplin ilmu musthalah hadis dengan, Nukhbat al-Fikar fĂŽ
Mushthalah Ahl al-Atsar. Selengkapnya lihat NĂťr al-DĂŽn âItr, Manhaj an-Naqd
fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1418 H), hal. 27. 2 Misalnya menurut Imam asy-SyâfiâĂŽ (w. 204 h), sunah tidak dapat
dipisahkan dari Alquran karena merupakan penjelas terhadap Alquran itu
sendiri. Lihat Muhammad bin IdrĂŽs asy-SyâfiâĂŽ, ar-Risâlah, Editor: Ahmad
Muhammad Syâkir, (tp. t.th), hal. 21-34. Oleh karena itu, sunah tidak dapat
dipisahkan dari yang dijelaskan. Dari sini, mazhab Syafii menetapkan salah
satu kaidahnya bahwa dalil dalam agama Islam itu adalah Alquran dan sunah,
2
berfungsi sebagai penguat dan penjelas terhadap statement-
statement Alquran yang bersifat umum, tetapi juga dapat secara
independen menjadi pijakan dalam menentukan suatu ketetapan
hukum terhadap suatu kasus yang tidak disebutkan oleh Alquran.3
bukan Alquran kemudian sunah. Lihat Muhammad al-Hasan al-FâsÎ, al-Fikr
as-SâmĂŽ fĂŽ TârĂŽkh al-Fiqh al-IslâmĂŽ, (BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, 1995
M), hal. 468. Argumen lain yang digunakan oleh Imam asy-SyâfiâĂŽ untuk
menunjukkan bahwa sunah setara dengan Alquran dan keduanya tidak dapat
dipisahkan adalah beberapa ayat dari Alquran, antara lain: (QS. Äli âImrân [3]:
164. QS. an-Nisââ [4]: 113, QS. al-Ahzâb [33]: 34, QS. al-Jumuâah [62]: 2.
Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata al-hikmah yang bersanding dengan
Alquran. Beliau menafsirkan al-hikmah dalam ayat-ayat tersebut dengan sunah
sebagaimana yang beliau dengar dan pelajari langsung dari seorang pakar
Alquran pada masanya. Lihat Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2006), hal. 68-69. Misalnya lagi menurut Syaikh âAbd al-Ghaniy âAbd al-
Khâliq (w. 1403 h) yang berpandangan sama dengan Imam asy-SyâfiâĂŽ; beliau
berargumen dengan sabda Rasulullah saw.: âKetahuilah bahwa aku diberikan
Alquran dan yang semisal dengannya.â Maksud âYang semisal dengannyaâ
dalam hadis tersebut adalah sunah. Hal itu sangat jelas menunjukkan bahwa
keduanya setara dalam posisi menentukan suatu ketetapan hukum. Lihat Mâjid
ad-DarwĂŽsy, al-Fawââid al-Mustamaddah min TahqĂŽqât al-âAllâmah âAbd al-
Fattâh AbĂť Ghuddah fĂŽ âUlĂťm al-HadĂŽts, (BeirĂťt: Dâr al-Imâm AbĂŽ HanĂŽfah,
1426 H/2005 M), cet. 1, hal. 13. Sebagian yang lain tetap menempatkan sunah
diurutan kedua setelah Alquran. Lihat Muhammad al-AmĂŽn asy-SyinqithĂŽ, al-
Mashâlih al-Mursalah, (MadĂŽnah: al-Jâmiâah al-Islâmiyah al-MadĂŽnah al-
Munawwarah, 1410 H), juz 1, hal. 3. Namun demikian keduanya merupakan
wahyu yang menjadi sumber ajaran Islam. Hanya saja, para ulama menyebut
Alquran dengan al-wahy al-matlĂť (wahyu yang dibaca atau membacanya
bernilai ibadah atau disampaikan melalui malaikat JibrĂŽl as.), sementara sunah
disebut dengan al-wahy ghair matlĂť (wahyu yang tidak dibaca sebagaimana
Alquran atau tidak disampaikan melalui malaikat JibrĂŽl as. atau semua yang
datang dari Nabi saw. selain Alquran). Hal ini berdasarkan isyarat dari firman
Allah swt.: âDan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan.â (QS. an-Najm
(53): 3-4). Selengkapnya lihat Ibnu Hazm al-AndalusÎ, al-Ihkâm fÎ UshÝl al-
Ahkâm, (Kairo: Dâr al-HadÎts, 1404 H), juz 2, hal. 215. 3 Muhammad Muhammad AbÝ ZahwÝ, al-HadÎts wa al-MuhadditsÝn,
(BeirĂťt: Dâr al-Kitâb al-âArabĂŽ, 1984 M), hal. 37-39. Lebih dari itu, Imâm al-
AuzââĂŽ (w. 157 h) berkata: âAlquran lebih membutuhkan sunah daripada
sebaliknya.â Lihat Mâjid ad-DarwĂŽsy, al-Fawââid al-Mustamaddah, hal. 13.
Imam AbĂť HanĂŽfah (w. 150 h) juga mengatakan: âSekiranya bukan karena
sunah, maka di antara kami tidak ada seorang pun yang bisa memahami
Alquran.â Lihat Jamâl ad-DĂŽn al-QâsimĂŽ, Qawââid at-TahdĂŽts min FunĂťn
Mushthalah al-HadĂŽts, (Kairo: Dâr al-âAqĂŽdah, 1425 H/2004 M), cet. 1, hal.
52. Lihat juga IsmââĂŽl asy-SyarbĂŽnĂŽ, Kitâbât Aâdââ al-Islâm wa Munâqasyatihâ,
(Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1422 H/2002 M), juz 1, hal. 611.
3
Melihat posisi hadis yang begitu penting itu, maka
dapatlah dikatakan, urgensi mempelajari hadis sesungguhnya
sama dengan mempelajari Alquran. Oleh karena itu, para ahli
hadis baik generasi salaf maupun khalaf berupaya begitu besar
mengawal eksistensinya. Sehingga hadis-hadis itu memperoleh
pemeliharaan khusus yang belum pernah terjadi pada hadis-hadis
nabi yang lainnya. Hasilnya, tidak ada yang terjadi pada diri dan
kehidupan Nabi saw. yang luput dari liputan dan pemberitaan.
Ketika hadis berposisi sebagai atau menjadi media liputan
dan pemberitaan, maka para ahli hadis selain mengawal
eksistensi hadis-hadis tersebut, juga menjaga otentisitasnya agar
terpelihara dengan baik. Di antara upaya awal yang mereka
lakukan adalah meneliti keadaan para perawinya, apakah mereka
memiliki kredibilitas atau tidak? Lalu meneliti keadaan orang-
orang yang mengambil hadis dari mereka, apakah juga memiliki
kredibilitas atau tidak? Begitu hingga perawi terakhir yang
memberitakan hadis tersebut. Selain itu, mereka juga meneliti
apakah perawi-perawi itu menerimanya secara langsung, melalui
perantara, atau tidak sama sekali? Apakah mereka juga menulis,
menghafal, dan memahami hadis-hadisnya dengan baik? Apakah
terdapat perawi lain yang melakukan kritik terhadap rawi-rawi
tersebut hingga yakin apa yang diberitakannya sesuai sumbernya?
Upaya-upaya itulah yang kemudian mewujud menjadi
kaidah-kaidah ilmu yang mapan dan kaya metodologi. Berikutnya
dikembangkan dan diakomodir dalam suatu wadah disiplin ilmu
agama yang mapan yang disebut dengan ilmu ushĂťl al-hadĂŽts,
atau ilmu mushthalah al-hadÎts, atau ilmu dirâyah al-hadÎts, dan
atau âulĂťm al-hadĂŽts. Dalam disiplin ilmu hadis, istilah-istilah
4
tersebut memiliki makna yang sama sebagaimana dijelaskan oleh
Imam al-âIrâqĂŽ (w. 806 h) dalam karyanya, âAlfiyah al-HadĂŽts.â4
Dilihat dari kajiannya, ilmu hadis terpetakan ke dalam dua
kajian besar, yaitu kajian ilmu hadis riwayah dan kajian Ilmu
hadis dirayah. Secara historis, kajian ilmu hadis riwayah
merupakan yang pertama dalam kajian disiplin ilmu hadis.
Embrionya terlihat dari reportase Ummu al-MuâminĂŽn KhadĂŽjah
ra. (w. 3 sh.) yang mendengar langsung sabda suami tercintanya
mengenai permulaan wahyu (badâu al-wahy) dan kisah datangnya
malaikat JibrĂŽl as. ketika menyampaikan ayat pertama (QS. al-
âAlaq [96]: 1-5) di Gua Hira.5 Adapun kajian ilmu hadis dirayah
mulai mengemuka pasca peristiwa fitnah yang berlangsung pada
masa pemerintahan Khalifah âAlĂŽ bin AbĂŽ Thâlib ra. (memerintah
35-40 h) sebab kasus terbunuhnya Khalifah âUtsmân bin âAffân
ra. (w. 35 h). Demikianlah pendapat para pakar pada umumnya.6
4 Syams ad-DÎn as-SakhâwÎ, Fath al-MughÎts bi Syarh Alfiyah al-
HadĂŽts li al-Hâfizh al-âIrâqĂŽ, (BeirĂťt: Dâr al-Fikr, 1995/1416), cet. 1, hal. 4.
Lihat juga Muhammad bin IsmââĂŽl ash-ShanâânĂŽ, TaudhĂŽh al-Afkâr li MaâânĂŽ
TanqĂŽh al-Anzhâr, (BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, 1417 H/1997 M), juz 1,
hal. 11. Lihat juga Muhammad âAjjâj al-KhathĂŽb, UshĂťl al-HadĂŽts UlĂťmuhĂť
wa MushthalahuhĂť, (BeirĂťt: Dâr al-Fikr, 1427 H/2006 M), cet. 1, hal. 7. 5 Lihat Hâtim bin âÄrif al-âAunĂŽ, al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-
Mushthalah, (tp. t.th), hal. 131. Kisah tersebut didokumentasikan oleh Imam
al-BukhârÎ (w. 256 h) dalam permulaan karyanya. Lihat Muhammad bin
IsmââĂŽl al-BukhârĂŽ, ShahĂŽh al-BukhârĂŽ, Bab Badâu al-Wahy, no. 2, TahqĂŽq: M.
DĂŽeb al-Bighâ, (BeirĂťt: Dâr Ibn KatsĂŽr, 1407 H/1987 M), juz 1, hal. 3. 6 Menurut Musthafâ as-SibââĂŽ (w. 1964 m), tahun 40 hijriah adalah
batas pemisah antara kemurnian sunah dan kebebasannya dari kebohongan dan
pemalsuan hadis. Menurut beliau, sunah pada saat itu sudah mulai digunakan
sebagai alat untuk melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan
internal umat Islam. Sasaran pertama yang dituju oleh para pemalsu hadis
adalah sifat-sifat utama para tokoh. Lihat Musthafâ as-SibââĂŽ, as-Sunnah wa
Makânatuhâ fĂŽ at-TasyrĂŽâ, (tt: Dâr al-Wariq al-Maktab al-IslâmĂŽ, 2000 M) hal.
92. Contoh hadis palsu pada masa ini: âSiapa yang tidak mengatakan âAlĂŽ
orang baik, maka dia telah kafir.â Lihat Muhammad bin âAlĂŽ bin Muhammad
asy-SyaukânĂŽ, al-Fawââid al-MajmĂťâah fĂŽ al-AhâdĂŽts al-MaudhĂťâah, (BeirĂťt:
al-Maktab al-IslâmÎ, 1407 H), hal. 347. Jadi, praktik pemalsuan hadis mulai
muncul pada masa ini, sehingga dapat dikatakan bahwa kajian ilmu hadis
dirayah mulai mengemuka dan serius dilakukan. Demikian karena belum ada
5
Di antara pengaruh terbesar dari peristiwa ini, selain
untuk kepentingan ekonomi dan âmenyenangkan hatiâ pejabat,
adalah munculnya konflik yang mengakibatkan terpecahnya umat
ke dalam beberapa sekte. Sekte-sekte tersebut kemudian bergerak
menuju ranah perpolitikan dan bahkan menyentuh ranah teologi.
Akibatnya muncul konflik politik dengan ragam kepentingannya
yang juga berakibat munculnya konflik teologi di dalamnya.7
Dari fenomena ini, muncullah tradisi buruk dan fatal,
yaitu menjadikan Rasulullah saw. sebagai objek legalitas
terhadap âproyek-proyekâ mereka. Akibatnya muncul hadis-hadis
palsu yang dinisbahkan kepada beliau guna memuluskan proyek-
proyek tersebut. Namun dari fenomena ini juga, para sahabat
mulai ekstra hati-hati dalam menerima suatu hadis.8 Dari sinilah
pertama kalinya kajian ilmu hadis dirayah mengemuka yang
kemudian melahirkan ilmu dan teori baru dalam disiplin ilmu
data historis yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa pada masa Rasulullah
saw. telah terjadi pemalsuan hadis. Lihat Syuhudi Ismaâil, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1428 H/2007 M), cet. 2, hal.
12. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa itu tidaklah memerlukan
kegiatan pengecekan atau penelitian yang mendalam terhadap sanad. 7 AbÝ Bakar asy-SyahrastânÎ, al-Milal wa an-Nihal, (BeirÝt: Dâr al-
Maârifah, 1404 H), juz 1, hal. 27-33 dan 114-198. Lihat juga al-GhurabĂŽ,
TârĂŽkh al-Firaq al-Islâmiyah, (Mesir: Muhammad âAlĂŽ Shâbih, 1959 M), hal.
18-36, 73-74, 204, 304. Lihat juga Hasan IbrâhÎm Hasan, TârÎkh al-Islâm,
(Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1964 M), juz 1, hal. 3â6. 8 Sahabat mulia âAbdullâh Ibnu âAbbâs ra. (w. 68 h) menggambarkan:
âKami (para sahabat), apabila mendengar seseorang mengatakan, âTelah
berkata Rasulullah saw.â, terfokuslah mata dan pendengaran kami kepadanya.
Namun ketika orang-orang mengalami fase kegelisahan dan kesulitan (fase
hilangnya kesadaran akan kritik hadis atau naqd al-hadĂŽts), maka kami tidak
mengambil suatu riwayat atau hadis kecuali yang kami ketahui saja.â Lihat
Muslim bin al-Hajjâj, ShahÎh Muslim, no. 8, (tp. t.th), juz 1, hal. 27. Maksud
kata âseseorangâ dalam perkataan tersebut adalah bukan mereka dari kalangan
sahabat, tetapi mereka dari kalangan tabiin. Sehingga darinya diperlukan
penelitian lebih lanjut dari siapa mereka mengambil dan mendengar suatu
riwayat atau hadis. Lihat Hâtim al-âAunĂŽ, al-Manhaj al-Muqtarah, hal. 22.
6
hadis yang disebut dengan sanad.9 Suatu ilmu dalam transmisi
hadis itu sendiri.10
Dari ilmu sanad kemudian lahir ilmu kritik
rijâl hadis atau dikenal kemudian dengan ilmu jarh dan taâdĂŽl;
suatu ilmu yang merupakan saka guru dari ilmu ushĂťl al-hadĂŽts
itu sendiri. Namun jika dilihat dari objeknya, maka kajian matan
(materi hadis) yang juga bagian dari kajian disiplin ilmu hadis
dirayah telah muncul lebih dahulu dibanding kajian sanad, yaitu
sebelum peristiwa fitnah, yakni masa antara Nabi saw. hingga
akhir masa pemerintahan âUmar ra. (w. 23 h). Namun karena
9 Muncul pertanyaan, kapan sebenarnya sistem sanad (transmisi
hadis) mulai dipakai oleh manusia. Menurut Syaikh Muhammad Mustafa
Azami (w. 2017 m), sebelum Islam datang tampaknya sudah ada suatu metode
yang mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun tidak ada
kejelasan sejauh mana sistem itu diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam
kitab Yahudi, Mishna. Begitu pula dalam penukilan-penukilan syair jahiliah.
Namun urgensi sanad baru tampak pada periwayatan hadis saja. Dan begitulah
metode itu berkembang hingga Imam Ibnu al-Mubârak (w. 181 h) mengatakan:
âMetode sanad itu adalah bagian dari agama Islam.â Lihat Azami, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, hal. 530. 10
Sanad merupakan ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari agama
Islam, karena tanpa sanad, setiap orang akan dengan mudah mengatakan apa
saja demi kepentingannya. Imam al-AuzââĂŽ (w. 157 h) berkata: âTidaklah ilmu
itu hilang melainkan sanadnya hilang.â Lihat Ibnu âAbd al-Barr, at-TamhĂŽd
Limâ fĂŽ al-Muwaththaâ min al-MaâânĂŽ wa al-AsânĂŽd, (Kairo: Muâassasah al-
Qurthubah, t.th), juz 1, hal. 57. Imam Sufyân ats-TsaurÎ (w. 161 h) berkata:
âSanad itu senjatanya orang yang beriman. Jika orang yang beriman tidak
memiliki senjata, maka hendak menggunakan apa untuk berperang?â. Lihat al-
KhathÎb al-BaghdâdÎ, Syaraf Ashshâb al-HadÎts, (tp. t.th), juz 1, hal. 92. Imam
Ibnu al-Mubârak (w. 181 h) berkata: âSistem sanad itu merupakan bagian yang
tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa sistem sanad, setiap orang akan
dapat mengatakan apa saja yang dikehendakinya. Lihat Muslim bin al-Hajjâj,
ShahÎh Muslim, Bab Bayân al-Isnâd min ad-DÎn, juz 1, hal. 38. Dalam
kesempatan lain beliau juga mengatakan: âPerumpamaan seorang yang
mencari agamanya tanpa sanad, seperti menaiki atap tanpa tangga.â Imam
YazĂŽd bin Zuraiâ al-âAisyĂŽ (w. 182 h) berkata: âSetiap agama mempunyai
pasukan penjaga, dan pasukan penjaga umat Islam adalah ashhâb al-asânĂŽd.â
Imam Muhammad bin IdrĂŽs asy-SyâfiâĂŽ (w. 204 h) berkata: âPerumpamaan
seorang yang mencari hadis tanpa sanad, seperti seseorang yang mencari kayu
di malam gelap gulita.â Lihat al-KhathĂŽb al-BaghdâdĂŽ, Syaraf Ashshâb al-
HadĂŽts, juz 1, hal. 111. Imam AbĂť Hâtim ar-RâzĂŽ (w. 277 h) berkata: âTidak
ada satu umat pun di dunia ini semenjak Allah swt. menciptakan Nabi Ädam
as. yang terpercaya menjaga atsar-atsar (peninggalan-peninggalan) para rasul-
Nya, melainkan umat Rasulullah saw.â (karena di dalamnya terdapat ilmu
sanad). Selengkapnya lihat Mullâ âAlĂŽ al-QârĂŽ, Syarh Musnad AbĂŽ HanĂŽfah,
(BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, t.th), juz 1, hal. 8.
