38
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi SM adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi, obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit makrovasculer. Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin (RI), dislipidemia dan hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM memiliki definisi yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa komplikasi 8,9 SM dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama yaitu pada tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan hiperglikemia. Yang kemudian SM pertama kali dijelaskan oleh Jean Vague pada tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan abnormalitas metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald Phillips menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan manifestasi klinis, yang sekarang disebut SM dan dihubungkan dengan penyakit

sindrom metabolik

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sindrom metabolik

Citation preview

  • 3

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi

    SM adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah tinggi,

    obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa hiperglikemik. Ketika

    kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu orang, maka

    orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit makrovasculer.

    Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda, namun seluruh

    kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin (RI), dislipidemia dan

    hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM memiliki definisi

    yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali sedini mungkin

    gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam beberapa

    komplikasi 8,9

    SM dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama yaitu pada

    tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi dan

    hiperglikemia. Yang kemudian SM pertama kali dijelaskan oleh Jean Vague pada

    tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan abnormalitas

    metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald Phillips

    menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan dengan

    manifestasi klinis, yang sekarang disebut SM dan dihubungkan dengan penyakit

  • 4

    jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan hipertensi,

    hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan trigliserida, dan kolesterol HDL

    yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang akhirnya

    pada tahun 1998 the World Health Organization (WHO) mengajukan nama

    metabolic sindrom yang didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih abnormalitas

    metabolik (pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan 2 atau lebih faktor-

    faktor dibawah10

    :

    1) Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >140 / >90 mmHg

    2) Trigliserida 150 mg/dL

    3) HDL 0.85 pada wanita

    5) Mikroalbuminuria

    Namun kebanyakan menggunakan defInisi yang telah ditetapkan oleh WHO

    and NCEP ATP III. Organisasi ini menganggap bahwa SM merupakan faktor

    risiko penyakit kardiovaskuler disamping peningkatan kadar kolesterol low

    density lipoprotein (LDL). Dislipidemia aterogenik (protrombotik state), RI,

    hipertensi, obesitas abdominal dan peningkatan marker inflamasi dianggap

    sebagai karakteristik yang menyolok dari SM11

    .

  • 5

    2.2 Epidemiologi

    Prevalensi SM bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan dan

    populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari The Third National Health and

    Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi SM (dengan

    menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada laki-laki kulit

    hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi SM meningkat dengan

    bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk Amerika yang

    berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai berat badan

    lebih atau gemuk, diperkirakan SM melebihi merokok sebagai faktor risiko primer

    terhadap penyakit kardiovaskular. Di Indonesia sendiri dilakukan penelitian yang

    dilakukan Semiardji pada pekerja PT. Krakatau steel didapatkan prevalensi

    sebesar 15,8% pada tahun 2005 dan meningkat sebesar 19,7% pada tahun 2007.

    Hal ini meningkat dengan adanya pengaruh gaya hidup yang cenderung kurang

    dalam aktifitas fisik dan makanan siap saji dan berlemak12

    .

    Gambar 1. Prevalensi SM: NHANES III berdasarkan umur. (Amy Z. Fan.

    Etiology of the Metabolic Syndrome. Current Cardiology Review

    2007)

  • 6

    Gambar diatas diperoleh dari NHANES survey yang dikumpulkan dari

    tahun 1988-1992. Prevalensi SM tertinggi ditemukan pada Hispanic women.

    WHO juga memperkirakan SM banyak ditemukan pada banyak kelompok etnis

    tertentu termasuk beberapa etnis di Asia Pasifik, seperti India, Cina, Aborigin,

    Polinesia dan Micronesia. Penelitian WHO Monica oleh Marques-Vidal, dkk. di

    Perancis menemukan prevalensi pada pria (23%) dan terbanyak ditemukan pada

    kelompok usia antara 55-64 tahun, yaitu pria 34% dan wanita 21%12

    .

    Gambar 2. Prevalensi SM berdasarkan NCEP: NHANES III berdasarkan jenis

    kelamin dan ras/etnis. (Amy Z. Fan. Etiology of the Metabolic

    Syndrome. Current Cardiology Review 2007)

    Di Asia prevalensi SM bervariasi di tiap Negara berturut-turut adalah 13,3%

    di China, Taiwan (15, 1%), Palestina dan Oman Masing-masing 17%, Vietnam

    (18,5%), Hongkong (22%), India (25,8%), Korea (28%), iran (30%) (IDF, 2006).

    Hasil penelitian Park et al (2004) terhadap orang dewasa Korea Selatan diperoleh

    bahwa prevalensi SM meningkat sesuai dengan perkembangan umur dimana pada

    perempuan prevalensinya meningkat pada umur 50 tahun. Menopause merupakan

    White

    African American Mexican American

    other

    0%

    10%

    20%

    30%

    40%

  • 7

    faktor yang berkontribusi pada peningkatan ini. Pada tabel 1 dapat dilihat

    beberapa prevalensi SM yang menggunakan kriteria WHO8.

    Tabel 1. Prevalensi SM menggunakan kriteria WHO. (WHO. Obesity: Preventing

    and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)

    Negara Kelompok

    Umur (Th)

    Prevalensi (%)

    Pria Wanita

    India 20-75 36,4 46,5

    Iran >20 24,0 42,0

    Mexico 20-69 Total 26,6

    Skotlandia 45-64 26,2 -

    Turki >31 27,0 38,6

    Australia >24 19,5 17,2

    Maunitius >24 10,6 14,7

    Perancis 30-64 10,0 7,0

    Amerika Serikat

    (Amerika asli)

    45-49 43,6 56,7

    Amerika Serikat

    (Filipina Amerika) 50-69 - 34,5

    Amerika serikat

    (Ford, dkk)

    >19 24,2 23,5

    Amerika Serikat

    (meigs, dkk)

    30-79 26,9 21,4

    Amerika Serikat

    (Non-hispanic)

    30-79 24,7 21,3

    Amerika serikat

    (Meksiko-Amerika)

    30-79 29,0 32,8

    Di Indonesia, prevalensi SM terus meningkat seiring dengan perubahan

    pola dan taraf hidup. Data dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI)

    menunjukkan prevalensi SM sebesar 13,13%. Penelitian di Makassar yang

    melibatkan 330 orang pria berusia antara 30-65 tahun dan menggunakan kriteria

    NCEP ATP III dengan ukuran lingkar pinggang yang disesuaikan untuk orang

    Asia (menurut klasifikasi usulan WHO untuk orang dewasa, yaitu 90 cm untuk

    pria dan 80 cm untuk wanita) ditemukan prevalensi sebesar 33,9 %. Prevalensi

  • 8

    lebih tinggi yaitu sebesar 62,0 %, ditemukan pada subyek dengan obesitas

    sentral4,13

    .

