12
Susunan saraf otonom Susunan saraf otonom merupakan bagian susunan saraf yang berhubungan dengan persarafan struktur involunter seperti jantung, otot polos, dan kelenjar di seluruh tubuh, serta tersebar di dalam susunan saraf pusat dan perifer. Susunan saraf otonom dapat dibagi dalam dua bagian simpatis dan parasimpatis dan keduanya mempunyai serabut saraf aferen dan eferen (Snell, 2006). Kontrol yang dilakukan oleh sistem saraf otonom berlangsung sangat cepat dan tersebar luas karena satu akson preganglionik dapat bersinaps dengan beberapa neuron postganglionik. Kumpulan serabut-serabut aferen dan eferen dalam jumlah besar bersama dengan ganglia yang sesuai membentuk plexus otonomik di toraks, abdomen dan pelvis (Snell, 2007). Bagian simpatis sistem otonom Sistem simpatis adalah bagian terbesar dari kedua bagian sistem otonom yang didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, yang kemudian mempersarafi jantung dan paru, otot pada sebagian besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar keringat, serta banyak organ visera abdominopelvik. Fungsi sistem simpatis adalah menyiapkan tubuh pada keadaan darurat. Denyut jantung meningkat, arteriola di kulit dan usus mengalami konstriksi, dan arteriola pada otot-otot rangka berdilatasi, serta tekanan darah meningkat.Selain itu, saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, menghambat otot polos bronkus, usus, dan dinding vesika urinaria, serta

