Tetesan wudlu secercah cahaya

Embed Size (px)

Citation preview

1. )... ( . . ( : 15 ) Dalam satu kesempatan, saya juga mendengar " " Ijinkan aku menceritakan satu kisah kebaikan tahadduts binnimah/ An-Nida. Penjara suci, Garut. Aku masih ingat betul yang kualami ini. Dan, mungkin atas-Nya takkan bisa dilupakan. Waktu itu, aku masih berseragam putih abu-abu. Kelas III. Entah hari apa waktu itu, yang pasti semua siswa berseragam putih abu. Hari senin kalau tidak selasa. Sebab Rabu-Kamis, ber-batik. Jumat-Sabtu ber- pramuka. Ahad, bebas. Seperti sekolah lain pada umumnya, pembelajaran dimulai pukul 07.00. namun, ada nilai lebih di An-Nida (nama tempatku sekolah) dimana 2. sebelum dimulai pembelajaran para siswa diwajibkan berjamaah shalat sunnah Dhuha. Setiap pagi. Setiap hari. Kecuali seninkarena upacara. Yang memimpin (imam shalat), kadang ketua yayasan, kadang kepala sekolah, staf guru, atau salah satu dari siswa sendiri yang memimpin. Atau siapa saja bisa jadi imam. Oh ya, sebelum ber-Dhuha tepat pukul 07.00 keamanan sekolah ditugaskan mengunci seluruh ruangan kelas juga gerbang masuk sekolah. Hal ini, demi mengetahui siapa yang tidak mengikuti Dhuha dan siswa yang terlambat. Maka, bagi yang terlambat akan dipanggil ketua BP untuk dinasihati (jika baru satu kali terlambat). Berbeda, yang tidak mengikuti Dhuha padahal tidak terlambat masuk disuruh berjemur di halaman upacara atau membersihkan wc atau kedua-duanya. Baru setelahnya dinasehati untuk kemudian disuruh melaksanakan Dhuha sendiri atau berjamaah. *** An-Nida adalah sebuah pondok pesantren di Desa Cigadog, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pengasuhnya, Mohammad Aceng Abdul Ghani dengan Jauzahnya (istri) Atin Matinusi Syarifah. Beliau baru dikaruniai satu putera dan tiga puteri. Mengenai sejarah kelahiran pesantren ini aku belum cukup faham karena aku kalau tidak salah adalah angkatan ke-V. yang aku ketahui, dahulu ada remaja desa yang mau belajar mengaji kepada beliau Ustadz Aceng (nama karib M. Aceng A. Ghani) karena mereka para remaja tahu bahwa beliau adalah keluaran sebuah pondok pesantren di Tasikmalaya Jawa Barat. Kemudian, entah bagaimana ceritanya, ada lagi yang dari luar Jawa yang juga berhasrat belajar mengaji. Kelamaan, banyak dari luar daerah dengan niat yang sama. Mengaji. Sampailah, beliau mendirikan bangunan (pondok) untuk kemudian dinamainya An-Nida. Entah apa maknanya tapi dari artinya, laa alash showab (kalau tidak salah) An- Nida adalah isim mashdar, atau dalam bahasa inggris dikenal dengan Gerround (kata kerja yang dibendakan) yang berarti undangan/panggilan. Sampai akhirnya, beliau mendirikan sekolah yang kemudian juga dinamainya An-Nida dan aku menjadi generasi ke-v sekolah ini. *** 3. Sekitar 15 menit, pelaksanaan Dhuha selesai karena hanya empat rakaat dengan dua salam. Tidak kurang, tidak lebih. Setelahnya, para siswa memasuki kelas memulai pembelajarannya masing-masing. Dari ruang sebelah, kelas II, terdengar sedikit kegaduhan, gebrakan papan tulis, meja, dengkikan kursi, ingar bingar siswa anak laki-laki bersorak keriangan atau apalah yang terjadi di