    Tabel 2. Prevalensi SM menggunakan kriteria NCEP ATP III. (WHO. Obesity:

    Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)

    Negara Kelompok

    Umur (Th)

    Prevalensi (%)

    Pria Wanita

    Australia >35 25,2 16,7

    Inggris (Balkau, dkk) 40-65 >44,8 >33,9

    Inggris (Balkau, dkk) 40-75 >12,6 >13,3

    Perancis (Balkau, dkk) 30-65 >23,5 >9,6

    Perancis (Marques-Vidal, dkk) 35-64 23,0 12,0

    Belanda 20-60 >19,2 >7,6

    Mauritius >24 20,9 17,6

    Amerika serikat (Ford, dkk) 40-74 41,3 32,7

    Amerika Serikat (meigs, dkk) 30-79 30,3 18,1

    Amerika Serikat (Non-hispanic) 30-79 24,7 17,2

    Amerika serikat (Meksiko-

    Amerika)

    30-79 32,0 28,3

    2.3 Etiologi

    Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan

    bahwa penyebab primer dari SM adalah RI14

    .

    Menurut pendapat Tenebaum penyebab SM adalah15

    :

    a. Gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk mengkompensasi

    resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi makrovaskuler

    (Misalnya komplikasi jantung)

    b. Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi insulin,

    sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan komplikasi

    mikrovaskuler (Misalnya nephropathy diabetica).

  • 9

    Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah RI. RI

    berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat ditentukan dengan

    mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan antara RI dan PKV

    diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang menimbulkan disfungsi

    endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan pembentukan atheroma.

    Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang mendasari terjadinya obesitas

    sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu yang mengalami kadar kortisol

    dalam serum (yang disebabkan oleh stress kronik) mengalami obesitas sentral, RI

    dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa ketidakseimbangan aksis

    hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stress akan menyebabkan

    terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan infark miokard15

    .

    Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan tingginya

    akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak visceral. Salah

    satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah terjadinya pembesaran

    sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi produk-produk

    metabolik diantaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan, peptida inflamasi, dan

    angiotensinogen. Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan asam lemak

    bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit metabolik

    seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan hipertensi7,16

    .

    2.4 Faktor Risiko

    Faktor risiko untuk SM adalah hal-hal dalam kehidupan yang dihubungkan

    dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam faktor risiko

  • 10

    SM, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol, rokok, dan

    aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik serta stres17

    .

    2.4.1 Gaya hidup

    Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama SM tak

    lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, pola konsumsi yang

    tidak seimbang, studi yang dilakukan oleh Research Triangle institute

    International, dan dibiayai oleh CDC's Division of Nutrition and Physical

    Activity menggunakan latar belakang data dari survei nasional di Amerika

    yang dilakukan 1980 dan 1990 ternyata menunjukkan hubungan prevalensi

    obesitas/berat badan lebih dan jumlah jam yang dipakai anak-anak untuk

    nonton televisi17

    .

    Merebaknya restoran cepat saji turut menyumbang peningkatan berbagai

    penyakit. Makanan cepat saji jarang menyajikan makanan berserat. Menu

    yang tersaji cenderung banyak mengandung garam, lemak dan kolesterol.

    Konsumsi lemak Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi energi

    pertahun dan 18,7% tahun 1990)(Badan pusat statistik). Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk (99%) umur 15 tahun ke atas

    kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Lebih banyak penduduk kurang

    beraktivitas (84,9%) dibanding yang tidak beraktivitas (9,1%)17

    .

    Hasil penelitian Esmaillzadeh (2006) di Tehran Iran diperoleh bahwa

    konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko kejadian

  • 11

    sindrom metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi buah

    dengan rendahnya kadar kolesterol HDL. Studi cross sectional lain pada

    dewasa muda menunjukkan bahwa seseorang dengan SM secara signifikan

    memiliki konsumsi sayur dan buah yang rendah dibanding yang tidak

    memiliki risiko metabolik17

    .

    Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan dengan

    penurunan insiden beberapa kelainan metabolik seperti hipertensi, diabetes,

    obesitas dan juga penyakit jantung dan kanker kolon. Konsumsi gula dengan

    pemanis yang rendah energi atau karbohidrat kompleks direkomendasikan

    dalam mengurangi intake energi dan menurunkan berat badan11,18

    .

    Tubuh membutuhkan serat. Dalam saluran pencernaan, serat larut

    mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian dikeluarkan

    bersama tinja. dengan demikian makin tinggi konsumsi serat larut (tidak

    dicerna, namun dikeluarkan bersama feses), akan semakin banyak asam

    empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Dalam hal ini serat

    membantu mengurangi kadar kolesterol dalam darah. Serat larut air

    menurunkan kadar kolesterol darah hingga 5% atau lebih. Serat larut yang

    terdapat dalam buah-buahan, sayuran, biji-bijian (gandum), dan kacang-

    kacangan. Pektin (serat larut air dari buah) dapat menurunkan kadar kolesterol

    LDL18

    .

