70
SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS Tesis Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Hadis Oleh: Ali Moh Al Hudhaibi (NIM: 211410468) KONSENTRASI ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADIS PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AGAMA ISLAM INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA 1442 H/2021 M

SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

  • Upload
    others

  • View
    56

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI

DALAM ILMU HADIS

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Hadis

Oleh:

Ali Moh Al Hudhaibi

(NIM: 211410468)

KONSENTRASI ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADIS

PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AGAMA ISLAM

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

1442 H/2021 M

Page 2: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI

DALAM ILMU HADIS

Tesis

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Agama (MA) dalam Bidang Ilmu Hadis

Oleh:

Ali Moh Al Hudhaibi

(NIM: 211410468)

Pembimbing:

Dr. KH. Sahabuddin, MA

Dr. KH. Ahmad Fudhaili, M. Ag

KONSENTRASI ULUMUL QUR’AN DAN ULUMUL HADIS

PROGRAM PASCASARJANA STUDI ILMU AGAMA ISLAM

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN (IIQ) JAKARTA

1442 H/2021 M

Page 3: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kehadirat Allah swt., karena atas

taufik-Nya, tesis ini dapat disusun dan diselesaikan dengan baik. Berbagai

kendala tentu mengiringi proses penelitian tesis ini. Namun semua itu

hakikatnya adalah pembelajaran dan pengalaman berharga bagi penulis

sendiri. Selawat dan salam semoga selalu tercurah limpah keharibaan

Baginda Nabi Besar Muhammad saw., keluarganya, para sahabatnya, dan

seluruh umatnya yang senantiasa berusaha mengikuti ajaran-ajarannya.

Dalam proses penyelesaian tesis ini, tentu tidak lepas dari dukungan,

keterlibatan, dan sumbangsih berbagai pihak, baik perorangan maupun

lembaga, baik yang langsung maupun tidak langsung, mulai perencanaan,

penelitian, dan penyusunannya hingga rampung. Oleh karena itu, dalam

kesempatan yang baik ini, dan dengan segala hormat, penulis haturkan

terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada mereka semua, terutama

kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, MA. selaku Rektor

Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Muhammad Azizan Fitriana MA., selaku Direktur

Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta.

3. Bapak Dr. KH. Sahabuddin, MA. dan Bapak Dr. KH. Ahmad

Fudhaili, M.Ag. selaku pembimbing I dan II, yang telah membimbing

penulis, memberi masukan, arahan dan pencerahannya yang

bermanfaat hingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis

ini dengan baik.

Page 4: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

ii

4. Seluruh guru besar dan dosen Studi Ulumul Qur‟an dan Ulumul

Hadis beserta seluruh staf dan karyawan Program Pascasarjana

Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta.

5. Syaikhî wa Murabbi rûhî, al-Muqrî, al-Hâfizh, Hâmil Al-Qur’ân,

Bapak KH. Mufid Mas‟ud, rahmatullâh ‘alaih; (Pendiri dan

Pengasuh Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Ngaglik, Sleman,

Yogjakarta); yang berjasa besar dalam proses thalab al-‘ilm penulis.

Kepada beliau penulis berkesempatan langsung menimba ilmu dan

menghafal Alquran hingga rampung. Juga mengenal arti pentingnya

berkhidmat kepada Allah swt. dan Rasul-Nya.

6. SyaikhÎ wa Murabbi rÝhÎ, Khâdim as-Sunnah, Bapak Prof. Dr. KH.

Ali Mustafa Yaqub, MA. rahmatullâh ‘alaih; (Pendiri dan Pengasuh

Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, Ciputat,

Indonesia); yang berjasa besar mengenalkan penulis pada pustaka-

pustaka hadis dan ilmu hadis, thuruq fahm al-hadĂŽts, tentang arti

pentingnya dirâsah, munazhzhamah, nasyr al-‘ilm, baik melalui ta’lîf

al-kitâb, qudwah, maupun binâ’ al-ma’had.

7. Kedua orang tua penulis; Ayahanda, Drs. KHR. Deden Abdul

Hakiem; orang pertama yang mengarahkan pendidikan penulis; dan

Ibunda, Dra. Hj. Een Juhairiah, M.Pd.I; orang pertama yang

mengajari penulis huruf-huruf hijaiah dan huruf-huruf abjad.

“Semoga Allah swt. selalu menyayangi keduanya, memanjangkan

umurnya, memberkahi dan menjaganya dunia dan akhirat.” Āmîn.

8. Saudari-saudari terkasih penulis; Elva Alvia Fauziyah, S.Pd., M.Pd.,

Dina Nailul Muna, S.Pd., Ummul Khair Salma, S.Farm., dan Wafa

Ghaida Aulia.

Page 5: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

iii

9. Istri tercinta, Siti Mu‟awanah, S.Sos., Lc., M.Sos. yang tak bosan-

bosannya memotivasi dan mendoakan penulis. Juga ketiga anak

penulis; Fawwaz Fajrurrahman Hakiem, Mumtaz Hakiem Mubarak,

dan Sahnaz Sayeda Auliya Hakiem, yang penulis harap ketiganya

kelak menjadi sahabat kehidupan yang baik dan bermanfaat. Āmîn.

10. Seluruh sahabat Studi Ulumul Qur‟an dan Ulumul Hadis

Pascasarjana Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta 2011.

Semoga Allah swt. membalas semua kebaikan mereka dengan

balasan terbaik. Peribahasa tak ada gading yang tak retak adalah benar

adanya. Karena itu, tebar sapa, kritik dan saran dari pembaca sangatlah

diharapkan guna perbaikan tesis ini ke depan.

Jakarta, 25 Februari 2021 M

13 Rajab 1442 H

Penulis

Page 6: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

iv

Page 7: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

v

Page 8: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

vi

Page 9: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad satu ke

abjad lain. Dalam penulisan di Institut Ilmu Al-Qur‟an Jakarta, transliterasi

Aran-Latin mengacu pada berikut ini:

1. Konsonan

th = ء a = أ

zh = ظ b = ب

„ = ع t = ت

gh = Řş ts = ŘŤ

f = ف j = ؏

q = ق h = ح

k = ك kh = ؎

l = ل d = د

m = م dz = ذ

n = ن r = ر

w = و z = ز

h = هـ s = س

‟ = ء sy = ش

y = ي sh = ص

dh = Řś

2. Vokal

Vokal tunggal vokal panjang vokal rangkap

Fathah : a أ : â ي : ai

Kasrah : i ي : î و : au Dhammah :

u و : Ý

3. Kata Sandang

a. Katas sandang yang diikuti al-qamariyah

Kata sandang yang diikuti al-qamariyah ditransliterasikan sesuai

bunyinya, yaitu hurul l (el) diganti huruf yang sama dengan huruf

yang langsung mengikuti kata sandang itu. Contoh: ةرقبلا : al-

Baqarah; la : نة مدي Madînah-ال

b. Kata sandang yang diikuti al-syamsiyah

Kata sandang yang diikuti al-syamsiyah ditransliterasikan sesuai

aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Contoh:

-adh : انضحان ;asy-syams : سمشلا ;as-sayyid : ديسلا ;ar-rajul : انشجم

Dhahhâk.

Page 10: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

viii

ABSTRAK

Penelitian ini bermula dari pernyataan seorang peneliti hadis yang

menyatakan bahwa ada sebagian penggiat ilmu hadis yang memberikan kesimpulan

bahwa term-term dalam ilmu hadis yang dimaksudkan dan dicetuskan oleh para

pakar hadis mutaqaddimĂŽn tidak sebagaimana yang dimaksudkan dan dicetuskan

oleh para pakar hadis muta’akhkhirîn. Kesimpulan ini tentu akan berimplikasi

signifikan pada kasus-kasus lain yang cakupannya lebih luas dalam ilmu ini. Seperti

hukum hadis, dimana darinya dipertanyakan apakah hadis itu dapat dijadikan hujjah

atau tidak; dapat diamalkan atau tidak, dan seterusnya. Persoalan lain, adanya

penerimaan secara instan dari pustaka-pustaka hadis, dimana darinya sebagian

penggiat hadis tidak dapat melihat keterkaitan historis antara pernyataan pakar hadis

tersebut dan dalam prosesnya yang seolah-olah berbeda itu. Dari sini, penulis

mencoba menggalinya lebih jauh, bagaimana sebenarnya term-term itu berproses

hingga mewujud menjadi mapan dan dijadikan basis oleh ahlinya.

Penelitian ini dipetakan ke dalam tiga fase; 1) Fase kelahiran dan

pertumbuhan; 2) Fase perkembangan; dan 3) Fase penyempurnaan. Dua fase yang

pertama penulis kelompokan ke dalam fase ahli hadis mutaqaddimĂŽn, dan satu fase-

yaitu fase yang ketiga-ke dalam fase ahli hadis muta’akhkhirîn. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sejarah (historical approach),

semantik „(ilm ad-dilâlah), dan ilmu hadis sendiri. Pendekatan sejarah bertujuan

untuk memahami serangkaian peristiwa sejarah dari data yang ada dan menemukan

periodisasi munculnya term-term yang penulis teliti. Pendekatan semantik bertujuan

mempelajari makna suatu bahasa. Dan pendekatan ilmu hadis bertujuan menjaga

konsistensi tulisan agar tetap berbicara seputar ilmu ini. Penelitian ini murni

penelitian pustaka yang objek materinya karya-karya yang membahas ilmu hadis

dari klasik hingga modern. Jenis penelitiannya kualitatif yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata yang tertulis dari objek yang diamati.

Hasil penelitian ini menyimpulkan, ada sebagian term yang ungkapannya

sama, namun maksudnya berbeda. Begitu sebaliknya, ada sebagian term yang

ungkapannya berbeda, namun maksudnya sama. Perbedaan itu ada yang

berimplikasi pada keabsahan hadis, seperti term munkar dan term sahih perspektif

Imam al-Hâkim (w. 405 h) serta term munqathi’ perspektif Imam al-Bardîjî (w. 301

h); ada juga yang tidak, seperti term munqathi’ dan mu’dhal. Perbedaan itu tidak

memengaruhi posisi hadis bersangkutan sebagai hadis daif sebab gugurnya sanad

(saqth fÎ al-isnâd), tetapi lebih kepada upaya memosisikan hadis sesuai dengan

temanya. Metodologi yang diformulasikan oleh ahli hadis muta’akhkhirîn lebih

selamat diikuti, karena mereka telah mengkaji, memetakan, menertibkan, dan

menyimpulkan maksud-maksud ahli hadis mutaqaddimĂŽn dengan cermat dan

seksama. Meskipun dalam beberapa sisi perbedaan itu akan tetap ada dan tidak

dapat diabaikan.

Kata kunci: Term-term dalam ilmu hadis, sejarah, perdebatan.

Page 11: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

ix

ABSTRACT

This study begins from the statement of hadith researcher who was stating

that some people concluded: there are differences between the terms of hadith

which have created and arranged by classical hadith scholars and modern hadith

scholars. This conclusion gives a profound impact on hadith science generally.

Such as the verdict of hadith, where this point can be questioned: is the hadith

possible to be counted as the evidence or not; is it legal to be practiced or not, and

many more. On the other hand, the acceptance to literature of hadith freely, where

some people who study hadith could not see the history correlation between the

statement of hadith scholars and its process which seem different. Therefore, an

endeavor will be made to analyze further, how the terms actually process time by

time, until it becomes established and becomes the basis for the scholars.

This study divided into three phases; 1) Nascence and emersion’s phase, 2)

Accretion’s phase; and 3) Completion’s phase. The author categorized for the first

two phases as classic hadith scholar’s phase, and for the last phase–that is the third

phase–as modern hadith scholars. This study used historical approach, semantic,

and hadith science itself. The historical approach aimed to understand a chain of

history from data which has been founded and collected, as well as to determine the

periodization of the terms that will be studied. The semantic approach aimed to

study the meaning of a language. And the hadith science approach aimed to

maintain consistency in the content of this study, in order to guide the discussion

through hadith science. This study is counted as library research where it will be

focused on discussing the works of hadith science, from classical to modern. This

type of study is qualitative which delivers the descriptive data from the object that

has been studied.

The result of this study concluded there are several terms with the same

form but have different meanings, and there are some terms with different forms but

have the same meaning. The differences that exist has implications for the validity

of hadith. Such as the term of munkar and sahih belongs to Imam al-Hâkim (d. 405

h), and the term of munqathi’ belongs to Imam al-Bardîjî (d. 301 h); but there are

also several terms which is not affected, such as munqathi’ and mu’dhal. The

differences does not give an impact on the position of hadith which caused by the

interruption in chain of transmission (saqth fÎ al-isnâd), but rather than an effort to

place hadith based on its theme. The methodology which formulated by the modern

hadith scholars is more credible to be followed, because they have analyzed,

mapped, arranged, and concluded on the terms of classical hadith scholars

accurately. Even for some parts, its will always exist and impossible to avoid.

Keywords: the terms of hadith science, history, debate.

Page 12: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

x

البحث ملخص

أل يثذأ ف زا انثحس كا أحذ انثاحص ف ػهو انحذس ركش أ

انصطهحاخ ف ػهو انحذس انر لذيا انؼهاء انرمذي نسد كا لصذا انؼهاء

انرجح تانرأكذ سرأشش كصشا تم الأسغ ػه انشكلاخ الأخش ف انرأخش، ز

.م ؼم ت ،زا انف. ػه سثم انصال، كحكى انحذس م ك حجح أو لا

انشكهح الأخش انمثل انفس ي انكرة انحذصح انر لا سرطغ تؼض طلاب

حذش انؼهح انر ذثذ الاخرلاف. ي انحذس سؤح انؼلالح انراسخح ت ألال ان

ا، حال انثاحس أ ؼك كصشا ف كفح ذك ز انصطهحاخ ذايا ذصثح

أساسا نهحذش.

شاا ،لسى انثاحس زا انثحس ئن شلاز انشاحم، ألا يشحهح انظس ان

ضى فا انثاحس ف ناانشحهرا الأشانصا يشحهح الإذاو الإكال. ،يشحهح انرطس

ف انشحهح انصانصح ضى فا انحذش انرأخش. اسرخذو ،يشحهح انحذش انرمذي

ذف ئن انثاحس انماستح انراسخح ػهى انذلانح ػهو انحذس. فانماستح انراسخح ذ

س فى سهسهح الأحذاز انراسخح ي انثااخ انجدج انؼصس ػه فرشج ظ

ذف ػهى انذلانح ئن فى انؼا انهغح. ذف .انثاحسانصطهحاخ انر دسسا

انف. زا انثحس ػ زا انحاسانحفاظ ػه اذساق انكراتح ناصهح ػهو انحذس ئن

تحس يكرث ك يإنفاخ انؼهاء ف زا انثحس يضػا. زا انثحس تحس ػ

شكم انكهاخ انكرتح ي انضع انز ذى يلاحظر. رج ف تااخ صفح ف

ي ،ي رائج انثحس أ تؼض انصطهحاخ اذفك نفظا اخرهف ذؼشفا

ان اخرلافاخ نا آشاس انؼكس أ تؼض انصطهحاخ اخرهف نفظا اذفك ذؼشفا.

ـ( 504كصطهح انكش انصحح ػذ الإياو انحاكى )خ ػه صحح انحذس

ان اخرلافاخ .ـ( 103)خ انثشدػج صطهح انمطغ ػذ الإياو انثشدك

زا انرفشك لا أشش ػه دسجح انحذس ،كصطهح انمطغ انؼضمنا آشاس دنس

تم يحانح نضغ انحذس حسة ف الإساد ك انحذس ضؼفا ت نسثة انسمظلا

لذ دسسا خطا سذثا ءذثاػ لأ إلااف . يج انرأخش أسهىانضع

ػه انشغى ي أ ز الاخرلافاخ نخصا ألال انحذش انرمذي تذلك ػاح.

.سرثم لا ك ذجاها ف تؼض اناح

Page 13: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

xi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ......................................................................... i

Pernyataan Penulis ................................................................. iv

Persetujuan Pembimbing ........................................................ v

Lembar Pengesahan ................................................................ vi

Pedoman Transliterasi ........................................................... vii

Abstrak ................................................................................... viii

BAB I

PENDAHULUAN .................................................................... 1

A. Latar belakang Masalah ................................................. 1

B. Permasalahan ............................................................... 17

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................. 19

D. Tujuan Penelitian ......................................................... 23

E. Siginifikansi Penelitian ................................................ 23

F. Metodologi Penelitian .................................................. 23

G. Sistematika Logika Penulisan ...................................... 30

BAB II

PARADIGMA KONSEPTUAL ILMU HADIS .................. 32

A. Basis Epistemologi Ilmu Hadis ..................................... 32

B. Formulasi Nalar Ilmu Hadis .......................................... 35

1. Definisi Ilmu Hadis ................................................... 41

2. Kapan Istilah Hadis Muncul? .................................... 49

3. Ilmu Hadis Riwayah dan Ilmu Hadis Dirayah .......... 53

a. Ilmu Hadis Riwayah .............................................. 53

1). Definisi Ilmu Hadis Riwayah ........................... 54

2). Tema Pembahasan Ilmu Hadis Riwayah .......... 55

3). Peletak Ilmu Hadis Riwayah ............................ 55

b. Ilmu Hadis Dirayah ............................................... 60

1). Peletak Ilmu Hadis Dirayah .............................. 62

2). Perkembangan Ilmu Hadis Dirayah .................. 65

3). Cabang-cabang Ilmu Hadis Dirayah ................. 69

BAB III

Page 14: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

xii

GENEALOGI ILMU MUSTHALAH HADIS DALAM KONTESTASI

SEJARAH ............................................................................... 74

A. Fase Kelahiran dan Pertumbuhan .................................. 77

1. Masa Nabi saw. dan Sahabat ..................................... 77

a. Ungkapan Shadaqta dan Kadzabta ...................... 79

b. Ungkapan Rajul Shâlih, Ni’ma ar-Rajul, dan Bi’sa 87

c. Ungkapan Rajul, Imra’ah, dan A’rabiy ................ 88

d. Upaya Pemeriksaan Berita .................................... 89

e. Praktik Pemberitaan Terputus .............................. 90

2. Masa al-Khulafâ’ ar-Râsyidûn .................................. 90

a. Upaya Penghadiran Saksi, Bukti, dan Sumpah ..... 90

b. Upaya Pelurusan dan Perbandingan Riwayat ....... 94

B. Fase Perkembangan ....................................................... 96

1. Masa Tabiin ............................................................... 96

a. Munculnya Term Mursal dan Teori Sanad .......... 97

b. Riwayat Ahli Bidah ............................................ 101

2. Masa Atbâ’ Tabiin ................................................... 102

a. Term Sahih, Hasan, dan Daif ............................. 103

b. Term Tadlîs atau Mudallas, Munqathi‟, Munkar, Syâdz,

Mu’all, dan Mudhtharib ..................................... 104

c. Term MaqbĂťl al-Khabar dan MardĂťd al-Khabar 106

3. Pasca Atbâ Tabiin (200 H – 300 H) ........................ 107

4. Masa Penertiban Ilmu Hadis (300 H – 400 H) ........ 110

5. Masa Pra Penyempurnaan (400 H – 600 H) ............ 113

6. Fase Penyempurnaan (600 H – 1000 H) ................. 116

BAB 1V

PROGRESIVITAS TERM-TERM DALAM ILMU HADIS 119

A. Term Sahih dan Perdebatannya ................................... 119

1. Definisi Sahih .......................................................... 119

2. Term ShahĂŽh li GhairihĂŽ .......................................... 131

3. Hukum Hadis Sahih ................................................ 133

4. Buah Karya Pergulatan Term Sahih ....................... 138

B. Term Hasan dan Perdebatannya .................................. 140

1. Definisi Hasan ........................................................ 140

2. Menyatunya Term Hasan, Sahih, dan lainnya ........ 157

3. Term-term yang Mencakup Sahih dan Hasan ......... 161

Page 15: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

xiii

a. Jayyid .................................................................. 161

b. Qawiyy ................................................................. 161

c. Shâlih ................................................................... 162

d. Ma’rûf dan Mahfûzh ........................................... 163

e. Mujawwad dan Tsâbit ......................................... 163

f. MaqbĂťl ................................................................. 163

g. Musyabbah .......................................................... 163

4. Hukum Menghukumi Hasan Terhadap Sanad ....... 164

5. Buah Karya Pergulatan Term Hasan ....................... 165

C. Term Daif, Pembagian dan Perdebatannya ................. 166

1. Definisi Daif ............................................................ 168

2. Daif Sanad Tidak Mesti Daif Matan ....................... 172

3. Hukum Hadis Daif .................................................. 174

4. Sumber-sumber Hadis Daif ..................................... 181

5. Pembagian Khusus Term Daif dan

Diskusinya ............................................................... 183

a. Mu’allaq ............................................................... 183

b. Mursal ................................................................. 190

c. Mu’dhal ............................................................... 217

d. Munqathi‟ ............................................................ 223

e. Mudallas .............................................................. 229

f. Mursal Khafiy ...................................................... 240

a. Maudhû‟ ............................................................... 242

b. MatrĂťk ................................................................. 250

c. Munkar ................................................................ 252

d. Mu’allal ............................................................... 256

e. Mudraj ................................................................. 262

f. Mudhtharib .......................................................... 266

g. MaqlĂťb ................................................................. 270

h. Mushahhaf ........................................................... 274

i. Al-MazÎd fÎ Muattashil al-AsânÎd ........................ 277

j. Syâdz .................................................................... 279

k. Al-Jahâlah bi ar-RâwÎ ......................................... 284

l. Al-Bid’ah .............................................................. 287

m. Sû’ al-Hifzh ........................................................ 292

Page 16: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

xiv

BAB V

PENUTUP ............................................................................. 294

A. Kesimpulan .................................................................. 294

B. Saran-Saran ................................................................. 299

DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 301

DAFTAR INDEKS................................................................ 314

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................... 320

BIODATA PENULIS .......................................................... 331

Page 17: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam hierarki sumber ajaran Islam, posisi hadis atau

sunah1 menempati urutan kedua setelah Alquran, bahkan tidak

jarang dianggap sejajar.2 Urgensi hadis tidak hanya karena

1 Istilah hadis dan sunah merupakan dua istilah yang populer dalam

disiplin ilmu hadis. Namun kedua istilah tersebut terkadang masih dinilai

kurang definitif, sehingga perlu dipertegas kembali menjadi hadis Nabi atau

hadis Nabawi dan sunah Nabi atau sunah Rasul. Di luar itu, terdapat istilah

lain, yakni khabar (berita) dan atsar (peninggalan). Namun keduanya tidak

berkembang sebagaimana kedua istilah di atas. Lihat Ali Mustafa Yaqub,

Kritik Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), cet. 4, hal. 32. Bagi para ahli

hadis, istilah hadis dan sunah adalah dua istilah yang tidak berbeda, begitu

pula atsar dan khabar, yaitu hal-hal yang berasal dari Nabi saw., baik berupa

perkataan, perbuatan, penetapan, maupun sifat-sifatnya, dan sifat-sifat itu baik

berupa sifat fisik, moral, maupun perilaku, dan hal itu baik sebelum beliau

menjadi nabi maupun setelahnya. Berbeda dengan para pakar ilmu usul fikih

yang membedakan definisi sunah dan hadis. Bagi mereka, sunah adalah hal-hal

yang diambil dari Nabi saw., baik perkataan, perbuatan dan penetapannya.

