Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
SKRIPSI
PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT ATAS DUGAAN PELANGGARAN HUKUM
YANG DILAKUKAN OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
Oleh :
ADVENTUS TODING
B111 09 373
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
i
Halaman Judul
PROSES YURIDIS TINDAK LANJUT PENDAPAT DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT ATAS DUGAAN PELANGGARAN HUKUM
YANG DILAKUKAN OLEH PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN
Oleh :
ADVENTUS TODING
B111 09 373
Skripsi
Diajukan Sebagai Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka
Penyelesaian Studi Program Studi Ilmu Hukum
Pada
BAGIAN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi dari mahasiswa:
Nama : Adventus Toding
Nomor Pokok : B111 09 373
Bagian : Hukum Tata Negara
Judul : Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat Atas Dugaan Pelanggaran Hukum
yang dilakukan Oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian skripsi di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
Makassar, Januari 2013
Pembimbing I
Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. NIP. 19640811 241991 3 002
Pembimbing II
Dr. Anshori Ilyas, S.H.,M.H. NIP. 19560607 198503 1 001
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Salam sejahtera,
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkatnya
kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi yang berjudul “Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat Atas Dugaan Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Pertama-tama penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
terdalam dan tak terhingga kepada kedua orang tua yang sangat penulis
sayangi dan banggakan, yaitu Ayahanda Sambo, S.H., M.H. (alm) dan
Ibunda Sentise Pualillin, atas segala limpahan kasih sayang, didikan,
dukungan, serta doa yang senantiasa dipanjatkan dengan bertelut untuk
penulis dalam meraih kesuksesan di dunia ini. Semoga Tuhan selalu
memberikan kesehatan dan kesabaran dalam hidup buat ibunda tercinta.
Kedua, kepada keluarga besar Bapak Thomas dan Maryam dan
keluarga besar Bapak Agustinus dan Marlina yang telah menjadi orang
tua kedua penulis, selama penulis melaksanakan studi di Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin. Semoga Tuhan memberikan kesehatan dan
berkatNya. Serta terima kasih kepada saudara penulis yaitu Astuti
Toding, S.H. dan Luberti Toding, atas segala bantuan dan doa yang
selalu memberikan hikmat dan berkatNya.
iv
Kemudian kepada seluruh keluarga, terkhusus buat keluarga besar
Bapak Pdt. Pangloly, keluarga besar Bapak Eddy Wuisan, dan keluarga
besar Bapak Alex Lomban.yang selalu memberikan support kepada
penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, terima kasih, semoga Tuhan selalu memberikan berkatNya.
Untuk Miss Dodoly, yang selalu menemani penulis mulai alfa-omega,
diwaktu senang dan susah, mulai dari penulis belum menginjakkan kaki di
Fakultas Hukum Unhas hingga penulis selesai kuliah, terima kasih.
Skripsi ini dapat terselesaikan berkat dorongan semangat, tenaga,
pikiran seta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, selaku Rektor Universitas
Hasanuddin beserta jajarannya.
2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., MS., D.F.M., selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, selaku Wakil Dekan I, S.H., M.H.,
Bapak Anshori Ilyas, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II, Bapak Romi
Librayanto, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin
4. Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si, selaku Ketua Bagian Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta
jajarannya.
v
5. Dosen/Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas
didikannya selama penulis menjalani kuliah di kampus.
6. Ibu Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., Msi dan Bapak Dr. Anshori Ilyas,
S.H., M.H., selaku pembimbing penulis. Terima kasih atas bimbingan
yang tidak kenal lelah untuk penulis, semoga suatu saat nanti dapat
membalas jasa yang telah diberikan kepada penulis.
7. Bapak Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H., Bapak Dr. Zulkifli
Aspan, S.H., M.H., dan Bapak Kasman Abdullah, S.H., M.H., selaku
penguji dalam ujian skripsi ini. Terima kasih atas masukannya dalam
proposal penelitian. Masukan tersebut sangat membantu penulis
dalam melakukan penelitian skripsi ini.
8. Bapak Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H. (alm) dan Bapak Prof. Dr.
Abdullah Marlang, S.H., M.H., selaku Penasihat Akademik (PA)
penulis. Terima kasih atas kebaikan serta kesediaan setiap kali penulis
berkonsultasi dalam menjalankan studi di kampus.
9. Pegawai/ Staf Akademik atas bantuan dan keramahannya “melayani”
segala kebutuhan penulis selama perkuliahan hingga dalam proses
ujian skripsi
10. Cleaning service yang selalu membantu penulis mengadakan kegiatan
kemahasiswaan.
11. Pengelola Perpustakaan Fakultas, terima kasih sudah banyak
membantu penulis dalam mencari literatur yang berhubungan dengan
ilmu hukum.
vi
12. Kepada Bapak Taufik Kiemas, selaku Ketua MPR dan Bapak Eddie
Siregar, selaku Sekretariat Jenderal MPR yang telah memberikan
kesempatan untuk dapat melakukan penelitian di Majelis
Permusyawaratan Republik Indonesia (MPR RI).
13. TIM MCC Mahkamah Konstitusim Jakarta 2011. Terima kasih Panji,
Lastri, Jihad, Eka, Ghina, Adelia Pela, Ode, Vira, Caca, Emi, Fachry,
Dio, Fandy, Dewi, dan anca, terima kasih telah menjadi saudara
penulis. Banyak ilmu yang kalian beri untuk penulis. Buat official, Ka
Onna, Ka Anto, Ka Fadil, Ka Eril, Ka Uga, Tiwi, terima kaih sudah
membantu kami dalam penyusunan berkas sampai kami tampil di
Mahkamah Konstitusi.
14. Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin Periode 2010/2011 dan pengurus Badan Eksekutif
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Periode 2011/2012 terima
kasih atas bantuannya.
15. Lembaga Eksekutif Mahasiswa Hukum Indonesia (LEMHI), khususnya
Bung Taufik (Unair), Bung Tino (Unmul), Bung Risqan, Bung Ahmad,
Bung Ali, Mba Fauzi, dan Mba Silvy, terima kasih atas bantuannya.
16. PMK Universitas Hasanuddin dan PMK Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, terima kasih sudah menyediakan wadah kepada penulis
untuk bersekutu bersama.
vii
17. Tim Desus Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin dan Gerakan
Mahasiswa Anti-Narkoba Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
terima kasih atas bantuannya.
18. “Law Parking Area”, terima kasih telah menjadi keluarga yang sangat
baik.
19. Sahabat penulis, Ardiansyah Andika, Halwan, Ono, Danu, Fikar, Apri
Pindu, Tiwi, Flo Pinon, Ivon, Ira, Pingkan, Ikram Mediasi, Budi, Joko,
Rio Petitum, “kanda” Surya, kalian saudaraku yang tidak dapat penulis
temui ada samanya di dunia ini. He7x terima kasih.
20. Teman-teman Angkatan 2009 (Doktrin) FH-UH, terima kasih telah
banyak berbagi ilmu, pengalaman dan nilai persaudaraan. Walaupun
kuliah penulis akan berakhir namun kalian tetap saudara seperjuangan
penulis. Thank you
21. Teman-Teman KKN Angkatan 82 Unhas, khususnya Posko Desa
Labokong, Faris, Erlangga, Hendra, Kiky, Hikma, Livi, dan Dessy,
terima kasih atas kerja samanya selama KKN. Kebaikan kalian selalu
penulis kenang. Semoga tiada kebencian yang bertahta dihati teman-
teman atas ketidaknyamanan selama KKN, yang ada kita bersaudara
sampai kapanpun.
22. Lembaga Beasiswa Oikumene, terima kasih telah memberikan
kesempatan kepada penulis dalam memperoleh beasiswa tersebut
pada tahun 2011
viii
23. Pung Atta – beserta keluarga, terima kasih telah memberikan
tumpangan, arahan, dan bimbingan dalam melaksanakan KKN di Desa
Labokong, Kabupaten Soppeng. Serta seluruh masyarakat Desa
Labokong terima kasih atas keramahtamahannya selama kami
melaksanakan KKN.
24. Dosen Dapur Jurnal, Bapak Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H.,
Bapak Prof. Dr. Asri, S.H., M.H., Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H.,
M.H., Ka’ Tri Fenny Widayanti, S.H, M.H., Ka’ Ariani Arifin, S.H.,
M.H., Ka’ Hijrah, S.H., M.H. dan Ka’ Muh. Ilham Arisaputra, S.H.,
M.Kn, terima kasih atas ilmu dan bantuannya selama ini. Terkhusus
kepada Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., yang telah memberikan
sesuatu yang sangat berharga buat penulis dalam melaksanakan
penelitian di MPR RI.
25. Terkhusus buat Bapak Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H. dan Bapak
Kasman Abdullah, S.H., M.H. yang selalu memberikan didikan
kepada penulis baik keterkaitan mengenai ilmu hukum dan ilmu yang
bukan mengenai ilmu hukum. Didikan dari kedua beliau tidak akan
penulis lupakan sampai kapanpun dan didikan yang diberikan kepada
penulis akan dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Beliau adalah
orang tua bagi penulis di kampus, terima kasih banyak. Hormatku
Adventus.
ix
Dengan segala keterbatasan dan kerendahan hati penulis, penulis
sangat menyadari bahwa karya ini masih sangat jauh dari kesempurnaan.
Maka dari itu saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat penulis
harapkan demi kelayakan dan kesempurnaan kedepannya agar bisa
diterima penuh oleh khalayak umum yang berminat terhadap karya ini.
Makassar, 15 Januari 2013
Adventus
x
ABSTRAK
Adventus Toding, Nim B11109373. Dengan judul penelitian Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Atas Dugaan Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dibimbing oleh Marwati Riza dan Anshori Ilyas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses yuridis tindak lanjut pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden dan bagaimana akibat hukum dari proses dari proses yuridis tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan MPR RI. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Statute uproach (Pendekatan Undang-Undang). Teknik pengumpulan bahan hukum dengan menggunakan bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah sidang pembentukan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan. Sedangkan sumber bahan-bahan sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan catatan resmi. Publikasi tersebut meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, makalah hukum, dan komentar-komentar terkait penelitian ini. Bahan yang diperoleh dianalisa secara kuantitatif, sehingga dapat memperoleh gambaran jelas tentang substansi materi yang akan dibahas dalam penulisan ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, tindak lanjut pendapat DPR, terlebih dahulu diminta ke Mahkamah Konstitusi (Forum Previlegiatum) untuk diputus benar tidaknya pendapat DPR tersebut telah mengubah mekanisme pemberhentian Presiden yang sebelumnya proses politik semata menjadi sebuah proses hukum. Kemudian dengan adanya peradilan khusus Tata Negara, yaitu Mahkamah Konstitusi yang membenarkan dugaan DPR tersebut, maka akibat hukum dari tindak lanjut pendapat DPR tersebut adalah pendapat tersebut yang sebelumnya merupakan pendapat politik dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi sebuah pendapat hukum.
Kata kunci: Pendapat DPR, Politik, Hukum.
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ iii
ABSTRAK ............................................................................................... x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
D. Kegunaan Penelitian .......................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 10
A. Negara Hukum ................................................................... 10
B. Demokrasi .......................................................................... 13
C. Cheks and Balances System ............................................... 19
D. Lembaga Negara yang Berkaitan dengan Proses
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden .............. 22
1. Presiden ......................................................................... 22
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat ................................. 25
3. Dewan Perwakilan Rakyat.............................................. 28
4. Mahkamah Konstitusi .................................................... 34
xii
E. Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden .............................................................................. 37
F. Pemberhentian Presiden di Beberapa Negara ..................... 44
G. Pelanggaran Hukum ............................................................ 46
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 52
A. Lokasi Penelitian ................................................................ 52
B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ....................................... 52
C. Teknik dan Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 53
D. Analisis Bahan Hukum ........................................................ 53
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................ 54
A. Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan Perwakilan
Daerah Atas Dugaan Pelanggaran Hukum yang dilakukan
Presiden dan/atau Wakil Presiden ...................................... 54
B. Akibat Hukum dari Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat
Dewan Perwakilan Daerah Atas Dugaan Pelanggaran
Hukum yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden . 75
BAB III PENUTUP ................................................................................ 84
A. Kesimpulan ......................................................................... 84
B. Saran .................................................................................. 84
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 86
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setelah amandemen ke-IV Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, terjadi perubahan mendasar pada
sistem ketatanegaraan Indonesia. Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR) yang merupakan lembaga tertinggi, saat ini menjadi setara
dengan lembaga-lembaga negara lainnya. Kemudian kita juga dapat
melihat munculnya lembaga tinggi baru, misalnya lembaga Mahkamah
Konstitusi1 yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang
menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman.
Kedudukan sederajat tersebut memiliki fungsinya masing-masing
dan tidak ada satupun lembaga kekuasaan yang dimiliki powerfull
diantara lembaga yang lain. Agar setiap lembaga tidak melampaui
batas kewenangan yang diberikan oleh konstitusi maka setiap
lembaga kekuasaan saling check and balances (pengawasan dan
keseimbangan) antarlembaga satu dan lembaga lainnya
Dalam kaitannya dengan amandemen UUD 1945, adanya
perubahan tersebut menjadikan sistem ketatanegaraan Indonesia
pada tingkat check and balances mulai membaik. Setiap Lembaga
Negara mempunyai kontrol terhadap Lembaga Kekuasaan lainnya.
1 Lihat Pasal 24C UUD 1945.
2
Hanya saja tidak dapat dipungkiri bahwa, masih ada hal-hal yang
sifatnya penting namun belum jelas dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Misalnya saja proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya oleh MPR. Di dalam UUD 1945, Presiden dapat
diberhentikan karena beberapa alasan, yaitu Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.2 Dalam kaitannya
dengan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindak pidana,
apakah Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya sebelum
terbukti melakukan tindak pidana ataukah Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus dibuktikan dulu melakukan tindak pidana kemudian
diberhentikan dari jabatannya?
Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Secara garis besar proses ini
menentukan beberapa tahapan yang harus dilewati. Pertama, DPR
diberikan kewenangan untuk memberikan usul kepada MPR dalam
kaitannya dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
dalam masa jabatannya. Usul pemberhentian tersebut hanya dengan
terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Mahkamah
2 Lihat Pasal 7A UUD 1945
3
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Kedua, pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak memenuhi syarat
lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka
fungsi pengawasan DPR. Ketiga, pengajuan Pendapat DPR tersebut
hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari
jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Keempat, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili dan
memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR paling lambat
sembilan puluh hari setelah permohonan DPR itu diterima oleh
Mahkamah Konstitusi. Kelima, apabila Mahkamah Konstitusi memutus
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
Pelanggaran Hukum ataupun tidak memenuhi lagi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden kepada MPR.
4
Keenam, MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus
usul DPR tersebut paling lambat 30 hari setelah MPR menerima usul
tersebut. Ketujuh, Keputusan MPR atas usul Pemberhentian dan/atau
Wakil Presiden harus diambil dalam sidang paripurna MPR yang
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir,
setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam rapat paripurna
menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, proses hukum
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melibatkan lembaga-
lembaga non-yudisial. Keterlibatan lembaga-lembaga non-yudisial ini
mengakibatkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan
dengan alasan-alasan politik. Kita dapat melihat proses pemberhentian
Presiden Abdurrahman Wahid, yang mana proses pemberhentian
tersebut banyak alasan-alasan politik dan kurangnya dasar hukum
keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid.
Pada sidang Paripurna DPR, saat itu keputusan DPR setuju untuk
menggunakan Hak Angket DPR. Penggunaan Hak Angket tersebut
mencapai kesimpulan bahwa, Presiden Abdurrahman Wahid diduga
berperan dalam pencairan dan penggunaan dana yantera bulog dan
bantuan dari Sultan Brunei. Oleh karenanya DPR mengeluarkan
memorandum I yang disampaikan kepada Presiden. Memorandum
tersebut pada pokoknya mengingatkan Presiden Abdurrahman Wahid
sungguh-sungguh melanggar haluan Negara dan melanggar TAP MPR
5
RI No. XI/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas
Korupsi. Kemudian Presiden menjawab memorandum I DPR yang
pada pokoknya menolak memorandum tersebut dengan alasan
melanggar konstitusi baik secara prosedural maupun secara materil.
Menurut Presiden, disatu sisi belum jelas adanya pelanggaran hukum
karena masih berupa dugaan. Pada sisi lain DPR sudah memvonis
Presiden telah melanggar haluan Negara. Tiga bulan kemudian, DPR
mengeluarkan memorandum II mengenai sikap dan kepemimpinan
Presiden yang berupa kebijakan, sikap perilaku, tindakan serta
pernyataan-pernyataan Presiden.3 Kemudian DPR meminta kepada
MPR untuk memberhentikan Presiden.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia menggambarkan pengaruh
kekuatan politik lembaga non-yudisial begitu tinggi, sehingga Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
dengan mudah. Oleh karena itu, Amandemen UUD 1945
menempatkan sistem ketatanegaraan pada sistem presidensial.
Penegasan sistem pemerintahan presidensial pada sistem
ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 mengandaikan adanya
lembaga kepresidenan yang mempunyai legitimasi kuat, yang dicirikan
dengan adanya masa jabatan Presiden yang bersifat tetap (fixed term),
adanya mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (check and
balances) dan adanya mekanisme pemberhentian presiden yang
3 Hamdan zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm
148
6
hanya dapat diberhentikan dengan alasan-alasan tertentu dengan
dibuktikan terlebih dahulu secara hukum (forum previlegiatum).
Akan tetapi yang menjadi persoalan selanjutnya,
ketentuanketentuan mengenai mekanisme pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden yang terdapat di dalam konstitusi tidak
mengatur lebih jauh persoalan-persoalan teknis. Ada banyak persolan
yang tidak atau belum sepenuhnya bisa terjawab dengan sebaik-
baiknya. Jika mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden ini kemudian dijalankan dalam hal dugaan Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan tindak pidana, putusan Mahkamah
Konstitusi yang mengabulkan Pendapat DPR tersebut akan
mengakibatkan beberapa akibat hukum yang sampai saat ini menurut
penulis masih kabur. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut oleh DPR
diajukan ke MPR untuk usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Yang menjadi pertanyaan, apakah putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut dalam sidang MPR harus diikuti oleh MPR karena
sifat putusan yang berkekuatan hukum tetap dan mengikat ataukah
putusan Mahkamah Konstitusi hanya menjadi sebuah pertimbangan
dalam urusan politik di sidang MPR tersebut?
Ketika dalam Sidang Paripurna MPR memberhentikan Presiden
dan/atau Wakil Presiden atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
presiden telah melakukan tindak pidana, apakah memungkinkan
7
Presiden dan/atau Wakil Presiden dihadapkan dalam sidang peradilan
umum yang kemudian tentunya akan berlaku Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP)? dan setelah tidak menjabat lagi,
apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden diadili (lagi) di peradilan
umum dan apakah tidak melanggar asas ne bis in idem dalam hukum
pidana?
Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, persoalan-persolan
yang berkaitan dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya ini masih memerlukan beberapa
penelitian yang lebih mendalam. Oleh karena itulah penulis merasa
tertarik untuk mengangkat permasalahan ini kedalam sebuah karya
tulis skripsi sebagai tugas akhir penulis dalam menyelesaikan
pendidikan strata I pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
dengan mengangkat judul : “Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat Atas Tindak Pidana yang dilakukan
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan di atas dan untuk memberikan batasan
dalam proses penelitian maka penulis memilih beberapa rumusan
masalah sebagai berikut:
8
1. Bagaimanakah proses yuridis tindak lanjut pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden?
2. Bagaimanakah akibat hukum dari proses yuridis tindak lanjut
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian pada penulisan karya ilmiah ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses yuridis tindak lanjut pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari proses yuridis tindak lanjut
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas tindak pidana yang
dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
D. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian pada penulisan karya ilmiah ini adalah :
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan/
sumbangan pemikiran bagi para pihak yang terlibat di dalam
mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
9
2. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan
sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum terkhusus dalam bidang
Hukum Tata Negara, terkait mengenai Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Negara hukum
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Istilah Negara Hukum merupakan
terjemahan langsung dari istilah (Rechtsstaat). Ada dua tradisi besar
gagasan Negara Hukum di dunia, yaitu Negara Hukum dalam tradisi
Eropa Kontinental yang disebut Rechtsstaat dan Negara Hukum dalam
tradisi Anglo Saxon yang disebut dengan Rule of Law. Ciri utama dari
Negara hukum adalah adanya seperangkat prinsip hukum yang harus
dihormati, termasuk oleh pembentuk undang-undang (sebagai
pembentuk hukum) terikat padanya.4
Salah satu ahli yang sering dirujuk ketika membicarakan topik
Negara Hukum (Rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental adalah
Friedrich Julius Stahl. Pandangannya tentang Rechtsstaat merupakan
perbaikan dari pandangan Immanuel Kant. Menurutnya, ada empat
elemen yang harus dimiliki dan menjadi ciri dari Negara hukum, yaitu
adalah pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten); pemisahan
kekuasaan (scheiding van machten); pemerintahan berdasar atas
undang-undang (wetmatigheid van het bestuur); dan peradilan tata
usaha Negara/ peradilan administrasi (administratieve rechtspraak).
4 ibid, hlm 16.
11
Sementara itu unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of
Law, yang berasal dari Dicey5, mengemukakan adanya tiga elemen
prinsip Negara hukum, yaitu:
1. Absolute supremacy of law, sebagai lawan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan mengesampingkan penguasa yang sewenang-wenang, prerogatif atau pun diskresi yang luas oleh pemerintah;
2. Equality before the law, yaitu kesamaan bagi semua orang (kelas) dihadapan hukum yang dilaksanakan pemerintah atau pengadilan; dan
3. Due process of law, yaitu segala tindakan Negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada satu tindakan pun yang tidak memiliki dasar hukumnya.
Yang mana Hilaire Barnett mengutip bahwa:6
Dicey argued that the rule of law – in its practical manifestation – has three main aspects: • no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body
or goods except for a distinct breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the land. In this sense, the rule of law is contrasted with every system of government based on the exercise by persons in authority of wide, arbitrary, or discretionary powers of constraint;
• no man is above the law; every man and woman, whatever be his or her rank or condition, is subject to the ordinary law of the realm and amenable to the jurisdiction of the ordinary tribunals; and
• the general principles of the constitution (as, for example, the right to personal liberty, or the right of public meeting) are, with us, the result of judicial decisions determining the rights of private persons in particular cases brought before the courts
pendapat tersebut Pada penjelasannya, menurut Dicey mengenai
supremacy of law:7
5 Dicey sebagaimana dikutip Hamdan zoelva, Loc.cit.
6 Hilaire Barnett, Constitutional and Administrasi Law,Ed 4 (London: Cavendish
Publishing Limited, 2002, Hal 91.
12
“virtue of the supremacy of rule of law in Great Britain no man is punishable… except for a distinct breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary Courts of the land.”
Kemudian yang menjadi paling fundamental kedua yaitu Equality
before the law, yang mana diungkapkan bahwa the equality of all
before the law, as well as the equal subjection of all to the same
jurisdiction.8 Kemudian dijelaskan kembali oleh Pietro Costa bahwa,
the principles of the rule of law demands more than the mere equality
of all before the law: it imposes the submission of everyone to the
same laws administrasion by the same court.9
Sementara itu, Franz Magnis-Suseno menyebut empat syarat
dalam gagasan Negara Hukum yang saling berhubungan satu sama
lain, yaitu pertama, adanya asas legalitas yang berarti pemerintah
bertindak semata-mata atas dasar hukum yang berlaku; kedua, adanya
kebebasan dan kemandirian kekuasaan kehakiman terutama dalam
fungsinya untuk menegakkan hukum dan keadilan; ketiga, adanya
jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; dan keempat,
adanya pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi atau hukum
dasar.
Konsistensi penerapan prinsip Negara hukum dalam suatu
Negara melahirkan teori legalitas yang dipegang teguh semua Negara
hukum modern. Teori tersebut mensyaratkan dalam segala tindakan
7 Pietro Costa, The Rule of Law History, Theory and Criticism, (The Netherlands: Springer,
2007) hal 163. 8 Loc.cit.
9 Ibid, hal 164.
13
dan kebijakan Negara harus menghormati prinsip-prinsip hukum dan
undang-undang yang berlaku.10
Dalam bidang hukum pidana, teori ini mensyaratkan bahwa
sanksi kepada seseorang hanya dapat dikenakan jika ada hukum yang
mengaturnya sebelum perbuatan pidana dilakukan. Demikian juga
dalam tataran hukum tata Negara, konsistensi dan penghormatan atas
norma yang ada merupakan prinsip yang harus diterapkan dalam
kehidupan politik dan kenegaraan.
B. Demokrasi
Menurut Munir Fuady, Istilah demokrasi berasal dari penggalan
kata Yunani “demos” yang berarti “rakyat” dan kata “kratos” atau
“cratein” yang berarti “pemerintahan,” sehingga kata “demokrasi berarti
suatu “pemerintahan oleh rakyat.”11 Selanjutnya kata “pemerintahan
oleh rakyat” memiliki konotasi (1) suatu pemerintahan yang “dipilih oleh
rakyat” dan (2) suatu pemerintahan “oleh rakyat biasa” (bukan oleh
kaum bangsawan), bahkan (3) suatu pemerintahan oleh rakyat kecil
dan miskin (government by the poor) atau yang sering diistilahkan
dengan “wong cilik.” namun yang penting dalam demokrasi bukan
hanya siapa yang memilih pemimpin, melainkan juga cara dia
memimpin.
10
Hamdan Zolva, Op.cit hal 18 11 Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, (Jakarta: Retika Aditama, 2009) hlm 1.
14
Menurut Joseph Schmeter, demokrasi adalah suatu
perencanaan institusional untuk mencapai suatu putusan politik
dimana para individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat.12 Kemudian menurut Philippe
C. Schmitter, demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana
pemerintah dimintakan tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka
di wilayah public oleh warga Negara, yang bertindak secara tidak
langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka
yang telah terpilih.
Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat. Sistem demokrasi tersebut selalu dikaitkan
dengan kedaulatan rakyat, karena rakyatlah yang memiliki kekuasaan
tertinggi. Urofsky13 mengidentifikasi ada sebelas prinsip dasar
demokrasi yang berkembang, yaitu:
1. Konstitusionalisme; 2. Pemilihan demokratis; 3. Federalism, Negara bagian, dan pemerintahan local; 4. Pembentukan undang-undang;peradilan yang independen; 5. Kekuasaan presiden; 6. Peranan media; 7. Peranan kelompok penekan; 8. Melindungi hak minoritas; 9. Konstrol sipil atas militer.
Prinsip ini harus dimiliki oleh Negara demokrasi, tentu kesebelas
prinsip ini tidaklah berlaku secara universal karena sistem
pemerintahan masing-masing Negara berbeda. Sedangkan dalam
12
Ibid, hlm 2. 13 Urofsky sebagaimana dikutip Fuady, ibid, hlm 19.
15
buku “Apakah Demokrasi,” mengemukakan sebelas soko guru
demokrasi, yaitu:
1. Kedaulatan rakyat;
2. Pemerintahan rakyat;
3. Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah;
4. Kekuasaan mayoritas;
5. Hak-hak minoritas;
6. Jaminan hak-hak asasi manusia;
7. Pemilihan di depan hukum;
8. Proses hukum yang jujur;
9. Pembatasan pemerintah secara konstitusional;
10. Pluralism social, ekonomi, dan politik;
11. Nilai-nilai toleransi, pragmatism, kerja sama, dan mufakat
Kemudian menurut Munir Fuady14, berdasarkan kepada nilai-
nilai yang harus dimiliki oleh demokrasi, maka sebuah demokrasil
minimal haruslah mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kedaulatan secara inklusif hanya ada pada rakyat. 2. Adanya ruang tempat dimana rakyat dapat berpartisipasi
secara aktif, disamping berpartisipasi dari parlemen yang juga merupakan wakil-wakil dari rakyat.
