64
REFERAT SUBDURAL HEMATOM Oleh : Yuyun Mawaddatur Rohmah NIM. 082011101034 Pembimbing: dr. M. Dwikoryanto, Sp.BS Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madya di SMF Bedah RSUD dr. Soebandi Jember

SUBDURAL HEMATOM

Embed Size (px)

DESCRIPTION

SUBDURAL HEMATOM

Citation preview

Page 1: SUBDURAL HEMATOM

REFERAT

SUBDURAL HEMATOM

Oleh :Yuyun Mawaddatur Rohmah

NIM. 082011101034

Pembimbing:

dr. M. Dwikoryanto, Sp.BS

Disusun Untuk Melaksanakan Tugas Kepaniteraan Klinik Madyadi SMF Bedah RSUD dr. Soebandi Jember

SMF BEDAH RSUD DR. SOEBANDI JEMBERFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER

2013

Page 2: SUBDURAL HEMATOM

2

BAB 1. PENDAHULUAN

Subdural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang

paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Otak di tutupi olek tulang

tengkorak yang kaku dan keras. Otak juga di kelilingi oleh pembungkus yang di

sebut dura. Fungsinya untuk melindungi otak, menutupi sinus-sinus  vena, dan

membentuk periosteum tabula interna.. Ketika seorang mendapat benturan yang

hebat di kepala kemungkinan akan terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak

mungkin akan menyebabkan pengikisan atau robekan dari pembuluh darah. 5

Subdural hematom adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan

araknoid. Subdural hematom disebakan oleh trauma otak yang menyebabkan

robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran hematom karena robeknya

vena memerlukan waktu yang lama, sehari sampai beberapa minggu. Trauma

kapitis merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu segera ditangani.

Trauma timbul akibat adanya gaya mekanik yang secara langsung menghantam

kepala. Akibatnya dapat terjadi fraktur tulang tengkorak, kontusio serebri, laserasi

serebri, dan perdarahan intrakranial seperti subdural hematom, epidural hematom,

atau intraserebral hematom. Trauma kapitis ini dapat menimbulkan terjadinya

kelainan neurologi pada saat awal kejadian, timbulnya kecacatan pada kemudian

hari atau bahkan pada kasus yang berat dapat menimbulkan kematian.13

Page 3: SUBDURAL HEMATOM

3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Perdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater

dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari: Ruptur Bridging vein

yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri

melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater,

Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid. 8

Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural

(di antara duramater dan arakhnoid). Perdarahan ini sering terjadi akibat

robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus

venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi

pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural paling sering

terjadi pada permukaan lateral hemisferium dan sebagian di daerah temporal,

sesuai dengan distribusi bridging veins. Perdarahan subdural juga menutupi

seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya berat. 5

Page 4: SUBDURAL HEMATOM

4

Gambar :Subdural hematoma

(boards.medscape.com dan stonybrookphysician.adam.com)

Perdarahan subdural yang disebabkan karena perdarahan vena, biasanya darah

yang terkumpul hanya 100-200 cc dan berhenti karena tamponade hematom

sendiri. Setelah 5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan

terselesaikan dalam 10-20 hari. Darah yang diserap meninggalkan jaringan yang

kaya dengan pembuluh darah sehingga dapat memicu lagi timbulnya perdarahan-

perdarahan kecil dan membentuk suatu kantong subdural yang penuh dengan

cairan dan sisa darah. Subdural hematome dibagi menjadi 3 fase, yaitu akut,

Page 5: SUBDURAL HEMATOM

5

subakut dan kronik. Dikatakan akut apabila kurang dari 72 jam, subakut 3-7 hari

setelah trauma, dan kronik bila 21 hari atau 3 minggu lebih setelah trauma.

2.2 INSIDENSI DAN EPIDEMIOLOGI

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdahan epidural,

kira-kira 30% dari cedera otak berat. Perdarahan ini sering terjadi akibat

robekan pembuluh darah atau vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. 1

Hematoma subdural akut telah dilaporkan terjadi pada 5-25% pasien

dengan cedera kepala berat, tergantung pada studi. Kejadian tahunan

hematoma subdural kronis telah dilaporkan 1-5,3 kasus per 100.000

penduduk. Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan insiden yang lebih

tinggi, mungkin karena teknik pencitraan yang lebih baik.

Perbedaan jenis kelamin dan usia-terkait dalam insiden

Secara keseluruhan, hematoma subdural lebih sering terjadi pada pria

dibandingkan pada wanita, dengan rasio laki-perempuan sekitar 3:1. Pria juga

memiliki insiden yang lebih tinggi hematoma subdural kronis. Rasio laki-

perempuan telah dilaporkan menjadi 2:1.

Insiden subdural hematoma kronis tampaknya tertinggi di kelima melalui

dekade ketujuh kehidupan. Satu studi retrospektif melaporkan bahwa 56%

kasus berada di pasien dalam dekade kelima dan keenam mereka, studi lain

mencatat bahwa lebih dari setengah dari semua kasus terlihat pada pasien

yang lebih tua dari 60 tahun. Insiden tertinggi, 7,35 kasus per 100.000

penduduk, terjadi pada orang dewasa berusia 70-79 tahun.

