52

The Biggest

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: The Biggest
Page 2: The Biggest

““TThhee BBiiggggeesstt EEnneemmyy ooff HHeeaalltthh iiss PPoovveerrttyy”” CCaattaattaann AAkkhhiirr ttaahhuunn 22000099 BBiiddaanngg KKeesseehhaattaann ::

MMeennyyaammbbuutt SSaattuu DDaassaawwaarrssaa MMDDGGss

YYaayyaassaann KKrriisstteenn uunnttuukk KKeesseehhaattaann UUmmuumm ((YYAAKKKKUUMM)) JJllnn.. AAddii SSuummaarrmmoo 5511,, TToohhuuddaann,, KKaarraannggaannyyaarr

[email protected]@yakkum.or.id www.yakkum.or.idwww.yakkum.or.id

Page 3: The Biggest

  2

Daftar ISI

PPeennggaannttaarr 33

BBaaggiiaann II

PPeellaajjaarraann ddaarrii ““KKooiinn uunnttuukk PPrriittaa”” 66

BBaaggiiaann IIII

KKeessaakkttiiaann PPoonnaarrii mmeellaammppaauuii MMaannttrrii 88

BBaaggiiaann IIIIII

HHaakk aattaass KKeesseehhaattaann 1111

MMaannddaatt yyaanngg TTeerrbbaajjaakk

BBaaggiiaann IIVV

PPeenngguuaattaann PPeellaayyaannaann KKeesseehhaattaann 1166

KKoommppoonneenn UUttaammaa AAddaappttaassii PPeerruubbaahhaann IIkklliimm

BBaaggiiaann VV

PPeellaajjaarraann--PPeellaajjaarraann PPeennaanngggguullaannggaann BBeennccaannaa ttaahhuunn 22000099 2211

UUjjiiaann uunnttuukk SSiisstteemm PPeennaanngggguullaannggaann BBeennccaannaa NNaassiioonnaall

BBaaggiiaann VVII

“On track” atau “Off Track” 28

Menyimak Prestasi Indonesia dalam Pencapaian Target MDGs

BBaaggiiaann VVIIII

Program 100 Hari Menteri Kesehatan 40

BBaaggiiaann VVIIIIII

“Rp 145 per Orang” 45

Mengaji Kebijakan Anggaran Kesehatan

Tentang

Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum)

dan Tim Penyusun CAT 2009 50

Page 4: The Biggest

PPeennggaannttaarr Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sebab karena-Nya kami mampu merampungkan naskah catatan akhir tahun 2009 yang kami beri judul “The Biggest Enemy of Health is Poverty, Catatan Akhir tahun 2009 Bidang Kesehatan : Menyambut Satu Dasawarsa MDGs”. Pada awalnya, naskah ini hendak merangkum pandangan-pandangan Kelompok Studi dan Advokasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) tentang problem-problem kebijakan kesehatan yang mengemuka sepanjang tahun 2009 yang lampau. Akan tetapi, dalam saat penggarapannya, gagasan mengenai catatan akhir tahun ini mengalami perkembangan, mengingat pada tahun 2010 ini, masyarakat dunia telah masuk pada era satu dasawarsa Tujuan Pembangunan Global (Millenium Development Goals). Hal inilah yang memancing kami untuk berupaya menyajikan sebuah naskah awal yang mengkaji beberapa aspek dari kebijakan kesehatan Indonesia dengan maksud menghadirkan bahan diskusi terbuka tentang apa yang sudah dicapai, apa yang belum, dan apa yang harus dilakukan dalam rangka merealisasikan pencapaian seluruh target MDGs. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pengembangan program kerja Yakkum pada wilayah kerja-kerja advokasi. Judul yang kami cantumkan untuk naskah ini mengadaptasi pernyataan Kofi Annan pada saat masih memegang jabatan Sekretaris Jenderal PBB yang pernah menyatakan bahwa “the biggest enemy of health in developing world is poverty”. Pernyataan ini kami anggap relevan untuk kita kaji kembali, bukan hanya karena komponen-komponen utama dalam MDGs adalah kesehatan, melainkan juga untuk menjadi bahan refleksi apakah kebijakan kesehatan yang selama ini diterapkan di Indonesia telah memberikan kontribusi positif terhadap pengentasan kemiskinan atau justru sebaliknya. Tentu saja, untuk menjawab pertanyaan itu, tidak akan cukup dengan satu atau beberapa kali diskusi. Pun demikian dengan naskah yang tersaji pada saat ini, sesungguhnya kami belum berani menyatakan secara definitif tentang dampak dan hasil pembangunan kesehatan di Indonesia, mengingat banyak sekali aspek yang harus dikaji. Meski begitu, ikhtiar-ikhtiar konstruktif untuk memperbaiki dan terus memperbaiki kebijakan kesehatan di Indonesia, di tengah tantangan-tantangan kondisi yang semakin berat, tetap harus dilakukan. Dalam hal inilah kami berharap, naskah ini setidaknya bisa memberikan sedikit sumbangan berupa bahan diskusi yang bisa dibicarakan dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait. Naskah ini bersandar pada asumsi bahwa kesehatan adalah hak asasi, hak yang paling fundamental dan menjadi penentu terpenuhinya hak-hak lain. Dalam konteks itu, kesehatan menjadi salah-satu tanggungjawab negara yang harus dipenuhi kepada setiap warga negaranya tanpa membeda-bedakan asal, status sosial dan ekonomi, orientasi politik dan ideologi, agama, dan perbedaan-perbedaan lahiriah lainnya. Pada perkembangan saat ini, konsepsi kesehatan sebagai hak, sesungguhnya tidak sekedar wacana dalam perdebatan-perdebatan advokasi, melainkan sudah menjadi amanat konstitusi baik yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun Undang-Undang lain yang berada di bawahnya. Kondisi ini perlu direspons dengan meningkatkan partisipasi masyarakat sehingga konsepsi hak atas kesehatan bisa benar-benar direalisasikan sepenuhnya dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Nashkah ini tersusun dalam beberapa bagian yang dimulai dengan pembahasan mengenai kasus yang menimpa Ny. Prita Mulyasari. Pada bagian ini, kami berpendapat bahwa fenomena yang berkembang seputar kasus yang menimpa Ny. Prita sebenarnya tidak sesederhana asumsi tentang adanya konflik kepentingan antara Ny Prita selaku pasien dengan RS. Omni Internasional. Respons publik terhadap kasus ini menunjukkan bangkitnya kesadaran akan hak atas kesehatan di kalangan masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan. Ny Prita dan RS Omni sendiri hanyalah ‘trigger’ yang memicu

  3

Page 5: The Biggest

terbitnya kritik masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, khususnya di bidang kesehatan dan sistem peradilan. Kritik ini adalah respons atas pengalaman empiris sebagian masyarakat Indonesia terhadap sistem pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia. Dalam konteks itu, baik Ny. Prita maupun RS. Omni Internasional, adalah “korban” dari sistem tersebut. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah benar-benar menjadikan pemenuhan hak sebagai basis utama penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia. Pada bagian kedua, naskah ini mengulas fenomena ‘dukun cilik’ Ponari. Yang kami soroti dalam fenomena Ponari adalah berkembangnya fatalisme di kalangan masyarakat yang bukan tidak mungkin diakibatkan oleh kualitas kinerja sistem pelayanan kesehatan di Indonesia. Jika dilihat dari sudut pandang itu, ribuan masyarakat yang memadati halaman rumah Ponari dan berharap mendapatkan air yang sudah dicelupkan dengan batu ajaib dari tangan Ponari sesungguhnya sama dengan ribuan warga masyarakat yang menyumbangkan koinnya untuk membayar kebebasan Ny. Prita. Kedua fenomena tersebut adalah kritik yang suka tidak suka harus diterima oleh kita selaku masyarakat bangsa Indonesia. Pada bagian ketiga, naskah ini mengulas tentang fakta bahwa sebenarnya pemerintah memangku mandat untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan berbasis pengakuan atas hak asasi manusia. Hanya saja, implementasi mandat tersebut menghadapi berbagai kendala yang justru bermuara pada komersialisasi yang menjauhkan warga negara dari hak-haknya. Jika tidak ada terobosan yang signifikan oleh pemerintah, bukan tidak mungkin kebijakan-kebijakan pemerintah, khususnya yang terkait dengan kesehatan, justru akan memberikan kontribusi pada peningkatan angka kemiskinan, dan bukan sebaliknya. Bagian keempat mengulas tentang dampak perubahan iklim terhadap sektor kesehatan di Indonesia. Pada bagian ini, kami berpegang pada hipotesis tentang implikasi perubahan iklim yang mengakibatkan meningkatnya kerentanan masyarakat di satu sisi dan menurunnya kualitas pelayanan kesehatan di sisi lain. Melalui bagian ini, kami hendak mengajak semua pihak, khususnya pemerintah, untuk mulai secara serius memperhatikan masalah-masalah akibat perubahan iklim guna menyusun strategi adaptasi dan mitigasi yang paling tepat yang harus dilaksanakan di Indonesia. Jika tidak, perubahan iklim akan terus mengakumulasikan masalah-masalah yang akan semakin tidak mudah untuk dipecahkan. Bagian kelima mengulas tentang pelajaran-pelajaran berharga dari upaya-upaya penanggulangan bencana yang terjadi pada tahun 2009. Dari sekian banyak bencana yang terjadi, kami memfokuskan pada pengalaman penanganan bencana akibat gempa bumi di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Kedua bencana tersebut merupakan ujian empiris terhadap sistem penanggulangan bencana yang tersusun melalui Undang-undang Penanggulangan Bencana. Masih adanya masalah-masalah klasik seperti koordinasi, komunikasi, dan ketidaktaatan terhadap prinsip-prinsip universal penanggulangan bencana, masih kerap terlihat. Oleh karenanya, perbaikan-perbaikan pada aspek sistem penanggulangan bencana masih harus menjadi perhatian semua pihak, baik pemerintah maupun aktor-aktor masyarakat sipil yang terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan dalam penanggulangan dan pengurangan risiko bencana. Bagian keenam membahas tentang prestasi Indonesia dalam pencapaian target MDGs di sektor kesehatan. Pembahasan ini bermaksud menguji sejauh mana kevalidan kesimpulan tentang anggapan bahwa Indonesia telah on-track dalam hal pencapaian target MDGs. Rangkuman persoalan yang disusun berdasarkan beberapa laporan media massa justru menunjukkan kondisi yang bervariasi.

  4

Page 6: The Biggest

Indonesia tidak sepenuhnya on-track atau berada di jalur yang sudah tepat dalam pencapaian target MDGs. Masih terdapat beberapa masalah struktural yang justru harus segera diatasi jika hendak mencapai target yang harus dicapai dalam waktu kurang dari lima tahun terakhir ini. Bagian ketujuh mengulas tentang program 100 hari pertama Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih. Melalui naskah ini kami mengakui bahwa ditekankannya pemenuhan hak atas kesehatan dalam program 100 hari Menkes merupakan suatu kemajuan tersendiri. Hanya saja, kami memandang bahwa beberapa contoh program yang diajukan Menteri Kesehatan dr. Endang R. Sedyaningsih justru tidak realistis untuk dicapai dalam masa jabatan 100 hari pertama pemerintahannya. Persoalannya terletak pada orientasi dan arah kebijakan yang dilakukan Menteri Kesehatan. Secara umum, kami merekomendasikan agar Menteri Kesehatan fokus pada tinjauan-tinjauan kebijakan dan penilaian atas kebutuhan-kebutuhan konkret untuk mewujudkan pemenuhan hak atas kesehatan bagi seluruh warga negara. Bagian kedelapan merupakan bagian terakhir. Bagian ini mengulas tentang masalah anggaran kesehatan yang hingga kini masih berada di bawah standar yang ditetapkan WHO. Masalah ini menjadi masalah yang penting mengingat keterbatasan anggaran kesehatan kerap dijadikan alasan untuk mengabaikan kewajiban-kewajiban fundamental pemerintah dalam rangka pemenuhan hak atas kesehatan. Khususnya di era desentralisasi, problem ini menjadi bertambah pelik karena variasi kesanggupan dan ketersediaan sumber daya di daerah kerap menyebabkan perbedaan tingkat kualitas pelayanan kesehatan. Adanya political will dari pemerintah dan kerja serius untuk meningkatkan kapasitas masyarakat melalui berbagai aktivitas pemberdayaan menjadi kunci utama yang mungkin patut ditempuh untuk membawa Indonesia keluar dari dilema anggaran ini. Keseluruhan naskah yang kami sajikan dalam kesempatan ini memang belum bisa dikatakan sempurna. Seperti yang kami kemukakan di atas, naskah ini merupakan ikhtiar awal yang harapannya bisa ditindak lanjuti di kemudian hari. Oleh karenanya, dengan segala kerendahan hati, kami mengundang semua pihak untuk menyempurnakan naskah ini dalam diskusi-diskusi konstruktif demi memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan kesehatan di Indonesia. Atas nama Yakkum, Kami mengucapkan terimakasih kepada Sdr.Samsul Ardiansyah, Staf Advokasi Yakkum di Jakarta, yang telah mengkoordinir serangkaian diskusi yang diikuti oleh bidang-bidang pelayanan masyarakat (Ekstramurral) Yakkum, kemudian merangkumnya menjadi naskah ini. Kepada semua unit Yakkum yang terlibat dalam proses diskusi, kami mengucapkan banyak terimakasih. Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum Direktur Pelaksana Sigit Wijayanta,,PhD

  5

Page 7: The Biggest

BBaaggiiaann II

PPeellaajjaarraann ddaarrii ““KKooiinn uunnttuukk PPrriittaa”” Di antara berbagai kasus di sektor kesehatan yang terjadi sepanjang tahun 2009, kasus perseteruan antara Ny. Prita Mulyasari dengan RS. Omni Internasional, barangkali menjadi kasus yang paling fenomenal dan menarik untuk dipelajari. Kasus ini bermula dari surat elektronik (email) yang berisi ketidakpuasan Ny. Prita atas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan RS Omni Internasional dan berakhir dengan sebuah gerakan moral yang bertema “Koin untuk Prita” sebagai bentuk kritik publik atas kondisi makro pelayanan kesehatan di Indonesia. Kehadiran negara ditunjukkan oleh adanya aturan-aturan yang menjadi rujukan hukum, keberadaan lembaga penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, sampai pengadilan), dan Menteri Kesehatan. Akan tetapi, kehadiran pranata dan lembaga-lembaga negara dalam kasus yang dialami Ny. Prita terasa sangatlah minim. Selain gagal memberikan perlindungan atas hak-hak yang melekat dalam diri Ny. Prita selaku warga negara, ironisnya, negara justru menjadi pihak yang mengetuk palu ketidakadilan. Besarnya simpati publik dan gelombang reaksi politik atas kasus yang menimpa Ny. Prita, nyatanya tidak mampu menembus tembok dinding Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Tinggi Banten. Atas nama penegakkan hukum mewajibkan Ny. Prita membayar ganti rugi sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni Internasional dan masih juga diharuskan menghadapi tuntutan pidana 6 bulan penjara. Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedianingsih menyatakan bersedia memfasilitasi mediasi antara Ny. Prita dengan RS Omni Internasional. Tidak hanya itu, tindakan RS Omni Internasional yang berupaya mencabut gugatan perdata di tengah gelombang aksi pengumpulan “Koin untuk Prita” yang kian mendapatkan simpati dari berbagai kalangan luas juga tidak sanggup meredam simpati publik. Namun, pada saat upaya-upaya tersebut dilaksanakan, masalahnya sudah tidak lagi berupa pertentangan antara Prita dengan RS Omni Internasional. Publik dengan nalar dan nuraninya sendiri telah menjadikan kasus Prita sebagai permasalahan antara warga Negara dengan sistem penyelenggaraan negara, baik dalam hal penyelenggaraan ketertiban hukum maupun dan khususnya penyelenggaraan sistem kesehatan. Karenanya, tidak salah jika gelombang simpati publik dalam bentuk pengumpulan koin untuk Prita tetap berlanjut, seolah tidak terpengaruh oleh manuver terbaru yang dilakukan Departemen Kesehatan maupun RS Omni

  6

Page 8: The Biggest

Internasional. Simpati terus meninggi, posko-posko pengumpulan Koin untuk Prita pun semakin meluas ke berbagai kota di Indonesia. Akhirnya pada tanggal 29 Desember 2009, Pengadilan Negeri Tangerang membebaskan Prita dan koin yang dikumpulkan ribuan relawan mencapai Rp 825 juta rupiah. Melalui gerakan “Koin untuk Prita”, publik seolah tengah memanggungkan sebuah pengadilan publik yang mana terdakwanya bisa siapa saja, bisa berupa RS Omni Internasional, Menteri Kesehatan beserta jajarannya di Departemen Kesehatan, bisa pula keseluruhan sistem dalam penyelenggaraan hukum dan jaminan pelayanan kesehatan di Indonesia. Besarnya simpati dan dukungan masyarakat sesungguhnya mengandung arti besarnya kekecewaan dan antipati masyarakat terhadap sistem kesehatan khususnya, dan penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia pada umumnya, walau kita memahami bahwa tidak semua masyarakat yang mendukung tahu duduk persoalan yang sebenarnya. Karenanya, pelajaran dari kasus Prita tidak bisa dianggap sepele.***

RS.Yakkum  dan Kasus  Ny. Prita 

Yakkum  mengelola 12 RS  dan banyak balai pengobatan. Dari Survey SMS  kepada pada Direktur RS, didapat pendapat yang beragam. Hampir semua berimpati pada Ny. Prita, namun  tak semua mendukung  Facebooker  pendukung Ny Prita.  Dari yang kurang mendukung, mereka  berpendapat bahwa banyaknya dukungan melalui facebooker bukan indikator  untuk menentukan kebenaran , karena publik lebih didorong oleh empati;  sehingga tidak peduli akan esensi kasus yang sebenarnya.  Namun demikian semua Direktur RS Yakkum sepakat  bahwa kasus Ny. Prita adalah pembelajaran berharga  bagi RS‐RS Yakkum untuk  membenahi banyak hal  khususnya dalam hal : keamanan pasien (patient safety), profesionalisasi pelayanan, kualitas pelayanan, akses  dan medote informasi  serta komunikasi, sistem dan budaya kerja yang berorientasi  pada pelanggan,  aksesebilitas pelayanan, serta metode problem solving  terhadap suatu kasus sehingga tidak perlu meluas dan tak dapat dikendalikan.Hal‐hal tersebut diatas yang saat ini menjadi fokus perhatian RS‐RS Yakkum agar kasus Ny. Prita tak terjadi di RS Yakkum. 

Para pimpinan dan staf bidang pelayanan ekstramurral Yakkum  berpendapat berbeda,  semua  hampir semua pro Facebooker pendukung Prita, walau ada catatan tentang perlunya keseimbangan informasi dan etika berkomunikasi.  Staf Ekstramurral berpendapat bahwa kata kunci  pemecahan masalah  adalah pembenahan sistem untuk lebih memberikan perlindungan hak kesehatan pada rakyat .   

Dari survey ini kita  bisa belajar bahwa paradigma para  direktur RS masih terbatas pada sisi manajerial perumahsakitan, belum ditarik keluar ke masalah  ketidakadilan  struktural dalam sistem pelayanan kesehatan dan sistem hukum yang menjamin hak kesehatan masyarakat, sebagaimana diyakini oleh bidang‐bidang ekstramural (SW) 

  7

Page 9: The Biggest

BBaaggiiaann IIII

KKeessaakkttiiaann PPoonnaarrii mmeellaammppaauuii MMaannttrrii

                                                           

Bulan Februari 2009, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh cerita tentang ‘kesaktian’ dukun cilik berusia 10 tahun yang baru duduk di kelas III SD. Dukun itu bernama Ponari. Ponari adalah anak pasangan Kasim (40) dan Mukaromah (28) warga Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, Jawa Timur. Puluhan ribu orang dari berbagai wilayah di Indonesia tumplek di dusun tersebut, berharap mendapatkan pengobatan dari Ponari. Konon, Ponari mendapatkan kesaktiannya setelah tersambar petir saat bermain dengan teman-temannya. Sebuah batu melayang mengenai kepalanya hingga membuatnya pingsan. Setelah tersadar, Ponari menemukan batu sebesar telur ayam di bawah kakinya. Batu itu mengeluarkan sinar kemerah-merahan saat dipegang Ponari.1 Berdasarkan “wangsit” yang diterima melalui mimpinya, Ponari diharuskan menggunakan batu tersebut untuk mengobati tetangga-tetangganya yang mengalami sakit. Kisah kesaktian Ponari berkembang dari mulut-ke mulut. Mulai dari tetangga dekat, hingga meluas ke seantero Jawa Timur, hingga akhirnya ke seluruh negeri. Pasien yang datang ke tempat pengobatan Ponari pun beraneka latar-belakang, mulai dari warga biasa hingga aparat pemerintah dan TNI. Semuanya rela antri berjam-jam, bahkan berhari-hari untuk mendapatkan air yang telah dicelup batu yang dipegang Ponari. Jenis penyakit yang konon bisa disembuhkannya pun beraneka-ragam, dengan hanya membayar Rp 10.000 sampai Rp 20.000. Tidak ada suatu kajian medis yang bisa membuktikan kesaktian batu yang dipegang Ponari. Meski empat nyawa melayang setelah mendapatkan pengobatan dari Ponari, namun tidak sedikit warga yang mengaku disembuhkan oleh kesaktian Bocah Jombang tersebut. Pemerintah berupaya menghentikan praktik pengobatan yang dilakukan Ponari. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari imbauan-imbauan sampai pernyataan-pernyataan yang intinya menentang penyelenggaraan praktik pengobatan yang dilakukan Ponari. Tidak kurang, Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Jombang dan Provinsi Jawa Timur mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa praktik pengobatan Ponari menjurus pada tindakah “syirik”, sementara Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan praktik pengobatan Ponari justru melahirkan eksploitasi terhadap Ponari. Komnas PA meminta Ponari dikembalikan ke sekolahnya dan diberikan kesempatan hidup secara normal. Namun antusiasme masyarakat tetap saja tinggi. Upaya pemerintah melalui aparat kepolisian untuk menutup paksa praktik pengobatan Ponari mendapatkan tantangan dari masayrakat. Terlebih, heboh Ponari, secara tidak langsung membawa manfaat ekonomi bagi warga di dusun tempat tinggalnya. Melihat besarnya penolakan masyarakat atas rencana pemerintah menutup dan melarang praktik pengobatan Ponari, pemerintah pun memilih bersikap moderat. Rencana penutupan praktik pengobatan Ponari pun diurungkan. Namun pemerintah lokal berupaya mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dengan membangunkan pipa yang mengalirkan air yang telah dicelupi batu dari tangan Ponari. Sejauh mana upaya ini efektif? Tidak ada yang tahu. Yang jelas, kasus Ponari adalah pukulan telak terhadap dunia medis dan sistem pelayanan kesehatan di Indonesia.

