40
STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI Studi Eksploratif dengan Pendekatan Fenomenologi tentang kehidupan Pemulung dalam Mempertahankan Hidup dan Harga Diri Di Rancaekek Kabupaten Bandung BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang MasalahDalam memasuki Pembangunan nasional saat ini, semakin terasa bahwa aspek manusiasebagai sumber daya pembangunan sangat vital eksistensinya dan merupakan “ kunci “ untuk berhasil tidaknya pembangunan tersebut.Masyarakat Indonesia saat ini menghadapi tiga tantangan utama, yaitu tantangan kependudukan, tantangan lingkungan, dan tantangan pembangunan. Dapat dikatakan pula bahwa untuk mampu menjawab ketiga tantangan tersebut, maka kunci jawabannya terletak pada keperluan meningkatkan kualitas, sebagaimana dikemukakan didalam tujuan pembangunan nasional.Kualitas manusia Indonesia perlu dikembangkan demi “survival “ bangsa Indonesiasendiri yang sedang menghadapi pertambahan penduduk yang besar di atas wilayah tanah air Indonesia yang terbatas sumber daya alamnya ( Emil Salim 1993:29 )Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia perlu melihat aspek-aspek “ intern “ dan “ ekstern “ yang ada pada diri manusia. Menurut Munandar ( 1981:9), aspek intern yang perlu didorong dan dikembangkan adalah motivasi serta semangat kuat untuk berusaha mengubah hambatan-hambatan yang ada didalam dirinya dan masyarakatnya menjadi kekuatan-kekuatan pembaharuan dan perubahan kehidupan masyarakatmenjadi individu dan masyarakat yang maju dan modern, aspek ekstern yang membantu dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatkan pemerataan memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam arti luas.Bagi Indonesia, meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan tantangan yang berat. Menurut Sansus Nasional 1990 ternyata bahwa penduduk Indonesiayang dikategorikan miskin berjumlah sekitar 27,2 juta jiwa, yang berarti sekitar 15 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, ternyata bahwa sekitar 65 persen berada di pedesaan. Saat ini, jumlah penduduk miskin tersebut semakin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk dan krisi ekonomi nasional yang tak kunjung selesai.Kemiskinan di pedesaan paling tidak, disebabkan oleh faktor-faktor : pertumbuhan ekonomi yang lamban, stagnasi produktivitas tenaga kerja, tingkat semipengangguran yang tinggi, tingkat pendidikan formal yang rendah, fertilitas lingkungan ( Burki, 1990: 1-17).Situasi kemiskinan di pedesaan mendorong penduduk pedesaan tersebut untuk bergeser ke kota sebagai “ urban poor “. Pada umumnya mereka ini terjun dibidang “ Self Employed “ atau sering disebut dengan sektor informal, mengingat mereka juga mempunyai bobot pendidikan dan keterampilan yang rendah dan tidak

STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRIStudi Eksploratif dengan Pendekatan Fenomenologi tentang kehidupan Pemulung dalam Mempertahankan Hidup dan Harga Diri Di Rancaekek Kabupaten BandungBAB 1. PENDAHULUAN1.1. Latar Belakang MasalahDalam memasuki Pembangunan nasional saat ini, semakin terasa bahwa aspek manusiasebagai sumber daya pembangunan sangat vital eksistensinya dan merupakan “ kunci “ untuk berhasil tidaknya pembangunan tersebut.Masyarakat Indonesia saat ini menghadapi tiga tantangan utama, yaitu tantangan kependudukan, tantangan lingkungan, dan tantangan pembangunan. Dapat dikatakan pula bahwa untuk mampu menjawab ketiga tantangan tersebut, maka kunci jawabannya terletak pada keperluan meningkatkan kualitas, sebagaimana dikemukakan didalam tujuan pembangunan nasional.Kualitas manusia Indonesia perlu dikembangkan demi “survival “ bangsa Indonesiasendiri yang sedang menghadapi pertambahan penduduk yang besar di atas wilayah tanah air Indonesia yang terbatas sumber daya alamnya ( Emil Salim 1993:29 )Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia perlu melihat aspek-aspek “ intern “ dan “ ekstern “ yang ada pada diri manusia. Menurut Munandar ( 1981:9), aspek intern yang perlu didorong dan dikembangkan adalah motivasi serta semangat kuat untuk berusaha mengubah hambatan-hambatan yang ada didalam dirinya dan masyarakatnya menjadi kekuatan-kekuatan pembaharuan dan perubahan kehidupan masyarakatmenjadi individu dan masyarakat yang maju dan modern, aspek ekstern yang membantu dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah peningkatkan pemerataan memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam arti luas.Bagi Indonesia, meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan tantangan yang berat. Menurut Sansus Nasional 1990 ternyata bahwa penduduk Indonesiayang dikategorikan miskin berjumlah sekitar 27,2 juta jiwa, yang berarti sekitar 15 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, ternyata bahwa sekitar 65 persen berada di pedesaan. Saat ini, jumlah penduduk miskin tersebut semakin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk dan krisi ekonomi nasional yang tak kunjung selesai.Kemiskinan di pedesaan paling tidak, disebabkan oleh faktor-faktor : pertumbuhan ekonomi yang lamban, stagnasi produktivitas tenaga kerja, tingkat semipengangguran yang tinggi, tingkat pendidikan formal yang rendah, fertilitas lingkungan ( Burki, 1990: 1-17).Situasi kemiskinan di pedesaan mendorong penduduk pedesaan tersebut untuk bergeser ke kota sebagai “ urban poor “. Pada umumnya mereka ini terjun dibidang “ Self Employed “ atau sering disebut dengan sektor informal, mengingat mereka juga mempunyai bobot pendidikan dan keterampilan yang rendah dan tidak memadai.Salah satu orang atau kelompok masyarakat yang dikategorikan sektor informal dalam statusnya sebagai “ urban poor” adalah para pemungut sampah atau dikenal dengan sebutan “ Pemulung “.Pemulung adalah orang-orang yang melakukan kerja memungut mencari barang rongsokan di tempat-tempat seperti bak sampah, rumah-rumah penduduk, jalan-jalan, sungai, daerah pertokoan, daerah industri, dan tempat pembuangan sampah akhir ( Ade Emka, 1981 : 3 ). Perkiraan Bank Dunia tentang jumlah Pemulung di Kota Bandung sekitar 1-2 persen dari jumlah penduduk Bandung atau sebanyak 14.000-28.000 orang ( Listianto, 1982:2). Saat ini, kalau kita perhatikan, ternyata semakin banyak saja jumlah pemulung tersebut.Realitas menunjukkan bahwa hidup dan kehidupan Pemulung dalam kondisi terjepit. Selain mereka bergelut dengan lingkaran kemiskinan yang dihadapi dalamkehidupannya, juga eksistensi dirinya dan pekerjaannya seringkali dihadapkan pada berbagai pelecehan. Masyarakat pada umumnya menganggap mereka sebagai pengganggu ketentraman masyarakat, sedangkan pemerintah menganggap mereka sebagai kelompok illegal atau tidak mempunyai ketentuan hukum, tegasnya mereka itu dianggap “Liar “.Pemulung oleh pemerintah dianggap sebagai perusak martabat daerah ( regional dignity ), sehingga untuk kepentingan tersebut mereka memberlakukan kebijaksanaan usaha-usaha pembersihan pemulung, dengan jalan mengoperasikan Ketertiban Umum(TIBUM). Kebijaksanaan tersebut telah memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, namun ternyata pemerintah belum berhasil menghilangkannya ( Mawardi, 1983 : 1 ).

Page 2: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

Ditinjau dari aspek ekonomi, Pemulung tergolong “ urban poor “ yang diperkirakan mempunyai penghasilan antara Rp.3500,- sampai 8.500,- per hari. Posisimereka selalu dalam keadaan lemah karena nilai tambah yang mereka peroleh sangat tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.Berdasarkan kenyataan di atas, sudah sejak tahun 1980-an beberapa Lembaga Pengembang Swadaya Masyarakat (LPSM), seperti Lembaga Studi Pembangunan (LSP)yang bekerjasama dengan informal Sector Projexct (LSP), turun tangan untuk mengatasi masalah tersebut dengan cara mengorganisir mereka dalam suatu organisasi usaha tukang sampah atau Pemulung.Untuk mengatasi persoalan pemulung tersebut, LSP dan ISP mengorganisirPemulung dalam sebuah struktur dan fungsi masyarakat baru yang berbentuk Koperasi Serba Usaha Daur Ulang. Kegiatan mereka didasarkan pada proses perubahan dan pertumbuhan masyarakat atas kekuatan sendiri atau menggali potensi yang dimilikioleh Pemulung itu sendiri. Untuk mencapai hal tersebut, LSP dan ISP menetapkan syarat yang memungkinkan bagi pemulung itu sendiri membangun dirinya dari, oleh dan untuk Pemulung itu sendiri. Dalam upaya ini bagaimana agar mekanisme system kemasyarakatannya berfungsi seperti berfungsinya mekanisme system pada masyarakatlainnya yang sudah baik.Mengingat Pemulung adalah termasuk sector informal, maka adanya strukturdan fungsi baru masyarakatnya akan memungkinkan para Pemulung dapat mengadakanperubahan serta pertumbuhan hidupnya secara swadaya.Pendekatan system yang di lakukan oleh LSP-ISP dalam pengorganisasian masyarakat Pemulung adalah menciptakan sebuah koperasi, sebagaimana telah dikemukakan di atas, membentuk koperasi dalam usaha-usaha pengorganisasian masyarakat pemulung merupakan strategi yang tepat, karena bentuk dan sifat sebuah koperasi dapat menampilkan struktur dan fungsi suatu organisasi masyarakat serta juga karena wataknya yang merupakan gerakan ekonomi untuk mengentaskan rakyat dari belenggu kemiskinan ( Mawardi , 1985 ).Namun demikian, nampaknya apa yang dilakukan oleh LSP-ISP tersebut saatini tidak dilakukan lagi. Padahal jika dilihat dari hasil yang diperoleh, menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh LSP-ISP dapat meningkatkan martabat pemulung, baik dari sisi sosial maupun ekonomi.Bertolak dari permasalahan yang telah dikemukakan, kajian ini berupaya mengembangkan lebih jauh tentang upaya-upaya memberdayakan “pemulung” agar martabat mereka meningkat, terutama dari aspek sosial dan ekonomi.1.2. Fokus PenelitianStudi ini akan mengungkap argumentasi-argumentasi atau motivasi yang mendorong subjek penelitian menjadi pemulung. Oleh karena itu, akan terkait dengan aspek: “Bagaimana Pemulung mempertahankan hidupnya, serta berupaya untuk “menjaga” kehormatan dirinya untuk tidak menjadi pengemis?”1.3. Pertanyaan PenelitianPenelitian ini berupaya untuk mengungkapkan:1.Mengapa seseorang itu maumenjadi pemulung2.Bagaimana pemulung itu bekerja dan memaknai pekerjaannya?3.Mengapa pemulung bertahan dengan pekerjaannya, mengapa mereka tidak jadipengemis?1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1.Memperoleh penjelasan tentang faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pemulung.2.Memperoleh penjelasan tentang cara kerja pemulung dan pemaknaan mereka terhadap pekerjaannya.3.Memperoleh penjelasan tentang cara-cara yang digunakan pemulung dalam mempertahankan pekerjaannya, serta prinsip-prinsip yang dipegang untuk tidak menjadi pengemis.1.5. Manfaat PenelitianPenelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teori maupun praktis.1Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang fenomena pemulung dengan berbagai aspek yang melatarbelakangi dan makna yang terkandung dalam setiap aspek yang berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan pemulung. Dengan

Page 3: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

pemahaman ini diharapkan dapat menanggulangiberbagai permasalahan yang ada didalam masyarakat, seperti pemulung, sehingga pembangunan masyarakat madani dapat direalisasikan.2Secara praktis hasil penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikanalternatif soluasi kepada institusi-institusi yang menyelenggarakan aktivitas pemberdayaan masyarakat, seperti Departemen Sosial, LSM-LSM, serta siapapun yang perduli terhadap sesama manusia..BAB 2TINJAUAN PUSTAKA“Fundamental science is phenomenological science. Phenomenological science is science understood as phenomenology” (Peter Wiberg, 2002).2.1. Konsep FenomenologiBerdasarkan etimologi, istilah ‘fenomenologi’ menunjukkan bahwa istilah ini berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu phenomenon, dan logos. Istilah phenomenon dari sudut bahasa bisa diartikan sebagai “penampilan” , yakni penampilan sesuatu yang “menampilkan diri”.Istilah fenomenologi telah terbentuk pada pertengahan abad ke -19, dan kemudian digunakan dalam sejarah filsafat dengan arti yang berbeda-beda. Kant, Hegel (yang menulis buku Phenomenology of Mind tahun 1807), Mach, Brentano, dan Stumpf memahami sendiri-sendiri tentang fenomenologi.Edmund Husserl menggunakan istilah fenomenologi pada permulaan abad ke-20. Fenomenologi menurut Husserl merupakan ilmu pengetahuan tentang fenomena, tentang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri dalam kesadaran manusia. Menurut Standard Encyclopedia of Philosophy (2003), fenomenologi adalah studi tentang struktur kesadaran sebagai pengalaman dari pandangan seseorang dalam melihat sesuatu. Struktur pusat dari pengalaman adalah intensi onalitas (yakni kesadaran yang selalu mengarah atau menuju pada sesuatu dan objek yang menjadi isinya (Misiak dan Sexton, 1988) yang diarahkan terhadap sesuatu, seperti pengalaman tentang atau sesuatu objek. Pengalaman tersebut diarahkan terhadap objek melalui kemurnian isinya atau makna (yang ditunjukkan objek) bersama-sama dengan kondisi yang memungkinkan sesuai. Adapun Elliston (1977) menyebutkan bahwa “ fenomenologi adalah membiarkan apa yang menunjukkan dirinya melaluidan dari dirinya sendiri”.Fenomenologi sebagai disiplin ilmu, merupakan satu kesatuan yang utuh dengan disiplin kunci yang lain dalam filsafat, seperti ontologi, epistemologi, logika, dan etika. Fenomenologi telah diterapkan dalam berbagai bentuk selama berabad-abad, namun baru eksis dalam abad ke 20, melalui Husserl, Heidegger, sartre,Merleau-Ponty dan yang lainnya. Isyu-isyu fenomenologi seperti intensionalitas, kesadaran, esensi kualitas, dan perspektif pertama seseorang telah menjadi terkenal dalam filsafat pikiran (philosophy of mind) dewasa ini.Secara umum, pandangan fenomenologi dapat dilihat dari dua posisi, yaitupertama, pandangan fenomenologi merupakan reaksi terhadap dominasi postivisme,dan kedua, merupakan kritik terhadap pemikiran kritisisme Imannuel kant, terutama yang berkaitan dengan konsep fenomenon-numenon (Muslih, 2004).Konsepsi Kant tentang proses pengetahuan manusia adalah suatu proses sintesa apa yang disebutnya apriori dan aposteriori. Apriori mengungkapkan aktivitas rasio yang dinamis dalam membangun dan berfungsi sebagai bentuk pengetahuan. Aposteriori merupakan cerapan pengalaman yang berfungsi sebagai ‘isi’ pengetahuan, yang terdiri dari fenomena objek. Karena rasio bersifat aktif dalam mengkonstruksi fenomena menjadi pengetahuan sesuai dengan kategori-kategori rasio, maka pengetahuan manusia tidak mungkin menjangkau noumena. (Ibid, 2004). Oleh karena itu, Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakan sesuatu dalam kesadaran, adapun nuomena adalah realitas ( das ding an sich) yang berbeda diluarkesadaran pengamat. Manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena, yaitu realitas di luar yang kita kenal. Noumenaakan selalu tetap menjadi teka-teki dan tinggal sebagai “x” yang tidak dapat dikenal karena ia terselubung dari kesadaran kita. Fenomena yang nampak dalam kesadaran kita ketika berhadapan dengan realitas (noumena) itulah yang kita kenal.Dalam menanggapi konsepsi Immanuel Kant, Huserl mengenalkan beberapa konsepsi, yaitu prinsip Epoche dan Eidetic Vision. Menurut Husserl, tugas utama fenomenologi adalah menjalin keterkaitan manusia dan realitas. Realitas bukan sesuatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri. “Sifat realitas itu membutuhkan