Sedangkan hadis adalah perkataan, perbuatan, penetapan, dan sifat-sifat Nabi

saw. Mereka tidak memasukkan sifat-sifat Nabi saw. sebagai sunah. Perbedaan

ini berangkat dari perbedaan mereka dalam memandang hadis sebagai sumber

hukum dan moral di dalam Islam. Para pakar ilmu usul fikih, karena aktifitas

mereka menggali hukum Islam dari Alquran dan hadis, maka hal-hal yang

berasal dari Nabi saw. yang dapat dijadikan sumber ajaran Islam hanyalah

perkataan, perbuatan, dan penetapan saja. Terlepas dari perbedaan tersebut,

istilah sunah sepertinya lebih mendominasi peristilahan kalangan pakar ilmu

usul fikih, sementara istilah hadis lebih banyak digunakan oleh kalangan ahli

hadis. Adapun istilah atsar, para pakar fikih Khurasan memandang istilah

tersebut khusus untuk hadis mauqĂťf saja, sementara khabar khusus untuk hadis

marfû’. Namun yang dianut para ahli hadis, semua istilah itu disebut dengan

atsar sebagaimana ungkapan, “Atsartu al-hadîtsa” (aku meriwayatkan hadis).

Hal ini diperkuat oleh pernyataan Imam Zain ad-Dîn al-‘Irâqî (w. 806 h) yang

menjuluki dirinya dengan al-AtsarĂŽ. Beliau mengatakan dalam permulaan

Alfiah-nya: “Yaqûlu râjî Rabbihî al-Muqtadir ‘Abd ar-Rahîm bin al-Husain al-

Atsarî.” Selain itu, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) juga menamakan

karyanya dalam disiplin ilmu musthalah hadis dengan, Nukhbat al-Fikar fĂŽ

Mushthalah Ahl al-Atsar. Selengkapnya lihat Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd

fî Ulûm al-Hadîts, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1418 H), hal. 27. 2 Misalnya menurut Imam asy-Syâfi’î (w. 204 h), sunah tidak dapat

dipisahkan dari Alquran karena merupakan penjelas terhadap Alquran itu

sendiri. Lihat Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î, ar-Risâlah, Editor: Ahmad

Muhammad Syâkir, (tp. t.th), hal. 21-34. Oleh karena itu, sunah tidak dapat

dipisahkan dari yang dijelaskan. Dari sini, mazhab Syafii menetapkan salah

satu kaidahnya bahwa dalil dalam agama Islam itu adalah Alquran dan sunah,

Page 18: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

2

berfungsi sebagai penguat dan penjelas terhadap statement-

statement Alquran yang bersifat umum, tetapi juga dapat secara

independen menjadi pijakan dalam menentukan suatu ketetapan

hukum terhadap suatu kasus yang tidak disebutkan oleh Alquran.3

bukan Alquran kemudian sunah. Lihat Muhammad al-Hasan al-FâsÎ, al-Fikr

as-Sâmî fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995

M), hal. 468. Argumen lain yang digunakan oleh Imam asy-Syâfi’î untuk

menunjukkan bahwa sunah setara dengan Alquran dan keduanya tidak dapat

dipisahkan adalah beberapa ayat dari Alquran, antara lain: (QS. Āli ‘Imrân [3]:

164. QS. an-Nisâ’ [4]: 113, QS. al-Ahzâb [33]: 34, QS. al-Jumu’ah [62]: 2.

Dalam ayat-ayat tersebut terdapat kata al-hikmah yang bersanding dengan

Alquran. Beliau menafsirkan al-hikmah dalam ayat-ayat tersebut dengan sunah

sebagaimana yang beliau dengar dan pelajari langsung dari seorang pakar

Alquran pada masanya. Lihat Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan

Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2006), hal. 68-69. Misalnya lagi menurut Syaikh ‘Abd al-Ghaniy ‘Abd al-

Khâliq (w. 1403 h) yang berpandangan sama dengan Imam asy-Syâfi’î; beliau

berargumen dengan sabda Rasulullah saw.: “Ketahuilah bahwa aku diberikan

Alquran dan yang semisal dengannya.” Maksud “Yang semisal dengannya”

dalam hadis tersebut adalah sunah. Hal itu sangat jelas menunjukkan bahwa

keduanya setara dalam posisi menentukan suatu ketetapan hukum. Lihat Mâjid

ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah min Tahqîqât al-‘Allâmah ‘Abd al-

Fattâh Abû Ghuddah fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Beirût: Dâr al-Imâm Abî Hanîfah,

1426 H/2005 M), cet. 1, hal. 13. Sebagian yang lain tetap menempatkan sunah

diurutan kedua setelah Alquran. Lihat Muhammad al-AmĂŽn asy-SyinqithĂŽ, al-

Mashâlih al-Mursalah, (Madînah: al-Jâmi’ah al-Islâmiyah al-Madînah al-

Munawwarah, 1410 H), juz 1, hal. 3. Namun demikian keduanya merupakan

wahyu yang menjadi sumber ajaran Islam. Hanya saja, para ulama menyebut

Alquran dengan al-wahy al-matlĂť (wahyu yang dibaca atau membacanya

bernilai ibadah atau disampaikan melalui malaikat JibrĂŽl as.), sementara sunah

disebut dengan al-wahy ghair matlĂť (wahyu yang tidak dibaca sebagaimana

Alquran atau tidak disampaikan melalui malaikat JibrĂŽl as. atau semua yang

datang dari Nabi saw. selain Alquran). Hal ini berdasarkan isyarat dari firman

Allah swt.: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa

nafsunya. Ucapannya itu hanyalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. an-Najm

(53): 3-4). Selengkapnya lihat Ibnu Hazm al-AndalusÎ, al-Ihkâm fÎ UshÝl al-

Ahkâm, (Kairo: Dâr al-HadÎts, 1404 H), juz 2, hal. 215. 3 Muhammad Muhammad AbÝ ZahwÝ, al-HadÎts wa al-MuhadditsÝn,

(Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1984 M), hal. 37-39. Lebih dari itu, Imâm al-

Auzâ’î (w. 157 h) berkata: “Alquran lebih membutuhkan sunah daripada

sebaliknya.” Lihat Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, hal. 13.

Imam Abû Hanîfah (w. 150 h) juga mengatakan: “Sekiranya bukan karena

sunah, maka di antara kami tidak ada seorang pun yang bisa memahami

Alquran.” Lihat Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ’id at-Tahdîts min Funûn

Mushthalah al-Hadîts, (Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 1425 H/2004 M), cet. 1, hal.

52. Lihat juga Ismâ’îl asy-Syarbînî, Kitâbât A’dâ’ al-Islâm wa Munâqasyatihâ,

(Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah, 1422 H/2002 M), juz 1, hal. 611.

Page 19: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

3

Melihat posisi hadis yang begitu penting itu, maka

dapatlah dikatakan, urgensi mempelajari hadis sesungguhnya

sama dengan mempelajari Alquran. Oleh karena itu, para ahli

hadis baik generasi salaf maupun khalaf berupaya begitu besar

mengawal eksistensinya. Sehingga hadis-hadis itu memperoleh

pemeliharaan khusus yang belum pernah terjadi pada hadis-hadis

nabi yang lainnya. Hasilnya, tidak ada yang terjadi pada diri dan

kehidupan Nabi saw. yang luput dari liputan dan pemberitaan.

Ketika hadis berposisi sebagai atau menjadi media liputan

dan pemberitaan, maka para ahli hadis selain mengawal

eksistensi hadis-hadis tersebut, juga menjaga otentisitasnya agar

terpelihara dengan baik. Di antara upaya awal yang mereka

lakukan adalah meneliti keadaan para perawinya, apakah mereka

memiliki kredibilitas atau tidak? Lalu meneliti keadaan orang-

orang yang mengambil hadis dari mereka, apakah juga memiliki

kredibilitas atau tidak? Begitu hingga perawi terakhir yang

memberitakan hadis tersebut. Selain itu, mereka juga meneliti

apakah perawi-perawi itu menerimanya secara langsung, melalui

perantara, atau tidak sama sekali? Apakah mereka juga menulis,

menghafal, dan memahami hadis-hadisnya dengan baik? Apakah

terdapat perawi lain yang melakukan kritik terhadap rawi-rawi

tersebut hingga yakin apa yang diberitakannya sesuai sumbernya?

Upaya-upaya itulah yang kemudian mewujud menjadi

kaidah-kaidah ilmu yang mapan dan kaya metodologi. Berikutnya

dikembangkan dan diakomodir dalam suatu wadah disiplin ilmu

agama yang mapan yang disebut dengan ilmu ushĂťl al-hadĂŽts,

atau ilmu mushthalah al-hadÎts, atau ilmu dirâyah al-hadÎts, dan

atau ‘ulûm al-hadîts. Dalam disiplin ilmu hadis, istilah-istilah

Page 20: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

4

tersebut memiliki makna yang sama sebagaimana dijelaskan oleh

Imam al-‘Irâqî (w. 806 h) dalam karyanya, “Alfiyah al-Hadîts.”4

Dilihat dari kajiannya, ilmu hadis terpetakan ke dalam dua

kajian besar, yaitu kajian ilmu hadis riwayah dan kajian Ilmu

hadis dirayah. Secara historis, kajian ilmu hadis riwayah

merupakan yang pertama dalam kajian disiplin ilmu hadis.

Embrionya terlihat dari reportase Ummu al-Mu’minîn Khadîjah

ra. (w. 3 sh.) yang mendengar langsung sabda suami tercintanya

mengenai permulaan wahyu (bad’u al-wahy) dan kisah datangnya

malaikat JibrĂŽl as. ketika menyampaikan ayat pertama (QS. al-

‘Alaq [96]: 1-5) di Gua Hira.5 Adapun kajian ilmu hadis dirayah

mulai mengemuka pasca peristiwa fitnah yang berlangsung pada

masa pemerintahan Khalifah ‘Alî bin Abî Thâlib ra. (memerintah

35-40 h) sebab kasus terbunuhnya Khalifah ‘Utsmân bin ‘Affân

ra. (w. 35 h). Demikianlah pendapat para pakar pada umumnya.6

4 Syams ad-DÎn as-SakhâwÎ, Fath al-MughÎts bi Syarh Alfiyah al-

Hadîts li al-Hâfizh al-‘Irâqî, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1995/1416), cet. 1, hal. 4.

Lihat juga Muhammad bin Ismâ’îl ash-Shan’ânî, Taudhîh al-Afkâr li Ma’ânî

Tanqîh al-Anzhâr, (Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H/1997 M), juz 1,

hal. 11. Lihat juga Muhammad ‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhû

wa Mushthalahuhû, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1427 H/2006 M), cet. 1, hal. 7. 5 Lihat Hâtim bin ‘Ārif al-‘Aunî, al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-

Mushthalah, (tp. t.th), hal. 131. Kisah tersebut didokumentasikan oleh Imam

al-BukhârÎ (w. 256 h) dalam permulaan karyanya. Lihat Muhammad bin

Ismâ’îl al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Bab Bad’u al-Wahy, no. 2, Tahqîq: M.

Dîeb al-Bighâ, (Beirût: Dâr Ibn Katsîr, 1407 H/1987 M), juz 1, hal. 3. 6 Menurut Musthafâ as-Sibâ’î (w. 1964 m), tahun 40 hijriah adalah

batas pemisah antara kemurnian sunah dan kebebasannya dari kebohongan dan

pemalsuan hadis. Menurut beliau, sunah pada saat itu sudah mulai digunakan

sebagai alat untuk melayani berbagai kepentingan politik dan perpecahan

internal umat Islam. Sasaran pertama yang dituju oleh para pemalsu hadis

adalah sifat-sifat utama para tokoh. Lihat Musthafâ as-Sibâ’î, as-Sunnah wa

Makânatuhâ fî at-Tasyrî’, (tt: Dâr al-Wariq al-Maktab al-Islâmî, 2000 M) hal.

92. Contoh hadis palsu pada masa ini: “Siapa yang tidak mengatakan ‘Alî

orang baik, maka dia telah kafir.” Lihat Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad

asy-Syaukânî, al-Fawâ’id al-Majmû’ah fî al-Ahâdîts al-Maudhû’ah, (Beirût:

al-Maktab al-IslâmÎ, 1407 H), hal. 347. Jadi, praktik pemalsuan hadis mulai

muncul pada masa ini, sehingga dapat dikatakan bahwa kajian ilmu hadis

dirayah mulai mengemuka dan serius dilakukan. Demikian karena belum ada

Page 21: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

5

Di antara pengaruh terbesar dari peristiwa ini, selain

untuk kepentingan ekonomi dan “menyenangkan hati” pejabat,

adalah munculnya konflik yang mengakibatkan terpecahnya umat

ke dalam beberapa sekte. Sekte-sekte tersebut kemudian bergerak

menuju ranah perpolitikan dan bahkan menyentuh ranah teologi.

Akibatnya muncul konflik politik dengan ragam kepentingannya

yang juga berakibat munculnya konflik teologi di dalamnya.7

Dari fenomena ini, muncullah tradisi buruk dan fatal,

yaitu menjadikan Rasulullah saw. sebagai objek legalitas

terhadap “proyek-proyek” mereka. Akibatnya muncul hadis-hadis

palsu yang dinisbahkan kepada beliau guna memuluskan proyek-

proyek tersebut. Namun dari fenomena ini juga, para sahabat

mulai ekstra hati-hati dalam menerima suatu hadis.8 Dari sinilah

pertama kalinya kajian ilmu hadis dirayah mengemuka yang

kemudian melahirkan ilmu dan teori baru dalam disiplin ilmu

data historis yang bisa dipertanggungjawabkan bahwa pada masa Rasulullah

saw. telah terjadi pemalsuan hadis. Lihat Syuhudi Isma’il, Metodologi

Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1428 H/2007 M), cet. 2, hal.

12. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada masa itu tidaklah memerlukan

kegiatan pengecekan atau penelitian yang mendalam terhadap sanad. 7 AbÝ Bakar asy-SyahrastânÎ, al-Milal wa an-Nihal, (BeirÝt: Dâr al-

Ma’rifah, 1404 H), juz 1, hal. 27-33 dan 114-198. Lihat juga al-Ghurabî,

Târîkh al-Firaq al-Islâmiyah, (Mesir: Muhammad ‘Alî Shâbih, 1959 M), hal.

18-36, 73-74, 204, 304. Lihat juga Hasan IbrâhÎm Hasan, TârÎkh al-Islâm,

(Kairo: Maktabah an-Nahdhah al-Mishriyyah, 1964 M), juz 1, hal. 3–6. 8 Sahabat mulia ‘Abdullâh Ibnu ‘Abbâs ra. (w. 68 h) menggambarkan:

“Kami (para sahabat), apabila mendengar seseorang mengatakan, ‘Telah

berkata Rasulullah saw.’, terfokuslah mata dan pendengaran kami kepadanya.

Namun ketika orang-orang mengalami fase kegelisahan dan kesulitan (fase

hilangnya kesadaran akan kritik hadis atau naqd al-hadĂŽts), maka kami tidak

mengambil suatu riwayat atau hadis kecuali yang kami ketahui saja.” Lihat

Muslim bin al-Hajjâj, ShahÎh Muslim, no. 8, (tp. t.th), juz 1, hal. 27. Maksud

kata “seseorang” dalam perkataan tersebut adalah bukan mereka dari kalangan

sahabat, tetapi mereka dari kalangan tabiin. Sehingga darinya diperlukan

penelitian lebih lanjut dari siapa mereka mengambil dan mendengar suatu

riwayat atau hadis. Lihat Hâtim al-‘Aunî, al-Manhaj al-Muqtarah, hal. 22.

Page 22: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

6

hadis yang disebut dengan sanad.9 Suatu ilmu dalam transmisi

hadis itu sendiri.10

Dari ilmu sanad kemudian lahir ilmu kritik

rijâl hadis atau dikenal kemudian dengan ilmu jarh dan ta’dîl;

suatu ilmu yang merupakan saka guru dari ilmu ushĂťl al-hadĂŽts

itu sendiri. Namun jika dilihat dari objeknya, maka kajian matan

(materi hadis) yang juga bagian dari kajian disiplin ilmu hadis

dirayah telah muncul lebih dahulu dibanding kajian sanad, yaitu

sebelum peristiwa fitnah, yakni masa antara Nabi saw. hingga

akhir masa pemerintahan ‘Umar ra. (w. 23 h). Namun karena

9 Muncul pertanyaan, kapan sebenarnya sistem sanad (transmisi

hadis) mulai dipakai oleh manusia. Menurut Syaikh Muhammad Mustafa

Azami (w. 2017 m), sebelum Islam datang tampaknya sudah ada suatu metode

yang mirip dengan pemakaian sanad dalam menyusun buku, namun tidak ada

kejelasan sejauh mana sistem itu diperlukan. Hal itu misalnya terdapat dalam

kitab Yahudi, Mishna. Begitu pula dalam penukilan-penukilan syair jahiliah.

Namun urgensi sanad baru tampak pada periwayatan hadis saja. Dan begitulah

metode itu berkembang hingga Imam Ibnu al-Mubârak (w. 181 h) mengatakan:

“Metode sanad itu adalah bagian dari agama Islam.” Lihat Azami, Hadis

Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, hal. 530. 10

Sanad merupakan ilmu yang tidak dapat dipisahkan dari agama

Islam, karena tanpa sanad, setiap orang akan dengan mudah mengatakan apa

saja demi kepentingannya. Imam al-Auzâ’î (w. 157 h) berkata: “Tidaklah ilmu

itu hilang melainkan sanadnya hilang.” Lihat Ibnu ‘Abd al-Barr, at-Tamhîd

Limâ fî al-Muwaththa’ min al-Ma’ânî wa al-Asânîd, (Kairo: Mu’assasah al-

Qurthubah, t.th), juz 1, hal. 57. Imam Sufyân ats-TsaurÎ (w. 161 h) berkata:

“Sanad itu senjatanya orang yang beriman. Jika orang yang beriman tidak

memiliki senjata, maka hendak menggunakan apa untuk berperang?”. Lihat al-

KhathÎb al-BaghdâdÎ, Syaraf Ashshâb al-HadÎts, (tp. t.th), juz 1, hal. 92. Imam

Ibnu al-Mubârak (w. 181 h) berkata: “Sistem sanad itu merupakan bagian yang

tak terpisahkan dari agama Islam. Sebab tanpa sistem sanad, setiap orang akan

dapat mengatakan apa saja yang dikehendakinya. Lihat Muslim bin al-Hajjâj,

ShahÎh Muslim, Bab Bayân al-Isnâd min ad-DÎn, juz 1, hal. 38. Dalam

kesempatan lain beliau juga mengatakan: “Perumpamaan seorang yang

mencari agamanya tanpa sanad, seperti menaiki atap tanpa tangga.” Imam

Yazîd bin Zurai’ al-‘Aisyî (w. 182 h) berkata: “Setiap agama mempunyai

pasukan penjaga, dan pasukan penjaga umat Islam adalah ashhâb al-asânîd.”

