33
I.1 Latar Belakang Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid (1). Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut, tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan oleh karena obat-obatan. Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel, dan infeksiosa kronis (1). Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto pada tahun 1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut pula sebagai tiroiditis autoimun kronis dan merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-50 tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid. Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan (1,2,3).

tiroiditis autoimun

Embed Size (px)

DESCRIPTION

penyakit tyroid pada leher atau di sebut gondok

Citation preview

Page 1: tiroiditis autoimun

I.1   Latar Belakang

Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan

yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya

keadaan yang timbul mendadak  dengan disertai rasa sakit yang hebat

pada tiroid. Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau

penampilan klinisnya. Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit

dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid (1).

Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas

tiroiditis akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis

infeksiosa akut, tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis

subakut dibagi menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de

Quervain, sedangkan yang tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis

limfositik subakut, post partum, dan oleh karena obat-obatan. Tiroiditis

kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel, dan infeksiosa kronis (1).

Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun

yang paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru

Hashimoto pada tahun 1912, dengan istilah lain struma

limfomatosa. Disebut pula sebagai tiroiditis autoimun kronis dan

merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya

cukup.  Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-50 tahun.

Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi

limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid.

Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan

(1,2,3).

Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap

tiroglobulin dalam darah. Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama

kalinya menemukan antibodi  terhadap tirogobulin, yang bertindak

sebagai autoantigen, dalam serum penderita penyakit Hashimotosehingga

terjadi inflamasi akibat autoimun. Perjalanan penyakitnya sendiri pada

awalnya mungkin dapat terjadi hipertiroid oleh adanya proses inflamasi,

tetapi kemudian kerusakan dan penurunan fungsi tiroid yang luas dapat

menyebabkan hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa membesar

membentuk nodul goiter. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini

Page 2: tiroiditis autoimun

akan menetap sehingga diperlukan terapi hormon tiroid yang bertujuan

mengatasi defisiensi tiroid serta memperkecil ukuran goiter  (1,4,5).

Mengingat pentingnya pengetahuan tentang penyakit Tiroiditis

Hashimoto ini, maka penulis mencoba memaparkan mengenai aspek

patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan pengobatan dari Tiroiditis

Hashimoto ini.

I.2     Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk

mengetahui aspek patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan

pengobatan dari penyakit Tiroiditis Hashimoto.

I.3 Manfaat

Pada penulisan referat ini penulis berharap dapat memberikan

pengetahuan pada pembaca mengenai Tiroiditis Hashimoto secara lebih

mendalam.

Page 3: tiroiditis autoimun

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Kelenjar Tiroid

II.1.1 Struktur Kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah

kartilago krikoid, disamping kiri dan kanan trakhea. Pada orang dewasa

beratnya lebih kurang 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu

lobus kiri kanan yang dipisahkan oleh isthmus. Masing-masing lobus

kelenjar ini mempunyai ketebalan lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan

panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus mempunyai lobuli yang di masing-

masing lobuli terdapat folikel dan parafolikuler. Di dalam folikel ini

terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa

(1,6,7).

Gambar 2.1. Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid mendapat sirkulasi darah dari arteri tiroidea superior

dan arteri tiroidea inferior. Arteri tiroidea superior merupakan

percabangan arteri karotis eksternal dan arteri tiroidea inferior

merupakan percabangan dari arteri subklavia. Lobus kanan kelenjar tiroid

mendapat suplai darah yang lebih besar dibandingkan dengan lobus kiri.

Dipersarafi oleh saraf adrenergik dan kolinergik. Saraf adrenergik berasal

dari ganglia servikalis dan kolinergik berasal dari nervus vagus (6,7).

Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat,

berupa ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk

gepeng, kubus sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel

tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu

sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng

dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam keadaan aktif.

Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan

sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid (7,8) .

Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen

eosinofilik. Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan

Page 4: tiroiditis autoimun

gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis

berhubungan dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik

yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam keadaan inaktif dan

beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui

penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar

dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti

hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle

cells  (7,8 ).