    Banyak studi menyebutkan bahwa pentingnya konsumsi sayur dan buah

    terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah dapat

    mengurangi risiko SM melalui kombinasi dari antioksidan, serat, potassium,

  • 12

    magnesium dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah

    dihubungkan dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner. Konsumsi

    sayur dan buah menurunkan risiko penyakit jantung melalui penurunan

    konsentrasi C-reactive protein (CRP) yang merupakan marker inflamasi.

    Dalam penelitian ini pula ditunjukkan bahwa konsumsi dari DASH (Dietary

    Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain diet kaya sayur dan buah,

    memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian SM. Esposito et al

    menunjukkan bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan sayur,

    menurunkan marker inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi 5 porsi

    sayur dan buah sehari direkomendasikan untuk mengurangi risiko penyakit

    kronis17

    .

    Sayur dan buah adalah sumber dari berbagai nutrient seperti vitamin,

    mineral, serat dan berbagai jenis biological active. Biological active Ini

    dikenal dengan fitokimia yang termasuk sebagai antioksidan, menurunkan

    agregasi platelet dan metabolisme kolesterol serta menurunkan tekanan

    darah19

    .

    Suatu studi epidemiologi mengevaluasi hubungan antara aktivitas fisik

    dan prevalensi SM yaitu ATTICA Study. Hasilnya menunjukkan bahwa

    aktivitas fisik waktu senggang ringan hingga sedang (mengeluarkan < 7

    kcal/min ) dihubungkan dengan prevalensi SM pada 3042 laki-laki dan wanita

    dari populasi umumnya. The Center for Diseases Control and Prevention and

    America College of Sport Medicine merekomendasikan aktivitas fisik dengan

  • 13

    intensitas sedang sedikitnya 30 menit. Kadar aktivitas ini dapat ditoleransi

    oleh dewasa muda maupun yang tua11

    .

    Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan terhadap

    tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa exercise pada

    level moderate dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien

    dengan hipertensi esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik juga

    memberikan efek yang signifikan terhadap kadar lipid darah. The Pawtucket

    Hearth Study grup melaporkan bahwa aktivitas fisik berhubungan signifikan

    dengan peningkatan kadar HDL kolesterol11

    .

    Dalam hubungannya dengan tekanan darah, penelitian yang dilakukan

    oleh Paffenbarger di Amerika Serikat terhadap kelompok mahasiswa

    menemukan bahwa insiden hipertensi 20 hingga 40% lebih rendah pada

    mereka yang melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5 jam per minggu

    daripada mereka yang kurang aktif20

    .

    Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya

    penyakit kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research Program

    Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang atau

    lebih perhari mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk laki-laki dan 14

    % untuk perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok21

    .

    Berdasarkan penelitian kohort Dede Kusmana selama 13 tahun di

    Jakarta, prevalensi perokok pada tahun 1988 pada pria Indonesia cukup tinggi

    yaitu 65,6 % dan 8,9 % pada wanita, disamping yang sudah dikeluarkan

    sebesar 15.3 % dan 0.7 % secara berturut-turut. Kebiasaan merokok dimulai

  • 14

    pada usia 8 tahun dan yang paling tertua 50 tahun. Jumlah rokok yang

    dikonsumsi mulai dari 1-9 batang sampai lebih dari 36 batang perhari. Rokok

    kretek merupakan pilihan pertama dibandingkan dengan jenis rokok lainnya.

    Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler secara signifikan 3 kali lebih besar

    pada orang yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak merokok,

    dan juga 3 kali lebih besar pada orang yang merokok kretek22

    .

    Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang dihisap,

    bukan lamanya waktu seseorang telah merokok. Orang yang merokok > 20

    batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama

    risiko (hipertensi dan hiperkolesterol)21

    .

    Hasil penelitian Neunteufl et al (2002) menunjukkan bahwa nikotin

    meyebabkan disfungsi endotel akut pada perokok jangka panjang. 1 mg

    nikotin menyebabkan disfungsi endotel di arteri brachial pada perokok kronis.

    Merokok sigaret menyebabkan konstriksi immediate arteri koroner epicardial

    dan peningkatan resistensi vessel tone di arteri koroner meskipun kebutuhan

    oksigen miokardial meningkat. Mekanisme merokok menyebabkan disfungsi

    endotel terungkap. Stress oksidatif memediasi efek yang kurang baik dari

    rokok yang mengandung banyak radikal bebas seperti radikal superoxide

    anion dan hidroksil yang menurunkan NO (nitrit oksida) yang dilepaskan dari

    endotelium. Nikotin menyebabkan disfungsi endotel dengan peningkatan

    oksidatif stress21

    .

  • 15

    Studi eksperimental yang baru juga menunjukkan bahwa merokok dapat

    merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang sehat maupun pada

    pasien Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)23

    .

    Weight gain umumnya terjadi pada orang yang berhenti merokok dan

    paling tidak sebagian dimediasi oleh nikotin. Weight gain dari 1-2 kg pada

    beberapa minggu pertama biasanya diikuti dengan penambahan 2-3 kg weight

    gain dalam 4-6 bulan. Rata-rata weight gain yakni 4-5 kg, namun bisa saja

    lebih besar dari itu23

    .

    Hubungan antara merokok dan obesitas belum sepenuhnya dipahami.

    Di satu sisi nikotin meningkatkan energy expenditure (EE) dan mengurangi

    nafsu makan, yang dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung

    mengalami penurunan berat badan dibanding yang tidak merokok dan

    mengapa berhenti merokok sering diikuti dengan kenaikan berat badan.

    Kepercayan populer diantara perokok dan bukan perokok bahwa merokok

    merupakan salah satu cara untuk mengontrol berat badan. Di sisi lain,

    penelitian mengindikasikan bahwa perokok berat (merokok dalam jumlah

    yang lebih banyak) memiliki berat badan yang lebih tinggi dibanding perokok

    ringan, dan terdapat pengelompokan merokok, obesitas dan status ekonomi

    rendah, hanya pada negara maju. Akhirnya terdapat peningkatan bukti bahwa

    merokok berefek tehadap distribusi lemak tubuh yang berhubungan dengan

    obesitas sentral dan RI24

    .