kelas itu. Aku hanya menutup telinga. Aplez, teman laki-laki sekelasku merasa terganggu lalu keluar menuju kelas II, melabrak sampai tak lama nyaris tak terdengar sedikitpun bunyi apalah dari kelas itu. Semua diam. Sesepi hatiku. Kami?, sebelumnya tak ada yang menduga Aplez melakukan itu walaupun kami mengenalnya keras. Ganteng?, lumayan. Jam pertama pelajaran kelas II kosong, itu kata Avlez. Aku beroh. Wajar saja mereka gaduh. Dulu kami juga begitu eh, Aku. Hanya satu tiga siswa yang menyesalkan manakala jam pelajaran kosong karena entah kemanalah pengampunya mengurusi hal lebih penting dari mengajar. Mungkin. Atau, gurunya ada tetapi masuknya belakangan dengan menugasi siswa mencatat pelajaran terlebih dahulu, didikte atau ditulis diwhite board oleh sekretaris kelas dan ini adalah yang paling disesalkan oleh kami. Didikte. Maka, bagi sebagian laki-laki jam kosong adalah kemerdekaan. Kebebasan. Bebas untuk tidak menulis, bebas sesukanya duduk di atas meja, bebas menggunakan kapur tulis hanya untuk sekedar menggambar apalah diwhite board. Dan alangkahnya, bebas karena tidak mengerjakan PR (pekerjaan rumah) dihukum oleh Guru berdiri dengan satu kaki didepan kelas dan tangan memegang telinga. Menyilang. Menjewer. *** Dalam satu perbincangan, Aku ditanya kenapa aku bisa sampai ke An-Nida, ke Garut maksudnya yang padahal aku sendiri dari Jawa Tengah. Dulu, waktu di Tasik beliau mondok bareng dengan orang Jawa kemudian setelah muqim temannya yang dari Jawa mengetahui kalau beliau mendirikan pondok juga sekolah di Garut lalu temannya yang dari Jawa menceritakannya kepada Ayahku pas tahu kalau Aku sedang mencari sekolah lanjutan lulus SMP. Sampailah Aku disini jawabku. Di Nida, kajiannya sama seperti pondok pesantren pada umumnya. Hanya saja tingkatan dan sistemnya yang berbeda. Pemahamannya tetap sama yaitu 4. terutama Tauhid dan Fiqih. Adapun pembelajarannya adalah mempelajari ilmu nahwu, ilmu shorof, ilmu tajwid, dan qiroah dengan sistem Madrasah Diniyyah. *** Ada satu mata pelajaran yang semuanya kami suka. Cinta. Bukan pelajarannya tetapi Gurunya. Cantik, karena memang beliau perempuan. Suka karena menyenangkan. Menyenangkan karena kami bisa bebas tidak atau mengikuti pelajaran seperti jam kosong. Meski begitu, kami tetap tidak bisa keluar kelas namun boleh tidak menulis. Bukan karena pintu terkunci, tetapi siapa saja yang keluar akan dicatat, alfa. Itulah kebanyakan guru perempuan. Dan, tentu saja hal itu mengkhawatirkan kami karena akan mengurangi catatan nilai apalagi, kami kelas III. Sebetulnya, bukan catatan diam-diam itu yang membuat kami tidak meninggalkan kelas tetapi karena beliau adalah guru perempuan tertua di Nida dan juga sudah lanjut usia. Namanya Bu Juju, begitu para siswa memanggilnya. Caranya mengajar seperti seorang ibu memberikan tulus kasih sayang kepada anaknya. Mengayomi. Itulah yang membuat kami betah di kelas. Semua guru menyenangkan. Semua pelajaran mengasyikkan. Tidak ada guru killer cuma, cenderung galak. Tidak ada pelajaran sulit cuma, cenderung mumeti dan Njlimet terutama matematika, fisika, dan kimia. *** Wudlunya orang yang