Upload
erick-atoin-tacoy
View
965
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sesudah tumbangnya rezim orde baru yang disusul dengan hadirnya sebuah
pemerintahan baru melalui pemilihan yang demokratis, tuntutan pembaharuan di
bidang hukum merupakan hal yang sangat penting. Adanya hierarki peraturan
perundang-undangan mengindikasikan bahwa Indonesia menghendaki adanya tertib
hukum dalam penyelenggaraan negara. Dengan hierarki itu, pemerintah (dalam arti
luas) disatu sisi mempunyai landasan atau pedoman dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan, baik tingkat pusat maupun daerah sedangkan disisi lain
tumpang tindih dan benturan antara norma hukum dan/atau norma perundang-
undangan dapat dihindari.
Di era reformasi dan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menegakan supremasi hukum, reformasi
dibidang hukum dimulai dengan diadakannya amandemen Undang-Undang Dasar
1945 (amandemen kedua pada tanggal 18 agustus 2000) yaitu dengan adanya
penambahan pasal-pasal yang dianggap sangat penting yang salah satunya adalah
penambahan pasal 28H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia.
Dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan
hukum dasar Negara Indonesia yang menjunjung hak-hak asasi, maka perubahan
tersebut menjadi tidak berarti jika tidak diikuti oleh peraturan perundang-undangan
dibawahnya yang sesuai dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar. Karena
sebagai konstitusi negara, perubahan sekecil apapun terhadap Undang-Undang Dasar
1945 akan membawa dampak yang sangat besar bagi semua peraturan perundang-
undangan dibawahnya termasuk Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah
Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Artinya apa yang telah
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hak milik termasuk hak
milik perorangan atas tanah yang merupakan hak dasar manusia, maka amanat itu
harus diimplementasikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah agar tercapai apa yang diharapkan yakni terciptanya sinkronisasi atau
keserasian penganturan dalam sistem tata hukum nasional.
Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan menghendaki materi muatan suatu perundang-undangan tidak boleh
bertentangan atau harus adanya keserasian hukum baik itu keserasian secara vertikal
mupun secara horizontal. Artinya pembentukan suatu peraturan perundang-undangan
dibawahnya harus berisi materi muatan yang merupakan perintah dari Undang-
Undang Dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang derajatnya lebih
tinggi.
Pertanyaannya adalah apakah ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 65
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tahun
2006 yakni pasal 10 ayat (2) yang mengatakan “Apabila setelah diadakan
musyawarah namun tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan
bentuk dan besarnya ganti rugi dan menitipkannya di Pengadilan Negeri yang
wilayah hukumnya mencakup lokasi tanah yang bersangkutan, tidak bertentangan
2
dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 pasal 36 dan
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan apakah memiliki keabsahan untuk diberlakukan serta
apakah tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam pasal
28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Hak Asasi Manusia.
Persoalan hukum yang mendasar dalam ketentuan hukum mengenai
pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah dengan adanya pengaturan
mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri. Artinya
apakah ketentuan ini tidak melegitimasi pembayaran ganti rugi yang dapat diberikan
secara sepihak dan sewenang-wenang?
Dengan demikian, proses konsinyasi atau penitipan ganti rugi seperti yang
tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 yang dilakukan bukan atas
dasar musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang merugikan salah satu pihak
dalam hal ini pemilik hak milik atas tanah apakah merupakan perbuatan yang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 pasal
36 yang berbunyi ” setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi termasuk hak
milik atas tanah, dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh siapapun” serta apakah tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat
yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tersirat dalam pasal 28 H
ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia yang berbunyi ”setiap orang berhak mempunyai
hak milik pribadi da hak milik tersebut tidak boleh diambil alaih secara sewenang-
wenang oleh siapapun”.
3
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi yang
menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya
maka peraturan perundang-undangan itu tidak boleh bertentangan antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain baik
itu pertentangan secara vertikal artinya norma hukum yang derajatnya lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang derajatnya lebih tinggi maupun
pertentangan secara horizontal artinya tidak boleh bertentangan antara norma hukum
yang sama derajat sehingga keserasian atau sinkronisasi hukum itu dapat terwujud.
Dalam kaitannya dengan pemberian ganti rugi, dapat dilakukan apabila
sudah diadakan terlebih dahulu musyawarah untuk memperoleh kesepakatan dengan
pemilik tanah mengenai nilai atau harga jual dari tanah itu sendiri. Atas dasar uraian
tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Keabsahan Pengaturan Mengenai Konsinyasi atau Penitipan Ganti Rugi ke
Pengadilan Dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum”.
4
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahannya sebagai berikut:
1. Apakah pengaturan pasal 10 ayat (2) tentang penitipan atau konsinyasi ganti
rugi uang ke Pengadilan Negeri dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang
pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk kepentingan umum tidak
bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999
dalam pasal 36 dan apakah sudah sesuai dengan jiwa dan semangat yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (4) Bab XA
Hak Asasi Manusia
2. Apakah materi pengaturan dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 memiliki
keabsahan untuk berlaku?
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
1. Tujuan
a) Untuk mengetahui pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan
ganti rugi ke Pengadilan Negeri dalam Peraturan Presiden No. 65
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk
kepentingan umum tidak bertentangan dengan Undang-Undang Hak
Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 dalam pasal 36 dan untuk
5
mengetahui sudah sesuai dengan jiwa dan semangat yang terkandung
dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 huruf H ayat (4) Bab
XA Hak Asasi Manusia
b) Untuk mengetahui pengaturan dalam Peraturan Presiden No. 65
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 memiliki keabsahan untuk berlaku?
2. Kegunaan
a) Merekomendasikan kepada pembuat Undang-Undang untuk
memperbaiki dan menyempurnakan Peraturan Presiden ini terutama
pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke pengadilan
dalam pasal 10 ayat (2)
b) Bagi Perguruan Tinggi adalah hasil penelitian ini dapat menambah
perbendaharaan perpustakaan dan bermanfaat bagi mahasiswa lain.
D. METODE PENELITIAN
1. Tipe penelitian
Metode pendekatan yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan menelaah
dan mempelajari data sekunder yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu :
1) Pendekatan perundang-undangan, yaitu perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum
6
2) Pendekatan sinkronisasi, yaitu menemukan sinkronisasi mengenai
peraturan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum.
3) Pendekatan konsep, yaitu konsep-konsep yang berkaitan dengan
penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri
3. Aspek penelitian
1) Konsinyasi atau
penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri dalam kaitanya dengan Undang-
Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999 pasal 36 dan Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia.
2) Keabsahaan
pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
4. Metode pengumpulan
data.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan bahan hukum:
1) Bahan hukum
primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat yakni:
a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945
7
b) Peraturan dasar, yakni Batang Tubuh Undang-Undang Dasar
1945
c) Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 pasal
36
d) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
2) Bahan hukum
sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai dari
bahan hukum primer seperti pendapat para pakar hukum
3) Bahan hukum
tersier yaitu: bahan hukum yang digunakan sebagai petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus (hukum),
ensiklopedia.
5. Teknik pengolahan data
Baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier
di olah berdasarkan topik permasalahan yang dirumuskan dengan menyesuaikan
masalah yang dibahas, disistematis dan kemudian dianalisis.
6. Analisis data
Bahan hukum yang telah terkumpul dalam bentuk uraian-uraian
kemudian dianalisis dengan menggunakan penalaran logis dan interprestasi
terhadap hubungan vertikal maupun horizontal.yaitu;
8
1) Identifikasi permasalahan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti
rugi ke Pengadilan Negeri yang diatur dalam pasal 10 ayat (2)
2) Identifikasi mengenai keabsahan pengaturan mengenai konsinyasi ke
pengadilan dalam pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan bagi
kepentingan umum.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KERANGKA TEORI
Untuk lebih memahami pokok permasalahan yang diteliti maka penulis
menggunakan Teori Jenjang dari Hans Kelsen atau Stufentheori dari Hans Kelsen,
Asas Sinkronisasi Hukum dan Asas Hukum sebagai alat analisis permasalahan
yang diangkat.
