41
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat senantiasa berubah seiring dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik, realitas semacam inilah yang harus diperhatikan dan diantisipasi secara cepat dan tepat. Dalam konteks pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat nampaknya perubahan tersebut harus selalu mempertimbangkan potensi dan tradisi lokal masyarakat karenanya, penguatan masyarakat melalui pemberdayaan adalah salah satu diantara ikhtiar yang kiranya dilakukan. Dalam perkembangannya di masyarakat umum, Tari Topeng Cirebon kemudian memperoleh dan memiliki bentuk serta penyajiannya yang spesifik, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Topeng Babakan atau dinaan. Adapun kekhususan dari perkembangan Tari Topeng di masyarakat umum tersebut adalah berupa penampilan 5 atau 9 Topeng dari tokoh –tokoh cerita panji. Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang mengandung pesan – pesan terselubung, karena unsur – unsur yang terkandung didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat menyentuh berbagai aspek 1

Tari Topeng Cirebon Makalah

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat senantiasa berubah seiring dinamika sosial, ekonomi,

budaya dan politik, realitas semacam inilah yang harus diperhatikan dan

diantisipasi secara cepat dan tepat.

Dalam konteks pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat

nampaknya perubahan tersebut harus selalu mempertimbangkan potensi dan

tradisi lokal masyarakat karenanya, penguatan masyarakat melalui

pemberdayaan adalah salah satu diantara ikhtiar yang kiranya dilakukan.

Dalam perkembangannya di masyarakat umum, Tari Topeng Cirebon

kemudian memperoleh dan memiliki bentuk serta penyajiannya yang spesifik,

yang selanjutnya dikenal dengan istilah Topeng Babakan atau dinaan. Adapun

kekhususan dari perkembangan Tari Topeng di masyarakat umum tersebut

adalah berupa penampilan 5 atau 9 Topeng dari tokoh –tokoh cerita panji.

Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang

mengandung pesan – pesan terselubung, karena unsur – unsur yang

terkandung didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan

sangat menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai

pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti

kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta

menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak

dewasa.

Dalam hubungan itu, tidaklah mengherankan bahwa Tari Topeng

Cirebon dapat dijadikan media komunikasi untuk dimanfaatkan secara positif.

Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon;

Syekh Syarif Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang

bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga

memfungsikan Tari Topeng dan 6 (enam) jenis kesenian lainnya sebagai

bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan dilingkungan

Keraton. Adapun Keenam kesenian tersebut adalah Wayang Kulit, Gamelan

1

Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.

Jauh sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh

dan berkembang sejak abad 10 –11 M. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala

di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan ( pengamen )

Seni Tari Topeng masuk ke Cirebon dan kemudian mengalami perpaduan

dengan kesenian rakyat setempat.

Dewasa ini, kecenderungan menggunakan metode kualitatif di

kalangan keilmuan sosial makin berkembang pesat, di Indonesia penggunaan

pendekatan kualitatif dalam menganalisis gejala kemasyarakatan relatif belum

begitu lama, barang kali mulai tumbuh subur sekitar pertengahan tahun 70-an.

B. Rumusan Masalah

A. Definisi Tari Topeng Cirebon

B. Sejarah Perkembangan Tari Topeng Cirebon

C. Filosofi Tari Topeng Cirebon

D. Tari Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia

E. Maestro Tari Topeng Cirebon

F. Tari Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan

2

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Tari Topeng

Menurut pendapat salah seorang seniman dari ujung gebang-Susukan-

Cirebon, Marsita, kata topeng berasal dari kata” Taweng” yang berarti tertutup

atau menutupi. Sedangkan menurut pendapat umum, istilah kata Topeng

mengandung pengertian sebagai penutup muka / kedok.

Berdasarkan asal katanya tersebut, maka tari Topeng pada dasarnya

merupakan seni tari tradisional masyarakat Cirebon yang secara spesifik

menonjolkan penggunaan penutup muka berupa topeng atau kedok oleh para

penari pada waktu pementasannya.

Seperti yang telah diutarakan diatas, bahwa unsur-unsur yang terdapat

dalam seni tari topeng Cirebon mempunyai arti simbolik dan penuh pesan-

pesan terselubung, baik dari jumlah kedok, warna kedok, jumlah gamelan

pengiring dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan upaya para Wali dalam

menyebarkan agama Islam dengan menggunakann kesenian Tari Topeng

setelah media Dakwah kurang mendapat Respon dari masyarakat.

Jumlah Topeng / Kedok seluruhnya ada 9 (sembilan ) buah, yaitu :

Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang, Tumenggung atau Patih, Kelana atau

Rahwana, Pentul, Nyo atau Semblep, Jinggananom dan Aki – aki. Dari

kesembilan Topeng / Kedok tersebut yang dijadikan sebagai Kedok pokok

hanya 5 (lima ) buah yaitu : Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang,

Tumenggung dan Kelana. Sedangkan empat kedok lainnya hanya digunakan

apabila dibuat ceruta / lakon seperti cerita Jaka Blowo, Panji Blowo, Panji

Gandrung dll.

2. Sejarah Perkembangan Tari Topeng Cirebon

Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang

mengandung pesan–pesan terselubung, karena unsur–unsur yang terkandung

didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat

menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai

3

pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti

kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta

menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak

dewasa.

Dalam hubungan itu, tidaklah mengherankan bahwa Tari Topeng

Cirebon dapat dijadikan media komunikasi untuk dimanfaatkan secara positif.

Pada masa Cirebon menjadi pusat penyebaran agama Islam, Sultan Cirebon;

Syekh Syarif Hidayatulah yang juga seorang anggota Dewan Wali Sanga yang

bergelar Sunan Gunung Jati, bekerja sama dengan Sunan Kalijaga

memfungsikan Tari Topeng dan 6 (enam) jenis kesenian lainnya sebagai

bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan dilingkungan

Keraton. Adapun Keenam kesenian tersebut adalah Wayang Kulit, Gamelan

Renteng, Brai, Angklung, Reog dan Berokan.

Jauh sebelum Tari Topeng masuk ke Cirebon, Tari Topeng tumbuh

dan berkembang sejak abad 10 –11 M. Pada masa pemerintahan Raja Jenggala

di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan ( pengamen )

Seni Tari Topeng masuk ke Cirebon dan kemudian mengalami perpaduan

dengan kesenian rakyat setempat.