Imam Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î (w. 204 h) berkata: “Perumpamaan

seorang yang mencari hadis tanpa sanad, seperti seseorang yang mencari kayu

di malam gelap gulita.” Lihat al-Khathîb al-Baghdâdî, Syaraf Ashshâb al-

Hadîts, juz 1, hal. 111. Imam Abû Hâtim ar-Râzî (w. 277 h) berkata: “Tidak

ada satu umat pun di dunia ini semenjak Allah swt. menciptakan Nabi Ādam

as. yang terpercaya menjaga atsar-atsar (peninggalan-peninggalan) para rasul-

Nya, melainkan umat Rasulullah saw.” (karena di dalamnya terdapat ilmu

sanad). Selengkapnya lihat Mullâ ‘Alî al-Qârî, Syarh Musnad Abî Hanîfah,

(Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th), juz 1, hal. 8.

Page 23: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

7

masa itu dipandang masa yang relatif aman atau steril dari upaya-

upaya perpolitikan, maka kajian sanad saat itu dianggap tidak

begitu diperlukan.11

Namun setelah peristiwa fitnah, para ulama

mulai ekstra hati-hati dan selalu mempertanyakan urgensi sanad

hadis; dari siapa hadis itu diperoleh, bagaimana latar belakang

orang-orang yang meriwayatkan hadis tersebut, dan seterusnya.

Berawal dari sanad dan matan inilah kemudian lahir ilmu-

ilmu dan teori-teori baru dalam kajian atau disiplin ilmu hadis

yang selanjutnya dirumuskan dan dipetakan oleh para pakarnya

11

Misalnya suatu kisah pengecekan yang dilakukan oleh sahabat

mulia Amîr al-Mu’minîn ‘Umar bin al-Khaththâb ra. (w. 23 h) terhadap berita

yang datang dari seorang Anshâr (tetangganya sendiri). Suatu malam ketika

‘Umar ra. sedang berbincang-bincang tentang adanya kabar bahwa Ratu

Ghassân sedang mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu kaum muslimin,

tiba-tiba pintu rumah beliau diketuk keras oleh seorang yang belum diketahui

identitasnya. “Apakah ‘Umar ra. sudah tidur?” begitu terdengar suara lantang

dari luar pintu. Maka dengan penuh tanda tanya, ‘Umar ra. berjalan

membukakan pintu tersebut. Begitu dibuka, beliau terkejut ternyata yang

mengetuk pintu keras-keras tadi adalah tetangganya sendiri, seorang Anshâr

dari keluarga Bani ‘Umayyah bin Zaid. Ia baru saja pulang mengikuti

pengajian bersama Rasulullah saw. “Ada apa? Apakah pasukan Ghassân sudah

datang?” Tanya ‘Umar ra. memburu. “Tidak,” jawabnya. “Ada peristiwa yang

lebih gawat dari itu, tambahnya.” “Apa itu?” Tanya ‘Umar ra. penasaran.

“Rasulullah saw. telah menceraikan istri-istrinya.” Tercenganglah ‘Umar ra.

mendengar jawabannya itu. Bukan lantaran salah satu istri Rasulullah saw.

adalah putri ‘Umar ra. sendiri yang bernama Hafshah ra., tetapi benarkah

Rasulullah saw. melakukan hal itu. Maka untuk meyakinkan kebenaran berita

itu, esok harinya ‘Umar ra. menghadap Rasulullah saw. dan setelah diizinkan

masuk, ‘Umar ra. bertanya, “Apakah Anda telah menceraikan istri-istri Anda?”

Sambil menegakkan kepalanya dan memandangi ‘Umar ra., Rasulullah saw.

kemudian menjawab, “Tidak.” Begitulah, akhirnya ‘Umar ra. mengetahui

bahwasanya Rasulullah saw. hanya bersumpah untuk tidak mengumpuli istri-

istrinya selama satu bulan. Lihat al-BukhârÎ, ShahÎh al-BukhârÎ, 2288, juz 8,

hal. 357. Apa yang dilakukan sahabat mulia ‘Umar ra. di atas bukan berarti ia

curiga terhadap pembawa berita atau rawi bahwa ia berdusta, tetapi semata-

mata untuk meyakinkan bahwa berita atau hadis yang berasal dari Rasulullah

saw. itu benar-benar ada. Oleh karena itu, menurut pakar hadis Muhammad

Mustafa Azami (w. 2017 m), pengecekan semacam itu jumlahnya sangat

sedikit dan terbatas. Lihat Muhammad Mustafa Azami, Manhaj an-Naqd ‘Inda

al-Muhadditsîn, (Riyâdh: Syirkah ath-Thibâ’ah al-‘Arabiyyah, 1402 H/1982

M), hal. 10. Dalam kisah tersebut, ‘Umar ra. tidak mengecek identitas

pembawa berita atau rawi, karena sebagai tetangga, ‘Umar ra. tentu sudah

mengetahui karakter orang tersebut. Apa yang dilakukan ‘Umar ra. adalah

bentuk kritik materi hadis atau naqd matn al-hadĂŽts, bukan kritik rawi hadis

atau naqd rijâl al-hadÎts. Lihat Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, cet. 1, hal. 2.

Page 24: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

8

melalui terminologi-terminologi (istilah-istilah) guna mengikat

hal-hal yang dimaksud.

Munculnya term-term dalam ilmu hadis tidaklah kosong

tanpa sebab, tetapi beriringan dengan kebutuhan dimana hadis itu

berkembang. Oleh karena itu, suatu term tidaklah muncul kecuali

setelah adanya kasus, baik yang berkaitan dengan sanad maupun

matan. Dari pemahaman akan proses ini, muncullah anggapan

dari sebagian peneliti dan penggiat hadis, bahwa term-term yang

dicetuskan dan dimaksudkan oleh para ahli hadis mutaqaddimĂŽn

tidaklah sejalan atau sama dengan maksud yang dicetuskan dan

dimaksudkan oleh para ahli hadis muta’akhkhirîn12

terutama

12

Lihat Hâtim al-‘Aunî, al-Manhaj al-Muqtarah, juz 1, hal. 7. Para

ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan batas pemisah antara ulama

hadis mutaqaddimîn dan ulama hadis muta’akhkhirîn. Menurut Imam Ibnu

Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h), muta’akhkhirîn adalah mereka yang hidup di

penghujung abad kelima hijriah dan seterusnya. Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalânî,

an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, (Madînah: ‘Imâdah al-Bahts, 1404

H/1984 M), juz 2, hal. 586. Adapun menurut Imam adz-DzahabĂŽ (w. 748 h)

sebagaimana dinukil Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî dalam karyanya Lisân al-

Mîzân mengatakan: “Batas pemisah antara mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn

adalah penghujung abad ketiga hijriah.” Lihat Ibnu Hajar al-Asqalânî, Lisân

al-Mîzân, (Beirût: Mu’assasah al-A’lamî, 1406 H/1986 M), juz 1, hal. 8.

Namun yang rancu dari pendapat Imam adz-DzahabĂŽ sebagaimana dikatakan

Hamzah al-Malîbârî adalah, Imam adz-Dzahabî memasukkan Imam al-Ismâ’îlî

(w. 371 h) yang notabene ulama hadis penghujung abad keempat hijriah

sebagai bagian dari ulama hadis mutaqaddimĂŽn, padahal beliau mengatakan

batasnya penghujung abad ketiga hijriah. Lihat Hamzah al-MalÎbârÎ, al-

Muwâzanah Baina al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn fî Tashhîh al-

Ahâdîts wa Ta’lîlihâ, (Penerbit: Multaqâ’ Ahl al-Hadîts, 1422 H/2001 M), juz

1, hal. 10. Syaikh Nûr ad-Dîn ‘Itr (w. 1442h/2020 m), ketika menjelaskan

definisi munqathi’ menurut ulama hadis mutaqaddimîn dan muta’akhkhirin

dalam karyanya Manhaj an-Naqd berkata: “Definisi munqathi’ dari ulama

hadis mutaqaddimĂŽn yang paling baik adalah definisi yang dikemukakan oleh

al-Hâfizh Ibnu ‘Abd al-Barr al-Qurthubî (w. 463 h).” Lihat Nûr ad-Dîn ‘Itr,

Manhaj an-Naqd fĂŽ UlĂťm al-HadĂŽts, hal. 367. Padahal diketahui bahwa Imam

Ibnu ‘Abd al-Barr merupakan ulama hadis abad kelima hijriah. Imam Ibnu

ash-Shalah (w. 643 h) dalam Muqaddimah-nya ketika menjelaskan term hasan

mengatakan: “Telah berkata sebagian ulama hadis muta’akhkhirîn, bahwa

hadis hasan adalah hadis yang kedaifannya tidak terlalu.” Beliau merujuk

pendapat ini dari Imam Ibnu al-Jauzî (w. 597 h) dalam kitabnya al-‘Ilal al-

Mutanâhiyah fÎ al-AhadÎts al-Wâhiyah. Lihat Ibnu ash-Shalâh, Muqaddimah

Ibnu ash-Shalâh, hal. 50. Apabila melihat pendapat-pendapat di atas, maka

Page 25: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

9

kaitannya dengan definisi. Anggapan itu tidaklah begitu keliru,

karena memang terdapat beberapa term yang memiliki dua, tiga,

atau bahkan lebih definisi yang apabila dikaitkan dengan

pemahaman definisi para ahli hadis muta’akhkhirîn tidaklah

memiliki keterkaitan sama sekali. Konsekwensi dari perbedaan

itu, tentu akan melahirkan penelitian dan hasil yang berbeda pula.

Sebagai gambaran misalnya dalam kasus term munkar,

dimana para pakar hadis muta’akhkhirîn semisal Imam Ibnu

pendapat Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî sepertinya lebih banyak mendapat

dukungan. Meski demikian, pendapat yang menyatakan bahwa batasannya di

penghujung abad ketiga hijriah tentu memiliki alasan tersendiri. Begitu

sebaliknya, mereka yang berpendapat bahwa batasannya di penghujung abad

kelima juga memiliki alasan tersendiri. Perbedaan ini menurut Khalaf Salamah

dikarenakan faktor tema, konteks, atau yang lainnya. Namun dari sisi jumlah,

mutaqqadimĂŽn adalah mereka yang meninggal sebelum akhir abad keempat

hijriah, dan muta’akhkhirîn adalah mereka yang meninggal setelah abad

kelima hijriah. Begitu karena batasan antara keduanya merupakan term yang

saling berdekatan, dan itu konteknya lebih banyak dari batasan itu sendiri,

tidak bisa digambarkan apakah di sana ada hari tertentu, tahun tertentu, waktu

berakhirnya mutaqaddimîn dan mulainya muta’akhkhirîn, sebab di sana juga

harus ada perubahan secara bertahap dan kedua masa tersebut masuk atau di

sana harus ada masa perpindahan yang bersamaan. Bisa jadi hal tersebut

adalah abad kelima hijriah bila kita berbicara pendekatan bolehnya dan itu

mendekati kebenaran. Lihat Khalaf Salâmah, Lisân al-MuhadditsÎn, juz 5, hal.

14. Syaikh Hamzah al-MalÎbârÎ kembali menjelaskan bahwa perbedaan yang

mencolok dari kedua masa tersebut sebenarnya bukan karena faktor masanya,

tetapi lebih kepada metodologi (manhaj) yang digunakan dan dikembangkan

oleh para ulama di dalamnya. Tema awal dalam ilmu hadis yang membedakan

metodologi antara dua masa tersebut adalah mengenai tema term sahih yang

dikemukakan oleh Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h), yaitu hadis yang

sanadnya bersambung yang diriwayatkan oleh rawi yang adil dan dhâbith dari

rawi yang adil dan dhâbith (juga) hingga akhir sanad dan hadis itu tidak rancu

(syâdz) serta tidak mengandung cacat (‘illat). Dari definisi ini beliau memberi

isyarat atas manhaj atau metodologi para ulama hadis ketika berkata; “Inilah

hadis yang dihukumi kesahihannya dan para ulama tidak ada yang berselisih

atasnya.” Hal ini kemudian diikuti oleh setiap ulama hadis setelahnya yang

menulis tentang ilmu ini secara umum dan mereka bersepakat bahwa definisi

tersebut merupakan definisi yang dimiliki oleh para ulama hadis dan menjadi

manhaj mereka bukan manhaj yang lainnya baik dari kalangan ulama fikih

maupun kalangan ulama usul fikih. Hal ini karena para ulama fikih dan ulama

usul fikih tidak menyaratkan di dalam manhaj sahih mereka terhindar dari

kerancuan atau kejanggalan (syâdz) dan hilangnya cacat (‘illat) sebagaimana

disepakati oleh para ulama hadis. Selengkapnya lihat Hamzah al-MalÎbârÎ, al-

Muwâzanah Baina al-Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn, juz 1, hal. 10.

Page 26: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

10

Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) menetapkan definisinya dengan

suatu hadis yang diriwayatkan oleh rawi daif yang menyalahi

riwayat orang tsiqah.13

Definisi tersebut sebenarnya dinukil dari

pakar hadis mutaqaddimÎn, yakni Imam Muslim bin al-Hajjâj an-

NaisâbÝrÎ (w. 261 h), hanya kemudian ditetapkan definisinya oleh

para pakar hadis muta’akhkhirîn.14

Berbeda dengan Imam Ahmad

bin Hanbal (w. 241 h) yang juga termasuk kelompok pakar hadis

mutaqaddimĂŽn; beliau mendefinisikan munkar dengan suatu hadis

yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, baik rawi itu tsiqah

maupun tidak.15

Dalam definisi yang lain munkar adalah suatu

hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi, baik menyalahi

riwayat orang lain maupun tidak, dan meskipun rawi itu tsiqah.16

Dengan berbedanya definisi di atas, maka para pengkaji

perlu melihatnya lebih jeli, apabila yang dimaksud munkar itu

menurut pakar hadis mutaqaddimĂŽn semisal Imam Ahmad bin

Hanbal (w. 241 h), maka munkar tersebut dapat mencakup hadis

fard dan hadis syâdz, dan hukumnya sama dengan hadis gharÎb

matnan wa isnâdan dan hadis fard muthlaq.17

Bila demikian,

13

Ibnu Hajar al-‘Asqalânî , Nukhbat al-Fikar, juz 1, hal. 1. 14

Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, hal. 68. 15

Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, hal. 65. Misalnya

ketika Imam Ibnu ‘Adî (w. 365 h) menjelaskan biografi ‘Abd ar-Rahmân bin

AbÎ al-Mawwâl yang sanadnya sampai kepada AbÝ Thâlib (murid Imam

Ahmad). AbĂť Thalib bertanya kepada Imam Ahmad tentang Ibnu AbĂŽ al-

Mawwâl. Imam Ahmad menjawab: “Ia tidak apa-apa (lâ ba’sa bihî). Ia pernah

dipenjara karena mendebat kaum Muktazilah yang menyakini Alquran sebagai

makhluk. Ia meriwayatkan hadis dari Ibnu al-Munkadir, dari Jâbir ra., dari

Nabi saw. tentang salat Istikharah. Hadis itu tidak ada yang meriwayatkan

selainnya. Dia munkar.” Aku berkata (Abû Thâlib): “Dia munkar?” Imam

Ahmad menjawab, “Benar, karena tidak ada yang meriwayatkan hadis itu

selainnya dan ia tidak apa-apa.” Ibnu ‘Adî al-Jurjânî, al-Kâmil fî Dhu’afâ’ ar-

Rijâl, Bab Man Ismuhû ‘Abd ar-Rahmân, (Beirût: Dâr al-Fikr, 1409 H/1988

M), juz 4, hal. 307. Imam adz-Dzahabî berkata: “Dia tsiqah masyhûr.” Lihat

adz-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl, (Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.th), juz 2, hal. 592. 16

Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 462. 17

Hadis fard adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya dari

segi apapun. Hadis fard lebih umum daripada hadis gharĂŽb dan mencakup

Page 27: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

11

maka hukum munkar adakalanya sahih, hasan, dan juga daif.

Namun apabila yang dimaksud menurut atau yang ditetapkan

para pakar hadis muta’akhkhirîn, maka hasilnya akan sangat daif,

karena rawinya daif, dan kedaifannya semakin bertambah karena

riwayatnya menyalahi atau menyelisihi orang-orang yang tsiqah.

Kemudian lagi misalnya dalam kasus term daif, yang

apabila kasus ini tidak dilihat proses sejarahnya, memungkinkan

munculnya kesimpangsiuran. Menurut Imam Ibnu Taimiyyah al-

HarrânÎ (w. 728 h), term daif dalam atau menurut peristilahan

ulama hadis mutaqaddimĂŽn tidak sebagaimana term daif dalam

atau menurut peristilahan ulama hadis muta’akhkhirîn. Hal itu

beliau nilai dari salah satu pandangan Imam Ahmad (w. 241 h)

dan para ulama sebelumnya yang membagi hadis ke dalam dua

bagian, yaitu sahih dan daif. Hadis daif menurut mereka terbagi

ke dalam dua bagian, yaitu daif matrĂťk (yang tidak dapat

dijadikan hujjah) dan daif hasan (yang dapat dijadikan hujjah).18

Pada masa Imam at-TirmidzĂŽ (w. 279 h), hadis terbagi ke

dalam tiga bagian, yaitu sahih, hasan, dan daif. Dan beliau dinilai

oleh Imam Ibnu Taimiyyah sebagai pelopor pembagian hadis

tersebut.19

Hadis hasan menurut Imam at-TirmidzĂŽ adalah suatu

beberapa macam hadis yang tidak tercakup dalam hadis gharĂŽb. Hadis fard ini

terdiri dari dua macam, yaitu fard muthlaq dan fard nisbĂŽ. Hadis fard muthlaq

adalah hadis yang rawinya menyendiri dengannya tidak seorang rawi lain pun

yang meriwayatkannya. Hadis fard muthlaq identik dengan hadis gharĂŽb

matnan wa isnâdan, yaitu hadis yang tidak diriwayatkan kecuali dengan satu

jalur sanad, dan mencakup juga di dalamnya hadis syâdz dan juga hadis

munkar. Lihat Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 424. 18

Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, cet. 1, hal. 139. 19

Pendapat tersebut dinukil oleh Syaikh Muhammad Jamâl ad-DÎn al-

QâsimÎ (w. 1332 h) dalam beberapa fatwa yang berasal dari Imam Ibnu

Taimiyyah. Lihat Muhammad Jamâl ad-Dîn al-Qâsimî, Qawâ’id at-Tahdîts

min FunĂťn Mushthalah al-HadĂŽts, hal. 56. Dalam pendapat lain, Imam al-

‘Irâqî (w. 806 h) mengatakan bahwa yang pertama kali membagi hadis ke

dalam tiga bagian adalah Imam al-KhaththâbÎ (w. 388 h), dimana beliau

Page 28: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

12

hadis yang mempunyai jalur banyak dan tidak ditemukan di

dalamnya rawi yang diduga berbohong dan tidak rancu.”20

Istilah

hasan inilah yang disebut daif oleh Imam Ahmad sebagaimana

dipahami oleh Imam Ibnu Taimiyyah. Jadi, bukan daif matrĂťk,

tetapi daif hasan yang dapat dijadikan sebagai hujjah. Oleh

karena itu, Imam Ibnu Taimiyyah berkesimpulan bahwa istilah

hasan belum dikenal sebelum masa Imam at-TirmidzĂŽ.21

Hanya

saja pendapat ini dinilai kurang tepat, karena istilah hasan

sebenarnya telah menjadi diskusi hangat pada masa Imam Ahmad

dan ulama-ulama hadis sebelum Imam at-TirmidzĂŽ dan bahkan

telah digunakan oleh mereka dalam menilai suatu hadis.