 1 Lihat “Ponari Jadi Dukun 'Sakti' Setelah Tersambar Petir”. Detik.Com. Selasa, 03/02/2009 17:47 WIB. http://surabaya.detik.com/read/2009/02/03/174706/1078975/475/ponari-jadi-dukun-sakti-setelah-tersambar-petir

  8

Page 10: The Biggest

Fenomena Ponari adalah kombinasi dari kemiskinan, keterbatasan pengetahuan dan minimnya sarana penyedia informasi, serta tingginya beban kesehatan masyarakat. Ketiganya saling terkait dalam hubungan yang rumit dan penuh dengan ketidakpastian. Ulama bisa mengatakan bahwa praktik pengobatan Ponari itu cenderung syirik, dokter bisa mengatakan bahwa keampuhan batu Ponari itu tidak terbukti, praktisi hak anak bisa mengatakan bahwa praktik itu eksploitatif, namun semua pernyataan tersebut tidak menjawab kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan yang murah dan “mujarab”. Di tengah himpitan ekonomi yang sangat berat dan tingginya

kerentanan sosial dan kesehatan yang dialami masyarakat, berobat ke Ponari adalah salah-satu opsi yang tidak terhindari.

Ponari dan Batu Ajaibnya  

Dalam kasus Ponari, tingkat kemujaraban dari praktik pengobatan yang dilakukannya, mungkin sulit atau bahkan tidak terbukti. Para pakar pun mungkin enggan mengkajinya. Komentar paling moderat dari pakar, hanyalah mengatakan bahwa masyarakat tersugesti oleh cerita-cerita kesaktian Ponari. Tidak ada yang berani meyakini bahwa pengobatan yang dilakukan Ponari telah benar-benar menyembuhkan. Namun ada satu hal yang sulit dibantah, untuk masyarakat awam, berobat ke dokter atau sarana pelayanan kesehatan formal pun belum tentu bisa dikatakan “mujarab”. Terlebih, di tengah keadaan seperti sekarang, berobat ke dokter atau rumah sakit adalah kemewahan tersendiri. Tidak hanya itu, rasanya tidak mungkin masyarakat bisa dipaksa untuk mendengarkan ceramah-ceramah medis tentang suatu penyakit yang menyebabkan kesakitan atau bahkan kematian. Hal ini menyebabkan pengertian “mujarab” dalam kacamata awam adalah hal yang relatif. Perkara mujarab atau tidak praktik pengobatan Ponari menjadi perkara yang tidak terlalu dihiraukan. Salah satu kearifan masyarakat kita adalah dikenalnya konsep “ikhtiar”, yang berarti bahwa segala usaha perlu dilakukan untuk mendapatkan penyembuhan. Selain konsep “ikhtiar”, terdapat pula konsep “takdir”, yakni kepasrahan untuk menerima apapun keadaan yang dialami dan dianggap sebagai pemberian terbaik yang patut disyukuri dari Yang Maha Kuasa. Hal paling sederhana yang bisa dipahami masyarakat dari praktik pengobatan Ponari adalah “murah”. Masih adanya pemahaman sempit mengenai konsep “ikhtiar” dan “takdir” inilah yang menyebabkan tidak mudah untuk menggunakan akal sehat—untuk mengatakan bahwa sehat itu adalah hak, bahwa sehat itu adalah indikator keadilan sosial, dan sebagainya—guna menyikapi masalah seputar praktik pengobatan seperti yang dilakukan Ponari. Kasus Ponari adalah pelajaran yang menarik untuk mengkaji hubungan antara kesehatan dengan kemiskinan. Pelajaran yang paling mudah dipetik dari kasus Ponari adalah kenyataan bahwa pembangunan kesehatan di Indonesia ternyata tidak terhubung secara positif dengan upaya pemberdayaan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan. Padahal, dalam dunia kesehatan dikenal konsep “promosi” dan “preventif”—yang mana secara implisit menegaskan pentingnya pemberdayaan masyarakat—di samping “kuratif” dan “rehabilitasi”, sebagai sebuah konsep utuh pembangunan kesehatan. Dengan kata lain, semestinya terjalin korelasi positif antara pembangunan kesehatan dengan pengentasan kemiskinan.

  9

Page 11: The Biggest

Sebagaimana dinyatakan mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan, “the biggest enemy of health in developing world is poverty”. Pernyataan inilah yang melatarbelakangi lahirnya komitmen MDGs—yang mana pengentasan kemiskinan menjadi target pertama dan kesehatan menjadi indikator yang paling dominan di antara sektor-sektor lain. Pertanyaan kritis yang barangkali patut diajukan menanggapi fenomena Ponari adalah apakah yang terjadi adalah sebaliknya? Dalam arti, apakah pembangunan kesehatan di Indonesia justru telah meningkatkan kadar kerentanan masyarakat, khususnya di bidang kesehatan?

Ponari‐Dukun‐Mantri‐ Pengobatan Alternatif dan Yakkum 

Pada tahun 1893, ketika sistem pelayanan kesehatan Indonesia belum ada,  Unit Yakkum yang terbesar yaitu  RS.Bethesda yang pada waktu itu bernama RS.Petronella, memulai pelayanannya di Yogyakarta.  Pengobatan barat baru “laku” ketika  ditemukannya antibiotik dan obat‐obat  yang  ampuh atau “cespleng”  menyembuhkan berbagai sakit yang tak dapat diselesaikan pada dukun seperti frambosia, sipilis dll.  Dari situ pengobatan barat mulai menjadi “pengobatan alternatif” rakyat, dan  dokter utusan mulai mendidik para mantri kesehatan untuk  meningkatkan jangkauan pelayanan.  Para mantri  makin popular karena kepiawaiannya menggabungkan ilmu pengobatan barat  dengan pendekatan holistik  baik dalam menentukan tarif pelayanan maupun  model komunikasi sebagaimana layaknya seorang dukun.  Dr.Rosalia Sciortino dalam disertasinya menjuluki  betapa para perawat dan matri  RS Petronella  mampu mejangkaiu rakyat; mereka sebagai “caretaker of cure”, karena perannya yang  melebihi seorang dokter  dalam proses penyembuhan yang holistik (Caretaker to Care, Dissertation, 1995, University of Amsterdam).  

Ketika dunia medis menguasai sistem pelayanan kesehatan,  dan para  mantri dan dukun sudah uzur dan tergusur. Kesehatan berubah orientasi dari social ke sosial ekonomi lalu menjad murni kepentingan ekonomi;  obat dan pengobatan tradisional  dikomersilkan dan kehilangan ‘roh”nya;  sementara itu   dunia Industri  medis  tidak  mampu untuk mejawab  pola‐pola tradisional   sebagaimana diperankan para dukun dan paranormal, disitulah  fenomena Ponari terjadi, terlebih di saat –saat rakyat mengalami kesulitan ekonomi yang berkepanjangan, sehingga rakyat memimpikan berbagai  keajaiban.  Dengan demikian  Yakkum saat ini mempunyai tantangan untuk mengembalikan pelayanan kesehatan kembali pada khitahnya semula yaitu sebagai  sarana penyembuhan yang mengutuhkan.  Pelayanan kesehatan harus menjawab kebutuhan riil masyarakat, yaitu kebutuhan  untuk mendapatkan pelayanan yang utuh sebagai manusia yang ber‐HAM  dimana orang  sakit masih mempunyai peluang mendapatkan pelayanan kesehatan walau uang disakunya terbatas bahkan tak ada,  kebutuhan untuk di”orang”kan  ketika menjadi seorang pasien yang miskin di hadapan dokter atau pelayanan kesehatan;   pasien  didekatkan dengan lingkungan sosialnya kala sakit sehingga dia merasa aman baik secara maupun ekonomi ; dan pasien didekatkan dengan Tuhannya, sehingga dia merasa tenteram.  Mudah‐mudahan ini bukan hanya mimpi Yakkum, namun mimpi semua pelayanan kesehatan di Indonesia (SW) 

  10

Page 12: The Biggest

BBaaggiiaann IIIIII

HHaakk aattaass KKeesseehhaattaann MMaannddaatt yyaanngg TTeerrbbaajjaakk

                                                           

Bulan Maret 2009, Eka Rachmawati, bayi mungil anak pasangan Agus Suprihatin dan Anggi Eliza akhirnya bisa dibawa pulang setelah dua bulan lebih tertahan di RSCM. Sang ayah menandatangani perjanjian utang di atas materai dengan pihak RSCM dengan disaksikan ketua RT tempat Agus dan Anggi tinggal.2 Pada bulan Juni 2009, kejadian serupa terjadi di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Kadijah hanya bisa menangis ketika buah hati yang baru dilahirkannya harus ditahan RSUD Polewali Mandar, Sulawesi Bayar. Surat keterangan miskin yang resmi dan ditandatangani sekretaris daerah setempat

tidak bisa membebaskan bayi yang baru saja dilahirkan. “Selama tidak memegang kartu Jankesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), tidak bisa kami pertanggung jawabkan,” kata Nurwan Katta, Direktur RSUD Polewali Mandar.3

Khadijah dan Bayinya

Berita-berita serupa dengan di atas semakin sering di dengar. Jika tidak dibantu oleh adanya ekspose dari media, barangkali kisah-kisah pilu yang serupa akan terus terjadi tanpa ada yang memperhatikan. Dan memang, selain dua kisah di atas, masih ada kisah-kisah lain yang sengaja tidak ditampilkan dalam tulisan ini, namun masih bisa ditemukan jika kita masih mau meluangkan waktu untuk berselancar di internet. Kisah-kisah itu adalah salah satu cuplikan kenyataan yang terjadi pada saat Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya melalui penerbitan Undang-Undang nomor 11 tahun 2005. Di dalam kovenan tersebut terdapat salah-satu hak yang disebut dengan Hak mendapatkan Standar Kesehatan tertinggi yang Terjangkau”. Sesuai dengan Lembar Fakta no. 31 tentang Hak atas Kesehatan, salah satu kewajiban pokok minimum negara penandatangan adalah menjamin hak untuk mendapatkan layanan fasilitas kesehatan, baik berupa barang maupun jasa, dengan basis non-diskriminasi, khususnya terhadap kalangan yang rentan dan termarjinalkan (the right of access to health services on a non-discriminatory basis, especially for vulnerable or marginalized groups).4 Dengan mengacu pada konteks tersebut, kasus yang terjadi di atas mengindikasikan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan negara karena secara langsung maupun tidak langsung telah membatasi akses terhadap layanan kesehatan, khususnya bagi kalangan rentan dan marjinal seperti yang dicontohkan di atas. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2009 ini, teks yang menekankan tentang hak atas kesehatan semakin lengkap dan terpapar di berbagai peraturan, kebijakan, dan strategi

 2 Lihat “Kisah Bayi Yang Ditahan Pihak RSCM” Tribun Pontianak, Sabtu, 28 Maret 2009. 3 Lihat “Bayi Petani Miskin Ditahan Rumah Sakit”. www.berita.liputan6.com 18 Juni 2009. 4 Lihat “Factsheet No. 31 on Right to Health”. http://www.ohchr.org/Documents/Publications/Factsheet31.pdf

  11

Page 13: The Biggest

pemerintah. Sebagian teks-teks tersebut merupakan mandat dan sebagian lagi merupakan komitmen kebijakan pemerintah. Pada level mandat, teks tentang hak atas kesehatan tidak hanya tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen keempat), khususnya pasal 28A dan 28H ayat (1), melainkan telah dilengkapi dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economy, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya), khususnya pasal 12 ayat (1) dan (2) berikut instrumen-instrumen lain yang menyertainya. Kehadiran Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang baru disahkan DPR tahun ini semakin mengukuhkan kehadiran hak atas kesehatan dalam ranah sistem kebijakan di Indonesia. Di samping mandat-mandat sebagaimana tertera di atas, Pemerintah Indonesia juga telah terikat dalam beberapa komitmen, baik dalam konteks global maupun nasional. Pada konteks global, pemerintah Indonesia terikat pada komitmen pencapaian target-target Millennium Development Goals (MDGs). MDGs adalah sekumpulan target-target pembangunan untuk mengentaskan kemiskinan dan memperbaiki kualitas kehidupan penduduk dunia yang hendak dicapai pada tahun 2015, yang mana sektor kesehatan merupakan sektor yang paling dominan. Selain itu, pada tingkat nasional, pemerintah telah berkomitmen untuk mewujudkan “Visi Indonesia Sehat 2010” yang telah dicanangkan sejak Pemerintahan BJ Habibie pada tahun 1999. “Visi Indonesia Sehat 2010” merupakan terobosan strategi kebijakan untuk menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan program dalam jangka panjang guna membenahi sistem pelayanan kesehatan primer di Indonesia. Berdasarkan pada komitmen Visi Indonesia Sehat 2010, maka tahun 2009 ini merupakan tahun penentuan tentang tercapai tidaknya visi yang dimaksud.5 Terpilihnya dr. Endang Rahayu Sedianingsih selaku Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu II—menggantikan dr. Siti Fadilah Supari—diikuti dengan diluncurkannnya kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas dalam 100 hari pertama masa pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan tersebut diantaranya menjamin pemenuhan hak atas kesehatan khususnya bagi warga miskin, meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan, menanggulangi dampak bencana dan perubahan iklim, serta mencegah penyebaran penyakit menular. Tidak seluruh masyarakat Indonesia mengetahui akan adanya kumpulan mandat dan komitmen-komitmen pemerintah di bidang kesehatan sebagaimana tertera di atas. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada harapan dari masyarakat terhadap konkretisasi dan realisasi atas mandat-mandat dan komitmen-komitmen tersebut. Sekiranya, sosialisasi atas mandat dan komitmen-komitmen itu tersebar luas, tentu akan banyak masyarakat yang berharap agar mandat-mandat dan komitmen-komitmen itu tidak hanya menjadi isapan jempol semata. Keseriusan dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan sesuai dengan mandat dan komitmen-komitmen yang telah diutarakan barangkali akan bisa mengobati kekecewaan masyarakat yang telah akut pada saat ini. Pelaksanaan mandat dan komitmen-komitmen untuk memenuhi hak atas kesehatan bagi seluruh warga negara memang bukanlah pekerjaan yang bisa diraih dalam waktu sekejap. Telah disadari bahwa pemenuhan hak akat kesehatan membutuhkan suatu kerja panjang yang konsisten dan terintegrasi. Tantangan paling utama dalam mewujudkan pemenuhan hak atas kesehatan—dan hak-hak asasi lainnya—adalah adalah adanya kebutuhan untuk memobilisasi berbagai sumberdaya yang ada untuk diarusutamakan pada penegakkan dan pemenuhan hak asasi manusia.

                                                            5 Lihat Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat.

  12

Page 14: The Biggest

Namun situasi dunia tidak pernah ideal. Di sana-sini masih ditemukan berbagai persoalan, baik akibat ketegangan politik, kesenjangan ekonomi, maupun pada masalah-masalah kemanusiaan, seperti kelaparan, wabah penyakit, pengungsian, dan lain-lain. Sumberdaya-sumberdaya—baik berupa sumberdaya ekonomi, alam, maupun keterampilan dan pengetahuan, yang ada di dunia, pada kenyataannya tidak tersebar secara merata. Keadaan semakin tidak menentu ketika kompetisi memperebutkan sumberdaya berkembang kian tidak terkendali hingga munculnya krisis keuangan global dan krisis pangan yang dicatat sebagai kejadian terburuk pasca perang dunia kedua. Karena dianggap kurang atau bahkan tidak profitable, mainstreaming hak asasi manusia—termasuk hak atas kesehatan—menjadi semakin tersisihkan. Parahnya, yang terjadi kemudian adalah “komoditisasi hak”. Hak yang semestinya diperoleh secara cuma-cuma, menjadi komoditi yang hanya bisa dinikmati jika seseorang memiliki daya beli. Sekali lagi, pelajaran dari kasus yang menimpa Ny. Prita cukup berharga untuk dikaji. Nyonya Prita Mulyasari adalah ibu rumah tangga biasa tergiring oleh asumsi bahwa untuk pelayanan kesehatan yang maksimal hanya bisa diperoleh jika berobat di sebuah rumah sakit ternama dan tentunya bersedia membayar cukup mahal. Sama halnya dengan orang lain, Ny. Prita sepertinya berpandangan bahwa sakit adalah kondisi yang sungguh tidak pernah mengenakkan, menyebabkan berkurangnya produktivitas, dan yang paling tidak enak didengar adalah sakit itu mahal. Karena sembuh adalah kebutuhan yang mutlak, berapapun biaya yang dibutuhkan, pasti akan dikeluarkan. Komoditisasi atas hak terjadi ketika kesehatan menjadi salah-satu bentuk pelayanan publik di Indonesia yang turut terkena wabah global yang disebut “privatisasi” dan “komersialisasi”. Privatisasi secara esensi berarti optimalisasi sumberdaya privat (perorangan) dalam hal pemberian layanan publik. Alasan utama dilaksanakannya privatisasi adalah efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan. Privatisasi senantiasa diikuti oleh “komersialisasi”. Fenomena ini muncul sebagai konsekuensi privatisasi, yang mana optimalisasi sumberdaya privat secara sistematis menggeser peranan negara dan pemerintah selaku pengelola sumberdaya publik. Pergeseran ini menyebabkan sebuah pelayanan publik (public services) tidak lagi menjadi “beban publik” melainkan tanggungjawab private atau perorangan. Efisiensi dan efektivitas—yang kerap disampaikan sebagai latarbelakang kebijakan privatisasi—pada akhirnya hanya menjadi teori di atas kertas. Itu pun tidak terlepas dari kontradiksi, mengingat secara esensi tidak mungkin sebuah pelayanan publik bisa diselenggarakan dengan mengandalkan sumberdaya perorangan (private). Di hampir berbagai negara, selalu dibutuhkan sumberdaya publik yang memadai untuk menopang terselenggaranya pelayanan publik yang baik. Barangkali, permasalahan yang dialami Ny Prita, tidak akan dialami oleh ibu Minah—seorang nenek yang didakwa mencuri tiga buah kakao milik sebuah perusahaan perkebunan swasta di Banyumas—yang hanya bekerja sebagai buruh tani. Bukan karena orang-orang seperti Ibu Minah tidak mungkin mengalami perlakuan seperti Ny Prita, namun karena barangkali bagi kalangan tersebut, mendapatkan pelayanan dari RS sekelas Omni Internasional adalah sebuah kemewahan yang tidak pernah berani mereka impikan. Rendahnya kemampuan finansial menyebabkan jutaan rakyat Indonesia tidak mampu membiayai pelayanan kesehatan dengan standar tertinggi yang bisa dijangkau sebagaimana ditekankan oleh Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Akibat kondisi seperti ini, banyak sekali kejadian-kejadian menyedihkan yang dialami masyarakat baik yang mampu dipotret oleh kamera dan pena media massa maupun yang tidak. Semua itu diakibatkan oleh adanya “pembajakan” atas hak atas kesehatan oleh kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada privatisasi dan komersialisasi pelayanan publik.

  13

Page 15: The Biggest

Salah-satu produk perundang-undangan yang terbit pada tahun ini adalah UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. UU ini disahkan pada masa akhir jabatan DPR periode 2004-2009. Roh UU Rumah Sakit ini adalah hak asasi untuk hidup, diharapkan tidak ada lagi kematian yang terjadi hanya karena keterbatasan ekonomi. Salah-satu terobosan ketentuan yang tertuang dalam UU nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit adalah pasal 29 (f) yang menyebutkan bahwa tiap rumah sakit wajib memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu atau miskin dan pelayanan gawat darurat tanpa uang muka. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi; “melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan.”6 Menurut Prof. Dr. Herkutanto--Ketua Kompartemen Hukum Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi)—pasal yang menyatakan bahwa RS berkewajiban memberikan pelayanan gawat-darurat tanpa uang muka, semestinya dilengkapi dengan pernyataan negara sebagai pihak yang menanggung pembiayaan gawat-darurat sehari-hari, sebagaimana yang juga dinyatakan dalam pasal 6 (h) tentang kewajiban pemerintah yang menjamin pembiayaan gawat darurat di rumah sakit akibat bencana dan kejadian luar biasa. Hal ini mengungat fungsi sosial rumah sakit dan sesuai dengan praktik di banyak negara di mana pemerintah menanggung semua keadaan darurat dengan menggunakan dana publik7. Aspek lain yang menyebabkan UU Rumah Sakit ini masih akan mendorong terjadinya komersialisasi adalah adanya ketentuan tentang perpajakan. Pada saat masih berupa rancangan undang-undang, disebutkan tiga jenis rumah sakit, yakni rumah sakit publik, privat (swasta), dan RS komunitas yang didalamnya terdapat rumah sakit yang dibentuk karena misi sosial atau keagamaan. Akan tetapi, pada saat pengesahan, kategori ketiga dihapuskan karena dianggap sama dengan rumah sakit swasta yang berorientasi keuntungan. Alasan yang dikemukakan adalah karena rumah sakit lembaga yang bersifat sosial harus tunduk pada ketentuan undang-undang mengenai lembaga sosial. Karena tidak ada pembedaan antara rumah-sakit yang menjalankan misi sosial dengan rumah sakit swasta yang berorientasi keuntungan, ketentuan perpajakannya pun cenderung disamakan. Sebagian rumah sakit yang menjalankan misi sosial memang mendapatkan beberapa kompensasi, namun tidak semua rumah sakit dengan misi sosial bisa mendapatkannya. Kalau pun kompensasi tersebut diberikan, hanya pada aspek perpajakan. Obat-obatan dan peralatan medis masih tetap dikenai pajak oleh pemerintah. Ketentuan inilah yang memaksa sebagian rumah sakit yang menjalankan misi sosial dan keagamaan menjadi sulit bersaing dengan rumah sakit yang berbadan hukum atau berbentuk perseroan terbatas. Tentu saja, hal ini menjadi salah-satu ironi tersendiri. Di tengah ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan layanan fasilitas kesehatan yang memadai dan merata di berbagai wilayah Indonesia, serta kegagalan pemerintah dalam meningkatkan taraf kehidupan sosial ekonomi masyarakat, keberadaan yayasan-yayasan pengelola rumah sakit dengan misi sosial semestinya difasilitasi dan dikembangkan sehingga bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Orientasi kebijakan yang cenderung bertumpu pada pemanfaatan ekonomi dari pelayanan sosial kesehatan semestinya ditepis. Hal ini memang akan mengurangi pendapatan pemerintah dari sektor perpajakkan, namun sebenarnya akan menjadi salah-satu bentuk investasi yang sangat berharga di kemudian hari dalam rangka meningkatkan kualitas hidup rakyat dan bangsa Indonesia.***

                                                            6 Lihat UU Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 7 Lihat “Tantangan Berat Rumah Sakit Pasca Pengesahan UU RS”. Kompas, Kamis, 22 Oktober 2009. http://www.kompas.com/read/xml/2009/10/22/18271287/tantangan.berat.rumah.sakit.pasca.pengesahan.uu.rs

  14

Page 16: The Biggest

Toelong Doeloe Oeroesan Belakang

Sejak tahun 1890, RS Betheda atau RS Petronella pada waktu itu , yang kemudian diikuti RS-RS Yakkum yang lain mengembangkan motto :”Toelong Doeloe, Oeroesan Belakang”. Yang bukan hanya membebaskan uang muka bagi semua pasien baik di UGD maupun di rawat inap, namun juga keringanan yang lain kepada orang miskin, yaitu mendapat hak keringanan biaya, mendapat kesempatan mencicil biaya, mendapat rehabilitasi sosial ekstramurral bekerjasama dengan masyarakat, mendapatkan pelayanan sosio medis, mendapat pelayanan kesehatan primer rumah sakit dan pelayanan sosial lain . Pelaksanaan pelayanan sosial ini mendapat tantangan berat ketika Indonesia didera krisis ekonomi di tahun 1997-1999. Pada masa itu hampir semua RS.keagamaan menghadapi dilemma antara meneruskan menjalankan missi kepada orang miskin, dengan survive secara ekonomi di masa krisis. Pada saat itu semua khawatir bahwa menjalankan fungsi sosial di masa krisis akan membawa RS terpuruk bahkan akan ambruk, pada sisi lain gereja pendiri ES sangat khawatir tentang bagaimana nasib rakyat kecil kalau semua RS keagamaan hanya memikirkan dirinya sendiri agar survive?