    Merokok berefek terhadap berat badan dapat menyebabkan kurangnya

    berat badan akibat meningkatnya rasio metabolik, penurunan efisiensi

  • 16

    metabolik atau penurunan absorpsi kalori (mengurangi nafsu makan), yang

    semuanya berhubungan dengan penggunaan tembakau. Efek metabolik

    merokok dapat menjelaskan rendahnya berat badan yang ditemukan pada

    perokok. Merokok satu batang menyebabkan 3% peningkatan EE dalam

    waktu 30 menit, merokok 4 batang rokok yang mengandung 0,8mg nikotin

    meningkatkan EE 3,3% dalam 3 jam. Pada perokok reguler yang

    metabolismenya diperoleh dari metabolic ward, merokok 24 batang dalam

    sehari meningkatkan total EE dari 2230 sampai 2445 Kkal/hari dan stimulasi

    aktivitas sistem nervous simpatetic terlibat. Efek merokok terhadap EE pada

    obesitas masih lemah. Ini juga tergantung pada aktivitas fisik dan olahraga.

    Pada perokok berisiko tinggi mengalami hipertiroidisme dibanding bukan

    perokok sehingga dapat meningkatkan rasio metabolik23

    .

    Aktivitas fisik dapat meningkatkan rasio metabolik sehingga dapat

    membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung untuk kurang

    beraktivitas dibanding yang tidak merokok24

    .

    Gambar 3. Hubungan antara merokok, resistensi insulin dan akumulasi

    lemak viseral dengan SM dan resistensi insulin. Hubungan antara

  • 17

    merokok dan akumulasi lemak viseral dapat dijelaskan oleh

    masuknya aktivitas fisik yang rendah dan makanan tidak sehat

    yang sering ditemuai pada perokok sebagai pengganggu. (Ceriello

    A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism

    Underlying Insulin Resistance, Diabetes and CVD?, Arterioscler

    Thromb Vac Bio 2004)

    2.4.2 Genetik

    Faktor keturunan mempengaruhi obesitas dan hal ini dihubungkan

    dengan fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene, penanda dan

    kromosom telah dihubungkan dengan fenotip obesitas. Penelitian tentang gen

    ini telah mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs) manusia dan

    168 QTLs dari hewan percobaan untuk obesitas25

    .

    Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gen obesitas

    menunjukkan bahwa terdapat beberapa gen yang dapat mempengaruhi

    kejadian obesitas. Gen beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah gen yang

    paling banyak di uji dan telah menunjukkan hubungan dengan terjadinya

    obesitas. Gen-gen lain yang juga telah diteliti dalam lima model penelitian

    berbeda yang dapat mempengaruhi obesitas adalah gen LEPR, gen ADBR2,

    gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen GNB3, gen LDLR, TNFRSFI B,

    POMC, APOB,APOD25

    .

    Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 70%. Pada beberapa

    orang faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada orang lain

    faktor lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan berlebihan

    obesitas tidak timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi ekspresi

    berbagai gen obesitas. Hasil penelitian Mayers menunjukkan bahwa

  • 18

    kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah seorang dari orangtuanya

    obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas serta 7% jika

    kedua orangtuanya tidak obesitas25

    .

    4.2.3 Sosial ekonomi

    Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan orang

    dengan sosial ekonomi rendah. Di negara-negara maju seperti Amerika dan

    Australia, obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan sosial

    ekonomi rendah, yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding mereka

    dengan sosial ekonomi tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd menguji 144

    penelitian yang menghubungkan antara sosial economic status (SES) dan

    obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di negara maju kelompok

    wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali lebih tinggi

    dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi26

    .

    Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian obesitas

    lebih sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah

    pedesaan artinya kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada golongan

    sosial ekonomi tinggi. Prevalensi obesitas di Afrika Utara sama tinggi

    dengan kejadian di Amerika Serikat dan Mesir, 70% wanita da 48% pria

    mengalami overweight dan obesitas. Penelitian efek obesitas terhadap

    penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di Afrika Utara

    dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih berpendidikan

    dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air daripada di

    Senegal dengan gula darah puasa (GDP) perkapita di Afrika Utara lebih besar

  • 19

    6,6 kali dibandingkan di Senegal. Rata-rata body mass index (BMI) di Afrika

    Utara adalah 27,3 dan di Senegal 22,9, dimana prevalensi obesitas di Afrika

    Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal hanya 6,5%26

    .

    Fernald (2007), dalam penelitiannya menyatakan terdapat hubungan

    antara BMI, status sosio-ekonomi dan konsumsi air minuman ringan di

    negara sedang berkembang. Untuk negara maju, tingginya obesitas

    berhubungan secara terbalik dengan status sosio-ekonomi, terutama untuk

    wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau anak. Namun bagi negara sedang

    berkembang tidak demikian terdapat hubungan positif antara status sosio-

    ekonomi dengan obesitas bagi kedua gender26

    .

    Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat, jumlah

    penderita kegemukan dan obesitas cenderung meningkat. Di Indonesia,

    masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai muncul pada

    awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada kelompok

    sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan adanya

    perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung terjadinya

    peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas26

    .

    Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India diketahui

    bahwa masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan dengan

    harapan dapat mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan akhirnya

    mereka bermukim di daerah kumuh dan bekerja serabutan. Hal ini

    menyebabkan perubahan pada pola makan, terpaparnya stress, dan

    menurunnya akivitas fisik, meningkatnya kegiatan merokok dan konsumsi

  • 20

    alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor resiko terjadinya obesitas.

    Bagaimanapun juga, di negara-negara berkembang, kelangkaan dan

    kekurangan pangan masih menjadi masalah, namun kecenderungan akan

    kejadian penyakit tidak menular pada masyarakat miskin perlu menjadi

    perhatian. Pada penelitian Sawaya di Brazil melaporkan kejadian obesitas

    sebesar 6,4% pada anak laki-laki dan 8,7% pada anak perempuan dari 2411

    subyek yang bermukim di kota-kota pondok. Terdapat 30% prevalensi

    kurang gizi, dan 78-90% anak stunting, namun secara bersamaan diketahui

    bahwa prevalensi overweight dan obesitas cukup tinggi yakni masing-masing

    16,7% dan 14,1%26

    .

    Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi SES

    rendah adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi lebih

    modern yang tinggi akan lemak dan rendah serat. Mereka yang biasanya

    bekerja menjadi petani dengan tingkat aktivitas yang tinggi telah berubah

    menjadi pedagang kaki lima dengn aktivitas fisik yang rendah. Faktor lain

    yang mempengaruhi yakni adalah aktivitas hypothalamus pituitary

    adrenocortical, faktor psikososial, dan reaksi fisiologis tubuh, serta faktor

    genetik26

    .

    Prevalensi Obesitas cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan

    tingkat sosial ekonomi rendah baik di Amerika Serikat dan di negara lainya.

    Hubungan terbalik antara SES dan kejadian overweight pada orang dewasa

    dan anak-anak, dicontohkan pada Study Minnesota heart. Orang-orang

    dengan sosial ekonomi tinggi lebih perduli dengan kontrol berat badan

  • 21

    mereka, termasuk dengan exercise dan cenderung makan makanan rendah

    lemak. Pada studi National Heart, lung and blood institute growth and health

    menunjukkan bahwa SES dan overweight diasosiasikan dengan suku

    kaukasian anak usia 9-dan 10 tahun serta ibunya, tetapi tidak pada anak

    Amerika dan Afrika. Wanita Afrika Amerika dari segala usia lebih banyak

    mengalami obesitas dibandingkan wanita suku kaukasian26

    .

    Hubungan antara SES dan faktor risiko PKV sangat kuat dan konsisten

    terhadap pendidikan, menunjukkan risiko tinggi diabetes dan obesitas yang

    dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Studi Jatson et al

    melaporkan hasil yang sama, menunjukkan bahwa kadar glukosa darah

    berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan27

    .

    Jenis pekerjaan dihubungkan dengan kejadian obesitas. Hasil penelitian

    Arambepola (2006) menemukan bahwa obesitas abdominal 33% lebih banyak

    pada laki-laki yang memiliki pekerjaan sedentarian (profesional, manager,

    tata usaha) dan hanya 6% pada mereka yang memiliki pekerjaan aktif yang

    tinggi (petani, nelayan, tukang kayu)27

    .

    2.5 Diagnosis

    Setelah Reaven pada tahun 1988 mencanangkan sindrom RI, maka WHO

    1999 melakukan tata cara diagnostik SM yang memberi persyaratan harus ada

    komponen resistensi insulin atau hiperinsulinemia yang ditandai dengan kadar

    glukosa darah puasa > 110 mg/dl ditambah dengan komponen lain. Berikut tabel

    kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO (1999)

  • 22

    Tabel 3. Kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO. (WHO. Obesity:

    Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)

    Berdasarkan atas kriteria WHO 1999 maka jelas komponen resistensi

    insulin dalam hal ini diabetes mellitus dan atau resistensi glukosa terganggu

    merupakan titik sentral dari komponen faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Pada

    dasarnya semua komponen dari sindrom metabolik terkait satu sama lain sehingga

    dengan penanganan salah satu dari komponen akan memberi dampak positif pula

    pada komponen lain12

    .

    Selanjutnya NCEP ATP III merekomendasikan sindrom metabolik dengan

    kriteria berbeda dimana gangguan resistensi insulin tidak dimasukkan dalam salah

    satu persyaratan melainkan memasukkan dalam kedudukan yang sejajar dengan

    komponen lainnya. Menurut rekomendasi ATP III, dikatakan sindrom metabolik

    apabila ditemukan 3 atau lebih komponen yang ada pada satu subjek. Berikut

    kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III dan ATP III yang

    dimodifikasi12

    .

  • 23

    Tabel 4. Kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III. (WHO. Obesity:

    Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)

    Selanjutnya klasifikasi ATP III mengalami modifikasi khusus bagi orang

    Asia dimana lingkar pinggang dianggap terlalu besar untuk orang Asia dimana

    lingkar pinggang orang Asia untuk laki-laki adalah 90 cm dan wanita 80 cm.

    Komponen lainnya tetap sama sebagaimana ATP III. Namun, jika dilihat dari

    kriteria diagnosis WHO dan NCEP ATP digunakan glukosa darah puasa

    terganggu12

    .

    2.6 Patofisiologi

    Patofisiogi dari sindrom resistensi insulin tidak didasarkan dari satu faktor

    utama dan bersifat multifaktor. Namun, dari beberapa penelitian didapatkan

    bahwa resistensi insulin dan obesitas sentral merupakan patofisiologi dasar yang

    saling berkaitan erat satu sama lain tanpa mengesampingkan faktor lainnya dari

    SM28

    .

  • 24

    1. Obesitas sentral

    Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal sehingga

    dapat menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas penyakit.

    Obesitas dapat disebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip dasarnya adalah sama

    yaitu ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran energi. Energi

    yang dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif sehingga tertimbun

    dalam jaringan lemak28

    .

    Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer. Pada obesitas

    sentral terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai normal di daerah

    abdomen. Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak didaerah

    gluteofemoral. Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam

    mencetuskan terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat menyebabkan

    terjadinya resistensi insulin, antara lain28

    :

    a. Lipotoksisitas

    Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas

    meningkatkan pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi insulin yang

    disebabkan oleh glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat menghambat

    ekspresi insulin pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan menginduki

    apoptosis sel beta pankreas.

    Asam lemak bebas yang meningkat mengganggu kemampuan insulin untuk

    menghambat penghasilan glukosa hepatik dan menghambat pemasokan glukosa

    ke dalam otot skelet, juga menghambat sekresi insulin dari sel beta pankreas. Hal

    ini menyebabkan resistensi insulin pada organ hati dan otot.

