28
TINDAK KRIMINAL: Betapa perluasan kelapa sawit mendorong penebangan liar di Indonesia PERIZINAN BAGI

TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

TINDAK KRIMINAL:Betapa perluasan kelapa

sawit mendorong penebanganliar di Indonesia

PERIZINAN BAGI

Page 2: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

PENDAHULUAN

SUPLAI KAYU DI INDONESIA

PRODUR-PROSEDUR PERIZINAN PERKEBUNAN

LAJU ILEGALITAS

STUDI KASUS

KORUPSI DI HUTAN PERAWAN

PENEGAKAN HUKUM

NOL-DEFORESTASI SEBAGAI PENYELAMAT?

MEMBENDUNG ALIRAN KAYU ILEGAL

MENUTUP CELAH PADA KONVERSI HUTAN

REKOMENDASI

REFERENSI

3

4

7

8

10

18

21

22

23

24

26

27

DAFTAR ISIUCAPAN TERIMA KASIHThis document has been produced with the financial assistance of UKaid, the European Unionand the Norwegian Agency for DevelopmentCooperation (NORAD).

This report was written and edited by theEnvironmental Investigation Agency UK Ltd, and can under no circumstances be regarded asreflecting the positions of Ukaid, the EuropeanUnion, or NORAD.

Designed by:www.designsolutions.me.uk

Printed on recycled paper

December 2014

All images © EIA unless otherwise stated

ENVIRONMENTAL INVESTIGATION AGENCY (EIA)

62/63 Upper Street, London N1 0NY, UKTel: +44 (0) 20 7354 7960 Fax: +44 (0) 20 7354 7961email: [email protected]

www.eia-international.org

EIA US

P.O.Box 53343Washington DC 20009 USATel: +1 202 483 6621Fax: +202 986 8626email: [email protected]

AMDAL: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

ANDAL: Analisis Dampak Lingkungan

HGU: Hak Guna Usaha

IPK: Izin Pemanfaatan Kayu

IUP: Izin Usaha Perkebunan

JPIK: Jaringan Pemantau Independen Kehutanan

SK-PKH: Surat Keterangan Pelepasan Kawasan Hutan

SVLK: Sistim Verifikasi Legalitas Kayu

GLOSSARY OF TERMS:

Page 3: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

3

Teras Narang, Gubernur provinsi tersebut, merilis daftar perusa-haan-perusahaan yang kegiatan operasionalnya illegal dan menge-mukakan dengan tegas bahwa mereka harus menghentikankegiatan operasionalnya.

Pada bulan yang sama, gergaji mesin mulai meraung di salah satuwilayah hutan tropis terkaya yang tersisa di provinsi tersebut.Salah satu perusahaan kelapa sawit hitam yang terkait dengankelompok ternama di sektor perkebunan di Kalimantan Tengah dansalah satu bank investasi yang berbasis di Jakarta mulaimelakukan pembukaan hutan. Meskipun menghasilkan laba yangsangat menguntungkan, penjarahan yang kayu senilai jutaan dolarhanya salah satu dari sekian banyak tindak kriminal yang dilakukanoleh perusahaan tersebut.

Inilah wajah penebangan liar yang terjadi di Indonesia pada saat ini.

Environmental Investigation Agency (EIA) telah mendokumen-tasikan dan membongkar perdagangan gelap kayu curian diIndonesia selama lebih dari 15 tahun. Dalam kurun waktu tersebuttelah terjadi transformasi yang luar biasa di sektor kehutanan.Tingkat penebangan liar telah berkurang setengahnya dan pemer-intah Indonesia telah berkomitmen terhadap agenda reformasiyang ambisius. Pemerintah Indonesia telah membuka pintunyabagi masyarakat sipil dan menunjukkan niat yang tulus untukmenghentikan penjarahan hutan.

Namun peranan model penebangan selektif tradisional di sektorkehutanan mulai menurun. Model ini tergantikan oleh konversi

hutan rimba yang kaya menjadi perkebunan kelapa sawit dan pro-duk-produk lain, sehingga menghasilkan aliran kayu yang tidakteregulasi dengan baik. Meskipun supremasi hukum telah semakinditegakkan atas sistem penebangan selektif, sektor perkebunan diIndonesia masih amat sangat kacau.

Pertumbuhan perkebunan yang cukup pesat telah lama dicirikanoleh ilegalitas. Berbagai upaya yang terus dilakukan untuk men-gendalikan pencaplokan lahan dan deforestasi sering terkalahkanoleh kombinasi antara korupsi dan inkompetensi, yang mengaki-batkan eksploitasi terhadap isi hutan dan mendorong tingkatdeforestasi hingga mencapai yang tertinggi di dunia.

Selama dua tahun belakangan, EIA telah melakukan investigasi ter-hadap sektor kelapa sawit dan meningkatnya peranan kelapa sawitterhadap suplai kayu dari hutan alam. Laporan ini membongkartindak kriminal yang mendorong konversi hutan dan mempertegaspentingnya penegakan hukum dan reformasi.

Pada bulan November 2014, Presiden Joko Widodo yang baru sajadilantik telah mengakui ancaman dari perluasan perkebunan yangtidak teregulasi terhadap warisan peninggalan alam Indonesia,beliau menyatakan: “Ini harus dihentikan, kita tidak boleh mem-biarkan hutan hujan tropis kita hilang karena perkebunan monokul-tur seperti kelapa sawit.”

Sekarang saatnya bertindak.

PENDAHULUANPada bulan Juni 2013, Pemerintah Kalimantan Tengah, Indonesia,mengumumkan upaya terakhirnya, setelah sekian lama berusaha,untuk mengendalikan perusahaan-perusahaan perkebunan kelapasawit yang kegiatan operasionalnya melanggar hukum.

LOCATOR MAP:

Jakarta

I N D O N E S I A

M A L A Y S I A

BRUNEI

KALIMANTAN

SUMATRA

PAPUA

JAVA

Page 4: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

4

Semenjak peralihan milenium, adaperubahan mendasar pada sektorkehutanan di Indonesia. Sejak tahun1970 sampai dengan awal tahun 2000-an, sumber utama pendapatan negaradari wilayah hutan yang luas adalah daripenebangan selektif berdasarkan sistemkonsesi. Namun sejak panen kayuberkurang yang disebabkan oleheksploitasi berlebih, pemerintah men-dorong dan mensubsidi perubahan kemodel perkebunan.

Perkebunan, baik kelapa sawit dan seratkayu, tidak hanya memberikan kompen-sasi terhadap berkurangnya PDB; ketikaindustri tersebut menempati area bekasHPH dan hutan perawan, suatu erabaru penggundulan hutan juga meng-hasilkan suplai kayu yang melimpahbagi industri pengolahan dalam negridan pasar ekspor.

Antara tahun 1990 sampai 2010,wilayah perkebunan kelapa sawit tum-buh dari 1,1 juta hektar (ha) hinggamenjadi 7,8 juta hektar.1 Meskipun adaberbagai analisis terkait tingkat defor-estasi yang diakibatkan oleh ekspansitersebut, kesemua analisis tersebutmenegaskan bahwa kelapa sawitmemainkan peran penting dalamperusakan hutan.

Suatu studi yang diterbitkan tahun inimemperkirakan bahwa antara tahun2000-2010, Indonesia telah kehilangansetidaknya 1,6 juta hektar hutan yangdiubah menjadi konsesi kelapa sawit.Sebagian besar dari hutan tersebutberlokasi di Kalimantan yang mencakupwilayah seluas sekitar 1,1 juta hektar.2

Analisis lain yang ditemukan adalahbahwa antara 1990-2005, lebih dari 50persen ekspansi kelapa sawit diIndonesia terjadi dengan memakanwilayah hutan alam.3

Suatu analisa pada tahun 2013 mene-mukan bahwa dalam jangka waktu duatahun sampai dengan tahun 2011, kela-pa sawit merupakan satu-satunya pen-dorong utama deforestasi di negara ini.4

Selama periode ini, Indonesia men-

galahkan Brazil sebagai negara dengantingkat deforestasi tahunan tertinggi5

dan, sebagai dampak langsungnya, men-jadi kontributor tertinggi ketiga ter-hadap perubahan iklim yang didorongoleh kegiatan manusia.6

Dengan menggunakan data KementerianKehutanan (Kemenhut), EIA telahmelakukan penghitungan konservatifberdasarkan angka rata-rata sebesar32,5 meter kubik (m3) kayu komersialper hektar di hutan-hutan yang ditar-getkan oleh perkebunan kelapa sawit.7

Jika perhitungan ini diterapkan terhadapperhitungan yang sama-sama konser-vatif mengenai kehilangan hutan,8 akanterlihat bahwa pembukaan lahan olehindustri kelapa sawit telah meng-hasilkan setidaknya 52 juta m3 kayuantara tahun 2000-2010.

Namun, selama periode yang sama, lapo-ran tahunan Kemenhut hanya mencatat39 juta m3 kayu dari Izin PemanfaatanKayu (IPK), perizinan yang mengaturkayu yang dipanen pada saat konversihutan.9 Terdapat kesenjangan yang jauhmelebihi perkiran angka 13 juta m3

tersebut, karena angka IPK dariKemenhut selama periode ini jugameliputi wilayah hutan alam yang dibu-ka untuk mendirikan konsesi kayu HTIdan pertambangan.

Defisit pada angka tersebut kemungki-nan terjadi karena beberapa alasan.Kemenhut tidak mengumpulkan datakayu dari tempat-tempat dimana kayutersebut diproduksi, namun berdasarkanlaporan dari pabrik penggergajianterkait sumber kayu yang digunakan.Selain itu, sampai dengan tahun 2010Kemenhut hanya mengumpulkan datadari pabrik penggergajian besar yangmemiliki perizinan untuk memproseslebih dari 6,000m3 setiap tahunnya.Penelitian yang dilakukan oleh EIAtelah menunjukkan bahwa sejumlahbesar kayu diproses oleh pabrik peng-gergajian kecil dan menengah yangberoperasi berdasarkan izin lokal dantidak terekam dalam angka IPK yangditerbitkan Kemenhut.

© W

anci

no/J

PIK

SUPLAI KAYU DI INDONESIA

Page 5: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

5

Ada bukti jelas bahwa kayu dalam vol-ume besar berasal dari pembukaanlahan ilegal yang tidak dilengkapi periz-inan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tidak memiliki IPK.

KALIMANTAN TENGAHSituasi di provinsi Kalimantan Tengah(Kalteng) menggambarkan hubunganantara ekspansi kelapa sawit dan pro-duksi kayu, juga kelemahan yang terda-pat dalam statistik Kemenhut. Padasekitar tahun 2000-an, provinsi tersebutmengalami ekspansi pesat perkebunan-perkebunan dan memiliki tingkat defor-estasi yang lebih tinggi dibandingkanprovinsi-provinsi lainnya di Indonesia.10

Tidak seperti wilayah-wilayah diSumatra yang ditargetkan untukekspansi kelapa sawit, Kalteng tidakmemiliki industri HTI kayu yang sig-nifikan yang bisa mengaburkan gam-baran situasinya.

Sejak tahun 2001-2006, laporan tahunanKemenhut mencatat produksi kayu yangberasal dari berbagai sumber per-provin-si. Berdasarkan angka yang dihasilkan,penggergajian besar di Kalteng tidakmengkonsumsi kayu dari IPK sampaidengan tahun 2005, ketika tiba-tiba adaproduksi hingga mencapai 1,5 juta m3

dari konversi hutan.11 Pada tahun yangsama, konsumsi kayu dari konsesipenebangan kayu diduga melonjak sampaidengan150 persen, dari sekitar satu jutam3 pada tahun 2004 menjadi lebih dari 2,5juta m3 pada tahun 2005.

Saat itu hampir tidak ada perluasanwilayah konsesi kayu dan gelombang pen-ingkatan dadakan produksi kayu yangdilaporkan dari konsesi kayu juga telahmelebihi jatah penebangan tahunansebanyak 150 persen.12 Kejadian inibertepatan dengan meledaknya penerbi-tan perizinan untuk konsesi kelapasawit, yang menunjukkan bahwa seba-gian besar dari peningkatan produksikayu yang dilaporkan berasal dari kons-esi kayu, pada kenyataannya tidakmemiliki perizinan dan merupakan kayuyang salah-dilaporkan karena berasaldari ekspansi perkebunan. Masa inijuga terjadi secara bersamaan denganpemilihan langsung bupati lokal yangpertama, berdasarkan sistem otonomidaerah negara ini.

Dalam enam tahun belakangan, jumlahyang dilaporkan terkait IPK yang dipros-es oleh pabrik penggergajian besar diKalteng menjadi lebih stabil, sekitar42.000m3 to 85.000m3.13 Rata-rata padaperiode ini – 75.000m3 – menunjukkanekspansi perkebunan tahunan hanyasekitar 2.300 ha jika menggunakanangka patokan 32,5m3 per hektar.Dalam periode di mana perkebunankelapa sawit di Kalteng meluas hinggamencakup lebih dari satu juta ha,14 sta-tistik provinsi lagi-lagi menunjukkansebagian kecil dari jumlah sesungguh-nya hasil panen kayu yang berasal darikonversi hutan.

Karena angka yang tersedia dariKemenhut hanya mencatat lokasi pabrikpenggergajian yang menggunakan kayudan bukan sumber kayunya, sebagiandari kayu konversi yang dipanen diKalteng kemungkinan besar tercatat diwilayah lain. Data provinsi yang diper-oleh EIA dan observasi lapangan jugamenunjukkan kecenderungan bahwasejumlah besar kayu diproses di pabrikpenggergajian kecil atau menengah danbukan di pabrik penggergajian besaryang memiliki izin Kemenhut, yangmerupakan satu-satunya sumber dataproduksi kayu Kemenhut tersebut.