3. Adanya perlindungan yang maksimal terhadap hak asasi manusia.
4. Adanya sistem trias politika. 5. Adanya sistem cheks and balances antara eksekutif,
legislative, dan yudikatif. 6. Adanya pengakuan dan penghargaan terhadap hak asasi
manusia.
14 Ibid, hlm hal 17-18.
16
7. Adanya pemahaman yang sama (common understanding) diantara rakyat terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
8. Adanya suatu pemilihan umum yang bebas, rahasia, jujur, dan adil.
9. Adanya hak untuk memilih yang merata, dan hak untuk dipilih juga yang merata menentukan wakil-wakilnya dan untuk mengisi berbagai jabatan publik.
10. Adanya sumber-sumber informasi alternative kepada rakyat disamping sumber informasi resmi dari pemerintah yang berkuasa.
11. Adanya sistem yang menjamin bahwa pelaksanaan kekuasaan Negara dapat mewujudkan semaksimal mungkin hasil suara dan aspirasi masyarakat yang tercermin dalam suatu pemilihan umum.
12. Adanya perlakuan yang sama terhadap semua kelompok dan golongan dalam masyarakat.
13. Adanya perlindungan terhadapa golongan minoritas dan golongan rentan.
14. Pengambilan putusan dengan sistem one man one vote. 15. Adanya sistem oposisi yang kuat. 16. Adanya penghargaan terhadap perbedaan pendapat dalam
masyarakat. 17. Sistem rekruitmen terhadap kekuasaan-kekuasaan dan
jabatan Negara yang dilakukan secara terbuka dan fair. 18. Adanya suatu sistem yang dapat menjamin terlaksananya
suatu rotasi sistem kekuasaan yang teratur, damai, dan alami.
19. Adanya akses yang mudah dan cepat kepada masyarakat luas terhadap setiap informasi tentang kebijakan pemerintah.
20. Adanya sistem yang akomodatif terhadap suara/ pendapat/ kepentingan yang ada dalam masyarakat.
21. Pelaksanaan sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip good governance.
22. Perujudan prinsip supremasi hukum dan rule of law. 23. Terujudnya sistem kemasyarakatan yang berbasis
masyarakat madani (civil society).
Suatu sistem pemerintahan yang demokratis sebenarnya
merupakan suatu fase dari suatu tata kehidupan masyarakat yang
17
demokratis. Suatu tata kehidupan masyarakat yang demokratis itu
sendiri minimal haruslah menampakkan ciri-cirinya sebagai berikut: 15
1. Penghormatan terhadap pluralism dalam masyarakat, dengan menghilangkan sikap sectarian dan sikap mau menang sendiri. Di Indonesia, prinsip ini tersimpul dalam slogan Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).
2. Semangat musyawarah dalam mencapai suatu putusan tertentu
3. Cara yang diambil haruslah selaras dengan tujuan yang hendak dicapai. Dalam hal ini, demokrasi tidak hanya berkepentingan dengan aspek proseduralnya saja (seperti bagaimana prosedur pemilihan umum, pengambilan putusan diparlemen, dan sebagainya) melainkan demokrasi berkepentingan juga dengan tujuan atau hasil yang dicapai. Misalnya, sudahkah dengan suatu pemilihan umum tersebut menghasilkan para wakil rakyat atau para pemimpin yang bagus-bagus.
4. Norma kejujuran dalam mufakat. Dengan prinsip kejujuran dan ketulusan dalam bermusyawarah, kita dapat diharapkan untuk saling menghargai perbedaan-perbedaan yang ada, dan dapat mengambil putusan yang menguntungkan semua pihak (atau yang disebut dengan istilah win-win solution).
5. Norma kebebasan, persamaan hak, dan kesamaan perlakuan diantara anggota masyarakat.
6. Toleransi terhadap prinsip “coba dan salah” (trial and error) dalam mempraktekkan demokrasi.
Pada umumnya masyarakat di Negara-negara sangat gandrung
terhadap demokrasi sehingga demokrasi merupakan satu-satunya
pilihan. Penyebabnya adalah karena beberapa faktor sebagai berikut:16
1. Faktor demokrasi prosedural. Dalam hal ini, prosedur pengambilan putusan secara demokratis, yang kebanyakan daripadanya dilakukan secara mayoritas, dengan partisipasi rakyat yang sebanyak-banyaknya, dengan penghargaan yang besar kepada kehendak rakyat, lebih dapat menjamin bahwa segala yang dilakukan dalam kehidupan bernegara
15
Ibid hlm 13-14. 16 Ibid hlm 5-6
18
akan sesuai dengan kehendak rakyat untuk mencapai kebenaran, kemakmuran, dan keadilan.
2. Faktor kepatuhan kepada keputusan pemerintah/masyarakat. Dalam hal ini, karena keputusan yang diambil secara demokratis dianggap keputusan yang diambil secara bersama, meskipun sebagian kecil (minoritas) mungkin telah dikalahkan dalam pemungutan suara, maka keputusan seperti itu dapat membawa kesejukan hati bagi rakyat yang telah merasa dihargai dan telah menyatakan pendapatnya misalnya melalui suatu pemilihan umum. Karena itu, keputusannya tersebut sangat besar kemungkinannya untuk dipatuhi oleh rakyat.
3. Faktor tujuan yang bersifat substantif yang hendak dicapai oleh suatu demokrasi. Dalam hal ini demokrasi mengandung begitu banyak manfaat yang hendak dicapai bagi kehidupan manusia dan masyarakat, seperti yang terdapat dalam kutipan berikut ini” ….Demokrasi dipertahankan karena ia menghasilkan kebijaksanaan yang bijak, suatu masyarakat yang adil, suatu masyarakat yang bebas, keputusan-keputusan yang memajukan pengetahuan dan kegiatan intelektual, dan sebagainya. … bahwa demokrasi akan memajukan mereka… (david miller, et al., 1983:254)
4. Faktor pencarian kebahagiaan manusia. Sesuai ajaran dari paham utilitarianisme bahwa tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak-banyaknya manusia (the most happiness for the greatest people), maka pengambilan putusan secara demokratis adalah yang paling mungkin mencapai kebahagiaan tersebut, karena proses pengambilan putusan secara demokratis melibatkan semua anggota masyarakat yang sudah memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang berhak atas kebahagiaan (happiness) tersebut.
Untuk mengukur sebuah Negara disebut Negara demokrasi,
sangat tergantung pada penghormatan dan konsistensinya untuk
memenuhi prinsip demokrasi. Sebuah kebijakan dianggap legitime bila
mayoritas rakyat memberikan persetujuan atas dukungannya atas
19
suatu kebijakan Negara. Jadi, prinsip legitimasi terkait dengan prinsip
demokrasi.17
C. Check and Balances System
Pemikiran pentingnya pembatasan kekuasaan mendasari
lahirnya konsep check and balances, karena kekuasaan yang tidak
dibatasi akan selalu cenderung untuk disalah gunakan.18 Dalam
rangka pembatasan kekuasaan, maka dikembangkanlah teori
pemisahan kekuasaan yang pertama kali dikenalkan oleh John Locke.
Pemisahan kekuasaan dilakukan dengan memisahkan kekuasaan
politik menjadi 3 bentuk, yaitu kekuasaan legislative (legislative power),
kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif
(federative power).
Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan lembaga membentuk
undang-undang dan peraturan-peraturan yang sifatnya fundamental
lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan melaksanakan
peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Kekuasaan
federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan hubungan luar
negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga, aliansi
antarnegara, dan perjanjian-perjanjian dengan negara asing.
17
Hamdan zoelva, Opcit, hlm 21 18 Ibid hlm 59
20
Kemudian tiga cabang kekuasaan ini kemudian dikembangkan
oleh Baron Montesquieu, teori ini dikenal dengan teori trias politica.
Dalam teorinya, kekuasaan politik dibagi dalam 3 bentuk, yaitu
kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.
Kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan yang berhubungan dengan
pembentukan hukum atau undang-undang suatu Negara. Kekuasaan
eksekutif adalah kekuasaan yang berhubungan dengan penerapan
hukum tersebut. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan
kehakiman.
Kemudian menurut Montesquieu, ketiga fungsi kekuasaan
Negara tersebut harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ
Negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak
boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak.
Jika tidak demikian, kebebasan akan terancam.19
Namun pada kenyataannya, teori yang di idealkan
Monstesquieu tersebut tidak dapat diterapkan pada Negara-negara
dewasa ini. Kenyataannya ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak
mungkin tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat
sederajat dan saling berhubungan satu sama lainnya. Dari sinilah
dikembangkan teori checks and balances.
19 Ibid, hlm 62.
21
Check and balances mengacu pada variasi atau aturan
prosedur yang memungkinkan satu cabang kekuasaan membatasi
kekuasaan lainnya.20 Judicial review adalah bukti pelanggaran batas
atas prinsip pemisahan kekuasaan, demikian juga impeachment
presiden oleh legislatif. Tindakan-tindakan saling mengimbangi dan
mengawasi yang sekarang ini kita pahami sebagai check and
balances.
Sistem ketatanegaraan Indonesia sebelum amandemen UUD
1945 tidak mengenal check and balances. MPR dianggap sebagai
penjelmaan rakyat Indonesia yang memegang kekuasaan tertinggi
diantara lembaga-lembaga lainnya. Yang mana berbeda dengan
ajaran John Locke bahwa Negara tidak boleh dipimpin atau dikuasai
oleh seseorang atau satu lembaga yang sifatnya absolut sehingga
menjadi sewenang-wenang. MPR menetapkan UUD, mengangkat
Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN). Presiden ialah pengelenggara kekuasaan di
bawah MPR yang berkewajiban menjalankan haluan Negara yang
ditetapkan oleh MPR serta tunduk dan bertanggung jawab kepada
MPR. Oleh karena itu, siapapun Presiden yang dapat menguasai
MPR, kekuasaannya akan langgeng. Begitupun sebaliknya, jika
Presiden tidak mampu menguasai MPR, maka akan lebih besar
kemungkinan diturunkan dari kursi kepresidenannya.
20 Ibid, hlm 63
22
Sistem check and balances mulai diterapkan setelah
amandemen UUD 1945. Setiap cabang kekuasaan saling mengawasi
dan mengimbangi pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan
perimbangan ini dirancang agar tiap cabang pemerintahan dapat
membatasi kekuasaan pemerintahan lainnya.21 Kedudukan MPR tidak
lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan dan tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga
tinggi lainnya.
Pembatasan kekuasaan yang diisyaratkan undang-undang
dasar juga mengatur beberapa kewenangan yang dimiliki oleh satu
cabang kekuasaan pemerintahan, yang mana ada cabang kekuasaan
membutuhkan pengesahan dan persetujuan dari cabang kekuasaan
yang lainnya. Seperti beberapa kewenangan yang ada pada presiden
membutuhkan pengesahan dan persetujuan dari DPR. Begitupun juga
sebaliknya kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif membutuhkan
pengesahan dan persetujuan cabang pemerintahan lainnya.
D. Lembaga Negara yang Berkaitan dengan Proses Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden
1. Presiden
Istilah president merupakan derivatif dari to preside yang berarti
memimpin atau tampil di depan. Sedangkan kata Latin presidere
21 Ibid, hlm 80
23
berasal dari kata prae yang berarti di depan, dan kata sedere yang
berarti duduk. Jabatan presiden yang dikenal sekarang ini, yaitu
sebagai kepala dari negara yang berbentuk republik, muncul di
Amerika Serikat pada abad ke-18.22
Di Indonesia, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD 1945.23 Kekuasaan Pemerintahan tersebut menunjuk
pada salah satu cabang kekuasaan dari konsep trias politica yang
merupakan lembaga Negara. Lembaga Kepresidenan ini mempunyai
kedudukan yang sama dengan cabang kekuasaan lainnya sehingga
dapat melakukan pengawasan terhadap lembaga Negara lainnya
dalam koridor UUD 1945 sebagai wujud pelaksanaan prinsip check
and balances.
Adapun beberapa urusan kewenangan Presiden menurut UUD
1945 adalah: 24
a. Kewenangan yang bersifat eksekutif, yaitu kewenangan menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.25 Karena komplek dan dinamisnya persoalan pemerintahan yang tidak mungkin tertampung semua dalam peraturan perundang-undangan, maka pemerintah diberi kebebasan untuk bertindak (discretionary power).
b. Kewenangan yang bersifat legislatif, yaitu kewenangan untuk mengatur kepentingan umum berupa pengajuan rancangan undang-undangan kepada DPR, menetapkan peraturan
22 Tim peneliti Mahkamah Konstitusi, Mekanisme Impeachment dan Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kerja sama dengan Kondrat –Adenauer-Stiftung, 2005) hlm 23
23 Lihat Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 24
M. Saleh dan Mukhlish, Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (sebuah Tinjauan Konstitusional), (Surabaya: P.T. Bina Ilmu, 2010) Hlm 19-20.
25 Lihat pasal 4 ayat (1) UUD 1945
24
pemerintah untuk menjalankan undang-undang, serta menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
c. Kewenangan yang bersifat judicial, yaitu kewenangan dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan. Kewenangan ini dilakukan oleh Presiden dalam bentuk pemberian grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung serta memberikan Amnesti dan Abolisi dengan memperhatikan pertimbangan dari DPR.
d. Kewenangan yang bersifat diplomatik, yaitu kewenangan menjalankan perhubungan dengan Negara lain atau subjek hukum internasional lainnyadalam konteks hubungan luar negeri baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang. Untuk menjalankan kewenangan diplomatik ini, Presiden diberi kewenangan memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Disamping itu, kewenangan ini juga dijalankan oleh Presiden dalam bentuk menyatakan perang,membuat perdamaian, membuat perjanjian internasional dengan persetujuan DPR. Presiden juga berwenang untuk menyatakan keadaan bahaya yang ditetapkan di dalam undang-undang
e. Kewenangan yang bersifat administratif, yaitu kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan seseorang dalam jabatan-jabatan kenegaraan tertentu atau di dalam jabatan-jabatan administrasi Negara. Kewenangan administrasi ini dilakukan oleh Presiden terhadap Konsul serta Duta Indonesia untuk ditempatkan dibeberapa Negara maupun Duta Negara lainyang menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesiadengan memperhatikan pertimbangan DPR. Member tanda gelar, jasa, dan kehormatan lainnyaserta membentuk Dewan Pertimbangan Presiden.
Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang
Wakil Presiden. Apabila Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan,
atau tidak dapat melakukan kewajibannyan dalam masa jabatannya. ia
digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya.
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden,
25
selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, MPR
menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua
calon yang diusulkan oleh Presiden.
2. Majelis Permusyawaratan Rakyat
Setelah Perubahan Ketiga UUD 1945, Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi menjadi lembaga tertinggi
negara, karena perubahan tersebut tidak lagi mengikuti doktrin
supremasi parlemen yang mendudukkan MPR sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia.
MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum
dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Kemudian menurut
Jimly Asshiddiqie, antara lain mengemukakan “Karena adanya kata
anggota dalam rumusan tersebut di atas, berarti meskipun
keanggotaannya dirangkap, institusi MPR itu sama sekali berbeda dan
terpisah dari institusi DPR dan institusi DPD.26
Sebagai institusi yang berbeda dengan DPR dan DPD, maka
MPR juga mempunyai tugas wewenang tersendiri yaitu:
a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia;
26
A.A. Oka Mahendra, 70 tahun Prof. Dr. Bintan R. Saragih- Percikan Pemikiran Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik, (Jakarta: Wildan Akademika dan Universitas Ekasakti Pers, 2010) hlm 48
26
b. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden hasil pemilihan
umum;
c. Memutuskan usul DPR untuk memberhentikan Presiden
dan//atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, setelah
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau bahwa
Presiden dan.atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden;
d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden ababila Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya;
e. Memilih Wakil Presiden dari 2 (dua) calon yang diusulkan oleh
Presiden apabila terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden
dalam masa jabatannya; dan
f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya
mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, dari 2
(dua) pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara
27
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai berakhirnya masa jabatan.
Karena keberadaan MPR dipandang sebagai institusi tersendiri
di dalam struktur ketatanegaraan, maka MPR termasuk bagian dari
pelaksana cabang kekuasaan. Namun, eksistensi MPR tidak jelas
sebagai salah satu pelaksana ketiga cabang kekuasaan Negara.27di
dalam Pasal 20 UUD 1945 menyatakan bahwa yang mempunyai
kekuasaan membentuk Undang-Undang (kekuasaan legislative)
hanyalah DPR. MPR sama sekali tidak mempunyai wewenang untuk
itu, sedangkan DPD hanya berwenang sampai pada pengajuan dan
ikut membahas sebuah rancangan undang-undang. DPD tidak
mempunyai wewenang untuk mensahkan undang-undang.
Untuk menciptakan check and balances, maka MPR sebagai
pelaksana dari kekuasaan Negara diberi wewenagn untuk dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal ini dapat
dikategorikan fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan.
Dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden lebih
merupakan proses politik yang terjadi di dalam rapat Paripurna MPR.
Sehingga pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tergantu
pada peta kekuatan politik di MPR tersebut. MPR bersidang
sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara. Segala putusan
MPR ditetapkan dengan suara terbanyak.
27 M. Saleh dan Mukhlish, Op.cit. Hlm 11.
28
3. Dewan Perwakilan Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau sering
disebut Dewan Perwakilan Rakyat (disingkat DPR-RI atau DPR)
adalah salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat.
Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan
tempat masyarakat untuk aspirasi dan menyuarakan kepentingannya.
Lewat lembaga ini akan keluar kebijakan yang menjadi dasar bagi
Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan, yang diwujudkan
dalam bentuk undang-undang.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan lembaga
perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. DPR
mempunyai tugas dan wewenang yaitu:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden
untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan
terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang
diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD
berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
29
lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan
pusat dan daerah;
d. membahas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
e. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh
Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran
serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD
sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan
Presiden;
f. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-
undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang
berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
g. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas
rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh
Presiden;
h. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undangundang
dan APBN;
30
i. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang
disampaikan oleh DPD terhadap pelaksanaan undangundang
mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
j. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan
rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
k. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian
amnesti dan abolisi;
l. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal
mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar
negara lain;
m. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan
DPD;
n. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
disampaikan oleh BPK;
31
o. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan
dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
p. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan
Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh
Presiden;
q. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya
kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden;
r. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset
negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang
berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara;
s. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti
aspirasi masyarakat; dan;
t. melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur dalam
undang-undang.
Tugas dan wewenang di atas merupakan penjabaran dari 3
(tiga) fungsi DPR. Fungsi tersebut yang Pertama, fungsi legislasi yaitu
sebagai fungsi membentuk undang-undang yang dibahas bersama-
sama dengan Presiden. Kedua fungsi anggaran, yaitu fungsi yang
dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau
tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang
tentang APBN yang diajukan oleh Presiden. Ketiga fungsi
32
pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap
pelaksanaan kebijakan pemerintah sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Dalam kaitannya dengan fungsi pengawasan, UUD 1945
memberikan kewenangan kepada DPR untuk usulan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden jika ada dugaan pelanggaran
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Dugaan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam tata cara sidang DPR atas dugaan
pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan sebagai
hak menyatakan pendapat dengan melalui prosedur yang berlaku di
DPR. Prosedur tersebut adalah dengan usulan hak interpelasi, hak
angket, dan hak menyatakan pendapat.
Proses ini dimulai dengan pengusulan Hak Interpelasi pada
rapat paripurna DPR. Pengusulan hak interpelasi disertai dengan
dokumen yang memuat sekurang-kurangnya :
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan
Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan
b. alasan permintaan keterangan.
Apabila usul hak interpelasi tersebut disetujui sebagai interpelasi DPR,
pimpinan DPR menyampaikannya kepada Presiden dan mengundang
Presiden untuk memberikan keterangan. Terhadap keterangan
Presiden, diberikan kesempatan kepada pengusul dan anggota yang
lain untuk mengemukakan pendapatnya dan memberikan kesempatan
33
kepada Presiden untuk menjawabnya. Jika DPR menolak keterangan
dan jawaban Presiden, DPR kemudian meneruskan pada pengusulan
hak Angket.
Dalam rapat paripurna, pengusulan hak angket disertai dengan
dokumen yang memuat sekurang-kurangnya:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undangundang yang
akan diselidiki; dan
b. alasan penyelidikan
Jika rapat paripurna memutuskan untuk menyetujui usul mengadakan
angket, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia
angket. panitia khusus/ panitia angket berhak meminta pejabat negara,
pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk
memberikan keterangan. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, panitia
angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna dan mendengar
pendapat akhir dari fraksi, kemudian keputusan tersebut disampaikan
kepada Presiden. Setelah hak angket telah dilaksanakan maka
dilakukanlah usulan hak menyatakan pendapat atas pelanggaran yang
dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Usul hak menyatakan pendapat disampaikan oleh pengusul
kepada pimpinan DPR yang selanjutnya diumumkan oleh pimpinan
kepada seluruh anggota DPR. Badan Musyawarah membahas dan
menjadwalkan rapat paripurna atas usul menyatakan pendapat dan
34
dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan
penjelasaan atas usul menyatakan pendapatnya secara ringkas.
Dalam hal rapat paripurna menyetujui usul hak menyatakan
pendapat, rapat paripurna membentuk panitia khusus yang kemudian
akan melakukan pembahasan dengan Presiden. Panitia khusus yang
dibentuk tersebut dapat mengadakan rapat kerja, rapat dengar
pendapat, dan/atau rapat dengar pendapat umum dengan pihak yang
dipandang perlu, termasuk pengusul. Setelah pembahasan, maka
dilanjutkan dengan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
untuk menyetujui atau menolak pernyataan pendapat tersebut.
Keputusan DPR mengenai usul menyatakan pendapat yang
berupa dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela
maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden dimohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan
putusan.
4. Mahkamah Konstitusi
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia dimaksudkan
untuk memperkuat kekuasaan kehakiman dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia sebagai salah satu perwujudan ketentuan
UUD 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Mahkamah Konstitusi ini menurut pasal 7B dan Pasal 24C
35
kewenangannya bukan hanya menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar melainkan meliputi28
a. Kewenangan 1) Pengujian Undang-Undang terhadap UUD; 2) Mengadili sengketa kewenangan antaralembaga Negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 3) Memutus pembubaran partai politik 4) Memeriksan dan memutus perselisihan hasil pemilu. 5) Sejak keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008,
Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan baru, yaitu memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah.
b. Kewajiban Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tertentu menurut UUD dan/atau Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat. Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan mempunyai
fungsi untuk mengawal konstitusi (the guardian of constitution), agar
dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan Negara
maupun warga Negara. Selanjutnya Jimly Asshiddiqie29 menguraikan
bahwa:
“dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen Negara secara konsisten dan bertanggung jawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.”
28 Moh Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Ed 1 Cet. 2, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), hlm263. 29
Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Ed 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) hlm
36
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota
hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-
masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Hakim Mahkamah
Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak
merangkap sebagai pejabat negara.
Dalam kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi memegang kekuasaan
untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR atas pelanggaran
tertentu yang dilakukan Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut
UUD 1945 dan/atau Presiden dan Wakil Presiden tidak lagi memenuhi
syarat sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.
Putusan atas pendapat DPR tersebut disampaikan kembali oleh
DPR. Dalam hal putusan Mahkamah Mahkamah Konstitusi
membenarkan pendapat DPR maka Proses Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat dilanjut. Namun jika putusan
Mahkamah Konstitusi menolak atau tidak dapat diterima, maka DPR
tidak dapat melanjutkan proses pemberhentian tersebut.
37
E. Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
Impeachment merupakan proses politik manakala parlemen
secara resmi menjatuhkan sanksi “pemecatan” terhadap seorang
presiden yang nyata telah melanggar konstitusi negara.30
Mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
sering juga disebut dengan kata impeachment. Pemakzulan secara
historis, impeachment berasal dari abad ke-14 di Inggris. Parlemen
menggunakan lembaga impeachment untuk memproses pejabat-
pejabat tinggi dan individu-individu yang amat powerfull, yang terkait
dalam kasus korupsi, atau hal-hal lain yang bukan merupakan
kewenangan pengadilan biasa.
Black‟s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai “A
criminal proceeding against a public officer, before a quasi political
court, instituted by a written accusation called „articles of
impeachment”. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan
pidana terhadap seorang pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan
Senat, disebut dengan quasi political court.31 Sementara Encyclopedia
Britanica menguraikan pengertian impeachment sebagai “a criminal
proceeding instituted against a public official by a legislative body”.
30
Satya Arinanto, Lembaga Kepresidenan dalam Perspektif Hukum Tata Negara-Jangan Takut Bayang-Bayang Impeach Pak Presiden, (Majalah Figur Edisi XI/TH 2007) hal 48
31 Tim peneliti Mahkamah Konstitusi, Opcit, hlm 22.
38
Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses
pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik.32
Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga
seolah-olah lembaga „impeachment‟ itu identik dengan
„pemberhentian‟. Oleh karenanya Jimly mengatakan Sesungguhnya
arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga
impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya dan tidak mesti
berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi
negara lain dari jabatannya.33
Objek Impeachment bukan hanya merupakan proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, tetapi Impeachment tersebut merupakan proses
pemberhentian terhadap para pejabat Negara yang dianggap
melanggar ketentuan sebagaimana telah diatur di dalam peraturan
perundang-undangan.34 Objek dari impeachment diberbagai negara
berbeda-beda dan terkadang memasukkan pejabat tinggi negara
seperti hakim atau ketua serta para anggota lembaga negara menjadi
objek impeachment. Namun objek impeachment yang menyangkut
pimpinan negara akan lebih banyak menyedot perhatian publik. Seiring
dengan Perubahan UUD 1945, Indonesia juga mengadopsi
32 Ibid hlm 27. 33 Lihat Pengantar Jimly Asshiddiqie dalam laporan penelitian-mekanisme impeachment
dan hukum acara mahkamah konstitusi, kerjasama Mahkamah Konstitusi dan Konrad Adenauer stiftung, Jakarta, 2005.
34 M. Saleh dan Mukhlish, Opcit. hlm
39
mekanisme impeachment yang objeknya hanya menyangkut pada
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebelum amandemen UUD 1945, proses proses pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diatur di dalam UUD 1945.
Pemberhentian tersebut hanya didasarkan Pasal 8 UUD 1945 yaitu jika
Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden
sampai habis masa waktunya.35
Berdasarkan TAP MPR No. III/MPR/1978 tentang Hubungan
Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-
Lembaga Tinggi Negara mengenai proses pemberhentian Presiden di
mulai dari pengawasan DPR atas tindakan presiden dalam
melaksanakan haluan Negara. Jika kemudian DPR dalam
melaksanakan fungsi pengawasannya menganggap presiden
melanggar haluan negara, DPR dapat menyampaikan memorandum
kepada presiden untuk mengingatkan presiden telah melakukan
pelanggaran haluan Negara. Apabila dalam waktu 3 bulan presiden
tidak mengindahkannya, maka DPR akan menyampaikan
memorandum kedua kepada Presiden. Apabila dalam waktu 1 bulan,
presiden tidak juga mengindahkan memorandum DPR tersebut, maka
DPR dapat meminta untuk MPR mengadakan sidang istimewa untuk
pertanggung jawaban presiden.
35 Lihat pasal 8 UUD 1945 (sebelum amandemen)
40
Tabel 1
Mekanisme pemberhentian Preside menurut TAP MPR No. III/MPR/1978
Alasan
Pemberhentian
Mekanisme Pemberhentian
DPR MPR
Presiden
sungguh-
sungguh
melanggar
haluan Negara
Peringatan
pertama kepada
presiden
(memorandum I)
selama 3 bulan
Peringatan
kedua kepada
Presiden
(memorandum
II) selama 1
bulan
Permintaan
Sidang
Istimewa
kepada
MPR
Sidang
Istimewa
meminta
pertanggung
jawaban
Presiden.