1. Teori Jenjang (Stufentheori)
Undang-undang Dasar merupakan norma hukum yang tertinggi yang
menjadi pedoman atau dasar pembentukan norma hukum dan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah sehingga peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
tersebut.1
Dalam teori Jenjang (Stufentheori) menurut Hans Kelsen dalam Maria
F.I.Soeprapto, dikatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan
berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih
rendah berlaku, bersumber dan bedasar pada norma yang lebih tinggi.2 Dengan
demikian Undang-Undang Dasar merupakan norma hukum tertinggi dalam negara
yang mempunyai Undang-Undang Dasar dan merupakan sumber atau dasar bagi
1 Maria F.I.Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius.1998, hlm. 30 2Ibid,hlm. 25
10
pembentukkan norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara tersebut. Bertalian dengan itu, Soehino mengatakan “ Sistem
ketatanegaraan suatu negara dapat diketahui dari Undang-Undang Dasarnya
sepanjang negara tersebut memiliki Undang-Undang Dasar yang merupakan dasar
serta sumber dari segala peraturan yang dapat dilakukan menurut Undang-Undang
Dasar tersebut, sehingga semua peraturan perundang-undangan di yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selanjutnya
sesuai dengan prinsip negara hukum, maka setiap Peraturan Perundang-undangan
harus berdasar dan bersumber pada Peraturan Perundang-undangan yang
tingkatnya lebih tinggi.3
Indonesia merupakan negara yang memiliki Undang-Undang Dasar yaitu
Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah
amandemen tetap memiliki kedudukan hukum yang tertinggi, sehingga dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan jiwa dan semangat yang terkandung didalam Undang-
Undang Dasar 1945 tersebut. Sehingga Indonesia juga menganut pertingkatan
norma hukum yang berjenjang (Stufentheori) dari Hans Kelsen yang
ditunjukkan melalui berbagai ketentuan yang memiliki hierarki dari masing-
masing peraturan perundang-undangan itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut
antara lain:
1) Dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR
mengenai Sumber Tertib hukum Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
3 Soehino, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-Undangan, Liberty Jakarta, 1996, hlm. 1
11
Perundangan Republik Indonesia, bentuk-bentuk peraturan perundangan
menurut urutannya:
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Ketetapan MPR
c) Undang-Undang/PERPU
d) Peraturan Pemerintah
e) Keputusan Presiden
f) Peraturan Pelaksana lainnya seperti
Peraturan Menteri
Instruksi Menteri
Dan lain-lain
2) TAP MPR No. III/MPR/2000 yang dumuat dalam pasal 2 yakni:
a) Undang-Undang Dasar 1945
b) Ketetapan MPR
c) Undang-Undang
d) PERPU
e) Peraturan Pemerintah
f) Keputusan Presiden
g) Peraturan Daerah
3) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan
Perundang-undangan, mengenai tata urutan peraturan perudang-undangan
terdapat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) yaitu:
a) Undang-Undang Dasar 1945
12
b) Undang-Undang/PERPU
c) Peraturan Pemerintah
d) Keputusan Presiden
e) Peraturan Daerah
Hans Kelsen dalam Soetiksno mengatakan ” Peraturan positif disusun
secara piramidal (bertingkat-tingkat) dari atas yaitu dari Grundnorm secara
bertingkat kebawah ke suatu yang melaksanakan norma-norma hukum tersebut
secara konkrit. Grundorm merupakan dasar dari segala kekuasaan dan
merupakan legalitas hukum positif, oleh karena Grundnorm merupakan norma
yang masih abstrak, maka dibentuk suatu susunan norma yang lebih konkrit.4
Dalam rumusan lain Hans Kelsen dalam Benediktus P. Lay dengan
menggunakan konsep Stufenbau (lapisan menurut eselon) mengkonstruksikan
pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi itu ditentukan jenjang-jenjang
perundang-undangan yang dimulai dari abstrak (grundnorm) sampai ke norma
yang konkrit seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya.
Jadi menurut Hans Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal atau tidak legal
adalah dengan mengeceknya melalui logika stufenbau itu, dan grundnorm
menjadi dasar penguji utama.5
2. Asas Sinkronisasi Hukum
Agar terciptanya sinkronisasi hukum, maka peraturan perundang-
undangan yang dibuat hendaknya tidak boleh bertentangan antara yang satu
4 Soetiksno, Filsafat Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 1976, hlm.63-645 Benediktus P. Lay, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah, hlm. 55
13
dengan yang lainnya baik itu pertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi
(vertikal) maupun pertentangan dengan norma hukum yang sederajat (horizontal).
Menurut B. Sunggono sinkronisasi hukum adalah keserasian hukum
positif yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada pertentangan antara norma
hukum yang satu dengan yang lainnya baik secara vertikal maksudnya tidak
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, maupun secara horizontal
maksudnya tidak bertentangan dengan norma hukum yang sama derajat. Artinya
apabila undang-undang yang dibuat berlawanan dengan Undang-Undang Dasar,
dengan sendirinya batal demi hukum dalam hal ini tidak perlu membentuk
peraturan baru yang membatalkan peraturan yang bertentangan tersebut.6
3. Asas Hukum
Didalam asas-asas hukum terdapat beberapa prinsip dasar yang
dimaksudkan untuk melindungi hak- hak setiap orang untuk tidak dilanggar atau
dirugikan ketika berhadapan dengan keperluan Negara atas tanah untuk
kepentingan umum antara lain adalah:
1) Asas musyawarah
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kata sepakat artinya dalam
melakukan musyawarah kedua belah pihak harus memperolah kesepakatan.
Oleh karena itu, unsur yang sangat esensial dalam musyawarah adalah
kesatuan pendapat yang mengadopsi pendirian semua kehendak masyarakat
didalamnya baik dari pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang
memiliki tanah. Musyawarah yang dilakukan untuk memperoleh
kesepakatan mengenai harga ganti rugi serta mekanisme pembayarannya.
6 B. Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada Jakarta, 1997, hlm. 97
14
Dalam musyawarah, baik itu pemilik tanah maupun pihak yang
membutuhkan tanah harus berada pada posisi tawar yang sama sehingga ada
keseimbangan. Artinya masing-masing pihak harus saling menghormati dan
tidak ada yang merasa lebih tinggi dari pihak lain.7
Dengan demikian dalam penetapan ganti kerugian harus didasarkan
atas musyawarah dengan memperoleh kesepakatan, bukan dilakukan atas
kehendak salah satu pihak saja. Karena musyawarah merupakan kegiatan
saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta
keinginan untuk mencapai kesepakatan.8 Artinya apabila ada kesepakatan
dalam musyawarah itu, maka akan adanya keseimbangan diantara kedua
belah pihak.
2) Asas kesepakatan
Artinya menurut asas ini, seluruh kegiatan pengadaan tanah,
terutama dalam hal pemberian harga ganti rugi maupun bentuk ganti rugi
yang akan diberikan harus berdasarkan pada asas kesepakatan antara pihak
yang memiliki tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah tersebut.
Kesepakatan itu harus atas dasar persesuaian kehendak kedua belah pihak
tanpa adanya diskriminasi artinya tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan
dan penipuan serta harus adanya itikad baik.9 Kesepakatan yang dimaksud
harus mencerminkan adanya persetujuan antara pihak yang membutuhkan
tanah dengan pihak yang memiliki hak atas tanah. Apabila kesepakatan yang
7 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah…Op.cit.,hal 348 PERPRES No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 pasal 1 angka 10.9 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip…hlm.295
15
dicapai terdapat unsur kekhilafan, paksaan dan adanya penipuan maka
kesepakatan itu dapat dibatalkan.10
3) Asas keadilan
Menurut Aristoteles dalam Benediktus P. Lay mengatakan bahwa
keadilan mengandung pengertian tentang kesamaan yakni kesamaan
numerik (semua orang sama derajat didepan hukum) dan kesamaan
proporsional (memberi tiap orang apa yang menjadi haknya).11
Sedangkan menurut H. Achmad Rubaie, keadilan merupakan salah
satu cita-cita hukum yang berangkat dari nilai-nilai moral manusia. Dalam
hal pengadaan tanah, asas keadilan ini diletakkan sebagai dasar untuk
menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus diberikan kepada
pemilki tanah dan orang-orang terkait dengan tanah yang terkena dampak
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.12
Menurut Rudolf Stammler bahwa keadilan itu terjalin dengan
kehidupan ekonomis masyarakat yang diwujudkan melalui hukum, maka
hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak diperlukan didalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan menurut Gustav Radbruch bahwa
tugas utama hukum ialah mewujudkan keadilan.13
Dengan demikian asas penerapan asas ini harus diperhatikan agar
masyarakat (pemilik hak atas tanah) yang terkena dampak harus
10 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan…hlm.3011 Benediktus P. Lay, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah, hal 4812 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah...Op.cit.,hal. 3113 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP Books, Surabaya, hlm. 35
16
memperoleh ganti kerugian yang layak dan dapat memberikan kondisi sosial
ekonomi minimal setara dengan keadaan sebelumnya.
4) Asas kemanfaatan
Asas kemanfaatan diletakkan atas prinsip bahwa pengadaan tanah
masyarakat untuk kepentingan umum harus dapat memberi manfaat bagi
pihak yang membutuhkan tanah maupun masyarakat yang memiliki tanah.14
Artinya dengan adanya kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan untuk kepentingan umum masyarakat sebagai pemilik tanah
dapat memperoleh ganti rugi yang layak agar kehidupan sosial ekonominya
menjadi lebih baik dari sebelum tanahnya terkena dampak pengadaan tanah
untuk kepentingan umum.