Gambar.2.2 Histologi kelenjar tiroid normal

Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yaitu T3, T4 dan

sedikit kalsitonin. Hormon ini diangkut oleh protein pengangkut, protein

pengangkut itu adalah TBG (thyroxine binding globulin), TBPA (thyroxine

binding prealbumin), T3U (T3 resin uptake) dan TBI (thyroxine binding

index). Peningkatan protein pengangkut TBG menyebabkan peningkatan

hormon T4 dan penurunan protein pengangkut T3U. Peningkatan TBG

disebabkan oleh pengobatan estrogen, perfenazin, kehamilan, bayi baru

lahir, hepatitis infeksiosa dan peningkatan sintesis herediter. Sedangkan

penurunan kadar TBG dipengaruhi oleh pengobatan steroid anabolik dan

androgen, sakit berat atau pembedahan, sindroma nefrotik dan defisiensi

kongenital (6,7,8).

            Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar

hormon tiroid. Mekanisme pengaturan sekresi hormone tiroid tersebut

dapat dilihat pada gambar 2.2. Hipotalamus (terletak tepat di atas

kelenjar hipofisa di otak) menghasilkan thyrotropin-releasing

hormone(TRH), yang menyebabkan kelenjar hipofisa

mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai dengan

namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon

tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu,

maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih

sedikit, sebaliknya jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka

kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut

mekanisme umpan balik (7,8).

Page 5: tiroiditis autoimun

Gambar 2.3. Pengaturan sekresi hormon tiroid.

II.1.2 Proses Pembentukan Hormon Tiroid

Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh folikel sedangkan kalsitonin

dihasilkan oleh parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon

ini adalah yodium yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium

yang dikomsumsi akan diubah menjadi ion yodium (yodida) yang masuk

secara aktif ke dalam sel kelenjar dan dibutuhkan ATP sebagai sumber

energi. Proses ini disebut pompa iodida, yang dapat dihambat oleh ATP-

ase, ion klorat dan ion sianat. Sel folikel membentuk molekul glikoprotein

yang disebut tiroglobulin yang kemudian mengalami penguraian menjadi

monoiodotironin (MIT) dan diiodotironin (DIT). Selanjutnya terjadi reaksi

penggabungan antara MIT dan DIT yang akan membentuk triiodotironin

atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk tetraiodotironin atau

tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH namun dapat

dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil kaptoimidazol.

Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk PBI

(protein binding iodine) (1,7,8,9).

Gambar 2.4. Sintesis hormon tiroid pada folikel tiroid

II.1.3 Fungsi Kelenjar Tiroid

Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah (1,7,8,9) :

a.       Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya

meningkatkan metabolisme karena peningkatan komsumsi oksigen dan

produksi panas. Efek ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru dan

testis.

b.      T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat

dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat

dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.

c.       Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya

pertumbuhan saraf dan tulang.

d.      Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin.

Page 6: tiroiditis autoimun

e.       Efek kronotropik dan inotropik terhadap jantung yaitu menambah

kekuatan kontraksi otot dan menambah irama jantung.

f.       Merangsang pembentukan sel darah merah.

g.      Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi

tubuh terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolisme.

h.      Bereaksi sebagai antagonis insulin.

i.        Tirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama

menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat reabsorpsi

kalsium di tulang. Faktor utama yang mempengaruhi sekresi kalsitonin

adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum yang rendah akan

menekan pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium

serum akan merangsang pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tambahan

adalah diet kalsium dan sekresi gastrin di lambung.

II.2 Definisi Tiroiditis Hashimoto

Tiroiditis berasal dari kata tiroid yaitu kelenjar tiroid sedangkan –

itis menandakan adanya proses peradangan (inflamasi) dengan beragam

penyebab. Bila dilihat dari aspek waktu kejadian maka tiroiditis dibagi

menjadi tiroiditis akut (muncul mendadak atau durasi penyakit singkat),

tiroiditis subakut (antara akut dan kronik) dan tiroiditis kronik (durasi

penyakit lama) (1,10).