Page 4: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

keberadaan manusia” ungkap MartinHeideger. Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran manusia dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukan kategori pikiran manusia padanya. Fenomena bagi Husserl adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran manusia cair dengan realitas. Tujuan fenomenologi menurut Husserl adalah mencari yang esensial atau eidos dari apayang disebut fenomena.Kata “epoche” berasal dari bahasa Yunani, yang berarti “menunda putusan”atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari sesuatu fenomena yang tampil tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Menurut Husserl, epoche merupakan thesis of the natural stand-point, dalam arti bahwa fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presuposisi pengamat. Metode epoche merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan terlebih dahulu. Langkah kedua, yaitu eidetic vision atau membuat ide. Eidetic vision disebut juga “reduksi”, yakni menyaring fenomena untuk sampai ke eidos-nya, sampai ke intisarinya atau yang sejatinya (wesen). Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenchau, artinya sampai pada hakikatnya. Dengan demikian, fenomenologi berusaha untuk mengungkap fenomena sebagaimanaadanya (to show itself) atau menurut penampakannya sendiri (veils itself).Konsep lain yang dikemukakan oleh Husserl adalah Lebenswelt (dunia kehidupan). Lebenswelt adalah “dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antarsubjek. Dunia kehidupan merupakan unsur-unsur sehari-hari yang dialami dan dijalani manusia, sebelum manusia men-teorikannya atau merefleksikannya secara filosofis (Muslih, 2004). Dunia kehidupan memuat segala orientasi yang diandaikan begitu saja dan dihayati pada tahap-tahap paling primer. Manusia, didalam kehidupan nyata, baik yang sederhana maupunyang sangat rumit, bergerak didunia yang sudah diselubungi dengan penafsiran dankategori-kategori ilmu pengetahuan dan filsafat. Selain itu, penafsiran-penafsiran tersebut juga diwarnai oleh kepentingan-kepentingan manusia, situasi kehidupan dan kebiasaan-kebiasaan manusia tersebut. Manusia telah melupakan dunia apa adanya, yaitu dunia kehidupan, tempat berpijaknya segala bentuk penafsiran. Fenomenologi berupaya untuk “menemukan kembali” dunia- kehidupan tersebut. 2.2. Sekilas Akar sejarah FenomenologiDalam sejarah filsafat, fenomenologi dapat mengandung tiga pengertian, pertamamengacu pada G.W.F Hegel tahun 1807, kedua Edmund Husserl tahun 1920, dan ketiga Martin Heidegger tahun 1927.Bagi Hegel, fenomenologi adalah pendekatan dalam filsafat yang diawali dengan penggalian fenomena dalam arti memahami secara utuh segala sesuatu dibalikfenomena, seperti logika, ontologi, dan spritiual metafisika. Pendekatan ini disebut juga dengan fenomenologi dialektik (dialectical phenomenology).Edmund Husserl memaknai fenomenologi sebagai pendekatan filsafat yang memberikan pengalaman intuitif tentang fenomena sebagai titik awal dan mencoba membuat pemadatan tentang esensi masa depan pengalaman dan esensi apa itu pengalaman. Pendekatan Husserl disebut juga dengan fenomenologi transendental (trancendental phenomenology ). Pandangan-pandangan Husserl berasal dari Brentano, kemudian dikembangkan lebih jauh oleh para filosofi selanjutnya, seperti Maurice Merleau-Ponty, Max Scheler, Hannah Arendt, Dietrich von Hildebrand dan Emmanuel Levinas.Bagi Martin Heidegger, fenomenologi merupakan pandangan tentang keberadaan dunia yang dibedah melalui penangkapan yang ada dibelakang semua yang ada, hal ini, misalnya seperti dalam pengantar ontologi, yang mengkritisi metafisika. Pendekatannya disebut fenomenologi eksistensial (Existential phenomenology).Pertentangan fenomenologi antara Husserl dan Heidegger mempengaruhi perkembangan fenomenologi eksistensial dan paham eksistensial (existentialism) di Perancis, yang ditunjukkan hasil kerjanya Jean-Paul Sartre dan Simone de Beauvoir; fenomenologi Munich ( Johannes Daubert, Adolf Reinach, Alexander Pfander di jerman, dan Alfred Schutz di Austria); dan Paul Ricoeur. Apa yang dikemukakan Husserl dan Heidegger juga merupakan aspek yang sangat penting bagi Jacques Derridadan Bernard Stiegler.Secara kronologis, istilah fenomenologi telah digunakan sebelum dipopulerkan oleh Husserl. Pada awalnya, Fredrich Christoph Oetinger (1702 - 1782) seorang jerman

Page 5: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

yang mendukung gerakan gereja Luther, dalam studi yang dilakukannya tentang “ sistem peramalan untuk hubungan (divine system of relations). Selanjutn ya, David Hume (1711-1776) filosof scott, menyebutkan variasi skeptik atau common sense advokat (pengacara). Meskipun hubungan tersebut kadang-kadang tendensius, Hume dalam “A Treatise of Human Nature” tidak menampakan pengambilan penekatan fenomenologi atau psikologi dalam menjelaskan proses pemikiran kausalitas dalam pengertian psikologis. Hal ini juga merupakan inspirasi bagi pemikiran aliranKant tentang realitas fenomenal dan noumenal.Istilah fenomenologi, kemudian diungkapkan oleh Johann Heinrich Lambert(1728-1777) seorang ahli matematika, fisika dan filosof, dalam teorinya Gejalayang mendasari pengetahuan empiris. Immnauel Kant (1724-1804) dalam “Critique ofPure Reason” membedakan antara objek sebagai fenomena (objek sebagai bentuk dandipahami oleh sensitifitas dan yang dipahami manusia) dan objek sebagai sesuatu- dalam dirinya sendiri (things-in-themselves) atau Noumena, yang tidak nampak kepada kita dalam ruang dan waktu dan tentang kita dapat membuat tidak ada keputusan yang resmi. Georg Hegel (1770-1831) menentang doktrin Kant tentang ketidaktahuan sesuatu dalam dirinya, serta mendeklarasikan bahwa fenomena yang diketahuiakan lebih sepenuhnya dipahami yang ditangkap manusia secara gradual, melalui kesadaran tentang kebenaran absolut keagamaan dan sipritual. Tulisan Hegel “Phenomenology of Spirit” diterbitkan tahun 1807. Tulisan tersebut diacu oleh Soren Kierkegaard, Martin Hiedegger dan Jean Paul Sartre, yang berpaham eksitensial.Franz Brentano (1838-1917) menggunakan istilah fenomenologi dalam beberapa perkuliahannya di Vienna. Ia menganut pemikiran Edmund Husserl, dan mempengaruhi pandangannya tentang intensionalitas. Carl Stumpf (1848-1936) menggunakan istilah fenomenologi untuk ontologi tentang isi pensensoran. Edmund Husserl (1859- 1938) mendefinisikan kembali fenomenologi untuk yang pertama kali dalam psikologi deskriptif yang kemudian epistemologis, dasar dalam memahami studi esensi.Ia dikenal sebagai “Bapak” fenomenologi”.Max Scheler (1874-1928) mengembangkan lebih jauh metode fenomenologis Husserl dan dikembangkan dalam mereduksi metode ilmu pengetahuan. Pemikiran Scheler mempengaruhi Pope John Paul II dan Edith Stein. Selanjutnya Martin Heidegger(1889 -1976) mengkritisi teori fenomenologi Husserl, sebagaimana ia usahakan dalam mengembangkan teori ontologi yang membawa ia pada teorinya tenang Dasein, yaitu “the-non-dualistic human being”.Alfred Schultz (1899 - 1959) mengembangkan fenomenologi tentang dunia sosial yang didasarkan pada pengalaman sehari-hari, yang mempengaruhi para sosiolog utama, seperti Harold Garfinkel, Peter Berger dan Thomas Luckmann.Schultz “menyuling “ pemikiran-pemikiran Husserl yang dipadatkan dalam tulisannya tentang sosiologi melalui pendekatan yang relevan. Ia mengelompokkan tentang penjelasan kenapa pemaknaan subjektif mendorong munculnya objektivitas dunia sosial secara jelas.Alfred Schutz bermigrasi ke Amerika Serikat pada awal perang Dunia II, dimana pada saat itu fenomenologi cenderung mulai dikaji secara akademik. Ia berhasil mentransmisikan pendekatannya dan dikembangkan dalam sosiologi interpretif.Dua aspek yang menonjol dalam pendekatan ini adalah “reality constructionism” dan “ethnomethodology”. Konstruksionisme realitas di sintesis Schutz yang didestilasi dari fenomenologi dan kumpulan pemikiran sosiologi klasik yang diperhitungkan untuk realitas sosial yang mungkin. Etnometodologi mengintegrasikan Personian yang dihubungkan dengan aturan-aturan sosial kedalam fenomenologi dan mengujinya melalui aktor yang membuat kehidupan biasa memungkinkan untuk dikonstruksi.Konstruksionalisme realitas dan etnometodologi diakui sebagai orientasi yang paling jernih dalam lapangan sosiologi.2.3. Teori tentang FenomenologiSchutz, menjelaskan bahwa segala tindakan manusia berlangsung dalam dunia-kehidupan sosial yang mendahului segala penafsiran individu. Dunia-kehidupan sosial yang bersifat pra-teoritis dan pra-ilmiah kata Schutz, bukan sekedar penjumlahanmakna para pelaku individual serta berlapis-lapis menurut struktur yang ditetapkan oleh masyarakat, namun terbangun sebagai “hasil” dari interaksi sosio-kutural masyarakat itu sendiri. Menurut Schutz, objek ilmu sosial itu meliputi segalasesuatu yang termasuk ke dalam dunia-kehidupan, yaitu segala bentuk objek-objeksimbolis yang dihasilkan dalam

Page 6: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

percakapan dan tindakan, mulai dari ungkapan-ungkapan langsung , seperti pikiran, perasaan, dan keinginan, maupun endapan-endapannya seperti teks-teks kuno, tradisi-tradisi, karya-karya seni, barang-barang kebudayaan, teknik-teknik, dan lain-lain, sampai kepada susunan-susunan yang dihasilkan secara tak langsung yang sifatnya stabil dan tertata, misalnya pranata-pranata, sistem sosial, struktur kepribadian, dan lain-lain (Muslih, 2004).Lebih jauh Schutz menjelaskan bahwa wilayah operasi fenomenologi adalahdunia-kehidupan sosial, yang dijumpai oleh subjek (peneliti) sebagai objek-objekyang belum terstruktur secara simbolik. Objek demikian merupakan pengetahuan pra-teoretis yang dihasilkan para pelaku yang bertindak maupun berbicara (aktor).Jadi, objek fenomenologi itu adalah pengalaman pra-ilmiah sehari-hari dari subjek-subjek yang bertindak dan berbicara dalam suatu dunia sosial. Para pelaku dalam dunia-kehidupan tersebut menurut Schultz, bukan berbicara dengan silogisme danbukan bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, melainkan berbicara dalam language game, yang melibatkan aspek-aspek kognitif, emotif, dan volisional manusia, dalam kondisi manusiawi yang wajar.Lebenswelt, menurut Schutz, tak dapat diketahui begitu saja melalui observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan melalui pemahaman (verstehen). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia-sosial adalah makna, bukan suatu kausalitas yang kaku. Dalam fenomenologi, tujuan peneliti mendekati wilayah observasinya adalah untuk memahami makna (sinnverstehen). Dalam konteks ini, penelititidak lebih tahu dari para pelaku dalam dunia sosial (aktor). Dengan cara tertentu, peneliti harus masuk ke dalam dunia-kehidupan yang unsur-unsurnya ingin dijelaskan. Untuk dapat menjelaskannya, ia harus memahaminya. Untuk memahami unsur-unsur tersebut peneliti harus berpartisipasi dalam proses yang menghasilkan dunia-kehidupan itu. Dengan berpartisipasi, berarti ia telah masuk ke dalam dunia-kehidupan.Kontribusi dan tugas fenomenologi adalah mendeskripsikan sejarah dunia-kehidupan, untuk menemukan “endapan makna” yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Oleh karena itu, walaupun pemahaman terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas individu, namun akurasi kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektivitas, yakni sejauhmana “endapan makna” yang ditemukan itu benar-benardirekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati. Intinya, dalam fenomenologi, unsur subjek dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan, sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya (Muslih, 2004)Yang menjadi tugas pokok dalam fenomenologi sosial adalah bagaimana mendemonstrasikan interaksi timbal balik antara proses tindakan manusia, strukurisasi situasi, dan konstruksi realitas. Berdasarkan hal itu, kemudian memberikan isi pada berbagai aspek yang bersifat faktor sebab akibat. Fenomenologi memandangsemua dimensi sebagai pembentukan bagi semua hal. Ahli fenomenologi menggunakanistilah “reflexitivity” untuk karakteristik cara-cara dimana dimensi unsur-unsur pokok menjembatani antara hal-hal yang mendasar dan konsekuensi semua kegiatan manusia. Tugas fenomenologi, adalah membuktikan secara terus menerus ketidakteraturan atau refleksitas dari tindakan, situasi, dan realitas dalam model yangberagam tentang berada di dunia (being in the world).Fenomenologi dimulai dengan analisis tentang sikap alami (natural attitude). Hal ini dipahami sebagai cara individu biasa berpartisipasi secara alami didunia, keberadaan itu terjadi begitu saja, mengasumsikannya secara objektif, serta berusaha mengambil tindakan-tindakan itu sebagai predeterminan. Bahasa, kebudayaan, dan pendapat umum merupakan pengalaman dalam sikap alami sebagai bagiandari dunia ekternal yang dipelajari melalui aktor-aktor dalam lapangan kehidupanmereka.Manusia membuka pengalaman sosial yang dipolakan dan berusaha keras memahami keterlibatan yang berarti dalam dunia yang bisa dipahami. Mereka dicirikanoleh model tipikasi kesadaran yang cenderung mengklasifikasi data yang diamati. Dalam terminologi fenomenologi pengalaman manusia di dunia disebut dengan tifipikasi (typifications). Anak-anak diterpa oleh suara-suara dan dibentuk pandangannya oleh lingkungannya, termasuk badannya sendiri, orang lain, binatang, kendaraan, dan lain-lain. Mereka mencoba menangkap pengkategorian identitas dan mentifikasi arti untuk masing-masing istilah dalam bentuk bentuk linguistik konvens

