85
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sesudah tumbangnya rezim orde baru yang disusul dengan hadirnya sebuah pemerintahan baru melalui pemilihan yang demokratis, tuntutan pembaharuan di bidang hukum merupakan hal yang sangat penting. Adanya hierarki peraturan perundang-undangan mengindikasikan bahwa Indonesia menghendaki adanya tertib hukum dalam penyelenggaraan negara. Dengan hierarki itu, pemerintah (dalam arti luas) disatu sisi mempunyai landasan atau pedoman dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, baik tingkat pusat maupun daerah sedangkan disisi lain tumpang tindih dan benturan antara norma hukum dan/atau norma perundang-undangan dapat dihindari. Di era reformasi dan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menegakan supremasi hukum, reformasi dibidang hukum dimulai dengan diadakannya amandemen Undang-Undang Dasar

skripsi sinkronisasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: skripsi sinkronisasi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sesudah tumbangnya rezim orde baru yang disusul dengan hadirnya sebuah

pemerintahan baru melalui pemilihan yang demokratis, tuntutan pembaharuan di

bidang hukum merupakan hal yang sangat penting. Adanya hierarki peraturan

perundang-undangan mengindikasikan bahwa Indonesia menghendaki adanya tertib

hukum dalam penyelenggaraan negara. Dengan hierarki itu, pemerintah (dalam arti

luas) disatu sisi mempunyai landasan atau pedoman dalam pembuatan peraturan

perundang-undangan, baik tingkat pusat maupun daerah sedangkan disisi lain

tumpang tindih dan benturan antara norma hukum dan/atau norma perundang-

undangan dapat dihindari.

Di era reformasi dan dalam rangka penyelenggaraan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menegakan supremasi hukum, reformasi

dibidang hukum dimulai dengan diadakannya amandemen Undang-Undang Dasar

1945 (amandemen kedua pada tanggal 18 agustus 2000) yaitu dengan adanya

penambahan pasal-pasal yang dianggap sangat penting yang salah satunya adalah

penambahan pasal 28H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia.

Dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan

hukum dasar Negara Indonesia yang menjunjung hak-hak asasi, maka perubahan

tersebut menjadi tidak berarti jika tidak diikuti oleh peraturan perundang-undangan

dibawahnya yang sesuai dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar. Karena

Page 2: skripsi sinkronisasi

sebagai konstitusi negara, perubahan sekecil apapun terhadap Undang-Undang Dasar

1945 akan membawa dampak yang sangat besar bagi semua peraturan perundang-

undangan dibawahnya termasuk Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah

Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Artinya apa yang telah

diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 mengenai hak milik termasuk hak

milik perorangan atas tanah yang merupakan hak dasar manusia, maka amanat itu

harus diimplementasikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah agar tercapai apa yang diharapkan yakni terciptanya sinkronisasi atau

keserasian penganturan dalam sistem tata hukum nasional.

Dalam Undang-Undang No 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan menghendaki materi muatan suatu perundang-undangan tidak boleh

bertentangan atau harus adanya keserasian hukum baik itu keserasian secara vertikal

mupun secara horizontal. Artinya pembentukan suatu peraturan perundang-undangan

dibawahnya harus berisi materi muatan yang merupakan perintah dari Undang-

Undang Dasar maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang derajatnya lebih

tinggi.

Pertanyaannya adalah apakah ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 65

Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tahun

2006 yakni pasal 10 ayat (2) yang mengatakan “Apabila setelah diadakan

musyawarah namun tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan

bentuk dan besarnya ganti rugi dan menitipkannya di Pengadilan Negeri yang

wilayah hukumnya mencakup lokasi tanah yang bersangkutan, tidak bertentangan

2

Page 3: skripsi sinkronisasi

dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 pasal 36 dan

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Tata Urutan Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dan apakah memiliki keabsahan untuk diberlakukan serta

apakah tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam pasal

28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Hak Asasi Manusia.

Persoalan hukum yang mendasar dalam ketentuan hukum mengenai

pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah dengan adanya pengaturan

mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri. Artinya

apakah ketentuan ini tidak melegitimasi pembayaran ganti rugi yang dapat diberikan

secara sepihak dan sewenang-wenang?

Dengan demikian, proses konsinyasi atau penitipan ganti rugi seperti yang

tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 yang dilakukan bukan atas

dasar musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang merugikan salah satu pihak

dalam hal ini pemilik hak milik atas tanah apakah merupakan perbuatan yang tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 pasal

36 yang berbunyi ” setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi termasuk hak

milik atas tanah, dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-

wenang oleh siapapun” serta apakah tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat

yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tersirat dalam pasal 28 H

ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia yang berbunyi ”setiap orang berhak mempunyai

hak milik pribadi da hak milik tersebut tidak boleh diambil alaih secara sewenang-

wenang oleh siapapun”.

3

Page 4: skripsi sinkronisasi

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi yang

menjadi landasan bagi pembentukan peraturan perundang-undangan dibawahnya

maka peraturan perundang-undangan itu tidak boleh bertentangan antara peraturan

perundang-undangan yang satu dengan peraturan perundang-undangan yang lain baik

itu pertentangan secara vertikal artinya norma hukum yang derajatnya lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan norma hukum yang derajatnya lebih tinggi maupun

pertentangan secara horizontal artinya tidak boleh bertentangan antara norma hukum

yang sama derajat sehingga keserasian atau sinkronisasi hukum itu dapat terwujud.

Dalam kaitannya dengan pemberian ganti rugi, dapat dilakukan apabila

sudah diadakan terlebih dahulu musyawarah untuk memperoleh kesepakatan dengan

pemilik tanah mengenai nilai atau harga jual dari tanah itu sendiri. Atas dasar uraian

tersebut diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Keabsahan Pengaturan Mengenai Konsinyasi atau Penitipan Ganti Rugi ke

Pengadilan Dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006

Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 Tentang

Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum”.

4

Page 5: skripsi sinkronisasi

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahannya sebagai berikut:

1. Apakah pengaturan pasal 10 ayat (2) tentang penitipan atau konsinyasi ganti

rugi uang ke Pengadilan Negeri dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006

Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang

pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk kepentingan umum tidak

bertentangan dengan Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999

dalam pasal 36 dan apakah sudah sesuai dengan jiwa dan semangat yang

terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (4) Bab XA

Hak Asasi Manusia

2. Apakah materi pengaturan dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006

Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 memiliki

keabsahan untuk berlaku?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

1. Tujuan

a) Untuk mengetahui pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan

ganti rugi ke Pengadilan Negeri dalam Peraturan Presiden No. 65

Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk

kepentingan umum tidak bertentangan dengan Undang-Undang Hak

Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 dalam pasal 36 dan untuk

5

Page 6: skripsi sinkronisasi

mengetahui sudah sesuai dengan jiwa dan semangat yang terkandung

dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 huruf H ayat (4) Bab

XA Hak Asasi Manusia

b) Untuk mengetahui pengaturan dalam Peraturan Presiden No. 65

Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 memiliki keabsahan untuk berlaku?

2. Kegunaan

a) Merekomendasikan kepada pembuat Undang-Undang untuk

memperbaiki dan menyempurnakan Peraturan Presiden ini terutama

pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke pengadilan

dalam pasal 10 ayat (2)

b) Bagi Perguruan Tinggi adalah hasil penelitian ini dapat menambah

perbendaharaan perpustakaan dan bermanfaat bagi mahasiswa lain.

D. METODE PENELITIAN

1. Tipe penelitian

Metode pendekatan yang digunakan yaitu yuridis normatif dengan menelaah

dan mempelajari data sekunder yaitu bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yaitu :

1) Pendekatan perundang-undangan, yaitu perundang-undangan yang

berkaitan dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum

6

Page 7: skripsi sinkronisasi

2) Pendekatan sinkronisasi, yaitu menemukan sinkronisasi mengenai

peraturan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum.

3) Pendekatan konsep, yaitu konsep-konsep yang berkaitan dengan

penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri

3. Aspek penelitian

1) Konsinyasi atau

penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri dalam kaitanya dengan Undang-

Undang Hak Asasi Manusia No.39 tahun 1999 pasal 36 dan Undang-

Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia.

2) Keabsahaan

pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

4. Metode pengumpulan

data.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan bahan hukum:

1) Bahan hukum

primer yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat yakni:

a) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945

7

Page 8: skripsi sinkronisasi

b) Peraturan dasar, yakni Batang Tubuh Undang-Undang Dasar

1945

c) Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 pasal

36

d) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan

Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.

2) Bahan hukum

sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai dari

bahan hukum primer seperti pendapat para pakar hukum

3) Bahan hukum

tersier yaitu: bahan hukum yang digunakan sebagai petunjuk atau penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus (hukum),

ensiklopedia.

5. Teknik pengolahan data

Baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier

di olah berdasarkan topik permasalahan yang dirumuskan dengan menyesuaikan

masalah yang dibahas, disistematis dan kemudian dianalisis.

6. Analisis data

Bahan hukum yang telah terkumpul dalam bentuk uraian-uraian

kemudian dianalisis dengan menggunakan penalaran logis dan interprestasi

terhadap hubungan vertikal maupun horizontal.yaitu;

8

Page 9: skripsi sinkronisasi

1) Identifikasi permasalahan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti

rugi ke Pengadilan Negeri yang diatur dalam pasal 10 ayat (2)

2) Identifikasi mengenai keabsahan pengaturan mengenai konsinyasi ke

pengadilan dalam pengadaan tanah untuk pelaksanaan pembangunan bagi

kepentingan umum.

9

Page 10: skripsi sinkronisasi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KERANGKA TEORI

Untuk lebih memahami pokok permasalahan yang diteliti maka penulis

menggunakan Teori Jenjang dari Hans Kelsen atau Stufentheori dari Hans Kelsen,

Asas Sinkronisasi Hukum dan Asas Hukum sebagai alat analisis permasalahan

yang diangkat.