7
masa itu dipandang masa yang relatif aman atau steril dari upaya-
upaya perpolitikan, maka kajian sanad saat itu dianggap tidak
begitu diperlukan.11
Namun setelah peristiwa fitnah, para ulama
mulai ekstra hati-hati dan selalu mempertanyakan urgensi sanad
hadis; dari siapa hadis itu diperoleh, bagaimana latar belakang
orang-orang yang meriwayatkan hadis tersebut, dan seterusnya.
Berawal dari sanad dan matan inilah kemudian lahir ilmu-
ilmu dan teori-teori baru dalam kajian atau disiplin ilmu hadis
yang selanjutnya dirumuskan dan dipetakan oleh para pakarnya
11
Misalnya suatu kisah pengecekan yang dilakukan oleh sahabat
mulia AmĂŽr al-MuâminĂŽn âUmar bin al-Khaththâb ra. (w. 23 h) terhadap berita
yang datang dari seorang Anshâr (tetangganya sendiri). Suatu malam ketika
âUmar ra. sedang berbincang-bincang tentang adanya kabar bahwa Ratu
Ghassân sedang mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu kaum muslimin,
tiba-tiba pintu rumah beliau diketuk keras oleh seorang yang belum diketahui
identitasnya. âApakah âUmar ra. sudah tidur?â begitu terdengar suara lantang
dari luar pintu. Maka dengan penuh tanda tanya, âUmar ra. berjalan
membukakan pintu tersebut. Begitu dibuka, beliau terkejut ternyata yang
mengetuk pintu keras-keras tadi adalah tetangganya sendiri, seorang Anshâr
dari keluarga Bani âUmayyah bin Zaid. Ia baru saja pulang mengikuti
pengajian bersama Rasulullah saw. âAda apa? Apakah pasukan Ghassân sudah
datang?â Tanya âUmar ra. memburu. âTidak,â jawabnya. âAda peristiwa yang
lebih gawat dari itu, tambahnya.â âApa itu?â Tanya âUmar ra. penasaran.
âRasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.â Tercenganglah âUmar ra.
mendengar jawabannya itu. Bukan lantaran salah satu istri Rasulullah saw.
adalah putri âUmar ra. sendiri yang bernama Hafshah ra., tetapi benarkah
Rasulullah saw. melakukan hal itu. Maka untuk meyakinkan kebenaran berita
itu, esok harinya âUmar ra. menghadap Rasulullah saw. dan setelah diizinkan
masuk, âUmar ra. bertanya, âApakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?â
Sambil menegakkan kepalanya dan memandangi âUmar ra., Rasulullah saw.
kemudian menjawab, âTidak.â Begitulah, akhirnya âUmar ra. mengetahui
bahwasanya Rasulullah saw. hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-
istrinya selama satu bulan. Lihat al-BukhârÎ, ShahÎh al-BukhârÎ, 2288, juz 8,
hal. 357. Apa yang dilakukan sahabat mulia âUmar ra. di atas bukan berarti ia
curiga terhadap pembawa berita atau rawi bahwa ia berdusta, tetapi semata-
mata untuk meyakinkan bahwa berita atau hadis yang berasal dari Rasulullah
saw. itu benar-benar ada. Oleh karena itu, menurut pakar hadis Muhammad
Mustafa Azami (w. 2017 m), pengecekan semacam itu jumlahnya sangat
sedikit dan terbatas. Lihat Muhammad Mustafa Azami, Manhaj an-Naqd âInda
al-MuhadditsĂŽn, (Riyâdh: Syirkah ath-Thibââah al-âArabiyyah, 1402 H/1982
M), hal. 10. Dalam kisah tersebut, âUmar ra. tidak mengecek identitas
pembawa berita atau rawi, karena sebagai tetangga, âUmar ra. tentu sudah
mengetahui karakter orang tersebut. Apa yang dilakukan âUmar ra. adalah
bentuk kritik materi hadis atau naqd matn al-hadĂŽts, bukan kritik rawi hadis
atau naqd rijâl al-hadÎts. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, cet. 1, hal. 2.
8
melalui terminologi-terminologi (istilah-istilah) guna mengikat
hal-hal yang dimaksud.
Munculnya term-term dalam ilmu hadis tidaklah kosong
tanpa sebab, tetapi beriringan dengan kebutuhan dimana hadis itu
berkembang. Oleh karena itu, suatu term tidaklah muncul kecuali
setelah adanya kasus, baik yang berkaitan dengan sanad maupun
matan. Dari pemahaman akan proses ini, muncullah anggapan
dari sebagian peneliti dan penggiat hadis, bahwa term-term yang
dicetuskan dan dimaksudkan oleh para ahli hadis mutaqaddimĂŽn
tidaklah sejalan atau sama dengan maksud yang dicetuskan dan
dimaksudkan oleh para ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn12
terutama
12
Lihat Hâtim al-âAunĂŽ, al-Manhaj al-Muqtarah, juz 1, hal. 7. Para
ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan batas pemisah antara ulama
hadis mutaqaddimĂŽn dan ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn. Menurut Imam Ibnu
Hajar al-âAsqalânĂŽ (w. 852 h), mutaâakhkhirĂŽn adalah mereka yang hidup di
penghujung abad kelima hijriah dan seterusnya. Lihat Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ,
an-Nukat âalâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, (MadĂŽnah: âImâdah al-Bahts, 1404
H/1984 M), juz 2, hal. 586. Adapun menurut Imam adz-DzahabĂŽ (w. 748 h)
sebagaimana dinukil Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ dalam karyanya Lisân al-
MĂŽzân mengatakan: âBatas pemisah antara mutaqaddimĂŽn dan mutaâakhkhirĂŽn
adalah penghujung abad ketiga hijriah.â Lihat Ibnu Hajar al-AsqalânĂŽ, Lisân
al-MĂŽzân, (BeirĂťt: Muâassasah al-AâlamĂŽ, 1406 H/1986 M), juz 1, hal. 8.
Namun yang rancu dari pendapat Imam adz-DzahabĂŽ sebagaimana dikatakan
Hamzah al-MalĂŽbârĂŽ adalah, Imam adz-DzahabĂŽ memasukkan Imam al-IsmââĂŽlĂŽ
(w. 371 h) yang notabene ulama hadis penghujung abad keempat hijriah
sebagai bagian dari ulama hadis mutaqaddimĂŽn, padahal beliau mengatakan
batasnya penghujung abad ketiga hijriah. Lihat Hamzah al-MalÎbârÎ, al-
Muwâzanah Baina al-MutaqaddimĂŽn wa al-MutaâakhkhirĂŽn fĂŽ TashhĂŽh al-
AhâdĂŽts wa TaâlĂŽlihâ, (Penerbit: Multaqââ Ahl al-HadĂŽts, 1422 H/2001 M), juz
1, hal. 10. Syaikh NĂťr ad-DĂŽn âItr (w. 1442h/2020 m), ketika menjelaskan
definisi munqathiâ menurut ulama hadis mutaqaddimĂŽn dan mutaâakhkhirin
dalam karyanya Manhaj an-Naqd berkata: âDefinisi munqathiâ dari ulama
hadis mutaqaddimĂŽn yang paling baik adalah definisi yang dikemukakan oleh
al-Hâfizh Ibnu âAbd al-Barr al-QurthubĂŽ (w. 463 h).â Lihat NĂťr ad-DĂŽn âItr,
Manhaj an-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 367. Padahal diketahui bahwa Imam
Ibnu âAbd al-Barr merupakan ulama hadis abad kelima hijriah. Imam Ibnu
ash-Shalah (w. 643 h) dalam Muqaddimah-nya ketika menjelaskan term hasan
mengatakan: âTelah berkata sebagian ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn, bahwa
hadis hasan adalah hadis yang kedaifannya tidak terlalu.â Beliau merujuk
pendapat ini dari Imam Ibnu al-JauzĂŽ (w. 597 h) dalam kitabnya al-âIlal al-
Mutanâhiyah fÎ al-AhadÎts al-Wâhiyah. Lihat Ibnu ash-Shalâh, Muqaddimah
Ibnu ash-Shalâh, hal. 50. Apabila melihat pendapat-pendapat di atas, maka
9
kaitannya dengan definisi. Anggapan itu tidaklah begitu keliru,
karena memang terdapat beberapa term yang memiliki dua, tiga,
atau bahkan lebih definisi yang apabila dikaitkan dengan
pemahaman definisi para ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn tidaklah
memiliki keterkaitan sama sekali. Konsekwensi dari perbedaan
itu, tentu akan melahirkan penelitian dan hasil yang berbeda pula.
Sebagai gambaran misalnya dalam kasus term munkar,
dimana para pakar hadis mutaâakhkhirĂŽn semisal Imam Ibnu
pendapat Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ sepertinya lebih banyak mendapat
dukungan. Meski demikian, pendapat yang menyatakan bahwa batasannya di
penghujung abad ketiga hijriah tentu memiliki alasan tersendiri. Begitu
sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa batasannya di penghujung abad
kelima juga memiliki alasan tersendiri. Perbedaan ini menurut Khalaf Salamah
dikarenakan faktor tema, konteks, atau yang lainnya. Namun dari sisi jumlah,
mutaqqadimĂŽn adalah mereka yang meninggal sebelum akhir abad keempat
hijriah, dan mutaâakhkhirĂŽn adalah mereka yang meninggal setelah abad
kelima hijriah. Begitu karena batasan antara keduanya merupakan term yang
saling berdekatan, dan itu konteknya lebih banyak dari batasan itu sendiri,
tidak bisa digambarkan apakah di sana ada hari tertentu, tahun tertentu, waktu
berakhirnya mutaqaddimĂŽn dan mulainya mutaâakhkhirĂŽn, sebab di sana juga
harus ada perubahan secara bertahap dan kedua masa tersebut masuk atau di
sana harus ada masa perpindahan yang bersamaan. Bisa jadi hal tersebut
adalah abad kelima hijriah bila kita berbicara pendekatan bolehnya dan itu
mendekati kebenaran. Lihat Khalaf Salâmah, Lisân al-MuhadditsÎn, juz 5, hal.
14. Syaikh Hamzah al-MalÎbârÎ kembali menjelaskan bahwa perbedaan yang
mencolok dari kedua masa tersebut sebenarnya bukan karena faktor masanya,
tetapi lebih kepada metodologi (manhaj) yang digunakan dan dikembangkan
oleh para ulama di dalamnya. Tema awal dalam ilmu hadis yang membedakan
metodologi antara dua masa tersebut adalah mengenai tema term sahih yang
dikemukakan oleh Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h), yaitu hadis yang
sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhâbith dari
rawi yang adil dan dhâbith (juga) hingga akhir sanad dan hadis itu tidak rancu
(syâdz) serta tidak mengandung cacat (âillat). Dari definisi ini beliau memberi
isyarat atas manhaj atau metodologi para ulama hadis ketika berkata; âInilah
hadis yang dihukumi kesahihannya dan para ulama tidak ada yang berselisih
atasnya.â Hal ini kemudian diikuti oleh setiap ulama hadis setelahnya yang
menulis tentang ilmu ini secara umum dan mereka bersepakat bahwa definisi
tersebut merupakan definisi yang dimiliki oleh para ulama hadis dan menjadi
manhaj mereka bukan manhaj yang lainnya baik dari kalangan ulama fikih
maupun kalangan ulama usul fikih. Hal ini karena para ulama fikih dan ulama
usul fikih tidak menyaratkan di dalam manhaj sahih mereka terhindar dari
kerancuan atau kejanggalan (syâdz) dan hilangnya cacat (âillat) sebagaimana
disepakati oleh para ulama hadis. Selengkapnya lihat Hamzah al-MalÎbârÎ, al-
Muwâzanah Baina al-MutaqaddimĂŽn wa al-MutaâakhkhirĂŽn, juz 1, hal. 10.
10
Hajar al-âAsqalânĂŽ (w. 852 h) menetapkan definisinya dengan
suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi daif yang menyalahi
riwayat orang tsiqah.13
Definisi tersebut sebenarnya dinukil dari
pakar hadis mutaqaddimÎn, yakni Imam Muslim bin al-Hajjâj an-
NaisâbÝrÎ (w. 261 h), hanya kemudian ditetapkan definisinya oleh
para pakar hadis mutaâakhkhirĂŽn.14
Berbeda dengan Imam Ahmad
bin Hanbal (w. 241 h) yang juga termasuk kelompok pakar hadis
mutaqaddimĂŽn; beliau mendefinisikan munkar dengan suatu hadis
yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, baik rawi itu tsiqah
maupun tidak.15
Dalam definisi yang lain munkar adalah suatu
hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, baik menyalahi
riwayat orang lain maupun tidak, dan meskipun rawi itu tsiqah.16
Dengan berbedanya definisi di atas, maka para pengkaji
perlu melihatnya lebih jeli, apabila yang dimaksud munkar itu
menurut pakar hadis mutaqaddimĂŽn semisal Imam Ahmad bin
Hanbal (w. 241 h), maka munkar tersebut dapat mencakup hadis
fard dan hadis syâdz, dan hukumnya sama dengan hadis gharÎb
matnan wa isnâdan dan hadis fard muthlaq.17
Bila demikian,
13
Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ , Nukhbat al-Fikar, juz 1, hal. 1. 14
Mâjid ad-DarwĂŽsy, al-Fawââid al-Mustamaddah, hal. 68. 15
Mâjid ad-DarwĂŽsy, al-Fawââid al-Mustamaddah, hal. 65. Misalnya
ketika Imam Ibnu âAdĂŽ (w. 365 h) menjelaskan biografi âAbd ar-Rahmân bin
AbÎ al-Mawwâl yang sanadnya sampai kepada AbÝ Thâlib (murid Imam
Ahmad). AbĂť Thalib bertanya kepada Imam Ahmad tentang Ibnu AbĂŽ al-
Mawwâl. Imam Ahmad menjawab: âIa tidak apa-apa (lâ baâsa bihĂŽ). Ia pernah
dipenjara karena mendebat kaum Muktazilah yang menyakini Alquran sebagai
makhluk. Ia meriwayatkan hadis dari Ibnu al-Munkadir, dari Jâbir ra., dari
Nabi saw. tentang salat Istikharah. Hadis itu tidak ada yang meriwayatkan
selainnya. Dia munkar.â Aku berkata (AbĂť Thâlib): âDia munkar?â Imam
Ahmad menjawab, âBenar, karena tidak ada yang meriwayatkan hadis itu
selainnya dan ia tidak apa-apa.â Ibnu âAdĂŽ al-JurjânĂŽ, al-Kâmil fĂŽ Dhuâafââ ar-
Rijâl, Bab Man IsmuhĂť âAbd ar-Rahmân, (BeirĂťt: Dâr al-Fikr, 1409 H/1988
M), juz 4, hal. 307. Imam adz-DzahabĂŽ berkata: âDia tsiqah masyhĂťr.â Lihat
adz-DzahabĂŽ, MĂŽzân al-Iâtidâl, (BeirĂťt: Dâr al-Maârifah, t.th), juz 2, hal. 592. 16
NĂťr ad-DĂŽn âItr, Manhaj an-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 462. 17
Hadis fard adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya dari
segi apapun. Hadis fard lebih umum daripada hadis gharĂŽb dan mencakup
11
maka hukum munkar adakalanya sahih, hasan, dan juga daif.
Namun apabila yang dimaksud menurut atau yang ditetapkan
para pakar hadis mutaâakhkhirĂŽn, maka hasilnya akan sangat daif,
karena rawinya daif, dan kedaifannya semakin bertambah karena
riwayatnya menyalahi atau menyelisihi orang-orang yang tsiqah.
Kemudian lagi misalnya dalam kasus term daif, yang
apabila kasus ini tidak dilihat proses sejarahnya, memungkinkan
munculnya kesimpangsiuran. Menurut Imam Ibnu Taimiyyah al-
HarrânÎ (w. 728 h), term daif dalam atau menurut peristilahan
ulama hadis mutaqaddimĂŽn tidak sebagaimana term daif dalam
atau menurut peristilahan ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn. Hal itu
beliau nilai dari salah satu pandangan Imam Ahmad (w. 241 h)
dan para ulama sebelumnya yang membagi hadis ke dalam dua
bagian, yaitu sahih dan daif. Hadis daif menurut mereka terbagi
ke dalam dua bagian, yaitu daif matrĂťk (yang tidak dapat
dijadikan hujjah) dan daif hasan (yang dapat dijadikan hujjah).18
Pada masa Imam at-TirmidzĂŽ (w. 279 h), hadis terbagi ke
dalam tiga bagian, yaitu sahih, hasan, dan daif. Dan beliau dinilai
oleh Imam Ibnu Taimiyyah sebagai pelopor pembagian hadis
tersebut.19
Hadis hasan menurut Imam at-TirmidzĂŽ adalah suatu
beberapa macam hadis yang tidak tercakup dalam hadis gharĂŽb. Hadis fard ini
terdiri dari dua macam, yaitu fard muthlaq dan fard nisbĂŽ. Hadis fard muthlaq
adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya tidak seorang rawi lain pun
yang meriwayatkannya. Hadis fard muthlaq identik dengan hadis gharĂŽb
matnan wa isnâdan, yaitu hadis yang tidak diriwayatkan kecuali dengan satu
jalur sanad, dan mencakup juga di dalamnya hadis syâdz dan juga hadis
munkar. Lihat NĂťr ad-DĂŽn âItr, Manhaj an-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 424. 18
Mâjid ad-DarwĂŽsy, al-Fawââid al-Mustamaddah, cet. 1, hal. 139. 19
Pendapat tersebut dinukil oleh Syaikh Muhammad Jamâl ad-DÎn al-
QâsimÎ (w. 1332 h) dalam beberapa fatwa yang berasal dari Imam Ibnu
Taimiyyah. Lihat Muhammad Jamâl ad-DĂŽn al-QâsimĂŽ, Qawââid at-TahdĂŽts
min FunĂťn Mushthalah al-HadĂŽts, hal. 56. Dalam pendapat lain, Imam al-
âIrâqĂŽ (w. 806 h) mengatakan bahwa yang pertama kali membagi hadis ke
dalam tiga bagian adalah Imam al-KhaththâbÎ (w. 388 h), dimana beliau
12
hadis yang mempunyai jalur banyak dan tidak ditemukan di
dalamnya rawi yang diduga berbohong dan tidak rancu.â20
Istilah
hasan inilah yang disebut daif oleh Imam Ahmad sebagaimana
dipahami oleh Imam Ibnu Taimiyyah. Jadi, bukan daif matrĂťk,
tetapi daif hasan yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh
karena itu, Imam Ibnu Taimiyyah berkesimpulan bahwa istilah
hasan belum dikenal sebelum masa Imam at-TirmidzĂŽ.21
Hanya
saja pendapat ini dinilai kurang tepat, karena istilah hasan
sebenarnya telah menjadi diskusi hangat pada masa Imam Ahmad
dan ulama-ulama hadis sebelum Imam at-TirmidzĂŽ dan bahkan
telah digunakan oleh mereka dalam menilai suatu hadis.