Page 6: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

KEPATUHAN TERHADAP IPK Besarnya kesenjangan pada data, kemu-ngkinan bukan hanya diakibatkan olehlemahnya mekanisme pengumpulandata, namun juga karena perusahaan-perusahaan tersebut secara ilegalmemanen kayu tanpa memiliki IPK.Skala kegiatan ilegal ini sulit diprediksikarena perusahaan-perusahaan tersebutdiketahui tidak pernah melaporkantegakan kayu komersial. Misalnya,pada tahun 2004-2005, BadanPemeriksa Keuangan (BPK) melakukaninvestigasi terhadap lima perusahaan diKalteng untuk mengkaji kepatuhanmereka terhadap peraturan-peraturanIPK. Kelima perusahaan tersebut telahgagal untuk melaporkan tegakan-tegakan kayu komersial yang dipanenpada saat pembukaan lahan dan pihakyang berwenang telah gagal dalammemeriksa atau memonitor kegiatan-kegiatan mereka.15

Pada tahun 2011, Hanif Budi Nugroho,kepala Dinas Kehutanan diKotawaringin Timur, sebuah kota yangberada di tengah-tengah Kalteng, men-gatakan bahwa 52 perusahaan kelapasawit di wilayah tersebut tidak ada yangmemiliki izin IPK, sehingga mengaki-batkan pembalakan liar.16

Hal ini terbukti dengan adanya sejumlahbesar kayu yang tersedia di salah satuwilayah konsesi yang di kemudian harimengajukan permohonan IPK, salahsatu dari hanya dua perusahaan yangakhirnya mengajukan izin. 17

Penelitian EIA menunjukkan bahwapemanenan kayu komersial di wilayahkonsesi kelapa sawit yang tanpa disertaiizin IPK merupakan praktek yangumum. Namun hal ini, hanya meru-pakan salah satu dari banyak cara,dimana konversi hutan untuk kelapasawit bisa menghasilkan kayu ilegal.

Karena cara-cara illegal ditempuh olehberbagai perusahaan untuk memperolehhak atas lahan dan hutan, banyak kayuyang dipanen berdasarkan izin IPK yangsah juga merupakan kayu ilegal.Praktek-praktek korupsi dan pelang-garan pada proses perizinan marak ter-jadi, sampai pada tingkatan dimanaadanya izin IPK itu sendiri tidak bisamenjamin legalitas.

SERTIFIKASI TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN DAN KAYU DI INDONESIAPada tahun 2005, sebagai respon terhadap tekanan atas maraknyapenebangan liar, pemerintah Indonesiamulai mengembangkan suatu sistemuntuk memverifikasi legalitas produksidan perdagangan kayu. SistemVerifikasi Legalitas Kayu (SVLK) disahkan sebagai peraturan pada tahun200918 dan berlaku mulai bulanSeptember 2010.

Berdasarkan skema tersebut, semuaprodusen dan tempat pengolahan kayuharus melalui proses audit yangdilakukan oleh lembaga sertifikasi ter-hadap Standar SVLK yang telah disepa-kati yang terdiri atas berbagai prinsip,kriteria, indikator dan verifier legalitas.

Namun, karena adanya kelemahan padaperaturan versi yang terdahulu, yangsudah direvisi sebanyak empat kali,19

dan kurangnya pemahaman terhadapskema tersebut di kalangan sektorperkebunan, konversi kayu sampaisekarang hampir sepenuhnya belumdijangkau oleh SVLK. Pada awal tahun 2014, hanya lima pemegang IPK yang telah mengajukan permohonan sertifikasi SVLK, semen-tara penebangan selektif oleh konsesihutan masih menjadi fokus sebagianbesar kegiatan audit.

SVLK telah dikembangkan selama peri-ode dimana tingkat pembalakan liardalam bentuk tradisional telah berku-rang secara signifikan. Pada tahun2001, diperkirakan bahwa 83 persenkayu dipanen secara ilegal;20 pada tahun2010, angka tersebut telah berkurangsebanyak 40 persen.21 Agenda reformasi,dimana SVLK merupakan salah satubagian daripadanya, diperkirakan meru-pakan salah satu alasan utama berku-rangnya angka tersebut.

Namun, sampai dengan tahun ini, hanyasedikit perhatian diberikan terhadapkayu ilegal yang berasal dari konversilahan dan produksi kayu yang berhubun-gan dengan konversi lahan. Pada tahun2010, terhitung bahwa konversi lahanmenyumbang 75 persen dari produksikayu yang berasal dari hutan alam,berdasarkan angka Kemenhut22 dan halini terkait dengan laju kayu ilegal yangmencapai 80 persen [lihat halaman 8].

Karena konversi semakin menggantikanmodel kehutanan tradisional sebagaisumber kayu, hal ini kembali memicupeningkatan angka penebangan liar danmengancam tersia-siakannya reformasike arah yang lebih progresif.

Sangat jelas bahwa implementasi SVLKdi sektor perkebunan sekarang meru-pakan hal yang luar biasa penting.Sama pentingnya dengan memahamikarakteristik ilegalitas pada sektortersebut untuk memastikan bahwakegiatan pengawasan bisa dipercaya danreformasi di masa depan cukup memadaiuntuk mengatasi permasalahan ini.

6

Page 7: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

7

Berdasarkan hukum yang berlaku diIndonesia, serangkaian perizinan danberbagai proses yang berbeda perludilakukan untuk mengkonversi hutanalam menjadi perkebunan kelapa sawit.Berbagai tahapan proses tersebut diaturoleh beberapa kementerian sektoralyang berbeda, dinas-dinas yang mem-bidangi sektor terkait di tingkat kabu-paten dan provinsi, dan bupati.

IZIN LOKASI: Langkah pertama dalam proses tersebutadalah mengajukan Izin Lokasi.Pengajuannya ditujukan kepada Bupatiatau Gubernur di tingkat provinsi (jikakonsesi yang diusulkan mencakup duakabupaten) dengan menjelaskanbagaimana hal ini sesuai dengan ren-cana tata ruang terkait. Jika sukses,Bupati atau Gubernur yang bersangku-tan akan mengeluarkan izin, yang mem-berikan perusahaan tersebut hak untukmelakukan negoisasi untuk memperolehlahan di wilayah tertentu, biasanya den-gan pemangku hak di wilayah tersebutdan Kemenhut. Perusahaan tersebutharus memperoleh setidaknya 51 persendari lahan konsesi yang diminta dalamjangka waktu tiga tahun atau perizinantersebut akan habis masa berlakunya.

ANALISIS MENGENAI DAMPAKLINGKUNGAN (AMDAL):AMDAL merupakan suatu prosesdimana berbagai dampak sosial danlingkungan dari kegiatan perkebunantelah diidentifikasi dan dimitigasi.Empat dokumen harus dihasilkan, ter-masuk ANDAL, yang menjelaskan men-genai detail temuan-temuan hasil kajianlapangan. Dokumen-dokumen tersebutdikaji oleh komisi AMDAL, yang diben-tuk oleh Badan Lingkungan HidupKabupaten/Kota atau Provinsi. Komisitersebut harus terdiri atas NGO,akademis, perwakilan dari masyarakatdan staf pemerintah. Setelah dokumen-dokumen AMDAL disetujui oleh komisitersebut, Bupati atau Gubernur dapatmengeluarkan Izin Lingkungan.Beroperasi tanpa Izin Lingkungan meru-pakan tindak kriminal berdasarkan UU32/2009 mengenai Perlindungan danPengelolaan Lingkungan Hidup (UULingkungan Hidup).

IZIN USAHA PERKEBUNAN (IUP): Izin Usaha Perkebunan (IUP) mem-berikan hak bagi perusahaan untukberoperasi di wilayah yang sudah memi-liki Izin Lokasi yang diperoleh sesuaidengan ketentuan yang berlaku. Untukmemperoleh IUP, perusahaan harusmelakukan pengajuan ke Bupati atauGubernur, dengan mengumpulkan berba-gai dokumen termasuk AMDAL. Sejak

tahun 2007, setidaknya 20 persen dariwilayah IUP harus dikembangkanmelalui berbagai cara yang mengun-tungkan masyarakat setempat, yangsecara umum dikenal sebagai sistemplasma.

SK PELEPASAN KAWASAN HUTAN (SK-PKH): Jika konsesi yang telah direncanakanberlokasi di dalam kawasan hutan,kawasan tersebut harus dibebaskan olehKemenhut sebelum dilakukan pem-bukaan lahan. Beroperasi di wilayahkawasan hutan, sebelum proses ini sele-sai dilakukan merupakan tindak krimi-nal berdasarkan UU Kehutanan.Perusahaan harus melakukan pengajuankepada Kementerian Kehutanan, yangbisa melepaskan lahan tersebut denganmenerbitkan Surat Keputusan PelepasanKawasan Hutan. (SK-PKH).

IZIN PEMANFAATAN KAYU (IPK):Sebelum dilakukan pembukaan lahan,suatu survei kayu harus dilakukan disebagian wilayah konsesi. Perusahaanharus membayar pajak tegakan kayujika terdapat setidaknya 50m3 kayu yangterdiri atas pepohonan yang diameternyalebih dari 30cm di seluruh wilayah kons-esi. Jika IUP dan SK-PKH telah diter-bitkan, Dinas Kehutanan kabupaten bisamenerbitkan izin IPK yang memberikanhak untuk memanen sejumlah tertentukayu di wilayah konsesi. Izin IPKberlaku selama satu tahun dan bisadiperpanjang sebanyak satu kali.

HAK GUNA USAHA (HGU): HGU diterbitkan ketika lahan yangtersedia di dalam Izin Lokasi telahdiperoleh sesuai dengan peraturanterkait Izin Lokasi. Izin ini secara efek-tif mengakhiri semua proses perizinan,dengan demikian perusahaan tersebutmemiliki hak tenurial dalam bataswilayah tertentu selama 35 tahun.

PRODUR-PROSEDUR PERIZINAN PERKEBUNAN

Page 8: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

8

Jika proses hukum diikuti dengan layak,telah tersedia berbagai kesempatanuntuk melakukan konsultasi denganmasyarakat, mitigasi kerusakan lingkun-gan, dan pemeriksaan untuk mencegahkorupsi. Pada prakteknya, hal ini ser-ingkali dilanggar melalui berbagai caraagar bisa meningkatkan area lahan yangtersedia untuk ekspansi perkebunan,sering kali dengan mengorbankanwilayah hutan dan hak-hak masyarakatpedesaan.

Suatu laporan yang diterbitkan padatahun 2014 menjelaskan perkiraan yangpaling komprehensif terkait pelanggaranyang sedemikian. Dengan memeriksadua studi kasus di tingkat nasionalterkait ilegalitas dan kajian-kajian yanglebih spesifik, studi tersebut menyim-pulkan bahwa perkiraan tingkat ilegali-tas di semua konsesi kelapa sawit diIndonesia mencapai 80 persen.23

Laporan tersebut juga menggunakananalisis mendetail mengenai kepatuhanhukum di salah satu kabupaten diKalteng, yang menemukan indikasi ile-galitas di 89 persen konsesi kelapasawit.24 Angka perkiraan ini cocok den-gan tingkat ilegalitas produksi yangmencapai puncaknya di awal mileniumpada tahun 2000-an.

Pelanggaran yang paling sering dikete-mukan adalah pembukaan hutan di luarbatas wilayah konsesi, yang terjadi di 61persen dari semua kasus tersebut.Perusahaan-perusahaan juga secararutin telah mulai membuka lahansebelum memperoleh semua perizinanyang diperlukan dan secara ilegal mer-ambah lahan gambut.

Hasil studi di tingkat kabupaten terse-but baru merupakan suatu gejala daripenyakit yang lebih mendalam diKalteng. Saat hutan-hutan di provinsitersebut telah secara pesat digantikanoleh kelapa sawit, praktek ini telahdijangkiti alokasi-alokasi perizinan ‘non-prosedural’ yang dilakukan secarabesar-besaran.

Pada tahun 2011, Kemenhut dan SatuanTugas Pemberantasan Mafia Hukum,suatu lembaga gabungan anti-korupsi,mengungkapkan bahwa hanya 67 dari352 perkebunan di provinsi yang telahmemperoleh SK-PKH.25 Mayoritasperusahaan-perusahaan yang melakukanpembukaan lahan hutan tersebut jugagagal mendapatkan IPK. Hal ini seba-gian besar disebabkan oleh kegagalanKemenhut dan pemerintahan kabupatenuntuk menyetujui satu rencana tataruang provinsi, sehingga menyebabkanpemerintah kabupaten mengarahkanekspansi perkebunan ke wilayah-wilayahyang tidak ingin dilepaskan olehKemenhut.

Karena adanya desentralisasi kekuasaanpolitik pada tahun 2000-an, para bupatimemiliki kewenangan yang besar terkaitdengan alokasi lahan dan sumber dayahutan yang berada di dalam cakupanjurisdiksinya. SK-PKH yang diterbitkanoleh Kementerian Kehutanan merupakansalah satu dari beberapa bagian dariproses yang tidak bisa dikontrol olehmereka. Kegagalan untuk merekonsil-iasikan rencana tata ruang sampai den-gan tahun 2012, mengakibatkan terha-puskannya salah satu poin dari beberapadaftar cek yang tercakup dalam kewe-nangan ini dan menelantarkan sektorperkebunan lebih jauh ke dalam ketidak-jelasan.

Para bupati telah memanfaatkankurangnya pengawasan ini sehinggabisa menerbitkan perizinan melalui cara-cara yang bertentangan dengan kerang-ka peraturan, umumnya dengan caramempercepat proses perizinan. Jikaditelusuri, hal ini merupakan prosesyang sudah berjalan selama bertahun-tahun yang mengakibatkan semakinberkurangnya ukuran suatu wilayahkonsesi. Seiring dengan perkembangan,kriteria-kriteria yang baru hendaknyamengarah kepada dikeluarkannya beber-apa wilayah dari cakupan wilayah yangboleh dikonversi, terutama dikarenakan

LAJU ILEGALITAS

Page 9: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

9

oleh faktor-faktor sosial dan lingkungan.Misalnya, lahan milik penduduk desayang tidak ingin menjual tanahnya bisadikeluarkan dari konsesi, atau AMDALyang melarang pembukaan lahan gam-but.

Namun database perkebunan untukKalteng menunjukkan bahwa hal inibelum terjadi, dengan adanya lusinankonsesi dimana Izin Lokasi dan IUPmemiliki ukuran wilayah yang sama. Dibanyak kasus, tanggal disetujuinya duaperizinan tersebut bisa hanya berselangbeberapa minggu atau bahkan beberapahari. Hal ini secara teknis tidakmungkin bisa dilakukan karena tidakada waktu yang cukup untuk pelak-sanaan AMDAL, apalagi waktu bagikomisi AMDAL untuk melakukan per-timbangan.