1. Teori Jenjang (Stufentheori)

Undang-undang Dasar merupakan norma hukum yang tertinggi yang

menjadi pedoman atau dasar pembentukan norma hukum dan peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah sehingga peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

tersebut.1

Dalam teori Jenjang (Stufentheori) menurut Hans Kelsen dalam Maria

F.I.Soeprapto, dikatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih

rendah berlaku, bersumber dan bedasar pada norma yang lebih tinggi.2 Dengan

demikian Undang-Undang Dasar merupakan norma hukum tertinggi dalam negara

yang mempunyai Undang-Undang Dasar dan merupakan sumber atau dasar bagi

1 Maria F.I.Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Kanisius.1998, hlm. 30 2Ibid,hlm. 25

10

Page 11: skripsi sinkronisasi

pembentukkan norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

negara tersebut. Bertalian dengan itu, Soehino mengatakan “ Sistem

ketatanegaraan suatu negara dapat diketahui dari Undang-Undang Dasarnya

sepanjang negara tersebut memiliki Undang-Undang Dasar yang merupakan dasar

serta sumber dari segala peraturan yang dapat dilakukan menurut Undang-Undang

Dasar tersebut, sehingga semua peraturan perundang-undangan di yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Selanjutnya

sesuai dengan prinsip negara hukum, maka setiap Peraturan Perundang-undangan

harus berdasar dan bersumber pada Peraturan Perundang-undangan yang

tingkatnya lebih tinggi.3

Indonesia merupakan negara yang memiliki Undang-Undang Dasar yaitu

Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum amandemen maupun setelah

amandemen tetap memiliki kedudukan hukum yang tertinggi, sehingga dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan jiwa dan semangat yang terkandung didalam Undang-

Undang Dasar 1945 tersebut. Sehingga Indonesia juga menganut pertingkatan

norma hukum yang berjenjang (Stufentheori) dari Hans Kelsen yang

ditunjukkan melalui berbagai ketentuan yang memiliki hierarki dari masing-

masing peraturan perundang-undangan itu sendiri. Ketentuan-ketentuan tersebut

antara lain:

1) Dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1996 tentang Memorandum DPRGR

mengenai Sumber Tertib hukum Indonesia dan Tata Urutan Peraturan

3 Soehino, Hukum Tata Negara, Teknik Perundang-Undangan, Liberty Jakarta, 1996, hlm. 1

11

Page 12: skripsi sinkronisasi

Perundangan Republik Indonesia, bentuk-bentuk peraturan perundangan

menurut urutannya:

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Ketetapan MPR

c) Undang-Undang/PERPU

d) Peraturan Pemerintah

e) Keputusan Presiden

f) Peraturan Pelaksana lainnya seperti

Peraturan Menteri

Instruksi Menteri

Dan lain-lain

2) TAP MPR No. III/MPR/2000 yang dumuat dalam pasal 2 yakni:

a) Undang-Undang Dasar 1945

b) Ketetapan MPR

c) Undang-Undang

d) PERPU

e) Peraturan Pemerintah

f) Keputusan Presiden

g) Peraturan Daerah

3) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukkan Peraturan

Perundang-undangan, mengenai tata urutan peraturan perudang-undangan

terdapat dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) yaitu:

a) Undang-Undang Dasar 1945

12

Page 13: skripsi sinkronisasi

b) Undang-Undang/PERPU

c) Peraturan Pemerintah

d) Keputusan Presiden

e) Peraturan Daerah

Hans Kelsen dalam Soetiksno mengatakan ” Peraturan positif disusun

secara piramidal (bertingkat-tingkat) dari atas yaitu dari Grundnorm secara

bertingkat kebawah ke suatu yang melaksanakan norma-norma hukum tersebut

secara konkrit. Grundorm merupakan dasar dari segala kekuasaan dan

merupakan legalitas hukum positif, oleh karena Grundnorm merupakan norma

yang masih abstrak, maka dibentuk suatu susunan norma yang lebih konkrit.4

Dalam rumusan lain Hans Kelsen dalam Benediktus P. Lay dengan

menggunakan konsep Stufenbau (lapisan menurut eselon) mengkonstruksikan

pemikiran tentang tertib yuridis. Dalam konstruksi itu ditentukan jenjang-jenjang

perundang-undangan yang dimulai dari abstrak (grundnorm) sampai ke norma

yang konkrit seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan lain sebagainya.

Jadi menurut Hans Kelsen, cara mengenal suatu aturan yang legal atau tidak legal

adalah dengan mengeceknya melalui logika stufenbau itu, dan grundnorm

menjadi dasar penguji utama.5

2. Asas Sinkronisasi Hukum

Agar terciptanya sinkronisasi hukum, maka peraturan perundang-

undangan yang dibuat hendaknya tidak boleh bertentangan antara yang satu

4 Soetiksno, Filsafat Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 1976, hlm.63-645 Benediktus P. Lay, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah, hlm. 55

13

Page 14: skripsi sinkronisasi

dengan yang lainnya baik itu pertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi

(vertikal) maupun pertentangan dengan norma hukum yang sederajat (horizontal).

Menurut B. Sunggono sinkronisasi hukum adalah keserasian hukum

positif yang satu dengan yang lainnya. Tidak ada pertentangan antara norma

hukum yang satu dengan yang lainnya baik secara vertikal maksudnya tidak

bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi, maupun secara horizontal

maksudnya tidak bertentangan dengan norma hukum yang sama derajat. Artinya

apabila undang-undang yang dibuat berlawanan dengan Undang-Undang Dasar,

dengan sendirinya batal demi hukum dalam hal ini tidak perlu membentuk

peraturan baru yang membatalkan peraturan yang bertentangan tersebut.6

3. Asas Hukum

Didalam asas-asas hukum terdapat beberapa prinsip dasar yang

dimaksudkan untuk melindungi hak- hak setiap orang untuk tidak dilanggar atau

dirugikan ketika berhadapan dengan keperluan Negara atas tanah untuk

kepentingan umum antara lain adalah:

1) Asas musyawarah

Musyawarah dilakukan untuk mencapai kata sepakat artinya dalam

melakukan musyawarah kedua belah pihak harus memperolah kesepakatan.

Oleh karena itu, unsur yang sangat esensial dalam musyawarah adalah

kesatuan pendapat yang mengadopsi pendirian semua kehendak masyarakat

didalamnya baik dari pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang

memiliki tanah. Musyawarah yang dilakukan untuk memperoleh

kesepakatan mengenai harga ganti rugi serta mekanisme pembayarannya.

6 B. Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada Jakarta, 1997, hlm. 97

14

Page 15: skripsi sinkronisasi

Dalam musyawarah, baik itu pemilik tanah maupun pihak yang

membutuhkan tanah harus berada pada posisi tawar yang sama sehingga ada

keseimbangan. Artinya masing-masing pihak harus saling menghormati dan

tidak ada yang merasa lebih tinggi dari pihak lain.7

Dengan demikian dalam penetapan ganti kerugian harus didasarkan

atas musyawarah dengan memperoleh kesepakatan, bukan dilakukan atas

kehendak salah satu pihak saja. Karena musyawarah merupakan kegiatan

saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta

keinginan untuk mencapai kesepakatan.8 Artinya apabila ada kesepakatan

dalam musyawarah itu, maka akan adanya keseimbangan diantara kedua

belah pihak.

2) Asas kesepakatan

Artinya menurut asas ini, seluruh kegiatan pengadaan tanah,

terutama dalam hal pemberian harga ganti rugi maupun bentuk ganti rugi

yang akan diberikan harus berdasarkan pada asas kesepakatan antara pihak

yang memiliki tanah dengan pihak yang membutuhkan tanah tersebut.

Kesepakatan itu harus atas dasar persesuaian kehendak kedua belah pihak

tanpa adanya diskriminasi artinya tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan

dan penipuan serta harus adanya itikad baik.9 Kesepakatan yang dimaksud

harus mencerminkan adanya persetujuan antara pihak yang membutuhkan

tanah dengan pihak yang memiliki hak atas tanah. Apabila kesepakatan yang

7 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah…Op.cit.,hal 348 PERPRES No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 pasal 1 angka 10.9 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip…hlm.295

15

Page 16: skripsi sinkronisasi

dicapai terdapat unsur kekhilafan, paksaan dan adanya penipuan maka

kesepakatan itu dapat dibatalkan.10

3) Asas keadilan

Menurut Aristoteles dalam Benediktus P. Lay mengatakan bahwa

keadilan mengandung pengertian tentang kesamaan yakni kesamaan

numerik (semua orang sama derajat didepan hukum) dan kesamaan

proporsional (memberi tiap orang apa yang menjadi haknya).11

Sedangkan menurut H. Achmad Rubaie, keadilan merupakan salah

satu cita-cita hukum yang berangkat dari nilai-nilai moral manusia. Dalam

hal pengadaan tanah, asas keadilan ini diletakkan sebagai dasar untuk

menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus diberikan kepada

pemilki tanah dan orang-orang terkait dengan tanah yang terkena dampak

pengadaan tanah untuk kepentingan umum.12

Menurut Rudolf Stammler bahwa keadilan itu terjalin dengan

kehidupan ekonomis masyarakat yang diwujudkan melalui hukum, maka

hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak diperlukan didalam

kehidupan bermasyarakat. Sedangkan menurut Gustav Radbruch bahwa

tugas utama hukum ialah mewujudkan keadilan.13

Dengan demikian asas penerapan asas ini harus diperhatikan agar

masyarakat (pemilik hak atas tanah) yang terkena dampak harus

10 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan…hlm.3011 Benediktus P. Lay, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah, hal 4812 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah...Op.cit.,hal. 3113 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP Books, Surabaya, hlm. 35

16

Page 17: skripsi sinkronisasi

memperoleh ganti kerugian yang layak dan dapat memberikan kondisi sosial

ekonomi minimal setara dengan keadaan sebelumnya.

