33
BAB I PENDAHULUAN Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta biasa disebut juga lepra atau morbus Hansen 1 . Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik, yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi tipe I atau reaksi reversal atau reaksi upgrading yang disebabkan karena meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, dan reaksi tipe II atau reaksi erythema nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral dimana pada reaksi ini terbentuk kompleks imun. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta merupakan bakteri gram positif. Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa replikasi kuman memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 2-21 hari. Oleh 1

tatalaksana reaksi kusta

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hhjhjh

Citation preview

Page 1: tatalaksana reaksi kusta

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke

organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta biasa disebut juga lepra atau morbus

Hansen1.

Penderita kusta dapat mengalami reaksi kusta. Reaksi kusta ini adalah

interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat

kronik, yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi

antigen antibody (humoral response). Reaksi kusta dibagi menjadi dua yaitu reaksi

tipe I atau reaksi reversal atau reaksi upgrading yang disebabkan karena

meningkatnya kekebalan seluler secara cepat, dan reaksi tipe II atau reaksi erythema

nodosum leprosum (ENL) yang merupakan reaksi humoral dimana pada reaksi ini

terbentuk kompleks imun.

Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae berbentuk basil dengan ukuran

3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan alkohol, serta merupakan bakteri gram positif.

Sampai sekarang belum dapat dibiakkan dalam media artifisial. Masa replikasi kuman

memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 2-21

hari. Oleh karena itu masa tunas menjadi lama, yaitu rata-rata 3–5 tahun1.

Meskipun gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis maupun faktor

pencetus reaksi kusta sudah diketahui dengan jelas, namun penyebab pasti belum

diketahui. Kemungkinan reaksi ini menggambarkan episode hipersensitivitas akut

terhadap antigen basil yang menimbulkan gangguan keseimbangan imunitas yang

telah ada.

1

Page 2: tatalaksana reaksi kusta

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih belum diketahui.

Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput

lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang

sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15

tahun,dan adanyakontak yang lama danberulang-ulang.

Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %,

tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada

kelompok umur antara 25-35 tahun. Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia,

Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropik, serta masyarakat yang sosial

ekonominya rendah.1

Menurut data kusta nasional tahun 2000, sebanyak 5 % penderita kusta

mengalami reaksi kusta.Penderita tipe PB dapat mengalami reaksi kusta sebanyak 1

kali dan penderita tipe MB sebanyak 2 kali. Menurut Pieter A.M Schreuder (1998),

sebanyak 12 % penderita kusta mengalami reaksi tipe I selama masa pengobatan dan

1,6 % terjadi setelah penderita RFT. 30 Penelitian R. Bwire dan H.J.S Kawuma

(1993), menyatakan bahwa reaksi kusta dapat terjadi sebelum pengobatan adalah 14,8

%, selama pengobatan 80,5 % dan setelah pengobatan 4,7 %.31. Studi dari Scollard

D.M, et.al (1994), menyimpulkan bahwa frekuensi terjadinya reaksi tipe I adalah 32

% dan frekuensi reaksi tipe II 37 %. Frekuensi kejadian reaksi kusta menurut jenis

kelamin adalah pada wanita 47 % dan laki-laki 26 %.32 Kajian dari Van Brakel W.H

(1994), menyebutkan bahwa prevalensi reaksi reversal adalah 28 % dan ENL adalah

5,7 %.2

2

Page 3: tatalaksana reaksi kusta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Etiologi

Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai

afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,

kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.. Kusta biasa disebut

juga lepra atau morbus Hansen1.

B. Patofisiologi

Pada penderita kusta, Mycobacterium leprae dapat ditemukan di seluruh tubuh

seperti saraf, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Perubahan patologik dari saraf

biasanya merupakan respon dari ditemukannya Mycobacterium leprae dalam

kulit yang memunculkan reaksi imunologi pada penderita. Beberapa penderita

mengalami perluasan lesi dan rekuren yang berlanjut sampai berbulan-bulan

bahkan bertahun-tahun sehingga menjadi kronik. Kusta tipe lepromatosa

mempunyai dampak paling buruk, hal ini karena tidak adanya respon imun

seluler terhadap antigen Mycobacterium leprae.