Untuk menjawap permasalahan tersebut, Sigit Wijayanta, yang pada waktu itu menjadi mahasiswa S3 di Department of Finance, Fakultas Bisnis dan Ekonomi University Sains Malaysia di Penang, mengarahkan disertasinya untuk memecahkan masalah tersebut, dengan melakukan penelitian kepada seluruh RS keagamaan di Indonesia. Dalam Disertasi yang berjudul “Impact of the 1997-1999 Economic Crisis on Religious Hospital in Indonesia” (USM, 2003) dan buku “ Medical Dilemma: The Challenge of Economic Crisis to Social Mission of Religious Hospitals in Indonesia” (Difam-Germany, 2002) disimpulkan bahwa RS-RS keagamaan tetap menjalankan fungsi sosial di masa krisis , walau demikian kinerja finansial mereka tidaklan turun secara signifikan. Ini disebabkan karena banyak RS sadar akan ancaman krisis dan melakukan banyak effisiensi baik dalam rasionalisasi diagnosa dan pengobatan sehingga tetap didapat unit cost yang terjangkau rakyat kecil. Disimpulkan dalam kedua buku tersebut bahwa sebenarnya problem utama mahalnya pelayanan kesehatan dan juga tidak terjangkaunya pelayanan kesehatan adalah liberalisasi, kartelisme Industri pelayanan kesehatan dan profesi kesehatan. RS akan masih tetap hidup apabila mereka mau kembali kepada khitah mula-mula sebagai bagian dari pemenuhan hak dasar manusia untuk hidup sehat di bumi ini. Dari sisi bisnis RS bisa juga dikelola dengan prinsip Fortune from the Bottom of Piramid. Berbisnis dengan rakyat kecil tak harus rugi, asal benar-benar di-manage secara benar menyesuaikan diri dengan kantong pasien miskin, dan sudah menjadi tanggungjawab negara sebagai penerima pajak untuk menanggung apa yang menjadi beban rakyat kecil. Angin segar dari surga datang ketika UU Perumahsakitan memberi peluang bagi adanya Tax Exeption dan Tax Reduction, mudah-mudahan ini segera dioperasionalkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan dilaksanakan di lapangan. Apabila tidak maka RS keagamaan akan menghadapi tantangan yang berat dalam menanggung beban sosial sekaligus beban ekonomis (SW)l.  

  15

Page 17: The Biggest

BBaaggiiaann IIVV

PPeenngguuaattaann PPeellaayyaannaann KKeesseehhaattaann KKoommppoonneenn UUttaammaa AAddaappttaassii PPeerruubbaahhaann IIkklliimm

                                                           

Tantangan besar lain yang harus dihadapi sektor kesehatan adalah perubahan iklim dan bencana-bencana yang terkait dengan perubahan iklim. Perubahan iklim adalah gejala perubahan sebagai akibat dari meningkatnya temperatur dunia sebagai akibat dari berubahnya kondisi fisik atmosfer yang melapisi bumi.8 Perubahan iklim membawa dampak yang cukup luas terhadap keseimbangan ekologi, oleh karenanya, pengaruhnya pun cukup luas pada kehidupan sosial masyarakat. Khususnya terhadap kondisi kesehatan masyarakat, perubahan iklim setidaknya membawa dua dampak yang sama-sama ekstrem, yakni menurunnya resiliansi masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial karena menurunnya daya dukung alam yang tidak seimbang dengan kemampuan adaptasi masyarakat dan di sisi lain meningkatkan ancaman-ancaman terhadap kesehatan dan keselamatan manusia dan mahluk hidup lainnya sebagai akibat dari bencana-bencana iklim serta meluasnya penyebaran wabah penyakit, khususnya penyakit yang disebabkan oleh nyamuk. Khususnya bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan yang berada di kawasan tropis, perubahan iklim membawa berbagai dampak negatif yang merugikan kehidupan rakyat, khususnya kalangan miskin dan marjinal. Secara ekonomi, perubahan iklim menyebabkan puluhan jutaan penduduk yang kehidupannya bergantung pada ketersediaan sumberdaya produktif yang disediakan alam—seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan laut—terancam kehilangan pekerjaan. Perubahan-perubahan cuaca ekstrem, berupa kemarau panjang, banjir, badai, dan meningkatnya gelombang serta permukaan air laut, secara umum berkembang diatas rata-rata kemampuan adaptasi penduduk. Perubahan iklim telah secara tidak langsung mempersempit lapangan kerja di pedesaan. Hal ini menyebabkan gelombang migrasi dan urbanisasi tenaga kerja berpendidikan rendah ke perkotaan dan keluar negeri untuk menjadi buruh migran semakin tinggi. Pada saat ini, kurang lebih 6 juta penduduk Indonesia menjadi tenaga kerja murah di berbagai negeri. Dengan tingkat pendidikan rata-rata yang rendah dan ditopang oleh ketiadaan informasi yang memadai, menyebabkan mayoritas pelaku migrasi dan urbanisasi hidup dan bekerja pada wilayah-wilayah dengan tingkat hazard yang cukup tinggi, seperti tinggal di kawasan-kawasan kumuh perkotaan dengan sanitasi dan ketersediaan air bersih yang buruk atau bekerja di sektor-sektor yang rentan terhadap bahaya, salah-satunya adalah sektor rumah tangga, tanpa jaminan kesehatan yang memadai. Akibatnya, tidak sedikit pelaku migrasi yang pulang dengan tangan hampa, meninggal dunia, atau justru terjerembab dalam kondisi-kondisi kehidupan yang sangat buruk. Namun, masalahnya tidak hanya itu. Fenomena migrasi tenaga kerja saat ini, yang pelakunya didominasi oleh perempuan, berlangsung di tengah sistem masyarakat yang patriarkis. Migrasi perempuan tidak serta-merta mengalihkan fungsi dan peranan perempuan—khususnya mereka yang menjadi ibu rumah-tangga—dalam urusan reproduksi pada keluarga-keluarga patriarkis. Masalah yang kerap mengemuka akibat keadaan ini adalah tidak adanya perhatian pada masalah kesehatan

 8 Istilah perubahan iklim kerap digunakan secara tertukar dengan istilah “pemanasan global”, padahal pengertian pemanasan global sebenarnya hanya merupakan bagian dari perubahan iklim. Sebab, parameter iklim sebenarnya tidak hanya temperetur, terdapat parameter lain seperti presipitasi, kondisi awan, angin, maupun radiasi. Pemanasan global merupakan peningkatan rata-rata temperature atmosfer yang berkontribusi pada perubahan pola iklim secara global. Pemanasan global terjadi sebagai akibat dari meningkatnya jumlah emisi gas rumah kaca di lapisan atmosfer.

  16

Page 18: The Biggest

keluarga. Tidak sedikit anak-anak dan balita dari keluarga migran yang akhirnya menderita gizi buruk akibat kurangnya perhatian dari orangtua. Secara politik, perubahan iklim kerap mendorong terjadinya perubahan tata-kuasa sumber-sumberdaya produktif yang selama ini menjadi sumber penghidupan rakyat. Contoh yang paling terlihat mengenai hal ini adalah perubahan fungsi kawasan hutan tropis dan lahan gambut menjadi areal perkebunan sawit dalam rangka memenuhi kebutuhan Crude Palm Oil (CPO) yang menjadi bahan-baku pembuatan biofuel. Seperti diketahui, isu perubahan iklim telah mendorong adanya perubahan pola konsumsi energy dunia, dari yang menggunakan bahan-bakar berbasis fosil (fossil fuel) menjadi bahan-bakar-nabati (biofuel). Tidak kurang 6 juta hektar lahan hutan tropis telah dikonversi menjadi areal perkebunan sawit di hampir semua pulau besar di Indonesia.9 Konversi hutan tropis menjadi kawasan perkebunan monokultur kelapa sawit tentu saja membawa berbagai dampak, mulai dari hilangnya keanekaragaman hayati, berkurangnya sumber-sumber pangan masyarakat, konflik-konflik sosial, hingga ancaman-ancaman penyakit akibat penggunaan masifnya penggunaan herbisida—khususnya jenis Paraquat—di kawasan-kawasan perkebunan sawit.10 Tidak hanya itu, pembukaan areal hutan, khususnya hutan gambut, baik melalui cara pembakaran maupun pembabatan, berakibat pada lepasnya unsur gas methan yang permukaan tanah yang justru menyebabkan semakin tebalnya lapisan gas rumah kaca di atmosfer bumi. Dari sudut kesehatan, perubahan iklim khususnya pemanasan global, menyebabkan meluasnya areal endemic vector-borne diseases. Berdasarkan berbagai laporan dari masyarakat, pemanasan global telah berkontribusi pada meluasnya areal kembang-biak nyamuk anopheles penyebab Malaria. Selain malaria, pemanasan global telah berkontribusi pada meluasnya penyebaran jentik-jentik nyamuk penyebab demam berdarah dan filariasis. Juga perlu ditambahkan dalam paparan ini, ancaman-ancaman penyakit yang disebabkan oleh bencana-bencana iklim seperti leptospirosis dan diare yang disebabkan oleh banjir dan rob. Di Indonesia, sepanjang 2002 hingga 2009, di 13 kecamatan itu ditemukan 29 kasus penderita kaki gajah, tujuh orang di antaranya meninggal dan dua penderita terpaksa diamputasi kakinya. Sejak itu Kabupaten Malang pun menjadi wilayah endemis penyakit kaki gajah. Yang mengerikan, kaki gajah tak hanya mewabah di Malang. Dalam waktu hampir bersamaan, penyakit yang ditularkan oleh pelbagai spesies nyamuk yang membawa virus filaria tersebut juga menyerang hampir seluruh daerah di Tanah Air. Setidaknya 316 kabupaten dan kota termasuk wilayah endemis filariasis atawa kaki gajah.11 Seperti diketahui, penyebab penyakit kaki gajah adalah tiga spesies cacing filarial, yakni Wucheria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Di Indonesia vektor penularnya diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes, dan Armigeres. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, filariasis merupakan satu dari penyakit yang muncul kembali, bahkan kian mewabah, terutama di negara-negara tropis, akibat pemanasan global yang melanda belakangan ini. Menurut data WHO, sepanjang 1976-2008 tercatat 30 penyakit muncul akibat perubahan iklim dan pemanasan global. WHO juga mencatat, perubahan iklim yang terjadi telah mengakibatkan sekitar 150 ribu angka

                                                            9 Menurut rencana, pemerintah akan terus melakukan pembukaan areal hutan untuk memperluas kawasan perkebunan sawit hingga 20 juta hektar pada tahun 2020 yang akan datang. 10 Paraquat adalah jenis herbisida yang paling banyak digunakan di dunia. Herbisida jenis ini memiliki reputasi yang buruk dalam hal kesehatan karena toksisitas akut oral yang banyak diderita oleh pekerja perkebunan, khususnya di perkebunan kelapa sawit. Informasi mengenai paraquat dapat dilihat dalam “Paraquat Factsheet” di http://www.pan-uk.org/pestnews/Actives/paraquat.htm 11 Lihat “Bumi Memanas Penyakit Mengganas”. Koran Tempo, 13 Desember 2009.

  17

Page 19: The Biggest

kematian setiap tahunnya. Keadaan ini akan berkembang dua kali lipat pada 2030. Masalah ini terutama akan terlihat pada negara-negara dunia ketiga. Intinya, perubahan iklim pada akhirnya memperburuk kemiskinan serta meningkatkan kerentanan masyarakat dalam hal kesehatan (baik secara fisik, nutritional, mikrobiologikal, maupun mental).12 Ketergantungan biologi dan ekonomi manusia terhadap stabilitas, produktivitas, dan resiliensi lingkungan alam adalah mutlak. Lahan pertanian pangan, pasokan air bersih, kualitas udara, pasokan serat dan kayu, zat-zat alam yang mengandung obat (natural medicinal substances), dan stabilitas iklim, semuanya terkait dengan kesehatan manusia—dan semuanya terkena dampak negatif akibat perubahan iklim. Oleh karenanya, dibutuhkan suatu strategi mitigasi dan adaptasi yang tepat dan terarah serta sesuai dengan kondisi obyektif—geografis, demografis, klinis, maupun sosiologis—Indonesia. Sejauh ini, pemerintah memang telah menyusun langkah-langkah ke mitigasi perubahan iklim. Salah-satu langkah yang dilakukan pemerintah adalah dengan membentuk Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Dewan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2008. Sesuai dengan mandatnya, dewan ini bertugas untuk mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam pengendalian perubahan iklim.

Banjir Robohkan Pagar RSUD Mamuju Media Indonesia, Jumat, 25 Desember 2009 MAMUJU--MI: Banjir akibat hujan deras yang melanda Mamuju, Sulawesi Barat,Jumat (25/12), selain merendam ratusan rumah penduduk juga menggenangi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mamuju. Bahkan, pagar RS tersebut sepanjang 100 meter roboh akibat diterjang arus banjir. Selain merobohkan pagar, banjir juga menggenangi ruang perawata, sehingga ruangan kotor dipenuhi lumpur dan sampah yang terbawa air. Menurut salah seorang warga Mamuju, Fathur, banjir mulai terjadi pada Jumat dinihari setelah wilayah itu diguyur hujan deras sejak Rabu (23/1) malam. Selain akibat hujan deras, ujarnya, musibah kali ini juga dipengaruhi oleh buruknya sistem drainase di ibu kota Sulawesi Barat itu. Akibatnya, air hujan tidak bisa mengalir sehingga meluap ke segala arah. "Banjir kali ini lebih parah jika dibandingkan denga tahun lalu. baru hujan satu hari, banjir sudah setinggi paha," kata Fathur. Permukiman penduduk yang terendam banjir antara lain Asrama Kodim 1401 Mamuju, komplek BTN Ampi di Kelurahan Rimuku, Kelurahan Binanga, dan Kelurahan Mamunyu. Seluruhnya berada di Kecamatan Mamuju, Kabupaten Mamuju. "Kalau hujan terus, banjir pasti akan lebih parah. Inilah yang mencemaskan kami, karena saat ini baru masuk musim hujan. Entah bagaimana pada Januari nanti yang merupakan puncak musim hujan," kata warga lainnya, Anjas. (M-FH/OL-01)

Sejauh ini, upaya yang dilakukan oleh DNPI masih terbatas pada perumusan beberapa kebijakan dalam konteks adaptasi, seperti perubahan pola konsumsi energi dari bahan bakar fosil ke bahan-                                                            12 Penjelasan lebih lengkap mengenai dampak kesehatan akibat perubahan iklim bisa dilihat di situs WHO, khususnya di http://www.who.int/mediacentre/news/notes/2009/climate_change_20090311/en/index.html

  18

Page 20: The Biggest

bakar nabati. Belum ada langkah konkret yang telah dilakukan oleh badan yang membawahi hampir 18 lembaga kementerian dan setingkat menteri itu. Seolah terbawa oleh arus perdebatan mengenai perubahan iklim pada tingkat global, fokus DNPI cenderung lebih banyak mengkaji aspek-aspek ekonomi yang menjadi tema-tema panas dalam perundingan iklim global. Sedikit sekali perhatian yang diarahkan untuk mengkaji dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Padahal, sebagai negara berkembang yang berbentuk kepulauan di mana rakyatnya memiliki ketergantungan yang relatif tinggi pada keseimbangan iklim dan ekologis, semestinya pemerintah tidak begitu saja mengikuti arus perdebatan pada tingkat global, dengan memfokuskan perhatian pada kajian-kajian mengenai dampak-dampak spesifik perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat di Indonesia, khususnya pada aspek sosial-kesehatan. Hal ini sepatutnya diikuti dengan peningkatan kapasitas aparatur pemerintahan—khususnya yang bergerak di sektor kesehatan—untuk bisa lebih sensitif dan tanggap dalam mengamati perkembangan-perkembangan situasi sosial-kesehatan yang diakibatkan oleh perubahan iklim. Kegagalan dalam memahami gambaran lengkap tentang dampak perubahan iklim bagi kehidupan manusia tidaklah mengherankan. Ada kesenjangan yang besar antara memahami jenis risiko yang ditimbulkan oleh perubahan iklim untuk kesehatan dasar dan terhadap pemahaman konvensional mengenai bagaimana suatu wabah penyakit berkembang-biak. Contoh yang barangkali relevan dengan pernyataan di atas adalah kejadian pasca pengobatan massal filariasis di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Media massa melaporkan, sembilan orang meninggal dunia dan puluhan lainnya terpaksa mendapatkan perawatan rumah sakit pasca mengonsumsi vaksis filariasis. Meski pemerintah membantah sinyalemen yang mengatakan bahwa kematian tersebut akibat pemberian vaksis filarial, namun masyarakat sepertinya enggan percaya. Adanya kejadian fatal tersebut barangkali memang bukan karena pemberian vaksin filarial. Seperti dikatakan oleh Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, vaksin tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya kematian. Oleh karenanya, di tengah situasi yang semakin menghimpit, terdapat beberapa hal yang saat ini, hendaknya dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi dampak perubahan iklim terhadap kondisi kesehatan masyarakat. Pertama, pemerintah sebaiknya segera mengakukan kajian yang terstruktur mengenai dampak-dampak perubahan iklim terhadap meningkatnya risiko kesehatan. Kajian tersebut sebaiknya diperluas dengan mencakup aspek-aspek yang diperkirakan merupakan terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia. Hal ini sebenarnya telah menjadi salah-satu rekomendasi dalam pertemuan WHO 2008 yang memandatkan WHO untuk meluncurkan program tentang perubahan iklim dan kesehatan. Mengingat dampak-dampak perubahan iklim senantiasa spesifik dan lokal, pemerintah Indonesia sebaiknya berinisiatif untuk juga melakukan kajian yang sama pada konteks Indonesia. Kedua, menyusun strategi atau kebijakan adaptasi perubahan iklim dengan mencakup strategi-strategi pencegahan pada level primer, sekunder, dan tertier. Risiko-risiko kesehatan yang tidak terhindarkan sebaiknya diatasi sebisa munkin dengan mengurangi tingkat ancaman, dan meningkatkan pemantauan, dan modifikasi pengaruh risiko atau dampak kesehatan, serta memberikan respon yang baik terhadap ancaman-ancaman aktual perubahan iklim terhadap kesehatan. Sebagaimana yang diserukan oleh WHO, memperkuat pelayanan kesehatan adalah komponen utama yang seharusnya tertera dalam strategi adaptasi perubahan iklim.13 Ketiga, pemerintah juga sebaiknya tetap mengampanyekan pentingnya pengurangan emisi gas rumah kaca pada tingkat global dan secara konsisten menekan produksi emisi gas rumah kaca pada tingkat

                                                            13 Lihat WHO. “Protecting Health From Climate Change: Global Research Priorities”. World Health Organization. 2009.

  19

Page 21: The Biggest

nasional dengan mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri.***

Enhancing People Resilience toward the Impact of Climate Change on Human Health: Community Based Risk Assessment in 9 villages in Indonesia1

Abstract In Indonesia, natural calamities such as earthquake, volcano eruption and seasonal drought and flooding have occurred from time to time far before the CC issues were exposed and these have became key causes of the decreasing of people welfare and health status. The accelerating impact of the climate change has further worsened the health situation of people, especially the vulnerable segments of the population such as the poor. At village level the accessibility to health services is limited and survival of the poor depends to the existing traditional social support system. Currently the supportive social fabric of the rural communities has been negatively affected by modernization, economy centered development strategy and top down project oriented interventions and this has increased vulnerability to CC impact. In the last decade CC related hazards such as flooding and landslides has increased significantly and this has increased exposure in term of number of the poor in the affected areas. These hazards have been perceived by the general population as related to local or regional environmental damages due deforestation, bad waste management, urbanization and bad development planning rather than as global warming issue. This project intends to improve the resilience of the most vulnerable segments of the population of 9 pilot villages toward the health impact of climate change through risks reduction. The project interventions are focused to build the grassroots capacity for reduction of vulnerability through: (1) the increasing of people knowledge and awareness on climate change and its public health impacts; (2) re-strengthening the supportive social system of the communities; (3) facilitation of community based initiatives for health impacts mitigation; and (4) facilitation of network of stakeholders The selection of 9 pilot interventions/villages is based on three criterions; i.e. the variety of possible public health impacts of CC; geographical settings which will determine the type of CC related hazards; and cultural/traditional background of the population Hipotesis 1,2, 3, 5; were supported in all villages. Which mean, the magnitude and frequency of hazards are felt increased; the fragility of the people is also felt increased; the level of fragility is correlated with the availability of better life conditions; the level of resilience will depend on the felt potential impact and awereness of Impact of CC; the resilience is correlated with traditional Survival Life adaptation and the level of external Intervention. Even though we had found the relevancy of impact of climate change to the local situation, but at the same time we also found dilemmas in campaigning the climate change. We saw that increasing awareness to enhance resilience, or creating skeptical plus over blaming of CC as the root of the problem and releasing the responsibility of the existing structural injustice problem; Enhancing the peoples self initiative, or creating new project expectations of the people. Therefore we need to find a sufficient strategy to bring the message of global warming without eliminating local issue that concerned by people. The people intervention to decrease the impact of CC to health is just started is focused to decrease the most killer disease for the most vulnerable groups. The climate change is considered not as a main cause but the supporting cause 1.Presented  by Sigit Wijayanta  PhD, Executive Director of Christian Foundation for Public Health ( Yakkum) on Climate Change and Health  Conference, Haus am Schuberg,  Hamburg, 25‐26 September 2009.

