104
1 SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ATAS DUGAAN PELANGGARAN HUKUM YANG DILAKUKAN OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN Oleh : ADVENTUS TODING B111 09 373 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

1

SKRIPSI

PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT ATAS DUGAAN PELANGGARAN HUKUM

YANG DILAKUKAN OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

Oleh :

ADVENTUS TODING

B111 09 373

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 2: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

i

Halaman Judul

PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

PERWAKILAN RAKYAT ATAS DUGAAN PELANGGARAN HUKUM

YANG DILAKUKAN OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN

Oleh :

ADVENTUS TODING

B111 09 373

Skripsi

Diajukan Sebagai Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka

Penyelesaian Studi Program Studi Ilmu Hukum

Pada

BAGIAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 3: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa skripsi dari mahasiswa:

Nama : Adventus Toding

Nomor Pokok : B111 09 373

Bagian : Hukum Tata Negara

Judul : Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat Atas Dugaan Pelanggaran Hukum

yang dilakukan Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian skripsi di

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Januari 2013

Pembimbing I

Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. NIP. 19640811 241991 3 002

Pembimbing II

Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H. NIP. 19560607 198503 1 001

Page 4: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

iii

UCAPAN TERIMA KASIH

Salam sejahtera,

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatnya

kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi yang berjudul “Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat Atas Dugaan Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Pertama-tama penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

terdalam dan tak terhingga kepada kedua orang tua yang sangat penulis

sayangi dan banggakan, yaitu Ayahanda Sambo, S.H., M.H. (alm) dan

Ibunda Sentise Pualillin, atas segala limpahan kasih sayang, didikan,

dukungan, serta doa yang senantiasa dipanjatkan dengan bertelut untuk

penulis dalam meraih kesuksesan di dunia ini. Semoga Tuhan selalu

memberikan kesehatan dan kesabaran dalam hidup buat ibunda tercinta.

Kedua, kepada keluarga besar Bapak Thomas dan Maryam dan

keluarga besar Bapak Agustinus dan Marlina yang telah menjadi orang

tua kedua penulis, selama penulis melaksanakan studi di Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin. Semoga Tuhan memberikan kesehatan dan

berkatNya. Serta terima kasih kepada saudara penulis yaitu Astuti

Toding, S.H. dan Luberti Toding, atas segala bantuan dan doa yang

selalu memberikan hikmat dan berkatNya.

Page 5: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

iv

Kemudian kepada seluruh keluarga, terkhusus buat keluarga besar

Bapak Pdt. Pangloly, keluarga besar Bapak Eddy Wuisan, dan keluarga

besar Bapak Alex Lomban.yang selalu memberikan support kepada

penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, terima kasih, semoga Tuhan selalu memberikan berkatNya.

Untuk Miss Dodoly, yang selalu menemani penulis mulai alfa-omega,

diwaktu senang dan susah, mulai dari penulis belum menginjakkan kaki di

Fakultas Hukum Unhas hingga penulis selesai kuliah, terima kasih.

Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan semangat, tenaga,

pikiran seta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak

terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, selaku Rektor Universitas

Hasanuddin beserta jajarannya.

2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., MS., D.F.M., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, selaku Wakil Dekan I, S.H., M.H.,

Bapak Anshori Ilyas, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II, Bapak Romi

Librayanto, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin

4. Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si, selaku Ketua Bagian Hukum

Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta

jajarannya.

Page 6: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

v

5. Dosen/Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas

didikannya selama penulis menjalani kuliah di kampus.

6. Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., Msi dan Bapak Dr. Anshori Ilyas,

S.H., M.H., selaku pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan

yang tidak kenal lelah untuk penulis, semoga suatu saat nanti dapat

membalas jasa yang telah diberikan kepada penulis.

7. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., Bapak Dr. Zulkifli

Aspan, S.H., M.H., dan Bapak Kasman Abdullah, S.H., M.H., selaku

penguji dalam ujian skripsi ini. Terima kasih atas masukannya dalam

proposal penelitian. Masukan tersebut sangat membantu penulis

dalam melakukan penelitian skripsi ini.

8. Bapak Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. (alm) dan Bapak Prof. Dr.

Abdullah Marlang, S.H., M.H., selaku Penasihat Akademik (PA)

penulis. Terima kasih atas kebaikan serta kesediaan setiap kali penulis

berkonsultasi dalam menjalankan studi di kampus.

9. Pegawai/ Staf Akademik atas bantuan dan keramahannya “melayani”

segala kebutuhan penulis selama perkuliahan hingga dalam proses

ujian skripsi

10. Cleaning service yang selalu membantu penulis mengadakan kegiatan

kemahasiswaan.

11. Pengelola Perpustakaan Fakultas, terima kasih sudah banyak

membantu penulis dalam mencari literatur yang berhubungan dengan

ilmu hukum.

Page 7: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

vi

12. Kepada Bapak Taufik Kiemas, selaku Ketua MPR dan Bapak Eddie

Siregar, selaku Sekretariat Jenderal MPR yang telah memberikan

kesempatan untuk dapat melakukan penelitian di Majelis

Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR RI).

13. TIM MCC Mahkamah Konstitusim Jakarta 2011. Terima kasih Panji,

Lastri, Jihad, Eka, Ghina, Adelia Pela, Ode, Vira, Caca, Emi, Fachry,

Dio, Fandy, Dewi, dan anca, terima kasih telah menjadi saudara

penulis. Banyak ilmu yang kalian beri untuk penulis. Buat official, Ka

Onna, Ka Anto, Ka Fadil, Ka Eril, Ka Uga, Tiwi, terima kaih sudah

membantu kami dalam penyusunan berkas sampai kami tampil di

Mahkamah Konstitusi.

14. Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin Periode 2010/2011 dan pengurus Badan Eksekutif

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Periode 2011/2012 terima

kasih atas bantuannya.

15. Lembaga Eksekutif Mahasiswa Hukum Indonesia (LEMHI), khususnya

Bung Taufik (Unair), Bung Tino (Unmul), Bung Risqan, Bung Ahmad,

Bung Ali, Mba Fauzi, dan Mba Silvy, terima kasih atas bantuannya.

16. PMK Universitas Hasanuddin dan PMK Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin, terima kasih sudah menyediakan wadah kepada penulis

untuk bersekutu bersama.

Page 8: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

vii

17. Tim Desus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Gerakan

Mahasiswa Anti-Narkoba Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

terima kasih atas bantuannya.

18. “Law Parking Area”, terima kasih telah menjadi keluarga yang sangat

baik.

19. Sahabat penulis, Ardiansyah Andika, Halwan, Ono, Danu, Fikar, Apri

Pindu, Tiwi, Flo Pinon, Ivon, Ira, Pingkan, Ikram Mediasi, Budi, Joko,

Rio Petitum, “kanda” Surya, kalian saudaraku yang tidak dapat penulis

temui ada samanya di dunia ini. He7x terima kasih.

20. Teman-teman Angkatan 2009 (Doktrin) FH-UH, terima kasih telah

banyak berbagi ilmu, pengalaman dan nilai persaudaraan. Walaupun

kuliah penulis akan berakhir namun kalian tetap saudara seperjuangan

penulis. Thank you

21. Teman-Teman KKN Angkatan 82 Unhas, khususnya Posko Desa

Labokong, Faris, Erlangga, Hendra, Kiky, Hikma, Livi, dan Dessy,

terima kasih atas kerja samanya selama KKN. Kebaikan kalian selalu

penulis kenang. Semoga tiada kebencian yang bertahta dihati teman-

teman atas ketidaknyamanan selama KKN, yang ada kita bersaudara

sampai kapanpun.

22. Lembaga Beasiswa Oikumene, terima kasih telah memberikan

kesempatan kepada penulis dalam memperoleh beasiswa tersebut

pada tahun 2011

Page 9: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

viii

23. Pung Atta – beserta keluarga, terima kasih telah memberikan

tumpangan, arahan, dan bimbingan dalam melaksanakan KKN di Desa

Labokong, Kabupaten Soppeng. Serta seluruh masyarakat Desa

Labokong terima kasih atas keramahtamahannya selama kami

melaksanakan KKN.

24. Dosen Dapur Jurnal, Bapak Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H.,

Bapak Prof. Dr. Asri, S.H., M.H., Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H.,

M.H., Ka’ Tri Fenny Widayanti, S.H, M.H., Ka’ Ariani Arifin, S.H.,

M.H., Ka’ Hijrah, S.H., M.H. dan Ka’ Muh. Ilham Arisaputra, S.H.,

M.Kn, terima kasih atas ilmu dan bantuannya selama ini. Terkhusus

kepada Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., yang telah memberikan

sesuatu yang sangat berharga buat penulis dalam melaksanakan

penelitian di MPR RI.

25. Terkhusus buat Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H. dan Bapak

Kasman Abdullah, S.H., M.H. yang selalu memberikan didikan

kepada penulis baik keterkaitan mengenai ilmu hukum dan ilmu yang

bukan mengenai ilmu hukum. Didikan dari kedua beliau tidak akan

penulis lupakan sampai kapanpun dan didikan yang diberikan kepada

penulis akan dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Beliau adalah

orang tua bagi penulis di kampus, terima kasih banyak. Hormatku

Adventus.

Page 10: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

ix

Dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati penulis, penulis

sangat menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.

Maka dari itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis

harapkan demi kelayakan dan kesempurnaan kedepannya agar bisa

diterima penuh oleh khalayak umum yang berminat terhadap karya ini.

Makassar, 15 Januari 2013

Adventus

Page 11: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

x

ABSTRAK

Adventus Toding, Nim B11109373. Dengan judul penelitian Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Atas Dugaan Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dibimbing oleh Marwati Riza dan Anshori Ilyas.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses yuridis tindak lanjut pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan bagaimana akibat hukum dari proses dari proses yuridis tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan MPR RI. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Statute uproach (Pendekatan Undang-Undang). Teknik pengumpulan bahan hukum dengan menggunakan bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah sidang pembentukan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan. Sedangkan sumber bahan-bahan sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan catatan resmi. Publikasi tersebut meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, makalah hukum, dan komentar-komentar terkait penelitian ini. Bahan yang diperoleh dianalisa secara kuantitatif, sehingga dapat memperoleh gambaran jelas tentang substansi materi yang akan dibahas dalam penulisan ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tindak lanjut pendapat DPR, terlebih dahulu diminta ke Mahkamah Konstitusi (Forum Previlegiatum) untuk diputus benar tidaknya pendapat DPR tersebut telah mengubah mekanisme pemberhentian Presiden yang sebelumnya proses politik semata menjadi sebuah proses hukum. Kemudian dengan adanya peradilan khusus Tata Negara, yaitu Mahkamah Konstitusi yang membenarkan dugaan DPR tersebut, maka akibat hukum dari tindak lanjut pendapat DPR tersebut adalah pendapat tersebut yang sebelumnya merupakan pendapat politik dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi sebuah pendapat hukum.

Kata kunci: Pendapat DPR, Politik, Hukum.

Page 12: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ iii

ABSTRAK ............................................................................................... x

DAFTAR ISI ............................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................................... 7

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8

D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 10

A. Negara Hukum ................................................................... 10

B. Demokrasi .......................................................................... 13

C. Cheks and Balances System ............................................... 19

D. Lembaga Negara yang Berkaitan dengan Proses

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden .............. 22

1. Presiden ......................................................................... 22

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat ................................. 25

3. Dewan Perwakilan Rakyat.............................................. 28

4. Mahkamah Konstitusi .................................................... 34

Page 13: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

xii

E. Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden .............................................................................. 37

F. Pemberhentian Presiden di Beberapa Negara ..................... 44

G. Pelanggaran Hukum ............................................................ 46

BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 52

A. Lokasi Penelitian ................................................................ 52

B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ....................................... 52

C. Teknik dan Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 53

D. Analisis Bahan Hukum ........................................................ 53

BAB III PEMBAHASAN ........................................................................ 54

A. Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan Perwakilan

Daerah Atas Dugaan Pelanggaran Hukum yang dilakukan

Presiden dan/atau Wakil Presiden ...................................... 54

B. Akibat Hukum dari Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat

Dewan Perwakilan Daerah Atas Dugaan Pelanggaran

Hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden . 75

BAB III PENUTUP ................................................................................ 84

A. Kesimpulan ......................................................................... 84

B. Saran .................................................................................. 84

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 86

Page 14: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setelah amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, terjadi perubahan mendasar pada

sistem ketatanegaraan Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR) yang merupakan lembaga tertinggi, saat ini menjadi setara

dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Kemudian kita juga dapat

melihat munculnya lembaga tinggi baru, misalnya lembaga Mahkamah

Konstitusi1 yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang

menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.

Kedudukan sederajat tersebut memiliki fungsinya masing-masing

dan tidak ada satupun lembaga kekuasaan yang dimiliki powerfull

diantara lembaga yang lain. Agar setiap lembaga tidak melampaui

batas kewenangan yang diberikan oleh konstitusi maka setiap

lembaga kekuasaan saling check and balances (pengawasan dan

keseimbangan) antarlembaga satu dan lembaga lainnya

Dalam kaitannya dengan amandemen UUD 1945, adanya

perubahan tersebut menjadikan sistem ketatanegaraan Indonesia

pada tingkat check and balances mulai membaik. Setiap Lembaga

Negara mempunyai kontrol terhadap Lembaga Kekuasaan lainnya.