Pemberhentian dalam masa jabatan menurut TAP MPR
tersebut dipandang hanya berdasarkan alasan politik yang mana
melanggar haluan negara dapat ditafsirkan begitu luas.36 Oleh
karenanya usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
pada saat itu sangatlah subjektif. Menurut Hamdan Zoelva yang
dimaksud haluan Negara tersebut adalah apapun haluan atau garis-
garis yang ditetapkan undang-undang dasar maupun ketetapan
MPR.37 Selanjutnya dijelaskan bahwa
dengan demikian seluruh pasal UUD 1945, yang terkait dengan tugas, wewenang, dang tanggung jawab presiden merupakan haluan Negara, termasuk pancasila, UUD 1945 dan penjelasannya, dan lain-lain. Alasan-alasan dan mekanisme
36
Lihat makalah Mahfud MD berjudul Undang-Undang Dasar Sebelum dan Sesudah, hlm 7 (http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_14.pdf)
37 Hamdan Zoelva, Op.cit, hlm 87.
41
inilah yang dipergunakan MPR ketika memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 200138
pada Amandemen ke-IV UUD 1945, di Indonesia ada beberapa
alasan yang dapat digunakan untuk melakukan impeachment terhadap
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Alasan tersebut diatur dalam pasal
7A UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Lebih lanjut alasan tentang Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden ini dijelaskan di dalam Pasal 10 ayat (2)
Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal di dalam UUD 1945 dan Undang-Undang
tentang Mahkamah Konstitusi bahwa terdapat 2 alasan untuk
memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, yaitu karena secara umum Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran dan kedua karena Presiden
38 Loc.cit
42
dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Adapun yang dimaksud “pelanggaran” adalah sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 7A UUD 1945 itu sendiri, yaitu terbatas
pada 5 (lima) Perkara:
a. Penghianatan terhadap Negara;
b. Korupsi;
c. Penyuapan;
d. Tindak pidana berat lainnya;
e. Perbuatan tercela.
Batasan mengenai pelanggaran tersebut termuat di dalam Pasal
10 ayat (3) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
a. Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan Negara sebagaimana diatur dalam undang-undang;
b. Korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau
penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang;
c. Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dpapat merendahkan
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden39
39
Lihat pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tantang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
43
Adapun alasan kedua yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana tertuang dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945:
Calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden harus seorang warga Negara Indonesia sejak kelahirannyadan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati Negara, serta mampu sehara rohani dan jasmani untuk melaksanakantugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden dan/atau wakil presiden tidak dengan mudah
diberhentikan begitu saja, melainkan harus melalui mekanisme-
mekanisme yang telah ditentukan di dalam UUD 1945. Di dalam UUD
1945 Proses impeachment dilakukan melalui proses di 3 lembaga
negara secara langsung. Proses yang pertama berada di DPR. DPR
melalui hak pengawasannya melakukan proses “investigasi” atas
dugaan-dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan
tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang
tergolong dalam alasan-alasan impeachment. Setelah proses di DPR
selesai, yang mana Rapat Paripurna DPR bersepakat untuk
menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
tindakan yang tergolong alasan untuk di-impeach maka putusan Rapat
Paripurna DPR itu harus dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Setelah
permohonan DPR diterima oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi wajjib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR
tersebut. Apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan
DPR tersebu, maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk
44
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada MPR. Setelah itu MPR memberikan keputusan terhadap usu
DPR tersebut, yang mana berujung pada 2 kemungkinan, yaitu
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan atau tidak
diberhentikan.
F. Pemberhentian Presiden di Beberapa Negara
Konstitusi Filiphina menentukan bahwa presiden dapat
diberhentikan dari dakwaannya yang terbukti menyalahi konstitusi
(culpable constitution), penghianatan (treason), Penyuapan (bribery),
gratifikasi (graft), dan korupsi (corruption), tindak pidana berat lainnya
(other high crimes), atau penghianatan atas kepercayaan public
(betrayal of public trust). Menurut Jose N. Nolledo, penghianatan itu
tidak harus merupakan tindak pidana, tetapi cukup pelanggaran atas
sumpah jabatan dapat merupakan pengkhianatan atas kepercayaan
publik.40
Proses Pemberhentian Presiden Filiphina mempergunakan
proses dua tingkat, yaitu pendakwaan oleh the House of
Representative dan disidang oleh senat. Untuk mendakwa presiden
dihadapan senat, diperlukan paling kurang 1/3 anggota House.
Sedangkan senat harus menyidang dipimpin oleh ketua Mahkamah
Agung Filiphina dan memutus dakwaan House yang dalam hal ini
40 Hamdan zoelva, Op.cit, hlm 54.
45
presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya jika
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota senat.
Kemudian di Korea Selatan juga menentukan Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya. Alasan diberhentikannya dapat
berupa pelanggaran terhadap konstitusi atau perbuatan lainnya dalam
melaksanakan jabatannya. Usukan pemberhentian Presiden tersebut
dilakukan oleh Parlemen Korea Selatan (National Assembly) dengan
persetujuan mayoritas anggota Parlemen dan disetujui sekurang-
kurangnya 2/3 anggota Parlemen. Setelah mosi dakwaan disetujui oleh
parlemen, maka presiden harus nonaktif dari jabatannya sampai
keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi. Setelah mosi dakwaan
diajukan ke Mahkamah Konstitusi, maka persidangan dan putusan
pemberhentian Presiden menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi.
Konstitusi Jerman menentukan bahwa, Bundestag (Majelis
Rendah) atau Bundestrat (Majelis Tinggi) dapat mengajukan dakwaan
pemberhentian Presiden di hadapan Mahkamah Konstitusi atas
tindakan Presiden yang melanggar Konstitusi atau melanggar setiap
undang-undang federal. Dugaan Pemberhentian tersebut harus
didukung sekurang-kurangnya ¼ anggota Bundestag atau ¼
Bundestrat. Untuk dapat diajukan ke Mahkamah Konstitusi dakwaan ini
harus disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota Bundestag atau 2/3
anggota Bundestrat. Jika Mahkamah Konstitusi menemukan kesalahan
46
presiden seperti yang diajukan oleh Bundaetag atau Bundestrag, maka
Presiden diberhentikan dari jabatannya dan merupakan putusan final.
G. Pelanggaran Hukum
Dalam perkara pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden terdapat beberapa jenis pelanggaran hokum yaitu
pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnyam atau perbuatan tercela.41
Pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang42
peraturan terhadap keamanan Negara terdapat pada pasal 104-129
Buku II – Kejahatan, dalam BAB I – Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kejahatan-kejahatan tersebut meliputi:
a. Makar terhadap kepala Negara (Pasal 104); b. Makar untuk memasukkan Indonesia di bawah kekuasaan
asing (Pasal 106) c. Makar untuk menggulingkan pemerintah (Pasal 107) d. Pemberontakan (Pasal 108) e. Pemufakatan jahat dan/atau penyertaan untuk melakukan
kejahatan yang dimaksud Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP;
f. Mengadakan hubungan dengan Negara asing yang bermusuhan dengan Indonesia (Pasal 111);
g. Mengadakan hubungan dengan Negara asing dengan tujuan agar Negara asing membantu suatu penggulingan terhadap pemerintah di Indonesia (Pasal 111 bis);
h. Menyiarkan surat-surat rahasia (Pasal 112-pasal 116);
41 Lih Pasal 7A UUD 1945 42
Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
47
i. Kejahatan mengenai bangunan-bangunan pertahanan negara (Pasal 117-120)
j. Merugikan Negara dalam perundingan diplomatic (Pasal 121);
k. Kejahatan yang biasa dilakukan oleh mata-mata musuh (Pasal 122 – Pasal 125)
l. Menyembunyikan mata-mata musuh (Pasal 126); dan m. Menipu dalam hal menjual barang-barang keperluan tentara
Selain itu juga terdapat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999
tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, ada 2 (dua) macam pengkhiatan,
yaitu:43
1. Pengkhianatan intern (hoogveraad) yang ditujukan untuk mengubah struktur kenegaraan atau struktur pemerintahan yang ada, termasuk juga tindak pidana terhadap kepala negara. Jadi, mengenai keamanan intern (inwendige veiligheid) dari Negara;
2. Pengkhianatan ekstern (landverraad) yang ditujukan untuk membahayakan keamanan Negara terhadap serangan dari luar negeri. Jadi, mengenai keamanan ekstra (uitwendige veiligheid) dari Negara. Misalnya, memberikan pertolongan kepada Negara asing yang bermusuhan dengan Negara kita.
Istilah tindak pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu
straafbaar feit. straafbaar feit berasal dari 2 bentuk kata yaitu straafbarr
dan feit. Straaf berarti dapat dihukum dan feit dalam bahasa Belanda
diartikan sebagian dari kenyataan, sehingga secara harfiah perkataan
straafbaar feit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.
Kemudian simons berpendapat bahwa straafbaarfeit itu adalah
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja
43
Pusat Penelitian dan Pengkajian Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Op.cit, hal 65.
48
ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat
dipertanggung jawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan
sebagai tindakan yang dapat dihukum.44
Kemudian menurut Evi Hartanti45 alasan Simons mengapa
straafbaarfeit harus dirumuskan seperti di atas karena:
1. Untuk adanya suatu straafbaarfeit diisyaratkan bahwa disitu terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum;
2. Agar suatu tindakan seperti itu dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsure dari delik seperti yang dirumuskan dengan undang-undang;
3. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.
Kemudian pompe mengatakan bahwa straafbaarfeith secara
teoritis dapat dirumuskan sebagai pelanggaran norma atau gangguan
terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah
dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum.
Dalam kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden
dan/atau wakil Presiden, UUD 1945 memungkinkan pemberhentian
Presiden jika melakukan tindak pidana. Tindak pidana yang dimaksud
44
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Ed kedua, Semarang: Sinar Grafika. 2005) , hlm 5. 45 Simons sebagaimana dikutip oleh Evi Hartanti, ibid, hlm 5-6
49
dapat berupa tindak pidana korupsi, penyuapan, atau tindak pidana
berat lainnya.
Dalam kaitannya dengan pelanggaran hokum mengenai korupsi
diatur bahwa, korupsi adalah tindak pidana korupsi sebagaimana
diatur dalam undang-undang.46 Penyuapan adalah tindak pidana
penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.47 Selain itu
secara harfiah korupsi berasal dari bahasa Latin yaitu corruption,48
yang mempunyai makna kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.49
Baharuddin Lopa mengutip dari David M. Chalmers, menguraikan arti
istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang
ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.50
Pelanggaran hokum berupa korupsi dan penyuapan dapat
dijadikan satu, yaitu tindak pidana korupsi dan penyuapan baik yang
diatur dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang yang lain, seperti
46 Lih Pasal 1 angka (8) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
47 Lih Pasal 1 angka (9) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
48 Dalam bahasa Inggris corruption; Perancis yaitu corruption; Belanda, yaitu corruptie. 49
Jur. Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional.
50 Evi Hartanti, Op.cit, hal 9.
50
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Hamdan Zoelva,
yang dapat dikategorikan sebagai korupsi dan penyuapan meliputi:51
a. Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang terdiri dari: 1. Perbuatan secaa melawan hokum memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara;
2. Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara.
b. Tindak pidana yang sebelumnya merupakan tindakan tindak pidana suap yang terkait dengan jabatan negeri, hakim, dan advokat sebagaimana diatur dalam KUHP, jabatan penyelenggara Negara, serta pemborong, ahli bangunan serta pengawas bangunan yang terkait dengan kepentingan umum dan TNI.
c. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan dalam perkara korupsi dan penyuapan.
Sesuai dengan Pasal 10 ayat (3) huruf (c) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Jo Pasal 1 ayat 10)
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang dimaksud tindak pidana berat lainnya adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
51
____, BAB IX- Hukum Acara Memutus Pendapat DPR dalam Proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dala Masa Jabatannya, Hal 260-261.
51
Perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan
martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.52 Perbuatan tercela
adalah perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat dan tidak
seharusnya dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apabila
dimaksudkan dilakukan, akan merusak citra dan kehormatan Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
52 Lihat Pasal 1 angka (10) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009
Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
52
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam
penyusunan karya tulis ini, maka penelitian dilakukan di perpustakaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI).
Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan karena dalam
penulisan skripsi ini penulis membutuhkan data-data yang berkaitan
dengan dasar hukum penormaan di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasca amandemen).
B. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Untuk memecahkan isu hukum dalam penelitian ini, maka
diperlukan sumber-sumber hukum. Sumber-sumber penelitian hukum
ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu sumber hukum primer dan
sumber hukum sekunder.
Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah siding pembentukan
perundang-undangan, dan putusan pengadilan. Sedangkan sumber
bahan-bahan sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan catatan resmi. Publikasi tersebut meliputi buku-buku teks,
kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, makalah hukum, dan komentar-
komentar terkait penelitian ini.
53
C. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan untuk
memperoleh bahan dan informasi yaitu Statute Uproach (Pendekatan
Undang-Undang) dengan literatur yang berhubungan dengan masalah
yang dibahas seperti:
1. Peraturan perundang-undangan yang relevan dengan
penulisan ini, catatan-catatan resmi atau risalah siding
pembentukan peraturan perundang-undangan, dan putusan
pengadilan
2. Buku, majalah, media internet, kamus hukum, jurnal karya
ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
dalam penulisan.
D. Analisis Bahan Hukum
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode Statute
Uproach (pendekatan Undang-Undang) yaitu itu menganalisa bahan
hukum yang diperoleh dari metode penelitian ini dengan cara
menjelaskan obyek penelitian yang di dapat dari penelitian
berdasarkan metode kualitatif, shingga dapat memperoleh gambaran
jelas tentang substansi materi yang akan dibahas dalam penulisan ini.
.