Di antara ulama tersebut adalah: Imam Mâlik bin Anas

(w. 179 h),22

Imam Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î (w. 204 h),23

Imam Abû Zur’ah ar-Râzî (w. 264 h),24

Imam ‘Alî bin al-Madînî

mengatakan; “Saya tidak menemukan ada seorang ulama yang membagi hadis

ke dalam tiga bagian (tersebut) sebelum Imam al-Khaththâbî.” Lihat Zain ad-

Dîn al-‘Irâqî, at-Taqyîd wa al-Îdhâh Syarh Muqaddimah Ibn ash-Shalâh,

(MadĂŽnah: al-Maktabah as-Salafiyyah, 1389 H/1969 M), juz 1, hal 19. 20

Ibnu ash-Shalâh, Muqaddimah Ibnu ash-Shalâh, cet. 2, hal. 50. 21

Ibnu Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz 1, hal. 252. 22

Imam Ibnu AbÎ Hâtim ar-RâzÎ (w. 327 h) mengutip perkataan Imam

Mâlik (w. 179 h) mengenai kualitas hadis yang bersumber dari sahabat mulia

al-MastÝrad bin Saddâd ra. tentang menyela-nyela jari kaki dalam berwudu.

Imam Mâlik lalu berkata: “Sungguh hadis ini hasan” (inna hadzâ al-hadîts

hasan). Hadis ini juga diriwayatkan ashshâb as-sunan al-arba’ah. Lihat Ibnu

Abî Hâtim ar-Râzî, Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dîl, (tp. t.th), juz 1, hal. 27. 23

Imam Zain ad-Dîn al-‘Irâqî (w. 806 h) mengatakan: “Saya tidak

menemukan ada seorang ulama yang membagi hadis ke dalam tiga bagian

(sahih, hasan, dan daif) sebelum Imam al-KhaththâbÎ (w. 388 h). Meskipun

dalam perbincangan ulama mutaqqadimĂŽn telah disebutkan istilah hasan dan

itu terdapat dalam pendapat Imam asy-Syâfi’î, Imam al-Bukhârî, dan para

imam lainnya.” Zain ad-Dîn al-‘Irâqî, at-Taqyîd wa al-Îdhâh, juz 1, hal 19. 24

Imam Abû Zur’ah ar-Râzî adalah guru dari Imam Abû Hâtim ar-

RâzÎ, Imam Muslim bin al-Hajjâj an-NaisâbÝrÎ, Imam at-TirmidzÎ, Imam an-

Nasâ’î, Imam Ibnu Mâjah al-Qazwînî. Imam Ibnu Abî Hâtim ar-Râzî ketika

menjelaskan biografi ‘Abdullâh bin Shâlih (sekertaris Imam al-Laits) bertanya

kepada Imam Abû Zur’ah, ia berkata: “Saya tidak mempunyai pendapat dari

orang yang menilainya berdusta, ia adalah orang yang hadisnya bagus (wa

kana hasan al-hadîts). Ibnu Abî Hâtim, al-Jarh wa at-Ta’dîl, juz 5, hal. 87.

Page 29: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

13

(w. 234 h),25

Imam AbÝ DâwÝd at-ThayâlisÎ (w. 204 h),26

Imam

Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî (w. 256 h),27

Imam AbĂť al-

Hasan al-‘Ijlî (w. 261 h),28

Imam Muhammad bin ‘Abdullâh bin

Numair (w. 234 h),29

Imam AbÝ Hâtim ar-RâzÎ (w. 277 h),30

dan

bahkan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 h) sendiri telah

mengenal dan menggunakan istilah hasan.31

Kemudian lagi misalnya dalam kasus istilah maqthû’.

Istilah tersebut dalam prosesnya mengalami pergeseran makna.

25

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) mengatakan: “Imam ‘Alî

bin al-MadĂŽnĂŽ (w. 234 h) adalah orang yang paling banyak menyifati hadis-

hadis dengan istilah sahih dan hasan dalam Musnad dan ‘Illal-nya.” Lihat Ibnu

Hajar al-‘Asqalânî, an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, juz 1, hal. 144. 26

Al-Hâfizh Shafiyy ad-DÎn al-KhazrajÎ al-AnshârÎ (w. 923 h) ketika

menjelaskan biografi Qais bin ar-Rabî’ mengutip pendapat Imam Abû Dâwûd

ath-Thayâlisî (w. 204 h) yang mengatakan bahwa Qaîs bin ar-Rabî’ adalah

orang yang terpercaya (kredibel) dan hadisnya bagus (tsiqatun hasan al-

hadîts). Lihat Shafiyy ad-Dîn Ahmad bin ‘Abdullâh al-Khazrajî al-Anshârî,

Khulâshah Tahdzîb Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ ar-Rijâl, Editor: ‘Abd al-Fattâh

Abû Ghuddah, (Beirût: Dâr al-Basyâ’ir, 1416 H), juz 1, hal. 317. 27

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) mengutip pendapat Imam

Abû ‘Îsâ at-Tirmidzî (w. 279 h) yang bertanya tentang keadaan hadis dari

Shafwân bin ‘Assâl dan Abû Bakrah kepada gurunya, yakni Imam al-Bukhârî

(w. 256 h). Kemudian Imam al-Bukhârî menjawab: “Hadis dari Shafwân bin

‘Assâl kualitasnya sahih, dan hadis dari Abû Bakrah kualitasnya hasan.” Lihat

Ibnu Hajar al-‘Asqalânî , an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, juz 1, hal. 427. 28

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) dalam karyanya Tahdzîb

at-Tahdzîb mengutip pendapat Imam Abû al-Hasan al-‘Ijlî (w. 261 h) tentang

al-Aswad bin Qais al-‘Abdî yang mengatakan: “Ia seorang yang terpercaya

dan hadisnya bagus (tsiqatun hasan al-hadîts). Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalânî,

TahdzÎb at-TahdzÎb, (BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1404 H) cet. 1, juz 1, hal. 146. 29

Imam Muhammad bin ‘Abdullâh an-Numair (w. 234 h) adalah guru

dari guru-guru Imam Abû Îsâ at-Tirmidzî (w. 279 h). Imam Ibnu Sayyid an-

Nâs (w. 734 h) ketika menjelaskan sosok Ibnu Ishâq mengutip Imam an-

Numair yang mengatakan: “Ibnu Ishâq hadisnya baik, ia orang jujur (hasan al-

hadîts shadûq).” Lihat Ibnu Sayyid an-Nâs, ‘Uyûn al-Atsâr fî Funûn al-

Maghâzî wa as-Siyar, (Beirût: Mu’assasah ‘Izz ad-Dîn, 1406 H), juz 1, hal. 19. 30

Imam Ibnu AbÎ Hatim (w. 327 h) ketika menjelaskan sosok IbrâhÎm

bin Yûsuf asy-Sya’bî mengatakan: “Aku mendengar ayahku berkata: “Ibrâhîm

bin YĂťsuf hadisnya ditulis dan hadisnya bagus (yuktabu hadĂŽtsuhĂť wa huwa

hasan al-hadîts).” Lihat Ibnu Abî Hâtim, al-Jarh wa at-Ta’dîl, juz 2, hal. 148. 31

Dalam suatu kesempatan, Imam AbĂť Bakar Ahmad bin Muhammad

al-Atsram (w. 273 h) murid daripada Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 h)

bertanya tentang sosok Muhammad bin Ishâq, kemudian Imam Ahmad

menjawab: “Dia hadisnya bagus (huwa hasan al-hadîts).” Lihat Ibnu Sayyid

an-Nâs, ‘Uyûn al-Atsâr fî Funûn al-Maghâzî wa as-Siyar, juz 1, hal. 18.

Page 30: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

14

Istilah maqthû’ yang dikenal sekarang dalam pengertiannya yang

telah baku adalah suatu hadis yang sampai kepada tabiin baik

ucapan maupun perbuatannya, ternyata dalam pandangan Imam

Muhammad bin Idrîs asy-Syâfi’î (w. 204 h) dan Imam Abû al-

Qâsim ath-Thabarânî (w. 360 h) adalah munqathi’,32

yang dikenal

sekarang sebagai hadis yang terputus atau gugur salah seorang

perawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat

dengan catatan perawi yang gugur di setiap tempat itu tidak lebih

dari satu orang dan tidak terjadi di awal sanad.33

Di pihak lain,

Imam Ibnu ‘Abd al-Barr (w. 463 h) memaknai munqathi’ dengan

hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik hadis itu yang

disandarkan kepada Rasulullah saw. maupun kepada selainnya.34

Definisi yang dikemukakan oleh Imam Ibnu ‘Abd al-Barr

ini cenderung umum karena mencakup semua hadis yang terputus

jalur sanadnya. Dari itu, maka tidak ada bedanya dengan istilah-

istilah lain yang sama-sama gugur atau terputus jalur sanadnya.

Adapun definisi yang pertama jelas menjadikan istilah munqathi’

berbeda dengan definisi istilah-istilah yang lain yang sama-sama

terputus jalur sanadnya. Dengan pencantuman kata-kata, “salah

seorang perawinya” definisi ini berarti tidak mencakup hadis

mu’dhal; dengan kata-kata, “sebelum sahabat” definisi ini berarti

tidak mencakup hadis mursal; dan dengan kata-kata, “tidak pada

awal sanad” definisi ini berarti tidak mencakup hadis mu’allaq.35

Di sisi lain, ada seorang ulama yang bernama Imam AbĂť

Bakar Ahmad bin Hârûn al-Bardîjî al-Barda’î (w. 301 h) yang

justru menjadikan istilah munqathi’ sebagai perkataan seorang

32

Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl Ibnu Katsîr ad-Dimasyqî, al-Bâ’its al-Hatsîts

Syarh Ikhtishâr ‘Ulûm al-Hadîts, (tp. t.th), juz 1, hal. 6. 33

Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 424. 34

Ibnu ‘Abd al-Barr, Muqaddimah at-Tamhîd, juz 1, hal. 21. 35

Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 424.

Page 31: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

15

tabiin.36

Hal ini bila dipahami secara sepihak, boleh jadi akan

menimbulkan kerancuan. Meski demikian, Imam Jalâl ad-DÎn as-

SuyĂťthĂŽ (w. 911 h) dalam TadrĂŽb-nya mengonfirmasi bahwa

penggunaan istilah maqthû’ yang dalam pandangan kedua imam

tersebut merupakan munqathi’ dikarenakan belum adanya istilah

baku pada masa tersebut yang menjelaskan keduanya secara

independen (mustaqill).37

Proses-proses inilah yang menurut

hemat penulis perlu diteliti dan dikaji asal-asulnya dalam tesis ini.

Berikutnya, selain keterkaitan masing-masing definisi,

juga keterkaitan masing-masing istilah, dimana misalnya para

ahli hadis mutaqaddimĂŽn menemukan bahwa di antara unsur yang

membuat suatu hadis itu daif adalah as-saqth fÎ ar-râwÎ (gugur

atau terputusnya rawi). Sementara para ahli hadis muta’akhkhirîn

meneliti lebih lanjut fakta di lapangan dan lantas mereka

menemukan ternyata saqth itu beragam wajah; ada yang saqth-

nya satu rawi, dua rawi berturut-turut, atau tidak berturut-turut,

dan bahkan ada yang saqth rawinya disamarkan. Oleh karena

banyaknya model saqth ini, maka para ahli hadis muta’akhkhirîn

secara kreatif membagi kasus-kasus tersebut ke dalam term-term

tersendiri. Pembagian term-term ini sangatlah penting, selain

menentukan kehujjahan masing-masing hadis yang diistilahkan

berdasarkan ketersambungan sanad, juga semakin mematangkan

kajian ilmu hadis itu sendiri dalam lingkupnya yang lebih luas.

Dalam pada itu, apabila merunut pada teori sejarah yang

menuntut adanya strukturisasi sebuah asal-asul, maka suatu

peristiwa tidak bisa terlepas dari kaitannya dengan kejadian di

awal, dimana ilmu hadis dalam pengertiannya yang belum luas

36

As-SakhâwÎ, Fath al-MughÎts, cet. 1, hal. 55. 37

As-SuyÝthÎ, TadrÎb ar-RâwÎ, juz 1, hal. 158.

Page 32: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

16

telah muncul pada abad pertama hijriah. Dan baru pada abad

kedua hijriah muncul beberapa kajian dari para pakar mushthalah

sebagai respon terhadap suatu kasus yang terjadi dan berkembang

pada masa tersebut, yang hasilnya melahirkan beberapa istilah

dan teori baru dalam disiplin ilmu hadis sebagaimana dijelaskan

di atas, meskipun masih sebatas oral atau dari mulut ke mulut.38

Berbeda dengan Nûr ad-Dîn ‘Itr (w. 1442 h/2020 m) yang

berpendapat bahwa istilah-istilah dalam ilmu hadis sebenarnya

telah muncul sebelum penghujung abad pertama hijriah. Ia

berkata bahwa di antara istilah-istilah yang telah muncul sebelum

penghujung abad pertama tersebut adalah: marfû’, mauqûf,

maqthû’, muttashil, mursal, munqathi’, dan mudallas. 39

Pendapat

ini bagi penulis masih menyisakan tanda tanya, sebab ia tidak

memunculkan data kasus yang mengarah pada lahirnya istilah-

istilah tersebut, siapa saja aktor-aktornya, bagaimana kondisi

ketika istilah-istilah itu muncul, apakah terjadi silang pendapat?

Dengan munculnya perbedaan tersebut dan dengan

adanya dugaan akan maksud istilah-istilah yang digunakan para

pakar mushthalah awal tidak sebagaimana maksud para pakar

mushthalah akhir, menjadikan penulis memandang perlu meneliti

dan mengkaji persoalan ini dalam perspektif sejarah; mulai asal-

usul istilah itu muncul, perbedaan istilah yang digunakan para

ulama, beragamnya pemahaman mereka dalam mendefinisikan

suatu istilah hingga tahapan penghalusan istilah-istilah tersebut;

tahapan dimana telah menjadi disiplin ilmu yang mapan dan

matang. Dengan harapan menemukan strukturisasi pemahaman

antara para pakar hadis mutaqaddimĂŽn yang karena kebutuhannya

38

Mâjid ad-Darwîsy, al-Fawâ’id al-Mustamaddah, cet. 1, hal. 59. 39

Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 25-62.

Page 33: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

17

saat itu belum mampu mengakomodir kasus-kasus yang

ditemukan kemudian oleh para pakar hadis muta’akhkhirîn,

sehingga bila dibandingkan dan tanpa diteliti lebih lanjut seolah-

olah maksud dan definisi yang dimunculkan oleh para pakar

hadis mutaqaddimîn tidak terlihat jâmi’ mâni’,40

bahkan seolah-

olah berlawanan dengan definisi para pakar hadis muta’akhkhirîn.

Namun bila disadari kebutuhannya saat itu dapat dikategorikan

jâmi’ mâni’, karena selaras atau sejalan dengan kasus yang

terjadi. Baru kemudian kasus-kasus itu meluas bersamaan dengan

munculnya kasus-kasus baru, maka dikembangkanlah oleh para

pakar hadis muta’akhkhirîn yang memang di tangan merekalah

definisi-definisi dan term-term dalam ilmu hadis itu mapan dan

matang. Maka dari uraian di atas, penulis berkesimpulan untuk

meneliti kasus-kasus berikutnya dan menetapkan kajian ini

dengan tema: “Sejarah Terminologi-terminologi dalam Ilmu Hadis.”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah sebagaimana telah

dipaparkan di atas, muncullah beberapa pertanyaan khusus dan

mendasar yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1- Apa terminologi-terminologi dalam ilmu hadis itu?

2- Bagaimana sesungguhnya sejarah terminologi-terminologi

dalam ilmu hadis itu?

40

Istilah jâmi’ mâni’ adalah suatu istilah untuk sebuah batasan (al-

had), dimana di dalamnya terangkum suatu jenis (macam) dan fashl (pemisah).

Dari jenis (macam) tersebut terangkum suatu keumuman dan penghimpunan.

Dan dari fashl (pemisah) terangkum suatu kekhususan dan pencegahan

(masuknya persoalan lain ke dalamnya). Selengkapnya lihat Muhammad bin

al-Hasan ash-Shâyigh, al-Lamhah fÎ Syarh al-Milhah, Editor: IbrâhÎm bin

Sâlim Shâ’idiy, (al-Madînah al-Munawwarah: tp. 1424 H/2004 M), hal. 22.

Page 34: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

18

3- Bagaimana progresivitas, perdebatan, dan argumentasi

para pakar mushthalah terkait terminologi-terminologi

dalam ilmu hadis yang menjadi penelitian dalam tesis ini?

2. Pembatasan Masalah

Mengingat term-term atau istilah-istilah dalam ilmu hadis

sangatlah banyak, maka dari persoalan-persoalan yang muncul,

penulis membatasi pembahasannya hanya dalam istilah-istilah

yang digunakan oleh para pakar mushthalah dalam menentukan

kualitas hadis, yaitu istilah sahih, hasan, daif, dan termasuk

istilah-istilah yang dikategorikan daif baik dari sisi terputusnya

sanad (saqth fî ar-râwi) maupun cacatnya rawi (tha’n fî ar-râwî).

Istilah dalam kategori terputusnya sanad terbagi ke dalam

dua macam, yaitu istilah-istilah yang terputus secara nyata atau

jelas (saqth zhâhÎr) dan istilah-istilah yang terputus secara samar

(saqth khafiy). Istilah-istilah yang terputus secara nyata (saqth

zhâhîr) terbagi ke dalam empat macam, yaitu mu’allaq, mu’dhal,

munqathi’, mursal, ditambah di dalamnya istilah mursal shahâbî.

Adapun istilah-istilah yang terputus secara samar (saqth khafiy)

terbagi ke dalam dua macam, yaitu mudallas dan mursal khafiy.

Untuk istilah-istilah dalam kategori cacatnya perawi adalah

maudhû’, matrûk, munkar, mu’all, perselisihan riwayat dengan

rawi tsiqah; mudraj, mudhtharib, maqlĂťb, mushahhaf, al-mazĂŽd fĂŽ

muttashil al-asânîd, syâdz, al-jahâlah, al-bid’ah, dan sû’ al-hifzh.

Pembatasan istilah-istilah tersebut dimaksudkan untuk

mempertajam kembali pemahaman disiplin keilmuan hadis dari

sisi kehujjahan hadis itu sendiri, apakah diterima atau tidak, dan

apakah dapat diamalkan atau tidak. Hal ini dirasa penting, karena

perhatian sebagian penggiat hadis baik formal maupun non

formal, selain tertuju pada aspek kualitas hadis, juga penerimaan

Page 35: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

19

secara instan dari pustaka-pustaka hadis yang ada lebih menonjol.

Akibatnya sebagian mereka tidak dapat membedakan keterkaitan

pemahaman antara ulama hadis mutaqqaddimĂŽn dan ulama hadis

muta’akhkhirîn seperti telah dipaparkan di atas dalam beberapa

sisi muncul beberapa perbedaan baik dalam soal istilah itu sendiri

maupun dalam soal pendefinisian. Perbedaan-perbedaan itu tentu

akan berimplikasi signifikan pada kualitas hadis yang dinilai.

Ketika kondisi ini diabaikan, maka tidak menutup kemungkinan

akan terjadinya kesalahpahaman dalam membaca dan memahami

pustaka-pustaka hadis atau teks-teks hadis yang ada itu. Maka

penelitian dari sisi sejarah akan dapat membantu memberi solusi

terhadap persoalan-persolan tersebut tanpa mengabaikan istilah-

istilah lain dalam ilmu hadis yang memang banyak dan beragam.

3. Rumusan Masalah

Dengan beberapa pertimbangan dari beberapa pertanyaan

di atas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan

menjadi pokok penelitian tesis ini dengan dua pertanyaan berikut:

1. Bagaimana sejarah term-term dalam ilmu hadis itu?

2. Bagaimana progresivitas, perdebatan, dan argumentasi

yang dikemukakan para pakar mushthalah di dalamnya?

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Sejauh penelitian penulis mengenai kajian ini, belum

ditemukan suatu kajian yang secara khusus mengkaji sejarah

munculnya terminologi-terminologi dalam ilmu hadis secara

menyeluruh terutama dalam bentuk tesis atau disertasi. Hanya

saja penulis menemukan beberapa kutipan singkat dalam karya-

karya ulama kontemporer seperti karya Syaikh Nûr ad-Dîn ‘Itr

(w. 1442 h/2020 m) yaitu, “Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts.”