            Berdasarkan penyebabnya, tiroiditis dibagi menjadi tiroiditis

karena infeksi, tiroiditis autoimun, tiroiditis pasca persalinan, tiroiditis

karena obat-obatan dan tiroiditis Riedel. Berdasarkan ada atau tidaknya

nyeri, dibagi menjadi tiroiditis dengan nyeri dan tiroiditis tanpa nyeri.

Tiroiditis yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto dan

tiroiditis postpartum (timbul setelah melahirkan) (1,10).

Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses

autoimun dan berdasarkan waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik. Jika

jaringan tiroid yang mengalami tiroiditis diperiksa dibawah mikroskop

maka akan tampak gambaran peradangan berupa infiltrasi sel-sel limfosit

(1,5,10).

Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara

30 – 50 tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras,

Page 7: tiroiditis autoimun

membesar difus, tak nyeri. Pasien biasanya eutiroid atau hipotiroid dan

jarang hipertiroid. Hipotiroid terjadi jika hormon tiroid yang diproduksi

tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Kelenjar tiroid juga bisa membesar

membentuk goiter (4,5).

II.3 Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks,

dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang

suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon

autoimun terhadap antigen tiroid (2).

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum

diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik

sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada

PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui

mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara

bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi

(sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan

membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.

Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi

antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di

membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen (2,11).

Gambar 2.4 memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya

PTAI, diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang

memiliki gen suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan autoantigen

tiroid menimbulkan tiroiditis Hashimoto atau penyakit Graves atau

pembentukan antibodi antitiroid tanpa gejala klinik (asymptomatic

autoimmune thyroid disease).

Gambar 2.5. Gambar skematik mekanisme terjadinya PTAI.

Auto-Ag’s: Thyroid Autoantigens; Tab’s : Thyroid antibodies

            Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini

dilihat dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan

Page 8: tiroiditis autoimun

proses autoantigen dan autoantibodi tiroid, ditambah adanya peran

sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada proses

penyakit ini.

a. Faktor genetik

Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur

respon imun sepertimajor histocompatibility complex (MHC), reseptor sel

T, serta antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen

sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium,

TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru

enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu  CTLA-4 (Cytotoxic T

Lymphocyte Antigen-4), CD40, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22,

tiroglobulin, dan TSHR (2,12).

Gambar 2.6 Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC). APC memunculkan

antigen peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan peptid ini dikenal

oleh reseptor sel T.

Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul

kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen

Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan

mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada

permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa

protein yang diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan

berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan

limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen (2).

CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang

dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun

lain. CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI

(tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi

antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1,

penyakit Addison, dan myasthenia gravis (2).

Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu

jelas. Hal ini menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto

Page 9: tiroiditis autoimun

yang sering kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi

mulai dari hanya ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi limfositik

fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis),

sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan

kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara

tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus.

Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimotodengan

HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina

(2).

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan

sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir

rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas,

penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi,

mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan

kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri (11).

Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α,

amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas

tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan beberapa faktor yang terlibat dalam

etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.

Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis

autoimun

Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe

Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak

sempurna

Antibodi TPO

Ekses iodium Tidak terjadi escape

effect Wolff-Chaikoff; Jod-

HT

Page 10: tiroiditis autoimun

Basedow GD

Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT

Jarak proses

reproduktif yang

panjang

Efek estradiol HT

Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO

Mikrokhimerisme

fetal

Sel laki-laki di sel tiroid

menimbulkan efek antitiroid

HT dan GD

Stress Upregulasi sumbu HPA GD

Alergi Tidak diketahui; kadar IgE

tinggi

GD

Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO

Infeksi Yersinia

enterocolitica

Mimikri molekuler GD

Keterangan :           HT : Hashimoto thyroiditis

                                    GD : Graves’ disease

                                    GO : Graves’ ophthalmopathy

Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa

penyakit tertentu seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan

selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada

kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa

mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor

intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang

merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin

untuk terjadinya PTAI di kemudian hari (11).

Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid.

Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan

dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di

daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di

daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman

kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan

iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita

Page 11: tiroiditis autoimun

yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan

iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas

dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom

fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium

berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow).

Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan

presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan

menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya

merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI (11).

Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis

selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium

mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium akan menyebabkan

individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie,

mungkin karena limfosit T memerlukan selenium (13).

Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan

mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting

dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaituselenoprotein

deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon

tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan

kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di

dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas,

suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan

pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200

ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan

menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas

hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (11).

Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin.

Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi,

menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai

pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem

imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan

memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan

imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa

Page 12: tiroiditis autoimun

penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah

satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui apakah penyakit

Hashimoto juga terkait dengan faktor stress (11).

Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam

patogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi

bertindak sebagai faktor pencetus PTAI seperti yang digambarkan pada

Gambar 2.7 (14).

Gambar 2.7. Tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi sebagai

pencetus PTAI.

A. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;

B. Induksi molekul MHC kelas II untuk mempresentasikan autoantigen oleh

tirosit pada sel T;

C. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T

autoreaktif.

Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker

paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi

aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2),

dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok  akan meningkatkan risiko

kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah

pengobatan dengan iodium radioaktif (12).

c.  Autoantigen dan autoantibodi tiroid

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan

perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan

seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi

(sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel,

menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi

karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada

reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan

pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin, danthyrotropin

receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal

antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis

tiroid (15).

Page 13: tiroiditis autoimun

Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T

cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak

menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi

tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai

petanda(marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya

hipotiroid. Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO

mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat

dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroid pada

tiroiditisHashimoto dan tiroiditis atrofik (15,16). 

Gambar 2.8. Perubahan kadar antibodi anti-TPO dan terjadinya disfungsi tiroid pada

PTAI.

Pada gambar 2.8 di atas diperlihatkan perubahan kadar antibodi anti-

TPO yang mendahului terjadinya disfungsi tiroid pada individu dengan

predisposisi genetik yang dipicu faktor lingkungan, sejalan dengan

bertambahnya waktu (umur) (16).

Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup

iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap

penentuan kadar Tg, karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu

metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium,

penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada

penderita struma nodusa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma

endemik (15,16).

Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi

antitiroid, khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon

Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator;

LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin

Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor

Immunoglobulin; TSBAb =Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan

TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi

TSHR dikelompokkan menjadi (17, 18) :

Page 14: tiroiditis autoimun

1.   Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon

tiroid;

2.   TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam

merangsang sintesis hormon tiroid;

3.   Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang

pertumbuhan sel folikel;

4.   TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang

pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).

Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan

terjadinya diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan

fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya

normal atau rendah, atau sebaliknya (18).

Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap

koloid kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel

selain reseptor TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta

antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut

sebagaiophthalmic immunoglobulin) (19).

Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi

hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid

autoimmunity. Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada

penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit

Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara

spontan pada penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan

(17).

d. Mekanisme apoptosis

Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan

dalam PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada

CD4(+), CD25(+) T regulatory cells akan merusak(breaks)

toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan

menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi

proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi

tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan

kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme

Page 15: tiroiditis autoimun

apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun

berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis

Hashimoto dan penyakit Graves (20).

e.  Peran sitokin

Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun;

sitokin dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit

CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ

(IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun langsung

pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan

terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun

humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan

protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun (21).

Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T

dan B intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid

termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi.

Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin,Nitric

Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan

reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi

pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan

berimplikasi terhadap disfungsi tiroid (21).

Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid,

terutama thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di

jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan

diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses

inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas

II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di

jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast

secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang baru,

meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi

matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada

glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh

Page 16: tiroiditis autoimun

fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi

sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat

dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar

diobati (21).

II.4 Gejala Klinis Tiroiditis Hashimoto

Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama

bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran

kelanjar tiriod atau hasil pemeriksaan darah yang abnormal pada

pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala yang berkembang berhubungan

dengan efek tekanan lokal pada leher yang disebabkan pembesaran

kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam

darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak tidak nyeri

pada leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran

kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan    (1,5).

Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi,

tergantung pada tingkat keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis

awalnya didahului dengan gejala-gejala hipertiroid (kadar hormon tiroid

meningkat) lalu normal (eutoroid) dan akhirnya berubah menjadi

hipotiroid (kadar hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya,

mungkin gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau

tanda-tanda menua. Tetapi semakin lama penyakit berlangsung, gejala

dan tanda makin jelas (1,4).

Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid

biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan,

sering mengantuk, jadi pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal,

rambut dan kuku yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot,

penambahan berat badan, peningkatan sensitivitas terhadap banyak

pengobatan, menstruasi yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran

pada wanita yang hamil (1,5).

II.5 Penegakan Diagnosis

Page 17: tiroiditis autoimun

Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat

diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui

dengan identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil

pemeriksaan laboratorium (1,5).

Peningkatan antibodi antitiroid merupakan bukti laboratorik paling

spesifik pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak semuanya dijumpai pada

kasus.  Pemeriksaan hormon tiroid biasanya diperiksa kadar TSH dan FT4.

Dikatakan hipotiroid apabila peningkatan kadar TSH disertai penurunan

FT4 (5).

Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis

melalui biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam – macam

yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan

fibrosis. Aspirasi jarum halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita

tiroiditis ini, namun dapat dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada

kasus yang sulit dan merupakan prosedur yang dibutuhkan jika nodul

tiroid terbentuk (1,4,5,10).

Makna klinis penentuan antibodi antitiroid

Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik

adalah TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody), TPOAb (anti TPO antibody),

TgAb (ATA: anti Tg antibody), dan penentuan berbagai antibodi lainnya

lebih bersifat minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid

tidak selalu ditemukan dalam serum penderita PTAI, antara lain

disebabkan oleh sensitivitas metoda assay (16).

TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau

sedang menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat

melewati sawar plasenta, TRAb merupakan faktor resiko disfungsi tiroid

fetal maupun neonatal. Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada

penderita penyakit autoimun organ specific lain seperti DM tipe 1 dan

anemia pernisiosa, serta juga dengan bertambahnya umur (prevalensi

PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya umur) (16).

Antibodi anti-TPO merupakan faktor resiko disfungsi tiroid, termasuk

tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat

Page 18: tiroiditis autoimun

tertentu. Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan

pada hipotiroidi akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95%

penderita tiroiditis Hashimoto dan sekitar 85% penderita penyakit Graves

mempunyai antibodi anti-TPO (16).

Pada tabel 2.2 tercantum indikasi penentuan kadar antibodi anti-

TPO menurut rekomendasi National Academy of Clinical

Biochemistry tahun 2003 (16).

Tabel 2.2 Indikasi penentuan antibodi anti-TPO

Diagnosis PTAI

Faktor risiko untuk PTAI

Faktor risiko untuk hipotiroid pada pengobatan dengan Interferon α, IL-2 &

lithium

Faktor risiko disfungsi tiroid pada pengobatan Amiodarone

Faktor risiko hipotiroid pada penderita Sindrom Down

Faktor risiko disfungsi tiroid selama kehamilan dan tiroiditis post-partum

Faktor risiko untuk keguguran dan kegagalan fertilisasi in-vitro

Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai

pelengkap penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil

pengobatan karsinoma tiroid berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg

yang positif akan menganggu penentuan kadar tiroglobulin. Antibodi anti-

Tg positif pada penderita karsinoma tiroid berdiferensiasi yang telah

dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam waktu 1-4 tahun,

sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai petunjuk awal

rekurensi (16).

II.6 Penatalaksanaan

Jika penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau menyebabkan

kekurangan hormon tiroid, penderita memerlukan terapi penggantian

hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta

mengecilkan ukuran nodul goiter. Pengobatan dengan penggunaan

Page 19: tiroiditis autoimun

sehari-hari dari hormon tiroid sintetis sepertii levotiroksin (levothroid,

Levoxyl, Synthroid). Levotiroksin sintetis identik dengan tiroksin, versi

alami hormon ini dibuat oleh kelenjar tiroid (5).