3. Filosofi Tari Topeng Cirebon

Sudah lama tari Topeng Cirebon mengundang tanda tanya akibat daya

pesonanya yang tinggi, tidak saja di Indonesia tetapi juga di luar negeri. Tari

Panji, yang merupakan tarian pertama dalam rangkaian Topeng Cirebon,

adalah sebuah misterium. Sampai sekarang belum ada koreografer Indonesia

yang mampu menciptakan tarian serupa untuk menandinginya. Tarian Panji

seolah-olah “tidak menari”. Justru karena tariannya tidak spektakuler, maka ia

merupakan sejatinya tarian, yakni perpaduan antara hakiki gerak dan hakiki

diam. Bagi mereka yang kurang peka dalam pengalaman seni, tarian ini akan

membosankan.

Inilah teka-teki Tarian Panji dalam Topeng Cirebon. Bagaimana

penduduk desa mampu menciptakan tarian semacam itu? Penduduk desa yang

tersebar di sekitar Cirebon hanyalah pewaris dan bukan penciptanya.

4

Penduduk desa ini adalah juga penerus dari para penari Keraton Cirebon yang

dahulu memeliharanya. Ketika Raja-raja Cirebon diberi status “pegawai” oleh

Gubernur Jenderal Daendels, dan tidak diperkenankan memerintah secara

otonom lagi, maka sumber dana untuk memelihara semua kesenian Keraton

tidak dimungkinkan lagi. Para abdi dalem Keraton terpaksa dibatasi sampai

yang amat diperlukan sesuai dengan “gaji” yang diterima Raja dari

Pemerintah Hindia Belanda.

Begitulah penari-penari dan penabuh gamelan Keraton harus mencari

sumber hidupnya di rakyat pedesaan. Topeng Cirebon yang semula berpusat di

Keraton-keraton, kini tersebar di lingkungan rakyat petani pedesaan. Dan

seperti umumnya kesenian rakyat, maka Topeng Cirebon juga dengan cepat

mengalami transformasi-transformasi. Proses transformasi itu berakhir dengan

keadaannya yang sekarang, yakni berkembangnya berbagai “gaya” Topeng

Cirebon, seperti Losari, Selangit, Kreo, Palimanan dan lain-lain.

Untuk merekonstruksi kembali Topeng Cirebon yang baku, diperlukan

studi perbandingan seni. Berbagai gaya Topeng Cirebon tadi harus

diperbandingkan satu sama lain sehingga tercapai pola dan strukturnya yang

mendasarinya. Dengan metode demikian, maka akan kita peroleh bentuk yang

mendekati “aslinya”. Namun metode ini tak dapat dilakukan tanpa berbekal

dasar filosofi tariannya.

Dari mana filsafat tari Topeng Cirebon itu dapat dipastikan?

Tentu saja dari serpihan-serpihan tarian yang sekarang ada dan

dipadukan dengan konteks budaya munculnya tarian tersebut. Konteks budaya

Topeng Cirebon tentu tidak dapat dikembalikan pada budaya Cirebon sendiri

yang sekarang. Untuk itu diperlukan penelusuran historis terhadapnya.

Siapakah Empu pencipta tarian ini?

Sampai kiamat pun kita tak akan mengetahuinya, lantaran masyarakat

Indonesia lama tidak akrab dengan budaya tulis. Meskipun budaya tulis

dikenal di Keraton-keraton Indonesia, tetapi tidak terdapat kebiasaan mencatat

pencipta-pencipta kesenian, kecuali dalam beberapa karya sastranya saja.

Di zaman mana?

Kalau pencipta tidak dikenal, sekurang-kurangnya di zaman mana

5

Topeng Cirebon ini telah ada? Kepastian tentang ini tidak ada. Namun ada

dugaan bahwa di zaman Raja Majapahit, Hayam Wuruk, tarian ini sudah

dikenal. Dalam Negarakertagama dan Pararaton dikisahkan raja ini menari

topeng (kedok) yang terbuat dari emas. Hayam Wuruk menarikan topeng emas

(atapel, anapuk) di lingkungan kaum perempuan istana Majapahit. Jadi Tari

topeng Cirebon ini semula hanya ditarikan para raja dengan penonton

perempuan (istri-istri raja, adik-adik perempuan raja, ipar-ipar perempuan raja,

ibu mertua raja, ibunda raja).

Dengan demikian dapat diduga bahwa Topeng Cirebon ini sudah

populer di zaman Majapahit antara tahun 1300 sampai 1400 tarikh Masehi.

Mencari dasar filosofi tarian ini harus dikembalikan pada sistem kepercayaan

Hindu-Budha-Jawa zaman Majapahit. Tetapi mengapa sampai di Keraton

Cirebon? Setelah jatuhnya kerajaan Majapahit (1525), tarian ini rupanya

dihidupkan oleh Sultan-sultan Demak yang mungkin mengagumi tarian ini

atau memang dibutuhkan dalam kerangka konsep kekuasaan yang tetap

spiritual. Dalam babad dikisahkan bahwa Raden Patah menari Klana di kaki

Gunung Lawu di hadapan Raja Majapahit, Brawijaya. Ini justru membuktikan

bahwa Topeng Cirebon erat hubungannya dengan konsep kekuasaan Jawa.

Bahwa hanya Raja yang berkuasa dapat menarikan topeng ini, ditunjukkan

oleh babad, yang berarti kekuasaan atas Jawa telah beralih kepada Raden

Patah, dan Raja Majapahit hanya sebagai penonton.

Dari Demak tarian ini terbawa bersama penyebaran pengaruh politik

Demak. Demak yang pesisir ini memperluas pengaruh kekuasaan dan

Islamisasinya di seluruh daerah pesisir Jawa, yang ke arah barat sampai di

Keraton Cirebon dan Keraton Banten. Inilah sebabnya berita-berita Belanda

menyebutkan keberadaan tarian in di Istana Banten. Banten dan Cirebon,

sedikit banyak membawa kebudayaan Jawa-Demak, terbukti dari penggunaan

bahasa Jawa lamanya. Sedangkan Demak sendiri dilanjutkan oleh Pajang yang

berada di pedalaman, kemudian digantikan oleh Mataram yang juga di

pedalaman.

Topeng Majapahit ini, dengan demikian, hanya hidup di daerah pesisir

Jawa Barat, sedangkan di Jawa pedalaman topeng tidak hidup kecuali bentuk

6

dramatik lakon Panjinya. Kalau topeng tetap hidup dalam fungsi ritualnya,

tentunya juga berkembang di kerajaan-kerajaan Islam Jawa pedalaman.

Rupanya topeng dipelihara di Jawa Barat karena pesona seninya. Topeng

sangat puitik dan kurang mengacu pada mitologi Panji yang hinduistik.

Topeng lebih dilihat sebagai simbol yang mengacu pada realitas transenden.

Inilah sebabnya sultan-sultan di Jawa Barat yang kuat Islamnya masih

memelihara kesenian ini.