Page 36: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

20

Dalam karya tersebut sebagaimana disinggung secara singkat di

awal, bahwa Nûr ad-Dîn ‘Itr berpendapat: “Sebenarnya term-term

dalam ilmu hadis itu telah muncul sebelum penghujung abad

pertama hijriah. Term-term itu adalah, marfû’, mauqûf, maqthû’,

muttashil, mursal, munqathi’, mudallas. Dan masing-masing dari

jenis term tersebut terbagi ke dalam dua bagian; Pertama,

maqbĂťl, yaitu hadis yang pada perkembangan berikutnya disebut

dengan hadis sahih dan hadis hasan. Kedua, mardĂťd, yaitu hadis

yang pada perkembangan berikutnya disebut dengan hadis daif

berikut tingkatan-tingkatan di dalamnya.”41

Bagi penulis sendiri,

munculnya istilah-istilah yang dikemukakan oleh Nûr ad-Dîn ‘Itr

tersebut masihlah menyisakan tanda tanya, mengingat ia tidak

memunculkan data kasus yang mengarah pada lahirnya istilah-

istilah tersebut; siapa saja aktor-aktornya, bagaimana kondisi

historis saat istilah-istilah itu muncul, apakah terjadi silang

pendapat di kalangan ulama, dan seterusnya. Dalam hal ini,

penulis mencoba menganalisis kebenaran pendapat tersebut, bisa

dalam bentuk memperkuat, menambah, atau juga mengkritiknya.

Kemudian penulis menemukan karya Syaikh ‘Abd al-

Fattâh AbÝ Ghuddah (w. 1417 h/1997 m) yang sebelumnya

merupakan tulisan rampai yang disusun kembali oleh Syaikh

MajĂŽd Ahmad ad-Darwisy, lalu ia memberi judul karya tersebut

dengan, “al-Fawâid al-Mustamaddah min Tahqîqât al-‘Allâmah

asy-Syaikh ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah fî ‘Ulûm al-Hadîts.”

Dalam kaitannya dengan pembahasan istilah-istilah dalam ilmu

hadis, kitab ini pun terlihat umum. Namun secara apik terbahas di

dalamnya tiga istilah dalam ilmu hadis yang dilihat dari sisi

kualitasnya, yaitu istilah sahih, hasan, dan daif. Sayang kajian

41

Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, hal. 25-62.

Page 37: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

21

tersebut tidak berlanjut hingga pada tingkatan-tingkatan daifnya.

Namun demikian, kitab ini telah menyuguhkan perdebatan yang

lumayan dinamis terkait tiga istilah tersebut, meski tidak secara

detail menyinggung aspek historitasnya. Juga sedikit banyak

memberikan gambaran kepada penulis untuk mengkaji lebih

lanjut istilah-istilah berikutnya atau dalam hal ini istilah-istilah

dalam tingkatan daif yang belum terbahas di dalamnya dengan

metode yang berbeda dan menambah sisi-sisi kekurangannya.

Kemudian kitab “al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-

Mushthalah” karya Syaikh Hâtim bin ‘Ārif al-‘Aunî asy-Syarîf.

Karya ini menjelaskan sedikit tentang proses perkembangan

istilah dari masa ke masa, tetapi pembahasannya berhenti pada

penghujung abad ketiga hijriah. Hal itu boleh jadi karena

penulisnya memahami puncak kesempurnaan ilmu hadis terjadi

pada abad itu, sehingga ia memahami batas pemisah antara ulama

hadis mutaqaddimîn dan ulama hadis muta’akhkhirîn adalah

penghujung abad ketiga hijriah. Adapun ulama setelahnya yang

berarti ulama hadis muta’akhkhirîn bagi sebagian yang

memahaminya demikian hanya mengikuti apa yang telah

dirumuskan para ulama abad tersebut. Persoalan batas pemisah

antara kedua kurun tersebut juga menjadi perdebatan panjang dan

muncul beragam versi sebagaimana dijelaskan di awal. Namun,

dalam hal ini penulis mengikuti pendapat Imam Ibnu Hajar al-

‘Asqalânî (w. 852 h), dimana menurutnya batas pemisah antara

ulama hadis mutaqaddimîn dan ulama hadis muta’akhkhirîn

adalah penghujung abad kelima hijriah. Dalam catatan kaki yang

telah dijelaskan di awal, Syaikh Hamzah al-MalÎbârÎ menjelaskan

bahwa perbedaan mencolok dari kedua masa tersebut sebenarnya

bukan semata-mata karena faktor masanya, tetapi lebih kepada

Page 38: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

22

metodologi (manhaj) yang dikembangkan. Dan pembahasan awal

dalam ilmu hadis yang membedakan metodologi antara kedua

masa tersebut adalah pembahasan tantang istilah sahih yang

dikemukakan oleh Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h), yaitu hadis

yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh rawi yang

adil dan dhâbith, dari rawi yang adil dan dhâbith (juga), hingga

akhir sanad, dan hadis itu tidak rancu (syâdz) serta tidak

mengandung cacat (‘illat). Dari definisi ini, Imam Ibnu ash-

Shalâh memberi isyarat atas manhaj atau metodologi ulama hadis

ketika ia mengatakan; “Inilah hadis yang dihukumi kesahihannya,

dan tidak ada ulama yang berselisih atasnya (disepakati).” Hal ini

kemudian diikuti oleh setiap ulama setelahnya yang menulis

tentang ilmu hadis secara umum dan mereka bersepakat bahwa

definisi tersebut merupakan definisi yang dimiliki oleh ulama

hadis dan menjadi manhaj mereka bukan manhaj yang lainnya,

baik dari ulama fikih maupun ulama usul fikih. Hal ini karena

para ulama fikih dan ulama usul fikih tidak menyaratkan dalam

pandangan term sahih mereka terhindar dari kerancuan (syâdz)

ataupun (‘illat) sebagaimana disepakati oleh para ulama hadis.

Dari sini penulis memahami bahwa kesempurnaan ilmu

hadis terjadi di tangan para ulama hadis muta’akhkhirîn yang

diawali oleh Imam Ibnu ash-Shalâh dengan manhaj sahih-nya

tersebut. Batasannya adalah dari penghujung abad kelima hijriah

(awal abad keenam hijriah) hingga awal abad kesepuluh hijriah

sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî

(w. 852 h) di awal, dimana abad setelahnya dinilai oleh para

ulama sebagai masa kebekuan dan kejumudan (‘ashr ar-rukûd wa

al-jumĂťd). Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa abad ketiga

hijriah ilmu hadis telah mencapai kesempurnaan kuranglah tepat.

Page 39: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

23

D. Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan dalam tesis ini, tujuan umum dan khusus.

Tujuan umumnya adalah mengetahui dan memahami bagaimana

sebenarnya asal-usul term-term dalam ilmu hadis itu dilihat dari

sejarahnya, lalu bagaimana perdebatan dan argumentasi para

ulama di dalamnya hingga menjadi disiplin ilmu yang mapan dan

dijadikan rujukan. Adapun tujuan khususnya adalah berupaya

mencari jawaban dari pertanyaan sebagaimana rumusan masalah.

E. Signifikansi Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dijelaskan di atas,

maka penelitian ini secara teoritis mampu berkontribusi dalam

memetakan aspek historitas, asal-asul, dan perkembangan term-

term dalam ilmu hadis dari awal munculnya hingga menjadi

disiplin ilmu yang mapan dan kaya metodologi. Selain itu,

penelitian ini dapat memberikan gambaran epistemologi ilmu

hadis secara komperhensif dan holistik bagi para akademisi,

khususnya bagi komunitas pengkaji hadis dan ilmu hadis, baik

formal maupun non formal. Selain itu, secara praktis penelitian

ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih ilmiah dan

inspirasi positif bagi kalangan intelektual muslim yang

signifikansinya besar terhadap penggiat hadis dan ilmu hadis,

khususnya yang terfokus pada studi sejarah term-term ilmu hadis.

F. Metodologi Penelitian

Penelitian ini murni studi kepustakaan (library research).

Objek material penelitiannya adalah karya-karya yang membahas

tentang ilmu hadis dari masa klasik hingga modern. Adapun

objek formalnya berhubungan dengan term-term dalam ilmu

hadis dan sejarah yang mengiringi perkembangan term-term

Page 40: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

24

tersebut. Ditinjau dari jenis penelitiannya, maka penelitian ini

termasuk penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata yang tertulis dari objek yang diamati. Adapun

pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sejarah (historical

approach), semantik (‘ilm ad-dilâlah), dan ilmu hadis itu sendiri.

Pendekatan sejarah bertujuan untuk mengetahui dan atau

memahami serangkaian peristiwa sejarah dari data yang ada dan

menemukan periodisasi asal-usul munculnya term-term tersebut.

Penulis membaginya menjadi tiga fase. Pertama, fase kelahiran

dan pertumbuhan; kedua, fase perkembangan; dan ketiga, fase

penyempurnaan. Fase kelahiran, pertumbuhan dan perkembangan

penulis kelompokan ke dalam fase ahli hadis mutaqaddimĂŽn dan

fase penyempurnaan ke dalam fase ahli hadis muta’akhkhirîn.

Pendekatan sejarah yang digunakan oleh para pakar hadis

dalam kaitannya dengan sejarah ilmu ini sangatlah beragam.

Misalnya pendekatan yang dikemukakan oleh Syaikh NĂťr ad-DĂŽn

‘Itr (w. 1442 h), dimana ia membaginya menjadi tujuh tahapan,

yaitu: (1) Tahap kelahiran ilmu hadis; tahap ini berlangsung pada

masa sahabat hingga penghujung abad pertama hijriah. (2) Tahap

penyempurnaan ilmu hadis; berlangsung dari awal abad kedua

hijriah hingga awal abad ketiga hijriah. (3) Tahap pembukuan

ilmu hadis secara terpisah; berlangsung sejak abad ketiga hijriah

hingga pertengahan abad keempat hijriah. (4) Tahap penyusunan

kitab-kitab induk ilmu hadis dan penyebarannya; tahap ini

bermula pada pertengahan abad keempat hijriah dan berakhir

abad ketujuh hijriah. (5) Tahap kematangan dan kesempurnaan

pembukuan ilmu hadis; tahap ini bermula pada abad ketujuh

hijriah dan berakhir pada abad kesepuluh hijriah. (6) Masa

kejumudan; berlangsung dari abad kesepuluh hijriah sampai awal

Page 41: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

25

abad keempat belas hijriah. (7) Tahap kebangkitan kedua; tahap

ini bermula dari abad keempat belas hijriah hingga sekarang.42

Namun tahapan-tahapan tersebut tidak memisahkan antara

ahli hadis mutaqaddimîn dan ahli hadis muta’akhkhirîn, dimana

hal itu sangatlah penting dalam kaitannya dengan perkembangan

disiplin ilmu ini. Selain itu, apabila dikaitkan dengan penelitian

penulis akan banyak pembahasan terulang, karena pembagian

tahapan tersebut lebih banyak menyoroti karya-karya para ulama.

Berikutnya pendekatan sejarah yang digunakan YĂťsuf al-

‘Isy (w. 1967 m) sebagaimana dikutip Shubhî ash-Shâlih yang

membaginya dengan periode khusus yang diperkirakan sesuai

dengan perkembangan sosial politik Islam. Ia membagi periode

tersebut menjadi empat periode dan masing masing periode ia

batasi 40 tahun. Keempat periode tersebut adalah: (1) Masa Nabi

saw. dan sahabat-sahabat pertama; berakhir sekitar tahun 40

hijriah dengan berakhirnya masa khalifah yang empat. (2) Masa

pertama sahabat yang belakangan dan tabiin pertama berakhir

sekitar tahun 80 hijriah; pada tahun-tahun terakhir pemerintahan

‘Abd al-Malik bin Marwân (w. 86 h). (3) Masa tabiin yang

belakangan dan berakhir sekitar tahun 120 hijriah pada akhir

pemerintahan Hisyâm bin ‘Abd al-Malik bin Marwân (w. 125 h).

(4) Masa berikutnya sampai tahun 160 hijriah dan seterusnya.

Hanya saja pembagian periode ini mendapatkan kritikan

dari para pakar, dimana pembatasan yang hanya melingkupi

periodisasi sedikit banyak terkadang tidak sesuai dengan tahun

wafat sebagian perawinya, dimana hal ini penting dalam kajian

sejarah. Dengan demikian, pendapat ini kurang dapat diterima.43

42

Nûr ad-Dîn ‘Itr, Manhaj an-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 36-72. 43

Lihat ShubhÎ Shâlih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka

Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013 M), hal. 51.

Page 42: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

26

Di sisi lain ada yang membaginya melalui pendekatan

tadwĂŽn (kodifikasi) dengan tiga periode, yaitu: (1) Periode

sebelum kodifikasi (qabla at-tadwĂŽn) yang dihitung sejak masa

Nabi saw. hingga tahun 100 hijriah. (2) Periode saat berlangsung

kodifikasi (‘inda at-tadwîn) sejak tahun 101 hijriah hingga akhir

abad ketiga hijriah. (3) Periode pasca kodifikasi (ba’da at-

tadwĂŽn) yaitu sejak abad keempat hijriah hingga masa

terkoleksinya hadis dalam kitab-kitab hadis. Ada juga yang

merumuskannya dengan lima periode sebagaimana berikut: (1)

Periode keterpeliharaan hadis dalam hafalan pada abad pertama

hijriah. (2) Periode kodifikasi hadis dengan fatwa sahabat dan

tabiin berlangsung selama abad kedua hijriah. (3) Periode pen-

tadwĂŽn-an dengan memisahkan hadis dari fatwa sahabat dan

tabiin. Hal ini berlangsung sejak awal abad ketiga hijriah. (4)

Periode seleksi kesahihan hadis. (5) Periode kodifikasi hadis

dengan tahdzĂŽb atau sistematika penggabungan dan penyarahan.

Di mulai abad keempat hijriah. Hasbi ash-Shiddiqi (w. 1987 m)

menyimpulkannya melalui tujuh masa atau periode, dan saat ini

telah memasuki periode keenam. (1) Periode pertama, yaitu saat

wahyu turun dan pembentukan hukum dan dasar-dasarnya dari

permulaan kenabian hingga beliau wafat pada tahun 11 hijriah.

(2) Periode kedua, masa khalifah yang empat yang dikenal

dengan masa pembatasan riwayat. (3) Periode ketiga, masa

perkembangan riwayat yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar.

(4) Periode keempat, masa pembukuan hadis pada permulaan

abad kedua hijriah. (5) Periode kelima, masa pen-tashhĂŽh-an dan

penyaringan pada awal abad ketiga. (6) Periode keenam, masa

memilah kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jâmi’ yang

khusus; awal abad keenam sampai tahun 656 hijriah. (7) Periode

Page 43: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

27

ketujuh, masa membuat syarah, kitab-kitab takhrij, pengumpulan

hadis-hadis hukum, dan membuat kitab-kitab jâmi’ yang umum.44

Namun, setelah penulis perhatikan dari semua pendekatan

sejarah yang dikemukakan ternyata berbeda antara satu dengan

yang lainnya. Oleh karena itu, penulis dapat mengambil benang

merah dengan mengklasifikasikan pendekatan sejarah dalam

penelitian ini menjadi tiga periode, yaitu; (1) Periode kelahiran

dan pertumbuhan, dimulai dari masa Nabi saw., sahabat, dan

khalifah yang empat. (2) Masa perkembangan, dimulai dari masa

tabiin hingga penghujung abad kelima hijriah, dan (3) Masa

penyempurnaan, dimulai dari awal abad keenam hijriah hingga

abad kesepuluh hijriah. Dari masa kelahiran, pertumbuhan, serta

perkembangan, penulis mengelompokkannya ke dalam masa

ulama hadis mutaqaddimĂŽn, sementara masa penyempurnaan

penulis mengelompokkannya ke dalam masa ulama hadis

muta’akhkhirîn. Penulis menilai, perpindahan antara kurun ulama

hadis mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn ini lebih kepada aspek

metodologi (manhaj) yang digunakan para ulama kedua kurun

tersebut, dimana batasan mutaqaddimĂŽn adalah penghujung abad

kelima hijriah, dan setelah itu hingga abad kesepuluh hijriah

adalah kurun waktu ulama hadis muta’akhkhirîn. Sedangkan

setelah abad kesepuluh hijriah, penulis menilainya sebagai kurun

ulama hadis kontemporer. Dimana mereka hanya mengikuti dan

mengembangkan apa yang telah dirumuskan ulama sebelumnya.

Selanjutnya pendekatan semantik bertujuan mempelajari

makna suatu bahasa, baik dalam tataran mufradât (kosakata),

maupun tarâkib (struktur) terminologi-terminologi yang nanti

44

Selengkapnya lihat Muhammad Hasbi ash-Shiddiqi, Sejarah dan

Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 M), hal. 26.

Page 44: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

28

akan dibahas. Semantik merupakan bagian dari ilmu linguistik

atau ‘ilm ad-dilâlah. Ruang lingkup kajian semantik berkisar

pada: (1) Ad-dâl (penunjuk, pemakna, lafaz,) dan al-madlÝl (yang

ditunjuk, dimaknai, atau makna), serta hubungan simbolik di

antara keduanya, seperti refleksi sosial, psikologis, dan pemikiran

(significant, signifie, reference). (2) Perkembangan makna, sebab,

dan kaidahnya, dan hubungan kontekstual, dan situasional dalam

kehidupan, ilmu, dan seni. (3) Majâz (kiasan) berikut aplikasi

semantik dan stilistiknya. Ad-dâl adalah nilai bunyi atau bentuk

akustik, sedangkan al-madlĂťl adalah ide, isi pikiran dan gagasan.

Dalam linguistik di antara keduanya dikehendaki adanya tiga

syarat, yaitu: (1) Hubungan linguistik itu harus menunjukkan

makna. (2) Hubungan itu harus dipakai dalam masyarakat

linguistik yang memahaminya. (3) Hubungan itu menunjukkan

kepada sebuah sistem tanda (simbol) linguistik. Makna bahasa

terkait dengan lafaz (bentuk kata), struktur (tarkĂŽb), dan konteks

(siyâq) situasi dan kondisi. Makna kata suatu bahasa tidak dapat

terpisah dari akar kata, penunjukan, dan konteks penggunaannya.

Oleh karena itu, dalam ilmu ini dijumpai setidaknya sembilan

teori tentang makna, yaitu: (1) An-Nazhariyah al-Isyâriyah,

adalah yang merujuk pada segitiga makna, yaitu ide-isi pikiran

(makna), simbol kata, alam nyata-dunia luar-rujukan. (2) An-

Nazhariyah at-Tashwwuriyah (teori konsepsional), yaitu teori

semantik yang memfokuskan kajian makna pada prinsip konsepsi

yang ada dalam pikiran manusia. (3) An-Nazhariyah as-SulĂťkiyah

(teori behaviorisme); adalah teori semantik yang memfokuskan

kajian makna bahasa sebagai bagian dari perilaku manusia yang

merupakan manifestasi dari adanya stimulus dan respon. (4) An-

Nazhariyah as-Siyâqiyah (teori kontekstual); teori semantik yang

Page 45: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

29

berasumsi bahwa sistem bahasa itu saling berkaitan satu sama

lain di antara unit-unitnya, dan selalu mengalami perubahan dan

perkembangan. (5) An-Nazhariyah at-TahlĂŽliyah (teori analitik)

adalah teori yang menitikberatkan pada analisis kata ke dalam

komponen-komponen. (6) An-Nazhariyah at-TaulĂŽdiyah adalah

teori yang didasarkan pada asumsi bahwa otomatisasi generasi

atau pelahiran kalimat-kalimat yang benar itu dapat dilakukan

berdasarkan kompetensi pembicara atau penulis, dalam arti

kaidah bahasa yang benar yang ada dalam pikiran seseorang

dapat memproduksi berbagai kalimat yang tidak terbatas. (7) An-

Nazhariyah al-Wadh’iyah al-Manthîqiyah fî al-Ma’nâ (teori

situasional logis); teori ini didasarkan pada berbagai pandangan

filosofis, baik dari kalangan ahli bahasa, maupun kalangan ahli

logika; (8) An-Nazhariyah al-Brajmatiyah (teori pragmatisme),

yaitu sebuah teori atas dasar pengamatan langsung dan

kesesuaian makna dengan realitas empiris; (9) An-Nazhariyah

Moore-Quine, teori ini dipelopori oleh George Moorr dan M.V.

Quine, yang menitikberatkan pada tiga kriteria; kesepadanan,

tarjamah, dan sinonim.45

Berikutnya pendekatan ilmu hadis bertujuan menjaga

konsistensi tulisan agar tetap berbicara seputar ilmu ini. Adapun

sumber primer penelitiannya adalah kitab-kitab ilmu hadis yang

telah dibukukan dari abad keempat hijriah hingga abad ketujuh

hijriah, di antara kitab tersebut adalah: kitab “Ma’rifah Ulûm al-

Hadîts” karya Imam al-Hâkim an-Naisâbûrî (w. 405 h); kitab

“Ulûm al-Hadîts” karya Imam Ibnu ash-Shalâh (w. 643 h); kitab

“Tadrîb ar-Rawi” karya Imam as-Suyûthî (w. 911 h), kitab

45

Selengkapnya lihat Mohammad Matsna H.S. Orientasi Semantik

az-Zamaksyari, (Jakarta: Anglo Media, 1427 H/2006 M), hal. 3 – 26.