Susunan saraf otonom

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sso

Citation preview

Susunan saraf otonomSusunan saraf otonom merupakan bagian susunan saraf yang berhubungan dengan persarafan struktur involunter seperti jantung, otot polos, dan kelenjar di seluruh tubuh, serta tersebar di dalam susunan saraf pusat dan perifer. Susunan saraf otonom dapat dibagi dalam dua bagian simpatis dan parasimpatis dan keduanya mempunyai serabut saraf aferen dan eferen (Snell, 2006).Kontrol yang dilakukan oleh sistem saraf otonom berlangsung sangat cepat dan tersebar luas karena satu akson preganglionik dapat bersinaps dengan beberapa neuron postganglionik. Kumpulan serabut-serabut aferen dan eferen dalam jumlah besar bersama dengan ganglia yang sesuai membentuk plexus otonomik di toraks, abdomen dan pelvis (Snell, 2007).Bagian simpatis sistem otonomSistem simpatis adalah bagian terbesar dari kedua bagian sistem otonom yang didistribusikan secara luas ke seluruh tubuh, yang kemudian mempersarafi jantung dan paru, otot pada sebagian besar dinding pembuluh darah, folikel rambut dan kelenjar keringat, serta banyak organ visera abdominopelvik.Fungsi sistem simpatis adalah menyiapkan tubuh pada keadaan darurat. Denyut jantung meningkat, arteriola di kulit dan usus mengalami konstriksi, dan arteriola pada otot-otot rangka berdilatasi, serta tekanan darah meningkat.Selain itu, saraf simpatis membuat pupil berdilatasi, menghambat otot polos bronkus, usus, dan dinding vesika urinaria, serta menutup sphincter. Rambut berdiri dan kulit berkeringat (Snell, 2007).a. Serabut saraf eferenSubstansia grisea medula spinalis dari segmen thoracal I sampai segmen lumbal II, mempunyai cornu laterale atau columna intermedia, yang merupakan tempat badan sel neuron penghubung simpatis. Akson sel-sel ini yang bermielin meninggalkan medulla spinalis pada radix anterior dan kemudian berjalan melalui rami communicates alba ke ganglia paravertebralis truncus sympathicus. Serabut sel-sel penghubung disebut preganglionik karena serabut ini menuju ke ganglion perifer. Saat serabut preganglionik mencapai ganglia pada truncus symphaticus, serabut tersebut mungkin menempuh perjalanan sebagai berikut :1. Serabut tersebut mungkin berhenti pada ganglion yang dimasukinya dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglion. Celah diantara kedua neuron tersebut dijembatani oleh zat neurotransmiter yaitu acetycholine. Axon neuron eksitator yang tidak bermielin meninggalkan ganglion. Serabut saraf postganglionik ini kemudian menuju ke nervi thoracici sebagai rami communicantes grisea dan tersebar dalam cabang-cabang saraf spinal untuk menyarafi otot polos di dalam dinding pembuluh darah, kelenjar keringat, dan musculus arrector pili kulit.2. Sebagian serabut-serabut yang masuk ke dalam ganglia truncus symphaticus di daerah thorax bagian atas akan berjalan sepanjang truncus symphaticus menuju ke ganglia di daerah leher, tempat serabut-serabut tersebut akan bersinap dengan sel-sel eksitator. Di sini serabut saraf postganglionik meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea dan sebagian besar akan bergabung dengan nervi cervicales. Banyak serabut postganglionik yang masuk ke dlaam bagian bawah truncus symphaticus dari segmen bawah thoracal dan dua segmen lumbal bagian atas medulla spinalis akan turun ke ganglia pada regio lumbalis dan sacralis, tempat serbaut-serabut tersebut bersinaps dengan sel eksitator. Serabut postganglionik meninggalkan truncus symphaticus sebagai rami communicantes grisea yang bersatu dengan nervi lumbales, nervi sacrales, dan nervus coccygeus.3. Serabut preganglionik mungkin berjalan melalui ganglia pada bagian thoracal truncus symphaticus tanpa bersinaps. Serabut-serabut bermielin ini membentuk tiga buah nervi splanchnici. Nervus splanchnicus major berasal dari ganglia thoracica ke lima sampai sembilan, menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca. Nervus splanchnicus minor berasal dari ganglia thoracica ke sepuluh dan sebelas, menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator di dalam ganglia coeliaca bagian bawah. Nervus splanchnicus imus berasal dari ganglion thoracica kedua belas, menembus diaphragma, dan bersinaps dengan sel-sel eksitator pada ganglia renalia. Oleh karena itu nervi sphlanchnici terdiri atas serabut-serabut preganglionik. Serabut-serabut postganglionik berasal dari sel-sel eksitator di dalam ganglia yang telah disebutkan, dan tersebar ke otot-otot polos dan kelenjar pada visera. Beberapa serabut preganglionik yang berjalan di dalam nervus splanchnicus major berakhir langsung pada sel-sel di medulla suprarenalis. Sel-sel medula ini dapat dianggap sebagai modifikasi sel-sel eksitator simpatis.b. Serabut saraf aferenSerabut aferen bermielin berjalan dari visera melalui ganglia simpatik tanpa bersinaps. Serabut-serabut tersebut masuk ke saraf spinalis melalui rami communicantes alba dan mencapai badan selnya dalam ganglion sensorium nervi spinalis yang sesuai. Axon sentral kemudian masuk ke medulla spinalis dan mungkin membentuk komponen aferen lengkung refleks lokal. Serabut yang lain berjalan ke atas sampai ke pusat otonom yang lebih tinggi di dalam otak (Snell, 2006).Bagian parasimpatis sistem otonomAktivitas bagian parasimpatsis sistem otonom bertujuan untuk menyimpan dan memulihkan tenaga. Laju denyut jantung melambat, pupil berkonstriksi, gerakan peristaltik dan aktivitas kelenjar keringat meningkat, otot-otot sphincter membuka, serta dinding kandung kemih berkontraksi (Snell, 2007).a. Serabut saraf eferenKonektor pada bagian parasimatis susunan saraf otonom terletak di dalam batang otak dan segmen sakralis medulla spinalis. Sel-sel penghubung di dalam batang otak ini membentuk sebagian nuclei yang merupakan asal dari saraf otak III, VII, IX, dan X, dan axonnya bagian-bagian otak yang mengandung saraf kranial yang sesuai. Sel-sel penghubung sacral didapatkan pada substansi grisea segmen sacralis kedua, ketiga dan keempat medula spinalis. Sel-sel ini tidak cukup banyak untuk membentuk cornu lateral substansia grisea seperti sel-sel penghubung pada daerah thoracolumbal. Axon bermielin meninggalkan medulla spinalis di dalam radix anterior saraf spinalis yang sesuai, kemudian meninggalkan nervus sacralis, dan membentuk nervus splanchnicus pelvicus.Semua serabut eferen yang telah dijelaskan adalah serabut preganglionik, yang bersinaps dengan sel eksitator di dalam ganglia perifer, yang biasanya terletak dekat dengan visera yang dipersarafi. Serabut preganglionik kranial bersinaps di ganglion ciliare, pterygopalatinum, submandibulare, dan oticum. Serabut preganglionik di dalam nervus splanchnicus pelvicus berhenti pada ganglia yang terdapat plexus hypogastricus atau dinding visera. Yang khas, serabut postganglionik tidak bermielin dan relatif pendek bila dibandingkan dengan serabut post ganglionik simpatis.

b. Serabut saraf aferenSerabut serabut aferen bermielin berjalan dari visera ke badan selnya yang terletak didalam ganglion sensorium nervi cranialis atau ganglion sensorium nervi sacrales. Axon sentralnya kemudian masuk ke susunan saraf pusat dan ikut berperan dalam pembentukan lengkung refleks lokal atau berjalan ke pusat susunan saraf otonom yang lebih tinggi.Komponen aferen susunan saraf otonom identik dengan komponen aferen susunan saraf somatik, dan membentuk sebagian segmen aferen umum di seluruh sistem saraf. Ujung-ujung saraf komponen aferen otonom tidak dapat diaktifkan oleh sensasi seperti panas atau raba, tetapi diaktifkan oleh regangan atau kekurangan oksigen. Setelah serabut aferen masuk ke dalam medula spinalis atau otak, serabut-serabut tersebut berjalan bersama-sama atau bercampur dengan serabut aferen somatik (Snell, 2006).