Topeng Cirebon adalah simbol penciptaan semesta yang berdasarkan

sistem kepercayaan Indonesia purba dan Hindu-Budha-Majapahit. Paham

kepercayaan asli, di mana pun di Indonesia, dalam hal penciptaan, adalah

emanasi. Paham emanasi ini diperkaya dengan kepercayaan Hindu dan Budha.

Paham emanasi tidak membedakan Pencipta dan ciptaan, karena ciptaan

adalah bagian atau pancaran dari Sang Hyang Tunggal.

Siapakah Sang Hyang Tunggal itu?

Dia adalah ketidak-berbedaan. Dalam diriNya adalah ketunggalan

mutlak. Sedangkan semesta ini adalah keberbedaan. Semesta itu suatu aneka,

keberagaman. Dan keanekan itu terdiri dari pasangan sifat-sifat yang saling

bertentangan tetapi saling melengkapi. Pemahaman ini umum di seluruh

Indonesia purba, bahkan di Asia Tenggara dan Pasifik. Dan filsuf-filsuf Yunani

pra-Sokrates, filsuf-filsuf alam, juga mengenal pemahaman ini. Boleh

dikatakan, pandangan bahwa segala sesuatu ini terdiri dari pasangan kembar

yang saling bertentangan tetapi merupakan pasangan, adalah universal

manusia purba.

Sang Hyang Tunggal Indonesia purba ini mengandung semua sifat

ciptaan. Karena semua sifat yang dikenal manusia itu saling bertentangan,

maka dalam diri Sang Hyang Tunggal semua pasangan oposisi kembar tadi

hadir dalam keseimbangan yang sempurna. Sifat-sifat positif melebur jadi satu

dengan sifat-sifat negatif. Akibatnya semua sifat-sifat yang dikenal manusia

berada secara seimbang dalam diriNya sehingga Sifat itu tidak dikenal

manusia alias Kosong mutlak. Paradoksnya justru Kosong itu Kepenuhan

sejati karena Dia mengandung semua sifat yang ada. Kosong itu Penuh, Penuh

itu Kosong, itulah Sang Hyang Tunggal itu. Di dalamNya tiak ada perbedaan,

7

tunggal mutlak. Di Cina purba, Sang Hyang Tunggal ini disebut Tao.

Topeng Cirebon menyimbolkan bagaimana asal mula Sang Hyang

Tunggal ini memecahkan diriNya dalam pasangan-pasangan kembar saling

bertentangan itu, seperti terang dan gelap, lelaki dan perempuan, daratan dan

laut. Dalam tarian ini digambarkan lewat tari Panji, yakni tarian yang pertama.

Tarian Panji ini merupakan masterpiece rangkaian lima tarian topeng Cirebon.

Tarian Panji justru merupakan klimaks pertunjukan. Itulah peristiwa

transformasi Sang Hyang Tunggal menjadi semesta. Dari yang tunggal belah

menjadi yang aneka dalam pasangan-pasangan.

Inilah sebabnya kedok Panji tak dapat kita kenali secara pasti apakah

itu perwujudan lelaki atau perempuan. Apakah gerak-geriknya lelaki atau

perempuan. Kedoknya sama sekali putih bersih tanpa hiasan, itulah Kosong.

Gerak-gerak tariannya amat minim, namun iringan gamelannya gemuruh.

Itulah wujud paradoks antara gerak dan diam. Tarian Panji sepenuhnya sebuah

paradoks. Inilah kegeniusan para empu purba itu, bagaimana menghadirkan

Hyang Tunggal dalam transformasinya menjadi aneka, dari ketidakberbedaan

menjadi perbedaan-perbedaan. Itulah puncak topeng Cirebon, yang lain

hanyalah terjemahan dari proses pembedaan itu.

Empat tarian sisanya adalah perwujudan emanasi dari Hyang Tunggal

tadi. Sang Hyang Tunggal membagi diriNya ke dalam dua pasangan yang

saling bertentangan, yakni “Pamindo-Rumyang”, dan “Patih-Klana”. Inilah

sebabnya kedok “Pamindo-Rumyang” berwarna cerah, sedangkan “Patih-

Klana” berwarna gelap (merah tua).

Gerak tari “Pamindo-Rumyang” halus keperempuan-perempuanan,

sedangkan Patih-Klana gagah kelaki-lakian. Pamindo-Rumyang

menggambarkan pihak “dalam” (istri dan adik ipar Panji) dan Patih-Klana

menggambarkan pihak “luar”. Terang dapat berarti siang, gelap dapat berarti

malam. Matahari dan bulan. Tetapi harus diingat bahwa semuanya itu adalah

Panji sendiri, yang membelah dirinya menjadi dua pasangan saling

bertentangan sifat-sifatnya. Inilah sebabnya keempat tarian setelah Panji

mengandung unsur-unsur tarian Panji. Untuk hal ini orang-orang tari tentu

lebih fasih menjelaskannya.

8

Topeng Panji menyimbolkan peristiwa besar universal, yakni

terciptanya alam semesta beserta manusia ini pada awal mulanya. Topeng

Panjing atau topeng Cirebon ini mengulangi peristiwa primordial umat

manusia, bagaimana “penciptaan” terjadi. Tidak mengherankan kalau di

zaman dahulu hanya ditarikan oleh para raja. Raja mewakili kehadiran Sang

Hyang Tunggal itu sendiri, karena dalam paham kekuasaan Jawa, Raja adalah

Dewa itu sendiri, yang dikenal dengan paham dewa-Raja.

Topeng Cirebon adalah gambaran sangat puitik tentang hadirnya alam

semesta serta umat manusia. Sang Hyang Tunggal yang merupakan

ketunggalan mutlak tanpa pembedaan, berubah menjadi keanekaan relatif

yang sangat berbeda-beda sifatnya. Tari Panji adalah tarian Sang Hyang

Tunggal itu sendiri, dan tarian-tarian lainnya yang empat adalah perwujudan

dari emanasi diriNya menjadi pasangan-pasangan sifat yang saling

bertentangan.

Topeng Cirebon adalah tarian ritual yang amat sakral. Tarian ini sama

sekali bukan tontonan hiburan. Itulah sebabnya dalam kitab-kitab lama

disebutkan, bahwa raja menarikan Panji dalam ruang terbatas yang disaksikan

saudara-saudara perempuannya. Untuk menarikan topeng ini diperlukan laku

puasa, pantang, semedi, yang sampai sekarang ini masih dipatuhi oleh para

dalang topeng di daerah Cirebon.