Adhesi yang ada di ruang subdural yang absen saat lahir dan berkembang

dengan penuaan, sehingga hematoma subdural bilateral lebih sering terjadi

Page 6: SUBDURAL HEMATOM

6

pada bayi. Interhemispheric subdural hematoma sering dikaitkan dengan

kekerasan terhadap anak. 8

2.3 ETIOLOGI

Keadaan ini timbul setelah cedera/trauma kepala hebat, seperti perdarahan

kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan

subdural.

Perdarahan sub dural dapat terjadi pada: 8

• Trauma kapitis

• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau

putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh

terduduk.

• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah

terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada

orangtua dan juga pada anak - anak.

• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan

subdura.

• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan

subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor

intrakranial.

Pascaoperasi (kraniotomi, CSF shunting)

• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.

Faktor risiko untuk hematoma subdural kronis meliputi berikut ini: 8

    alkoholisme kronis

     epilepsi

     koagulopati

     kista arachnoid

     Terapi antikoagulan (termasuk aspirin)

     Penyakit kardiovaskular (misalnya, hipertensi, arteriosclerosis)

Page 7: SUBDURAL HEMATOM

7

     trombositopenia

     diabetes mellitus

Penyebab akibat Trauma kapitis yang terjadi karena geseran atau putaran otak

terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk, pecahnya

aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruang subdural (yang

terletak antara duramater dan araknoid), dan gangguan pembekuan darah

Penyeba yang predominan pada umunya ialah kecelakaan kendaraan

bermotor, jatuh dan perkelahian merupakan penyeba terbanyak, sebagian

kecildisebabkan kecelakaan olahraga dan kecelakaan industry. Pada penderita

cedera kepala berat tanpa lesi massa (mass lesion) 89% disebabkan

kecelakaan kendaraan bermotor dan 24% dari kasus perdarahan subdural akut

disebabkan kecelakaan bermotor. Penderita epilepsy memiliki factor resiko

yang meningkat untuk mendapat perdarahan subdural akut dan lesi

intracranial lainnya. 38% dari perdarahan intracranial mendapat kecelakaan

selama serangan epilepsy dan 85% dari perdarahan intracranial ini adalah

perdarahan subdural atau perdarahan epidural. Penderita perdarahan subdural

akut sebanyak 22% dari 366 penderita cedera kepala berat. 10

2.4 ANATOMI OTAK

2.4.1 Kulit Kepala

1. Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,

connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea

aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan

pericranium.(7) (Japardi, Iskandar DR, dr., Sp.BS. Cedera Kepala. 2004.

Medan: PT BhuananIlmu Populer Kelompok Gramedia)

Page 8: SUBDURAL HEMATOM

8

Gambar . SCALP

Page 9: SUBDURAL HEMATOM

9

2.4.2 Tulang Tengkorak

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang

tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan

oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi

oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai

bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa

media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak

dan serebelum.

Gambar . Calvaria

(www.corpushumania.ca)

2.4.3 Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3

lapisan yaitu :

1. Duramater

Page 10: SUBDURAL HEMATOM

10

Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan

endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri

atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium.

Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu

ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid,

dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan

dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan

darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini

dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater

dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang

kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan

perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea

media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

Persarafan duramater ini terutama berasal dari cabang n.trigeminus,

tiga saraf servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan

n.vagus. resptor – reseptor nyeri dalam dura mater diatas tentorium

mengirimkan impuls melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke

kulit dahi dan muka. Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam

fossa kranialis posterior berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan

nyeri kepala dirujuk kebelakang kepala dan leher. 11

Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri

maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis.

Dari segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang

umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri meningea media

berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki rongga

kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan

meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara

lapisan meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke

depan dank e lateral dalam suatu sulkus pada permukaan atas squamosa

Page 11: SUBDURAL HEMATOM

11

bagian os temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam berada dalam

sulkus atau saluran angulus antero – inferior os parietale, perjalanannya secara

kasar berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang

posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior

duramater. Vena –vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater.

Vena meningea media mengikuti cabang – cabang arteri meningea media dan

mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis.

Vena terletak di lateral arteri. 11

Sinus – sinus venosus dalam rongga kranialis terletak diantara lapisan-

lapisan duramater. Fungsi utamanya adalah menerima darah dari otak melalui

vena – vena serebralis dan cairan serebrospinal dari ruang – ruang

subarachnoidea melalui villi arachnoidalis. Darah dalam sinus – sinus

duramatr akhirnya mengalir kedalam vena – vena jugularis interna dileher.

Vena emissaria menghubungkan sinus venosus duramater dengan vena – vena

diploika kranium dan vena – vena kulit kepala. Sinus Sagitalis Superior

menduduki batas atas falx serebri yang terfiksasi, mulai di anterior pada

foramen caecum, berjalan ke posterior dalam sulkus di bawah lengkungan

kranium, dan pada protuberantia occipitalis interna berbelok dan berlanjut

dengan sinus transverses. Dalam perjalanannya sinus sagitallis superior

menerima vena serebralis superior. Pada protuberantia occipitalis interna,

sinus sagitallis berdilatasi membentuk sinus konfluens. Dari sini biasanya

berlanjut dengan sinus transverses kanan, berhubungan dengan sinus

transverses yang berlawanan dan menerima sinus occipitalis.