Syok neurogenikDefinisiSyok neurogenik dideskripsikan sebagai kehilangan mendadak dari tonus autonom karena cedera dari medua spinalis. Gangguan jalur descendens simpatis mengakibatkan hilangnya tonus vagal pada otot polos vaskular, yang menyebabkan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik dan vasodilatasi (Mack, 2013). EpidemiologiHilangnya tonus simpatis, sehingga shock neurogenik, yang paling umum ketika tingkat cedera di atas T6. Selain itu, syok neurogenik dapat terjadi kapan saja setelah timbulnya cedera atau sakit, mulai dari waktu pertama muncul sampai beberapa minggu setelah onset. Tidak ada penelitian pada manusia mendokumentasikan perubahan hemodinamik yang terjadi setelah SCI akut pada anak-anak, dan kejadian syok neurogenik pada anak dengan SCI tidak diketahui. Namun, laporan menunjukkan di mana saja 50-90% orang dewasa dengan SCI serviks memerlukan resusitasi cairan dan infus vasoaktif untuk mencapai parameter dewasa yang direkomendasikan (MAP> 85-90 mm Hg selama 7 hari) oleh Kongres pedoman Ahli Bedah Neurologi 'untuk pengelolaan SCI. Orang dewasa dengan SCI lebih tinggi (C1-C5) mungkin lebih mungkin untuk memerlukan intervensi kardiovaskular, seperti agen vasoaktif atau pacu jantung, daripada SCI rendah (C6-C7) (Mack, 2013).PatofisiologiSistem saraf simpatis mengatur denyut jantung dan kontriksi pembuluh darah dengan mensekresikan catecolamine (epinefrin dan norepinefrin) ke dalam pembuluh darah. Ketokolamin ini, dibawah kondisi normal, mempertahankan pembuluh darah berkontriksi sebagian untuk perfusi yang adekuat. Ketika tekanan arteri rendah, baroreseptor yang terletak di sinus carotis dan arkus aorta, mengirim pesan ke otak melalui sistem saraf. Otak kemudian mengirim pesan melalui sistem saraf simpatis ke medula adrenal, menyebabkan peningkatan produksi ketokolamin.Pada syok neurogenik, fungsi normal sistem saraf simpatis terganggu, respon kompensasi normal tubuh terhadap syok tidak terjadi. Cedera medula spinalis menyebabkan dilatasi pembuluh darah yang disuplai oleh nervus spinalis distal dari cedera, menghasilkan penurunan resistensi vaskular sistemik, hipotensi dan hilangnya kontrol suhu tubuh (Rahm, 2005).