1 Lihat Pasal 24C UUD 1945.

Page 15: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

2

Hanya saja tidak dapat dipungkiri bahwa, masih ada hal-hal yang

sifatnya penting namun belum jelas dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Misalnya saja proses

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya oleh MPR. Di dalam UUD 1945, Presiden dapat

diberhentikan karena beberapa alasan, yaitu Presiden dan/atau Wakil

Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi

syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.2 Dalam kaitannya

dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindak pidana,

apakah Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya sebelum

terbukti melakukan tindak pidana ataukah Presiden dan/atau Wakil

Presiden harus dibuktikan dulu melakukan tindak pidana kemudian

diberhentikan dari jabatannya?

Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Secara garis besar proses ini

menentukan beberapa tahapan yang harus dilewati. Pertama, DPR

diberikan kewenangan untuk memberikan usul kepada MPR dalam

kaitannya dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

dalam masa jabatannya. Usul pemberhentian tersebut hanya dengan

terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah

2 Lihat Pasal 7A UUD 1945

Page 16: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

3

Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela

maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Kedua, pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden

telah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak memenuhi syarat

lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka

fungsi pengawasan DPR. Ketiga, pengajuan Pendapat DPR tersebut

hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari

jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri

sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.

Keempat, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan

memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR paling lambat

sembilan puluh hari setelah permohonan DPR itu diterima oleh

Mahkamah Konstitusi. Kelima, apabila Mahkamah Konstitusi memutus

bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan

Pelanggaran Hukum ataupun tidak memenuhi lagi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang

paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden kepada MPR.

Page 17: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

4

Keenam, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus

usul DPR tersebut paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul

tersebut. Ketujuh, Keputusan MPR atas usul Pemberhentian dan/atau

Wakil Presiden harus diambil dalam sidang paripurna MPR yang

dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir,

setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam rapat paripurna

menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, proses hukum

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melibatkan lembaga-

lembaga non-yudisial. Keterlibatan lembaga-lembaga non-yudisial ini

mengakibatkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan

dengan alasan-alasan politik. Kita dapat melihat proses pemberhentian

Presiden Abdurrahman Wahid, yang mana proses pemberhentian

tersebut banyak alasan-alasan politik dan kurangnya dasar hukum

keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid.

Pada sidang Paripurna DPR, saat itu keputusan DPR setuju untuk

menggunakan Hak Angket DPR. Penggunaan Hak Angket tersebut

mencapai kesimpulan bahwa, Presiden Abdurrahman Wahid diduga

berperan dalam pencairan dan penggunaan dana yantera bulog dan

bantuan dari Sultan Brunei. Oleh karenanya DPR mengeluarkan

memorandum I yang disampaikan kepada Presiden. Memorandum

tersebut pada pokoknya mengingatkan Presiden Abdurrahman Wahid

sungguh-sungguh melanggar haluan Negara dan melanggar TAP MPR

Page 18: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

5

RI No. XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas

Korupsi. Kemudian Presiden menjawab memorandum I DPR yang

pada pokoknya menolak memorandum tersebut dengan alasan

melanggar konstitusi baik secara prosedural maupun secara materil.

Menurut Presiden, disatu sisi belum jelas adanya pelanggaran hukum

karena masih berupa dugaan. Pada sisi lain DPR sudah memvonis

Presiden telah melanggar haluan Negara. Tiga bulan kemudian, DPR

mengeluarkan memorandum II mengenai sikap dan kepemimpinan

Presiden yang berupa kebijakan, sikap perilaku, tindakan serta

pernyataan-pernyataan Presiden.3 Kemudian DPR meminta kepada

MPR untuk memberhentikan Presiden.

Sejarah ketatanegaraan Indonesia menggambarkan pengaruh

kekuatan politik lembaga non-yudisial begitu tinggi, sehingga Presiden

dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya

dengan mudah. Oleh karena itu, Amandemen UUD 1945

menempatkan sistem ketatanegaraan pada sistem presidensial.

Penegasan sistem pemerintahan presidensial pada sistem

ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 mengandaikan adanya

lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat, yang dicirikan

dengan adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term),

adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (check and

balances) dan adanya mekanisme pemberhentian presiden yang

3 Hamdan zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm

148

Page 19: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

6

hanya dapat diberhentikan dengan alasan-alasan tertentu dengan

dibuktikan terlebih dahulu secara hukum (forum previlegiatum).

Akan tetapi yang menjadi persoalan selanjutnya,

ketentuanketentuan mengenai mekanisme pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden yang terdapat di dalam konstitusi tidak

mengatur lebih jauh persoalan-persoalan teknis. Ada banyak persolan

yang tidak atau belum sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaik-

baiknya. Jika mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden ini kemudian dijalankan dalam hal dugaan Presiden dan/atau

Wakil Presiden melakukan tindak pidana, putusan Mahkamah

Konstitusi yang mengabulkan Pendapat DPR tersebut akan

mengakibatkan beberapa akibat hukum yang sampai saat ini menurut

penulis masih kabur. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut oleh DPR

diajukan ke MPR untuk usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden. Yang menjadi pertanyaan, apakah putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut dalam sidang MPR harus diikuti oleh MPR karena

sifat putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat ataukah

putusan Mahkamah Konstitusi hanya menjadi sebuah pertimbangan

dalam urusan politik di sidang MPR tersebut?

Ketika dalam Sidang Paripurna MPR memberhentikan Presiden

dan/atau Wakil Presiden atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi

yang mengabulkan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil

presiden telah melakukan tindak pidana, apakah memungkinkan

Page 20: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

7

Presiden dan/atau Wakil Presiden dihadapkan dalam sidang peradilan

umum yang kemudian tentunya akan berlaku Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)? dan setelah tidak menjabat lagi,

apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan

umum dan apakah tidak melanggar asas ne bis in idem dalam hukum

pidana?

Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, persoalan-persolan

yang berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya ini masih memerlukan beberapa

penelitian yang lebih mendalam. Oleh karena itulah penulis merasa

tertarik untuk mengangkat permasalahan ini kedalam sebuah karya

tulis skripsi sebagai tugas akhir penulis dalam menyelesaikan

pendidikan strata I pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

dengan mengangkat judul : “Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat

Dewan Perwakilan Rakyat Atas Tindak Pidana yang dilakukan

oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas dan untuk memberikan batasan

dalam proses penelitian maka penulis memilih beberapa rumusan

masalah sebagai berikut:

Page 21: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

8

1. Bagaimanakah proses yuridis tindak lanjut pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang dilakukan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden?

2. Bagaimanakah akibat hukum dari proses yuridis tindak lanjut

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang

dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian pada penulisan karya ilmiah ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses yuridis tindak lanjut pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang dilakukan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden.

2. Untuk mengetahui akibat hukum dari proses yuridis tindak lanjut

pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang

dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian pada penulisan karya ilmiah ini adalah :

1. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/

sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terlibat di dalam

mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Page 22: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

9

2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan

sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum terkhusus dalam bidang

Hukum Tata Negara, terkait mengenai Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Page 23: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara hukum

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara

Indonesia adalah Negara hukum. Istilah Negara Hukum merupakan

terjemahan langsung dari istilah (Rechtsstaat). Ada dua tradisi besar

gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi

Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam

tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law. Ciri utama dari

Negara hukum adalah adanya seperangkat prinsip hukum yang harus

dihormati, termasuk oleh pembentuk undang-undang (sebagai

pembentuk hukum) terikat padanya.4

Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik

Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah

Friedrich Julius Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan

perbaikan dari pandangan Immanuel Kant. Menurutnya, ada empat

elemen yang harus dimiliki dan menjadi ciri dari Negara hukum, yaitu

adalah pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); pemisahan

kekuasaan (scheiding van machten); pemerintahan berdasar atas

undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan peradilan tata

usaha Negara/ peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).

4 ibid, hlm 16.

Page 24: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

11

Sementara itu unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of

Law, yang berasal dari Dicey5, mengemukakan adanya tiga elemen

prinsip Negara hukum, yaitu:

1. Absolute supremacy of law, sebagai lawan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan mengesampingkan penguasa yang sewenang-wenang, prerogatif atau pun diskresi yang luas oleh pemerintah;

2. Equality before the law, yaitu kesamaan bagi semua orang (kelas) dihadapan hukum yang dilaksanakan pemerintah atau pengadilan; dan

3. Due process of law, yaitu segala tindakan Negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada satu tindakan pun yang tidak memiliki dasar hukumnya.

Yang mana Hilaire Barnett mengutip bahwa:6

Dicey argued that the rule of law – in its practical manifestation – has three main aspects: • no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body

or goods except for a distinct breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the land. In this sense, the rule of law is contrasted with every system of government based on the exercise by persons in authority of wide, arbitrary, or discretionary powers of constraint;

• no man is above the law; every man and woman, whatever be his or her rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the jurisdiction of the ordinary tribunals; and

• the general principles of the constitution (as, for example, the right to personal liberty, or the right of public meeting) are, with us, the result of judicial decisions determining the rights of private persons in particular cases brought before the courts

pendapat tersebut Pada penjelasannya, menurut Dicey mengenai

supremacy of law:7

5 Dicey sebagaimana dikutip Hamdan zoelva, Loc.cit.

6 Hilaire Barnett, Constitutional and Administrasi Law,Ed 4 (London: Cavendish

Publishing Limited, 2002, Hal 91.

Page 25: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

12

“virtue of the supremacy of rule of law in Great Britain no man is punishable… except for a distinct breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary Courts of the land.”

Kemudian yang menjadi paling fundamental kedua yaitu Equality

before the law, yang mana diungkapkan bahwa the equality of all

before the law, as well as the equal subjection of all to the same

jurisdiction.8 Kemudian dijelaskan kembali oleh Pietro Costa bahwa,

the principles of the rule of law demands more than the mere equality

of all before the law: it imposes the submission of everyone to the

same laws administrasion by the same court.9

Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyebut empat syarat

dalam gagasan Negara Hukum yang saling berhubungan satu sama

lain, yaitu pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah

bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua, adanya

kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam

fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya

jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan keempat,

adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum

dasar.

Konsistensi penerapan prinsip Negara hukum dalam suatu

Negara melahirkan teori legalitas yang dipegang teguh semua Negara

hukum modern. Teori tersebut mensyaratkan dalam segala tindakan

7 Pietro Costa, The Rule of Law History, Theory and Criticism, (The Netherlands: Springer,

2007) hal 163. 8 Loc.cit.

9 Ibid, hal 164.

Page 26: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

13

dan kebijakan Negara harus menghormati prinsip-prinsip hukum dan

undang-undang yang berlaku.10

Dalam bidang hukum pidana, teori ini mensyaratkan bahwa

sanksi kepada seseorang hanya dapat dikenakan jika ada hukum yang

mengaturnya sebelum perbuatan pidana dilakukan. Demikian juga

dalam tataran hukum tata Negara, konsistensi dan penghormatan atas

norma yang ada merupakan prinsip yang harus diterapkan dalam

kehidupan politik dan kenegaraan.

B. Demokrasi

Menurut Munir Fuady, Istilah demokrasi berasal dari penggalan

kata Yunani “demos” yang berarti “rakyat” dan kata “kratos” atau

“cratein” yang berarti “pemerintahan,” sehingga kata “demokrasi berarti

suatu “pemerintahan oleh rakyat.”11 Selanjutnya kata “pemerintahan

oleh rakyat” memiliki konotasi (1) suatu pemerintahan yang “dipilih oleh

rakyat” dan (2) suatu pemerintahan “oleh rakyat biasa” (bukan oleh

kaum bangsawan), bahkan (3) suatu pemerintahan oleh rakyat kecil

dan miskin (government by the poor) atau yang sering diistilahkan

dengan “wong cilik.” namun yang penting dalam demokrasi bukan

hanya siapa yang memilih pemimpin, melainkan juga cara dia

memimpin.

10

Hamdan Zolva, Op.cit hal 18 11 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, (Jakarta: Retika Aditama, 2009) hlm 1.

Page 27: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

14

Menurut Joseph Schmeter, demokrasi adalah suatu

perencanaan institusional untuk mencapai suatu putusan politik

dimana para individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara

perjuangan kompetitif atas suara rakyat.12 Kemudian menurut Philippe

C. Schmitter, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana

pemerintah dimintakan tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka

di wilayah public oleh warga Negara, yang bertindak secara tidak

langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka

yang telah terpilih.

Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh

rakyat, dan untuk rakyat. Sistem demokrasi tersebut selalu dikaitkan

dengan kedaulatan rakyat, karena rakyatlah yang memiliki kekuasaan

tertinggi. Urofsky13 mengidentifikasi ada sebelas prinsip dasar

demokrasi yang berkembang, yaitu:

1. Konstitusionalisme; 2. Pemilihan demokratis; 3. Federalism, Negara bagian, dan pemerintahan local; 4. Pembentukan undang-undang;peradilan yang independen; 5. Kekuasaan presiden; 6. Peranan media; 7. Peranan kelompok penekan; 8. Melindungi hak minoritas; 9. Konstrol sipil atas militer.

Prinsip ini harus dimiliki oleh Negara demokrasi, tentu kesebelas

prinsip ini tidaklah berlaku secara universal karena sistem

pemerintahan masing-masing Negara berbeda. Sedangkan dalam

12

Ibid, hlm 2. 13 Urofsky sebagaimana dikutip Fuady, ibid, hlm 19.