  20

Page 22: The Biggest

BBaaggiiaann VV

PPeellaajjaarraann--PPeellaajjaarraann PPeennaanngggguullaannggaann BBeennccaannaa ttaahhuunn 22000099 UUjjiiaann uunnttuukk SSiisstteemm PPeennaanngggguullaannggaann BBeennccaannaa NNaassiioonnaall

                                                           

Sebagai negara yang berada pada “ring of fires”, Indonesia adalah negara yang tergolong rawan terhadap risiko bencana. Demikian pula yang terjadi pada tahun 2009 ini. Sepanjang tahun 2009 terjadi serangkaian bencana, mulai dari bencana banjir, kekeringan, dan gempa bumi. Di antara sekian peristiwa bencana yang terjadi sepanjang tahun 2009, barangkali gempa bumi yang terjadi di Jawa Barat pada tanggal 2 September 2009 dan Sumatera Barat pada 30 September 2009 menjadi kejadian yang paling banyak mendapat perhatian masyarakat. Gempa di Jawa Barat berkekuatan 7,3 skala richter dan terjadi pukul 14.55 WIB, pada Rabu 2 September 2009. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, pusat gempa berada pada koordinat 8,24 derajat LS dan 107,32 derajat BT atau sekitar 142 km dari Tasikmalaya di kedalaman 30 km.14 Sementara gempa yang melanda Provinsi Sumatera Barat terjadi pada hari Rabu, 30 September 2009. Gempa tersebut berkekuatan 7,9 skala richter dan berlangsung kurang lebih 45 detik. Terjadi pada pukul 17.16 WIB dengan pusat gempa di 0,84 LS dan 99,65 BT pada kedalaman 57 km atau barat daya Pariaman. Menurut Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, korban tewas akibat gempa di Jawa Barat mencapai 127 orang, 270 orang luka berat, dan 1245 luka ringan. Sementara di Sumatera Barat, Kantor Wilayah Dinas Kesehatan Sumatera Barat melaporkan 1117 korban meninggal, 1214 luka ringan, dan 1688

luka berat.15 Gempa di Jawa Barat mengakibatkan setidaknya 153 bangunan pemerintah rusak, 8,885 rumah warga rusak berat atau roboh, dan sekitar 9,393 rumah rusak ringan. Di antara data kerusakan tersebut terdapat satu buah rumah sakit, 53 puskesmas, dan 75 puskesmas pembantu, serta 48 bangunan polindes yang turut rusak akibat gempa. Sementara di Sumatera Barat, 249.833 rumah warga rusak akibat gempa dan tanah longsor. Kategori kerusakan terdiri atas 114.797 unit rusak berat atau roboh rata dengan tanah, 67.198 unit rusak sedang dan 67.838 unit rusak ringan. Sementara sarana dan fasilitas

kesehatan yang rusak di Sumatera Barat adalah 6 buah kantor dinas, 68 rumah dinas pegawai, 10 rumah sakit, 53 puskesmas, 87 puskesmas pembantu, dan 15 bangunan polindes mengalami kerusakan akibat gempa. Total kerugian akibat kerusakan bangunan karena gempa di Jawa Barat mencapai 8,79 triliun. Sementara total kerugian akibat gempa di Sumatera Barat mencapai Rp 21,58 triliun.

RS M Djamil, Padang rusak karena gempa

 14 Menurut United State Geological Survey (USGS), pusat gempa berada pada koordinat 7,77° LS dan 107,32°BT, dengan magnituda 7,0 Mw (Momen Magnitude) pada kedalaman 49,5 km. 15 Data lain menyebutkan korban tewas di Sumatera Barat mencapai 1.195 orang, terdiri atas 983 orang ditemukan jasadnya dan teridentifikasi serta 212 orang hilang tak ditemukan. Lihat “Kerugian Akibat Gempa Sumbar Rp21,58 Triliun”.http://www.tvone.co.id/berita/view/27575/2009/11/15/kerugian_akibat_gempa_sumbar_rp2158_triliun/

  21

Page 23: The Biggest

Di samping dua bencana tersebut masih ada beberapa kejadian bencana namun memang tidak mendapatkan ekspose yang cukup luas dari media massa. Diantara kejadian-kejadian tersebut adalah gempa berkekuatan 7,6 skala richter yang terjadi pada 76 km sebelah barat daya Kota Manokwari, Papua Barat pada hari minggu, 4 Januari 2009. Akibat gempa tersebut, empat orang tewas, puluhan luka-luka, dan kurang lebih 17 ribu penduduk mengungsi karena tempat tinggalnya rusak atau trauma akibat gempa. Gempa 1 Oktober 2009, berkekuatan 7 skala richter yang berpusat di wilayah Kabupaten Kerinci. Gempa 16 Oktober 2009 di Ujung Kulon yang berkekuatan 6,4 skala richter. Selain gempa, terdapat pula beberapa kejadian bencana, seperti gempa Dompu, NTB pada Agustus 2009, banjir yang terjadi di Banten pada bulan November 2009. Kemudian banjir di Kabupaten Pidie (Aceh), Kabupaten Sitaro (Sulawesi Utara), dan Kabupaten Bandung (Jawa Barat) yang seluruhnya terjadi sepanjang Desember 2009.

****

Berdasarkan catatan Yakkum Emergency Unit (YEU), masih terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam kebijakan penanggulangan bencana, baik yang terjadi di Jawa Barat maupun di Sumatera Barat. Untuk bencana gempa Jawa Barat misalnya, pengambilan keputusan mengenai status bencana Jawa Barat yang diambil di tingkat lokal, provinsi, maupun pusat tidak didasarkan pada situasi riil di lapangan. Dalam beberapa aspek, keputusan diambil dengan cenderung mengedepankan kepentingan politis, dibanding kepentingan kemanusiaan. Tarik-menarik kepentingan menyebabkan penetapan status bencana cenderung lambat. Hal ini menyebabkan munculnya keraguan dari para pihak atau aktor yang hendak melibatkan diri dalam penanganan bencana. Akibatnya upaya pemberian bantuan dan pemenuhan kebutuhan pokok dan hak-hak dasar penyintas bencana tidak sepenuhnya mampu dipenuhi secara optimal. Muncul kesan jika Pemerintah di lingkungan Provinsi Jawa Barat tidak memiliki sensitifitas terhadap krisis yang diakibatkan oleh bencana yang terjadi. Hal ini masih berlanjut pada fase penanganan pasca masa krisis. Hingga kini, bisa dikatakan tidak ada cetak biru atau arahan yang jelas tentang penanganan pasca krisis dan koordinasi setelah memasuki periode rehabilitasi dan rekonstruksi pun tidak optimal. Berdasarkan laporan yang disampaikan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dalam rapat cluster kesehatan yang diselenggarakan di Kantor Departemen Kesehatan RI (tanggal), informasi mengenai dampak akibat gempa di Jawa Barat lebih banyak berasal dari pusat dan bukan dari jajaran yang bekerja di tingkat lapangan (puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota). Komunikasi dengan seluruh jajaran kesehatan yang berada di daerah-daerah bencana baru bisa diselenggarakan setelah lima jam setelah kejadian. Koordinasi pun baru bisa diselenggarakan kemudian. Akibatnya, penanganan pada masa-masa “emas”—yakni masa dua jam setelah peristiwa—tidak bisa berjalan secara optimal. Di lapangan, tim YEU menemukan fakta bahwa tenaga kesehatan di tingkat lokal tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk melakukan penanganan gawat-darurat. Masalah lain yang mengemuka adalah pemahaman mengenai prinsip-prinsip penanganan gawat-darurat dan rehabilitasi pasca bencana di jajaran pemerintah lokal masih sangat terbatas. Bahkan kerap muncul permasalahan-permasalahan atau isu-isu karena kekhawatiran yang tidak perlu pada tingkat lapangan yang dihembuskan oleh jajaran pemerintah yang justru memperlambat penanganan dan menghabiskan waktu yang cukup lama, seperti isu kekhawatiran akan penyebaran ajaran agama tertentu yang datang beriringan dengan pemberian bantuan pada masa gawat-darurat maupun rehabilitasi.

  22

Page 24: The Biggest

Masalah ini sebenarnya tidak perlu muncul apabila pemerintah di Jawa Barat mampu mengkoordinasikan seluruh kegiatan terkait bencana yang dilaksanakan di wilayah pemerintahannya. Ibarat istilah, “buruk muka cermin dibelah”, tidak sedikit jajaran pemerintahan—khususnya pada tingkat lokal—yang justru mencari-cari kesalahan dari pihak-pihak yang menawarkan bantuan penanganan bencana, daripada membenahi koordinasi di dalam struktur dan jajarannya sendiri. Sementara di Sumatera Barat, sistem atau mekanisme mobilisasi sumberdaya manusia dan fasilitas layanan kesehatan untuk tanggap darurat dari tingkat nasional dan regional tidak bisa berjalan efektif. Masalahnya karena lambatnya informasi mengenai kebutuhan tenaga relawan bencana yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan daerah. Akibatnya, banyak sumberdaya relawan (keterampilan, spesialis, transportasi) yang telah masuk ke Sumatera Barat tidak bisa dimanfaatkan dan terbuang percuma. Pemerintah tidak secara sigap mengidentifikasi kebutuhan dan melakukan pembagian peran dan wewenang pada semua jajarannya dalam pemberian bantuan tanggap darurat. Sebaliknya, waktu pada saat krisis lebih banyak digunakan untuk menyelaraskan peran dan menanggulangi konflik-konflik yang terjadi antara pemberi bantuan dalam penanganan bencana.

Gempa 7,3 SR RSUD Tasikmalaya Masih Pungut Biaya Pasien Korban Gempa detikNews, Sabtu, 05/09/2009 Tasikmalaya - Ibarat jatuh tertimpa tangga. Itulah gambaran nasib Oom, korban gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat. Oom mengaku sedih saat ditagih biaya pengobatan putranya, Nanang, sebesar Rp 10 juta oleh dokter RSUD Tasikmalaya. Kondisi yang dialami Oom berbeda dengan pernyataan dari Dinas Kesehatan Jawa Barat yang menegaskan akan menggratiskan biaya pengobatan korban gempa 7,3 skala richter (SR) yang berpusat di Tasikmalaya. "Ibu juga sedih karena kemarin dokter sempat bilang, Ibu alat penopang tulang sudah dipasang, Ibu harus bayar Rp 10 juta," kata Oom seraya menirukan ucapan dokter itu. Hal itu disampaikan Oom saat menunggui putranya, Nanang Hermanto, yang dirawat di RSUD Tasikmalaya, Jawa Barat, Sabtu (5/9/2009). "Ibu bingung waktu dibilang begitu. Iya saya akan cari dulu. Kalau yang kecil-kecil mah Ibu sudah bayar Rp 100 ribu, dan Rp 200 ribu," lanjut dia. Bukannya sudah digratiskan pemerintah? "Waduh saya tidak tahu. Pokoknya saya ditagih dan harus bayar sebelum anak Ibu pulang," sahut Oom. Dilarang Pungut Biaya Dalam kesempatan terpisah, Kepala Seksi Pelayanan Medis RSUD Tasikmalaya, Aat Nurmayati, menegaskan sesuai perintah Dinas Kesehatan Jawa Barat, pasien korban gempa dilarang dipungut biaya. "Kalau pasien yang benar-benar kena bencana dan ada surat keterangan resmi dari puskesmas setempat dia korban bencana itu dibiayai pemerintah," kata Aat. Namun, Aat mengaku tidak tahu mekanismenya. "Saya tidak tahu mekanismenya apakah ditalangi

  23

Page 25: The Biggest

dulu oleh pasien baru diganti atau seluruhnya ditanggung pemerintah," ujarnya. Aat berjanji akan mengecek ke bagian keuangan dan menelusuri petugas dan dokter yang menagih uang pengobatan itu. RSUD Tasikmalaya sebelumnya merawat 38 pasien korban gempa. Hingga kini, masih ada 10 orang yang masih menjalani perawatan. Rata-rata pasien dirawat karena mengalami patah tulang. Apa pasien yang telah pulang ditagih biaya? "Saya tidak tahu. Nanti saya tanya ke bagian keuangan," sahut dia. Sumber: www.detiknews.com

Butuh waktu kurang lebih lima hari setelah kejadian untuk mengaktifkan sistem pelayanan kesehatan lokal. Koordinasi mengenai upaya aktivasi tersebut pun membutuhkan intervensi dari aktor-aktor lokal yang akibatnya kerap menimbulkan friksi yang tidak perlu pada saat penanganan gawat-darurat. Koordinasi dan distribusi bantuan baik bantuan sandang pangan maupun tenaga untuk penanganan darurat sangat lambat dan semakin memperberat kondisi korban. Singkatnya, kejadian di Sumatera Barat relatif sama dengan kejadian di Jawa Barat. Masalah utamanya terletak pada koordinasi yang lambat dan penuh ketegangan yang menghabiskan waktu cukup lama sehingga penanganan korban menjadi cenderung terbengkalai. Berbagai peristiwa bencana yang terjadi sepanjang 2009 adalah pelajaran yang menarik untuk menilai efektifitas kebijakan penanggulangan bencana di bawah payung Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan sudah dilengkapi dengan beberapa peraturan pemerintah, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, serta Peraturan Pemerintah nomor 23 tentang Peran Lembaga Internasional dan Lembaga Asing Non-Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Pasca pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), serangkaian peraturan dan pedoman teknis juga telah diterbitkan dalam rangka memperkuat kelembagaan nasional penanggulangan bencana. Namun, pengalaman penanganan gempa Jawa Barat dan Sumatera Barat menunjukkan bahwa keberadaan UU, peraturan-peraturan pemerintah, hingga pedoman-pedoman teknis dalam penanggulangan bencana belum mampu menjawab masalah-masalah klasik, seperti masalah koordinasi, distribusi informasi, dan berbagai hal lain yang terkait dengan penanganan bencana. Memang jika dilihat dari usia, UU berikut dengan peraturan dan petunjuk teknis tersebut masihlah relatif muda. UU penanggulangan bencana baru berusia dua tahun, sementara umumnya peraturan-peraturan dan petunjuk teknis pelaksanaan UU rata-rata baru berusia satu tahun. Karenanya dimaklumi jika sosialisasi dan pemahaman mengenai ketentuan-ketentuan yang tertera dalam UU dan PP serta juknis penanggulangan bencana masih bervariasi. Pada sektor kesehatan, Departemen Kesehatan sebenarnya telah mengadaptasi kebutuhan penanggulangan bencana dengan membentuk Pusat Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan (PPK). Selain itu, Departemen Kesehatan juga telah membagi jajarannya ke dalam sembilan region untuk respon bencana. Wilayah paling barat dipusatkan di Padang dengan perlengkapan yang relatif paling canggih, mulai dari gudang obat, tenda untuk rumah sakit lapangan, sarana penjernihan air, dan lain-lain. Sementara Jawa Barat termasuk ke dalam region dua yang terpusat di Jakarta. Secara umum, Jakarta merupakan wilayah dengan kelengkapan infrastruktur pokok maupun penunjang paling memadai diantara daerah-daerah lain di Indonesia.

  24

Page 26: The Biggest

Selain itu, Departemen Kesehatan juga telah menyiapkan konsep Desa Siaga untuk meningkatkan keberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana. Konsep ini pada awalnya difokuskan untuk menunjang upaya menekan kematian ibu dan anak, namun dalam perkembangannya, konsep Desa Siaga juga diarahkan untuk menciptakan sistem kesiap-siagaan dan mitigasi bencana bidang kesehatan pada tingkat paling rendah. Dengan segala kekurangan dan kritik yang ada padanya, konsep desa siaga merupakan konsep ideal yang memungkinkan partisipasi masyarakat yang optimal dalam sistem kesiapsiagaan dan mitigasi bencana bidang kesehatan. Kebijakan dan konsep-konsep kebijakan yang ideal tersebut, pada kenyataannya belum seideal yang dibayangkan. Pada saat kondisi darurat sesaat setelah terjadinya bencana hampir seluruh sistem yang telah disiapkan untuk menunjang respon cepat bencana tidak bekerja. Koordinasi pada level region tidak bisa diselenggarakan dalam waktu cepat. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat mengakui ketergantungan pada input dari PPK pusat masih cukup tinggi. Jajaran Dinas Kesehatan pada tingkat lokal tidak bisa melepaskan diri kendala personalnya akibat bencana, sementara pengerahan tenaga dari luar kawasan yang terkena bencana relatif tidak bisa dilakukan dengan segera mengingat minimnya masukan informasi dari bawah. Sementara mengenai implementasi desa siaga, kendala utama yang umum ditemui oleh YEU adalah kurangnya kapasitas tenaga kesehatan lokal dalam melakukan langkah-langkah minimal dalam penanganan bencana, khususnya pada masa krisis. Implementasi desa siaga ternyata bergantung pada inisiatif dan disesuaikan dengan tingkat pemahaman yang bervariasi diantara tenaga-tenaga kesehatan lokal. Relatif sedikit tenaga kesehatan lokal—baik dari jajaran puskesmas hingga kader-kader posyandu—yang memiliki pemahaman mengenai paradigma penanggulangan bencana. Hal ini menyulitkan untuk mengukur efektivitas pelaksanaan Desa Siaga dalam konteks respon tanggap-darurat bencana. Berdasarkan observasi kualitatif atas bencana-bencana yang terjadi belakangan ini, indikator-indikator penanganan bencana yang efektif berdasarkan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana (RAN-PRB) belum dipahami secara komprehensif. Pengurangan risiko bencana belum dijadikan bagian integral dalam kebijakan dan program-program pembangunan jangka menengah dan panjang. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Tingkat kesiapan dan waktu yang diperlukan untuk tanggap-darurat. Masalah yang kerap dilihat

dalam konteks ini adalah lamanya waktu yang diperlukan untuk persiapan pelaksanaan kegiatan tanggap darurat. Kurang lebih dibutuhkan waktu hingga empat hari untuk melaksanakan sistem tanggap darurat yang optimal dan terkoordinasi.

2. Periode pemulihan dan tingkat efisiensi pemulihan. Biasanya, masa pemulihan dinyatakan akan dilaksanakan pada satu atau dua bulan pasca tanggap-darurat. Namun hal ini kerap tidak konsisten. Dalam kenyataannya, tidak kurang 6 bulan waktu yang diperlukan untuk menyusun pendekatan dan program yang dilakukan di lapangan sebenarnya masih berada pada fase tanggap darurat (untuk kategori bencana sedang). Mengenai tingkat efisiensi pemulihan, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor partisipasi masyarakat, bukan karena kesiapan sistem pemerintah.

3. Nilai kerugian berbanding dengan biaya pemulihan. Jika mengacu pada prinsip build back better, biaya pemulihan memang akan lebih besar daripada nilai kerugian. Namun dengan alasan keterbatasan dana, nilai kerugian masih jauh lebih besar dibandingkan dengan alokasi dana pemulihan pasca bencana.

4. Besaran biaya sistem pengurangan risiko bencana. Biaya yang dibutuhkan untuk menunjang penciptaan sistem pengurangan risiko bencana relatif besar, karena meliputi asesmen tingkat risiko dalam bentuk pemetaan ancaman dan risiko yang masih belum merata; pembangunan sistem

  25

Page 27: The Biggest

informasi dan komunikasi antar-stakeholder, dan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia. Masalahnya, efektifitas dan keberlanjutan sistem kurang dimonitor, asesmen yang dilakukan, sistem informasi yang disusun, dan pelatihan SDM yang dilakukan tidak ditindaklanjuti dalam perencanaan dan pelaksanaan program yang berkelanjutan.

5. Lingkup perencanaan dan pengelolaan kebencanaan. Mengingat tingkat perkembangan sosial dan variasi keadaan dan risiko benana antar daerah, perencanaan dan pengelolaan kebencanaan sebaiknya dilakukan secara terdesentralisasi. Namun dalam beberapa hal, seperti kasus PPK Depkes, orientasi kebijakan perencanaan dan pengelolaan kebencanaan masih terpusat. Padahal, seharusnya pemerintah pusat lebih fokus pada analisis dan kajian-kajian kebijakan dan memainkan peran konsultatif dan koordinatif, sementara implementasi dan penguatan kelembagaan secara teknis diselenggarakan di tingkat daerah.

6. Penyediaan jaring pengaman sosial untuk mendukung ketahanan terhadap bencana. Proses ini relatif berjalan namun memang belum menyeluruh pada analisis risiko dan mengedepankan prinsip kerja kemanusiaan—bebas dari kepentingan politik, serta diorientasikan untuk perombakan sistem dan kultur, tidak hanya terbatas memenuhi kebutuhan jangka pendek.

7. Kesinambungan sumber dan alokasi pendanaan untuk manajemen bencana. Karena pemahaman Pengurangan Risiko Bencana belum terintegrasi dalam siklus program pembangunan, berdampak pada kesinambungan sumber dan alokasi pendanaan manajemen bencana. Hingga saat ini, bencana cenderung dianggap sebagai tambahan beban.

8. Lingkup, relevansi, dan kemampuan riset dalam mengidentifikasi bencana, risiko, dan ketahanan terhadap bencana. Hal ini belum dianggap penting karena alokasi pendanaan lebih banyak difokuskan pada tanggap darurat. Oleh karenanya, diperlukan suatu upaya yang lebih keras untuk menciptakan sistem pendanaan yang lebih lestari.

9. Pengkajian ulang, memperbarui, dan memelihara rencana aksi pengurangan bencana secara rutin. Upaya ini sebenarnya bisa dilakukan dengan menggunakan model partisipatif (views from frontliner) untuk melihat progres implementasi rencana aksi nasional pengurangan risiko bencana.

10. Penguatan kapasitas jaringan kerjasama yang memadukan kepentingan pemerintah, swasta, LSM, perkumpulan profesi dan individu. Beberapa insiatif pilot sudah dilakukan di daerah dengan tingkat kerawanan relatif tinggi dengan dilahirkannya forum PRB yang melibatkan pemerintah, LSM, akademisi, masyarakat sipil. Namun demikian perlu diyakinkan bahwa mekanisme jaringan semacam ini akan produktif dan efisien jika dipandang sebagai kemitraan sejajar dengan visi bersama yang jelas untuk mencapai masyarakat aman dan siaga.

