1
USANTARA 25 RABU, 21 DESEMBER 2011 tidak Berujung DARI banyaknya pemberitaan tentang kasus Sungai Sodong, Mesuji, salah satu yang men- jadi perhatian masyarakat adalah perusahaan penyedia jasa keamanan. PT Sakti Bela Negeri (SBN), perusahaan jasa keamanan, disebut- sebut memiliki peran dalam konik masyarakat delapan bulan silam. Menurut hasil penelusuran Media Indonesia, PT SBN yang menyediakan tenaga keamanan pada perusahaan perkebunan PT Sumber Wangi Alam (PT SWA) di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, saat ini telah berubah nama menjadi PT Laskar Alam Wangi (PT LAW). PT LAW menempati sebuah ruko lantai 3 Jalan Candi Angkoso I No 477 Kelurahan 20 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, Palembang, dan dijaga tiga orang. Salah satu penjaga bernama Anto membenarkan bahwa bos PT LAW adalah Bas- tari. ‘’Bos kami bernama Bastari alias Badai,’’ kata Anto, yang sudah sepekan tinggal di ruko menunggu penempatan menjadi sekuriti. Menurut dia, PT LAW terus merekrut orang untuk dijadikan petugas keamanan di sejumlah perusahaan di Sumsel. Di ruang berukuran 7 x 4 meter tersebut terdapat sebuah meja dan satu set kursi tamu. Pada dinding, terdapat tiga buah bingkai berisi fotokopi surat izin tempat usaha dari Wali Kota Palembang No 503/SITU-R/5153/KPPT/2011 yang dibuat Agustus 2011 dengan pemilik Bas- tari. Bingkai lainnya fotokopi surat izin usaha dibuat September 2011 No 503/SIUP-K/3326/ KPPT/2011, kemudian surat izin dari Kemen- terian Hukum dan HAM No AHU 35856/ AH.01.01/2011 yang menjelaskan PT LAW merupakan perusahaan jasa keamanan. Selain itu, sebuah whiteboard mencantumkan daftar sekuriti PT LAW yang ditempatkan di beberapa perusahaan. Di PT SWA disebutkan ada 9 orang, PT Sriguna 8 orang, perumahan Alam Raya Residence sebanyak 4 orang, dan DPRD Sumsel ada 7 satuan keamanan yang berasal dari PT LAW. Sebuah sumber menyebutkan, Bastari alias Badai bersama dua rekannya sebelumnya mendirikan perusahaan jasa keamanan dengan nama PT SBN pada 2009, kemudian berubah menjadi PT Wira Sandi yang menyuplai tenaga keamanan untuk sejumlah perusahaan perke- bunan dan swasta lainnya di Sumsel, termasuk untuk PT SWA. Menjelang akhir 2010, Bastari pecah kongsi dengan dua rekannya. Dia kemudian mendi- rikan PT LAW, sedangkan satu rekannya yang lain mendirikan perusahaan sejenis bernama PT GIP. Badai, 48, yang namanya sudah disebut- sebut, akhirnya ‘bernyanyi’ juga. Namun, dia tidak membahas perubahan nama perusahaan. Badai masih suka menggunakan nama perusa- haannya Sakti Bela Negeri. Sehari-hari, dia memimpin ratusan anak buahnya yang tergabung dalam pamswakarsa Sakti Bela Negeri, yang sebelumnya bernama Wira Sandi. Dia mengaku pusing menghadapi kasus Sungai Sodong. ‘’Ngapo (kenapa) kami yang selalu dipojokkan,’’ ujarnya lirih. Menurut dia, pembentukan pamswakarsa SBN merupakan sesuatu yang sangat mulia. Sakti Bela Negeri menghimpun orang-orang muda yang berpotensi, tetapi tidak berpen- didikan dan pengangguran. ‘’Untuk itu, kami pekerjakan sebagai pamswakarsa alias seku- riti,’’ tegasnya. Sejak awal berdiri, sekitar 2008-an, aku Badai, pihaknya telah merekrut