Page 28: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

15

buku “Apakah Demokrasi,” mengemukakan sebelas soko guru

demokrasi, yaitu:

1. Kedaulatan rakyat;

2. Pemerintahan rakyat;

3. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;

4. Kekuasaan mayoritas;

5. Hak-hak minoritas;

6. Jaminan hak-hak asasi manusia;

7. Pemilihan di depan hukum;

8. Proses hukum yang jujur;

9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;

10. Pluralism social, ekonomi, dan politik;

11. Nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerja sama, dan mufakat

Kemudian menurut Munir Fuady14, berdasarkan kepada nilai-

nilai yang harus dimiliki oleh demokrasi, maka sebuah demokrasil

minimal haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kedaulatan secara inklusif hanya ada pada rakyat. 2. Adanya ruang tempat dimana rakyat dapat berpartisipasi

secara aktif, disamping berpartisipasi dari parlemen yang juga merupakan wakil-wakil dari rakyat.

3. Adanya perlindungan yang maksimal terhadap hak asasi manusia.

4. Adanya sistem trias politika. 5. Adanya sistem cheks and balances antara eksekutif,

legislative, dan yudikatif. 6. Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi

manusia.

14 Ibid, hlm hal 17-18.

Page 29: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

16

7. Adanya pemahaman yang sama (common understanding) diantara rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

8. Adanya suatu pemilihan umum yang bebas, rahasia, jujur, dan adil.

9. Adanya hak untuk memilih yang merata, dan hak untuk dipilih juga yang merata menentukan wakil-wakilnya dan untuk mengisi berbagai jabatan publik.

10. Adanya sumber-sumber informasi alternative kepada rakyat disamping sumber informasi resmi dari pemerintah yang berkuasa.

11. Adanya sistem yang menjamin bahwa pelaksanaan kekuasaan Negara dapat mewujudkan semaksimal mungkin hasil suara dan aspirasi masyarakat yang tercermin dalam suatu pemilihan umum.

12. Adanya perlakuan yang sama terhadap semua kelompok dan golongan dalam masyarakat.

13. Adanya perlindungan terhadapa golongan minoritas dan golongan rentan.

14. Pengambilan putusan dengan sistem one man one vote. 15. Adanya sistem oposisi yang kuat. 16. Adanya penghargaan terhadap perbedaan pendapat dalam

masyarakat. 17. Sistem rekruitmen terhadap kekuasaan-kekuasaan dan

jabatan Negara yang dilakukan secara terbuka dan fair. 18. Adanya suatu sistem yang dapat menjamin terlaksananya

suatu rotasi sistem kekuasaan yang teratur, damai, dan alami.

19. Adanya akses yang mudah dan cepat kepada masyarakat luas terhadap setiap informasi tentang kebijakan pemerintah.

20. Adanya sistem yang akomodatif terhadap suara/ pendapat/ kepentingan yang ada dalam masyarakat.

21. Pelaksanaan sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip good governance.

22. Perujudan prinsip supremasi hukum dan rule of law. 23. Terujudnya sistem kemasyarakatan yang berbasis

masyarakat madani (civil society).

Suatu sistem pemerintahan yang demokratis sebenarnya

merupakan suatu fase dari suatu tata kehidupan masyarakat yang

Page 30: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

17

demokratis. Suatu tata kehidupan masyarakat yang demokratis itu

sendiri minimal haruslah menampakkan ciri-cirinya sebagai berikut: 15

1. Penghormatan terhadap pluralism dalam masyarakat, dengan menghilangkan sikap sectarian dan sikap mau menang sendiri. Di Indonesia, prinsip ini tersimpul dalam slogan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).

2. Semangat musyawarah dalam mencapai suatu putusan tertentu

3. Cara yang diambil haruslah selaras dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini, demokrasi tidak hanya berkepentingan dengan aspek proseduralnya saja (seperti bagaimana prosedur pemilihan umum, pengambilan putusan diparlemen, dan sebagainya) melainkan demokrasi berkepentingan juga dengan tujuan atau hasil yang dicapai. Misalnya, sudahkah dengan suatu pemilihan umum tersebut menghasilkan para wakil rakyat atau para pemimpin yang bagus-bagus.

4. Norma kejujuran dalam mufakat. Dengan prinsip kejujuran dan ketulusan dalam bermusyawarah, kita dapat diharapkan untuk saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada, dan dapat mengambil putusan yang menguntungkan semua pihak (atau yang disebut dengan istilah win-win solution).

5. Norma kebebasan, persamaan hak, dan kesamaan perlakuan diantara anggota masyarakat.

6. Toleransi terhadap prinsip “coba dan salah” (trial and error) dalam mempraktekkan demokrasi.

Pada umumnya masyarakat di Negara-negara sangat gandrung

terhadap demokrasi sehingga demokrasi merupakan satu-satunya

pilihan. Penyebabnya adalah karena beberapa faktor sebagai berikut:16

1. Faktor demokrasi prosedural. Dalam hal ini, prosedur pengambilan putusan secara demokratis, yang kebanyakan daripadanya dilakukan secara mayoritas, dengan partisipasi rakyat yang sebanyak-banyaknya, dengan penghargaan yang besar kepada kehendak rakyat, lebih dapat menjamin bahwa segala yang dilakukan dalam kehidupan bernegara

15

Ibid hlm 13-14. 16 Ibid hlm 5-6

Page 31: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

18

akan sesuai dengan kehendak rakyat untuk mencapai kebenaran, kemakmuran, dan keadilan.

2. Faktor kepatuhan kepada keputusan pemerintah/masyarakat. Dalam hal ini, karena keputusan yang diambil secara demokratis dianggap keputusan yang diambil secara bersama, meskipun sebagian kecil (minoritas) mungkin telah dikalahkan dalam pemungutan suara, maka keputusan seperti itu dapat membawa kesejukan hati bagi rakyat yang telah merasa dihargai dan telah menyatakan pendapatnya misalnya melalui suatu pemilihan umum. Karena itu, keputusannya tersebut sangat besar kemungkinannya untuk dipatuhi oleh rakyat.

3. Faktor tujuan yang bersifat substantif yang hendak dicapai oleh suatu demokrasi. Dalam hal ini demokrasi mengandung begitu banyak manfaat yang hendak dicapai bagi kehidupan manusia dan masyarakat, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini” ….Demokrasi dipertahankan karena ia menghasilkan kebijaksanaan yang bijak, suatu masyarakat yang adil, suatu masyarakat yang bebas, keputusan-keputusan yang memajukan pengetahuan dan kegiatan intelektual, dan sebagainya. … bahwa demokrasi akan memajukan mereka… (david miller, et al., 1983:254)

4. Faktor pencarian kebahagiaan manusia. Sesuai ajaran dari paham utilitarianisme bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya manusia (the most happiness for the greatest people), maka pengambilan putusan secara demokratis adalah yang paling mungkin mencapai kebahagiaan tersebut, karena proses pengambilan putusan secara demokratis melibatkan semua anggota masyarakat yang sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang berhak atas kebahagiaan (happiness) tersebut.

Untuk mengukur sebuah Negara disebut Negara demokrasi,

sangat tergantung pada penghormatan dan konsistensinya untuk

memenuhi prinsip demokrasi. Sebuah kebijakan dianggap legitime bila

mayoritas rakyat memberikan persetujuan atas dukungannya atas

Page 32: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

19

suatu kebijakan Negara. Jadi, prinsip legitimasi terkait dengan prinsip

demokrasi.17

C. Check and Balances System

Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari

lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak

dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan.18 Dalam

rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori

pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke.

Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan

politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative power),

kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif

(federative power).

Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk

undang-undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental

lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan

peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan

federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar

negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga, aliansi

antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing.

17

Hamdan zoelva, Opcit, hlm 21 18 Ibid hlm 59

Page 33: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

20

Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan

oleh Baron Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica.

Dalam teorinya, kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu

kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan

pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara. Kekuasaan

eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan

hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan

kehakiman.

Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan

Negara tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ

Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak

boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak.

Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam.19

Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan

Monstesquieu tersebut tidak dapat diterapkan pada Negara-negara

dewasa ini. Kenyataannya ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak

mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat

sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari sinilah

dikembangkan teori checks and balances.

19 Ibid, hlm 62.

Page 34: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

21

Check and balances mengacu pada variasi atau aturan

prosedur yang memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi

kekuasaan lainnya.20 Judicial review adalah bukti pelanggaran batas

atas prinsip pemisahan kekuasaan, demikian juga impeachment

presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling mengimbangi dan

mengawasi yang sekarang ini kita pahami sebagai check and

balances.

Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD

1945 tidak mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai

penjelmaan rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi

diantara lembaga-lembaga lainnya. Yang mana berbeda dengan

ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai

oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut sehingga

menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat

Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar

Haluan Negara (GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di

bawah MPR yang berkewajiban menjalankan haluan Negara yang

ditetapkan oleh MPR serta tunduk dan bertanggung jawab kepada

MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang dapat menguasai

MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika

Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar

kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenannya.

20 Ibid, hlm 63

Page 35: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

22

Sistem check and balances mulai diterapkan setelah

amandemen UUD 1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi

dan mengimbangi pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan

perimbangan ini dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat

membatasi kekuasaan pemerintahan lainnya.21 Kedudukan MPR tidak

lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi

menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya

kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga

tinggi lainnya.

Pembatasan kekuasaan yang diisyaratkan undang-undang

dasar juga mengatur beberapa kewenangan yang dimiliki oleh satu

cabang kekuasaan pemerintahan, yang mana ada cabang kekuasaan

membutuhkan pengesahan dan persetujuan dari cabang kekuasaan

yang lainnya. Seperti beberapa kewenangan yang ada pada presiden

membutuhkan pengesahan dan persetujuan dari DPR. Begitupun juga

sebaliknya kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif membutuhkan

pengesahan dan persetujuan cabang pemerintahan lainnya.

D. Lembaga Negara yang Berkaitan dengan Proses Pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden

1. Presiden

Istilah president merupakan derivatif dari to preside yang berarti

memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata Latin presidere

21 Ibid, hlm 80

Page 36: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

23

berasal dari kata prae yang berarti di depan, dan kata sedere yang

berarti duduk. Jabatan presiden yang dikenal sekarang ini, yaitu

sebagai kepala dari negara yang berbentuk republik, muncul di

Amerika Serikat pada abad ke-18.22

Di Indonesia, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan

menurut UUD 1945.23 Kekuasaan Pemerintahan tersebut menunjuk

pada salah satu cabang kekuasaan dari konsep trias politica yang

merupakan lembaga Negara. Lembaga Kepresidenan ini mempunyai

kedudukan yang sama dengan cabang kekuasaan lainnya sehingga

dapat melakukan pengawasan terhadap lembaga Negara lainnya

dalam koridor UUD 1945 sebagai wujud pelaksanaan prinsip check

and balances.

Adapun beberapa urusan kewenangan Presiden menurut UUD

1945 adalah: 24

a. Kewenangan yang bersifat eksekutif, yaitu kewenangan menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.25 Karena komplek dan dinamisnya persoalan pemerintahan yang tidak mungkin tertampung semua dalam peraturan perundang-undangan, maka pemerintah diberi kebebasan untuk bertindak (discretionary power).

b. Kewenangan yang bersifat legislatif, yaitu kewenangan untuk mengatur kepentingan umum berupa pengajuan rancangan undang-undangan kepada DPR, menetapkan peraturan

22 Tim peneliti Mahkamah Konstitusi, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kerja sama dengan Kondrat –Adenauer-Stiftung, 2005) hlm 23

23 Lihat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 24

M. Saleh dan Mukhlish, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (sebuah Tinjauan Konstitusional), (Surabaya: P.T. Bina Ilmu, 2010) Hlm 19-20.

25 Lihat pasal 4 ayat (1) UUD 1945

Page 37: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

24

pemerintah untuk menjalankan undang-undang, serta menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

c. Kewenangan yang bersifat judicial, yaitu kewenangan dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan. Kewenangan ini dilakukan oleh Presiden dalam bentuk pemberian grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung serta memberikan Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR.

d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu kewenangan menjalankan perhubungan dengan Negara lain atau subjek hukum internasional lainnyadalam konteks hubungan luar negeri baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Untuk menjalankan kewenangan diplomatik ini, Presiden diberi kewenangan memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Disamping itu, kewenangan ini juga dijalankan oleh Presiden dalam bentuk menyatakan perang,membuat perdamaian, membuat perjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Presiden juga berwenang untuk menyatakan keadaan bahaya yang ditetapkan di dalam undang-undang

e. Kewenangan yang bersifat administratif, yaitu kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan seseorang dalam jabatan-jabatan kenegaraan tertentu atau di dalam jabatan-jabatan administrasi Negara. Kewenangan administrasi ini dilakukan oleh Presiden terhadap Konsul serta Duta Indonesia untuk ditempatkan dibeberapa Negara maupun Duta Negara lainyang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesiadengan memperhatikan pertimbangan DPR. Member tanda gelar, jasa, dan kehormatan lainnyaserta membentuk Dewan Pertimbangan Presiden.

Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang

Wakil Presiden. Apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,

atau tidak dapat melakukan kewajibannyan dalam masa jabatannya. ia

digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.

Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara

langsung oleh rakyat. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden,

Page 38: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

25

selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR

menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua

calon yang diusulkan oleh Presiden.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat

Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi

negara, karena perubahan tersebut tidak lagi mengikuti doktrin

supremasi parlemen yang mendudukkan MPR sebagai penjelmaan

seluruh rakyat Indonesia.

MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum

dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Kemudian menurut

Jimly Asshiddiqie, antara lain mengemukakan “Karena adanya kata

anggota dalam rumusan tersebut di atas, berarti meskipun

keanggotaannya dirangkap, institusi MPR itu sama sekali berbeda dan

terpisah dari institusi DPR dan institusi DPD.26

Sebagai institusi yang berbeda dengan DPR dan DPD, maka

MPR juga mempunyai tugas wewenang tersendiri yaitu:

a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia;

26

A.A. Oka Mahendra, 70 tahun Prof. Dr. Bintan R. Saragih- Percikan Pemikiran Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik, (Jakarta: Wildan Akademika dan Universitas Ekasakti Pers, 2010) hlm 48

Page 39: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

26

b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan

umum;

c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden

dan//atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah

Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau

Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa

pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak

pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau bahwa

Presiden dan.atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;

d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden ababila Presiden

mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya;

e. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh

Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden

dalam masa jabatannya; dan

f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya

mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2

(dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang

diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang

pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara

Page 40: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

27

terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum

sebelumnya, sampai berakhirnya masa jabatan.

Karena keberadaan MPR dipandang sebagai institusi tersendiri

di dalam struktur ketatanegaraan, maka MPR termasuk bagian dari

pelaksana cabang kekuasaan. Namun, eksistensi MPR tidak jelas

sebagai salah satu pelaksana ketiga cabang kekuasaan Negara.27di

dalam Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa yang mempunyai

kekuasaan membentuk Undang-Undang (kekuasaan legislative)

hanyalah DPR. MPR sama sekali tidak mempunyai wewenang untuk

itu, sedangkan DPD hanya berwenang sampai pada pengajuan dan

ikut membahas sebuah rancangan undang-undang. DPD tidak

mempunyai wewenang untuk mensahkan undang-undang.

Untuk menciptakan check and balances, maka MPR sebagai

pelaksana dari kekuasaan Negara diberi wewenagn untuk dapat

memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini dapat

dikategorikan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.

Dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden lebih

merupakan proses politik yang terjadi di dalam rapat Paripurna MPR.

Sehingga pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tergantu

pada peta kekuatan politik di MPR tersebut. MPR bersidang

sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Segala putusan

MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.

27 M. Saleh dan Mukhlish, Op.cit. Hlm 11.

Page 41: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

28

3. Dewan Perwakilan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering

disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR)

adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.

Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan

tempat masyarakat untuk aspirasi dan menyuarakan kepentingannya.

Lewat lembaga ini akan keluar kebijakan yang menjadi dasar bagi

Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan, yang diwujudkan

dalam bentuk undang-undang.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga

perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. DPR

mempunyai tugas dan wewenang yaitu:

a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden

untuk mendapat persetujuan bersama;

b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan

terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang

diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;

c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,

pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

Page 42: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

29

lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan

pusat dan daerah;

d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud

dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil

persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;

e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh

Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah,

hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran

serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan

keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD

sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan

Presiden;

f. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-

undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;

g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan

pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas

rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh

Presiden;

h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undangundang

dan APBN;

Page 43: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

30

i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang

disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undangundang

mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan

penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;

j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan

perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara

lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang

menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan

rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau

mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;

k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian

amnesti dan abolisi;

l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal

mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar

negara lain;

m. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan

DPD;

n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas

pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang

disampaikan oleh BPK;

Page 44: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

31

o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan

dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;

p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan

Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh

Presiden;

q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya

kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;

r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset

negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang

berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait

dengan beban keuangan negara;

s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti

aspirasi masyarakat; dan;

t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam

undang-undang.

Tugas dan wewenang di atas merupakan penjabaran dari 3

(tiga) fungsi DPR. Fungsi tersebut yang Pertama, fungsi legislasi yaitu

sebagai fungsi membentuk undang-undang yang dibahas bersama-

sama dengan Presiden. Kedua fungsi anggaran, yaitu fungsi yang

dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau

tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang

tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Ketiga fungsi

Page 45: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

32

pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap

pelaksanaan kebijakan pemerintah sesuai peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan, UUD 1945

memberikan kewenangan kepada DPR untuk usulan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden jika ada dugaan pelanggaran

Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Dugaan Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam tata cara sidang DPR atas dugaan

pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan sebagai

hak menyatakan pendapat dengan melalui prosedur yang berlaku di

DPR. Prosedur tersebut adalah dengan usulan hak interpelasi, hak

angket, dan hak menyatakan pendapat.

Proses ini dimulai dengan pengusulan Hak Interpelasi pada

rapat paripurna DPR. Pengusulan hak interpelasi disertai dengan

dokumen yang memuat sekurang-kurangnya :

a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan

Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan

b. alasan permintaan keterangan.

Apabila usul hak interpelasi tersebut disetujui sebagai interpelasi DPR,

pimpinan DPR menyampaikannya kepada Presiden dan mengundang

Presiden untuk memberikan keterangan. Terhadap keterangan

Presiden, diberikan kesempatan kepada pengusul dan anggota yang

lain untuk mengemukakan pendapatnya dan memberikan kesempatan

Page 46: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

33

kepada Presiden untuk menjawabnya. Jika DPR menolak keterangan

dan jawaban Presiden, DPR kemudian meneruskan pada pengusulan

hak Angket.

Dalam rapat paripurna, pengusulan hak angket disertai dengan

dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:

a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undangundang yang

akan diselidiki; dan

b. alasan penyelidikan

Jika rapat paripurna memutuskan untuk menyetujui usul mengadakan

angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia

angket. panitia khusus/ panitia angket berhak meminta pejabat negara,

pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk

memberikan keterangan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, panitia

angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna dan mendengar

pendapat akhir dari fraksi, kemudian keputusan tersebut disampaikan

kepada Presiden. Setelah hak angket telah dilaksanakan maka

dilakukanlah usulan hak menyatakan pendapat atas pelanggaran yang

dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Usul hak menyatakan pendapat disampaikan oleh pengusul

kepada pimpinan DPR yang selanjutnya diumumkan oleh pimpinan

kepada seluruh anggota DPR. Badan Musyawarah membahas dan

menjadwalkan rapat paripurna atas usul menyatakan pendapat dan

Page 47: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

34

dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan

penjelasaan atas usul menyatakan pendapatnya secara ringkas.

Dalam hal rapat paripurna menyetujui usul hak menyatakan

pendapat, rapat paripurna membentuk panitia khusus yang kemudian

akan melakukan pembahasan dengan Presiden. Panitia khusus yang

dibentuk tersebut dapat mengadakan rapat kerja, rapat dengar

pendapat, dan/atau rapat dengar pendapat umum dengan pihak yang

dipandang perlu, termasuk pengusul. Setelah pembahasan, maka

dilanjutkan dengan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna

untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat tersebut.

Keputusan DPR mengenai usul menyatakan pendapat yang

berupa dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan

pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela

maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden dimohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan

putusan.

4. Mahkamah Konstitusi

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dimaksudkan

untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan

UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Mahkamah Konstitusi ini menurut pasal 7B dan Pasal 24C

Page 48: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

35

kewenangannya bukan hanya menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar melainkan meliputi28

a. Kewenangan 1) Pengujian Undang-Undang terhadap UUD; 2) Mengadili sengketa kewenangan antaralembaga Negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD 3) Memutus pembubaran partai politik 4) Memeriksan dan memutus perselisihan hasil pemilu. 5) Sejak keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008,

Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan baru, yaitu memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah.

b. Kewajiban Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tertentu menurut UUD dan/atau Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat. Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan mempunyai

fungsi untuk mengawal konstitusi (the guardian of constitution), agar

dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan Negara

maupun warga Negara. Selanjutnya Jimly Asshiddiqie29 menguraikan

bahwa:

“dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”

28 Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Ed 1 Cet. 2, (Jakarta:

Rajawali Pers, 2010), hlm263. 29

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Ed 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm

Page 49: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

36

Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota

hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-

masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan

Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Hakim Mahkamah

Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil,

negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak

merangkap sebagai pejabat negara.

Dalam kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan

untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR atas pelanggaran

tertentu yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut

UUD 1945 dan/atau Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi

syarat sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.

Putusan atas pendapat DPR tersebut disampaikan kembali oleh

DPR. Dalam hal putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi

membenarkan pendapat DPR maka Proses Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dapat dilanjut. Namun jika putusan

Mahkamah Konstitusi menolak atau tidak dapat diterima, maka DPR

tidak dapat melanjutkan proses pemberhentian tersebut.

Page 50: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

37

E. Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

Impeachment merupakan proses politik manakala parlemen

secara resmi menjatuhkan sanksi “pemecatan” terhadap seorang

presiden yang nyata telah melanggar konstitusi negara.30

Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

sering juga disebut dengan kata impeachment. Pemakzulan secara

historis, impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen

menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-

pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerfull, yang terkait

dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan

kewenangan pengadilan biasa.

Black‟s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A

criminal proceeding against a public officer, before a quasi political

court, instituted by a written accusation called „articles of

impeachment”. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan

pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan

Senat, disebut dengan quasi political court.31 Sementara Encyclopedia

Britanica menguraikan pengertian impeachment sebagai “a criminal

proceeding instituted against a public official by a legislative body”.

30

Satya Arinanto, Lembaga Kepresidenan dalam Perspektif Hukum Tata Negara-Jangan Takut Bayang-Bayang Impeach Pak Presiden, (Majalah Figur Edisi XI/TH 2007) hal 48

31 Tim peneliti Mahkamah Konstitusi, Opcit, hlm 22.

Page 51: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

38

Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses

pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik.32

Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga

seolah-olah lembaga „impeachment‟ itu identik dengan

„pemberhentian‟. Oleh karenanya Jimly mengatakan Sesungguhnya

arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga

impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti

berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi

negara lain dari jabatannya.33

Objek Impeachment bukan hanya merupakan proses

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa

jabatannya, tetapi Impeachment tersebut merupakan proses

pemberhentian terhadap para pejabat Negara yang dianggap

melanggar ketentuan sebagaimana telah diatur di dalam peraturan

perundang-undangan.34 Objek dari impeachment diberbagai negara

berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi negara

seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi

objek impeachment. Namun objek impeachment yang menyangkut

pimpinan negara akan lebih banyak menyedot perhatian publik. Seiring

dengan Perubahan UUD 1945, Indonesia juga mengadopsi

32 Ibid hlm 27. 33 Lihat Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam laporan penelitian-mekanisme impeachment

dan hukum acara mahkamah konstitusi, kerjasama Mahkamah Konstitusi dan Konrad Adenauer stiftung, Jakarta, 2005.

34 M. Saleh dan Mukhlish, Opcit. hlm

Page 52: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

39

mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada

Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sebelum amandemen UUD 1945, proses proses pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diatur di dalam UUD 1945.

Pemberhentian tersebut hanya didasarkan Pasal 8 UUD 1945 yaitu jika

Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan

kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden

sampai habis masa waktunya.35

Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Hubungan

Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-

Lembaga Tinggi Negara mengenai proses pemberhentian Presiden di

mulai dari pengawasan DPR atas tindakan presiden dalam

melaksanakan haluan Negara. Jika kemudian DPR dalam

melaksanakan fungsi pengawasannya menganggap presiden

melanggar haluan negara, DPR dapat menyampaikan memorandum

kepada presiden untuk mengingatkan presiden telah melakukan

pelanggaran haluan Negara. Apabila dalam waktu 3 bulan presiden

tidak mengindahkannya, maka DPR akan menyampaikan

memorandum kedua kepada Presiden. Apabila dalam waktu 1 bulan,

presiden tidak juga mengindahkan memorandum DPR tersebut, maka

DPR dapat meminta untuk MPR mengadakan sidang istimewa untuk

pertanggung jawaban presiden.

35 Lihat pasal 8 UUD 1945 (sebelum amandemen)

Page 53: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

40

Tabel 1

Mekanisme pemberhentian Preside menurut TAP MPR No. III/MPR/1978

Alasan

Pemberhentian

Mekanisme Pemberhentian

DPR MPR

Presiden

sungguh-

sungguh

melanggar

haluan Negara

Peringatan

pertama kepada

presiden

(memorandum I)

selama 3 bulan

Peringatan

kedua kepada

Presiden

(memorandum

II) selama 1

bulan

Permintaan

Sidang

Istimewa

kepada

MPR

Sidang

Istimewa

meminta

pertanggung

jawaban

Presiden.

