82
Laporan Studi Pustaka (KPM 403) ANALISIS SIKAP MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM PROGRAM REDD+ OLEH: TIARA APRILLIA I34110035 Dosen Pembimbing: Setyawan Sunito

Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

studi

Citation preview

Page 1: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

ANALISIS SIKAP MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM PROGRAM REDD+

OLEH:TIARA APRILLIA

I34110035

Dosen Pembimbing:Setyawan Sunito

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Page 2: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa studi pustaka yang berjudul “ANALISIS SIKAP MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM PROGRAM REDD+” benar-benar merupakan hasil karya saya yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah (studi pustaka) pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Studi pustaka ini tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia bertanggung jawab atas pernyataan ini.

Bogor, Desember 2014

Tiara AprilliaNIM I34110035

Page 3: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

ii

ABSTRAK

Tiara Aprillia. Analisis Sikap Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Program REDD+. Dibawah bimbingan Setyawan Sunito.

REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) merupakan inisiasi dari program mitigasi perubahan iklim yang dikembangkan dibawah kebijakaan negosisasi yang diorganisir oleh UNFCCC (Framework Convention on Climate Change). Tujuan utama dari REDD+ secara keseluruhan adalah untuk membantu memitigasi perubahan iklim global, dengan menciptakan insentif bagi berbagai negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan, peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan. Program REDD+ yang diorganisir oleh nasional, saat masuk ke dalam kawasan hutan yang di dalamnya terdapat masyarakat lokal, tentunya memicu sikap penerimaan maupun penolakan. Sikap masyarakat lokal yang terkena dampak program REDD+ didasari oleh pengetahuan, sikap, maupun tindakan yang mereka miliki.

Kata kunci: REDD+, Sikap, Mitigasi

ABSTRACT

Tiara Aprillia. Analysis of Attitude on Forest Communities in the REDD+ Programs.. Under Guidance Setyawan Sunito.

REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) is initiation on mitigation program of climate change that developed under UNFCCC (Framework Convention on Climate Change) negotiation. The main goal of REDD+ is mitigation from climate change that create some incentive for some countries to reduce green house emittion caused by deforestation and forest degradation, conservation, sustainable forest management, and increasing forest carbon. REDD+ program that organized by national, when it enters to the forest which have forest community, will cause some reaction either accept or reject the program. The behaviour of forest community which impacted by REDD+ program based of cognitive, afective and physcomotorict they had.

Keywords :REDDv, Behaviour, Mitigation

Page 4: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

iii

ANALISIS SIKAP MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DALAM PROGRAM REDD+

OLEH:TIARA APRILLIA

I34110035

Laporan Studi PustakaSebagai Syarat Kelulusan KPM 403

Pada

Mayor Komunikasi dan Pengembangan MasyarakatDepartemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi ManusiaInstitut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKATFAKULTAS EKOLOGI MANUSIAINSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Page 5: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

iv

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang disusun oleh:Nama : Tiara AprilliaNIM : I34110035Judul : Analisis Sikap Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Program

REDD+

dapat diterima sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,Dosen Pembimbing

Dr. Satyawan SunitoNIP.19520326 199103 1 001

Mengetahui,Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc NIP. 19670903199212 2 001

Tanggal Pengesahan:

Page 6: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

v

PRAKATA

Segala puji bagi Allah SWT. Tuhan Yang Maha Esa atas kebenaran dan keberadaan-Nya yang memberikan nikmat dan karunia sehingga penulis mampu menyelesaikan Laporan Studi Pustaka dengan baik. Laporan ini berjudul “Analisis Sikap Masyarakat Sekitar Hutan Dalam Program REDD+”. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan sebagai salah satu syarat mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih kepada kedua orang tua yang telah memberikan semangat, dukungan, do’a dan motivasi. Ibunda Gina Anggyamurni dan Ayahanda Henry Haling Yap, dan juga kepada Adik Tirza Andriansyah yang juga memberikan semangatnya dalam kehidupan penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat yang sangat mendalam kepada Bapak Setyawan Sunito selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan inspirasi serta selalu sabar membimbing penulis dalam menyelesaikan tugas ini. Terakhir penulis ucapkan terimakasih kepada teman-teman SKPM angkatan 48 dan Ahmad Reezky Ananda yang telah memberikan dukungan, semangat dan pengalaman hidup yang sangat luar biasa.

Dalam penyusunan Laporan Studi Pustaka ini, penulis menyadari dan memohon maaf dikarenakan tulisan ini masih memiliki berbagai kekurangan. Semoga Laporan Studi Pustaka ini bermanfaat.

Page 7: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

vi

Page 8: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

vii

DAFTAR ISIHalaman

PRAKATA v

DAFTAR vii

DAFTAR GAMBAR ix

1. PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang.................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah............................................................................... 2

1.3. Tujuan Penelitian................................................................................ 3

1.4. Metode

Penulisan................................................................................3

2. RINGKASAN DAN ANALISA PUSTAKA 4

Signifikansi Desentralisasi Kehutanan Bagi Implementasi REDD+ di

Kabupaten Maluku Tengah...........................................4

Pelibatan Masyarakat Lokal: Upaya Masyarakat Menuju Hutan

Lestari...............................................7

Kerjasama Konservasi Hutan Antara Indonesia-Norwegia Dalam

Kerangka REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation And

Forest Degradation) Tahun 2010......................

9

Evaluating On Community Based Forest Management Implementation

In Randublatung, Blora..................................11

Co-Benefits of REDD+ in Community Managed Forests in Nepal

(Perspective)...................................................13

Dari Pengurangan Emisi ke Menjawet: Strategi Penerimaan REDD+ di

Desa Buntoi.................................................16

Economics of REDD+ and Community Forestry (Perspective).......... 19

Relasi Kuasa Antara Perhutani dan Masyarakat Dalam Pengelolaan

Sumberdaya Hutan di Banyumas: Kepentingan Bisnis vs Community

Empowerment.................................................

22

Alternatif Mekanisme Distribusi Intensif REDD Melalui Dana

Perimbangan Pusat Daerah (Alternative Mechanism on REDD Incentive

Distribution Through Fund Balancing Between Central to Regional

Goverment).......................................................

25

Page 9: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

viii

Experience of Nepali Indigenous Peoples on Free, Prior and Informed

Consent (FPIC) (Perspective)................................28

3. ANALISIS DAN SINTESIS

3.1. Konsep REDD+........................................ 31

3.1.1. Pengertian REDD+............................................ 31

3.1.2. Perkembangan REDD+............................................ 33

3.2 Konsep Sikap.............................................................. 34

3.2.1. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikap.................. 35

3.2.2. Fungsi Sikap.......................................................... 35

3.2.3. Sikap Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap REDD+.................. 35

3.3. Konsep PADIATAPA/FPIC (Free, Prior, Informed, Consent)..... 36

3.1.1 Unsur-unsur Utama FPIC.......................................... 36

3.1.2 Prinsip-prinsip Utama FPIC............................... 37

4. KESIMPULAN 38

4.1. Hasil Analisis dan

Sintesis..................................................................38

4.2. Kerangka Analisis untuk Studi Lebih

Lanjut......................................39

4.3. Pertanyaan

Penelitian..........................................................................41

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 42-43

RIWAYAT HIDUP.......................................................................................... 44

Page 10: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

ix

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 1. Mind Map pustaka 1.................................................................................6Gambar 2. Mind Map pustaka 6.................................................................................18Gambar 3. Mind Map pustaka 9.................................................................................27Gambar 4. Mind Map pustaka 10...............................................................................30Gambar 5. Pie chart emisi gas rumah kaca di dunia..................................................31Gambar 6. Skema pelaksanaan REDD di Indonesia..................................................34Gambar 7. Gambar Kerangka Pemikiran...................................................................40

Page 11: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

PENDAHULUAN

Latar BelakangIndonesia memiliki hutan yang sangat luas dan di dalamnya terdapat kekayaan

sumberdaya alam yang merupakan hal penting bagi masyarakat sekitar hutan yang seringkali menggantungkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan seperti untuk mencari makan, bertempat tinggal, maupun bekerja dari hasil hutan. Pembangunan dan pengeolaan hutan yang tidak berkelanjutan terkadang menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar hutan dan mereka seringkali harus tersingkir dari wilayahnya sehingga jauh dari kata kesejahteraan. Hal lain yang turut menjadi ancaman bagi masyarakat sekitar hutan yaitu banyaknya stakholder yang memperebutkan sumberdaya hutan untuk dimanfaatkan hasilnya seperti untuk pembukaan lahan baru, penyerahan hak guna usaha kepada perusahaan-perusahaan atau untuk keperluan instansi terkait lainnya. Menurut Suporahardjo dan Setyowati (2008) kebijakan-kebijakan yang mengatur tentang tata kelola hutan antara pemerintah pusat maupun lokal terkadang juga bersaling bertentangan berdasarkan kepentingan mereka. Tumpang tindih peraturan tersebut terkadang memicu konflik antar kepentingan sehingga membuat ruang gerak masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan hasil hutan menjadi minim. Masyarakat sekitar hutan yang terpinggirkan akibat dari kebijakan-kebijakan pemerintah membuat mereka kesulitan dalam mengakses sumberdaya hutan sehingga mereka terkadang harus masuk ke dalam hutan yang sudah diberikan zonasi-zonasi akibat kebijakan tersebut dan merusakan hutan.

Salah satu yang berdampak besar bagi gas rumah kaca yaitu dari sektor kehutanan dimana berkontribusi sebesar 17-25% dan emisi tersebut berasal dari negara tropikal yang secara umum merupakan hasil dari pengalihan hutan menjadi penggunaan lainnya (deforestasi) dan degradasi hutan. Kebijakan dari pemerintah dengan pemberian konsesi kepada perusahaan-perusahaan seperti tambang, sawit serta alih fungsi lahan lainnya membuat hutan mengalami penggundulan sehingga sumbangan oksigen dari hutan berkurang. Pada negara maju hampir 70% dari gas rumah kaca berasal dari sektor energi, transportasi, industri, pembangunan, dan energi lainnya dimana pada negara berkembang menyumbang emisi sebesar 30% dan kebanyakan berasal dari sektor non-energi seperti pembuangan, agrikultur, penggunaan lahan termasuk deforestasi (Kemenhut 2014). Di Indonesia, emisi dari sektor kehutanan bersumber dari deforetasi dan degradasi seperti hasil dari illegal logging, kebakaran hutan, penebangan yang berlebihan dan hal lainnya. Selain itu, deforestasi di Indonesia juga disebabkan karena banyaknya aktivitas terencana seperti ekstraksi, koversi hutan di area yang disetujui (perencanaan spasial/RTRW), konversi hutan menjadi penggunaan area lainnya (APL) dan kebijakan pemerintah lainnya.

Perubahan iklim menjadi pembicaraan hangat sehingga menggugah dunia global untuk berkumpul dalam suatu forum negosiasi yang membicarakan mengenai kebijakan iklim internasional yaitu, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC merupakan langkah hasil dari United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau yang dikenal dengan Earth Summit yang dilaksankaan di Rio de Janeiro pada Juni 1992. REDD+ merupakan inisiasi dari program mitigasi perubahan iklim yang dikembangkan dibawah kebijakaan negosisasi yang diorganisir oleh UNFCCC. Melalui konferensi tersebut, seluruh negara yang berpartisipasi dalam UNFCCC mengadakan pertemuan, salah satunya dilaksanakan di Indonesia pada Conference of Parties (COP) ke-13 di Bali tahun 2007. Berdasarkan keputusan COP 13, menyatakan bahwa REDD+ tersusun atas sejumlah tindakan lokal, nasional dan global yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi emisi dari

Page 12: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

2

deforestasi dan degradasi hutan dan memperkuat cadangan karbon di negara-negara berkembang (Angelsen 2013). Selain itu REDD+ berpotensi menjadi strategi mitigasi yang paling efektif dan efisien yang tersedia saat ini.

Masyarakat lokal sering berpandangan positif tentang REDD+, karena harapan mereka untuk mendapatkan pemasukan darinya. Namun demikian, penduduk desa sebagian besar memandang REDD+ sebagai upaya konservasi hutan. Ketidakpastian tentang seberapa besar dan bentuk manfaat yang akan diberikan oleh REDD+ terlihat jelas. Karena itu ada risiko besar bahwa harapan tinggi masyarakat di tingkat lokal tidak akan terpenuhi, yang menjurus ke kekecewaan dan bahkan mungkin penolakan terhadap program ini. Manfaat yang akan diberikan oleh REDD+ di tingkat lokal, yang secara langsung berdampak pada mata pencaharian masyarakat, masih tidak jelas. Terdapat berbagai kemungkinan, yaitu masyarakat lokal akan mendapatkan manfaat, baik melalui kepastian hak mereka atas hutan dan melalui menerima kompensasi keuangan yang besar atas usaha mereka untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, atau pada sisi yang lain, hal yang dikhawatirkan oleh sejumlah kelompok masyarakat desa dan hak adat, tidak hanya bahwa mereka menerima sedikit pembayaran atau tidak sama sekali, bahkan mereka akan kehilangan hak tradisional mereka atas sumberdaya hutan.

. Rumusan Masalah

Menurut Tuwo (2010) dalam buku Rancangan Strategi Nasional REDD+, posisi dan peran Indonesia sangat unik terkait dalam perubahan iklim. Dalam satu sisi, Indonesia merupakan negara penyumbang emisi yang signifikan dari perubahan iklim, sedangkan di sisi lain, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki wilayah pantai yang luas sehingga menjadi sangat rentan terhadap dampak dari perubahan iklim. Perubahan iklim tersebut merupakan dampak dari emisi dari Gas Rumah Kaca (GRK). Inilah sebabnya upaya untuk mengurangi emisi khususnya dari sektor kehutanan dan pengunaan lahan lainnya menjadi sangat penting bagi Indonesia melalui skema REDD+. Berdasarkan uraian tersebut di atas, sehingga sangat menarik untuk dikaji mengenai, apa itu REDD+?

Masyarakat sekitar hutan banyak yang menggantungkan hidupnya pada hutan untuk bertahan hidup. Dengan adanya proyek REDD+ yang merupakan hasil dari konferensi internasional yang disetujui oleh Indonesia dalam COP ke 13 di Bali, program tersebut masuk ke dalam kawasan hutan masyarakat yang tinggal di dalamnya mau tidak mau turut terlibat dalam program tersebut. Masyarakat hutan melakukan upaya konservasi untuk hutannya dan diberikan insentif karena upayanya tersebut. Di sisi lain, deforestasi di Indonesia disebabkan oleh berbagai varietas aktivitas terencana seperti pertumbuhan regional, konversi hutan pada area perencanaan spasial, konversi hutan ke penggunaan area lainnya (APL) seperti perizinan untuk penanaman, konsesi pertambangan di hutan dan lainnya. Varietas lain yang mengakibatkan deforestasi yaitu melalui aktivitas tidak terencana seperti gangguan-gangguan lain layaknya kebakaran hutan, pengklaiman lahan dan ganguan lainnya. Perbedaan kepentingan antar stakeholder terkait penguasaan hutan menjadi hal yang perlu diperhatikan dan menjadi tantangan tersendiri oleh berjalannya REDD+ di Indonesia. Oleh karena itu, yang menarik dikaji adalah, siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam REDD+? Dan Sejauh mana kesiapan masyarakat sekitar hutan yang terlibat dalam program REDD+?