Sinus sagitalis inferior menduduki tepi bawah yang bebas dari falx serebri,

berjalan kebelakang dan bersatu dengan vena serebri magna pada tepi bebas

tentorium cerebelli membentuk sinus rektus. Sinus rekrus menempati garis

persambungan falx serebri dengan tentorium serebelli, terbentuk dari

persatuan sinus sagitalis inferior dengan vena serebri magna, berakhir

membelok kekiri membentuk sinus transfersus. Sinus transverses merupakan

struktur berpasangan dan mereka mulai pada protuberantia occipitalis interna.

Sinus kanan biasanya berlanjut dengan sinus sagitalis superior, dan bagian kiri

Page 12: SUBDURAL HEMATOM

12

berlanjut dengan sinus rektus. Setiap sinus menempati tepi yang melekat pada

tentorium serebelli, membentuk sulkus pada os occipitalis dan angulus

posterior os parietale. Mereka menerima sinus petrosus superior, vena – vena

serebralis inferior, vena – vena serebellaris dan vena – vena diploika. Mereka

berakhir dengan membelok ke bawah sebagai sinus sigmoideus. Sinus

sigmoideus merupakan lanjutan langsung dari sinus tranversus yang akan

melanjutkan diri ke bulbus superior vena jugularis interna. Sinus occipitalis

merupakan suatu sinus kecil yang menempati tepi falx serebelli yang melekat,

ia berhubungan dengan vena – vena vertebralis dan bermuara kedalam sinus

konfluens. Sinus kavernosus terletak dalam fossa kranialis media pada setiap

sisi corpus os sphenoidalis. Arteri karotis interna, dikelilingi oleh pleksus saraf

simpatis, berjalan kedepan melalui sinus. Nervus abdusen juga melintasi sinus

dan dipisahkan dari darah oleh suatu pembungkus endothelial. Sinus petrosus

superior dan inferior merupakan sinus –sinus kecil pada batas – batas superior

dan inferior pars petrosus os temporale pada setiap sisi kranium. Setiap sinus

kavernosus kedalam sinus transverses dan setiap sinus inferior mendrainase

sinus cavernosus kedalam vena jugularis interna. 11

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.

Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah

luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang

potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid

yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya

disebabkan akibat cedera kepala. 11

3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah

membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk

kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan

menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak

juga diliputi oleh pia mater. 11

Page 13: SUBDURAL HEMATOM

13

Gambar . Meningen

2.4.4 Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa

sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan)

terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan

rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan

serebellum.

Gambar 5. Lobus-lobus Otak

(www.pshycoloyimania.com)

Page 14: SUBDURAL HEMATOM

14

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan

dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal

berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal

mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam

proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi

retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula

oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam

fungsi koordinasi dan keseimbangan.

Gambar . Sclap, meningen dan falx cerebri

2.4.5 Cairan serebrospinalis

Page 15: SUBDURAL HEMATOM

15

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan

kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral

melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju

ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio

arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS

dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS

dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok

populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS

per hari. 11

Gambar . Cairan cerebrospinalis

(www.hydroassoc.org)

2.4.6 Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang

supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang

infratentorial (berisi fosa kranii posterior).11

Perdarahan Otak

Page 16: SUBDURAL HEMATOM

16

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.

Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk

sirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam

dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar

dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.

2.5 PATOFISIOLOGI

Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa

yang konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut

duramater, membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai

arachnoidea mater, dan membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler

serta berhubungan erat dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta

dikenal sebagai piamater. .11

Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai

periosteum tulang – tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan

meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta

saraf – saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf

kranial. Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah

venosa dari otak dan meningen ke vena jugularis interna dileher.

Pemisah duramater berbentuk sabit yang disebut falx serebri, yang terletak

vertical antara hemispherium serebri dan lembaran horizontal, yaitu tentorium

serebelli, yang berproyeksi kedepan diantara serebrum dan serebellum, yang

berfungsi untuk membatasi gerakan berlebihan otak dalam kranium.11

Arachnoidea mater merupakan membran yang lebih tipis dari

duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak. Arachnoidea

mater menjembatani sulkus – sulkus dan masuk kedalam yang dalam antara

hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan pia mater diketahui

sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal. Cairan

serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan

saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala. 11

Page 17: SUBDURAL HEMATOM

17

Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang menyokong otak

dengan erat. Suatu sarung pia mater menyertai cabang – cabang arteri arteri

serebralis pada saat mereka memasuki substansia otak. Secara klinis,

duramater disebut pachymeninx dan arachnoidea serta pia mater disebut

sebagai leptomeninges 11

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan

dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang

menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam

duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan

cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan

terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek

beberapa vena pada tempat di mana mereka menembus duramater.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan

tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun

mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan

gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang

berangsurmeningkat. 8

Gambar : lapisan pelindung otak

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena

Page 18: SUBDURAL HEMATOM

18

jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil

sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan

pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena

yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum

gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi

perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan

terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.

Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang

peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh

sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural

kronik3

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan

perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh

efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase

ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains

tekanan intra cranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran

hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme

kompensasitersebut.

Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya

peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral

berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi

transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat

terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh

meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,

didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu

dibandingkan dengan daerah otak lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan

terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan

bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan

kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan

akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural

hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan

Page 19: SUBDURAL HEMATOM

19

pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori

Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di

dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel

darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang

yangdapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor

angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural

kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan

vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari

koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari

fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya SDH. 10

Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat

timbulnya gejala- gejala klinis yaitu: 3

1. Perdarahan akut

Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya

terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan

perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran

dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi

melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi

hiperdens.