Kadang tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan

asimtomatik. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan

tindakan pengangkatan, sebaiknya operasi ini ditunda karena kelenjar

tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan waktu. Pemberian tiroksin

dapat mempercepat hal tersebut. Disamping itu tiroksin juga dapat

diberikan pada keadaan hipotiroidisme (1,4).

Pada pasien usia tua, dosis dimulai dengan yang rendah dan

ditingkatkan secara bertahap. Pasa pasien usia muda, dapat langsung

dimulai dengan dosis besar. Aksi hormon tiroid sangat lambat pada tubuh,

sehingga pengobatan memerlukan waktu beberapa bulan sambil melihat

perkembangan gejala atau ukuran goiter. Karena secara umum gejala

hipotiroid pada penyakit ini bersifat menetap, maka kadang dibutuhkan

pengobatan seumur hidup dengan dosis yang disesuaikan dari waktu ke

waktu sesuai keadaan individual pasien (5).

Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah

besarnya goiter, dan gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini

dihubungkan pula dengan peningkatan kolesterol serum, peningkatan

resiko atherosklerosis dan penyakit jantung. Sedangkan apabila dosis

berlebihan, dapat menimbulkan gejala hipertiroid, mengakibatkan kerja

jantung yang berlebihan dan meningkatkan resiko osteoporosis (5).

Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid.

Pemberian glukokortikoid dapat menyebabkan regresi struma dan

mengurangi titer antibodi. Tetapi mengingat efek samping dan kenyataan

bahwa aktivitas penyakit dapat kambuh kembali sesudah pengobatan

dihentikan, maka pemakaian obat golongan ini tidak dianjurkan pada

keadaan biasa (1,10).

II.7 Kelainan Lain yang Berhubungan dengan Tiroiditis Hashimoto

Page 20: tiroiditis autoimun

Beberapa penyakit tertentu dilaporkan terkait dengan penyakit

tiroid autoimun (PTAI), walaupun beberapa diantaranya masih

kontroversial seperti yang terlihat pada tabel 2.3 (5).

Tabel 2.3 Beberapa penyakit yang dilaporkan terkait dengan PTAI

Penyakit Autoimun Keganasan Lain-Lain

Organ-Spesific Non-organ-

specific

Penyakit celiac SLE Kanker

Payudara

Sarcoidosis

Penyakit Addison Artritis

reumatoid

Leukemia Helicobacter

pylori

Vitiligo Sklerosis

sistemik

Kanker Gastric IBD

DM tipe 1 Sindrom

Sjogren

Hepatitis C

Defisiensi ACTH Juvenile

Artritis kronik

Polimyalgia

rheumatica

Anemia

pernisiosa

Giant cell

arteritis

Alopecia areata Cushing’s

disease

Premature

ovarian failure

Urtikaria

kronik

Sklerosis multipel

Myasthenia

gravis

Primary biliary

cirrhosis

Sind.Goodpasture

Hepatitis kronik

aktif

Page 21: tiroiditis autoimun

Hubungan dengan penyakit autoimun lain sudah lama ditengarai,

mungkin terjadi karena adanya kesamaan faktor genetik dan patogenesis.

Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikannya. Beberapa

contoh penyakit yang berhubungan dengan PTAI disampaikan berikut ini.

a. DM tipe 1

Baik penyakit tiroid autoimun maupun diabetes mellitus tipe 1 (DM1)

merupakan penyakit autoimun yang organ specific. DM1 sering ditemukan

bersamaan dengan penyakit autoimun lain, termasuk penyakit tiroid

autoimun. Perros et al (1995) melaporkan prevalensi disfungsi tiroid pada

DM1 sekitar 31.4%, sedangkan pada DM tipe 2 hanya sekitar 6.8%. Perlu

perhatian khusus dalam mengelola penderita DM1 yang disertai penyakit

tiroid autoimun, karena disfungsi tiroid juga akan mempengaruhi

homeostasis glukosa. Disfungsi tiroid ditemukan pada sekitar 30% wanita

DM1 terutama yang berusia tua, biasanya dalam bentuk hipotiroidi atrofik

primer dantiroiditis Hashimoto. Wanita DM1 juga beresiko tinggi

menderita disfungsi tiroid postpartum; tiroiditis post-partum ditemukan 3

kali lebih sering pada penderita diabetes dibanding wanita normal

(22,23,24).