Seorang Kepala Dinas Perkebunan disuatu kabupaten membenarkan adanyahal tersebut kepada EIA. Ketika EIAmenyebutkan bahwa hal ini terjadi diwilayah jurisdiksinya, staf dinas terse-but tersenyum dan mengatakan bahwakejadian-kejadian yang sedemikan meru-pakan ‘keputusan-keputusan politik’yang dilakukan oleh Bupati.

Percepatan yang diakibatkan oleh kepu-tusan-keputusan ‘politik’ ini telahmencederai proses AMDAL. Analisissatelit dan kunjungan lapangan yangdilakukan oleh EIA menegaskan bahwabanyak perusahaan yang beroperasisecara rutin segera setelah penerbitanIUP, terlepas apakah AMDAL sudah dis-etujui atau belum. Meskipun beroperasitanpa Izin Lingkungan merupakan tin-dak kriminal, mereka hanya segan ter-hadap IUP yang dikontrol oleh Bupati.

Skala dari tindak kriminal ini semakindikuatkan dalam catatan pemerintah.Analisis EIA terhadap sampel yang ter-diri atas 51 perusahaan yang seharus-nya sudah memperoleh persetujuan darikomisi AMDAL tingkat provinsi men-gungkapkan bahwa separuhnya berop-erasi tanpa AMDAL. Catatan tersebutmenunjukkan bahwa banyak dariperusahaan-perusahaan tersebut, yangakhirnya merampungkan prosesAMDALnya, sudah mulai beroperasisejak berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelum AMDAL tersebut disetu-jui oleh pemerintah.

Bahkan ketika dilakukan kajian AMDAL,ada berbagai bukti bahwa pelaksanaan-nya dilakukan dengan tergesa-gesa. Halini dilaporkan merupakan rahasia terbu-ka dikalangan staf Badan LingkunganHidup bahwa perusahaan-perusahaantersebut membayar para anggota komisiuntuk mengeluarkan keputusan yangmenguntungkan mereka.26

Kementerian Lingkungan Hidup sendirimenemukan bahwa separuh dari komisiAMDAL Kabupaten tidak melakukankajian dengan layak.27

Insentif bagi perusahaan-perusahaanketika mempercepat proses perizinan inisudah jelas; hal ini memungkinkanmereka untuk memaksimalkan wilayahyang tersedia untuk pembangunan.

Kurang jelas apa insentif bagi paraBupati yang terang-terangan melanggarhukum. Namun, para bupati dan guber-nur telah menjadi sasaran berbagaiinvestigasi dan dijatuhi hukuman terkaitkorupsi untuk pelanggaran yang persissama. Pada tahun 2012, Kemenhutmengungkap bahwa 13 Bupati dariempat provinsi termasuk Kalteng,sedang diperiksa karena alokasi sumber-daya hutan yang tidak tepat bagi perusa-haan-perusahaan kelapa sawit dan tam-bang.28 Sepertiga dari semua bupatisekarang ini sedang diperiksa terkaitkasus korupsi.29 Gubernur dari duaprovinsi yang paling terpukul oleh defor-estasi, Riau dan Kalimantan Timur, jugasudah dipenjara karena menerbitkan izinsecara ilegal.30

Penelitian EIA pada berbagai kasusmenunjukkan secara mendetailbagaimana ilegalitas pada sektor kelapasawit dilakukan dan bagaimana hal inimendorong peningkatan volume kayuilegal.

© W

anci

no/J

PIK

Page 10: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

10

PT NUSANTARA SAWIT PERSADA

Pada tahun 2010, Bupati Kotawaringin Timur menerbitkanserangkaian perizinan bagi perusahaan-perusahaan kelapasawit. Di antara para penerima perizinan tersebut adalah duaperusahaan perkebunan yang saling terkait: PT Nusantara SawitPersada (NSP) dan PT Borneo Sawit Perdana (BSP).

Pada bulan Januari, perusahaan-perusahaan tersebut memper-oleh Izin Lokasi dan IUP yang secara kumulatif mencakupwilayah yang melebihi 35.000 ha dalam dua hari saja.31

Penerbitan perizinan dalam waktu yang berdekatan tidak memu-ngkinkan waktu untuk mempersiapkan dokumen-dokumenAMDAL, yang menunjukkan bahwa IUP yang diterbitkan tidakmemiliki dasar hukum.

Pada tanggal 5 Agustus 2011, seorang anggota legislatif provinsimengatakan kepada komisi DPRD bahwa PT NSP beroperasisecara ilegal sejak tahun 2008. Seorang juru bicara perusahaanmenyangkal bahwa perusahaan tersebut beroperasi secara ile-

gal, namun mengakui bahwa ia tidak bisa menunjukkan IUP nyakarena “masih di proses”.32

Meskipun demikian, catatan di tingkat provinsi menunjukkanbahwa hanya lima hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus 2011,Kementerian Kehutanan menerbitkan SK-PKH kepada PT NSP.Keputusan tersebut mengizinkan 13.008 ha wilayah konsesimilik NSP untuk bisa dikonversi menjadi ‘non-hutan’, dan mem-bebaskannya untuk dikembangkan menjadi kawasan pertanian.Pada bulan Mei tahun berikutnya, Dinas Kehutanan Provinsimemberikan NSP IPK kayu sebanyak 9.223 m3 untuk dipanendari area seluas kurang dari sepertiga wilayah konsesi.

Pada tahapan ini proses AMDAL masih belum dilakukan, apalagidisetujui. Dokumen-dokumen AMDAL untuk NSP, yang kemudiandiperoleh EIA, menunjukkan bahwa dokumen tersebut ditanda-tangani oleh direktur perusahaan tersebut pada bulan Desember2012. Catatan Badan Lingkungan Hidup provinsi menunjukkanbahwa dokumen-dokument tersebut belum disetujui oleh komiteAMDAL sampai dengan bulan Mei 2013, saat Izin Lingkunganakhirnya diterbitkan.

Pada saat ini, NSP telah membuka wilayah hutan seluas ribuanhektar. Ini mencakup wilayah yang dalam berbagai peta yangdigunakan pemerintah diidentifikasi sebagai lahan gambut den-gan kedalaman sampai dengan 8m – jauh melebihi batas yangdiperbolehkan berdasarkan hukum yang berlaku yaitu 3m.Berdasarkan UU Lingkungan Hidup 2009, hal ini merupakan tin-dak kriminal yang bisa dikenai hukuman penjara.

Setelah memperoleh Izin Lingkungan pada bulan Mei 2013, pem-bukaan lahan semakin meningkat, dan pada bulan Juli 2013perusahaan tersebut diberikan IPK kayu secara beriringansebanyak 7.613m3. EIA mengunjungi wilayah konsesi tersebut,tidak lama setelah izin tersebut diterbitkan. Staf perusahaanmengatakan bahwa kayunya dikirimkan lewat kapal langsungkeluar dari provinsi tersebut ke Surabaya, pusat pengolahanutama di pulau Jawa.

STUDI KASUS:

Selama tahun 2013 sampai 2014, EIA melakukan penelitian mendalam di Kalteng untuk mengidenti-fikasi kayu yang dipanen secara ilegal dari konsesi-konsesi kelapa sawit. Kegiatan lapangandilakukan melalui kerjasama dengan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) cabangKalteng. JPIK merupakan jaringan LSM nasional yang memonitor implementasi SVLK.

INDIKASI ILEGALITAS

• IUP diterbitkan sebelum Izin Lingkungan disetujui

• Beroperasi tanpa Izin Lingkungan

• Membuka hutan sebelum IPK diterbitkan

• Membuka hutan diluas batas wilayah konsesi

• Beroperasi di Kawasan Hutan

• Beroperasi di wilayah gambut yang dalam

Page 11: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

11

EIA juga menemukan bahwa pembukaan lahan terjadi jauhmelebihi batas konsesi, sejauh 2 km ke wilayah yang telah dite-tapkan sebagai Hutan Produksi. Hal ini merupakan pelanggaranUU Kehutanan yang bisa dikenai hukuman penjara maksimal 10tahun.

Kasus tersebut sampai ke pengadilan

Pada tahun 2014, Kejaksaan Negeri Kotawaringin Timur telahmengajukan tuntutan pidana terhadap empat orang yang terkaitdengan NSP. Tuntutan yang diajukan relatif ringan yaitu pengo-lahan lahan kelapa sawit seluas 181 ha pada tahun 2012 sebelum3

memperoleh IUP, yang merupakan pelanggaran UU Kehutanandan UU Perkebunan.

Tuntutan tersebut dibatalkan sebelum kasusnya dipersidangkandengan alasan bahwa isi dakwaan dinilai tidak jelas dan harusdiperdengarkan di pengadilan perdata. Kejaksaan Negeri telahmenyatakan niatannya untuk naik banding ke pengadilan yanglebih tinggi33 dan pada bulan Oktober 2014, seorang pegawaipengadilan memberikan konfirmasi kepada EIA bahwa kasustersebut masih berada di dalam sistem.

Dakwaan tersebut bertentangan dengan dokumen-dokumenyang diperoleh EIA yang menunjukkan bahwa NSP memiliki IUPpada saat dugaan pelanggaran tersebut dilakukan. Kasus terse-but tidak diajukan berdasarkan pelanggaran UU Lingkungan,yang jelas-jelas terbukti.

Penerbitan izin yang bertentangan dengan prosedur – sebelumpersetujuan AMDAL dan penerbitan Izin Lingkungan – seharus-nya diinvestigasi lebih lanjut.

Kasus tersebut menunjukkan bagaimana konsesi seharusnyadikenai pemeriksaan yang lebih mendalam meskipun sekilastampak memiliki IPK yang sah. Skala tindak kriminal yangdilakukan sebelum IPK diterbitkan, dan ketidak-absahan prosespenetapan tenurial atas wilayah konsesi, berarti bahwa kayuyang berasal dari kawasan tersebut seharusnya dianggap ilegal.

7KEPEMILIKAN PERUSAHAAN

Wajah publik dari NSP dan BSP adalah TeguhPatriawan, seorang ketua Asosiasi PerkebunanIndonesia di Kalteng dan wakil ketua perkebunandi Kamar Dagang Indonesia (KADIN).

Patriawan menandatangani dokumen-dokumen AMDAL selakuDirektur Pelaksana dan membuat berbagai pernyataan kemedia mengenai isu-isu kelapa sawit dalam kapasitas tersebut.

Perusahaan tersebut juga terkait dengan bank investasi yangberbasis di Jakarta, Samuel Group. Dakwaan tersebut jugamenyebutkan nama Thomas Tampi sebagai salah satu terdakwa. Thomas Tampi juga merupakan salah satu DirekturPelaksana PT Samuel Sekuritas Indonesia, anak perusahaanSamuel Group34 dan juga digambarkan sebagai DirekturKeuangan dan Direktur PT NSP.35

Tampi juga menunjuk dirinya sebagai Direktur Keuangan PTCipta Plantations. Nama domain untuk perusahaan tersebuttelah didaftarkan oleh karyawan Samuel Group.36

Sebelumnya PT NSP terdaftar memiliki alamat yang sama dengan studi kasus lain di laporan ini, PT Prasetya Mitra Muda (PMM). Direktur PT PMM adalah Kurniadi Patriawan. [Lihat halaman 13]

Page 12: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

12

PT FLORA NUSA PERDANA

Pada bulan Juli 2013, EIA dan JPIK mengunjungi suatu wilayahkonsesi yang dijalankan oleh PT Flora Nusa Perdana (FNP) diGunung Mas, suatu wilayah kabupaten yang relatif terpencil danbelum berkembang di jantung pedalaman wilayah masyarakatadat suku Dayak, di Kalteng.

PT FNP memperoleh Izin Lokasi pada tahun 2006 dan IUP padapertengahan 2007, yang mencakup suatu wilayah hampir seluas10.000 ha. Analisis data satelit EIA menunjukkan bahwa sekitar85 pesen wilayah konsesi masih memiliki tutupan hutan padasaat itu.

Pemerintah provinsi tidak memiliki catatan bahwa PT FNP per-nah memperoleh Izin Lingkungan maupun IPK, dan Kemenhuttelah memberikan konfirmasi pada tahun 2013 bahwa prosespelepasan kawasan hutan (SK-PKH) masih berada pada “tahapaplikasi”. Namun, sejak tahun 2007, perusahaan tersebut sudahmelakukan pembukaan wilayah hutan seluas 4.500 ha.

Kunjungan lapangan EIA memberikan konfirmasi bahwa sebagianbesar dari kawasan ini sekarang sudah ditanami kelapa sawit,sementara penebangan tegakan kayu komersil masih berlang-sung. Pada saat kunjungan lapangan yang pertama, ada duapenggergajian yang beroperasi di jalan masuk ke wilayah kons-esi, dimana terdapat tumpukan kayu besar. EIA memastikanbahwa salah satu diantaranya, dan kemungkinan yang keduajuga, memiliki izin untuk memproses kurang dari 2,000m3 pertahun dan karenanya berada di bawah jurisdiksi pemerintahkabupaten.

Berdasarkan perkiraan Kemenhut terhadap tegakan kayu dihutan sekunder dan wilayah yang sudah ditebangi, jumlah kayuyang diekstraksi dari wilayah konsesi sejak tahun 2007 bisamencapai lebih dari 150.000m3. Semua hasil ekstraksi kayu dariwilayah konsesi telah dilakukan secara ilegal, yang melanggarUU Kehutanan dan UU Lingkungan.

Kasus tersebut sampai ke pengadilan

Pada bulan Oktober 2008, tokoh adat setempat melaporkan PTFNP ke Kepolisian Daerah (Polda) melalui pengacara yangberbasis di Palangkaraya. Laporan tersebut mengajukan tuntu-tan terhadap perusahaan tersebut atas dugaan penebangan liardi kawasan hutan primer, tanpa SK-PKH maupun IPK.