5) Asas kesetaraan
Asas kesetaraan dimaksudkan untuk menempatkan posisi baik pihak
yang memerlukan tanah maupun pihak yang memiliki hak atas tanah harus
diletakkan sejajar dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Artinya baik itu pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang
memilki hak atas tanah memiliki kesetaraan posisi atau tidak ada yang
merasa posisinya lebih tinggi agar proses pengadaan tanah untuk
kepentingan umum diharapkan dapat berjalan dengan baik karena baik itu
pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang memiliki tanah dapat
mengajukan keinginan mereka dan menyampaikan tawaran yang sesuai
kesetaraan posisi mereka.15
14 H. Achmad Rubaie, Hukum pengadaan Tanah….Op.Cit. hlm.3215 Ibid., hlm.35
17
B. KERANGKA KONSEPSIONAL
1. Pengertian.
1) Keabsahan.
Keabsahan berasal dari kata dasar “sah” yang artinya sesuai menurut undang-
undang. 16
2) Peraturan Presiden.
Menurut Undang-Undang N0. 10 tahun 2004 pasal 1 butir 6 yang dimaksudkan
dengan Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat
oleh Presiden.
3) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah setiap kegiatan untuk
mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang
melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain
yang berkaitan dengan tanah untuk pembangunan kepentingan sebagian besar
lapisan masyarakat17.
4) Ganti rugi.
Menurut Peraturan Presiden No.36 tahun 2005 yang dimuat dalam pasal 1 butir
11, Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik
dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai
tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang labih baik dari tingkat
kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.18
16 Drs. Soesilo Prajogo, SH, Kamus Hukum, WIMPREES, HAL. 43317 Perpres No.36/2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No.65/200618 Ibid.,hlm.429
18
2. Konsep-konsep yang digunakan
1) Konsep Negara Hukum (rechtsstaat)
Secara embrionik, gagasan Negara hukum telah dikemukakan oleh
Plato, ketika ia mengintrodusir konsep Nomoi. Dalam Nomoi, Plato
mengatakan, bahwa penyelenggara Negara yang baik ialah yang didasarkan
pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang Negara hukum
semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles dalam buku Politica.
Menurut Aristoteles bahwa suatu Negara yang baik adalah Negara yang
diperintahkan dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur
pemerintah yang berkonstitusi yaitu Pertama, pemerintah dilaksanakan untuk
kepentingan umum; Kedua, pemerintah dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang mengeyampingkan konvensi dan konstitusi; Ketiga,
pemerintah berkonstitusi berarti pemerintahan dilaksanakan atas kehendak
rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang dilaksanakan pemerintahan
despotik.19
Gagasan Negara hukum menjadi embrio kosep Negara hukum walaupun
masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang,
yang kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19 yaitu
dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Friederich Julius Stahl. Menurut
Stahl, unsur-unsur Negara hukum (rechtsstaat) adalah sebagai berikut:
a) Perlindungan hak-hak asasi manusia,b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak ituc) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
19 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 2
19
d) peradilan administrasi dalam perselisihan20
Konsep ini bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil
law atau modern roman law yang berkarakter administratif yang disebabkan
oleh pengaruh kekuasaan pada zaman Romawi, dimana kekuasaan raja yang
besar dalam membuat dekrit didelegasikan kepada pejabat administrasi Negara
sehingga kekuasaan administrasi menjadi besar. Oleh karena itu mulai
dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi Negara
dinegara-negara kontinen.
2) Konsep The rule of law (supremasi hukum)
Konsep ini mulai popular sejak terbitnya buku dari Albert Venn Dicey
tahun 1885 dengan judul “introduction to the study of law of the constitution”.
Dalam buku ini ia mengemukakan bahwa unsur-unsur Rule of Law mencakup:
a) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law); tidak ada kekuasaan sewenang-wenang
b) Kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law)c) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (human
right).21
Menurut konsep the rule of law yang bertumpu atas sitem hukum yang
disebut common law yang karakteristiknya adalah judicial yang dipengaruhi oleh
kekuasaan raja di Inggris dalam kekuasaannya memutuskan perkara didelegasikan
kepada hakim ( tetapi bukan pelaksana kehendak raja) untuk memutuskan perkara
sehingga peranan hakim bertambah besar.22 Oleh karena itu di Inggris mulai
dipirkan langkah-langkah untuk menciptakan peradilan yang adil.
20 Ibid. hlm, 321 Ibd. Hlm. 1722 Ibid. hlm. 18
20
3) Konsep Negara hukum Indonesia
Menurut Sri Soemantri dalam Benediktus P. Lay mengemukakan
bahwa konsep Negara hukum Indonesia adalah:
a) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
b) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara)c) Adanya pembagian kekuasaan Negara;d) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtelijke
control)23
Dengan demikian, meskipun ada konsep Negara hukun rechtsstaat dan
konsep the rule of law, tetapi Indonesia memilki konsep Negara hukum sendiri
yaitu Negara Hukum Pancasila.
Dinamakan Negara hukum Pancasila karena di Indonesia Pancasila
merupakan jiwa dan pandangan hidup bangsa yang merupakan sumber dasar
tertib hukum yang ada. Oleh karena Pancasila merupakan sumber dasar tertib
hukum, maka nilai-nilai yang dimilki bangsa Indonesia dan mengakar dalam
masyarakat serta menentukan pola pikir dan tingkah laku yang hendak
diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar cita-
cita, harapan identitas serta kepribadian Indonesia menjadi kenyataan. Dengan
demikian setiap tindakan harus mengandung cita-cita hukum dan mengandung
asas-asas yang menjadi dasar tata kehidupan masyarakat dan Negara dalam suatu
tata aturan atau norma yang sejiwa dengan asas yang menjadi sumber norma.
Karena itu, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa akan mempunyai arti nyata
bagi masyarakat Indonesia dalam hubungannya dengan kehidupan kenegaraan,
23 Benediktus P. Lay, Perlindungan Hukum Terhadap Hak MIlik Atas Tanah, hlm. 19
21
termasuk kehidupan bernegara hukum dibawah tertib hukum (rechts orde) yang
sesuai dengan cita-cita bangsa khususnya cita-cita hukum (rechts ide).24
BAB III
ANALISIS DATA
24 Ibid. hlm. 21
22
Sebagaimana telah dikatakan bahwa yang menjadi tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden tentang
pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak bertentangan dengan Undang-Undang
Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 yang termuat dalam pasal 36 dan sudah sesuai
dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
untuk mengetahui apakah pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden ini memiliki
keabsahan untuk diberlakukan. Dimana tujuan yang dimaksud tersebut adalah untuk
menjawab permasalahan yang dikemukakan oleh peneliti yaitu: Apakah pengaturan pasal
10 ayat (2) Peraturan Presiden tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk
kepentingan umum sudah sesuai dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia dan Apakah
materi pengaturan dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden ini memiliki keabsahan
untuk berlaku? Oleh karena itu dalam pembahasan ini peneliti tentunya akan bermuara
pada kedua hal tersebut diatas yang menjadi fokus dalam pembahasan ini.
A. Pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri
dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang
perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 dikaitkan dengan
ketentuan dalam UU HAM No. 39 pasal 36 dan ketentuan dalam UUD 1945 Bab
XA Hak Asasi Manusia yakni pasal 28h ayat (4)).
Tanah merupakan benda yang berharga dalam kaitannya dengan kehidupan
manusia. Fluktuasi harga tanah sangat cepat berubah dan perubahan ini cenderung
meningkat dan tidak pernah turun. Melihat hal seperti ini orang akan mati-matian
23
mempertahankan tanahnya apabila kepemilikannya diganggu oleh orang lain.
Sebagian besar masyarakat menyadari tanah memiliki fungsi sosial artinya tanah
tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum asalkan tidak boleh meniadakan
prinsip kepemilikan individu dan memperoleh ganti kerugian yang layak.
Ganti rugi merupakan persoalan yang sangat pelik untuk dipecahkan oleh
karena tidak adanya persesuaian harga antara pemilik tanah dengan pihak yang
membutuhkan tanah. Dari sudut formal kepentingan Pemerintah ganti rugi lebih
banyak diartikan ganti rugi material dengan mengambil patokan berdasarkan harga
pasar atau harga yang ditetapkan tersendiri oleh Pemerintah, seperti Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP). Padahal sesungguhnya, ganti kerugian yang harus diberikan tidak
sesederhana itu. Komfortabilitas dengan lingkungan, kedekatan dengan sarana dan
prasarana ekonomi atau lokasi pekerjaan, tingkat polusi, keamanan dan faktor stress
karena penyesuaian ke lokasi yang baru, adalah persoalan-persoalan besar, yang tidak
dapat semata-mata diukur dalam nilai penggantian atas tanah yang terkena dampak
pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Kelayakan atau
keadilan pemberian ganti kerugian dapat diwujudkan apabila telah melaui proses
adanya kesepakatan dalam musyawarah yang terjadi di antara para pihak yang dapat
dipertanggungjawabkan secara yuridis tentang nilai dan mekanisme ganti kerugian.