Pada syok ini terjadi vasovagal berlebihan yang menyebabkan vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri. Syok neurogenik pada trauma terjadi karena hilangnya tonus simpatis, misalnya pada cedera tulang belakang atau yang sangat jarang, cedera pada batang otak. Hipotensi pada pasien dengan cedera tulang belakang disertai dengan pasokan oksigen yang cukup karena curah jantung tinggi meskipun tekanan darahnya rendah (de Jong, 2014)Syok neurogenik akibat dari cedera sumsum tulang belakang mengakibatkan gangguan aliran otonom simpatik. Konsekuensi dari penurunan tonus adrenergik adalah ketidakmampuan untuk meningkatkan kerja inotropik jantung dan konstriksi lemah dari pembuluh darah perifer dalam menanggapi rangsangan excitational. Hilangnya tonus vagal menghasilkan hipotensi dan bradikardi. Akibat dari vasodilatasi perifer kulit menjadi hangat. Hipotermia dapat terjadi akibat tidak adanya regulasi otonom vasocontriction redistribusi darah ke inti tubuh. Semakin tinggi tingkat cedera tulang, semakin berat shock neurogenik, karena lebih banyak massa tubuh yang terputus dari pengaturan simpatik. Syok neurogenik biasanya tidak terjadi jika cedera di bawah tingkat T6 (Greenberg, 2005).Manifestasi klinikTidak ada tes diagnostik yang pasti, tetapi secara klasik pasien menunjukkan hipotensi dan bradikardia relatif. Bradikardia sering diperburuk oleh suction, buang air besar, dan hipoksia. Kulit sering hangat dan memerah pada awalnya. Hipotermia dapat berkembang karena vasodilatasi mendalam dan kehilangan panas. Seringkali tekanan vena sentral rendah karena penurunan resistensi vaskular sistemik (Mack, 2013).Karena syok neurogenik memblok kerja dari sistem saraf simpatis, ketokolamin tidak dibebaskan ke pembuluh darah. Sehingga tanda klasik dari syok (seperti takikardi, diaporesis) muncul.Vasodilatasi menyebabkan kulit menjadi merah, hangat dan kering pada tingkat dibawah cedera spinal. Bagaimanapun, bagian proksimal dari cidera, serat saraf simpatis didaerah tersebut tetap utuh. Denyut jantung lemah dan menurun, disebabkan oleh menurunnya epinefrin disirkulasi dan selanjutnya efek sistem parasimpatis. Pasien dengan syok neurogenik mempunyai laju pernafasan yang meningkat, jika cedera pada kolumna spinalis terjadi pada regio servikal, paralisis dari diafragma, musculus intercostal, mungkin terjadi (Rahm, 2005).TatalaksanaPenurunan resistensi pembuluh darah sistemik, menghasilkan suatu hipovolemia relatif karena peningkatan kapasitas vena, dan pemberian cairan isotonik sering diperlukan. Namun, hipotensi karena syok neurogenik sering refrakter terhadap resusitasi cairan. Namun demikian, hipotensi pada pasien trauma tidak dapat diasumsikan karena syok neurogenik awalnya, dan bisa menjadi tanda syok hemoragik. Dengan demikian, korban trauma dengan hipotensi harus diperlakukan awalnya dengan cairan kristaloid (0,9% natrium klorida, laktat ringer) atau koloid (albumin, produk darah) dan dievaluasi untuk setiap kehilangan darah yang sedang berlangsung. Pasien harus diresusitasi memadai dari perspektif hemodinamik sebelum menjalani operasi dekompresi tulang belakang.Jika terdapat bradikardia, pasien mungkin berespon dengan atropin, glikopirolat, atau infus vasoaktif dengan chronotropic, vasokonstriktor, dan inotropik lainnya sepertidopamin atau norepinefrin. Isoproterenol juga dapat dipertimbangkan jika agen chronotropic kuat diperlukan. Fenilefrin berpotensi menyebabkan refleks bradikardia, tidak adanya aktivitas beta agonis, dan harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan bradikardia yang muncul sebagai bagian dari shock neurogenik.PrognosisPasien dengan cedera medula spinalis servikal lebih cenderung untuk mengalami syok neurogenik. Pasien dengan cedera medula spinalis torakolumbal umumnya tidak mengalami syok neurogenik. Kehadiran syok neurogenik telah terbukti menyebabkan keterlambatan dalam manajemen operasi, yang berpotensi memperburuk hasil juga. Meskipun dianjurkan untuk menghindari dan mengobati hipotensi agresif, tidak diketahui apakah hipotensi memperburuk hasil.Syok neurogenik dapat bertahan selama 1-6 minggu setelah cedera. Dysreflexia otonom, tekanan darah istirahat rendah, dan hipotensi ortostatik yang tidak biasa selama fase kronis, sering muncul setelah syok neurogenik telah teratasi. Ketidakstabilan otonom sering dimanifestasikan oleh hipertensi episodik, diaphoresis, dan takikardia.Kesimpulannya, cedera tulang belakang terlepas dari mekanismenya dapat menyebabkan syok neurogenik ditandai dengan kehilangan mendadak tonus otonom yang mengakibatkan hipotensi dan bradikardia relatif. Lesi yang lebih tinggi dikaitkan dengan defisit yang lebih parah. Vasokonstriktor perifer, chronotropik, dan inotropik mungkin diperlukan dalam kasus-kasus syok neurogenik.Hipotensi yang dihasilkan dari hilangnya tonus otonom dapat memicu cedera iskemik sekunder lanjut ke sumsum tulang belakang, dan harus dikelola secara agresif. Dysautonomia mungkin berkembang dan sering berlanjut beberapa minggu setelah cedera.Setiap pasien yang datang dengan kemungkinan cedera medula spinalis seharusnya tulang belakang mereka diimobilisasi untuk mencegah cedera lebih lanjut atau kompresi pada saraf tulang belakang (Mack, 2013).

Daftar pustakaDe Jong dan Sjamsuhidajat. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGCGreenberg, M I et al. 2005. Greenberg Text Atlas of Emergency Medicine. USA. Lippincott Williams & WilkinsMack, E H. 2013. Neurogenic Shock. The Open Pediatric Medicine Journal, 7;16-18Rahm, S J. 2005. Trauma Case Studies for the Paramedic. Jones and Bartlett Publishers, IncSnell, R S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta : EGC.Snell, R S. 2007. Neuroanatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 5. Jakarta : EGC.