Tujuan

Page 13: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

3

1. Indentifikasi REDD+2. Identifikasi aktor-aktor yang terlibat3. Analisis kesiapan masyarakat sekitar hutan yang terlibat dalam program REDD+

Metode Penulisan

Metode yang digunakan dalam menyusun studi pustaka ini adalah pengumpulan data sekunder dengan menghimpun bahan-bahan analisis berupa hasil-hasil penelitian seperti jurnal melalui sumber yang ada atau pemikiran yang telah diterbitkan, jurnal, buku, skripsi, thesis, dan disertasi. Setelah diringkas, dianalisis dengan teori dan bahan-bahan relevan lainnya kemudian disusun menjadi tulisan ilmiah yang utuh.

Page 14: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

4

RINGKASAN PUSTAKA

1. Judul : Signifikansi Desentralisasi Kehutanan Bagi Implementasi REDD+ di Kabupaten Maluku Tengah

Tahun : 2012Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Emilianus Yakob Sese ToloNama Editor : -Judul Buku : -Kota dan Nama Penerbit

: -

Nama Jurnal : -Volume (Edisi): hal : Volume 16, Nomor 2, November 2012 (153-168)Alamat URL/doi : http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/Tanggal diunduh : 9 September 2014

Ringkasan:Perubahan iklim akibat emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari industri, deforestasi

dan degradasi hutan belakangan ini menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan oleh penduduk dunia. Secara global, diprediksikan bahwa deforestasi dan degradasi hutan di dunia menyumbangkan emisi 12-20 persen emisi GRK (Lang 2009, Kohl et.al 2011, Long 2009, Ricketts 2010, Stickler et.al 2009, Cotula & Mayer 2009). Delapan puluh persen total emisi GRK dari Indonesia berasal dari sektor kehutanan (Kusumaatmadja 2010) akibat dari konversi hutan, kebakaran hutan, dan penebangan liar (Noordwijk et.al 2008). Dalam sistem perdagangan karbon, diharapkan dapat menurunkan emisi GRK. Oleh karena itu secara global mekanisme ini dikenal dengan nama Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+).

Lokasi penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Manusela dan hutan tropis yang luas karena sedang terancam oleh aktivitas legal logging dan illegal logging. Oleh karena itu implikasi REDD+ di lokasi ini sangat menjanjikan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan melakukan wawancara mendalam (in-depth interview), observasi dan studi kepustakaan. Peneliti ini menggunakan wawancara mendalam dengan 60 responden yang terdiri dari bermacam stakeholder, mulai dari pegawai pada dinas kehutanan propinsi, dinas kehutanan kabupaten, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) propinsi, BAPPEDA kabupaten, dinas keuangan daerah, dinas perkebunan daerah, Kantor Balai Taman Nasional Manusela, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), akademisi di Universitas Patimura Ambon, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, pemerintah kecamatan, pemerintah desa, tokoh masyarakat, kepala adat, masyarakat adat (petani dan nelayan), pelaku illegal logging, pengusaha kayu, polisi kehutanan, tokoh masyarakat dan tokoh agama. Selain itu penelitian ini juga menggunakan trianggulasi data karena jawaban dari responden saling menjatuhkan sehingga metode itu digunakan agar memperoleh tingkat kebenaran yang handal.

Hasil dari penelitian ini menjelaskan dengan adanya UU No 22 tahun 1999 yang kemudian diganti oleh UU 32 tahun 2004, Indonesia menerapkan pemerintahan yang terdesentralisasi. Namun, sektor kehutanan di Indonesia umumnya dan di di

Page 15: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

5

kabupaten Maluku Tengah khususnya justru masih bersifat sentralistis. Secara umum, peran masyarakat lokal masih diabaikan dalam tata kelola kehutanan di Kabupaten Maluku Tengah. Akibat permasalahan tersebut, maka tata kelola hutan di Kabupaten Maluku Tengah sebaiknya didesentralisasi. Pemerintah daerah dan masyarakat lokal harus diberi peran aktif dalam tata kelola kehutanan lebih efektif dalam menjaga fungsi ekologis kelestarian hutan dan meningkatkan ekonomi masyarakat. Seperti pada contoh tahun 2008, pemerintah kabupaten Maluku Tengah memperoleh pemasukan hanya 12,5 persen dari sektor kehutanan dari total APBD sekitar 16 miliar rupiah. Dana REDD+ digunakan untuk membangun sarana publik seperti sekolah, puskesmas, perusahaan ikan, dan dermaga.Dan sebagai fungsi ekologis yang mengintegrasikan peran pemerintah dan masyarakat lokal dengan adanya kebijakan desentralisasi kehutanan dalam implementasi REDD+ ini dengan diwujudkannya membangun ‘areal terlarang’ dan ‘hutan masyarakat’ karena pada dasarnya masyarakat kabupaten Maluku Tengah tersebut lebih tunduk kepada hukum adat daripada hukum pemerintah. Contohnya, areal terlarang pada masyarakat adat yaitu “sasi” yang merupakan hukum adat yang melarang untuk memanfaatkan dan mengambil apa saja dalam periode tertentu dari barang milik bersama seperti hutan, laut, dan perkebunan bersama (the commons). Dengan melibatkan masyarakat adat tersebut, maka monitoring dan kontrol pun dilakukan secara bersama-sama oleh lembaga adat dan pemerintah. Selain itu contoh pembangunan hutan masyarakat di Kabupaten Maluku Tengah, pertuanan yang dimiliki oleh masyarakat adat biasanya diorganisir oleh lembaga adat, pemerintah desa, Gereja dan Mesjid. Sehingga tugas pemerintah dalam mengimplementasikan desentralisasi kehutanan untuk implementasi REDD+ mesti memperkuat keberadaan lembaga yang sudah ada dengan memberikan penguatan kapasitas baik pengetahuan maupun prasarana tugas pemerintah semakin dipermudah karena masyarakat dan lembaga adat terlibat aktif dalam usaha pemeliharaan hutan.

Kesimpulan dari penelitian membuktikan bahwa implementasi REDD+ dalam menjaga kelestarian lingkungan menjadi lebih efektif dengan desentralisasi kebijakan pada masyarakat adat dalam pengelolaan hutan. Selain dampak ekologis, masyarakat adat yang ikut menjaga hutan akan mendapatkan dana insentif dari REDD+ ini sehingga akan membantu masyarakat tersebut keluar dari garis kemiskinan. Integrasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat lokal perlu dijaga agar sama-sama saling menguntungkan. Kinerja pemerintah akan lebih mudah karena adanya partisipasi masyarakat dalam mengelola hutan yang luas, serta masyarakat juga mendapatkan manfaat ekonomi dan ekologis karena ikut dilibatkan dalam kebijakan-kebijakan terkait hutan.

AnalisisPada pembahasan penelitian ini menyebutkan bahwa di Kabupaten Maluku

Tengah masih bersifat sentralistis dalam hal pengelolaan hutan karena Departemen Kehutanan masih memegang kuasa yang sangat besar. Akan tetapi dari hampir dari seluruh isi pembahasan lebih banyak menyinggung tentang kebaikan dari desentralisasi sedangkan kasus ini jelas di daerah Maluku yang disebut sebelumnya masih bersifat sentralistis.

Page 16: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

6

Mind Map Ringkasan 1

v REDD+

Membangun sarana publik dan

infrastruktur

Latar Belakang

Desentralisasi

Perubahan iklim akibat emisi GRK dari

aktivitas indutsri, deforestasi dan degradasi hutan

Tindak Mitigasi

Keuntungan Ekonomi ( $5,6 milliar US) dan

Keuntungan Ekologis (Akibat

Sustainable Forest Management)

Aktor:- Pemerintah

daerah- Pemerintah

desa- Masyarakat

lokal (melalui kelompok satuan kerja)

Pengertian

Mekanisme: Pemberian insentif dari negara maju ke negara tropis

Meningkatkan kohesivitas nasional, memajukan

kesejahteraan masyarakat, partisipasi publik dalam tata

kelola pemerintahan

Konsep

Semakin aktif masyarakat daam penggunaan, manajemen, dan kepemilikan hutan, maka konservasi hutan semakin positif (Ostrom 1990 dalam Tolo 2012)

Page 17: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

7

2. Judul : Pelibatan Masyarakat Lokal: Upaya Masyarakat Menuju Hutan Lestari

Tahun : 2008Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Adi Riyanto SuprayitnoNama Editor : -Judul Buku : -Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal :Volume (Edisi): hal : September 2008, Vol. 4 No.2Alamat URL/doi : http:// repository.ipb ac.id/ Tanggal diunduh : 19 Sepetember 2014

RingkasanKerusakan hutan yang hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia disebabkan

antara lain karena adanya beberapa proyek pembangunan dan pemanfaatan hasil hutan yang tidak terkendali oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, ditambah lagi ancaman-ancaman lainnya seperti illegal logging, dan pengumpulan kayu bakar yang kurang memperhitungkan asas berkelanjutan, serta adanya kebakaran hutan. Untuk menegakkan hukum kerusakan hutan bukanlah hal yang mudah. Karena kebanyakan orang-orang yang merusak adalah masyarakat lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan seharusnya dapat menjadi pilar dalam menjaga hutan secara lestari. Perilaku yang negatif akan mengarah pada terciptanya pengeksploitasian dan pemanfaatan hutan secara tidak bertanggung jawab yang berujung pada kerusakan hutan yang pada akhirnya juga akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka sendiri seharusnya dapat dihilangkan dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan.

Ife (1995) menyebutkan bahwa masyarakat akan semakin terlibat dalam suatu program pembangunan apabila keterlibatannya tersebut dirasakan dapat memberikan perbedaan atau manfaat. Untuk itu berbagai program pembangunan kehutanan yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan kehidupan banyak dibuat, salah satunya adalah Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Pada PHBM masyarakat diberikan kewenangan atau hak untuk mengelola hutan. Partisipasi masyarakat akan semakin meningkat apabila hasil pembangunan dapat dinikmati langsung dan memberikan keuntungan kepada masyarakat. Hal ini merupakan langkah perbaikan terhadap metode atau pendekatan lama di mana pemerintah secara mutlak menguasai pengelolaan sumber daya hutan yang boleh disebut sebagai Pengelolaan Hutan Berbasis Pemerintah. Pretty (1995) menyatakan bahwa terdapat dua pendapat yang berbeda namun saling melengkapi dalam memandang partisipasi. Pertama bahwa partisipasi dipandang sebagai alat untuk meningkatkan efisiensi kegiatan pembangunan. Pandangan ini didasarkan pada asumsi bahwa jika rakyat dilibatkan, maka besar peluangnya mereka akan sepakat dan memberikan dukungan serta dorongan pada kegiatan pembangunan tersebut. Pandangan kedua, yaitu partisipasi dilihat sebagai hak rakyat. Tujuannya adalah untuk menginisiasi mobilisasi menuju terciptanya aksi bersama, pemberdayaan, dan pembangunan serta penguatan kelembagaan.

Page 18: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

8

Dengan melibatkan partisipasi masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan seharusnya dapat mengurangi perilaku negatif seperti illegal logging. Oleh karena itu program pembangunan kehutanan yang menggunakan keterlibatan masyarakat banyak dilakukan salah satunya Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat.

AnalisisPada jurnal ini tidak terdapat metode penelitian sehingga informasi yang ada pada isi jurnal tidak diketahui sumbernya. Selain itu pada isi jurnal menyebutkan bahwa jika rakyat dilibatkan, maka besar peluangnya mereka akan sepakat dan memberikan dukungan serta dorongan pada kegiatan pembangunan tersebut tetapi tidak ada contoh kasus yang menjadi bukti dari statement tersebut.

Page 19: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

9

3. Judul : Kerjasama Konservasi Hutan Antara Indonesia-Norwegia Dalam Kerangka REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation) Tahun 2010

Tahun : 2010Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Said Alfrillian NoorNama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal :Volume (Edisi): hal : 2013, 1(2) : 555-566Alamat URL/doi : ejournal.hi.fisip-unmul.orgTanggal diunduh : 9 September 2014

RingkasanPerubahan Iklim merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan

manusia dalam penggunaan bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna lahan dan kehutanan yang mengakibatkan hutan sebagai paru-paru dunia semakin berkurang. Kerusakan hutan seperti penebangan liar, pembakaran hutan dan konversi lahan (perkebunan dan pertanian, pemekaran wilayah, pertambangan dan pemukiman) yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan hilangnya fungsi penyerapan karbon yang meyerap CO2 di atmosfer sehingga peningkatan GRK mengakibatkan suhu permukaan bumi akan semakin memanas atau yang kita sering sebut dengan pemanasan global (Global Warming).MasalahIndonesia memiliki kawasan hutan yang luas dengan kerusakan hutan yang tinggi karena penebangan liar, konversi lahan, dan juga polusi karbon. Norwegia merupakan negara annex 1 yang harus melakukan pengurangan emisi GRK dengan terus melakukan upaya untuk meningkatan nilai dari sumber daya energi yang ada saat ini dan meningkatkan pengetahuan yang diperlukan untuk mengembangkan sistem energi yang baru dan ramah lingkungan untuk mencapai tujuan akhir menjadi negara bebas karbon pada tahun 2050. Selain usaha tersebut Norwegia menawarkan kerjasama dengan Indonesia untuk pengembangan proyek REDD+ di Indonesia sebagai kontribusinya untuk pengurangan emisi.MetodePenelitian ini menggunakan tipe deskriptif analisis yaitu menggambarkan dan menjelaskan hal-hal yang menyangkut implementasi Kerjasama Konservasi Hutan antara Indonesia - Norwegia dalam Kerangka REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) Tahun 2010 di Indonesia. Selain itu data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari telaah pustaka berupa buku-buku resmi, laporan-laporan dan sumber data online dari internet dengan materi terkait. Teknik analisa data yang digunakan adalah data kualitatif.Hasil penelitianKarena perubahan iklim yang terjadi, maka masyarakat internasional untuk pertama kalinya bertemu dan membahas tentang situasi lingkungan hidup secara global di Stockholm pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Human

Page 20: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

10

Environmental) tahun 1972. Program itu memunculkan sebuah gagasan dalam bentuk perjanjian internasional, yaitu Konvensi Perubahan Iklim, yang diadopsi pada tanggal 14 Mei 1992 dan berlaku sejak tanggal 21 Maret 1994. Pemerintah Indonesia turut menandatangani perjanjian tersebut dan telah mengesahkannya melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994. Para negara Annex I harus menurunkan emisi sebagai komitmen lanjutan dari konvensi tersebut. Karena lemahnya komiten, maka Conference of the Parties (COP) III yang diselenggarakan dan menghasilkan kesepakatan Protokol Kyoto yang mengatur dan mengikat Para Pihak negara industri secara hukum untuk melaksanakan upaya penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama. (Anto Ismu Budianto, 2001). Protokol Kyoto mengatur pelaksanaan penurunan emisi oleh negara industri sebesar 5 % di bawah tingkat emisi tahun 1990 dan memiliki tujuan mendesak negara Annex I agar mengurangi emisi domestiknya. (Di antara hijaunya daun dan hijaunya dolar, http://lisasuroso.wordpress.com). Dampak dari kurang efektifnya tiga mekanisme Protokol Kyoto tersebut (JI, IET, maupun CDM), memunculkan sebuah pemikiran untuk memberikan insentif positif bagi negara-negara pemilik hutan yang mampu mengurangi dampak deforestasi. Pemikiran pemberian insentif tersebut dipelopori oleh Papua Nugini dan Kostarika yang mengajukan proposal avoided deforestation yang pada akhirnya masuk dalam agenda COP ke XI di Montreal dengan nama Reducing Emission From Deforestation in Developing Countries (REDD) yang kemudia berkembang menjadi REDD+ dimana menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon. Sehingga REDD+ memiliki pengertian sebuah mekanisme internasional untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan sebagai fungsi penyerapan karbon, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (soveregienty). (REDD Apakah itu? Pedoman Cifor tentang hutan.perubahan iklim dan REDD, http://www.cifor.cgiar.org/publications/pdf_files/media/MediaGuide_REDD_Indonesian.pdf)KesimpulanImplementasi tahap pertama (awal) kerjasama konservasi hutan antara Indonesia dan Norwegia dalam kerangka REDD+ telah berjalan dengan baik dan sesuai dengan Lol antara pemerintah Indonesia dan Norwegia guna mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Selain beberapa kemajuan dalam hal regulasi kebijakan yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia, juga terdapat beberapa kemajuan dalam hal teknis opersional yang telah dilakukan oleh Satuan Tugas REDD+ bersama Pemerintah Daerah dan lembaga-lembaga terkait sebagai implementasi mekanisme REDD+ di daerah percontohan Kalimantan Tengah. Beberapa kegiatan yang terus berjalan hingga kini ialah melakukan sosialisi, pelatihan dan loka karya yang berbasis pelestarian lingkunagan hidup kepada masyarakat.