Di antara ulama tersebut adalah: Imam Mâlik bin Anas
(w. 179 h),22
Imam Muhammad bin IdrĂŽs asy-SyâfiâĂŽ (w. 204 h),23
Imam AbĂť Zurâah ar-RâzĂŽ (w. 264 h),24
Imam âAlĂŽ bin al-MadĂŽnĂŽ
mengatakan; âSaya tidak menemukan ada seorang ulama yang membagi hadis
ke dalam tiga bagian (tersebut) sebelum Imam al-KhaththâbĂŽ.â Lihat Zain ad-
DĂŽn al-âIrâqĂŽ, at-TaqyĂŽd wa al-Ădhâh Syarh Muqaddimah Ibn ash-Shalâh,
(MadĂŽnah: al-Maktabah as-Salafiyyah, 1389 H/1969 M), juz 1, hal 19. 20
Ibnu ash-Shalâh, Muqaddimah Ibnu ash-Shalâh, cet. 2, hal. 50. 21
Ibnu Taimiyyah, MajmĂťâ al-Fatâwâ, juz 1, hal. 252. 22
Imam Ibnu AbÎ Hâtim ar-RâzÎ (w. 327 h) mengutip perkataan Imam
Mâlik (w. 179 h) mengenai kualitas hadis yang bersumber dari sahabat mulia
al-MastÝrad bin Saddâd ra. tentang menyela-nyela jari kaki dalam berwudu.
Imam Mâlik lalu berkata: âSungguh hadis ini hasanâ (inna hadzâ al-hadĂŽts
hasan). Hadis ini juga diriwayatkan ashshâb as-sunan al-arbaâah. Lihat Ibnu
AbĂŽ Hâtim ar-RâzĂŽ, Muqaddimah al-Jarh wa at-TaâdĂŽl, (tp. t.th), juz 1, hal. 27. 23
Imam Zain ad-DĂŽn al-âIrâqĂŽ (w. 806 h) mengatakan: âSaya tidak
menemukan ada seorang ulama yang membagi hadis ke dalam tiga bagian
(sahih, hasan, dan daif) sebelum Imam al-KhaththâbÎ (w. 388 h). Meskipun
dalam perbincangan ulama mutaqqadimĂŽn telah disebutkan istilah hasan dan
itu terdapat dalam pendapat Imam asy-SyâfiâĂŽ, Imam al-BukhârĂŽ, dan para
imam lainnya.â Zain ad-DĂŽn al-âIrâqĂŽ, at-TaqyĂŽd wa al-Ădhâh, juz 1, hal 19. 24
Imam AbĂť Zurâah ar-RâzĂŽ adalah guru dari Imam AbĂť Hâtim ar-
RâzÎ, Imam Muslim bin al-Hajjâj an-NaisâbÝrÎ, Imam at-TirmidzÎ, Imam an-
NasââĂŽ, Imam Ibnu Mâjah al-QazwĂŽnĂŽ. Imam Ibnu AbĂŽ Hâtim ar-RâzĂŽ ketika
menjelaskan biografi âAbdullâh bin Shâlih (sekertaris Imam al-Laits) bertanya
kepada Imam AbĂť Zurâah, ia berkata: âSaya tidak mempunyai pendapat dari
orang yang menilainya berdusta, ia adalah orang yang hadisnya bagus (wa
kana hasan al-hadĂŽts). Ibnu AbĂŽ Hâtim, al-Jarh wa at-TaâdĂŽl, juz 5, hal. 87.
13
(w. 234 h),25
Imam AbÝ DâwÝd at-ThayâlisÎ (w. 204 h),26
Imam
Muhammad bin IsmââĂŽl al-BukhârĂŽ (w. 256 h),27
Imam AbĂť al-
Hasan al-âIjlĂŽ (w. 261 h),28
Imam Muhammad bin âAbdullâh bin
Numair (w. 234 h),29
Imam AbÝ Hâtim ar-RâzÎ (w. 277 h),30
dan
bahkan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 h) sendiri telah
mengenal dan menggunakan istilah hasan.31
Kemudian lagi misalnya dalam kasus istilah maqthĂťâ.
Istilah tersebut dalam prosesnya mengalami pergeseran makna.
25
Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ (w. 852 h) mengatakan: âImam âAlĂŽ
bin al-MadĂŽnĂŽ (w. 234 h) adalah orang yang paling banyak menyifati hadis-
hadis dengan istilah sahih dan hasan dalam Musnad dan âIllal-nya.â Lihat Ibnu
Hajar al-âAsqalânĂŽ, an-Nukat âalâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, juz 1, hal. 144. 26
Al-Hâfizh Shafiyy ad-DÎn al-KhazrajÎ al-AnshârÎ (w. 923 h) ketika
menjelaskan biografi Qais bin ar-RabĂŽâ mengutip pendapat Imam AbĂť DâwĂťd
ath-ThayâlisĂŽ (w. 204 h) yang mengatakan bahwa QaĂŽs bin ar-RabĂŽâ adalah
orang yang terpercaya (kredibel) dan hadisnya bagus (tsiqatun hasan al-
hadĂŽts). Lihat Shafiyy ad-DĂŽn Ahmad bin âAbdullâh al-KhazrajĂŽ al-AnshârĂŽ,
Khulâshah TahdzĂŽb TahdzĂŽb al-Kamâl fĂŽ Asmââ ar-Rijâl, Editor: âAbd al-Fattâh
AbĂť Ghuddah, (BeirĂťt: Dâr al-Basyââir, 1416 H), juz 1, hal. 317. 27
Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ (w. 852 h) mengutip pendapat Imam
AbĂť âĂsâ at-TirmidzĂŽ (w. 279 h) yang bertanya tentang keadaan hadis dari
Shafwân bin âAssâl dan AbĂť Bakrah kepada gurunya, yakni Imam al-BukhârĂŽ
(w. 256 h). Kemudian Imam al-BukhârĂŽ menjawab: âHadis dari Shafwân bin
âAssâl kualitasnya sahih, dan hadis dari AbĂť Bakrah kualitasnya hasan.â Lihat
Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ , an-Nukat âalâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, juz 1, hal. 427. 28
Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ (w. 852 h) dalam karyanya TahdzĂŽb
at-TahdzĂŽb mengutip pendapat Imam AbĂť al-Hasan al-âIjlĂŽ (w. 261 h) tentang
al-Aswad bin Qais al-âAbdĂŽ yang mengatakan: âIa seorang yang terpercaya
dan hadisnya bagus (tsiqatun hasan al-hadĂŽts). Lihat Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ,
TahdzÎb at-TahdzÎb, (BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1404 H) cet. 1, juz 1, hal. 146. 29
Imam Muhammad bin âAbdullâh an-Numair (w. 234 h) adalah guru
dari guru-guru Imam AbĂť Ăsâ at-TirmidzĂŽ (w. 279 h). Imam Ibnu Sayyid an-
Nâs (w. 734 h) ketika menjelaskan sosok Ibnu Ishâq mengutip Imam an-
Numair yang mengatakan: âIbnu Ishâq hadisnya baik, ia orang jujur (hasan al-
hadĂŽts shadĂťq).â Lihat Ibnu Sayyid an-Nâs, âUyĂťn al-Atsâr fĂŽ FunĂťn al-
MaghâzĂŽ wa as-Siyar, (BeirĂťt: Muâassasah âIzz ad-DĂŽn, 1406 H), juz 1, hal. 19. 30
Imam Ibnu AbÎ Hatim (w. 327 h) ketika menjelaskan sosok IbrâhÎm
bin YĂťsuf asy-SyaâbĂŽ mengatakan: âAku mendengar ayahku berkata: âIbrâhĂŽm
bin YĂťsuf hadisnya ditulis dan hadisnya bagus (yuktabu hadĂŽtsuhĂť wa huwa
hasan al-hadĂŽts).â Lihat Ibnu AbĂŽ Hâtim, al-Jarh wa at-TaâdĂŽl, juz 2, hal. 148. 31
Dalam suatu kesempatan, Imam AbĂť Bakar Ahmad bin Muhammad
al-Atsram (w. 273 h) murid daripada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 h)
bertanya tentang sosok Muhammad bin Ishâq, kemudian Imam Ahmad
menjawab: âDia hadisnya bagus (huwa hasan al-hadĂŽts).â Lihat Ibnu Sayyid
an-Nâs, âUyĂťn al-Atsâr fĂŽ FunĂťn al-MaghâzĂŽ wa as-Siyar, juz 1, hal. 18.
14
Istilah maqthĂťâ yang dikenal sekarang dalam pengertiannya yang
telah baku adalah suatu hadis yang sampai kepada tabiin baik
ucapan maupun perbuatannya, ternyata dalam pandangan Imam
Muhammad bin IdrĂŽs asy-SyâfiâĂŽ (w. 204 h) dan Imam AbĂť al-
Qâsim ath-ThabarânĂŽ (w. 360 h) adalah munqathiâ,32
yang dikenal
sekarang sebagai hadis yang terputus atau gugur salah seorang
perawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat
dengan catatan perawi yang gugur di setiap tempat itu tidak lebih
dari satu orang dan tidak terjadi di awal sanad.33
Di pihak lain,
Imam Ibnu âAbd al-Barr (w. 463 h) memaknai munqathiâ dengan
hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik hadis itu yang
disandarkan kepada Rasulullah saw. maupun kepada selainnya.34
Definisi yang dikemukakan oleh Imam Ibnu âAbd al-Barr
ini cenderung umum karena mencakup semua hadis yang terputus
jalur sanadnya. Dari itu, maka tidak ada bedanya dengan istilah-
istilah lain yang sama-sama gugur atau terputus jalur sanadnya.
Adapun definisi yang pertama jelas menjadikan istilah munqathiâ
berbeda dengan definisi istilah-istilah yang lain yang sama-sama
terputus jalur sanadnya. Dengan pencantuman kata-kata, âsalah
seorang perawinyaâ definisi ini berarti tidak mencakup hadis
muâdhal; dengan kata-kata, âsebelum sahabatâ definisi ini berarti
tidak mencakup hadis mursal; dan dengan kata-kata, âtidak pada
awal sanadâ definisi ini berarti tidak mencakup hadis muâallaq.35
Di sisi lain, ada seorang ulama yang bernama Imam AbĂť
Bakar Ahmad bin HârĂťn al-BardĂŽjĂŽ al-BardaâĂŽ (w. 301 h) yang
justru menjadikan istilah munqathiâ sebagai perkataan seorang
32
AbĂť al-Fidââ IsmââĂŽl Ibnu KatsĂŽr ad-DimasyqĂŽ, al-Bââits al-HatsĂŽts
Syarh Ikhtishâr âUlĂťm al-HadĂŽts, (tp. t.th), juz 1, hal. 6. 33
NĂťr ad-DĂŽn âItr, Manhaj an-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 424. 34
Ibnu âAbd al-Barr, Muqaddimah at-TamhĂŽd, juz 1, hal. 21. 35
NĂťr ad-DĂŽn âItr, Manhaj an-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 424.
15
tabiin.36
Hal ini bila dipahami secara sepihak, boleh jadi akan
menimbulkan kerancuan. Meski demikian, Imam Jalâl ad-DÎn as-
SuyĂťthĂŽ (w. 911 h) dalam TadrĂŽb-nya mengonfirmasi bahwa
penggunaan istilah maqthĂťâ yang dalam pandangan kedua imam
tersebut merupakan munqathiâ dikarenakan belum adanya istilah
baku pada masa tersebut yang menjelaskan keduanya secara
independen (mustaqill).37
Proses-proses inilah yang menurut
hemat penulis perlu diteliti dan dikaji asal-asulnya dalam tesis ini.
Berikutnya, selain keterkaitan masing-masing definisi,
juga keterkaitan masing-masing istilah, dimana misalnya para
ahli hadis mutaqaddimĂŽn menemukan bahwa di antara unsur yang
membuat suatu hadis itu daif adalah as-saqth fÎ ar-râwÎ (gugur
atau terputusnya rawi). Sementara para ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn
meneliti lebih lanjut fakta di lapangan dan lantas mereka
menemukan ternyata saqth itu beragam wajah; ada yang saqth-
nya satu rawi, dua rawi berturut-turut, atau tidak berturut-turut,
dan bahkan ada yang saqth rawinya disamarkan. Oleh karena
banyaknya model saqth ini, maka para ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn
secara kreatif membagi kasus-kasus tersebut ke dalam term-term
tersendiri. Pembagian term-term ini sangatlah penting, selain
menentukan kehujjahan masing-masing hadis yang diistilahkan
berdasarkan ketersambungan sanad, juga semakin mematangkan
kajian ilmu hadis itu sendiri dalam lingkupnya yang lebih luas.
Dalam pada itu, apabila merunut pada teori sejarah yang
menuntut adanya strukturisasi sebuah asal-asul, maka suatu
peristiwa tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan kejadian di
awal, dimana ilmu hadis dalam pengertiannya yang belum luas
36
As-SakhâwÎ, Fath al-MughÎts, cet. 1, hal. 55. 37
As-SuyÝthÎ, TadrÎb ar-RâwÎ, juz 1, hal. 158.
16
telah muncul pada abad pertama hijriah. Dan baru pada abad
kedua hijriah muncul beberapa kajian dari para pakar mushthalah
sebagai respon terhadap suatu kasus yang terjadi dan berkembang
pada masa tersebut, yang hasilnya melahirkan beberapa istilah
dan teori baru dalam disiplin ilmu hadis sebagaimana dijelaskan
di atas, meskipun masih sebatas oral atau dari mulut ke mulut.38
Berbeda dengan NĂťr ad-DĂŽn âItr (w. 1442 h/2020 m) yang
berpendapat bahwa istilah-istilah dalam ilmu hadis sebenarnya
telah muncul sebelum penghujung abad pertama hijriah. Ia
berkata bahwa di antara istilah-istilah yang telah muncul sebelum
penghujung abad pertama tersebut adalah: marfĂťâ, mauqĂťf,
maqthĂťâ, muttashil, mursal, munqathiâ, dan mudallas. 39
Pendapat
ini bagi penulis masih menyisakan tanda tanya, sebab ia tidak
memunculkan data kasus yang mengarah pada lahirnya istilah-
istilah tersebut, siapa saja aktor-aktornya, bagaimana kondisi
ketika istilah-istilah itu muncul, apakah terjadi silang pendapat?
Dengan munculnya perbedaan tersebut dan dengan
adanya dugaan akan maksud istilah-istilah yang digunakan para
pakar mushthalah awal tidak sebagaimana maksud para pakar
mushthalah akhir, menjadikan penulis memandang perlu meneliti
dan mengkaji persoalan ini dalam perspektif sejarah; mulai asal-
usul istilah itu muncul, perbedaan istilah yang digunakan para
ulama, beragamnya pemahaman mereka dalam mendefinisikan
suatu istilah hingga tahapan penghalusan istilah-istilah tersebut;
tahapan dimana telah menjadi disiplin ilmu yang mapan dan
matang. Dengan harapan menemukan strukturisasi pemahaman
antara para pakar hadis mutaqaddimĂŽn yang karena kebutuhannya
38
Mâjid ad-DarwĂŽsy, al-Fawââid al-Mustamaddah, cet. 1, hal. 59. 39
NĂťr ad-DĂŽn âItr, Manhaj al-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 25-62.
17
saat itu belum mampu mengakomodir kasus-kasus yang
ditemukan kemudian oleh para pakar hadis mutaâakhkhirĂŽn,
sehingga bila dibandingkan dan tanpa diteliti lebih lanjut seolah-
olah maksud dan definisi yang dimunculkan oleh para pakar
hadis mutaqaddimĂŽn tidak terlihat jâmiâ mâniâ,40
bahkan seolah-
olah berlawanan dengan definisi para pakar hadis mutaâakhkhirĂŽn.
Namun bila disadari kebutuhannya saat itu dapat dikategorikan
jâmiâ mâniâ, karena selaras atau sejalan dengan kasus yang
terjadi. Baru kemudian kasus-kasus itu meluas bersamaan dengan
munculnya kasus-kasus baru, maka dikembangkanlah oleh para
pakar hadis mutaâakhkhirĂŽn yang memang di tangan merekalah
definisi-definisi dan term-term dalam ilmu hadis itu mapan dan
matang. Maka dari uraian di atas, penulis berkesimpulan untuk
meneliti kasus-kasus berikutnya dan menetapkan kajian ini
dengan tema: âSejarah Terminologi-terminologi dalam Ilmu Hadis.â
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana telah
dipaparkan di atas, muncullah beberapa pertanyaan khusus dan
mendasar yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1- Apa terminologi-terminologi dalam ilmu hadis itu?