Kemudian, Direktur Reserse Kriminal POLDA meluncurkan inves-tigasi dan para petugas kepolisian melakukan dua kunjunganlapangan, pada bulan November dan Desember 2008. Temuan-temuan hasil investigasi dilaporkan membenarkan bahwa PT FNPtelah merambah wilayah kawasan hutan sehingga melanggar UUKehutanan.37

Tiga tahun kemudian, KAPOLDA mengeluarkan pernyataan publikyang menyatakan bahwa perusahaan tersebut merupakan salahsatu dari sembilan perusahaan yang sedang diperiksa atas

dugaan pelanggaran UU Kehutanan, UU Perkebunan dan peratu-ran-peraturan lainnya.38

Seorang polisi di unit reserse kriminal tingkat provinsi membe-narkan kepada EIA dan JPIK bahwa hasil temuan-temuan investi-gasi telah dikumpulkan ke Kejaksaan Negeri di Gunung Mas padabulan Januari 20009. EIA belum bisa memastikan apa tindakanyang diambil dan sampai sekarang ini pembukaan lahan – danpemanenan kayu – masih terus berlangsung.

INDIKASI ILEGALITAS

• Beroperasi tanpa Izin Lingkungan

• IUP diterbitkan sebelum Izin Lingkungan diperoleh

• Membuka lahan hutan sebelum memperoleh IPK

• Beroperasi dalam kawasan hutan

STUDI KASUS:

Page 13: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

13

PT PRASETYA MITRA MUDA

Saat mengunjungi wilayah PT FNP pada bulan Juli 2013, EIA danJPIK menemukan wilayah hutan yang luas yang sudah ditebangi.Berdasarkan peta dari pemerintah provinsi, tidak ada konsesidalam bentuk apapun di lokasi tersebut. Para pekerja di tempatitu mengatakan bahwa wilayah tersebut merupakan konsesikelapa sawit milik suatu perusahaan bernama PT Prasetya MitraMuda (PMM).

Nama tersebut tidak ditemukan dalam catatan manapun, selaindaftar konsesi yang telah diberikan izin prinsip pelepasan hutandari Kemhut. Hal ini mengindikasikan bahwa perusahaan terse-but telah memperoleh Izin Lokasi dan Kemenhut telah memu-tuskan bahwa ada dasar bagi wilayah tersebut agar bisadilepaskan dari kawasan hutan, namun tidak ada dokumen lainselain itu.

JPIK mengajukan suatu permintaan tertulis pada bulan Juli keDinas Perkebunan kabupaten untuk meminta informasi dasarmengenai PMM dan konsesi-konsesi lainnya, namun permintaanini ditolak.

Pada tahun berikutnya, JPIK terus memonitor konsesi di lapan-gan dan EIA melakukan analisa satelit. PT PMM mulai membukalahan pada bulan April 2013, mengolah kayu di dua pabrik peng-gergajian yang berdekatan dengan PT FNP. Lewat pertengahantahun, tingkat penebangan hutan tumbuh dengan pesat dan jum-lah pabrik penggergajian menjamur. Pada pertengahan tahun2014, sekitar 400 ha hutan lebat sudah ditebangi dan seti-daknya 12 pabrik penggergajian tiba-tiba muncul untuk mem-proses ribuan meter kubik kayu ilegal yang bernilai tinggi.

JPIK sekali lagi berusaha untuk memperoleh data mengenaipabrik penggergajian dan konsesi dari dinas-dinas di tingkatkabupaten pada bulan April 2014, namun ditolak. Ketika JPIKmenanyakan kepada seorang staf Dinas Kehutanan, apakahpabrik-pabrik penggergajian tersebut sudah mengajukan auditSVLK, dikatakan bahwa tidak ada yang tahu soal SVLK.

Rungan-Kahayan

Meskipun informasi mengenai PT PMM tidak banyak ditemukandi lapangan, suatu gambaran yang lebih jelas muncul dari hutan-hutan yang merupakan target perusahaan tersebut.

Pembukaan lahan terjadi di wilayah timur Sungai Rungan, yangmerupakan anak Sungai Kahayan, sungai yang terpanjang diprovinsi tersebut. Di wilayah pertemuan kedua sungai, adasuatu wilayah hutan yang relatif masih lebat yang menyimpankekayaan hayati yang tersisa di Kalimantan.

Wilayah pertemuan sungai Rungan-Kahayan selama ini masihterselamatkan dari eksploitasi yang telah menghancurkanbanyak wilayah yang sangat luas di Kalteng selama beberapadekade belakangan. Suatu studi mengenai habitat yang layakbagi populasi orangutan yang dipublikasikan pada tahun 2004menemukan bahwa wilayah tersebut bisa menjadi rumah bagilebih dari 1.000 orang utan.39

Suatu studi lapangan, yang lebih mendetail yang dilakukan didekat lokasi tempat PT PMM beroperasi, pada tahun 2010 mene-mukan hutan yang “perawan dan beragam” yang memiliki“salah satu wilayah terkaya di Asia Tenggara dalam hal satwaliar”. Studi tersebut mendokumentasikan sekelompok spesiesyang dikategorikan sebagai langka atau sangat langka, terma-suk orangutan, siamang selatan Kalimantan, trenggiling Sunda,dan elang Wallace.40

Hutan tersebut terlindungi karena sungguh-sungguh dijaga olehmasyarakat desa terdekat, Mungku Baru. Masyarakat dayak didesa tersebut memiliki sistem kepercayaan budaya yang men-dalam terhadap kesakralan pohon ulin, yang dikenal sebagaikayu besi Kalimantan atau Eusideroxylon zwageri, yang meng-hasilkan kayu yang sangat keras dan indah yang menjadisasaran eksploitasi berlebihan. Sistem kepercayaan ini telahmendorong masyarakat Dayak untuk melindungi hutan merekadengan sengit dan berhasil, namun sekarang mereka terancamoleh perkebunan ilegal.

INDIKASI ILEGALITAS

• Beroperasi tanpa Izin Lingkungan

• IUP diterbitkan sebelum memperoleh Izin Lingkungan

• Membuka hutan sebelum memperoleh IPK

• Beroperasi di wilayah Kawasan Hutan

Page 14: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

14

Sumpah para Mitra Muda

Pada bulan Oktober 2014, EIA dan JPIK pada akhirnya memper-oleh salinan AMDAL PT PMM, namun bukan dari sumber pemerin-tah. Dokumen tersebut memberikan pemahaman baru mengenaiperusahaan tersebut, pemiliknya dan lokasi wilayah konsesinya.

Perusahaan tersebut didirikan pada bulan Agustus 2010 olehYantoni Kerisna, Wiliam Kerisna dan Aries Liman. YantoniKerisna, yang pada saat itu berusia 50 tahun, merupakanpendiri sebuah kontraktor yang kemudian melakukan pekerjaanpembukaan lahan bagi lusinan perusahaan kelapa sawit diKalteng. Pada saat itu William Kerisna baru berusia 27 tahun.

Pada bulan April 2012, perusahaan tersebut memperoleh IzinLokasi dari bupati yang mencakup suatu wilayah seluas 13.883ha. Delapan bulan kemudian suatu pernyataan dikeluarkan olehpara pemegang saham, yang menunjuk William Kerisna sebagaiDirektur Pelaksana dan Kurniadi Patriawan yang berusia 25tahun sebagai direktur.

AMDAL PT PMM dan dokumen akta pendirian perusahaan meny-atakan bahwa alamat perusahaan tersebut adalah terletak disuatu kondominimum di Jakarta, yang juga merupakan alamatrumah Kerisna muda. Namun pernyataan pemegang sahammemberikan alamat lain yang cocok dengan alamat PTNusantara Sawit Persada.

Perusahaan Yantoni Kerisna, PT Fortuna Farmindo, meme-nangkan kontrak multi-tahun untuk melakukan pembukaan lahandan persiapan bagi kedua perusahaan tersebut.41

Ada kesamaan pada cara-cara beroperasi dua perusahaan terse-but. ANDAL PT PMM tertanggal bulan Januari 2014, setelahperusahaan tersebut mulai membuka hutan. Seorang kepaladesa di wilayah tersebut memberitahukan EIA dan JPIK bahwabeliau menghadiri suatu pertemuan konsultasi AMDAL di kabu-paten Gunung Mas pada bulan Mei 2014. Pada saat itu IzinLingkungan belum diterbitkan, meskipun PT PMM sudahmenebang ratusan hektar hutan dan memanen ribuan meterkubik kayu.

Peta yang disertakan dalam dokumen-dokumen AMDAL menunjukkanbahwa konsesi tersebut sebagian besar terletak di wilayahberhutan dan membentang masuk sampai ke hutan Mungku Baru.

Peta tersebut juga menyoroti kemungkinan bahwa konsesitersebut akan menyulut konflik dengan dan antar masyarakatlokal. Hal ini terutama terkait desa Bereng Malaka danParempei, yang terhimpit ditengah-tengah area konsesi, yangsecara efektif mengisolasi desa-desa tersebut dalam sebidanglahan sempit disepanjang Sungai Rungan. JPIK sudah mendoku-mentasikan bukti bahwa pertikaian sudah mulai mencuat, danakan memburuk ketika lahan yang tersedia bagi masyarakatsemakin menyempit.

Pada bulan November, Dinas Kehutanan provinsi memberikankonfirmasi bahwa IPK sudah diterbitkan untuk PT PMM padabulan Juni 2014. Hal ini menunjukkan bahwa dokumen-dokumenAMDAL sudah disetujui dan Izin Lingkungan sudah diterbitkan.Izin tersebut berfungsi memberikan legitimasi bagi tindak krimi-nal terhadap hutan dan lingkungan yang sudah dilakukansebelumnya oleh perusahaan tersebut.

STUDI KASUS:

Page 15: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

15

© L

PIKP

Kal

teng

PT KAHAYAN AGRO PLANTATIONS

Pada bulan Maret 2012, masyarakat Dayak dari sembilan desa diGunung Mas turun ke ibukota kabupaten. Tujuan mereka adalahuntuk mengadakan aksi demonstrasi damai diluar kantor DPRDsetempat, untuk menolak konsesi kelapa sawit oleh PT KahayanAgro Plantation (KAP).42 Konsesi tersebut merupakan ancamankarena berpotensi mencaplok ribuan hektar hutan dan kebunkaret masyarakat.43

Ini bukan pertama kalinya desa-desa mengutarakan penolakanmereka terhadap konsesi. Dalam sebuah surat yang ditujukankepada Polres sebelum melakukan gerakan protes, yang ditan-datangani oleh perwakilan dari sembilan desa, mereka men-gungkapkan penolakannya terhadap usulan tersebut dalam suratformal yang ditujukan kepada pemerintah kecamatan dan secaraverbal dalam rapat konsultasi AMDAL. Mereka telah melakukanpertemuan dengan pemerintah kabupaten dan provinsi, untukkembali menegaskan posisi mereka.44

Perusahaan tersebut telah memperoleh Izin Lokasi untuk 17.500ha pada bulan Februari 2010. Sembilan hari kemudian, Anglo-Eastern Plantation PLC, perusahaan perkebunan kelapa sawityang terdaftar dalam Bursa Saham London, mengakuisisi 95persen saham seharga US$4,6 juta.45 Dalam jangka waktu duaminggu, Bupati Gunung Mas telah menerbitkan IUP yang men-cakup seluruh lahan seluas 17.500 ha tanpa izin AMDAL.Meskipun hal ini melanggar peraturan mengenai IUP, perusa-haan tersebut belum melakukan pembukaan lahan dan kare-nanya tidak melanggar UU Kehutanan.

Pada saat dilakukan proses AMDAL, masyarakat mengungkapkankekhawatiran dan posisi mereka dengan jelas. . “Pada prinsip”,

yang kemudian mereka tulis dalam surat yang ditujukan untukBupati, “kami sembilan desa yang tetap dalam perselisihan den-gan perusahaan kelapa sawit PT KAP di daerah kami”.

Sebagai tanggapan terhadap aksi protes tersebut, Bupati men-geluarkan Instruksi formal pada bulan Maret 2012 kepada direk-tur PT KAP (Instruksi no.4 tahun 2012). Instruksi tersebutmenyatakan bahwa jika masyarakat tersebut memegang hakdalam wilayah IUP, lahan mereka harus dikeluarkan dari kons-esi. Bupati juga melarang perusahaan tersebut untuk membelilahan dari masyarakat, baik di dalam maupun di luar wilayahIUP, tanpa izin dari pemerintah Kabupaten.46 Selanjutnyainstruksi tersebut menentukan bahwa jika perusahaan tersebutmelanggar ketentuan yang terdapat dalam Instruksi tersebut,perizinannya akan dikaji oleh Bupati.

Tongkuy, kepala adat Tumbang Marikoi, salah satu dari desa-desa tersebut, mengatakan kepada EIA bahwa selama periodeini beliau ditawari uang suap untuk menandatangani surat untukmendukung wilayah konsesi tersebut. Meskipun surat yangsedemikian tidak diperlukan secara hukum, surat tersebut bisadiajukan ke Kemenhut untuk mendukung aplikasi SK-PKH.Menurut Tongkuy, tawaran tersebut diajukan oleh karyawan PTKAP dan dua staf senior desa yang mendukung perkebunantersebut.

“Mereka datang ke rumah saya di lapangan dekat Apak Sungai,”beliau menceritakan kepada EIA pada bulan Oktober 2014.“Mereka membawa tas dengan mereka dan di dalamnya adalahkertas. Dia meminta saya untuk menandatanganinya. Merekamengatakan 'Anda harus menandatangani ini, karena kepaladesa dan kepala kecamatan telah menandatangani dan Andaadalah satu-satunya yang belum. Jika Anda menandatangani ini,saya akan merenovasi rumah Anda.”

Tongkuy menolak dan pada bulan September 2012 Kemenhutmenerbitkan SK-PKH untuk wilayah seluas 11.385 ha, yang men-geluarkan wilayah tersebut dari Kawasan Hutan. Pada bulanJanuari 2013, Gubernur Kalteng menerbitkan Keputusan menge-nai kelayakan lingkungan bagi perkebunan (Keputusan No.188.44/30/2013), suatu instrumen legal yang resmi yangmengabulkan Izin Lingkungan. Beliau menetapkan bahwa PT KAPharus mematuhi Instruksi Bupati, dengan melakukan inven-tarisasi seluruh klaim lahan di dalam konsesi. Instruksi tersebutmenyebutkan tentang wilayah adat, sehingga konsultasi danpemetaan harus melibatkan institusi adat.47

Dua bulan kemudian, IPK diterbitkan bagi suatu pihak ketiga, PTKahayanan Hutan Lestari, untuk memanen 57,680m3 kayu darilahan seluas 5.384 di dalam wilayah konsesi.48

INDIKASI ILEGALITAS

• Pelanggaran terhadap Instruksi Bupati Gunung Mas no.4 tahun 2012

• Pelanggaran terhadap Keputusan Gubernur Kalteng No. 188.44/30/2013

• Estimasi rendah hasil panen kayu

• IUP diterbitkan sebelum memperoleh Izin Lingkungan

Page 16: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

16

Perampasan tanah adat

Pasal yang disebutkan dalam Instruksi Bupati dan KeputusanGubernur yang mensyaratkan inventarisasi tanah adat diwilayah tersebut dibuat berdasarkan peraturan Provinsi. Padatahun 2009, Gubernur menerbitkan suatu Peraturan yang, untukpertama kalinya, secara formal mengakui hak-hak adat atastanah dan membangun suatu sistem agar hak-hak tersebutdapat didaftarkan secara resmi ke dalam sistem pertanahannegara.