AnalisisPada penelitian ini konsep dari bukunya kurang terlihat. Konsep yang ada pada isi

jurnal sumbernya dari internet, karena penulis beberapa kali menyisipkan link sebagai acuan dari isi jurnalnya sehingga konsep mengenai hal tersebut harus pembaca dapatkan dari literatur lain

Page 21: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

11

4. Judul : Evaluating On Community Based Forest Management Implementation In Randublatung, Blora

Tahun : 2011Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Indah Susilowati *), Landung Esariti **)Nama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal :Volume (Edisi): hal : Vol. 3 No.2 September 2007, ISSN 1907-187XAlamat URL/doi : http://eprints.undip.ac.id/Tanggal diunduh : 9 Sepetember 2014

RingkasanCBFM (Community Based Forest Management) atau yang sering kita sebut PHBM (Pengelolaan hutan Berbasis Masyarakat) diimplementasikan agar sumberdaya dan manajemen hutan dapat berjalan optimal. Salah satu tempat yang sudah mengikuti program CBFM ini adalah hutan randublatung, Blora. Desa Jegong digunakan sebagai desa percobaan dalam implementasi ini. Ada empat aspek yang dilakukan saat evaluasi program, yaitu: CBFM, prosedur berbagi, tahap implementasi, dan sistem institusional. Akan tetapi, yang paling cocok dilakukan adalah CBFM walaupun terdapat beberapa kendala saat melakukan program. Untuk memperbaiki kendala tersebut, ada empat strategi yang digunakan seperti; pengembangan tahap implementasi, pengembangan strategi instutisional, strategi kolaborasi multistakeholder, dan strategi berbagi kontribusi. Pemerintah lokal membentuk CBFM untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas hutan untuk memastikan mempertahankan integrasi sosial, ekonomi, dan aspek ekologi. CBFM dibuat untuk mereseprentasikan keinginan stakeholder, termasuk pemerintah lokal dan Perhutani yang bertindak sebagai pembuat kebijakan dan tentunya masyarakat lokal yang terpengaruh dengan kebijakan ini. Walaupun ada beberapa kendala seperti penebangan hutan karena petani menganggap CBFM itu didefinisikan sebagai pengeksploitasian hutan. Selain itu kewajiban untuk alokasi 25% dari pendapatan Perhutani untuk memfasilitasi kegiatan petani membebani operator CBFM padahal di sisi lain petani saat bergantung pada pendapatan ini untuk menanam dan bertani secara berkelanjutan. Nyatanya perbedaan antara pelaksanaan dan tujuannya untuk mencapai kesejahteraan sosial memicu untuk dilakukannya studi evaluasi. Proses evaluasi pada studi kasus ini dilakukan dengan menganalisis kebijakan implementasi CBFM., karena untuk alasan bahwa keberlanjutan implementasi dan kebijakannya mengarah pada keuntungan postitif dan mewakili dalam peningkatan kesejahteraan sosial. Penelitian ini menggunakan campuran pendekatan, sedikit menggunakan metode kuantitatif dan lebih banyak metode kualitatif. Metode kuantitatif digunakan untuk menjelaskan karakteristik dari implementasi CBFM dengan menggunakan evaluasi variabel. Sedangkan metode kualitatif digunakan untuk mengekplorasi temuan variabel dari tahap sebelumnya dan memastikan alasan dibilaki situasi yang ada. Untuk mencapai tujuan, beberpa tahap dari investigasi dilakukan yaitu; 1). Identifikasi karakteristik sumberdayadi Randublatung, 2). Identifikasi karakteristik

Page 22: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

12

sosial dan ekonomi di CBFM Randublatung, 3). Investigasi dari implementasi CBFM di randublatung, 4). Analisis implementasi CBFM dan variabel kendala yang ditemukan dari perbedaan di Randublatung, 5). Dampak analisis pada implementasi kebijakan CBFM di randublatung, 6). Desain strategi untuk membuat performa yang lebih baik untukCBFM Randublatung.CBFM melalui Kepala Institusi Pemantauan Hutan No. 136/KPTS/Dir/2001 adalah suatu sistem untuk menejemen sumberdaya hutan antar stakeholder berdasarkan prinsip kontribusi sehingga kepentingan kolektif dapat diakomodasikan agar mencapai fungsi berkelanjutan dan manfaat yang optimal dan proporsional. Terkait dengan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah dan Peraturan Pemerintah No. 33 tahun 2004 tentang keseimbangan moneter pusat dan daerah, CBFM didefinisikan sebagai sistem kebijkaan manajemen yang fokus pada kolaborasi swasta dan pemerintah lokal untuk mengembangkan pemberdayaan masyarakat hutan atau bahkan entitas lain berdasarkan kelompok belajar, dapat dipercaya, penghargaan terhadap masing-masing peran dalam konteks pengelolaan hutan untuk mengintegrasikan ekonomi, ekologi, dan sosial secara proporsional sesuai dengan sasaran yang tercantum pada Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.Konsep potensi pemberdayaan masyarakat dan prinsip manajemen pada CBFM; 1). Masyrakat sebagai pengelola. Masyarakat memiliki kesempatan untuk mengambil peran dalam menejemn hutan. (Rachmawati, 2002) menjelaskan bahwa ini mengarah ke kesadaran yang dibangun oleh mereka pada melestarikan sumberdaya denganpengelolaan hutan berbasis masyarakat seperti pada kasus di Kuningan.CBFM mengembangkan rasa memiliki dari masyarakat. Dari hasil penelitian sangat jelas terlihat bahwa dampak dari CBFM memberikan keuntungan yang signifikan bagi msyarakat sekitar khususnya masyarakat Desa Jegong. Dampak positif lain adalah kontribusi makanan mengarah pada peningkatan produksi panen dan pertanian.CBFM terbukti cocok dilakukan di Desa Jegong. Aplikasi tersebut sesuai dengan prosedur dan efektivitas produksi dengan memberikan beberapa kontribusi yang signifikan walaupun terdapat beberapa kegagalan seperti pembagian yang tidak terjadwal, pembagian alokasi dana yang tidak tepat sasaran, sistem institusi yang topdown, dan sumberdaya manusia yang rendah. Tetapi secara keseluruhan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan hutan dapat tercapai.

AnalisisPada jurnal ini, peneliti memasukkan latar belakang literatur sehingga mempermudah mendapatkan beberapa konsep tentang CBFM. Selain itu masalah pada penelitian ini sudah tersurat dalam latar belakang sehingga tidak perlu lagi menjelaskan tentang masalah dalam satu paragraf. Selain itu, hasil penelitian tidak dituliskan secara deskriptif oleh penulis karena sang penulis menyajikannya dalam sebuah tabel sehingga sediki menyulitkan pembaca karena harus menganalisis sendiri hasil yang tersaji pada tabel tersebut.

Page 23: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

13

5. Judul : Co-Benefits of REDD+ in Community Managed Forests in Nepal (Perspective)

Tahun : 2013Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Joshi et alNama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal : Journal of Forest and LivelihoodsVolume (Edisi): hal : Environmental Sustainability, 4 4(6): 646-653.Alamat URL/doi : http://nepjol.info/index.php/JFL/Tanggal diunduh : 9 September 2014

RingkasanREDD+ telah menjadi agenda prioritas pada negosiasi iklim internasional. Melalui United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Conference of Parties (COP)-16 di Cancun, membahas mengenai co-benefit dan perlindungan pada Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) dan banyak negara berbagi pandangan bagaimana perlindungan sosial dan lingkungan dapat diatasi dibawah REDD+. Dari perspektif REDD+, co-benefit muncul dari perlakuan atau restorasi pada ekosistem hutan yang semakin lama akan terdegradasi atau hilang. Literatur yang berkembang pesat pada perlindungan dan co-benefit dari REDD+ merefleksikan kepentingan dan sensivitas pada isu tersebut. Co-benefit dan asosiasi pemangku kepentingan ditentukan dengan konteks sosial, ekologi, dan institusional dimana aktivitas REDD+ diimplementasikan. Nepal mendemonstrasikan efektivitas pada keterlibatan masyarakat pada manajemen sumberdaya hutan pada pencapaian tujuan restorasi hutan. Kehutanan masyarakat di Nepal adalah contoh sistem desentralisasi pada tata kelola hutan untuk merespon kebutuhan lokal dan institusi. Kesuksesan negara tersebut dapat sebagian diatribusikan untuk kesadaran dan keuntungan intangible pada konservasi hutan dan manajemen hutan yang berkelanjutan pada masyarakat lokal.Ruang lingkup untuk pembayaran karbon pada kehutanan masyarakat merupakan perkembangan yang baru. Pada konteks Nepal, pembayaran karbon dapat dilihat sebagai co-benefit pada kesuksesan kegiatan kehutanan masyarakat yang mengurangi emisi karbon dan meningkatkan stok karbon di hutan. Tetapi REDD+ dapat juga membawa insentif tambahan yang sangat dibutuhkan untuk pengguna hutan masyarakat dan hal tersebut memberikan kesempatan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial dengan tiga deviden: Mitigasi perubahan lingkungan, pemberdayaan masyarakat, dan restorasi hutan. Keuntungan non-karbon sebagai co-benefit pada implementasi aktivitas REDD+ adalah kepentingan paling penting dan besar bagi Nepal. Besar proporsi dari populasi miskin, memiliki opsi matapencaharian yang terbatas, dan tergantung pada sumberdaya hutan di pegunungan dan dataran. Lee et al. (2011) mendaftar lima kategori co-benefit pada REDD+, yaitu: konservasi biodiversitas, proteksi ekosistem, keuntungan ekonomi, kebutuhan beradaptasi, dan keuntungan masyarakat. Chatre et al. (2012) berpendapat bahwa aktivitas jangka pendek dari REDD+ termasuk meningkatkan matapencaharian desa and biaya murah pada implementasi, dimana jangka panjang

Page 24: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

14

co–benefit termasuk meningkatkan kapasitas adaptif pada masyarakat lokal and tata kelola hutan yang baik.

Kunci co-benefit dari kegiatan-kegiatan implementasi REDD+A. Peningkatan pada matapencaharian lokal

Melalui peningkatan manajemen pada perbedaan tipe hutan dan sumberdaya hutan, kegiatan REDD+ dapat berkontribusi untuk melahirkan kesempatan kerja di industri berbasis hutan, menyediakan makanan dan nutrien dari hutan, meningkatkan kualitas air dan menyediakan bahan bakar kayu keperluan energi.

B. Peningkatan nilai pada biodiversitasBerdasarkan insentif yang diharapkan dihasilkan dari kegiatan REDD+, konservasi dari biodiversitas dan habitat hewan liar dapat diekspektasikan. Penerjemaahan ini untuk meningkatakan pendapatan nasional, inter alia, hewan dan tanaman liar.

C. Jasa ekosistem yang lebih baik untuk manusia dan lingkungan Sebagai negara dengan peningkatan hutan, barang ekosistem yang dihasilkan dan layanan seperi, penyediaan, regulasi, budaya, dan fungsi pendukung akan menguntungkan masyarakat dan juga menyebabkan ketahanan yang lebih tinggi dari kehidupan manusia dan perubahan iklim.

D. Ekosistem lebih tahan untuk adaptasi perubahan iklimDengan manajemen hutan yang efektif dan efisien, lingkungan lokal dan hubungan ekosistem akan kurang rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Langkah adaptasi berbasis ekosistem dapat meningkatkan ketahanan ekosistem dimana akan menguranngi dampak perubahan iklim terhadap masyarakat dan ekosistem.

E. Kontribusi pada perjanjian lingkungan multinasionalImplementasi kegiatan REDD+ juga akan berkontribusi melalui pertemuan objek dan target pada banyak konvensi dan perjanjian internasional seperti target Aichi dan ketentuan lainnya pada Convention on Biological Diversity (CBD), Ramsar Convention, Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) and United Nation Convention to Combat Desertification (UNCCD).

Prasyarat untuk membangun sinergi antara REDD+ dengan co-benefit pada masyarakat kehutanan; mengikuti lima poin diatas memerlukan pertimbangan serius untuk memastikan bahwa co-benefit kedua karbon dan non karbondari kegiatan REDD yang dioptimalkan dibawah inisiasi REDD di Nepal. Pemerintah yang relevan dan agensi non-pemerintah seperti institusi donor dapat berkontibusi untuk menangani isu-isu ini dalam rangka untuk melanjutkan dengan kegiatan REDD di masyarakat kehutanan di Nepal dengan level yang optimal dari co-benefit.

1. Teknologi dan metode: Ada kebutuhan untuk memudahkan akses ke teknologi yang berkaitan dengan penginderaan jauh dan energi yang terbarukan. Metodologi, format, alat dan garis pedoman untuk pemantauan dan verivikasi, valuasi ekonomi pada jasa ekosistem, penilaian periodik dan pemantauan akan diperlukan dan diadaptasi untk konteks nasional dan lokal.

2. Pengembangan Kapasitas: Kapasitas institusi saat ini dan official/individual di kementrian yang relevan dan organisasi non-pemerintahan akan memerlukan perbaikan yang siginifikan untuk membuat penggunaan yang efektif pada teknologi dan metodologi yang dijelaskan diatas.

3. Pendanaan: Sumber pendanaan dan mekanisme yang berkelanjutan adalah sangat penting untuk pendanaan insentif co-benefit sehingga kegiatan REDD+ menjadi efektif dan berkelanjutan dalam jangka panjang.