2- Bagaimana sesungguhnya sejarah terminologi-terminologi
dalam ilmu hadis itu?
40
Istilah jâmiâ mâniâ adalah suatu istilah untuk sebuah batasan (al-
had), dimana di dalamnya terangkum suatu jenis (macam) dan fashl (pemisah).
Dari jenis (macam) tersebut terangkum suatu keumuman dan penghimpunan.
Dan dari fashl (pemisah) terangkum suatu kekhususan dan pencegahan
(masuknya persoalan lain ke dalamnya). Selengkapnya lihat Muhammad bin
al-Hasan ash-Shâyigh, al-Lamhah fÎ Syarh al-Milhah, Editor: IbrâhÎm bin
Sâlim Shââidiy, (al-MadĂŽnah al-Munawwarah: tp. 1424 H/2004 M), hal. 22.
18
3- Bagaimana progresivitas, perdebatan, dan argumentasi
para pakar mushthalah terkait terminologi-terminologi
dalam ilmu hadis yang menjadi penelitian dalam tesis ini?
2. Pembatasan Masalah
Mengingat term-term atau istilah-istilah dalam ilmu hadis
sangatlah banyak, maka dari persoalan-persoalan yang muncul,
penulis membatasi pembahasannya hanya dalam istilah-istilah
yang digunakan oleh para pakar mushthalah dalam menentukan
kualitas hadis, yaitu istilah sahih, hasan, daif, dan termasuk
istilah-istilah yang dikategorikan daif baik dari sisi terputusnya
sanad (saqth fĂŽ ar-râwi) maupun cacatnya rawi (thaân fĂŽ ar-râwĂŽ).
Istilah dalam kategori terputusnya sanad terbagi ke dalam
dua macam, yaitu istilah-istilah yang terputus secara nyata atau
jelas (saqth zhâhÎr) dan istilah-istilah yang terputus secara samar
(saqth khafiy). Istilah-istilah yang terputus secara nyata (saqth
zhâhĂŽr) terbagi ke dalam empat macam, yaitu muâallaq, muâdhal,
munqathiâ, mursal, ditambah di dalamnya istilah mursal shahâbĂŽ.
Adapun istilah-istilah yang terputus secara samar (saqth khafiy)
terbagi ke dalam dua macam, yaitu mudallas dan mursal khafiy.
Untuk istilah-istilah dalam kategori cacatnya perawi adalah
maudhĂťâ, matrĂťk, munkar, muâall, perselisihan riwayat dengan
rawi tsiqah; mudraj, mudhtharib, maqlĂťb, mushahhaf, al-mazĂŽd fĂŽ
muttashil al-asânĂŽd, syâdz, al-jahâlah, al-bidâah, dan sĂťâ al-hifzh.
Pembatasan istilah-istilah tersebut dimaksudkan untuk
mempertajam kembali pemahaman disiplin keilmuan hadis dari
sisi kehujjahan hadis itu sendiri, apakah diterima atau tidak, dan
apakah dapat diamalkan atau tidak. Hal ini dirasa penting, karena
perhatian sebagian penggiat hadis baik formal maupun non
formal, selain tertuju pada aspek kualitas hadis, juga penerimaan
19
secara instan dari pustaka-pustaka hadis yang ada lebih menonjol.
Akibatnya sebagian mereka tidak dapat membedakan keterkaitan
pemahaman antara ulama hadis mutaqqaddimĂŽn dan ulama hadis
mutaâakhkhirĂŽn seperti telah dipaparkan di atas dalam beberapa
sisi muncul beberapa perbedaan baik dalam soal istilah itu sendiri
maupun dalam soal pendefinisian. Perbedaan-perbedaan itu tentu
akan berimplikasi signifikan pada kualitas hadis yang dinilai.
Ketika kondisi ini diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan
akan terjadinya kesalahpahaman dalam membaca dan memahami
pustaka-pustaka hadis atau teks-teks hadis yang ada itu. Maka
penelitian dari sisi sejarah akan dapat membantu memberi solusi
terhadap persoalan-persolan tersebut tanpa mengabaikan istilah-
istilah lain dalam ilmu hadis yang memang banyak dan beragam.
3. Rumusan Masalah
Dengan beberapa pertimbangan dari beberapa pertanyaan
di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan
menjadi pokok penelitian tesis ini dengan dua pertanyaan berikut:
1. Bagaimana sejarah term-term dalam ilmu hadis itu?
2. Bagaimana progresivitas, perdebatan, dan argumentasi
yang dikemukakan para pakar mushthalah di dalamnya?
C. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Sejauh penelitian penulis mengenai kajian ini, belum
ditemukan suatu kajian yang secara khusus mengkaji sejarah
munculnya terminologi-terminologi dalam ilmu hadis secara
menyeluruh terutama dalam bentuk tesis atau disertasi. Hanya
saja penulis menemukan beberapa kutipan singkat dalam karya-
karya ulama kontemporer seperti karya Syaikh NĂťr ad-DĂŽn âItr
(w. 1442 h/2020 m) yaitu, âManhaj an-Naqd fĂŽ âUlĂťm al-HadĂŽts.â
20
Dalam karya tersebut sebagaimana disinggung secara singkat di
awal, bahwa NĂťr ad-DĂŽn âItr berpendapat: âSebenarnya term-term
dalam ilmu hadis itu telah muncul sebelum penghujung abad
pertama hijriah. Term-term itu adalah, marfĂťâ, mauqĂťf, maqthĂťâ,
muttashil, mursal, munqathiâ, mudallas. Dan masing-masing dari
jenis term tersebut terbagi ke dalam dua bagian; Pertama,
maqbĂťl, yaitu hadis yang pada perkembangan berikutnya disebut
dengan hadis sahih dan hadis hasan. Kedua, mardĂťd, yaitu hadis
yang pada perkembangan berikutnya disebut dengan hadis daif
berikut tingkatan-tingkatan di dalamnya.â41
Bagi penulis sendiri,
munculnya istilah-istilah yang dikemukakan oleh NĂťr ad-DĂŽn âItr
tersebut masihlah menyisakan tanda tanya, mengingat ia tidak
memunculkan data kasus yang mengarah pada lahirnya istilah-
istilah tersebut; siapa saja aktor-aktornya, bagaimana kondisi
historis saat istilah-istilah itu muncul, apakah terjadi silang
pendapat di kalangan ulama, dan seterusnya. Dalam hal ini,
penulis mencoba menganalisis kebenaran pendapat tersebut, bisa
dalam bentuk memperkuat, menambah, atau juga mengkritiknya.
Kemudian penulis menemukan karya Syaikh âAbd al-
Fattâh AbÝ Ghuddah (w. 1417 h/1997 m) yang sebelumnya
merupakan tulisan rampai yang disusun kembali oleh Syaikh
MajĂŽd Ahmad ad-Darwisy, lalu ia memberi judul karya tersebut
dengan, âal-Fawâid al-Mustamaddah min TahqĂŽqât al-âAllâmah
asy-Syaikh âAbd al-Fattâh AbĂť Ghuddah fĂŽ âUlĂťm al-HadĂŽts.â
Dalam kaitannya dengan pembahasan istilah-istilah dalam ilmu
hadis, kitab ini pun terlihat umum. Namun secara apik terbahas di
dalamnya tiga istilah dalam ilmu hadis yang dilihat dari sisi
kualitasnya, yaitu istilah sahih, hasan, dan daif. Sayang kajian
41
NĂťr ad-DĂŽn âItr, Manhaj al-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 25-62.
21
tersebut tidak berlanjut hingga pada tingkatan-tingkatan daifnya.
Namun demikian, kitab ini telah menyuguhkan perdebatan yang
lumayan dinamis terkait tiga istilah tersebut, meski tidak secara
detail menyinggung aspek historitasnya. Juga sedikit banyak
memberikan gambaran kepada penulis untuk mengkaji lebih
lanjut istilah-istilah berikutnya atau dalam hal ini istilah-istilah
dalam tingkatan daif yang belum terbahas di dalamnya dengan
metode yang berbeda dan menambah sisi-sisi kekurangannya.
Kemudian kitab âal-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-
Mushthalahâ karya Syaikh Hâtim bin âÄrif al-âAunĂŽ asy-SyarĂŽf.
Karya ini menjelaskan sedikit tentang proses perkembangan
istilah dari masa ke masa, tetapi pembahasannya berhenti pada
penghujung abad ketiga hijriah. Hal itu boleh jadi karena
penulisnya memahami puncak kesempurnaan ilmu hadis terjadi
pada abad itu, sehingga ia memahami batas pemisah antara ulama
hadis mutaqaddimĂŽn dan ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn adalah
penghujung abad ketiga hijriah. Adapun ulama setelahnya yang
berarti ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn bagi sebagian yang
memahaminya demikian hanya mengikuti apa yang telah
dirumuskan para ulama abad tersebut. Persoalan batas pemisah
antara kedua kurun tersebut juga menjadi perdebatan panjang dan
muncul beragam versi sebagaimana dijelaskan di awal. Namun,
dalam hal ini penulis mengikuti pendapat Imam Ibnu Hajar al-
âAsqalânĂŽ (w. 852 h), dimana menurutnya batas pemisah antara
ulama hadis mutaqaddimĂŽn dan ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn
adalah penghujung abad kelima hijriah. Dalam catatan kaki yang
telah dijelaskan di awal, Syaikh Hamzah al-MalÎbârÎ menjelaskan
bahwa perbedaan mencolok dari kedua masa tersebut sebenarnya
bukan semata-mata karena faktor masanya, tetapi lebih kepada
22
metodologi (manhaj) yang dikembangkan. Dan pembahasan awal
dalam ilmu hadis yang membedakan metodologi antara kedua
masa tersebut adalah pembahasan tantang istilah sahih yang
dikemukakan oleh Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h), yaitu hadis
yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang
adil dan dhâbith, dari rawi yang adil dan dhâbith (juga), hingga
akhir sanad, dan hadis itu tidak rancu (syâdz) serta tidak
mengandung cacat (âillat). Dari definisi ini, Imam Ibnu ash-
Shalâh memberi isyarat atas manhaj atau metodologi ulama hadis
ketika ia mengatakan; âInilah hadis yang dihukumi kesahihannya,
dan tidak ada ulama yang berselisih atasnya (disepakati).â Hal ini
kemudian diikuti oleh setiap ulama setelahnya yang menulis
tentang ilmu hadis secara umum dan mereka bersepakat bahwa
definisi tersebut merupakan definisi yang dimiliki oleh ulama
hadis dan menjadi manhaj mereka bukan manhaj yang lainnya,
baik dari ulama fikih maupun ulama usul fikih. Hal ini karena
para ulama fikih dan ulama usul fikih tidak menyaratkan dalam
pandangan term sahih mereka terhindar dari kerancuan (syâdz)
ataupun (âillat) sebagaimana disepakati oleh para ulama hadis.
Dari sini penulis memahami bahwa kesempurnaan ilmu
hadis terjadi di tangan para ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn yang
diawali oleh Imam Ibnu ash-Shalâh dengan manhaj sahih-nya
tersebut. Batasannya adalah dari penghujung abad kelima hijriah
(awal abad keenam hijriah) hingga awal abad kesepuluh hijriah
sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ
(w. 852 h) di awal, dimana abad setelahnya dinilai oleh para
ulama sebagai masa kebekuan dan kejumudan (âashr ar-rukĂťd wa
al-jumĂťd). Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa abad ketiga
hijriah ilmu hadis telah mencapai kesempurnaan kuranglah tepat.
23
D. Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan dalam tesis ini, tujuan umum dan khusus.
Tujuan umumnya adalah mengetahui dan memahami bagaimana
sebenarnya asal-usul term-term dalam ilmu hadis itu dilihat dari
sejarahnya, lalu bagaimana perdebatan dan argumentasi para
ulama di dalamnya hingga menjadi disiplin ilmu yang mapan dan
dijadikan rujukan. Adapun tujuan khususnya adalah berupaya
mencari jawaban dari pertanyaan sebagaimana rumusan masalah.
E. Signifikansi Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang dijelaskan di atas,
maka penelitian ini secara teoritis mampu berkontribusi dalam
memetakan aspek historitas, asal-asul, dan perkembangan term-
term dalam ilmu hadis dari awal munculnya hingga menjadi
disiplin ilmu yang mapan dan kaya metodologi. Selain itu,
penelitian ini dapat memberikan gambaran epistemologi ilmu
hadis secara komperhensif dan holistik bagi para akademisi,
khususnya bagi komunitas pengkaji hadis dan ilmu hadis, baik
formal maupun non formal. Selain itu, secara praktis penelitian
ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah dan
inspirasi positif bagi kalangan intelektual muslim yang
signifikansinya besar terhadap penggiat hadis dan ilmu hadis,
khususnya yang terfokus pada studi sejarah term-term ilmu hadis.
F. Metodologi Penelitian
Penelitian ini murni studi kepustakaan (library research).
Objek material penelitiannya adalah karya-karya yang membahas
tentang ilmu hadis dari masa klasik hingga modern. Adapun
objek formalnya berhubungan dengan term-term dalam ilmu
hadis dan sejarah yang mengiringi perkembangan term-term
24
tersebut. Ditinjau dari jenis penelitiannya, maka penelitian ini
termasuk penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata yang tertulis dari objek yang diamati. Adapun
pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah (historical
approach), semantik (âilm ad-dilâlah), dan ilmu hadis itu sendiri.
Pendekatan sejarah bertujuan untuk mengetahui dan atau
memahami serangkaian peristiwa sejarah dari data yang ada dan
menemukan periodisasi asal-usul munculnya term-term tersebut.
Penulis membaginya menjadi tiga fase. Pertama, fase kelahiran
dan pertumbuhan; kedua, fase perkembangan; dan ketiga, fase
penyempurnaan. Fase kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan
penulis kelompokan ke dalam fase ahli hadis mutaqaddimĂŽn dan
fase penyempurnaan ke dalam fase ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn.
Pendekatan sejarah yang digunakan oleh para pakar hadis
dalam kaitannya dengan sejarah ilmu ini sangatlah beragam.
Misalnya pendekatan yang dikemukakan oleh Syaikh NĂťr ad-DĂŽn
âItr (w. 1442 h), dimana ia membaginya menjadi tujuh tahapan,
yaitu: (1) Tahap kelahiran ilmu hadis; tahap ini berlangsung pada
masa sahabat hingga penghujung abad pertama hijriah. (2) Tahap
penyempurnaan ilmu hadis; berlangsung dari awal abad kedua
hijriah hingga awal abad ketiga hijriah. (3) Tahap pembukuan
ilmu hadis secara terpisah; berlangsung sejak abad ketiga hijriah
hingga pertengahan abad keempat hijriah. (4) Tahap penyusunan
kitab-kitab induk ilmu hadis dan penyebarannya; tahap ini
bermula pada pertengahan abad keempat hijriah dan berakhir
abad ketujuh hijriah. (5) Tahap kematangan dan kesempurnaan
pembukuan ilmu hadis; tahap ini bermula pada abad ketujuh
hijriah dan berakhir pada abad kesepuluh hijriah. (6) Masa
kejumudan; berlangsung dari abad kesepuluh hijriah sampai awal
25
abad keempat belas hijriah. (7) Tahap kebangkitan kedua; tahap
ini bermula dari abad keempat belas hijriah hingga sekarang.42
Namun tahapan-tahapan tersebut tidak memisahkan antara
ahli hadis mutaqaddimĂŽn dan ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn, dimana
hal itu sangatlah penting dalam kaitannya dengan perkembangan
disiplin ilmu ini. Selain itu, apabila dikaitkan dengan penelitian
penulis akan banyak pembahasan terulang, karena pembagian
tahapan tersebut lebih banyak menyoroti karya-karya para ulama.
Berikutnya pendekatan sejarah yang digunakan YĂťsuf al-
âIsy (w. 1967 m) sebagaimana dikutip ShubhĂŽ ash-Shâlih yang
membaginya dengan periode khusus yang diperkirakan sesuai
dengan perkembangan sosial politik Islam. Ia membagi periode
tersebut menjadi empat periode dan masing masing periode ia
batasi 40 tahun. Keempat periode tersebut adalah: (1) Masa Nabi
saw. dan sahabat-sahabat pertama; berakhir sekitar tahun 40
hijriah dengan berakhirnya masa khalifah yang empat. (2) Masa
pertama sahabat yang belakangan dan tabiin pertama berakhir
sekitar tahun 80 hijriah; pada tahun-tahun terakhir pemerintahan
âAbd al-Malik bin Marwân (w. 86 h). (3) Masa tabiin yang
belakangan dan berakhir sekitar tahun 120 hijriah pada akhir
pemerintahan Hisyâm bin âAbd al-Malik bin Marwân (w. 125 h).
(4) Masa berikutnya sampai tahun 160 hijriah dan seterusnya.
Hanya saja pembagian periode ini mendapatkan kritikan
dari para pakar, dimana pembatasan yang hanya melingkupi
periodisasi sedikit banyak terkadang tidak sesuai dengan tahun
wafat sebagian perawinya, dimana hal ini penting dalam kajian
sejarah. Dengan demikian, pendapat ini kurang dapat diterima.43
42
NĂťr ad-DĂŽn âItr, Manhaj an-Naqd fĂŽ âUlĂťm al-HadĂŽts, hal. 36-72. 43
Lihat ShubhÎ Shâlih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka
Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013 M), hal. 51.
26
Di sisi lain ada yang membaginya melalui pendekatan
tadwĂŽn (kodifikasi) dengan tiga periode, yaitu: (1) Periode
sebelum kodifikasi (qabla at-tadwĂŽn) yang dihitung sejak masa
Nabi saw. hingga tahun 100 hijriah. (2) Periode saat berlangsung
kodifikasi (âinda at-tadwĂŽn) sejak tahun 101 hijriah hingga akhir
abad ketiga hijriah. (3) Periode pasca kodifikasi (baâda at-
tadwĂŽn) yaitu sejak abad keempat hijriah hingga masa
terkoleksinya hadis dalam kitab-kitab hadis. Ada juga yang
merumuskannya dengan lima periode sebagaimana berikut: (1)
Periode keterpeliharaan hadis dalam hafalan pada abad pertama
hijriah. (2) Periode kodifikasi hadis dengan fatwa sahabat dan
tabiin berlangsung selama abad kedua hijriah. (3) Periode pen-
tadwĂŽn-an dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat dan
tabiin. Hal ini berlangsung sejak awal abad ketiga hijriah. (4)
Periode seleksi kesahihan hadis. (5) Periode kodifikasi hadis
dengan tahdzĂŽb atau sistematika penggabungan dan penyarahan.