lebih dari 200 orang tenaga muda yang kini semuanya sudah bekerja di berbagai tempat dan mampu menafkahi anak dan keluarga. ‘’Kamu kan tahu, bagaimana situasi Palem- bang. Mano ado mati sakit di Palembang ni! Yang ado mati setujahan tulah (mana ada orang mati sakit di Palembang. Yang ada mati ditusuk dengan senjata tajam),’’ ujarnya dalam bahasa Palembang. Menyinggung soal kerusuhan di Desa Sungai Sodong, Badai dengan lantang mem- beberkan pihaknya sangat dirugikan. Alasan- nya, pihaknya yang terlebih dahulu diserang warga. Menurut dia, dua warga Sungai Sodong yang tewas, Indra Syafei bin Tutul dan Saktu Macan, merupakan pelaku tindak kriminal di PT SWA. Kedua korban tewas itu memiliki atasan bernama Agus Sani, anak H Jalang, yang kini masih buron. ‘’Mana Agus Sani? Mana H Jalang? Mereka ini otak-otak kriminal warga Sodong. Mereka ini penyokong tindak kriminal di PT SWA. Mestinya mereka juga harus diciduk dan ditangkap aparat,’’ kata Badai dengan suara meninggi. Badai menyayangkan maraknya pemberitaan ada pembantaian di Mesuji-Sodong. ‘’Mano ado pembantaian di Mesuji Sodong. Kalaupun ado yang dibantai, itulah kami. Anak buah aku mati lima orang. Satu di antaranya digorok kepa- lanya hingga terlepas dari tubuh. Bayangkan kejamnya masyarakat Sodong,’’ kata Badai dengan suara geram. Dia menegaskan kembali bahwa perusahaan- nya hanya bertugas mengamankan aset per- usahaan. Mengenai konik perusahaan dengan masyarakat, itu bukan urusan mereka. Badai juga malu karena PT SWA telah mem- bayar Sakti Bela Negeri sesuai dengan kontrak. Namun setiap tahun selalu ada pencurian sawit. Menurut pengakuannya, selalu ada pen- curian biji sawit yang dilakukan masyarakat Sungai Sodong. Sedikitnya ada 10 truk biji sawit yang dicuri. ‘’Kan kami dibayar. Masa kami diamkan aksi pencurian. Dimano wibawa kito,’’ ujar Badai dan teman-temannya, yang kini memilih pasrah apa pun keputusan aparat dan pemerintah dalam menyikapi bentrokan berdarah itu. (NV/ Bhm/N-3) Kambing Hitam untuk Pamswakarsa TEMA: 2012, Tahun Motor Injeksi OTOMOTIF KAMIS (22/12/2011) FOKUS K ENTO, 45, warga asli Mesuji, Kabupaten Mesuji, Lampung, tergopoh-gopoh mendatangi rombongan Komisi III DPR RI yang baru tiba di sana. Dia langsung mengungkapkan sengketa tanah yang terjadi di Mesuji Lampung. Memang konik tanah tidak hanya terjadi di Mesuji Lampung, di daerah tetangga, yaitu Mesuji Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, juga mengalami hal serupa. ‘’Kita sudah tidak tahu harus ke mana lagi. Dari 1986 saya berjuang untuk mengambil kembali tanah yang sekarang diserobot Silva (PT Silva Inhutani),’’ ujar Kento. Kento satu dari puluhan ribu warga Mesuji yang menagih hak tanah yang diwarisi dari orangtua mereka. Dia pun mengaku memiliki surat izin kepemilikan tanah. Dia pun pernah dipenjara selama 9 bulan 10 hari. Kento pun hingga kini masih bertanya-tanya mengapa dia dituduh sebagai koordinator pendudukan lahan PT Silva Inhutani sehingga dijebloskan ke penjara. Kasus penangkapan Kento terjadi 5 Oktober 2010 setelah salat isya. ‘’Mereka bilang saya yang mengoordinasi warga untuk memasuki lahan PT Silva,’’ ungkapnya. Kisah