mempunyai wudlu adalah cahaya diatas cahaya dan Barangsiapa yang berwudlu dalam keadaan suci maka dia adalah cahaya diatas cahaya Itu adalah keterangan dari ustadz kami sewaktu Diniyyah. Mengaji. Dan aku sudah mendengar itu sedari SMP tetepi belum faham maksudnya. Lebih lanjut, ustadz kami menjelaskan; orang yang berwudlu sebelum mendirikan shalat Maghrib misalnya, kemudian datang waktu isya terus kita wudlu lagi padahal belum hadats/batal wudlunya nah, itu lebih baik dan utama sehingga wajah kita 5. akan bersih bersinar bahkan lebih dari itu. Entahlah, tetapi Aku menerimanya sebagai ilmu. Namun, kami disini (Diniyyah) tidak khusus membahas tafsir hadits (jika memang keterangan wudlu itu adalah hadits) tetapi lebih kepada praktek wudlunya mulai dari niat sampai tartib serta doa-doa masing-masing juz/anggota wudlu. Aku berusaha menghafal doa-doa terutama anggota wajib wudlu atau yang sunnah caranya, dengan mempraktekkan wudlu langsung disertai doa- doanya satu persatu. Butuh beberapa hari bahkan minggu, bagiku untuk bisa menghafal semua doa-doa itu. Terlalu lama memang tapi, tujuan bukan utama yang utama adalah prosesnya. *** Hari-hari berikutnya kegiatan Dhuha dilaksanakan lebih pagi dari biasanya, jam 06.50 dan jumlah rakaatnya pun bertambah. Enam rakaat. Tiga kali salam. Kemajuan. Dari tempat wudlu laki-laki, dengan tidak sengaja, aku memperhatikan siswa yang sedang berwdlu. Betapa cepat. Satu kali basuh dan usapan. Aku tersenyum teringat penjelasan Ustadz Fiqih kami Mang Ntang, begitu sapaan karibnya. Katanya, setiap anggota wudlu sunnahnya dengan tiga kali basuh dan atau usapan. Dalam ayat al-Quran ... apabila kalian hendak mendirikan shalat maka basuhlah wajahmu disitu tidak ada perintah kita supaya membasuh 3x setiap anggota wudlu tetapi yang 3x basuhan itu untuk berihtiyath (hati-hati) barangkali ada salah satu anggota wudlu yang belum merata terbasuh. Karena itulah Aku tersenyum demi melihat mereka yang hanya membasuh satu kali basuhan saja. Bukan menertawakan apalagi menghina dengan beranggapan bahwa mereka belum mengetahui tata cara berwudlu beserta doa-doanya. Husnuddzon (sangkaan baik) saya justru mungkin mereka telah kelewat hafal serta doanya makanya wudlunya cepat. Tetapi nyatanya, ada yang membasuh tangan tidak sampai sikutnya, ada yang sekedar mengusap rambutnya, ada yang membasuh kaki hanya telapaknya saja. Dan itu demi karena mungkin mereka 6. menyayangkan handbodynya, gatsbynya, pelembabnya, atau apalah lagi namanya yang menghias, memperindah dan mempercantik anggota badannya. *** Cuaca di Garut memang dingin. Tetapi, malam ini Nida sedikit lebih dingin. Membeku. Sebeku hatiku. Dan Diniyyah berjalan seperti biasanya. Didalam kelas terlihat wajah murung dibalut dinginnya angin Garut, membekukan hati. Sekali lagi, sebeku hatiku. Bukan karena turun salju tetapi, malam ini kami harus hafal praktek wudlu serta doa-doanya. Tentulah, ada entah sanksi apalah apabila kami tidak hafal. Semuanya. Aku, alhamdulillah melewatinya. *** Siang itu sedikit terik tapi Garut tetaplah dengan cuacanya, dingin. Sekolah dipulangkan lebih awal, jam 11.30, masih