2. Perdarahan sub akut

Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma.

Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan

darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di

sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau

hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah

dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik

Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih. Perdarahan

kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu

Page 20: SUBDURAL HEMATOM

20

ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas,

bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural

apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan

darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena

hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan

sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik,

didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang

lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan

arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada

selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis

dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini

protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari

hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan

baru yang menyebabkan hematom.

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap

cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan

menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma

subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada

gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.

2.6 GEJALA KLINIS 6

1.Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48

jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan

neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi

batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan

pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya

pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

2. Hematoma Subdural Subakut

Page 21: SUBDURAL HEMATOM

21

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam

tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural

akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan

subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala

yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita

memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat

kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan

meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita

mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap

rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan

intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan

herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari

kompresi batang otak.

3.Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan

bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek

salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara

lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan

terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan

osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan

sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang

menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau

pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi

pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua

keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya

Page 22: SUBDURAL HEMATOM

22

tidak dihiraukan. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala

bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.

Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara

spontan.

Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis

biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu 7

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah

tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,

lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yangterjadi.

Page 23: SUBDURAL HEMATOM

23

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik

(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus

frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada

lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh

yangberlawanan.

Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran

dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya

mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang

nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang

mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian

penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar

dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibatperilakunya. Lobus

parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur dan

berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan

dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan

posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya.

Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi

tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya

kemampuan untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebut

apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.

Page 24: SUBDURAL HEMATOM

24

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali

bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan

akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau

jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu

berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya. Lobus temporalis

mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai

memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran,

menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur

emosional.

Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya

ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri

menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari

dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.

Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat

kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

Mekanisme biasa yang menghasilkan hematoma subdural akut adalah

dampak berkecepatan tinggi ke tengkorak. Hal ini menyebabkan jaringan otak

untuk mempercepat atau memperlambat relatif terhadap struktur dural tetap,

merobekpembuluhdarah.

Seringkali, pembuluh darah robek adalah pembuluh darah yang

menghubungkan permukaan kortikal otak ke sinus dural (disebut vena

bridging). Pada orang lanjut usia, pembuluh darah bridging mungkin sudah

meregang karena atrofi otak (penyusutan yang terjadi dengan usia).

Atau, sebuah kapal kortikal, baik vena atau arteri kecil, bisa rusak oleh cedera

langsung atau laserasi. Sebuah hematoma subdural akut karena arteri kortikal

pecah dapat berhubungan dengan cedera kepala hanya kecil, mungkin tanpa

lukamemarotakterkait.

Telah menegaskan bahwa cedera otak utama yang terkait dengan hematoma

subdural memainkan peran utama dalam kematian. Namun, hematoma

subdural yang paling diperkirakan akibat dari vena bridging robek,

Page 25: SUBDURAL HEMATOM

25

sebagaimana dinilai oleh operasi atau otopsi. Selain itu, tidak semua

hematoma subdural berhubungan dengan cedera parenkim difus. Seperti

disebutkan sebelumnya, banyak pasien yang menderita lesi ini mampu

berbicara sebelum kondisi mereka memburuk-skenario yang tidak mungkin

pada pasien yang mengalami kerusakan menyebar.

Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau

menghancurkan saraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di

sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur saraf, perdarahan atau

pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan penimbunan cairan

(edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan massa

di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka

peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak.

Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong

otak ke bawah, otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang yang

menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut dengan

herniasi. Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak

melalui lubang di dasar tengkorak (foramen magnum) kedalam medulla

spinalis. Herniasi ini bisa berakibat fatal karena batang otak mengendalikan

fungsi fital (denyut jantung dan pernafasan).

Cedera kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan

kerusakan otak yang hebat. Usia lanjut dan orang yang mengkonsumsi

antikoagulan, sangat peka terhadap terjadinya perdarahan di sekeliling otak.

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.

Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata

dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran

hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti. 12

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat

dari cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi

cedera kepala.

Gejala yang sering tampak : 6

Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

Page 26: SUBDURAL HEMATOM

26

Bingung

Penglihatan kabur

Susah bicara

Nyeri kepala yang hebat

Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.

Mual

Pusing

Berkeringat

Pucat

Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai

hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran pupil

akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih positif

menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial. Terjadi pula

kenaikan tekanan darah dan bradikardi.  Pada tahap akhir, kesadaran menurun

sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai

akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan

tanda kematian. Gejala-gejala respirasi yang bisa timbul berikutnya,

mencerminkan adanya disfungsi rostrocaudal batang otak. 9

Pemeriksaan fisik pasien dengan trauma kepala harus menekankan penilaian

status neurologis dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS).

Pemeriksaan neurologis awal memberikan dasar penting yang harus

digunakan untuk mengikuti kursus klinis pasien. Ketika direkam dalam bentuk

skor GCS, juga memberikan informasi prognostik penting.