Kento masuk penjara tidak lepas dari persengketaan tanah di Mesuji pada 1986. Pada waktu itu terjadi penggusuran warga di hutan Mesuji, yang membuat warga tercerai-berai dan menyebar ke seluruh Lampung. Meski berpisah, mereka tetap menjalin silaturahim dan membentuk ikatan tali persaudaraan warga Mesuji 86. Setiap pertemuan dijadikan ajang mengenang kembali tanah leluhur yang dulunya menjadi penghidupan masyarakat Mesuji. Wilayah sengketa itu kini bernama Register 45 dan sudah 25 tahun tidak kunjung usai. Ironisnya di tengah sengketa, lahan PT Silva Inhutani semakin luas. Penambahan luas lahan dari 33.500 hektare menjadi 42.760 hektare berdasarkan izin menteri kehutanan pada 1998. Pelebaran wilayah hutan itu tidak pernah diberitahukan kepada warga. Tiba-tiba terpancang papan larangan mendirikan bangunan ataupun berkegiatan seperti bercocok tanam oleh PT Silva Inhutani, yang dibumbui ancaman dari pihak keamanan yang disewa perusahaan. Pelebaran sepihak yang dilakukan perusahaan pun otomatis mencaplok empat desa di Kabupaten Mesuji yang memiliki 3.500 kepala keluarga. ‘’Sebagian warga Mesuji punya SKT (surat keterangan tanah), sebagian hilang karena tidak sempat menyelamatkan dokumen waktu penggusuran 86,’’ kata Kento lebih jauh. Eko, 42, rekan Kento yang ikut menemui Komisi III, mengatakan selama ini warga Mesuji tidak pernah mengganggu lahan PT Silva Inhutani. Namun, pelebaran sepihak menjadi 42.760 ha itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Mesuji dianggap perambah hutan dalam hutan nenek moyang mereka sendiri. Rombongan Komisi III DPR RI yang berjalan melintasi desa dicegat warga beberapa kali. Mereka meminta DPR agar memperjuangkan nasib rakyat Mesuji. Tampak banyak warga mendirikan tenda-tenda darurat yang tersebar di Register 45 dengan kondisi memprihatinkan. Rusalim Harahap, tokoh Mesuji yang ada di antara tenda, berujar bahwa warga tidak menuntut banyak. Dari puluhan ribu hektare di Register 45, mereka hanya minta 2 hektare untuk setiap kepala keluarga agar bisa bertahan hidup. ‘’Plasma 2 hektare saja untuk setiap kepala keluarga. Saya yakin jika itu diberikan, semua akan aman, tidak ada lagi kerusuhan, karena lahan 10 ribu hektare itu sebenarnya hak warga Mesuji,’’ ujar Rusalim. Setelah melihat kondisi tersebut Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin yang datang ke lokasi meminta agar keinginan masyarakat harus diakomodasi. ‘’BPN, Menteri Kehutanan, serta oknum-oknum maa tanah harus dimintai keterangan dan ditindak karena hulu dari masalah ada di mereka, bukan masyarakat,’’ jelasnya kepada Media Indonesia. (Hadz Mukti/N-3) Berebut Tanah di Register 45 ANTARA/AGUS WIRA SUKARTA MI/SUSANTO ANTARA/AGUS WIRA SUKARTA PELUK WARGA: Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin dipeluk warga ketika mengunjungi lahan di Register 45 di Kabupaten Mesuji, Lampung, Minggu (18/12). BUKTI KEKERASAN: Perwakilan warga korban kekerasan di Kabupaten Mesuji, Lampung, I Wayan Sukadana (kiri) dan Trubus, menunjukkan bukti tindakan brutal oknum TNI-Polri saat mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM, Jakarta, Kamis (15/12).