4) Asas kemanfaatan

Asas kemanfaatan diletakkan atas prinsip bahwa pengadaan tanah

masyarakat untuk kepentingan umum harus dapat memberi manfaat bagi

pihak yang membutuhkan tanah maupun masyarakat yang memiliki tanah.14

Artinya dengan adanya kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum masyarakat sebagai pemilik tanah

dapat memperoleh ganti rugi yang layak agar kehidupan sosial ekonominya

menjadi lebih baik dari sebelum tanahnya terkena dampak pengadaan tanah

untuk kepentingan umum.

5) Asas kesetaraan

Asas kesetaraan dimaksudkan untuk menempatkan posisi baik pihak

yang memerlukan tanah maupun pihak yang memiliki hak atas tanah harus

diletakkan sejajar dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Artinya baik itu pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang

memilki hak atas tanah memiliki kesetaraan posisi atau tidak ada yang

merasa posisinya lebih tinggi agar proses pengadaan tanah untuk

kepentingan umum diharapkan dapat berjalan dengan baik karena baik itu

pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang memiliki tanah dapat

mengajukan keinginan mereka dan menyampaikan tawaran yang sesuai

kesetaraan posisi mereka.15

14 H. Achmad Rubaie, Hukum pengadaan Tanah….Op.Cit. hlm.3215 Ibid., hlm.35

17

Page 18: skripsi sinkronisasi

B. KERANGKA KONSEPSIONAL

1. Pengertian.

1) Keabsahan.

Keabsahan berasal dari kata dasar “sah” yang artinya sesuai menurut undang-

undang. 16

2) Peraturan Presiden.

Menurut Undang-Undang N0. 10 tahun 2004 pasal 1 butir 6 yang dimaksudkan

dengan Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat

oleh Presiden.

3) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum adalah setiap kegiatan untuk

mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang

melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain

yang berkaitan dengan tanah untuk pembangunan kepentingan sebagian besar

lapisan masyarakat17.

4) Ganti rugi.

Menurut Peraturan Presiden No.36 tahun 2005 yang dimuat dalam pasal 1 butir

11, Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik

dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai

tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan

tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang labih baik dari tingkat

kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.18

16 Drs. Soesilo Prajogo, SH, Kamus Hukum, WIMPREES, HAL. 43317 Perpres No.36/2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres No.65/200618 Ibid.,hlm.429

18

Page 19: skripsi sinkronisasi

2. Konsep-konsep yang digunakan

1) Konsep Negara Hukum (rechtsstaat)

Secara embrionik, gagasan Negara hukum telah dikemukakan oleh

Plato, ketika ia mengintrodusir konsep Nomoi. Dalam Nomoi, Plato

mengatakan, bahwa penyelenggara Negara yang baik ialah yang didasarkan

pada pengaturan (hukum) yang baik. Gagasan Plato tentang Negara hukum

semakin tegas ketika didukung oleh muridnya Aristoteles dalam buku Politica.

Menurut Aristoteles bahwa suatu Negara yang baik adalah Negara yang

diperintahkan dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga unsur

pemerintah yang berkonstitusi yaitu Pertama, pemerintah dilaksanakan untuk

kepentingan umum; Kedua, pemerintah dilaksanakan menurut hukum yang

berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara

sewenang-wenang yang mengeyampingkan konvensi dan konstitusi; Ketiga,

pemerintah berkonstitusi berarti pemerintahan dilaksanakan atas kehendak

rakyat, bukan berupa paksaan atau tekanan yang dilaksanakan pemerintahan

despotik.19

Gagasan Negara hukum menjadi embrio kosep Negara hukum walaupun

masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu yang sangat panjang,

yang kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19 yaitu

dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Friederich Julius Stahl. Menurut

Stahl, unsur-unsur Negara hukum (rechtsstaat) adalah sebagai berikut:

a) Perlindungan hak-hak asasi manusia,b) Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak ituc) Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

19 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, hlm. 2

19

Page 20: skripsi sinkronisasi

d) peradilan administrasi dalam perselisihan20

Konsep ini bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil

law atau modern roman law yang berkarakter administratif yang disebabkan

oleh pengaruh kekuasaan pada zaman Romawi, dimana kekuasaan raja yang

besar dalam membuat dekrit didelegasikan kepada pejabat administrasi Negara

sehingga kekuasaan administrasi menjadi besar. Oleh karena itu mulai

dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi kekuasaan administrasi Negara

dinegara-negara kontinen.

2) Konsep The rule of law (supremasi hukum)

Konsep ini mulai popular sejak terbitnya buku dari Albert Venn Dicey

tahun 1885 dengan judul “introduction to the study of law of the constitution”.

Dalam buku ini ia mengemukakan bahwa unsur-unsur Rule of Law mencakup:

a) Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law); tidak ada kekuasaan sewenang-wenang

b) Kedudukan yang sama didepan hukum (equality before the law)c) Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (human

right).21

Menurut konsep the rule of law yang bertumpu atas sitem hukum yang

disebut common law yang karakteristiknya adalah judicial yang dipengaruhi oleh

kekuasaan raja di Inggris dalam kekuasaannya memutuskan perkara didelegasikan

kepada hakim ( tetapi bukan pelaksana kehendak raja) untuk memutuskan perkara

sehingga peranan hakim bertambah besar.22 Oleh karena itu di Inggris mulai

dipirkan langkah-langkah untuk menciptakan peradilan yang adil.

20 Ibid. hlm, 321 Ibd. Hlm. 1722 Ibid. hlm. 18

20

Page 21: skripsi sinkronisasi

3) Konsep Negara hukum Indonesia

Menurut Sri Soemantri dalam Benediktus P. Lay mengemukakan

bahwa konsep Negara hukum Indonesia adalah:

a) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugasnya dan kewajibannya harus berdasarkan atas hukum atau peraturan perundang-undangan.

b) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara)c) Adanya pembagian kekuasaan Negara;d) Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechtelijke

control)23

Dengan demikian, meskipun ada konsep Negara hukun rechtsstaat dan

konsep the rule of law, tetapi Indonesia memilki konsep Negara hukum sendiri

yaitu Negara Hukum Pancasila.

Dinamakan Negara hukum Pancasila karena di Indonesia Pancasila

merupakan jiwa dan pandangan hidup bangsa yang merupakan sumber dasar

tertib hukum yang ada. Oleh karena Pancasila merupakan sumber dasar tertib

hukum, maka nilai-nilai yang dimilki bangsa Indonesia dan mengakar dalam

masyarakat serta menentukan pola pikir dan tingkah laku yang hendak

diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara agar cita-

cita, harapan identitas serta kepribadian Indonesia menjadi kenyataan. Dengan

demikian setiap tindakan harus mengandung cita-cita hukum dan mengandung

asas-asas yang menjadi dasar tata kehidupan masyarakat dan Negara dalam suatu

tata aturan atau norma yang sejiwa dengan asas yang menjadi sumber norma.

Karena itu, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa akan mempunyai arti nyata

bagi masyarakat Indonesia dalam hubungannya dengan kehidupan kenegaraan,

23 Benediktus P. Lay, Perlindungan Hukum Terhadap Hak MIlik Atas Tanah, hlm. 19

21

Page 22: skripsi sinkronisasi

termasuk kehidupan bernegara hukum dibawah tertib hukum (rechts orde) yang

sesuai dengan cita-cita bangsa khususnya cita-cita hukum (rechts ide).24

BAB III

ANALISIS DATA

24 Ibid. hlm. 21

22

Page 23: skripsi sinkronisasi

Sebagaimana telah dikatakan bahwa yang menjadi tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui apakah pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden tentang

pengadaan tanah untuk kepentingan umum tidak bertentangan dengan Undang-Undang

Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 yang termuat dalam pasal 36 dan sudah sesuai

dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan

untuk mengetahui apakah pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden ini memiliki

keabsahan untuk diberlakukan. Dimana tujuan yang dimaksud tersebut adalah untuk

menjawab permasalahan yang dikemukakan oleh peneliti yaitu: Apakah pengaturan pasal

10 ayat (2) Peraturan Presiden tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan untuk

kepentingan umum sudah sesuai dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia dan Apakah

materi pengaturan dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden ini memiliki keabsahan

untuk berlaku? Oleh karena itu dalam pembahasan ini peneliti tentunya akan bermuara

pada kedua hal tersebut diatas yang menjadi fokus dalam pembahasan ini.

A. Pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke Pengadilan Negeri

dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang

perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 dikaitkan dengan

ketentuan dalam UU HAM No. 39 pasal 36 dan ketentuan dalam UUD 1945 Bab

XA Hak Asasi Manusia yakni pasal 28h ayat (4)).

Tanah merupakan benda yang berharga dalam kaitannya dengan kehidupan

manusia. Fluktuasi harga tanah sangat cepat berubah dan perubahan ini cenderung

meningkat dan tidak pernah turun. Melihat hal seperti ini orang akan mati-matian

23

Page 24: skripsi sinkronisasi

mempertahankan tanahnya apabila kepemilikannya diganggu oleh orang lain.

Sebagian besar masyarakat menyadari tanah memiliki fungsi sosial artinya tanah

tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan umum asalkan tidak boleh meniadakan

prinsip kepemilikan individu dan memperoleh ganti kerugian yang layak.