Pasien dengan cedera kepala serius sering diintubasi cepat dan diberikan

perawatan yang berorientasi trauma. Namun, karena signifikansi prognostik,

pemeriksaan neurologis singkat dihitung dengan menggunakan GCS

merupakan komponen penting dari penilaian sekunder dan membutuhkan

waktu kurang dari 2 menit untuk menyelesaikan. GCS ini berfokus pada

kemampuan pasien untuk menghasilkan pidato dimengerti, membuka mata,

Page 27: SUBDURAL HEMATOM

27

dan ikuti perintah. Selama pemeriksaan awal, pasien harus dinilai untuk

kemampuan untuk membuka mata spontan atau sebagai respons terhadap

suaraataurasasakit4

Gambaran klinis pasien dengan hematoma subdural akut tergantung pada

ukuran hematoma dan tingkat cedera otak parenkim terkait.

Gejala yang berhubungan dengan hematoma subdural akut meliputi: 8

    Sakit kepala

    Mual

    Kebingungan

    Perubahan kepribadian

    Penurunan tingkat kesadaran

    Kesulitan berbicara

    Perubahan lain dalam status mental

    Gangguan penglihatan atau penglihatan ganda

    Kelemahan

Pemeriksaan neurologis untuk hematoma subdural kronis dapat menunjukkan

salah satu dari berikut 8

  Perubahan status mental

    Papilledema

    Hyperreflexia atau refleks asimetri

    Hemianopsie

    Hemiparesis

    Disfungsi saraf kranial ketiga atau keenam

2.7 DIAGNOSIS

Adanya gejala neurologis merupakan langkah pertama untuk

mengetahui tingkat keparahan dari trauma kapitis. Kemampuan pasien dalam

berbicara, membuka mata dan respon otot harus dievaluasi disertai dengan

Page 28: SUBDURAL HEMATOM

28

ada tidaknya disorientasi (apabila pasien sadar) tempat, waktu dan

kemampuan pasien

untuk membuka mata yang biasanya sering ditanyakan. Apabila pasiennya dalam

keadaan tidak sadar, pemeriksaan reflek cahaya pupil sangat penting

dilakukan.7

Anamnesis

Dari anamnesis di tanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan

jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya kehilangan

kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita kembali pada

keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap sadar seperti semula atau

turun lagi kesadarannya, dan di perhatikan lamanya periode sadar atau lucid

interval. Untuk tambahan informasi perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan

kejang setelah terjadinya trauma kepala. Kepentingan mengetahui muntah dan

kejang adalah untuk mencari penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena

inspirasi atau sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih

berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit kepala dan

mual, adanya kelemahan anggota gerak sesisi dan muntah-muntah yang tidak bisa

ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain yang sedang diderita, obat-obatan yang

sedang dikonsumsi saat ini, dan apakah dalam pengaruh alkohol. 6

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang

mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah atau

nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas harus

dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu dipasang orofaring

tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan pemberian oksigen. Hal ini

bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan tubuh.

Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2.

Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan tekanan memantau apakah terjadi

hipotensi, syok atau terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi

Page 29: SUBDURAL HEMATOM

29

hipotensi atau syok harus segera dilakukan pemberian cairan untuk mengganti

cairan tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai

dengan refleks Cushing yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan

bradipnea. 6

Pemeriksaan neurologik yang meliputkan kesadaran penderita dengan

menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua pupil , dan

tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan kesadaran dengan Skala Koma

Glasgow menilai kemampuan membuka mata, respon verbal dan respon motorik

pasien terdapat stimulasi verbal atau nyeri. Pemeriksaan diamter kedua pupil dan

adanya defisit neurologi fokal menilai apakah telah terjadi herniasi di dalam otak

dan terganggunya sistem kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula

spinalis.

Pada pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial

meliputi GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini

adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal (unkus)

adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya. Adanya trauma

langsung pada mata membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit.

Gambar. Glasgow Coma Scale

Page 30: SUBDURAL HEMATOM

30

(yalescientific.org)

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium minimal meliputi, pemeriksaan darah rutin, elektrolit,

profil hemostasis/koagulasi.

b. Foto tengkorak

Pemeriksaan foto tengkorak tidak dapat dipakai untuk memperkirakan adanya

SDH. Fraktur tengkorak sering dipakai untuk meramalkan kemungkinan adanya

perdarahan intrakranial tetapi tidak ada hubungan yang konsisten antara fraktur

tengkorak dan SDH. Bahkan fraktur sering didapatkan kontralateral terhadap

SDH.

c. CT-Scan

Pemeriksaan CT scan adalah modalitas pilihan utama bila disangka terdapat suatu

lesi pasca-trauma, karena prosesnya cepat, mampu melihat seluruh jaringan otak

dan secara akurat membedakan sifat dan keberadaan lesi intra-aksial dan ekstra-

aksial. 2

1)Perdarahan Subdural Akut

Perdarahan subdural akut pada CT-scan kepala (non kontras) tampak

sebagai suatu massa hiperdens (putih) ekstra-aksial berbentuk bulan sabit

sepanjang bagian dalam (inner table) tengkorak dan paling banyak terdapat pada

konveksitas otak di daerah parietal. Terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit di

daerah bagian atas tentorium serebelli. Subdural hematom berbentuk cekung dan

terbatasi oleh garis sutura. Jarang sekali, subdural hematom berbentuk lensa

seperti epidural hematom dan biasanya unilateral.

Perdarahan subdural yang sedikit (small SDH) dapat berbaur dengan

gambaran tulang tengkorak dan hanya akan tampak dengan menyesuaikan CT

Page 31: SUBDURAL HEMATOM

31

window width. Pergeseran garis tengah (midline shift) akan tampak pada

perdarahan subdural yang sedang atau besar volumenya. Bila tidak ada midline

shift harus dicurigai adanya massa kontralateral dan bila midline shift hebat harus

dicurigai adanya edema serebral yang mendasarinya.