Tarian juga harus didahului oleh persediaan sajian. Dan sajian itu

bukan persembahan makanan untuk Sang Hyang Tunggal. Sajian adalah

lambang-lambang dualisme dan pengesaan. Inilah sebabnya dalam sajian

sering dijumpai bedak, sisir, cermin yang merupakan lambang perempuan,

didampingi oleh cerutu atau rokok sebagai lambang lelaki. Bubur merah

lambang dunia manusia, bubur putih lambang Dunia Atas. Cowek batu yang

kasar sebagai lambang lelaki, dan uleg dari kayu yang halus sebagai lambang

perempuan. Pisang lambang lelaki, buah jambu lambang perempuan. Air kopi

lambang Dunia Bawah, air putih lambang Dunia Atas, air teh lambang Dunia

Tengah. Sesajian adalah lambang keanekaan yang ditunggalkan.

9

4. Tari Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia

Perayaan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, setiap tanggal

17 Agustus, kadang memacu perorangan, instansi pemerintah atau pihak

swasta, dan sebagainya, dengan menampilkan berbagai atraksi atau pameran,

untuk ikut memeriahkannya. Maka tidak aneh pula, agar partisipasi perayaan

dianggap meriah dan memikat, ditampilkan sesuatu yang dianggap ganjil.

Sesuatu yang dianggap baru dan benar-benar menarik perhatian.

Itu dilakukan pula oleh Kepala Desa Selangit, Kecamatan Klangenan,

Kabupaten Cirebon. Untuk memeriahkan dirgahayu Republik ini, di desanya

ditampilkan kesenian khas dari daerah itu, yakni Tari Topeng. Tidak

tanggung-tanggung, salah satu penarinya pun seorang wanita bule. Agar

diketahui dan dipuji penduduk desa lain, kepala desa memerintahkan anak

buahnya menyiarkan ke desa-desa sekitar, menggunakan pengeras suara.

Ketika pertunjukkan berlangsung, penduduk Desa Selangit dan desa-

desa sekitarnya, terheran-heran melihat seorang wanita asing di daerah

mereka. Lebih membuat heran lagi, wanita asal Amerika Serikat itu, mahir

menarikan tari topeng babak demi babak.

Peristiwa yang terjadi 1972 itu, menunjukkan betapa tarian salah satu

kekayaan budaya Indonesia ini, sebenarnya telah menggugah rasa ingin tahu

bangsa-bangsa lain. Sejak tahun itu, ke Desa Selangit sering berdatangan

calon penari atau penari betulan dari luar negeri, terutama Amerika Serikat.

Mereka datang baik sekadar menambah pengetahuan, atau berguru dan

berlatih langsung di desa itu. Selesai mempelajarinya, pengetahuan luar dalam

tarian tersebut, dibawa jauh ke negara asal. Entah untuk dikembangkan

ataupun lebih diperdalam lagi. Atau mungkin juga diciptakan kreasi baru,

dengan segala improvisasi baru pula.

Penduduk Selangit, kini tidak lagi heran, jika kampung mereka

didatangi pria atau wanita kulit putih. Karena telah berkali-kali desa yang

terletak di pedalaman Kecamatan Klangenan, Kabupaten Cirebon, didatangi

"wong welanda-wong welanda" itu. Desa Selangit memang salah satu pusat

kesenian tradisional tersebut. Hingga tidak aneh, apabila menarik para

pemerhati Tari Topeng.

10

Desa ini memang dianggap sebagai tempat cikal bakal, pembawa

tarian tunggal tersebut ke daerah Cirebon. Diperkirakan, sejak jaman para wali

mengembangkan ajaran agama Islam dulu. Keturunannya masih ada di

Selangit, dan hingga kini tetap menekuni warisan budaya leluhur ini.

Keturunan yang masih setia membawakan dan menekuni tari topeng

adalah sanak keluarga almarhum Ardja, yang tetap tinggal di desa itu. Tiga

orang anak kandungnya, sampai kini masih tetap setia menggeluti, yakni

Sudjaya, Sudjana, dan Keni. Bahkan keahlian menari topeng, telah diwarisi

sebagian dari anak-anak mereka.

Keahlian membawakan tari topeng, telah membuat salah seorang

diantara tiga kakak beradik teresbut, yakni Sudjana Ardja (55), mengunjungi

Manca negara. Sebagai salah seorang duta budaya Indonesia ke negara Paman

Sam, terakhir kali Sudjana berangkat 23 Februari 1991 lalu. Dia

memperlihatkan keahlian yang dimiliki, di 11 kota yang dikunjungi, bersama

adiknya Keni dan rombongan penabuh gamelannya.

Ketika ditemui Kompas bulan puasa lalu, Sudjana Ardja sedang

termenung di kursi ruang tamu rumahnya. Alunan gamelan, terdengar dari

tape recorder di atas lemari kayu di bagian sudut ruang tamu rumahnya,yang

berukuran sekitar tiga kali empat meter. "Saya baru saja mengajarkan salah

satu babak tari topeng, kepada salah satu anak saya yang masih duduk di kelas

enam SD," ujar ayah 7 anak, 6 cucu, dari 4 istri tersebut.

Melatih anak sendiri agar mengerti dan menguasai tari topeng, rupanya

dianggap salah satu jalan yang dilakukan Pak Djana demikian panggilan

akrabnya supaya kesenian khas itu tidak hilang dan terus dilestarikan. Karena

seperti penuturan dirinya, "Tari Topeng Cirebon, merupakan salah satu dari

sekian banyak jenis tari yang mempunyai kekhasan tersendiri. Tari Topeng

Cirebon terdiri dari lima babak, yang berkaitan satu sama lain, dan

melambangkan berbagai karakter manusia."

Menurut Djana, lima babak dalam tarian ini terdiri atas, Tari

Panji, Samba, Rumyang, Patih/Tumenggung, dan Kelana. Jenis-jenis tarian ini

secara filsafati menggambarkan kehidupan manusia. Tari Panji melambangkan

penggambaran manusia yang dianggap suci, dan seorang pemimpin yang adil,

11

arif bijaksana dan menjalankan perbuatan baik (amar maruf nahi munkar).

Tari Samba menggambarkan gemerlapnya keduniawian seperti harta

kekayaan. Tari Rumyang, melambangkan ketakwaan kepada Tuhan Yang

Maha Esa. Tari Patih merupakan gambaran dari sikap kedisiplinan prajurit dan

kepahlawanan yang gagah berani. Tari Kelana, menggambarkan watak

manusia serakah, angkara murka, namun juga seorang pemimpin dengan

memiliki keduniawian sangat tangguh.

Waktu yang diperlukan untuk keseluruhan tarian ini, sekitar lima jam.

Dan agar tarian lebih hidup serta penarinya dapat menyatu, diperlukan

bermacam sesajian. Namun kadangkala, pementasan seluruh babak yang

komplit dengan semua lakon tarian, terbentur masalah waktu. Hal itu

dirasakannya, ketika dia menjadi duta kesenian di Amerika Serikat tempo hari.