Page 7: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

ional. Melalui beberapa cara, anak-anak belajar rumusan untuk aktivitas-aktivitas umum. Praktek tersebut diartikan dalam tindakan dan disebut dengan recipes foraction ( cara mempersiapkan untuk berbuat). Tipifikasi dan cara menyiapkan, merupakan sesuatu yang bersifat internal, cenderung untuk menyelesaikan dibawah tingkat kesadaran penuh. Oleh karena itu, menjadi tersedimentasi (sedimented), seperti lapisan bebatuan. Oleh karena itu, dalam sikap yang alami, yang menjadi fondasi pengetahuan aktor tentang arti dan tindakan adalah sukar dan samar-samar bagi aktor sendiri.Aktor berasumsi bahwa pengetahuan itu objektif dan semua pemikiran manusia adalah dalam batas tertentu. Masing-masing aktor berasumsi bahwa masing-masing aktor yang lain mengetahui bahwa apa yang diketahuinya tentang dunia ini: “semua mempercayai bahwa mereka berbagi common sense (pengetahuan umum)”. Bagaimanapun, masing-masing biografi orang itu bersifat unik. Hal itu masing-masing berkembang relatif jelas untuk tipifikasi dan cara mempersiapkan untuk berbuat. Oleh karena itu, interpretasi mungkin menyebar. Interaksi sosial sehari-hari penuhdengan cara-cara dimana aktor menciptakan perasaannya, bahwa “common sense” itudibagi-bagikan (berbagi), bahwa pengertian bersama adalah ditemukan, dan segalasesuatu itu baik-baik saja.Fenomenologi menekankan bahwa kehidupan manusia itu ada dalam dunia intersubjektif, termasuk dalam memperkirakan berbagi realitas. Sementara itu, realitas tertinggi (paramount reality) adalah pengalaman yang bersifat umum, dalam hal ini, realitas tertentu atau “bagian yang terbatas dari pengertian” (finite provinces of meaning) juga dikonstruksi dan dialami oleh kebudayaan, sosial dan pengelompokan keahlian yang beragam.Bagi fenomenologi, semua kesadaran manusia itu bersifat praktis - termasuk juga segala sesuatu. Aktor menuangkan kegiatan-kegiatannya kedalam kata-kata; tindakan mereka diarahkan untuk menerapkan tujuan-tujuannya yang didasari olehtipifikasi dan cara mempersiapkan untuk berbuat, kumpulan pengetahuan mereka ada ditangannya. Kesadaran sebagai proses intensional terdiri dari berpikir, mempersepsi, merasakan, mengingat, berimajinasi, dan mengantisipasi, yang diarahkan untuk dunia. Objek kesadaran, adalah tindakan-tindakan intensional, yang merupakan sumber semua realitas sosial tersebut, sebaliknya, materi adalah pengetahuan umum.Tipifikasi mengacu pada pengetahuan umum yang diinternalisasikan; menjadi sebuah alat dimana kesadaran individual menggunakannnya untuk menyusun dunia-kehidupan(lifeworld), yang menyatukan wilayah kesadaran manusia dan tindakannya.Common sense membantu dalam meyakinkan aktor bahwa realitas itu, diproyeksikandari subjektivitas manusia sebagai realitas objektif. Ketika semua aktor dilibatkan dalam pekerjaan intensional ini, mereka melanjutkan usaha-usaha kolaboratifuntuk mengabstraksi proyeksi mereka dan dengan demikian menguatkan setiap kerangka yang melengkapi alat-alat konstruksi.Interaksi sosial dipandang fenomenologi sebagai sebuah proses timbal balik pengkonstruksian interpretatif dimana aktor menerapkan pengetahuannya untuk kesempatan tertentu. Orang yang berinterakasi, berorientasi pada dirinya sendiridengan orang lain melalui penghitungan jenis-jenis arti aktor dalam tifikasi situasi yang diketahui mereka, melalui common sense. Skema tindakan yang disesuaikan melalui masing-masing aktor untuk memperkirakan rencana kegiatan yang lain.Perilaku yang dihasilkan dari interseksi tindakan intensional mengindikasikanbahwa anggota kolektivitas adalah komunikasi atau koordinasi atau sesuatu yang terjadi diantara mereka. Untuk keanggotaan tersebut, perilaku dan ucapan digunakan sebagai ekpresi indek (indexial expressions) untuk menggambarkan situasi yangmemungkinkan masing-masing diproses melalui interaksi ketika menginterpretasikan orang lain, konteks, dan dirinya sendiri. Melalui penggunaan praktek interpretatif tertentu, anggota mengarahkan situasi untuk dirinya sendiri dalam pengertian hal itu masuk akal, sesuai perasaan dan konsisten. Dalam percakapan mereka,mereka memberi komentar melalui hal-hal yang tidak berhubungan secara jelas, mengisi kesenjangan yang banyak sekali, mengabaikan ketidakkonsistenan, dan mengasumsikan makna secara keberlanjutan, dengan demikian, yang terjadi adalah memformulasikan alasan itu sendiri.Selanjutnya situasi sosial diwujudkan dalam perilaku rutin yang dipolakan, bahwa apa yang tampil bagi investigator positivist merupakan hal yang normatif atau petunjuk aturan. Secara fenomenologis, aturan-aturan adalah indeks ekpresi untuk proses interpretatif yang diterapkan oleh anggota dalam arena interaksimereka. Aturan-

Page 8: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

aturan ditetapkan dalam dan melalui aplikasi mereka. Mengacu pada pencatatan, subjek berusaha keras menggunakan aturan sebagai petunjuk yang jelas. Bagaimanapun, subjek tersebut harus menggunakan semua jenis latarbelakangharapan objek untuk dikelola , menyusun ketidaktahuan antara yang khusus dan yang umum dibawah kondisi yang dikonteks-kan untuk interaksi, dan hal itu dikerjakan melalui tindakan kreatif. Aturan, kebijaksanaan, hirarkhi, dan organisasi diselesaikan melalui tindakan-tindakan interpretatif atau negosiasi para anggota melalui usaha-usaha yang serasi untuk memformulasikan sentuhan-sentuhan pengoperasian yang sesuai dengan rasio, yaitu sistem yang dapat diperhitungkan. Pekerjaan ini adalah struktur kerja untuk situasi lebih lanjut, yang merupakan fondasi sensasional-umum sebagai fakta.Fenomenologist menganalisis yang berkaitan dengan realitas sosial dan bagaimana bentuk-bentuk tertentu dari pengetahuan memberikan kontribusi kepada keadaan tersebut. Hal ini merupakan usulan sebagai dasar argumentasi bahwa tipe-tipe tindakan dan interaksi menjadi pembiasaan (habitualized). Melalui sedimentasi dalam lapisan kesadaran, asal-usul manusia tentang perilaku pembiasaan adalahsukar dimengerti dan produk bersifat eksternalisasi. Sebagai pengertian-berusahakeras, manusia menciptakan penjelasan teoritis dan jastifikasi moral untuk diarahkan pada legitimasi perilaku pembiasaan. Pengalokasian dalam konteks yang lebih tinggi tentang makna, perilaku menjadi objektif. Ketika penginternalisasian oleh generasi yang berhasil, perilaku diinstitusionalisasikan secara penuh sertamenggunakan tekanan yang tinggi melalui kemauan individu. Secara periodik, institusi mungkin diperbaiki melalui respons terhadap ancaman, atau individu mungkinmenyadarinya jika mereka berpindah secara kognitif atau afektif.Suatu kenyataan bahwa orang biasa mencegah pengkonstitusian melalui legitimasi perilaku pembiasaan tersebut. Deretan mulai dari tipifikasi common sensebahasa biasa sampai dengan pengkonstruksian teologi sampai dengan filosofi yangcanggih, kosmologi, dan pengkonseptualisasian ilmu pengetahuan, legitimasi tersebut terdiri dari realitas puncak kehidupan sehari-hari. Lebih jauh, segmentasi kehidupan modern dengan perkembangbiakan makna-sektor generasi, menghasilkan realitas yang majemuk, beberapa diantaranya melalui kompetisi dengan masing-masing pendukung. Dalam dunia realitas perdagangan saat ini, konsumen, dalam berbagai jenjang, memilih legitimasi mereka, seperti halnya mereka memilih pekerjaan dan mengembangkan agama mereka (Berger, 1967)2.4. Fenomenologi dalam PraktikPraktik fenomenologi adalah dengan cara mengembangkan kejadian dalam suatu kajian sebagaimana apa yang dihasilkan pekerjaan peneliti fenomenologi melalui berbagai publikasi. Analisis fenomenologi terhadap isi budaya media massa misalnya, menerapkan unsur-unsur melalui pendekatan untuk menghasilkan pemahaman refleksifkeadaan yang saling mempengaruhi dunia-kehidupan audiens dan materi program (Wilson, 1996). Kemudian, diskursus Talk show dalam TV barangkali dijelaskan sebagai teks sosial yang dibiaskan oleh programer dari identitas konstruk common sense. Realisasi visual menghasilkan imajinasi naratif dimana khalayak disesatkan kedalam pemrosesan penggunaan pengalaman mereka sendiri. Dunia-kehidupan penonton dan representasi TV diaduk kedalam realitas kekuasaan yang menyediakan penontondengan sebuah skema untuk menggambarkan orientasi personal mereka. Kemudian, programer menjelaskan atas orientasi tersebut sebagai identitas materi tambahan untuk pengembangan isi yang baru.Fenomenologi juga mengkaji untuk memahami anak-anak tentang bagaimana diantara keluarganya berinteraksi dan praktek kehidupan sehari-hari yang dihubungkan dengan konstruksi tentang masa kecil. Hal ini mengungkapkan tentang bagaimanatipifikasi unsur-unsur anak-anak dalam kehidupan keluarga dan pengetahuan umumhadir melalui interaksi biasa. Penetrasi dalam dunia anak-anak menunjukkan bahwapraktisi fenomenologi memandang subjek dalam pengertian dirinya sendiri, melalui jenjang dan pandangan anak-anak. Sejumlah investigasi menjauhkan otoritas orang dewasa. Kemudian mencari dan mendapatkan “suara” pengalaman anak-anak tentang unianya sendiri. Kompetensi komunikasi dan interaktif bayi dan anak-anak dipertimbangkan dan tidak berkurang oleh pengendalian melalui jenjang fungsi yang lebih tinggi.Dalam profesi kesehatan, perawat-perawat tertentu, nampaknya secara mendalam diilhami oleh fokus fenomenologi tentang cara-cara merawat yang didasari oleh keketatan pentingnya pengalaman subjektif pasien. Substansi perhatian

Page 9: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

adalahpengabdian atau ketaatan pada penerapan etika untuk definisi berbagai penyakit,bagaimana bahasa dalam membentuk respons pasien terhadap sakit, dan bagaimanadefinisi penyakit model paradigmatik mempengaruhi komunikasi antara profesionaldan pasien. Kerja yang signifikan dalam fenomenologi tentang cacat telah didemonstrasikan bagaimana kehidupan tubuh (live body) yang dialami dalam perubahanbentuk dan bagaimana menjamin rutinitas dapat mengganggu tindakan baru berhubungan dengan cara menyiapkan sesuatu. Praktek nonkonvensional kesehatan juga menguji penilaian bagaimana orang yang menjadi bagian tersebut dan orientasi subjektif aktor secara reflektif saling berkaitan dengan lambang budaya dan diskursus terhadap merubah diri. Selanjutnya, kerja fenomenologi menunjukkan bahwa emosi merupakan analisis sangat baik sebagai proses interpretasi yang dapat disisipkankedalam konteks pengalaman.2.5. ImplikasiBagi Fenomenologi, masyarakat, realitas sosial, aturan sosial, institusi, organisasi, situasi, interaksi dan tindakan individual adalah sebuah konstruksi yang dapat dipahami sebagai entitas “Suprahuman”. Fenomenologi beranggapan lebih jauhbahwa manusia merupakan agen yang kreatif (creative agents) dalam mengkonstruksi dunia sosial (social worlds) (Ainlay, 1986). Hal ini berasal dari kesadaran yang semuanya dapat dimunculkan. Alternatif pekerjaan kreatif mereka adalah berkaitan dengan ketidakmengertian, solipisme, dan kekacauan (chaos): dunia adalah boneka yang membisu, dimana masing-masing saling tidak berhubungan satu sama lain, dan kehidupan bersifat tidak beraturan (Abercrombie, 1980). Hal ini merupakanmimpi buruk fenomenologi .Fenomenologist berupaya untuk mencatat substansi yang menyesatkan dari produk sosial dan menghindari jebakan memperlakukan konsep sebagai objek (reification). Dalam memandang fenomena sosial, dengan sikap alami (natural attitude) sebagai objek, dan tidak hanya menekankan aspek yang bersifat legitimasi, namun lebih bersifat analisis. Dalam menginvestigasi produk-produk sosial, ditekankan pada tindakan-tindakan manusia yang penuh arti, bagaimana produk-produk tersebutdisepakati atau diartikan sebagai sikap, perilaku, keluarga, usia, kelompok etnik, klas, masyarakat, dan lain-lain (Armstrong, 1979). Produk sosial dikupas untuk menyingkap bagaimana aktor mengkonstruksi dirinya sendiri, yang menyadari bahwa diri mereka adalah aktor yang mengkonstruksi subjek mereka dan dirinya sendiri.Fenomenologi memahami bahwa masyarakat merupakan konstruksi manusia yangmudah pecah, dengan lapisan yang tipis oleh pemikiran abstrak. Fenomenologi itusendiri bersifat evaluatif dan netral secara politis. Secara inheren, hal ini mempromosikan bukan hanya pekerjaan yang bersifat transformatif, melainkan juga stabilisasi. Dalam pekerjaannya, secara konservatif cenderung praktis, proseslegitimasi mungkin didukung, dimana praktisi liberal mungkin berusaha mendapatkan kebocoran atau membuktikan ketidakbenaran legitimasi (Morris, 1975). Fenomenologi dapat digunakan untuk menyingkap dan mendukung konstruksi terbaik tentang manusia atau mengungkap dasar-dasar teoritis tentang penindasan dan represi (Smart, 1976). Fenomenologis bersikeras atas kebutuhan untuk pemaknaan, keterkaitan secara subjektivitas, dan peka terhadap kelompok masyarakat atau sekelompok orang yang hidup bersama karena kepercayaan, minat yang serupa. Kebutuhan tersebutmungkin dipenuhi melalui apa yang ada atau emansipasi realitas (Murphy, 1986).Pengaruh fenomenologi terhadap sosiologi kontemporer dapat dilihat dalamkerangka teoritis pengembangan kemanusiaan, metode riset, prosedur penilaian pendidikan, dan model instruksional. Pemikiran fenomenologi mempengaruhi kerja postmodernis, poststrukturalis, kritis, dan teori neo-fungsional (Ritzer, 1996). Anggapan seperti konstruksionalisme, situasionalisme, dan refleksifitas adalah inti dari fenomenologi yang juga memberikan dasar-dasar untuk formulasi baru-baru ini. Sebagai contoh, premis poststrukturalisme bahwa bahasa merupakan konstitusi sosial menolak kemungkinan untuk pemaknaan yang objektif, merupakan akar yangsangat jelas bagi fenomenologi. Prosedur ini dikenal dengan dekonstruksi (deconstruction) yang secara esensial terbalik dengan proses reifikasi yang menonjol dalam fenomenologi (Dickens dan Fontana, 1994). Postmodernis berargumen bahwa pengetahuan dan realitas merepresentasikan dunia sebagai konstruktor realitas lebihlanjut menjadi contoh dari tujuan fenomenologi berkenaan dengan refleksivitas (Bourdieu, 1992). Dengan kata

Page 10: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

lain, fenomenologi telah digunakan untuk mengubah lebih dari sekedar nihilistik postmodernisme dan poststrukturalisme (O’Neil, 1994). Neo-fungsionalisme, lebih inklusif untuk pendahulunya, dalam mendapatkan ruang untuk fondasi mikro sosial, yang memfokuskan diri pada aktor sebagai agen konstruktif (Layder, 1997).Fenomenologi, berkesempatan mengingat kembali dan mengidentifikasi perubahan dalam disiplin sosiologi, seperti mempengaruhi arus penelitian, termasuk pendekatan penelitian kualitatif dalam penelitian konvensional yang secara umum mengekspresikan akomodasi tersebut (Bentz and Shapiro, 1998). Penerimaan terbesartentang wawancara intensif, observasi partisipatori, dan fokus group merefleksikan kesediaan sosiologis non-fenomenologis untuk mengintegrasikan pendekatan subjektivis kedalam kegiatan akademik mereka. Studi tentang konstruksi kesadaran sebagai metode penelitian telah menjadi luas dan lebih kuat berdiri dalam sosiologi dalam komunitas akademik (Aho, 1998).Fenomenologi telah membuat semacam “merek” dalam area kebijaksanaan pendidikan atas sejumlah jenjang pendidikan. Kesalahan dalam ujian objektif telah dialamatkan menggunakan alat fenomenologi. Isyu tentang validitas konstruk , kaitan antara observasi dan pengukuran, telah dipelajari etnografik sebagai aktivitas dikursif untuk menjernihkan praktek pekerjaan melalui riset pendidikan dalammenetapkan validitas (Cherryholmes, 1988). Test terhadap anak-anak telah mengembangkan respek subjektivitas pemberi test. Pendidik lebih waspada terhadap kebutuhan untuk memahami pembelajar sosial dan proses kognitif, untuk dibawa kedalam perhitungan pembatasan parameter kesadaran, dan untuk mendorong refleksi kesadaran diri. Praktek instruksional yang menekankan pendekatan aliran konstruktif telah mendapatkan dukungan yang besar dari para profesional dan telah mengimplementasikan secara luas manfaatnya bagi para pelajar (Marlowe dan Page, 1997).Masa depan dampak fenomenologi akan tergantung pada gaung dengan kebutuhan dan apirasi munculnya generasi ahli ilmu sosial. Pengendalian beberapa diantara generasi yang muncul ini, memikirkan dengan seksama dengan kesabaran yang tidak terbatas dan daya tahan bahwa hal itu membutuhkan pencapaian dengan penetrasi pengertian yang mendalam. Area analisis diskursus barangkali tergantung padaharapan terbesar pencapaian ini dan akan seperti menimbulkan usaha substansial.Fenomenologi tentang emosi juga muncul menggoda para akademisi muda. Analisis repleksif media budaya dan populer dalam hubungannya dengan identitas formasi akan seperti menarik perhatian lebih jauh, seperti dalam studi virtualitas, cyberspace, dan komputer simulcra. Studi tentang anak-anak, keluarga dan pendidikan akan berkembang yang dinformasikan melalui penekanan atas konstruksi kesadaran.Fenomenologi pada prinsipnya adalah mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Ada tiga prinsip yang tercakup didalamnya, yaitu: (1) sesuatu itu berwujud, (2) sesuatu itu tampak, dan (3) karena sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat tanpa melakukan modifikasi. (G.Van der Leeuw, dalam Muslih, 2004).Fenomenologi merupakan gerakan yang mencakup berbagai doktrin yang memiliki inti umum. Inti umum atau penyebut umum ini mempersatukan berbagai sistem dan pembenar bahwa suatu sistem adalah fenomenologi (Misiak dan Sexton, 2005).Peran fenomenologi dalam filsafat dan ilmu pengetahuan masih signifikan.Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan fenomenologi dalam mengatasi berbagai masalah yang dihadapi. Misalnya berkaitan dengan pertanyaan dan pengembangan sistemnilai yang memiliki kegunaan bagi kelangsungan hidup manusia.