M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terdapat pada sel

makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann

di jaringan saraf.  Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh

akan bereaksi mengeluarkan makrofag untuk memfagositnya. Pada kusta tipe

TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag

sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman di

fagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak

aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi

ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa

epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel

Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel Schwann

memiliki fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai

fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann,

kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf

3

Page 4: tatalaksana reaksi kusta

berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif. Sedangkan pada kusta

tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag tidak

mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan

bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan1.

Respon imun pada penyakit kusta meliputi respon imun humoral atau antibody

mediated immunity dan respon imun seluler atau cell mediated immunity

(CMI). Pada respon imun humoral, tubuh akan memproduksi antibodi untuk

menghancurkan antigen yang masuk. Dengan CMI, antigen akan memacu

produksi sel pertahanan spesifik yang dapat dimobilisasi untuk

menghancurkan antigen dan akan memicu terjadinya reaksi kusta. Meskipun

respon imun berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap bakteri atau antigen,

tetapi respon imun yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi kusta reversal

maupun ENL. Pada kusta tipe lepromatosa aktivasi limfosit Th2

mempengaruhi produksi IL-4 dan IL-10, yang akan menstimulasi respon imun

humoral dan intensitas produksi antibody limfosit B2.

Mekanisme imunopatologi ENL masih kurang jelas. ENL diduga merupakan

manifestasi pengendapan kompleks antigen antibodi pada pembuluh darah3.

Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya

dengan reaksi reversal yang hanya dapat terjadi pada tipe borderline (Li, BL,

BB, BT, Ti) sehingga dapat disebut reaksi borderline. Diperkirakan reaksi

pada ENL ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat basil lepra berada, yaitu pada

saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama1.

Secara ringkasnya fenomena ini berupa kompleks imun akibat reaksi antara

antigen M.leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun.

Komplemen akan bergabung dengan kompleks imun dan akhirnya akan

membentuk endapan kompleks imun dan menghasilkan polimorfonuklear

leukotaktik faktor.1 Itulah sebabnya penimbunan kompleks imun pada

pembuluh darah dan lesi merupakan karakteristik reaksi ENL5.

Terdapat juga penelitian yang mempelajari peranan tumor necrosis factor alfa

(TNF-α) pada patogenesiss ENL. Penderita LL yang menunjukkan reaksi ENL

setelah terapi MDT juga menunjukkan kadar TNF-α yang tinggi diduga akibat

sel mononuklear pada darah tepi penderita ENL yang dapat meningkatkan

jumlah TNF. TNF-α ini bisa menimbulkan kerusakan langsung pada sel dan

4

Page 5: tatalaksana reaksi kusta

jaringan, mengaktifkan makrofag, memacu makrofag memproduksi IL-1 dan

IL-6 dan memacu sel hepar menghasilkan protein reaktif C (PRC).

Konsentrasi antigen dari bakteri yang tinggi dalam jaringan akan

meningkatkan level antibodi IgM dan IgG pada penderita tipe lepromatosa.

Formasi dan berkurangnya komplek imun serta aktivasi sistem komplemen

dengan meningkatnya mediator inflamasi, merupakan mekanisme

imunopatologi penting pada ENL. Selama reaksi ENL terjadi penurunan

tingkat IgM anti PGL -1 (phenol glukolipid) yang berasal dari dinding M.

leprae. Sesudah penderita mengalami pemulihan, memacu antibodi IgM

membentuk komplek imun dengan konsentrasi yang berlebihan dari PGL-1

dalam jaringan. Beratnya ENL disebabkan oleh meningkatnya produksi sitokin

oleh limfosit Th2 sebagai respon imun tubuh untuk mengatasi peradangan.

Reaksi reversal (RR) merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat yang

dijumpai pada kusta tipe borderline. Antigen Mycobacterium leprae muncul

pada saraf dan kulit penderita reaksi tipe ini. Infeksi Mycobacterium leprae

akan meningkatkan ekspresi major histocompatibility complex (MHC) pada

permukaan sel makrofag dan memacu limfosit Th CD4 untuk menjadi aktif

dalam membunuh Mycobacterium leprae2.

C. Gejala klinis

Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada multiplikasi dan diseminasi

kuman M. leprae, respons imun penderita terhadap kuman M. leprae,

komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.6

Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler (SIS). SIS baik

akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah akan

memberikan gambaran lepromatosa. Tipe I atau indeterminate tidak termasuk

dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%,

merupakan tipe yang stabil sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga

LL adalah tipe lepromatosa polar merupakan lepromatosa 100% yang stabil.