Page 46: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

30

“Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dîl” karya Imam Ibnu Hâtim ar-

RâzÎ (w. 327 h), dan sebagainya. Adapun sumber sekunder yang

menjadi rujukan di antaranya: kitab “Bulûgh al-Āmâl” karya

Mahmûd Ahmad Bakkâr; kitab “Lisân al-Muhadditsîn” karya

Khalâf Salâmah. Metode penulisan yang digunakan mengikuti

pedoman akademik Program Pascasarjana IIQ Jakarta 2011-2015.

G. Sistematika Logika Penulisan

Penelitian ini dirancang menjadi empat bab; bab pertama

mencakup penelitian tesis ini, permasalahan; (identifikasi,

pembatasan, dan perumusan masalah), dilanjutkan pemaparan

penelitian terdahulu yang relevan, tujuan penelitian, siginifikansi

penelitian, metodologi, dan sistematika logika penelitian. Bab

kedua berisi tentang kerangka konseptual, basis epistemologi

ilmu hadis, formulasi nalar ilmu hadis. Bab ketiga berbicara

tentang genealogi ilmu terminologi hadis dalam kontestasi

sejarahnya yang terangkum dalam tiga fase; fase pertama, fase

kelahiran dan pertumbuhan ilmu terminologi hadis, fase kedua

perkembangan ilmu terminologi hadis, ketiga penyempurnaan

ilmu terminologi hadis. Bab keempat menjelaskan progresivitas

terminologi-terminologi dalam ilmu hadis yang mencakup; term

sahih, hukum sahih, diskusi dan perdebatannya; term hasan dan

perdebatannya; diskursus term daif, pembagian khusus daif yang

terangkum dalam mardĂťd sebab gugurnya sanad dan cacatnya

rawi. Dan bab kelima tentang kesimpulan penelitian dan penutup.

Sistematika ini penulis rancang untuk memudahkan para

pembaca melihat dan memahami sejarah asal-usul munculnya

tem-term dalam ilmu hadis dari masa ke masa secara terstruktur

juga keterkaitan paham antara ulama hadis mutaqaddimĂŽn dengan

Page 47: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

31

ulama hadis muta’akhkhirîn terkait term-term tersebut hingga

menjadi mapan dan dijadikan rujukan umum di kalangan mereka.

Page 48: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

294

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis jelaskan

sebelumnya, maka penulis berkesimpulan:

1. Secara historis, term-term yang dijelaskan merupakan

dengan praktik-praktik yang perpanjangan dari praktik-

praktik yang pernah dilakukan Rasulullah saw. dan para

sahabatnya dalam menyikapi suatu berita atau hadis

dengan segala problematikanya. Inilah yang penulis sebut

dengan kesinambungan paham antara mereka dalam

merumuskan term-term tersebut pernah dilakukan

Rasulullah saw. dan para sahabatnya. Di antaranya: (1)

Ungkapan tashdĂŽq dan takdzĂŽb; kedua ungkapan tersebut

merupakan ungkapan dari praktik awal dalam menyikapi

suatu berita. Jika berita itu benar, maka dikatakan

shadaqta (engkau benar). Namun jika tidak benar, maka

dikatakan kadzabta (engkau dusta). Ungkapan tashdĂŽq

kemudian menjadi basis dalam merumuskan term-term

dalam kategori hadis yang diterima dengan membawahi

term shahĂŽh, hasan, shahĂŽh li ghairihĂŽ, hasan li ghairihĂŽ;

atau dalam ungkapan Imam asy-Syâfi’î (w. 204 h) disebut

dengan maqbĂťl al-khabar. Dan ungkapan takdzĂŽb

kemudian menjadi basis dirumuskannya term-term yang

masuk dalam kategori hadis yang tidak dapat diterima

dengan membawahi term daif beserta bagian-bagiannya;

atau dalam ungkapan Imam asy-Syâfi’î disebut dengan

mardÝd al-khabar. (2) Ungkapan seperti rajul shâlih

(orang yang saleh), ni’ma ar-rajul (sebaik-baik orang),

Page 49: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

295

dan bi’sa ar-rajul (seburuk-buruk orang); merupakan

ungkapan yang ditujukan untuk menilai keadaan

seseorang. Penilaian seperti ini kemudian memunculkan

term-term dalam ilmu hadis yang berkaitan dengan

penilaian baik (ini masuk kategori sahih atau hasan) dan

penilaian buruk (cacat) terhadap rawi (tha’n fî ar-râwî),

seperti term munkar, matrĂťk, mudhtharib. (3) Ungkapan

rajul (seorang laki-laki), imra’ah (seorang perempuan),

a’rabiy” (seorang Badui), atau sejenisnya, merupakan

ungkapan-ungkapan yang kemudian hari melahirkan term

dalam ilmu hadis yang disebut dengan al-jahâlah bi ar-

râwÎ (tidak diketahuinya sosok atau identitas seorang

perawi hadis). (4) Upaya pemeriksaan berita sebagaimana

dilakukan ‘Umar ra (w. 23 h) terhadap berita yang datang

dari tetangganya terkait rencana penyerangan pasukan

Gassan. Praktik ini kemudian memunculkan ilmu kritik

materi hadis (naqd matn al-hadĂŽts), apakah berita itu

selamat dari cacat (‘illat) atau terdapat cacatnya; yang

selanjutnya melahirkan term mu’all. (5) Praktik

pemberitaan terputus sebagaimana dilakukan para sahabat

muda; praktik seperti ini kemudian memunculkan term-

term dalam ilmu hadis kategori hadis-hadis yang ditolak

sebab gugurnya sanad, seperti term munqathi’, mu’dhal,

mursal, mu’allaq, mudallas. (6) Praktik penghadiran

saksi, pemberian bukti, dan sumpah sebagaimana

dilakukan khalifah yang empat; upaya-upaya mereka

kemudian melahirkan term dalam ilmu hadis yang disebut

syâwâhid dan tawâbi’; dan darinya kemudian lahir term

shahĂŽh li ghairihĂŽ dan hasan li ghaĂŽrihĂŽ. (7) Upaya

Page 50: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

296

pelurusan dan perbandingan riwayat sebagaimana yang

dilakukan sahabat ‘Umar ra. (w. 23 h) terhadap berita

yang datang dari Fâthimah binti Qais ra. terkait talak

suaminya. Kemudian yang dilakukan ‘Ā’isyah (w. 58 h)

terhadap berita yang datang dari ‘Umar ra. terkait

disiksanya mayit sebab tangisan seseorang. Setelah

dibandingkan dan diluruskan, ternyata berita-berita

tersebut tidaklah benar. Upaya ini kemudian melahirkan

term mukhâlafâh ats-tsiqât yang terbahas di dalamnya

term syâdz, mudhtharib, mudraj, maqlÝb, dan sebagainya.

2. Perdebatan mengenai term-term dalam ilmu hadis lebih

dominan disebabkan perbedaan mereka tentang batasan

makna (definisi) suatu term, apakah jâmi’ mâni’ atau

tidak. Seperti term sahih; perdebatan mengenai term ini

sebenarnya lebih kepada menentukan apakah batasan term

yang dikemukakan para ahli hadis mutaqaddimĂŽn, yakni

bersambungnya sanad (ittishâl as-sanad), adil dan dhâbith

itu dapat mengakomodir hadis-hadis yang banyak namun

masih satu tema (ahadÎts al-bâb) atau tidak. Ketika para

ahli hadis muta’akhkhirîn menemukan bahwa batasan itu

kurang sempurna, maka mereka menambahkannya dengan

tidak adanya syâdz dan ‘illat. Namun mereka sepakat

dengan ketiga syarat sebelumnya. Kemudian beberapa

ahli hadis ada yang menyamakan maksud term tertentu

dengan term yang lainnya. Seperti term mursal; di antara

ahli hadis mutaqaddimĂŽn ada yang menyamakannya

dengan dengan term munqathi’, yaitu Imam Abû Zur’ah

ar-RâzÎ (w. 264 H), Imam AbÝ Hâtim ar-RâzÎ (w. 277 H),

dan Imam ad-DâruquthnÎ (w. 385 h), dan dari ahli hadis

Page 51: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

297

muta’akhkhirîn yang menyamakannya adalah Imam al-

Baihaqî (w. 458 h). Ibnu Hajar al-‘Aqalânî (w. 852 h)

kemudian menjelaskan bahwa kata irsâl yang digunakan

ahli hadis mutaqaddimîn memang mencakup munqathi’

dan mursal. Mungkin ini yang membuat banyak ahli hadis

muta’akhkhirîn menyamakan munqathi’ dengan mursal.

Namun jika dilihat dari persamaannya, mereka sama-sama

memahami bahwa term itu masuk dalam kategori hadis

daif sebab gugurnya rawi. Di sisi lain, terdapat term yang

penggunaannya tidak seperti penggunaan umumnya ahli

hadis muta’akhkhirîn, seperti term maqthû’; yang dalam

pandangan Imam asy-Syâfi’î (w. 204 h) dan Imam ath-

Thabarânî (w. 360 h) adalah munqathi’. Penggunaan

maqthû’ dengan maksud munqathi’ tersebut dikarenakan

belum adanya istilah paten atau baku pada masa itu yang

menjelaskan keduanya secara independen. Karena itu, jika

menemukan istilah-istilah yang berbeda dengan definisi

atau maksud umumnya ahli hadis seperti ini, maka harus

dikembalikan kepada pencetusnya. Selain itu, menentukan

posisi hadis juga dominan dengan sebutan term di

dalamnya, seperti term hasan; kesimpulan penulis

mengenai perdebatan term ini lebih kepada menentukan

apakah hadis itu dikelompokkan ke dalam term hasan

murni (li dzâtihÎ), atau dikelompokkan ke dalam hasan

sebab dukungan faktor lain (eksternal) yang sama

kualitasnya atau yang lebih kuat (li ghairihĂŽ). Term-term

yang telah dijelaskan dan diformulasikan oleh para ahli

hadis itu sebenarnya untuk mendudukkan posisi hadis itu

sendiri. Oleh karena itu, term-term tersebut tidaklah

Page 52: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

298

muncul sebelum adanya suatu kasus, baik yang berkaitan

dengan sanad maupun matan. Di sisi lain, term-term yang

penulis jelaskan jelas tidak luput dari perbedaan, baik

perbedaan itu dari sisi definisi maupun penggunaannya.

Namun hasil penelitian ini menemukan bahwa perbedaan-

perbedaan itu ada yang mempengaruhi posisi atau hukum

hadis itu sendiri dan ada juga yang tidak. Perbedaan

definisi yang berpengaruh pada hukum dan posisi hadis di

antaranya definisi munkar yang digunakan oleh ahli hadis

mutaqaddimĂŽn dan definisi munkar yang digunakan oleh

ahli hadis muta’akhkhirîn dan munqathi’ yang dipahami

oleh Imam AbĂť Bakar al-BardĂŽjĂŽ (w. 301 h) dan yang

sepaham dengannya; dimana ia menggunakan term

tersebut untuk term maqthû’. Adapun perbedaan yang

tidak berpengaruh pada hukum dan posisi hadis, di

antaranya; term munqathi’ (selain yang dipahami Imam

al-Bardîjî), mu’dhal, dan lainnya yang dipahami berbeda

oleh ahli hadis mutaqaddimîn dan muta’akhkhirîn, hanya

perbedaan itu tidak mempengaruhi posisi hadis itu sebagai

yang dinilai daif sebab gugurnya sanad (saqth fÎ al-isnâd).

Perbedaan itu lebih kepada persoalan untuk membedakan

posisi term-term yang sama-sama terputus sanadnya.

Perlu diakui bahwa ada beberapa term yang dikategorikan

daif asalnya, tetapi jika term-term itu memiliki perangkat-

perangkat yang dapat memperkuatnya, maka hukumnya

dapat berubah menjadi sahih, seperti mursal, mu’allaq,

dan semua term yang tidak berkaitan dengan cacatnya

perawi, baik disebabkan karena dusta, tertuduh dusta,

fasik, dan berselisih dengan riwayat lain yang lebih

Page 53: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

299

tsiqah. Metodologi yang diformulasikan oleh kalangan

ahli hadis muta’akhkhirîn lebih selamat diikuti, karena

mereka telah mengkaji, memetakan, menertibkan, dan

menyimpulkan maksud-maksud ahli hadis mutaqaddimĂŽn

dengan cermat dan seksama. Meskipun dalam beberapa

sisi perbedaan itu tetap ada dan tidak dapat diabaikan.

B. Saran-saran

Perlunya pengkajian lebih lanjut mengenai term-term

yang penulis bahas dan juga term-term lainnya dalam ilmu hadis

terutama dalam kaitannya dengan sejarah. Bagaimanapun term-

term dalam ilmu hadis tidak pernah akan lepas dari sisi kajian

tersebut, bahkan ia sendiri selalu berbicara tentangnya. Sehingga

keagungan dan keluasan ilmu hadis dapat dirasakan langsung

oleh para pengkajinya yang memang dibangun oleh para ahlinya

dengan kecermatan dan kejelian yang luar biasa. Selanjutnya,

diskusi ilmiah, pembuatan karya, dan kajian-kajian terkait term-

term dalam ilmu hadis dari sisi tersebut harus lebih disemarakan

lagi baik secara offline maupun online. Penulis melihat sepertinya

masih kurang bahkan belum ada yang secara fokus membuat

karya atau mengkaji term-term dalam ilmu hadis dari sisi

tersebut. Penerimaan terhadap term-term dalam ilmu hadis secara

instan seringkali membuat para pengkaji kebingungan karena

banyaknya perbedaan ulama dalam memahami term-term yang

ada. Karena itu, kajian sejarah dalam ilmu ini menjadi penting

dan akan membantu para pengkaji mengetahui asal-usul mengapa

term-term tersebut muncul, siapa yang mencetuskannya, dalam

kondisi apa ia muncul, mengapa terjadi perbedaan dalam soal

definisi, dan mengapa antara ahli hadis satu dengan ahli hadis

Page 54: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

300

lain berbeda dalam menghukumi suatu hadis. Di sinilah penulis

kira urgennya kajian ini dari sisi sejarahnya. Semoga bermanfaat.

Page 55: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

301

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ashbahî, Mâlik bin Anas bin Mâlik bin Abî ‘Āmir Abû

‘Abdillâh al-Madanî, al-Muwathta’, Editor: Muhammad

Mushthafâ al-A’zhamî, Penerbit: Mu’assasah Zâyib bin

Sulthân Ālu Nahyân, 1425 H/2004 M.

Azami, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi dan Sejarah

Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2006 M.

___________, Manhaj an-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn, ar-

Riyâdh: Syirkah ath-Thibâ’ah al-‘Arabiyyah al-

MahdĂťdah, 1402 H/1982 M.

AbĂť ZahwĂť, Muhammad Muhammad, al-HadĂŽts wa al-

Muhadditsûn, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1984 M.

Anîs Ibrâhîm, dkk., al-Fihris al-Maûdhû’î li Majallat al-Majma’

al-Lughah al- ‘Arabiyyah, tp. t.th.

Al-Abnâsî, Abu Ishâq, asy-Syadzdza al-Fiyâh min ‘Ulûm Ibn

ash-Shalâh, tp. t.th.

Al-Anshârî, Ismâ’îl bin Muhammad bin Mâhî as-Sa’dî, at-Tuhfah

ar-Rabbâniyyah fî Syarh al-Arba’îna Hadîtsan an-

Nawâwiyyah, tp. t.th.

AbĂť Syuhbah, Muhammad bin Muhammad bin Suwailim, al-

Wasîth fi ‘Ulûm wa Mushthalah al-Hadîts, Penebit: Dâr

al-Fikr al-‘Arabî, tp. t.th.

Al-Baiqûnî, ‘Umar bin Muhammad, al-Manzhûmah al-

BaiqĂťniyyah, tp. t.th.

Al-Burnisî, Ahmad bin Ahmad al-Burnisî al-Maghribî, Qawâ’id

at-Tashawwuf ‘ala Wajh Yajma’ Baîna asy-Syarî’ah wa

al-HaqÎqah, Suria: Dâr al-BairÝtÎ,1424 H/2004 M.

Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ’îl, Shahîh al-Bukhârî, Tahqîq:

Musthafa DÎeb al-Bighâ, BeÎrÝt: Dâr Ibn KatsÎr al-

Yamâmah, 1407 H/1987 M.

Al-Baihaqî, Abû Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Alî, Sunan al-

Baihaqî al-Kubra’, Editor: Muhammad ‘Abd al-Qâdir

‘Atha’, Makkah al-Mukarramah: Maktabah Dâr al-Bâz,

1414 H/1994 M.

___________, Syu’b al-Imân, Editor: Muhammad as-Sa’îd

Zaghlûl, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1410 H.

Page 56: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

302

Al-Baghdâdî, Abû Bakar al-Khathîb, al-Jâmi’ li Akhlâq ar-Râwî,

Editor: MahmÝd ath-Thahhân, ar-Riyâdh: Maktabah al-

Ma’arif, 1403 H.

___________, Syaraf Ashshâb al-HadÎts, tp. t.th.

___________, al-Kifâyah fî ‘Ilm ar-Riwâyah, Tahqîq: Abû

‘Abdillâh as-Suraqî dan Ibrâhîm Hamdî al-Madanî, al-

MadĂŽnah al-Munawwarah, tp. t.th.

Bakkâr, Muhammad Mahmûd Ahmad, Bulûgh al-Āmâl min

Mushthalah al-HadÎts wa ar-Rijâl, Kairo: Dâr as-Salâm,

1433 H/2012.

Bûkhâtim, Maulâya ‘Alî, Musthalahât an-Naqd al-‘Arabî as-

Sîmiya’î al-Isykâliyat wa al-Ushûl wa al-Imtidâd,

Damaskus: Mansyûrât Ittihâd al-Kitâb al-‘Arab, 2005 M.

Ad-Darwîsy, Mâjid, al-Fawâ’id al-Mustamaddah min Tahqîqât

al-‘Allâmah ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah fî ‘Ulûm al-

HadÎts, BeirÝt: Dâr al-Imâm AbÎ HanÎfah Syirkah Dâr al-

Basyâ’ir al-Islâmiyah, 1426 H/2005 M.

Ad-Dâruquthnî, ‘Alî bin ‘Umar, Sunan ad-Dâruquthnî, Tahqîq;

Abdullâh Hâsyim, Beirût: Dâr al-Ma’rifah, 1386 H.

Ad-Dimyâthî, Abû Bakar Ibnu as-Sayyid Muhammad Syathâ’,

Hâsyiah I’ânah ath-Thâlibîn ‘alâ Hill Alfâzh Fath al-

Mu’în, tp. 1418 H/1997 M.

Adz-DzahabÎ, Muhammad bin Ahmad bin Utsmân, Tadzkirah al-

Huffâdz, Tahqîq: Zakariyyâ ‘Amîrât, Beirût: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmiyah, 1419 H/1998 M.

___________, Mîzân al-I’tidâl fî Naqd ar-Rijâl, Editor: ‘Alî

Muhammad al- Bajawî, Beirût: Dâr al-Ma’rifah, tp. t.th.

___________, Siyar A’lâm an-Nubalâ’, Beirût: Mu’assasah ar-

Risâlah, 1413 H/1993 M.

Al-Fayyûmî, Abû al’Abbâs Ahmad bin Muhammad bin ‘Alî, al-

Mishbâh al-MunÎr fÎ GharÎb asy-Syarh al-KabÎr, tp. t.th.

Al-Farâhidî, Abû ‘Abd ar-Rahmân Khalîl bin Ahmad, Kitâb al-

‘Ain, Editor: Mahdî al-Makhzûmî dan Ibrâhîm as-

Sâmirâ’î, Penerbit: Dâr wa Maktabah al-Hilâl, t.th.

Al-FâsÎ, Muhammad al-Hasan, al-Fikr as-SâmÎ fi TârÎkh al-Fiqh

al-Islâmî, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995 M.

Page 57: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

303

Al-GhurâbÎ, TârÎkh al-Firaq al-Islâmiyah, Mesir: Muhammad

‘Alî Shâbih, 1959.

Ebta Setiawan, Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1,1 2010 M.

Hasan, IbrâhÎm Hasan, TârÎkh al-Islâm, Kairo: Maktabah an-

Nahdhah al-Mishriyyah, 1964 M.