Di mulai abad keempat hijriah. Hasbi ash-Shiddiqi (w. 1987 m)
menyimpulkannya melalui tujuh masa atau periode, dan saat ini
telah memasuki periode keenam. (1) Periode pertama, yaitu saat
wahyu turun dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari
permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 hijriah.
(2) Periode kedua, masa khalifah yang empat yang dikenal
dengan masa pembatasan riwayat. (3) Periode ketiga, masa
perkembangan riwayat yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.
(4) Periode keempat, masa pembukuan hadis pada permulaan
abad kedua hijriah. (5) Periode kelima, masa pen-tashhĂŽh-an dan
penyaringan pada awal abad ketiga. (6) Periode keenam, masa
memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jâmiâ yang
khusus; awal abad keenam sampai tahun 656 hijriah. (7) Periode
27
ketujuh, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan
hadis-hadis hukum, dan membuat kitab-kitab jâmiâ yang umum.44
Namun, setelah penulis perhatikan dari semua pendekatan
sejarah yang dikemukakan ternyata berbeda antara satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, penulis dapat mengambil benang
merah dengan mengklasifikasikan pendekatan sejarah dalam
penelitian ini menjadi tiga periode, yaitu; (1) Periode kelahiran
dan pertumbuhan, dimulai dari masa Nabi saw., sahabat, dan
khalifah yang empat. (2) Masa perkembangan, dimulai dari masa
tabiin hingga penghujung abad kelima hijriah, dan (3) Masa
penyempurnaan, dimulai dari awal abad keenam hijriah hingga
abad kesepuluh hijriah. Dari masa kelahiran, pertumbuhan, serta
perkembangan, penulis mengelompokkannya ke dalam masa
ulama hadis mutaqaddimĂŽn, sementara masa penyempurnaan
penulis mengelompokkannya ke dalam masa ulama hadis
mutaâakhkhirĂŽn. Penulis menilai, perpindahan antara kurun ulama
hadis mutaqaddimĂŽn dan mutaâakhkhirĂŽn ini lebih kepada aspek
metodologi (manhaj) yang digunakan para ulama kedua kurun
tersebut, dimana batasan mutaqaddimĂŽn adalah penghujung abad
kelima hijriah, dan setelah itu hingga abad kesepuluh hijriah
adalah kurun waktu ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn. Sedangkan
setelah abad kesepuluh hijriah, penulis menilainya sebagai kurun
ulama hadis kontemporer. Dimana mereka hanya mengikuti dan
mengembangkan apa yang telah dirumuskan ulama sebelumnya.
Selanjutnya pendekatan semantik bertujuan mempelajari
makna suatu bahasa, baik dalam tataran mufradât (kosakata),
maupun tarâkib (struktur) terminologi-terminologi yang nanti
44
Selengkapnya lihat Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 M), hal. 26.
28
akan dibahas. Semantik merupakan bagian dari ilmu linguistik
atau âilm ad-dilâlah. Ruang lingkup kajian semantik berkisar
pada: (1) Ad-dâl (penunjuk, pemakna, lafaz,) dan al-madlÝl (yang
ditunjuk, dimaknai, atau makna), serta hubungan simbolik di
antara keduanya, seperti refleksi sosial, psikologis, dan pemikiran
(significant, signifie, reference). (2) Perkembangan makna, sebab,
dan kaidahnya, dan hubungan kontekstual, dan situasional dalam
kehidupan, ilmu, dan seni. (3) Majâz (kiasan) berikut aplikasi
semantik dan stilistiknya. Ad-dâl adalah nilai bunyi atau bentuk
akustik, sedangkan al-madlĂťl adalah ide, isi pikiran dan gagasan.
Dalam linguistik di antara keduanya dikehendaki adanya tiga
syarat, yaitu: (1) Hubungan linguistik itu harus menunjukkan
makna. (2) Hubungan itu harus dipakai dalam masyarakat
linguistik yang memahaminya. (3) Hubungan itu menunjukkan
kepada sebuah sistem tanda (simbol) linguistik. Makna bahasa
terkait dengan lafaz (bentuk kata), struktur (tarkĂŽb), dan konteks
(siyâq) situasi dan kondisi. Makna kata suatu bahasa tidak dapat
terpisah dari akar kata, penunjukan, dan konteks penggunaannya.
Oleh karena itu, dalam ilmu ini dijumpai setidaknya sembilan
teori tentang makna, yaitu: (1) An-Nazhariyah al-Isyâriyah,
adalah yang merujuk pada segitiga makna, yaitu ide-isi pikiran
(makna), simbol kata, alam nyata-dunia luar-rujukan. (2) An-
Nazhariyah at-Tashwwuriyah (teori konsepsional), yaitu teori
semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip konsepsi
yang ada dalam pikiran manusia. (3) An-Nazhariyah as-SulĂťkiyah
(teori behaviorisme); adalah teori semantik yang memfokuskan
kajian makna bahasa sebagai bagian dari perilaku manusia yang
merupakan manifestasi dari adanya stimulus dan respon. (4) An-
Nazhariyah as-Siyâqiyah (teori kontekstual); teori semantik yang
29
berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama
lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan
perkembangan. (5) An-Nazhariyah at-TahlĂŽliyah (teori analitik)
adalah teori yang menitikberatkan pada analisis kata ke dalam
komponen-komponen. (6) An-Nazhariyah at-TaulĂŽdiyah adalah
teori yang didasarkan pada asumsi bahwa otomatisasi generasi
atau pelahiran kalimat-kalimat yang benar itu dapat dilakukan
berdasarkan kompetensi pembicara atau penulis, dalam arti
kaidah bahasa yang benar yang ada dalam pikiran seseorang
dapat memproduksi berbagai kalimat yang tidak terbatas. (7) An-
Nazhariyah al-Wadhâiyah al-ManthĂŽqiyah fĂŽ al-Maânâ (teori
situasional logis); teori ini didasarkan pada berbagai pandangan
filosofis, baik dari kalangan ahli bahasa, maupun kalangan ahli
logika; (8) An-Nazhariyah al-Brajmatiyah (teori pragmatisme),
yaitu sebuah teori atas dasar pengamatan langsung dan
kesesuaian makna dengan realitas empiris; (9) An-Nazhariyah
Moore-Quine, teori ini dipelopori oleh George Moorr dan M.V.
Quine, yang menitikberatkan pada tiga kriteria; kesepadanan,
tarjamah, dan sinonim.45
Berikutnya pendekatan ilmu hadis bertujuan menjaga
konsistensi tulisan agar tetap berbicara seputar ilmu ini. Adapun
sumber primer penelitiannya adalah kitab-kitab ilmu hadis yang
telah dibukukan dari abad keempat hijriah hingga abad ketujuh
hijriah, di antara kitab tersebut adalah: kitab âMaârifah UlĂťm al-
HadĂŽtsâ karya Imam al-Hâkim an-NaisâbĂťrĂŽ (w. 405 h); kitab
âUlĂťm al-HadĂŽtsâ karya Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h); kitab
âTadrĂŽb ar-Rawiâ karya Imam as-SuyĂťthĂŽ (w. 911 h), kitab
45
Selengkapnya lihat Mohammad Matsna H.S. Orientasi Semantik
az-Zamaksyari, (Jakarta: Anglo Media, 1427 H/2006 M), hal. 3 â 26.
30
âMuqaddimah al-Jarh wa at-TaâdĂŽlâ karya Imam Ibnu Hâtim ar-
RâzÎ (w. 327 h), dan sebagainya. Adapun sumber sekunder yang
menjadi rujukan di antaranya: kitab âBulĂťgh al-Ämâlâ karya
MahmĂťd Ahmad Bakkâr; kitab âLisân al-MuhadditsĂŽnâ karya
Khalâf Salâmah. Metode penulisan yang digunakan mengikuti
pedoman akademik Program Pascasarjana IIQ Jakarta 2011-2015.
G. Sistematika Logika Penulisan
Penelitian ini dirancang menjadi empat bab; bab pertama
mencakup penelitian tesis ini, permasalahan; (identifikasi,
pembatasan, dan perumusan masalah), dilanjutkan pemaparan
penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, siginifikansi
penelitian, metodologi, dan sistematika logika penelitian. Bab
kedua berisi tentang kerangka konseptual, basis epistemologi
ilmu hadis, formulasi nalar ilmu hadis. Bab ketiga berbicara
tentang genealogi ilmu terminologi hadis dalam kontestasi
sejarahnya yang terangkum dalam tiga fase; fase pertama, fase
kelahiran dan pertumbuhan ilmu terminologi hadis, fase kedua
perkembangan ilmu terminologi hadis, ketiga penyempurnaan
ilmu terminologi hadis. Bab keempat menjelaskan progresivitas
terminologi-terminologi dalam ilmu hadis yang mencakup; term
sahih, hukum sahih, diskusi dan perdebatannya; term hasan dan
perdebatannya; diskursus term daif, pembagian khusus daif yang
terangkum dalam mardĂťd sebab gugurnya sanad dan cacatnya
rawi. Dan bab kelima tentang kesimpulan penelitian dan penutup.
Sistematika ini penulis rancang untuk memudahkan para
pembaca melihat dan memahami sejarah asal-usul munculnya
tem-term dalam ilmu hadis dari masa ke masa secara terstruktur
juga keterkaitan paham antara ulama hadis mutaqaddimĂŽn dengan
31
ulama hadis mutaâakhkhirĂŽn terkait term-term tersebut hingga
menjadi mapan dan dijadikan rujukan umum di kalangan mereka.
294
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis jelaskan
sebelumnya, maka penulis berkesimpulan:
1. Secara historis, term-term yang dijelaskan merupakan
dengan praktik-praktik yang perpanjangan dari praktik-
praktik yang pernah dilakukan Rasulullah saw. dan para
sahabatnya dalam menyikapi suatu berita atau hadis
dengan segala problematikanya. Inilah yang penulis sebut
dengan kesinambungan paham antara mereka dalam
merumuskan term-term tersebut pernah dilakukan
Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Di antaranya: (1)
Ungkapan tashdĂŽq dan takdzĂŽb; kedua ungkapan tersebut
merupakan ungkapan dari praktik awal dalam menyikapi
suatu berita. Jika berita itu benar, maka dikatakan
shadaqta (engkau benar). Namun jika tidak benar, maka
dikatakan kadzabta (engkau dusta). Ungkapan tashdĂŽq
kemudian menjadi basis dalam merumuskan term-term
dalam kategori hadis yang diterima dengan membawahi
term shahĂŽh, hasan, shahĂŽh li ghairihĂŽ, hasan li ghairihĂŽ;
atau dalam ungkapan Imam asy-SyâfiâĂŽ (w. 204 h) disebut
dengan maqbĂťl al-khabar. Dan ungkapan takdzĂŽb
kemudian menjadi basis dirumuskannya term-term yang
masuk dalam kategori hadis yang tidak dapat diterima
dengan membawahi term daif beserta bagian-bagiannya;
atau dalam ungkapan Imam asy-SyâfiâĂŽ disebut dengan
mardÝd al-khabar. (2) Ungkapan seperti rajul shâlih
(orang yang saleh), niâma ar-rajul (sebaik-baik orang),
295
dan biâsa ar-rajul (seburuk-buruk orang); merupakan
ungkapan yang ditujukan untuk menilai keadaan
seseorang. Penilaian seperti ini kemudian memunculkan
term-term dalam ilmu hadis yang berkaitan dengan
penilaian baik (ini masuk kategori sahih atau hasan) dan
penilaian buruk (cacat) terhadap rawi (thaân fĂŽ ar-râwĂŽ),
seperti term munkar, matrĂťk, mudhtharib. (3) Ungkapan
rajul (seorang laki-laki), imraâah (seorang perempuan),
aârabiyâ (seorang Badui), atau sejenisnya, merupakan
ungkapan-ungkapan yang kemudian hari melahirkan term
dalam ilmu hadis yang disebut dengan al-jahâlah bi ar-
râwÎ (tidak diketahuinya sosok atau identitas seorang
perawi hadis). (4) Upaya pemeriksaan berita sebagaimana
dilakukan âUmar ra (w. 23 h) terhadap berita yang datang
dari tetangganya terkait rencana penyerangan pasukan
Gassan. Praktik ini kemudian memunculkan ilmu kritik
materi hadis (naqd matn al-hadĂŽts), apakah berita itu
selamat dari cacat (âillat) atau terdapat cacatnya; yang
selanjutnya melahirkan term muâall. (5) Praktik
pemberitaan terputus sebagaimana dilakukan para sahabat
muda; praktik seperti ini kemudian memunculkan term-
term dalam ilmu hadis kategori hadis-hadis yang ditolak
sebab gugurnya sanad, seperti term munqathiâ, muâdhal,
mursal, muâallaq, mudallas. (6) Praktik penghadiran
saksi, pemberian bukti, dan sumpah sebagaimana
dilakukan khalifah yang empat; upaya-upaya mereka
kemudian melahirkan term dalam ilmu hadis yang disebut
syâwâhid dan tawâbiâ; dan darinya kemudian lahir term
shahĂŽh li ghairihĂŽ dan hasan li ghaĂŽrihĂŽ. (7) Upaya
296
pelurusan dan perbandingan riwayat sebagaimana yang
dilakukan sahabat âUmar ra. (w. 23 h) terhadap berita
yang datang dari Fâthimah binti Qais ra. terkait talak
suaminya. Kemudian yang dilakukan âÄâisyah (w. 58 h)
terhadap berita yang datang dari âUmar ra. terkait
disiksanya mayit sebab tangisan seseorang. Setelah
dibandingkan dan diluruskan, ternyata berita-berita
tersebut tidaklah benar. Upaya ini kemudian melahirkan
term mukhâlafâh ats-tsiqât yang terbahas di dalamnya
term syâdz, mudhtharib, mudraj, maqlÝb, dan sebagainya.
2. Perdebatan mengenai term-term dalam ilmu hadis lebih
dominan disebabkan perbedaan mereka tentang batasan
makna (definisi) suatu term, apakah jâmiâ mâniâ atau
tidak. Seperti term sahih; perdebatan mengenai term ini
sebenarnya lebih kepada menentukan apakah batasan term
yang dikemukakan para ahli hadis mutaqaddimĂŽn, yakni
bersambungnya sanad (ittishâl as-sanad), adil dan dhâbith
itu dapat mengakomodir hadis-hadis yang banyak namun
masih satu tema (ahadÎts al-bâb) atau tidak. Ketika para
ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn menemukan bahwa batasan itu
kurang sempurna, maka mereka menambahkannya dengan
tidak adanya syâdz dan âillat. Namun mereka sepakat
dengan ketiga syarat sebelumnya. Kemudian beberapa
ahli hadis ada yang menyamakan maksud term tertentu
dengan term yang lainnya. Seperti term mursal; di antara
ahli hadis mutaqaddimĂŽn ada yang menyamakannya
dengan dengan term munqathiâ, yaitu Imam AbĂť Zurâah
ar-RâzÎ (w. 264 H), Imam AbÝ Hâtim ar-RâzÎ (w. 277 H),
dan Imam ad-DâruquthnÎ (w. 385 h), dan dari ahli hadis
297
mutaâakhkhirĂŽn yang menyamakannya adalah Imam al-
BaihaqĂŽ (w. 458 h). Ibnu Hajar al-âAqalânĂŽ (w. 852 h)
kemudian menjelaskan bahwa kata irsâl yang digunakan
ahli hadis mutaqaddimĂŽn memang mencakup munqathiâ
dan mursal. Mungkin ini yang membuat banyak ahli hadis
mutaâakhkhirĂŽn menyamakan munqathiâ dengan mursal.
Namun jika dilihat dari persamaannya, mereka sama-sama
memahami bahwa term itu masuk dalam kategori hadis
daif sebab gugurnya rawi. Di sisi lain, terdapat term yang
penggunaannya tidak seperti penggunaan umumnya ahli
hadis mutaâakhkhirĂŽn, seperti term maqthĂťâ; yang dalam
pandangan Imam asy-SyâfiâĂŽ (w. 204 h) dan Imam ath-
ThabarânĂŽ (w. 360 h) adalah munqathiâ. Penggunaan
maqthĂťâ dengan maksud munqathiâ tersebut dikarenakan
belum adanya istilah paten atau baku pada masa itu yang
menjelaskan keduanya secara independen. Karena itu, jika
menemukan istilah-istilah yang berbeda dengan definisi
atau maksud umumnya ahli hadis seperti ini, maka harus
dikembalikan kepada pencetusnya. Selain itu, menentukan
posisi hadis juga dominan dengan sebutan term di
dalamnya, seperti term hasan; kesimpulan penulis
mengenai perdebatan term ini lebih kepada menentukan
apakah hadis itu dikelompokkan ke dalam term hasan
murni (li dzâtihÎ), atau dikelompokkan ke dalam hasan
sebab dukungan faktor lain (eksternal) yang sama
kualitasnya atau yang lebih kuat (li ghairihĂŽ). Term-term
yang telah dijelaskan dan diformulasikan oleh para ahli
hadis itu sebenarnya untuk mendudukkan posisi hadis itu
sendiri. Oleh karena itu, term-term tersebut tidaklah
298
muncul sebelum adanya suatu kasus, baik yang berkaitan
dengan sanad maupun matan. Di sisi lain, term-term yang
penulis jelaskan jelas tidak luput dari perbedaan, baik
perbedaan itu dari sisi definisi maupun penggunaannya.