Pemberhentian dalam masa jabatan menurut TAP MPR

tersebut dipandang hanya berdasarkan alasan politik yang mana

melanggar haluan negara dapat ditafsirkan begitu luas.36 Oleh

karenanya usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

pada saat itu sangatlah subjektif. Menurut Hamdan Zoelva yang

dimaksud haluan Negara tersebut adalah apapun haluan atau garis-

garis yang ditetapkan undang-undang dasar maupun ketetapan

MPR.37 Selanjutnya dijelaskan bahwa

dengan demikian seluruh pasal UUD 1945, yang terkait dengan tugas, wewenang, dang tanggung jawab presiden merupakan haluan Negara, termasuk pancasila, UUD 1945 dan penjelasannya, dan lain-lain. Alasan-alasan dan mekanisme

36

Lihat makalah Mahfud MD berjudul Undang-Undang Dasar Sebelum dan Sesudah, hlm 7 (http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_14.pdf)

37 Hamdan Zoelva, Op.cit, hlm 87.

Page 54: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

41

inilah yang dipergunakan MPR ketika memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 200138

pada Amandemen ke-IV UUD 1945, di Indonesia ada beberapa

alasan yang dapat digunakan untuk melakukan impeachment terhadap

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Alasan tersebut diatur dalam pasal

7A UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Lebih lanjut alasan tentang Pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden ini dijelaskan di dalam Pasal 10 ayat (2)

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yaitu:

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Berdasarkan Pasal di dalam UUD 1945 dan Undang-Undang

tentang Mahkamah Konstitusi bahwa terdapat 2 alasan untuk

memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa

jabatannya, yaitu karena secara umum Presiden dan/atau Wakil

Presiden melakukan pelanggaran dan kedua karena Presiden

38 Loc.cit

Page 55: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

42

dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

Adapun yang dimaksud “pelanggaran” adalah sebagaimana

disebutkan di dalam Pasal 7A UUD 1945 itu sendiri, yaitu terbatas

pada 5 (lima) Perkara:

a. Penghianatan terhadap Negara;

b. Korupsi;

c. Penyuapan;

d. Tindak pidana berat lainnya;

e. Perbuatan tercela.

Batasan mengenai pelanggaran tersebut termuat di dalam Pasal

10 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yaitu:

a. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap

keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;

b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau

penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang;

c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dpapat merendahkan

martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden39

39

Lihat pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tantang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

Page 56: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

43

Adapun alasan kedua yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden

tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden

sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945:

Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannyadan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu sehara rohani dan jasmani untuk melaksanakantugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Presiden dan/atau wakil presiden tidak dengan mudah

diberhentikan begitu saja, melainkan harus melalui mekanisme-

mekanisme yang telah ditentukan di dalam UUD 1945. Di dalam UUD

1945 Proses impeachment dilakukan melalui proses di 3 lembaga

negara secara langsung. Proses yang pertama berada di DPR. DPR

melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas

dugaan-dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan

tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang

tergolong dalam alasan-alasan impeachment. Setelah proses di DPR

selesai, yang mana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk

menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan

tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat

Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Setelah

permohonan DPR diterima oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah

Konstitusi wajjib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR

tersebut. Apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan

DPR tersebu, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk

Page 57: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

44

meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

kepada MPR. Setelah itu MPR memberikan keputusan terhadap usu

DPR tersebut, yang mana berujung pada 2 kemungkinan, yaitu

Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan atau tidak

diberhentikan.

F. Pemberhentian Presiden di Beberapa Negara

Konstitusi Filiphina menentukan bahwa presiden dapat

diberhentikan dari dakwaannya yang terbukti menyalahi konstitusi

(culpable constitution), penghianatan (treason), Penyuapan (bribery),

gratifikasi (graft), dan korupsi (corruption), tindak pidana berat lainnya

(other high crimes), atau penghianatan atas kepercayaan public

(betrayal of public trust). Menurut Jose N. Nolledo, penghianatan itu

tidak harus merupakan tindak pidana, tetapi cukup pelanggaran atas

sumpah jabatan dapat merupakan pengkhianatan atas kepercayaan

publik.40

Proses Pemberhentian Presiden Filiphina mempergunakan

proses dua tingkat, yaitu pendakwaan oleh the House of

Representative dan disidang oleh senat. Untuk mendakwa presiden

dihadapan senat, diperlukan paling kurang 1/3 anggota House.

Sedangkan senat harus menyidang dipimpin oleh ketua Mahkamah

Agung Filiphina dan memutus dakwaan House yang dalam hal ini

40 Hamdan zoelva, Op.cit, hlm 54.

Page 58: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

45

presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya jika

disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota senat.

Kemudian di Korea Selatan juga menentukan Presiden dapat

diberhentikan dalam masa jabatannya. Alasan diberhentikannya dapat

berupa pelanggaran terhadap konstitusi atau perbuatan lainnya dalam

melaksanakan jabatannya. Usukan pemberhentian Presiden tersebut

dilakukan oleh Parlemen Korea Selatan (National Assembly) dengan

persetujuan mayoritas anggota Parlemen dan disetujui sekurang-

kurangnya 2/3 anggota Parlemen. Setelah mosi dakwaan disetujui oleh

parlemen, maka presiden harus nonaktif dari jabatannya sampai

keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah mosi dakwaan

diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka persidangan dan putusan

pemberhentian Presiden menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.

Konstitusi Jerman menentukan bahwa, Bundestag (Majelis

Rendah) atau Bundestrat (Majelis Tinggi) dapat mengajukan dakwaan

pemberhentian Presiden di hadapan Mahkamah Konstitusi atas

tindakan Presiden yang melanggar Konstitusi atau melanggar setiap

undang-undang federal. Dugaan Pemberhentian tersebut harus

didukung sekurang-kurangnya ¼ anggota Bundestag atau ¼

Bundestrat. Untuk dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi dakwaan ini

harus disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota Bundestag atau 2/3

anggota Bundestrat. Jika Mahkamah Konstitusi menemukan kesalahan

Page 59: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

46

presiden seperti yang diajukan oleh Bundaetag atau Bundestrag, maka

Presiden diberhentikan dari jabatannya dan merupakan putusan final.

G. Pelanggaran Hukum

Dalam perkara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden terdapat beberapa jenis pelanggaran hokum yaitu

pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnyam atau perbuatan tercela.41

Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap

keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang42

peraturan terhadap keamanan Negara terdapat pada pasal 104-129

Buku II – Kejahatan, dalam BAB I – Kejahatan Terhadap Keamanan

Negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi:

a. Makar terhadap kepala Negara (Pasal 104); b. Makar untuk memasukkan Indonesia di bawah kekuasaan

asing (Pasal 106) c. Makar untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107) d. Pemberontakan (Pasal 108) e. Pemufakatan jahat dan/atau penyertaan untuk melakukan

kejahatan yang dimaksud Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP;

f. Mengadakan hubungan dengan Negara asing yang bermusuhan dengan Indonesia (Pasal 111);

g. Mengadakan hubungan dengan Negara asing dengan tujuan agar Negara asing membantu suatu penggulingan terhadap pemerintah di Indonesia (Pasal 111 bis);

h. Menyiarkan surat-surat rahasia (Pasal 112-pasal 116);

41 Lih Pasal 7A UUD 1945 42

Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Page 60: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

47

i. Kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara (Pasal 117-120)

j. Merugikan Negara dalam perundingan diplomatic (Pasal 121);

k. Kejahatan yang biasa dilakukan oleh mata-mata musuh (Pasal 122 – Pasal 125)

l. Menyembunyikan mata-mata musuh (Pasal 126); dan m. Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentara

Selain itu juga terdapat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999

tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, ada 2 (dua) macam pengkhiatan,

yaitu:43

1. Pengkhianatan intern (hoogveraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi, mengenai keamanan intern (inwendige veiligheid) dari Negara;

2. Pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan Negara terhadap serangan dari luar negeri. Jadi, mengenai keamanan ekstra (uitwendige veiligheid) dari Negara. Misalnya, memberikan pertolongan kepada Negara asing yang bermusuhan dengan Negara kita.

Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu

straafbaar feit. straafbaar feit berasal dari 2 bentuk kata yaitu straafbarr

dan feit. Straaf berarti dapat dihukum dan feit dalam bahasa Belanda

diartikan sebagian dari kenyataan, sehingga secara harfiah perkataan

straafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.

Kemudian simons berpendapat bahwa straafbaarfeit itu adalah

tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja

43

Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Op.cit, hal 65.

Page 61: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

48

ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat

dipertanggung jawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan

sebagai tindakan yang dapat dihukum.44

Kemudian menurut Evi Hartanti45 alasan Simons mengapa

straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena:

1. Untuk adanya suatu straafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;

2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsure dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;

3. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.

Kemudian pompe mengatakan bahwa straafbaarfeith secara

teoritis dapat dirumuskan sebagai pelanggaran norma atau gangguan

terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah

dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap

pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan

terjaminnya kepentingan umum.

Dalam kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden

dan/atau wakil Presiden, UUD 1945 memungkinkan pemberhentian

Presiden jika melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud

44

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Ed kedua, Semarang: Sinar Grafika. 2005) , hlm 5. 45 Simons sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti, ibid, hlm 5-6

Page 62: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

49

dapat berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, atau tindak pidana

berat lainnya.

Dalam kaitannya dengan pelanggaran hokum mengenai korupsi

diatur bahwa, korupsi adalah tindak pidana korupsi sebagaimana

diatur dalam undang-undang.46 Penyuapan adalah tindak pidana

penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.47 Selain itu

secara harfiah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption,48

yang mempunyai makna kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap tidak bermoral, penyimpangan dari

kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.49

Baharuddin Lopa mengutip dari David M. Chalmers, menguraikan arti

istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut

masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang

ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.50

Pelanggaran hokum berupa korupsi dan penyuapan dapat

dijadikan satu, yaitu tindak pidana korupsi dan penyuapan baik yang

diatur dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang yang lain, seperti

46 Lih Pasal 1 angka (8) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

47 Lih Pasal 1 angka (9) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

48 Dalam bahasa Inggris corruption; Perancis yaitu corruption; Belanda, yaitu corruptie. 49

Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.

50 Evi Hartanti, Op.cit, hal 9.

Page 63: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

50

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Hamdan Zoelva,

yang dapat dikategorikan sebagai korupsi dan penyuapan meliputi:51

a. Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang terdiri dari: 1. Perbuatan secaa melawan hokum memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara;

2. Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.

b. Tindak pidana yang sebelumnya merupakan tindakan tindak pidana suap yang terkait dengan jabatan negeri, hakim, dan advokat sebagaimana diatur dalam KUHP, jabatan penyelenggara Negara, serta pemborong, ahli bangunan serta pengawas bangunan yang terkait dengan kepentingan umum dan TNI.

c. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan dalam perkara korupsi dan penyuapan.

Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) huruf (c) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Jo Pasal 1 ayat 10)

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan

Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden yang dimaksud tindak pidana berat lainnya adalah tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

51

____, BAB IX- Hukum Acara Memutus Pendapat DPR dalam Proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dala Masa Jabatannya, Hal 260-261.

Page 64: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

51

Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan

martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.52 Perbuatan tercela

adalah perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat dan tidak

seharusnya dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apabila

dimaksudkan dilakukan, akan merusak citra dan kehormatan Presiden

dan/atau Wakil Presiden.

52 Lihat Pasal 1 angka (10) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009

Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Page 65: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

52

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam

penyusunan karya tulis ini, maka penelitian dilakukan di perpustakaan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI).

Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan karena dalam

penulisan skripsi ini penulis membutuhkan data-data yang berkaitan

dengan dasar hukum penormaan di dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasca amandemen).

B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Untuk memecahkan isu hukum dalam penelitian ini, maka

diperlukan sumber-sumber hukum. Sumber-sumber penelitian hukum

ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu sumber hukum primer dan

sumber hukum sekunder.

Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah siding pembentukan

perundang-undangan, dan putusan pengadilan. Sedangkan sumber

bahan-bahan sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan catatan resmi. Publikasi tersebut meliputi buku-buku teks,

kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, makalah hukum, dan komentar-

komentar terkait penelitian ini.

Page 66: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

53

C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan untuk

memperoleh bahan dan informasi yaitu Statute Uproach (Pendekatan

Undang-Undang) dengan literatur yang berhubungan dengan masalah

yang dibahas seperti:

1. Peraturan perundang-undangan yang relevan dengan

penulisan ini, catatan-catatan resmi atau risalah siding

pembentukan peraturan perundang-undangan, dan putusan

pengadilan

2. Buku, majalah, media internet, kamus hukum, jurnal karya

ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang dibahas

dalam penulisan.

D. Analisis Bahan Hukum

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode Statute

Uproach (pendekatan Undang-Undang) yaitu itu menganalisa bahan

hukum yang diperoleh dari metode penelitian ini dengan cara

menjelaskan obyek penelitian yang di dapat dari penelitian

berdasarkan metode kualitatif, shingga dapat memperoleh gambaran

jelas tentang substansi materi yang akan dibahas dalam penulisan ini.

.