  • 25

    b. Adipositokin

    Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti tumor necrosis factor-

    (TNF-), interleukin-6 (IL-6) dan resistin dapat mencetuskan terjadinya RI

    karena adanya efek proinflamasi. Efek-efek ini dapat mengganggu fungsi GLUT-

    4 sebagai transporter glukosa sehingga tidak dapat memasukkan glukosa ke dalam

    sel.

    Jaringan lemak yang dulu dianggap sebagai deposit trigliserid ternyata

    mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon TNF-, leptin,

    IL-6, resistin. TNF, IL-6 dan resitin menyebabkan RI sedang adiponektin dan

    leptin menghambat RI.

    c. Adinopektin

    Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang dihasilkan oleh

    sel lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik dengan berat

    badan. adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan sensitifitas insulin,

    anti-inflamasi dan anti-aterogenik.

  • 26

    Gambar 4. Peran adinopektin terhadap resistensi insulin. Sherwood, Lauralee.

    Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem

    hal. 661-667. 2006. EGC.

    d. Leptin

    Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA leptin pada

    sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat kerja leptin di

    hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan dan pengeluaran

    energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak, menurunkan sintesis

    trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa meningkatkan

    sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi menurunkan nafsu makan dan

    meningkatkan penggunaan energi.

    e. Interleukin-6 (IL-6)

    Interleukin-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak dimana

    peningkatan kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan ukuran sel lemak.

    IL-6 disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral daripada jarigan

    lemak subkutan pada orang yang obes berat. Interleukin-6 memiliki sifat pro-

    inflamasi yang dapat dihubungkan dengan terjadinya resistensi insulin.

    Interleukin-6 diperkirakan dapat mengirimkan sinyal-sinyal secara sistemik untuk

    menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin khususnya sel hati.

    f. Resistin

    Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel lemak.

    Ekspresi gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel lemak. Resistin

    diperkirakan memiliki peran dalam obesitas dan resistensi insulin.

  • 27

    g. Tumor Necrosis Factor- (TNF-)

    Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-. Orang yang

    mengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF- 2-3 kali lebih banyak

    daripada orangbkurus. Kadar TNF- akan menurun dengan penurunan berat

    badan. Efek TNF- pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi transporter

    glukosa GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase. TNF- memiliki potensi untuk

    mencetuskan resistensi insulin karena glukosa plasma yang masuk ke sel

    berkurang.

    Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak akan

    menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat baik di

    sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adiposa dapat

    menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu, sehingga

    enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut dengan stres

    oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi jaringan adiposa

    dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan aterosklerosis28

    .

    Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi penyakit

    antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien diabetes melitus tipe 2,

    biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat hiperglikemia. Stress

    oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel-

    angiopati diabetik, dan pusat dari semua angiopati diabetik adalah hiperglikemia

    yang menginduksi stres oksidatif melalui 3 jalur, yaitu; peningkatan jalur poliol,

    peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan protein glikosilat29

    .

  • 28

    Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan glukosa di

    sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh sel- pankreas. Stres

    oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga berperan

    penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Dari

    beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak pada obesitas dapat

    menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan peningkatan ekspresi

    Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase dan

    penurunan ekspresi enzim antioksidan30

    Gambar 5. Peningkatan produksi reactive oxidative stress (ROS) pada lemak

    yang terakumulasi dan menyebabkan keadaan SM. (Sartika, Cyntia R.

    Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada

    Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. 2006. Prodia Diagnostics

    Educational Services. No. 2)

    Obesity

    ROS

    Antioxidative

    Enzymes

    NADPH Oxidase

    Oxidative Stress to

    remote tissues

    Dysregulation of adipocytokines

    Oxidative Stress

    in WAT

    Adiponectin

    Pal-1, TNF-, MCP-1

    METABOLIC SINDROME

    Insulin Resistace Diabetes Atherosclerosis

    ROS

  • 29

    Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak meningkatkan stres

    oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan disregulasi

    sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres oksidatif pada

    sel adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan SM. Furukawa

    dkk (2004) menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan terbalik dengan

    stres oksidatif secara sistemik.

    2. Resistensi insulin (RI)

    Perkembangan resistensi insulin pada sindrom metabolik disebabkan oleh

    banyaknya asam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang dengan obesitas

    sentral28

    .

    Gambar 6. Patofisiologi gangguan pada sindrom metabolik. Sherwood, Lauralee.

    Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem

    hal. 661-667. 2006. EGC

    Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan semakin

    meningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan adiposa yang

    menyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem organ antara lain28

    :

  • 30

    - Jaringan otot

    Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)

    - Hati

    Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati (glukoneogenesis)

    - Pankreas

    Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel- pankreas

    - Pembuluh darah

    Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh darah akibat

    penurunan Nitrit oxide.

    Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui peningkatan

    asam lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi apoB100 sebagai

    kofaktor dari trigliserid dan Very LDL. Pada hipertrigliseridemia terjadi

    penurunan isi ester kolesterol dari inti lipoprotein menyebabkan penurunan isi

    kolesterol HDL dengan peningkatan beragam trigliserida menjadikan partikel

    kecil dan padat. Hal ini menyebabkan peningkatan bersihan HDL di sirkulasi28

    .

  • 31

    Gambar 7. Patofisiologi dislipidemia pada SM. (Sherwood, Lauralee. Organ

    endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem hal.

    661-667. 2006. EGC)

    Hipertensi pada SM dapat disebabkan oleh mekanisme yang sulit dipisahkan

    satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas. Adanya resistensi

    insulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide Synthase (eNOS)

    sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah28

    .

    Gambar 8. Patofisiologi hipertensi pada SM. (Sherwood, Lauralee. Organ

    endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem hal. 661-

    667. 2006. EGC)

    Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui beberapa

    mekanisme berikut28

    :

    - Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke volume dan

    cardiac output sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular resistance pada

    individu obese yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi

    - Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi insulin, perubahan

    sistem saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi (Tumor Necrosis

  • 32

    Factor/TNF- dan Intrleukin/IL-6) sehingga terjadi peningkatan peripheral

    vascular resistance.

    Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang paling

    banyak diterima adalah RI. Gambar berikut menunjukkan etiologi patofisiologi

    dari RI dan SM28

    .

    Gambar 9. Etiologi patofisiologi resistensi insulin dan sindroma metabolik.

    (Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia

    dari Sel ke Sistem hal. 661-667. 2006. EGC)

    2.7 Penatalaksanaan

    Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang

    penatalaksanaan SM. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan agresif terhadap

    komponen SM dapat mencegah atau memperlambat onset diabetes, hipertensi dan

    penyakit kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis dengan SM hendaklah

    Pengaruh genetik Resistensi Insulin

    Hyperinsulinemia

    Pengaruh lingkungan

    Defisiensi zat-zat gizi

    Intake kalori yang berlebihan

    Aktivitas fisik rendah

    Aterosklerosis

    Gout

    Diabetes

    Obesitas

    Hipertensi

    Peningkatan

    asam urat

    Peningkatan

    kolesterol

    LDL

    Peningkatan Trygliserida

    Penurunan

    kolesterol

    HDL

    Peningkatan

    lipogenesis

    Peningkatan

    tekanan darah

    Intoleransi

    glukosa

  • 33

    dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya sebagai

    pendekatan terapi utama. Penurunan berat badan dapat memperbaiki semua aspek

    SM, mengurangi semua penyebab dan mortalitas PKV. Namun kebanyakan

    pasien mengalami kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan. Latihan fisik

    dan perubahan pola makan dapat menurunkan tekanan darah dan memperbaiki

    kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki RI31

    .

    1. Latihan Fisik

    Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap insulin

    didalam tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi insulin. Latihan

    fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi insulin didalam otot

    rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin terjadi dalam 24 48

    jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik teratur hendaklah

    merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki RI. Pasien hendaklah diarahkan

    untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat aktifitas fisiknya. Manfaat paling

    besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan fisik sedang secara teratur

    dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobik dan latihan fisik

    menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan menggunakan dumbbell

    ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan terbaik untuk latihan dengan

    menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari juga terbukti

    dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki-laki tanpa

    mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan31

    .

  • 34

    2. Diet

    Sasaran utama dari diet terhadap SM adalah menurunkan risiko penyakit

    kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane Database mendukung

    peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskular. Bukti-

    bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah sodium dapat

    membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil dari studi klinis,

    diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan penurunan bermakna

    dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka kematian total32

    .

    Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop Hypertension

    (DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan tinggi

    karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang berarti walaupun

    tanpa disertai penurunan berat badan32

    .

    Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih lanjut atau

    mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua. Studi dari the

    Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan bahwa

    konsumsi produk-produk rendah lemak dan garam disertai dengan penurunan

    risiko SM yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat dapat

    meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL kolesterol, sehingga

    memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia atau

    meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah lemak,

    asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan makanan yang

    mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA) atau asupan

    karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini merupakan pola

  • 35

    diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas PKV. Suatu studi

    menunjukkan adanya korelasi antara PKV dan asupan biji-bijian dan kentang.

    Para peneliti merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian, buah-buahan

    dan sayuran untuk menurunkan risiko PKV. Efek jangka panjang dari diet rendah

    karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka pendek, terbukti

    dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar HDL-cholesterol dan

    menurunkan berat badan. Pilihan untuk menurunkan asupan karbohidrat adalah

    dengan mengganti makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi dengan

    indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan dengan indeks

    glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan insulin32

    .

    3. Medikamentosa

    Obat-obatan dapat dipakai sebagai bagian pengaturan berat badan. Obat

    yang dapat diberikan adalah sibutramin dan orlistat. Sibutramin bekerja disentral

    memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek memberikan rasa

    kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi. Demikian pula dengan efek

    metabolik, sebagai efek penurunan berat badan pemberian sibutramin setelah 24

    minggu yang disertai dengan diet dan aktifitas fisik, memperbaiki kolesterol HDL

    dan kadar trigliserida33

    .

    Untuk hipertensi pada SM, dapat digunakan golongan ACE-inhibitor yang

    memiliki makna dalam meregresi hipertrofi ventrikel. Selain itu, valsartan sebagai

    penghambat reseptor angiotensin dapat mengurangi albuminuria yang diketahui

    sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Tiazolidindion juga memilki

    pengaru persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik.

  • 36

    Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan kadar asam lemak bebas.

    Pada diabetes prevention program, penggunaan metformin dapat mengurangi

    progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas33

    .

    Pilihan terapi untuk dislipidemia selain dengan modifikasi gaya hidup

    adalah dengan pemberian obat. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya

    memperbaiki profil lipid tapi juga menurunkan risiko kardiovaskuler. Fenofibrat

    juga secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan meningkatkan

    kolesterol HDL, telah meningkatkan perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan

    mengurangi risiko kardiovaskular33

    .

  • 37

    BAB III

    PENUTUP

    SM adalah kelompok berbagai komponen faktor risiko yang terdiri dari

    hipertensi, gangguan toleransi glukosa, obesitas sentral dan dislipidemia yang

    ditandai dengan meningkatnya trigliserida dan menurunnya kolesterol HDL yang

    dapat menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa PKV, diabetes mellitus

    tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati non-alkoholik.

    Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis menyatakan

    bahwa penyebab primer dari SM adalah RI. Patofisiologi SM masih menjadi

    kontroversi, namun hipotesis yang paling banyak diterima adalah RI. Obesitas

    merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme yang jelas belum

    diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme

    lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat

    baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel adipose

    dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks) terganggu,

    sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini disebut

    dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi

    jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan

    aterosklerosis.