Kebijakan dan strategi Pemerintah Republik Indonesia dalam hal penanganan bencana di bidang kesehatan, secara sederhana dapat dipilah dalam dua ranah yaitu tanggap darurat dan kesiapsiagaan atau mitigasi yang pelaksanaannya diserahkan pada Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Depkes (untuk tanggap darurat) dan dinas kesehatan kabupaten sampai puskesmas dan struktur di bawahnya (untuk mitigasi dan kesiapsiagaan). Serupa dengan permasalahan di atas dalam hal pengelolaan bencana secara umum, dari bidang kesehatan pengelolaan bencana juga menghadapi tantangan (sekaligus opsi solusinya) sebagai berikut : Pertama, peningkatan kesehatan masyarakat untuk mempercepat pencapaian target MDGs dipengaruhi oleh intensitas ancaman risiko bencana yang tinggi di hampir seluruh wilayah Indonesia, apalagi dengan fenomena perubahan iklim ekstrem. Faktor risiko bencana harus dipertimbangkan secara cermat dalam assessment dan penyusunan rencana program kesehatan harus selalu mengintegrasikan upaya pengurangan risiko bencana (tidak hanya pada tanggap darurat) yang sesuai dengan prinsip promotif dan preventif dalam program kesehatan masyarakat. Kedua, Keterbatasan sumber daya mendorong Pemerintah dan semua stakeholder dalam bidang kesehatan menjadi inovatif dan kreatif dalam penyusunan dan pelaksanaan program. Perlu dicari

  26

Page 28: The Biggest

strategi yang memungkinkan partisipasi masyarakat dan semua pihak lain secara lebih luas, bertanggung jawab, decentralised tapi juga sinergis dan kontekstual (bukan merupakan generalisasi program nasional) dalam penyusunan dan pelaksanaan program kesehatan berbasis masyarakat. Juga perlu dilakukan peningkatan dan atau penguatan kapasitas institusi harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan dan terhubung dengan staekholder lain. Ketiga, problem kesehatan masyarakat yang kompleks dan sangat dipengaruhi variabel sosial, ekonomi, budaya, dll membutuhkan kerja keras, kerja sama dan jejaring kerja yang produktif, efektif dan efisien serta lintas departmen, lintas institusi, lintas sektor dan mekanisme monitoring dan evaluasi yang melibatkan masyarakat secara lebih besar untuk memastikan kelestarian dan kemandirian. Forum Koordinasi, komunikasi dan sharing antara aktor di bidang kesehatan (pemerintah, LSM, akademisi, masyarakat sipil, perusahaan, lembaga profesi, dll) di level lokal, regional dan nasional perlu diselenggarakan secara berkala untuk memastikan monitoring partisipatif dan follow up yang efektif. Mengenai program jangka pendek sebagai masukan pada program 100 hari Menteri Kesehatan terkait dengan penanganan bencana, terdapat beberapa program mendesak perlu dilakukan. Pertama, perlu dilakukan screening mengenai risiko gizi buruk balita pasca bencana sebagai bagian yang integral dalam proses pemulihan pelayanan kesehatan puskesmas di daerah-daerah bencana, seperti di Sumatera Barat dan Jawa Barat. Gizi buruk adalah problem kerentanan karena masalah-masalah sosial, khususnya kemiskinan, yang dalam kondisi darurat tentunya akan melipatgandakan tingkat kerentanan yang dimaksud. Selain itu, pemulihan pelayanan puskesmas di daerah-daerah bencana juga sebaiknya diikuti dengan adanya asesmen mengenai disease factor risk di wilayah kerja puskesmas-puskesmas tersebut. Bukan tidak mungkin, kejadian yang dialami di Bengkulu Utara, di mana terjadi penyebaran wabah cikhungunya di areal bencana, juga terjadi di daerah-daerah bencana lainnya. Kedua, mengutamakan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam proses penguatan 100 rumah sakit yang disiapkan untuk penanggulangan bencana. Dalam upaya ini, perlu diambil beberapa kesepakatan teknis seperti indikator pemilihan 100 rumah sakit pilot—misalnya dengan memperhatikan aspek letak dengan menjadikan rumah sakit yang berada di wilayah risiko bencana lebih tingi sebagai RS pilot—untuk memastikan efektifitas penguatan kapasitas SDM di RS tersebut. Selain itu, diperlukan kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki kemampuan dalam penanganan bencana di sektr kesehatan, sehingga kualitas SDM yang dihasilkan memiliki orientasi visi yang baik dalam kerja penanggulangan bencana yang efektif. Ketiga, penguatan logistik di sembilan pusat regional penanggulangan bencana, yakni di Medan, Makasar, Surabaya, Palembang, Denpasar, Manado, Banjarmasin, Jakarta, Semarang dan dua sub-regional di Padang dan Jayapura. Upaya ini sebaiknya dilakukan dengan pola yang terdesentralisasi.***

  27

Page 29: The Biggest

Bagian VI

“On track” atau “Off Track” Menyimak Prestasi Indonesia dalam Pencapaian Target MDGs

Fatalisme yang berakar pada kemiskinan sebagaimana tercermin dari kasus Ponari serta meningkatnya tuntutan masyarakat sebagaimana tercermin dari kasus Prita adalah pelajaran berharga untuk mengukur kesiapan Indonesia untuk mencapai target MDGs. Kesimpulan yang barangkali paling

cepat bisa diambil dari fenomena tersebut adalah krisis dan implikasinya terhadap pelayanan dan pembangunan kesehatan di Indonesia. Jika dibaca secara keseluruhan, MDGs menekankan pengertian bahwa pengentasan kemiskinan tidak semata-mata persoalan ekonomi—dalam arti mengurangi setengahnya penduduk yang berpendapatan kurang dari satu dollar per hari—melainkan juga melipusi aspek pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender, dan keseimbangan dalam kerjasama internasional. Satu aspek dalam indikator-indikator MDGs mengikat erat aspek lainnya. Jika hendak dikaji secara utuh, prestasi Indonesia dalam pencapaian target MDGs, harus diakui, belumlah memuaskan. Meski badan-badan internasional terkait dengan pembangunan menyatakan bahwa Indonesia telah “on track” dalam pencapaian MDGs, namun pernyataan itu sepertinya baru sebatas wacana untuk memotivasi pemerintah agar mau bekerja lebih keras memenuhi target

MDGs yang kian dekat. Dalam konteks pengentasan kemiskinan, hingga kini Indonesia terkesan belum berani menggunakan indikator pendapatan satu dollar per-hari sebagai garis kemiskinan. Ada beberapa indikator yang tidak secara konsisten diterapkan pemerintah untuk menyatakan batas minimum pendapatan atau garis kemiskinan. Garis kemiskinan tersebut diukur dari kemampuan membeli bahan makanan ekuivalen dengan 2100 kalori per kapita per hari dan biaya untuk memperoleh kebutuhan minimal akan barang/jasa, pakaian, perumahan, kesehatan, transportasi, dan pendidikan. Berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dirangkum UPKM/CD Bethesda—salah satu unit dalam lingkungan Yakkum yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat di sektor kesehatan—pemerintah masih cenderung mengedepankan pendekatan-pendekatan yang artifisial dalam mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah lain. Pendekatan-pendekatan tersebut tidak hanya gagal dalam membawa perbaikan, bahkan memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Salah-satu contoh kasus mengenai hal itu adalah bagaimana pemerintah mengelola program pengentasan kemiskinan di Kabupaten Timor-Tengah-Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur. Program-

  28

Page 30: The Biggest

program pengentasan kemiskinan yang cenderung bersifat charity dengan tidak memperhatikan dan mengembangkan sumberdaya lokal yang tersedia menyebabkan masyarakat cenderung menunggu datangnya bantuan dari pemerintah, ketimbang mengupayakan pengelolaan sumberdaya secara produktif dan berkelanjutan. Akibatnya, masyarakat kurang mampu memahami metode pengembangan sumberdaya yang baik dengan cenderung bertahan pada pola-pola pemanfaatan sumberdaya secara ekstraktif sehingga menyebabkan turunnya daya dukung lingkungan. Masalah kemiskinan pun menjadi berlipat di kabupaten yang sebenarnya pernah tergolong sebagai wilayah yang subur di NTT. Di wilayah Pati, Jawa Tengah, pembangunan yang tidak memperhatikan faktor keseimbangan alam menyebabkan kawasan tersebut kerap dilanda banjir pada saat musim hujan dan kekeringan pada saat kemarau. Produktivitas pertanian semakin turun dan lapangan kerja di pedesaan pun menyempit. Sebagian warga terpaksa mencari pekerjaan ke luar daerah, bahkan ke luar negeri, dengan melepaskan diri dari jeratan kemiskinan yang semakin kronis di pedesaan. Namun tingkat pendidikan yang relatif rendah menyebabkan mereka kurang mampu bersaing di lapangan kerja dan tidak sedikit yang terjerumus pada dilema kemiskinan yang semakin akut. Prestasi pemerintah dalam pengurangan gizi buruk di kalangan balita dan anak-anak pun masih kurang menggembirakan. Hingga saat ini, beberapa Provinsi masih belum bisa keluar dari catatan buruk pengurangan gizi buruk. NTT misalnya, sampai saat ini masih tergolong sebagai Provinsi dengan tingkat gizi buruk yang paling tinggi se-Indonesia. Data Dinas Kesehatan setempat menyembutkan kasus gizi buruk di NTT mencapai 32,6 persen atau lebih tinggi dari angka nasional yang sebesar 18,4 persen. Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menyebutkan hingga 1 Oktober 2009 jumlah penderita gizi buruk di provinsi itu mencapai 4.496 orang. Jumlah penderita gizi buruk ini, lanjutnya, tersebar di 21 kabupaten/kota di NTT. Kabupaten yang jumlah penderita gizi buruk tertinggi yakni Timor Tengah Selatan (TTS) sebanyak 559 balita, sedangkan terendah di Kabupaten Lembata dengan satu kasus gizi buruk dengan kelainan klinis.16 Namun, persoalan gizi buruk bukan hanya terjadi di NTT, kasus serupa bisa ditemukan di kota-kota dan Provinsi-Provinsi lain di Indonesia. Di Mojokerto misalnya, pada triwulan pertama 2009 ditemukan 60 kasus balita gizi buruk, mengalami peningkatan dari periode sama tahun sebelumnya yang hanya 48 kasus. Di Kota Semarang, Jawa Tengah, 44 kasus gizi buruk ditemukan sejak Januari hingga Mei 2009, melonjak dari tahun 2008 yang hanya 30 kasus. Masih di Jawa Tengah, Hingga semester pertama 2009, gizi buruk diderita sekitar 610 balita, 165 balita dirawat, dan 22 balita meninggal dunia. Total selama tahun 2009, penderita gizi buruk di Jawa Tengah mencapai 1106 penderita.17 Di Bantul, Yogyakarta, ratusan balita menderita gizi buruk tiap bulan. Pada bulan Agustus 2009 tercatat 213 kasus, September 2009 meningkat menjadi 219 kasus, sedangkan pada bulan November 2009 turun sedikit menjadi 201 anak. Sementara di Pontianak, sepanjang 2009 ditemukan 39 kasus gizi buruk. Dua balita di antaranya meninggal dunia. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya, yang hanya ditemukan 29 kasus. Di Surabaya, salah seorang bayi (29 bulan) penderita gizi buruk, diketahui menderita AIDS. Pemerintah sebenarnya telah menyusun rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan gizi buruk (2005-2009). Rencana ini mencakup beberapa program pokok, mulai dari revitalisasi posyandu, revitalisasi puskesmas, intervensi gizi dan kesehatan, promosi keluarga sadar gizi, pemberdayaan keluarga, advokasi dan pendampingan, dan revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). RAN ini telah pula dilengkapi dengan indikator-indikator keberhasilan, mulai dari indikator dampak yang terdiri dari prevalensi gizi kurang dan gizi buruk, kemudian indikator output yang terdiri                                                             16 Lihat "4.496 Balita di NTT Derita Gizi Buruk". Suara Merdeka. 23 November 2009. 17 Lihat “2009, Terjadi 1.106 Kasus Gizi Buruk di Jateng”. tvOne. Senin, 9 November 2009.

  29

Page 31: The Biggest

dari data-data angka tentang jumlah balita yang terlayani, yang memiliki Kartu Menuju Sehat (KMS), yang ditimbang, dan lain-lain. Dalam RAN tersebut, peranan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) menjadi salah-satu indikator masukan yang penting. Akan tetapi, upaya-upaya sebagaimana dirinci dalam RAN Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009 tidak bisa berjalan dengan baik. Kendala yang dikeluhkan telah menghambat pelaksanaan RAN tersebut adalah ketersediaan dana. Tampaknya pemerintah kurang bisa berhasil memobilisasi sumber-sumberdaya lokal untuk dialokasikan guna mendukung pelaksanaan RAN tersebut. Hingga kini, pemerintah masih mengandalkan strategi pengembangan posyandu dan pemberian makanan tambahan (PMT) yang disertai dengan sosialisasi untuk menekan tingginya balita dengan gizi buruk. Upaya ini kerap menghadapi kendala seperti keterbatasan finansial dan lambatnya pencairan dana pemerintah pusat untuk pemberantasan gizi buruk. Hal ini setidaknya dialami oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sebagaimana diakui pejabat pemerintah setempat yang terkait.18

Riska dan Osi, Bocah-bocah Kurang Gizi Liputan6.com, edisi 5 Desember 200919 Liputan6.com, Polewali: Seorang anak petani miskin di Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menderita gizi buruk. Riska, demikian nama bayi berusia tiga tahun itu, hanya memiliki berat badan tiga kilogram. Riska seringkali menangis karena kurangnya asupan gizi yang diterima tubuhnya. Riska adalah potret kehidupan sebuah keluarga miskin. Burhan bukannya tak mengerti jika sang anak tumbuh tak normal karena kurang gizi. Namun, dia tak berdaya ketika dihadapkan pada kewajiban memberi makanan bergizi bagi Riska. Demikian pula ketika harus membawa sang buah hati ke rumah sakit, biaya yang dibebankan terlalu tinggi untuk petani penggarap seperti dirinya. Riska tidak sendiri. Di bagian lain negeri ini, tepatnya di Kendari, Sulawesi Tenggara, seorang bocah juga tergeletak tak berdaya. Bocah itu bernama Osi yang kini berusia 11 tahun. Tak ada gizi cukup dan tidak ada makanan sehat, sehingga Osi menderita gizi buruk. Namun, Osi sedikit beruntung dari Riska karena ditangani pihak rumah sakit. Riska, Osi dan mungkin masih banyak lagi balita yang mengalami nasib serupa di negeri ini, seolah tak ada yang peduli. Apalagi ketika petinggi negeri ini justru tengah sibuk mengurus kasus Bank Century, sosok Riska dan Osi makin jauh dari pelayanan yang seharusnya dia dapatkan dari negara.***

                                                           

Padahal, penanganan gizi buruk sebenarnya tidak hanya tanggung jawab satu sektor dalam pemerintahan—dalam hal ini Departemen Kesehatan. Gizi buruk adalah muara dari berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Oleh karenanya, program penanggulangan gizi buruk

 18 Kepala Seksi Bina Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan Sulsel Astati Mada Amien di Makassar, mengungkapkan, lambatnya pencairan dana dari Departemen Keuangan telah menyebabkan rendahnya penyerapan dana penanggulangan gizi buruk dari APBN tersebut. “Dinkes baru menerima dana penanganan gizi buruk Oktober 2009. Hingga Desember 2009, Dinkes Sulsel hanya mampu merealisasikan penggunaan dana itu sebesar Rp 3 miliar dari total dana yang dialokasikan Rp 19 miliar,” ucapnya. Dana sebesar dipergunakan untuk pemberian bantuan dan sosialisasi kepada masyarakat yang rawan terhadap kasus gizi buruk. Lihat “Dana Lambat, Penanganan Kasus Gizi Buruk Juga Lambat” dalam Kompas edisi Senin, 21 Desember 2009., http://regional.kompas.com/read/xml/2009/12/21/22391477/dana.lambat.penanganan.kasus.gizi.buruk.juga.lambat 19 Lihat “Riska dan Osi, Boca-bocah Kurang Gizi” dalam Berita Liputan6 SCTV. http://berita.liputan6.com/daerah/200912/253518/Riska.dan.Osi.Bocah.bocah.Kurang.Gizi

  30

Page 32: The Biggest

hendaknya dijalankan secara paralel dengan program-program lain yang mencakup berbagai sektor

Dunia 2009 yang diterbitkan UNFPA akhir pekan lalu isebutkan, laju eskalasi kematian ibu melahirkan di Indonesia bukannya menurun, melainkan melonjak

ap jenis penyakit ini menjadi faktor pendukung penyebaran penyakit HIV/AIDS. ada perkembangan saat ini, penyakit ini mulai menjangkiti ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak balita

iksaan HIV/AIDS baik yang dilakukan emerintah Indonesia maupun pemerintah negara-negara penerima, justru kian memperburuk

daerah di Jawa, Kalimantan an Sulawesi yang termasuk daerah endemis rendah dengan API kurang dari satu per 1000 sementara

alaria. Upaya tersebut juga dilakukan dengan peningkatan sumber daya manusia bidang esehatan, pemberantasan tempat perindukan nyamuk, serta kegiatan sosialisasi, edukasi dan

                                                           

(multisektor), mulai dari soal ekonomi, pendidikan, hingga kesejahteraan rakyat. Klaim Indonesia yang menyatakan terjadi penurunan angka kematian ibu melahirkan, dari 307 per 100.000 kelahiran hidup menjadi 228 per 100.000 sesuai laporan pencapaian Milenium Development Goals (MDGs) Pemerintah Indonesia 2009, dibantah badan dunia untuk urusan kependudukan (UNFPA). Dalam Laporan Kependudukan dmenjadi 420 per 100.000 kelahiran hidup.20 Program penanggulangan HIV/AIDS, Malaria, dan Penyakit menular lainnya di Indonesia pun masih menghadapi tantangan yang sangat berat. Jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Faktor penyebab utama penularan HIV/AIDS adalah melalui hubungan seksual dan penggunaan jarum suntik. Ironisnya, kalangan yang kerap tertular penyakit HIV/AIDS justru berasal dari mereka yang selama hidupnya kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif, seperti pekerja seks komersial dan buruh migran. Kondisi hidup yang berisiko terkena penyakit HIV/AIDS dan ketidaktahuan terhadPyang dilahirkannya. Selain ketersediaan obat yang kerap kurang memadai, upaya penanggulangan penyakit HIV/AIDS pun kerap bernuansa diskriminasi dan cenderung menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM. Salah-satu contohnya adalah adanya mandatory pemeriksaan HIV/AIDS terhadap calon-calon buruh migrant yang hendak di berangkatkan ke luar negeri. Kewajiban ini menyebabkan calon buruh migran yang menderita HIV/AIDS kehilangan hak untuk mendapatkan pekerjaan. Pada saat perhatian pemerintah lebih terfokus pada aspek medis—pengobatan—sementara tidak ada jaminan mengenai lapangan kerja, khususnya bagi penderita AIDS, mandatory pemerppenderitaan orang-orang yang mengidap penyakit HIV/AIDS. Selain penyakit HIV/AIDS, Indonesia pun masih dihadapkan pada tantangan yang sangat besar dalam hal penanggulangan penyakit malaria. Tahun 2008 lalu dilaporkan dua pertiga kabupaten di Indonesia dengan tingkap populasi lebih dari 100 juta merupakan wilayah endemik malaria. Daerah endemis tinggi dengan Annual Paracite Incidence lebih dari lima per seribu tersebar di Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Sedang wilayah di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah dan Jawa Barat termasuk daerah endemis sedang dengan API satu hingga lima per seribu. Hanya sebagianddaerah nonendemis hanya ada di DKI Jakarta, Bali dan Kepulauan Riau. Pemerintah telah merancang berbagai program untuk menekan penyebaran malaria, mulai dari penemuan aktif malaria, penegakan diagnosis malaria, penggunaan ACT dalam pengobatan, pembentukan pos malaria desa, penyediaan sarana pemeriksaan kasus, dan pembagian kelambu anti nyamuk mkadvokasi.

 20 Lihat “Data Pencapaian MDGs Indonesia dibantah”. Dalam Suara Pembaruan Online edisi 24 November 2009.

  31

Page 33: The Biggest

Besarnya kecenderungan meningkatnya jumlah penderita malaria di Indonesia, salah-satunya disebabkan karena plasmodium (parasit) malaria kini telah kebal terhadap obat-obat malaria lama eperti cloroquin. Pada saat ini memang telah ada pengobatan baru dengan menggunakan Artemisinin

untuk mencegah malaria sudah tidak levan, apalagi kelambu berdesinfektan anti nyamuk malaria mengalami kendala pendistribusian dan rbatasnya sumberdaya manusia yang sukarela melakukannya.

sCombination Theraphy (ACT), namun ketersediaannya masih terbatas. Pos Malaria Desa (posmaldes) yang didukung oleh lembaga donor internasional dan disalurkan secara langsung ke pemerintah daerah tidak tersebar di seluruh daerah endemic, hanya di daerah tertentu saja. Beberapa desa sudah ada Pos Maldes (Pos Malaria Desa) yang hanya melayani penanganan malaria saja, belum melakukan proses pendidikan kepada masyarakat untuk melakukan tindakan pencegahan penyebaran. Keberadaan obat di posmaldes juga memunculkan ketergantungan yang tinggi dari masyarakat terhadap stok obat, padahal sistem pendistribusian juga tidak sustainabel. Akibatnya, untuk penanganan penyakit-penyakit dasar biasanya mereka lebih mengandalkan pengobatan tradisional/alternatif dengan keterbatasan pengetahuan dan sumberdaya alam yang dimanfaatkan sebagai pengobatan herbal. Pembagian kelambu rete

Enam Penderita Malaria Masih Dirawat

Banda Aceh, Kompas - Pusat Kesehatan Masyarakat Kota Calang, Kabupaten Aceh Jaya, hingga saat ini masih merawat enam pekerja tambang rakyat yang positif terkena malaria. Semuanya positif terjangkit malaria setelah menjalani pemeriksaan darah.

”Tapi, gejalanya sekarang berubah. Tidak seperti di buku-buku. Penderita yang sekarang dirawat merasa ngilu di sendi-sendi tubuhnya, otot, dan juga disertai demam tinggi,’ tutur Kepala Puskesmas Calang dr Arjuna ketika dihubungi dari Banda Aceh, Senin (4/1).

Dia menjelaskan, sampai dengan akhir Desember 2009 tercatat 67 penderita malaria berobat di puskesmas tersebut. Empat orang di antaranya meninggal dunia saat sudah mendapatkan perawatan lanjutan di Rumah Sakit Umum Daerah di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.

”Satu di antaranya meninggal setelah satu hari mendapatkan perawatan di sana. Bukan dalam perjalanan ataupun saat dirawat di sini,” kata Arjuna membetulkan pemberitaan media ini beberapa waktu lalu.

Dia mengatakan, keenam pasien malaria yang dirawat di puskesmas tersebut merupakan penambang yang bekerja pada penambangan emas rakyat di Gunung Ujeuen, Kecamatan Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya. Namun, menurut dia, keenam pasien tersebut masih bisa ditangani karena dibawa oleh mandornya dengan cepat.

”Mereka baru sekitar tiga atau empat hari menderita demam dan langsung dibawa ke sini untuk dirawat. Lebih cepat dari yang lalu-lalu,” katanya.

Di samping itu, Arjuna juga mengatakan, sebelum pergantian tahun kemarin, biasanya para penambang yang datang berobat berjumlah 10-11 orang. Rata-rata, katanya, para penambang itu telah terjangkit malaria setelah dua atau tiga minggu sebelumnya. Hal seperti inilah, tambahnya, yang membuat beberapa pasien tidak bisa diselamatkan lagi.

Sekretaris Kecamatan Krueng Sabee Sulaiman, ketika dihubungi, kembali menegaskan keinginannya

  32

Page 34: The Biggest

agar pemerintah menutup untuk sementara waktu lokasi penambangan emas itu. Apalagi, sebenarnya Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya sudah memutuskan untuk menutup tambang emas yang semula dikelola PT Indo Raya ini. Namun, tanpa pengawasan yang ketat, para penambang ini kembali lagi. ”Ditutup waktu ada penambang yang tewas tertimbun setahun lalu,” katanya.