Humaid, Sa’ad bin ‘Abdullâh, Manâhij al-Muhadditsîn, Penerbit:

Dâr ‘Ulûm as-Sunnah, t.th.

‘Izz ad-Dîn, ‘Abd al-Hamîd bin Hibatullâh bin Muhammad bin

al-Husain bin AbÎ al-HadÎd, AbÝ Hâmid, Syarh Nahj al-

Balâghah, TahqÎq: Muhammad AbÝ al-Fadhl IbrâhÎm,

Mesir: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah ‘Isâ al-Bâbî al-

HalabĂŽ, 1378 H/1959 M.

Isma’il, Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi,

Jakarta: Bulan Bintang, 1428 H/2007 M.

‘Itr, Nûr al-Dîn, Manhaj an-Naqd fî Ulûm al-Hadîts, Damaskus:

Dâr al-Fikr, 1418 H.

Ibnu Sayyid an-Nâs, Muhammad bin ‘Abdullâh bin Yahyâ,

‘Uyûn al-Atsâr fî Funûn al-Maghâzî wa as-Siyar, Beirût:

Mu’assasah ‘Izz ad-Dîn, 1406 H/1986 M.

Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin Katsîr al-Qurasyî ad-

Dimasyqî, al-Bâ’îts al-Hatsîts fî Ikhtishâr ‘Ulûm al-

HadĂŽts, tp, t.th.

Ibnu ash-Shalâh, Abû ‘Amr ‘Utsmân bin ‘Abd ar-Rahmân asy-

Syahruzûrî, Muqaddimah Ibnu ash-Shalâh fî ‘Ulûm al-

Hadîts, Tahqîq: Shalâh Muhammad ‘Uwaidhah, Beirût:

Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006 M.

___________, Shiyânah ShahÎh Muslim min al-Ikhlâl wa al-

Ghalath wa HimâyatuhÝ min al-Isqâth wa as-Saqth,

Editor: Muwaffaq ‘Abdullâh ‘Abd al-Qâdir, Beirût: Dâr

al-Garb al-IslâmÎ, 1408 H.

Ibnu Taimiyyah, Majmû’ al-Fatâwâ, tp. t.th.

Ibnu Duraid, Jamharah al-Lughah, tp. t.th.

Ibnu ‘Abd al-Barr, Abû ‘Umar Yûsuf bin ‘Abdillâh an-Namirî

al-Qurthubî, Jâmi’ Bayân al-‘Ilm wa Fadhlihî, Tahqîq:

Abû ‘Abd ar-Rahmân Fawwâz Ahmad Zamralî, Penerbit:

Mu’assasah ar-Rayyân Dâr Ibnu Hazm, 1424 H/2003 M.

___________, al-Istî’âb fî Ma’rifah al-Ashhâb, tp. t.th.

Page 58: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

304

___________, at-Tamhîd Limâ fî al-Muwaththâ’ min al-

Ma’ânî wa al-Asânîd, Kairo: Mu’assasah al-

Qurthubah, t.th.

__________, al-Istidzkâr al-Jâmi’ li Madzâhib Fuqahâ’ al-

Amshâr, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000 M.

Ibnu Baththtâl, ‘Alî bin Khalaf bin ‘Abd al-Mâlik bin Baththâl al-

BakrÎ al-QurthubÎ, Syarh ShahÎh al-BukhârÎ li Ibn

Baththâl, Riyâdh: Maktabah ar-Rusyd, 1423 H.

Ibnu al-Atsîr, ‘Izz ad-Dîn Abû al-Hasan ‘Alî bin Muhammad bin

‘Abd al-Karîm, Usud al-Ghâbah fî Ma’rifah as-

Shahâbah, tp. t.th.

___________, Jâmi’ al- Ushûl fi Ahadîts ar-Rasûl, Tahqîq:

Basyîr ‘Uyûn, Beirût: Dar al-Fikr, tp. t.th.

___________, an-Nihâyah fÎ GharÎb al-HadÎts wa al-Atsar,

TahqÎq: Thâhir Ahmad az-ZâwÎ dan MahmÝd

Muhammad ath-ThanâhÎ, BeirÝt: al-Maktabah al-

‘Ilmiyah, 1399 H/1979 M.

Ibnu AbÎ Hâtim, AbÝ Muhammad bin AbÎ Hâtim Muhammad bin

Idrîs ar-Râzî, Muqaddimah al-Jarh wa at-Ta’dîl, tp. t.th.

___________al-Marâsîl, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, 1397 H.

Ibnu Qudâmah, Abû Muhammad ‘Abdullâh bin Ahmad bin

Qudâmah al-MaqdisÎ, Raudhah an-Nâzhir wa Jannah al-

Manâzhir, ar-Riyâdh: Jâmi’ah al-Imâm Muhammad bin

Sa’ûd, 1399 H.

Ibnu Fâris, Ahmad bin Fâris bin Zakariyyâ’, Mu’jam Maqâyis al-

Lughah, Tahqîq: ‘Abd as-Salâm Muhammad Hârûn,

BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1399 H/1979 M.

Ibrâhîm Musthafâ, dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, Tahqîq: Majma’

al-Lughah al- ‘Arabiyyah, Penerbit: Dâr ad-Da’wah, t.th.

Ibnu Hibbân, Muhammad bin Hibbân bin Ahmad AbÝ Hâtim at-

TamĂŽmĂŽ al-BustĂŽ, al-MajrĂťhĂŽn min al-MuhadditsĂŽn wa

adh-Dhu’afâ’ wa al-Matrûkîn, Tahqîq: Mahmûd Ibrâhîm

Zâyid, tp. t.th.

Ibnu Katsîr, Abû al-Fidâ’ Ismâ’îl bin ‘Umar, Tafsîr al-Qur’ân al-

‘Azhîm, Editor: Sâmî bin Muhammad Salamah, Makkah:

Dâr ath-Thayyibah, 1420 H/1999 M.

Page 59: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

305

Ibnu al-Jauzî, Jamâl ad-Dîn bin ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Alî, al-

Maûdhû’ât, Tahqîq: ‘Abd ar-Rahmân bin Muhammad

‘Utsmân, tp. 1386 H/1966 M.

Ibnu Jamâ’ah, Badr ad-Dîn Muhammad bin Ibrâhîm bin Sa’d

Allâh bin Jamâ’ah al-Mishrî, al-Minhal ar-Râwî fî

Mukhtashar ‘Ulûm al-Hadîts an-Nabawî, Tahqîq: Muhyî

ad-Dîn ‘Abd ar-Rahmân Ramadhân, Damaskus: Dâr al-

Fikr, 1406 H/1986 M.

Ibnu Qutaibah, ad-Dînawarî, Ta’wîl Mukhtalaf al-Hadîts, Editor:

Muhammad ZuhrÎ an -Najjâr, BeirÝt: Dâr al -Jail, 1393 H

/1972 M.

Ibnu Rajab, Abû al-Faraj ‘Abd ar-Rahmân bin Ahmad bin Rajab

al-Hanbalî, Syarh ‘Ilal at-Tirmidzî, Editor: Nûr ad-Dîn

‘Itr, dkk., tp. t.th.

Ibnu Daqîq al-‘Îd, al-Iqtirâh fî Fann al-Ishthilâh, tp. t.th.

Ibnu ‘Asâkir, Abû al-Qâsim bin ‘Alî al-Hasan Ibnu Hibatullâh

bin ‘Abdillâh asy-Syâfi’î, Târîkh Madînah Dimasyq,

BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1419 H/1998 M.

Ibnu Mandah, Muhammad bin Ishâq bin Muhammad bin

Mandah, Fadhl al-Akhbâr wa Syarh Madzâhib Ahl al-

Atsar wa HaqÎqah as-Sunan, ar-Riyâdh: Dâr al-Muslim,

1414 H.

Ibnu Hazm, al-Andalusi, al-Ihkâm fÎ UshÝl al-Ahkâm, Kairo: Dâr

al-HadĂŽts, 1404 H.

Khalîfah, Hâjî, Kasyf azh-Zhunûn ‘an Asmâ’ al-Kutub wa al-

FunĂťn, tp. t.th.

Khudhair, ‘Abd al-Karîm, Tahqîq ar-Raghbah fî Taudhîh an-

Nukhbah, tp. t.th.

Al-Mubârakfûrî, Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmân bin ‘Abd ar-

Rahîm, Tuhfah al-Ahwadzî bi Syarh Jâmi’ at-Tirmidzî,

Beirût: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.

Matsna, Mohammad HS. Orientasi Semantik az-Zamaksyari,

Jakarta: Anglo Media, 1427 H/2006 M.

Mahmûd, Abû Rayyah, Adhwâ ‘alâ as-Sunnah al-

Muhammadiyyah, Mesir: Dâr al-Mâ’arif, t.th.

Mahmûd, Ahmad Thahhân, dkk, Mu’jam al-Musththalahât al-

HadĂŽtsiyah, tp. t.th.

Page 60: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

306

Mahmûd, ‘Aidân Ahmad ad-Dailamî, Jarh ar-Ruwâh wa

Ta’dîlihim - al-Usus wa adh-Dhawâbith, Irak: Jâmi’ah

Baghdâd, tp. t.th.

An-NaisâbÝrÎ, AbÝ al-Husain Muslim bin al-Hajjâj, ShahÎh

Muslim, tp, t.th.

___________, Kitab at-Tamyiz, tp. t.th.

An-Nasâ’î, Abû ‘Abd ar-Rahmân Ahmad bin Syu’aib, Sunan an-

nasâ’î, tp. t.th.

Al-Qâdhî, Abû Thâlib, Tartîb ‘Ilal at-Tirmidzî al-Kabîr, tp. t.th.

Salâmah, Muhammad Khalaf, Lisân al-Muhadditsîn Mu’jam

Yu’nâ bi Syarh Mushthalahât al-Muhadditsîn al-

QadÎmah wa al-HadÎtsah wa RumÝzihim wa Isyârâtihim

wa Syarh Jumlah min Musykili ‘Ibârâtihim wa Gharîbî

TarâkÎbihim wa Nâdiri AsâlÎbihim, tp. t.th.

Shâlih, ShubhÎ, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, terj. Tim Pustaka

Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013 M.

Ash-Shan’ânî, Muhammad bin Ismâ’îl al-Amîr ash-Shan’ânî,

Subul as-Salâm Syarh BulÝgh al-Marâm, Mesir:

Mushthafâ al-BâbÎ al-HalabÎ, 1379 H/1960 M.

As-Sijistânî, Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy’ats, Sunan Abî

Dâwûd, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, tp. t.th.

___________, Risâlah AbÎ DâwÝd Ilâ Ahl Makkah wa Ghairihim

fÎ Washf SunanihÎ, TahqÎq: Muhammad ash-Shabbâgh,

Beirût: Dâr al-‘Arabiyyah, tp. t.th.

Asy-Syâfi’î, Muhammad bin Idrîs, al-Umm, Beirût: Dâr al-

Ma’rifah, 1393 H.

___________, ar-Risâlah, Editor: Ahmad Syâkir, tp. t.th.

Asy-Syaibânî, Ahmad bin Hanbal Abû ‘Abdillâh, al-Musnad,

Kairo: Mu’assasah Qurthubah, t.th.

Asy-Syarbînî, ‘Imâd as-Sayyid, Kitâbât A’dâ’ al-Islâm wa

Munâqasyatihâ, Mesir: Dâr al-Kutub al-Mishriyyah,

1422 H.

Asy-SyahrastânÎ, AbÝ Bakar, al-Milal wa an-Nihal, BeirÝt: Dâr

al-Ma’rifah 1404.

Asy-SyinqithÎ, Muhammad al-AmÎn, al-Mashâlih al-Mursalah,

Madînah: al-Jâmi’ah al-Islâmiyah al-Madînah al-

Munawwarah, 1410 H.

Page 61: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

307

Asy-Syaûkânî, Muhammad bin ‘Alî bin Muhammad, al-Fawâ’id

al-Majmû’ah fî al-Ahâdîts al-Maûdhû’ah, Tahqîq: ‘Abd

ar-Rahmân bin Yahyâ al-Mu’allimî, Beirût: al-Maktab

al-IslâmÎ, 1407 H.

___________, Irsyâd al-FuhÝl ilâ TahqÎq al-Haqq min

‘Ilm al-Ushûl, Editor: Ahmad ‘Azwîn ‘Inâyah, Damaskus: Dâr

al-Kitâb al-‘Arabî, 1419 H/1999 M.

___________, Nail al-Athâr min AhâdÎts Sayyid al-Akhyâr,

Penerbit: Irâdah ath- Thibâ’ah al-Munîrah, t.th.

At-Tirmidzî, Muhammad bin ‘Îsâ bin Sûrah bin Mûsâ bin adh-

Dhahhâk, Sunan at-TirmidzÎ, tp. t.th.

___________, al-‘Ilal ash-Shaghîr, Editor: Ahmad Muhammad

Syâkir, dkk., Beirût: Dâr Ihya’ at-Turâts al-‘Arabî, t.th.

Ath-ThabarânÎ, AbÝ al-Qâsim Sulaimân bin Ahmad bin AyyÝb,

al-Mu’jam al-Kabîr, Editor: Hamdî bin ‘Abd al-Majîd,

Penerbit: Maktabah al-’Ulûm wa al-Hikam, 1404 H.

Al-Qâsimî, Jamâl ad-Dîn, Qawâ’id at-Tahdîts min Funûn

Mushthalah al-Hadîts, Kairo: Dâr al-‘Aqîdah, 1425

H/2004 M.

Ash-Shan’ânî, Abû Ibrâhîm Muhammad bin Ismâ’îl, Taudhîh al-

Afkâr li Ma’ânî Tanqîh al-Andzâr, Beirût: Dâr al-Kutub

al-‘Ilmiyah, 1417 H/1997 M.

Al-Khathîb, Muhammad ‘Ajjâj, Ushûl al-Hadîts Ulûmuhû wa

MushthalahuhÝ, BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1427 H/2006 M.

___________, as-Sunnah Qabla at-TadwÎn, BeirÝt: Dâr al-Fikr,

1980 M.

Ath-Thahhân, MahmÝd, TaÎsÎr Mushthalah al-HadÎts BeirÝt: Dâr

al-Fikr, t.th.

Al-Qârî, Mullâ ‘Alî al-Qârî Nûr ad-Dîn Abû al-Hasan bin Sulthân

Muhammad, Syarhu Syarh Nukhbat al-Fikar fĂŽ

Musthalah Ahl al-Atsar, Tahqîq: ‘Abd al-Fattâh Abû

Ghuddah, dkk, BeÎrÝt: Dâr al-Arqâm, t.th.

___________, Syarh Musnad AbÎ HanÎfah, BeirÝt: Dâr al-Kutub

al-‘Ilmiyah, t.th.

___________, Mirqâh al-MafâtÎh Syarh Misykâh al-MashâbÎh,

tp. t.th.

Page 62: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

308

Al-Jurjânî, ‘Alî bin Muhammad bin ‘Alî, at-Ta’rîfât, Tahqîq:

Ibrâhîm al-Abyârî, Beîrût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1405

H.

Al-‘Asqalânî, Ahmad bin ‘Alî bin Muhammad bin Ahmad bin

Hajar, Nukhbat al-Fikar fĂŽ Musthalah Ahl al-Atsar,

Beirût: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arab, t.th.

___________, an-Nukat ‘alâ Kitâb Ibn ash-Shalâh, Madînah:

‘Imâdah al-Bahts bi al-Jâmi’ah al-Islâmiyah, 1404

H/1984 M.

___________, Lisân al-Mîzân, Beirût: Mu’assasah al-A’lamî,

1406 H/1986 M.

___________, TahdzÎb at-TahdzÎb, BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1404

H/1984 M.

___________, Nuzhah an-Nazhar fĂŽ TaudhĂŽh Nukhbat al-Fikar fĂŽ

Muhthalah Ahl al-Atsar, Editor: ‘Abdullâh bin

Dhaîfullah ar-Rahîlî, Riyâdh: Mathba’ah Sâfir al-

MadĂŽnah ar-Raqmiyyah, 1422 H.

___________, Ithrâf al-Musnid al-Mu’talî bi Athrâf al-Musnad

al-HanbalÎ, BeirÝt: Dâr Ibnu KatsÎr, Dâr al-Kalim ath-

Thayyib, t.th.

___________, Taghlîq at-Ta’lîq ‘ala Shahîh al-Bukhârî, Editor:

Sa’îd ‘Abd ar-Rahmân Mûsâ al-Qazafî, Beirût: Dâr

‘Ammâr al-Maktab al-Islâmî, 1405 H.

Al-Malîbârî, Hamzah ‘Abdullâh, al-Muwâzanah Baina al-

Mutaqaddimîn wa al-Muta’akhkhirîn fî Tashîh al-

Ahâdîts wa Ta’lîlihâ, Penerbit: Multaqâ’ Ahl al-Hadîts,

1422 H/2001 M.

___________,‘Ulûm al-Hadîts fî Dhau’ Tahthbîqât al-

MuhadditsÎn an-Nuqqâd, tp. t.th.

___________, al-Hadîts al-Ma’lûl Qawâ’id wa Dhawâbith, tp.

t.th.

___________, Ziyâdah ats-Tsiqah fÎ Kutub Mushthalah al-

HadĂŽts, tp. t.th.

Al-HalabÎ, Radhiya ad-DÎn Muhammad bin IbrâhÎm, Qafw al-

Atsar fî Shafwah ‘Ulûm al-‘Atsar, tp. t.th.

Al-Jurjânî, ‘Abdullâh bin ‘Adî bin ‘Abdullâh bin Muhammad

Abû Ahmad, al-Kâmil fî Dhu’afâ’ ar-Rijâl, Editor:

Page 63: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

309

Yahyâ Mukhtâr GhazâwÎ, BeirÝt: Dâr al-Fikr, 1409

H/1988 M.

Al-‘Irâqî, Zaîn ad-Dîn ‘Abd ar-Rahîm bin al-Husain, at-Taqyîd

wa al-Îdhâh Syarh Muqaddimah Ibn ash-Shalâh, al-

MadĂŽnah al-Munawwarah: al-Maktabah as-Salafiyyah,

1389 H/1969 M.

___________, Syarh at-Tabshirah wa at-Tadzkirah, Editor:

Mâhir YâsÎn al-Fahl al-Maulâ, tp. t.th.

As-Suyûthî, ‘Abd ar-Rahmân bin Abû Bakar, Tadrîb ar-Râwî bi

Syarh TaqrÎb an-NawâwÎ, Riyâdh: Maktabah ar-Riyâdh,

t.th.

Al-‘Alâ’î, Shalâh ad-Dîn Abû Sa’îd bin Khalîl, Jâmi’ at-Tahshîl

fî Ahkâm al-Marâsîl, Tahqîq: Hamdî ‘Abd al-Majîd,

Beirût: ‘Alam al-Kitâb, 1407 H/1986 M.

___________, al-Mukhtalithîn, Editor: Rif’at Fauzî ‘Abd al-

Muththallib dan ‘Alî ‘Abd al-Basîth Mazîd, Kairo:

Maktabah al-KhânijÎ, 1996 M.

An-Naisâbûrî, Abu ‘Abdillâh al-Hâkim, al-Madkhal Ilâ Kitâb al-

Iklîl, Tahqîq: Fu’âd ‘Abd al-Mun’im Ahmad, Iskandaria:

Dâr ad-Da’wah, tp. t.th.

Ash-Shan’ânî, Abû Bakar ‘Abd ar-Razzâq bin Hammâm,

Mushannaf ‘Abd ar- Razzâq, Editor: Habîb ar-Rahmân

al-A’zhamî, Beirût: al-Maktab al-Islâmî, 1403 H.

Ash-Shâyigh, Muhammad bin al-Hasan, al-Lamhah fÎ Syarh al-

Milhah, Editor: Ibrâhîm bin Sâlim ash-Shâ’idî, al-

MadĂŽnah al-Munawwarah, 1424 H/2004 M.

An-Nawâwî, Abû Zakariyyâ Yahyâ bin Syaraf, al-Majmû’ Syarh

al-Muhadzdzab, BeirÝt: Dâr al-Fikr, t.th.

___________, al-Adzkâr an-Nawawiyyah, BeirÝt: Dar al-Fikr,

1414 H/1994 M.

___________, at-Taqrîb wa at-Taîsîr li Ma’rifah Sunan al-Basyîr

an-NadzĂŽr fĂŽ UshĂťl al-HadĂŽts, tp. t.th.

Al-Khazrajî, Shafiy ad-Dîn Ahmad bin ‘Abdullâh al-Anshârî al-

Yamanî, Khulâshah Tahdzîb Tahdzîb al-Kamâl fi Asmâ’

ar-Rijâl, Editor: ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah, Beirût:

Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, 1416 H.