Ganti rugi merupakan persoalan yang sangat pelik untuk dipecahkan oleh

karena tidak adanya persesuaian harga antara pemilik tanah dengan pihak yang

membutuhkan tanah. Dari sudut formal kepentingan Pemerintah ganti rugi lebih

banyak diartikan ganti rugi material dengan mengambil patokan berdasarkan harga

pasar atau harga yang ditetapkan tersendiri oleh Pemerintah, seperti Nilai Jual Objek

Pajak (NJOP). Padahal sesungguhnya, ganti kerugian yang harus diberikan tidak

sesederhana itu. Komfortabilitas dengan lingkungan, kedekatan dengan sarana dan

prasarana ekonomi atau lokasi pekerjaan, tingkat polusi, keamanan dan faktor stress

karena penyesuaian ke lokasi yang baru, adalah persoalan-persoalan besar, yang tidak

dapat semata-mata diukur dalam nilai penggantian atas tanah yang terkena dampak

pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Kelayakan atau

keadilan pemberian ganti kerugian dapat diwujudkan apabila telah melaui proses

adanya kesepakatan dalam musyawarah yang terjadi di antara para pihak yang dapat

dipertanggungjawabkan secara yuridis tentang nilai dan mekanisme ganti kerugian.

Akan lebih realistis dan rasional jika musyawarah mengenai harga ganti

kerugian berpedoman pada nilai nyata atau nilai pasar karena itu adalah harga yang

sebenarnya untuk dipakai. Akan berbeda hasilnya jika musyawarah mengenai harga

ganti kerugian harus memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak, maka yang dapat

dikatakan adalah musyawarah itu menjadi tidak demokratis. Karena bagaimanapun

24

Page 25: skripsi sinkronisasi

Nilai Jual Objek Pajak merupakan suatu instrument untuk menghitung besarnya pajak

yang harus dibayar oleh penikmat atau penguasa atau pemilik tanah dan juga tidak

mencerminkan nilai tanah secara riil. Suatu kesalahan yang nyata apabila proses

musyawarah sejak awal harus didasarkan pada Nilai Jual Objek Pajak yang

diciptakan untuk penetapan ganti kerugian. Suatu kesalahan pula apabila Nilai Jual

Objek Pajak dipaksakan oleh Negara sebagai nilai ganti kerugian yang harus diterima

oleh pemilik tanah. Hal ini dikarenakan besarnya Nilai Jual Objek Pajak juga

ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah tanpa harus mendapat persetujuan terlebih

dahulu dari penikmat atau penguasa atau pemilik tanah. Ini menunjukkan suatu hal

yang tidak proporsional apabila instrument pajak harus dipergunakan untuk menjadi

instrument penetapan ganti kerugian dalam pengadaan tanah.

Pada lain pihak panitia pengadaan yang nota bene seluruh keanggotaannya

dari unsur pemerintah yang tidak bebas independesinya. Panitian pengadaan tanah

pastinya lebih berpihak dan selalu mengutamakan kepentingan Negara daripada

kepentingan pemilik tanah atau rakyat dalam proses penetapan nilai ganti kerugian.

Walaupun dalam Peraturan Presiden ini penetapan ganti kerugian sudah mendasar

pada hasil taksiran lemabaga penilai tanah atau tim penilai tanah yang independen

akan tetapi masih ada instrument yang mengatur kembali bahwa lembaga penilai

tanah non pemerintah tersebut dalam profesionallitasnya ternyata masih dibatasi

dengan Nilai Jual Objek Pajak.

Ketentuan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan

umum saat ini pengaturannya berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 36 tahun 2005

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2006.

25

Page 26: skripsi sinkronisasi

Ketentuan ini menggantikan Keputusan Presiden Nomor 55 tahun 1993 tentang

Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang sebelumnya adalah Peraturan

Menteri Dalam Negeri Nomor 15 tahun 1975 tentang Pembebasan Tanah Untuk

Kepentingan Umum sebagaimana telah dikatakan bahwa persoalan hukum yang

menjadi dasar dalam ketentuan hukum adalah mengenai pengaturan tentang

konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri dalam pasal 10 ayat

(2) Peraturan Presiden yang merupakan suatu tindakan sewenang-wenang yang

dilakukan oleh panitia pengadaan tanah padahal dalam Undang-Undang Hak Asasi

Manusia No.39 tahun1999 yang termuat dalam pasal 36 dan Undang-Undang Dasar

1945 BAB XA pasal 28H yang dengan tegas melarang pengambilan hak milik

seseorang secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Disaat Negara sedang gencar memperjuangkan Hak Asasi Manusia maka

dalam prodak hukumnya pun harus juga memperhatikan Hak Asasi Manusia

termasuk juga dalam pengaturan tentang permasalahan pertanahan. Sebagaimana

yang tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No.36 tahun 2005

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 yakni

tentang konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke Pengadilan yang nyata-nyatanya

merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh Negara

terhadap masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah.

Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999 sebagaimana

tertuang dalam pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan :

Ayat (1): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan

26

Page 27: skripsi sinkronisasi

dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak

melanggar hukum”

Ayat (2): “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang

dan melawan hukum”.

Pasal ini dengan jelas mengatur hak dari warga Negara atas kepemilkannya terhadap

suatu benda untuk tidak boleh dirampas oleh siapapun dengan cara sewenang-wenang

dan melawan hukum.

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan hukum dasar tertulis negara

Indonesia atau norma hukum tertinggi yang menjadi pedoman atau landasan bagi

terbentuknya peraturan perundang-undangan dibawahnya. Oleh karena itu seharusnya

apa yang dilarang dalam Undang-Undang Dasar 1945, harus diimplementasikan

dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Dalam hal ini

materi muatan pengaturan dari perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh

bertentangan atau harus sesuai dengan materi muatan yang terdapat dalam Undang-

Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi. Sehingga terciptanya

sinkronisasi pengaturan dalam tata hukum nasional.

Dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 terutama dalam pasal 10 ayat (2) mengatakan

”apabila setelah diadakan musyawarah, tetapi musyawarah itu tidak tercapai, panitia

pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi dan menitipkan uang

kepada Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang

bersangkutan”. Artinya ketentuan ini dengan jelas melegitimasi adanya pembayaran

ganti rugi yang dapat diberikan secara sepihak dan sewenang-wenang. Karena

27

Page 28: skripsi sinkronisasi

dilakukan hanya atas kehendak panitia pengadaan tanah dengan pihak yang

membutuhkan tanah saja tanpa adanya kata sepakat dengan masyarakat sebagai

pemilik tanah yang terkena dampak pengadaan tanah tersebut.

Ketentuan pasal 10 ayat (2) dalam Peraturan Presiden ini juga sangat

bertentangan atau tidak sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam batang tubuh

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi yakni dalam

pasal 28H ayat (4) Bab XA Hak Asasi Manusia yang dengan tegas menyatakan

”bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut

tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Hal ini

menegaskan bahwa hak milik termasuk hak milik atas tanah tidak boleh diambil alih

oleh siapapun termasuk Negara sekalipun secara sewenang-wenang.

Namun dengan adanya ketentuan mengenai konsinyasi yang dilakukan

secara sepihak dalam Peraturan Presiden ini yang secara nyata tidak mencerminkan

adanya penghormatan terhadap hak milik seseorang termasuk hak milik atas tanah

yang dengan mana telah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang

No. 39 tahun 1999 pasal 36 dan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945

yang merupakan norma hukum tertinggi yang melarang siapapun mengambil hak

milik seseorang secara sewenang-wenang seperti yang tersirat dalam pasal 28H ayat

(4) Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Hak Asasi Manusia.

Dalam Peraturan Badan Pertanahan RI No. 3 tahun 2007 yang merupakan

ketentuan pekasana Peraturan Presiden 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 pasal 35 ayat (2) juga menunjukan

adanya sikap diskriminasi yang dilakukan oleh penguasa dimana pasal tersebut

28

Page 29: skripsi sinkronisasi

mengatakan apabila dalam musyawarah yang dilakukan tidak terdapat kesepakatan

dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan maka panitia pengadaan tanah

dapat melanjutkan kegiatan pengadaan tanah. Hal ini jelas-jelas asas musyawarah

yang merupakan suatu kegiatan untuk mencapai kesepakatan antara pihak yang

membutuhkan tanah dengan pemilik tanah tidak berfungsi.

Permasalahan yang sering terjadi adalah musyawarah terjadi karena

kepentingan umum selalu lebih diutamakan atau diprioritaskan dengan menggunakan

instrumen kekuasaan yang dipegang dan dijalankan negara. Kekuasaan negara

diimplementasikan lebih banyak untuk menekan dan melemahkan kepentingan privat

untuk dan atas nama kepentingan umum. Kepentingan-kepentingan privat yang ada

pada rakyat selalu dimarginalkan oleh negara sehingga tidak pernah dihormati,

dihargai apalagi diposisikan sebagai hak yang paling asasi. Stetmen yang

berkembang, bahwa pada saat negara akan memerlukan tanah dengan menjalankan

mekanisme pengadaan tanah sudah terbayangkan oleh masyarakat akan terjadi

penindasan hak-haknya.

Pengutamaan terhadap kepentingan umum sebenarnya juga telah melanggar

prinsip Negara Hukum Indonesia berdasarkan Pancasila yang sangat menghendaki

adanya keserasian atau keselarasan, keseimbangan antara kepentingan individu dan

kepentingan umum. Karena dalam negara hukum berdasarkan Pancasila, kepentingan

individu dan kepentingan umum selalu ditempatkan dalam kedudukan yang serasi dan

seimbang artinya tidak ada suatu kepentingan yang harus diutamakan.

Pengaturan tentang kepentingan umum oleh negara menjadi strategis untuk

menghindari tindakan sewenang-wenang dari negara terhadap hak-hak rakyat

29

Page 30: skripsi sinkronisasi

sekaligus untuk kepastian hukum, jaminan hukum dan perlindungan hukum hak-hak

rakyat. Seharusnya kepentingan umum harus tetap mengormati kepentingan orang

perseorangan, karena hak-hak privat telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945

khususnya dalam BAB XA bagian Hak Asasi Manusi pasal 28H.