Sedangkan tipe antara Li dan Ti disebut tipe borderline atau campuran,

campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran yang

terdiri dari 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak

tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe

5

Page 6: tatalaksana reaksi kusta

ini merupakan tipe yang labil, sehingga bisa bebas beralih tipe kearah TT atau

LL. Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat pada table

dibawah ini1:

Klasifikasi Zona spektrum kusta

Ridley & Jopling TT BT BB BL LL

Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa

WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Puskesmas Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)

Tabel 1. zona spektrum kusta

Perbandingan gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar dan Multibasilar

disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 2. Diagnosis klinis menurut WHO

Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar1:

6

Page 7: tatalaksana reaksi kusta

Tabel 3. Gejala klinik Morbus-Hansen Pausibasilar

*Tes Lipromin (Mitsuda) untuk membantu penentuan tipe, hasilnya baru dapat

diketahui setelah 3 minggu.

Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar1:

Tabel 4. Gejala klinik Morbus-Hansen Multibasilar

Gejala-gejala kerusakan saraf:

7

Page 8: tatalaksana reaksi kusta

1. N. ulnaris: anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis,

clawing kelingking dan jari manis, atrofi hipotenar dan oto interoseus serta

kedua otot lumbrikalis medial

2. N. medianus: anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan

jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari

tengah, ibu jari kontraktur, atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

3. N. radialis: anestesia dorsum manus, serta ujumg proksimal jari telunjuk,

tangan gantung (wrist drop), tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan

tangan

4. N. poplitea lateralis: anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis,

kaki gantung (foot drop), kelemahan otot peroneus.

5. N. tibialis posterior: anestesia telapak kaki, claw toes, paralisis otot intristik

kaki dan kolaps arkus pedis

6. N. fasialis: lagoftalmus ( cabang temporal dan zigomatik), kehilangan ekspresi

wajah dan kegagalan mengaktupkan bibir (cabang bukal, mandibular dan

servikal)

7. N. trigeminus: anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.

A. Reaksi kusta tipe I(reaksi reversal, reaksi upgrading)

Reaksi kusta tipe I terjadi pada penderita kusta tipe PB dan MB, terutama

pada fase 6 bulan pertama pengobatan. Reaksi tipe I yang terjadi selama

pengobatan diduga disebabkan oleh meningkatnya respon imun seluler secara

cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.Penderita dengan jumlah

lesi yang banyak dan hasil kerokan kulit positip akan menaikkan risiko terjadinya

reaksi tipe I. Reaksi tipe I merupakan masalah besar pada penyakit kusta karena

dapat berpotensi untuk menyebabkan kerusakan saraf dan hilangnya fungsi saraf.

Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta

yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada bentuk

yang lain sehingga disebut reaksi borderline.

Gejala yang terjadi pada reaksi tipe I berupa adanya perubahan lesi kulit

(lesi hipopigmentasu menjadi eritema, lesi macula menjadi infiltrate) maupun

saraf akibat peradangan yang terjadi, onset nya mendadak. Manifestasi lesi pada

kulit dapat berupa warna kemerahan, bengkak, nyeri dan panas, sering muncul

lesi kulit yang baru dengan waktu yang relative singkat. Pada saraf dapat terjadi

8

Page 9: tatalaksana reaksi kusta

neuritis dan gangguan fungsi saraf. Kadang dapat terjadi gangguan keadaan

umum penderita (demam). Hampir tidak terjadi peradangan pada organ

lain.Reaksi kusta tipe I dapat berlangsung 6-12 minggu atau lebih2.

Gambar 1. Reaksi reversal

Diunduh dari http://www.medscape.com/viewarticle/757133_7

Menurut beratnya, reaksi tipe I dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan berat.

Adapun perbedaan antara reaksi kusta tipe I ringan dan berat dapat dilihat pada pada

tabel berikut2 :

Tabel 5. reaksi kusta tipe I ringan dan berat

B. Reaksi kusta tipe II(Erythema Nodosum Leprosum / ENL)

9

Page 10: tatalaksana reaksi kusta

Reaksi kusta tipe II sering terjadi pada penderita kusta tipe MB dan

merupakan respon imun humoral karena tingginya respons imun humoral

penderita. Pada kusta tipe MB, reaksi kusta banyak terjadi setelah pengobatan.