Namun hasil penelitian ini menemukan bahwa perbedaan-
perbedaan itu ada yang mempengaruhi posisi atau hukum
hadis itu sendiri dan ada juga yang tidak. Perbedaan
definisi yang berpengaruh pada hukum dan posisi hadis di
antaranya definisi munkar yang digunakan oleh ahli hadis
mutaqaddimĂŽn dan definisi munkar yang digunakan oleh
ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn dan munqathiâ yang dipahami
oleh Imam AbĂť Bakar al-BardĂŽjĂŽ (w. 301 h) dan yang
sepaham dengannya; dimana ia menggunakan term
tersebut untuk term maqthĂťâ. Adapun perbedaan yang
tidak berpengaruh pada hukum dan posisi hadis, di
antaranya; term munqathiâ (selain yang dipahami Imam
al-BardĂŽjĂŽ), muâdhal, dan lainnya yang dipahami berbeda
oleh ahli hadis mutaqaddimĂŽn dan mutaâakhkhirĂŽn, hanya
perbedaan itu tidak mempengaruhi posisi hadis itu sebagai
yang dinilai daif sebab gugurnya sanad (saqth fÎ al-isnâd).
Perbedaan itu lebih kepada persoalan untuk membedakan
posisi term-term yang sama-sama terputus sanadnya.
Perlu diakui bahwa ada beberapa term yang dikategorikan
daif asalnya, tetapi jika term-term itu memiliki perangkat-
perangkat yang dapat memperkuatnya, maka hukumnya
dapat berubah menjadi sahih, seperti mursal, muâallaq,
dan semua term yang tidak berkaitan dengan cacatnya
perawi, baik disebabkan karena dusta, tertuduh dusta,
fasik, dan berselisih dengan riwayat lain yang lebih
299
tsiqah. Metodologi yang diformulasikan oleh kalangan
ahli hadis mutaâakhkhirĂŽn lebih selamat diikuti, karena
mereka telah mengkaji, memetakan, menertibkan, dan
menyimpulkan maksud-maksud ahli hadis mutaqaddimĂŽn
dengan cermat dan seksama. Meskipun dalam beberapa
sisi perbedaan itu tetap ada dan tidak dapat diabaikan.
B. Saran-saran
Perlunya pengkajian lebih lanjut mengenai term-term
yang penulis bahas dan juga term-term lainnya dalam ilmu hadis
terutama dalam kaitannya dengan sejarah. Bagaimanapun term-
term dalam ilmu hadis tidak pernah akan lepas dari sisi kajian
tersebut, bahkan ia sendiri selalu berbicara tentangnya. Sehingga
keagungan dan keluasan ilmu hadis dapat dirasakan langsung
oleh para pengkajinya yang memang dibangun oleh para ahlinya
dengan kecermatan dan kejelian yang luar biasa. Selanjutnya,
diskusi ilmiah, pembuatan karya, dan kajian-kajian terkait term-
term dalam ilmu hadis dari sisi tersebut harus lebih disemarakan
lagi baik secara offline maupun online. Penulis melihat sepertinya
masih kurang bahkan belum ada yang secara fokus membuat
karya atau mengkaji term-term dalam ilmu hadis dari sisi
tersebut. Penerimaan terhadap term-term dalam ilmu hadis secara
instan seringkali membuat para pengkaji kebingungan karena
banyaknya perbedaan ulama dalam memahami term-term yang
ada. Karena itu, kajian sejarah dalam ilmu ini menjadi penting
dan akan membantu para pengkaji mengetahui asal-usul mengapa
term-term tersebut muncul, siapa yang mencetuskannya, dalam
kondisi apa ia muncul, mengapa terjadi perbedaan dalam soal
definisi, dan mengapa antara ahli hadis satu dengan ahli hadis
300
lain berbeda dalam menghukumi suatu hadis. Di sinilah penulis
kira urgennya kajian ini dari sisi sejarahnya. Semoga bermanfaat.
301
DAFTAR PUSTAKA
Al-AshbahĂŽ, Mâlik bin Anas bin Mâlik bin AbĂŽ âÄmir AbĂť
âAbdillâh al-MadanĂŽ, al-Muwathtaâ, Editor: Muhammad
Mushthafâ al-AâzhamĂŽ, Penerbit: Muâassasah Zâyib bin
Sulthân Älu Nahyân, 1425 H/2004 M.
Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2006 M.
___________, Manhaj an-Naqd âInda al-MuhadditsĂŽn, ar-
Riyâdh: Syirkah ath-Thibââah al-âArabiyyah al-
MahdĂťdah, 1402 H/1982 M.
AbĂť ZahwĂť, Muhammad Muhammad, al-HadĂŽts wa al-
MuhadditsĂťn, BeirĂťt: Dâr al-Kitâb al-âArabĂŽ, 1984 M.
AnĂŽs IbrâhĂŽm, dkk., al-Fihris al-MaĂťdhĂťâĂŽ li Majallat al-Majmaâ
al-Lughah al- âArabiyyah, tp. t.th.
Al-AbnâsĂŽ, Abu Ishâq, asy-Syadzdza al-Fiyâh min âUlĂťm Ibn
ash-Shalâh, tp. t.th.
Al-AnshârĂŽ, IsmââĂŽl bin Muhammad bin MâhĂŽ as-SaâdĂŽ, at-Tuhfah
ar-Rabbâniyyah fĂŽ Syarh al-ArbaâĂŽna HadĂŽtsan an-
Nawâwiyyah, tp. t.th.
AbĂť Syuhbah, Muhammad bin Muhammad bin Suwailim, al-
WasĂŽth fi âUlĂťm wa Mushthalah al-HadĂŽts, Penebit: Dâr
al-Fikr al-âArabĂŽ, tp. t.th.
Al-BaiqĂťnĂŽ, âUmar bin Muhammad, al-ManzhĂťmah al-
BaiqĂťniyyah, tp. t.th.
Al-BurnisĂŽ, Ahmad bin Ahmad al-BurnisĂŽ al-MaghribĂŽ, Qawââid
at-Tashawwuf âala Wajh Yajmaâ BaĂŽna asy-SyarĂŽâah wa
al-HaqÎqah, Suria: Dâr al-BairÝtÎ,1424 H/2004 M.
Al-BukhârĂŽ, Muhammad bin IsmââĂŽl, ShahĂŽh al-BukhârĂŽ, TahqĂŽq:
Musthafa DÎeb al-Bighâ, BeÎrÝt: Dâr Ibn KatsÎr al-
Yamâmah, 1407 H/1987 M.
Al-BaihaqĂŽ, AbĂť Bakar Ahmad bin al-Husain bin âAlĂŽ, Sunan al-
BaihaqĂŽ al-Kubraâ, Editor: Muhammad âAbd al-Qâdir
âAthaâ, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz,
1414 H/1994 M.
___________, Syuâb al-Imân, Editor: Muhammad as-SaâĂŽd
ZaghlĂťl, BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyyah, 1410 H.
302
Al-BaghdâdĂŽ, AbĂť Bakar al-KhathĂŽb, al-Jâmiâ li Akhlâq ar-RâwĂŽ,
Editor: MahmÝd ath-Thahhân, ar-Riyâdh: Maktabah al-
Maâarif, 1403 H.
___________, Syaraf Ashshâb al-HadÎts, tp. t.th.
___________, al-Kifâyah fĂŽ âIlm ar-Riwâyah, TahqĂŽq: AbĂť
âAbdillâh as-SuraqĂŽ dan IbrâhĂŽm HamdĂŽ al-MadanĂŽ, al-
MadĂŽnah al-Munawwarah, tp. t.th.
Bakkâr, Muhammad MahmĂťd Ahmad, BulĂťgh al-Ämâl min
Mushthalah al-HadÎts wa ar-Rijâl, Kairo: Dâr as-Salâm,
1433 H/2012.
BĂťkhâtim, Maulâya âAlĂŽ, Musthalahât an-Naqd al-âArabĂŽ as-
SĂŽmiyaâĂŽ al-Isykâliyat wa al-UshĂťl wa al-Imtidâd,
Damaskus: MansyĂťrât Ittihâd al-Kitâb al-âArab, 2005 M.
Ad-DarwĂŽsy, Mâjid, al-Fawââid al-Mustamaddah min TahqĂŽqât
al-âAllâmah âAbd al-Fattâh AbĂť Ghuddah fĂŽ âUlĂťm al-
HadÎts, BeirÝt: Dâr al-Imâm AbÎ HanÎfah Syirkah Dâr al-
Basyââir al-Islâmiyah, 1426 H/2005 M.
Ad-DâruquthnĂŽ, âAlĂŽ bin âUmar, Sunan ad-DâruquthnĂŽ, TahqĂŽq;
Abdullâh Hâsyim, BeirĂťt: Dâr al-Maârifah, 1386 H.
Ad-DimyâthĂŽ, AbĂť Bakar Ibnu as-Sayyid Muhammad Syathââ,
Hâsyiah Iâânah ath-ThâlibĂŽn âalâ Hill Alfâzh Fath al-
MuâĂŽn, tp. 1418 H/1997 M.
Adz-DzahabÎ, Muhammad bin Ahmad bin Utsmân, Tadzkirah al-
Huffâdz, TahqĂŽq: Zakariyyâ âAmĂŽrât, BeirĂťt: Dâr al-
Kutub al-âIlmiyah, 1419 H/1998 M.
___________, MĂŽzân al-Iâtidâl fĂŽ Naqd ar-Rijâl, Editor: âAlĂŽ
Muhammad al- BajawĂŽ, BeirĂťt: Dâr al-Maârifah, tp. t.th.
___________, Siyar Aâlâm an-Nubalââ, BeirĂťt: Muâassasah ar-
Risâlah, 1413 H/1993 M.
Al-FayyĂťmĂŽ, AbĂť alâAbbâs Ahmad bin Muhammad bin âAlĂŽ, al-
Mishbâh al-MunÎr fÎ GharÎb asy-Syarh al-KabÎr, tp. t.th.
Al-FarâhidĂŽ, AbĂť âAbd ar-Rahmân KhalĂŽl bin Ahmad, Kitâb al-
âAin, Editor: MahdĂŽ al-MakhzĂťmĂŽ dan IbrâhĂŽm as-
SâmirââĂŽ, Penerbit: Dâr wa Maktabah al-Hilâl, t.th.
Al-FâsÎ, Muhammad al-Hasan, al-Fikr as-SâmÎ fi TârÎkh al-Fiqh
al-IslâmĂŽ, BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, 1995 M.
303
Al-GhurâbÎ, TârÎkh al-Firaq al-Islâmiyah, Mesir: Muhammad
âAlĂŽ Shâbih, 1959.
Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1,1 2010 M.
Hasan, IbrâhÎm Hasan, TârÎkh al-Islâm, Kairo: Maktabah an-
Nahdhah al-Mishriyyah, 1964 M.
Humaid, Saâad bin âAbdullâh, Manâhij al-MuhadditsĂŽn, Penerbit:
Dâr âUlĂťm as-Sunnah, t.th.
âIzz ad-DĂŽn, âAbd al-HamĂŽd bin Hibatullâh bin Muhammad bin
al-Husain bin AbÎ al-HadÎd, AbÝ Hâmid, Syarh Nahj al-
Balâghah, TahqÎq: Muhammad AbÝ al-Fadhl IbrâhÎm,
Mesir: Dâr Ihyââ al-Kutub al-âArabiyyah âIsâ al-BâbĂŽ al-
HalabĂŽ, 1378 H/1959 M.
Ismaâil, Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,
Jakarta: Bulan Bintang, 1428 H/2007 M.
âItr, NĂťr al-DĂŽn, Manhaj an-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, Damaskus:
Dâr al-Fikr, 1418 H.
Ibnu Sayyid an-Nâs, Muhammad bin âAbdullâh bin Yahyâ,
âUyĂťn al-Atsâr fĂŽ FunĂťn al-MaghâzĂŽ wa as-Siyar, BeirĂťt:
Muâassasah âIzz ad-DĂŽn, 1406 H/1986 M.
Ibnu KatsĂŽr, AbĂť al-Fidââ IsmââĂŽl bin KatsĂŽr al-QurasyĂŽ ad-
DimasyqĂŽ, al-BââĂŽts al-HatsĂŽts fĂŽ Ikhtishâr âUlĂťm al-
HadĂŽts, tp, t.th.
Ibnu ash-Shalâh, AbĂť âAmr âUtsmân bin âAbd ar-Rahmân asy-
SyahruzĂťrĂŽ, Muqaddimah Ibnu ash-Shalâh fĂŽ âUlĂťm al-
HadĂŽts, TahqĂŽq: Shalâh Muhammad âUwaidhah, BeirĂťt:
Dar al-Kutub al-âIlmiyah, 2006 M.
___________, Shiyânah ShahÎh Muslim min al-Ikhlâl wa al-
Ghalath wa HimâyatuhÝ min al-Isqâth wa as-Saqth,
Editor: Muwaffaq âAbdullâh âAbd al-Qâdir, BeirĂťt: Dâr
al-Garb al-IslâmÎ, 1408 H.
Ibnu Taimiyyah, MajmĂťâ al-Fatâwâ, tp. t.th.
Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, tp. t.th.
Ibnu âAbd al-Barr, AbĂť âUmar YĂťsuf bin âAbdillâh an-NamirĂŽ
al-QurthubĂŽ, Jâmiâ Bayân al-âIlm wa FadhlihĂŽ, TahqĂŽq:
AbĂť âAbd ar-Rahmân Fawwâz Ahmad ZamralĂŽ, Penerbit:
Muâassasah ar-Rayyân Dâr Ibnu Hazm, 1424 H/2003 M.
___________, al-IstĂŽââb fĂŽ Maârifah al-Ashhâb, tp. t.th.
304
___________, at-TamhĂŽd Limâ fĂŽ al-Muwaththââ min al-
MaâânĂŽ wa al-AsânĂŽd, Kairo: Muâassasah al-
Qurthubah, t.th.
__________, al-Istidzkâr al-Jâmiâ li Madzâhib Fuqahââ al-
Amshâr, BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, 2000 M.
Ibnu Baththtâl, âAlĂŽ bin Khalaf bin âAbd al-Mâlik bin Baththâl al-
BakrÎ al-QurthubÎ, Syarh ShahÎh al-BukhârÎ li Ibn
Baththâl, Riyâdh: Maktabah ar-Rusyd, 1423 H.
Ibnu al-AtsĂŽr, âIzz ad-DĂŽn AbĂť al-Hasan âAlĂŽ bin Muhammad bin
âAbd al-KarĂŽm, Usud al-Ghâbah fĂŽ Maârifah as-
Shahâbah, tp. t.th.
___________, Jâmiâ al- UshĂťl fi AhadĂŽts ar-RasĂťl, TahqĂŽq:
BasyĂŽr âUyĂťn, BeirĂťt: Dar al-Fikr, tp. t.th.
___________, an-Nihâyah fÎ GharÎb al-HadÎts wa al-Atsar,
TahqÎq: Thâhir Ahmad az-ZâwÎ dan MahmÝd
Muhammad ath-ThanâhÎ, BeirÝt: al-Maktabah al-
âIlmiyah, 1399 H/1979 M.
Ibnu AbÎ Hâtim, AbÝ Muhammad bin AbÎ Hâtim Muhammad bin
IdrĂŽs ar-RâzĂŽ, Muqaddimah al-Jarh wa at-TaâdĂŽl, tp. t.th.
___________al-MarâsĂŽl, BeirĂťt: Muâassasah ar-Risâlah, 1397 H.
Ibnu Qudâmah, AbĂť Muhammad âAbdullâh bin Ahmad bin
Qudâmah al-MaqdisÎ, Raudhah an-Nâzhir wa Jannah al-
Manâzhir, ar-Riyâdh: Jâmiâah al-Imâm Muhammad bin
SaâĂťd, 1399 H.
Ibnu Fâris, Ahmad bin Fâris bin Zakariyyââ, Muâjam Maqâyis al-
Lughah, TahqĂŽq: âAbd as-Salâm Muhammad HârĂťn,
BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M.
IbrâhĂŽm Musthafâ, dkk., al-Muâjam al-WasĂŽth, TahqĂŽq: Majmaâ
al-Lughah al- âArabiyyah, Penerbit: Dâr ad-Daâwah, t.th.
Ibnu Hibbân, Muhammad bin Hibbân bin Ahmad AbÝ Hâtim at-
TamĂŽmĂŽ al-BustĂŽ, al-MajrĂťhĂŽn min al-MuhadditsĂŽn wa
adh-Dhuâafââ wa al-MatrĂťkĂŽn, TahqĂŽq: MahmĂťd IbrâhĂŽm
Zâyid, tp. t.th.
Ibnu KatsĂŽr, AbĂť al-Fidââ IsmââĂŽl bin âUmar, TafsĂŽr al-Qurâân al-
âAzhĂŽm, Editor: SâmĂŽ bin Muhammad Salamah, Makkah:
Dâr ath-Thayyibah, 1420 H/1999 M.
305
Ibnu al-JauzĂŽ, Jamâl ad-DĂŽn bin âAbd ar-Rahmân bin âAlĂŽ, al-
MaĂťdhĂťâât, TahqĂŽq: âAbd ar-Rahmân bin Muhammad
âUtsmân, tp. 1386 H/1966 M.
Ibnu Jamââah, Badr ad-DĂŽn Muhammad bin IbrâhĂŽm bin Saâd
Allâh bin Jamââah al-MishrĂŽ, al-Minhal ar-RâwĂŽ fĂŽ
Mukhtashar âUlĂťm al-HadĂŽts an-NabawĂŽ, TahqĂŽq: MuhyĂŽ
ad-DĂŽn âAbd ar-Rahmân Ramadhân, Damaskus: Dâr al-
Fikr, 1406 H/1986 M.
Ibnu Qutaibah, ad-DĂŽnawarĂŽ, TaâwĂŽl Mukhtalaf al-HadĂŽts, Editor:
Muhammad ZuhrÎ an -Najjâr, BeirÝt: Dâr al -Jail, 1393 H
/1972 M.
Ibnu Rajab, AbĂť al-Faraj âAbd ar-Rahmân bin Ahmad bin Rajab
al-HanbalĂŽ, Syarh âIlal at-TirmidzĂŽ, Editor: NĂťr ad-DĂŽn
âItr, dkk., tp. t.th.
Ibnu DaqĂŽq al-âĂd, al-Iqtirâh fĂŽ Fann al-Ishthilâh, tp. t.th.