Perwujudan prinsip keseimbangan dimaksudkan apabila hak milik atas

tanah digunakan untuk kepentingan umum, hak milik itu harus ada pemberian ganti

rugi yang layak atas tanahnya yang terkena dampak pengadaan tanah untuk

kepentingan umum, bukan pemberian ganti rugi yang diberikan secara sepihak.

Karena ganti rugi yang layak adalah ganti rugi yang terkandung unsur tawar-menawar

harga ganti rugi yang merupakan hubungan kontraktual, bukan dilakukan atas

kehendak sepihak saja tetapi pemberian ganti rugi menurut prinsip pengakuan dan

penghormatan terhadap hak-hak atas tanah sebagai salah satu hak asasi atau hak dasar

manusia.

Namun kenyataannya tidaklah demikian, karena materi muatan pengaturan

dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan

Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tidaklah mencerminkan adanya

penghormatan terhadap hak milik atas tanah, akan tetapi lebih melegitimasi

pemberian ganti rugi yang dilakukan secara sepihak melalui konsinyasi atau penitipan

ganti rugi ke Pengadilan Negeri. Hal ini ditunjukkan lewat adanya pemberian ganti

rugi yang tidak berdasarkan pada asas musyawarah untuk mufakat.

Selain bertentangan dengan negara hukum berdasarkan Pancasila, Peraturan

Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 juga melalui ketentuan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi

30

Page 31: skripsi sinkronisasi

tersebut telah mengabaikan berbagai prinsip dasar yang merupakan asas-asas hukum

dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang telah dikemukakan pada Bab I

diatas. Asas-asas yang dimaksudkan adalah: asas musyawarah, asas kesepakatan, asas

keadilan, asas kesetaraan, asas kemanfaatan dan asas-asas lainnya.

Berdasarkan asas musyawarah, setiap pelaksanaan pemberian ganti rugi

sebagai akibat dari pengadan tanah harus dilakukan dengan jalan musyawarah untuk

mencapai kata sepakat artinya dalam melakukan musyawarah kedua belah pihak

harus memperolah kesepakatan. Oleh karena itu, unsur yang sangat esensial dalam

musyawarah adalah kesatuan pendapat yang mengadopsi pendirian semua kehendak

masyarakat didalamnya baik dari pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang

memiliki tanah.25

Musyawarah dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai harga ganti

rugi dan mekanisme pembayarannya. Kesepakatan yang terjadi juga harus tidak

terdapat unsur penipuan, kekhilafan dan paksaan sehingga ganti rugi yang diberikan

itu benar-benar memenuhi rasa keadilan karena diberikan atas hasil kesepakatan yang

dicapai dalam musyawarah. Oleh karena itu dalam pelaksanaan musyawarah, baik itu

pihak pemilik tanah maupun pihak yang membutuhkan tanah harus berada pada

posisi tawar yang sama sehingga ada keseimbangan. Artinya masing-masing pihak

harus saling menghormati dan tidak ada yang merasa lebih tinggi dari pihak lain.26

Sehingga baik itu pemilik tanah maupun pihak yang membutuhkan tanah tidak

merasa ada yang dirugikan.

25 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, 2007. hlm.3326 Ibid.

31

Page 32: skripsi sinkronisasi

Dengan demikian dalam penetapan ganti kerugian harus didasarkan atas

musyawarah dengan memperoleh kesepakatan, bukan dilakukan atas kehendak salah

satu pihak saja. Karena musyawarah merupakan kegiatan saling mendengar, saling

memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai

kesepakatan.27

Akan tetapi dalam praktiknya, prinsip musyawarah dan ganti rugi yang

layak selalu berubah menjadi intimidasi yang dilakukan dengan adanya campur

tangan militer yang bertujuan untuk menakut-nakuti dan mengalahkan atau meredam

perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat. Artinya ketentuan ini melegitimasi

pembayaran ganti rugi yang dapat diberikan secara sepihak dan sewenang-wenang.

Demikian pula menurut asas kesepakatan, bahwa seluruh kegiatan

pengadaan tanah, terutama dalam hal pemberian ganti rugi, baik itu harga ganti rugi

maupun bentuk ganti rugi yang akan diberikan harus berdasarkan pada asas

kesepakatan antara pihak yang memiliki hak atas tanah dengan pihak yang

membutuhkan tanah tersebut. Kesepakatan itu harus didasarkan atas persesuaian

kehendak kedua belah pihak tanpa adanya diskriminasi artinya tanpa adanya unsur

paksaan, kekhilafan dan penipuan serta harus adanya itikad baik.28 Kesepakatan yang

dimaksudkan itu harus mencerminkan adanya persesuaian kehendak dan persetujuan

antara pihak yang membutuhkan tanah dengan pihak yang memiliki hak atas tanah

tanpa adanya unsur kekhilafan, paksaan dan penipuan serta harus dilakukan dengan

itikad baik. Hal ini sangat diperlukan karena hubungan antara kedua belah pihak

adalah hubungan keperdataan yang berasal dari perjanjian sehingga semua unsur

27 PERPRES No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 pasal 1 angka 10.28 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip…hlm.295

32

Page 33: skripsi sinkronisasi

kesepakatan sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat-syarat

sahnya suatu perjanjian harus terpenuhi. Apabila kesepakatan yang dicapai terdapat

unsur kekhilafan, paksaan dan adanya penipuan maka kesepakatan itu dapat

dibatalkan.29 Kesepakatan atau kata sepakat menjadi kunci dalam pemgambilan

keputusan penetapan ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak yang membutuhkan

tanah untuk kepentingan umum tersebut dan karena kesepakatan mengandung arti

merupakan pembentukan kehendak atau pertemuan kehendak antara pemilik tanah

dengan pihak yang membutuhkan tanah. Artinya apabila ada kesepakatan dalam

musyawarah itu, maka akan adanya keseimbangan diantara kedua belah pihak.

Namun kenyataannya pengaturan dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan

Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005, ganti rugi dapat diberikan atas kemauan atau kehendak sepihak saja,

bukan didasarkan pada kesepakatan, karena dititipkan melalui Pengadilan Negeri

apabila tidak tercapai kesepakatan. Sebenarnya dengan memperhatikan prinsip

kesepakatan akan lebih memuaskan kedua belah pihak karena tidak ada yang merasa

dirugikan dan diuntungkan. Hal ini guna terwujudnya penilaian tanah yang adil bagi

kedua belah pihak.

Sedangkan asas keadilan, menurut Aristoteles dalam Benediktus P. Lay

mengatakan bahwa keadilan mengandung pengertian tentang kesamaan yakni

kesamaan numerik (semua orang sama derajat didepan hukum) dan kesamaan

proporsional (memberi tiap orang apa yang menjadi haknya).30

29 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan…Op. Cit., hlm.3030 Benediktus P. Lay, Tesis, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah, hal 48

33

Page 34: skripsi sinkronisasi

Menurut H. Achmad Rubaie, keadilan merupakan salah satu cita-cita

hukum yang berangkat dari nilai-nilai moral manusia. Dalam hal pengadaan tanah,

asas keadilan ini diletakkan sebagai dasar untuk menentukan bentuk dan besarnya

ganti rugi yang harus diberikan kepada pemilki tanah dan orang-orang terkait dengan

tanah yang terkena dampak pengadaan tanah untuk kepentingan umum.31

Sementara itu menurut Rudolf Stammler bahwa keadilan itu terjalin

dengan kehidupan ekonomis masyarakat yang diwujudkan melalui hukum, maka

hukum yang mewujudkan keadilan itu mutlak diperlukan didalam kehidupan

bermasyarakat. Sedangkan menurut Gustav Radbruch bahwa tugas utama hukum

ialah mewujudkan keadilan.32

Dalam mencari keadilan cita-cita hukum yang baik adalah untuk

mendapatkan keadilan dan kepastian hukum. Apabila ada pertentangan antaran

kepastian hukum dengan keadilan, maka unsur keadilan harus dikedepankan dan

dimenangkan. Kepastian hukum adalah sebuah falsafah positivisme dimana untuk

mendapatkan titik temu antara para pihak yang kepentingannya berbeda-beda, maka

harus dicari suatu rujukan yang telah disepakati, dilegalkan dan diformalitaskan serta

enforceable (dapat dilaksanakan) oleh aparat hukum sebagai penjelmaan dari

kedaulatan birokrasi negara.

Tetapi manakala, dengan saluran formal yang mengedepankan kepastian

hukum tidak mencerminkan adanya keadilan, maka pencari keadilan akan

menemukan caranya sendiri untuk mendapatkan keseimbangan antara keadilan dan

kepastian hukum. Kepastian hukum yang ideal adalah hukum yang memberi keadilan.

31 H. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah...Op.cit.,hal. 3132 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP. hlm. 35

34

Page 35: skripsi sinkronisasi

Namun manakala keadilan tersebut tidak ditemukan lewat saluran formal, akan terjadi

apatisme hukum, yang bahkan pada titik ekstrim akan dapat menjelma menjadi chaos

karena masing-masing pihak akan mencari, menafsirkan dan mengenforce

(melasanakan) keadilan menurut persepsinya masing-masing.

Dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum, keadilan harus

diletakkan sebagai dasar untuk menentukkan bentuk dan besarnya ganti rugi yang

harus diberikan kepada pemilik tanah yang haknya diambil untuk kepentingan umum.

Ganti rugi yang dimaksudkan adalah ganti rugi yang layak artinya ganti rugi yang

didalamnya mengandung unsur tawar menawar mengenai harga yang akan diberikan.