tidak Berujung - ftp.unpad.ac.id ado mati sakit di Palembang ni! Yang ado mati setujahan tulah (mana ada orang mati sakit di Palembang. Yang ada mati ditusuk dengan senjata tajam),’’

  • Upload
    lyque

  • View
    231

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: tidak Berujung - ftp.unpad.ac.id ado mati sakit di Palembang ni! Yang ado mati setujahan tulah (mana ada orang mati sakit di Palembang. Yang ada mati ditusuk dengan senjata tajam),’’

USANTARA 25RABU, 21 DESEMBER 2011

tidak Berujung

DARI banyaknya pemberitaan tentang kasus Sungai Sodong, Mesuji, salah satu yang men-jadi perhatian masyarakat adalah perusahaan penyedia jasa keamanan. PT Sakti Bela Negeri (SBN), perusahaan jasa keamanan, disebut-sebut memiliki peran dalam konfl ik masyarakat delapan bulan silam.

Menurut hasil penelusuran Media Indonesia, PT SBN yang menyediakan tenaga keamanan pada perusahaan perkebunan PT Sumber Wangi Alam (PT SWA) di Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, saat ini telah berubah nama menjadi PT Laskar Alam Wangi (PT LAW).

PT LAW menempati sebuah ruko lantai 3 Jalan Candi Angkoso I No 477 Kelurahan 20 Ilir, Kecamatan Ilir Timur I, Palembang, dan dijaga tiga orang. Salah satu penjaga bernama Anto membenarkan bahwa bos PT LAW adalah Bas-tari. ‘’Bos kami bernama Bastari alias Badai,’’ kata Anto, yang sudah sepekan tinggal di ruko menunggu penempatan menjadi sekuriti.

Menurut dia, PT LAW terus merekrut orang untuk dijadikan petugas keamanan di sejumlah perusahaan di Sumsel.

Di ruang berukuran 7 x 4 meter tersebut terdapat sebuah meja dan satu set kursi tamu. Pada dinding, terdapat tiga buah bingkai berisi fotokopi surat izin tempat usaha dari Wali Kota Palembang No 503/SITU-R/5153/KPPT/2011 yang dibuat Agustus 2011 dengan pemilik Bas-tari. Bingkai lainnya fotokopi surat izin usaha dibuat September 2011 No 503/SIUP-K/3326/KPPT/2011, kemudian surat izin dari Kemen-terian Hukum dan HAM No AHU 35856/AH.01.01/2011 yang menjelaskan PT LAW merupakan perusahaan jasa keamanan.

Selain itu, sebuah whiteboard mencantumkan daftar sekuriti PT LAW yang ditempatkan di beberapa perusahaan. Di PT SWA disebutkan ada 9 orang, PT Sriguna 8 orang, perumahan Alam Raya Residence sebanyak 4 orang, dan DPRD Sumsel ada 7 satuan keamanan yang berasal dari PT LAW.

Sebuah sumber menyebutkan, Bastari alias Badai bersama dua rekannya sebelumnya mendirikan perusahaan jasa keamanan dengan nama PT SBN pada 2009, kemudian berubah menjadi PT Wira Sandi yang menyuplai tenaga keamanan untuk sejumlah perusahaan perke-bunan dan swasta lainnya di Sumsel, termasuk untuk PT SWA.

Menjelang akhir 2010, Bastari pecah kongsi dengan dua rekannya. Dia kemudian mendi-rikan PT LAW, sedangkan satu rekannya yang lain mendirikan perusahaan sejenis bernama PT GIP.

Badai, 48, yang namanya sudah disebut-sebut, akhirnya ‘bernyanyi’ juga. Namun, dia tidak membahas perubahan nama perusahaan. Badai masih suka menggunakan nama perusa-haannya Sakti Bela Negeri.

Sehari-hari, dia memimpin ratusan anak buahnya yang tergabung dalam pamswakarsa Sakti Bela Negeri, yang sebelumnya bernama

Wira Sandi. Dia mengaku pusing menghadapi kasus

Sungai Sodong. ‘’Ngapo (kenapa) kami yang selalu dipojokkan,’’ ujarnya lirih.

Menurut dia, pembentukan pamswakarsa SBN merupakan sesuatu yang sangat mulia. Sakti Bela Negeri menghimpun orang-orang muda yang berpotensi, tetapi tidak berpen-didikan dan pengangguran. ‘’Untuk itu, kami pekerjakan sebagai pamswakarsa alias seku-riti,’’ tegasnya.