54
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
Atas Pelanggaran Hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
pemakzulan53 adalah salah satu mekanisme yang secara
konstitusional disediakan oleh konstitusi untuk mempersingkat masa
jabatan Presiden atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya bila
terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang disebutkan
secara eksplisit di dalam konstitusi karenanya banyak Ahli
menganggap bahwa permakzulan atau impeachment dianggap
sebagai extraordinary political event di dalam sistem Presidensil.54
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa, Udang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) setelah
amandemen, telah memuat ketentuan mengenai mekanisme
pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Pemberhentian
tersebut, dapat dilakukan karena beberapa alasan, baik apabila
terbukti Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/ atau bahwa
53
Kata pemakzulan biasa juga disebut Impeachment. Di dalam UUD 1945 disebut Proses Pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden
54 Putusan Mk no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian keterangan ahli, Saldi Isra, hal 47
55
Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Bought Mafter dan Naukokada
pada tahun 2003, menyebutkan bahwa pemakzulan atau impeachment
di dalam sistem presidensil dia anggap semacam political earthquake
dan extraordinary political event, karena hal tersebut adalah bentuk-
bentuk pelanggaran yang dapat berujung pada pemakzulan yang
kemudian ditentukan secara definitive di dalam konstitusi atau Undang-
Undang Dasar 1945.55
Hampir semua konstitusi Negara mengatur permasalahan
“pemakzulan” atau “impeachment” sebagai suatu cara yang sah dan
efektif untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam
menjalankan konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang
(abuse of power/detournement de pouvoir) dan tetap pada koridor
peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip-
prinsip rule of law.56 Oleh Karenanya UUD 1945 mengatur mekanisme
tersebut. Mekanisme pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil
Presiden termuat dalam pasal 7B UUD 1945 yang menyatakan bahwa:
1. Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
55
Putusan Mk no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian keterangan ahli, Saldi Isra, hal 48 56 Seger Widyaiswara Madya, Sekilas tentang Pemakzulan (impeachment), hal 3.
56
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
2. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama Sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
5. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan siding paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
6. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
7. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Banyak pertimbangan ketika mekanisme pemberhentian
Presiden dan/ atau Wakil Presiden tersebut kemudian diatur dalam
UUD 1945. Misalnya saja karena Negara mengambil sistem
57
presidensial sebagai sistem di dalam pemerintahan, yang mana salah
satu ciri dalam sistem presidensial adalah masa jabatan Presiden dan/
atau Wakil Presiden diupayakan fix term.
Kemudian kita juga dapat mengkaji peraturan sebelumnya yang
ada kaitannya dengan proses pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil
Presiden, yang mana Presiden dan/ atau Wakil Presiden sangat
mudah dijatuhkan dengan alasan-alasan politik. Proses pemberhentian
Presiden sebelum amandemen UUD 1945 diatur dalam Ketetapan
MPR No. VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja
Lembaga Tinggi Negara dengan/ antar Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara yang kemudian diubah dengan Ketetapan MPR No.
III/MPR/1978. Mekanisme pemberhentian tersebut adalah mekanisme
politik, jadi alasan pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden
juga bersifat politik. Adanya mekanisme tersebut dianggap tidak
sejalan dengan prinsip negara hukum yang dianut oleh bangsa
Indonesia. Untuk itu, MPR memandang perlu untuk mengatur
pemberhentian Presiden (dan Wakil Presiden) dalam UUD 1945.57 Hal
yang sama dijelaskan oleh Saldi Isra bahwa, Salah satu upaya para
pengubah konstitusi tahun 1999 sampai 2002 memperjelas hal-hal
atau sebab-sebab yang memungkinkan seorang Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya karena
57 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945- Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 1, (Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2012), hal 374.
58
sebelumnya lebih didasarkan kepada alasan-alasan politis, misalnya
melanggar garis-garis besar daripada haluan negara.58
Dalam pembahasan perubahan ketiga UUD 1945, I Dewa Gede
Palguna mengingatkan bahwa kosekuensi menganut sistem
presidensiil adalah adanya stabilitas pemerintahan dalam pengertian
fixed executive system.59 Selanjutnya, menurutnya bahwa
impeachment merupakan pengecualian ketika Presiden dan/atau Wakil
Presiden melakukan kesalahan atau kekeliruan, tetapi bukan dalam
rangka mengganggu fixed executive system. Lengkapnya dalam rapat
tersebut ia mengatakan:60
“Dengan demikian, maka hanya karena hal-hal yang luar biasa sajalah yang memungkinkan plihan rakyat itu diubah dalam arti, jangka waktu tertentu dari sistem presidensiil itu bisa berdiri di tengah jalan karena presidennya diberhentikan, demikian Pak.
Berhubungan Negara yang kita tuju adalah Negara hukum, di mana disitu ada prinsip equality before the law, dan oleh karena itu, orang baru bisa dinyatakan bersalah apabila sudah ada putusan pengadilan yang mempunyai hukum tetap yang menyatakan dia bersalah. Maka mengapa dalam hal pemberhentian presiden logika itu jadi terbalik? Begitu Pak.
Misalnya tadi Prof. Jimly Asshiddiqie menyebutkan bahwa harus justru keputusan politik yang terlebih dahulu dilakukan, yaitu memberhentikan Presiden, baru kemudian putusan hukum yang mengikuti. Menurut saya justru terbalik. Ini mungkin yang perlu klarifikasi itu.
Sebagai konsekuensi dari prinsip kita mengakui bahwa kita adalah Negara hukum, bahwa seseorang baru dinyatakan bersalah bilamana sudah terbukti ada putusan pengadilan yang memiliki
58
Putusan Mk no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian keterangan ahli, Saldi Isra, hal 48 59
Mahkamah Konstitusi, Op.cit, hal 389 60 ibid, hal 389-390.
59
kekuatan hukum tetap yang mengatakan dia bersalah, baru kemudian bisa diambil tindakan politik, kalau dia Presiden.
Mungkin kalau diperlukan, bahwa untuk proses pemberhentian Presiden itu diperlukan tindakan politis sehingga tidak perlu ada keragu-raguan dalam proses pemeriksaan terhadap seorang Presiden umpamanya, apakah tidak mungkin diambil jalan dengan langkah tindakan politis dalam bentuk penonaktifan misalnya terlebih dahulu, karena keputusan hukumannya nanti belum tentu dia bersalah. Dalam hal belum tentu dia bersalah, kalau kita berhentikan terlebih dahulu bagaimana? Kalau keputusannya adalah penon-aktifan, maka kalau nanti pengadilan dalam hal ini dalam pikiran saya pengadilan yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi yang nantinya akan melakukan pegadilan itu umpamanya.
Kalau Mahkamah Konstitusi umpamanya nanti menyatakan bahwa Presiden ternyata tidak bersalah, tidak terbukti baik dalam konteks dia melakukan pelanggaran hukum kecuali dalam hal incapacity tentunya saja berbeda persoalan Pak. Dalam hal dia tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum umpamanya, maka tentu saja putusan hukumnya itu nanti juga ada keputusan yag berupa rehabilitasi sebagai konsekuensinya maka penonaktifan itu kemudian dicabut. Demikian pak
Disitu yang barangkali yang saya maksudkan itu adalah, apakah logikanya itu tidak terbalik dengan prinsip Negara hukum, pemilihan Presiden langsung, bilamana justru apa namanya, tindakan politik dilakukan terlebih dahulu, kemudian baru tindakan hukumnya.”
Dengan adanya amandemen UUD 1945 tersebut, diharapkan
tidak ada lagi penjatuhan Presiden dan/ atau Wakil Presiden pada
masa jabatannya karena alasan-alasan politis dan memperkuat sistem
ketatanegaraan berdasarkan negara hukum. Dalam kerangka „the rule
of Law‟ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai
kedudukan tertinggi (supremacy of law), adalah persamaan dalam
hukum dan pemerintah (equality before the law), dan kenyataan
60
praktek (due process of law)61 termasuk dalam pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat diberhentikan
dalam masa jabatannya jika hanya dengan alasan parlemen tidak
menyetujui kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden sepanjang
kebijakan tersebut tidak melanggar atau diniatkan atau dijadikan
sebagai dasar bentuk-bentuk pelanggaran hukum yang dapat menjadi
dasar impeachment. Mekanisme impeachment juga ditentukan secara
ketat, melibatkan tiga lembaga, yaitu DPR, MK, dan MPR.62
Di Indonesia dalam perkara pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden menganut 2 (dua) sistem, yaitu sistem “impeachment”
dan “forum previlegiatum.” Sistem impeachment berada pada lembaga
DPR dan MPR yang dimaksudkan bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden dijatuhkan oleh lembaga politik yang mencerminkan wakil
seluruh rakyat melalui penilaian dan keputusan politik. sedangkan
pada forum previlegiatum berada pada pengadilan khusus
ketatanegaraan yaitu Mahkamah Konstitusi yang dasarnya adalah
pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan
putusan hukum pula. Forum pengadilan (forum previlegiatum) ini
diperlukan karena tidak mungkin mengadili para pejabat tersebut
dalam pengadilan biasa yang sangat mungkin hakim yang mengadili
berkedudukan lebih rendah dari pejabat yang diadili. Agar peradilan
61 Putusan MK no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian pokok permohonan poin 2.10 hal 10
62 Janedjri M. Gafar, Hal Ihwal Ipeachment, Harian Seputar Indonesia, Tanggal 3 Februari
2010, Hal 120.
61
dapat berjalan secara fair dan impartial, diperlukan forum pengadilan
khusus.63 Sependapat dengan hal tersebut, Lukman Syaifuddin
berpendapat bahwa:64
“betul pada dasarnya setiap orang itu sama di depan hukum. Tapi bagaimanapun juga seseorang ketika menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden maka tidak lagi menjadi warga Negara biasa maka proses peradilannya tidak akan sama.”
Selanjutnya dalam dialog Pilar Negara MPR RI dikatakan bahwa
"Pandangan saya ini noting [sic] personal. Ini berdasarkan
ketatanegaraan. Seseorang jika telah menjadi presiden, maka tidak
bisa diselidiki oleh lembaga hukum pidana. Melainkan hukum
tatanegara. Hukum inilah yg bergerak”65
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden merupakan
mekanisme khusus yang tentu diharapkan hanya terjadi pada kasus
yang luar biasa, atau bahkan diharapkan tidak pernah terjadi. Seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah tokoh sentral negara yang
tentu saja diharapkan tidak pernah melakukan pelanggaran hukum.
Namun jika pelanggaran itu terjadi, Presiden dan/atau Wakil Presiden
tetap harus bertanggung jawab secara hukum sebagai wujud prinsip
equality before the law.66
63 _____, Hukum Acara Memutus Pendapat DPR dalam Proses Pemberhentian Presiden
dan/ atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya (BAB IX), hal 257. 64 MPR: Wapres Hanya Bisa diadili di MK, http://www.infoindo.com/20121126205049-
read-mpr-wapres-hanya-bisa-diadili-di-mk, diakses pada tanggal 10 Januari 2013 pukul 15.43 Wita.
65 Loc.cit
66 _____, Hukum Acara Memutus Pendapat DPR dalam Proses Pemberhentian Presiden
dan/ atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatannya (BAB IX), hal 255.
62
Mekanisme awal dari proses pemberhentian itu dimulai dari
kewenangan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan
menggunakan Hak Menyatakan Pendapat. Dalam kaitannya dengan
hak tersebut adalah karena adanya fungsi pengawasan yang
diberikan oleh DPR.67 “Usulan pemberhentian” dari DPR tersebut
terkait dengan hasil dari pelaksanaan hak dan fungsinya sebagaimana
diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:
Pasal 20A:
1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan.
2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam
pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan
hak menyatakan pendapat.
Fungsi pengawasan adalah fungsi DPR dalam melakukan
pengawasan terhadap kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan oleh Presiden (Pemerintah)68 Pendapat DPR tersebut
berisi tentang pernyataan DPR bahwa Presiden dan/ atau Wakil
Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela dan/atau bahwa Presiden dan.atau Wakil
67 Lihat pasal 7B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 68
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012) Hal 136.
63
Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
UUD 1945 memberikan hak kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) untuk menyatakan pendapat agar prinsip checks and balances
dan prinsip kesetaraan kedudukan diantara lembaga Negara terjaga
dengan baik, sehingga DPR dapat melakukan pengawasan terhadap
pemerintah, berupa kesempatan untuk mengusulkan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR), apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga
melakukan pelanggaran hukum tersebut.
Sejalan dengan prinsip checks and balances dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, dianut pula prinsip demokrasi dan
accountability. Prinsip acoountabilty berarti adanya
pertanggungjawaban dari pihak yang diberi mandate untuk
memerintah, kepada mereka yang member mandate. Dalam hal ini
rakyatlah yang memberikan mandat kekuasaan kepada pemerintah
untuk memerintah dan karenanya beranggung jawab kepada rakyat.
Dalam pandangan Miriam Budiardjo, accountability atau
pertanggungjawaban dari pihak yang memerintah kepada rakyat
merupakan suatu keharusan, bahkan sebagai syarat mutlak dari
konsep kedaulatan rakyat. Dengan demikian, dalam suatu Negara
yang menganut faham/atau [sic] asas kedaulatan rakyat (Negara
64
demokrasi) terselanggaranya accountability menjadi suatu
keniscayaan.69
Dalam kaitannya dengan tindak lanjut Pendapat DPR, UUD
1945 telah mengatur bahwa dengan adanya hak menyatakan
pendapat DPR tersebut, Presiden dan/ atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya. Namun proses pemberhentian
tersebut tidak serta dilakukan secara politis. Pendapat DPR tersebut
harus dibawa terlebih dahulu untuk diuji kebenarannya oleh lembaga
peradilan khusus ketatanegaraan, yaitu Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan
kehakiman, yang mana kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Mengenai keterlibatan Mahkamah Konstitusi dalam suatu mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Pasal
7B UUD 1945. Dalam pengertian substansi Mahkamah Konstitusi akan
mengadili mengadili apakah pendapat DPR tersebut mempunyai
landasan Konstitusional atau tidak. Ketika proses tersebut berlangsung
di Mahkamah Konstitusi, tidak berarti bahwa Mahkamah Konstitusi
mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden atas dugaan pelanggaran
hukum dan/atau tidak memenuhi syarat, karena yang menjadi objek
dalam proses peradilan tersebut adalah pendapat DPR.