Dengan demikian penerapan asas ini harus diperhatikan agar masyarakat

sebagai pemilik hak atas tanah yang terkena dampak harus memperoleh ganti

kerugian yang layak dan dapat memberikan kondisi sosial ekonomi minimal setara

dengan keadaan sebelumnya dan akan terciptanya keadilan. Jika pemberian ganti rugi

dilakukan atas dasar paksaan, maka yang didapatkan adalah ketidakadilan. Hal ini

ditunjukkan melalui ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 yaitu dalam pasal 10 ayat (2)

tentang pemberian ganti rugi yang dilakukan secara sepihak melalui tindakan

konsinyasi ke Pengadilan negeri.

Sementara itu dalam Asas kemanfaatan, diletakkan atas prinsip bahwa

pengadaan tanah masyarakat untuk kepentingan umum harus dapat memberi manfaat

bagi pihak yang membutuhkan tanah maupun masyarakat yang memiliki tanah.33

Artinya dengan adanya kegiatan pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan

untuk kepentingan umum masyarakat sebagai pemilik tanah dapat memperoleh ganti

33 H. Achmad Rubaie, Hukum pengadaan Tanah….Op.Cit. hlm.32

35

Page 36: skripsi sinkronisasi

rugi yang layak agar kehidupan sosial ekonominya menjadi lebih baik dari sebelum

tanahnya terkena dampak pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Sedangkan Asas kesetaraan, dimaksudkan untuk menempatkan posisi

baik pihak yang memerlukan tanah maupun pihak yang memiliki hak atas tanah harus

diletakkan sejajar dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Artinya

baik itu pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang memiliki hak atas tanah

memiliki kesetaraan posisi atau tidak ada yang merasa posisinya lebih tinggi agar

proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum diharapkan dapat berjalan dengan

baik karena baik itu pihak yang membutuhkan tanah maupun pihak yang memiliki

tanah dapat mengajukan keinginan mereka dan menyampaikan tawaran yang sesuai

kesetaraan posisi mereka.34

Akan tetapi dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 telah menempatkan posisi

yang tidak sejajar antar pihak yang memiliki hak atas tanah dengan pihak yang

membutuhkan tanah karena apabila musyawarah tidak tercapai, Peraturan Presiden 36

Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006

memberikan kewenangan kepada panitia pengadaan tanah untuk melakukan

pemaksaan melalui pemberian ganti rugi yang dilakukan secara sepihak ke

pengadilan negeri. Hal ini telah dengan jelas menunjukkan adanya kesewenang-

wenangan.

Dengan demikian, proses konsinyasi atau penitipan ganti rugi seperti yang

tertuang dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 seharusnya tidak

34 Ibid., hlm.35

36

Page 37: skripsi sinkronisasi

diberlakukan karena sangat merugikan salah satu pihak dalam hal ini pemilik hak

milik atas tanah dan merupakan perbuatan yang sangat bertentangan dengan asas-asas

hukum yang bersumber dari Pancasila serta jiwa dan semangat yang terkandung

dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yang tersirat dalam pasal 28 H ayat

(4) Bab XA Hak Asasi Manusia yang berbunyi ”setiap orang berhak mempunyai hak

milik pribadi da hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang

oleh siapapun”.

Oleh karena itu negara berkepentingan untuk memastikan hak-hak rakyat

dalam hal ini hak atas tanah terlindungi. Negara juga berkepentingan untuk

menciptakan pengadaan tanah yang dirasakan adil. Untuk itu diperlukan mekanisme

pembayaran ganti kerugian kepada pemilik hak atas tanah yang menyeimbangkan

antara kepentingan publik dan rakyat orang perorangan atau kelompok masyarakat

yang tanahnya menjadi bagian dari proses pembangunan untuk kepentingan umum.

Dengan demikian negara melalui pihak yang membutuhkan tanah dan

panitia pengadaan tanah telah melegitimasi dirinya untuk mengambil hak milik atas

tanah masyarakat secara sewenang-wenang karena pemberian ganti rugi tidak

didasarkan atas asas musyawarah yang bersumber dari Pancasila yakni musyawarah

untuk mufakat. Contoh kasusnya adalah:

Warga perumahan Raffles Hills mendukung proses pembanguan tol Cijago. Namun penentuan ganti rugi tidak bisa dilakukan begitu saja. Kami minta penentuan ganti rugi tidak bersifat sepihak. Nilai ganti rugi yang ditawarkan oleh pihak Tim Pengadaan Tanah (TPT) sebesar Rp 2,25 Juta per meter per segi bersifat sepihak. Warga minta harga  Rp 6,8 juta per meter per segi. Yang kami tentang adalah penentuan ganti rugi sepihak. Kata Anggara Passat, Koordinator Aksi. Massa aksi yang terdiri dari warga perumahan Blok EE tersebut juga membentangkan spanduk yang berisi tuntutan agar mereka diberikan uang ganti rugi yang layak. Warga juga menuntut musyawararah yang terbuka dan

37

Page 38: skripsi sinkronisasi

transparan. Selama ini, proses musyawarah yang difasilitasi oleh pihak Panitia Pengadaan Tanah dinilai bersifat sepihak dan tidak sesuai dengan Peraturan Presiden No.65/2006.

Pemberian ganti rugi yang dirasa tidak adil dan tidak memiliki standar yang

baku setidaknya memberikan kontribusi bagi permasalahan diatas. Akibatnya muncul

anekdot bahwa ganti rugi dalam pengadaan tanah adalah kompensasi yang

menyebabkan pemilik tanah menderita kerugian akibat kompensasi yang diberikan

lebih kecil dibanding kerugian ekonomis yang ditanggung oleh pemilik tanah.

Meskipun pada umumnya dalam prakteknya pada saat negosiasi sering terjadi bahwa

kompensasi yang diberikan sedikit lebih tinggi hal itu dikarenakan untuk menghindari

waktu pengadaan yang lama dan menghindari biaya litigasi di pengadilan yang cukup

tinggi. Bagaimana kelangsungan hidup yang lebih baik harus diterapkan dalam

pemberian ganti rugi adalah tantangan yang harus dijawab, sekurang-kurangnya

dalam sebuah standar penilaian ganti rugi yang layak dan tidak merugikan pihak yang

memiliki hak atas tanah. Bahkan kenyataannya banyak proses pengadaan tanah untuk

kepentingan umum seringkali dirasakan tidak adil.

Oleh karena itu perlu ditetapkan ganti rugi yang memadai dan adil untuk

semua jenis kerugian yang ditimbulkan akibat oleh pengadaan tanah sebagai wujud

penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya terhadap hak masyarakat

yang tanahnya terkena dampak pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

B. Keabsahan pengaturan pasal 10 ayat (2) tentang konsinyasi melalui Pengadilan

Negeri dalam Peraturan Presiden No. 65 tahun 2006 tentang perubahan atas

38

Page 39: skripsi sinkronisasi

Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan tanah bagi

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.

Untuk membahas tentang mengenai sah dan tidaknya pengaturan pasal 10

ayat (2) Peraturan Presiden mengenai konsinyasi ganti rugi ke Pengadilan Negeri,

dilihat dari ketentuan Peraturan Perundang-undang yang tingkatnya lebih tinggi yakni

dalam ketentuan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 10 tahun 2004, pasal 36 ayat

(1) dan (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 serta Undang-

Undang Dasar 1945 yang merupakan norma hukum tertinggi yang dimuat dalam

pasal 28H yang merupakan salah satu ketentuan tambahan hasil perubahan atau

amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA Hak Asasi Manusia (amandemen

kedua tanggal 18 agustus 2000) yang lahir bersamaan dengan bergulirnya reformasi

yang dengan tegas melarang pengambilan hak milik seseorang secara sewenang-

wenang.

Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945, yang bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan

berbangsa yang sejahtera, aman, tenteram dan tertib harus menjamin adanya

persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan terpeliharanya hubungan

yang serasi, seimbang dan selaras antara aparatur pemerintah dengan warga

masyarakat, serta antara kepentingan umum dengan kepentingan orang perseorangan.

Oleh karena itu prisip keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan

umum dengan kepentingan individu harus merupakan salah satu asas dalam materi

muatan setiap peraturan perundang-undangan.

39

Page 40: skripsi sinkronisasi

Sementara itu sistem hukum nasional Indonesia menganut sistem hukum

yang berdasarkan dan berjiwa Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

menentukan bahwa suatu bentuk tatanan segenap peraturan dan keputusan yang

dapatkan dinamakan hukum yang sesuai dengan cita-cita yang dibimbing oleh filsafat

hukum Pancasila sebagai sistem yuridis yang idealis dalam tatanan dasar yang

ditemukan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang dinamakan

rechtsidee, bangsa Indonesia didalam sistem tata hukum merupakan tolak ukur, acuan

dan tumpuan tentang apa dan bagaimana hukum itu dalam hukum positif menurut

pandangan bangsa Indonesia. Cita hukum (rechtsidee) memuat ukuran tentang apa

yang didalam masyarakat bangsa Indonesia dapat dinamakan dengan hukum yaitu,

suatu prinsip yang didalamnya mengandung tiga butir tujuan bangsa Indonesia yaitu

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Ketiga butir pokok tersebut

merupakan tolak ukur dan dasar dalam tata hukum Indonesia tentang apa sesuatu

peraturan perundang-undangan dan sesuatu keputusan hukum itu berkualitas atau

tidaknya sebagai hukum.