Karena sempitnya waktu, lima babak tarian itu dibawakannya dalam

waktu yang dipadatkan, sekitar satu jam. Kesulitan lain membawakan tarian

ini, murni lima babak dengan komplit, dialami saat bersama kelompoknya

mengisi pementasan di tempat-tempat hajatan orang yang menggunakan

kelompoknya. Atau pada saat mengisi acara-acara resmi, baik di keraton-

keraton di Cirebon ataupun di instansi-instansi pemerintah.

Hanya sekadar untuk menarik perhatian, dan agar "tetap laku", Tarian

babak-demi babak ini, diselingi dagelan dengan bodoran Pertunjukan ini pun

dilakukan kelompok-kelompok kesenian yang sama lainnya. Alasannya sama,

agar "tetap laku" dan ditonton. Ada semacam "rasa gundah" dan "rasa

menggugat", dalam diri laki-laki berusia cukup lanjut ini. Perasaan yang

timbul tentang kelestarian kesenian tradisional khas Cirebon tersebut. Banyak

faktor memang, namun yang paling dirasakannya adalah perhatian dari yang

berkompeten, yang dirasakan masih kurang.

Salah satu di antaranya, ketiadaan sanggar seni yang cukup

representatif dalam upaya pembinaan. Khusus di tempat asalnya, selama ini

hany menggunakan sanggar darurat di teras rumahnya. Tidak terlalu luas,

hanya sekitar dua kali tiga meter, dengan penutup krei bambu di salah satu

sisinya. " Selain itu kami pun membutuhkan seperangkat gamelan. Lho

12

gimana mau lestari kesenian ini, jika penunjangnya tidak memadai, "ujarnya

balik bertanya.

Meski dengan peralatan dan tempat berlatih seadanya, namun karena

dorongan darah seni yang begitu lekat menyatu dalam dirinya, Sudjana Ardja

tetap tekun dan berupaya mendidik tunas-tunas muda penerusnya kelak. Jiwa

seni yang membuatnya tetap bertahan. Dan salah satu upayanya, mendidik

salah seorang anaknya yang berusia 12 tahun itu.

Sudjana sendiri, mulai menekuni kesenian ini sejak dia masih

seusia anaknya tersebut. Dia memulainya dengan ikut rombongan tari topeng

milik orang tuanya bersama salah seorang kakak dan adiknya, Sudjaya dan

Keni, yang keluar masuk kampung, memenuhi permintaan orang-orang yang

sedang punya hajat, baik khitanan atau pernikahan.

Kedua saudaranya itu, sampai saat ini masih pula aktif memenuhi

panggilan tarian topeng. Dunia panggung tradisional tersebut, terus digeluti

Djana sampai sekarang. Tentu dengan pasang surutnya dunia pentas tarian

tradisional itu pula. Dunia yang juga membawa perjalanan laki-laki berambut

ikal, dengan sebagian gigi hitam kena asap rokok ini, berkenalan dengan

sekian banyak wanita. Empat orang di antaranya, dijadikannya istri. "Saya

rasa itu cukup. Istri saya terakhir yang hidup serumah sekarang, akan saya

jadikan pelabuhan terakhir rumah tangga saya," tuturnya.

Tari Topeng sampai saat ini masih hidup dalam dunia seni

masyarakat Cirebon, dalam bentuk kelompok-kelompok kesenian yang

tumbuh di kampung-kampung. Terbanyak tetap di Desa Selangit, yang

dianggap sebagai tempat cikal bakal kesenian itu lahir.

Selebihnya kesenian ini menyebar pula ke Desa Gegesik, Kecamatan

Arjawinangun, Kabupaten Cirebon, yang dianggap masih punya pertalian erat

leluhur dengan Selangit. Dapat disebut pula kelompok-kelompok kesenian itu

di Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka, Palimanan dan

Jamblang, Kabupaten Cirebon. Dan ada satu lagi di Losari, Kabupaten

Cirebon. Namun di tempat terakhir ini, tidak dikenal pementasan dalam babak

demi babak, tetapi dalam bentuk cerita. Selain itu menurun Sudjana Ardja,

Tari Topeng masih dilestarikan lewat latihan di beberapa sanggar seni di kota

13

Cirebon. Tidak ketinggalan pula, Tari Topeng diajarkan di ASTI (Akademi

Seni Tari Bandung). Djana pun merupakan salah satu dosen panggil di

akademi itu.

Meski diakuinya, kini hanya sebagai salah seorang penguji, yang

hanya datang sekali waktu bila diperlukan. Seperti halnya ketika dia hanya

diperlukan, sebagai salah seorang yang dianggap mampu memperagakan serta

menunjukkan bahwa Tari Topeng masih ada dan tetap hidup. Menunjukkan

bahwa tarian itu adalah salah satu peninggalan kesenian tradisional di negara

ini, yang perlu dilestarikan.

5. Maestro Tari Topeng Cirebon

Setiap kali ada seseorang yang hingga akhir hayatnya tetap kukuh

memilih dunianya menjadi bagian dari "ritus kehidupan", setiap kali ada

seseorang yang selama hayatnya meletakkan hampir seluruh kreativitasnya

menjadi representasi dari segenap "totalitas kehidupan", setiap kali pula

seseorang itu, tanpa pamrih, dengan tulus mengajarkan serta merelakan

dirinya hanya untuk kesenian dan berdiri sebagai seniman yang dengan karya-

karyanya sebuah bangsa, di antara sekian karya yang lain, ditahbiskan

berbudaya dan memiliki spirit peradaban. Adakah kita bisa meletakkan

kembali penghormatan dengan secercah ketulusan yang sama?

Saya kira, kita --siapa pun kita pada konteks maknanya yang diperluas

dalam posisi sebagai pejabat negara, politisi, pengusaha atau apa pun--

kesulitan untuk menjawab esensi pertanyaan tadi dengan baik. Bahkan ada

berbagai pertanyaan serupa yang sama sekali kita tidak bisa memberi jawaban

tepat. Seperti halnya pertanyaan berikut, apakah peran seniman memang

senantiasa berada di luar hiruk-pikuk kebijakan negara? Apakah karya-karya

seni tidak menjadi bagian signifikan dalam subsistem wacana kebudayaan

suatu pemerintahan?

Seniman, terlebih pada mereka yang memilih genre seni tradisi

lengkap dengan membawa khazanah lokal yang menjadi bagian substantif di

dalamnya, tampak mengalami dilema di sana-sini dalam menghadapi

perubahan zaman. Sejumlah seni tradisi yang merupakan "ikon" dan "akar"

14

dalam konstruk budaya tradisional masyarakat, kita tahu, berada pada posisi

marginal dan feriferal. Dan, ironisnya, justru seni-seni tradisi yang semula

menjadi simbol dalam penyeimbang (equilibrium) seni-seni yang dinilai

sebagai sentral (adiluhung).