Pendapat DPR yang diputuskan dalam rapat paripurna adalah
putusan secara politis. Oleh sebab itu, proses peradilan di Mahkamah
69 Putusan MK no. 23-26/PUU-VII/2010 bagian alasan-alasan para pemohon mengajukan
permohonan pengujian pasal 184 atayu (4) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD poin 14 hal 33
65
Konstitusi adalah untuk membuktikan dugaan kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam perspektif hukum, karena Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang
dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
memberi justikikasi secara hukum atas pendapat DPR tersebut.
Landasan Yuridis Mahkamah Konstitusi dalam kaitannya
dengan Pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden untuk
mengadili pendapat DPR terdapat pada UUD 1945, Undang-Undang
No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan Peraturan Mahkamah
Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam
Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan
Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Untuk DPR dapat meneruskan usulan Pemberhentian Presiden
dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR, DPR harus terlebih dahulu
melakukan permintaan pengujian Pendapat DPR tersebut ke
Mahkamah Konstitusi. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi,
hanya pihak DPR yang dapat menjadi Pemohon dalam perkara
tersebut.70
Sesuai Pasal 7A UUD 1945, hanya terdapat dua kelompok
alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat
dimohonkan DPR kepada MK untuk diputus apakah pendapat DPR
70 Lih Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
66
tersebut benar atau tidak, yaitu alasan pelanggaran hukum atau tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Alasan pelanggaran hukum pun ditentukan secara limitatif oleh UUD
1945, yaitu hanya pada pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,
atau perbuatan tercela.
Pengkhiatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap
keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.71
Peraturan terhadap kejahatan keamanan Negara terdapat pada Pasal
104-129 Buku II - Kejahatan BAB I – Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain
itu juga terdapat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara
Dalam kaitannya dengan pelanggaran hukum mengenai
korupsi. Diatur bahwa, Korupsi adalah tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam undang-undang.72 Penyuapan adalah
tindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang.73
Pelanggaran hukum berupa korupsi dan penyuapan dapat dijadikan
satu, yaitu tindak pidana korupsi dan penyuapan baik yang diatur
71 Lih Pasal 1 angka (7) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
72 Lih Pasal 1 angka (8) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
73 Lih Pasal 1 angka (9) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
67
dalam KUHP maupun dalam Undang-Undang yang lain, seperti
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Menurut Hamdan Zoelva,
yang dapat dikategorikan sebagai korupsi dan penyuapan meliputi: 74
a. Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang terdiri
dari:
1) Perbuatan secara melawan hukum memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan atau perekonomian negara;
2) Perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara.
b. Tindak pidana yang sebelumnya merupakan tindak pidana suap
yang terkait dengan jabatan negeri, hakim, dan advokat
sebagaimana diatur dalam KUHP, jabatan penyelenggara
negara, serta pemborong, ahli bangunan serta pengawas
bangunan yang terkait dengan kepentingan umum dan TNI.
c. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana
korupsi, yaitu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja
mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung
74
____, BAB IX - Hukum Acara Memutus Pendapat Dpr Dalam Proses Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden Dalam Masa Jabatannya, Hal 260-261.
68
atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan dalam perkara korupsi dan penyuapan.
Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.75 Perbuatan tercela
adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/
atau Wakil PResiden.76 Perbuatan tercela adalah perbuatan yang
dianggap tercela oleh masyarakat dan tidak seharusnya dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Apabila perbuatan dimaksud
dilakukan, akan merusak citra dan kehormatan Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Di dalam uraian mengenai perihal yang menjadi dasar
permohonan, DPR sebagai pihak pemohon wajib menguraikan dengan
jelas mengenai dugaan:
a. Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;
atau
b. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD
1945.
75 Lih Pasal 1 angka (10) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
76 Lih Pasal 1 angka (10) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
69
Apabila pendapat DPR berkaitan dengan dugaan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan satu atau lebih
bentuk pelanggaran hukum, maka di dalam permohonan harus
memuat secara rinci mengenai jenis, waktu, dan tempat pelanggaran
hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Demikian pula apabila pendapat DPR berkaitan dengan dugaan bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden, permohonan harus memuat uraian
yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak lagi terpenuhi.77
Kemudian DPR juga wajib menyertakan78:
1. Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa pendapat DPR didukung sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR;
2. Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung dengan materi permohonan;
3. Risalah dan/atau berita acara rapat DPR; dan
4. Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden atau alat bukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang menjadi dasar pendapat DPR.
Pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, Persidangan
dilakukan oleh Pleno Hakim MK yang dihadiri sekurang-kurangnya 7
77 Lih Pasal 4 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
78 Lih Pasal 5 Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
70
(tujuh) hakim konstitusi dan dipimpin oleh Ketua MK. Persidangan
ditentukan melalui 6 (enam) tahap, yaitu:79
a. Tahap I : Sidang Pemeriksaan Pendahuluan
b. Tahap II : Tanggapan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
c. Tahap III : Pembuktian oleh DPR
d. Tahap IV : Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
e. Tahap V : Kesimpulan DPR maupun Presiden dan/atau Wakil Presiden
f. Tahap VI : Pengucapan Putusan
pada Forum Previligiatum, Mahkamah Konstitusi wajib memutus
perkara tersebut sekurang-kurangnya 90 hari sejak permohonan
dicatat dalam BRPK.
Amar putusan MK atas pendapat DPR tersebut sekurang-
kurangnya terdiri dari tiga kemungkinan. Pertama, amar putusan MK
menyatakan bahwa permohonan tidak dapat diterima apabila
permohonan tidak memenuhi syarat. Kedua, amar putusan MK
menyatakan membenarkan pendapat DPR apabila Presiden dan/atau
Wakil Presiden terbukti melakukan tindakan yang dituduhkan. Ketiga,
amar putusan MK menyatakan bahwa permohonan ditolak apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak terbukti melakukan tindakan
yang dituduhkan.80
79 Lih Pasal 9 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang
Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
80 Lihat ketentuan Pasal 83 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
71
Apabila permohonan DPR ditolak atau tidak dapat diterima,
maka DPR tidak dapat meneruskan usul pemberhentian kepada MPR
sebagai pengambil keputusan terakhir dalam hal pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal tersebut dilakukan agar tetap
menjaga bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak dapat
diturunkan/ diberhentikan tanpa dibuktikan kebenaran pelanggaran
hukum atau tidak memenuhi syarat seperti yang divoniskan (politik)
DPR dalam Pendapat DPR tersebut. Namun jika dalam putusan
Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR tersebut, maka
DPR dapat melakukan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul
Pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden kepada MPR.
Lembaga MPR, merupakan pengambil keputusan terakhir
dalam proses pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden
berdasarkan Pasal 7B UUD 1945. Dalam kajian yang lebih dalam ada
hal-hal yang perlu dipahami dalam putusan MPR mengenai perkara
tersebut. Berdasar pada Pada Pasal 7B ayat (6) UUD 1945, MPR wajib
menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR untuk
memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden paling lambat oleh
MPR dilaksanakan tiga puluh hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾
dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari
72
jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.81
Selain itu tata cara impeachment dalam lembaga MPR diatur
dalam BAB XV pasal (83) mengenai Tata Cara Pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam masa jabatannya peraturan
tata tertib (Keputusan MPR RI Nomor 7/MPR/2004 tentang Peraturan
Tata tertib MPR RI sebagai mana telah diubah dengan Keputusan
MPR RI Nomor 13/MPR/2004 tentang Perubahan Peraturan Tata
Tertib MPR RI).
Mekanisme pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna
MPR yang dihadiri ¾ dari jumlah anggota dan sekurang-kurangnya
disetujui 2/3 dari peserta yang hadir, artinya keputusan MPR
ditentukan pengambilan suara terbanyak, bukan berdasarkan putusan
hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi
Meskipun Mahkamah Konstitusi membenarkan Pendapat DPR
bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran
hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat-syaratnya, tidak akan
otomatis Presiden dan/Wakil Presiden langsung diberhentikan dari
jabatannya. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya merupakan sebuah
pertimbangan hukum oleh Lembaga MPR sebagai pengambil
keputusan terakhir dalam perkara pemberhentian Presiden dan/ atau
81 Lih Pasal 7B ayat (7) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
73
wakil Presiden. Jika MPR tidak memakzulkan Presiden dan/atau Wakil
Presiden, bukan berarti keputusan politik mengenyampingkan putusan
justisil tetapi hal pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden
merupakan kewenangan MPR, bukan kewenangan peradilan.82
Putusan Mahkamah Konstitsusi hanya sebagai pertimbangan
bagi MPR dalam memutuskan Pendapat DPR, namun inti dari tindak
lanjut pendapat DPR adalah dengan adanya Mahkamah Konstitusi
sebagai Forum Previlegiatum, memberikan konsekuensi bahwa,
Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi dapat dijatuhkan hanya
dengan alasan-alasan politik seperti yang terjadi pada masa lalu.
Mekanisme ini memberikan perubahan dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, yaitu pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang sebelum amandemen UUD 1945 hanya menjadi suatu proses
poitik, saat ini telah menjadi sebuah proses hukum. Hal tersebut
dimaksudkan sebagai konsekuensi sistem ketatanegaraan Indonesia
yang menganut prinsip Negara hokum, yang mana dalam Rule of Law,
yang berasal dari Dicey,83 mengemukakan adanya tiga elemen prinsip
Negara hokum, yaitu:
1. Absolute supremacy of law, sebagai lawan dari pengaruh kekuasaan sewenang-wenang dan mengesampingkan penguasa yang sewenang-wenang, prerogatif atau pun diskresi yang luas oleh pemerintah;
2. Equality before the law, yaitu kesamaan bagi semua orang (kelas) dihadapan hukum yang dilaksanakan pemerintah atau pengadilan; dan
82
Laica Marzuki, Pemakzulan Presiden/ Wakil Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945, Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 1, Februari 2010 hal 26.
83 Dicey sebagaimana dikutip Hamdan Zoelva, Op.cit, Hal 16.
74
3. Due process of law, yaitu segala tindakan Negara harus berdasar atas hukum dan tidak ada satu tindakan pun yang tidak memiliki dasar hukumnya.
Artinya Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa
diberhentikan karena telah melakukan pelanggaran hukum sesuai
yang telah diatur dalam Konstitusi. Jika pendapat DPR kemudian
langsung saja diusulkan ke MPR, hal tersebut akan berpotensi kembali
Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan hanya dengan alasan-
alasan politik semata.
Sesuai dengan Fraksi Kebangkitan Bangsa, Syarief M
Alaydarus, Pada rapat Paripurna pembahasan perubahan UUD 1945
yang berpendapat bahwa:84
Selain tentang prosedur pemilihannya seorang Presiden mestinya dapat diberhentikan dengan masa jabatannya dengan forum impeachment. Namun, diperlukan pengaturan-pengaturan untuk menjamin pengakuannya yang elegan dan yuridis seyuridis-yuridisnya dengan melibatkan Mahkamah Konstitusi, tidak melulu alasan politis apaagi yang mengenyampingkan hokum.
Lanjutnya Jimly Asshidiqie juga berpendapat bahwa:
Kalau kita mau konsisten pada sistem Presidential yang fixed term itu, jangan lagi ada pertimbangan pelanggaran politik, pelanggaran kebijakan politik betul-betul karena pelanggaran hukum saja.
84 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Buku Ketiga Jilid 2, Risalah
Paripurna Ke-4 s/d ke-7 tanggal 3 November s/d 8 November 2001, Masa Sidang ahun MPR RI tahun 2001, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001, hal 172.
75
B. Akibat Hukum dari Proses Yuridis Tindak Lanjut Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat Atas Tindak Pidana yang dilakukan oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden
Kedaulatan rakyat (democratie) Indonesia itu diselenggarakan
secara langsung dan melalui sistem perwakilan, penyaluran
kedaulatan rakyat secara langsung (direct democracy) dilakukan
melalui pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan
dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.85 Kemudian secara
langsung kedaulatan rakyat itu diwujudkan dalam tiga cabang
kekuasaan Negara yang tercermin dalam Lembaga Negara Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Perwakilan Daerah sebagai pemegang kekuasaan legislatif; Presiden
dan Wakil Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif; dan
Kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung. Lembaga Negara tersebut mempunyai hubungan
dalam mewujudkan sistem pemerintahan yang baik (good
governance). Dalam kaitannya dengan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden, cabang kekuasaan ini digambarkan melalui
suatu lembaga saling berhubungan dalam melaksanakan mekanisme
perberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sejarah ketatanegaraan Indonesia (sebelum amandemen UUD
1945) memperlihatkan bahwa dasar dilakukannya impeachment oleh
85 Putusan MK No. 23-26/PUU-VII/2010 bagian pokok permohonan poin 2.9 hal 10
76
Lembaga Negara yang berwenang untuk itu, cenderung dengan
alasan penilaian subjektif sebagai alasan pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Hal tersebut tidak dapat
dipungkiri karena pada saat itu konstitusi (UUD 1945) sebelum
amandemen sama sekali tidak mengatur mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adanya reformasi, menimbulkan pengamandemenan UUD
1945, sehingga secara otomatis juga mengubah sistem
ketatanegaraan Indonesia. Adanya amandemen UUD 1945 juga telah
mengatur mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Jika kita melihat sejarah impeachment di Indonesia.
Sebelum amandemen UUD 1945, MPRS memberhentikan Presiden
Soekarno, yaitu proses politik di Parlemen dilakukan terlebih dahulu
baru setelah itu proses hukum di pengadilan.86 Walaupun itu tidak
pernah dilaksanakan oleh Presiden Soekarno itu soal lain, tapi
Ketetapan MPR tahun 1967 Nomor XXXIII itu jelas menentukan bahwa
setelah Soekarno menjadi warga Negara biasa baru proses hukumnya
diselesaikan di pengadilan.87 Setelah amandemen, mekanisme
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945
telah menjadi sebuah proses hukum. Tindak lanjut pendapat DPR
86 Mahkamah Konstitusi, Naskah Komprehensif Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahung 1945-Latar Belakang, dan Hasil Perubahan 1999-2000. Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara Jilid 1, (Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2012), hal 386.
87 ibid, hal 386-387.