BAB 3METODE PENELITIAN3.1. Metode PenelitianDalam penelitian ini, peneliti berupaya untuk mengungkapkan fenomena dunia pemulung berdasarkan pandangan mereka sendiri, sehingga metode yang dianggap paling sesuai adalah fenomenologi. Fenomenologi merupakan salah satu pendekatan

Page 11: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

kualitatif. Denzin dan Lincoln (1994) mengatakan bahwa penelitian kualitatif bersifat multi metode dalam fokusnya. Menggunakan pendekatan naturalistik interpretif terhadap subjek yang diteliti. Hal ini berarti bahwa penelitian kualitatif mempelajari apapun di dalam setting alamiahnya, dengan berusaha untuk memberikan makna atau menafsirkan fenomena menurut makna yang diberikan orang kepadanya.Sementara itu, Creswell (1998) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah proses penelitian untuk memahami-yang didasarkan pada tradisi penelitian dengan metode yang khas- yang meneliti masalah-masalah manusia atau masyarakat. Dalam halini, peneliti berupaya untuk membangun gambaran yang kompleks dan holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara terperinci dan melakukan penelitian dalam setting alamiah.Miles dan Huberman (1994) memberikan karakteristik penelitian kualitatif, yakni:(1) penelitian kualitatif dilakukan dengan kontak yang intens dan/atau lama dilapangan atau situasi kehidupan. Situasi tersebut secara tipikal adalah situasi normal atau “banal” yang mencerminkan kehidupan sehari-hari individu, kelompok, masyarakat dan organisasi; (2) peranan peneliti adalah memperoleh pandangan holistik (sistemik, komprehensif, terpadu) mengenai konteks yang diteliti, baik dariaspek logika, susunan aturan eksplisit dan implisit; (3) peneliti berusaha menangkap data berdasarkan persepsi “aktor lokal” dari orang dalam”, melalui proses perhatian yang mendalam, pengertian yang empatis (verstehen), dan dengan menangguhkan atau “bracketing” prakonsepsi tentang topik yang diteliti. Dengan membaca bahan-bahan ini, peneliti dapat memisahkan tema-tema dan pernyataan tertentu yang dapat dikaji ulang bersama informan, tetapi yang harus dipertahankan adalah dalam bentuknya yang awal selama penelitian; (4) tugas utama peneliti adalah menjelaskan bagaimana orang dalam setting tertentu memahami, menjelaskan, bertindak,dan menghadapi situasi keseharian mereka; (5) ada berbagai interpretasi tentangbahan, namun interpretasi yang paling urgen adalah berdasarkan alasan teoretis atau konsistensi internal; (6) dalam penelitian kualitatif, peneliti b/ merupakaninstrumen utama; (7) kebanyakan analisis dilakukan dengan kata-kata. Kata-katatersebut dikumpulkan, diklasifikasi, dipecah-pecah ke dalam segmen semiotik. Kata-kata diorganisasikan agar peneliti mampu mengkontraskan, membandingkan, menganalisis, serta menetapkan pola-pola padanya.Menurut Creswell (1998), dalam penelitian kualitatif, peneliti harus bersedia untuk: (a) menghabiskan waktu seluas-luasnya dilapangan, menjalin hubungan baik dengan partisipan, serta memperoleh perspektif “orang dalam”; (b) terlibat dalam proses analisis data yang kompleks dan “time consuming”. Sejumlah besar data harus harus dipilah-pilah dan direduksi menjadi beberapa tema dan kategori; (c)menulis paragraf panjang, karena bukti harus mendukung pernyataan dan penulis perlumenunjukkan perspektif yang majemuk; serta (d) berperan serta dalam bentuk penelitian manusia dan masyarakat, dimana sedikit sekali petunjuk jelasnya atau prosedur spesifiknya, serta terus menerus berkembang dan berubah.Selain aspek peneliti, aspek rancangan penelitian kualitatif harus menggambarkanaspek-aspek berikut: (a) bersifat holistik, memandang gambaran lebih besar, gambaran keseluruhan, serta dimulai dengan sebuah upaya untuk memahami keseluruhan,(b) mengamati hubungan-hubungan di dalam sebuah sistem atau budaya; (c)merujukkepada proses yang personal, tatap muka, dan langsung; (d) difokuskan pada upayauntuk memahami setting sosial yang terjadi, tanpa harus membuat prediksi tentang setting itu; (e) memerlukan kehadiran peneliti pada setting penelitian untuk waktu yang lama; (f) membutuhkan alokasi waktu analisis yang sama dengan waktu yang dihabiskan di lapangan; (g) peneliti harus mengembangkan sebuah model yang menyerupai apa yang terjadi di setting sosial; (h) peneliti diwajibkan untuk menja di instrumen penelitian. Hal ini memberi makna bahwa peneliti harus memiliki kemampuan untuk mengamati perilaku serta menajamkan keterampilan yang diperlukan untuk observasi dan wawancara tatap muka; (I) memasukan informed consent decisiondan responsif terhadap permasalahan etika; (j) menyediakan ruang untuk deskripsiperan peneliti sebagaimana juga deskripsi bias peneliti dan rujukan ideologisnya, serta (k) memerlukan analisis yang berkelanjutan terhadap data yang dikumpulkan.3.2. Prosedur penelitian3.2.1. Tahapan Berpikir FenomenologiDalam fenomenologi, terdapat tahap-tahap

Page 12: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

berpikir, yakni (1) adanya Intensionalitas (keterarahan isi kesadaran), dan (2) reduksi.Mengacu pada pemikiran Laksmi G. Siregar (2005) mengemukakan bahwa “gejala mental selalu memperlihatkan pengarahan yang tertuju kepada ketiadaan intensional dalam arti bahwa kita menghadapi suatu pengarahan dalam kesadaran yang sekaligus menunjukkan pada suatu objek dalam kesadaran. Dengan demikian, gejala-gejala mental merupakan fenomena yang melingkupi atau mengandung suatu objek secaraintensional dalam kesadaran”.Heriaty (1978) mengatakan bahwa kesadaran adalah intensionalitas (Terarah pada suatu hal) dan merupakan kesatuan dari hal-hal yang dilihat, diingat atau dipikirkan. Intensionalitas selain mengarah pada objek, juga ada beberapa aspek lainnya, yakni melalui intensionalitas terjadi objektivitas, yang artinya bahwa unsur-unsur daam arus kesadaran menunjuk pada suatu objek dan terhimpun pada objek tersebut. Dengan demikian, objek itu tampil karena data itu sekarang telahterhimpun, sedangkan lazimnya merupakan sekedar indrawi yang lepas satu sama lainnya (Siregar, 2005).Michel Lincourt (1999) mengatakan bahwa intensionalitas dihasilkan olehdua cara intelektual yang secara tetap aktif dalam metode fenomenologi, yakni pembicaraan (penulisan) yang rasional dan pemahaman yang berdasarkan intuisi. Siregar (2005) menambahkan bahwa pembicaraan/penulisan rasional itu dapat juga disebut sebagai praktik dari refleksi. Fenomenologi menghendaki bahwa tidak mencukupihanya mengalami fenomena melalui persepsi empiris. Seseorang harus menjajagi lebih dalam daripada hanya sekedar persespsi realitas secara “commonsense”, dan dengan merefleksikannya ia dapat merenggut arti dibalik arti. Siregar (2005) menambahkan lagi bahwa intensionalitas produktif ialah esensi untuk kesadaran yang manapun juga, semua kesatuan intensional ialah kesatuan-kesatuan yang dikonstitusikan dan konstitusi itu dapat dianalisis.Herbert Spiegelberg (1971) mengatakan bahwa kategori yang paling pentingdalam fenomenologi adalah intensionalitas (kesadaran). Kesadaran manusia, menurut Husserl, selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Karena itu, dalam setiap tindakan kesadaran terdapat dua kutub, yang diindikasikan dengan istilah neotic dan neomatic (tindakan intelek murni, melulu pemikiran). kesadaran, seperti yangdikemukakan Spiegelberg (1971) tiada lain adalah intensional, mengarah pada sesuatu yang disadari, disebut objek intensional atau neomatic. Adapun setiap aktivitas menyadari sesuatu disebut aktivitas menyadari atau neotic.Husserl mengatakan bahwa kesadaran bukan semata-mata sesuatu yang didalamnya sendiri dan kemudian memasuki hubungan pada sesuatu yang lain lagi. Hubungan pada yang lain ini memasuki tindakan yang paling inti. Jadi, akibatnya kesadarn itu turut ditentukan oleh istilah-istilah yang terkait ( Spiegelberg, 1971). Kemudian Husserl memberikan aspek-aspek yang penting dalam intensionalitas, yakni: (a) melalui intensionalitas terjadi objektivikasi, yakni unsur-unsur dalam arus kesadaran menunjuk pada suatu objek, terhimpun pada suatu objek tertentu; (b)melalui intensionalitas terjadilah identifikasi. Hal ini merupakan akibat dari objektivikasi. Artinya, berbagai data yang tampil pada peristiwa yang lalu masihpula dapat dihimpun pada objek sebagai hasil objektivikasi tadi. Oleh karena itu, intensionalitas menunjukkan kemampuannya untuk mengadakan sintesis sedemikianrupa sehingga berbagai aspek, segi dan tahap pada suatu objek akan berintegrasisebagai unsur-unsur yang berhimpun pada satuan yang identik; (c)intensionalitasitu saling menghubungkan (korelasi) segi suatu objek dengan segi yang mendampinginya. Setiap aspek dari objek yang identik menunjuk pada aspek lain yang menjadi horizonnya; (d) intensionalitas mengadakan konstitusi (menciptakan). Prestasi yang sesungguhnya dari intensionalitas terletak pada konstitusi ini. Adapun yangdibentuk oleh konstitusi ialah objek intensional, sehingga kegiatan intensionalmenjadi suatu prestasi. Oleh karena itu, menurut Spiegelberg (1971), objek intensional itu dimulai atau dibentuk oleh objek intensionalitas itu sendiri, tidak merupakan suatu objek yang langsung tersedia bagi pengarahan sejak semula.Aspek yang kedua adalah reduksi. Heraty (1978, dalam Siregar, 2005) mengemukakan pemikiran Husserl yang mengatakan bahwa untuk mereduksi, berarti membawa keadaan langsung yang sudah dikembalikan pada yang esensial, dan hal yang asli. Menurut Husserl, reduksi tidak mempermasalahkan fakta, melainkan struktur logis sebagai syarat. Reduksi, terdiri dari tiga tahap, yakni: pertama, disebut reduksi eiditik, yakni suatu reduksi untuk menangkap “eidos” atau hakikat (esensi).Tahap ini merupakan tahap persiapan untuk menghadapi

Page 13: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

fenomena. Reduksi ini, menurut Siregar (2005) dilangsungkan dengan suatu proses imajinasi bebas untuk menemukan ciri-ciri khas, atau yang menentukan identitas suatu gejala yang disebut proses pembentuk gagasan (ideation). Dalam hal ini, lanjut Siregar (2005), kehadiran atau tidak hadirnya sebagai suatu fakta empirik tidak menjadi soal lagi, karena hal ini sudah merupakan tugas naturalisme. Yang menjadi persoalan dalam tahap ini adalah bagaimanakah menangkap hakikat hasil reduksi, dimana sifat ketunggalan (individualitas) dan kekhususan telah ditinggalkan. Kedua, disebut reduksi fenomenologik, yang menyampingkan hal yang sifatnya nonesensial dan kebetulan, supaya diperoleh situasi murni yang tersedia. Dalam tahap ini, reduksi tidak sajamenjauhi dunia alamiah melainkan mendekati ke arah yang dituju, dimana aspek negartif tersebut ditekan oleh reduksi fenomenologik, yang dalam konteks ini dikenal pula sebagai aspek positif, atau dikenal dengan istilah reduksi transendental. Aspek positif, menurut Siregar (2005) bermaksud untuk sampai kepada subjek transendental, dalam arti menangkap syarat transendental pada suatu subjek pada kutub subjektif intensionalitas sambil menjauhi kutub objektif pada intensionalitas.Menurut Spiegelberg (1971), kutub objektif pada intensionalitas merupakan aspek imanen, sedangkan kutub subjektif karena pengarahan oleh intensionalitasmerupakan aspek transenden. Sebagai hasil dari reduksi fenomenologik, diperoleh secara murni struktur intensionalitas pada kesadaran, kesadaran secara universal dan fundamental. Hal yang tersisa setelah reduksi fenomenologik, menurut Spiegelberg disebut dengan kesadaran absolut, kesadaran murni.Tahap ketiga, disebut dengan reduksi transendental. Melalui reduksi transendental, yang diberi kurung bukan hanya terbatas pada prasangka terhadap objek, tetapi juga pada keberadaan dari realitas secara keseluruhan. Maka yang akan tampak kepermukaan setelah kita memberi tanda kurung itu, adalah kesadaran kita sendiri serta aktivitasnya, yakni “aktivitas yang memberi makna transenden kepadaapa yang sebenarnya merupakan bagian integral di dalam kesadaran kita”. Husserlmengatakan bahwa kesadaranlah yang sebenarnya merupakan landasan, akar, atau hakekat yang ada pada setiap pengetahuan atau teori ilmiah yang telah kita kenal.Tanpa kesadaran, ujar Husserl, tidak ada yang namanya pengetahuan atau teori ilmiah. Oleh karena itu, tujuan dari reduksi transendental adalah untuk menelusuridan mengungkap sumber segala pemaknaan dalam ksedaran kita sendiri.3.3. Subjek PenelitianSubyek dalam penelitian ini adalah pemulung yang beroperasi di wilayah Rancaekek. Melalui wawancara mendalam (depth interview) terhadap 15 pemulung, akhirnya diperoleh 10 orang pemulung yang memenuhi kualifikasi informan, dimana dapat diklasifikasi menjadi 5 kelompok berdasarkan identitas tempat memungut sampah, yakni:2 orang pemulung dengan menggunakan karung plastik, 2 orang pemulung dengan menggunakan becak “terbuka, 2 orang pemulung dengan menggunakan gerobak dorong, 2 orang pemulung dengan menggunakan becak gerobak, dan 2 orang pemulung dengan menggunakan sepeda, yang dikiri dan kanannya diberi karung plastik.3.4. Lokasi PenelitianPenelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yakni mulai bulan Oktober hinggaakhir Desember 2008. Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Rancaekek Kabupaten Bandung dan sekitarnya.3.5. Proses PendekatanUntuk memperoleh data dan fakta yang dapat diandalkan, maka peneliti berupaya untuk mewawancarai subjek penelitian (pemulung) dengan berbagai pendekatanyang tentu saja membutuhkan kesabaran, ketelatenan dan fokus pada jawaban-jawaban yang diungkapkan pemulung. Seringkali peneliti bertemu dengan pemulung pada saat pagi sekali, setelah shalat subuh. Mereka peneliti temui ketika sedang mencari barang-barang yang berharga (menurut mereka) dari tempat sampah di depan rumah. Dengan berbicara baik-baik, peneliti dapat berbincang-bincang dengan salahseorang pemulung. Pembicaraan memakan waktu sekitar setengah jam. Kemudian, sebagai tanda terimakasih, peneliti memberi uang alakadarnya, untuk makan. Kemudiankami berjanji untuk ngobrol lagi pada hari berikutnya. Akhirnya, selain peneliti memperoleh informasi yang sangat lengkap (sesuai dengan tujuan penelitian), peneliti pun mendapat akses untuk mewawancarai pemulung yang lain, hingga bisa mengakses dan atau mendatangi tempat tinggal mereka.Tentu saja, pendekatan yang dilakukan terhadap subjek penelitian terdapat keragaman. Namun