Page 25: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

15

4. Manajemen hutan yang berkelanjutan: Manajemen masyarakat hutan seharusnya menjadi dasar pada pengoptimalan keuntungan dari jasa lingkungan yang termasuk karbon hutan, mata pencaharian serta peningkatan sosial dan lingkungan.

5. Rencana lintas sektoral dan implementasiannya: Keuntungan dari pembayaran karbon dan dengan co-benefitnya akan memerlukan efek gabungan pada sektor yang berbeda (contohnya kehutanan, lingkungan, perkembangan lokal, dan keuangan) dalam perencanaan, pengimplementasian, dan pemantauan pada kegiatan REDD+

Nepal menjadi contoh negara yang berhasil melakukan implementasi kegiatan REDD+ dan mendapatkan co-benefitnya. Pembayaran karbon dapat dilihat sebagai co-benefit yang mengurangi emisi karbon dan meningkatkan stok karbon di hutan. Selain itu dapat juga membawa insentif tambahan yang sangat dibutuhkan untuk pengguna hutan masyarakat dan hal tersebut memberikan kesempatan untuk mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan sosial. Kunci co-benefit dari implementasi kegiatan REDD+ yaitu; 1). peningkatan pada matapencaharian lokal, 2) peningkatan nilai pada biodiversitas, 3). Jasa ekosistem yang lebih baik untuk manusia dan lingkungan, 4) ekosistem yang lenih tahan untuk adaptasi perubahan iklim, dan 5). Kontribusi pada perjanjian lingkungan multinasional. Selain itu prasyarat untuk membangun sinergi antara REDD+ dengan co-benefit pada masyarakat kehutanan adalah; 1). teknologi dan metode, 2). pengembangan kapasitas, 3). Pendanaan, 4). manajemen hutan yang berkelanjutan, 5). rencana lintas sektoral dan implementasiannya.

AnalisisJurnal ini menjelaskan dengan rinci poin-poindari co-benefit. Tetapi sayangnya

masalah dan metodenya tidak dijelaskan bahkan tidak ada. Selain itu seharusnya jurnal ini lebuh menjelaskan lagi partisipasi masyarakat sehingga yang menyebabkan masyarakat tersebut ikut terlibat dalam pengelolaan hutan selain karena motof intentif yang diberikan melalui kegiatan perlindungan hutan.

Page 26: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

16

6. Judul : Dari Pengurangan Emisi ke Menjawet: Strategi Penerimaan REDD+ di Desa Buntoi

Tahun : 2013Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : CetakNama Penulis : Yetty OktayantyNama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal : Transformasi SosialVolume (Edisi): hal : Nomor 30, Tahun XV, 2013Alamat URL/doi :Tanggal diunduh : 16 Oktober 2014

RingkasanPerdebatan mengenai perubahan iklim telah disuarakan pada diskusi United Nation Frameworks Convention on Climate Change (UNFCCC) terutama sejak klausul common but different responsibilities (tanggung jawab bersama terhadap masalah perubahan iklim yang dibedakan berdasarkan kontribusi emisi) yang setelah itu disepakati pada Protokol Kyoto. Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) menjadi salah satu solusi dalam tanggungjawab atas emisi dunia. REDD+ didefisinikan sebagai mekanisme melalui pemberian insentif kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan dan lembga suprainternasional seperti World Bank , WWF dan lainnya melihat REDD+ sebagai mekanisme win-win solution terhadap iklim, masyarakat, dan konservasi. Satgas REDD+ menyebutkan bahwa Indonesia memliki hutan mencapai 130 juta hektar dan memiliki peluang besar dalam mitigasi perubahan iklim yang didukung dengan pendapat Susilo Bambang Yudhoyono yang berkomitmen menurunkan emisi sebesar 26 persen dengan dana sendiri atau 41 persen dengan dana bantuan internasional. Melalui Conference of the Parties (COP) ke-13 di Bali.Pada beberapa kasus seperti di Sulawesi Tengah, masyarakat lokal menolak implementasi dari proyek REDD+. Tetapi pada kasus di jurnal ini tepatnya di Desa Buntoi, masyarakat menerima proyek REDD+. Masyarakat Desa Buntoi umumnya mendalkan hutan sebagai pemenuhan kebutuhan seperti sumber mencari makan, obat ataupun material rumah. Tetapi sejak Orde baru, terjadi perubahan fungsi lahan karena pemerintah memberikan hak pengusahaan kepada pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Selain itu kegagalan pengelolaan hutan juga diakibatkan pada karena lemahnya penegakkan hukum, birokrasi yang korup, kebijakan konservasi dengan pendekatan ekofasis, serta kemiskinan. Metode yang oenulis gunakan adalah pendekatan analisis antropologi ekonomi dari Gudeman (2001) yang menyatakan bahwa ada 2 kriteria yang membentuk ekonomi yaitu pasar dan masyarakat. Praktik ekonomi dibangun melalui empat domain nilai yaitu, 1). Basis, 2). Relasi sosial, 3). Perdagangan, 4). Akumulasi. Basis merujuk pada kepentingan berbagi sumberdaya alam dan lainnya yang didefinisikan secara lokal dan didukung oleh adanya hubungan sosial. Lalu perdagangan merupakan domain penyedia barang dan jasa untuk keperluan produksi maupun konsumsi. Lalu nilai akumulasi seperti sumberdaya alam, jasa atau modal berupa uang diiventasikan, dikonsumsikan, dan ditampilkan yang kemudia diijustifikasi sebagai kekuatan

Page 27: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

17

ekonomi. Selain itu, penulis juga menggunakan kerangka Harvard untuk menganalisis hubungan gender sehingga terdapat penjelasan mengenai kebutuhan strategis dan transformasi hubungan gender.Sehari-harinya masyarakat Desa Buntoi memiliki profesi menyadap karet (memanat gita) sebagai profesi utama. Tetapi selain itu mereka juga bekerja bertani dan berladang. Sumber lainnya yaitu dari mengayam (menjawet) tikar rotan yang telah mereka pelajari secara turun-menurun yang dilakukan oleh wanita Dayak. Kegitan ekonomi masyarakat Buntoi ini menunjukkan bahwa adanya kebutuhan uang. Sehingga basis tersebutlah yang dihubungkan dengan penerimaan masyarakat terhadap REDD+ melalui proyek livelihood. Selain itu, penerimaan proyek tersebut juga karena dijadikannya Desa Buntoi sebagai desa percontohan, adanya pembangunan Pusat Informasi Lestari (PIL), dan tentunya kegiatan menganyam oleh wanita lokal. Melalui desa percontohan, Gubernur Kalimantan Tengah mencanangkan adanya produk khusus dari desa yang disebut one village one product (OVOP). Pembentukan desa percontohan melalui OVOP dilakukan bersamaan dengan hadirnya program REDD+ yang difasilitasi oleh United Nations Office for Project Service (UNOPS) dan United Nations Educational, Scirntific and Cultural Organization (UNESCO). PIL diwujudkan dengan membangun bangunan ramah lingkungan yang berfungsi sebagai sarana komunikasi perubahan iklim yang dibangun oleh partisipasi masyarakat lokal dan juga lebih banyak dari pekerja diluar desa. Selain itu proyek livelihood ini memerlukan 30 wanita untuk menjawet sebanyak 118 tikar. Tidak hanya meningkatkan pendapatan, tetapi wanita juga mendapatkan pelatihan mengayam dengan motif-motif baru. PIL diubahmenjadi Pusat Sarana Komunikasi Iklim (PSKI) yang menjadi sarana pusat pembelajaran bagi warga yang ingin mengetahui masalah peruahan cuaca sehingga dapat memanfaatkan perubahan cuaca tersebut untuk meraih hasil. Akan tetapi beberapa bulan setelah PSKI diresmikan, perekonomian masyarakat yang diuntungkan akibat dari kehadiran REDD+ kembali seperti semula.Bayangan masyarakat mengenai pemberdayaan dan pembangunan dari REDD+ terlihat belum tepat sasaran. PIL yang dianggap untuk memfasilitasi masyarakat dalam menyediakan informasi mengenai iklim maupun ketahanan dan peningkatan basis penghidupan masyarakat nyatanya tidak didasari rasa memiliki oleh masyarakat Buntoi. Selain itu basis ekonomi menjadi salah satu penyebab diterimanya REDD+.

AnalisisPada jurnal ini tidak disertai data-data kualitatif dan kuantitatif sehingga pembaca tidak memiliki informasi tambahan seperti jumlah masyarakat yang ikut dalam program dan alasan apa yang mengakibatkan masyarakat lain tidak turut serta bergabung dalam program ini. Selain itu, penulis tidak banyak memasukkan konsep dari REDD+ nya itu sendiri. Sehingga pembaca hanya tau jika REDD+ ini secara tidak langsung tidak tepat sasaran. Jika ingin mengkritisi program yang diberikan tidak tepat sasaran, sebaiknya penulis menjelaskan dulu bentuk-bentuk insentif yang biasanya diberikan oleh pihak pendonor dana. Misalnya berbentuk uang atau infrastruktur. Karena jika diberikannya uang, maka tujuan pemberdayaan tidak tercapai. Dibentuknya PIL atau PSKI merupakan bentuk infrastruktur yang diberikan untuk masyarakat dalam program REDD+ ini. Masalahnya hanya mau atau tidaknya masyarakat kut serta dalam program yang sudah disediakan seperti janji dari REDD+.

Page 28: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

18

Mind Map Ringkasan 6

Aktor:World Bank dan

Gubernur

Penerimaan

REDD+

FPIC(Free, Prior, Informed,

Consent)Yang difasilitasi oleh

AMAN dan Bit kepada masyarakat lokal

Program Menganyam Rotan

Pembangunan Pusat Informasi Lestari

Status Desa Percontohan

Peraturan Gubernur Nomor 35 Tahun

2013

Aktor:UNOPS

Aktor:UNESCO dan

UNOPS

Dikepalai oleh Kepala Desa Buntoi, membuat persetujuan masyarakat lokal atas dijadikannya

Desa Percontohan

Livelihood Project

Peningkatan ekonomi rumah tangga yang

dilakukan ole perempuan

Page 29: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

19

7. Judul : Economics of REDD+ and Community Forestry (Perspective)

Tahun : 2013Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Randall BluffstoneNama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal : Journal of Forest and LivelihoodVolume (Edisi): hal : 11(2) July, 2013Alamat URL/doi : http://nepjol.info/index.php/JFL/Tanggal diunduh : 16 Oktober 2014

RingkasanReducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) adalah pembayaran untuk sistem jasa lingkungan yang dibuat dibawah Framework Convention on Climate Change yang mencoba untuk mengurangi deforestasi dan degradasi di negara-negara yang tidak menjadi subjek tuntutan dibawah konvensi (negera non-Annex 1) dan, oleh karena itu melepaskan lebih sedikit dan menyerap banyak karbon. Co-benefit lain yang ditambahkan, seperti proteksi biodiversitas, pengurangan kemiskinan dan aforestasi dimana ditambahkannya makna + pada REDD+. Oleh karena itu tanda + merupakan upaya untuk mengatasi potensi negatif, efek yang tidak diinginkan pada servis ekosistem non-karbon dan mengambil jumlah dari efek pada mereka yang saat ini memiliki klaim atas hutan. Banyak area hutan dimana + merupakan hal yang paling penting adalah manajemen masyarakat. Kehutanan masyarakat adalah jantung dari REDD+. Secara fundamental, REDD+ adalah tentang membuat pasar untuk karbon dimana pembeli REDD+ merupakan negara Annex 1 dari FCCC, dan penjualnya pada negara non-Annex 1. Pada tiap pasar, mungkin akan dihubungkan ke pasar karbon yang dibuat lainnya, diyakini diperlukan karena sifat common pool alam pada jasa penyerapan karbon. Jasa dari common pool resources (CPR) merupakan depletasi dan sulit untuk dipertahankan dari intrusi dan/atau depletasi. Contoh, jasa penyerapan karbon dapat dengan mudah dikurangi dengan memotong dan membakar lahan pertanian. Selalnjutnya, setelah karbon diasingkan, pada prinsipnya, semua orang di bumi yang peduli tentang stabilitas iklim juga segera mendapatkan akses ke manfaat. Akses untuk penyitaan karbon sebagai bentuk pada jasa ekosistem, oleh karena itu terbuka dan memungkinkan untuk ditahan. Fitur common pool pada jasa penyitaan karbon berarti sulit bagi pebisnis untuk meraih keuntungan (kecuali pemerintah atau agensi kontraktor multilateral) dengan menyediakan mereka. Bisnis, oleh karena itu, secara umum tidak dapat menyediakan jasa seperti penyitaan karbon, dimana berarti tanpa bantuan pemerintah tidak ada pasar karbon, tidak ada harga karbon, dan tidak ada nilai karbon. Kekurangan harga karbon karena pasar yang hilang dipercaya akan menjadi problematika. Ketika tidak ada harga, maka orang akan melihat harganya nol., dimana dapat diinterpretasikan sebagai layanan penyerapan karbon tidak sama sekali langka dan oleh karena itu, a) tidak ada aslasan untuk menyediakan mereka dan b) kita harus menggunakan hutan untuk tujuan lain. Masalah tidak memiliki harga pasar untuk layanan merupakan yang menjeadi melekat pada manajemen CPR.