Kompleks imun dapat beredar dalam sirkulasi darah dan mengendap pada organ

kulit, saraf, limfonodus dan testis. Diagnosis ENL diperoleh dengan pemeriksaan

klinik maupun histologi. Secara mikroskopis spesimen ENL digolongkan menjadi

3 bagian mengikuti lokasi peradangan utama yaitu : klasikal (subkutis), kulit

dalam, dan permukaan.

Gejala ENL bisa dilihat pada perubahan lesi kulit berupa nodul kemerahan

yang multiple, mengkilap, tampak berupa nodul atau plakat, ukurannya pada

umumnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai

bawah, wajah, lengan dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian

tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha dan daerah

perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi juga disertai gejala

sistematik seperti demam, malaise, nyeri sendi, nyeri otot dan mata, neuritis,

gangguan fungsi saraf, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh

lainnya. B i l a m e n g e n a i o r g a n l a i n d a p a t menimbulkan gejala

seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dannefritis yang akut

dengan adanya proteinuria.Ia juga dapat disertai gejala konstitusi dariringan sampai berat yang dapat

diterangkan secara imunologik pula.Lama perjalanan ENL dapat berlangsung 3 minggu

atau lebih, kadang lebih lama2.

Gambar 2. contoh-contoh reaksi ENL

Diunduh dari:

http://www.actasdermo.org/imatges/403/403v104n10/grande/403v104n10-90255673fig4.jpg

10

Page 11: tatalaksana reaksi kusta

Menurut beratnya reaksi Beratnya reaksi tipe II dapat dibedakan menjadi

reaksi ringan dan berat Perbedaan reaksi kusta tipe II ringan dan berat dapat

dilihat pada tabel berikut :2

Tabel 6. reaksi kusta tipe II ringan dan berat

Nyeri neuritik yang hebat dan perubahan yang cepat dari kerusakan saraf

perifer yang menyebabkan claw hand atau drop foot. Kerusakan mata pada kusta dapat

primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata,

juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya

N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbikularis palpebrarum sebagian atau

seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan

kerusakan bagian–bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama

akan menyebabkan kebutaan2.

Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada

kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrate

difus, berwarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di

ekstermitas, kemudian meluas keseluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih

eritematous disertai purpur, bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi

yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut1.

Gambaran histopatologi menunjukan nekrosis epidermal iskemik dengan

nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh

11

Page 12: tatalaksana reaksi kusta

darah lebih dalam. Didapatkan basil M. Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak

ditemukan infiltrate polimorfonuklear seperti pada ENL namun dengan

imunofluorensi tampak deposit imonoglobulin dan komplemen didalam dinding

pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krigobulin sangat tinggi pada

semua penderita2.

D. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan bakterioskopik

Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan

diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit

atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan

terhadap basil tahan asam, antara lain dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Jumlah

tempat yang diambil untuk pemeriksaan ruitn sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu

kedua cuping telinga bagian bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif (yang paling

eritematosa dan infiltratif).

Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi

tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi

iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah. Irisan

yang dibuat harus sampai di dermis, melampaui subepidermal clear zone agar

mencapai jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel lepra)

yang di dalamnya mengandung basil M.leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di

gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-

Neelsen.

M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA) akan tampak merah pada

sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan

butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan

granular merupakan bentuk mati. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan

nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai

dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.

1. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)

2. 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP

3. 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP

12

Page 13: tatalaksana reaksi kusta

4. 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

5. 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

6. 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

7. 6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak

emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. Indeks bakteri (IB) seseorang adalah

IB rata-rata semua lesi yang dibuat sediaan1.

2. Pemeriksaan histopatologik

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikellingi oleh limfosit yang

disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada

penderita dengan sistem imunitas selular rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat

menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan dijadikan tempat

berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa.

Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya.

Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf

yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe

lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu

suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jarinagnnya tidak patologik1.

3. Pemeriksaan serologik

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada

tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat

bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1

(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang

tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yamg juga

dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis. Macam-macam pemeriksaan serologik

kusta ialah:

Uji MLPA (M. leprae Particle Aglutination)

Uji ELISA

ML dipstick (M. leprae dipstick)

Cara memeriksa gangguan fungsi saraf dan kelemahan otot adalah dengan

teknik voluntary muscle test (VMT) atau tes kekuatan otot dan untuk memeriksa

13

Page 14: tatalaksana reaksi kusta

berkurangnya rasa raba dilakukan sensitivity test (ST) atau tes rasa raba. Untuk

membantu diagnosis ENL dapat dilakukan penyelidikan tentang abnormalitas

konduksi saraf termasuk sebagai berikut:

Konduksi yang melambat secara segmental terlihat pada tempat-tempat

terperangkap (segmen siku dari saraf ulnaris), latensi distal memanjang,

berkurangnya (sensorik atau motorik) velositas konduksi saraf.