Selain kekhawatiran muncul wabah malaria, Sulaiman mengkhawatirkan dampak penggunaan cairan merkuri untuk membersihkan batu-batu yang mengandung emas tersebut. ”Seharusnya pemerintah kabupaten atau provinsi bersikap tegas terhadap kondisi ini,” katanya.

Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Subdin P2PL Dinkes Aceh Abdul Fattah mengatakan, seharusnya pengusaha memberikan perlindungan yang cukup bagi para pekerjanya. Penggunaan baju lengan panjang dan tempat beristirahat yang layak huni serta terlindung dari gigitan nyamuk menjadi salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh para pengusaha.

”Namun, hal itu wewenang pemerintah kabupaten atau pemerintah provinsi serta dinas terkait. Dinas kesehatan hanya bertugas menangani masalah kesehatannya saja,” tuturnya.

Abdul Fattah mengatakan, Departemen Kesehatan telah mengirimkan satu tim untuk memeriksa kondisi kesehatan pekerja dan lingkungannya.

Bupati Aceh Jaya Azhar Abdurrahman tidak bisa dimintai konfirmasinya terkait dengan merebaknya kasus malaria di wilayah itu. (MHD)

Sumber: Kompas, Selasa, 5 Januari 2010 | 02:55 WIB

kup berbeda ehingga tidak ada proteksi silang dan wabah yang disebabkan beberapa serotype (hiperendemisitas)

uli 2009, ditemukan 2548 asus dengan dua orang meninggal dunia. Di Jakarta Pusat, terhitung Januari hingga Desember 2009

dingkan pada tahun 2008, sebanyak 328 kasus. Di Serang, DBD erenggut nyawa empat warga, sementara sekiar 600 lainnya terpaksa mendapatkan perawatan di

Penyakit menular lain yang cukup menakutkan di Indonesia adalah wabah demam berdarah. Demam berdarah atau Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit febril yang kerap ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. Penyakit ini disebabkan oleh salah-satu dari empat serotype virus dan genus flavivirys, family flaviviridae. Setiap serotype cusdapat terjadi. Demam berdarah disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti. Kasus DBD biasanya ditemukan di kota-kota besar seperti Jakarta, Jogjakarta, Medan, dan beberapa kota besar lainnya. Pada tahun 2009 ini, untuk wilayah Jakarta Selatan saja, tercatat 6.171 kasus DBD dengan rincian Januari 947 kasus, Februari 764 kasus, Maret 815 kasus, April 872 kasus, Mei 1067 kasus, Juni 922 kasus, Juli 668 kasus, Agustus 380 kasus, September 184 kasus, dan Oktober 98 kasus. Di Jakarta Barat, dalam periode Januari sampai minggu pertama Jkini tercatat ada 3.138 kasus DBD dengan angka kematian 5 kasus per hari. Kasus DBD juga ditemukan di wilayah-wilayah lain. Di Sumatera Utara, jumlah penderita DBD di provinsi itu mencapai 3115 orang, dengan 37 diantaranya meninggal dunia. Di Wonogiri, sepanjang tahun 2009 ini jumlahnya mencapai sebanyak 342 kasus, dua di antaranya meninggal. Jumlah ini cenderung meningkat dibanmrumah sakit dan puskesmas.

  33

Page 35: The Biggest

Selain malaria dan demam berdarah, penyakit kaki gajah (filariasis) juga dinyatakan telah kembali mengancam Indonesia. Pejabat dari Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Lingkungan

epartemen Kesehatan RI menyatakan rata-rata prevalensi endemis filarial di Indonesia adalah 19

n sekitar delapan orang eninggal pasca pengobatan massal. Pemerintah membantah kematian tersebut disebabkan oleh

yang dibawa oleh turis asal Australia dan pilot ari sebuah maskapai penerbangan nasional. Hanya butuh waktu tiga bulan, jumlah penderita flu babi

di Indonesia dinyatakan telah mendekati angka seribu.

Dpersen, dengan tingkat prevalensi tertinggi berada di Papua, sebesar 38 persen. Berdasarkan data departemen kesehatan, sampai tahun 2008, secara kumulatif dilaporkan jumlah kasus kronis filariasis mencapai 11.600 kasus yang tersebar di 378 kota/kabupaten. Baru-baru ini, Departemen Kesehatan mencanangkan pengobatan gratis filariasis guna menekan jumlah penderita. Upaya ini diawali dengan pengobatan gratis di Jawa Barat. Akan tetapi, pengobatan ini justru menimbulkan masalah ketika puluhan orang harus dirawat di rumah sakit dampemberian obat vaksin filarial, namun masyarakat sepertinya kurang percaya. Kemudian, di tengah intaian ancaman flu burung (H5N1) yang belum sepenuhnya hilang, Indonesia juga dihadapkan pada persoalan baru, yakni penyebaran flu babi (H1N1). Kasus flu babi pertama kali dinyatakan masuk ke Indonesia pada bulan Juni 2009, d

“Hanya Butuh Tiga Bulan” Penyebaran Flu Babi di Indonesia Juni 2009. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari membenarkan kabar yang menyatakan virus H1N1 sudah masuk ke Indonesia. Kasus pertama virus H1N1 menimpa pilot dari sebuah maskapai penerbangan nasional kemudian warga asing, turis Australia yang tengah ada di Bali, dikabarkan juga terjangkit flu babi. Juli 2009. Penyebaran flu babi berlangsung sangat cepat. Tanggal 14 Juli 2009, sudah ada 122 penderita positif flu babi. Sebanyak 40 kontingen paduan suara Indonesia yang dikirim ke Korea Selatan juga dilaporkan menderita flu babi. Meskipun demikian, Siti berharap merebaknya flu babi tidak perlu dibesar-besarkan. Agustus 2009. Penderita flu babi di Indonesia terus bertambah. Agustus 2009, Departemen Kesehatan mengkonfirmasi 18 kasus baru positif influenza A H1N1. Adanya kasus baru ini membuat jumlah penderita secara kumulatif mencapai 948 orang yang tersebar di 24 provinsi. Pemerintah menyatakan bahwa penyakit influenza H1N1 dapat ditularkan melalui kontak manusia ke manusia. Dari berbagai sumber

Berbeda dengan kasus H5N1, dalam upaya penanganan flu babi, cenderung menganggap enteng penanganan flu babi. Mengutip analisis WHO, pemerintah menyatakan angka kematian (case fatality rate) akibat flu babi adalah 0,5%, jauh dibawah flu burung yang mencapai 80%. Karena itu, pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak terlalu khawatir dengan kasus flu babi. Meski demikian, jika dilihat dari cepatnya penyebaran flu babi dan pengalaman penanggulangan flu burung di Indonesia, kita layak untuk khawatir. Terlebih lagi, jika mengacu pada kewajiban negara untuk memberikan standar tertinggi pelayanan kesehatan yang bisa dijangkau, analisis tentang case fatality rate flu babi yang dinyatakan lebih rendah dibandingkan dengan flu burung sebaiknya tidak dijadikan alasan oleh negara untuk

  34

Page 36: The Biggest

mengabaikan adanya kejadian-kejadian serupa yang mengindikasikan penyebaran flu babi di Indonesia. Masalah lain terkait dengan pencapaian MDGs adalah penanggulangan penyakit TBC. Pada tahun 2005, tim TB External Monitoring Mission 2005 menyatakan Indonesia telah mencapai kemajuan yang sangat bagus (remarkable progress) dalam penanggulangan penyakit Tuberculosis dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya. Tim menilai, rekomendasi-rekomendasi yang dirilis dua tahun sebelumnya telah dilaksanakan dengan baik oleh Pemerintah Indonesia, dengan adanya ekspansi dari pelaksanaan pengobatan TB dengan DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) dan rumah sakit. Lebih lanjut, tim juga mengemukakan bahwa Indonesia pada tahun 2004 juga mencatat kemajuan dalam mencapai angka penemuan kasus baru

BC sebesar 51,6% dari target 60% dan pada tahun 2005 dapat mencapai 70% sesuai dengan target

tiap tahun disebabkan oleh TB. Karenanya, TB masih menjadi enyebab kematian terbesar kedua di Indonesia. Dalam konteks penyakit menular, TB merupakan

rta fasilitas sanitasi dasar pada tahun 2015. dikator-indikator yang ditetapkan diantaranya; proporsi penduduk dengan sumber air yang terlindungi

air minum contohnya adalah sanitasi), akses secara ekonomi ), dan akses secara informasi. Komponen lain yang tertera dalam target 10 dan 11 MDGs

lam UU Nomor 7 hun 2004 yang mengatur tentang hak guna air memberikan pedoman umum privatisasi pengelolaan

pada saat mengajukan Judicial Review itu adalah bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air telah                                                            

Tdunia. Sedangkan keberhasilan pengobatan TBC pada tahun 2004 telah mencapai 85,7% dari target global 85%.21 Meski demikian, catatan-catatan penting tentang TB tetap saja perlu terus dibaca oleh kita. Beberapa catatan tersebut adalah bahwa Indonesia pernah tercatat sebagai negara dengan tingkat penderita TB ketiga terbesar di dunia. Selain itu, setiap tahun ditemukan setidaknya seperempat juta kasus TB baru dan diperkirakan 140 ribu kematianppenyebab kematian terbesar. Intinya, usaha dan kerja-keras untuk menanggulangi penyakit TB masih tetap harus dilakukan di Indonesia. Target ke-10 dan 11 dalam pencapaian MDGs terkait dengan peningkatan akses penduduk terhadap sumber air minum yang aman dan berkelanjutan seIndan berkelanjutan; proporsi penduduk dengan akses terhadap fasilitas sanitasi yang layak; proporsi rumah tangga dengan akses terhadap tempat tinggal. Pada saat berbicara tentang akses—termasuk akses terhadap air—sesungguhnya terdapat beberapa jenis akses yang dinyatakan sebagai hak setiap warga negara. Akses-akses tersebut terdiri dari akses secara fisik (hal ini terkait dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang menjamin terpenuhinya hak, dalam konteks akses terhadap(afordabilitasadalah soal mutu (quality), salah-satu komponen yang juga tercakup oleh Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Persoalan utama masyarakat Indonesia dalam konteks akses terhadap air minum adalah adanya kebijakan yang mendorong privatisasi pelayanan sumber air minum. Kebijakan tersebut berhulu pada Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasal 7 sampai 9 datasumberdaya air. Kemudian pada Bab X pasal 77 ayat (2) ditegaskan bahwa salah-satu sumber pembiayaan berasal dari hasil “penerimaan biaya jasa pengelolaan sumber daya air”. Koalisi 12 NGO dan 35 individu yang peduli pada masalah air dan lingkungan di Indonesia berupaya mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi karena menganggap bahwa UU Sumber Daya Air telah melanggar konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Alasan utama yang dikemukakan

 21 Lihat “Indonesia Capai Kemajuan Dalam Penanggulangan Penyakit TBC”. Rilis tanggal 16 Maret 2005. Diunduh dari http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=801&Itemid

  35

Page 37: The Biggest

mengubah esensi air dari barang sosial menjadi komoditi yang diorientasikan untuk kepentingan komersial. Sebagian NGO bahkan menuding adanya keterlibatan lembaga-lembaga donor multilateral

orld Bank, ADB, dan IMF) dalam mendorong privatisasi dan komersialisasi air melalui bantuan-

gap masih berada di bawah harga asar, yang mana pemerintah disarankan untuk menerapkan kebijakan full cost recovery, yang berarti

berarti konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya.22

(Wbantuan dan persyaratan bantuan yang dibebankan kepada pemerintah Indonesia. Mengutip dari situs Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), berdasarkan kondisionalitas (persyaratan bantuan) yang diberikan lembaga-lembaga donor multilateral tersebut, manajemen sumberdaya air menerapkan prinsip air sebagai “komoditas ekonomis” dimana partisipasi masyarakat yang lebih banyak ditekankan adalah percepatan investasi guna memperluas jasa pelayanan penyediaan air. Selain itu, air yang diperoleh masyarakat diangp

Perempuan Timor: Berjuang demi Tetes Air Kehidupan Mama Yohana, Nona Nelci, dan ratusan mama lainnya di Pulau Timor ini barangkali tidak pernah belajar khusus tentang ilmu gender di gedung universitas manapun. Pula mereka tidak pernah bermimpi menjadi sarjana bahkan anggota dewan yang konon selalu berkoar-koar mau memperjuangkan kepentingan rakyat tetapi nyatanya melempem di tengah jalan. Tetapi bagi masyarakat di sekitarnya, justru merekalah pejuang yang sesungguhnya. Dari tangan dan pikiran merekalah, lahir beberapa komunitas masyarakat madani yang sadar akan haknya, yaitu hak atas hidup dan berdaya. Mereka adalah srikandi yang hidup, meski nama mereka tidak pernah didengungkan di media massa seperti halnya artis atau figur perempuan yang berlenggak lenggok di media dengan segala kepalsuan mereka, tetapi sialnya malah dianggap sebagai pejuang perempuan masa kini. Meski demikian, tiga perempuan Timor ini tidak peduli apakah media melirik mereka atau tidak, apakah public menobatkan mereka menjadi pejuang atau tidak.Yang penting, mereka berkarya dan membawa makna. Para srikandi ini bertemu dengan kami saat bersama-sama memikirkan bagaimana agar air bersih dan sanitasi yang sehat dapat dinikmati oleh masyarakat desa di mana mereka bertahan hidup dari generasi ke generasi. Awalnya mereka hanya pasrah dengan keadaan, bahwa mereka harus berjalan kaki 1-3 km hanya untuk mencari air bersih. Belum lagi beban yang harus mereka pikul sembari membawa air bersih, dan beban pekerjaan rumah tangga lainnya, juga beban mengelola ladang sebagai mata pencaharian mereka. Konon, mereka berpikir hampir mustahil mengharapkan uluran tangan yang konkret datang dari pemerintah maupun lembaga sosial lainnya. Rata-rata datang hanya sampai mengukur dan melakukan survey, setelah itu pergi tanpa kembali. Itulah yang membuat masyarakat desa Baus, desa yang didiami oleh Mama Yohana dan Nona Nelci, trauma dengan kedatangan orang asing, termasuk kami. Meski kami sempat ditolak, namun akhirnya masyarakat menerima kehadiran kami. Kedua perempuan ini pula yang bersemangat melakukan kerja bakti dan memotivasi para perempuan dan laki-laki di desa ini untuk memulai pekerjaan mengolah sumber mata air sehingga air menjadi dekat dengan lingkungan dusun mereka. Ketika masyarakat belum sadar dan masih loyo untuk menggarap perlindungan mata air yang letaknya 1,5 km dari pemukiman mereka dan berada di tebing bukit, dua perempuan ini sejak subuh getol membangunkan mereka. Dengan alat seadanya mereka menggerakkan massa untuk kerjabakti dan kata-katanya selalu menyemangati baik laki-laki maupun

                                                            22 Lihat “Kampanye Menolak Privatisasi dan Komersialisasi Sumberdaya Air” oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia dalam http://www.walhi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=91%3Akampanye-menolak-privatisasi-dan-komersialisasi-sumberdaya-air&catid=43%3Aprivatisasi-air&Itemid=85&lang=in

  36

Page 38: The Biggest

perempuan. “Ayo bangun kalian semua!!! Kalau mau dapat air sekarang juga, jangan malas-malasan. Bapa mama harus sama-sama bekerja agar anak-anak kita bisa mandi dan pi sekolah!” teriakan mereka di pagi buta. Dalam waktu empat bulan, dengan semangat dua perempuan ini masyarakat dusun IV Baus berhasil mengalirkan air bersih dari mata air sampai di depan rumah mereka menggunakan pipa dan baik air. Dari air mata yang habis mongering sebelumnya, menjadi mata air yang bisa mereka nikmati kesegarannya. Perjuangan mereka tidak selesai sampai di situ. Setelah berhasil mengalirkan air dari bak induk mata air, tiba-tiba datang sebuah program yang didanai oleh pemerintah dan lembaga dunia dengan penuh arogan menyerobot bak air dan memasang pipa untuk tempat lain tanpa permisi. Dua perempuan ini tidak tinggal diam untuk memperjuangkan haknya. “Laki-laki di desa kami tidak berani mendatangi orang-orang proyek itu. Jadi kami larang mereka untuk menghadapinya dan kami bilang,’Ini urusan perempuan! Kamu diam saja di belakang kami! Kami akan lawan mereka’, begitu kata kami kala itu,” kisah Mama Yohana dan Nona Nelci. Mereka dengan berani mendatangi orang-orang proyek dan pemerintah desa, bahkan mereka sendiri yang menelpon polisi tanpa takut akan ditangkap. “Kami merasa tidak salah kok, jadi kalau mereka tangkap kami karena melawan proyek itu, biar saja. Orang tahu siapa yang benar. Air sudah jalan kok dirusak sama mereka!” Akhirnya orang-orang proyek itu pulang dengan tangan hampa. Apa daya, mereka menghadapi srikandi perkasa yang menyadari betul kebenaran dan hak rakyat desanya. Begitulah kisah para srikandi dari Timor. Hingga detik ini semangat mereka masih mewarnai kehidupan di dua desa yang terpencil dan tak terjamah dengan modernitas. Kesederhanaan mereka menjadi teladan bagi generasi berikutnya. Pun nama mereka menyegarkan bagai air kehidupan yang kini bisa dinikmati masyarakatnya. Dan kamipun takjub akan pesona mereka, para srikandi masa kini. (TTS, Agustus 2009)

Keberadaan Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah hambatan politik yang menyebabkan terbengkalainya pemenuhan akses masyarakat terhadap air secara adil, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan. Privatisasi yang didorong oleh UU tersebut menyebabkan kontrol atas sumberdaya air tidak lagi bersifat sosial dalam arti berada dalam penguasaan rakyat, melainkan bersifat individual—baik dalam hal pengguna maupun penyedia. Fenomena ini berbarengan dengan emakin tingginya permintaan atas air sebagai dampak perubahan iklim dan bencana-bencana

ir yang melekat ada setiap individu warga negara. Perlu dicatat, air memiliki peran yang sangat esensial bagi

ncapai 70.611 desa. Ini menunjukkan bahwa desa-desa tertinggal itu identik dengan ilayah dengan sanitasi buruk. Sebagian besar dari desa tersebut berada di wilayah Indonesia bagian

slingkungan yang diakibatkannya. Seperti dikisahkan dalam boks “Perempuan Timor: Berjuang demi Setetes Air Kehidupan”, masyarakat rentan pada akhirnya menjadi pihak yang menanggung beban terberat “krisis air” dan masih harus berjuang untuk mendapatkan hak yang sebenarnya dijamin penuh oleh konstitusi dan kovenan-kovenan hak asasi manusia secara internasional. Hambatan politik inilah yang semestinya ditinjau secara kritis dan diubah dengan mengembalikan fungsi sosial dari air dan hak atas apkehidupan manusia, sebab air adalah pangan dan sarana untuk menciptakan pangan. Dalam hal sanitasi, hingga kini sedikitnya 30 ribu desa di 440 kabupaten di Tanah Air memiliki sanitasi lingkungan yang buruk. Ini berarti belum ada satu kabupaten pun yang masyarakatnya sudah berperilaku hidup sehat. Angka departemen kesehatan itu memang tidak berbeda jauh dari jumlah desa tertinggal di Indonesia yakni 32.379 desa (45 persen) atau hampir separuh dari jumlah desa di Indonesia yang mewtengah dan timur.

  37

Page 39: The Biggest

Salah-satu akibatnya, diare masih menjadi masalah pada tahun 2009 ini. Di antara kejadian-kejadian diare yang pernah dilaporkan media massa, barangkali kejadian paling mengenaskan adalah KLB Diare-Kolera di Kabupaten Nabire dan Paniai Papua. Setidaknya 105—sumber lain menyatakan 239—penduduk tewas akibat wabah diare di dua kabupaten di Papua tersebut. Selain itu, KLB diare juga

rjadi di 16 desa di Kabupaten Dompu, NTB. Di wilayah tersebut, 4 orang meninggal, 130 rawat inap, dan 244 warga menjalani rawat jalan akibat diare. Gambaran lain tentang masalah diare bisa dilihat dari bo

te

ks di bawah ini.