Akan lebih realistis dan rasional jika musyawarah mengenai harga ganti
kerugian berpedoman pada nilai nyata atau nilai pasar karena itu adalah harga yang
sebenarnya untuk dipakai. Akan berbeda hasilnya jika musyawarah mengenai harga
ganti kerugian harus memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak, maka yang dapat
dikatakan adalah musyawarah itu menjadi tidak demokratis. Karena bagaimanapun
24
Nilai Jual Objek Pajak merupakan suatu instrument untuk menghitung besarnya pajak
yang harus dibayar oleh penikmat atau penguasa atau pemilik tanah dan juga tidak
mencerminkan nilai tanah secara riil. Suatu kesalahan yang nyata apabila proses
musyawarah sejak awal harus didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak yang
diciptakan untuk penetapan ganti kerugian. Suatu kesalahan pula apabila Nilai Jual
Objek Pajak dipaksakan oleh Negara sebagai nilai ganti kerugian yang harus diterima
oleh pemilik tanah. Hal ini dikarenakan besarnya Nilai Jual Objek Pajak juga
ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa harus mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari penikmat atau penguasa atau pemilik tanah. Ini menunjukkan suatu hal
yang tidak proporsional apabila instrument pajak harus dipergunakan untuk menjadi
instrument penetapan ganti kerugian dalam pengadaan tanah.
Pada lain pihak panitia pengadaan yang nota bene seluruh keanggotaannya
dari unsur pemerintah yang tidak bebas independesinya. Panitian pengadaan tanah
pastinya lebih berpihak dan selalu mengutamakan kepentingan Negara daripada
kepentingan pemilik tanah atau rakyat dalam proses penetapan nilai ganti kerugian.
Walaupun dalam Peraturan Presiden ini penetapan ganti kerugian sudah mendasar
pada hasil taksiran lemabaga penilai tanah atau tim penilai tanah yang independen
akan tetapi masih ada instrument yang mengatur kembali bahwa lembaga penilai
tanah non pemerintah tersebut dalam profesionallitasnya ternyata masih dibatasi
dengan Nilai Jual Objek Pajak.
Ketentuan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan
umum saat ini pengaturannya berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006.
25
Ketentuan ini menggantikan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang sebelumnya adalah Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tentang Pembebasan Tanah Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah dikatakan bahwa persoalan hukum yang
menjadi dasar dalam ketentuan hukum adalah mengenai pengaturan tentang
konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri dalam pasal 10 ayat
(2) Peraturan Presiden yang merupakan suatu tindakan sewenang-wenang yang
dilakukan oleh panitia pengadaan tanah padahal dalam Undang-Undang Hak Asasi
Manusia No.39 tahun1999 yang termuat dalam pasal 36 dan Undang-Undang Dasar
1945 BAB XA pasal 28H yang dengan tegas melarang pengambilan hak milik
seseorang secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Disaat Negara sedang gencar memperjuangkan Hak Asasi Manusia maka
dalam prodak hukumnya pun harus juga memperhatikan Hak Asasi Manusia
termasuk juga dalam pengaturan tentang permasalahan pertanahan. Sebagaimana
yang tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No.36 tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 yakni
tentang konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke Pengadilan yang nyata-nyatanya
merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Negara
terhadap masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah.
Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 sebagaimana
tertuang dalam pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan :
Ayat (1): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan
26
dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak
melanggar hukum”
Ayat (2): “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang
dan melawan hukum”.
Pasal ini dengan jelas mengatur hak dari warga Negara atas kepemilkannya terhadap
suatu benda untuk tidak boleh dirampas oleh siapapun dengan cara sewenang-wenang
dan melawan hukum.
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan hukum dasar tertulis negara
Indonesia atau norma hukum tertinggi yang menjadi pedoman atau landasan bagi
terbentuknya peraturan perundang-undangan dibawahnya. Oleh karena itu seharusnya
apa yang dilarang dalam Undang-Undang Dasar 1945, harus diimplementasikan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam hal ini
materi muatan pengaturan dari perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan atau harus sesuai dengan materi muatan yang terdapat dalam Undang-
Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi. Sehingga terciptanya
sinkronisasi pengaturan dalam tata hukum nasional.
Dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 terutama dalam pasal 10 ayat (2) mengatakan
”apabila setelah diadakan musyawarah, tetapi musyawarah itu tidak tercapai, panitia
pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi dan menitipkan uang
kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang
bersangkutan”. Artinya ketentuan ini dengan jelas melegitimasi adanya pembayaran
ganti rugi yang dapat diberikan secara sepihak dan sewenang-wenang. Karena
27
dilakukan hanya atas kehendak panitia pengadaan tanah dengan pihak yang
membutuhkan tanah saja tanpa adanya kata sepakat dengan masyarakat sebagai
pemilik tanah yang terkena dampak pengadaan tanah tersebut.
Ketentuan pasal 10 ayat (2) dalam Peraturan Presiden ini juga sangat
bertentangan atau tidak sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi yakni dalam
pasal 28H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia yang dengan tegas menyatakan
”bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Hal ini
menegaskan bahwa hak milik termasuk hak milik atas tanah tidak boleh diambil alih
oleh siapapun termasuk Negara sekalipun secara sewenang-wenang.
Namun dengan adanya ketentuan mengenai konsinyasi yang dilakukan
secara sepihak dalam Peraturan Presiden ini yang secara nyata tidak mencerminkan
adanya penghormatan terhadap hak milik seseorang termasuk hak milik atas tanah
yang dengan mana telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 39 tahun 1999 pasal 36 dan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945
yang merupakan norma hukum tertinggi yang melarang siapapun mengambil hak
milik seseorang secara sewenang-wenang seperti yang tersirat dalam pasal 28H ayat
(4) Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Hak Asasi Manusia.
Dalam Peraturan Badan Pertanahan RI No. 3 tahun 2007 yang merupakan
ketentuan pekasana Peraturan Presiden 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 pasal 35 ayat (2) juga menunjukan
adanya sikap diskriminasi yang dilakukan oleh penguasa dimana pasal tersebut
28
mengatakan apabila dalam musyawarah yang dilakukan tidak terdapat kesepakatan
dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan maka panitia pengadaan tanah
dapat melanjutkan kegiatan pengadaan tanah. Hal ini jelas-jelas asas musyawarah
yang merupakan suatu kegiatan untuk mencapai kesepakatan antara pihak yang
membutuhkan tanah dengan pemilik tanah tidak berfungsi.
Permasalahan yang sering terjadi adalah musyawarah terjadi karena
kepentingan umum selalu lebih diutamakan atau diprioritaskan dengan menggunakan
instrumen kekuasaan yang dipegang dan dijalankan negara. Kekuasaan negara
diimplementasikan lebih banyak untuk menekan dan melemahkan kepentingan privat
untuk dan atas nama kepentingan umum. Kepentingan-kepentingan privat yang ada
pada rakyat selalu dimarginalkan oleh negara sehingga tidak pernah dihormati,
dihargai apalagi diposisikan sebagai hak yang paling asasi. Stetmen yang
berkembang, bahwa pada saat negara akan memerlukan tanah dengan menjalankan
mekanisme pengadaan tanah sudah terbayangkan oleh masyarakat akan terjadi
penindasan hak-haknya.
Pengutamaan terhadap kepentingan umum sebenarnya juga telah melanggar
prinsip Negara Hukum Indonesia berdasarkan Pancasila yang sangat menghendaki
adanya keserasian atau keselarasan, keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum. Karena dalam negara hukum berdasarkan Pancasila, kepentingan
individu dan kepentingan umum selalu ditempatkan dalam kedudukan yang serasi dan
seimbang artinya tidak ada suatu kepentingan yang harus diutamakan.
Pengaturan tentang kepentingan umum oleh negara menjadi strategis untuk
menghindari tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap hak-hak rakyat
29
sekaligus untuk kepastian hukum, jaminan hukum dan perlindungan hukum hak-hak
rakyat. Seharusnya kepentingan umum harus tetap mengormati kepentingan orang
perseorangan, karena hak-hak privat telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945
khususnya dalam BAB XA bagian Hak Asasi Manusi pasal 28H.
Perwujudan prinsip keseimbangan dimaksudkan apabila hak milik atas
tanah digunakan untuk kepentingan umum, hak milik itu harus ada pemberian ganti
rugi yang layak atas tanahnya yang terkena dampak pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, bukan pemberian ganti rugi yang diberikan secara sepihak.