Page 30: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

20

Seperti isu pengembangan penyesuaian REDD+ pasar karbon adalah alat yang sangat penting untuk memberi nilai pada layanan ekosistem hutan. Pada prosesnya, harapan bahwa REDD+ akan membuat insentif untuk mereka yang mengkontrol hutan untuk menyita karbon dan kepada mereka yang mengeluarkan karbon ke atmosfir untuk membayar layanan penyitaan.Dari perspektif yang dikelola masyarakat hutan, ekonomi dasar memiliki segala sesuatu yang berkaitan dengan harga karbon dan biaya peluang pnyerapan karbon. Selama pembeli karbon menawarkan keuntungan untuk masyarakat yang lebih dari biaya masyarakat menyediakan layanan penyerapan karbon, model sikap dasar mensugestikan hal tersebut akan lebih menarik bagi masyarakat untuk penyitaan karbon. Penyerapan karbon di negara non-Annex 1 harus, oleh karena itu dianggap relatif murah dibandingkan dengan opsi pengurangan potensial lainnya, seperti penggantian bahan bakar, dan instalasi pada efisiensi energi.Penemuan-penemuan dari studi ini diminati karena banyak yang percaya bahwa degradasi hutan dan deforestasi menjadi sumber utama dari emisi karbon. Hutsn yang dikelola masyarakat dapat menjadi pemain penting karena kebanayak hutan di negara berkembang dimiliki oleh pemerintah pada kertas, pada praktek banyak hutan ini sebenarnya dikendalikan untuk gelar penting bagi masyarakat (Agrawal et al. 2008). Sekitar 25 persen dari hutan negara berkembang, atau tiga kali lebih banyak seperti yang dimiliki oleh sektor swasta, berada di bawah kepemilikan dan/atau administrasi masyarakat dan presentasi ini nampaknya terus meningkat dari waktu ke waktu. Selama periode 1997-2008, area kepemilikan kolektif kira-kira dua kali lipat menjadi 250 juta hektar (World Bank 2009). Penggunaan biomasa hutan dieskstraksi dari manajemen masyarakat hutan juga menjadi sangat penting bagi perubahan lingkungan. Lebih dari 2 milyar orang diseluruh dunia memasak dan menghangatkan dengan biomasa secara teratur dan kebanyakan ini datang dari manajemen masyarakat hutan. Potensi bagi pengaplikasian REDD+ untuk manajemen masyarakat hutan untuk berkontribusi pada mitigasi perubahan lingkungan muncul signifikan, tetapi perlu menanyakan insentif dari transaksi REDD+. Titik jelas bahwa tidak hanya berlaku pada manajemen masyarkat hutan atau bahkan karbon peneyerapan pada saat ini., presentase yang sangat kecil dari perusahaan dalam FCCC negara annex 1 menghadapi batas mengikat emisi karbon mereka. Untuk membuat pasar REDD+ berjalan, pelaku ekonomi yang emit karbon pada dunia berkembang harus menjadi subjek pengikat. Alasan kedua mengapa REDD+ dapat tidak bekerja seperti apa yang diharapkan pada konteks masyarakat hutan adalah biaya mungkin terbukti lebih tinggi dari yang diekspektasikan dan tawar-menawar tidak dapat dicapai. Asosiasi biaya dengan negosiasi masyarakat, pertemuan, monitoring, keengganan resiko dan rata-rata diskon besar (Yesuf dan Bluffstone 2009;2013) ternyata dapat menjadi signifikan dan potensial menjadi ketidakinginan masyarakat untuk berpartisipasi pada REDD+ pada pembeli harga karbon akan bersedia untuk membeli. Ini berarti penyitaan karbon dari manajemen masyarakat hutan akan terlalu mahal bagi pembeli Annex 1. Ketiga, selama secara luas setuju REDD+ seharusnya tidak berlebihan memaksakan kendala pada proses lokal atau lebih buruk, mengambil paksa hak masyarakat, isi ini akan menjadi konsen yang serius. Bushley dan Khatri (2011), Ostrom (2010) danAgrawal et al. (2011) semua menyarankan tantangan utamanya adalah membuat institusi yang sesuai untuk menyalurkan manfaat REDD+ dan biaya mengesankan pada mereka yang mengontrol manajemen masyarakat hutan. Semuanya memberi kritik untuk mendapatkan institusi dengan proses desain

Page 31: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

21

kolaboratif antar semua level pada aktor REDD+ (contoh: internasional, nasional, lokal) pengakuan hak lokal dan komitmen untuk penyesuaian solusi lokal.Seperti isu pengembangan penyesuaian REDD+ pasar karbon adalah alat yang sangat penting untuk memberi nilai pada layanan ekosistem hutan. Pada prosesnya, harapan bahwa REDD+ akan membuat insentif untuk mereka yang mengkontrol hutan untuk menyita karbon dan kepada mereka yang mengeluarkan karbon ke atmosfir untuk membayar layanan penyitaan. Selain itu, selama pembeli karbon menawarkan keuntungan untuk masyarakat yang lebih dari biaya masyarakat menyediakan layanan penyerapan karbon, hal tersebut akan lebih menarik bagi masyarakat untuk penyitaan karbon. Untuk segala masalah pada REDD+ tantangan utamanya adalah membuat institusi yang sesuai untuk menyalurkan manfaat REDD+ dan biaya mengesankan pada mereka yang mengontrol manajemen masyarakat hutan. Semuanya memberi kritik untuk mendapatkan institusi dengan proses desain kolaboratif antar semua level pada aktor REDD+.

AnalisisJurnal ini tidak menjelaskan metode apa yang digunakan penulis untuk menganalisis masalahnya. Selain itu tidak terdapat konsep-konsep mengenai variabel b (community forestry) seperti yang tertulis pada judul jurnal. Secara umum jurnal ini lebih melihat perspektif mekanisme layanan penyitaan karbon pada REDD+

Page 32: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

22

8. Judul : Relasi Kuasa Antara Perhutani dan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Banyumas: Kepentingan Bisnis vs Community Empowerment

Tahun : 2014Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Slamet Rosyadi1, Khairu Roojiqien SobandiNama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal : Jurnal KomunitasVolume (Edisi): hal : 6 (1) (2014): 47-56. DOI: 10.15294/komunitas.v6i1.2939Alamat URL/doi : http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/Tanggal diunduh : 25 Oktober 2014

RingkasanSejak tahun 2001 pemerintah melalui Perhutani mengiplementasikan PHBM sebagai usaha meredam laju deforestasi yang tinggi. Tujuan utama dari kebijakan tersebut adalah untuk memulihkan kondisi hutan dengan pendekatan pelibatan masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan (multistakeholders). Kebijakan PHBM berupaya untuk mempertemukan kepentingan masyarakat dan negara sehingga tidak terjadi lagi konflik yang memberikan tekanan terhadap kondisi hutan (Setiahadi, 2012). Beberapa studi tentang pelaksanaan kebijakan PHBM menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan telah memberikan manfaat seperti pengembangan kerjasama kemitraan (Rosyadi, 2010), namun masih bermasalah dalam beberapa hal seperti: kapasitas LMDH yang lemah (Pambudiarto, 2009), dominasi perhutani yang masih sangat besar (Cahyono, 2011), dan kelembagaan PHBM yang belum mantap (Setiahadi, 2012). Muncul kritikanterhadap kebijakan PHBM salah satunya seperti yang dikatakan oleh Setiahadi (2012), subtansi pelibatan masyarakat dalam PHBM hanya sekedar sebagai “katup pengaman” atau “pemadam kebakaran” mengatasi deforestasi dan konflik, bukan menjadi bagian dari sistem perencanaan sumber daya hutan di Jawa secara menyeluruh. Selain itu masalah selanjutnya seperti yang diungkapkan oleh Nawir dkk (2008) melaporkan bahwa MoU dan LoA/ SPKS sering disusun tanpa banyak melibatkan masyarakat, sehingga masyarakat tidak menghargai atau mempercayai bentuk pemberian/pengakuan hak tersebut. Rosyadi (2009) juga menemukan bahwa negara (Perhutani) cenderung memilih pendekatan legalistik daripada sosial dalam pelaksanaan PHBM. Berkembangnya orientasi bisnis negara dalam pengelolan hutan dapat berpotensi menyingkirkan kepentingan dan kearifan lokal. Negara dalam hal ini dapat terjebak dalam hubungan yang bias dengan para pemodal. Akibatnya, peran dan kekuasaan masyarakat yang akan dikuatkan dalam kebijakan PHBM dapat semakin melemah sehingga konflik kepentingan berpotensi untuk muncul.Penelitian ini menggunakan studi kasus. Peneliti menggunakan studi kasus karena dianggap menyajikan bentuk holistik dalam menganalisis suatu fenomena dan lebih peka menangkap informasi kualitatif diskriptif, dengan secara relatif tetap mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek. Penelitian ini berlokasi di Kabupaten Banyumas. Desa hutan yang dimaksud adalah desa hutan yang mewakili dataran tinggi (upland) seperti Desa Kalisalak, Desa Sokawera, dan Desa Pekuncen

Page 33: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

23

yang merentang dari Timur ke Barat Kaki Gunung Slamet. Sedangkan untuk dataran rendah (downland) diwakili oleh Desa Kaliputih, Kebasen, dan Tunjung. Lokasi penelitian be- rada di wilayah kerja Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Timur. Penetapan lokasi upland dan downland dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran yang representatif tentang relasi kekuasaan antara negara dan masyarakat. Selain itu pengumpulan data dengan melakukan observasi langsung (partisipasi pasif), wawancara mendalam (indepth interview), dan analisis dokumentasi. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan melalui kebijakan dan program PHBM telah berlangsung lebih dari 12 tahun sejak 2001. Kebijakan PHBM ini dirumuskan dalam SK Nomor 136/KPTS/DIR/2001. Dalam 7 tahun terakhir ini, Perhutani tidak lagi berinteraksi secara intensif dengan LMDH terkecuali hanya untuk pemenuhan target bisnis Perhutani sepeeti pembuatan perjanjian kerjasama (Pks) baru atas tanaman yang sudah dianggap menguntungkan bagi perhutani untuk dimasukan dalam perjanjian bagi hasil sesuai dengan Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 436/KPTS/ DIR/2011 tentang Pedoman Berbagi Hasil Hutan Kayu. Oleh karena itu, munculah persepsi masyarakat dan LMDH terhadap orientasi bisnis Perhutani dalam implementasi kebijakan PHBM yang menunjukkan bahwa masyarakat dan LMDH merasa dipinggirkan perananannya dalam implementasi kebijakan PHBM. Hal ini mengindikasikan bahwa Perhutani memang tidak menghendaki adanya peran besar yang setara dari masyarakat desa hutan dalam pengelolaan hutan negara. Melalui evaluasi paguyuban LMDH Jawa Tengah atau yang lebih dikenal dengan GUGAH yang bekerjasama dengan LSM AruPA menyimpulkan bahwa hampir 10 tahun Perhutani tidak pernah lagi memberikan pelatihan, pendampingan, atau bahkan koordinasi dengan LMDH.Terdapat 3 aktor penting dalam kebijakan PHBM yang secara eksplisit disebutkan dalam Keputusan Direksi Perum Perhutani Nomor: 682/KPTS/DIR/2009, khususnya pada Bab 1 mengenai Ketentuan Umum Pasal 1, yaitu: 1) Perum Perhutani; 2) Aktor masyarakat desa hutan (MDH) melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH); 3) pihak yang berkepentingan (stakeholder) misalnya, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan, dan Lembaga Donor. Ketiga aktor utama kebijakan PHBM ini menjalin kemitraan sejajar dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional. Ketiga aktor tersebut melakukan; 1) penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya hutan, 2) pemanfaatan sumberdaya hutan dan kawasan hutan, serta 3) perlindungan sumberdaya hutan dan konservasi alam. Dengan demikian, ketiga aktor dalam kebijakan PHBM ini merupakan aktor penting yang menentukan keberhasilan dari berjalannya kebijakan PHBM secara nyata. Orientasi bisnis Perhutani ini menunjukkan adanya target yang harus dicapai oleh Perhutani sebagai perusahaan milik negara. KesimpulanKepentingan profit yang diusung oleh Perhutani dalam pengelolaan sumberdaya hutan ternyata telah berdampak negatif terhadap kualitas implementasi kebijakan PHBM. Padahal seharusnya tujuan kebijakan PHBM adalah untuk membangun tata kelola kehutanan yang lebih baik dan partisipatif. Selai itu jejaring kerjasama antara Perhutani dan LMDH sudah lemah. Perilaku Perhutani tidak lagi menempatkan LMDH sebagai mitra strategis dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Tidak sejajarnya kerjasama antara Perhutani dan LMDH telah menyebabkan LMDH tidak berdaya dan secara institusional terhambat kemampuannnya untuk memberikan kesejahteraan masyarakat desa hutan. Dengan demikian, kemitraan antara LMDH

Page 34: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

24

dengan Perhutani dalam kerangka kebijakan PHBM tidak berjalan dengan baik karena adanya orientasi bisnis yang dikembangkan oleh Perhutani yang tidak melibatkan LMDH dalam posisi yang setara/sejajar dalam bekerjasama.

AnalisisJurnal ini tidak terlau banyak menggunakan konsep-konsep yang menjelaskan pengertian, tujuan, latar belakang diadakannya PHBM. Pada jurnal ini lebih banyak mengulas mengenai perubahan sikap dari Perhutani yang sekarang sudah menjadikan PHBM ini berorientasi bisnis. Tetapi penulis tidak menceritakan sedikit saja mengenai PHBM pada masa suksesnya. Sehingga pembaca hanya mengetahui bahwa PHBM sekarang semakin tidak menjanjikan bagi masyarakat lokal.

Page 35: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

25

9. Judul : Alternatif Mekanisme Distribusi Intensif REDD Melalui Dana Perimbangan Pusat Daerah (Alternative Mechanism on REDD Incentive Distribution Through Fund Balancing Between Central to Regional Goverment)

Tahun : 2010Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : Indartik, Fitri Nurfatriani, Kirsfianti L. GinogaNama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal : Jurnal Komunitas Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan

Volume (Edisi): hal : Vol. 7 No. 3 September 2010, Hal. 179 - 196Alamat URL/doi : http://ejournal.forda.mof.org/ejournal-litbang/

index.php/JPSE/Tanggal diunduh : 25 Oktober 2014

RingkasanPerubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) menyebabkan kenaikan temperatur bumi yang banyak berdampak buruk bagi manusia maupun alam. Pembangunan dan industri yang meningkat menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan dimana hal tersebut berkontribusi besar bagi penigkatan emisi gas rumah kaca dunia. Kerjasama antar negara banyak dilakukan untuk menurunkan emisi tersebut dengan upaya mitigasi dan adaptasi. Salah satunya disebut UNFCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dimana konvensi tersebut membentuk Conference of The Parties (COP) yang menghasilkan Protokol Kyoto pada COP ke-3. Pada perjanjian tersebut disepakati untuk menurunkan emisi sebesar 5,2% pada negara Annex 1 selagi negara non Annex 1 tidak diwajibkan untuk mengurangi emisi GRK tetapi tetap mengatur mekanisme partisipasi dengan mengurangi emisi GRK melalui Clean Development Mechanism (CDM) dalam bentuk kegiatan aforestasi dan reforestasi yang dapat meningkatkan cadangan karbon. Karena kegiatan tersebut tidak sebanding dengan cepatnya laju deforestasi, maka perlu adanya mekanisme lain. Salah satunya dengan mekanisme insentif dari negara maju ke negara berkembang yaitu disebut REDD (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation).Implementasi REDD membutuhkan suatu mekanisme distribusi insentif kepada para pihak yang berhak menerima insentif secara proporsional sesuai dengan hak dan tanggung jawabnya. Mekanisme seperti ini diperlukan sebagai dasar pengaturan distribusi insentif dan tanggung jawab antar pihak-pihak yang terkait seperti Pemerintah pusat, Pemerintah daerah, Masyarakat, Investor, dan pihak lain terkait.Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan dengan menggunakan metode pengumpulan data dilakukan melalui kajian literatur, wawancara mendalam, dan wawancara dengan para pakar dan pengambil kebijakan di setiap tingkat wilayah. Data primer diperoleh dari hasil diskusi mendalam dan wawancara dengan narasumber. Responden dalam penelitian ini mencakup pakar di beberapa instansi seperti Departemen Kehutanan, Departemen Keuangan, Bappenas,