Ibnu âAsâkir, AbĂť al-Qâsim bin âAlĂŽ al-Hasan Ibnu Hibatullâh
bin âAbdillâh asy-SyâfiâĂŽ, TârĂŽkh MadĂŽnah Dimasyq,
BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1419 H/1998 M.
Ibnu Mandah, Muhammad bin Ishâq bin Muhammad bin
Mandah, Fadhl al-Akhbâr wa Syarh Madzâhib Ahl al-
Atsar wa HaqÎqah as-Sunan, ar-Riyâdh: Dâr al-Muslim,
1414 H.
Ibnu Hazm, al-Andalusi, al-Ihkâm fÎ UshÝl al-Ahkâm, Kairo: Dâr
al-HadĂŽts, 1404 H.
KhalĂŽfah, HâjĂŽ, Kasyf azh-ZhunĂťn âan Asmââ al-Kutub wa al-
FunĂťn, tp. t.th.
Khudhair, âAbd al-KarĂŽm, TahqĂŽq ar-Raghbah fĂŽ TaudhĂŽh an-
Nukhbah, tp. t.th.
Al-MubârakfĂťrĂŽ, Muhammad bin âAbd ar-Rahmân bin âAbd ar-
RahĂŽm, Tuhfah al-AhwadzĂŽ bi Syarh Jâmiâ at-TirmidzĂŽ,
BeirĂťt: Dar al-Kutub al-âIlmiyah, t.th.
Matsna, Mohammad HS. Orientasi Semantik az-Zamaksyari,
Jakarta: Anglo Media, 1427 H/2006 M.
MahmĂťd, AbĂť Rayyah, Adhwâ âalâ as-Sunnah al-
Muhammadiyyah, Mesir: Dâr al-Mââarif, t.th.
MahmĂťd, Ahmad Thahhân, dkk, Muâjam al-Musththalahât al-
HadĂŽtsiyah, tp. t.th.
306
MahmĂťd, âAidân Ahmad ad-DailamĂŽ, Jarh ar-Ruwâh wa
TaâdĂŽlihim - al-Usus wa adh-Dhawâbith, Irak: Jâmiâah
Baghdâd, tp. t.th.
An-NaisâbÝrÎ, AbÝ al-Husain Muslim bin al-Hajjâj, ShahÎh
Muslim, tp, t.th.
___________, Kitab at-Tamyiz, tp. t.th.
An-NasââĂŽ, AbĂť âAbd ar-Rahmân Ahmad bin Syuâaib, Sunan an-
nasââĂŽ, tp. t.th.
Al-QâdhĂŽ, AbĂť Thâlib, TartĂŽb âIlal at-TirmidzĂŽ al-KabĂŽr, tp. t.th.
Salâmah, Muhammad Khalaf, Lisân al-MuhadditsĂŽn Muâjam
Yuânâ bi Syarh Mushthalahât al-MuhadditsĂŽn al-
QadÎmah wa al-HadÎtsah wa RumÝzihim wa Isyârâtihim
wa Syarh Jumlah min Musykili âIbârâtihim wa GharĂŽbĂŽ
TarâkÎbihim wa Nâdiri AsâlÎbihim, tp. t.th.
Shâlih, ShubhÎ, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka
Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013 M.
Ash-ShanâânĂŽ, Muhammad bin IsmââĂŽl al-AmĂŽr ash-ShanâânĂŽ,
Subul as-Salâm Syarh BulÝgh al-Marâm, Mesir:
Mushthafâ al-BâbÎ al-HalabÎ, 1379 H/1960 M.
As-SijistânĂŽ, AbĂť DâwĂťd Sulaimân bin al-Asyâats, Sunan AbĂŽ
DâwĂťd, BeirĂťt: Dâr al-Kitâb al-âArabiy, tp. t.th.
___________, Risâlah AbÎ DâwÝd Ilâ Ahl Makkah wa Ghairihim
fÎ Washf SunanihÎ, TahqÎq: Muhammad ash-Shabbâgh,
BeirĂťt: Dâr al-âArabiyyah, tp. t.th.
Asy-SyâfiâĂŽ, Muhammad bin IdrĂŽs, al-Umm, BeirĂťt: Dâr al-
Maârifah, 1393 H.
___________, ar-Risâlah, Editor: Ahmad Syâkir, tp. t.th.
Asy-SyaibânĂŽ, Ahmad bin Hanbal AbĂť âAbdillâh, al-Musnad,
Kairo: Muâassasah Qurthubah, t.th.
Asy-SyarbĂŽnĂŽ, âImâd as-Sayyid, Kitâbât Aâdââ al-Islâm wa
Munâqasyatihâ, Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah,
1422 H.
Asy-SyahrastânÎ, AbÝ Bakar, al-Milal wa an-Nihal, BeirÝt: Dâr
al-Maârifah 1404.
Asy-SyinqithÎ, Muhammad al-AmÎn, al-Mashâlih al-Mursalah,
MadĂŽnah: al-Jâmiâah al-Islâmiyah al-MadĂŽnah al-
Munawwarah, 1410 H.
307
Asy-SyaĂťkânĂŽ, Muhammad bin âAlĂŽ bin Muhammad, al-Fawââid
al-MajmĂťâah fĂŽ al-AhâdĂŽts al-MaĂťdhĂťâah, TahqĂŽq: âAbd
ar-Rahmân bin Yahyâ al-MuâallimĂŽ, BeirĂťt: al-Maktab
al-IslâmÎ, 1407 H.
___________, Irsyâd al-FuhÝl ilâ TahqÎq al-Haqq min
âIlm al-UshĂťl, Editor: Ahmad âAzwĂŽn âInâyah, Damaskus: Dâr
al-Kitâb al-âArabĂŽ, 1419 H/1999 M.
___________, Nail al-Athâr min AhâdÎts Sayyid al-Akhyâr,
Penerbit: Irâdah ath- Thibââah al-MunĂŽrah, t.th.
At-TirmidzĂŽ, Muhammad bin âĂsâ bin SĂťrah bin MĂťsâ bin adh-
Dhahhâk, Sunan at-TirmidzÎ, tp. t.th.
___________, al-âIlal ash-ShaghĂŽr, Editor: Ahmad Muhammad
Syâkir, dkk., BeirĂťt: Dâr Ihyaâ at-Turâts al-âArabĂŽ, t.th.
Ath-ThabarânÎ, AbÝ al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad bin AyyÝb,
al-Muâjam al-KabĂŽr, Editor: HamdĂŽ bin âAbd al-MajĂŽd,
Penerbit: Maktabah al-âUlĂťm wa al-Hikam, 1404 H.
Al-QâsimĂŽ, Jamâl ad-DĂŽn, Qawââid at-TahdĂŽts min FunĂťn
Mushthalah al-HadĂŽts, Kairo: Dâr al-âAqĂŽdah, 1425
H/2004 M.
Ash-ShanâânĂŽ, AbĂť IbrâhĂŽm Muhammad bin IsmââĂŽl, TaudhĂŽh al-
Afkâr li MaâânĂŽ TanqĂŽh al-Andzâr, BeirĂťt: Dâr al-Kutub
al-âIlmiyah, 1417 H/1997 M.
Al-KhathĂŽb, Muhammad âAjjâj, UshĂťl al-HadĂŽts UlĂťmuhĂť wa
MushthalahuhÝ, BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1427 H/2006 M.
___________, as-Sunnah Qabla at-TadwÎn, BeirÝt: Dâr al-Fikr,
1980 M.
Ath-Thahhân, MahmÝd, TaÎsÎr Mushthalah al-HadÎts BeirÝt: Dâr
al-Fikr, t.th.
Al-QârĂŽ, Mullâ âAlĂŽ al-QârĂŽ NĂťr ad-DĂŽn AbĂť al-Hasan bin Sulthân
Muhammad, Syarhu Syarh Nukhbat al-Fikar fĂŽ
Musthalah Ahl al-Atsar, TahqĂŽq: âAbd al-Fattâh AbĂť
Ghuddah, dkk, BeÎrÝt: Dâr al-Arqâm, t.th.
___________, Syarh Musnad AbÎ HanÎfah, BeirÝt: Dâr al-Kutub
al-âIlmiyah, t.th.
___________, Mirqâh al-MafâtÎh Syarh Misykâh al-MashâbÎh,
tp. t.th.
308
Al-JurjânĂŽ, âAlĂŽ bin Muhammad bin âAlĂŽ, at-TaârĂŽfât, TahqĂŽq:
IbrâhĂŽm al-AbyârĂŽ, BeĂŽrĂťt: Dâr al-Kitâb al-âArabĂŽ, 1405
H.
Al-âAsqalânĂŽ, Ahmad bin âAlĂŽ bin Muhammad bin Ahmad bin
Hajar, Nukhbat al-Fikar fĂŽ Musthalah Ahl al-Atsar,
BeirĂťt: Dâr Ihyââ at-Turâts al-âArab, t.th.
___________, an-Nukat âalâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, MadĂŽnah:
âImâdah al-Bahts bi al-Jâmiâah al-Islâmiyah, 1404
H/1984 M.
___________, Lisân al-MĂŽzân, BeirĂťt: Muâassasah al-AâlamĂŽ,
1406 H/1986 M.
___________, TahdzÎb at-TahdzÎb, BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1404
H/1984 M.
___________, Nuzhah an-Nazhar fĂŽ TaudhĂŽh Nukhbat al-Fikar fĂŽ
Muhthalah Ahl al-Atsar, Editor: âAbdullâh bin
DhaĂŽfullah ar-RahĂŽlĂŽ, Riyâdh: Mathbaâah Sâfir al-
MadĂŽnah ar-Raqmiyyah, 1422 H.
___________, Ithrâf al-Musnid al-MuâtalĂŽ bi Athrâf al-Musnad
al-HanbalÎ, BeirÝt: Dâr Ibnu KatsÎr, Dâr al-Kalim ath-
Thayyib, t.th.
___________, TaghlĂŽq at-TaâlĂŽq âala ShahĂŽh al-BukhârĂŽ, Editor:
SaâĂŽd âAbd ar-Rahmân MĂťsâ al-QazafĂŽ, BeirĂťt: Dâr
âAmmâr al-Maktab al-IslâmĂŽ, 1405 H.
Al-MalĂŽbârĂŽ, Hamzah âAbdullâh, al-Muwâzanah Baina al-
MutaqaddimĂŽn wa al-MutaâakhkhirĂŽn fĂŽ TashĂŽh al-
AhâdĂŽts wa TaâlĂŽlihâ, Penerbit: Multaqââ Ahl al-HadĂŽts,
1422 H/2001 M.
___________,âUlĂťm al-HadĂŽts fĂŽ Dhauâ TahthbĂŽqât al-
MuhadditsÎn an-Nuqqâd, tp. t.th.
___________, al-HadĂŽts al-MaâlĂťl Qawââid wa Dhawâbith, tp.
t.th.
___________, Ziyâdah ats-Tsiqah fÎ Kutub Mushthalah al-
HadĂŽts, tp. t.th.
Al-HalabÎ, Radhiya ad-DÎn Muhammad bin IbrâhÎm, Qafw al-
Atsar fĂŽ Shafwah âUlĂťm al-âAtsar, tp. t.th.
Al-JurjânĂŽ, âAbdullâh bin âAdĂŽ bin âAbdullâh bin Muhammad
AbĂť Ahmad, al-Kâmil fĂŽ Dhuâafââ ar-Rijâl, Editor:
309
Yahyâ Mukhtâr GhazâwÎ, BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1409
H/1988 M.
Al-âIrâqĂŽ, ZaĂŽn ad-DĂŽn âAbd ar-RahĂŽm bin al-Husain, at-TaqyĂŽd
wa al-Ădhâh Syarh Muqaddimah Ibn ash-Shalâh, al-
MadĂŽnah al-Munawwarah: al-Maktabah as-Salafiyyah,
1389 H/1969 M.
___________, Syarh at-Tabshirah wa at-Tadzkirah, Editor:
Mâhir YâsÎn al-Fahl al-Maulâ, tp. t.th.
As-SuyĂťthĂŽ, âAbd ar-Rahmân bin AbĂť Bakar, TadrĂŽb ar-RâwĂŽ bi
Syarh TaqrÎb an-NawâwÎ, Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh,
t.th.
Al-âAlââĂŽ, Shalâh ad-DĂŽn AbĂť SaâĂŽd bin KhalĂŽl, Jâmiâ at-TahshĂŽl
fĂŽ Ahkâm al-MarâsĂŽl, TahqĂŽq: HamdĂŽ âAbd al-MajĂŽd,
BeirĂťt: âAlam al-Kitâb, 1407 H/1986 M.
___________, al-MukhtalithĂŽn, Editor: Rifâat FauzĂŽ âAbd al-
Muththallib dan âAlĂŽ âAbd al-BasĂŽth MazĂŽd, Kairo:
Maktabah al-KhânijÎ, 1996 M.
An-NaisâbĂťrĂŽ, Abu âAbdillâh al-Hâkim, al-Madkhal Ilâ Kitâb al-
IklĂŽl, TahqĂŽq: Fuââd âAbd al-Munâim Ahmad, Iskandaria:
Dâr ad-Daâwah, tp. t.th.
Ash-ShanâânĂŽ, AbĂť Bakar âAbd ar-Razzâq bin Hammâm,
Mushannaf âAbd ar- Razzâq, Editor: HabĂŽb ar-Rahmân
al-AâzhamĂŽ, BeirĂťt: al-Maktab al-IslâmĂŽ, 1403 H.
Ash-Shâyigh, Muhammad bin al-Hasan, al-Lamhah fÎ Syarh al-
Milhah, Editor: IbrâhĂŽm bin Sâlim ash-ShââidĂŽ, al-
MadĂŽnah al-Munawwarah, 1424 H/2004 M.
An-NawâwĂŽ, AbĂť Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf, al-MajmĂťâ Syarh
al-Muhadzdzab, BeirÝt: Dâr al-Fikr, t.th.
___________, al-Adzkâr an-Nawawiyyah, BeirÝt: Dar al-Fikr,
1414 H/1994 M.
___________, at-TaqrĂŽb wa at-TaĂŽsĂŽr li Maârifah Sunan al-BasyĂŽr
an-NadzĂŽr fĂŽ UshĂťl al-HadĂŽts, tp. t.th.
Al-KhazrajĂŽ, Shafiy ad-DĂŽn Ahmad bin âAbdullâh al-AnshârĂŽ al-
YamanĂŽ, Khulâshah TahdzĂŽb TahdzĂŽb al-Kamâl fi Asmââ
ar-Rijâl, Editor: âAbd al-Fattâh AbĂť Ghuddah, BeirĂťt:
Dâr al-Basyââir al-Islâmiyah, 1416 H.
Al-MuhammadĂŽ, âAbd al-Qâdir, Mushthalah Hasan âInda at-
TirmidzĂŽ, tp. t.th.
310
Ash-Shiddieqi, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 M.
Al-JauharĂŽ, IsmââĂŽl bin Hammâd, ash-Shahhâh Tâj al-Lughah wa
Shahhâh al-âArabiyyah, TahqĂŽq: âAbd al-Qâdir âAthâr,
BeirĂťt: Dâr al-âIlm li al-MalâyĂŽn, 1407 H/1987 M.
Al-IfrĂŽqĂŽ, Ibnu ManzhĂťr al-MishrĂŽ, Lisân al-âArab, BeirĂťt: Dâr
Shâdir, t.th.
Al-JaâbarĂŽ, Burhân ad-DĂŽn AbĂť Ishâq IbrâhĂŽm bin âUmar, RusĂťm
at-TahdĂŽts fĂŽ âUlĂťm al-HadĂŽts, TahqĂŽq: IbrâhĂŽm bin SyarĂŽf
al-MÎlÎ, BeirÝt: Dâr Ibn Hazm, 1421 H/2000 M.
Az-ZarqânĂŽ, Muhammad âAbd al-âAzhĂŽm, Manâhil al-âUrfân fĂŽ
âUlĂťm Al-Qurâân, Kairo: Mathbaâah âĂsâ al-BâbĂŽ al-
HalabĂŽ, t.th.
Al-GhazâlĂŽ, AbĂť Hâmid Muhammad bin Muhammad, Ihyââ
âUlĂťm ad-DĂŽn, BeirĂťt: Dâr al-Maârifah, t.th.
Asy-SyaârâwĂŽ, Muhammad MutawallĂŽ al-MishrĂŽ, TafsĂŽr asy-
SyaârâwĂŽ tp. t.th.
Al-FaĂŽrĂťz ÄbâdĂŽ, Muhammad bin YaâqĂťb, al-QâmĂťs al-MuhĂŽth,
tp. t.th.
Al-âAinĂŽ, Badr ad-DĂŽn al-HanafĂŽ, âUmdah al-QârĂŽ Syarh ShahĂŽh
al-BukhârĂŽ, Penerbit: Multaqââ Ahl al-HadĂŽts, 1427 H.
AbĂť Yaâlâ al-QazwĂŽnĂŽ, al-Irsyâd fĂŽ Maârifah âUlamââ al-HadĂŽts,
Editor: Muhammad SaâĂŽd âUmar IdrĂŽs, Riyâdh: Maktabah
ar-Rusyd, 1409 H.
Abdul Majid Khan, Pemikiran Modern Dalam Sunnah
Pendekatan Ilmu Hadis, Jakarta: Kencana Prenda Media
Group, 2011 M.
As-SakhâwĂŽ, AbĂť Bakar bin âUtsmân bin Muhammad, at-
TaĂťdhĂŽh al-Abhar li Tadzkirah Ibn al-Mulqin fĂŽ âIlm al-
Atsar, Penerbit: Maktabah Adhwaâ as-Salaf, 1418 H.
Al-âAskarĂŽ, AbĂť Hilâl, Muâjam al-FurĂťq al-Lughawiyyah,
Penerbit: Muâassasah an-Nasyr al-IslâmĂŽ, 2000 M.
Az-ZabĂŽdĂŽ, AbĂť al-Faidh Murtadhâ, Tâj al-âArĂťs min Jawâhir al-
QâmÝs, Penerbit: Dâr al-Hidâyah, t.th.