Peraturan tersebut memberikan tenggat waktu selama enamtahun untuk menyelesaikan proses inventarisasi, namun padasaat Izin Lingkungan PT KAP diterbitkan, proses tersebut belumdilakukan di desa-desa yang terkena dampak.

Setelah Pak Tongkuy ditawari uang suap untuk mendukungwilayah konsesi, beliau berkunjung ke Jakarta bersama denganbeberapa anggota DPRD yang bersimpati, untuk meminta kepa-da Kemenhut dan Kementerian Pertanian untuk mencabut kons-esi tersebut. Beliau disarankan oleh Kemenhut untukmenghubungi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), suatualiansi masyarakat adat yang memimpin perjuangan untuk mem-peroleh pengakuan akan hak-hak masyarakat adat, cabangKalteng. Pada bulan September 2013, AMAN Kalteng melakukaninisiatif proses pemetaan partisipatif untuk memetakan lahanmasyarakat adat di Tumbang Marikoi.

Namun pada saat itu, PT KAP sudah mulai melakukan prosespencaplokan lahan. Para penduduk desa mengatakan kepada EIA

dan JPIK bahwa para pekerja PT KAP telah menandai kebun-kebun masyarakat yang terletak di dalam wilayah konsesi danmembayarkan uang yang dipukul rata sebanyak Rp2,5juta(US$200) per hektar.

Menurut hukum adat, kepemilikan lahan perorangan dilakukandengan membuka dan menggunakan hutan. Wilayah yang belumditebangi – ‘potensi hutan’ – adalah untuk penggunaan komunaldan dikelola secara berkelanjutan oleh masyarakat. Hasilnyasuatu wilayah hutan lestari yang cukup luas di dalam lahan milikmasyarakat. Untuk mendapatkan wilayah ini, perusahaan men-dorong setiap anggota masyarakat untuk secara individumenandai batasnya, seolah-olah lahan tersebut digunakansecara pribadi, dan membayaryang dengan jumlah yang sama.

Hal ini jelas-jelas tidak memenuhi proses yang diperlukan untukmengevaluasi klaim hak-hak tanah secara memadai, terutamakarena proses ini gagal untuk menyertakan kepemilikanmasyarakat secara komunal. Proses yang dilakukan oleh AMANKalteng belum selesai namun sudah terlambat – pada akhirtahun 2013, para penduduk kedua desa mengatakan kepada EIAbahwa sebagian besar dari mereka telah menjual lahan mereka.

Hal ini jelas menunjukkan bahwa PT KAP tidak mematuhi instruk-si Bupati dan Gubernur untuk memetakan klaim tenurial didalam wilayah konsesi dengan semestinya. Kegiatan pemetaanyang sedemikian membutuhkan proses partisipatif yang jauhlebih mendalam, dengan menggunakan berbagai prinsippemetaan partisipatif. Pada akhirnya, tanah-tanah adat tersebuttidak dikeluarkan dari wilayah IUP.

STUDI KASUS:

Page 17: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

17

Bupati juga menginstruksikan bahwa lahan masyarakat tidakboleh dijual tanpa izin dari pemerintah. Kesimpulannya adalahpemerintah ingin menjaga hak-hak masyarakat atas tanah, den-gan bertindak sebagai pihak yang memeriksa akuisisi lahan.Pada prakteknya, yang terjadi adalah penjualan lahan denganharga murah yang terjadi dengan begitu cepat. Anggotamasyarakat menjelaskan perspektif mereka bahwa kurangnyapendokumentasian atas klaim tanah mereka telah berkontribusiterhadap ketidakpastian tenurial dan mendorong masyarakatuntuk menjualnya secara individual.

Bukannya melindungi masyarakat, pemerintah kabupaten mem-fasilitasi transfer sumberdaya secara borongan – baik lahanmaupun kayu – ke perusahaan swasta. Pemasukan dari hampir60,000m3 kayu pada tahun 2013 sendiri sudah jauh melebihibiaya yang dibayarkan kepada masyarakat atas lahan mereka.

Baik masyarakat maupun LSM lokal49 telah mengemukakan ker-aguan mereka akan pernyataan jumlah volume kayu di dalamwilayah konsesi. IPK mengidentifikasi kira-kira sekitar 10m3

kayu per hektar, yaitu kurang dari sepertiga perkiraan konser-vatif jumlah panenan kayu berdasarkan angka Kemenhut.

Anggota masyarakat memperkirakan bahwa potensi sesungguh-nya hutan tersebut adalah sekitar 50-100m3 per hektar. Denganmenggunakan nilai yang lebih rendah, lahan konsesi tersebutakan menghasilkan 270,000m3 kayu. Berdasarkan estimasi kon-servatif, nilai kayu ini kemungkinan mencapai sekitar US$50juta – lebih dari 10 kali lipat nilai yang dibayarkan oleh perusa-haan tersebut kepada masyarakat untuk keseluruhan lahan.Berdasarkan perkiraan yang lebih tinggi terkait panenan kayudan harga bagi spesies tersebut di pasar global, nilainya bisamencapai lebih dari US$100 juta.

Kasus dimana taksiran jumlah kayu jauh di bawah yang sesung-guhnya, didukung oleh kontrak pengadaan yang dinyatakan olehlima pabrik penggergajian yang beroperasi di wilayah konsesi.Menurut data pemerintah provinsi, PT Kahayan Hutan Lestaridikontrak untuk menyuplai 68,000m3 50 pada tahun 2013, jauhmelebihi jumlah kayu yang boleh dipanen berdasarkan IPK-nyapada tahun 2013.

Sementara itu, masyarakat tidak boleh memanen kayu dari hutanmilik mereka, suatu larangan yang dipaksakan secara brutal.Pada bulan September tahun ini, seorang warga desa TumbangMarikoi sedang menebang pohon ketika mendengar suara tem-bakan senapan. Seorang penjaga keamanan yang bekerja untukPT KAP menyuruhnya meninggalkan lahan perusahaan.

“Dia bilang ‘pohon tidak lebih memotong di sini, semua daerahdi sini telah dibeli oleh perusahaan kayu’,” sebagaimanadikatakan kepada EIA. “Kami tidak pernah menjual satu incitanah atau hutan kepada perusahaan itu. Tak pernah.”

© L

PIKP

Kal

teng

Page 18: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

18

Saat melakukan proses investigasi ter-hadap izin ilegal dan perizinan yangtidak layak di Kalteng, EIA dan JPIKberkali-kali terdorong untuk menelitikabupaten Gunung Mas. Meskipunkabupaten tersebut memiliki hutan yangkaya dan relatif belum terjamah, yangsampai sekarang masih terlindungi darieksploitasi yang terlihat di wilayah-wilayah yang lebih mudah dijangkau,hutan-hutan perawan ini semakin menja-di target bagi perluasan kelapa sawit,yang menghasilkan kayu dalam jumlahyang luar biasa besar.

Tingkat kepatuhan hukum dalam ren-cana ekspansi ini sangat rendah bahkanuntuk level Kalteng. Ditemukan jugaberbagai bukti yang mengaitkann empatwilayah konsesi yang luas di kabupatentersebut dengan skandal korupsi besar.

Pada tahun 2012, EIA dan JPIK yakinbahwa setidaknya 77.000 hadialokasikan kepada lima konsesiperusahaan di Gunung Mas. Tiga kalilipat dari luas wilayah yang pernahditerbitkan di tahun-tahun lain selamamasa jabatan Bupati Hambit Bintih.

Salah satu perizinan ini sudah didap-atkan oleh PT Prasetya Mitra Muda[lihat halaman 13]. Empat perizinanlainnya diterbitkan bagi perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh tiga pen-gusaha lokal - Cornelis Antun, ElanGahu dan Edwin Permana.

TIGA SEKAWAN Pada tahun 2011, Cornelis mendirikandua perusahaan, PT Berkala MajuBersama (BMB) dan PT Jaya Jadi Utama(JJU), yang terdaftar menggunakan ala-mat rumahnya di ibukota provinsi,Palangkaraya. Kedua perusahaan terse-but telah memperoleh Surat ArahanLokasi Perkebunan, yang mengarahkanmereka ke suatu wilayah di Gunung Masdimana mereka bisa menjalankan kajiankelayakan dan konsultasi denganmasyarakat. Hal ini memberikan dasaruntuk melakukan pengajuan Izin Lokasi.

Dengan menggunakan surat ini sebagaisatu-satunya aset mereka, pada bulan

Februari 2012, Cornelis dan dua rekan-nya sepakat untuk menandatanganisuatu perjanjian untuk menjual sebagianbesar saham mereka ke sebuah perusa-haan perkebunan Malaysia, CBIndustrial Product Holding Berhad(CBIP). Perjanjian tersebut memberikanCBIP 94 persen saham di JJU dan BMB,yang harus dibayar dimuka senilai Rp14milyar dan selanjutnya Rp32 milyarsetelah perusahaan tersebut memper-oleh Izin Lokasi dan IUP. Perjanjiantersebut mengatur bahwa izin tersebutharus diperoleh dalam waktu enambulan, melalui “proses hukum yang tepatdan valid ... dan sesuai dengan hukumyang berlaku”.51 ] Yang selanjutnya ter-jadi sangat jauh dari taat hukum.

Sehari setelah kesepakatan tersebut diu-mumkan, Bupati Hambit Bintih mener-bitkan Izin Lokasi bagi kedua konsesitersebut.52 Dalam beberapa minggu, beli-au menerbitkan IUP bagi kedua konsesi,meskipun pada kenyataannya IzinLingkungan belum diterbitkan. Padabulan April, CBIP mengumumkan kepa-da bursa saham Malaysia bahwa perusa-haan tersebut sudah menyelesaikanproses pembelian dengan nilai totalsedikit di atas Rp 41 milyar (US$4,5juta).

Proses penerbitan perizinan-perizinantersebut bertentangan dengan hukum.ANDAL untuk PT BMB, seperti yangdidapatkan EIA, bertanggal November2012 – delapan bulan setelah IUP diter-bitkan. Catatan pemerintah provinsimenunjukkan bahwa IUP belum disetu-jui hingga bulan Mei tahun berikutnya.ANDAL untuk JJU tidak disetujui hinggabulan Mei 2013.53

Antara bulan Maret sampai denganOktober 2012, Cornelis dan para rekan-nya membentuk dua perusahaan baru,PT Kurun Sumber Rezeki (KSR) dan PTGumas Alam Subur (GAS). PT KSR danPT GAS memperoleh Surat ArahanLokasi Perkebunan yang mencakup tam-bahan 30.000 ha. Pada akhir tahuntersebut, mereka telah menjual duaperusahaan tersebut kepada CBIP dalamsuatu perjanjian baru yang bernilai Rp41milyar.54 Lagi-lagi, Bupati HambitBintih menerbitkan Izin Lokasi setelah

KORUPSI DI HUTAN PERAWAN

Page 19: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

19

perjanjian tersebut ditandatangani.55

Pada kurun setahun, ketiga investortersebut telah dapat mengantongi US$9juta hanya dari perizinan yang diter-bitkan oleh Bupati Hambit.

Selain merupakan seorang pebisnis yangsukses, Cornelis ternyata juga salah seo-rang keponakan Bupati Hambit Bintih,Bupati yang telah menerbitkan periz-inan-perizinan yang membuat dirinyakaya. Selain itu, Cornelis juga meru-pakan bendahara kampanye pemilihanulang Bupati Hambit Bintih pada tahun2013.56

POLITIK UANG Komisi pemilihan Gunung Mas meny-atakan bahwa Bupati Hambit Bintihtelah memenangkan Pemilu pada tahun2013, namun keputusan tersebut meng-hadapi gugatan hukum dari lawannya.Sengketa tersebut dijadwalkan akandisidangkan di Mahkamah Konstitusi diJakarta oleh Ketua MK Akil Mochtar.

Namun sebelum kasus tersebut mulaidipersidangkan, Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) melakukan penangkapanterhadap Cornelis di kediaman AkilMochtar. Cornelis tertangkap basahsedang membayarkan suap sebesarUS$250.000 kepada hakim tersebutuntuk memastikan bahwa Bupati HambitBintih dinyatakan sebagai pemenangPemilu. Bupati Hambit Bintih kemudianditangkap di sebuah hotel.57

Rekan investor Cornelis dalam kesepa-katan CBIP, Elan Gahu, kemudian men-gakui di persidangan bahwa ia telahmemberikan pinjaman uang kepadaCornelis sebesar sepertiga dari uangtunai yang dibayarkan kepada HakimAkil Mochtar. Persidangan tersebut jugamemperdengarkan bahwa uang sejumlahRp 1 milyar juga diterima dari anggotaketiga dari kesepakatan CBIP, EdwinPermana.58

Pada bulan Maret 2014, Bupati HambitBintih dan Cornelis menerima hukumanberdasarkan UU Anti Korupsi. BupatiHambit divonis empat tahun danCornelis tiga tahun, keduanya dikenaidenda sebesar Rp 150 juta.59 Eland anEdwin tidak ditahan.

Tidak ada langkah hukum yang diambilterhadap Bupati Hambit maupunCornelis dan para rekannya sehubungandengan pelanggaran terkait perkebunan.

Dokumen-dokumen AMDAL keempatkonsesi tersebut, yang diperoleh EIA,menunjukkan bahwa mereka akan mem-produksi kayu komersil bervolume besarketika kembali aktif. Sebagian besarwilayah yang tercakup di dalamnyadideskripsikan sebagai “Hutan KeringSekunder”, suatu klasifikasi yangberdasarkan perkiraan Kemenhut akanmenghasilkan panen kayu sebesar120m3 per hektar.