Kematian yang Sunyi

Sujana Arja, atau akrab dipanggil Mang Jana, adalah maestro penari

topeng yang Senin (10/4/2006) baru saja wafat dengan usia di atas 70 tahun.

Suatu kematian yang sunyi yang menyisakan jejak panjang silsilah dari salah

satu dinamika, stilistika, maupun estetika tari topeng Cirebon: bagaimana tari

topeng "gaya Slangit" membentuk dirinya dan mempertahankan eksistensinya

sekaligus. Bahkan dengan keteguhan seperti itu, ia tidak peduli apakah

negaranya memberi perhatian terhadap salah satu warisan seni tradisi

bangsanya atau tidak; apakah pemerintah daerahnya memahami atau tidak,

bagaimana seharusnya menyusun grand strategy apa yang diklaim para

birokrat sebagai "pelestarian" seni tradisi.

Sujana dengan kehidupan yang sangat sederhana mampu bertahan

untuk tidak bergeser sedikit pun dari pengabdian hampir seluruh gerak dirinya

pada khazanah seni tradisi tari topeng yang diwariskan keluarga besar maestro

penari topeng Arja. Sejak 1973, Sujana berlatih, mengajarkan lima wanda tari

topeng dan menempati sanggar tari Panji Asmara yang berada di pengujung

utara desa Slangit yang kiri-kanannya masih berupa semak perdu, rumpun

bambu, jalan setapak, dan hamparan sawah. Kecuali menari, ia tidak pernah

memilih profesi selainnya, apalagi sekadar untuk menyelesaikan yang primer

dan sekunder dalam kehidupannya selama ini.

Sujana telah melanjutkan proses regenerasi dan genealogi dari cikal-

bakal tari topeng Cirebon. Bersama dengan beberapa tokoh tari topeng

segenerasinya seperti, Sawitri (gaya Losari), Tarwi (Kreo), Sudji dan Dasih

(gaya Palimanan) mengukuhkan tari topeng Cirebon dengan gaya masing-

masing. Sehingga meninggalnya almarhum Sujana, menandai berakhirnya

generasi kedua tari topeng Cirebon yang kini, mau tidak mau, diteruskan

anak-cucu mereka. Tradisi tari topeng --seperti seni-seni tradisi lain, mungkin

agak mirip dengan perguruan shaolin yang memiliki keniscayaan untuk

15

melahirkan sejenis "pendekar" sebagai generasi penerus yang eksploratif,

andal, kukuh, teguh dalam menerima seluruh estafet dari dalam pepakem seni

tradisi tersebut.

Setidaknya, jika generasi tari topeng Slangit pasca-Sujana tidak segera

menata berbagai instrumen dalam perjalanannya ke depan akan menghadapi

tantangan budaya global yang mereduksi pandangan publiknya sedemian rupa.

Dikhawatirkan tari topeng Cirebon yang tumbuh dengan latar serta beragam

gaya yang bertolak dari eksplorasi maupun improvisasi tokohnya akan

kehilangan generasi (lost generation). Sehingga beberapa gaya tari topeng

Cirebon yang pernah tumbuh pada beberapa daerah dengan beragam gaya,

sebut saja Kalianyar, Gegesik, Palimanan, Babakan, Kreo, dan Gujeg, tampak

"ditinggalkan" generasi penerusnya.

Tari topeng "gaya Slangit" --diambil dari muasal nama desa tempat

proses kreatif keluarga besar maestro tari topeng Arja (ayahanda dan

pendahulu Sujana) sebagai Generasi Pertama-- menjadi tonggak penting bagi

sembilan anak-anaknya; Sutija, Suwarti, Suparta, Sujaya, Sujana, Rohmani,

Roisi, Durman, dan Keni, yang semuanya berhasil menjadi penari topeng.

Meski dari ke sembilan anaknya, Sujana yang kelak tampil dan dikenal publik

luas sebagai seorang maestro.

Sujana memulai proses kreatifnya untuk menjadi maestro sejak berusia

10 tahun yang mengikuti bebarang (ngamen) bersama ayahnya. Kemudian

atas prakarsa Pangeran Patih Ardja dari Kesultanan Kanoman, sekitar tahun

1940-an, keduanya tampil dalam berbagai perhelatan ritual tradisi di

lingkungan keraton. Pada usia 17, Sujana dilepaskan secara mandiri untuk

menerima tanggapan (order hajatan) dan melakukan bebarang hingga ke luar

daerah (Indramayu, Majalengka Sumedang, Bandung, Garut, Cianjur, Banten)

sebagai bagian dari proses manunggaling lelaku (menyatukan jiwa-raga

dengan filosofi tari topeng dalam konteks kehidupan) --yang tidak dapat

ditempuh melalui intellectual exercises dari wilayah dan norma-norma

akademis.

Karena itu, kita yang pernah menyaksikan pementasan Sujana, Sawitri,

Sudji, Dasih atau Mimi Rasinah maestro penari topeng dari Pakandangan

16

Indramayu akan tampak kekuatan tarian yang melampaui fase-fase "batas

nalar" dari kelincahan gerak penari yang memasuki usia uzur. Energitas dan

kreativitas menyatu dengan spiritualitas ruh penciptaan. Begitu juga totalitas

dan sinergitas menemukan ruang batin: di mana ekstase menyusun maknanya

yang transenden dan tidak lagi samar-samar tersembunyi.

Hampir para maestro yang membuka ruang batinnya untuk selalu

berada pada kosmos pergulatan kreatif akan memperlihatkan puncak dimensi

penciptaan ruhani yang dahsyat dan menakjubkan. Dan, Mang Jana dalam

sebuah percakapan kecil dengan penulis, menolak persepsi yang semata

mengacu pada asumsi akademis yang menilai pencapaian transenden dapat

dimanipulasi melalui pemahaman sains, tanpa memasuki proses logosentrisme

yang menjadikan seniman berada dalam fase pemahaman empirik-kognitif

(ngangsu kaweruh).

Dalam perspektif inilah, Sujana hendak menegaskan bahwa proses

kreatif yang hanya kukuh sebatas asumsi-asumsi akademis, berakhir dalam

pemahaman formalnya sendiri: tari topeng akan lebih tampak sebagai pola-

pola gerakan ritmis yang penuh citraan (images) gerak tubuh dalam filosofi

makna dan tata aturan bunyi gamelan. Namun kehilangan ruh pencitraannya

sendiri, yang menyebabkan gerakan-gerakan tarian tampak ringan dan

mekanik. Melalui proses panjang manunggaling lelaku dan ngangsu kaweruh,

seorang penari topeng akan menemukan titik pencitraan berbagai dimensi

penciptaan yang bersenyawa dengan totalitas jiwa-raga.