sekitar 30 menit memasuki waktu Dhuhur dan sebagian memanfaatkannya untuk Qoilulah (tidur sejenak menunggu waktu Dhuhur), sebagian yang lain bersantai di kantin, sisanya meninggalkan sekolah. Pulang. Dan sisanya yang lain pula bermain bola plastik di halaman sekolah yang hanya seukuran luas lapangan tenis meja. Cenderung sempit memang tapi permainan tetaplah permainan yang dengan sistemnya bisa membuat senang yang memainkan. Tetapi, tidak hari ini. Dua puluh dua orang kecuali kiper, harus berebut bola dari kaki-kaki pemain, menjagal, memblok, mentekel, mengoper, lalu dengan kecerdikan dan keindahannya memasukkan bola ke gawang. Gol. Semua menginginkan, semua mengharapkan, semua menjunjung tinggi aturan permainan ini agar menjaga kebersamaan. Sportif. Tetapi, manusia tetaplah dengan segala nafsunya, segala ego dan ambisinya terkadang lupa dengan aturannya. Maka terkadanglah terjadi dorong mendorong, saling menjatuhkan, mencemooh, dan bahkan saling memukul. Berkelahi. Maka karenalah dibutuhkan hakim, pemimpin jalannya permainan. Wasit. Dan hari ini, permainan ini, tak lagi indah. Gol-gol itu. Cuaca, tak sedingin sebelumnya. 7. *** Malam ini terasa lebih melelahkan, sesegera mungkin ingin tertidur pulas melupakan semua kejadian. Permainan itu. Berharap hari esok cerah dengan segala janji matahari. Berdoa. Menguap. Tidur. *** Bukan hal aneh tapi tidak seperti biasanya. Terlihat banyak senyuman hari ini. Canda tawa itu. Semuanya dalam keriangan yang, ah betapa. Langit telah berbaik hati mewujudkan mimpi itu. Doa itu. Terimakasih. Dikelas, dengan segala isinya penuh dengan kehangatan selain senyuman. Semua bernyanyi, berdendang, menirukan suara drum, menciptakan nada. Memetik gitar. Ada pelajaran seni hari ini. Sayang, walau hanya satu jam setidaknya membuat hari kemarin terlupakan. Permainan itu. *** Malam ini tidak lagi melelahkan tetapi ingin kembali cepat tertidur berharap langit berbaik hati memberikan lagi mimpi itu. Kehangatan itu. Semoga. Menguap. Memejamkan mata. *** Mimpi itu kembali nyata. Doa itu. Kehangatan itu. Terimakasih. Tetapi, Garut hari ini panas, teramat malah padahal matahari baru akan menjalankan tugasnya. Janjinya. Semua menyeruah keluar kelas, hanya siswa kelas III. Kelasku. Bukan demi menghindari panas yang teramat dalam kelas tetapi Guru yang meminta kami keluar kelas. Guru seni. Aku hampir lupa, ada pelajaran olahraga hari ini. Volly. Tidak ada Tim, tidak ada wasit, tidak ada permainan, hanya praktek yang sudah beberapa pertemuan hanya belajar teori. Semua berbaris macam antrean menjadi satu jajar. Siswi dibarisan depan. Siswa, dibelakang. Guru berdiri paling depan berjarak satu meter berhadapan dengan barisan siswa. Barisan kami. Guru memberikan pengarahan, mempraktekkan cara menerima dan mengembalikan bola. Kami memperhatikan. 