Wabah Diare tahun 2009 Januari 2009. Serang, Banten--Sejak memasuki tahun 2009 ini tercatat sebanyak 128 pasien diare di Serang, yaitu 93 kasus di bulan Januari dan 35 pasien yang dirawat sampai 9 Februari ini. Salah satu pasien diare, Adi Apriansyah, 10 bulan, warga Desa Baros, Kabupten Serang, meninggal dunia. Di Surabaya--Sejumlah rumah sakit dan puskesmas mengalami lonjakan jumlah pasien diare. Tercatat 476 pasien diare dirawat di beberapa rumah sakit. Berdasarkan pemantauan di 4 rumah sakit dan 1 puskesmas terdapat 476 pasien diare. RS Al Irsyad mencatat 214 pasien diare, RSUD dr Soetomo 106 pasien, RS Soewandhi 38 pasien, RS Haji 92 pasien, dan Puskesmas Wonokusumo merawat 26 pasien diare. Sebanyak 60% pasien diare itu adalah anak-anak. Di RSUD dr Soetomo sekitar 45 pasien diare adalah anak-anak. April 2009. Lombok Timur, NTB. Penderita diare di Kabupaten Lombok Timur sudah meluas ke delapan wilayah kerja pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas). Jumlah penderitanya menjadi 858 orang, dan yang masih menjalani perawatan sebanyak 171 orang. Warga yang meninggal akibat diare tersebut sebanyak tiga orang. Umumnya, para penderita diare di wilayah utara Kabupaten Lombok Timur tersebut berada di satu daerah aliran sungai Reban Aji yang mengalir di antaranya dari Kecamatan Aikmel, Swela dan Pringgabaya. Juni 2009. Polman, Sulawesi Barat--Kasus warga yang terjangkit penyakit diare di Kabupaten Polewali Mandar, saat ini sudah mengakibatkan sekitar sembilan orang meninggal dunia. Penyakit ini banyak menjangkiti warga yang bermukim di wilayah yang jauh dari Kabupaten misalnya Barumbung dan Seppong Barat sudah berada dalam taraf waspada sehingga Promkes (Promosi Kesehatan Kec Matakali mengadakan penyuluhan secara intensif terhadap masyarakat serta pembagian poster tentang pencegahan diare dalam bahasa daerah (Mandar) dan bahasa Indonesia. Juli 2009. Blitar, Jawa Timur. Sejak Januari hingga Juli 2009, sedikitnya 1000 warga kota Blitar terkena diare. Dua diantaranya meninggal dunia. September 2009. Depok, Jawa Barat. Dokter pelaksana Puskesmas Cipayung, Mira Miranti mengatakan pada September 2009, dari 6000 pasien yang berkunjung ke Puskesmas, 60 diantaranya menderita diare. Dokter Puskesmas Pancoran Mas, Dece Feriani mengatakan pada bulan yang sama, pasien diare yang berkunjung ke rumah sakit tersebut mencapai 5 sampai 10 pasien diare, meningkat dari biasanya, hanya satu sampai dua orang pasien tiap hari. Oktober 2009. Purwokerto, Jawa Tengah. Sejumlah 69 warga Desa Pamijen, Kecamatan Sokaraja, Banyumas, Jawa Tengah, harus menjalani rawat jalan karena terserang diare. Diare di desa tersebut juga telah merenggut nyawa enam jiwa. November 2009. Jember, Jawa Timur. Akibat hujan deras yang terus terjadi di Jember, penderita diare mengalami peningkatan secara drastis. Menurut kepala Humas Dinas Kesehatan Jember, Yumarlis, sebelumnya dalam sebulan hanya 60 - 70 kasus diare. Namun sejak dua pekan terakhir

  38

Page 40: The Biggest

justru meningkat hingga 90 kasus. Sumenep, Jawa Timur. November 2009. Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep, Madura, mencatat jumlah penderita diare tahun 2009 mencapai 25 ribu jiwa. Mayoritasnya adalah bayi, balita dan manula. Meski tinggi, Dinas Kesehatan setempat mengklaim berhasil menekan angka penderita diare yang sebelumnya berdasarkan peta rawan diare Dinas Kesehatan Jawa Timur diprediksi mencapai 35 ribu jiwa. Labuang Baji, Sulawesi Selatan. Antara bulan September-November 2009, 293 orang dilaporkan terkena diare dan mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Labuang Baji. Tiga diantara pasien tersebut dilaporkan meninggal dunia. Dirangkum dari berbagai sumber

Perlu dicatat, masalah sanitasi sebenarnya tidak sesederhana dengan “pipanisasi”. Sanitasi secara esensi menyangkut berbagai aspek dalam kehidupan sosial masyarakat, yang mana kunci emecahannya terkait erat dengan pemberdayaan dan penataan sosial masyarakat. Pipanisasp i di

ondisi perekonomian nasional maupun

ijakan yang diambil. Meski memang tidak mudah menjamin tercapainya target MDGs dalam waktu kurang dari lima tahun terakhir

i, namun semua itu bukan berarti tidak mungkin bisa direalisasikan.***

tengah kebijakan umum pengelolaan sumberdaya air yang diprivatisasi tidak akan bisa menjawab masalah pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air dan sarana sanitasi dasar yang memadai. Satu persoalan lagi dalam konteks pencapaian target MDGs adalah masalah-masalah yang terkait dengan kerjasama internasional. Pada masa pemerintahan lalu, sempat mencuat adanya konflik antara Menteri Kesehatan RI dengan WHO dalam hal pengelolaan vaksi flu burung. Konflik ini memang selesai dengan adanya kesepakatan antara kedua-belah pihak, namun tetap saja menyisakan pertanyaan di publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Belajar dari kilasan-kilasan permasalahan yang mencuat pada saat masalah itu mengemuka, pemerintah Indonesia memang sepertinya perlu melakukan suatu tinjauan terhadap sistem pengadaan obat-obatan penting demi terselenggaranya sistem pelayanan kesehatan yang komprehensif. Selama ini, komponen bahan baku utama obat-obatan penting yang dibutuhkan masyarakat memang masih berasal dari luar negeri yang diperoleh

elalui impor. Hal ini perlu dikaji keefektivannya mengingat kminternasional yang masih belum stabil dan bisa berdampak pada pengadaan kebutuhan kesehatan penting bagi masyarakat Indonesia. Jika dilihat dari keseluruhan gambaran tentang kondisi pencapaian target MDGs yang dilaporkan berbagai pihak, termasuk media massa, sepertinya memang belum bisa sepenuhnya disimpulkan bahwa Indonesia telah “on-track” dalam hal pencapaian target MDGs. Terdapat beberapa masalah, baik dari kebijakan maupun dari kondisi-kondisi sosial, ekonomi, termasuk perkembangan alam akibat perubahan iklim, yang berpotensi menghambat pencapaian target MDGs di Indonesia. Selain terus-menerus melakukan update terhadap perkembangan situasi, pemerintah juga perlu secara jeli

engkaji potensi-potensi hambatan yang berasal dari kebijakan-kebm

in

  39

Page 41: The Biggest

Bagian VII

Program 100 Hari Menteri Kesehatan Paparan di atas adalah gambaran umum tentang masalah-masalah yang diwariskan pemerintahan sebelumnya kepada pemerintahan saat ini. Kesimpulan umum yang bisa diperoleh dari gambaran tentang kinerja Indonesia dalam pencapaian target MDGs, khususnya bidang kesehatan, masih adanya kendala-kendala struktural yang menghambat pencapaian target MDGs. Kunci utama yang paling krusial dari catatan di atas adalah pembangunan kesehatan dengan pengentasan kemiskinan. Hubungan yang pelik diantara dua variabel utama MDGs itulah yang menjadi tanggungjawab Menteri Kesehatan RI yang baru, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih. Masalah di atas bukan satu-satunya masalah yang harus dihadapi dr. Endang Sedyaningsih. Terpilihnya dr. Endang Rahayu Sedyaningsih termasuk salah-satu kontroversi dalam penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu II. Pasalnya, pengangkatan dr. Endang R. Sedyaningsih sebagai Menteri Kesehatan menepis dugaan publik dan media massa yang sebelumnya memprediksi dr. Nila Juwita Anfasa Moeloek yang bakal diangkat sebagai menteri. Selain itu, kontroversi bertambah lebar ketika dr. Siti Fadillah Supari—menkes sebelumnya—mempersoalkan kedekatan dr. Endang proyek penelitian Namru II yang bekerjasama dengan Angkatan Laut Amerika Serikat. Selain masalah itu, dr. Endang juga sempat dituduh sebagai pihak yang melarikan sampel virus H5N1 dari Indonesia. Publik berspekulasi pengangkatan dr. Endang R. Sedyaningsih adalah kompensasi dari penghentian proyek kerjasama penelitian kesehatan dengan Angkatan Laut Amerika Serikat yang memang telah dinyatakan dihentikan beberapa saat sebelum pengukuhan kabinet. Opini publik semakin kuat ketika tidak lama setelah dikukuhkan, dr. Endang meresmikan Usaid Center for Biomedical and Public Health Center (IUC) yang kerap disebut sebagai pengganti Namru II. Dr. Endang tidak menepis kedekatannya dengan NAMRU dengan alasan bahwa kedekatan itu adalah wajar dan sebagai peneliti dirinya dituntut untuk bisa bekerjasama secara professional dengan siapa pun. Keberadaan Laboratorium Namru-2 (Naval Medical Research Unit Two) di Indonesia sempat membikin geger setelah disinyalir menjadi media aksi spionase Amerika Serikat di Indonesia. Di tengah keadaan itu, rupanya dr. Endang R. Sedyaningsih tidak mau berlama-lama berada dalam kontroversi dengan mengumumkan prioritas program dalam 100 hari masa pemerintahannya.

Misteri Ibu Endang dan Namru-2 Namru-2 atau Navy Medical Research Unit Two kembali jadi pembicaraan setelah Presiden SBY menujuk Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menteri Kesehatan menggantikan Siti Fadillah Supari. Siti Fadillah Supari yang dikenal kritis terhadap keberadaan Namru-2 menyebut Endang sebagai salah satu pihak yang memiliki hubungan erat dengan Namru-2. Endang juga yang membawa virus flu burung strain Indonesia H5N1 tanpa seizin Siti Fadillah ke Amerika Serikat untuk selanjutnya dikomersialisasi oleh sejumlah perusahaan farmasi raksasa. Hal inilah yang pernah menjadi pangkal sengketa antara Siti Fadillah tidak hanya dengan pemerintah Amerika Serikat juga dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun lalu. Dalam buku “Komisi I: Senjata, Satelit, Diplomasi” yang terbit bulan lalu disebutkan bahwa sebelum singgah di Indonesia, Namru-2 atau Navy Medical Research Unit Two sudah menjejakkan kaki di tiga negara lain.

  40

Page 42: The Biggest

Awalnya Namru-2 didirikan Angkatan Laut AS bekerjasama dengan Rockefeller Institute di Guam, salah satu pangkalan militer Amerika Serikat di Pasifik selama Perang Dunia Kedua. Tahun 1955, Komando Namru-2 dipindahkan ke Taipei, Taiwan, yang ketika itu masih berada di bawah perlindungan politik Amerika Serikat. Menyusul kejatuhan Soekarno, di tahun 1968, pihak Amerika Serikat mulai membicarakan rencana mendirikan semacam laboratorium cabang setingkat detasemen untuk Namru-2 di Jakarta. Detasemen ini dimaksudkan untuk mempermudah penelitian mengenai penyebaran virus penyakit di kawasan Asia Tenggara. Dua tahun kemudian laboratorium cabang itu pun resmi berdiri di Jakarta sementara di tahun 1979, pemerintah AS memindahkan laboratorium pusat Namru-2 ke Manila, Filipina. Selanjutnya, di tahun 1990, setelah serangkaian pembicaraan negosiasi antara Angkatan Laut AS dan Departemen Luar Negeri AS di satu pihak dengan Departemen Kesehatan Indonesia di pihak lain, laboratorium Komando Namru-2 resmi dipindahkan ke Jakarta untuk mendukung kepentingan riset kesehatan AS dan menjadi salah satu mesin diplomatik AS di kawasan Asia Pasifik. Namru-2 secara terus menerus memberikan informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan penyebaran virus dan wabah penyakit. Laboratorium ini juga meneliti penyebaran wabah penyakit pasca gempa hebat dan tsunami di utara Pulau Sumatera, Desember 2004, dan pasca gempa bumi di Jogjakarta, Mei 2005. Saat ini Namru-2 telah mengembangkan aktivitas penelitian dan laboratorium di beberapa negara lain di Asia Tenggara, seperti Laos, Singapura, Thailand, dan Kamboja. Polemik mengenai keberadaan Namru-2 di Indonesia mulai marak akhir 2007. Laboratorium ini diduga mengambil keuntungan untuk AS, dan sebaliknya merugikan Indonesia, dalam bidang kesehatan maupun intelijen, militer dan pertahanan. Dalam jumpa pers di kediamannya di Kompleks IKIP, Rawamangun, Jakarta Timur tadi pagi (Kamis, 22/10), Endang membantah tuduhan tersebut. “Itu kan penelitian, jadi boleh dibawa ke mana saja,” katanya sambil menambahkan bahwa dia memang memiliki hubungan dengan sebatas urusan penelitian dengan sejumlah pihak.

Sumber: www.teguhtimur.com

Sebagaimana dimuat berbagai media massa, terdapat empat program prioritas yang akan dilaksanakan Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih pada 100 hari pertama pemerintahannya. Keempat program tersebut adalah; (1) Pemenuhan hak setiap individu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan program jaminan kesehatan masyarakat dan sebagainya; (2) Peningkatan kesehatan masyarakat melalui percepatan dan pencapaian target tujuan pembangunan milenium (MDGs) seperti mengurangi angka kematian bayi, angka kematian ibu melahirkan dan sebagainya; (3) Pencegahan dan penularan menyakit menular dan akibat bencana; (4) Pemerataan dan distribusi tenaga kesehatan di daerah terpencil, kepulauan, perbatasan dan daerah tertinggal. Selain itu juga terbaca pula beberapa komentar khusus Menkes tentang program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), bahwa Depkes akan memberikan jaminan kesehatan kepada orang-orang miskin yang tidak terdaftar seperti gelandangan dan dalam 100 hari ke depan dengan membagikan kartu bagi orang-orang gelandangan dan orang-orang di panti sehingga mereka dapat jaminan untuk berobat. Juga Depkes akan membayar tunggakan Jamkesmas yg ada. Untuk program MDGs, Menkes mengatakan bahwa akan ada program sweeping balita gizi buruk, berdasarkan data dari Riset

  41

Page 43: The Biggest

Kesehatan Dasar, daerah mana saja yang ada kasus gizi buruk akan dirujuk ke posyandu untuk mendapatkan makanan tambahan agar gizinya tercukupi. Secara umum, fokus Menteri Kesehatan pada kesehatan umum dan penetapan empat bidang prioritas program telah relatif tepat. Hanya saja, terdapat beberapa catatan penting yang perlu disampaikan terkait dengan program 100 hari menteri kesehatan tersebut. Catatan yang terpenting dalam kaitan dengan program 100 hari Menkes dr. Endang R. Sedyaningsih adalah keterbatasan wilayah wewenang dan kapasitas Departemen Kesehatan dalam melaksanakan program-program kesehatan secara terpusat. Perlu disadari bahwa prioritas program 100 hari pertama Menteri Kesehatan dilaksanakan di dalam era desentralisasi.23 Berdasarkan ketentuan terbaru melalui Peraturan Menteri Kesehatan nomor 741/Menkes/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, fungsi Departemen Kesehatan adalah menerima laporan teknis tahunan kinerja dan pencapaian SPM Kesehatan serta melakukan pembinaan dan pengawasan teknis pelaksanaan SPM, melakukan monitoring dan evaluasi, serta melakukan pengembangan kapasitas pemerintah daerah dalam melaksanakan standar pelayanan minimum.24 Berdasarkan semangat desentralisasi dan mengacu pada empat prioritas program 100 hari Menteri Kesehatan, pemerintah pusat, dalam hal ini Departemen Kesehatan cenderung memiliki peranan yang cukup kuat pada prioritas nomor 1 dan 4. Sementara untuk prioritas nomor 2 dan 3, peranan Departemen Kesehatan sebenarnya hanya mengayomi program yang disusun pemerintah daerah yang dikaitkan dengan kebijakan nasional dalam hal percepatan pembangunan kawasan tertinggal. Mengingat peranan Departemen Kesehatan yang relatif spesifik di era desentralisasi ini, maka prioritas utama pada bulan-bulan pertama Menteri Kesehatan seharusnya diarahkan untuk melakukan review dan pemetaan pada aspek-aspek yang terkait dengan prioritas nomor 1 dan 4. Review tersebut sebaiknya diarahkan pada kebijakan-kebijakan terkait dengan prioritas program tersebut. Beberapa kebijakan tersebut misalnya melakukan kajian terhadap kebijakan-kebijakan pelayanan umum bidang kesehatan berdasarkan pengertian “hak setiap individu untuk mendapatkan standar pelayanan kesehatan tertinggi”. Salah-satu kebijakan yang perlu direview berdasarkan pengertian itu adalah kebijakan mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dengan mengajukan pertanyaan apakah kebijakan tersebut telah benar-benar mengaplikasikan pemenuhan hak atas kesehatan khususnya untuk masyarakat miskin atau tidak? Oleh karenanya, kebijakannya tidak hanya memberikan kartu Jamkesmas kepada gelandangan, penghuni panti, dan kelompok rentan lainnya. Intinya, fokus programnya diarahkan pada penilaian dan perbaikan terhadap sistem. Dikhawatirkan, jika programnya hanya memberikan kartu jamkesmas, akan memunculkan kesan bahwa sistem tersebut telah berjalan dengan baik dan mengabaikan tumbuhnya kritik dari masyarakat atas sistem tersebut.

                                                            23 Desentralisasi kebijakan kesehatan telah dimulai sejak tahun 2000 sejak terbitnya Surat Edaran Menteri Kesehatan nomor 1107/MENKES/E/VII/2000 tentang Standar Pelayanan Minimal. Surat ini direvisi tahun 2003 dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1457/MENKES/X/2003 yang ditandatangani oleh Menteri Kesehatan dr. Sujudi. Keluarnya SK Menkes nomor 1457 tahun 2003 ini ditujukan untuk menopang pencapaian Visi Indonesia Sehat 2010. Pada tahun 2008, SK tersebut direvisi dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Kesehatan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota yang ditandatangani dr. Siti Fadillah Supari. 24 Lihat Bab V-VII Peraturan Menteri Kesehatan nomor 741/Menkes/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota

  42

Page 44: The Biggest

Demikian halnya dengan persoalan yang dihadapi untuk mengimplementasikan program ke-4 dari prioritas program 100 hari menteri kesehatan. Masalah ini sebenarnya adalah masalah yang cukup rumit meskipun program penyediaan sarana dan tenaga kesehatan di daerah-daerah terpencil telah ada pada periode sebelumnya. Salah-satu strategi yang selama ini diterapkan adalah menempatkan bidan di tiap desa yang dipandang dapat menopang pemerataan pelayanan kesehatan ibu. Strategi ini kerap tidak berhasil karena dasar penentuan strateginya adalah desa yang merupakan satuan administrasi wilayah. Padahal pelayanan kesehatan dasarnya adalah manusia, dengan menekankan pada ratio tenaga kesehatan berbanding jumlah penduduk. Di beberapa daerah tertentu, seperti Sulawesi dan Maluku, bahkan diperlukan suatu strategi yang lebih khusus, dengan mengombinasikan rasio antara tenaga kesehatan, jumlah penduduk, dan situasi geografis. Keperluan ini rupanya telah disadari Menteri Kesehatan. Dalam wawancara dengan Harian Suara Pembaruan edisi 23 Desember 2009, Menteri Endang Sedyaningsih mengakui distribusi tenaga kesehatan masih belum merata. Padahal setiap tahun terdapat kurang lebih 6000 dokter baru, sementara jumlah puskesmas di Indonesia berkisar sekitar 8000 unit. Pada saat ini, menurut Menteri, setiap dokter baru memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan di daerah selama tiga sampai enam bulan. Setelah itu, sebagian besar dokter memilih membuka praktik di perkotaan dengan alasan demi mendapatkan penghasilan yang tinggi. Akibatnya, diakui oleh Menkes, banyak puskesmas-puskesmas yang tidak memiliki dokter. Guna menjawab hal itu, Menkes dr Endang R. Sedyaningsih tengah memikirkan untuk menyusun undang-undang yang mewajibkan dokter-dokter menetap hingga beberapa tahun di daerah-daerah terpencil. “Harus ada daya paksa untuk menjamin pelayanan kesehatan masyarakat,” jelas dr. Endang pada Harian Suara Pembaruan. Selain masalah rasio tenaga kesehatan dengan penduduk dan kendala geografis, masalah lain yang tidak kalah pelik adalah masalah kesejahteraan tenaga kesehatan. Menteri Kesehatan dr. Endang R. Sedyaningsih memang menjanjikan akan memberikan gaji yang cukup tinggi kepada tenaga-tenaga kesehatan yang mau bekerja di daerah-daerah terpencil. Jika mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan nomor 741/Menkes/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota di mana pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota adalah pihak yang paling bertanggungjawab dalam hal penganggaran kesehatan, kebijakan Menkes tersebut bisa saja mendapatkan penentangan dari pemerintah daerah. Oleh karenanya, kebijakan ini seharusnya terintegrasi dengan kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal sehingga bisa menjadi suatu kebijakan nasional yang terpadu. Pertanyaannya, apakah hal ini realistis untuk bisa dilaksanakan dalam rentang waktu 100 hari pertama pemerintahan Menkes Endang R. Sedyaningsih? Fokus 2 dan 3 adalah bidang yang multi sectoral dan multi level of administration. Dipilihnya soal Gizi sebagai contoh oleh Menkes, mungkin karena Menkes lebih suka dengan program Gizi yang dianggap mudah pemecahannya dengan PMT. Padalah program PMT itu merupakan program ramai ramai ditahun 1970 an dan pada tahun 1980 sudah banyak penelitian yang melihat kegagalan dari program ini. Ditahun 1982 saya pernah menjadi konsultan Unicef untuk mengevaluasi program PMT dan menemukan kegagalan masal. Sekarang ini selain Posyandunya banyak yang macet, Posyandu juga tidak mampu menjadi pusat rehabilitasi malnutrisi berat. Kader hanya bisa buat bubur kacang ijo saja. Masalah kegagalan atau kesulitan pencapaian MDG, misalnya masalah kematian Balita yang terjelek adalah di NTB dan kemungkinan besar disebabkan oleh masalah keluarga dimana ibu dan bapak menjadi TKI sedang balita diasuh oleh tetangga atau nenek. Masalah NTB ini harus dipecahkan oleh NTB dan bukan oleh Pusat. Pemerintah pusat hanya bisa memberikan bantuan dalam hal asesmen dan penyusunan program. Tidak ada pemecahan secara nasional. Program yg benar harus evidence-based dan specific-local. Banyak donor mencoba membantu daerah dengan cara demikian, tetapi masih gagal. AusAID

  43

Page 45: The Biggest

mencoba menbantu NTB selama 15 tahun, juga tidak berhasil. Kegagalannya karena setiap 3 - 4 tahun ditenderkan dan perusahaannya ganti, team leader ganti dan seperti di Indonesia juga. Ganti Team Leader diganti programnya. Apa yang saya kerjakan sewaktu saya di NTB, sekarang tidak diteruskan oleh team baru. Di pihak Dinkes dan Bappeda juga demikian, setiap satu atau dua tahun terjadi mutasi dan program diganti. Ini hanya contoh contoh, yang menunjukkan bahwa seorang Menkes tidak akan bisa mempercepat pencapaian target MDG, tanpa konsistensi dalam managemen program di tingkat daerah. Yang menentukan bukan pusat tapi daerah. Prioritas ketiga, pencegahan dan penularan menyakit menular dan akibat bencana. Ujung tombak departemen kesehatan dalam pemenuhan prioritas program ketiga ini adalah “Desa Siaga”. Hanya saja, diperlukan suatu perombakan yang relatif fundamental terhadap konsep desa siaga sehingga tidak cenderung pada dimensi pembangunan sarana fisik melainkan memang tertuju pada penguatan kapasitas lokal dalam penanggulangan risiko bencana, penyakit menular, dan dampak-dampak perubahan iklim terhadap kesehatan. Karenanya, prioritas program untuk fokus ke-3 dalam 100 hari pertama pemerintahan Menkes Endang R. Sedyaningsih sebaiknya diarahkan pada peninjauan atas konsep kebijakan desa siaga. Di mana salah-satu aspek yang perlu dilakukan seiring dengan itu adalah studi secara nasional tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan, khususnya di Indonesia.***