Pribadi yang Tulus

Dalam kurun waktu cukup panjang dan berliku, Sujana Arja, empu tari

topeng Slangit itu, telah menyiratkan dirinya menjadi pribadi yang tulus. Ia

bukan saja berdiri sebagai seorang maestro, melainkan juga guru untuk

banyak muridnya (dalam dan luar negeri) yang sungguh-sungguh telah

mengabdikan serta mengabadikan kehidupannya pada seni tradisi. Meski, ia

tahu, dengan sikap penuh-seluruh, terlebih lagi ia sadari tanpa jaminan hari tua

dari mana pun termasuk pemerintah seorang seniman justru akan terus berada

dalam suasana "mencipta".

Saya masih teringat, ketika tahun 2000 Sujana Arja terpilih sebagai

17

seniman pertama yang menerima Anugerah Seni DKC-Award. Terlihat

sepasang matanya yang mulai tampak renta, berkaca-kaca. Dan yang

menakjubkan, seusai menerima trofi perunggu berwarna kuning keemasan

berlogo kepala paksinagaliman, tiba-tiba sang maestro menari topeng

rumyang secara trance dengan tangan kirinya memegang trofi perunggu

seberat 2,5 kg, berputar-putar seolah hendak menyatakan dirinya ke arah

kerumunan penonton.

Malam itu, kami seperti menyaksikan sebuah momen pertunjukkan

dengan kecanggihan gerakan tubuh memainkan kilasan improvisasi yang

menghadirkan perpaduan dua sisi ekspresi yang menghantarkan unsur-unsur

modernitas dalam teater dan seni tradisi yang patuh pada pepakem.

Sebagaimana tarian rumyang yang melambangkan filosofi kehidupan manusia

dengan paradoks dua karakter yang berseberangan: antara ganjen dan gagah,

antara samba dan tumenggung yang dimainkan secara sempurna.

Setelah pertunjukan tari topeng usai, Sujana, dengan sikap seorang

maestro, berjalan terbungkuk-bungkuk penuh kesantunan melewati

kerumunan penonton yang masih menyisakan riuh kekaguman. Gerak

tubuhnya yang gagah di panggung, seketika berubah menjadi sangat perlahan.

Ia tetap seorang kakek yang rendah-hati. Dari raut wajahnya yang tulus itulah,

kami belajar memahami keteladanan sikap seorang maestro yang teguh dan

kukuh hingga akhir hayatnya.

Beberapa hari kemudian, kami bersilaturahim ke rumahnya mungkin

lebih tepat ke sanggarnya: Sanggar Panji Asmara di desa Slangit Sujana

sedang duduk termenung di kursi kayu dengan latar belakang gamelan yang

mulai kusam, berbagai piagam penghargaan tanpa figura yang sengaja

ditempel begitu saja di dinding, di antara bangunan sanggar yang masih belum

sepenuhnya selesai tertata.

Dari situlah, kami tahu, Sujana terus gelisah dengan masa depan tari

topeng Cirebon, juga seni tradisi lain, kini memasuki lorong panjang seni-

budaya global yang bergemuruh dan mencengangkan. Maestro itu, dengan

suara lirih bergumam, "Kulae nggereges ningali keadaan seniki. Pripun

mengkine nasib seni tradisi kados tari topeng Slangit kuh?" (Saya sangat

18

sedih melihat kondisi sekarang. Bagaimana nanti nasib seni tradisi seperti tari

topeng itu?).

Selamat jalan Mang Jana, selamat jalan maestro. Percayalah, salah

seorang anakmu yang juga murid setiamu, Inu Kertapati bagaimanapun

merupakan salah seorang penari topeng muda Cirebon yang sangat

diperhitungkan-- ia, seperti juga ayahnya, akan kukuh meneruskan silsilah

keluarga besarmu sebagai penari topeng dan meneguhkan dirinya menjadi

Generasi Ketiga keluarga maestro Arja.

6. Tari Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan

Menurut Sujana, tradisi yang ada pada tari topeng sudah tidak sama

dengan waktu ketika ia menari dulu. Selain banyak orang yang hanya asal bisa

menarikan dan tuntutan masyarakat agar tari topeng diubah atau dimodifikasi,

ternyata ada banyak tata cara dan tradisi yang harus dihilangkan mengikuti

arahan pemerintah. Ada tiga hal yang harus diubah oleh Sujana beserta

kelompok tarinya, yaitu ketentuan tidak boleh ngamen dari rumah ke rumah

atau lazim dikenal dengan istilah bebarang, tidak boleh pakai kaus kaki ketika

menari, dan harus mengganti baju berwarna hitam dengan baju yang lebih

meriah. Menyebarkan agama

Pada awalnya, tari topeng digunakan untuk menyebarkan agama

dengan datang ke rumah seseorang dengan mengharapkan pemilik rumah bisa

membawakan doa syahadat. Namun dalam perkembangannya, pembacaan

syahadat memang tidak dikembangkan lagi, tapi diganti dengan bebarang

ketika musim panen padi tiba. Bila musim panen tiba,Sujana dan kelompok

tarinya datang dari rumah ke rumah untuk mengamen. Ketika itu, mereka

dibayar dengan padi sistem bakdeng, satu bedeng atau sekitar 30 kilogram

padi untuk satu babak.

Selain itu, pemakaian kaus kaki putih juga dilarang. Pasalnya,

pemerintah menganggap kaus kaki putih adalah simbol orang-orang penganut

komunis. Padahal, kaus kaki putih tersebut merupakan simbol kesucian

seseorang, lebih dari sekadar aksesoris. Seorang dalang yang akan menari

harus suci hati dan pikirannya. Dalam hal ini disimbolkan dengan kaus kaki

19

berwarna putih. Sedangkan aturan baru lainnya adalah perihal baju yang harus

dibuat lebih berwarna, tidak polosan dengan warna hitam.

Padahal awalnya, warna polos itu menyimbolkan kesederhanaan bagi

dalangnya agar nantinya para penonton tari tersebut dapat meniru cara hidup

sederhana. "Saya waktu itu sampai sekarang ikut saja. Padahal, saya tahu

kalau diubah, pastinya ada pesan tertentu yang akan hilang. Tapi mau

bagaimana lagi namanya juga orang takut," ujar Sujana Arja.