Page 67: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

54

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

Atas Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau

Wakil Presiden.

pemakzulan53 adalah salah satu mekanisme yang secara

konstitusional disediakan oleh konstitusi untuk mempersingkat masa

jabatan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya bila

terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang disebutkan

secara eksplisit di dalam konstitusi karenanya banyak Ahli

menganggap bahwa permakzulan atau impeachment dianggap

sebagai extraordinary political event di dalam sistem Presidensil.54

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, Udang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah

amandemen, telah memuat ketentuan mengenai mekanisme

pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Pemberhentian

tersebut, dapat dilakukan karena beberapa alasan, baik apabila

terbukti Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,

tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/ atau bahwa

53

Kata pemakzulan biasa juga disebut Impeachment. Di dalam UUD 1945 disebut Proses Pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden

54 Putusan Mk no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian keterangan ahli, Saldi Isra, hal 47

Page 68: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

55

Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Bought Mafter dan Naukokada

pada tahun 2003, menyebutkan bahwa pemakzulan atau impeachment

di dalam sistem presidensil dia anggap semacam political earthquake

dan extraordinary political event, karena hal tersebut adalah bentuk-

bentuk pelanggaran yang dapat berujung pada pemakzulan yang

kemudian ditentukan secara definitive di dalam konstitusi atau Undang-

Undang Dasar 1945.55

Hampir semua konstitusi Negara mengatur permasalahan

“pemakzulan” atau “impeachment” sebagai suatu cara yang sah dan

efektif untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam

menjalankan konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang

(abuse of power/detournement de pouvoir) dan tetap pada koridor

peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip-

prinsip rule of law.56 Oleh Karenanya UUD 1945 mengatur mekanisme

tersebut. Mekanisme pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil

Presiden termuat dalam pasal 7B UUD 1945 yang menyatakan bahwa:

1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa

55

Putusan Mk no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian keterangan ahli, Saldi Isra, hal 48 56 Seger Widyaiswara Madya, Sekilas tentang Pemakzulan (impeachment), hal 3.

Page 69: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

56

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

2. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

3. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama Sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

5. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan siding paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

6. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

7. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Banyak pertimbangan ketika mekanisme pemberhentian

Presiden dan/ atau Wakil Presiden tersebut kemudian diatur dalam

UUD 1945. Misalnya saja karena Negara mengambil sistem

Page 70: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

57

presidensial sebagai sistem di dalam pemerintahan, yang mana salah

satu ciri dalam sistem presidensial adalah masa jabatan Presiden dan/

atau Wakil Presiden diupayakan fix term.

Kemudian kita juga dapat mengkaji peraturan sebelumnya yang

ada kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil

Presiden, yang mana Presiden dan/ atau Wakil Presiden sangat

mudah dijatuhkan dengan alasan-alasan politik. Proses pemberhentian

Presiden sebelum amandemen UUD 1945 diatur dalam Ketetapan

MPR No. VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja

Lembaga Tinggi Negara dengan/ antar Lembaga-Lembaga Tinggi

Negara yang kemudian diubah dengan Ketetapan MPR No.

III/MPR/1978. Mekanisme pemberhentian tersebut adalah mekanisme

politik, jadi alasan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden

juga bersifat politik. Adanya mekanisme tersebut dianggap tidak

sejalan dengan prinsip negara hukum yang dianut oleh bangsa

Indonesia. Untuk itu, MPR memandang perlu untuk mengatur

pemberhentian Presiden (dan Wakil Presiden) dalam UUD 1945.57 Hal

yang sama dijelaskan oleh Saldi Isra bahwa, Salah satu upaya para

pengubah konstitusi tahun 1999 sampai 2002 memperjelas hal-hal

atau sebab-sebab yang memungkinkan seorang Presiden dan/atau

Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya karena

57 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945- Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 1, (Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2012), hal 374.

Page 71: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

58

sebelumnya lebih didasarkan kepada alasan-alasan politis, misalnya

melanggar garis-garis besar daripada haluan negara.58

Dalam pembahasan perubahan ketiga UUD 1945, I Dewa Gede

Palguna mengingatkan bahwa kosekuensi menganut sistem

presidensiil adalah adanya stabilitas pemerintahan dalam pengertian

fixed executive system.59 Selanjutnya, menurutnya bahwa

impeachment merupakan pengecualian ketika Presiden dan/atau Wakil

Presiden melakukan kesalahan atau kekeliruan, tetapi bukan dalam

rangka mengganggu fixed executive system. Lengkapnya dalam rapat

tersebut ia mengatakan:60

“Dengan demikian, maka hanya karena hal-hal yang luar biasa sajalah yang memungkinkan plihan rakyat itu diubah dalam arti, jangka waktu tertentu dari sistem presidensiil itu bisa berdiri di tengah jalan karena presidennya diberhentikan, demikian Pak.

Berhubungan Negara yang kita tuju adalah Negara hukum, di mana disitu ada prinsip equality before the law, dan oleh karena itu, orang baru bisa dinyatakan bersalah apabila sudah ada putusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap yang menyatakan dia bersalah. Maka mengapa dalam hal pemberhentian presiden logika itu jadi terbalik? Begitu Pak.

Misalnya tadi Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa harus justru keputusan politik yang terlebih dahulu dilakukan, yaitu memberhentikan Presiden, baru kemudian putusan hukum yang mengikuti. Menurut saya justru terbalik. Ini mungkin yang perlu klarifikasi itu.

Sebagai konsekuensi dari prinsip kita mengakui bahwa kita adalah Negara hukum, bahwa seseorang baru dinyatakan bersalah bilamana sudah terbukti ada putusan pengadilan yang memiliki

58

Putusan Mk no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian keterangan ahli, Saldi Isra, hal 48 59

Mahkamah Konstitusi, Op.cit, hal 389 60 ibid, hal 389-390.

Page 72: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

59

kekuatan hukum tetap yang mengatakan dia bersalah, baru kemudian bisa diambil tindakan politik, kalau dia Presiden.

Mungkin kalau diperlukan, bahwa untuk proses pemberhentian Presiden itu diperlukan tindakan politis sehingga tidak perlu ada keragu-raguan dalam proses pemeriksaan terhadap seorang Presiden umpamanya, apakah tidak mungkin diambil jalan dengan langkah tindakan politis dalam bentuk penonaktifan misalnya terlebih dahulu, karena keputusan hukumannya nanti belum tentu dia bersalah. Dalam hal belum tentu dia bersalah, kalau kita berhentikan terlebih dahulu bagaimana? Kalau keputusannya adalah penon-aktifan, maka kalau nanti pengadilan dalam hal ini dalam pikiran saya pengadilan yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi yang nantinya akan melakukan pegadilan itu umpamanya.

Kalau Mahkamah Konstitusi umpamanya nanti menyatakan bahwa Presiden ternyata tidak bersalah, tidak terbukti baik dalam konteks dia melakukan pelanggaran hukum kecuali dalam hal incapacity tentunya saja berbeda persoalan Pak. Dalam hal dia tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum umpamanya, maka tentu saja putusan hukumnya itu nanti juga ada keputusan yag berupa rehabilitasi sebagai konsekuensinya maka penonaktifan itu kemudian dicabut. Demikian pak

Disitu yang barangkali yang saya maksudkan itu adalah, apakah logikanya itu tidak terbalik dengan prinsip Negara hukum, pemilihan Presiden langsung, bilamana justru apa namanya, tindakan politik dilakukan terlebih dahulu, kemudian baru tindakan hukumnya.”

Dengan adanya amandemen UUD 1945 tersebut, diharapkan

tidak ada lagi penjatuhan Presiden dan/ atau Wakil Presiden pada

masa jabatannya karena alasan-alasan politis dan memperkuat sistem

ketatanegaraan berdasarkan negara hukum. Dalam kerangka „the rule

of Law‟ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai

kedudukan tertinggi (supremacy of law), adalah persamaan dalam

hukum dan pemerintah (equality before the law), dan kenyataan

Page 73: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

60

praktek (due process of law)61 termasuk dalam pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan

dalam masa jabatannya jika hanya dengan alasan parlemen tidak

menyetujui kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden sepanjang

kebijakan tersebut tidak melanggar atau diniatkan atau dijadikan

sebagai dasar bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat menjadi

dasar impeachment. Mekanisme impeachment juga ditentukan secara

ketat, melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.62

Di Indonesia dalam perkara pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden menganut 2 (dua) sistem, yaitu sistem “impeachment”

dan “forum previlegiatum.” Sistem impeachment berada pada lembaga

DPR dan MPR yang dimaksudkan bahwa Presiden dan/atau Wakil

Presiden dijatuhkan oleh lembaga politik yang mencerminkan wakil

seluruh rakyat melalui penilaian dan keputusan politik. sedangkan

pada forum previlegiatum berada pada pengadilan khusus

ketatanegaraan yaitu Mahkamah Konstitusi yang dasarnya adalah

pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan

putusan hukum pula. Forum pengadilan (forum previlegiatum) ini

diperlukan karena tidak mungkin mengadili para pejabat tersebut

dalam pengadilan biasa yang sangat mungkin hakim yang mengadili

berkedudukan lebih rendah dari pejabat yang diadili. Agar peradilan

61 Putusan MK no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian pokok permohonan poin 2.10 hal 10

62 Janedjri M. Gafar, Hal Ihwal Ipeachment, Harian Seputar Indonesia, Tanggal 3 Februari

2010, Hal 120.

Page 74: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

61

dapat berjalan secara fair dan impartial, diperlukan forum pengadilan

khusus.63 Sependapat dengan hal tersebut, Lukman Syaifuddin

berpendapat bahwa:64

“betul pada dasarnya setiap orang itu sama di depan hukum. Tapi bagaimanapun juga seseorang ketika menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden maka tidak lagi menjadi warga Negara biasa maka proses peradilannya tidak akan sama.”

Selanjutnya dalam dialog Pilar Negara MPR RI dikatakan bahwa

"Pandangan saya ini noting [sic] personal. Ini berdasarkan

ketatanegaraan. Seseorang jika telah menjadi presiden, maka tidak

bisa diselidiki oleh lembaga hukum pidana. Melainkan hukum

tatanegara. Hukum inilah yg bergerak”65

Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan

mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada kasus

yang luar biasa, atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Seorang

Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah tokoh sentral negara yang

tentu saja diharapkan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.

Namun jika pelanggaran itu terjadi, Presiden dan/atau Wakil Presiden

tetap harus bertanggung jawab secara hukum sebagai wujud prinsip

equality before the law.66

63 _____, Hukum Acara Memutus Pendapat DPR dalam Proses Pemberhentian Presiden

dan/ atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya (BAB IX), hal 257. 64 MPR: Wapres Hanya Bisa diadili di MK, http://www.infoindo.com/20121126205049-

read-mpr-wapres-hanya-bisa-diadili-di-mk, diakses pada tanggal 10 Januari 2013 pukul 15.43 Wita.

65 Loc.cit

66 _____, Hukum Acara Memutus Pendapat DPR dalam Proses Pemberhentian Presiden

dan/ atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya (BAB IX), hal 255.

Page 75: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

62

Mekanisme awal dari proses pemberhentian itu dimulai dari

kewenangan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan

menggunakan Hak Menyatakan Pendapat. Dalam kaitannya dengan

hak tersebut adalah karena adanya fungsi pengawasan yang

diberikan oleh DPR.67 “Usulan pemberhentian” dari DPR tersebut

terkait dengan hasil dari pelaksanaan hak dan fungsinya sebagaimana

diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:

Pasal 20A:

1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi

anggaran, dan fungsi pengawasan.

2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam

pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan

Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan

hak menyatakan pendapat.

Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan

pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan

pembangunan oleh Presiden (Pemerintah)68 Pendapat DPR tersebut

berisi tentang pernyataan DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil

Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela dan/atau bahwa Presiden dan.atau Wakil

67 Lihat pasal 7B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 68

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012) Hal 136.

Page 76: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

63

Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

UUD 1945 memberikan hak kepada Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) untuk menyatakan pendapat agar prinsip checks and balances

dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga Negara terjaga

dengan baik, sehingga DPR dapat melakukan pengawasan terhadap

pemerintah, berupa kesempatan untuk mengusulkan pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR), apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga

melakukan pelanggaran hukum tersebut.

Sejalan dengan prinsip checks and balances dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia, dianut pula prinsip demokrasi dan

accountability. Prinsip acoountabilty berarti adanya

pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandate untuk

memerintah, kepada mereka yang member mandate. Dalam hal ini

rakyatlah yang memberikan mandat kekuasaan kepada pemerintah

untuk memerintah dan karenanya beranggung jawab kepada rakyat.

Dalam pandangan Miriam Budiardjo, accountability atau

pertanggungjawaban dari pihak yang memerintah kepada rakyat

merupakan suatu keharusan, bahkan sebagai syarat mutlak dari

konsep kedaulatan rakyat. Dengan demikian, dalam suatu Negara

yang menganut faham/atau [sic] asas kedaulatan rakyat (Negara

Page 77: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

64

demokrasi) terselanggaranya accountability menjadi suatu

keniscayaan.69

Dalam kaitannya dengan tindak lanjut Pendapat DPR, UUD

1945 telah mengatur bahwa dengan adanya hak menyatakan

pendapat DPR tersebut, Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat

diberhentikan dalam masa jabatannya. Namun proses pemberhentian

tersebut tidak serta dilakukan secara politis. Pendapat DPR tersebut

harus dibawa terlebih dahulu untuk diuji kebenarannya oleh lembaga

peradilan khusus ketatanegaraan, yaitu Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan

kehakiman, yang mana kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.

Mengenai keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam suatu mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal

7B UUD 1945. Dalam pengertian substansi Mahkamah Konstitusi akan

mengadili mengadili apakah pendapat DPR tersebut mempunyai

landasan Konstitusional atau tidak. Ketika proses tersebut berlangsung

di Mahkamah Konstitusi, tidak berarti bahwa Mahkamah Konstitusi

mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas dugaan pelanggaran

hukum dan/atau tidak memenuhi syarat, karena yang menjadi objek

dalam proses peradilan tersebut adalah pendapat DPR.

Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah

putusan secara politis. Oleh sebab itu, proses peradilan di Mahkamah

69 Putusan MK no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian alasan-alasan para pemohon mengajukan

permohonan pengujian pasal 184 atayu (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD poin 14 hal 33

Page 78: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

65

Konstitusi adalah untuk membuktikan dugaan kepada Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum, karena Mahkamah

Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang

dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

memberi justikikasi secara hukum atas pendapat DPR tersebut.

Landasan Yuridis Mahkamah Konstitusi dalam kaitannya

dengan Pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden untuk

mengadili pendapat DPR terdapat pada UUD 1945, Undang-Undang

No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah

Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam

Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan

Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Untuk DPR dapat meneruskan usulan Pemberhentian Presiden

dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR, DPR harus terlebih dahulu

melakukan permintaan pengujian Pendapat DPR tersebut ke

Mahkamah Konstitusi. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi,

hanya pihak DPR yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara

tersebut.70

Sesuai Pasal 7A UUD 1945, hanya terdapat dua kelompok

alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat

dimohonkan DPR kepada MK untuk diputus apakah pendapat DPR

70 Lih Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Page 79: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

66

tersebut benar atau tidak, yaitu alasan pelanggaran hukum atau tidak

lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Alasan pelanggaran hukum pun ditentukan secara limitatif oleh UUD

1945, yaitu hanya pada pelanggaran hukum berupa pengkhianatan

terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,

atau perbuatan tercela.

Pengkhiatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap

keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.71

Peraturan terhadap kejahatan keamanan Negara terdapat pada Pasal

104-129 Buku II - Kejahatan BAB I – Kejahatan Terhadap Keamanan

Negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain

itu juga terdapat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang

Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Dalam kaitannya dengan pelanggaran hukum mengenai

korupsi. Diatur bahwa, Korupsi adalah tindak pidana korupsi

sebagaimana diatur dalam undang-undang.72 Penyuapan adalah

tindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.73

Pelanggaran hukum berupa korupsi dan penyuapan dapat dijadikan

satu, yaitu tindak pidana korupsi dan penyuapan baik yang diatur

71 Lih Pasal 1 angka (7) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

72 Lih Pasal 1 angka (8) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

73 Lih Pasal 1 angka (9) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Page 80: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

67

dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang yang lain, seperti

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Hamdan Zoelva,

yang dapat dikategorikan sebagai korupsi dan penyuapan meliputi: 74

a. Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang terdiri

dari:

1) Perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri

sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat

merugikan keuangan atau perekonomian negara;

2) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri

atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan

keuangan atau perekonomian negara.

b. Tindak pidana yang sebelumnya merupakan tindak pidana suap

yang terkait dengan jabatan negeri, hakim, dan advokat

sebagaimana diatur dalam KUHP, jabatan penyelenggara

negara, serta pemborong, ahli bangunan serta pengawas

bangunan yang terkait dengan kepentingan umum dan TNI.

c. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana

korupsi, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja

mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung

74

____, BAB IX - Hukum Acara Memutus Pendapat Dpr Dalam Proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya, Hal 260-261.

Page 81: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

68

atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan

pengadilan dalam perkara korupsi dan penyuapan.

Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam

dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.75 Perbuatan tercela

adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/

atau Wakil PResiden.76 Perbuatan tercela adalah perbuatan yang

dianggap tercela oleh masyarakat dan tidak seharusnya dilakukan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apabila perbuatan dimaksud

dilakukan, akan merusak citra dan kehormatan Presiden dan/atau

Wakil Presiden.

Di dalam uraian mengenai perihal yang menjadi dasar

permohonan, DPR sebagai pihak pemohon wajib menguraikan dengan

jelas mengenai dugaan:

a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran

hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,

penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

atau

b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat

sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD

1945.

75 Lih Pasal 1 angka (10) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

76 Lih Pasal 1 angka (10) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Page 82: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

69

Apabila pendapat DPR berkaitan dengan dugaan bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan satu atau lebih

bentuk pelanggaran hukum, maka di dalam permohonan harus

memuat secara rinci mengenai jenis, waktu, dan tempat pelanggaran

hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Demikian pula apabila pendapat DPR berkaitan dengan dugaan bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden, permohonan harus memuat uraian

yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak lagi terpenuhi.77

Kemudian DPR juga wajib menyertakan78:

1. Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa pendapat DPR didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR;

2. Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung dengan materi permohonan;

3. Risalah dan/atau berita acara rapat DPR; dan

4. Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden atau alat bukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang menjadi dasar pendapat DPR.

Pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, Persidangan

dilakukan oleh Pleno Hakim MK yang dihadiri sekurang-kurangnya 7

77 Lih Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

78 Lih Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Page 83: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

70

(tujuh) hakim konstitusi dan dipimpin oleh Ketua MK. Persidangan

ditentukan melalui 6 (enam) tahap, yaitu:79

a. Tahap I : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan

b. Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

c. Tahap III : Pembuktian oleh DPR

d. Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

e. Tahap V : Kesimpulan DPR maupun Presiden dan/atau Wakil Presiden

f. Tahap VI : Pengucapan Putusan

pada Forum Previligiatum, Mahkamah Konstitusi wajib memutus

perkara tersebut sekurang-kurangnya 90 hari sejak permohonan

dicatat dalam BRPK.

Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-

kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK

menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila

permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK

menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau

Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga,

amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan

yang dituduhkan.80

79 Lih Pasal 9 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang

Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

80 Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.

Page 84: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

71

Apabila permohonan DPR ditolak atau tidak dapat diterima,

maka DPR tidak dapat meneruskan usul pemberhentian kepada MPR

sebagai pengambil keputusan terakhir dalam hal pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal tersebut dilakukan agar tetap

menjaga bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak dapat

diturunkan/ diberhentikan tanpa dibuktikan kebenaran pelanggaran

hukum atau tidak memenuhi syarat seperti yang divoniskan (politik)

DPR dalam Pendapat DPR tersebut. Namun jika dalam putusan

Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR tersebut, maka

DPR dapat melakukan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul

Pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR.

Lembaga MPR, merupakan pengambil keputusan terakhir

dalam proses pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden

berdasarkan Pasal 7B UUD 1945. Dalam kajian yang lebih dalam ada

hal-hal yang perlu dipahami dalam putusan MPR mengenai perkara

tersebut. Berdasar pada Pada Pasal 7B ayat (6) UUD 1945, MPR wajib

menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR untuk

memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden paling lambat oleh

MPR dilaksanakan tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut.

Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna

Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾

dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari

Page 85: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

72

jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden

diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna

Majelis Permusyawaratan Rakyat.81

Selain itu tata cara impeachment dalam lembaga MPR diatur

dalam BAB XV pasal (83) mengenai Tata Cara Pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam masa jabatannya peraturan

tata tertib (Keputusan MPR RI Nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan

Tata tertib MPR RI sebagai mana telah diubah dengan Keputusan

MPR RI Nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata

Tertib MPR RI).

Mekanisme pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna

MPR yang dihadiri ¾ dari jumlah anggota dan sekurang-kurangnya

disetujui 2/3 dari peserta yang hadir, artinya keputusan MPR

ditentukan pengambilan suara terbanyak, bukan berdasarkan putusan

hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi

Meskipun Mahkamah Konstitusi membenarkan Pendapat DPR

bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran

hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat-syaratnya, tidak akan

otomatis Presiden dan/Wakil Presiden langsung diberhentikan dari

jabatannya. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya merupakan sebuah

pertimbangan hukum oleh Lembaga MPR sebagai pengambil

keputusan terakhir dalam perkara pemberhentian Presiden dan/ atau

81 Lih Pasal 7B ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 86: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

73

wakil Presiden. Jika MPR tidak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil

Presiden, bukan berarti keputusan politik mengenyampingkan putusan

justisil tetapi hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden

merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan peradilan.82

Putusan Mahkamah Konstitsusi hanya sebagai pertimbangan

bagi MPR dalam memutuskan Pendapat DPR, namun inti dari tindak

lanjut pendapat DPR adalah dengan adanya Mahkamah Konstitusi

sebagai Forum Previlegiatum, memberikan konsekuensi bahwa,

Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi dapat dijatuhkan hanya

dengan alasan-alasan politik seperti yang terjadi pada masa lalu.

Mekanisme ini memberikan perubahan dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia, yaitu pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

yang sebelum amandemen UUD 1945 hanya menjadi suatu proses

poitik, saat ini telah menjadi sebuah proses hukum. Hal tersebut

dimaksudkan sebagai konsekuensi sistem ketatanegaraan Indonesia

yang menganut prinsip Negara hokum, yang mana dalam Rule of Law,

yang berasal dari Dicey,83 mengemukakan adanya tiga elemen prinsip

Negara hokum, yaitu:

1. Absolute supremacy of law, sebagai lawan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan mengesampingkan penguasa yang sewenang-wenang, prerogatif atau pun diskresi yang luas oleh pemerintah;

2. Equality before the law, yaitu kesamaan bagi semua orang (kelas) dihadapan hukum yang dilaksanakan pemerintah atau pengadilan; dan

82

Laica Marzuki, Pemakzulan Presiden/ Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 1, Februari 2010 hal 26.

83 Dicey sebagaimana dikutip Hamdan Zoelva, Op.cit, Hal 16.

Page 87: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

74

3. Due process of law, yaitu segala tindakan Negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada satu tindakan pun yang tidak memiliki dasar hukumnya.

Artinya Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa

diberhentikan karena telah melakukan pelanggaran hukum sesuai

yang telah diatur dalam Konstitusi. Jika pendapat DPR kemudian

langsung saja diusulkan ke MPR, hal tersebut akan berpotensi kembali

Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan hanya dengan alasan-

alasan politik semata.

Sesuai dengan Fraksi Kebangkitan Bangsa, Syarief M

Alaydarus, Pada rapat Paripurna pembahasan perubahan UUD 1945

yang berpendapat bahwa:84

Selain tentang prosedur pemilihannya seorang Presiden mestinya dapat diberhentikan dengan masa jabatannya dengan forum impeachment. Namun, diperlukan pengaturan-pengaturan untuk menjamin pengakuannya yang elegan dan yuridis seyuridis-yuridisnya dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi, tidak melulu alasan politis apaagi yang mengenyampingkan hokum.

Lanjutnya Jimly Asshidiqie juga berpendapat bahwa:

Kalau kita mau konsisten pada sistem Presidential yang fixed term itu, jangan lagi ada pertimbangan pelanggaran politik, pelanggaran kebijakan politik betul-betul karena pelanggaran hukum saja.

84 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Ketiga Jilid 2, Risalah

Paripurna Ke-4 s/d ke-7 tanggal 3 November s/d 8 November 2001, Masa Sidang ahun MPR RI tahun 2001, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001, hal 172.

Page 88: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

75

B. Akibat Hukum dari Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan

Perwakilan Rakyat Atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh

Presiden dan/atau Wakil Presiden

Kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia itu diselenggarakan

secara langsung dan melalui sistem perwakilan, penyaluran

kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan

melalui pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan

dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.85 Kemudian secara

langsung kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang

kekuasaan Negara yang tercermin dalam Lembaga Negara Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan

Perwakilan Daerah sebagai pemegang kekuasaan legislatif; Presiden

dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif; dan

Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung. Lembaga Negara tersebut mempunyai hubungan

dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good

governance). Dalam kaitannya dengan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden, cabang kekuasaan ini digambarkan melalui

suatu lembaga saling berhubungan dalam melaksanakan mekanisme

perberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Sejarah ketatanegaraan Indonesia (sebelum amandemen UUD

1945) memperlihatkan bahwa dasar dilakukannya impeachment oleh

85 Putusan MK No. 23-26/PUU-VII/2010 bagian pokok permohonan poin 2.9 hal 10

Page 89: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

76

Lembaga Negara yang berwenang untuk itu, cenderung dengan

alasan penilaian subjektif sebagai alasan pemberhentian Presiden

dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Hal tersebut tidak dapat

dipungkiri karena pada saat itu konstitusi (UUD 1945) sebelum

amandemen sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Adanya reformasi, menimbulkan pengamandemenan UUD

1945, sehingga secara otomatis juga mengubah sistem

ketatanegaraan Indonesia. Adanya amandemen UUD 1945 juga telah

mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden. Jika kita melihat sejarah impeachment di Indonesia.

Sebelum amandemen UUD 1945, MPRS memberhentikan Presiden

Soekarno, yaitu proses politik di Parlemen dilakukan terlebih dahulu

baru setelah itu proses hukum di pengadilan.86 Walaupun itu tidak

pernah dilaksanakan oleh Presiden Soekarno itu soal lain, tapi

Ketetapan MPR tahun 1967 Nomor XXXIII itu jelas menentukan bahwa

setelah Soekarno menjadi warga Negara biasa baru proses hukumnya

diselesaikan di pengadilan.87 Setelah amandemen, mekanisme

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945

telah menjadi sebuah proses hukum. Tindak lanjut pendapat DPR

86 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahung 1945-Latar Belakang, dan Hasil Perubahan 1999-2000. Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 1, (Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2012), hal 386.

87 ibid, hal 386-387.

Page 90: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

77

tersebut yang pada sebelumnya diusulkan langusng ke MPR, saat ini

harus terlebih dahulu melalui forum previlegiatum di Mahkamah

Konstitusi agar menjaga kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden

yang diberhentikan dengan alasan subjektif oleh parlemen, kemudian

dikembalikan kepada DPR untuk diusulkan/ tidak diusulkan kepada

MPR.

Adanya proses pemakzulan yang harus melewati Mahkamah

Konstitusi sebagai pengadilan khusus ketatanagaraan akan

mengakibatkan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat

diberhentikan dengan melakukan pelanggaran hukum yang telah

ditentukan oleh konstitusi (UUD NRI 1945). Jadi, kedudukan Presiden

dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dimakzulkan akibat kebijakan

(doelmatigheid beslissing) ditetapkan atau dijalankan Presiden

dan/atau Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan

negara.88

Sama seperti pembahasan sebelumnya bahwa, ketika amar

putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR tersebut,

maka DPR dapat melanjutkan usul tersebut kepada MPR. Namun jika

Mahkamah Konstitusi menolak atau tidak dapat diterima, maka DPR

tidak dapat melanjutkan usul pendapat DPR tersebut kepada MPR.

Proses di Mahkamah Konstitusi bukanlah proses politik melainkan

sebuah proses hukum. Artinya dalam pengambilan keputusan haruslah

88 Laica Marzuki, Op.cit hal 16.

Page 91: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

78

berdasarkan hukum sehingga idealnya Presiden dan/atau Wakil

Presiden diberhentikan karena dugaan DPR benar bahwa Presiden

dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.

Terlibatnya Mahkamah Konstitusi berdampak pada ketidaksewenang-

wenangan parlemen dalam memberhentikan Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Kemudian implikasi dari adanya mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945 adalah proses

impeachment yang hanya dapat dilakukan melalui usul DPR. Jelas

dinyatakan bahwa, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden dapat diajukan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis

Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan

permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili,

dan memutus pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa presiden

dan/atau wakil presden telah memlakukan pelanggaran hukum berupa

penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana

berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Lembaga MPR tidak dapat melakukan sidang untuk

memberhentikan presiden tanpa melalui usul dari DPR. Dalam

kaitannya dengan MPR bahwa Majelis permusyawaratan Rakyat

hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

Page 92: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

79

masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.89 Sebelum

amandeman MPR dapat saja melakukan sidang untuk melakukan

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun setelah

mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

kemudian diatur dalam UUD 1945, MPR tidak dapat lagi melakukan hal

tersebut tanpa melalui usul DPR.

Kemudian dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau

Wakil Presiden juga akan berimplikasi pada hubungan kelembagaan

negara yang dapat mungkin menjadi kurang baik dalam periode

tersebut. Mekanisme pengambilan keputusan dalam rapat paripurna

MPR, dihadiri ¾ dari jumlah anggota dan sekurang-kurangnya disetujui

2/3 dari peserta yang hadir, artinya keputusan MPR ditentukan

pengambilan suara terbanyak, bukan berdasarkan pada putusan

hukum yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan

Mahkamah Konstitusi hanya menjadi pertimbangan oleh MPR sebagai

pengambil keputusan terakhir dalam mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut.

Dalam UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa,

mengadili, dan memutus pendapat DPR berada pada bagian berbeda

89 Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Page 93: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

80

dengan empat kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya. Dalam UUD

NRI 1945 dinyatakan bahwa:90

1) Mahkamah kostitusi berwenang mengadili pada tingkatpertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***)

2) Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenaai pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar.***)

Jika mengkaji pemisahan pasal di atas dapat ditafsirkan bahwa,

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan

terakhir yang sifatnya final atas empat kewenangan yang diberikan

pada ayat (1). Sedangkan ketentuan yang mengatur mengenai

kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat DPR

sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2) tersebut. Demikian halnya

pendapat Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi ini menurut pasal 7B dan

pasal 24C kewenangannya bukan hanya menguji undang-undang

terhadap undang-undang dasar melainkan meliputi:91

a. Kewenangan 1) Pengujian undang-undang terhadap UUD; 2) Mengadili sengketa kewenangan antarlembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh UUD 3) Memutus pembubaran partai politik 4) Memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu.

90

Pasal 24C ayat (1) & (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 91 Moh. Mahfud MD, Op.cit, hal 269.

Page 94: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

81

5) Sejak keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan baru, yaitu memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah.

b. Kewajiban Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tertentu menurut UUD dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat.

Yang menjadi pertanyaan apakah putusan Mahkamah Konstitusi

dalam perkara pendapat PDR tersebut berada pada tingkat pertama

dan terakhir serta bersifat final?

Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi berpendapat,92 Mahkamah

Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir.

Atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya

bersifat final dan mengikat, untuk mengadili perkara pengujian undang-

undang, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan

UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan

umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya,

Mahkamah Konstitusi tidak mengenal adanya mekanisme banding

atau kasasi.

Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk

memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini,

92

Lih Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi hal 595.

Page 95: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

82

UUD 1945 tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan

tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan

mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya diletakkan sebagai salah satu

mekanisme yang harus dilalui dalam proses pemberhentian

(impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban

konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari

sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran

hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Berbeda dengan beberapa pendapat yang tetap mengatakan

bahwa, putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan

mangikat tidak terkecuali dalam memutus pendapat DPR. Putusan

Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat secara yuridis.

Walaupun DPR kemudian meneruskan pendapat tersebut sebagai usul

pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR,

pengambilan putusan tersebut harus dilihat dari segi politik. MPR

dalam lanjutan usul DPR tidak sedang me-review putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap perkara pendapat DPR yang sifatnya yuridis

tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis, hal tersebut

bersifat final,93 artinya berkekuatan hukum tetap sejak dibacakannya

dan tidak ada upaya hukum lanjutan baik banding. Kasasi, ataupun

93

Lihat Pasal 19 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Page 96: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

83

peninjauan kembali. Putusan Mahkamah mengikat bagi DPR sebagai

pemohon dalam perkara tersebut, ketika putusan DPR ditolak maka

DPR tidak dapat meneruskan kepada MPR, namun jika diterima/

dikabulkan maka DPR dapat meneruskan ke MPR.

Akibat hukum selanjutnya dari tindak lanjut pendapat DPR ke

Mahkamah Konstitusi adalah pendapat DPR yang sebelumnya

pendapat politik, karena telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi

sebagai lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia berubah menjadi sebuah pendapat

hukum. terlepas kemudian pendapat putusan akhir berada pada ranah

politk, yang terpenting pendapat DPR yang telah mendapat legitimasi

hukum telah memenuhi syarat dalm mencapai tujuan negara hukum,

dalam pengertian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang

diberhentikan oleh MPR merupakan hal yang memang telah dibuktikan

di depan pengadilan melalui sebuah pendapat DPR oleh Mahkamah

Konstitusi. Dengan kata lain, adanya tindak lanjut pendapat DPR yang

terlebih dahulu diminta untuk Mahkamah Konstitusi memerika,

mengadili, dan memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran

hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah untuk mendapatkan

legitimasi secara yuridis sehingga pendapat DPR yang sifatnya

pendapat politik dapat menjadi sebuah pendapat hukum.

Page 97: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

84

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Proses yuridis tindak lanjut pendapat DPR dengan terlebih dahulu

meminta Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan

memutus benar tidaknya pendapatan DPR tersebut adalah

memberikan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan

Indonesia, yaitu pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

yang sebelum amandemen UUD 1945 hanya menjadi suatu proses

poitik, saat ini telah menjadi sebuah proses hukum.

2. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi sabagai kekuasaan

kehakiman di Indonesia dan sebagai cerminan wujud dari teori trias

politica, maka pendapat DPR yang dalam pengambilan

keputusannya merupakan pendapat politik, ketika telah diperiksa,

diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi telah menjadi sebuah

pendapat hukum.

B. Saran

1. Sebaiknya proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil

Presiden lebih diatur secara spesifik di dalam UUD 1945, karena

sampai saaat ini masih merupakan perdebatan dikalangan para ahli

hukum. Pengaturan mekanisme yang jelas juga akan menjamin

adanya kepastian hukum.

Page 98: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

85

2. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

menggunakan 2 (dua) proses, yaitu proses politik pada lembaga

DPR dan MPR, dan proses forum previlegiatum pada Mahkamah

Konstitusi dengan alur DPR-MK-DPR-MPR. Pengambilan

keputusan akhir sebaiknya berada pada kekuasaan kehakiman

yaitu, Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dimasudkan untuk

meminimalisasi permasalahan dari mekanisme pemberhentian

Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketika putusan MK telah

membenarkan pendapat DPR, sebaiknya MPR hanya bertugas

untuk mengesahkan pemberhentian tersebut.

3. Jika terjadi amandemen UUD 1945 selanjutnya, sebaiknya

mekanisme pemberhentian ini menggunakan istilah “pemakzulan”

saja. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden

biasa disebut dengan impeachment atau pemakzulan. Kata

impeachment merupakan proses pemberhentian pejabat-pejabat

negara. Jika menggunakan kata “pemakzulan” makna proses

pemberhentian tersebut hanya dimaksudkan kepada Presiden

dan/atau Wakil Presiden saja. Kemudian menurut Laica Marzuki,

“pemakzulan” lebih berkonotasi hukum. Hal ini sebagai wujud dari

sistem ketatanegaraan indonesia yang menganut prinsip negara

hukum.

Page 99: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

86

Daftar pustaka

Buku:

A.Legowo, T. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia. jakarta:

Formappi.

Hamzah, Jur Andi. 2007. Pemberantasan korupsi melalui Hukum Pidana

Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajawali Pres.

Assiddiqie, Jimly. 2007. Hukum Tatanegara Darurat. Ed. I. Jakarta: Raja

Grafindo Resada.

_____________. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara. Ed.1-3.

Jakarta: Rajawali Pers.

Fuadi, Munir. 2009. Konsep Negara Demokrasi. Jakarta: Retika Aditama.

Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Ed kedua. Semarang: Sinar

Grafika.

Kelsen, hans. Penj. Raisul muttanien. 2011. Teori Tentang Negara dan

Hukum. Cet vi. (general theory of law and state) (new york: russel

and russel, 1972). Bandung: Nusa Media.

Mahfud MD, Moh. 2010.Konstitusi dan Hukum dalam Kotroversi Isu.ed 1.

Cet. 2. Jakarta: Rajawali Pers.

Saleh, M. Dan Mukhlish. 2010. Impeachment Presiden dan/atau Wakil

Presiden (sebuah tijauan konstitusional). Surabaya: P.T. Bina Ilmu.

Page 100: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

87

Sanusi, Amwar (ed). Penataan Mekanisme Hubungan Antar Lembaga

Negara. jakarta: Pilarindo.

Sekertarian Jendral MPR RI. 2012. Panduan Masyarakat Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. jakarta: Sekertariat

Jendral MPR RI.

Siahaan, Maruarar. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia. ed 2. Jakarta: Sinar grafika.

Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi. 2005. Mekanisme Impeachment dan

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Pusat Penelitian Dan

Pengkajian Sekretarian Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia Kerjasama Dengan Kondrat,

Andenauer-Stiftung.

Zoelva, Hamdan. 2011.Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika.

______. 2010. 70 Tahun Prof. Dr. bintan R. Saragih-Percikann Pemikiran

Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik. Jakarta: Wildan

Akademika dan Universitas Ekasakti Pers.

Naskah

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Page 101: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

88

Republik Indonesia Tahun 1945. Buku I (Latar Belakang, Proses,

dan Hasil Pembahasan 1999-2002) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Buku II (Sendi-Sendi/ Fundamen

Negara) Edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid 1 (Lembaga

Permusyawaratan dan Perwakilan) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid 2 (Lembaga

Permusyawaratan dan Perwakilan) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid IV Jilid I (Kekuasaan

Page 102: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

89

Pemerintahan Negara) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid IV Jilid 2 (Kekuasaan

Pemerintahan Negara) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.

Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid VI (Kekuasaan

Kehakiman) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Sekretariat Jenderal MPR RI. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun 2000 (Semua

Buku). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Sekretariat Jenderal MPR RI. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun 2001 (Semua

Buku). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.

Page 103: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

90

Makalah dan Jurnal

Hamdan Siregar. 2912. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam

Perkara Pemakzuln Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia.

Jurnal Konstitusi: Volume 9 Nomor 2, Jni 2012. Halaman 287.

Mahfud Md. Undang-Undang Dasar Sebelum dan Sesudah Perubahan.

M. Laica Marzuki. 2010. Pemakzulan Presiden/ Wakil Presidenmenurut

Undang-Undang Dasar 1945. Jurnal Konstitusi: Volume 7 Nomor 1

Tahun 2010. Halaman 15

Nadir. 2012. Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi vs Kekuatan Politik

dalam Impeachment Presiden. Jurnal Konstitusi: Volume 9 Nomor 2

Juni 2012. Halaman 333

Rusdianto S. Proses Impeachment Presiden dalam Konstitusi Negara-

Negara Modern. (Studi Perbandingan dengan Mekanisme

Impeachment di Amerikan dan Korea Selatan). Surabaya.

Babang Sutiyoso. 2010. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam

Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. Jurnal

Konstitusi: Volume 7 Nomor 1 Tahun 2010. Halaman 91.

Reni H. Nendissa. 2011. Kewenangan MK untuk Memutus Pendapat DPR

tentang Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Jurnal Konstitusi (PKK Fakultas Hukum Universitas Pattimura):

Volume III Nomor 1 Tahun 2011.

Page 104: SKRIPSI PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN

91

Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Lainnya

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang

Mahkamah Konstitusi.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman

Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil

Presiden.

Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978

Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.