Page 36: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

26

Lembaga pendanaan, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, Perusahaan di bidang kehutanan dan perkebunan, Akademisi, Instansi Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan tokoh masyarakat sekitar hutan. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen.Lokasi DAREDD di Kalimantan Tengah adalah di Kabupaten Kapuas yang merupakan kerjasama antara pemerintah Republik Indonesia dengan Australia dengan nama KFCP (Kalimantan Forest and Climate Partnership) selama jangka waktu kegiatan 4 (empat) tahun terhitung sejak Januari 2009-Juni 2012 dengan dua fase implementasi, yaitu pra implementasi dan fase implementasi. Baik di Kalimantan maupun Sumatra Selatan, tujuan dari penelitian ini adalah berkontribusi di dalam upaya pengembangan sistem pengelolaan sumberdaya alam lestari di Sumatera Selatan sekaligus mendorong penerapan perdagangan karbon melalui mekanisme REDD. Transaksi pembayaran REDD merupakan aliran pembayaran dari pembeli manfaat REDD kepada penghasil manfaat REDD yaitu pihak yang terlibat dalam rangkaian pengurangan emisi dari deforestasi. Menurut penulis yang diungkapkan oleh responden Dinas Kehutanan Provinsi, terdapat dua skenario yang bisa digunakan dalam mekanisme distribusi insentif REDD yaitu, 1). Jika pembayaran langsung ke Pemerintah Daerah. Jika skenario dari pembeli langsung ke Pemerintah Daerah (Pemda), maka perlu dibentuk Badan Pengelola REDD di daerah (Pemda Propinsi/Kabupaten). Pembagian proporsi dari dana yang diterima 20 % untuk pemerintah pusat dan 80% untuk Pemerintah daerah. Sedangkan pembagian dana yang masuk Badan pengelola REDD ada 3 : (1) Dana operasional (30%); (2) Pengelolaan kawasan (30%); (3) Masyarakat sekitar hutan (40%). Proporsi tersebut merupakan hasil pemahaman responden terhadap distribusi insentif REDD, 2). Jika jalur pembayaran melalui pemerintah pusat. Penyaluran dana dapat melalui anggaran pemerintah. Jika dana masuk lewat APBN melalui DAK (Dana Alokasi Khusus) REDD maka di propinsi atau kabupaten harus ada rekening khusus pengelolaan REDD supaya dana tersebut khusus digunakan untuk keperluan REDD. Sedangkan besarnya proporsi insentif untuk masing-masing pihak adalah 30-40% untuk pemerintah pusat dan 60-70% untuk Taman Nasional. Distribusi dari dana yang diterima taman nasional 25% untuk masyarakat sekitar hutan yang disalurkan melalui program-program pengelolaan kawasan, berupa pencegahan penebangan liar, kebakaran hutan dan perambahan serta pelestarian keanekaragaman hayati.Distribusi insentif dari pemerintah pusat maupun dari pemberi dana melewati mekanisme rangkaian stakeholder yang panjang. Alur distribusi dari stakeholder yang terkait harus harus proporsional. Mekanisme tersebut dapat berasal dari pemerintah pusat maupun daerah. Keberhasilan REDD sangat tergantung terhadap komitmen pemilik lahan untuk menjaga tingkat pengurangan emisi dari praktek penggunaan lahan sebelumnya. Untuk itu penegakkan kesepakatan dengan pemilik lahan sangat diperlukan.

AnalisisPada jurnal ini, penulis menjelaskan alur-alur insentif dari pihak-pihak terkait secara jelas. Namun jurnal ini menganalisis insentif dari REDD sedangkan dengan tambahan + dari REDD tersebut tidak dijelaskan apakah alur distribusi pendanaan tersebut masih sama atau tidak. Data tersebut juga kurang dijelaskan dengan hukum-hukum positif yang mengatur REDD baik nasional ataupun internasional. Sehinga kekuatan dari hukum tersebut tidak diketahui oleh pembaca.

Page 37: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

27

Mind Map Ringkasan 9

REDD

PasarDana Publik

Sub Nasional- Pemerintah

provinsi- Pemerintah

daerah- Masyarakat

lokal

Nasional

InternasionalInsentif dari mitra internasional

Negara Non-Annex 1 yang berhasil menurunkan

deforestasi dan degradasi

Page 38: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

28

10. Judul : Experience of Nepali Indigenous Peoples on Free, Prior and Informed Consent (FPIC) (Perspective)

Tahun : 2013Jenis Pustaka : JurnalBentuk Pustaka : ElektronikNama Penulis : D. Sherpa dan Tunga B. RaiNama Editor :Judul Buku :Kota dan Nama Penerbit

:

Nama Jurnal : Journal of LivelihoodVolume (Edisi): hal : 11(2) July, 2013Alamat URL/doi : http://www.nepjol.info/Tanggal diunduh : 25 Oktober 2014

RingkasanFree, Prior and Informed Consent (FPIC) merupakan prinsip yang fokus pada hak-hak masyarakat adat atas pelaksanaan hak kolektif mereka atas sumberdaya alam, yang dikenalkan melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People (UNDRIP) dan International Labour Organization’s Convention on Indigenous and Tribal Peoples (ILO C 169). UNDRIP menjelaskan mengenai mekanisme dan proses memperoleh kepedulian pada hak-hak masyarakat adat terhadap tanah, teritorial, sumberdaya, dan hak mereka terhadap penetuan nasib sendiri dann untuk integritas budaya. Masing-masing dari 4 elemen FPIC yang berbeda memiliki arti substansial dimana pada tiap elemennya memiliki artinya tersendiri. AIPP (2012) menyatakan bahwa prinsip dan substansi pada tiap elemen FPIC saling berelasi dan tidak dapat diambil atau dilakukan secara terpisah. Elemen Free berarti proses yang bebas dalam pembuatan keputusan. Prior menjelaskan mengenai hak untuk mengikuti proses pemilihan keputusan sendiri untuk berbagai proyek yang menaruh perhatian terhadap mereka sebelum pengimplementasiannya. Informed menjelaskan mengenai hak untuk memiliki akurasi, aksesibilitas, kecukupan, dan informasi budaya yang ramah terhadap pembuatan keputusan. Consent merupakan keputusan independen dan kolektif pada komunitas adat yang terpengaruh setelah mengikuti pembuatan keputusan sendiri. Hal yang paling penting dari FPIC harus transparan.The Conference of Parties (COP) ke-16 pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang diadakan di Cancun, Mexico pada 2010 yang menyetujui 7 poin ukuran pegaman dalam mengadopsi REDD+ sebagai tindakan mitigasi dari dampak perubahan iklim dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan dan konservasi hutan dan biodiversitas, dengan tidak meiliki dampak negatif pada masyrakat adat dan komunitas hutan. Para pihak yang menyetujui perjanjian tersebut harus mengaplikasikan FPIC pada tiap level, lokal, sub-nasional, nasional, dan global.Seperti yang dijelaskan dan dikendali oleh REDD+ Readiness Preparation Proposal (R-PP), Government of Nepal (GoN) mencoba untuk menggabungkan isu masyarakat adat dan hak dalam Strategic Environmental and Social Assessment (SESA) dan REDD+ Social and Environmental Standards (SES) standards. Kesamaannya, sejak Nepal menargetkan program untuk perubahan iklim dan REDD+ dibawah UN-REDD, hal tersebut terpaksa untuk memenuhi tugasnya

Page 39: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

29

dengan Social and Environmental Principles and Criteria (SEPC) pada program UN-REDD. Sejauh ini, GoN telah bekerja pada drafting landasan untuk strategi nasional REDD+. Strategi memiliki dampak pada masyarakat adat, kehidupan tradisional, praktek, dan sistem pengetahuan dan identitas (NEFIN 2012). Untuk meminimalkan dampak, FPIC perlu dilakukan pada implementasi REDD+ pada tiap level baik nasional maupun lokal. Nepal Federation of Indigenous Nationalities (NEFIN) mengambil inisiatif baik pada lokal maupun nasional dalam FPIC. Di samping itu, pada level akar rumput, masyarakat adat yang melakukan FPIC tidak hanya pada aktivitas REDD tapi juga pada hal-hal terkait. Sebagai contoh pada kasus, masyarakat adat di Ilam, dalam koordinasi dengan NEFIN DCC, yang melaksanakan proses FPIC pada beberapa program pembangunan. Implementasi FPIC merupakan prioritas baik bagi FCPF World Bank dan UN-REDD. Bagaimanapun, untuk implementasi FPIC pada level lokal merupakan isu utama dan tantangan bagi masyarakat adat Nepal. Dalam implementasi FPIC masih terjadinya jarak antara kebijakan dan mekanisme untuk mengaturnya. Dala kasus, FPIC diambil melalui satu waktu, dimana elemen Consent diambil pada konsultasi satu arah. Masyarakat adat menahan haknya untuk mengatakan “ya” atau “tidak” dalam pengambilan keputusan.

Analisis:FPIC merupakan hak bagi masyarakat adat untuk menentukan pilihannya baik menolak maupun merima program maupun proyek yang masuk ke wilayahnya. Sebelum program atau proyek itu dilaksanakan seharusnya masyarakat adat dapat turut diikut sertakan dalam perencanaan. Di kasus ini, kurang terlihat jelas pelibatan masyarakat lokal dalam proses tiap elemennya. Hanya jelas pada proses consent yang merupakan hasil bahwa masyarakat Nepal kurang partisipasi dalam menjawab ya ataupun tidak dalam program atau proyek. Selain itu, tempat, waktu dan metode penelitiannya tidak dijelaskan oleh penulis sehingga pembaca hanya mengetahui hal ini terjadi di Nepal.

Page 40: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

30

Mind Map Ringkasan 10

Prinsip:Fokus pada hak-hak masyarakat adat atas

pelaksanaan hak kolektif mereka atas sumberdaya

- Free: proses yang bebas dalam pembuatan keputusan

- Prior: hak untuk mengikuti proses pemilihan keputusan sendiri untuk berbagai proyek yang menaruh perhatian terhadap mereka sebelum pengimplementasiannya.

- Informed: hak untuk memiliki akurasi, aksesibilitas, kecukupan, dan informasi budaya yang ramah terhadap pembuatan keputusan.

- Consent: keputusan independen dan kolektif pada komunitas adat yang terpengaruh setelah mengikuti pembuatan keputusan sendiri

Sikap masyarakat adat dalam menerima atau

menolak program/proyek

FPIC(Free, Prior, Imformed,

Consent)

Page 41: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

31

ANALISIS DAN SINTESIS

3.1 Konsep REDD+

3.1.1 Pengertian REDD+(Silalahi dan Santosa 2011) dalam laporan Kajian Kebijakan Kehutanan

Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+ mengatakan bahwa penyebab utama perubahan iklim dan pemanasan global adalah aktivitas manusia dari kegiatan industri dan deforestasi serta perubahan penggunaan lahan. Salah satu cara untuk mengurangi perubahan iklim yaitu dengan usaha mitigasi. Mitigasi perubahan iklim adalah cara dan aksi yang dilakukan untuk mengurangi gas rumah kaca atau menurunkan tingkat konsentrasinya di atmosfir baik itu melalui penguranganan sumber masalahnya atau meningkatkan penyerapan karbon untuk menurunkan 2oC perubahan iklim global. Salah satu sektor yang menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yaitu dari sektor kehutanan dengan memberikan kontribusi sebesar 17-25% dimana 75% dari emisi tersebut berasal dari negara tropis yang umumnya merupakan hasil dari konversi hutan untuk penggunaan lainnya serta degradasi hutan (Kemenhut 2014).

(Sektor terbesar yang berkontribusi kepada emisi gas rumah kaca di dunia)

Oleh karena itu upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dianggap cara yang tepat untuk menurunkan emisi. Kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim walaupun pengaruhnya relatif kecil. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, diperlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) yang kini telah berganti nama menjadi REDD+. REDD+ adalah sistem pembayaran jasa lingkungan (PES) yang dibuat berdasarkan Framework Convention on Climate Change (FPCCC) yang mencoba mengurangi deforestasi dan degradasi di negara yang bukan subjek dari persyaratan dibawah konvensi (negara non-annex 1) dan mengeluarkan lebih sedikit dan menyita banyak karbon (Bluffstone 2013). Menurut Tuwo (2010) dalam buku Rancangan Strategi Nasional REDD+, berdasarkan kondisi umum, peluang dan tantangan dalam pengelolaan hutan dan khususnya dalam penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) maka strategi nasional adalah sebagaimana dijabarkan berikut ini melalui visi dan misi REDD+ di Indonesia.

Page 42: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

32

Visi Pelaksanaan REDD+ di Indonesia memiliki visi pembangunan yang bertumpu pada penyelenggaraan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan serta mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.

Misi dari pelaksanaan REDD+ di Indonesia adalah: 1) Mengurangi laju deforestasi;2) Mengurangi degradasi hutan melalui penerapan prinsip Sustainable Forest

Management (SFM)2 secara baik dan benar;3) Menjaga ketersediaan karbon melalui konservasi hutan;4) Meningkatkan stok karbon hutan;5) Meningkatkan kesejahteraan dan kualitas kehidupan masyarakat; dan6) Meningkatkan investasi dan pemanfaatan lahan berlandaskan prinsip-prinsip

ekonomi hijau. (CIFOR 2010) menyatakan bahwa satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui,

para juru runding mengadakan pertemuan kembali di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara- negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah:

- mengurangi emisi dari deforestasi dan- mengurangi emisi dari degradasi hutan

Beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi melalui:- peranan konservasi- pengelolaan hutan secara lestari- peningkatan cadangan karbon hutan

Pada REDD sebelumnya hanya menjabarkan kemampuan hutan dan lahan untuk menyerap karbon sehubungan dengan upaya mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Lalu penambahan plus dalam REDD menjadi REDD+ memasukkan fungsi lain dari hutan dalam penyerapan dan penyimpangan karbon. Peranan konservasi merupakan bagaimana kemampuan hutan dapat dipertahankan, dipelihara, dan ditingkatkan untuk menyerap dan menyimpan karbon. Pengelolaan hutan secara lestari atau di Indonesia dikenal dengan SFM (Sustainable Forest Management) yaitu praktek pengelolaan hutan yang mengurangi emisi contohnya teknik pencegahan perambahan dan kebakaran dan lainnya. Peningkatan cadangan karbon hutan, merupakan aksi yang dapat meningkatkan kemampuan hutan mneyerap karbon misalnya dengan melakukan pemeliharaan dan penanaman pengayaan hutan. Selain itu, menurut Noor (2010) REDD+ adalah mekanisme internasional untuk memberikan insentif yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan sebagai fungsi penyerapan karbon, dan bersifat sukarela (voluntary) serta menghormati kedaulatan negara (soveregienty).

Tujuan dari REDD+ secara keseluruhan adalah untuk membantu memitigasi perubahan iklim global, dengan menciptakan insentif bagi berbagai negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan (ForestsClimateChange.org). Selain itu tujuan lain yang dikemukakan oleh UN-REDD yaitu tujuan penerapan REDD+ yaitu:

- Jangka Pendek (2011 – 2013) — Memperbaiki tata kelola kehutanan secara keseluruhan agar dapat mendukung pencapaian komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi sebesar 26% – 41% pada tahun 2020.

Page 43: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

33

- Tujuan Jangka Menengah (2013 – 2020) — Mempraktikkan mekanisme tata kelola dan pengelolaan hutan secara luas yang telah ditetapkan dan dikembangkan dalam tahap sebelumnya agar target-target penurunan emisi tahun 2020 dapat dicapai.

- Tujuan Jangka Panjang (2020 – 2030) — Mengubah peran hutan Indonesia dari pengemisi menjadi sektor yang berkontribusi terhadap penurunan emisi pada tahun 2030 dan memastikan keberlanjutan fungsi ekonomi dan ekosistem hutan.