Sejak awal berdiri, sekitar 2008-an, aku Badai, pihaknya telah merekrut lebih dari 200 orang tenaga muda yang kini semuanya sudah be kerja di berbagai tempat dan mampu menafkahi anak dan keluarga.

‘’Kamu kan tahu, bagaimana situasi Palem-bang. Mano ado mati sakit di Palembang ni! Yang ado mati setujahan tulah (mana ada orang mati sakit di Palembang. Yang ada mati ditusuk dengan senjata tajam),’’ ujarnya dalam bahasa Palembang.

Menyinggung soal kerusuhan di Desa Sungai Sodong, Badai dengan lantang mem-beberkan pihaknya sangat dirugikan. Alasan-nya, pihaknya yang terlebih dahulu diserang warga.

Menurut dia, dua warga Sungai Sodong yang tewas, Indra Syafei bin Tutul dan Saktu Macan, merupakan pelaku tindak kriminal di PT SWA. Kedua korban tewas itu memiliki atasan bernama Agus Sani, anak H Jalang, yang kini masih buron.

‘’Mana Agus Sani? Mana H Jalang? Mereka ini otak-otak kriminal warga Sodong. Mereka ini penyokong tindak kriminal di PT SWA. Mestinya mereka juga harus diciduk dan ditangkap aparat,’’ kata Badai dengan suara meninggi.

Badai menyayangkan maraknya pemberitaan ada pembantaian di Mesuji-Sodong. ‘’Mano ado pembantaian di Mesuji Sodong. Kalaupun ado yang dibantai, itulah kami. Anak buah aku mati lima orang. Satu di antaranya digorok kepa-lanya hingga terlepas dari tubuh. Bayangkan kejamnya masyarakat Sodong,’’ kata Badai dengan suara geram.

Dia menegaskan kembali bahwa perusahaan-nya hanya bertugas mengamankan aset per-usahaan. Mengenai konfl ik perusahaan dengan masyarakat, itu bukan urusan mereka.

Badai juga malu karena PT SWA telah mem-bayar Sakti Bela Negeri sesuai dengan kontrak. Namun setiap tahun selalu ada pencurian sawit. Menurut pengakuannya, selalu ada pen-curian biji sawit yang dilakukan masyarakat Sungai Sodong. Sedikitnya ada 10 truk biji sawit yang dicuri.

‘’Kan kami dibayar. Masa kami diamkan aksi pencurian. Dimano wibawa kito,’’ ujar Badai dan teman-temannya, yang kini memilih pasrah apa pun keputusan aparat dan pemerintah dalam menyikapi bentrokan berdarah itu. (NV/Bhm/N-3)

Kambing Hitam untuk Pamswakarsa

TEMA:2012, Tahun

Motor Injeksi

OTOMOTIFKAMIS (22/12/2011)

FOKUS

KENTO, 45, warga asli Mesuji, Kabupaten Mesuji, Lampung, tergopoh-gopoh

mendatangi rombongan Komisi III DPR RI yang baru tiba di sana.

Dia langsung mengungkapkan sengketa tanah yang terjadi di Mesuji Lampung. Memang konfl ik tanah tidak hanya terjadi di Mesuji Lampung, di daerah tetangga, yaitu Mesuji Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan, juga mengalami hal serupa.

‘’Kita sudah tidak tahu harus ke mana lagi. Dari 1986 saya berjuang untuk mengambil kembali tanah yang sekarang diserobot Silva (PT Silva Inhutani),’’ ujar Kento.

Kento satu dari puluhan ribu warga Mesuji yang menagih hak tanah yang diwarisi dari orangtua mereka. Dia pun mengaku memiliki surat izin kepemilikan tanah. Dia pun pernah dipenjara selama 9 bulan 10 hari.

Kento pun hingga kini masih bertanya-tanya mengapa dia dituduh sebagai koordinator pendudukan lahan PT Silva Inhutani sehingga dijebloskan ke penjara.