Akan tetapi, gagasan perubahan yang digulirkan tidak sejalan dengan

nasib tari topeng Cirebon. Akhir-akhir ini, sajian tari topeng Sujana beserta

kelompok tari Panji Dharma mulai ditinggalkan masyarakat. "Terakhir kali

menerima order bayaran Rp 30 juta. Tapi sekarang uangnya sudah habis

karena harus dibagi rata dengan personel lainnya yang jumlahnya sekitar 30

orang. Kalau sudah begitu, saya terpaksa utang tetangga karena sudah tidak

ada yang tersisa dari saya untuk membiayai hidup sehari-hari," katanya. Harus

bersaing Menurut Inu Kertapati-dalang tari topeng lainnya-berbeda dengan

dulu, setiap hari selalu saja ada orang yang memintanya untuk menarikan tari

topeng. Baik khitanan, pernikahan, maupun selamatan rumah, biasanya tari

topeng selalu hadir dan diminati masyarakat.

"Kami sangat sadar kalau sekarang kami harus bersaing dengan

kesenian yang kata orang lebih baru seperti modern dance atau organ tunggal.

Tapi apakah suatu kesalahan bila kami ingin tetap pertahankan tradisi turun-

temurun ini" ujar Inu, anak ketiga dari Sujana Arja. Selain itu, menurut Inu,

kepunahan tari topeng bisa saja lebih cepat terjadi. Pasalnya, selama ini tari

topeng Cirebon hanya ditampilkan pada waktu tertentu. Akibatnya minat dan

pengetahuan masyarakat terhadap tari topeng semakin berkurang.

Tari topeng biasanya hanya muncul saat even kejuaraan dan acara yang

diselenggarakan pihak Keraton di Cirebon. Di luar itu, tari topeng masih sulit

ditemukan. Biaya yang mahal dan adanya kesenian lain yang lebih modern

membuat masyarakat mulai meninggalkan tari topeng Cirebon. Kesenian di

Jawa Barat setidaknya memiliki 35 rumpun seni, yang terdiri dari 391 jenis

kesenian. Dari jumlah itu, 100 jenis kesenian berkembang di masyarakat, 39 di

antaranya sangat berkembang. Kesenian yang sangat terkenal di Jabar adalah

20

Jaipongan. Kesenian ini berkembang, antara lain di Kota Bandung, Cimahi,

Tasikmalaya, Majalengka dan Bekasi.

Kesenian lain yang menjadi ciri khas Jabar adalah tembang sunda,

tayub, wayang golek, reog, calung, angklung/arumba, dan sintren. Di wilayah

Cirebon terkenal dengan kesenian topeng Cirebon, tarling, gembyung, dan

wayang kulit. Sementara untuk daerah Kuningan dan Indramayu jenis

kesenian seperti sandiwara, sintren, kuda lumping juga berkembang baik.

Sementara di Sukabumi, potensi seni yang ada antara, lain uyeg, cador,

kliningan, kecapi suling, calung, debus, dan ketuk tilu. Adapun kesenian yang

berkembang di Karawang dan Subang, antara lain bajidoran, dombret, dan

kesenian sisingaan. Jumlah seniman di Jabar sebanyak 49.023 orang dan

hingga kini masih aktif.

21

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Sebagai hasil kebudayaan, Tari Topeng mempunyai nilai hiburan yang

mengandung pesan–pesan terselubung, karena unsur – unsur yang terkandung

didalamnya mempunyai arti simbolik yang bila diterjemahkan sangat

menyentuh berbagai aspek kehidupan, sehingga juga mempunyai nilai

pendidikan. Variasinya dapat meliputi aspek kehidupan manusia seperti

kepribadian, kebijaksanaan, kepemimpinan, cinta bahkan angkara murka serta

menggambarkan perjalanan hidup manusia sejak dilahirkan hingga menginjak

dewasa.

Semoga kesenian ini tetap ada karena banyak hal yang bisa kita

dapatkan dan pelajari dari tarian ini. kata Sujana Arja, salah seorang maestro

tari topeng Cirebon dalam percakapan dengan Kompas belum lama ini. Hal

itulah yang tetap dicoba oleh tarian topeng Cirebonan sebagai bentuk khas

kesenian asli Cirebon. Hingga saat ini,n kesenian itu jatuh bangun

mempertahankan keasliannya.

Ironisnya, beberapa aliran atau gaya turunan tari topeng Cirebon

hampir punah, bahkan beberapa di antaranya sudah punah. Sebagian seniman

dari aliran tari topeng Cirebon ada yang mencoba mempertahankannya.

Sering kali mereka dianggap kuno. Bahkan, beberapa maestro yang masih

eksis, hidupnya pun jauh dari layaknya seorang maestro seni.

22

MAKNA YANG TERKANDUNGDALAM TARI TOPENG CIREBON

PROPOSAL

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah : Metode Penelitian Dosen : Drs. Nasehudin, M.Pd

Disusun oleh :

1. Mahfud Ansor 2. Irwan Gunawan 3. Riyanti 4. Maslikhah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CIREBON

2008

23

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa

melimpahkan rahmat, nikmat serta karunia-Nya. Selanjutnya shalawat dan salam

semoga terlimpahcurahkan pada Nabi Muhammad SAW yang telah memberi

contoh tauladan yang baik kepada umat manusia, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan makalah kelompok mata kuliah Metode Penelitian

yang berjudul “Makna-makna yang terkandung dalam Tari Topeng Cirebon”.

Selama pelaksanaan interview penyusun mendapatkan bimbingan serta

dukungan dari berbagai pihak sehingga alhamdulillah proses interview yang telah

dilaksanakan dan disusun dengan baik.

Oleh karena itu, sepatutnya penyusun sampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Nasehudin, M.Pd selaku Dosen Metode Penelitian

2. Ketua sanggar tari Puser Langit

Akhirnya penyusun pun menyadari bahwa penyusunan proposal ini masih

jauh dengan apa yang diharapkan, oleh karena itu kritik dan saran serta masukan

yang bersifat membangun optimisme penyusun dengan lapang dada akan kami

terima sebagai bahan perbaikan dalam tugas berikutnya.

Akhirnya penyusun berharap tugas ini dapat memberikan manfaat

khususnya bagi penyusun dan sedikit kontribusi bagi masyarakat dan bagi pecinta

budaya Tari Topeng di Cirebon.

Cirebon, 09 Juni 2008

Penyusun,

24i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1

A. Latar Belakang ............................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ....................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 3

A. Definisi Tari Topeng Cirebon ..................................................... 3

B. Sejarah Perkembangan Tari Topeng Cirebon ............................. 3

C. Filosofi Tari Topeng Cirebon ..................................................... 4

D. Tari Topeng Cirebon Gambaran Hidup Manusia ....................... 10

E. Maestro Tari Topeng Cirebon ..................................................... 14

F. Tari Topeng Cirebon Bertahan dari Kepunahan.......................... 19

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 22

Kesimpulan ....................................................................................... 22

25ii