Perdarahan subdural jarang berada di fossa posterior karena serebelum

relatif tidak bergerak sehingga merupakan proteksi terhadap ’bridging veins’ yang

terdapat disana. Perdarahan subdural yang terletak diantara kedua hemisfer

menyebabkan gambaran falks serebri menebal dan tidak beraturan dan sering

berhubungan dengan child abused.

2)Perdarahan Subdural Subakut

Di dalam fase subakut perdarahan subdural menjadi isodens terhadap

jaringan otak sehingga lebih sulit dilihat pada gambaran CT. Oleh karena itu

pemeriksaan CT dengan kontras atau MRI sering dipergunakan pada kasus

perdarahan subdural dalam waktu 48 – 72 jam setelah trauma kapitis. Pada

gambaran T1-weighted MRI lesi subakut akan tampak hiperdens. Pada

pemeriksaan CT dengan kontras, vena-vena kortikal akan tampak jelas

dipermukaan otak dan membatasi subdural hematoma dan jaringan otak.

Perdarahan subdural subakut sering juga berbentuk lensa (bikonveks) sehingga

membingungkan dalam membedakannya dengan epidural hematoma. Pada alat

CT generasi terakhir tidaklah terlalu sulit melihat lesi subdural subakut tanpa

kontras.

3)Perdarahan Subdural Kronik

Pada fase kronik lesi subdural menjadi hipodens dan sangat mudah dilihat

pada gambaran CT tanpa kontras. Sekitar 20% subdural hematom kronik bersifat

bilateral dan dapat mencegah terjadi pergeseran garis tengah. Seringkali,

hematoma subdural kronis muncul sebagai lesi heterogen padat yang

mengindikasikan terjadinya perdarahan berulang dengan tingkat cairan antara

komponen akut (hyperdense) dan kronis (hipodense).

Page 32: SUBDURAL HEMATOM

32

d. MRI (Magnetic resonance imaging)

Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk

mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. Akan tetapi CT-scan mempunyai

proses yang lebih cepat dan akurat untuk mendiagnosa SDH sehingga lebih

praktis menggunakan CT-scan ketimbang MRI pada fase akut penyakit. MRI baru

dipakai pada masa setelah trauma terutama untuk menetukan kerusakan parenkim

otak yang berhubungan dengan trauma yang tidak dapat dilihat dengan

pemeriksaan CT-scan. MRI lebih sensitif untuk mendeteksi lesi otak

nonperdarahan, kontusio, dan cedera axonal difus. MRI dapat membantu

mendiagnosis bilateral subdural hematom kronik karena pergeseran garis tengah

yang kurang jelas pada CT-scan. 2

Gambar . MRI pada SDH

(unipa.it)

2.8 DIAGNOSIS BANDING

1. Epidural Hematom

Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang

paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Perdarahan terjadi

diantara durameter dan tulang tengkorak. Perdarahan ini terjadi karena

Page 33: SUBDURAL HEMATOM

33

terjadi akibat robeknya salah satu cabang arteria meningea media,

robeknya sinus venosus durameter atau robeknya arteria diploica.

Robekan ini sering terjadi akibat adanya fraktur tulang tengkorak. Gejala

yang dapat dijumpai adalah adanya suatu lucid interval (masa sadar

setelah pingsan sehingga kesadaran menurun lagi), tensi yang semakin

bertambah tinggi, nadi yang semakin bertambah tinggi, nadi yang semakin

bertambah lambat, hemiparesis, dan terjadi anisokori pupil.

Diagnosis diferensial dari hematoma subdural akut trauma adalah sama

dengan bahwa untuk setiap trauma, lesi massa intrakranial. Ini termasuk

hematoma intraserebral dan luka memar.

Karena tentu saja variabel dan presentasi, termasuk kurangnya sering riwayat

trauma kepala, sebanyak 72% kasus hematoma subdural kronis salah

didiagnosis di era pra-computed tomography (CT). Sebelum ketersediaan CT,

misdiagnoses umum meliputi: 8

Dementia

Stroke

Transient ischemic attack

Tumor

Subarachnoid hemorrhage

Meningitis

Encephalitis

Hematoma Subarachnoid

Perdarahan subarakhnoid terjadi karena robeknya pembuluh-pembuluh darah

di dalamnya. 

2.9 PENATALAKSANAAN

Dalam menentukan terapi apa yang akan digunakan untuk pasien SDH,

tentu kita harus memperhatikan antara kondisi klinis dengan radiologinya.

Didalam masa mempersiapkan tindakan operasi, perhatian hendaknya ditujukan

Page 34: SUBDURAL HEMATOM

34

kepada pengobatan dengan medikamentosa untuk menurunkan peningkatan

tekanan intrakrania (PTIK). Seperti pemberian manitol 0,25gr/kgBB, atau

furosemid 10 mg intravena, dihiperventilasikan. 2

Tindakan Tanpa Operasi

Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang)

dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan

terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang

kemudian dapat mengalami pengapuran.

Servadei dkk merawat non operatif 15 penderita dengan SDH akut

dimana tebal hematoma < 1 cm dan midline shift kurang dari 0.5 cm. Dua dari

penderita ini kemudian mendapat ICH yang memerlukan tindakan operasi.

Ternyata dua pertiga dari penderita ini mendapat perbaikan fungsional.