Page 14: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

yang paling mendapat respons adalah dalam bentuk pemberian uang.3.6. Penentuan Pemilihan InformanKriteria utama yang dijadikan dasar untuk memilih informan adalah pemulung yangtelah menekuni bidangnya, paling tidak selama 3 tahun. Mengapa 3 tahun? Karena selama waktu itu, mereka dapat merasakan dengan sesungguhnya pahit manisnya menekuni bidang kerja tersebut. Mereka dapat mengartikulasikan pengalaman dan pandangannya tentang sesuatu yang dipertanyakan (Kuswarno dalam Mulyana dan Solatun, 2007). Selain itu, peneliti juga mengacu pada pedoman yang dikemukakan Bogdan danTaylor (1993), yakni: (1) subjek bersedia menerima kehadiran peneliti lebih baik, (2) subjek mampu dan mau mengutarakan pengalaman masa lalu dan mutakhir, (3)subjek dinilai menarik oleh peneliti karena memiliki pengalaman yang khusus, dan(4) peneliti menghindari subjek yang memiliki asumsi-asumsi ataupun praduga yang mewarnai penafirannya terhadap yang diungkapkannya.Berdasarkan kejenuhan data dan kelayakan informasi, maka dari 15 orang pemulung yang dijadikan informan, maka ada 10 orang informan yang dipilih peneliti untuk dijadikan subjek penelitian. Melalui 10 orang informan inilah peneliti berupaya untuk menggali fenomena kehidupan pemulung yang berkaitan dengan tujuanpenelitian ini.3.7. Teknik Pengumpulan DataDalam penelitian ini, data dikumpulkan melalui berbagai cara, terutama melalui wawancara mendalam dan observasi nonpartisipan. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai “outsider”, yaitu seseorang yang dikenal oleh pemulung sebagai peneliti, atau “memperhatikan” segala gerak mereka berkaitan dengan pekerjaan dankehidupannya.Peneliti tidak bertindak sebagai pemulung, namun seringkali mengikuti kegiatan-kegiatan mereka. Wawancara dilakukan terhadap pemulung baik ketika merekaseorang diri, pada saat berkumpul dengan sesama mereka, maupun ketika sedang berada di rumah masing-masing. Dalam kegiatan wawancara tersebut, peneliti berupaya untuk tidak mengganggu kealamiahan suasana dengan berupaya untuk tidak memperlihatkan alat-alat perekam maupun gambar (camera). Sehingga “obrolan” mengalir begitu saja, apa adanya, sehingga pengungkapan-pengungkapan melalui tuturan dan yang diperloihatkan melalui ekspresi tubuh pemulung, memperlihatkan keadaan yang sebenarnya.Peneliti juga berupaya untuk “merekam” kehidupan keseharian pemulung dengan berkunjung dan “mengikuti” keseharian mereka setelah pulang “kerja”. Tentu saja melalui kegiatan ini kehidupan keluarga dapat pula terungkap.3.8. Prosedur Pencatatan DataAgar data tercatat “utuh”, maka peneliti berupaya untuk merekam pembicaraan dengan cara menyembunyikan alat perekam tersebut. Selain itu, peneliti juga berupaya sesegera mungkin mencatat segala jawaban subjek penelitian, setelah wawancara selesai dilaksanakan. Untuk dokumentasi visual, peneliti meminta ijin untuk memotret beberapa aktivitas pemulung/informan. Dengan demikian, aktualitas dan keakuratan data melalui prosedur demikian mudah-mudahan terjaga keorisinilannya.BAB 1VHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN4.1. Pengumpulan FaktaFakta dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara dengan sasaran, terutama dengan pemulung yang dianggap sebagai pemimpin bagi kelompoknya; observasi langsung lokasi-lokasi operasi pemulung dan tempat tinggalnya, penelaahan data pemulung dari BPS, serta studi kepustakaan yang relevan dengan permasalahan. Data-datatersebut mencakup antara lain: kondisi lingkungan, usia, status perkawinan, status pendidikan, penghasilan, asal-usul pemulung, pekerjaan semula, jumlah anak,serta status tempat tinggal.4.1.1. Kondisi Fisik dan LingkunganTempat tinggal Pemulung yang beroperasi di Rancaekek Bandung menyebar mulai dariwilayah Cileunyi, Cipacing, Rancaekek, Majalaya, Ciparay,Cicalengka, bahkan adayang berasal dari Nagrek.Gambaran tentang kondisi fisik menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Pada umumnya, mereka mengontrak rumah secara bersama-sama dengan kondisi seadanya.Jika dilihat dari bahan material yang digunakan untuk bangunan, maka kondisinyasangat menyedihkan. Dinding ‘ rumah ‘ pada umumnya tersebut dari ‘ ghedek ‘yangbersulam seng atau kardus dan bahan-bahan sisa lainnya. Demikian juga atap yangdigunakan, pada umumnya terbuat dari genting yang bersulam dengan seng bekas danrumput ilalang.Kondisi di dalam ‘ rumah ‘ pada umumnya menunjukkan keadaan yang ‘ tidaklayak ‘ jika diukur dari keadaan rumah sebagaimana layaknya. Ruangan yang pengap, kurang ventilasi, serta perabotan yang kotor menunjukan bahwa penghuninya dalam kondisi yang amat miskin.Kondisi lingkungan jelas-

Page 15: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

jelas menunjukkan keadaan tidak sehat atau kumuh ( slum). Sampah-sampah bertebaran di setiap penjuru rumah, genangan air kotor,lalat-lalat berterbangan dan berkerumun, serta jamban untuk MCK yang letaknya tidak jauh dari ‘ rumah ‘ yang merupakan satu-satunya yang dimiliki oleh penghuni, keadaanyapun sangat kotor.Secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi fisik dan lingkungan “rumah” pemulungsangat tidak layak.4.1.2. Status PerkawinanBerdasarkan observasi yang dilakukan, status perkawinan pemulung menunjukkan adanya variasi. Ada yang telah menikah dan mempunyai anak, belum menikah, duda, danjanda.4.1.3. UsiaUsia pemulung berada pada kisaran 16 hingga 60 Tahun.4.1.4. PendidikanPendidikan pemulung pada umumnya sangat menyedihkan. Sebagian besar mereka tidak pernah sekolah, pernah sekolah SD tidak tamat, dan ada pula yang tamat SD.Rendahnya tingkat pendidikan pada Pemulung dapat di sebabkan oleh banyakfaktor, namun faktor yang paling dominan adalah faktor sosial ekonomi yang tidak mendukung kehidupannya secara baik.4.1.5. Penghasilan PemulungPenghasilan pemulung bervariasi, dari Rp. 3.000, perhari, hingga Rp. 20.000 Perhari, tergantung dari “nasib baik”Dengan demikian penghasilan mereka jika diukur berdasarkan Standar minimum, termasuk kategori sangat miskin. Penghasilan sebesar itu, hanya cukup untukkebutuhan akan makan dan minum secara sederhana saja, sedangkan untuk kebutuhansandang, papan, dan juga pendidikan serta kebutuhan fisik-fisik lainnya sudah jelas tidak akan terpenuhi.Keadaan kehidupan Pemulung benar-benar seperti lingkaran setan. Antara faktor kehidupan yang satu sangat berpengaruh pada kehidupan yang lainnya. Kehidupan sebagai pemulung merupakan upaya mereka dalam mengatasi soal ekonomi dimana di daerah asalnya kehidupan ekonomi merekapun jauh lebih parah dari keadaan saat ini.4.1.6. Daerah Asal PemulungPada umumnya Pemulung yang beroperasi di Rancaekek adalah pendatang ataudisebut juga dengan istilah “urban poor “. Yang diakibatkan oleh nilai tambahdalam kehidupan ekonomi di daerah asalnya sangat parah.Adapun asal usul atau kampung halaman Pemulung sebelum datang ke Rancaekek antara lain berasal dari Indramayu, Cilacap, Kuningan, Cirebon, Subang, Pangalengan, Majenang, Gunung Kidul (Yogjakarta) dan daerah-daerah lain.Pada umumnya, para Pemulung melakukan urbanisasi disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tidak adanya lahan garapan, terbelit hutang, upah yang tidak cukup, dan lain-lain.4.1.7.Latar Belakang Pekerjaan Asal PemulungPemulung yang diobservasi mempunyai latar belakang pekerjaan sebagai wiraswasta kecil. Yang di maksud dengan wiraswasta kecil adalah mereka yang mencarinafkah dengan cara berdagang makanan jajanan, warung kecil dan lain-lain. Dan ternyata penghasilan dari usaha semacam ini ( bagi yang sekarang jadi Pemulung )kurang menguntungkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang Pemulungterungkap bahwa jika dibandingkan kehidupan terdahulu ( di daerah asal ), ternyata bahwa kehidupan sebagai sehari-hari mereka cukup terjamin ( istilah mereka,tidak perlu lagi sehari makan sehari tidak seperti ketika di daerah asalnya ).4.1.8. Stratifikasi Sosial PemulungApabila dilihat dari “ struktur sosial yang ada pada masyarakat Pemulungmaka terdapat pula stratafikasi sosial yang mercerminkan adanya lapisan-lapisandi dalam masyarakat tersebut, yaitu ada “ Penampung “ dan ada “ Pemulung “. Penampung adalah orang yang melakukan kerja menampung hasil kerja Pemulung, yaitu barang-barang pulungan, dengan cara membelinya sesuai dengan tarif yang disepakati secara umum setelah dilakukan penyortiran dan penimbangan di jual kembali kepada Bandar, dimana Bandar ini merupakan strata masyarakat yang lebih tinggi dalam kaitannya dengan hal yang sama ( Emka, 1981:3).4.1.9. Motivasi Pemulung dalam meningkatkan penghasilanMotivasi Pemulung untuk meningkatkan penghasilanya dapat dikatakan cukuptinggi. Mereka ingin meningkatkan penghasilannya dari pekerjaan Pemulung, sedangkan yang lainnya menyatakan hanya mengisi waktu kosong sambil mencari pekerjaanlain yang lebih layak, dan sisanya menyatakan bahwa mereka menjadi Pemulung karena terpaksa oleh keadaan dan motivasi untuk meningkatkan penghasilan dari bekerja sebagai pemulung memang kurang ( Ballilah, 1985 ) Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dipahami bahwa motivasi mereka memilih pekerjaan memulung barang-barang bekas dalam kaitannya dengan

Page 16: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

peningkatan pendapatan memang tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Tingginya motivasi mereka untuk meningkatkan pendapatan nya berkaitan erat dengan keadaan ekonomi Pemulung yang dalam keadaan kekurangan.4.2. “Diri Informan” Sebagai PemulungMenggali “diri” informan pada prakteknya memerlukan ketekunan dan kesabaran mental, karena pada tahap awal, subjek penelitian sangat tertutup dan sulit untuk didekati. Secara bertahap, akhirnya peneliti dapat “mendekati” subjek penelitian,yang kemudian melalui salah seorang subjek penelitian tersebut, peneliti dapat “mendekati” subjek-subjek penelitian lainnya. Berikut akan dikemukakan “diri” subjek penelitian, seperti yang penulis catat melalui obrolan (depth interview) dengan mereka.Informan pertama yang penulis kenal dan diajak ngobrol adalah Adi. Adi seorang pemuda berusia 21 tahun berperawakan kecil, tinggi badan sekitar 167 cm,berkulit cokelat. Saat pertama berjumpa di depan rumah peneliti, sekitar pukul 05.00 setelah shalat subuh. Saat itu ia sedang mencari barang dari tempat sampah.Peneliti menyapa dan meminta untuk mengobrol dengan dia. Dengan wajah yang ragudan curiga, ia kemudian bertanya “ aya naon kitu pa?”. Kemudian peneliti berupaya menjelaskan tentang tujuan yang diinginkan. Kemudian ia masih meragukan keinginan peneliti, dan membuat alasan” kumaha pa bilih abdi teu kabagean alaeun? Beakeun ku batur?” Peneliti menjelaskan kepadanya bahwa pendapatan dari hasil kerjanya akan diganti, asal ia mau diajak ngobrol. “Sabaraha beubeunangan sapoena kang?” Si Adi menjawab “ teu tangtu pa, mun keur alus milik aya nepi ka Rp.30.000 na, tapi mun keur apes mah... ngegel curuk we...”. “Oh kitu nya, keun ku bapa diganti Rp. 50.000,- asal didinya nyaritakeun nu sabenerna, daek teu?”. “enya daekpa”. Proses interview dilakukan di depan rumah (teras) peneliti, tentu saja sambil minum kopi dan goreng pisang yang dibuat istri peneliti.Adapun hasil wawancara tersebut penulis buat dalam skript berikut: Adi,nama lengkapnya Adi Jatnika, Lahir di Kertasari Daerah Bandung Selatan, 21 tahunyang lalu, merupakan anak ke 4 dari lima bersaudara. Ayahnya seorang pekerja perkebunan yang pekerjaannya sebagai tukang membersihkan rumput (tukang ngored) yang tumbuh di sela-sela pohon teh. Ibunya, juga bekerja di perkebunan, sebagai pemetik teh.Adi sempat sekolah hingga kelas 4 SD, namun karena merasa malas dan keadaan orang tuanya yang miskin, maka ia keluar sekolah. Selanjutnya Adi membantukedua orang tuanya menjadi pemetik teh lepas (buruh lepas, yang dibayar berdasarkan banyaknya timbangan kuncup teh yang dipetik). Pekerjaan itu ia lakoni hingga usia 17 tahun. Adi punya kakak, Ohim, yang bekerja di Bandung sebagai kuli bangunan. Suatu ketika, Adi diajak kakaknya tersebut untuk mencari pengalaman ke Bandung, dan beserta kakaknya menjadi kuli bangunan. Tentu saja kesempatan itu tidak di sia-siakan Adi, maka ia pun pergi ke Bandung menemui kakaknya.Adi bekerja sebagai tukang aduk (mencampur pasir dengan semen dengan menggunakan cangkul dan sekup). Gaji yang ia terima dari majikannya (ia menyebutnya“dunungan”) setiap seminggu sekali. Tentu saja hanya cukup untuk makan sehari-hari. Pekerjaan itu ia jalani hingga 3 tahun. Ia bekerja dari satu proyek ke proyek yang lainnya, dan tidak hanya di Bandung saja, bahkan sampai ke Medan. Selamabekerja sebagai kuli bangunan, Adi juga bergaul dengan sesama tukang bangunan lainnya, hingga ia mengenal kehidupan kota yang “ganas” dan “Liar”. Ia seringkalidiajak teman-temannya untuk berjudi, meminum minuman keras dan main perempuan,setelah selesai bekerja. Tentu saja pengalaman tersebut bagi Adi sangat menyenangkan, karena selama di perkebunan ia tidak pernah mengenal kehidupan seperti demikian.Semakin hari semakin terbiasa, hingga akhirnya Adi terbelit utang. Gajiyang ia terima sudah tidak mencukupi lagi untuk kehidupannya, karena dibayarkanuntuk hutang. Akhirnya, perilaku Adi diketahui majikannya, dan ia dikeluarkan dari pekerjaannya.Ketika ia masih bekerja sebagai tukang aduk, suatu saat ia berkenalan dengan seorang pria, berusia 30 tahunan, bernama Herman. Herman saat itu bekerja sebagai tukang pulung (pemulung) yang seringkali datang ke lokasi tempat Adi bekerja, untuk memungut berbagai barang atau sampah yang menurutnya masih memiliki nilai. Semakin hari mereka semakin akrab. Tentu saja Adi seringkali memberi sisa-sisa bahan yang tidak dipakai kepada Herman, dan Herman sebagai tanda terimakasi h juga memberi rokok atau uang kepada Adi.Setelah di PHK, kemudian Adi menemui