Pengertian REDD+ yang telah dijelaskan oleh beberapa ahli dan instansi terkait tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum REDD+ merupakan aksi mitigasi dari perubahan iklim yang sedang dicanangkan di berbagai dunia salah satunya Indonesia. REDD+ itu sendiri merupakan perubahan dari REDD yang hanya menekankan pada degradasi dan deforestasi hutan sedangkan penambahan plus pada REDD hingga menjadi REDD+ menambahkan tiga aspek lain yaitu peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari dan peningkatan cadangan karbon.

3.1.2 Perkembangan REDD+Pentingnya memahami negosiasi mengenai REDD+ sama pentingnya dengan

memahami proses ngosisasi internasional mengenai perubahan iklim. Kebijakan iklim internasional dan perkembangan REDD+ ini dibicarakan dalam UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang merupakan hasil dari United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau yang lebih dikenal dengan Earth Summit di Janeiro pada Juni 1992. REDD+ merupakan inisiasi dari program mitigasi perubahan iklim yang dikembangkan melalui negosiasi pada UNFCCC.

Isu REDD secara resmi muncul pada COP 11 (Convention of Party) di Montreal tahun 2005, yang dikenal dengan RED (Reduction Emission from Deforestation). Papua New Guinea and Costa Rica yang didukung oleh 8 negara yang tergabung dalam Coalition for Rainforest Nation (CfRN) mengajukan mekanisme insentif dari penghindaran deforestasi. Dengan adanya masukan dan kontribusi dari berbagai pihak, kemudian RED berkembang menjadi REDD, dimana ditambahkan degradasi hutan dan disepakati pada COP 13 di Bali. Konsep REDD dinilai belum sempurna dan prosesnya tidak partisipatif dan pro poor (mengabaikan keberadaan masyarakat). Maka pada COP 15 di Copenhagen, Denmark, para pihak sepakat untuk skema REDD+ yang ditambah dengan memperhitungkan peranan konservasi, pengelolaan hutan yang berkelanjutan, dan penyimpanan dan penyerapan karbon. Kemudian Pada COP 16 di Cancun- Meksiko, kesepakatan REDD+ lebih menekankan adanya pengakuan hak-hak masyarakat adat dan keterlibatannya dalam setiap proses. Saat ini berbagai ahli dan pihak mendorong agar skema REDD+ bisa mencakup pertanian, hutan dan penggunaan lahan, serta perubahan penggunaan lahan yang disebut AFOLU (Agricultural, Forestry, Land use and Land use change) atau dikenal dengan istilah REDD++ (Silalahi dan Santosa 2011).

Sebagai tindak lanjut dari Copanhagen Accord yang merupakan hasil dari COP 15, telah ditandatangani kesapakatan bersama antara Indonesia-Norwey yang disebut LoI (Letter of Inten) yang bertujuan untuk berkontribusi terhadap pengurangan signifikan GRK dari deforetasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut dengan cara mengembangkan dialog kebijakan mengenai kebijakan internasional di bidang perubahan iklim terutama kebijakan nasional mengenai REDD+ dan bekerjasama dalam mendukung pengembangan dan implementasi strategi REDD+ di Indonesia. Dalam pelaksanaan Surat Niat/LoI, terdapat tiga fase, yaitu: 1). Fase persiapan (yang meliputi

Page 44: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

34

antara lain: menuntaskan strategi REDD+, mengembangkan lembaga, pengembangan strategi MRV), 2). Fase transformasi (yang meliputi antara lain: pengembangan kapasitas di tingkat nasional, pelaksanaan di tingkat provinsi pilot) dan 3). Fase kontribusi (yang meliputi antara lain: Indonesia menerima kontribusi dari kredit karbon sesuai dengan standar internasional dan Norwegia (atau negara lain yang meyalurkan dana finansial) ada pengurangan emisi GRK yang terverifikasi (VER/Verified Emission Reduction)1.

Skema Pelaksaan REDD+ di Indonesia

Fase persiapan memiliki target mendirikan Badan Nasional REDD+. Fase 1 sudah dilampaui oleh Indonesia dan menuju fase 2 dimana pada fase 1 telah didirikannya BP REDD+ untuk membantu presiden dalam semua hal terkait koordinasi, mengatur dan memonitor pelaksanaan REDD+ di Indonesia. Target pada fase transformasi ialah Indonesia secara siap institusional dan operasional untuk berkontribusi dalam fase verifikasi pengurangan emisi. Sedangkan target pada fase 3, yaitu mewujudkan mekanisme nasional dalam kontribusi terhadap penurunan tingkat emisi.

3.2 Konsep SikapKata sikap pertama kali digunakan oleh Herbert Spencer (1862) untuk

menunjuk status mental seseorang. Dinamika sikap merupakan kesadaran individu yang menentukan perbuatan nyata dan perbuatan-perbuatan yang mungkin akan terjadi. Selain itu, sikap sangat mempengaruhi manusia dalam bertindak dan berperilaku. Apabila suatu sikap dikatakan positif, maka seseorang akan siap membantu, memperhatikan, atau berbuat sesuatu yang menguntungkan suatu objek tertentu. Sebaliknya, apabila sikap dikatakan negatif, maka seseorang akan mengecam, mencela, bahkan menyerang terhadap objek yang dihadapinya. Sikap postif dan negatif tersebut tentunya berkaitan dengan suatu norma dalam masyarakat. Mengutip dari buku Psikologi Sosial oleh Ahmadi (2009), W.J. Thomas menyatakan bahwa sikap seseorang selalu diarahkan terhadap sesuatu hal atau suatu objek tertentu. Dan tiap-tiap sikap memiliki tiga aspek:

1. Aspek Kognitif;Yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran. Ini berarti wujud pengolahan, pengalaman, keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu.

2. Aspek Afektif;Yaitu berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagian yang ditujukan kepada objek-objek tertentu.

3. Aspek Konatif;Yaitu berwujud proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebaginya.

Fase 1(2010-2013)

Fase 2(2014-2016)

Fase 3(2017-2020)

Page 45: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

35

3.2.1 Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan sikapDalam buku Psikologi Sosial, Ahmadi (2009) menjabarkan faktor-faktor yang memperngaruhi perubahan sikap, diantaranya;

- Faktor Intern: yiatu faktor yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Dalam hal ini, sesorang dapat memiliki daya pilih dalam menerima dan mengolah pengaruh yang datang dari luar. Faktor ini biasanya disesuaikan dengan motif dan sikap di dalam diri manusia, terutama yang menjadi minatnya.

- Faktor ekstern: yaitu faktor yang terdapat diluar pribadai manusia yang merupakan suatuinteraksi sosial diluar kelompok

3.2.2 Fungsi SikapAhmadi (2004) menggolongkan sikap menjadi empat golongan, yaitu;

- Sikap berfungsi sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap merupakan hal yang mudah menjalar sehingga mudah menjadi milik bersama.Sesuatu golongan yang mendasarkan atas kepentingan bersama dan pengalaman bersama biasanya ditandai oleh adanya sikap anggotanya yang sama terhadap sesuatuobjek. Oleh karena itu anggota kelompok yang mengambil sikap sama terhadap objek tertentu dapat meramalkan tingkah laku terhadap angota lainnya.

- Sikap berfungsi sebagia alat pengatur tingkah laku. Terdapat pertimbangan-pertimbangan/penilaian-penilaian diantara perangsang dan reaksi, dimana hal tersebut erat hubungannya dengan cita-cita, keinginan, maupun tujuan hidup seseorang.

- Sikap berfungsi sebagai alat pengatur pengalaman-pengalamanSesorang menerima pengalaman-pengalaman dari luar sikapnya tidak pasif, tetapi diterima secara aktif. Artinya, tidak semuanya dapat diterima, tetapi dapat juga dipilih mana saja yang dianggap perlu dan tidak perlu dilayani.

- Sikap berfungsi sebagai pernyataan kepribadianSikap dapat mencerminkan pribadi seseorang. Oleh karena itu, kepribadian seseorang dapat dilihat dari sikap-sikapnya terhadap objek tersebut.

3.2.3 Sikap Masyarakat Sekitar Hutan Terhadap REDD+Sikap masyarakat sekitar hutan dalam menerima atau menolak masuknya suatu program dalam wilayah mereka tentunya berlandaskan hak-hak yang mereka miliki. Hal-hal tersebut diperkuat dengan dibuatnya kerangka pengaman REDD+ yang bertujuan mengurangi dampak-dampak negatif dari berbagai inisiatif dan kebijkaan REDD+ terhadap lingkungan dan serta pada komunitas masyarakat yang bergantung atas sumberdaya hutan seperti masyarakat adat atau kaum terpinggirkan lainnya. REDD+ perlu menghormati hak-hak masyarakat lokal. Salah satu prinsip dalam kerangka pengaman yang dihasilkan dari UNFCCC pada COP 16 di Cancun menjelaskan bahwa perlunya menghormati pengetahuan dan hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, dengan mempertimbangkan tanggung jawab, kondisi dan hukum nasional serta mengingat bahwa Manjelis Umum PBB sudah mengadopsi Deklarasi Hak Masyarakat Adat (UNDRIP)

Page 46: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

36

3.3 Konsep PADIATAPA/FPIC (Free, Prior, Informed, Consent)Konsep dasar dari FPIC merupakan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal yang diterima oleh masyarakat yang terkena program/proyek. Menurut Valentinus dan Setyowati (2012), FPIC dideskripsikan sebagai prinsip berbasis hak yang merupakan ekspresi dari hak untuk menentukan nasib sendiri (rights to self-determination) terkait hak atas tanah, wilayah, dan sumberdaya, hak atas budaya serta hak untuk terbebas dari diskriminasi ras. Pada tahap penyiapan dan implementasi, FPIC perlu diterapkan karena implementasi dari program atau proyek tentunya akan memberikan dampak bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya atas hutan. Subjek dari FPIC adalah masyarakat adat dan masyarakat lokal hutan dimana melalui proses FPIC, subjek dapat memberikan persetujuan ataupun penolakan atas suatu program/proyek yang akan diimplementasikan di wilayah mereka berdasarkan informasi terdahulu dan proses pelibatan yang memadai. FPIC juga dapat digunakan untuk mencegah konflik dengan masyarakat adat maupun lokal yang biasanya terjadi. Dampak positif dari FPIC ini adalah masyarakat adat/lokal dapat menjamin perlindungan dna pemenuhan hak-hak mereka dalam penyiapan dan implementasi proyek REDD+. Selain itu untuk lembaga REDD+, dampak positifnya adalah FPIC yang dijalankan dengan baik pada tahap penyiapan dan pengimpementasian dapat menjadi kunci kesuksesan bagi proyek tersebut. Maksut dari FPIC ini juga tersurat dalam kebijakan nasional di Indonesia seperti pada UUD 1945 dalam Pasal 18 B yang mneyatakan bahwa mengakui dan menghormati komunitas adat/tradisional sesuai dengan hukum budaya tradisional mereka. Selain itu terdapat pada Strategi Nasional (Stranas) yang mneyatakan bahwa FPIC secara eksplisit merupakan prasyarat sebelum proeyk REDD+ bisa diimplementasikan.

3.1.1 Unsur-unsur Utama FPICFPIC terdiri dari unsur-unsur yang menyusunnya. Elemen Free, Prior, Informed, dan Consent. Unsur-unsur dijelaskan sebagia berikut.

- Elemen Bebas (Free). Masyarakat dapat dengan bebas menentukan sikap, baik itu tindakan penerimaan maupun penolakan terhadap suatu program yang bebas dari paksaan dari pihak manapun.

- Elemen Prior (didahulukan). Perolehan persetujuan dilakukan sebelum program dilakukan. Hal ini mengharuskan masyarakat ikut terlibat dalam proses identifkasi dan perancangan proyek REDD+ di wilayah mereka. Sebelum merancang suatu proyek yang akan diimplementasikan di suatu wilayah, persetujuan dari masyarakat sangat diperlukan.

- Elemen Informed (diinformasikan) Sebelum proses pemberian persetujuan, masyarakat harus benar-benar mendapatkan informasi yang utuh dan dapat dimengerti oleh bahasa mereka. Dalam elemen ini, harus ada seseorang yang memahami konteks budaya dan bahasa pada wilayah masuknya proyek tersebut ke dalam suatu desa.

- Elemen Consent (persetujuan). Pengambilan keputusan oleh masyarakat setelah elemen sebelumnya terpenuhi. Pengambilan keputusan didasarkan atas mekanisme pengambilan keputusan yang berlaku pada masyarakat adat/lokal, dimana semua perwakilan yang terpilih akan mengambil

Page 47: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

37

keputusan terkait peran, tanggungjawab dan manfaat yang diterima, serta dampak yang ditimbulkan.

3.1.2 Prinsip-prinsip Utama FPICSeperti yang diuraikan diatas, FPIC merupakan hak masyarakat adat/lokal dalam memberikan persetujuan atau penolakan atas dasar tanpa paksaan dan diberikannya informasi terdahulu bagi mereka yang terkena suatu program/proyek. Berikut prinsip-prinsip utama yang mendasari FPIC.

- Bebas dari tekanan. Masyarakat adat/lokal pada proses FPIC perlu mendapatkan peningkatan kapasitas dalam memahami substansi dan skema kerja baik FPIC maupun REDD+. Hal tersebut diharapkan agar masyarakat adat/lokal akan memiliki informasi yang cukup sebelum mengambil keputusan .

- Transparan. Ketersediaan dan akses terhadap segala informasi terkai perencanaan, pelaksanaan, dan hasil FPIC serta mengeluarkan pernyataan yang terbuka dari pihak terkait.

- Akuntabilitas. Proses dan hasil FPIC dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan yang terkait.

- Inklusivitas. Menjamin efektivitas keterlibatan beberapa elemen tanpa mempertimbangkan kriteria jenis kelamin, etnis, usia, agama, dan lainnya.

- Integritas. Konsistensi dalam tindakan, nilai-nilai, metode, prinsip-prinsip pelaksanaan FPIC.

- Partisipasi. Melibatkan seluruh anggota masyarakat yang akan terkena dampak, termasuk perempuan, anak muda, lansia dan lainnya.

Page 48: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

38

KESIMPULAN

Hasil Analisis dan SintesisPerubahan iklim merupakan hal yang sedang dihadapi bagi seluruh masyarakat di

dunia, sehingga menjadi perhatian khusus bagi negara-negara yang merespon bentuk dari perubahan iklim ini. Kesepakatan antar negara ini tertuang dalam kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim (UNFCCCC) yang berkumpul pada Conference of Parties (COP). Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim. Salah satu upaya tersebut adalah dengan melakukan mitigasi yang mengatasi masalah dari sumber penyebabnya. Salah satu faktor yang menyumbang emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari sektor kehutanan, dengan memberikan kontribusi sebesar 17-25% yang merupakan hasil dari konversi hutan untuk penggunaan lainnya serta degradasi hutan. REDD+ merupakan inisiasi dari program mitigasi perubahan iklim yang dikembangkan dibawah kebijakaan negosisasi yang diorganisir oleh UNFCCC. Tujuan utama dari REDD+ secara keseluruhan adalah untuk membantu memitigasi perubahan iklim global, dengan menciptakan insentif bagi berbagai negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan. Selain itu, REDD+ memiliki strategi pengurangan emisi dengan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta melalui peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan.Pada keputusan COP 13, menyatakan bahwa REDD+ tersusun atas sejumlah tindakan lokal, nasional dan global yang tujuan utamanya adalah untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan memperkuat cadangan karbon di negara-negara berkembang. Pada pelaksanaannya, REDD+ melibatkan banyak pihak, mulai dari lembaga donor, LSM, pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat lokal. Kompleksnya aktor-aktor yang terlibat dan perbedaan kepentingan terkadang membuat harapan masyarakat lokal yang terkena dampak, dimana mereka memandang REDD+ sebagai upaya konservasi hutan, sering mendapatkan kepastian tentang seberapa besar dan bentuk manfaat yang akan diberikan oleh REDD+ terlihat jelas. Karena itu ada risiko besar bahwa harapan tinggi masyarakat di tingkat lokal tidak akan terpenuhi, yang menjurus ke kekecewaan dan bahkan mungkin penolakan terhadap program ini karena manfaat yang akan diberikan oleh REDD+ di tingkat lokal secara langsung berdampak pada mata pencaharian masyarakat.