Croce dkk merawat nonoperatif sejumlah penderita SDH akut dengan

tekanan intrakranial (TIK) yang normal dan GCS 11 – 15. Hanya 6% dari

penderita yang membutuhkan operasi untuk SDH.

Penderita SDH akut yang berada dalam keadaan koma tetapi tidak

menunjukkan peningkatan tekanan intrakranial (PTIK) yang bermakna

kemungkinan menderita suatu diffuse axonal injury. Pada penderita ini, operasi

tidak akan memperbaiki defisit neurologik dan karenanya tidak di indikasikan

untuk tindakan operasi.

Beberapa penderita mungkin mendapat kerusakan berat parenkim otak

dengan efek massa (mass effect) tetapi SDH hanya sedikit. Pada penderita ini,

tindakan operasi/evakuasi walaupun terhadap lesi yang kecil akan merendahkan

TIK dan memperbaiki keadaan intraserebral.

Pada penderita SDH akut dengan refleks batang otak yang negatif dan

depresi pusat pernafasan hampir selalu mempunyai prognosa akhir yang buruk

dan bukan calon untuk operasi. 2

Page 35: SUBDURAL HEMATOM

35

Tindakan Operasi

Baik pada kasus akut maupun kronik, apabila diketemukan adanya gejala-

gejala yang progresif, maka jelas diperlukan tindakan operasi untuk melakukan

pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum diambil keputusan untuk dilakukan

tindakan operasi, yang tetap harus kita perhatikan adalah airway, breathing dan

circulation (ABCs). Tindakan operasi ditujukan kepada:

a. Evakuasi seluruh SDH

b. Merawat sumber perdarahan

c. Reseksi parenkim otak yang nonviable

d. Mengeluarkan ICH yang ada.

Kriteria penderita SDH dilakukan operasi adalah:

a. Pasien SDH tanpa melihat GCS, dengan ketebalan > 10 mm atau

pergeseran midline shift > 5 mm pada CT-scan

b. Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan monitoring TIK

c. Pasien SDH dengan GCS < 9, dengan ketebalan perdarahan < 10 mm dan

pergeeran struktur midline shift. Jika mengalami penurunan GCS > 2 poin

antara saat kejadian sampai saat masuk rumah sakit

d. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau didapatkan pupil dilatasi

asimetris/fixed

e. Pasien SDH dengan GCS < 9, dan/atau TIK > 20 mmHg.

Page 36: SUBDURAL HEMATOM

36

Gambar . Tindakan operatif pada SDH (Kraniotomi)

(catalog.nucleusinc.org)

Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist

drill craniotomy, subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk

perdarahan sub dural kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik

ini menunjukan komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural

kronik pasca kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika

pada pasien yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis,

Page 37: SUBDURAL HEMATOM

37

reakumulasi yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang

kembali.

Trepanasi atau burr holes dimaksudkan untuk mengevakuasi SDH secara

cepat dengan lokal anestesi. Pada saat ini tindakan ini sulit untuk dibenarkan

karena dengan trepanasi sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang

biasanya solid dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih

dari seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari 200

ml.

Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah

yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Hampir semua ahli

bedah saraf memilih kraniotomi luas. Luasnya insisi ditentukan oleh luasnya

hematoma dan lokasi kerusakan parenkim otak. Lubang bor yang pertama dibuat

dilokasi dimana di dapatkan hematoma dalam jumlah banyak, dura mater dibuka

dan diaspirasi sebanyak mungkin hematoma, tindakan ini akan segara

menurunkan TIK. Lubang bor berikutnya dibuat dan kepingan kranium yang lebar

dilepaskan, duramater dibuka lebar dan hematoma dievakuasi dari permukaan

otak. Setelah itu, dimasukkan surgical patties yang cukup lebar dan basah

keruang subdural, dilakukan irigasi, kemudian surgical patties disedot (suction).

Surgical patties perlahan – lahan ditarik keluar, sisa hematoma akan melekat pada

surgical patties, setelah itu dilakukan irigasi ruang subdural dengan memasukkan

kateter kesegala arah. Kontusio jaringan otak dan hematoma intraserebral

direseksi. Dipasang drain 24 jam diruang subdural, duramater dijahit rapat.

Usaha diatas adalah untuk memperbaiki prognosa akhir SDH, dilakukan

kraniotomi dekompresif yang luas dengan maksud untuk mengeluarkan seluruh

hematoma, merawat perdarahan dan mempersiapkan dekompesi eksternal dari

edema serebral pasca operasi. Pemeriksaan pasca operasi menujukkan sisa

hematoma dan perdarahan ulang sangat minimal dan struktur garis tengah kembali

lebih cepat ke posisi semula dibandingkan dengan penderita yang tidak dioperasi

Page 38: SUBDURAL HEMATOM

38

dengan cara ini. Penggunaan teknik ini sebagai penatalaksanaan awal dari

perdarahan subdural kronik sudah mulai berkurang.

Trepanasi atau kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala

yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.

Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil

anisokor dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis

merupakan tanda adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana

sebagian besar disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi, yaitu:

Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata

Adanya tanda herniasi/ lateralisasi

Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT

scan kepala tidak bisa dilakukan.

Page 39: SUBDURAL HEMATOM

39

Gambar . Burr Hole

(catalog.nucleusinc.org)

Perawatan Pascabedah

Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya.

Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau

kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.

Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada sebagian

pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh darah yang baru

terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik, pergeseran otak yang tiba-

Page 40: SUBDURAL HEMATOM

40

tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari otak untuk mengembang

kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan subdural. Maka dalam hal ini

hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber perdarahan harus ditiadakan. Serial

skening tomografi pasca kraniotomi sebaiknya juga dilakukan.

Follow-up

CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik

dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

2.10 Komplikasi

Setiap tindakan medis pasti akan mempunyai resiko. Cedera parenkim

otak biasanya berhubungan dengan subdural hematom akut dan dapat

meningkatkan tekanan intrakranial. Pasca operasi dapat terjadi rekurensi atau

masih terdapat sisa hematom yang mungkin memperlukan tindakan pembedahan

lagi. Sebanyak sepertiga pasien mengalami kejang pasca trauma setelah cedera

kepala berat. Infeksi luka dan kebocoran CSF bisa terjadi setelah kraniotomi.

Meningitis atau abses serebri dapat terjadi setelah dilakukan tindakan intrakranial4

Pada pasien dengan subdural hematom kronik yang menjalani operasi

drainase, sebanyak 5,4-19% mengalami komplikasi medis atau operasi.

Komplikasi medis, seperti kejang, pneumonia, empiema, dan infeksi lain, terjadi

pada 16,9% kasus. Komplikasi operasi, seperti massa subdural, hematom

intraparenkim, atau tension pneumocephalus terjadi pada 2,3% kasus.

Residual hematom ditemukan pada 92% pasien berdasarkan gambaran CT

scan 4 hari pasca operasi. Tindakan reoperasi untuk reakumulasi hematom

dilapaorkan sekitar 12-22%. Kejang pasca operasi dilaporkan terjadi pada 3-10%

pasien. Empiema subdural, abses otak dan meningitis telah dilaporkan terjadi pada

kurang dari 1% pasien setelah operasi drainase dari hematoma subdural kronis

(SDH). Pada pasien ini, timbulnya komplikasi terkait dengan anestesi, rawat inap,

usia pasien, dan kondisi medis secara bersamaan.

2.11 Prognosis

Page 41: SUBDURAL HEMATOM

41

Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa kasus,

perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat menyebabkan kompresi

pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-gejala yang ringan. Pada beberapa

kasus yang lain, memerlukan tindakan operatif segera untuk dekompresi otak. 13

Tindakan operasi pada hematoma subdural kronik memberikan prognosis

yang baik, karena sekitar 90 % kasus pada umumnya akan sembuh total.

Hematoma subdural yang disertai lesi parenkim otak menunjukkan angka

mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat dapat mencapai sekitar 50 %.

Pada penderita dengan perdarahan subdural akut yang sedikit (diameter <

1 cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian menemukan bahwa 78% dari

penderita perdarahan subdural kronik yang dioperasi (burr-hole evacuation)

mempunyai prognosa baik dan mendapatkan penyembuhan sempurna. Perdarahan

subdural akut yang sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih

kurang 20%.

Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya

mengenai parenkim otak , misalnya kontusio atau laserasi dari serebral hemisfer

disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada penderita ini mortalitas

melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume subdural hematoma dan

jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling penting untuk meramalkan

prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio parenkim otak.

Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural yang luas

dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak, menjadi lebih

kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah kejadian. Walaupun

demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah kejadian tidaklah selalu

berakhir dengan kematian.

Pada kebanyakan kasus SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak

merupakan faktor yang lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada

tumpukan hematoma ekstra axial di ruang subdural.

Page 42: SUBDURAL HEMATOM

42

Menurut Jamieson dan Yelland derajat kesadaran pada waktu akan

dilakukan operasi adalah satu-satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir

(outcome) penderita SDH akut. Penderita yang sadar pada waktu dioperasi

mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita SDH akut yang tidak sadar pada

waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%. Tetapi Richards dan Hoff tidak

menemukan hubungan yang bermakna antara derajat kesadaran dan prognosa

akhir. Abnormalitas pupil, bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang

sangat tinggi. Seelig dkk melaporkan pada penderita SDH akut dengan kombinasi

refleks okulo-sefalik negatif, relfleks pupil bilateral negatif dan postur deserebrasi,

hanya mempunyai functional survival sebesar 10%. 6

Page 43: SUBDURAL HEMATOM

43

DAFTAR PUSTAKA

1. Advance Trauma Life Support. American college of Surgeons Comitte on

Trauma.

2. Bullock, Ross. Surgical Management of Subdural hematom. 2006.

3. Brunicardi, Charles. Principles of Surgery Ninth Edition. 2004

4. Gerald. Current Diagnosis & Treatment. Lange.

5. Heller, L Jacob. Subdural hematoma. Medline Plus. 2012

6. Karnath, Bernadh. Subdural hematom. Geriatrick Volume 59 No 7. 2004

7. Mardjono, Mahar ; Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar.

8. Meagher, J Richard. Subdural hematoma. Medscape. 2013

9. Price; Wilson. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta : EGC. 2004

10. Sastrodiningrat, A Gofar. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan

Subdural Akut. Medan : Majalah kedokteran Nusantara Volume 39 No 3.

2006

11. Sloane. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta : EGC. 2004

12. Tjandra, Joe; Clunie, Gordon. Textbook of Surgery. Blacwell publishing.

2006

13. Wim de jong; Sjamsuhidajat. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC.

2004