Berkurangnya amplitude dari evoked motor responses (compound muscle

action potentials [CMAPs]) atau hilangnya amplitudo rendah dari potensial

sensoris.

Saraf-saraf yang paling sering terlibat didalamnya adalah saraf ulnaris,

peroneal, median, dan saraf-saraf tibial.7

Pemeriksaan penunjang pada ENL dapat berupa pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan histopatologi

Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah

merah dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut.

Pada pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks

imun pada glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan

leukositosis PMN, trombositosis, peninggian LED, anemia normositik

normokrom dan peninggian kadar gammaglobulin

Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan

infiltrat pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL7. Selain itu,

akan tampak peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis

bagian atas dan pada dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit

polimorfonuklear yang lokalisasinya disekeliling pembuluh darah dan

menyerang dinding pembuluh darah.3 Terdapat pembengkakan dan edema

endothelium vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi ENL. Fragmen basil

sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh darah. Kerusakan dinding vaskuler ini

mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.3

E. Penatalaksanaan

14

Page 15: tatalaksana reaksi kusta

Pengobatan kusta disarankan memakai program Multi Drugs Therapy (MDT),

yang direkomendasikan oleh WHO sejak 1981. Tujuan dari program MDT adalah

mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, menurunkan angka putus obat

(drop-out rate) dan ketidaktaatan penderita1.

Obat obat dalam rejimen MDT-WHO

1. Dapson

Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik dengan menghambat

enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA.

Indeks morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya

menjadi nol setelah 5 sampai 6 bulan.

Dosis : Dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat

badan untuk anak-anak.

Efek samping : Erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia,

neuropatia, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia.

Efek samping tersebut jarang dijumpai pada dosis lazim.

2. Rifampisin

Sifat dan Farmakologi : Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis

lazim dan merupakan obat paling ampuh untuk kusta saat ini. Rifampisin

bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan secara

irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya

resistensi.

Dosis : Dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh

kuman kira-kira 99.9% dalam waktu beberapa hari.

Efek samping : hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan erupsi

kulit.

3. Klofazimin

Sifat dan Farmakologi : Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson.

Bekerjanya diduga melalui gangguan metabolisme radikal oksigen. Obat ini

juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna untuk pengobatan

reaksi kusta.

Dosis : 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk anak-anak 1

mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan

untuk mengurangi reaksi tipe I dan 2.

15

Page 16: tatalaksana reaksi kusta

Efek samping : Hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan

gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus).

4. Etionamid dan Protionamid

Kedua obat ini merupakan obat anti tuberkulosis dan hanya sedikit dipakai

pada pengobatan kusta. Dosis diberikan 5-10 mg/kgBB setiap hari. Obat ini

bekerja bakteriostatik, cepat menimbulkan resistensi, lebih toksik, harganya

mahal serta hepatotoksik, oleh karenanya sekarang tidak dianjurkan lagi pada

rejimen pengobatan kusta.

Obat Kusta Baru

Pada pelaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu :

adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada

kusta MB. Pada penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit

setelah 6 bulan pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru

setelah selesai MDT. Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara

lain : Bersifat bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak anatagonis terhadap obat

yang sudah ada, aman dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral dan

sebaiknya diberikan tidak lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah terbukti

efektif tersebut adalah : ofloksasin, minosiklin dan klaritomisin.

A. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan obat turunan fluorokuinolon yang paling efektif

terhadap M. leprae, dibandingkan dengan siprofloksaisn dan pefloksasin.

Dosis optimal harian 400 mg, dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis.

Kerjanya melalui hambatan pada enzim girase DNA mikobakterium. Efek

sampingnya adalah mual, daire dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai

gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, dizziness, nervousness, dan

halusinasi. Walau demikian jarang ditemukan dan biasanya tidak

membutuhkan penghentian pemakaian obat. Bisa juga digunakan levofloxacin

500 mg lebih efektif.