Page 17: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

Herman di Kampung Buah Dua Rancaekek. Di kampung inilah Herman tinggal dengan mengontrak sepetak kamar yang sangatsederhana. Adi menuturkan apa yang menimpa pada dirinya kepada Herman, dan kemudian ia ingin mencoba menjadi pemulung seperti Herman. Tentu saja Herman mendukung Adi, bahkan membolehkan Adi untuk tinggal ditempatnya selama Adi mau. Mulai saat itulah Adi berprofesi sebagai pemulung, hingga kini.Adi menjalani pekerjaan sebagai pemulung sudah satu tahun. Kehidupan yang dijalaninya pada awalnya sangat berat. Ia harus berupaya untuk “kebal” terhadap “aroma bau sampah”, harus “kebal” terhadap rasa malu, karena seringkali menjadi perhatian orang dengan “gaya” yang ditampilkannya. Bahkan ia juga harus dapatmenahan rasa dingin dan kantuk, ketika pagi sekali, sekitar pukul 04.00 harus segera berkeliaran ke tempat-tempat sampah di sekitar wilayah Rancaekek. Namun demikian, seiring dengan waktu, akhirnya ia dapat beradaptasi dengan pekerjaaannya.Informan berikutnya adalah Herman. Informan ini dikenalkan oleh Adi kepada peneliti, Herman, pria berusia 30 tahun bertubuh kurus kering, mengenakan topi berwarna hitam-kusam. Wajahnya tertutup oleh tepi topinya, namun dari dekat nampak kulitnya yang menghitam, kotor, kusam, matanya agak layu. Herman juga bersedia bercerita kepada peneliti setelah peneliti memberi iming-iming akan diberi uang Rp. 50.000,- seperti yang diterima Adi.Herman pada awalnya berasal dari Majalengka. Sepuluh tahun yang lalu iabersama teman-temannya (teman satu kampung) pergi ke Bandung untuk bekerja sebagai penggali tanah. Ada 7 orang saat itu yang berangkat dari kampungnya. Waktu itu usia Herman adalah 20 tahun. Ia dengan teman-temannya itu naik truk, dan setiba di Bandung, ia diturunkan di Kiaracondong, di pinggir jalan. Berbekal uang sangat sedikit, ia berupaya untuk mengaturnya seketat mungkin, sehingga ketika makan, seringkali hanya nasi saja. Saat itu ia beserta teman-temannya menuju daerahAntapani, karena saat itu Antapani masih sedang mengembangkan dan membangun rumah. Kebetulan saja ketika mereka tiba di lokasi, kemudian menemui mandor bangunanyang ada saat itu, mereka mendapat pekerjaan untuk menggali saluran-saluran untuk memasang besi untuk air minum. Lumayan juga. Upah yang diperoleh, selain untuk makan sehari-hari, juga ia sisihkan untuk di bawa nanti kekampungnya, untuk orang tuanya. Ternyata pekerjaan galian tersebut tidak hanya saluran air minum saja, juga selokan-selokan pembuangan air Mandi dan Cuci, Septic tank, galian untukfondasi, dan lain-lain.Untuk tempat tinggal, mereka menempati rumah kosong, yang tentu saja masih dalam keadaan darurat. Untuk makan, mereka urunan, masak sendiri “ngaliwet”,teman nasinya, sering dengan ikan asin. Sekali-kali memasak sayur kangkung, karena disekitar perumahan itu ada kebun kangkung, dimana ketika mereka membelinya,biasanya diberi banyak.Pekerjaan sebagai tukang gali ini Herman dan kawan-kawannya tempuh sekitar dua tahun, hingga kegiatan pembangunan perumahan itu selesai. Setelah itu, kemudian mereka mencari-cari lagi proyek perumahan yang membutuhkan tenaganya. Namun hingga satu bulan, mereka belum juga memperoleh pekerjaan, hingga persediaanuang hampir habis. Akhirnya teman-teman Herman berniat untuk pulang kampung. Namun Herman merasa belum waktunya untuk pulang ke kampung, maka ia tidak turut pulang berserta teman-temannya.Sambil berdiam diri dan merenung, di stasiun Bandung, Herman memutar otaknya untuk mencari pekerjaan, paling tidak untuk memperoleh makanan sebagai penyambung hidup. Secara iseng, kemudian ia naik kereta api KRD, hingga sampai di stasiun Rancaekek. Di stasiun Rancaekek, ia duduk di bangku tempat menunggu penumpang. Herman bingung, ia harus bagaimana dan pergi ke mana? Hingga larut malam iamasih duduk disitu, sementara perut lapar dan udara malam yang semakin dingin semakin menambah laparnya perut. Sekitar pukul 01.00 tengah malam, ia dihampiri SATPAM stasiun. “Jang, keur naon ngahuleng bae didinya, geura balik ieu the geustengah peuting!” Sambil terperanjat, Herman menjawab: “ aduh pa, abdi the bingung, teu boga jugjugeun!”. Pada akhirnya, Herman di ajak Tholib, Satpam stasiun Rancaekek (masih diingat Herman ketika diwawancarai) untuk tidur di tempat ia berjaga. Pagi-pagi sekali, sekitar pukul 04.00 Herman sudah dibangunkan Pa Tholib.“Jang geura hudang, jig kadituh geura neangan rejeki, jadi tukang odeng (pemulung) ge teu nanaon, daripada jadi nu baramaen!”. Herman menyadari ucapan pa Tholib. Iya, benar juga, jadi tukang odeng (pemulung) tidak masalah, daripada tidak makan, pikir Herman. Akhirnya, ia bertekad untuk menjadi

Page 18: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

pemulung, setelah Pa Tholib memberinya sebuah karung plastik bekas, dan diberi uang lima ribu rupiah, untuk makan hari ini katanya.Akhirnya, mulai hari itu, Herman mencoba mengais rejeki dengan menjadi pemulung. Ia mengambil barang-barang bekas, dari tempat-tempat sampah yang ada didepan rumah penduduk di perumahan Rancaekek. Setelah sore, karung plastiknya sudah penuh dengan barang-barang bekas. Kemudian ia datang ke penampungan (tempatpenjualan hasil pulungan). Barang-barang yang ia bawa kemudian dipilah. Ada kelompok plastik, kertas, dan logam. Selanjutnya ditimbang dan di bayar. Ia memperoleh lima ribu rupiah. Setelah menjual hasil kerjanya, kemudian Herman bertemu dengan Idit, seorang pemulung yang berumur sekitar 20 tahunan, yang juga akan menjual hasil pekerjaan. Maka ia berkenalan. Kemudian Herman diajak Idit untuk menginap di tempat tinggalnya, sebuah kamar sangat sederhana, ukuran 4x4 yang dindingnya dari gedhek, yang berlokasi di kampung Buah Dua.Akhirnya Herman menumpang dikontrakan Idit. Mereka dapat bekerjasama dengan baik. Pagi-pagi sekali mereka pergi bersama ke perumahan-perumahan. Sorenyasama-sama menjual hasil pekerjaannya ke penampung. Menurut Herman, ia bersama-sama dengan Idit hingga 9 bulan, hingga datang maut menjemput Idit, dimana Idit terserempet kereta api. Akhirnya Herman hidup sendiri di kontrakannya Idit. Selanjutnya kemudian ia tinggal di tempat tersebut sampai saat ini (saat wawancara dilakukan).Informan berikutnya penulis dapatkan di jalan raya Rancaekek. Nama informan tersebut adalah Gatot. Ia menggunakan beca tua untuk mengangkut hasil pulungannya. Ia berkelompok dengan empat orang teman lainnya, yang juga sama-sama menggunakan beca tua. Gatot bersedia diwawancarai setelah dengan susah payah peneliti membujuknya. Kemudian peneliti memberikan “uang pengganti” untuk waktu yang terganggu. Adapun kisah Gatot menjadi pemulung secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut: Nama lengkapnya Gatot Aroyo, berasal dari Cilacap Jawa Tengah. Ditempat asalnya, Gatot adalah ABK (Anak Buah Kapal), yang pekerjaan sehari-harinya melaut dan menangkap ikan. Sebagai ABK, tentu saja penghasilannya sangat kecil. Bahkan upahnya habis dipotong oleh pengepul, karena utangnya yang cukup besar. Upah melaut selama seminggu tidak tentu, tergantung hasil tangkapan. Rata-ratasekitar Rp. 75.000,- padahal untuk hidup sehari-hari dengan istri dan seorang anak, diperlukan biaya yang lebih dari 75 ribu seminggu. Untuk sehari-hari, istriGatot bekerja sebagai penjemur ikan, pada juragan yang memiliki perusahaan pengeringan ikan. Anaknya, Ismiyati, baru berumur 4 tahun, sedang nakal-nakalnya dansenang bicara.Suatu hari, sehabis melaut, ada kejadian yang membuat diri Gatot stres berat. Istrinya, sedang selingkuh dengan orang lain, dirumahnya sendiri. Gatot berteriak histeris. Tentu saja dengan teriakannya itu, ia dihampiri oleh para tetangganya. Dan istri serta selingkuhannya pun terkejut pula. Maka yang terjadi selanjutnya adalah istri Gatot dan pasangan selingkuhnya diarak keliling kampung sambil dicaci maki dan dilempari macam-macam benda: kerikil, makanan sisa, hinggatelur busuk.Setelah bercerai dengan istrinya, Pinten, kemudian Gatot menitipkan anaknya kepada orang tuanya. Ia merasa enggak enak tinggal di daerahnya. Bersama dengan Sugeng-tetangganya yang sudah empat tahun mengembara di Bandung- ia kemudianpergi merantau ke Bandung. Ternyata, pekerjaan tetap Sugeng adalah pemulung, dan ia tinggal di Rancanilem Rancaekek. Setibanya di Rancaekek, Gatot serumah dengan Sugeng. Akhirnya, setelah ngobrol berbagai aspek yang berkaitan dengan pekerjaan pemulung, maka Gatot merasa tertarik untuk menjadi pemulung, dan mulai saatitulah ia menekuni pekerjaannya sebagai pemulung.Sugeng, temannya Gatot adalah informan peneliti berikutnya. Sugeng berasal satu kampung dengan Gatot, yakni di Cilacap. Sugeng mengembara ke Bandung dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan hutang yang selalu melilit kehidupannya. Sebagai nelayan kecil (gurem) dengan alat-alat penangkap ikan yang sangat sederhana,perahu kecil (mesin tempel), hasil tangkapan sehari-hari sangat sedikit, bahkan seringkali tidak mendapatkan tangkapan karena melautnya tidak jauh. Akhirnya iafrustrasi. Hutang sudah menumpuk, sementara pendapatan seringkali nol. Untuk membayar utang-utangnya, perahu satu-satunya berikut mesin tempel ia jual ke juragan kapal. Kemudian dengan tekad bulat, ia ingin merantau ke Bandung, kebetulan tetangganya, Marup, bekerja di Bandung. Singkat cerita, kemudian

Page 19: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

Sugeng berangkatke Bandung, dengan bekal uang sisa bayar utang. Anak-istrinya ia tinggal. Ia tidak begitu merasa khawatir, karena di kampungnya masih ada kedua orang tua sertamertuanya. Selain itu, istrinya pun dapat mencari uang dengan cara membantu nelayan memilah-milah ikan.Di Bandung, pada hari pertama ia tiba, menumpang tidur di rumahnya Marup, di Kiara Condong. Esok harinya, kemudian Sugeng pamitan. Ia mencoba mencari pekerjaan dengan melihat iklan di koran. Beberapa tempat ia datangi. Namun tidak diterima. Hingga sore hari ia masih berjalan disekitar Kiaracondong untuk menujubeberapa tempat yang mencari tenaga kerja. Namun entah mengapa, ia ditolak bekerja. Akhirnya ketika hari telah malam, Sugeng menuju stasiun kereta api kiaracondong, kemudian mencari warung nasi. Sambil bertanya kepada tukang nasi tentang pekerjaan. Namun jawabanya “sulit mas kalau cari kerjaan di rumahan atau toko ataupabrik mah, harus ada orang dalam atau uang pelicin”. “Waduh, repot juga” pikirSugeng. Setelah makan, kemudian ia menuju ke dalam stasiun, lihat-lihat sekeliling. Kemudian ia duduk di bangku yang ada di depan tempat pembelian karcis. Akhirnya, ia tertidur. Begitu lelap, hingga terdengar adzan shubuh. Ketika bangun,kemudian ia melihat ke sekeliling, dan melihat ada kereta api yang akan berangkat. Secara instingtif, kemudian ia naik kereta tersebut (KRD) dan kereta pun segera berangkat menuju Cicalengka. Setibanya di Rancaekek, Sugeng kemudian ikut turun dengan penumpang yang turun. Kemudian ia menghampiri tukang jualan kelontongan, dan membeli setengah bungkus rokok.Sambil menyalakan rokoknya, Sugeng bertanya kepada penjual yang ia belirokoknya, menanyakan tentang lowongan kerja. Tentu saja jawabannya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan tukang nasi di Kiaracondong. Kemudian ketika ia agak bingung, lewatlah seorang pemulung dengan membawa karung plastik di pundaknya. Sugeng bertanya kepada orang tersebut “ Mas, boleh nanya sebentar?” ya massilahkan” jawab si pemulung. “Sampean sudah berapa lama kerja ginian?” cukup lama mas, ada empat tahunan!” wah lama juga yah!”, “gimana penghasilannya? “ lumayan mas, ada untuk makan sehari-hari”. Sugeng semakin penasaran, kemudian ia bertanya kembali “ gimana menjual hasil pulungannya susah ngak? “ nggak mas, kita sudah punya tempatnya!”. “Gini mas, aku nyari kerjaan, tapi sampai saat ini belumdapat juga, boleh ga aku ikut sampean nyoba kerjaan gini?” “Boleh aja mas ga adayang melarang, yu, keburu siang, kehabisan rejeki. Mulai hari itulah Sugeng menjadi pemulung, dan ikut dengan Karim, teman setianya.Di depan ruko, di perumahan Bumi Rancaekek Kencana, terdapat sebuah gerobak dorong (keadaannya kumuh) yang sedang berhenti. Pemiliknya sedang di tempatpembuangan sampah, mengobrak-ngabrik sampah mencari sesuatu. Kemudian peneliti menyapa orang tersebut, yang nampaknya terperanjat. “Kang, kadieu heula sakedap!”Pemulung itu, kemudian menghampiri peneliti, dengan wajah tanpa ekspresi. “ kieu kang, abdi the peryogi pangalaman akang jadi pamulung kanggo kapentingan sakola, naha akang kersa diajak ngobrol?”. Wajah si pemulung semakin memperlihatkan kebingungannya, namun penulis berupaya untuk meyakinkan ia. Akhirnya, pemulung itu mau juga menuturkan pengalamannya, setelah peneliti mau mengganti kerugian waktu kerjanya Rp. 50.000,-Nama pemulung ini Ijun Dulgani, berasal dari Subang. Umur 34 tahun, telah berkeluarga dengan 2 orang anak, tinggal di Rancanilem Rancaekek, dengan mengontrak rumah petak. Kontrakan tersebut berupa sebuah kamar berukuran kecil, yangdibayar tiap tahunnya 350.000 rupiah. Lama bekerja sebagai pemulung sekitar 10tahun. Selama itu, ia tak pernah beralih ke pekerjaan lain, karena selain susahmencari pekerjaan lain, juga tidak memiliki keterampilan/keahlian tertentu.Sebelum jadi pemulung, ia adalah petani gurem. Ia mencangkul dan membersihkan kebun orang lain hingga waktu dzuhur (ngabedug) yang dibayar dengan murah.Ia bekerja sebagai petani gurem semenjak keluar dari SD, sekitar 14 tahun. Setiap hari membantu orang tuanya membersihkan kebun dunungan orang tuanya. Hal ituia lakukan hingga berusia 22 tahun. Merasa tidak ada kemajuan dalam hidupnya, ke udian Ijun pergi mengembara ke Bandung dengan teman sekampungnya Otang. Di Bandung, Ijun mendapat pekerjaan sebagai pesuruh di sebuah toko kelontongan milikseorang Cina. Ia bekerja dari pagi hingga menjelang magrib. Pekerjaannya mengangkat barang-barang kiriman dari truk ke gudang. Selain itu, jika tidak ada kiriman barang, pekerjaan yang lainnya adalah mengangkat barang yang dibeli konsumen ke mobilnya. Ijun hanya kuat bekerja 2 tahun.