Dari keempat konsesi tersebut, hanyaPT BMB yang sudah mulai beroperasi.EIA dan JPIK mendokumentasikan pem-

bukaan hutan besar-besaran di wilayahkonsesi tersebut pada bulan September2013, namun Dinas Kehutanan provinsitidak memiliki catatan terkait IPK-nya.Bahkan jika ada, IUP-nya diperkirakandiperoleh melalui pelanggaran hukumsecara mendasar.

PT JJU, salah satu dari dua konsesi yangtelah memperoleh IUP, terletak di sisilain sungai Kahayan yang berseberangandengan PT Kahayan Agro Plantation.Karenanya, wilayah konsesi tersebutberbatasan dengan komunitas yanglahannya sudah diambil alih di bagianselatan sungai oleh PT KAP. Padabulan November tahun ini, DinasKehutanan provinsi memberikan konfir-masi bahwa suatu IPK telah diterbitkanbagi PT JJU pada akhir Oktober. Bagimasyarakat setempat, situasi ini akansemakin memburuk ketika perusahaanmembabat apapun yang tersisa darihutan milik mereka.

Tiga konsesi lainnya terletak di wilayahRungan-Kahayan. Karenanya, ekspansiilegal ini, yang terkait dengan tindakkorupsi yang dilakukan politisi dan parakroninya, akan mengakibatkan defor-estasi yang merajalela di salah satu dariwilayah hutan terkaya yang tersisa diKalimantan. Pada gilirannya, hal iniakan mengakibatkan pemanenan ratu-san ribu kubik meter kayu ilegal.

Page 20: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

20

Tanggapan dari sistem peradilan tindakpidana terhadap kejahatan hutan yangmewabah ini sangat tidak memadai. Halini bukan karena pemerintah tidak men-genal atau menyadari permasalahannya.Justru sebaliknya: selama bertahun-tahun, serangkaian penelitian yangdilakukan berbagai lembaga dankementerian telah menghasilkan bukti-bukti empiris terkait luas dan kedala-man ilegalitas.

Hasil dari penelitian-penelitian tersebutmudah diprediksi dan terus berulang:komitmen untuk menegakkan hukum,biasanya terhadap sekelompok kecilkasus uji yang paling jelas. Namunbelum ada bukti yang mengarah kepadatindakan yang nyata. “Indonesia memili-ki rekam jejak yang buruk dari segipenegakan hukum,” Heru Prasetyo,Kepala Badan REDD+, menyatakankepada para wartawan pada bulanAgustus tahun ini saat mengumumkanhasil audit lain terkait izin perkebunanyang mecurigakan.60

Korupsi merupakan suatu hambatanutama dilakukannya penegakan hukum,sebagaimana diakui dalam dokumenKemenhut pada tahun 2009:“Pencegahan, pendeteksian dan per-lawanan terhadap tindak pidanakehutanan terus dihambat oleh korupsidalam sistem peradilan di setiaplangkah dari pendeteksian tindak pidanadan penyidikan, dalam penyiapan danpenuntutan, sampai dengan peradilandan banding.”61

Pemerintah dan LSM telah mengakui

bahwa isu kunci yang mendasari gelom-bang tindak kriminal ini adalah korupsidan kolusi antara perusahaan dan peja-bat kabupaten, yang mengakibatkanpenerbitan perizinan yang “non-prose-dural”. Heru Prasetyo, saat memberikankomentar terhadap permasalahan ini,mengamati bahwa sepertiga dari semuaBupati sedang diinvestigasi atas dugaankorupsi.

Pada bulan Mei 2012, LSM Save OurBorneo dan Indonesia Corruption Watchsudah memperingatkan bahwa jika lem-baga-lembaga penegak hukum hanyafokus pada undang-undang sektoralseperti Undang-Undang Kehutanan atauPerkebunan, “hampir dapat dipastikanbahwa tindak kriminal dibidangkehutanan, terutama pemberian wilayahkonsesi secara ilegal, akan sulit untukdiungkap.”62

Strategi REDD+ Nasional Indonesia,rencana cetak biru pemerintah untukmengurangi deforestasi menekankanperlunya menggunakan hukum tatanegara, perdata dan kriminal untukmenangani “penerbitan izin yang tidaktepat”.

Undang-Undang Anti Korupsi dan AntiPencucian Uang memberi ruang untukmencermati korupsi, kolusi dan politikuang yang mendasari sektor perke-bunan. Indonesia membanggakan lemba-ga anti-korupsi yang efektif, dalamKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK)yang mampu menjalankan investigasiyang sedemikian.

Bahkan, salah satu dari beberapa dak-waan sukses yang terkenal terkait den-gan sektor perkebunan menyangkutkorupsi penerbitan perizinan IPK olehGubernur Kalimantan Tengah kepadasuatu perusahaan penebangan. Namunminat KPK terhadap kehutanan seper-tinya terbatas, meskipun pada keny-ataannya sektor ini bertanggung jawabatas sebagian besar dari aset-aset yangtelah berhasil dipulihkan KPK yangmencapai US$ 100 juta.63

STUDI KASUS PENEGAKAN HUKUM

PT Suryamas Cipta PerkasaSalah satu tantangan dari penegakankepatuhan hukum di sektor perkebunanadalah kenyataan bahwa sampai dengantahun 2009, legislasi yang mengaturAMDAL tidak memiliki sanksi terhadapketidak-patuhan. Hal ini dikoreksimelalui UU Lingkungan Hidup tahun2009, yang mencantumkan sanksipidana terhadap perusahaan-perusahaanyang beroperasi tanpa memiliki periz-inan lingkungan.

PENEGAKAN HUKUM

HANTU DALAM MESIN

Suatu fokus utama investigasi korupsi adalah peran makelar yang memperoleh dan menjual izin perkebunanuntuk memperoleh keuntungan yang besar. Contohnyadalam hal ini adalah Cornelis dan para rekanannya, yangmenjual perizinan ke CBIP.

Sawit Lamandau Raya didirikan oleh dua orang pelaku bisnis dan dijual dalam waktu satu bulan.

Suatu investigasi yang dilakukan oleh SOB mengungkapkan bahwa seorangBupati di Kalteng telah menerbitkan izin kepada 15 “perusahaan palsu” yang dimiliki oleh anggota keluarganya, kroni-kroninya dan bahkan supirpribadinya.64

Penyidikan tidak pidana korupsi akan menjadi produktif, jika mereka maufokus pada masing-masing orang yang menerima uang transfer dari paraBupati sebesar jutaan dolar aset negara tanpa mematuhi pengamanan yangdiwajibkan secara hukum.

Page 21: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

21

Pada tahun 2011, EIA mengidentifikasisebuah perusahaan yang jauh melanggarperaturan ini dan serangkaian peratu-ran-peraturan lainnya. EIA mengemassemua bukti bahwa PT Suryamas CiptaPerkasa (SCP) telah melanggar hukumdan pada bulan Maret 2012 mengir-imkan dokumen kepada Kapolres, den-gan tembusan ke jajaran dinas pemerin-tah, kementrian dan lembaga yang rele-van.

Selanjutnya, EIA menerbitkan sebuahlaporan berjudul Testing the Law, yangmenganalisis tanggapannya. Laporan inimengingatkan bahwa UU 32/2009“berisiko akan menjadi bagian darisederet undang-undang yang tidak dite-gakkan dan tidak diacuhkan dalamLembaran Negara Indonesia” dan mengi-dentifikasi kegagalan prosedural danstruktural dalam penyidikan kasustersebut. Dua tahun kemudian, keadaan-nya semakin memburuk.

Investigasi yang dilakukan oleh polisimemerlukan waktu selama dua tahunsejak penerimaan dokumen laporan.Namun pada saat itu yang mereka ker-jakan adalah mengidentifikasi berbagaialasan mengapa beberapa pelanggarantidak bisa diadili, sementaramengabaikan pelanggaran-pelanggaranlainnya.

Yang paling parah adalah kegagalanuntuk melakukan investigasi dan men-gadili pelanggaran-pelanggaran terhadapUU Lingkungan Hidup. Buktinya sudahjelas dan kuat: pada bulan Oktober2014, dokumen-dokumen pemerintahmembenarkan bahwa perusahaan terse-but masih beroperasi tanpa memiliki IzinLingkungan. Namun, polisi telah gagaluntuk mengambil tindakan terkait halini.

Investigasi juga telah gagal memeriksaperambahan yang dilakukan olehperusahaan tersebut terhadap lahangambut yang kaya akan karbon,meskipun memiliki implikasi yang san-gat buruk terhadap usaha-usahaIndonesia untuk mengurangi emisi gasrumah kaca.

PT Sawit Lamandau RayaEIA dan JPIK telah memperoleh buktiterkait suatu kasus indikasi perananyang dimainkan korupsi dalam pene-gakan hukum.

Pada tahun 2010, perusahaan PT SawitLamandau Raya (SLR) dilaporkan kepolisi setelah melakukan penebanganlahan hutan lebat seluas 2.000 ha, yangdiduga tanpa memiliki semua perizinanyang diperlukan dan memprovokasi sen-gketa pahit dengan masyarakat lokalyang lahannya sudah dicaplok.65, 66

Pada bulan Maret 2010, BupatiLamandau menulis surat kepada mana-jemen PT SLR yang memerintahkan

mereka untuk menghentikan pembukaanlahan. Suatu surat rahasia dariKapolres Lamandau kepada KetuaDPRD Kabupaten, yang diperoleh EIA,mengungkapkan bahwa suatu investi-gasi terhadap kegiatan-kegiatan perusa-haan tersebut sudah dimulai sejak tang-gal 7 April.67

Lima hari kemudian, pada tanggal 12April, Iwan Setia Putra, GeneralManager PT SLR, mengirimkan memointernal kepada kantor pusat perusa-haan di Jakarta. Memo tersebut, yangjuga telah diperoleh EIA, berjudul“Permintaan Dana Bantuan untukPolres Kab. Lamandau dan PoldaKalteng”. Pada memo tersebut, Putrameminta dana sebesar Rp 400juta[US$45.000] untuk “menyalselesaikanmasalah” dengan kepolisian. Dokumentersebut ditandantangani oleh Putra danThum Kok Hwa, yang terdaftar sebagaiDirektur Utama perusahaan tersebut.

Dokumen-dokumen bank membenarkanbahwa uang tersebut ditransfer kepadaPutra pada tanggal 16 April, dan tertulispada tanda terima bank yang membe-narkan bahwa uang tersebut adalahuntuk “bantuan keuangan” untukkepolisian.

Kapolres Lamandau melaporkanperkembangan investigasinya kepadaperusahaan tersebut dua minggu kemu-dian. Dalam sebuah surat tertanggal 29April, beliau menunjukkan ketidakpast-ian dalam penyelidikan kasus tersebut,dengan menyebutkan bahwa “statuskawasan” seharusnya sudah diputuskansebelum “melangkah ke ranah hukum”.

Investigasi tersebut kemudian tidakditeruskan. Sebaliknya; pada bulanAgustus 2010, Gubernur Kalteng men-girim surat kepada KementerianKehutanan yang memberi rekomendasiuntuk melepaskan 5.500 ha konsesi PTSLR dari Kawasan Hutan, sehinggaberpotensi memutihkan dugaan pelang-garan UU Kehutanan.

Sampai sekarang, wilayah konsesi terse-but masih berada di dalam KawasanHutan, namun pejabat pengadilan diKalteng mengatakan kepada EIA danJPIK bahwa kasus tersebut masihdiproses di tingkat kabupaten.

PT SLR sekarang dimiliki oleh CBIP –perusahaan yang sama yang memilikiempat perizinan dari kroni BupatiGunung Mas yang sekarang sudahdipenjara. CBIP masih menyatakankepemilikannya terhadap konsesi terse-but dalam berbagai laporan tahunan,yang menunjukkan bahwa kepemilikan-nya terhadap lahan tersebut masihberlaku.68 Iwan Setia Putra sejak saatitu sudah pindah. .69

© F

aceb

ook

Page 22: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

22

Dua gerakan yang bertujuan untuk men-gurangi deforestasi dari perluasanwilayah perkebunan telah muncul beber-apa tahun belakangan. Meskipundemikian, suatu analisis mengenaiimplementasi dan cakupan gerakantersebut menunjukkan bahwa inisiatif-inisiatif tersebut saja belum bisa mence-gah meluasnya produksi kayu darideforestasi – baik legal maupun ilegal.

REDD+Pengurangan emisi dari deforestasi dandegradasi hutan (Reducing Emissionsfrom Deforestation and ForestDegradation atau disingkat REDD+)merupakan suatu inisiatif yang bertujuanuntuk menciptakan insentif finansialuntuk membendung emisi gas rumah kacayang dihasilkan dari kerusakan hutan.Inisiatif ini telah dikembangkan melaluibeberapa negosiasi untuk menciptakanperjanjian berskala global yang mengikatsecara hukum untuk menangani peruba-han iklim.

Pemerintah Indonesia merupakah salahsatu penggerak pertama dibawah skematersebut dan pada bulan Mei 2010 menan-datangani perjanjian bilateral denganNorwegia, sebagaimana diuraikan dalamsuatu Surat Niat (Letter of Intent atauLoI), dimana pemerintah Norwegia akanmenyediakan dana yang mencapai US$1milyar untuk membantu mengurangideforestasi.70

Langkah pertama dari LoI tersebut adalahpenangguhan atau moratorium konsesibaru untuk mengkonversi lahan gambutdan hutan alam selama dua tahun, namunIndonesia masih membatasi cakupanhutan alam menjadi hutan “primer”.Selama periode ini, Indonesia seharusnyamengembangkan suatu database lahanyang “terdegradasi” dan mengarahkanberbagai kegiatan ekonomi ke wilayah-wilayah ini dan menjauh dari hutan.Berdasarkan LoI tersebut, Kalteng dipilihsebagai Provinsi Percontohan REDD+,dimana berbagai reformasi yangdilakukan untuk mengurangi deforestasibisa dilakukan di provinsi itu terlebihdahulu.

Pada bulan September 2012, Kemenhutmenyetujui rencana tata ruang yang telahdirevisi yang sekarang digunakan sebagaidasar tata kelola hutan dan tata gunalahan di Kalteng.71 Namun, rencana tataruang tersebut masih mengarahkanekspansi kelapa sawit ke beberapa hutanterkaya dan lahan gambut yang tersisa diprovinsi tersebut. Semua studi kasusdalam laporan ini, misalnya, berlokasi diwilayah-wilayah yang direncanakan akandigunakan untuk pertanian dan sekarangsedang ditebangi.

Serangkaian pembangunan kebijakan,instrumen legal dan bahkan Lembaganasional telah didirikan dibawah payungREDD+ di Indonesia. Pada kenyataannya,banyak hutan yang masih boleh dikonver-

si dan rencana tata ruang masih mem-berikan dasar hukum bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukannya selamabeberapa tahun mendatang.

KOMITMEN NOL DEFORESTASI Selama dua tahun belakangan, beberapaperusahaan besar telah melakukanserangkaian komitmen yang cukup baikuntuk menghentikan produksi, menjualatau membeli kelapa sawit yang terkaitdengan praktek-praktek deforestasi daneksploitatif. Pada tahun 2013 sendiri, 21perusahaan konsumen utama mengadopsikebijakan pengadaan “nol deforestasi ”,terutama untuk kelapa sawit. Tiga peda-gang kelapa sawit besar – WilmarInternational, Golden Agri Resources danCargill – mengadopsi kebijakan-kebijakannol deforestasi yang jika digabungkan,tiga perusahaan tersebut mencakup seki-tar 60 persen perdagangan global komodi-tas kelapa sawit.72

Meskipun komitmen-komitmen ini patutdipuji, selama pemerintah masih men-gizinkan konversi hutan, akan ada perusa-haan-perusahaan lain yang ingin meneban-gi hutan. Heru Prasetyo, kepala LembagaREDD+, mengatakan bahwa kemungkinanada sekitar 1.000 perusahaan produsenkelapa sawit berskala medium “yangberoperasi dibawah radar organisasi-organisasi internasional”.73 Perusahaan-perusahaan seperti yang disebutkan dalamlaporan ini memiliki sedikit kepedulianterhadap prosedur hukum atau kerusakanlingkungan, tidak memperdulikan hak-hakmasyarakat lokal dan mungkin secarakolektif bertanggung-jawab ataskerusakan ratusan ribu hektar hutan.

Keinginan perusahaan-perusahaan keciltersebut untuk masuk dan membukawilayah-wilayah sensitif, ketika perusa-haan-perusahaan besar menolak hal yangsama, sudah didokumentasikan denganbaik. Misalnya, wilayah yang memilikinilai konservasi tinggi yang sudah dis-isihkan oleh anggota Roundtable onSustainable Palm Oil (RSPO) dialokasikanulang oleh pemerintah untuk diberikankepada non-anggota RSPO dan ditebangi.74

Perusahaan-perusahaan yang ingin mem-praktekkan “nol deforestasi” melaporkanbahwa kenyataan ini secara mendasarmengancam kemampuan mereka untukbenar-benar mengimplementasikan kebi-jakan mereka.

Dalam jangka panjang, kebijakan pen-gadaan hilir dan komitmen-komitmen yangdilakukan perkebunan besar harus diser-takan ke dalam hukum di Indonesiamelalui cara-cara yang dapat menye-barkan ide-ide progresif ini ke seluruhindustri kelapa sawit. Hingga hal ini ter-capai, baik langkah-langkah sukarelamaupun REDD+ tidak akan bisamenghentikan aliran kayu dari sektorperkebunan di Indonesia.

NOL-DEFORESTASI SEBAGAI PENYELAMAT?

© G

ol

Page 23: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

IMPLEMENTASI SVLK GAGALMENJANGKAU KAYU KONVERSISistem Verifikasi Kayu Legal, SVLK, diIndonesia secara teori diharapkan bisameregulasi kayu dari konversi hutan.Semua kayu yang diproduksi di negaraini, termasuk yang dipanen melalui per-izinan IPK, dikenai skema ini dan wajibmengikuti audit legalitas.

Namun, SVLK telah sangat gagal men-gatasi aliran kayu ilegal. Hanya sedikitpemegang IPK yang mengajukan permo-honan audit dan pemerintah telah gagalmendorong sisanya untuk melakukanhal ini, sehingga memungkinkan kayuilegal dan tidak bersertifikasi memban-jiri rantai suplai. Menimbang jumlah pro-porsi kayu yang bersumber dari konversihutan saat ini, kegagalan inimeningkatkan keraguan terhadapkeefektifan SVLK dalam mencegahpenebangan liar di Indonesia – yangmerupakan tujuan utamanya.

SVLK telah diadopsi sebagai elemen intiKesepakatan Kemitraan Sukarela(Voluntary Partnership Agreement atauVPA) bilateral antara Indonesia dan UniEropa. [Lihat Boks] Lebih dari itu,skema ini secara mendasar juga sangatdiperlukan bagi inisiatif domestik, den-gan tujuan untuk mencegah penebanganliar dan melakukan reformasi terhadapsektor kayu di Indonesia yang secarahistoris telah tercemar.

Menutup “celah IPK” harus menjadi pri-oritas mendesak bagi KementrianLingkungan Hidup dan Kehutanan yangbaru saja digabungkan. Bukan hanyakarena hal ini sangat penting untukmenjamin legitimasi dan keberhasilanSVLK, namun juga karena hal ini mem-berikan suatu peluang bagi Kementrianuntuk melakukan pengawasan yanglebih besar terhadap pelanggaran besar-besaran terhadap legislasi yang men-gatur tata guna lahan dan lingkungan.

Sementara berbagai perbaikan masihperlu dilakukan dalam standar SVLK,jika diimplementasikan dengan benar,langkah yang sekarang sudah mem-berikan dasar cakupan untuk perbaikanmonitoring konversi hutan. PeraturanMenteri Kehutanan yang mengatur ten-tang SVLK telah diperbarui sebanyakempat kali sejak pertama disahkan seba-gai peraturan pada tahun 2009. Revisiterakhir, pada tahun 2014, menun-jukkan peningkatan kesadaran dankesediaan untuk mengatasi pembebasanlahan secara non-prosedural.

Standar tahun 2014 sekarang men-syaratkan auditor untuk memastikanbahwa para pemegang IPK telah menda-patkan persetujuan Izin Lingkungan,menyadari bahwa berbagai izin perke-bunan kemungkinan telah diterbitkanbagi perusahaan-perusahaan denganmelangar peraturan penting di bidanglingkungan. Standar tersebut juga men-syaratkan para auditor untuk memveri-fikasi bahwa konsesi yang diberikandalam Kawasan Hutan telah dilepaskanmelalui SK-PKH. Standar yang telahdirevisi sekarang juga diterapkan ter-hadap izin-izin konsesi yang diterbitkandiluar Kawasan Hutan, sehingga menut-up celah yang signifikan dan memas-tikan bahwa SVLK berlaku bagi semuapemegang IPK.

Namun, pada bulan November 2014,JPIK menerbitkan suatu studi yang men-jelaskan pengalamannya dalam meman-tau implementasi SVLK sampai akhir2013.75 JPIK menemukan kelemahanmendasar dalam berbagai mekanismepenelusuran bahan baku, mengidenti-fikasi berbagai pelanggaran tata ruang,penanganan konflik tenurial dan mengi-dentifikasi korupsi terkait perolehanperizinan.76 Bukti dari laporan JPIK daninvestigasi EIA menjelaskan adanyakebutuhan mendesak untuk memperbai-ki sistem tersebut.

23

© W

anci

no/J

PIK

MEMBENDUNG ALIRAN KAYU ILEGAL

Page 24: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

Untuk secara efektif meregulasi kayudari konversi lahan, berbagai perkem-bangan diperlukan pada standar SVLKdan implementasinya. Pada tahun 2014,revisi terhadap SVLK telah dikaji dansekarang menjadi bagian dari jurisdiksiKementrian Lingkungan Hidup danKehutanan, yang menunjukkan peluangpenting bagi Kementrian baru untukmempercepat proses reformasi.

PERBAIKAN STANDAR Peraturan SVLK yang sekarang tidakmewajibkan para auditor untuk menilaiapakah wilayah-wilayah operasi parapemegang IPK berlokasi di lahan den-gan klasifikasi yang telah sesuai dengantata ruang yang mengikat secara hukum– meskipun masyarakat sipil memintatindakan ini.81 Konsekuensinya adalahbahwa SVLK masih menyediakan ruanguntuk legitimasi kayu yang diproduksidari hutan yang dikonversi menjadiperkebunan dalam wilayah hutan pro-duksi atau klasifikasi-klasifikasi lainyang dilarang.

Selain itu, SVLK tidak mensyaratkanatau memandatkan para auditor untukmemeriksa tindak korupsi di dalamprosedur perizinan. Standar tersebutsebagian besar hanya memeriksa keber-adaan izin, dan tidak memeriksa prosespenerbitan izin tersebut. Bukti dalamlaporan ini semakin memperjelas bahwaalokasi perizinan yang non-proseduralkemungkinan merupakan ilegalitasutama di sektor perkebunan, yang men-gakibatkan pembebasan lahan ilegalyang mendasari banyak IPK.

Pemerintah, bersama-sama denganmasyarakat sipil, hendaknya mengem-bangkan berbagai indikator terkait pros-es-proses non-prosedural dan potensikorupsi dalam hal pembebasan lahan.Hal ini harus dilakukan dengan memper-hatikan urutan proses perizinan, apakahwilayah lahan tersebut terus berkurangselama proses perizinan, dan indikasi-indikasi bahwa proses perizinan tersebuttelah dipercepat.

Pemerintah harus terus mengem-bangkan suatu mekanisme pelaporanuntuk memastikan bahwa jika pihakmanapun menemukan indikasi ilegalitasatau korupsi, mereka harus melaporkan-nya kepada pihak penegak hukum yangrelevan. Pemerintah hendaknya memas-tikan bahwa semua potensi pelanggaran,tidak hanya ilegalitas terkait sektor ter-tentu, disorot oleh audit.

Terakhir, penting untuk memastikanbahwa SVLK terus-menerus diperbaruidan diperbaiki sehingga mencerminkandan menguatkan berbagai dasar hukumyang berkembang yang mendasari sek-tor-sektor kayu dan perkebunan diIndonesia.

24

MENUTUP CELAH PADA KONVERSI HUTAN

KESEPAKATAN KEMITRAAN SUKARELA

Pada tahun 2003, Uni Eropa mengesahkan Rencana AksiPenegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan SektorKehutanan (Forest Law Enforcement, Governance andTrade atau FLEGT).77 Bagian inti dari Rencana Tindakantersebut adalah negosiasi Kesepakatan KemitraanSukarela (Voluntary Partnership Agreement atau VPA)dengan negara-negara yang memproduksi kayu.78

VPA meliputi pembentukan konsultasi multi-pihak untuk menyepakatiSistem Jaminan Legalitas Kayu (Timber Legality Assurance Systems atauTLAS), yang bisa dijadikan dasar dari Sistem Lisensi FLEGT.

Setelah diaktifkan, VPA mengharuskan agar kayu yang diekspor ke UE darinegara mitra yang tidak memiliki lisensi FLEGT berbasis pengiriman harusditolak memasuki negara-negara anggota UE. Sebaliknya, kayu berlisensiFLEGT tidak dikenai beberapa ketentuan dalam Peraturan Kayu Uni Eropa(European Union Timber Regulation / EUTR) – ketentuan inti lainnya dalamRencana Aksi FLEGT, yang melarang kayu ilegal memasuki pasar UE.79

Indonesia dan UE memasuki negosiasi resmi VPA resmi bulan Maret 2007,dan menyepakati VPA pada bulan Mei 2011. VPA ditanda-tangani pada bulanSeptember 2013, dan diratifikasi pada bulan April 2014. [80] Sertifikasi SVLKakan menjadi dasar bagi sistem lisensi apapun yang berlaku dibawah VPA.Kredibilitas VPA UE-Indonesia karenanya secara langsung terhubung dengan SVLK.

Sementara peraturan-peraturan di Indonesia terkait ekspor kayu bisamencegah kayu IPK ilegal atau tidak bersertifikat mencemari muatan kayuyang memiliki lisensi FLEGT menuju Eropa, tujuan VPA adalah juga untukmencegah penebangan liar. Jika SVLK gagal melakukan hal ini, nilai tambahVPA tanpa menutup “celah pada IPK” menjadi dipertanyakan.

Page 25: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

25

MEMASTIKAN IMPLEMENTASI Implementasi audit wajib IPK meru-pakan hal penting, dan akan perlu meli-batkan komunikasi yang jauh lebih baikmengenai SVLK dengan pemerintahprovinsi dan kabupaten, KementerianPertanian, dan sektor kelapa sawit danpara kontraktornya, terutama diwilayah-wilayah dimana konsesi kelapasawit semakin meluas.

Namun, mengingat adanya praktekumum ketidakpatuhan yang terjadi hing-ga saat ini, pemerintah hendaknya tidakmenunggu-nunggu para pemegang IPKuntuk secara “sukarela” tunduk padaSVLK. Kementerian Lingkungan Hidupdan Kehutanan harus memerintahkanaudit SVLK kepada seluruh pemegangIPK terhadap standar-standar yangsekarang diterapkan, dan memastikanbahwa audit serupa dilaksanakan bagisetiap IPK yang diterbitkan setiap tahunbagi para pemegang konsesi atau sub-kontraktornya mulai dari sekarang.Pada saat yang bersamaan, pemerintahharus menjalankan suatu proses auditterhadap semua konsesi kelapa sawituntuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak menebangihutan tanpa IPK.

Hal yang sama pentingnya adalahmemastikan bahwa pabrik-pabrik peng-gergajian berskala kecil dan menengah,yang memiliki perizinan untuk mempros-es kurang dari 6.000m3 per tahun, sudahdiaudit SVLK. EIA mendokumentasikansejumlah besar kayu ilegal yang dipros-es oleh pabrik-pabrik penggergajiantersebut dan adanya suatu ketidakpedu-lian akan SVLK di kalangan pegawaikabupaten yang bertanggung-jawabmengawasinya. Hingga celah ini ditutup,kayu ilegal dan yang tidak bersertifikatakan selalu mengalir masuk ke dalamrantai suplai melalui pabrik-pabrik ini,mencemari pasar kayu domestik.

MENSINERGIKAN BERBAGAI STANDAR:

Dua skema sertifikasi lainya diterapkan terhadap sektorperkebunan kelapa sawit di Indonesia: RSPO dan ISPO. Dari kedua skema tersebut, tidak ada yang secara eksplisit mensyaratkan kepatuhan terhadap SVLK untukmencapai sertifikasi, meskipun SVLK merupakan syarathukum wajib. Kegagalan untuk menyertakan SVLK dalamstandar-standar mereka di Indonesia merupakan peluangyang terlewatkan yang harus diatasi sesegera mungkin.

The RSPO: Roundtable on Sustainable Palm Oil merupakan suatu skema sertifikasipasar suka rela yang mensyaratkan perkebunan untuk menghindari konversi hutan primer dan wilayah yang memiliki High Conservation Value(HCV), menghormati hak-hak masyarakat adat, dan menunjukkan ketaatanhukum terhadap semua peraturan yang berlaku.

Prinsip dan Kriteria RSPO diadaptasikan ke dalam konteks Indonesia melaluiInterpretasi Nasional Indonesia.

Interpretasi Nasional Indonesia sudah ada sebelum SVLK dan oleh sebab itu,tidak mengacu terhadap SVLK. Karenanya, saat ini perkebunan bisa sajamemiliki sertifikasi RSPO, meskipun melanggar atau mengabaikan SVLK.

Memastikan bahwa sertifikat SVLK bagi para pemegang IPK menjadi indikator wajib ketaatan hukum dalam Interpretasi Nasional akan memastikan bahwa RSPO mencerminkan semua kewajiban hukum yang relevan para anggotanya yang dari Indonesia. Hal ini juga akan memberikankontribusi yang signifikan terhadap reformasi sektor kelapa sawit dan kayu,dengan meningkatkan pengawasan terhadap keduanya.

The ISPO: Sistem Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dikembangkan olehKementerian Pertanian Indonesia untuk memberikan jaminan “keberlanjutan” terhadap pasar-pasar sensitif.

ISPO memiliki struktur yang mirip dengan SVLK. Sertifikasi diwajibkan terhadap standar yang telah disetujui dan telah disahkan ke dalam hukum.Semua perkebunan juga diwajibkan untuk mencapai sertifikasi pada tanggal1 Januari 2015. Sebagian besar pemegang konsesi belum memenuhi ketentuan ini dan target tersebut tidak akan tercapai.

Meskipun ISPO ditujukan untuk memberikan sertifikasi kepatuhan hukum,standar tersebut tidak jelas dan tegas serta kurang memiliki pedoman terperinci untuk para auditor. Hal ini dipandang oleh para pengamat sebagai skema daftar-centang yang didesain terutama untuk meredakankekhawatiran lingkungan dan secara efektif melakukan klaim hijau bagikelapa sawit di Indonesia.

Standar ISPO tidak mensyaratkan auditor untuk memverifikasi apakahperkebunan atau sub-kontraktor mereka telah mengikuti sertifikasi SVLKsebelum membuka hutan. Menyertakan sertifikasi SVLK ke dalam standarISPO bisa secara substantif meningkatkan jumlah perusahaan perkebunankelapa sawit untuk mengikuti audit SVLK.

Page 26: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

26

• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus segera memerintahkan audit SVLK pada semua pemegang IPK, dan mencabut izin perusahaan yang menolak melakukannya.

• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus memastikan penghentian pembukaan lahan di semua konsesi sawit yang tidak mematuhi standar legalitas dalam SVLK, menyita kayu yang dihasilkan, dan memulai proses hukum.

• Pemerintah Indonesia harus membentuk satuan tugas yang terdiri dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memeriksa dan mengadili korupsi terkait alokasi izin, dimulai dengan kasus-kasus yang disebutkan dalam laporanini. Semua temuan dari satuan tugas harus dipublikasikan secara transparan.

• Pemerintah Indonesia harus memastikan standard SVLK direvisi untuk memandatkan dan memandu pemeriksaan korupsi dan pelanggaran hukum lainnya terkait alokasi izin dan pembebasan lahan.

• Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa harus memastikan bahwa pemberlakuan lisensi FLEGT di bawah VPA Indonesia-Uni Eropa sebelum sertifikasi SVLK penuh bagi pemegang IPK tidak membiarkan terus berlangsungnya penebangan di perkebunan sawit ilegal di negara ini.

• Importir kayu Uni Eropa harus melakukan uji tuntas yang menyeluruh terhadap kayu bersertifikat SVLK untuk memastikan kayu tersebut tidak berasal dari konversi hutan yang ilegal dan tidak bersertifikat, sampai lisensi FLEGT diberlakukan dan menghilangkan kewajiban hukum ini.

• RSPO dan ISPO harus menyertakan sertifikasi SVLK sebagai indikator kepatuhan hukum bagi pemegangIPK dalam standard sertifikasi mereka sendiri.

• Pemerintah Indonesia harus berhenti mengalokasikan hutan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.

REKOMENDASI

Page 27: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

REFERENSI

27

1. Obidzinski, K. et al, Environmental and Social Impacts of Oil Palm Plantations and their Implications for Biofuel Production in Indonesia (2012)

2. Koh, L. P. et al, Relative contributions of the logging, fiber, oil palm and mining industries to forest loss in Indonesia (2014)

3. Koh, L.P. and Wilcove, D.S., Is oil palm agriculture really destroying tropical biodiversity? Conservation Letters 1: 60–64 (2008), in CIFOR Occasional Paper No.51, The Impacts and Opportunities of Oil Palm in Southeast Asia: What do we know and what do we need to know? (2009)

4. Greenpeace, Certifying Destruction (2013)5. Mongabay, Despite moratorium, Indonesia now has

the world’s highest deforestation rate, 29 June 2014 6. World Bank, Executive Summary: Indonesia and

Climate Change, Working Paper on Current Status andPolicies (2007)

7. The figure of 32.5m3/ha was arrived at by determiningthe average stock of trees >50cm in diameter across a range of forest types targeted for conversion, in Center for Forestry Planning and Statistics, Ministry of Forestry, Indonesia Forestry Outlook Study (2009)

8. Koh et al (2014) 9. Kemenhut Annual Reports (2001-10)10. Forest Watch Indonesia, Potret Keadaan Hutan

Indonesia, 2000-2009 (2011)11. Dephut Buku Statistik 2001-200512. The Annual Allowable Cut (AAC) in Kalteng in 2005

was 1,089,896m3, Dephut Buku Statistik 200513. RPBBI, dephut.go.id14. Disbun Kalteng database (2011)15. BPK, cited in Wakker 2013, unpublished16. Kompas.com, Hah, Bangun Perumahan Pakai Kayu

Ilegal (2011) 17. An IPK was issued to harvest more than 80,000m3

from 1,000ha in one concession through decree number 522/1/651/1.03/III/2011 from the head of the Kotawaringin Timur Forest Agency, March 2011

18. Minister of Forestry Regulation Permenhut P.38/ Menhut-II/2009

19. Permenhut P.38/ Menhut-II/2009 has since been revised by: P.68/Menhut-II/2011, which was revised byP.45/Menhut-II/2012, which was revised by P.42/Menhut-II/2013, which was revised by P.43/Menhut-II/2014.

20. CIFOR, Learning Lessons to Promote Forest Certification and Control Illegal Logging in Indonesia (2004)

21. Chatham House, Illegal Logging and Related Trade: Indicators of the Global Response (2010)

22. Ministry of Forestry Dephut Buku Statistik (2010)23. Forest Trends, Consumer Goods and Deforestation:

An Analysis of the Extent and Nature of Illegality in Forest Conversion for Agriculture and Timber Plantations (2014)

24. AidEnvironment, forthcoming25. Greenomics, Norway Needs to Walk the Walk, Divest

Holdings in Giant Palm Oil Groups Operating Illegally in Borneo (2011)

26. McCarthy, J. and Zen, Z., Regulating the Oil Palm Boom: Assessing the Effectiveness of Environmental Governance Approaches to Agro-industrial Pollution inIndonesia (2009)

27. Harian Kompas, Mayoritas AMDAL Buruk, 31 Juli 2008

28. Kompas.com, 13 Bupati Terlibat, 23 February 201229. Jakarta Post, RI steps up audits of oil palm

companies, 28 August 2014 30. Tempo, KPK Sita Aset Bos Surya Dumai Group, 29

February 2008 31. Kalteng Plantation Office permit database (2011)32. Kalimantan-news.com, DPRD: Pengoperasian PT NSP

Illegal, 5 August 201133. Borneonews.co.id, Kejari Dikalahkan Terdakwa

Penjaran Hutan, 19 June 201434. Court documents in an unrelated court case in

20014 refer to Thomas Tampi as Managing Director of PT Samuel Sekuritas Indonesia

35. Thomas Tampi, LinkedIn: https://id.linkedin.com/pub/thomas-tampi/29/578/ b02, Twitter: https://twitter.com/tmtampi accessed November 2014

36. domaintools.com37. Kabar Indonesia, Laporan tentang PT Flora Nusa

Perdana ke Polda Kalteng, 14 January 2009, kabarindonesia.com

38. Kalimantan News, Polda Kalteng Tangani Sembilan Perusahaan Besar Sawit, 8 July 2011, kalimantan-news.com

39. Singleton, I., et al, Population and Habitat Viability Assessment, 2004

40. OuTrop, Biodiversity of the Mungku Baru Ulin Forest,Central Kalimantan, Indonesia (2010)

41. PT. Fortuna Farmindo http://www.fortunafarmindo.com/experience.php

42. Metro TV News, 7 Desa Tolak SK Bupati Gunung Mas No 30 Tanggal 16 Febuari Tahun 201, 13 March 2012, http://wideshot.metrotvnews.com/videos/5003/7-desa-tolak-sk-bupati-gunung-mas-no-30-tanggal-16-febuari-tahun-201

43. Letter from communities to police, 4 March 201244. Ibid45. Anglo Eastern Plantations Plc. Annual Report, 201146. Gunung Mas Bupati Instruction No. 4 of 201247. Governor of Kalteng Decision Decision No. 188.44/

30/201348. Head of Kalteng Forest Agency Decree No.

522.1.200/SK/295, March 201349. eksposrakyat.net, PT KHL dan PT KAP diduga ram

bah hutan, 23 December 201350. RPBBI Kalteng 201351. CB Industrial Product Holding Berhad announcement

to Bursa Malaysia, Reference No CI-120215-5246752. Ibid53. Provincial Environment Agency letter to EIA,

September 201454. CB Industrial Product Holding Berhad announcement

to Bursa Malaysia, 1 November 2012 and 29 August 2012

55. Ibid56. Penyuap Akil Mochtar divonis 4 dan 3 tahun, Antara

News, 27 March 201457. KPK.go.id, Akil Mochtar Terjerat Suap Dua Sengketa

Pilkada, 4 October 2014 58. Duit Suap Hambit Bintih ke Akil Mochtar Hasil Utang,

rmol.co, 6 February 201459. Penyuap Akil Mochtar divonis 4 dan 3 tahun, Antara

News, 27 March 201460. Bloomberg, Indonesia Steps Up Audits of Companies

Operating in Rain Forests, 27 August 2014 61. Ministry of Forestry, National Strategy, Reducing

Emissions from Deforestation and Degradation. Readiness Phase. Draft August (2009)

62. Jakarta Globe, Illegal Logging in Kalimantan ‘Cost State $35b in 2011’, 24 May 2012

63. AidEnvironment, Indonesia: Illegalities in Forest Clearance for Large-Scale Commercial Plantations (2014)

64. Jakarta Globe (2012)65. Landsat analysis by EIA66. Pers. comm., Darius Pilos Pagi, September 201367. Letter No., R/361/IV/2010/ Res LMD, 29 April 2010,

from Andreas Wayan, Head of Police “Resor” Lamandau

68. CB Industrial Product Holding Berhad, Annual Report 2012

69. Iwan Setia Putra, LinkedIn: https://id.linkedin.com/pub/iwan-setia-putra/30/310/ 3a3 accessed November 2014

70. Letter of Intent between the Government of the Kingdon of Norway and the Government of the Republic of Indonesia on “Cooperation on reducing greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation”, 26 May 2010

71. SK Menteri Kehutanan No.529/Menhut-II/201272. New York Declaration on Forests, 23 September 201473. Jakarta Post (2014)74. Forest Peoples’ Programme, HCV and the RSPO:

Report of an independent investigation into the effectiveness of the application of High Conservation Value Zoning in palm oil development in Indonesia, October 2009

75. JPIK’s report examined implementation of SVLK Standards detailed in and regulated by Forestry Minister Regulations (Permenhut) No. P.38/Menhut-II/2009, P.68/Menhut-II/2011, P.45/Menhut-II/2012, and P.42/Menhut-II/2013 and the related Regulations of the Director General No. P.6/VI-Set/2009, P.02/VI-BPPH/2010, P.8/VI-BPPHH/2011, P.8/VI-BPPHH/2012. It did not include a review on the implementation of the SVLK detailed in Regulation of the Forestry Minister No P.43/Menhut-II/2014 and Regulation of the Director General No P.5/VI-BPPHH/2014.

76. SVLK IN THE EYES OF THE MONITOR: Independent Monitoring and A Review of The Implementation of The Timber Legality Verification System, 2011-2013, Jaringan Pemantau Indonesia Kehutanan – IndonesianForest Monitoring Network, November 2014

77. Communication from the Commission to the Council and the European Parliament - Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) - Proposal for an EU Action Plan (2003)78.See: http://ec.europa.eu/environment/ forests/flegt.htm

79. Regulation (EU) No 995/2010 of the European Parliament and of the Council of 20 October 2010 laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market (2010)

80. See: http://www.euflegt.efi.int/indonesia81. JPIK (2014)

Page 28: TINDAK KRIMINAL: PERIZINAN BAGI

ENVIRONMENTAL INVESTIGATION AGENCY (EIA)

62/63 Upper StreetLondon N1 0NY, UK

Tel: +44 (0) 20 7354 7960 Fax: +44 (0) 20 7354 7961

email: [email protected]

www.eia-international.org

EIA - WASHINGTON, DC

PO Box 53343Washington, DC 20009 USA

Tel: +1 202 483-6621Fax: +1 202 986-8626

email: [email protected]

www.eia-global.org