Karena ganti rugi yang layak adalah ganti rugi yang terkandung unsur tawar-menawar
harga ganti rugi yang merupakan hubungan kontraktual, bukan dilakukan atas
kehendak sepihak saja tetapi pemberian ganti rugi menurut prinsip pengakuan dan
penghormatan terhadap hak-hak atas tanah sebagai salah satu hak asasi atau hak dasar
manusia.
Namun kenyataannya tidaklah demikian, karena materi muatan pengaturan
dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tidaklah mencerminkan adanya
penghormatan terhadap hak milik atas tanah, akan tetapi lebih melegitimasi
pemberian ganti rugi yang dilakukan secara sepihak melalui konsinyasi atau penitipan
ganti rugi ke Pengadilan Negeri. Hal ini ditunjukkan lewat adanya pemberian ganti
rugi yang tidak berdasarkan pada asas musyawarah untuk mufakat.
Selain bertentangan dengan negara hukum berdasarkan Pancasila, Peraturan
Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 juga melalui ketentuan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi
30
tersebut telah mengabaikan berbagai prinsip dasar yang merupakan asas-asas hukum
dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang telah dikemukakan pada Bab I
diatas. Asas-asas yang dimaksudkan adalah: asas musyawarah, asas kesepakatan, asas
keadilan, asas kesetaraan, asas kemanfaatan dan asas-asas lainnya.
Berdasarkan asas musyawarah, setiap pelaksanaan pemberian ganti rugi
sebagai akibat dari pengadan tanah harus dilakukan dengan jalan musyawarah untuk
mencapai kata sepakat artinya dalam melakukan musyawarah kedua belah pihak
harus memperolah kesepakatan. Oleh karena itu, unsur yang sangat esensial dalam
musyawarah adalah kesatuan pendapat yang mengadopsi pendirian semua kehendak
masyarakat didalamnya baik dari pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang
memiliki tanah.25
Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai harga ganti
rugi dan mekanisme pembayarannya. Kesepakatan yang terjadi juga harus tidak
terdapat unsur penipuan, kekhilafan dan paksaan sehingga ganti rugi yang diberikan
itu benar-benar memenuhi rasa keadilan karena diberikan atas hasil kesepakatan yang
dicapai dalam musyawarah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan musyawarah, baik itu
pihak pemilik tanah maupun pihak yang membutuhkan tanah harus berada pada
posisi tawar yang sama sehingga ada keseimbangan. Artinya masing-masing pihak
harus saling menghormati dan tidak ada yang merasa lebih tinggi dari pihak lain.26
Sehingga baik itu pemilik tanah maupun pihak yang membutuhkan tanah tidak
merasa ada yang dirugikan.
25 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, 2007. hlm.3326 Ibid.
31
Dengan demikian dalam penetapan ganti kerugian harus didasarkan atas
musyawarah dengan memperoleh kesepakatan, bukan dilakukan atas kehendak salah
satu pihak saja. Karena musyawarah merupakan kegiatan saling mendengar, saling
memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai
kesepakatan.27
Akan tetapi dalam praktiknya, prinsip musyawarah dan ganti rugi yang
layak selalu berubah menjadi intimidasi yang dilakukan dengan adanya campur
tangan militer yang bertujuan untuk menakut-nakuti dan mengalahkan atau meredam
perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat. Artinya ketentuan ini melegitimasi
pembayaran ganti rugi yang dapat diberikan secara sepihak dan sewenang-wenang.
Demikian pula menurut asas kesepakatan, bahwa seluruh kegiatan
pengadaan tanah, terutama dalam hal pemberian ganti rugi, baik itu harga ganti rugi
maupun bentuk ganti rugi yang akan diberikan harus berdasarkan pada asas
kesepakatan antara pihak yang memiliki hak atas tanah dengan pihak yang
membutuhkan tanah tersebut. Kesepakatan itu harus didasarkan atas persesuaian
kehendak kedua belah pihak tanpa adanya diskriminasi artinya tanpa adanya unsur
paksaan, kekhilafan dan penipuan serta harus adanya itikad baik.28 Kesepakatan yang
dimaksudkan itu harus mencerminkan adanya persesuaian kehendak dan persetujuan
antara pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang memiliki hak atas tanah
tanpa adanya unsur kekhilafan, paksaan dan penipuan serta harus dilakukan dengan
itikad baik. Hal ini sangat diperlukan karena hubungan antara kedua belah pihak
adalah hubungan keperdataan yang berasal dari perjanjian sehingga semua unsur
27 PERPRES No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 pasal 1 angka 10.28 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip…hlm.295
32
kesepakatan sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian harus terpenuhi. Apabila kesepakatan yang dicapai terdapat
unsur kekhilafan, paksaan dan adanya penipuan maka kesepakatan itu dapat
dibatalkan.29 Kesepakatan atau kata sepakat menjadi kunci dalam pemgambilan
keputusan penetapan ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak yang membutuhkan
tanah untuk kepentingan umum tersebut dan karena kesepakatan mengandung arti
merupakan pembentukan kehendak atau pertemuan kehendak antara pemilik tanah
dengan pihak yang membutuhkan tanah. Artinya apabila ada kesepakatan dalam
musyawarah itu, maka akan adanya keseimbangan diantara kedua belah pihak.
Namun kenyataannya pengaturan dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan
Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005, ganti rugi dapat diberikan atas kemauan atau kehendak sepihak saja,
bukan didasarkan pada kesepakatan, karena dititipkan melalui Pengadilan Negeri
apabila tidak tercapai kesepakatan. Sebenarnya dengan memperhatikan prinsip
kesepakatan akan lebih memuaskan kedua belah pihak karena tidak ada yang merasa
dirugikan dan diuntungkan. Hal ini guna terwujudnya penilaian tanah yang adil bagi
kedua belah pihak.
Sedangkan asas keadilan, menurut Aristoteles dalam Benediktus P. Lay
mengatakan bahwa keadilan mengandung pengertian tentang kesamaan yakni
kesamaan numerik (semua orang sama derajat didepan hukum) dan kesamaan
proporsional (memberi tiap orang apa yang menjadi haknya).30
29 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan…Op. Cit., hlm.3030 Benediktus P. Lay, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah, hal 48
33
Menurut H. Achmad Rubaie, keadilan merupakan salah satu cita-cita
hukum yang berangkat dari nilai-nilai moral manusia. Dalam hal pengadaan tanah,
asas keadilan ini diletakkan sebagai dasar untuk menentukan bentuk dan besarnya
ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilki tanah dan orang-orang terkait dengan
tanah yang terkena dampak pengadaan tanah untuk kepentingan umum.31
Sementara itu menurut Rudolf Stammler bahwa keadilan itu terjalin
dengan kehidupan ekonomis masyarakat yang diwujudkan melalui hukum, maka
hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak diperlukan didalam kehidupan
bermasyarakat. Sedangkan menurut Gustav Radbruch bahwa tugas utama hukum
ialah mewujudkan keadilan.32
Dalam mencari keadilan cita-cita hukum yang baik adalah untuk
mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Apabila ada pertentangan antaran
kepastian hukum dengan keadilan, maka unsur keadilan harus dikedepankan dan
dimenangkan. Kepastian hukum adalah sebuah falsafah positivisme dimana untuk
mendapatkan titik temu antara para pihak yang kepentingannya berbeda-beda, maka
harus dicari suatu rujukan yang telah disepakati, dilegalkan dan diformalitaskan serta
enforceable (dapat dilaksanakan) oleh aparat hukum sebagai penjelmaan dari
kedaulatan birokrasi negara.
Tetapi manakala, dengan saluran formal yang mengedepankan kepastian
hukum tidak mencerminkan adanya keadilan, maka pencari keadilan akan
menemukan caranya sendiri untuk mendapatkan keseimbangan antara keadilan dan
kepastian hukum. Kepastian hukum yang ideal adalah hukum yang memberi keadilan.
31 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah...Op.cit.,hal. 3132 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP. hlm. 35
34
Namun manakala keadilan tersebut tidak ditemukan lewat saluran formal, akan terjadi
apatisme hukum, yang bahkan pada titik ekstrim akan dapat menjelma menjadi chaos
karena masing-masing pihak akan mencari, menafsirkan dan mengenforce
(melasanakan) keadilan menurut persepsinya masing-masing.
Dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum, keadilan harus
diletakkan sebagai dasar untuk menentukkan bentuk dan besarnya ganti rugi yang
harus diberikan kepada pemilik tanah yang haknya diambil untuk kepentingan umum.
Ganti rugi yang dimaksudkan adalah ganti rugi yang layak artinya ganti rugi yang
didalamnya mengandung unsur tawar menawar mengenai harga yang akan diberikan.