Sistem hukum nasional, yaitu sistem hukum yang tersusun secara hierarkis

dan berintikan cita hukum Pancasila, yang dioperasionalkan ke dalam kenyataan

melalui asas hukum nasional pada proses pembentukan hukum positif melalui

peraturan perundang-undangan. Sistem hukum nasional menyerap asas yang

terkandung dalam Pancasila, nilai-nilai yang bersumber pada pandangan hidup

bangsa dan merasakannya sebagai sistem hukum yang serasi dengan perasaan

keadilan dan cita hukum, serasi dengan anggapan dan pandangan mengenai keadilan

(sence of justice). Sistem hukum yang digariskan dalam politik hukum adalah sistem

40

Page 41: skripsi sinkronisasi

hukum yang dibentuk berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 demi

terlaksananya negara hukum dan prinsip konstitusional sehingga terwujudnya

keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Bertolak dari pemikiran diatas, ketentuan hukum dalam peraturan

perundang-undangan sebagai suatu sistem dan subsistem hukum nasional memiliki

asas yang terintegrasi dan dijiwai Pancasila serta bersumber pada Undang-Undang

Dasar 1945. Dengan demikian akan menjadi sistem hukum yang harmonis dalam arti

selaras, serasi, seimbang dan konsisten serta tidak berbenturan dan tidak terdapat

pertentangan diantara peraturan perundang-undangan yang satu dengan peraturan

perundang-undangan yang lainnya baik secara vertikal maupun secara horizontal.35

Sistem pemerintahan negara yang dianut dalam Undang-Undang Dasar 1945

adalah pemerintahan yang berdasarkan atas sistem konstitusi atau hukum dasar.

Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar tertulis, memuat dasar dan

garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. Prinsip pemerintah atas dasar

sistem konstitusi, meletakkan konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Dengan

demikian semua norma hukum dalam setiap peraturan perundang-undangan harus

dibuat taat asas dan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma dalam konstitusi.

Norma konstitusi inilah yang kemudian melahirkan tertib tata urutan peraturan

perundang-undangan. Dalam negara yang bersistem konstitusional atau hukum dasar

terdapat suatu hierarki perundang-undangan. Undang-Undang Dasar berada dipuncak

piramida, sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain berada dibawah konstitusi.36

35 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum, JP Books, Surabaya, 2006, hlm 8036 Kusnu Goesniadhie, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan, JP Books, Surabaya, hlm. 31

41

Page 42: skripsi sinkronisasi

Prinsip negara hukum merupakan prinsip utama yang mengandung arti

bahwa dalam membangun sistem hukum harus dapat mewujudkan cita-cita negara

hukum. Artinya harus mewujudkan supremasi hukum dalam tatanan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta adanya jaminan perlindungan hukum

terhadap hak dan kepentingan masyarakat. Sementara itu pemerintahan atas dasar

sistem konstitusi menghendaki adanya suatu tata hukum yakni setiap norma hukum

harus terkait dan tersusun dalam suatu sistem artinya norma hukum yang satu tidak

boleh mengesampingkan norma hukum yang lain.37

Dalam Tata Urutan (hierarki) Peraturan Perundang-undangan bagi setiap

negara mempunyai arti yang sangat penting. Di Indonesia Undang-Undang Dasar

1945 merupakan hukum dasar tertulis Negara Indonesia, oleh karena itu apa yang

dilarang oleh Undang-Undang Dasar 1945, larangan itu harus diimplementasikan

dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Artinya materi

muatan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus sesuai atau

tidak boleh bertentangan dengan materi muatan yang terkandung dalam Undang-

Undang Dasar 1945. Hal tersebut agar terciptanya sinkronisasi pengaturan dalam

sistem tata hukum nasional. Jika bertentangan maka akan melahirkan peraturan

perundang-undangan yang kontradiktif baik secara vertikal maupun secara horizontal.

Menurut teori jenjang, suatu peraturan perundang-undangan dikatakan sah

harus mengeceknya melalui logika stufenbau atau perjenjangan norma. Perjenjangan

norma dimaksud dalam arti norma hukum disusun secara hierarkis dari norma hukum

yang tertinggi sampai norma hukum yang lebih rendah. Berdasarkan perjenjangan

norma ini maka dasar berlaku dan legalitas berlakunya suatu norma terletak pada

37 Ibid, hlm. 33

42

Page 43: skripsi sinkronisasi

norma hukum diatasnya. Pelaksanaan teori stufenbau dapat dianggap sebagai sistem

hukum, karena terlihat dalam hukum positif bahwa susunan hukum merupakan

tatanan mulai dari hukum atau norma dasar sampai pada peraturan-peraturan yang

paling bawah tidak boleh bertentangan satu sama lainnya.38

Menurut teori stufenbau, hierarki atau pertingkatan norma-norma hukum

mudah dipahami, mudah untuk menerangkan tempat suatu nilai atau implikasi atau

keadaan suatu nilai. Hal ini memudahkan upaya untuk menemukan keseimbangan

hukum yang selaras dan serasi serta kesesuaian diantara norma-norma hukum dalam

peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun secara horizontal dan

digunakan sebagai bantuan untuk menganalisis keterkaitan antara norma hukum yang

satu dengan norma hukum yang lain.

Atas dasar teori tersebut untuk menghindari kontradiktif atau pertentangan

antara perundang-undangan di Indonesia, maka ditetapkan adanya hierarki atau tata

jenjang norma perundang-undangan. Dalam sejarah hierarki perundang-undangan

dimaksud berawal dari Ketetapan MPRS Nomor XX/MPR/1996, Ketetapan MPR

Nomor III/MPR/2000 dalam pasal 4 ayat (1) yang dengan tegas mengatakan bahwa

sesuai dengan tata urutan peraturan perundang-undangan ini, maka setiap aturan

hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih

tinggi, hingga Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang lebih khusus lagi tentang hierarki peraturan perundang-

undangan dituangkan dalam pasal 7 ayat (1).

Sementara itu dalam prinsip kesesuaian atau keserasian hukum (sinkronisasi

hukum) yang menghendaki adanya keserasian antara hukum positif. Dikatakan pula

38 Ibid, hlm. 39

43

Page 44: skripsi sinkronisasi

tidak ada pertentangan antara norma hukum yang satu dengan norma hukum yang

lainnya, baik itu pertentangan secara vertikal artinya tidak ada pertentangan dengan

norma hukum yang lebih tinggi maupun pertentangan secara horizontal artinya tidak

ada pertentangan dengan norma hukum yang sama derajat. Hal ini mengandung

pengertian bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat apabila berlawanan

dengan asas itu, secara hukum batal demi hukum artinya tidak berlaku.

Asas hukum merupakan landasan dalam pembuatan norma hukum atau

rasio legis adanya peraturan hukum. Setiap peraturan perundang-undangan yang

dibuat wajib taat asas. Salah satu asasnya adalah asas sinkronisasi hukum yang

mengajarkan bahwa ketentuan norma hukum yang di bawahnya tidak boleh

bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi derajatnya maupun dengan

norma hukum yang sama derajat.

Atas dasar teori jenjang (stufentheori) serta prinsip kesesuaian (sinkronisasi)

hukum, maka dapat dikatakan bahwa materi muatan pasal 10 ayat (2) tentang

konsinyasi atau penitipan ganti rugi melalui pengadilan negeri dalam Peraturan

Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2005 mengenai pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum tidak memiliki keabsahan berlaku karena bertentangan dengan

norma hukum yang lebih tinggi yaitu bertentangan dengan materi muatan dalam

Undang-Undang Hak Asasi Manusia yakni dalam pasal 36 ayat (1) dan (2) serta

bertentangan dengan materi muatan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang

merupakan norma hukum tertinggi. Pertentangan yang dimaksud adalah meskipun

dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia pasal 36 ayat (1) dan (2) dan Undang-

44

Page 45: skripsi sinkronisasi

Undang Dasar 1945 yang tersirat dalam pasal 28H ayat (4) dengan tegas melarang

pengambilalihan hak milik seseorang secara sewenang-wenang, namun kenyataannya

materi muatan tentang konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke Pengadilan negeri

dalam Peraturan Presiden ini justru melegalkan pemberian ganti rugi yang dilakukan

secara sepihak dan sewenang-wenang.

Peraturan Presiden ini juga mengandung cacat baik secara formil yaitu

berkaitan dengan dasar pembentukannya maupun secara materil yaitu berkaitan

dengan muatan materinya. Secara formil Peraturan Presiden ini bertentangan dengan

Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-

undangan. Dalam pasal 11 Undang-Undang No 10 Tahun 2004 ditegaskan bahwa

materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-

Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan

ketentuan tersebut jelaskan bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi materi

yang diperintahkan Undang-Undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh

Peraturan Pemerintah. Artinya Peraturan Presiden sesungguhnya di buat sebagai

sarana administrasi pemerintah namun menunjuk (according) Undang-Undang

dan/atau Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-Undang No

10 Tahun 2004 tersebut berarti materi muatan dalam Peraturan Presiden ini bukan

merupakan materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk

melaksanakan Peraturan Pemerintah sehingga secara formil Peraturan Presiden ini

adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden. Dengan demikian dasar hukum

penerapan Peraturan Presiden ini sangat lemah karena bertentangan dengan Undang-

Undang No 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.

45

Page 46: skripsi sinkronisasi

Kelemahannya karena Peraturan Presiden ditetapkan dalam rangka melaksanakan

materi yang diperintahan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan

Peraturan Pemerintah sehingga dapat dikatakan bahwa Undang-Undang dan

Peraturan Pemerintah merupakan komponen induk sedangkan Peraturan Presiden

merupakan komponen pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara

dalam melaksanakan Undang-Undang dan/atau Peraturan Pemerintah.39

Sedangkan secara materiil, Peraturan Presiden ini sangat bertentangan

dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang

termuat dalam pasal 36 ayat (1) dan (2) dan juga pasal 28H Bab XA Hak Asasi

Manusia Undang-Undang Dasar 1945. Artinya meskipun Undang-Undang Dasar

1945 yang merupakan norma hukum tertinggi dan Undang-Undang NO.39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia yang merupakan norma hukum yang lebih tinggi

dari Peraturan Presiden melarang pengambilan hak milik secara sewenang-wenang,

namun Peraturan Presiden ini justru melegalkan pengambilan hak milik dalam hal ini

hak milik atas tanah secara sewenang-wenang dengan cara menitipkan atau

konsinyasi gati rugi ke pengadilan negeri.