B. Minosiklin

Minosiklin merupakan turunan tetrasiklin yang bersifat lipofilik sehingga

mampu menembus dinding M. leprae. Minosiklin bekerja dengan menghambat

sintesis protein melakui mekanisme yang berbeda dengan obat anti kusta yang

16

Page 17: tatalaksana reaksi kusta

lain. Dosis harian yang diberikan 500 mg. efek sampingnya adalah nausea,

vomitus, dan diare.

C. Klaritromisin

Klaritromisin merupakan golongan makrolid yang mempunyai aktivitas

bakterisidal dengan menghambat suntesis protein melalui mekanisme yang

lain dari minosiklin.

Penghentian obat lazim disebut release from treatment (RFT). Setelah RFT

dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis

minimal setiap tahun selama minimal 5 tahun. Jika bakterioskopis tetap negatif dan

klinis tidak ada keaktifan baru maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut

release from control (RFC).

MDT untuk pausibasiler (I, TT, BT) adalah rifampisin 600 mg setiap bulan

dan DDS 100 mg tiap hari, keduanya diberikan 6-9 bulan, berarti RFT setelah 6-9

bulan. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis

setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun

selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara

klinis dan bakterioskopis tetap negatif, dinyatakna RFC

Prinsip dalam penatalaksanaan reaksi kusta adalah mengontrol neuritis akut

dalam rangka pencegahan anastesi, paralisis dan kontraktur, serta menghentikan

kerusakan pada mata dan mencegah kebutaan.9Prinsip pengobatan reaksi kusta : 1).

Istirahat / imobilisasi 2). Pemberian analgesik / sedatif 3). Pemberian obat anti reaksi

pada reaksi berat 4). MDT diteruskan dengan dosis tidak berubah.

Penatalaksanaan reaksi kusta berbeda tergantung manifestasi dan berat

ringannya penyakit.

1. Reaksi ringan

Pada reaksi ENL ringan dapat diberikan analgesik / antipiretik

seperti Aspirin atau Asetaminofen, berobat jalan dan istirahat di rumah,

reaksi kusta ringan yang tidak membaik setelah pengobatan 6 minggu

harus diobati sebagai reaksi kusta berat.

2. Reaksi berat

Berikut adalah pedoman WHO untuk pengelolaan reaksi eritema

nodosumleprosum (ENL) berat.

17

Page 18: tatalaksana reaksi kusta

Prinsip umum:

1. Reaksi ENL berat sering berulang dan kronis serta dapat bervariasi

dalam manifestasinya.

2. Manajemen ENL berat yang terbaik dilakukan oleh dokter di pusat

rujukan.

3. Dosis dan durasi obat anti reaksi yang digunakan dapat disesuaikan

oleh dokter sesuai dengan kebutuhan pasien individu.

4. Pemberian prednisone dengan cara bertahap atau ”tappering off ”

selama 12 minggu. Setiap 2 minggu pemberian prednison harus

dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan cacat.

5. Pemberian analgetik, bila perlu sedative

6. Reaksi tipe II berulang diberikan prednison dan clofazimin

7. Imobilisasi lokal dan bila perlu penderita dirawat di rumah sakit

Manajemen dengan kortikosteroid:

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam

dannyeri.

3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi

1mg/KgBB dengan total durasi pemberian 12 minggu.

Minggu Dosis harian

1-2 40 mg

3-4 30 mg

5-6 20 mg

7-8 15 mg

9-10 10 mg

11-12 5 mg

Manajemen dengan klofazimin dan kortikosteroid:

18

Page 19: tatalaksana reaksi kusta

Indikasinya pada kasus ENL berat yang tidak berespon dengan

pengobatan kortikosteroid atau dimana risiko toksisitas dengan

kortikosteroid yang tinggi.

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan

nyeri.

3. Gunakan prednisolon dengan dosis per hari tidak melebihi 1mg/KgBB.

4. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12

minggu.

5. Teruskan terapi standar prednisolon. Dilanjutkan dengan pemberian

klofazimin seperti di bawah ini.

Manajemen dengan klofazimin saja:

Indikasinya pada kasus ENL berat dimana terdapat kontraindikasi

penggunaan kortikosteroid.

1. Jika masih dalam pengobatan anti lepra, lanjutkan pemberian MDT.

2. Gunakan analgesik dengan dosis adekuat untuk mengatasi demam dan

nyeri.