Page 20: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

Ia kecapaian. Badannya terasa remukredam. Namun upah yang diterima hanya cukup untuk makan saja. Akhirnya ia keluar dari toko tersebut dan mencari pekerjaan lain.Ijun akhirnya menekuni pekerjaan pemulung, setelah ia berkenalan denganMuin, seorang pemulung yang berasal dari Dangdeur, Rancaekek. Dari saat itu hingga saat ini, ia bekerja sebagai pemulung. Ia menikah dengan Atik, adiknya Muin,dan dikarunia 2 orang anak.Informan berikutnya adalah Ucang. Pemulung ini penulis dapatkan ketika ia sedang bekerja di dalam kompleks perumahan Bumi Rancaekek Kencana Blok 5, RW 18. Roda dorongnya sedang nangkring di pinggir jalan, sementara pemiliknya tidakada; ternyata ia sedang mengambil barang-barang bekas dari tempat sampah warga.Setelah peneliti tegur, kemudian ia mau diajak “ngobrol”. Tentu saja, peneliti harus mengganti “peluang bisnis”nya.Ucang telah bekerja selama 3 tahun sebagai pemulung. Usianya kini 28 tahun, dan belum menikah. Tinggal di Kampung Walini, Rancaekek, beserta teman-teman pemulung lainnya, dengan mengontrak rumah petak. Ia berasal dari Kuningan, dari desa Darma. Ketika di Kuningan, Ucang telah bekerja pada sebuah perusahaan Mebel. Hampir 5 tahun ia bekerja di perusahaan itu. Hingga suatu hari musibah menimpa perusahaan itu, kebakaran! Apa boleh dikata, dengan sendirinya Ucang menjadipenganggur. Setelah kejadian itu, ia mencari pekerjaan kesana kemari di Kuningan. Namun, tak satupun perusahaan yang mau menerima dan memperkerjakannya. Akhirnya, ia berkeputusan untuk mengembara ke Bandung. Tentu saja tujuan utamanya adalah mencari pekerjaan.Setiba di Bandung, Ucang mencari alamat saudaranya. Namun ternyata telahpindah kontrakan, dan tidak ada yang tahu kemana pindahnya. Karena bekal uang pas-pasan, maka Ucang untuk malam itu, tidur di masjid yang ada di daerah Kebon Kopi. Keesokan harinya, setelah shalat subuh, kemudian ia pergi menyusuri tempat-tempat yang ia anggap dapat menerimanya sebagai pegawai. Namun seharian itu, tak satupun perusahaan yang mau menerimanya. Akhirnya, ketika malam tiba, ia masihberada di stasiun kereta api Bandung. Untuk melepas lelah dan penat, ia duduk di tempat menunggu penumpang, hingga tertidur lelap. Ia terbangun saat tengah malam, ketika satpam stasiun membangunkannya, dan menyuruhnya pergi. Kemudian ia berjalan ke arah yang ditunjukkan satpam, dan ia masuk kedalam mushola stasiun, meneruskan tidurnya, hingga subuh.Setelah shalat shubuh, Ucang kemudian masuk kembali ke stasiun. Ia melihat jadwal kereta api, dan berniat akan pergi ke Cicalengka, karena di Cicalengkaada saudaranya. Setelah ada kereta KRD, kemudian ia naik, dan duduk. Setibanyadi Cicalengka, kemudian ia bergegas dan berupaya mengingat-ingat kembali tempattinggal saudaranya. Akhirnya setelah bertanya kesana kemari, tempat tinggal saudaranya itu dapat ditemukan. Suadaranya Ucang begitu terkejut ketika Ucang datang. Dengan rasa kangen yang sudah lama tidak bertemu, saudaranya itu merangkul Ucang dengan tulus. Ternyata saudaranya Ucang tersebut, yang bernama Hanif, telah lama tinggal di Cicalengka dan bekerja sebagai pemulung. Maka pertemuan tersebutmembawa mereka berdua bercerita panjang lebar tentang pengalaman hidup yang telah dilaluinya. Mereka mengobrol, hingga larut malam. Ucang tidur di rumahnya Hanif.Mendengar cerita Hanif tentang pekerjaan sebagai pemulung, Ucang merasatertarik untuk mencobanya. Mulai hari itu, bersama-sama dengan Hanif, Ucang bekerja sebagai pemulung, hingga pindah rumah ke daerah Walini Rancaekek. Mereka selalu berdua, bersama-sama.Melalui Ucang, peneliti berhasil menemui Hanif. Di rumahnya, di Walini,Hanif mau diwawancari. Wawancara dilakukan dari sore hari hingga pukul 10 malam.Secara singkat, inilah latar belakang kehidupan Hanif sebelum menjadi pemulung.Hanif berasal dari Cirebon. Usianya saat ini 29 tahun, belum menikah. Iamerupakan anak ke 3 dari empat bersaudara. Ayahnya seorang pesuruh di sebuah to ko kelontong di Kota Cirebon. Ibunya menjadi pembantu rumah tangga ditempat yangsama dengan ayahnya. Hidup dan kehidupan sehari-hari sangat sederhana. Hanif bersekolah hanya sampai kelas 2 SMP. Dikeluarkan dari sekolah gara-gara berkelahi.Keluar dari sekolah kemudian Hanif membantu-bantu ayahnya. Ia mengambil barangkiriman, mengantar pesanan, membersihkan halaman toko ketika akan tutup. Pemiliktoko merasa tertarik dengan kerajinan yang diperlihatkan Hanif. Kemudian ia menawarkan pekerjaan kepada Hanif untuk bekerja di pabrik tekstil kepunyaan pamannya. Tentu saja tawaran itu

Page 21: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

disambut Hanif dengan rasa senang dan bahagia. Akhirnya Hanif bekerja di pabrik tekstil tersebut. Ia bekerja sebagai cleaning servicedan pesuruh. Cukup lama bekerja di perusahaan ini, hingga usia Hanif mencapai 24tahun. Suatu hari terjadi sebuah tragedi yang menimpa Hanif. Salah satu ruang kantor diperusahaan itu di bobol maling. Banyak materi yang di curi. Sehingga jika dihitung dengan uang, kerugian perusahaan mencapai sekitar 2 milyar. Tentu saja pemilik perusahaan sangat marah dan kesal. Entah apa alasanya, Hanif juga tidak tahu, tiba-tiba ia di PHK, dengan alasan lalai menjalankan tugas. Tentu sajaHanif merasa kecewa dan bingung, tiba-tiba diberhentikan bekerja.Setelah kejadian itu, Hanif selalu murung, bingung dan stress. Hingga orang tuanya selalu menghibur dirinya agar tabah dan berupaya untuk mencari pekerjaan lagi. Karena secara psikologis sudah merasa tidak nyaman, akhirnya Hanif berpamitan kepada orang tuanya untuk mengembara ke Bandung bersama-sama dengan temannya Arif, untuk mencari pekerjaan. Orang tua Hanif mengijinkannya. Maka ia punbersama dengan temannya pergi ke Bandung.Di Bandung, kedua orang itu berupaya untuk mencari pekerjaan. Namun, taksatupun perusahaan yang mau menerima mereka. Akhirnya ketika sedang istirahat di sebuah sudut jalan, mereka melihat seorang pemulung sedang membongkar-bongkartempat sampah. Dan itu menjadi inspirasi bagi kedua orang tersebut. Mereka sepakat untuk memulai usaha dengan menjadi pemulung. Namun mereka juga merasa bingunguntuk tempat tinggal. Di Bandung, harga kontrakan rumah sangat mahal. Bahkan untuk rumah petak sekalipun. Akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke tempat lain, yang jauh dari kota. Mereka menelusuri jalan/rel kereta api. Hingga akhirnya sampailah di stasiun Bandung. Selanjutnya mereka naik KRD yang akan berangkat ke Cicalengka. Hingga akhirnya tiba di stasiun Cicalengka. Selanjutnya mereka berupaya untuk mencari tempat tinggal yang murah, hingga akhirnya mendapatkan rumah petak yang sangat sederhana, berdinding bilik (dari anyaman bambu), dengan harga yang murah. Mereka tinggal berdua. Tetangga-tetangganya juga pekerjaannya bervariasi. Ada tukang baso, karyawan pabrik, tukang becak, pemulung, dan lain-lain. Mulai hari itu, dengan bermodalkan sebuah karung plastik, kedua orang tersebut bekerja sebagai pemulung.Informan berikutnya adalah Abdul. Abdul saat itu sedang berkumpul dengan teman-temannya di depan ruko kosong, sedang membicarakan hasil pekerjaannya mengumpulkan barang-barang bekas. Mereka menggunakan sepeda yang dikiri dan kanannya ditempeli karung plastik. Selain Abdul, ada Ngadiman, dan Miftah. Mereka maudiajak “ngobrol” oleh peneliti sambil minum kopi dan makan goreng bala-bala, goreng pisang, goreng cireng, dan lain-lain yang warungnya tidak jauh dari tempat mereka berkumpul. Abdul berasal dari Indramayu, Ngadiman dari Majenang, dan Miftah dari Gunung Kidul. Latar belakang mereka menjadi pemulung cukup variatif. Abdul semula bekerja sebagai Satpam di pabrik tenun, di Indramayu. Ia dikeluarkandari perusahaan karena dianggap lalai menjalankan tugas. Kejadiannya adalah ketika ada demo buruh pabrik tersebut, yang berakhir dengan ricuh, dimana banyak bagian-bagian kantor yang rusak dilempari batu demonstran. Akhirnya Abdul menganggur. Sementara itu, ia sudah punya anak dan istri. Maka setelah di PHK, Abdul berusaha keras melamar ke berbagai perusahaan untuk menjadi satpam. Namun tak satupun perusahaan yang menerimanya.Dengan sedikit uang tabungan yang dimilikinya, akhirnya Abdul berjualanpukis. Ia berjualan di SD sekitar tempat tinggalnya. Namun dari hasil penjualanpukis ini, tidak cukup untuk makan sehari-hari. Akhirnya, setelah berjualan sekitar sebulan, kemudian Abdul memutuskan untuk menemui pamannya di Cijerah Bandung. Istri dan anaknya dititipkan kepada orang tuanya. Setiba di Bandung, ternyatapamanya itu telah meninggal dunia, dan keluarganya pindah ke Bogor. Tentu saja A bdul menjadi bingung, karena membawa uang untuk bekal hidup, pas-pasan. Akhirnya, setelah keluar masuk perusahaan untuk melamar menjadi satpam hingga sore hari,tak satupun yang menerimanya. Kemudian Abdul pergi ke Cileunyi, dimana ia masihingat, disana ada suadara istrinya. Datang di Cileunyi hampir pukul 20.00. Untung saja rumah saudara istrinya itu langsung ketemu. Maka untuk malam itu, ia menginap disana.Saudara istrinya itu bernama Ngadiman, berasal dari Majenang, Jawa Tengah. Pekerjaan sehari-harinya sebagai pemulung. Tentu saja setelah Abdul mendengar cerita Ngadiman menjadi pemulung, ia pun tertarik untuk mencobanya, hingga saat ini, Abdul tak pernah melamar

Page 22: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

menjadi satpam lagi. Ia merasa cocok bekerja sebagai pemulung.4.3. Latar Belakang Menjadi PemulungBerdasarkan pengakuan dari subjek penelitian, pekerjaan menjadi pemulung bukan merupakan pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, namun karena keterpaksaan. Dengan bekerja sebagai pemulung maka setidak-tidaknya subjek penelitian dapat menapakahi dirinya dan juga keluarganya (anak, istri, saudara juga orang tua).Adapun latar belakang pekerjaan subjek penelitian sebelum menjadi pemulung, sebagaimana mereka kemukakan cukup bervariasi. Ada yang bekerja sebagai tukang bangunan, nelayan, anak buah kapal, bekerja di toko mebel, berjualan (warung), tukang kebun, karyawan pabrik tekstil, karyawan pabrik tahu, satpam, dan penganggur. Jadi jika dilihat dari latar belakang pekerjaannya umumnya subjek penelitian pernah bekerja di bidang lain.Kemudian ketika subjek ditanya kenapa mereka tetap menjadi pemulung, maka jawabannya memang variasi juga. Ada yang menjawab lebih baik jadi pemulung ketimbang jadi pengemis. Pengemis itu hina, tidak punya harga diri. Tetapi jadi pemulung itu terhormat, karena kita tidak menengadahkan tangan meminta-minta kepadaorang. Kita bekerja dengan mengeluarkan tenaga dan keringat, dan kita juga bersaing untuk mendapatkan rejeki”, demikian pengakuan salah seorang subjek penelitian.Ada juga subjek penelitian yang menganggap bahwa pekerjaan sebagai pemulung itu hanya sementara waktu saja. Ia bekerja sambil menunggu pekerjaan lainnyayang lebih baik. “Menjadi kuli bangunan, atau penjaga kebun, atau jadi kernet,juga lebih baik, karena penghasilannya jelas” tidak seperti pemulung yang rejekinya tidak menentu.Ada juga subjek penelitian yang beranggapan bahwa menjadi pemulung itu hanya sekedar langkah awal saja. Nanti jika telah punya modal cukup, maka ia bercita-cita menjadi pengumpul (bandar). Tentu saja usaha seperti itu lebih baik danuangnya pun lebih banyak. Menjadi pengumpul, seperti yang dituturkan subjek penelitian bisa cepat kaya, karena barang-barang yang dibeli dari pemulung, ketikadijual ke bandar yang lebih besar, harganya berlipat-lipat. Selain itu, ada juga subjek penelitian yang mencoba melamar ke berbagai pabrik yang ada di Rancaekek, Majalaya dan Cileunyi. Namun sampai saat ini belum dipanggil “ ya, daripadanganggur tidak menghasilkan apa-apa, ya lebih baik jadi pemulung. Lumayan....Berdasarkan ekplorasi jawaban subjek penelitian, maka aspek latar belakang menjadi pemulung dapat distrukturalisasikan sebagai berikut:4.4. Proses Bekerja Pemulung dan pemaknaan atas Pekerjaan4.4. 1. Proses Bekerja PemulungPemulung bekerja hampir 24 jam sehari. Apalagi jika sulit mendapatkan barang-barang yang laku untuk dijual. Pada umumnya, subjek penelitian sudah berangkat dari tempat tinggalnya sekitar pukul 04.00 subuh. Pakaian kerja yakni pakaian yang dikenakan ketika beroperasi memungut barang-barang bekas, dikenakan, baikbaju maupun celana. Demikian juga penutup kepala, baik topi, kupluk, dudukuy, a tau kain penutup. Kemudian, jika masih ada makanan yang tersisa, mereka sarapandulu. Setelah itu kemudian mengambil alat untuk memungut barang-barang bekas berupa sepotong besi yang ujungnya bengkok dan agak tajam, kemudian ujung atasnya ditambah kayu atau dibalut kain, sehingga ketika dipegang terasa nyaman. Setelahitu kemudian disiapkan pula tempat menampung sampah. Ada yang menggunakan karungplastik, sarangka (bakul besar), becak bekas, becak dorong (becak yang bagian depannya dibuat kotak dari kayu), roda dorong dan sepeda.Pada umumnya pemulung berangkat dari tempat tinggalnya secara berkelompok. Artinya mereka akan konvoy jika sama-sama menggunakan becak. Demikian jugayang membawa karung plastik.Lokasi yang dituju sebagai target untuk mendapatkan barang-barang bekasyang masih memiliki nilai cukup variatif, antara lain: tempat-tempat sampah rumah tangga yang ada diperumahan dan di kampung-kampung, tempat-tempat sampah di ruko, toko-toko, sekolah-sekolah, kantor-kantor pemerintah, pabrik-pabrik, tempat-tempat penampungan sampah lokal, tempat penampungan sampah akhir (TPA), serta didaerah-daerah berair, seperti parit, selokan kecil sungai dan lain-lain.Adapun barang-barang dan/ atau benda-benda yang dipungut meliputi:benda-benda logam, plastik, kertas, karet, campuran diantara kategori-kategori diatas,dan lain-lain.Subjek penelitian mengakui bahwa barang-barang atau benda-benda yang mereka dapatkan dari tempat-tempat sampah tidak selamanya banyak. Kadang seharian penuh hanya