8. Dimulai dari barisan paling depan, barisan siswi. Guru melemparkan bola, siswi memukul. Terlalu keras. Bola melambung keatas. Pemukul pertama ditugaskan memungut bola out. Bola dilempar lagi, dipukul. Pukulan sedikit lemah. Dilempar lagi, dipukul. Mengenai guru. Dilempar lagi, dipukul. Terpeleset. Siswi terakhir. Paling gendut. Bola dilempar lagi, siswa memukul. Sempurna. Dilempar lagi, bengong. Mengenai kepala. Dan begitu seterusnya, hanya itu. Tidak kurang, tidak lebih. *** Diniyyah. Menguap. Ngantuk. Pulang. Melepas baju. Tidur. *** Kanan! Kanan! Kiri! Belakang! Awas! Maju! Blok! Shoot! Lempar! Ambil! Kanan! Depan! Kiri! Belakang! Depan! Shoot! Gooooooool!!! Bersorak. Tepekur. Kembali pada posisi starting. Seterusnya, entahlah. Di depan pintu kelas ada tembok setinggi badan, aku duduk disitu dengan kaki kiri lurus selonjor dan menekuk kaki kanan. Menyilang jari-jari kedua tangan, meletakkannya diatas lutut kaki kanan, menyandarkan dagu diatasnya. Tertegun. Sebagian yang lain menontonnya dari bawah pohon pepaya. Sebagian lagi dari dalam kantin. Dan sebagian yang lain lagi dimana sajalah yang teduh demi tidak tersengat panas matahri yang teramat sangat. Aku merubah posisi dudukku. Bersandar. Dari arah barat kulihat seseorang berjalan ke arahku. Entah siapalah. Sedikit samar, terhalang permainan bola. Di sinilah, kebaikan itu berawal. Wudlu itu. Cahaya itu. *** Tidur awal. Tidak ada kegiatan. Libur. *** Langkahnya semakin dekat. Aku masih dalam sandaranku. Dia menegurku. Menyapa. Namanya Lyana. Dia menanyakan apa sajalah layaknya sesama sahabat. Dia lihai memetik gitar. Aku mengaguminya. Dia juga bergabung dengan Borneo, group bandnya yang semua personelnya laki-laki. Oh ya, nama lengkapnya MULYANA. 9. Bro! kalau boleh tahu, kamu pake pencuci muka ya, merk apa? Atau pelembab? Sedikit canggung dia menanyakan itu. Malu mungkin. Aku terperanjat dari sandaranku. Heran karena setelah kutanya kenapa? Wajahku terlihat cerah memancar jawabnya. Antara tersindir dan dipuji, itu yang kurasakan. Karena, maaf matanya sedikit rabun dan seharusnya berkacamata karena sudah min berapalah. Aku tidak memakai pelembab dan pencuci muka apapun kecuali hanya mengamalkan wudlu SETIAP waktu sholat, ataupun diluar itu tanggapanku atas pertanyaannya. Dia hanya meng-oh dan tergesa-gesa meninggalkanku setelah sebelumnya berterimakasih kepadaku dan pulang. Setelahnya, Aku tersenyum sendiri. Bukan. Bukan karena pujian itu tetapi karena tanggapan yang kuberikan adalah bohong adanya. Benarlah jika Aku tidak memakai apapun pemutih wajah tetapi WUDLU itu, Aku jarang mengamalkannya hanya menyampaikan kebaikan atas apa yang Aku dengar dan fahami tentang " " dengan harap dia mengamalkannya. Semoga. *** Diniyyah. Ustadnya tidak datang mengajar. Menunggu. Kosong. Pulang. Tidur. *** Setelah beberapa hari, aku bertemu lagi dengannya. Mulyana. Dan, Subhanalloh Aku dibikin kaget olehnya. Dalam padanya, Aku melihat wajah yang putih, cerah, silau, terpancar cahaya setelah akhirnya Aku menanyakan persis seperti saat apa yang dulu Dia tanyakan kepadaku. Dan, Dia juga menjawab persis seperti apa yang dulu saya katakan. Tanpa kebohongan. Dan nyata adanya. Masya Alloh. Semoga kita senantiasa mengamalkan wudlu setiap saat. Setiap hari. Dan, semoga atas-NYA kita diberikan secercah cahaya. Cahaya untuk menuntun kita menuju jalan-NYA. Amin. 10. www.iwanalit.blogspot.com [email protected] www.facebook.iwanalit.com