3. Mulai pemberian klofazimin 100mg 3xsehari selama maksimum 12

minggu.

4. Kurangi dosis klofazimin sampai 100mg 2xsehari selama 12 minggu

dan kemudian 100mg 1 x sehari selama 12-24 minggu.

Minggu Dosis harian

1-4 40 mg

5-8 30 mg

9-12 20 mg

13-16 15 mg

17-20 10 mg

21-24 5 mg

Obat lain yang berguna dalam pengobatan reaksi ENL adalah pentoxifylline

saja atau dalam kombinasi dengan klofazimin/ prednisolone. Karena alasan efek

19

Page 20: tatalaksana reaksi kusta

samping teratogenik, WHO tidak menganjurkan penggunaan thalidomide untuk

manajemen reaksi ENL pada kusta. Pengobatan reaksi kusta tipe II berulang selain

prednison, perlu ditambahkan clofazimin dengan dosis dewasa sebagai berikut :

Selama 2 bulan 3 X 100 mg/hari , Selama 2 bulan 2 X 100 mg/hari, Selama 2 bulan 1

X 100 mg/hari2.

BAB III

20

Page 21: tatalaksana reaksi kusta

KESIMPULAN

Reaksi kusta hampir selalu terjadi pada penderita kusta baik sebelum

pengobatan, sedang dalam pengobatan dan sesudah pengobatan. Reaksi kusta ini

dibagi menjadi 2, yaitu : reaksi tipe I atau reaksi reversal dan reaksi tipe II atau reaksi

ENL dengan manifestasi klinis yang jelas.

Walaupun reaksi kusta ini sangat sering ditemukan namun etiologinya masih

belum jelas. Beberapa faktor pencetus diduga berkaitan dengan angka kejadian reaksi

ini seperti, pasca pengobatan antikusta yang intensif, stress fisik / psikis, imunisasi,

kehamilan, persalinan, menstruasi, infeksi, trauma, dll.

Reaksi ENL terutama terjadi pada tipe lepromatosa (LL) dan borderline

lepromatosa (BL). Reaksi ini ditandai dengan adanya nodus eritematosa yang nyeri,

terutama di ekstremitas, dan beberapa gejala prodormal dan gejala sistemik.

Penatalaksanaan dari reaksi ini ditujukan untuk mengatasi neuritis, mencegah

paralisis dan kontraktur, mengatasi gangguan mata, dan disarankan untuk istirahat

atau imobilisasi. Diharapkan dengan penatalaksanaan yang baik dan cepat, dapat

mengurangi kecacatan permanen yang dapat terjadi pada penderita kusta.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: tatalaksana reaksi kusta

1. Kosasih, A, Wisnu,M, Sjamsoe,E, dkk. Kusta. Buku Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin FKUI, edisi keenam. 2013. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

2. Prawoto. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap terjadinya reaksi (Studi

di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten Brebes). Available at:

http://eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf. Access on : 28 juli 2014.

3. Amirudin MD. Eritema Nodosum Leprosum. Ilmu Penyakit Kusta. 2003.

Makassar : Hassanudin University Press. Hlm. 83-99.

4. Dermatology Online Journal [Online]. 2001. Available at:

url:http://dermatology.cdlib.org/121/case_presentations/leprosy2/chauhan.html . Access on: 28 juli

2014

5. Freedbeg IM, Eizen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA. Fitzpatrick’s Dermatology in General

Medicine. 6th ed. 2003, New York: McGraw Hill. Hlm. 1962-1971.

6 . Wo r l d H e a l t h O r g a n i z a t i o n . W H O E x p e r t C o m m i t t e e o n

L e p r o s y S i x R e p o r t . Wo r l d Health Organization, Geneva. 1988

7 . Sridharan R, Lorenzo NZ. Neuropathy of leprosy. 2007. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1171421-overview

8 . L o c k w o o d D N J , B r y c e s o n A D M . L e p r o s y. I n : C h a m p i o n

R H , B u r t o n J L , B u r n s D A , Breathnach SM, editor. Rook. Wilkinson/Ebling

Textbook of Dermatology. 7th ed. London: Blackwel science; 1998.p.29

9 . M e n a l d i , S . r e p o s i t o r y r e a k s i k u s t a . D e p t . I . K .

K u l i t d a n K e l a m i n R S U P D r . C i p t o Mangunkusumo. Jakarta. 2010

22