Kasus penangkapan Kento terjadi 5 Oktober 2010 setelah salat isya. ‘’Mereka bilang saya yang mengoordinasi warga untuk memasuki lahan PT Silva,’’ ungkapnya.

Kisah Kento masuk penjara tidak lepas dari persengketaan tanah di Mesuji pada 1986. Pada waktu itu terjadi penggusuran warga di hutan Mesuji, yang membuat warga tercerai-berai dan menyebar ke seluruh Lampung.

Meski berpisah, mereka tetap menjalin silaturahim dan membentuk ikatan tali persaudaraan warga Mesuji 86. Setiap pertemuan dijadikan ajang mengenang kembali tanah leluhur

yang dulunya menjadi penghidupan masyarakat Mesuji.

Wilayah sengketa itu kini bernama Register 45 dan sudah 25 tahun tidak kunjung usai. Ironisnya di tengah sengketa, lahan PT Silva Inhutani semakin luas. Penambahan luas lahan dari 33.500 hektare menjadi 42.760 hektare berdasarkan izin menteri kehutanan pada 1998.

Pelebaran wilayah hutan itu tidak pernah diberitahukan kepada warga. Tiba-tiba terpancang papan larangan mendirikan bangunan ataupun berkegiatan seperti bercocok tanam oleh PT Silva Inhutani, yang dibumbui ancaman dari pihak keamanan yang disewa perusahaan.

Pelebaran sepihak yang dilakukan perusahaan pun otomatis mencaplok empat desa di Kabupaten Mesuji yang memiliki 3.500 kepala keluarga. ‘’Sebagian warga Mesuji punya SKT (surat

keterangan tanah), sebagian hilang karena tidak sempat menyelamatkan dokumen waktu penggusuran 86,’’ kata Kento lebih jauh.

Eko, 42, rekan Kento yang ikut menemui Komisi III, mengatakan selama ini warga Mesuji tidak pernah mengganggu lahan PT Silva Inhutani. Namun, pelebaran sepihak menjadi 42.760 ha itulah yang kemudian menjadikan masyarakat Mesuji dianggap perambah hutan dalam hutan nenek moyang mereka sendiri.

Rombongan Komisi III DPR RI yang berjalan melintasi desa dicegat warga beberapa kali. Mereka meminta DPR agar memperjuangkan nasib rakyat Mesuji.

Tampak banyak warga mendirikan tenda-tenda darurat yang tersebar di Register 45 dengan kondisi memprihatinkan. Rusalim

Harahap, tokoh Mesuji yang ada di antara tenda, berujar bahwa warga tidak menuntut banyak. Dari puluhan ribu hektare di Register 45, mereka hanya minta 2 hektare untuk setiap kepala keluarga agar bisa bertahan hidup. ‘’Plasma 2 hektare saja untuk setiap kepala keluarga. Saya yakin jika itu diberikan, semua akan aman, tidak ada lagi kerusuhan, karena lahan 10 ribu hektare itu sebenarnya hak warga Mesuji,’’ ujar Rusalim.

Setelah melihat kondisi tersebut Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin yang datang ke lokasi meminta agar keinginan masyarakat harus diakomodasi. ‘’BPN, Menteri Kehutanan, serta oknum-oknum mafi a tanah harus dimintai keterangan dan ditindak karena hulu dari masalah ada di mereka, bukan masyarakat,’’ jelasnya kepada Media Indonesia. (Hafi dz Mukti/N-3)

Berebut Tanah di Register 45

ANTARA/AGUS WIRA SUKARTAMI/SUSANTO

ANTARA/AGUS WIRA SUKARTA

PELUK WARGA: Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin dipeluk warga ketika mengunjungi lahan di Register 45 di Kabupaten Mesuji, Lampung, Minggu (18/12).

BUKTI KEKERASAN: Perwakilan warga korban kekerasan di Kabupaten Mesuji, Lampung, I Wayan Sukadana (kiri) dan Trubus, menunjukkan bukti tindakan brutal oknum TNI-Polri saat mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM, Jakarta, Kamis (15/12).