Al-KafawĂŽ, AbĂť al-Biqââ AyyĂťb bin MĂťsâ al-QarĂŽmĂŽ al-HusainĂŽ,
al-Kulliyyât Muâjam al-Mushthalahât wa al-FurĂťq al-
311
Lughawiyyah, Editor: âAdnân DarwĂŽsy Muhammad al-
MishrĂŽ, BeirĂťt: Muâassasah ar-Risâlah, 1419 H/1998 M.
An-NaĂŽsâbĂťrĂŽ, AbĂť âAbdillâh al-Hâkim, Maârifah âUlĂťm al-
HadĂŽts, BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, 1397 H.
Al-KattânĂŽ, Muhammad bin Jaâfar, ar-Risâlah al-Mustathrafah li
Bayân MasyhÝr Kutub as-Sunnah al-Mushannafah,
BeirĂťt: Dâr al-Basyââir al-Islâmiyah, 1406 H/1986 M.
Ar-RâzĂŽ, Fakhr ad-DĂŽn AbĂť âAbdillâh Muhammad bin âUmar bin
al-Hasan at-TaimÎ, at-TafsÎr al-KabÎr au MafâtÎh al-
Ghaib, tp. t.th.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim Muhammad bin AbĂť Bakar AyyĂťb,
Iâlâm al-MuwaqiâĂŽn âan Rabb al-âAlamin, Editor: Thâhâ
âAbd ar-Rauf Saâad, BeirĂťt: Dâr al-Jail, 1973 M.
Al-Jashshâsh, Ahmad bin âAlĂŽ ar-RâzĂŽ, al-FushĂťl fĂŽ al-UshĂťl,
Kuwait: Wazârah al-Auqâf wa asy-SyuâĂťn al-Islâmiyah,
1985 M.
Al-âAunĂŽ, Hâtim bin âÄrif asy-SyarĂŽf, Mabâhits fi TahrĂŽr Ishtilâh
al-HadĂŽts al-Mursal wa HujjiyatihĂŽ âinda as-Sâdât al-
MuhadditsĂŽn, tp. t.th.
___________, at-TakhrÎj wa Dirâsah al-AsânÎd, tp. t.th.
___________, Nadwah âUlum al-HadĂŽts, tp. t.th.
___________, al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-Mushthalah,
tp. t.th.
Al-HalabÎ, Radhiya ad-DÎn Muhammad bin IbrâhÎm, Qafw al-
Atsar fĂŽ Shafwah âUlĂťm al-âAtsar, Editor: âAbd al-Fattâh
AbĂť Ghuddah, Penerbit: Maktabah al-MathbĂťâah al-
Islâmiyah, 1408 H.
Al-HakamÎ, Hâfidz bin Ahmad, DalÎl Arbâb al-Falâh li TahqÎq
Fann al-Mushthalah, tp. t.th.
ÄbâdĂŽ, Muhammad Syams al-Haqq al-âAzhĂŽm, âAun al-MaâbĂťd
Syarh Sunan AbÎ DâwÝd, BeirÝt: Dâr al-Kutub al-
âIlmiyah, 1415 H.
Al-LuwaĂŽhiq, âAbd ar-Rahmân bin Muâallâ, al-Irhâb wa al-
Ghuluw, tp. t.th.
Az-ZamakhsarĂŽ, AbĂť al-Qâsim MahmĂťd bin âAmr bin Ahmad,
Asâs al-Balâghah, tp. t.th.
312
Al-MinâwĂŽ, Zain ad-DĂŽn Muhammad âAbd ar-RaâĂťf, al-YawâqĂŽt
wa ad-Durar fĂŽ Syarh Nukhbat Ibn Hajar, Editor: al-
Murtadhâ az-Zain Ahmad, ar-Riyâdh: Maktabah ar-
Rusyd, 1999 M.
Al-MursĂŽ, âAlĂŽ bin IsmââĂŽl bin Sayyidah, al-Muhkam wa al-
MuhĂŽth al-Aâzham, Editor: âAbd al-HamĂŽd Hindâwi,
BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, 2000 M.
Al-HaitsamĂŽ, âAlĂŽ bin AbĂŽ Bakar bin Sulaimân, Ghâyah al-
Maqshad fĂŽ Zawââid al-Musnad, tp., t.th.
Al-KattânĂŽ, AbĂť Jaâfar, Nazhm al-Mutanâtsir min al-HadĂŽts al-
Mutawâtir, BeirĂťt: Dâr al-Kutub al-âIlmiyah, 1400
H/1980 M.
Al-MubârakfĂťrĂŽ, AbĂť al-Hasan âUbadillâh bin Muhammad âAbd
as-Salâm bin Khân, Mirââh al-MafâtĂŽh Syarh Misykâh al-
MashâbĂŽh, India: Idârah al-BuhĂťts al-âIlmiyah wa al-
Iftaâ, 1404 H/1984 M.
Al-BâjĂŽ, AbĂť al-WalĂŽd Sulaimân bin khalaf bin Saâad Ibnu AyyĂťb
al-BâjĂŽ al-MâlikĂŽ, at-TaâdĂŽl wa at-TajrĂŽh Liman Kharaja
âanhu al-BukhârĂŽ fĂŽ al-Jâmiâ ash-ShahĂŽh, Editor: Ahmad
Bazzar, tp. t.th.
Al-Fayyâdh, Ahmad AyyĂťb Muhammad âAbdullâh, Mabâhits fĂŽ
al-HadĂŽts al-Musalsal, tp. t.th.
Al-JazââirĂŽ, Thâhir ad-DimasyqĂŽ, TaujĂŽh an-Nazhar Ilâ UshĂťl al-
Atsar, Editor: âAbd al-Fattâh AbĂť Ghuddah, Halb:
Makatabah al-MathbĂťâah al-IslâmĂŽ, 1419 H/1995 M.
Al-IsybilĂŽ, AbĂť Muhammad âAbd al-Haqq, al-Ahkâm asy-
Syarâiyyah al-Kubrââ, TahqĂŽq: AbĂť âAbdillâh Husain bin
âUkâsyah, Riyad: Makatabah ar-Rusyd, 1422 H/2001 M.
Al-GhassânĂŽ, AbĂť âAlĂŽ al-Husain bin Muhammad Ahmad al-
JayânÎ, TaqyÎd al-Muhmil wa TamyÎz al-Musykil, Editor:
Muhammad AbĂť al-Fadhl, Maroko: al-Mamlakah al-
Maghribiyyah, 1418 H/1987 M.
Ad-Daqr âAbd al-GhânĂŽ, Muâjam al-Qawââid al-âArabiyyah,
Penerbit: Maktabah Misykah al-Islâmiyah, t.th.
As-SakhâwĂŽ, Syams ad-DĂŽn Muhammad bin âAbd ar-Rahmân,
Fath al-MughÎts Syarh Alfiyah al-HadÎts, BeirÝt: Dâr al-
Kutub al-âIlmiyah, 1403 H.
313
__________, al-Ghâyah fĂŽ Syarh al-Hidâyah fĂŽ âIlm al-Atsar,
Editor: AbĂť âAâisy âAbd al-Munâim IbrâhĂŽm, Penerbit:
Maktabah Aulâd asy-Syaikh li at-Turâts, 2001 M.
As-Sayyid, Jamâl bin Muhammad, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah wa
JuhĂťduhĂť fĂŽ Khidmah as-Sunnah an-Nabawiyyah wa
âUlĂťmihâ, al-MadĂŽnah al-Munawwarah: al-Jâmiâah al-
Islâmiyah, 1424 H/2004 M.
As-SibââĂŽ, Musthafâ, as-Sunnah wa Makânatuhâ fĂŽ at-TasyrĂŽâ, tt:
Dâr al-Wariq al-Maktab al-IslâmÎ, 2000 M.
Al-HarbĂŽ, Sulaimân bin Khâlid, al-Kawâkib ad-Durriyyah âalâ
al-ManzhĂťmah al-BaiqĂťniyyah, tp. t.th.
Al-AzharĂŽ, TahdzĂŽb al-Lughah, tp. t.th.
Al-AnshârĂŽ, âAbdullâh bin âAmr Sirâj ad-DĂŽn âUmar, al-Muqniâ fĂŽ
âUlĂťm al-HadĂŽts, Makkah: Dâr Fawwâz, 1413 H.
Al-MaĂťlâ, Mâhir YâsĂŽn Fahl, Atsar âIlal al-HadĂŽts fĂŽ Ikhtilâf al-
Fuqahââ, Penerbit: Jâmiâah Shadâm li al-âUlĂťm al-
Islâmiyah, 1420 H/1999 M.
Al-QurthubĂŽ, AbĂť âAbdillâh Syams ad-DĂŽn, al-Jâmiâ li Ahkâm Al-
Qurâân, Editor: Hisyâm SamĂŽr al-BukhârĂŽ, Riyâdh: Dâr
âÄlam al-Kutub 1423 H/2003 M.
Ath-ThabarĂŽ, Muhammad bin JarĂŽr, Jâmiâ al-Bayân fĂŽ TaâwĂŽl Al-
Qurâân, Editor Ahmad Muhammad Syâkir, BeirĂťt:
Muâassasah ar-Risâlah 1420 H/2000 M.
Thahhân, MahmĂťd Ahmad, dkk., Muâjam al-Mushthalahât al-
HadĂŽtsiah, KuwaĂŽt: Jâmiâah al-KuwaĂŽt, t.th.
Ummu al-Laits, al-Asâilah as-Saniyyah, tp. t.th.
âUmar Ridhâ Kahâlah, Muâjam al-MuâallifĂŽn, BeirĂťt: Dâr Ihyââ
at-Turâts alâArabĂŽ, tp. t.th.
Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004
M.
Az-ZiriklĂŽ, Khair ad-DĂŽn bin MahmĂťd, al-Aâlâm, t.t. tp. t.th.
331
BIODATA PENULIS
Ali Moh Al Hudhaibi lahir di Garut, Jawa Barat. Ia putra pertama
pasangan Bapak KHR. Deden Abdul Hakiem dan Ibu Dra. Hj.
Een Juhairiah, M.Pd.I. Memiliki seorang istri bernama, Siti
Muâawanah, S.Sos., Lc., M.Sos., dan tiga orang anak bernama,
Fawwaz Fajrurrahman Hakiem, Mumtaz Hakiem Mubarak,
Sahnaz Sayeda Auliya Hakiem. Kini ia tinggal di Perumahan
Dosen Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences,
Ciputat, Tanggerang Selatan; sebuah institusi berbasis hadis yang
didirikan oleh (alm) Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.
Pendidikan dasarnya dimulai dari MI. al-Khairiyah Garut.
Selain sekolah formal di sekolah tersebut, ia juga mulai
diperkenalkan sejak dini oleh orang tuanya tentang ilmu-ilmu
kepesantrenan, seperti ilmu Nahu, Saraf, fikih, dan lainnya, di
pesantren yang diasuh dan dikelola sendiri oleh orang tuanya.
Setamatnya dari sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan
menengah pertamanya di MTs. Sunan Pandanaran Yogyakarta,
hingga menengah atasnya, yaitu Madrasah Aliyah Keagamaan
(MAK) Sunan Pandanaran; almamater yang sama. Selain itu, ia
juga berkesempatan langsung mulâzamah dan menimba ilmu dari
Pendiri dan Pengasuh Pesantren tersebut, yakni Hadhratussyaikh
KH. M. Mufid Masâud al-Hâfizh, khususnya tahfizh Alquran.
Kepada beliau ia merampungkan seluruh hafalan Alqurannya.
Setamatnya dari sana, ia melanjutkan pendidikan Strata
Satu (S1) di Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, mengambil Fakultas Dirasat Islamiyah. Pada saat yang
sama, ia juga menimba ilmu di Darus-Sunnah International
Institute for Hadith Sciences Ciputat, asuhan (alm) Prof. Dr. KH.
Ali Mustafa Yaqub, MA. Kepada ahli hadis tersebut, ia belajar
langsung kutub as-sittah, tadrÎb ar-RâwÎ, thuruq fahm al-hadÎts,
takhrÎj wa dirâsat al-asânÎd, dan pustaka-putaka ilmu keagamaan
lainnya, khususnya hadis dan ilmu hadis. Ia lulus dari Darus-
Sunnah dengan predikat, al-fâiz al-awwâl; terbaik pertama.
Selain itu, ia juga banyak mendapat ijazah kitab dan hadis
dari para ulama, di antaranya kitab al-Muwaththââ karya Imam
Mâlik bin Anas (w. 179 h) dari Syaikh Dr. Muhammad bin âAbd
ar-Razzâq Aswad (Damam, Saudi Arabia), kemudian al-ArbaâĂŽn
HadĂŽtsan al-Nawawiyyah karya Imam an-NawawĂŽ (w. 676 h), al-
HadĂŽts al-Musalsal bi al-Mahabbah, al-HadĂŽts al-Musalsal bi al-
Awwaliyyah dari Syaikh Dr. Hisyâm Kâmil MĂťsâ asy-SyâfiâĂŽ al-
AzharÎ (Mesir), kemudian BulÝgh al-Marâm min Adillah al-
Ahkâm karya Imam Ibnu Hajar al-âAsqalânĂŽ (w. 852 h) dari
Maulânâ asy-SyarÎf Dr. dr. YusrÎ RusydÎ al-Sayyid Jabr al-HasanÎ
332
(Mesir) dan Syaikh KH. Ahmad Marwazie al-Batawie; murid
langsung Syaikh YâsĂŽn bin âĂsâ al-FâdânĂŽ al-MakkĂŽ (w. 1410 h);
dari beliau juga penulis banyak mendapat sanad hadis musalsal,
kemudian al-ArbaâĂŽn al-Ghumâriyyah fĂŽ Syukr an-Niâam dari al-
Muhaddits Syaikh Dr. âAbd al-Munâim bin âAbd al-âAzĂŽz al-
GhumârĂŽ (Maroko), kemudian asy-Syamââil al-Muhammadiyyah
karya Imam al-TirmidzÎ (w. 279 h) dari Syaikh Dr. AmÎn Sâlim
al-KurdÎ (AmÎn al-Fatwâ Libanon). Juga beberapa ijazah wirid
dan selawat, di antaranya Dalââil al-Khairât wa Syawâriq al-
Anwâr fĂŽ ash-Shalât âalâ an-Nabiy al-Mukhtâr karya Imam
Muhammad bin Sulaimân al-JazÝlÎ (w. 870 h), Hizb an-Nashar
(Hizb al-Saif) karya Imam AbÝ al-Hasan al-SyâdzilÎ (w. 656 h),
dan beberapa ijazah selawat, seperti TunjÎna, Kâmilah, Thibb al-
QulĂťb, Ilqaâ al-Ruâb, IbrâhĂŽmiyyah, Qamar al-WujĂťd, al-Fâtih
dari KH. Muhammad Mufid Masâud al-Hâfizh (Yogyakarta);
kemudian Râtib al-Haddâd karya al-HabĂŽb âAbdullâh bin âAlwĂŽ
al-Haddâd (w. 1132 h) dan wirid al-Asmââ al-Husnâ dari Dr. KH.
Muâtashim Billah (Yogyakarta); kemudian Hizb al-BukhârĂŽ karya
Imam al-BukhârÎ (w. 256 h) dari Syaikh KH. Achmad Chalwani
Nawawi (Mursyid TQN dari Purworejo, Jawa Tengah); Aurâd al-
istighfâr wa ash-shalawât wa at-tahlÎl dari Syaikh Prof. Dr.
Wahbah Musthafâ az-ZuhailÎ (Syiria) dan Maulânâ asy-Syaikh
asy-SyarĂŽf Dr. dr. YusrĂŽ RusydĂŽ al-Sayyid Jabr al-HasanĂŽ (Mesir).
Semenjak menimba ilmu di Sunan Pandanaran, ia telah
banyak menorehkan prestasi, khususnya di bidang khithâbah dan
musâbaqah hifzh al-Qurâân (mulai dari 1 juz tilawah, 5 juz
tilawah, 10 juz, 20 juz, 30 juz, hingga tafsir Indonesia 30 juz).
Hal itu telah ia ikuti mulai dari tingkat kabupaten, provinsi,
nasional, hingga internasional, dan tak jarang mendapat peringkat
pertama. Adapun semenjak menimba ilmu di Darus-Sunnah, ia
pernah mendapat kepercayaan dari (alm) Prof. Dr. KH. Ali
Mustafa Yaqub, MA. untuk berdakwah di Papua dan Malaysia.
Safari dakwah di Papua sudah dilakukannya sebanyak lima kali.
Ia juga tiga kali berturut-turut mendapat undangan safari dakwah
dan imam selama Ramadan di Toronto, Kanada, Amerika Utara.
Undangan tersebut datang dari Canadian Centre for Deen Studies
dan Sayeda KHADIJA Centre pimpinan Prof. Dr. Hamid Slimi.
Saat ini, selain aktif sebagai dosen âulĂťm al-hadĂŽts, âulĂťm
al-Qurâân, ilmu tafsir, ilmu tajwid, tahfizh Alquran, dan Akidah
di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences,
Ciputat, ia juga mengajar tafsir ayat ahkam dan tahfizh Alquran
di Madaris Darus Sunnah Ciputat, ia juga mengajar tahfizh
Alquran, ilmu tajwid, hadis dan ilmu hadis di Yayasan Pesantren
Raudhatul Makfufin Pamulang, juga tercatat sebagai Pembina
333
Yayasan Pesantren Sukaraja Garut, dan Ketua Komite Sekolah
Menengah Kejuruan Plus Sukaraja Garut, ia juga menjadi imam
tetap di Masjid Al-Jamiâah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan
imam serta khathib di beberapa masjid sekitar Jabodetabek, juga
mengajar hadis beberapa majelis taklim sekitar Jabodetabek, ia
juga mendirikan majelis khusus para penghafal Alquran yang
diberi nama, Majelis Alif Lam Mim li Tahfidzil Qurâanil Karim.
Karya tulisnya yang sudah terpublikasi: Catatan Dakwah
di Kanada (2017), Lembaga Penghapus Dosa (2017), Mutiara
Cinta dari Sang Mustafa (2018). Ia dapat dihubungi melalui
email [email protected], twitter @ali_hudaibi, FB Ali
Hudaibi, instagram @alihudaibi, blog alihudaibi.wordpress.com.