    SM dapat didiagnosis dengan menggunakan kriteria NCEP ATP dengan

    modifikasi. Faktor resiko yang mendasari terdiri dari faktor genetik, diet,

  • 38

    inaktifitas fisik dan usia. Prinsip pengobatan SM adalah perubahan pola hidup,

    dengan meningkatkan aktifitas/latihan fisik dan diet rendah garam, rendah lemak

    jenuh dan kaya sayur/buah, sehingga dapat menurunkan berat badan, memperbaiki

    resistensi insulin dan menurunkan TG, serta menaikkan HDL. Pengobatan

    medikamentosa yang dianjurkan ditujukan terutama untuk memperbaiki kadar

    glukosa pada DM dan meningkatkan resistensi insulin, yaitu dengan OHO saja

    atau kombinasi OHO dengan insulin. Anti hipertensi golongan ACEI atau ARB

    merupakan pilihan utama dan dapat dikombinasi dengan calcium channel blocker,

    carvedilol atau beta selektif lainnya, serta diuretik bila target tekanan darah belum

    tercapai. Obat obatan lain untuk menurunkan TG dan menaikkan HDL seperti

    golongan statin, dapat diberikan untuk membantu menurunkan faktor resiko

    kardiovaskular.

  • 39

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Haffner S, Taegtmeyer H. Epidemic obesity and the metabolic syndrome. Circulation 2003; 108: 1541-1545.

    2. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome.(online) (www.idf.org, diakses 27 Oktober 2013)

    3. Expert panel on detection, evaluation, and treatment of High Blood Cholesterol in adults. Executive summary of the third report of the

    national cholesterol education program (NCEP) expert panel on detection

    of detection, evaluation and treat ment of high cholesterol in aduls (adult

    treatment panel III). JAMA 2001; 285: 2486-2497.

    4. Ford ES, Giles WH, Dietz WH. Prevalence of the metabolic syndrome among US adults; finding from the third National Health and Nutrition

    Examination Survey. JAMA 2002; 287: 356-359.

    5. Budhiarta AAG, Aryana IGP, Saraswati MR, et al. Sindrom metabolik di Bali. Naskah lengkap Surabaya Metabolic Syndrome Update-1. 2005;

    139-147.

    6. Suyono S, Kamso S, Oemardi M. Metabolic syndrome in the elderly should it be treated?.Naskah lengkap Surabaya Metabolic Syndrome

    Update-1. 2005; 9-20.

    7. Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum Diagnosticum. 4:1-16.

    8. WHO. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000.

    9. Gu D, Reynolds K, Wu X, Chen J, Duan X, Reynolds RF, Whelton PK, He J. Prevalence of The Metabolic Syndrome and Overweight Among

    Adults in China. Lancet. 2005; 365:13981405. 10. Isomaa B et al. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the

    metabolic syndrome. Diabetes Care. 2001;24:683-689.

    11. Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The Review of Diabetic Studies: DOI 10. 1900?RDS.2006.3.118 (online),

    (www. The-RDS.org, diakses 27 Oktober 2013).

    12. Amy Z. Fan. Etiology of the Metabolic Syndrome. Current Cardiology Review 2007 pg. 232-239.

    13. Adrianjah, H dan Adam, J. Sindroma Metabolik:Pengertian, Epidemiologi, dan Criteria Diagnosis. Informasi laboratorium prodia No.4/2006.

    14. Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu Kesehatan dan Kedokteran. (online), (http:/ alwia.com, diakses 27 Oktober 2013)

    15. Angraeni, D., 2007. Mewaspadai Adanya Sindrom Metabolic. (Online). (http://labcito.co.id., diakses 27 Oktober 2013)

    16. Tjokroprawiro A.. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic Syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine. 2006.

    38:160-166.

  • 40

    17. Arief, I. 2008. mencegah obesitas dengan mengurangi waktu nonton tv. artikel.(online) (www.pjnhk.go.id./view/808/31, diakses 27 Oktober 2013)

    18. Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A Review. Obesity Reviews (2003) 4, 9199

    19. Lipoeto, N.,. Consumption of Minangkabau Traditional Food and Cardiovascular Disease in west sumatra, indonesia. Monash university.

    2002

    20. Hayens, B., et al. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi. Jakarta: Ladang pustaka & Intimedia. 2003

    21. Soeharto, I. , 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta: Gramedia

    22. Kusmana, D., 2007. Rokok & kesehatan jantung. (online) (http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=312 , diakses 27 Oktober

    2013)

    23. Targher, G., dkk., 1999. Cigarette Smoking and Insulin Resistance in Patients with Noninsulin-Dependent Diabetes Mellitus. Journal of clinical

    Endocrinology and metabolism. (online), (www.jcem.endojournals.org,

    diakses 27 Oktober 2013)

    24. Ceriello A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism Underlying Insulin Resistance, Diabetes and CVD?, Arterioscler Thromb

    Vac Bio 2004 ; 24 : 816-823.

    25. Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and The Methabolic Sindrome: from Bench to Bedside. Springer Science.

    26. Misra, A., et al. High Prevalence of Diabetes, Obesity and Dyslipiddaemia in Urban Slum Population in Northern India. International Journal of

    Obesity. Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729.

    27. Stelmach et al. How income and education contribute to risk factors for cardiovaskuler diseases in elderly in a former communist country. Public

    Health (2004) 118, 439-449.

    28. Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem hal. 661-667. 2006. EGC.

    29. Majalah Farmacia, 2007. Stress Oksidatif, Faktor Penting Penyulit Vascular. (online)( www.combiphar.com/ahp, diakses 27 Oktober 2013).

    30. Sartika, Cyntia R. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel pada Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. 2006. Prodia

    Diagnostics Educational Services. No. 2.

    31. Sugondo, Sidartawan. Sindrom Metabolik dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. 2006: pg 1871-1872.

    32. Sutomo Kasiman. Pengaruh Makanan Pada Sindrom Metabolik. J Kardiol Indones. 2011;32:24-26.

    33. Scott M,G et al. Diagnosis and Management of the Metabolic Syndrome. An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute

    Scientific Statement. 2008:1823-1835.