Al-Muhammadî, ‘Abd al-Qâdir, Mushthalah Hasan ‘Inda at-

TirmidzĂŽ, tp. t.th.

Page 64: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

310

Ash-Shiddieqi, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,

Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999 M.

Al-Jauharî, Ismâ’îl bin Hammâd, ash-Shahhâh Tâj al-Lughah wa

Shahhâh al-‘Arabiyyah, Tahqîq: ‘Abd al-Qâdir ‘Athâr,

Beirût: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyîn, 1407 H/1987 M.

Al-Ifrîqî, Ibnu Manzhûr al-Mishrî, Lisân al-‘Arab, Beirût: Dâr

Shâdir, t.th.

Al-Ja’barî, Burhân ad-Dîn Abû Ishâq Ibrâhîm bin ‘Umar, Rusûm

at-Tahdîts fî ‘Ulûm al-Hadîts, Tahqîq: Ibrâhîm bin Syarîf

al-MÎlÎ, BeirÝt: Dâr Ibn Hazm, 1421 H/2000 M.

Az-Zarqânî, Muhammad ‘Abd al-‘Azhîm, Manâhil al-‘Urfân fî

‘Ulûm Al-Qur’ân, Kairo: Mathba’ah ‘Îsâ al-Bâbî al-

HalabĂŽ, t.th.

Al-Ghazâlî, Abû Hâmid Muhammad bin Muhammad, Ihyâ’

‘Ulûm ad-Dîn, Beirût: Dâr al-Ma’rifah, t.th.

Asy-Sya’râwî, Muhammad Mutawallî al-Mishrî, Tafsîr asy-

Sya’râwî tp. t.th.

Al-Faîrûz Ābâdî, Muhammad bin Ya’qûb, al-Qâmûs al-Muhîth,

tp. t.th.

Al-‘Ainî, Badr ad-Dîn al-Hanafî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Shahîh

al-Bukhârî, Penerbit: Multaqâ’ Ahl al-Hadîts, 1427 H.

Abû Ya’lâ al-Qazwînî, al-Irsyâd fî Ma’rifah ‘Ulamâ’ al-Hadîts,

Editor: Muhammad Sa’îd ‘Umar Idrîs, Riyâdh: Maktabah

ar-Rusyd, 1409 H.

Abdul Majid Khan, Pemikiran Modern Dalam Sunnah

Pendekatan Ilmu Hadis, Jakarta: Kencana Prenda Media

Group, 2011 M.

As-Sakhâwî, Abû Bakar bin ‘Utsmân bin Muhammad, at-

Taûdhîh al-Abhar li Tadzkirah Ibn al-Mulqin fî ‘Ilm al-

Atsar, Penerbit: Maktabah Adhwa’ as-Salaf, 1418 H.

Al-‘Askarî, Abû Hilâl, Mu’jam al-Furûq al-Lughawiyyah,

Penerbit: Mu’assasah an-Nasyr al-Islâmî, 2000 M.

Az-Zabîdî, Abû al-Faidh Murtadhâ, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-

QâmÝs, Penerbit: Dâr al-Hidâyah, t.th.

Al-Kafawî, Abû al-Biqâ’ Ayyûb bin Mûsâ al-Qarîmî al-Husainî,

al-Kulliyyât Mu’jam al-Mushthalahât wa al-Furûq al-

Page 65: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

311

Lughawiyyah, Editor: ‘Adnân Darwîsy Muhammad al-

Mishrî, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, 1419 H/1998 M.

An-Naîsâbûrî, Abû ‘Abdillâh al-Hâkim, Ma’rifah ‘Ulûm al-

Hadîts, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1397 H.

Al-Kattânî, Muhammad bin Ja’far, ar-Risâlah al-Mustathrafah li

Bayân MasyhÝr Kutub as-Sunnah al-Mushannafah,

Beirût: Dâr al-Basyâ’ir al-Islâmiyah, 1406 H/1986 M.

Ar-Râzî, Fakhr ad-Dîn Abû ‘Abdillâh Muhammad bin ‘Umar bin

al-Hasan at-TaimÎ, at-TafsÎr al-KabÎr au MafâtÎh al-

Ghaib, tp. t.th.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim Muhammad bin AbĂť Bakar AyyĂťb,

I’lâm al-Muwaqi’în ‘an Rabb al-‘Alamin, Editor: Thâhâ

‘Abd ar-Rauf Sa’ad, Beirût: Dâr al-Jail, 1973 M.

Al-Jashshâsh, Ahmad bin ‘Alî ar-Râzî, al-Fushûl fî al-Ushûl,

Kuwait: Wazârah al-Auqâf wa asy-Syu’ûn al-Islâmiyah,

1985 M.

Al-‘Aunî, Hâtim bin ‘Ārif asy-Syarîf, Mabâhits fi Tahrîr Ishtilâh

al-Hadîts al-Mursal wa Hujjiyatihî ‘inda as-Sâdât al-

MuhadditsĂŽn, tp. t.th.

___________, at-TakhrÎj wa Dirâsah al-AsânÎd, tp. t.th.

___________, Nadwah ‘Ulum al-Hadîts, tp. t.th.

___________, al-Manhaj al-Muqtarah li Fahm al-Mushthalah,

tp. t.th.

Al-HalabÎ, Radhiya ad-DÎn Muhammad bin IbrâhÎm, Qafw al-

Atsar fî Shafwah ‘Ulûm al-‘Atsar, Editor: ‘Abd al-Fattâh

Abû Ghuddah, Penerbit: Maktabah al-Mathbû’ah al-

Islâmiyah, 1408 H.

Al-HakamÎ, Hâfidz bin Ahmad, DalÎl Arbâb al-Falâh li TahqÎq

Fann al-Mushthalah, tp. t.th.

Ābâdî, Muhammad Syams al-Haqq al-‘Azhîm, ‘Aun al-Ma’bûd

Syarh Sunan AbÎ DâwÝd, BeirÝt: Dâr al-Kutub al-

‘Ilmiyah, 1415 H.

Al-Luwaîhiq, ‘Abd ar-Rahmân bin Mu’allâ, al-Irhâb wa al-

Ghuluw, tp. t.th.

Az-Zamakhsarî, Abû al-Qâsim Mahmûd bin ‘Amr bin Ahmad,

Asâs al-Balâghah, tp. t.th.

Page 66: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

312

Al-Minâwî, Zain ad-Dîn Muhammad ‘Abd ar-Ra’ûf, al-Yawâqît

wa ad-Durar fĂŽ Syarh Nukhbat Ibn Hajar, Editor: al-

Murtadhâ az-Zain Ahmad, ar-Riyâdh: Maktabah ar-

Rusyd, 1999 M.

Al-Mursî, ‘Alî bin Ismâ’îl bin Sayyidah, al-Muhkam wa al-

Muhîth al-A’zham, Editor: ‘Abd al-Hamîd Hindâwi,

Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2000 M.

Al-Haitsamî, ‘Alî bin Abî Bakar bin Sulaimân, Ghâyah al-

Maqshad fî Zawâ’id al-Musnad, tp., t.th.

Al-Kattânî, Abû Ja’far, Nazhm al-Mutanâtsir min al-Hadîts al-

Mutawâtir, Beirût: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1400

H/1980 M.

Al-Mubârakfûrî, Abû al-Hasan ‘Ubadillâh bin Muhammad ‘Abd

as-Salâm bin Khân, Mir’âh al-Mafâtîh Syarh Misykâh al-

Mashâbîh, India: Idârah al-Buhûts al-‘Ilmiyah wa al-

Ifta’, 1404 H/1984 M.

Al-Bâjî, Abû al-Walîd Sulaimân bin khalaf bin Sa’ad Ibnu Ayyûb

al-Bâjî al-Mâlikî, at-Ta’dîl wa at-Tajrîh Liman Kharaja

‘anhu al-Bukhârî fî al-Jâmi’ ash-Shahîh, Editor: Ahmad

Bazzar, tp. t.th.

Al-Fayyâdh, Ahmad Ayyûb Muhammad ‘Abdullâh, Mabâhits fî

al-HadĂŽts al-Musalsal, tp. t.th.

Al-Jazâ’irî, Thâhir ad-Dimasyqî, Taujîh an-Nazhar Ilâ Ushûl al-

Atsar, Editor: ‘Abd al-Fattâh Abû Ghuddah, Halb:

Makatabah al-Mathbû’ah al-Islâmî, 1419 H/1995 M.

Al-Isybilî, Abû Muhammad ‘Abd al-Haqq, al-Ahkâm asy-

Syar’iyyah al-Kubrâ’, Tahqîq: Abû ‘Abdillâh Husain bin

‘Ukâsyah, Riyad: Makatabah ar-Rusyd, 1422 H/2001 M.

Al-Ghassânî, Abû ‘Alî al-Husain bin Muhammad Ahmad al-

JayânÎ, TaqyÎd al-Muhmil wa TamyÎz al-Musykil, Editor:

Muhammad AbĂť al-Fadhl, Maroko: al-Mamlakah al-

Maghribiyyah, 1418 H/1987 M.

Ad-Daqr ‘Abd al-Ghânî, Mu’jam al-Qawâ’id al-‘Arabiyyah,

Penerbit: Maktabah Misykah al-Islâmiyah, t.th.

As-Sakhâwî, Syams ad-Dîn Muhammad bin ‘Abd ar-Rahmân,

Fath al-MughÎts Syarh Alfiyah al-HadÎts, BeirÝt: Dâr al-

Kutub al-‘Ilmiyah, 1403 H.

Page 67: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

313

__________, al-Ghâyah fî Syarh al-Hidâyah fî ‘Ilm al-Atsar,

Editor: Abû ‘A’isy ‘Abd al-Mun’im Ibrâhîm, Penerbit:

Maktabah Aulâd asy-Syaikh li at-Turâts, 2001 M.

As-Sayyid, Jamâl bin Muhammad, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah wa

JuhĂťduhĂť fĂŽ Khidmah as-Sunnah an-Nabawiyyah wa

‘Ulûmihâ, al-Madînah al-Munawwarah: al-Jâmi’ah al-

Islâmiyah, 1424 H/2004 M.

As-Sibâ’î, Musthafâ, as-Sunnah wa Makânatuhâ fî at-Tasyrî’, tt:

Dâr al-Wariq al-Maktab al-IslâmÎ, 2000 M.

Al-Harbî, Sulaimân bin Khâlid, al-Kawâkib ad-Durriyyah ‘alâ

al-ManzhĂťmah al-BaiqĂťniyyah, tp. t.th.

Al-AzharĂŽ, TahdzĂŽb al-Lughah, tp. t.th.

Al-Anshârî, ‘Abdullâh bin ‘Amr Sirâj ad-Dîn ‘Umar, al-Muqni’ fî

‘Ulûm al-Hadîts, Makkah: Dâr Fawwâz, 1413 H.

Al-Maûlâ, Mâhir Yâsîn Fahl, Atsar ‘Ilal al-Hadîts fî Ikhtilâf al-

Fuqahâ’, Penerbit: Jâmi’ah Shadâm li al-‘Ulûm al-

Islâmiyah, 1420 H/1999 M.

Al-Qurthubî, Abû ‘Abdillâh Syams ad-Dîn, al-Jâmi’ li Ahkâm Al-

Qur’ân, Editor: Hisyâm Samîr al-Bukhârî, Riyâdh: Dâr

‘Ālam al-Kutub 1423 H/2003 M.

Ath-Thabarî, Muhammad bin Jarîr, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl Al-

Qur’ân, Editor Ahmad Muhammad Syâkir, Beirût:

Mu’assasah ar-Risâlah 1420 H/2000 M.

Thahhân, Mahmûd Ahmad, dkk., Mu’jam al-Mushthalahât al-

Hadîtsiah, Kuwaît: Jâmi’ah al-Kuwaît, t.th.

Ummu al-Laits, al-As’ilah as-Saniyyah, tp. t.th.

‘Umar Ridhâ Kahâlah, Mu’jam al-Mu’allifîn, Beirût: Dâr Ihyâ’

at-Turâts al‘Arabî, tp. t.th.

Yaqub, Ali Mustafa, Kritik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004

M.

Az-Ziriklî, Khair ad-Dîn bin Mahmûd, al-A’lâm, t.t. tp. t.th.

Page 68: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

331

BIODATA PENULIS

Ali Moh Al Hudhaibi lahir di Garut, Jawa Barat. Ia putra pertama

pasangan Bapak KHR. Deden Abdul Hakiem dan Ibu Dra. Hj.

Een Juhairiah, M.Pd.I. Memiliki seorang istri bernama, Siti

Mu’awanah, S.Sos., Lc., M.Sos., dan tiga orang anak bernama,

Fawwaz Fajrurrahman Hakiem, Mumtaz Hakiem Mubarak,

Sahnaz Sayeda Auliya Hakiem. Kini ia tinggal di Perumahan

Dosen Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences,

Ciputat, Tanggerang Selatan; sebuah institusi berbasis hadis yang

didirikan oleh (alm) Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

Pendidikan dasarnya dimulai dari MI. al-Khairiyah Garut.

Selain sekolah formal di sekolah tersebut, ia juga mulai

diperkenalkan sejak dini oleh orang tuanya tentang ilmu-ilmu

kepesantrenan, seperti ilmu Nahu, Saraf, fikih, dan lainnya, di

pesantren yang diasuh dan dikelola sendiri oleh orang tuanya.

Setamatnya dari sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan

menengah pertamanya di MTs. Sunan Pandanaran Yogyakarta,

hingga menengah atasnya, yaitu Madrasah Aliyah Keagamaan

(MAK) Sunan Pandanaran; almamater yang sama. Selain itu, ia

juga berkesempatan langsung mulâzamah dan menimba ilmu dari

Pendiri dan Pengasuh Pesantren tersebut, yakni Hadhratussyaikh

KH. M. Mufid Mas’ud al-Hâfizh, khususnya tahfizh Alquran.

Kepada beliau ia merampungkan seluruh hafalan Alqurannya.

Setamatnya dari sana, ia melanjutkan pendidikan Strata

Satu (S1) di Universitas Negeri Islam (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta, mengambil Fakultas Dirasat Islamiyah. Pada saat yang

sama, ia juga menimba ilmu di Darus-Sunnah International

Institute for Hadith Sciences Ciputat, asuhan (alm) Prof. Dr. KH.

Ali Mustafa Yaqub, MA. Kepada ahli hadis tersebut, ia belajar

langsung kutub as-sittah, tadrÎb ar-RâwÎ, thuruq fahm al-hadÎts,

takhrÎj wa dirâsat al-asânÎd, dan pustaka-putaka ilmu keagamaan

lainnya, khususnya hadis dan ilmu hadis. Ia lulus dari Darus-

Sunnah dengan predikat, al-fâiz al-awwâl; terbaik pertama.

Selain itu, ia juga banyak mendapat ijazah kitab dan hadis

dari para ulama, di antaranya kitab al-Muwaththâ’ karya Imam

Mâlik bin Anas (w. 179 h) dari Syaikh Dr. Muhammad bin ‘Abd

ar-Razzâq Aswad (Damam, Saudi Arabia), kemudian al-Arba’în

HadĂŽtsan al-Nawawiyyah karya Imam an-NawawĂŽ (w. 676 h), al-

HadĂŽts al-Musalsal bi al-Mahabbah, al-HadĂŽts al-Musalsal bi al-

Awwaliyyah dari Syaikh Dr. Hisyâm Kâmil Mûsâ asy-Syâfi’î al-

AzharÎ (Mesir), kemudian BulÝgh al-Marâm min Adillah al-

Ahkâm karya Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalânî (w. 852 h) dari

Maulânâ asy-SyarÎf Dr. dr. YusrÎ RusydÎ al-Sayyid Jabr al-HasanÎ

Page 69: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

332

(Mesir) dan Syaikh KH. Ahmad Marwazie al-Batawie; murid

langsung Syaikh Yâsîn bin ‘Îsâ al-Fâdânî al-Makkî (w. 1410 h);

dari beliau juga penulis banyak mendapat sanad hadis musalsal,

kemudian al-Arba’în al-Ghumâriyyah fî Syukr an-Ni’am dari al-

Muhaddits Syaikh Dr. ‘Abd al-Mun’im bin ‘Abd al-‘Azîz al-

Ghumârî (Maroko), kemudian asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah

karya Imam al-TirmidzÎ (w. 279 h) dari Syaikh Dr. AmÎn Sâlim

al-KurdÎ (AmÎn al-Fatwâ Libanon). Juga beberapa ijazah wirid

dan selawat, di antaranya Dalâ’il al-Khairât wa Syawâriq al-

Anwâr fî ash-Shalât ‘alâ an-Nabiy al-Mukhtâr karya Imam

Muhammad bin Sulaimân al-JazÝlÎ (w. 870 h), Hizb an-Nashar

(Hizb al-Saif) karya Imam AbÝ al-Hasan al-SyâdzilÎ (w. 656 h),

dan beberapa ijazah selawat, seperti TunjÎna, Kâmilah, Thibb al-

Qulûb, Ilqa’ al-Ru’b, Ibrâhîmiyyah, Qamar al-Wujûd, al-Fâtih

dari KH. Muhammad Mufid Mas’ud al-Hâfizh (Yogyakarta);

kemudian Râtib al-Haddâd karya al-Habîb ‘Abdullâh bin ‘Alwî

al-Haddâd (w. 1132 h) dan wirid al-Asmâ’ al-Husnâ dari Dr. KH.

Mu’tashim Billah (Yogyakarta); kemudian Hizb al-Bukhârî karya

Imam al-BukhârÎ (w. 256 h) dari Syaikh KH. Achmad Chalwani

Nawawi (Mursyid TQN dari Purworejo, Jawa Tengah); Aurâd al-

istighfâr wa ash-shalawât wa at-tahlÎl dari Syaikh Prof. Dr.

Wahbah Musthafâ az-ZuhailÎ (Syiria) dan Maulânâ asy-Syaikh

asy-SyarĂŽf Dr. dr. YusrĂŽ RusydĂŽ al-Sayyid Jabr al-HasanĂŽ (Mesir).

Semenjak menimba ilmu di Sunan Pandanaran, ia telah

banyak menorehkan prestasi, khususnya di bidang khithâbah dan

musâbaqah hifzh al-Qur’ân (mulai dari 1 juz tilawah, 5 juz

tilawah, 10 juz, 20 juz, 30 juz, hingga tafsir Indonesia 30 juz).

Hal itu telah ia ikuti mulai dari tingkat kabupaten, provinsi,

nasional, hingga internasional, dan tak jarang mendapat peringkat

pertama. Adapun semenjak menimba ilmu di Darus-Sunnah, ia

pernah mendapat kepercayaan dari (alm) Prof. Dr. KH. Ali

Mustafa Yaqub, MA. untuk berdakwah di Papua dan Malaysia.

Safari dakwah di Papua sudah dilakukannya sebanyak lima kali.

Ia juga tiga kali berturut-turut mendapat undangan safari dakwah

dan imam selama Ramadan di Toronto, Kanada, Amerika Utara.

Undangan tersebut datang dari Canadian Centre for Deen Studies

dan Sayeda KHADIJA Centre pimpinan Prof. Dr. Hamid Slimi.

Saat ini, selain aktif sebagai dosen ‘ulûm al-hadîts, ‘ulûm

al-Qur’ân, ilmu tafsir, ilmu tajwid, tahfizh Alquran, dan Akidah

di Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences,

Ciputat, ia juga mengajar tafsir ayat ahkam dan tahfizh Alquran

di Madaris Darus Sunnah Ciputat, ia juga mengajar tahfizh

Alquran, ilmu tajwid, hadis dan ilmu hadis di Yayasan Pesantren

Raudhatul Makfufin Pamulang, juga tercatat sebagai Pembina

Page 70: SEJARAH TERMINOLOGI-TERMINOLOGI DALAM ILMU HADIS

333

Yayasan Pesantren Sukaraja Garut, dan Ketua Komite Sekolah

Menengah Kejuruan Plus Sukaraja Garut, ia juga menjadi imam

tetap di Masjid Al-Jami’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan

imam serta khathib di beberapa masjid sekitar Jabodetabek, juga

mengajar hadis beberapa majelis taklim sekitar Jabodetabek, ia

juga mendirikan majelis khusus para penghafal Alquran yang

diberi nama, Majelis Alif Lam Mim li Tahfidzil Qur’anil Karim.

Karya tulisnya yang sudah terpublikasi: Catatan Dakwah

di Kanada (2017), Lembaga Penghapus Dosa (2017), Mutiara

Cinta dari Sang Mustafa (2018). Ia dapat dihubungi melalui

email [email protected], twitter @ali_hudaibi, FB Ali

Hudaibi, instagram @alihudaibi, blog alihudaibi.wordpress.com.