Dengan demikian penerapan asas ini harus diperhatikan agar masyarakat
sebagai pemilik hak atas tanah yang terkena dampak harus memperoleh ganti
kerugian yang layak dan dapat memberikan kondisi sosial ekonomi minimal setara
dengan keadaan sebelumnya dan akan terciptanya keadilan. Jika pemberian ganti rugi
dilakukan atas dasar paksaan, maka yang didapatkan adalah ketidakadilan. Hal ini
ditunjukkan melalui ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 yaitu dalam pasal 10 ayat (2)
tentang pemberian ganti rugi yang dilakukan secara sepihak melalui tindakan
konsinyasi ke Pengadilan negeri.
Sementara itu dalam Asas kemanfaatan, diletakkan atas prinsip bahwa
pengadaan tanah masyarakat untuk kepentingan umum harus dapat memberi manfaat
bagi pihak yang membutuhkan tanah maupun masyarakat yang memiliki tanah.33
Artinya dengan adanya kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan
untuk kepentingan umum masyarakat sebagai pemilik tanah dapat memperoleh ganti
33 H. Achmad Rubaie, Hukum pengadaan Tanah….Op.Cit. hlm.32
35
rugi yang layak agar kehidupan sosial ekonominya menjadi lebih baik dari sebelum
tanahnya terkena dampak pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Sedangkan Asas kesetaraan, dimaksudkan untuk menempatkan posisi
baik pihak yang memerlukan tanah maupun pihak yang memiliki hak atas tanah harus
diletakkan sejajar dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Artinya
baik itu pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang memiliki hak atas tanah
memiliki kesetaraan posisi atau tidak ada yang merasa posisinya lebih tinggi agar
proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum diharapkan dapat berjalan dengan
baik karena baik itu pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang memiliki
tanah dapat mengajukan keinginan mereka dan menyampaikan tawaran yang sesuai
kesetaraan posisi mereka.34
Akan tetapi dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 telah menempatkan posisi
yang tidak sejajar antar pihak yang memiliki hak atas tanah dengan pihak yang
membutuhkan tanah karena apabila musyawarah tidak tercapai, Peraturan Presiden 36
Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006
memberikan kewenangan kepada panitia pengadaan tanah untuk melakukan
pemaksaan melalui pemberian ganti rugi yang dilakukan secara sepihak ke
pengadilan negeri. Hal ini telah dengan jelas menunjukkan adanya kesewenang-
wenangan.
Dengan demikian, proses konsinyasi atau penitipan ganti rugi seperti yang
tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 seharusnya tidak
34 Ibid., hlm.35
36
diberlakukan karena sangat merugikan salah satu pihak dalam hal ini pemilik hak
milik atas tanah dan merupakan perbuatan yang sangat bertentangan dengan asas-asas
hukum yang bersumber dari Pancasila serta jiwa dan semangat yang terkandung
dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang tersirat dalam pasal 28 H ayat
(4) Bab XA Hak Asasi Manusia yang berbunyi ”setiap orang berhak mempunyai hak
milik pribadi da hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun”.
Oleh karena itu negara berkepentingan untuk memastikan hak-hak rakyat
dalam hal ini hak atas tanah terlindungi. Negara juga berkepentingan untuk
menciptakan pengadaan tanah yang dirasakan adil. Untuk itu diperlukan mekanisme
pembayaran ganti kerugian kepada pemilik hak atas tanah yang menyeimbangkan
antara kepentingan publik dan rakyat orang perorangan atau kelompok masyarakat
yang tanahnya menjadi bagian dari proses pembangunan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian negara melalui pihak yang membutuhkan tanah dan
panitia pengadaan tanah telah melegitimasi dirinya untuk mengambil hak milik atas
tanah masyarakat secara sewenang-wenang karena pemberian ganti rugi tidak
didasarkan atas asas musyawarah yang bersumber dari Pancasila yakni musyawarah
untuk mufakat. Contoh kasusnya adalah:
Warga perumahan Raffles Hills mendukung proses pembanguan tol Cijago. Namun penentuan ganti rugi tidak bisa dilakukan begitu saja. Kami minta penentuan ganti rugi tidak bersifat sepihak. Nilai ganti rugi yang ditawarkan oleh pihak Tim Pengadaan Tanah (TPT) sebesar Rp 2,25 Juta per meter per segi bersifat sepihak. Warga minta harga Rp 6,8 juta per meter per segi. Yang kami tentang adalah penentuan ganti rugi sepihak. Kata Anggara Passat, Koordinator Aksi. Massa aksi yang terdiri dari warga perumahan Blok EE tersebut juga membentangkan spanduk yang berisi tuntutan agar mereka diberikan uang ganti rugi yang layak. Warga juga menuntut musyawararah yang terbuka dan
37
transparan. Selama ini, proses musyawarah yang difasilitasi oleh pihak Panitia Pengadaan Tanah dinilai bersifat sepihak dan tidak sesuai dengan Peraturan Presiden No.65/2006.
Pemberian ganti rugi yang dirasa tidak adil dan tidak memiliki standar yang
baku setidaknya memberikan kontribusi bagi permasalahan diatas. Akibatnya muncul
anekdot bahwa ganti rugi dalam pengadaan tanah adalah kompensasi yang
menyebabkan pemilik tanah menderita kerugian akibat kompensasi yang diberikan
lebih kecil dibanding kerugian ekonomis yang ditanggung oleh pemilik tanah.
Meskipun pada umumnya dalam prakteknya pada saat negosiasi sering terjadi bahwa
kompensasi yang diberikan sedikit lebih tinggi hal itu dikarenakan untuk menghindari
waktu pengadaan yang lama dan menghindari biaya litigasi di pengadilan yang cukup
tinggi. Bagaimana kelangsungan hidup yang lebih baik harus diterapkan dalam
pemberian ganti rugi adalah tantangan yang harus dijawab, sekurang-kurangnya
dalam sebuah standar penilaian ganti rugi yang layak dan tidak merugikan pihak yang
memiliki hak atas tanah. Bahkan kenyataannya banyak proses pengadaan tanah untuk
kepentingan umum seringkali dirasakan tidak adil.
Oleh karena itu perlu ditetapkan ganti rugi yang memadai dan adil untuk
semua jenis kerugian yang ditimbulkan akibat oleh pengadaan tanah sebagai wujud
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya terhadap hak masyarakat
yang tanahnya terkena dampak pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
B. Keabsahan pengaturan pasal 10 ayat (2) tentang konsinyasi melalui Pengadilan
Negeri dalam Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang perubahan atas
38
Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Untuk membahas tentang mengenai sah dan tidaknya pengaturan pasal 10
ayat (2) Peraturan Presiden mengenai konsinyasi ganti rugi ke Pengadilan Negeri,
dilihat dari ketentuan Peraturan Perundang-undang yang tingkatnya lebih tinggi yakni
dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 2004, pasal 36 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 serta Undang-
Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi yang dimuat dalam
pasal 28H yang merupakan salah satu ketentuan tambahan hasil perubahan atau
amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Hak Asasi Manusia (amandemen
kedua tanggal 18 agustus 2000) yang lahir bersamaan dengan bergulirnya reformasi
yang dengan tegas melarang pengambilan hak milik seseorang secara sewenang-
wenang.
Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan
berbangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib harus menjamin adanya
persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan terpeliharanya hubungan
yang serasi, seimbang dan selaras antara aparatur pemerintah dengan warga
masyarakat, serta antara kepentingan umum dengan kepentingan orang perseorangan.
Oleh karena itu prisip keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan
umum dengan kepentingan individu harus merupakan salah satu asas dalam materi
muatan setiap peraturan perundang-undangan.
39
Sementara itu sistem hukum nasional Indonesia menganut sistem hukum
yang berdasarkan dan berjiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
menentukan bahwa suatu bentuk tatanan segenap peraturan dan keputusan yang
dapatkan dinamakan hukum yang sesuai dengan cita-cita yang dibimbing oleh filsafat
hukum Pancasila sebagai sistem yuridis yang idealis dalam tatanan dasar yang
ditemukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dinamakan
rechtsidee, bangsa Indonesia didalam sistem tata hukum merupakan tolak ukur, acuan
dan tumpuan tentang apa dan bagaimana hukum itu dalam hukum positif menurut
pandangan bangsa Indonesia. Cita hukum (rechtsidee) memuat ukuran tentang apa
yang didalam masyarakat bangsa Indonesia dapat dinamakan dengan hukum yaitu,
suatu prinsip yang didalamnya mengandung tiga butir tujuan bangsa Indonesia yaitu
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ketiga butir pokok tersebut
merupakan tolak ukur dan dasar dalam tata hukum Indonesia tentang apa sesuatu
peraturan perundang-undangan dan sesuatu keputusan hukum itu berkualitas atau
tidaknya sebagai hukum.
Sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum yang tersusun secara hierarkis
dan berintikan cita hukum Pancasila, yang dioperasionalkan ke dalam kenyataan
melalui asas hukum nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui
peraturan perundang-undangan. Sistem hukum nasional menyerap asas yang
terkandung dalam Pancasila, nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup
bangsa dan merasakannya sebagai sistem hukum yang serasi dengan perasaan
keadilan dan cita hukum, serasi dengan anggapan dan pandangan mengenai keadilan
(sence of justice). Sistem hukum yang digariskan dalam politik hukum adalah sistem
40
hukum yang dibentuk berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi
terlaksananya negara hukum dan prinsip konstitusional sehingga terwujudnya
keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Bertolak dari pemikiran diatas, ketentuan hukum dalam peraturan
perundang-undangan sebagai suatu sistem dan subsistem hukum nasional memiliki
asas yang terintegrasi dan dijiwai Pancasila serta bersumber pada Undang-Undang
Dasar 1945. Dengan demikian akan menjadi sistem hukum yang harmonis dalam arti
selaras, serasi, seimbang dan konsisten serta tidak berbenturan dan tidak terdapat
pertentangan diantara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan
perundang-undangan yang lainnya baik secara vertikal maupun secara horizontal.35
Sistem pemerintahan negara yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945
adalah pemerintahan yang berdasarkan atas sistem konstitusi atau hukum dasar.
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis, memuat dasar dan
garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Prinsip pemerintah atas dasar
sistem konstitusi, meletakkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Dengan
demikian semua norma hukum dalam setiap peraturan perundang-undangan harus
dibuat taat asas dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma dalam konstitusi.
Norma konstitusi inilah yang kemudian melahirkan tertib tata urutan peraturan
perundang-undangan. Dalam negara yang bersistem konstitusional atau hukum dasar
terdapat suatu hierarki perundang-undangan. Undang-Undang Dasar berada dipuncak
piramida, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain berada dibawah konstitusi.36
35 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum, JP Books, Surabaya, 2006, hlm 8036 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP Books, Surabaya, hlm. 31
41
Prinsip negara hukum merupakan prinsip utama yang mengandung arti
bahwa dalam membangun sistem hukum harus dapat mewujudkan cita-cita negara
hukum. Artinya harus mewujudkan supremasi hukum dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta adanya jaminan perlindungan hukum
terhadap hak dan kepentingan masyarakat. Sementara itu pemerintahan atas dasar
sistem konstitusi menghendaki adanya suatu tata hukum yakni setiap norma hukum
harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem artinya norma hukum yang satu tidak
boleh mengesampingkan norma hukum yang lain.37
Dalam Tata Urutan (hierarki) Peraturan Perundang-undangan bagi setiap
negara mempunyai arti yang sangat penting. Di Indonesia Undang-Undang Dasar
1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Indonesia, oleh karena itu apa yang
dilarang oleh Undang-Undang Dasar 1945, larangan itu harus diimplementasikan
dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Artinya materi
muatan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus sesuai atau
tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang terkandung dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Hal tersebut agar terciptanya sinkronisasi pengaturan dalam
sistem tata hukum nasional. Jika bertentangan maka akan melahirkan peraturan
perundang-undangan yang kontradiktif baik secara vertikal maupun secara horizontal.
Menurut teori jenjang, suatu peraturan perundang-undangan dikatakan sah
harus mengeceknya melalui logika stufenbau atau perjenjangan norma. Perjenjangan
norma dimaksud dalam arti norma hukum disusun secara hierarkis dari norma hukum
yang tertinggi sampai norma hukum yang lebih rendah. Berdasarkan perjenjangan
norma ini maka dasar berlaku dan legalitas berlakunya suatu norma terletak pada
37 Ibid, hlm. 33
42
norma hukum diatasnya. Pelaksanaan teori stufenbau dapat dianggap sebagai sistem
hukum, karena terlihat dalam hukum positif bahwa susunan hukum merupakan
tatanan mulai dari hukum atau norma dasar sampai pada peraturan-peraturan yang
paling bawah tidak boleh bertentangan satu sama lainnya.38
Menurut teori stufenbau, hierarki atau pertingkatan norma-norma hukum
mudah dipahami, mudah untuk menerangkan tempat suatu nilai atau implikasi atau
keadaan suatu nilai. Hal ini memudahkan upaya untuk menemukan keseimbangan
hukum yang selaras dan serasi serta kesesuaian diantara norma-norma hukum dalam
peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun secara horizontal dan
digunakan sebagai bantuan untuk menganalisis keterkaitan antara norma hukum yang
satu dengan norma hukum yang lain.
Atas dasar teori tersebut untuk menghindari kontradiktif atau pertentangan
antara perundang-undangan di Indonesia, maka ditetapkan adanya hierarki atau tata
jenjang norma perundang-undangan. Dalam sejarah hierarki perundang-undangan
dimaksud berawal dari Ketetapan MPRS Nomor XX/MPR/1996, Ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000 dalam pasal 4 ayat (1) yang dengan tegas mengatakan bahwa
sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan
hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih
tinggi, hingga Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang lebih khusus lagi tentang hierarki peraturan perundang-
undangan dituangkan dalam pasal 7 ayat (1).
Sementara itu dalam prinsip kesesuaian atau keserasian hukum (sinkronisasi
hukum) yang menghendaki adanya keserasian antara hukum positif. Dikatakan pula
38 Ibid, hlm. 39
43
tidak ada pertentangan antara norma hukum yang satu dengan norma hukum yang
lainnya, baik itu pertentangan secara vertikal artinya tidak ada pertentangan dengan
norma hukum yang lebih tinggi maupun pertentangan secara horizontal artinya tidak
ada pertentangan dengan norma hukum yang sama derajat. Hal ini mengandung
pengertian bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat apabila berlawanan
dengan asas itu, secara hukum batal demi hukum artinya tidak berlaku.
Asas hukum merupakan landasan dalam pembuatan norma hukum atau
rasio legis adanya peraturan hukum. Setiap peraturan perundang-undangan yang
dibuat wajib taat asas. Salah satu asasnya adalah asas sinkronisasi hukum yang
mengajarkan bahwa ketentuan norma hukum yang di bawahnya tidak boleh
bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi derajatnya maupun dengan
norma hukum yang sama derajat.
Atas dasar teori jenjang (stufentheori) serta prinsip kesesuaian (sinkronisasi)
hukum, maka dapat dikatakan bahwa materi muatan pasal 10 ayat (2) tentang
konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui pengadilan negeri dalam Peraturan
Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36
Tahun 2005 mengenai pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk
kepentingan umum tidak memiliki keabsahan berlaku karena bertentangan dengan
norma hukum yang lebih tinggi yaitu bertentangan dengan materi muatan dalam
Undang-Undang Hak Asasi Manusia yakni dalam pasal 36 ayat (1) dan (2) serta
bertentangan dengan materi muatan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan norma hukum tertinggi. Pertentangan yang dimaksud adalah meskipun
dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia pasal 36 ayat (1) dan (2) dan Undang-
44
Undang Dasar 1945 yang tersirat dalam pasal 28H ayat (4) dengan tegas melarang
pengambilalihan hak milik seseorang secara sewenang-wenang, namun kenyataannya
materi muatan tentang konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke Pengadilan negeri
dalam Peraturan Presiden ini justru melegalkan pemberian ganti rugi yang dilakukan
secara sepihak dan sewenang-wenang.
Peraturan Presiden ini juga mengandung cacat baik secara formil yaitu
berkaitan dengan dasar pembentukannya maupun secara materil yaitu berkaitan
dengan muatan materinya. Secara formil Peraturan Presiden ini bertentangan dengan
Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-
undangan. Dalam pasal 11 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa
materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-
Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan
ketentuan tersebut jelaskan bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi materi
yang diperintahkan Undang-Undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh
Peraturan Pemerintah. Artinya Peraturan Presiden sesungguhnya di buat sebagai
sarana administrasi pemerintah namun menunjuk (according) Undang-Undang
dan/atau Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-Undang No
10 Tahun 2004 tersebut berarti materi muatan dalam Peraturan Presiden ini bukan
merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk
melaksanakan Peraturan Pemerintah sehingga secara formil Peraturan Presiden ini
adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden. Dengan demikian dasar hukum
penerapan Peraturan Presiden ini sangat lemah karena bertentangan dengan Undang-
Undang No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
45
Kelemahannya karena Peraturan Presiden ditetapkan dalam rangka melaksanakan
materi yang diperintahan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan
Peraturan Pemerintah sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang dan
Peraturan Pemerintah merupakan komponen induk sedangkan Peraturan Presiden
merupakan komponen pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara
dalam melaksanakan Undang-Undang dan/atau Peraturan Pemerintah.39
Sedangkan secara materiil, Peraturan Presiden ini sangat bertentangan
dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
termuat dalam pasal 36 ayat (1) dan (2) dan juga pasal 28H Bab XA Hak Asasi
Manusia Undang-Undang Dasar 1945. Artinya meskipun Undang-Undang Dasar
1945 yang merupakan norma hukum tertinggi dan Undang-Undang NO.39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan norma hukum yang lebih tinggi
dari Peraturan Presiden melarang pengambilan hak milik secara sewenang-wenang,
namun Peraturan Presiden ini justru melegalkan pengambilan hak milik dalam hal ini
hak milik atas tanah secara sewenang-wenang dengan cara menitipkan atau
konsinyasi gati rugi ke pengadilan negeri.