77
tersebut yang pada sebelumnya diusulkan langusng ke MPR, saat ini
harus terlebih dahulu melalui forum previlegiatum di Mahkamah
Konstitusi agar menjaga kedudukan Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang diberhentikan dengan alasan subjektif oleh parlemen, kemudian
dikembalikan kepada DPR untuk diusulkan/ tidak diusulkan kepada
MPR.
Adanya proses pemakzulan yang harus melewati Mahkamah
Konstitusi sebagai pengadilan khusus ketatanagaraan akan
mengakibatkan Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat
diberhentikan dengan melakukan pelanggaran hukum yang telah
ditentukan oleh konstitusi (UUD NRI 1945). Jadi, kedudukan Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dimakzulkan akibat kebijakan
(doelmatigheid beslissing) ditetapkan atau dijalankan Presiden
dan/atau Wakil Presiden dalam penyelenggaraan pemerintahan
negara.88
Sama seperti pembahasan sebelumnya bahwa, ketika amar
putusan Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR tersebut,
maka DPR dapat melanjutkan usul tersebut kepada MPR. Namun jika
Mahkamah Konstitusi menolak atau tidak dapat diterima, maka DPR
tidak dapat melanjutkan usul pendapat DPR tersebut kepada MPR.
Proses di Mahkamah Konstitusi bukanlah proses politik melainkan
sebuah proses hukum. Artinya dalam pengambilan keputusan haruslah
88 Laica Marzuki, Op.cit hal 16.
78
berdasarkan hukum sehingga idealnya Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberhentikan karena dugaan DPR benar bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum.
Terlibatnya Mahkamah Konstitusi berdampak pada ketidaksewenang-
wenangan parlemen dalam memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Kemudian implikasi dari adanya mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam UUD 1945 adalah proses
impeachment yang hanya dapat dilakukan melalui usul DPR. Jelas
dinyatakan bahwa, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden dapat diajukan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat dewan perwakilan rakyat bahwa presiden
dan/atau wakil presden telah memlakukan pelanggaran hukum berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Lembaga MPR tidak dapat melakukan sidang untuk
memberhentikan presiden tanpa melalui usul dari DPR. Dalam
kaitannya dengan MPR bahwa Majelis permusyawaratan Rakyat
hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
79
masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.89 Sebelum
amandeman MPR dapat saja melakukan sidang untuk melakukan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Namun setelah
mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kemudian diatur dalam UUD 1945, MPR tidak dapat lagi melakukan hal
tersebut tanpa melalui usul DPR.
Kemudian dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden juga akan berimplikasi pada hubungan kelembagaan
negara yang dapat mungkin menjadi kurang baik dalam periode
tersebut. Mekanisme pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
MPR, dihadiri ¾ dari jumlah anggota dan sekurang-kurangnya disetujui
2/3 dari peserta yang hadir, artinya keputusan MPR ditentukan
pengambilan suara terbanyak, bukan berdasarkan pada putusan
hukum yang di keluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan
Mahkamah Konstitusi hanya menjadi pertimbangan oleh MPR sebagai
pengambil keputusan terakhir dalam mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut.
Dalam UUD 1945, Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa,
mengadili, dan memutus pendapat DPR berada pada bagian berbeda
89 Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
80
dengan empat kewenangan Mahkamah Konstitusi lainnya. Dalam UUD
NRI 1945 dinyatakan bahwa:90
1) Mahkamah kostitusi berwenang mengadili pada tingkatpertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus hasil perselisihan tentang hasil pemilihan umum.***)
2) Mahkamah konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat dewan perwakilan rakyat mengenaai pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar.***)
Jika mengkaji pemisahan pasal di atas dapat ditafsirkan bahwa,
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang sifatnya final atas empat kewenangan yang diberikan
pada ayat (1). Sedangkan ketentuan yang mengatur mengenai
kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat DPR
sebagaimana dinyatakan dalam ayat (2) tersebut. Demikian halnya
pendapat Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi ini menurut pasal 7B dan
pasal 24C kewenangannya bukan hanya menguji undang-undang
terhadap undang-undang dasar melainkan meliputi:91
a. Kewenangan 1) Pengujian undang-undang terhadap UUD; 2) Mengadili sengketa kewenangan antarlembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh UUD 3) Memutus pembubaran partai politik 4) Memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu.
90
Pasal 24C ayat (1) & (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 91 Moh. Mahfud MD, Op.cit, hal 269.
81
5) Sejak keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2008, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan baru, yaitu memeriksa dan memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah.
b. Kewajiban Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran tertentu menurut UUD dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat.
Yang menjadi pertanyaan apakah putusan Mahkamah Konstitusi
dalam perkara pendapat PDR tersebut berada pada tingkat pertama
dan terakhir serta bersifat final?
Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi berpendapat,92 Mahkamah
Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir.
Atau dapat dikatakan, badan peradilan satu-satunya yang putusannya
bersifat final dan mengikat, untuk mengadili perkara pengujian undang-
undang, sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan
UUD, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan
umum. Dengan demikian, dalam hal pelaksanaan kewenangannya,
Mahkamah Konstitusi tidak mengenal adanya mekanisme banding
atau kasasi.
Lain halnya dengan kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk
memberikan putusan atas pendapat DPR, terhadap dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam hal ini,
92
Lih Naskah Konprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Sekretarian Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi hal 595.
82
UUD 1945 tidak menyatakan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dan
mengikat. Mahkamah Konstitusi hanya diletakkan sebagai salah satu
mekanisme yang harus dilalui dalam proses pemberhentian
(impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kewajiban
konstitusional Mahkamah Konstitusi adalah untuk membuktikan dari
sudut pandang hukum, mengenai benar tidaknya dugaan pelanggaran
hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berbeda dengan beberapa pendapat yang tetap mengatakan
bahwa, putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan
mangikat tidak terkecuali dalam memutus pendapat DPR. Putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat secara yuridis.
Walaupun DPR kemudian meneruskan pendapat tersebut sebagai usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR,
pengambilan putusan tersebut harus dilihat dari segi politik. MPR
dalam lanjutan usul DPR tidak sedang me-review putusan Mahkamah
Konstitusi terhadap perkara pendapat DPR yang sifatnya yuridis
tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi secara yuridis, hal tersebut
bersifat final,93 artinya berkekuatan hukum tetap sejak dibacakannya
dan tidak ada upaya hukum lanjutan baik banding. Kasasi, ataupun
93
Lihat Pasal 19 Ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
83
peninjauan kembali. Putusan Mahkamah mengikat bagi DPR sebagai
pemohon dalam perkara tersebut, ketika putusan DPR ditolak maka
DPR tidak dapat meneruskan kepada MPR, namun jika diterima/
dikabulkan maka DPR dapat meneruskan ke MPR.
Akibat hukum selanjutnya dari tindak lanjut pendapat DPR ke
Mahkamah Konstitusi adalah pendapat DPR yang sebelumnya
pendapat politik, karena telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi
sebagai lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia berubah menjadi sebuah pendapat
hukum. terlepas kemudian pendapat putusan akhir berada pada ranah
politk, yang terpenting pendapat DPR yang telah mendapat legitimasi
hukum telah memenuhi syarat dalm mencapai tujuan negara hukum,
dalam pengertian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang
diberhentikan oleh MPR merupakan hal yang memang telah dibuktikan
di depan pengadilan melalui sebuah pendapat DPR oleh Mahkamah
Konstitusi. Dengan kata lain, adanya tindak lanjut pendapat DPR yang
terlebih dahulu diminta untuk Mahkamah Konstitusi memerika,
mengadili, dan memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran
hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah untuk mendapatkan
legitimasi secara yuridis sehingga pendapat DPR yang sifatnya
pendapat politik dapat menjadi sebuah pendapat hukum.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Proses yuridis tindak lanjut pendapat DPR dengan terlebih dahulu
meminta Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus benar tidaknya pendapatan DPR tersebut adalah
memberikan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, yaitu pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
yang sebelum amandemen UUD 1945 hanya menjadi suatu proses
poitik, saat ini telah menjadi sebuah proses hukum.
2. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi sabagai kekuasaan
kehakiman di Indonesia dan sebagai cerminan wujud dari teori trias
politica, maka pendapat DPR yang dalam pengambilan
keputusannya merupakan pendapat politik, ketika telah diperiksa,
diadili, dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi telah menjadi sebuah
pendapat hukum.
B. Saran
1. Sebaiknya proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden lebih diatur secara spesifik di dalam UUD 1945, karena
sampai saaat ini masih merupakan perdebatan dikalangan para ahli
hukum. Pengaturan mekanisme yang jelas juga akan menjamin
adanya kepastian hukum.
85
2. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
menggunakan 2 (dua) proses, yaitu proses politik pada lembaga
DPR dan MPR, dan proses forum previlegiatum pada Mahkamah
Konstitusi dengan alur DPR-MK-DPR-MPR. Pengambilan
keputusan akhir sebaiknya berada pada kekuasaan kehakiman
yaitu, Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dimasudkan untuk
meminimalisasi permasalahan dari mekanisme pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ketika putusan MK telah
membenarkan pendapat DPR, sebaiknya MPR hanya bertugas
untuk mengesahkan pemberhentian tersebut.
3. Jika terjadi amandemen UUD 1945 selanjutnya, sebaiknya
mekanisme pemberhentian ini menggunakan istilah “pemakzulan”
saja. Proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
biasa disebut dengan impeachment atau pemakzulan. Kata
impeachment merupakan proses pemberhentian pejabat-pejabat
negara. Jika menggunakan kata “pemakzulan” makna proses
pemberhentian tersebut hanya dimaksudkan kepada Presiden
dan/atau Wakil Presiden saja. Kemudian menurut Laica Marzuki,
“pemakzulan” lebih berkonotasi hukum. Hal ini sebagai wujud dari
sistem ketatanegaraan indonesia yang menganut prinsip negara
hukum.
86
Daftar pustaka
Buku:
A.Legowo, T. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat Indonesia. jakarta:
Formappi.
Hamzah, Jur Andi. 2007. Pemberantasan korupsi melalui Hukum Pidana
Nasional dan Internasional. Jakarta: Rajawali Pres.
Assiddiqie, Jimly. 2007. Hukum Tatanegara Darurat. Ed. I. Jakarta: Raja
Grafindo Resada.
_____________. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Tatanegara. Ed.1-3.
Jakarta: Rajawali Pers.
Fuadi, Munir. 2009. Konsep Negara Demokrasi. Jakarta: Retika Aditama.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Ed kedua. Semarang: Sinar
Grafika.
Kelsen, hans. Penj. Raisul muttanien. 2011. Teori Tentang Negara dan
Hukum. Cet vi. (general theory of law and state) (new york: russel
and russel, 1972). Bandung: Nusa Media.
Mahfud MD, Moh. 2010.Konstitusi dan Hukum dalam Kotroversi Isu.ed 1.
Cet. 2. Jakarta: Rajawali Pers.
Saleh, M. Dan Mukhlish. 2010. Impeachment Presiden dan/atau Wakil
Presiden (sebuah tijauan konstitusional). Surabaya: P.T. Bina Ilmu.
87
Sanusi, Amwar (ed). Penataan Mekanisme Hubungan Antar Lembaga
Negara. jakarta: Pilarindo.
Sekertarian Jendral MPR RI. 2012. Panduan Masyarakat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. jakarta: Sekertariat
Jendral MPR RI.
Siahaan, Maruarar. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. ed 2. Jakarta: Sinar grafika.
Tim Peneliti Mahkamah Konstitusi. 2005. Mekanisme Impeachment dan
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Pusat Penelitian Dan
Pengkajian Sekretarian Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Kerjasama Dengan Kondrat,
Andenauer-Stiftung.
Zoelva, Hamdan. 2011.Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
______. 2010. 70 Tahun Prof. Dr. bintan R. Saragih-Percikann Pemikiran
Hukum, Ketatanegaraan, dan Kebijakan Publik. Jakarta: Wildan
Akademika dan Universitas Ekasakti Pers.
Naskah
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
88
Republik Indonesia Tahun 1945. Buku I (Latar Belakang, Proses,
dan Hasil Pembahasan 1999-2002) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Buku II (Sendi-Sendi/ Fundamen
Negara) Edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid 1 (Lembaga
Permusyawaratan dan Perwakilan) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid 2 (Lembaga
Permusyawaratan dan Perwakilan) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid IV Jilid I (Kekuasaan
89
Pemerintahan Negara) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid IV Jilid 2 (Kekuasaan
Pemerintahan Negara) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal
dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. 2010.
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Buku III Jilid VI (Kekuasaan
Kehakiman) edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal MPR RI. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun 2000 (Semua
Buku). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
Sekretariat Jenderal MPR RI. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Tahun 2001 (Semua
Buku). Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI.
90
Makalah dan Jurnal
Hamdan Siregar. 2912. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam
Perkara Pemakzuln Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia.
Jurnal Konstitusi: Volume 9 Nomor 2, Jni 2012. Halaman 287.
Mahfud Md. Undang-Undang Dasar Sebelum dan Sesudah Perubahan.
M. Laica Marzuki. 2010. Pemakzulan Presiden/ Wakil Presidenmenurut
Undang-Undang Dasar 1945. Jurnal Konstitusi: Volume 7 Nomor 1
Tahun 2010. Halaman 15
Nadir. 2012. Dilematika Putusan Mahkamah Konstitusi vs Kekuatan Politik
dalam Impeachment Presiden. Jurnal Konstitusi: Volume 9 Nomor 2
Juni 2012. Halaman 333
Rusdianto S. Proses Impeachment Presiden dalam Konstitusi Negara-
Negara Modern. (Studi Perbandingan dengan Mekanisme
Impeachment di Amerikan dan Korea Selatan). Surabaya.
Babang Sutiyoso. 2010. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam
Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia. Jurnal
Konstitusi: Volume 7 Nomor 1 Tahun 2010. Halaman 91.
Reni H. Nendissa. 2011. Kewenangan MK untuk Memutus Pendapat DPR
tentang Dugaan Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jurnal Konstitusi (PKK Fakultas Hukum Universitas Pattimura):
Volume III Nomor 1 Tahun 2011.
91
Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Lainnya
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang
Mahkamah Konstitusi.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman
Beracara dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Ketetapan MPR Nomor III/MPR/1978
Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat.