15
TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun 1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi. Menurut Murdiyarso (2003), GRK terdiri dari terdiri dari gas karbon dioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), nitrous oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC s ), perfluorokarbon (PFC s ), dan Sulfur heksafluorida (SF 6 ). Keberadaan gas CO 2 dan CH 4 di atmosfer lebih berlimpah dan konsentrasi kedua gas ini terus meningkat, sehingga perlu mendapat perhatian serius. Gas CO 2 dan CH 4 di atmosfer memiliki sifat seperti kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO 2 dan CH 4 disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiyarso, 2003). Karakteritik CO 2 CH 4 Konsentrasi pada pra-industri 290 ppmv 700 ppbv Konsentrasi pada 1992 355 ppmv 1714 ppbv Konsentrasi pada 1998 360 ppmv 1745 ppbv Laju pertumbuhan per tahun 1,5 ppmv 7 ppbv Persen pertumbuhan per tahun 0,4 0,8 Waktu paruh (tahun) 5-200 12-17 Kemampuan memperkuat radiasi 1 23 Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Dari Tabel 1 terlihat bahwa pada tahun 1950-an ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO 2 di atmosfer baru 290 ppmv, pada tahun 1992 telah mencapai 355 ppmv. Jika pola

TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

TINJAUAN PUSTAKA

Pemanasan Global oleh Emisi Karbon Dioksida dan Metana

Persoalan pemanasan global menjadi isu lingkungan hidup sejak tahun

1990-an dan merupakan ancaman serius bagi kelestarian ekosistem bumi.

Menurut Murdiyarso (2003), GRK terdiri dari terdiri dari gas karbon dioksida

(CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs),

perfluorokarbon (PFCs), dan Sulfur heksafluorida (SF6). Keberadaan gas CO2 dan

CH4 di atmosfer lebih berlimpah dan konsentrasi kedua gas ini terus meningkat,

sehingga perlu mendapat perhatian serius. Gas CO2 dan CH4 di atmosfer memiliki

sifat seperti kaca yakni meneruskan radiasi gelombang pendek dari cahaya

matahari, tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau

radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas. Karakteristik gas CO2

dan CH4 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik gas rumah kaca utama (Murdiyarso, 2003).

Karakteritik CO2 CH4

Konsentrasi pada pra-industri 290 ppmv 700 ppbv

Konsentrasi pada 1992 355 ppmv 1714 ppbv

Konsentrasi pada 1998 360 ppmv 1745 ppbv

Laju pertumbuhan per tahun 1,5 ppmv 7 ppbv

Persen pertumbuhan per tahun 0,4 0,8

Waktu paruh (tahun) 5-200 12-17

Kemampuan memperkuat radiasi 1 23

Keberadaan GRK di alam dalam jumlah yang wajar memang dibutuhkan

untuk menjaga kehangatan suhu permukaan bumi dan kenyamanan bagi

kehidupan. Namun apabila jumlah GRK tersebut berlebihan dan cenderung

meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan global. Pemanasan global ini

tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur-angsur. Dari Tabel 1 terlihat bahwa

pada tahun 1950-an ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO2 di

atmosfer baru 290 ppmv, pada tahun 1992 telah mencapai 355 ppmv. Jika pola

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

10

konsumsi, gaya hidup, dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang

akan datang konsentrasi CO2 diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv atau

dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya dalam kurun waktu 100 tahun

yang akan datang suhu rata-rata bumi meningkat hingga 4,5oC dan berpengaruh

pada perubahan besaran dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas

dalam banyak segi kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan perubahan suhu dan

curah hujan secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi sistem produksi

pangan, sumber daya air, pemukiman, kesehatan, energi, dan kenaikan permukaan

air laut.

Kenaikan emisi CO2 harus dikendalikan karena waktu paruh gas ini di

atmosfer cukup lama hingga mencapai 200 tahun. Meskipun emisi yang dilakukan

oleh kegiatan antropologis dihentikan dengan segera, dampak dari akumulasi

GRK tersebut masih akan tetap dirasakan untuk jangka waktu puluhan bahkan

ratusan tahun. Demikian juga dengan gas CH4, walaupun masa hidup, konsentrasi

dan laju pertumbuhan emisi CH4 relatif rendah, namun kemampuan memperkuat

radiasi (radiative forcing) gelombang pendek menjadi gelombang panjang yang

bersifat panas 20 kali lipat dari kemampuan CO2, sehingga kenaikan sekecil

apapun emisi CH4 harus tetap dikendalikan.

Tanah Gambut dan Emisi Karbon Dioksida

Istilah gambut merupakan istilah Indonesia untuk tanah-tanah yang

sebagian besar bahan penyusunnya berupa bahan organik. Nama gambut berasal

dari nama suatu kecamatan yaitu Kecamatan Gambut, dekat Kota Banjarmasin,

Kalimantan Selatan. Di kecamatan tersebut usaha pertanian pada lahan gambut

dapat berhasil dengan baik untuk pertama kalinya, yaitu pada awal tahun 1930-an.

Atas dasar itulah maka para ahli tanah di Indonesia sepakat untuk menggunakan

istilah peat sebagai gambut (Sabiham, 2006).

Di dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama untuk bidang ilmu tanah,

gambut dikenal dengan sebutan Histosols, atau yang populer disebut sebagai peat.

Menurut Soil Survey Staff (1999), bahan tanah organik adalah bahan tanah

dengan diameter < 2 mm dan memenuhi salah satu syarat berikut:

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

11

1. Jenuh air kurang dari 30 hari (kumulatif) dan mengandung C-organik

sebesar 20% atau lebih, atau

2. Jenuh air selama 30 hari atau lebih per tahun (kumulatif) dan mengandung

C-organik (tidak termasuk akar-akar hidup) sebesar:

a. 18% atau lebih (setara dengan 30% bahan organik atau lebih) bila

fraksi tanah mineral mengandung liat 60% atau lebih, atau

b. 12% atau lebih (setara dengan 20% bahan organik atau lebih) bila

fraksi tanah mineral mengandung tanpa liat, atau

c. 12% ditambah (persen liat dikalikan 0,1) bila fraksi tanah mineral

mengandung kurang dari 60% liat.

Sedangkan bahan tanah mineral adalah bahan tanah yang mengandung C-organik

lebih rendah dari ketentuan yang berlaku pada tanah organik. Tanah gambut

digolongkan ke dalam tanah organik atau histosol dengan sifat-sifat sebagai

berikut (Soil Survey Staff, 1999):

1. Tidak mempunyai sifat-sifat tanah andik pada 60% atau lebih ketebalan

diantara permukaan tanah dan kedalaman 60 cm, atau diantara permukaan

tanah hingga ke kontak densik, litik, atau paralitik atau duripan, apabila

lebih dangkal; dan

2. Mempunyai bahan tanah organik yang tebalnya sebagai berikut:

a. Pada tanah berkerikil atau berbatu (bersinder, fragmental, berbatu

apung) dan ada kontak litik atau paralitik dibawahnya; tebal bahan

organik tidak disyaratkan asalkan di sela-sela kerikil/batu tersebut

terisi oleh bahan tanah organik; atau

b. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi tidak ada kontak litik atau

paralitik dibawahnya, tebal lapisan tanah organik ditambah dengan

tebal lapisan berkerikil atau berbatu yang sela-selanya terisi bahan

tanah organik 40 cm atau lebih (dihitung dari permukaan tanah hingga

kedalaman 50 cm); atau

c. Pada tanah berkerikil atau berbatu tetapi ada kontak litik atau paralitik

dibawahnya, tebal lapisan tanah organik 2/3 tebal tanah atau lebih

sampai kontak/paralitik, tebal tanah mineral (bila ada) adalah 10 cm

atau kurang; atau

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

12

d. Jenuh air selama 30 hari atau lebih tiap tahun pada tahun-tahun normal

(atau telah drainase), mempunyai batas atas di dalam 40 cm dari

permukaan tanah dan memiliki ketebalan total salah satu berikut:

Setebal 60 cm atau lebih, apabila ¾ (volume) terdiri dari serat-serat

lumut, atau apabila berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm-3,

atau

Setebal 40 cm atau lebih, apabila terdiri dari bahan saprik atau

hemik, atau bahan fibrik < ¾ (volume) terdiri dari serat-serat lumut

dan berat jenisnya (lembab) kurang dari 0,1 g cm-3 atau lebih.

Karbon dioksida adalah jumlah gas terbesar dalam atmosfer. CO2 akan

diikat oleh biomass tanaman selama proses fotosintesis, kemudian disimpan

dalam tanah sebagai karbon organik melalui perubahan residu tanaman menjadi

bahan organik tanah setelah residu tersebut dikembalikan ke tanah, sehingga tanah

gambut dapat bertindak sebagai rosot (sink) CO2 atmosfer (Rinnan et al., 2003).

Gambut yang terbentuk 5.000-10.000 tahun yang lalu, menyimpan 329-525 GT

karbon atau 15-86% C terestrial yang ada di muka bumi, dimana sekitar 46 GT

diantaranya tersimpan di lahan gambut Indonesia (Allen et al., 2003).

Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer

melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran dalam degradasi lahan gambut yang

menghasilkan emisi gas CO2 dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan

aerasi bahan gambut disamping oksidasi (dekomposisi aerobik). Oksidasi bahan

gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air)

menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al., 2006). Gas CO2 yang dihasilkan dari

dekomposisi bahan organik pada lahan gambut dikendalikan oleh perubahan suhu,

kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, tergantung pada faktor

lingkungan, sifat tanah, dan teknik budidaya pertanian. Pada suhu tinggi, gas CO2

dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera terbentuk dan besar jumlahnya.

Perbandingan perubahan gas CH4 menjadi CO2 dalam tanah pada suhu dan pH

tinggi, bentuk CH4 lebih memungkinkan, karena kondisi tersebut merupakan suhu

optimum untuk metanogen (Kirk, 2004).

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

13

Proses dekomposisi terdiri dari 2 tahap, yaitu (1) pembentukan asam

organik, asetik, propianat dan butirat, ditambah gugus alifatik dan phenolik, (2)

konversi asam-asam organik tersebut menjadi gas (Kirk, 2004). Hasil

dekomposisi pada aerob berupa CO2, NO3-, SO4

-2 dan residu resisten, tetapi hasil

dekomposisi pada anaerob berupa CO2, H2, CH4, N2, NH4, H2S, bagian

terdekomposisi dan residu humik. Selama kebutuhan oksidator anorganik

tercukupi, CO2 merupakan hasil akhir utama dalam dekomposisi bahan organik,

namun setelah oksidator anorganik habis terpakai, digantikan oleh proses

metanogen sehingga proporsi CH4 meningkat seperti digambarkan dengan reaksi

sebagai berikut Kirk (2004):

SOM0 + a H2O SOM1 + b CH3COOH + c H2 + d CO2

CH3COOH CH4 + CO2

H2 + CO2 CH4 + 2H2O

Oksidasi CH4 tergantung pada populasi dan pertumbuhan bakteri

pengoksidasi CH4, difusi CH4 dari tanah anaerobik yang mungkin teroksidasi dari

interface tanah atau dari daerah rhizosfer.

Tanah Gambut dan Emisi Metan

Metan merupakan salah satu komponen GRK yang diemisikan oleh tanah

akibat metabolisme bakteri metanogen. Laju pembentukan CH4 secara akumulatif

ditentukan oleh keberadaan bahan dasar, populasi dan aktivitas mikrob penghasil

CH4 dan lingkungannya (Alexander, 1977). Metabolisme mikrob penghasil CH4

lebih kompleks daripada emisi CO2 dalam tanah. Tanah dapat memproduksi dan

mengkonsumsi metana secara simultan dibawah kondisi lingkungan tertentu.

Metan mempunyai kemampuan menyerap sinar infra merah yang dipancarkan

oleh permukaan bumi sebesar 21 kali dibandingkan dengan CO2 (Shine et al.,

1995). Kontribusi CH4 terhadap pemanasan global sebesar 20%, urutan kedua

setelah CO2 yaitu sekitar 55% (Shine et al., 1995).

Menurut Sylvia et al. (1998), total emisi CH4 diperkirakan sebesar 410 TG

CH4-C th-1. Emisi langsung dari lahan basah sekitar 32% dari total emisi ke

atmosfer. Di lahan basah, mikrob pengoksidasi CH4 dapat mengkonsumsi lebih

dari 90% CH4 di daerah anaerobik sebelum mencapai atmosfer, sehingga oksidasi

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

14

metana di lahan basah merupakan satu dari faktor terbesar yang mempengaruhi

siklus global metana. Metanogen dalam tanah memproduksi metana melalui dua

jalan utama, yaitu:

CO2 + H2 CH4 (reduksi CO2)

CH3COOH CH4 + CO2 (fermentasi asetat)

Sebagian besar ekosistem gambut menyimpan karbon dan nitrogen dari

atmosfer. Peningkatan deposisi N atmosfer memberikan dampak nyata dalam

emisi GRK. Dari hasil penelitian Aerts dan Caluwe (1999) tentang emisi CO2 dan

CH4 dari tanah gambut eutropik dan mesotropik dengan deposisi N yang berbeda

di daerah temperet tanpa perlakuan menunjukkan bahwa tanah gambut eutropik

dengan deposisi N tinggi, emisi CH4 lebih tinggi daripada gambut mesotropik

dengan deposisi N tinggi dan mesotropik dengan deposisi N rendah. Analisis

regresi linier antara emisi CH4 berkorelasi positif dengan variabel kesuburan tanah

(r2= 0,42-0,55), walaupun model regresi multipel emisi CH4 tergantung pada

variabel N tanah (r2= 0,93), sehingga disimpulkan bahwa peningkatan deposisi N

atmosfer menyebabkan peningkatan emisi CH4 dari tanah gambut kesuburan

rendah.

Pada kondisi anaerobik, dekomposisi bahan organik sangat lambat dan

karbon dilepaskan sebagai CH4. Gas CH4 terbentuk dari asam organik atau gas C

oleh bakteri methanogen, kemudian CH4 ditranslokasikan ke zone aerasi dari

bahan gambut yang memungkinkan untuk teroksidasi dan dilepaskan sebagai

CO2. Menurut Roulet et al. (1993), emisi CH4 menurun dengan meningkatnya

kedalaman muka air tanah. Tingginya emisi CH4 berasosiasi dengan jaringan

pembuluh vascular dan dalamnya perakaran tanaman yang meningkatkan efisiensi

pergerakan CH4 dari lapisan anaerobik ke atmosfer

Emisi CH4 dari lahan gambut tergantung pada produksi dan konsumsi CH4

dan kemampuan transport gas ke permukaan oleh tanah dan tanaman. Metana

yang dihasilkan oleh aktivitas metanogen ini akan dilepaskan dari zone reduktif ke

atmosfer melalui tiga proses, yaitu difusi, ebulisi, dan sistem jaringan tanaman

(Redeker et al., 2003; Rinnan et al., 2003). Ebulisi merupakan suatu proses

lepasnya bentuk gelembung gas dari pelarut yang volatil dari dalam larutan ke

permukaan tanah dan ke atmosfer. Bentuk gelembung gas terbentuk secara

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

15

spontan jika larutan menjadi jenuh dengan pelarut yang volatil. Pembentukan

gelembung gas CH4 dalam tanah melebihi CO2 walaupun kedua gas tersebut

dalam proporsi yang sama, karena CH4 20 kali lebih volatil daripada CO2 (Kirk,

2004).

Melling et al. (2005c) melaporkan fluks CH4 pada ekosistem hutan

gambut berkisar dari -4,53 sampai 8,40 μg C m-2 jam-1, pada ekosistem kelapa

sawit berkisar dari -32,78 sampai 4,17 μg C m-2 jam-1, dan pada ekosistem sagu

berkisar dari -7,44 sampai 102,06 μg C m-2 jam-1. Dengan pendekatan analisis

pohon regresi diperoleh hasil bahwa fluks CH4 pada masing-masing ekosistem

dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang berbeda yakni kelembaban udara untuk

ekosistem hutan, muka air tanah untuk ekosistem kelapa sawit dan ekosistem

sagu. Ekosistem hutan dan sagu merupakan source CH4 dengan emisi 18,34 mg

C m-2 jam-1 untuk hutan dan 180 mg C m-2 jam-1 untuk sagu, sedangkan ekosistem

kelapa sawit merupakan sink CH4 dengan uptake -15,14 mg C m-2jam-1.

Kelembaban udara merupakan faktor penting yang mempengaruhi uptake

dan emisi CH4 dengan batas kritis 90,55%. Emisi CH4 tertinggi sebesar 9,23 μg

C m-2jam-1 terjadi pada kelembaban udara 90,55% dan muka air tanah lebih dari

49 cm. Pada ekosistem sagu meningkatnya suhu akan meningkatkan emisi CH4

akibat tingginya difusi gas, tetapi pada ekosistem kelapa sawit yang memiliki

lapisan aerobik lebih tebal, meningkatnya suhu memungkinkan meningkatkan

oksidasi CH4, sehingga uptake CH4 semakin besar.

Drainase Pada Perkebunan Kelapa Sawit dan Emisi Karbon

Perkebunan kelapa sawit saat ini telah berkembang tidak hanya yang

diusahakan oleh perusahaan negara, tetapi juga perkebunan rakyat dan swasta,

sehingga perlu tersedianya lahan untuk pengembangan area tanam. Lahan gambut

memiliki potensi tinggi dalam memenuhi kebutuhan investasi untuk perluasan

kebun kelapa sawit. Secara umum, produksi kelapa sawit pada lahan gambut

saprik lebih tinggi dibandingkan dengan lahan gambut hemik dan fibrik.

Produktivitas kelapa sawit di lahan gambut saprik dengan ketebalan

gambut mencapai 48 cm, dengan kadar abu 36,34 %, pH 3,67, dan salinitas 0,65

mS per cm, pada usia produksi 10 tahun mencapai 27,17 ton tandan buah segar

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

16

(TBS) per hektar per tahun, sedangkan untuk lahan gambut yang sama dengan

kedalaman 450 cm, kadar abu 2,71 %, pH 3,55, salinitas 1,41 mS per cm,

menghasilkan lebih rendah TBS yakni 23,74 ton TBS per hektar per tahun. Untuk

lahan gambut hemik dengan kedalaman 240 cm, kadar abu 3,44 %, pH 3,53, serta

salinitas 1,34 mS per cm, mampu menghasilkan 23,20 ton TBS per hektar per

tahun pada usia produksi tahun ke 10. Sementara untuk jenis lahan gambut fibrik

dengan kedalaman mencapai 220 cm, kadar abu 10,65 %, pH 3,53, dan salinitas

1,11 mS per cm, hanya dapat menghasilkan 20,80 ton TBS per hektar per tahun

(Winarna, 2007).

Pengelolaan gambut mempunyai pengaruh yang besar terhadap

keseimbangan karbon pada ekosistem gambut. Pembuatan drainase pada lahan

gambut digunakan untuk mengatasi kandungan air gambut yang dapat mencapai

90% volume. Drainase diperlukan untuk pertumbuhan akar tanaman kelapa sawit

dan untuk mengakses jalan. Sejak dimulainya drainase, wilayah gambut telah

menjadi source CO2 sebagai akibat meningkatnya oksidasi gambut. Dilain pihak

peningkatan muka air tanah dapat merubah area gambut menjadi source CH4 yang

lebih efektif sebagai gas rumah kaca daripada CO2 (Hendriks et al., 2007).

Ikkonen dan Kurets (2002) menyatakan bahwa drainase lahan gambut selama 10

tahun akan menurunkan muka air dari 10 menjadi 30 cm dan emisi CO2 dari tanah

meningkat 1,5 kali. Sebelum drainase sekitar 70% produksi CO2 dari gambut

sphagnum merupakan hasil dari mineralisasi bahan organik, namun setelah

drainase respirasi akar menyumbangkan 40% dari total respirasi tanah. Intensitas

maksimum dari fluks CO2 dihasilkan dari respirasi akar dan mikroorganisme

teramati pada kelembaban gambut 70-75%. Klemedtsson et al. (1997) melaporkan

bahwa jika dibandingkan dengan gambut yang tidak didrainase, tindakan drainase

pada tanah organik untuk lahan pertanian akan meningkatkan emisi GRK (CO2,

N2O dan CH4) sekitar 1 t CO2 ha-1 th-1.

Suasana oksidasi dan reduksi yang ditentukan oleh tingginya muka air

tanah akibat drainase sangat berkaitan erat dengan laju dekomposisi dan

menentukan regulasi emisi gas CO2 dan CH4. Murase dan Kimura (1994) dalam

Barchia (2006) melaporkan bahwa jumlah CH4 biasanya ditemukan paling banyak

di dalam tanah tergenang atau tereduksi. Jumlah CO2 di dalam tanah tergenang

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

17

berkisar antara 2–10% dan CH4 berkisar antara 4–55%. Rendahnya kandungan

CO2 pada tanah tergenang dibandingkan dengan kandungan CH4 karena pada

tanah tergenang oksigen masuk ke dalam tanah melalui proses difusi, dimana

proses difusi O2 ini 10.000 kali lebih lambat daripada difusi O2 di dalam pori

terisi gas.

Sistem drainase akan berdampak pada terjadinya subsiden dan perubahan

kondisi tanah dari reduktif menjadi oksidatif yang berpengaruh pada proses

dekomposisi bahan gambut. Dekomposisi bahan gambut dalam kondisi jenuh air

berjalan sangat lambat, namun dengan adanya drainase, proses dekomposisi

berjalan cepat (Rinnan et al., 2003). Bahan gambut dalam kondisi anaerob

(bersifat reduktif) dapat menghasilkan asam-asam organik, CO2 dan CH4,

sedangkan bahan gambut dalam kondisi aerob (bersifat oksidatif) dapat

menghasilkan CO2. Gambut dapat menghasilkan CO2 dalam kondisi anaerob jika

tersedia asam asetat, asam propionat, dan asam butirat yang bertindak sebagai

donor elektron (Morril et al., 1982).

Lingkungan oksidatif dan reduktif berpengaruh nyata terhadap fluks CH4.

Pada horizon anoxic gambut, bakteri metanogen memproduksi CH4 (Rinnan et al.,

2003). Bakteri metanogen ini hidup pada kondisi anaerob dan sangat sensitif bila

ada oksigen, walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Bakteri metanogen

membutuhkan redoks potensial lebih kecil dari -200 mV dan tumbuh optimal pada

suhu 30-40oC (Alexander, 1977).

Kondisi hidrologi gambut berpengaruh terhadap emisi CO2. Nyman dan

DeLaune (1991) melaporkan bahwa terdapat perbedaaan perhitungan emisi CO2

di lapang antara fresh, brackhis, dan saline tanah rawa. Emisi CO2 tertinggi di frest

dan terkecil di brackish pada seluruh kedalam air tanah yang terukur. Hal ini

menunjukkan adanya perbedaan yang mendasar dalam proses dekomposisi dan

Eh tanah pada tipe-tipe tanah rawa tersebut.

Hubungan Ketebalan dan Tingkat Dekomposisi Gambut dengan Emisi karbon

Salah satu faktor pembatas dalam pengelolaan gambut adalah hubungan

negatif antara ketebalan gambut dengan produktivitas lahan. Berdasarkan

ketebalannya, gambut dibagi menjadi empat tipe, yaitu 1) gambut dangkal dengan

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

18

ketebalan 0,5-1 m, 2) gambut sedang dengan ketebalan 1-2 m, 3) gambut dalam

dengan ketebalan 2-3 m, dan 4) gambut sangat dalam dengan ketebalan > 3 m

(Sabiham, 2006). Makin tebal gambut, makin besar kendala biofisiknya dan

makin rendah produktivitas lahannya. Perubahan pola penggunaan lahan gambut

akan mempengaruhi tinggi muka air di lahan gambut dan perubahan suhu secara

drastis sehingga akan merubah keseimbangan dan pelepasan CO2 dan CH4.

Sistem drainase di lapang merupakan faktor yang dapat menyebabkan

kehilangan C-organik dan subsiden pada bahan gambut. Proses subsiden

merupakan perubahan sifat gambut secara fisik, kimia dan biologi yang

ditunjukkan di lapangan dengan penurunan lapisan gambut. Hal ini terkait dengan

terjadinya perubahan suhu, ketersediaan O2, pH, dan Eh tanah jika dilakukan

drainase pada bahan gambut. Suhu tanah merupakan pengendali utama terhadap

laju dekomposisi bahan gambut dan peranannya sangat dominan bila berinteraksi

dengan ketersediaan O2. Ketersediaan O2 di dalam bahan gambut dapat

mempercepat proses mineralisasi C-organik sehingga bahan gambut menghasilkan

CO2 dan CH4. Nilai Eh dan pH berperanan dalam produksi CH4 (Yagi et al.,

1994).

Dinamika kesetimbangan antara rata-rata produksi CO2 dan CH4 dan

oksidasi pada profil tanah gambut dan rata-rata perpindahan dari bahan gambut ke

atmosfer mengendalikan fluks CO2 dan CH4 dari lahan gambut. Fluks tersebut

menunjukkan spatial tinggi dan variasi temporal yang berhubungan dengan faktor-

faktor lingkungan, seperti suhu dan kedalaman air (Moore dan Dalva, 1993).

Fisiografi gambut (pantai, transisi, dan pedalaman) mempengaruhi sifat-

sifat inhern gambut. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan

menjadi 3, yaitu fibrik, hemik dan saprik. Bahan fibrik biasanya diendapkan di

lapisan gambut bawah, bahan ini banyak mengandung serat yang dipertahankan

dalam bentuk asalnya dan masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami

dekomposisi. Bahan hemik apabila tingkat dekomposisinya sedang dan saprik

apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut, kedua bahan ini biasanya ditemukan

di atas lapisan bahan fibrik. Dilapangan, bahan hemik dan saprik sulit dibedakan

asal botaninya. Bobot isi (BI) hemik biasanya berkisar 0,11-0,2 g cm-3,

sedangkan BI bahan saprik > 0,2 g cm-3 (Sabiham, 2006).

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

19

Riwandi (2001) menyatakan bahwa kehilangan C organik gambut pantai,

transisi, dan pedalaman relatif sama, tetapi jumlah kehilangan C organik gambut

fibrik lebih tinggi dibandingkan dengan saprik, sedangkan hemik berada

diantaranya. Berdasarkan kehilangan C organiknya, stabilitas gambut fibrik

paling rendah, saprik paling tinggi, dan hemik berada diantara keduanya. Hasil

penelitian Sulistyono (2000) menyatakan bahwa tingkat dekomposisi gambut

berpengaruh nyata terhadap produksi CO2 dan CH4 dengan urutan gambut fibrik

> hemik > saprik. Dalam kondisi aerob, produksi CO2 meningkat dan CH4

menurun dan sebaliknya pada kondisi anerob, produksi CH4 meningkat dan CO2

menurun. Berdasarkan hal tersebut, kehilangan karbon melalui CO2 dan CH4 dari

gambut dapat terjadi baik pada kondisi basah maupun kondisi kering. Dalam

kondisi basah atau anaerob masalah kehilangan CO2 sudah dapat ditekan, namun

masalah yang berkaitan dengan pemanasan global harus diperhatikan. Meskipun

bentuk CH4, secara angka nilainya lebih kecil daripada CO2, namun kemampuan

CH4 dalam menyebabkan pemanasan global lebih besar.

Dekomposisi anaerob merupakan sumber utama emisi karbon ke atmosfer.

Prekusor metanogenesis diproduksi melalui dekomposisi anaerob polimer organik

oleh bakteri hidrolitik dan fermentasi. Faktor lingkungan yang sangat

menentukan degradasi anaerob adalah kelembaban, suhu, konsentrasi substrat, dan

pH (Bergman et al., 1997). Menurut Whalen dan Reeburgh (1996), metanotrop

pada daerah subsurface bahan gambut secara fisiologi telah beradaptasi dengan

konsentrasi CH4 yang berlebihan jumlahnya. Kelembaban tanah dan suhu sangat

mempengaruhi konsumsi rata-rata CH4. Pengaruh tersebut terlihat pada suply

substrat dan aktivitas enzim. Bakteri pembentuk metan dikelompokkan dalam

famili Methano bacteriaceae yang dibedakan dalam dua kelompok bakteri, yaitu

(1) rod-shaped bacteria: Methanobacterium, (2) spherical cell: a. sarchinae,

Methanosarcina dan b. bukan sarchinae group, Methanococcus. Degradasi bahan

organik oleh bakteri methanogen anaerobik membutuhkan kerjasama 4 tipe

bakteria yaitu: a) bakteri penghidrolisis dan fermentasi, b) bakteri pereduksi H, c)

bakteri homoasetogenik, dan d) bakteri metanogenik (Alexander, 1977).

Faktor biotik dan abiotik mengendalikan fluks gas di lahan gambut. Lahan

gambut beriklim tropik, suhu tinggi sepanjang tahun dengan sedikit deviasi, tetapi

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

20

variasi harian dan bulanan terjadi untuk curah hujan, sehingga di daerah tropik,

tingkat air tanah lebih penting peranannya daripada suhu dalam fluks gas bahan

gambut ke atmosfer. Sylvia et al. (1998) menyatakan bahwa suhu, kelembaban,

potensial redoks, dan ketersediaan substrat merupakan empat faktor utama dalam

pengendalian dinamika gas dalam ekosistem. Suhu merupakan faktor penting

karena seluruh reaksi biologi terpengaruh oleh suhu. Kelembaban merupakan

faktor penting karena (1) seluruh kehidupan organisme memerlukan air dan (2)

kandungan air tanah mengendalikan difusi oksigen ke dalam tanah, sehingga

mempengaruhi potensial redox dan mempunyai kontribusi dalam proses aerobik

dan anaerobik. Ketersediaan substrat baik kuantitas maupun kualitas karbon

merupakan kunci pengendali dinamika gas.

Pengukuran CO2 secara sederhana dapat dilakukan dengan metode titrasi

asam basa. CO2 yang dihasilkan ditangkap oleh KOH sehingga akan terbentuk

K2CO3 yang kemudian dititrasi dengan HCl dengan indikator penolptalin (pp) dan

metil oranye (mo), reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:

1. Perubahan warna menjadi tidak berwarna (dengan indikator pp)K2CO3 + HCl KCl + KHCO3

2. Perubahan warna kuning menjadi pink (dengan indikator mo)KHCO3 + HCl KCl + H2O + CO2

Tanaman Dalam Kaitannya dengan Emisi karbon

Emisi karbon erat kaitannya dengan tanaman, sehingga sangat penting

menghubungkan antara komposisi jenis tanaman dengan fungsi ekosistem

gambut. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan ekosistem jenis

tanaman mempengaruhi proses-proses penting yang berkaitan dengan

pengendalian dan interaksi antara fluks CO2 dan CH4 dengan mekanisme dua

arah dalam perubahan iklim (Cristensen et al., 1999; Oechel et al., 2000; Strom,

Mastepanov dan Cristensen, 2005). Strom, Mastepanov dan Cristensen (2005)

melaporkan monolith gambut-tanaman dengan vegetasi dominan Carex memiliki

emisi CH4 tertinggi (6,76 mg CH4 m-2h-1) daripada jika didominasi vegetasi

Eriophorum (2,38 mg CH4 m-2h-1) atau Juncus (2,68 mg CH4 m

-2h-1). Emisi gas

melalui tanaman dipengaruhi oleh jenis tanaman, varietas dan stadia pertumbuhan

tanaman Shalini-Sigh et al. (1997), begitu juga umur dan ukuran tanaman (Mariko

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

21

et al., 1991). Menurut Parashar (1993), perbedaan varietas dalam jumlah jaringan

aerenchima mempengaruhi kapasitas transport emisi karbon. Emisi ini akan

meningkat dengan meningkatnya biomas, kondisi tanaman, dan perbedaan

varietas.

Kerapatan efflux CH4 pada sistem lahan basah berkorelasi linier dengan

rata-rata uptake CO2 dalam fotosintesis, dimana umumnya lebih tinggi pada lahan

basah yang subur (Allen et al., 2003). Ketersediaan CO2 berkaitan erat dengan

aktivitas metanogen. Peningkatan CO2 atmosfer ternyata meningkatkan aktivitas

metanogen dalam memproduksi CH4. Beverland et al. (1996) menjelaskan bahwa

peningkatan CO2 akan meningkatkan proses fotosintesis, sehingga jumlah

karbohidrat yang terbentuk semakin besar. Hal ini memperbesar translokasi

fotosintat ke akar tanaman dan meningkatkan pengeluaran eksudat akar.

Ketersediaan substrat organik hasil dekomposisi bahan organik secara anaerob

dan hasil eksudasi akar akan mensuplai energi bagi mikrob metanogen untuk

memproduksi CH4, yang berakibat pada tingginya emisi CH4. Alexander (1977)

menyatakan bahwa produksi CH4 berkaitan erat dengan aspek aktivitas mikrob

metanogen yang berlangsung pada ekosistem anaerob. Metan mulai terbentuk

pada potensial redoks -100 mV hingga -200 mV.

Jauhiainen dan Vasander (2002) melaporkan bahwa pada tanpa vegetasi

emisi CO2 menurun dengan meningkatnya kelembaban, hal ini terkait dengan

rendahnya aktivitas bakteri aerobik dalam memproduksi CO2 dan lambatnya

perubahan gas dalam kondisi tergenang. Untuk itu sangat perlu dilakukan

pengukuran produksi CO2 dan CH4 di sekitar dan diluar daerah perakaran.

Menurut Pendal et al. (2004), ketersediaan CO2, suhu, dan interaksinya

berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap siklus C di dalam tanah.

Ketersediaan CO2 secara langsung memacu proses respirasi sebagai bahan dasar.

Meningkatnya suhu secara langsung memacu proses dekomposisi dengan

mempercepat aktivitas enzim dan reaksi-reaksi kimia. Peningkatan CO2 secara

tidak langsung mempengaruhi kecepatan dekomposisi.

Rambut-rambut akar merupakan kunci penghubung bagi uptake air dan

unsur hara tanaman, input C tanah, dan aktivitas mikrob tanah. Turnover rambut

akar (diameter < 2 mm) berperan sangat penting dalam pengaturan keseimbangan

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

22

C pada ekosistem (Pendall et al., 2004). Peningkatan fotosintesis pada keadaan

CO2 semakin banyak dapat memacu C dalam tanah dan pertumbuhan rambut akar,

kecepatan turnover dan biomass akar. Fauzi et al. (2005) menjelaskan bahwa

tanaman kelapa sawit mempunyai akar serabut dengan sistem perakaran yang

sangat kuat. Hal ini dikarenakan oleh tumbuhnya akar ke bawah dan ke samping

membentuk akar primer, sekunder, tertier, dan kuarter. Akar primer tumbuh ke

bawah di dalam tanah sampai batas permukaan air tanah. Akar sekunder, tertier,

dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan air tanah bahkan akar tertier dan

kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang mengandung unsur hara. Di

samping itu, tumbuh pula akar nafas yang muncul di atas permukaan atau di

dalam air tanah.

Pendal et al. (2004) mengajukan konsep 3 pool utama untuk menjelaskan

siklus karbon di bawah permukaan tanah yaitu pool aktif, lambat dan pasif. Pool

aktif menerima input dari rizosfer dan serasah di atas tanah dan mengalami

turnover pada jangka waktu sampai beberapa tahun. Pool lambat atau slow

menerima kebanyakan dari pool aktif, disertai dengan remineralisasi pasif C yang

berperan dalam jumlah sedikit, dan juga mengalami turnover dalam jangka waktu

sampai beberapa dekade. Pool pasif C terdiri dari kompleks-kompleks

organomineral yang dilindungi secara fisik maupun kimia, dimana pool ini

mengalami turnover dalam jangka waktu 100 tahun. Efflux CO2 dihasilkan dari

dekomposisi berbagai macam pool C termasuk akar dan serasah yang dipengaruhi

oleh suhu tanah, kelembaban, dan fenologi tanaman. Dekomposisi pada semua

pool karbon tanah menghasilkan CH4 maupun CO2 dengan perbandingan

tergantung pada kejenuhan O2. Pembentukan metan lebih bergantung pada pool

karbon yang tidak stabil, namun hanya sedikit diketahui mengenai peran berbagai

jenis bentuk pool C terhadap pembentukan CH4.

Menurut Rinnan et al. (2003), tanaman dapat berperanan sebagai media

transportasi CH4 dari tanah tergenang ke atmosfer. Alur emisi CH4 dari lahan

basah melalui tiga cara yaitu: (1) tanaman menyediakan substrat untuk metanogen

dalam bentuk eksudat tanaman, akar, sisa tanaman periode sebelumnya, (2) sistem

aerenchyma menyediakan media transport gas dari tanah ke atmosfer, dan (3)

tekanan O2 pada daerah perakaran merupakan salah satu faktor penting untuk

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA Pemanasan Global oleh Emisi Karbon ... · (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFCs), ... meningkat akan menimbulkan dampak pemanasan

23

mereduksi potensi fluks CH4 dan melalui keberadaan O2 ini tanaman dapat

mengoksidasi CH4 di daerah perakaran dan menghambat aktivitas bakteri

metanogen. Hasil penelitian Ekberg et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan

dalam komunitas mikrob dan dekomposisi di daerah rhizosfer terjadi melalui cara

(1) meningkatnya ketersediaan substrat (akar mati) menyebabkan meningkatnya

kualitas komunitas dekomposer, (2) eksudar akar dan derivatnya meningkatkan

dekomposisi lignin, (3) komposisi struktur C-organik terlarut.

Pelepasan CO2 dan CH4 ke atmosfer dipengaruhi oleh umur tanaman.

Barchia (2006) melaporkan bahwa emisi CH4 tertinggi pada saat tinggi tanaman

dan bobot akar mencapai perkembangan maksimum. Pada fase generatif emisi

CH4 menurun bahkan hampir sama dengan emisi pada lahan yang terbuka tanpa

tanaman. Besarnya transpirasi dan jumlah pori mikro pada lembar daun

menentukan pelepasan CH4.