Page 23: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

seperempat karung saja, itupun barang/benda yang harganya sangat murah, seperti kertas dan plastik. Namun pada saat lain, satu karung itu bisa penuh,bahkan dapat mencapai dua karung, dan barang/benda yang diperoleh cukup berharga, seperti logam dan kardus. Jadi perolehan barang/benda bekas tersebut tergantung kepada nasib baik dan atau nasib jelek.Sebelum dikirim ke pengumpul (bandar), biasanya pemulung berkumpul untukmemilah hasil yang diperoleh. Setelah dikelompokkan, kemudian barang-barang tersebut dikirimkan/dijual yang harganya sudah dipatok bandar. Fenomena ini jika distrukturkan akan nampak seperti pada diagram sebagai berikut:4.4.2 Pemaknaan atas PekerjaanPemaknaan subjek penelitian atas pekerjaannya tergambarkan berdasarkan proses yang dilakukan dalam menjalani pekerjaannya.a. Makna persiapan diriPersiapan diri yang diwujudkan dalam bentuk berpakaian kotor dan compang campingbermakna bahwa bidang kerja yang mereka tempuh adalah kotor, bau, berpenyakit.Oleh karena itu, karena medannya adalah demikian, maka hal itu harus diresponsdengan pakaian yang sesuai. Penutup kepala, apakah berbentuk topi, kupluk, dudukuy, atau penutup kain bermakna melindungi, yakni melindungi kepala dari terik matahari dan melindungi mencium berbagai bau-bauan yang tak sedap dari aroma sampah. Alat pengambil sampah dari besi yang dibengkokan ujungnya bermakna bahwa sampah itu kotor, menumpuk, banyak kuman. Maka harus ada alat yang kuat, tidak mudahpatah, mewakili tangan untuk mengambil benda/barang dalam tumpukan sampah.Subjek penelitian pun telah mempersiapkan dirinya dari berbagai kemungkinan adanya cemoohan orang (terutama yang punya rumah dimana tempat sampahnya diaduk-aduk), ejekan anak-anak yang seringkali diarahkan kepada mereka, termasuk juga serangan binatang seperti anjing milik penduduk.Berdasarkan pengakuan subjek penelitian/informan, pada hakekatnya merekaberupaya sekuat tenaga untuk tidak mencuri apapun dari rumah penduduk. Hal inibukan karena dosa, juga demi untuk keberlanjutan pekerjaannya. Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi ketika mereka ketahuan mencuri. Selain akan dihakimi masyarakat, juga akan sulit untuk mengambil/ memungut barang-barang bekas ditempattersebut. Oleh karena itu, mereka punya prinsip yang senantiasa dipegang “ dalam keadaan bagaimanapun, dapatkanlah rizki yang halal dan hal itu akan menjadi barokah!”.b. Makna Lokasi Tujuan BekerjaApa sebenarnya makna lokasi tujuan bekerja atau tempat-tempat sampah itu bagi pemulung/subjek penelitian? Ternyata setelah dielaborasi melalui wawancara mendala m (depth interview) menunjukkan hal-hal sebagai berikut{ (1) tempat sampah beserta sampah didalamnya, adalah sumber rejeki. Mengapa? Karena barang-barang bekasyang dibuang oleh orang lain, ternyata masih memiliki nilai ketika barang itu didaur ulang; (2) lokasi tempat sampah itu terbuka 24 jam, (3) lokasi tempat sampah itu bersifat terbuka, sehingga konsekuensinya setiap pemulung harus berkompetensi untuk mendapatkan barang-barang bekas yang dibuang orang, (4) tempat sampahdan smpah itu bau, menjijikan, dan banyak penyakit didalamnya, (5) beberapa lokasi tempat sampah rawan dengan cacian orang, dicurigai, dan dituduh mencuri.c. Makna barang/Benda yang dipulung/dipungutSecara sekilas, sesuatu yang telah dibuang ke tempat sampah, adalah sesuatu yangtidak bernilai bagi yang membuangnya. Makanya disebut dengan sampah. Namun ternyata bahwa subjek penelitian/informan memiliki pandangan yang mendalam berkaitandengan sampah ini, yakni: (a) barang/benda yang mereka pulung/ambil adalah barang/benda yang dibuang pemiliknya, (b) barang yang dibuang dan mereka ambil ituberharga dan ada nilai uangnya, (c) barang/benda yang dibuang dan mereka pungutadalah rezeki dari tuhan, (d) barang/benda yang mereka ambil itu adalah sah danhalal, (e) barang/benda yang mereka ambil itu merupakan hasil kompetisi dengan sesama pemulung lainnya.d. Makna Penyortiran benda/barang hasil memulungMenyortir berarti memilah-milah. Bagi subjek penelitian, menyortir memiliki makna: (a) memilah barang/benda berdasarkan karakteristik nilai yang diterapkan padabarang tersebut. Artinya, barang/benda yang dikumpulkan dikategorikan berdasarkan kelompoknya, dan setiap kelompok memiliki nilai (value) atau harga yang berbeda. Misalnya, harga logam berbeda dengan harga kertas. Harga plastik berbeda dengan harga karet, dan lain-lain; (b) melalui penyortiran barang/benda yang merekakumpulkan, mereka memperoleh gambaran besarnya uang yang

Page 24: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

akan diterima pada hari itu.e. Makna pengumpul/Bandar bagi pemulungPengumpul atau bandar adalah orang yang membeli hasil pulungan pemulung dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Namun demikian, seperti ada kesepakatan diantara para pengumpul, harga untuk masing-masing kategori barang/ benda hasil pulungan itu memiliki standa yang sama, misalnya harga logam Rp. 3000 per kg, kartonRp. 1500 per kg, kertas koran, Rp 1.400 per kg, dan lain-lain. Bagi subjek penelitian/informan, pengumpul/bandar itu: (a) tempat transaksi, pemilik uang, berkuasa penuh atas penentuan harga, (b) pengumpul/ bandar adalah “dewa penolong” karena seringkali membantu mereka dengan meminjamkan uang ketika mereka kesulitan memperoleh uang, baik barang/benda yang diperoleh sangat sedikit, ataupun ketika menghadapi berbagai keperluan mendadak, seperti sakit, uang sekolah anaknya, danlain-lain.Aspek pemaknaan atas pekerjaan sebagai pemulung ini, jika dikonstruksikan, akan terlihat pada diagram.4.5. Argumentasi Pemulung Mempertahankan PekerjaannyaSubjek penelitian/informan senantiasa berupaya untuk bertahan menjadi pemulung karena beberapa alasan.Hasil eksplorasi yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan hal-halsebagai berikut: (a) bekerja itu terhormat, apapun bentuknya, sedangkan mengemis itu hina dan tidak ada harga diri, (b) melalui bekerja sebagai pemulung, mereka dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya, baik dirinya sendiri maupun keluarganya, (c)walaupun “kotor” mengais rejeki dari memulung itu, namun halal, sehingga membuat tentram hidup, (d) setiap hari,selalu saja ada uang (walaupun kadang-kadang sangat sedikit) dari hasil penjualan barang pulungan.Alasan lain yang mengemuka adalah bahwa sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan lain, karena pendidikan dan keterampilan yang dimiliki, mereka akui sangat kurang. Oleh karena itu, dengan bekerja sebagai pemulung pun mereka sudah be rsyukur, karena rejeki selalu saja ada dan mereka dapat melangsungkan hidupnya.Selain itu, informan juga mengatakan bahwa saat ini, tidak sulit menjualhasil pulungannya, karena bandar yang menampung barang-barang bekas dan/atau rongsokan sudah mulai banyak. Sampah-sampah rumah tangga yang berupa plastik, dalam berbagai bentuk dan jenis, cukup banyak untuk diambil. Plastik ini, menjadi andalan mereka untuk mendapatkan uang, karena jenis-jenis sampah lain yang berharga, seperti logam, kertas, dan karet, tidak sebanyak plastik.Bagi pemulung, seperti yang diungkapkan informan, modal utama bekerja sebagai pemulung adalah semangat dan atau motivasi untuk mempertahankan hidup, mengisi perut agar tidak kelaparan, agar tidak mati kelaparan.BAB V.PENUTUP5.1. KesimpulanDengan mengacu pada hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan, yaitu:1.Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi seseorang menjadi pemulung. Yang paling utama adalah mempertahankan hidup baik dirinya sendiri maupun keluarganya. Selain itu, aspek lainnya adalah bahwa bekerja sebagai pemulung itu lebih terhormat ketimbang menjadi pengemis, menjadi pemulung itu dapat menjadi batu loncatan untuk pekerjaan yang lain, sambil menunggu pekerjaan lain, daripada menganggur lebih baik menjadi pemulung.2.Cara kerja pemulung secara garis besar mencakup tahapan sebagai berikut:mempersiapkan pakaian “kerja”; mempersiapkan diri, baik fisik maupun mental, dengan niat bekerja; menyiapkan alat pungut dan tempat hasil pemungutan; menelusuri lokasi tempat pembuangan sampah; memungut barang/benda yang dianggap memilikinilai uang; menyortir hasil pungutan; menjual hasil pungutan ke penampung/bandar; akhirnya memperoleh uang.Pemaknaan atas pekerjaan sebagai pemulung, setelah dielaborasi mencakuplima aspek pemaknaan, yakni pemaknaan atas persiapan diri, pemaknaan atas lokasi tujuan bekerja, pemaknaan atas barang dan/atau benda yang dipulung, pemaknaanatas penyortiran dan pemaknaan atas pengumpul/bandar.3.Cara-cara yang digunakan pemulung dalam mempertahankan pekerjaannya, serta prinsip-prinsip yang dipegang untuk tidak menjadi pengemis, didasarkan atas pertimbangan: bekerja itu terhormat, apapun bentuknya, sedangkan mengemis itu hina dan tidak ada harga diri; melalui bekerja sebagai pemulung, mereka dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya, baik dirinya sendiri maupun keluarganya; walaupun “kotor” mengais rejeki dari memulung itu, namun halal, sehingga membuat tentram hidup; setiap hari,selalu saja ada uang (walaupun kadang-kadang sangat sedikit) dari hasil penjualan barang pulungan.5.2. SaranDengan mengacu pada temuan-temuan dalam penelitian ini, maka

Page 25: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

peneliti memberikanrekomendasi sebagai berikut:1.Pemulung adalah manusia yang memiliki harga diri, walaupun dalam keadaanmiskin, mereka tetap mengandalkan tenaganya untuk bekerja, tidak mengemis. Oleh karena itu, usaha-usaha yang telah mereka lakukan perlu dikembangkan lebih jauh dengan memfasilitasi mereka untuk memperoleh penghasilan tambahan, seperti memberi pelatihan kepada mereka dalam hal mengolah sampah organik menjadi pupuk organik, dan memanfaatkannya untuk bisnis dalam bidang tanaman hias, tanaman obat,dan lain-lain. Untuk sampah nonorganik, seperti plastik, mereka juga perlu dilatih untuk mengolah sendiri, misalnya dibuat menjadi bijih plastik, atau diolah kembali menjadi produk-produk olahan plastik. Selain itu, masih banyak hal yang dapat dikembangkan pada diri pemulung, termasuk upaya-upaya mengalokasikan merekadalama suatu komunitas sentra usaha yang terpadu, mandiri, dan produktif.2.Penelitian tentang pemulung sangat menarik dan penting untuk ditindaklanjuti, karena walau bagaimanapun, saat ini sangat sulit untuk menciptakan lapangan kerja baru. Upaya-upaya untuk mengembangkan usaha pemulung perlu terlebih dahulu dikaji melalui penelitian yang sistematis dan terarah (fokus). Banyak aspek yang perlu digali dan dikembangkan untuk terciptanya sistem yang produktif.UCAPAN TERIMAKASIHTim peneliti mengucapkan terimakasih kepada Universitas Padjadjaran, melalui Program DIPA, karena telah membiayai penelitian ini.DAFTAR PUSTAKABottomore, TB.1972. Sociaty, A Guide to Problems and Literature. London: George, Allen and Unwin Ltd.Boyle, P.G. 1981. Planning Better Programs. New York : Mc Graw-Hill BookCompany.Burki, S.F. 1990. “ Development Strategy For Poverty Allevation “, AseanDevelopment Review, 8 (1) : 1 – 17.Chang, C.W. 1963. Extension Education for Agrigultural and Rural Development. New York : Food and Agricultural Organization of the United Nation.Dahama, O.P dan O.P. Bhatnagar. 1980. Education and Communication forDevelopment. New Delhi : Oxford &* IBH Publishing Co.Davis, B.G. 1985. Sistem Informasi Manajemen. Jakarta : P.T. Pustaka Binaman Pressindo.Drucker, P.F. 1959, Technology, Management & Society. New York : Harper & Row, Publishers.Eaton, J.W. 1986. Pembangunan Lembaga dan Pembangunan Nasional. Jakarta : UI Press.Emka, A. 1982. “ Pemulung dan Kehidupannya di Bandung “ ResearchPaper 3.Bandung : ISPGaris - garis Besar Haluan Negara - TAP MPR RI, 1993. Jakarta : Gunung Ilmu .Havelock, R. G. 1979. Planning Of Inovation. New York : EducationalInkeles, A. 1965. “ The Modernization of Man “ Dalam Modernizational Diedit oleh Myron Weiner. New York : Basic Book, H : 110-121.Kertapati, 1984. Manajemen Penerangan. Jakarta : Ghalia IndonesiaKelsey, L. D. and C.C. Hearne. 1967. Coorperative Extention Work. New York : Comstock Publishing Associates.Lipit, R., J. Watson and B. Westley. 1958. The Dynamics of Organizations, New York : Harcourt,Brace & Word, Inc.Mawardi, H.A., 1983. “ Pendirian Koperasi Serba Uhasa Daur Ulang Jati DuaBandung “, Progress Report, Bandung : Lembaga Studi Pembangunan dan Informal Sektor Project.Maunder, A.H. 1972. Agriculural Extension : A Reference Manual. Rome : Food and Agricultural organization of the united Nations.Mardikanto, A.S. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta : Sebelas Maret University PressMunandar, A. S. 1981. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalamrangka Pembangunan Nasional. Jakarta : LPPM.Pudjawijatna, I. R. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta : Ghalia IndonesiaRogers, E.M. and F. F. Shomaker. 1971. Communication of Innovation. New York : Free Press.Samsudin, 1987. Dasar-dasar Penyuluham dam Meodernisasi Pertanian.Bandung : Binacipta.Salim. E. 1994. “ Sumber Daya Manusia dalam Perspektif. ” Dalam Tantangan Pendidikan Menyongsong Abad XXI, Di edit oleh Conny R. Semiawan, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.Slamet, M. 1986. “ Model Menggerakkan Masyarakat ke Arah Pembangunan. “Dalam Mahasiswa Dalam Pembangunan, Di Edit oleh Slamet, Lampung : Universitas Lampung--------------1986. “ Peranan Mahasiswa Kuliah Kerja Nyata dalamPembangunan Pedesaan dan Perubahan Sosial “ Dalam Mahasiswa Dalam Pembangunan,Di edit oleh Margono Slamet. Lampung : Universitas Lampung.Soekanto, S. 1984. Teori Sosiologi tentang Peubahan Sosial.Jakarta : Ghalia Indonesia

Page 26: STRATEGI PEMULUNG DALAM MEMPERTAHANKAN HARGA DIRI.docx

Terry, G. R. 1960. Principles of Management. Illinois : Richar D. Erwin inc. homeword.Togatorof, J. 1985. Perencanaan Program Penyuluhan Pertanian Pangandi WKBPP Cibinong, Bogor.