Perlu ditegaskan bahwa penerapan lembaga penawaran yang diatur dalam
pasal 1404 KUH Perdata keliru bila diterapkan dalam Peraturan Presiden ini. Hal ini
dikarenakan proses pengadaan tanah adalah perbuatan pemerintah atau pemerintah
daerah yang termasuk dalam ranah hukum administrasi, sedangkan lembaga
penawaran pembayaran dalam pasal 1404 KUH Perdata mengatur hubungan hukum
keperdataan di antara para pihak. Selain keliru dalam menerapkan cara tersebut
39 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pebangunan, Sinar Grafika,2007, hlm. 200
46
terkesan memaksakan kehendak sepihak, pasal 10 ayat (2) ini tidak final karena
meskipun ganti rugi telah dititipkan ke pengadilan negeri, tetap terbuka kemungkinan
apabila proses pengadaan tanah tidak dapat dilakukan ternyata masih ada cara lain
yaitu proses pengusulan pencabutan hak atas tanah melalui pasal 18 Peraturan
Presiden ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak Atas Tanah yang merupakan pelaksanaan amanat dari pasal 18 Undang-Undang
Pokok Agraria. Secara hukum pasal 10 Peraturan Presiden ini tidak relevan karena
tanpa menitipkan ganti rugi pada pengadilan negeri, sudah ada jalan keluar yang
diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.40
Dalam hal fungsi sosial atas tanah seperti yang tertuang dalam pasal 6
Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatakan agar setiap pemegang hak atas
tanah senantiasa memperhatikan kepentingan lain dalam pemanfatan hak-hak atas
tanah lainnya yaitu kepentingan umum. Hal ini tidak berarti bahwa kepentingan
terhadap hak individu atas tanah diabaikan. Undang-Undang Pokok Agraria justru
menghendaki adanya keharmonisan dan keseimbangan hubungan antara kepentingan
individu atau orang perorangan dengan kepentingan umum oleh karena Undang-
Undang Pokok Agraria yang merupakan induk hukum pertanahan nasional Indonesia
menghendaki adanya prinsip keseimbangan kepentingan.
Hal tersebut tertuang dalam Penjelasan Umum II angka 4 Undang-Undang
Pokok Agraria yang mengatakan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang ataupun badan hukum, tidaklah dibenarkan bahwa tanahnya itu
dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata hanya untuk kepentingan
40 Maria S.M. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 113
47
pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah haruslah
disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga bermanfaat baik bagi
masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidaklah berarti
bahwa kepentingan perseorangan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum
(masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, sehingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yakni
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat (3)
Undang-Undang Pokok Agraria).
Dengan demikian prisip fungsi sosial juga menekankan adanya
keseimbangan kepentingan yaitu keseimbangan antara kepentingan umum dan
kepentingan masyarakat orang perseorangan bukan mengutamakan salah satu
kepentingan saja. Hal ini menunjukan adanya penghormatan terhadap hak-hak
perseorangan atas tanah yang sesuai dengan prinsip negara Indonesia berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan paham hukum negara
Indonesia yaitu prinsip keseimbangan.
Karena negara hukum berdasarkan Pancasila meletakkan kepentingan
individu dengan kepentingan umum secara seimbang bukan pengutamaan terhadap
salah satu kepentingan saja. Artinya ganti rugi yang akan diberikan kepada
masyarakat sebagai pemilik tanah adalah ganti rugi yang layak yang terkandung
unsur tawar menawar harga ganti rugi yang merupakan hubungan kontraktual bukan
merupakan paksaan yang dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang dengan
cara menitipkan ganti rugi ke pengandilan negeri melainkan ganti rugi yang
didasarkan atas pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah.
48
Akan tetapi pengaturan dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden ini akan
berdampak terhadap pemberian ganti kerugian sebahgai akibat dari pengadaan tanah
untuk kepentingan umum. Apa mungkin pemberian ganti kerugian melalui
pengadilan merupakan ganti rugi itu layak. Bukankah itu merupakan tindakan sepihak
yang dilakukan oleh panitia pengadaan tanah. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kepentingan individu dapat dikesampingkan demi kepentingan umum. Atas
dasar pengutamaan terhadap kepentingan umum tersebut dalam hal pemberian ganti
kerugian dapat pula dilakukan secara sewenang-wenang yang mana mau tidak mau
harus di terima oleh masyarakat yang tanahnya terkena dampak pengadaan tanah
untuk kepentingan umum oleh karena itu prinsip musyawarah untuk mufakat
diabaikan.
BAB IV
PENUTUP
49
Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bab-bab diatas maka sampailah
peneliti pada bab ini dan berusaha untuk merangkum secara keseluruan penulisan skripsi
ini serta berusaha memberikan jalan keluar dengan mencoba memberikan kesimpulan dan
saran sebagai salah satu langka bagi proses penyelesaian masalah yang peneliti angkat
dalam penulisan ini.
A. KESIMPULAN
Bertolak dari rumusan permasalahan dalam pembahasan skripsi ini maka
peneliti menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa pengaturan dalam pasal 10 Peraturan Presiden ini tidak menghormati hak
milik seseorang dalam hal ini hak milik atas tanah karena pemberian ganti rugi
yang diberikan tidak atas dasar musyawarah untuk mufakat melainkan pemberian
ganti rugi yang dilakukan sepihak oleh panitia pengadaan tanah melalui
Pengadilan Negeri.
2. Pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke pengadilan dalan
Peraturan Presiden ini ternyata tidak memiliki keabsahan untuk berlaku oleh
karena materi muatan dalam pasal 10 ayat (2) terdapat pertentangan dengan
hukum yang lebih tinggi tinggkatnya (vertikal) yakni dengan Undang-Undang
Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999, Undang-Undang No.10 Tahun 2004,
serta Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam Undang-Undang Dasar 1945
pasal 28H tersebut secara tegas melarang pengambilan hak milik seseorang secara
sewenang-wenang namun dalam Peraturan Presiden ini yakni dalam pasal 10 ayat
(2) melegitimasi pembayaran ganti rugi yang dilakukan secara sepihak oleh
panitia pengadaan tanah. Pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden bertentangan
50
dengan pasal 36 Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Sedangkan Undang-
Undang No. 10 Tahun 2004 pertentangan yang dimasudkan yaitu pertentangan
secara formil maupun materiil. Secara formil yaitu berdasarkan pasal 11 Undang-
Undang No 10 Tahun 2004 bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi
muatan yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan
peraturan pemerintah. Sementara secara materiil karena materi muatan dalam
Peraturan Presiden tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-Undang No 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Dasar 1945.
B. SARAN
Bahwa pengaturan pasal 10 ayat (2) mengenai Konsinyasi atau penitipan
ganti rugi ke pengadilan negeri dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tersebut mengindikasi adanya
kesewenang-wenangan. Dengan kata lain pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan
Presiden ini lebih merupakan instrument kekuasaan yang dapat digunakan untuk
melakukan pengambilan hak milik atas tanah masyarakat secara sewenang-wenang
dan juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi
tingkatnya.
Dengan demikian dalam rangka untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita
bangsa yang berorientasi dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak milik
atas tanah serta terciptanya keserasian atau keseuaian (sinkronisasi) hukum dalam hal
pengadaan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum maka
disarankan agar: segera melakukan amandemen terhadap pengaturan pasal 10 ayat (2)
51
tengtang konsinyasi atau penitipan gati rugi melalui pengadilan negeri dalam
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden
No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum.
DAFTAR PUSTAKA
52
Goesniadhie Kusnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex
Spesialis Suatu Masalah)
Gunanegara, Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, PT.
Tatanusa, Jakarta, 2008
HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Perss, Jakarta, 2006
Kelsen Hans dan Soemardi, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Normatif Sebagai
Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif), Rimdi Press
Noor Aslan, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran
Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006
Rubaie Achmad, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia
Publishing, Malang, 2007
Santoso Urip, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Grup, Jakarta,
2005
Soehino, Asas-asas Hukum Tata Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998
Soeprapto M. F. I., Ilmu Perundang-Undangan ( Dasar-Dasar Dan Pembentukannya),
Kanisius Yogyakarta, 1998
Soetiksno, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008
Sumardjono Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Buku
Kompas, Jakarta, 2007
Sunggono B, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 1997
Sutedi Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Sinar Grafika,Jakarta, 2007
53
Tesis
Lay Benediktus Peter, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah ( Studi
Pangaturan Mengenai Pencabutan Dan Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum)
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar 1945 ( Sebelum Dan Sesudah Amandemen)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan
Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
54