Masyarakat adat yang terkena program pembangunan memiliki kehidupannya sendiri sebelum adanya program yang masuk, sehingga saat ada suatu program yang masuk ke wilayahnya, tentu terjadi berbagai reaksi dalam menyikapinya. Sikap masyarakat pada program tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai aspek. Menurut Ahmadi (2009), aspek tersebut ialah: (1) Aspek Kognitif; Yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran. Ini berarti wujud pengolahan, pengalaman, keyakinan serta harapan-harapan individu tentang objek atau kelompok objek tertentu, (2) Aspek Afektif; Yaitu berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagian yang ditujukan kepada objek-objek tertentu, (3) Aspek Konatif; Yaitu berwujud proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebaginya. Apabila suatu sikap dikatakan positif, maka seseorang akan siap membantu, memperhatikan, atau berbuat sesuatu yang menguntungkan suatu objek tertentu. Sebaliknya, apabila sikap dikatakan negatif, maka seseorang akan mengecam,

Page 49: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

39

mencela, bahkan menyerang terhadap objek yang dihadapinya. Sikap positif dan negatif tersebut tentunya berkaitan dengan suatu norma dalam masyarakat.Mengingat pasti adanya dampak dari suatu program, maka perlu adanya elemen-elemen yang mengatur mengenai hak masyarakat adat yang terkena dampak dari suatu program tersebut. Sikap menerima dan menolak akan suatu program yang masuk ke wilayah masyarakat adat singkatnya terdapat dalam FPIC. Konsep dasar FPIC merupakan persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal yang diterima oleh masyarakat yang terkena program/proyek. FPIC dideskripsikan sebagai prinsip berbasis hak yang merupakan ekspresi dari hak untuk menentukan nasib sendiri (rights to self-determination) terkait hak atas tanah, wilayah, dan sumberdaya, hak atas budaya serta hak untuk terbebas dari diskriminasi ras. Pada tahap penyiapan dan implementasi, FPIC perlu diterapkan karena implementasi dari program atau proyek tentunya akan memberikan dampak bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya atas hutan. Sherpa dan Rai (2013) menjelaskan tiap-tiap elemen dari FPIC yaitu Free: proses yang bebas dalam pembuatan keputusan, Prior: hak untuk mengikuti proses pemilihan keputusan sendiri untuk berbagai proyek yang menaruh perhatian terhadap mereka sebelum pengimplementasiannya. Informed: hak untuk memiliki akurasi, aksesibilitas, kecukupan, dan informasi budaya yang ramah terhadap pembuatan keputusan. Consent: keputusan independen dan kolektif pada komunitas adat yang terpengaruh setelah mengikuti pembuatan keputusan sendiri.

Kerangka Analisis untuk Studi Lebih LanjutProgram REDD+ melibatkan stakeholder/pemangku kepentingan yang terlibat di

dalamnya, diantaranya; Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) nasional maupun internasional, lembaga donor, pemerintah pusat, pemerintah daerah, Dinas Kehutanan dan Kementerian Kehutanan. Satgas REDD+, dan tentunya masyarakat lokal yang tinggal di dalam hutan. Pebedaan kepentingan dari setiap pihak dapat memicu konflik. Masyarakat lokal yang sebelum masuknya program REDD+ menggantungkan hidupnya pada hutan, memiliki hak untuk menerima maupun menolak. Strategi pendekatan ke masyarakat diperlukan agar program yang masuk ke suatu wilayah hutan dapat diterima dan tidak memicu konflik. Sikap masyarakat lokal menerima maupun menolak pada suatu program disebabkan oleh aspek-aspek yang mendasari seperti; (1). Aspek Kognitif; yaitu yang berhubungan dengan gejala mengenal pikiran, (2). Aspek Afektif; yaitu berwujud proses yang menyangkut perasaan-perasaan tertentu seperti ketakutan, kedengkian, simpati, antipati, dan sebagian yang ditujukan kepada objek-objek tertentu, (3). Aspek Konatif; yaitu berwujud proses tendensi/kecenderungan untuk berbuat sesuatu objek, misalnya kecenderungan memberi pertolongan, menjauhkan diri dan sebaginya. Masyarakat lokal sering berpandangan positif tentang REDD+, karena harapan mereka untuk mendapatkan pemasukan dari insentif yang dijanjikan. Namun, ketidakpastian tentang seberapa besar dan bentuk manfaat yang akan diberikan oleh REDD+ tidak terlihat jelas. Karena itu ada risiko besar bahwa harapan tinggi masyarakat di tingkat lokal tidak akan terpenuhi, yang menjurus ke kekecewaan dan bahkan mungkin penolakan terhadap program ini.

Page 50: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

40

Gambar Kerangka Pemikiran (Semua kerangka pemikiran akan dibahas? Atau fokusnya kemana? Arah fokus pemikiran diperlihatakan d kerangka pemikiran)

Cssssh pusa

Aktor:- World Bank- LSM Nasional dan

Internasional- Pemerintah Pusat- Kementrian Kehutanan

(Bedanya apa? Pemerintah Pusat yang mengurusi hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

- Pemerintah daerah (Lebih Spesifik)

- Pemerintah desa- Masyarakat lokal (melalui

kelompok satuan kerja)

REDD+

Perubahan iklim akibat emisi GRK dari

aktivitas indutsri, deforestasi dan degradasi hutan

Latar Belakang Mitigasi

SikapMenerima/Menolak

Program

Aspek Sikap:- Aspek Kognitif;- Aspek Afektif;- Aspek Konatif;

.

FPIC(Free, Prior, Informed, Consent)

Prinsip:Fokus pada hak-hak masyarakat adat atas

pelaksanaan hak kolektif mereka atas sumberdaya

Page 51: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

41

Pertanyaan PenelitianKompleksitas stakeholder yang terlibat dalam program REDD+ dan perbedaan

kepentingan yang dimiliki dapat memicu terjadinya konflik yang apabila masyarakat lokal menolak program. REDD+ perlu melakukan pendekatan kepada masyarakat lokal karena mereka memiliki hak-hak yang diperkuat dengan perangkat dan peraturan yang menjunjung tinggi hak masyarakat adat maupun lokal.

Berdasarkan hasil Studi Pustaka ini, penulis akan memilih salah satu fokus penelitian pada kerangka yang sudah dibuat dalam menyikapi program REDD+ yang masuk ke hutan (maksudnya implementasi?). Melalui penelitian-penelitian sebelumnya sudah banyak topik mengenai REDD+ dengan berbagai macam model yang dilakukan, maka hal itulah yang mendorong penulis untuk melakukan kegiatan penelitian ini. Adapun pertanyaan yang lebih spesifik yang dapat diangkat menjadi sebuah penelitian, antara lain sebagai berikut:1. Apa yang membentuk sikap (Sikap apa? Spesifik?) masyarakat lokal sekitar hutan

tentang REDD+?2. Apa yang menjadikan gap antara REDD+ dengan persepsi masyarakat lokal sekitar

hutan yang membentuk sikap penerimaan/penolakan?3. Bagaimana peran FPIC dalam proses implementasi REDD+?4. Persepsi Masyarakat terhadap REDD+?5. Keuntungan dan Kelebihan REDD+ untuk masyarakat?6. Hasil Implementasi REDD+ Hingga sekarang yg dilihat masyarakat?7. Aspek sikap tidak diangkat jadi bahan pertanyaan?

Page 52: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

42

DAFTAR PUSTAKA

Anderson P. 2011. Free, Prior, and Informed Consent dalam REDD+ Prinsip dan Pendekatan untuk Pengembangan Kebijakan dan Proyek. Bangkok. (RECOFTC) The Center for People and Forests

Angelsen A, Larsen HO, Lund JF, Hall CS, Wunder S. 2010. Measuring Livelihoods and Environmental Dependence Methods for Research and Fieldwork. Bogor (ID): (CIFOR) Center for International Forestry Research.

(BAPPENAS) Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2010. Rancangan Strategi Nasional REDD+. Jakarta (ID).

Bluffstone R. 2013. Economics of REDD+ and Community Forestry (Perspective) [Internet]. July 2013[diunduh 16 Oktober 2014]. 11(2): tersedia pada: http://nepjol.info/index.php/JFL/

Brockhaus M, Sunderlin WD, Verchot LV. 2013. Menganalisis REDD+ Sejumlah Tantangan dan Pilihan. Bogor (ID). (CIFOR) Center for International Forestry Research

(CIFOR) Center for International Forestry Research. 2010. REDD Apakah itu? Pedoman CIFOR tentang Hutan, Perubahan Iklim dan REDD. Bogor (ID). (CIFOR) Center for International Forestry Research.

Esariti L dan Susilowati I. 2011. Evaluating On Community Based Forest Management Implementation In Randublatung, Blora [Internet]. September 2007[diunduh 9 September 2014]; Vol. 3 No.2; tersedia pada: http://eprints.undip.ac.id/

Indartik, Ginoga KL, Nurfatriani F. 2010. Alternatif Mekanisme Distribusi Intensif REDD Melalui Dana Perimbangan Pusat Daerah (Alternative Mechanism on REDD Incentive Distribution Through Fund Balancing Between Central to Regional Goverment) [Internet]. 3 September 2010[diunduh 25 Oktober 2014]. 7 (3) 47-56: tersedia pada: : http:// ejournal.forda.mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSE/

Indarto GB. 2012. Skema REDD+ di Indonesia. Jakarta (ID): Forest Governance and Multistakeholder Forestry Proramme.

Jagger P, Sills EO, Lawlor K, Sunderlin WD. 2011. Pedoman untuk Mempelajari Berbagai Dampak Proyek REDD+ bagi Mata Pencarian. Bogor (ID). (CIFOR) Center for International Forestry Research.

Joshi et al. 2013. Co-Benefits of REDD+ in Community Managed Forests in Nepal (Perspective) [Internet]. [diunduh 9 September]; 4(6): 646-653; tersedia pada: http:// nepjol.info/index.php/JFL/

Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, FAO, UNDP, UNEP. (tidak ada tahun). Strategi Nasional REDD+. Jakarta (ID). UN-REDD.

Page 53: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

43

Minangsari M. 2012. SVLK Sebagai Bagian dari Strategi Nasional REDD+.Jakarta (ID):Forest Governance and Multistakeholder Forestry Proramme.

Noor SA. 2010. Kerjasama Konservasi Hutan Antara Indonesia-Norwegia Dalam Kerangka REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation) [Internet]. Diperbaharui tahun 2013[diunduh 9 Sepetmber 2014]; 1 (2): tersedia pada: http:// ejournal.hi.fisip-unmul.org /

NRDC-UNITAR-DNPI-Kemenhut. 2014. Training Module REDD+ for Policy Makers at National and Sub -National Level. Jakarta (ID).

Oktayanty Y. 2013. Dari Pengurangan Emisi ke Menjawet: Strategi Penerimaan REDD+ di Desa Buntoi. Yogyakarta (ID). Insist Press.

Rai TB, Sherpa D. 2013. Experience of Nepali Indigenous Peoples on Free, Prior and Informed Consent (FPIC) (Perspective) [Internet]. July 2013[diunduh 25 Oktober 2014]. Tersedia pada: http://www.nepjol.info/

(RECOFTC) The Center for People and Forests. (tidak ada tahun). People, Forests, and Climate Change Mitigation Vietnam: Why REDD+ Needs Local People. Bangkok. (RECOFTC) The Center for People and Forests.

Setyowati AB. 2012. Kerangka Pengaman REDD+. Jakarta (ID): Forest Governance and Multistakeholder Forestry Proramme.

Silalahi M, Santosa A. 2011. Laporan Kajian Kebijakan Kehutanan Masyarakat dan Kesiapannya dalam REDD+. Bogor (ID). (FKKM) Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat.

Sills E. 2014. REDD+ on the Ground A Case Book of Subnational Initiatives Across the Globe. Bogor (ID). (CIFOR) Center for International Forestry Research.

Sitomorang AW, Nababan A, Kartodihardjo H, Khatarina J. 2013. Indeks Tata Kelola Hutan Lahan dan REDD+ 2012 di Indonesia. Jakarta (ID). UNDP.

Sobandi KR, Rosyadil S. 2014. Relasi Kuasa Antara Perhutani dan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Banyumas: Kepentingan Bisnis vs Community Empowerment [Internet]. [diunduh 25 Oktober 2014]. 6 (1) 47-56: tersedia pada: http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/

Suprayitno AR. 2008. Pelibatan Masyarakat Lokal: Upaya Masyarakat Menuju Hutan Lestari [Internet]. September 2008[diunduh 19 September 2014]; 4 (2): tersedia pada: http:// repository.ipb ac.id/

Tolo EYS. 2012. Signifikansi Desentralisasi Kehutanan Bagi Implementasi REDD+ di Kabupaten Maluku Tengah [Internet]. (2 November 2012[diunduh 9 September 2014]; 16 (153-168): tersedia pada:http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/

Valentinus A, Setyowati AB. 2012. PADIATAPA Dalam REDD+. Jakarta (ID): Forest Governance and Multistakeholder Forestry Proramme.

Page 54: Studi Pustaka Tiara Bab 1 (Repaired)-2-2 (Revisi)

44

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 April 1993 dari Ayah Henry Haling Yap dan Gina Anggyamurni. Penulis adalah putri pertama dari dua bersaudara, memiliki adik perempuan bernama Tirza Andriansyah. Tahun 2011 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun yang sama penulis lolos seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam bidang non-akademik yaitu sebagai mahasiswa yang tergabung dalam keanggotan Himasiera (Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat) sejak tahun 2013, dan menjadi Kepala Divisi Broadcasting Himasiera di tahun 2014. Selain itu, penulis aktif pada kegiatan lomba olahraga yang diadakan di dalam kampus IPB. Penulis juga aktif dalam kepanitiaan di beberapa event IPB seperti founder dari 1st Eco Design in Action dalam acara Indonesian Ecology Expo (INDEX), Connection, Himasiera Goes To Trans Tv, Pelatihan Radio dan Penyiar Himasiera. Penulis juga aktif dalam beberapa seminar kepemimpinan dan kehumasan serta juga mengikuti beberapa pelatihan broadcasting. Kini penulis bekerja sampingan di sebuah Event Organizer Visi Agung Mahakarya (VAM) yang bekerjasama dengan beberapa mall di Jakarta Selatan.

.