  44

Page 46: The Biggest

Bagian VII

“Rp 145 per Orang” Mengaji Kebijakan Anggaran Kesehatan

Sebagaimana dipahami secara umum, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Postur APBN—yang tercermin dalam struktur alokasi belanja dalam anggaran belanja pemerintah—kerap dianggap sebagai wujud dari sebuah komitmen politik pemerintah yang bergantung pada tujuan politik yang hendak dicapai pemerintah. Dalam hal anggaran belanja negara, dalam konteks hak asasi manusia adalah bagian dari implementasi dan realisasi pemenuhan, penghormatan, dan perlindungan hak asasi manusia. Anggaran belanja negara adalah instrumen untuk mewujudkan pembangunan yang berbasis pada penghormatan hak asasi manusia, yakni pembangunan sebagai sebuah proses ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang komprehensif, yang memiliki maksud untuk mendorong kemajuan yang konstan atas keadaan kehidupan seluruh populasi dan semua individu dengan dasar partisipasi aktif, bebas, dan berarti, serta dengan prinsip distribusi manfaat yang adil atas segala yang dihasilkannya.25 Khususnya di ranah hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, telah diberikan pengakuan tentang adanya perbedaan tingkat perkembangan dan sumberdaya antar negara yang menyebabkan perbedaan kapasitas pemenuhan hak dari masing-masing negara. Oleh karenanya, setiap negara pihak yang telah menandatangani serta meratifikasi kovenan ekonomi, sosial, budaya, pada dasarnya tidak diberikan suatu standar yang sama, namun memang ditekankan untuk berpegang pada prinsip yang sama, yakni mewujudkan secara progresif (progressive realization) pemenuhan hak asasi manusia dalam setiap kebijakan pembangunannya. Jika menyimak kajian yang dilakukan bersama antara Departemen Kesehatan, Bappenas, Bank Dunia, serta beberapa lembaga lain dalam “Berinvestasi dalam Sektor Kesehatan Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Pengeluaran Publik di Masa Depan” (2008), Indonesia masih menunjukkan kinerja yang buruk di sejumlah bidang penting dan sebagai akibatnya, kemungkinan tidak dapat mencapai beberapa tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang berkaitan dengan kesehatan. Secara khusus, Indonesia baru saja mencapai sedikit kemajuan dalam mengurangi angka kematian ibu hamil26, memperbaiki gizi anak27, tingkat melek huruf perempuan28, atau menanggulangi disparitas kesehatan secara geografis.29                                                             25 Lihat Deklarasi PBB tentang Hak atas Pembangunan (Right to Development). 26 Kematian ibu hamil. Di Indonesia, lebih dari empat orang ibu meninggal untuk setiap 1.000 anak yang lahir hidup. Jumlah tersebut merupakan salah-satu tingkat kematian ibu tertinggi di Asia Timur: hampir dua kali lipat dari Filipina, tiga kali lipat dari Vietnam, dan empat kali lipat dari Thailand. 27 Gizi buruk pada anak. Meskipun Indonesia telah secara substansial mengurangi gizi buruk pada anak dari 38 persen pada tahun 1990 menjadi 25 persen pada tahun 2000, tingkat gizi buruk tidak berubah sejak tahun 2000 dan bahkan meningkat di beberapa propinsi, seperti Papua dan Maluku. 28 Tingkat melek huruf pada perempuan dan akses terhadap air bersih dan sanitasi. Faktor penentu kesehatan yang penting seperti tingkat melek huruf pada perempuan dan akses terhadap air bersih dan sanitasi masih rendah di kelompok-kelompok yang paling miskin jika dibandingkan dengan dunia internasional. 29 Disparitas wilayah. Seperti pada sektor-sektor lain, indikator kesehatan rata-rata lebih baik di Jawa dan Bali, sedangkan Indonesia bagian timur masih tertinggal. Sebagai contoh, di Bali dan Yogyakarta tidak sampai 25 dari 1000 anak meninggal

  45

Page 47: The Biggest

Indonesia saat ini sedang dalam masa transisi epidemiologis: jumlah penyakit menular seperti tuberkulosis dan campak walau jumlahnya menurun tapi masih tinggi sedangkan penyakit tidak menular (non-communicable diseases atau NCD) seperti diabetes, penyakit jantung, dan kanker semakin meningkat dengan pesat. Meningkatnya NCD terutama diakibatkan oleh perubahan pada pola makan dan gaya hidup yang kurang banyak bergerak. Implikasi dari perubahan-perubahan tersebut terhadap permintaan layanan kesehatan merupakan hal yang penting bagi keputusan-keputusan tentang pembiayaan kesehatan dan alokasi sumber daya. Saat ini penyediaan layanan kesehatan masih belum merata dan Indonesia masih menghadapi masalah dengan distribusi wilayah dan kualitas tenaga kerja kesehatannya. Jumlah dokter di daerah terpencil Indonesia tidak memadai, dan tingginya tingkat ketidakhadiran di pusat kesehatan masyarakat. Indonesia hanya memiliki 13 dokter untuk 100.000 penduduk, salah satu rasio terendah di Asia. Di Provinsi Lampung (Sumatra), rasionya adalah 6 dokter untuk 100.000 orang. Selain itu, cakupan yang rendah tersebut diperparah oleh tingkat ketidakhadiran yang tinggi. Hampir 40% dokter ditemukan absen dari pos mereka tanpa alasan yang sah saat jam kerja resmi pemerintah. Sebaliknya, Jumlah perawat di Indonesia relatif lebih banyak daripada negara lain di kawasan Asia Tenggara, namun kebanyakan perawat tersebut tidak terlatih dengan baik dan tidak diizinkan untuk memberikan pelayanan yang diperlukan. Walaupun tidak terlatih dengan baik, perawat di Indonesia berjumlah banyak dan terdistribusi dengan baik. Di daerah terpencil, mereka kerap menjadi satu-satunya tenaga kesehatan yang tersedia. Sebagai konsekuensinya, perawat sering harus memberikan layanan penyembuhan dan diagnostik yang resminya tidak boleh mereka lakukan. Secara keseluruhan, jumlah bidan di Indonesia cukup banyak karena adanya kebijakan bidan-di-desa yang menempatkan bidan di setiap desa. Akan tetapi saat ini, seperti tenaga kesehatan lainnya, distribusi mereka tidak merata. Masalah distribusi ini sangat mendesak di wilayah pedesaan yang terpencil: sebuah penelitian baru-baru ini, berdasarkan survei data dari dua kabupaten di Jawa, menemukan bahwa 10 persen desa tidak memiliki bidan, namun hanya memiliki seorang perawat sebagai penyedia layanan kebidanan. Selain itu, bidan yang ditempatkan di daerah terpencil cenderung kurang berpengalaman dan menangani lebih sedikit kelahiran, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan kemampuan kebidanan profesional mereka. Dalam laporan tersebut juga dinyatakan pengeluaran publik Indonesia untuk sektor kesehatan telah meningkat pesat. Berdasarkan perhitungan, total pengeluaran publik untuk kesehatan telah meningkat empat kali lipat dari sekitar US$1 Milyar (Rp.9.3 trilyun) pada tahun 2001 menjadi lebih dari US$4 milyar (Rp.39 trilyun) pada tahun 2007, yang untuk pertama kalinya melebihi 1 persen dari PDB. Selama ini, anggaran belanja pemerintah di bidang kesehatan memang masih belum bisa dikatakan ideal. Meski mengalami kenaikan sejak 2005-2009, dengan rata-rata kenaikan sebesar 33,1% per tahun—dari Rp 6,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 18,9 triliun pada 2009—namun jika diperbandingkan dengan PDB, kenaikan tersebut masih berada dibawah standar WHO karena masih berkisar antara 0,2%-0,4% dari PDB. Dalam APBN tahun 2010 Departemen Kesehatan ditetapkan mendapat alokasi anggaran sebesar Rp21,4 triliun. Dengan jumlah ini memang terdapat kenaikan sebesar Rp2,5 triliun atau 13,2 persen bila dibandingkan dengan perkiraan realisasi anggaran belanja

                                                                                                                                                                                         sebelum ulang tahun kelima mereka, sedangkan di Gorontalo hampir 100 dari 1000 anak meninggal sebelum mencapai umur lima tahun.

  46

Page 48: The Biggest

Departemen Kesehatan dalam tahun 2009 sebesar Rp18,9 triliun. Akan tetapi, tetap saja berada dibawah standar WHO sebab hanya sekitar 0,4 persen terhadap PDB.30

Anggaran Kesehatan dalam APBN Tahun Anggaran (Rp. 000)

Anggaran Kesehatan 2008 2009 2010 Menurut Bagian31 19.704.176.592 20.273.526.562 21.389.585.833 Menurut Fungsi32 17.270.309.986 17.301.933.690 18.001.829.922 Sumber: www.anggaran.depkeu.go.id

Konsultan Kebijakan Kesehatan, Nutrisi, dan Populasi, George Schieber, mengatakan alokasi dana kesehatan Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara lain yang memiliki tingkat produk domestik bruto sama, seperti Thailand dan Srilanka yang sudah mengalokasikan anggaran belanja kesehatan sebesar 5-6% dari PDB-nya.33 Jika diperbandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lainnya, anggaran kesehatan Indonesia menempati peringkat kedua terbawah. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar di kawasan ASEAN. Kecilnya alokasi anggaran kesehatan berdampak pada pemenuhan hak atas kesehatan, khususnya bagi kalangan miskin dan rentan di Indonesia. Keterbatasan anggaran inilah yang menyebabkan kualitas pelayanan kesehatan, system pelayanan kesehatan primer, di Indonesia tidak mampu memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang memadai, berkualitas, dan terjangkau. Pada Januari 2009, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran menyampaikan untuk melayani 34,96 juta penduduk miskin, anggaran kesehatan yang tersedia hanya sebesar Rp 5,1 triliun. Dengan dasar ini, sebenarnya perkapita penduduk miskin hanya mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 145 per tahun. Dari berbagai kendala dalam konteks pencapaian target MDGs dan pembangunan kesehatan nasional, hampir semuanya berhulu pada keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah. Jika mengacu pada standar WHO, setiap negara sebenarnya diharapkan bisa mengalokasikan 5% anggaran dari Pendapatan Domestik Bruto. Meski bukan merupakan suatu kondisi yang ideal, namun situasi riil yang dihadapi saat ini bukan berarti memberikan legitimasi pada pengabaian tanggungjawab dan kewajiban negara dalam memenuhi hak atas kesehatan bagi seluruh warga negara. Keterbatasan anggaran hendaknya tidak serta-merta diikuti dengan komersialisasi pelayanan publik yang secara esensi justru mempersulit akses masyarakat rentan dan marjinal atas hak. Ketidakefektifan dalam hal pelayanan publik, termasuk di sektor kesehatan, tidak berarti bahwa suatu pelayanan publik itu lantas harus diswastakan. Khususnya pada situasi seperti sekarang, ketika kondisi kesehatan publik berada di bawah berbagai tekanan, baik karena perubahan iklim maupun karena ketidakstabilan kondisi ekonomi, tingkat kerentanan masyarakat di bidang kesehatan akan semakin besar di mana kapasitas layanan kesehatan memiliki kecenderungan semakin berkurang. Intinya, agak

                                                            30 Rencana alokasi anggaran belanja Departemen Kesehatan tahun 2010 tersebut bersumber dari rupiah murni sebesar Rp16,6 triliun, PHLN sebesar Rp792,4 miliar, dan pagu penggunaan PNBP sebesar Rp4,0 triliun. 31 Belanja pemerintah pusat menurut organisasi adalah semua pengeluaran negara yang dialokasikan kepada kementerian/lembaga, sesuai dengan program-program yang akan dijalankan. 32 Belanja pemerintah pusat menurut fungsi adalah semua pengeluaran negara yang digunakan untuk menjalankan fungsi pelayanan umum, fungsi pertahanan, fungsi ketertiban dan keamanan, fungsi ekonomi, fungsi lingkungan hidup, fungsi perumahan dan fasilitas umum, fungsi kesehatan, fungsi pariwisata dan budaya, fungsi agama, fungsi pendidikan, dan fungsi perlindungan sosial. 33 Lihat “Alokasi Dana Kesehatan Indonesia Rendah”. Tempointeraktif edisi Rabu, 27 Mei 2009 | 21:45 WIB. Dapat diunduh dari http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2009/05/27/brk,20090527-178455,id.html

  47

Page 49: The Biggest

sulit jika pada situasi seperti sekarang kita berharap berada dalam kondisi yang ideal. Negara sebesar Amerika Serikat yang mengalokasikan pelayanan kesehatan 17 persen dari PDB dengan jatah dana kesehatan US$ 7 ribu per penduduk, belum bisa memberikan pelayanan kesehatan yang baik karena 15 juta penduduknya belum mendapat asuransi kesehatan.34 Tantangan lain dari segi anggaran adalah memastikan penyelenggaraan pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota bisa diselenggarakan sesuai dengan standar minimal pelayanan kesehatan. Adanya tingkat perkembangan yang berbeda di masing-masing wilayah, khususnya dari aspek sumber daya, menjadi problem tersendiri. Tantangannya terletak tidak hanya pada bagaimana memperbesar alokasi anggaran untuk pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, melainkan juga bagaimana menjamin kebijakan anggaran yang memberikan kontribusi positif secara efektif terhadap peningkatan kualitas kesehatan, baik tingkat nasional maupun lokal. Namun, dari tantangan-tantangan tersebut, justru kita memiliki berbagai pengalaman yang sebenarnya menarik untuk dikaji. Anggaran kesehatan di beberapa kabupaten/kota atau Provinsi justru bisa mencapai proporsi yang relatif ideal. Provinsi DKI Jakarta misalnya, pemerintah setempat bisa menganggarkan dana untuk kesehatan lebih dari Rp 1 triliun atau sekitar 8,2% dari total belanja daerahnya. Tidak hanya bisa memperbesar alokasi anggaran, melainkan juga mampu menggeser orientasi kebijakan dari kuratif ke kebijakan preventif (lihat boks dibawah).

Anggaran kesehatan DKI capai 8,2% JAKARTA (bisnis.com): Pemerintah DKI pada 2010 menganggarkan dana untuk kesehatan sekitar 8,2% dari total belanja lebih dari Rp1 triliun. Kepala Dinas Kesehatan DKI Dien Emawati mengatakan anggaran tahun depan itu meningkat dibandingkan dengan tahun ini. Namun dia tidak mau menyebutkan angkanya, sementara anggaran untuk pendidikan mencapai 20%. "Total anggaran untuk kesehatan itu jauh meningkat dari anggaran tahun ini. Kami kini juga menggeser kebijakan dari kuratif ke preventif," kata Dien dalam simposium Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam praktik klinis sehari-hari di Hotel Sahid Jaya. Ali Sulaiman, pemilik Klinik Hati Prof Ali Sulaiman, mengatakan penyakit hepatitis B dan C di Jakarta sudah mengkhawatirkan. Sekitar 70% pengidap hepatitis B dan C tidak pernah muncul kepermukaan sehingga tidak pernah terjamah oleh tenaga kesehatan. Untuk itu, Dinas Kesehatan DKI bekerja sama dengan Klinik Hati Prof Ali Sulaiman dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah Jakarta menggelar symposium tentang penatalaksana penyakit hepatitis B dan C bagi dokter umum dan Puskesmas se-DKI. "Tujuan dari simposium ini adalah untuk meningkatkan keterampilan, dan meningkatkan ilmu pengetahuan dokter Puskesmas se-DKI yang menjadi lini pertama untuk pelayanan kesehatan," kata Dien Emawati. Dokter Puskesmas, katanya, merupakan ujung tombak untuk menangani berbagai penyakit masyarakat. Dia mengharapkan ketrampilan dan pengetahuan dokter Puskesmas dapat sama dengan dokter di rumah sakit sehingga tidak banyak pasien yang berobat ke rumah sakit. (tw) Bisnis Indonesia, Kamis, 03/12/2009 17:34 WIB

                                                            34 Ibid

  48

Page 50: The Biggest

Hal yang hampir serupa terjadi di Provinsi DKI Jakarta juga terjadi di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur. Pada tahun 2010 ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Sumenep mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp 15,6 miliar, yang berarti naik Rp 4 miliar dari anggaran tahun sebelumnya. Tambahan dana tersebut terbesar berasal dari APBN melalui dana alokasi khusus (DAK) sebesar 5,6 miliar dan dana bagi hasil cukai sebesar Rp 1,2 miliar. Sementara dana yang khusus berasal dari APBD murni hanya sebesar Rp 6 miliar. Dengan tambahan dana tersebut, Pemkab Sumenep berencana mengalokasikan hampir 60% anggaran untuk peningkatan layanan kesehatan dasar di puskesmas serta untuk program jamkesmas.35 Memang benar, jika disamping best-practice seperti terjadi di DKI Jakarta dan Kabupaten Sumenep, terdapat pula beberapa kondisi yang tidak bisa dikatakan ideal. Misalnya, di Kabupaten Bandung anggaran kesehatan pada tahun ini dipangkas dari Rp 80 miliar menjadi sekitar Rp 50 miliar. Demikian pula di Kabupaten Garut, di mana anggaran kesehatan dipangkas 15 persen dari Rp 31 miliar menjadi Rp 25 miliar akibat defisit anggaran. Sementara itu di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, akibat ketiadaan anggaran, dana untuk penanggulangan gizi buruk balita justru dihilangkan. Jika menyimak fenomena di atas, setidaknya terdapat dua hal yang menjadi kendala dalam mengarusutamakan pembangunan kesehatan dalam skala nasional maupun lokal. Hal tersebut, pertama, harus diakui bahwa di kalangan pemerintah sendiri masih terdapat perbedaan penafsiran mengenai arti penting pembangunan kesehatan sebagai sektor penyangga yang paling utama dalam pembangunan sosial-ekonomi masyarakat secara keseluruhan. Pemerintah masih belum seragam dalam memahami bahwa pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak atas kesehatan adalah kunci untuk terpenuhinya hak-hak asasi lainnya. Kedua, implementasi desentralisasi pengelolaan keuangan dalam kebijakan anggaran belanja pemerintah saat ini cenderung masih mengandung karakter atau sifat-sifat sentralisme pada tingkat lokal. Kualitas partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan-kebijakan tingkat lokal masih bervariasi dengan kecenderungan umumnya berada pada level yang masih rendah. Sebagai akibatnya, tidak sedikit pemerintah daerah yang tidak berhasil menangkap aspirasi-aspirasi yang berkembang tentang kebutuhan pokok masyarakat yang mana kesehatan menjadi salah-satu kebutuhan pokok yang paling fundamental. Secara teknis, telah banyak rekomendasi yang bisa disimak untuk mengatasi masalah anggaran belanja kesehatan di Indonesia. Salah-satu dokumen yang mengulas rekomendasi-rekomendasi tersebut adalah dokumen berjudul “Berinvestasi dalam Sektor Kesehatan Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Pengeluaran Publik di Masa Depan” (2008). Di dalam dokumen tersebut terdapat sembilan rekomendasi teknis untuk memperbaiki system penganggaran kesehatan di Indonesia. Rekomendasi-rekomendasi tersebut pada intinya berkisar pada peningkatan sumber daya, perbaikan alokasi, pembenahan manajemen anggaran daerah, hingga perbaikan system pendataan.36 Namun, di samping rekomendasi-rekomendasi tersebut, political will pemerintah yang disertai dengan pemberdayaan masyarakat menjadi rekomendasi yang paling mendesak dan substansial di Indonesia pada saat ini.***

                                                            35 Lihat Tempo Interaktif. “Anggaran Kesehatan Sumenep Naik Rp 4 Miliar Pada 2010”. Edisi Minggu, 03 Januari 2010 | 10:04 WIB. http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/01/03/brk,20100103-216896,id.html 36 Lihat Bappenas dan Bank Dunia. “Berinvestasi dalam Sektor Kesehatan Indonesia: Tantangan dan Peluang untuk Pengeluaran Publik di Masa Depan”. Excecutif Summary. 2008.

  49

Page 51: The Biggest

  50

Tentang Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) dan Tim Penyusun CAT 2009

Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum) adalah lembaga nir-laba kemanusaiaan yang mengemban misi penyembuhan yang mengutuhkan, yang artinya tidak hanya menyembuhkan dari rasa sakit, melainkan juga untuk menjadikan sehat secara utuh baik fisik, menal, spiritual, dan sosial. Dengan ini, Yakkum berharap bisa memberikan dampak berupa kesejahteraan dan kedamaian dalam hubungannya dengan Tuhan (sesuai agama dan kepercayaan masing-masing), hubungan dengan sesama tanpa memandang latar-belakang perbedaan-perbedaan sosial maupun lahiriah, dan harmonis dengan lingkungan.

Dalam menjalankan misinya, Yakkum menjalankan dua aktivitas yang disebut dengan aktivitas intramural, yakni aktivitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan di dalam rumah sakit dan aktivitas ekstramural, yakni aktivitas penguatan dan pemberdayaan kesehatan masyarakat yang dilakukan di luar rumah sakit. Kedua aktivitas tersebut terpola dalam sistem yang terpadu untuk menjamin terselenggaranya tanggungjawab sosial dari seluruh aktivitas pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Yakkum. Yakkum memiliki 12 Rumah Sakit dan belasan BP dan RB yang terpusat di Jawa Tengah dan Lampung. Tiap RS mempunyai Unit Pelayanan Kesehatan masyarakat/Community Development (UPKM/CD) untuk memperluas akses pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang tak terlayani di RS. UPKM/CD RS Yakkum saat ini melayani di lebih dari 450 desa-desa terpencil di 8 Provinsi di Indonesia dan Timor Leste, khususnya di Indonesia bagian timur. Untuk memecahkan problem kecacatan, Yakkum mempunyai tiga unit rehabilitasi yaitu Pusat Rehabilitasi Yakkum, Yakkum craft yang memberi akses pekerjaan pada difable dan Yakkum Bali. Untuk merespons berbagai bencana di Indonesia Yakkum juga mempunyai Yakkum Emergency Unit (YEU) yang melayani hampir semua wilayah bencana di Indonesia. YEU juga mengembangkan pelayanan emergency Regional di Timor Leste dan Myanmar, dan bekerjasama dengan Muhammadiyah dan Humanitarian Forum Indonesia mengirim perawat untuk pelayanan emergency di Gaza Palistina. Sejak tahun 2005, pendekatan pelayanan ekstramurral Yakkum bertransformasi dari welfare approach ke right based approach, disitulah setisp unit extramural melaksanakan berbagai kegiatan penguatan dan advokasi. Baru di tahun 2009 ini Yakkum berusaha mensinergikan semua upaya advokasi di aras lokal dengan bekerjasama dengan CBO atau organisasi-organisasi rakyat di tingkat basis dengan aktor-aktor advokasi di tingkat Nasional dan Internasional agar terjadi sinergi dari berbagai upaya yang ada, sehingga efektivitas advokasi makin dapat dilihat. Untuk itu Yakkum menempatkan staf khusus untuk melaklukan fungsi koordinasi dan membangun agenda advokasi bersama di tingkat nasional di Jakarta. Pada tahun ini Yakkum bersama lembaga-lembaga lain di tanah air tengah mempersiapkan peringatan Satu Dasawarsa Millenium Development Goals (MDGs) dan Konsultasi Nasional mengenai Civil Society Organization Effectiveness. Yakkum juga tengah menyiapkan kajian mengenai isu-isu tertentu di bidang kesehatan, seperti kebijakan mengenai Desa Siaga dan kebijakan-kebijakan lain yang terkait dengan pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin dan rentan di Indonesia. Di tingkat Internasional kegiatan advocacy Yakkum berjejaring dengan berbagai lembaga internasional seperti Ecumenical Advocacy Alliance, DIFAM, EED dan Action by Chuches Together Alliance. CAT 2009 ini disusun oleh Tim yang dikoordinasi oleh Staf Advokasi Jakarta, yang didukung banyak kontributor dari semua unit ekstramural, juga masukan dari Dr.Paulus Santosa dari Adelaide.

Page 52: The Biggest