Perlu ditegaskan bahwa penerapan lembaga penawaran yang diatur dalam

pasal 1404 KUH Perdata keliru bila diterapkan dalam Peraturan Presiden ini. Hal ini

dikarenakan proses pengadaan tanah adalah perbuatan pemerintah atau pemerintah

daerah yang termasuk dalam ranah hukum administrasi, sedangkan lembaga

penawaran pembayaran dalam pasal 1404 KUH Perdata mengatur hubungan hukum

keperdataan di antara para pihak. Selain keliru dalam menerapkan cara tersebut

39 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pebangunan, Sinar Grafika,2007, hlm. 200

46

Page 47: skripsi sinkronisasi

terkesan memaksakan kehendak sepihak, pasal 10 ayat (2) ini tidak final karena

meskipun ganti rugi telah dititipkan ke pengadilan negeri, tetap terbuka kemungkinan

apabila proses pengadaan tanah tidak dapat dilakukan ternyata masih ada cara lain

yaitu proses pengusulan pencabutan hak atas tanah melalui pasal 18 Peraturan

Presiden ini sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan

Hak Atas Tanah yang merupakan pelaksanaan amanat dari pasal 18 Undang-Undang

Pokok Agraria. Secara hukum pasal 10 Peraturan Presiden ini tidak relevan karena

tanpa menitipkan ganti rugi pada pengadilan negeri, sudah ada jalan keluar yang

diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 1961.40

Dalam hal fungsi sosial atas tanah seperti yang tertuang dalam pasal 6

Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatakan agar setiap pemegang hak atas

tanah senantiasa memperhatikan kepentingan lain dalam pemanfatan hak-hak atas

tanah lainnya yaitu kepentingan umum. Hal ini tidak berarti bahwa kepentingan

terhadap hak individu atas tanah diabaikan. Undang-Undang Pokok Agraria justru

menghendaki adanya keharmonisan dan keseimbangan hubungan antara kepentingan

individu atau orang perorangan dengan kepentingan umum oleh karena Undang-

Undang Pokok Agraria yang merupakan induk hukum pertanahan nasional Indonesia

menghendaki adanya prinsip keseimbangan kepentingan.

Hal tersebut tertuang dalam Penjelasan Umum II angka 4 Undang-Undang

Pokok Agraria yang mengatakan bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada

seseorang ataupun badan hukum, tidaklah dibenarkan bahwa tanahnya itu

dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata hanya untuk kepentingan

40 Maria S.M. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 113

47

Page 48: skripsi sinkronisasi

pribadinya, apalagi kalau hal itu merugikan masyarakat. Penggunaan tanah haruslah

disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, sehingga bermanfaat baik bagi

masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidaklah berarti

bahwa kepentingan perseorangan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum

(masyarakat). Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling

mengimbangi, sehingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok yakni

kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat (3)

Undang-Undang Pokok Agraria).

Dengan demikian prisip fungsi sosial juga menekankan adanya

keseimbangan kepentingan yaitu keseimbangan antara kepentingan umum dan

kepentingan masyarakat orang perseorangan bukan mengutamakan salah satu

kepentingan saja. Hal ini menunjukan adanya penghormatan terhadap hak-hak

perseorangan atas tanah yang sesuai dengan prinsip negara Indonesia berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan paham hukum negara

Indonesia yaitu prinsip keseimbangan.

Karena negara hukum berdasarkan Pancasila meletakkan kepentingan

individu dengan kepentingan umum secara seimbang bukan pengutamaan terhadap

salah satu kepentingan saja. Artinya ganti rugi yang akan diberikan kepada

masyarakat sebagai pemilik tanah adalah ganti rugi yang layak yang terkandung

unsur tawar menawar harga ganti rugi yang merupakan hubungan kontraktual bukan

merupakan paksaan yang dilakukan secara sepihak dan sewenang-wenang dengan

cara menitipkan ganti rugi ke pengandilan negeri melainkan ganti rugi yang

didasarkan atas pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak atas tanah.

48

Page 49: skripsi sinkronisasi

Akan tetapi pengaturan dalam pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden ini akan

berdampak terhadap pemberian ganti kerugian sebahgai akibat dari pengadaan tanah

untuk kepentingan umum. Apa mungkin pemberian ganti kerugian melalui

pengadilan merupakan ganti rugi itu layak. Bukankah itu merupakan tindakan sepihak

yang dilakukan oleh panitia pengadaan tanah. Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa kepentingan individu dapat dikesampingkan demi kepentingan umum. Atas

dasar pengutamaan terhadap kepentingan umum tersebut dalam hal pemberian ganti

kerugian dapat pula dilakukan secara sewenang-wenang yang mana mau tidak mau

harus di terima oleh masyarakat yang tanahnya terkena dampak pengadaan tanah

untuk kepentingan umum oleh karena itu prinsip musyawarah untuk mufakat

diabaikan.

BAB IV

PENUTUP

49

Page 50: skripsi sinkronisasi

Berdasarkan uraian yang telah disajikan pada bab-bab diatas maka sampailah

peneliti pada bab ini dan berusaha untuk merangkum secara keseluruan penulisan skripsi

ini serta berusaha memberikan jalan keluar dengan mencoba memberikan kesimpulan dan

saran sebagai salah satu langka bagi proses penyelesaian masalah yang peneliti angkat

dalam penulisan ini.

A. KESIMPULAN

Bertolak dari rumusan permasalahan dalam pembahasan skripsi ini maka

peneliti menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Bahwa pengaturan dalam pasal 10 Peraturan Presiden ini tidak menghormati hak

milik seseorang dalam hal ini hak milik atas tanah karena pemberian ganti rugi

yang diberikan tidak atas dasar musyawarah untuk mufakat melainkan pemberian

ganti rugi yang dilakukan sepihak oleh panitia pengadaan tanah melalui

Pengadilan Negeri.

2. Pengaturan mengenai konsinyasi atau penitipan ganti rugi ke pengadilan dalan

Peraturan Presiden ini ternyata tidak memiliki keabsahan untuk berlaku oleh

karena materi muatan dalam pasal 10 ayat (2) terdapat pertentangan dengan

hukum yang lebih tinggi tinggkatnya (vertikal) yakni dengan Undang-Undang

Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999, Undang-Undang No.10 Tahun 2004,

serta Undang-Undang Dasar 1945, dimana dalam Undang-Undang Dasar 1945

pasal 28H tersebut secara tegas melarang pengambilan hak milik seseorang secara

sewenang-wenang namun dalam Peraturan Presiden ini yakni dalam pasal 10 ayat

(2) melegitimasi pembayaran ganti rugi yang dilakukan secara sepihak oleh

panitia pengadaan tanah. Pasal 10 ayat (2) Peraturan Presiden bertentangan

50

Page 51: skripsi sinkronisasi

dengan pasal 36 Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Sedangkan Undang-

Undang No. 10 Tahun 2004 pertentangan yang dimasudkan yaitu pertentangan

secara formil maupun materiil. Secara formil yaitu berdasarkan pasal 11 Undang-

Undang No 10 Tahun 2004 bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi

muatan yang diperintahkan oleh undang-undang atau materi untuk melaksanakan

peraturan pemerintah. Sementara secara materiil karena materi muatan dalam

Peraturan Presiden tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-Undang No 39

Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Dasar 1945.

B. SARAN

Bahwa pengaturan pasal 10 ayat (2) mengenai Konsinyasi atau penitipan

ganti rugi ke pengadilan negeri dalam Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tersebut mengindikasi adanya

kesewenang-wenangan. Dengan kata lain pengaturan pasal 10 ayat (2) Peraturan

Presiden ini lebih merupakan instrument kekuasaan yang dapat digunakan untuk

melakukan pengambilan hak milik atas tanah masyarakat secara sewenang-wenang

dan juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi

tingkatnya.

Dengan demikian dalam rangka untuk mewujudkan tujuan dan cita-cita

bangsa yang berorientasi dalam rangka memberikan perlindungan terhadap hak milik

atas tanah serta terciptanya keserasian atau keseuaian (sinkronisasi) hukum dalam hal

pengadaan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum maka

disarankan agar: segera melakukan amandemen terhadap pengaturan pasal 10 ayat (2)

51

Page 52: skripsi sinkronisasi

tengtang konsinyasi atau penitipan gati rugi melalui pengadilan negeri dalam

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden

No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan

Umum.

DAFTAR PUSTAKA

52

Page 53: skripsi sinkronisasi

Goesniadhie Kusnu, Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan (Lex

Spesialis Suatu Masalah)

Gunanegara, Rakyat Dan Negara Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, PT.

Tatanusa, Jakarta, 2008

HR Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Perss, Jakarta, 2006

Kelsen Hans dan Soemardi, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Normatif Sebagai

Ilmu Hukum Empirik-Deskriptif), Rimdi Press

Noor Aslan, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran

Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006

Rubaie Achmad, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia

Publishing, Malang, 2007

Santoso Urip, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media Grup, Jakarta,

2005

Soehino, Asas-asas Hukum Tata Negara, Liberty, Yogyakarta, 1998

Soeprapto M. F. I., Ilmu Perundang-Undangan ( Dasar-Dasar Dan Pembentukannya),

Kanisius Yogyakarta, 1998

Soetiksno, Filsafat Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 2008

Sumardjono Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Buku

Kompas, Jakarta, 2007

Sunggono B, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta, 1997

Sutedi Adrian, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk

Pembangunan, Sinar Grafika,Jakarta, 2007

53

Page 54: skripsi sinkronisasi

Tesis

Lay Benediktus Peter, Perlindungan Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanah ( Studi

Pangaturan Mengenai Pencabutan Dan Pengadaan Tanah Untuk

Kepentingan Umum)

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945 ( Sebelum Dan Sesudah Amandemen)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan

Benda-Benda Yang Ada Diatasnya

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006, Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

54