b. Hepatitis C dan Interferon-α

Terdapat peningkatan prevalensi PTAI pada penderita hepatitis C.

Infeksi virus hepatitis C dapat menyebabkan PTAI, mungkin melalui

peningkatan kecenderungan non-spesifik terhadap proses autoimunitas

atau langsung dari infeksi virusnya sendiri (25,26).

Interferon-α merupakan pengobatan standar Hepatitis C. Autoimunitas

tiroid dilaporkan merupakan efek samping pengobatan Interferon-α,

dengan kejadian antara 2.5%-45.3%. Carella menyimpulkan bahwa (1).

tidak ada autoantibodi tiroid setelah pengobatan interferon-α merupakan

faktor protektif terhadap terjadinya PTAI beberapa tahun setelah

pengobatan interferon-α dihentikan; (2). PTAI akibat interferon-α tidak

semuanya reversible karena beberapa di antaranya menjadi tiroiditis

khronik; (3). Kadar antibodi antitiroid tinggi pada akhir pengobatan

interferon-α berhubungan dengan risiko terjadinya PTAI khronik; dan, (4).

Page 22: tiroiditis autoimun

adanya antibodi anti-Tg dan anti-TPO secara bersamaan pada akhir

pengobatan interferon-α merupakan faktor prediktif untuk disfungsi tiroid,

walaupun subklinik, beberapa tahun setelah IFN-α dihentikan (25).

c. Myasthenia Gravis

Dari data penelitian terungkap bahwa 10,4% penderita myasthenia

gravis juga menderita PTAI, dan sekitar 5.4% adalah penyakit Graves.

Myasthenia gravis yang disertai PTAI dilaporkan mempunyai perjalanan

klinik lebih ringan, lebih sering okuler, frekuensi penyakit timus lebih

rendah, serta frekuensi antibodi reseptor asetilkolin lebih rendah,

menyiratkan adanya interaksi antara kedua keadaan. Walaupun datanya

masih kontroversial, asumsinya adalah bahwa prevalensi penyakit Graves

memang meningkat pada myasthenia gravis (26).

d. Vitiligo

Terdapat hubungan antara PTAI dengan vitiligo, yang merupakan

stigmata autoimun. Sejumlah 6,8% penderita PTAI mempunyai vitiligo,

dan 7,8% penderita vitiligo di Jerman menderita PTAI (26).

BAB III

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ

specific, dengan penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang

mempunyai predisposisi genetik dengan pemicu faktor lingkungan.

Pada tiroiditis Hashimoto antibody anti-TPO merupakan petanda utama.

Manifestasi klinis awalnya mungkin saja hipertiroid akibat proses inflamasi

hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas pada kelenjar tiroid

menyebabkan hipotiroid yang menetap. Pengobatan Hashimoto dengan

obat antitiroid dan pemberian l-tiroksin bukan bersifat kuratif, artinya

tidak mengubah patogenesis penyakitnya. Diharapkan di masa datang

dengan perkembangan dalam bidang biomolekuler dan pemahaman yang

lebih mendalam tentang respons imun dari antigen spesifik, penanganan

penyakit tiroiditis autoimun akan lebih mendasar dan bersifat kausal.

Page 23: tiroiditis autoimun

III.2.  Saran

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai

praktisi klinis diharapkan dapat memahami memahami penyebab

terjadinya, patofisiologi, serta bagaimana mendiagnosisTiroiditis

Hashimoto dan bagaimana penanganannya sehingga diharapkan nantinya

bila kita menemukan kasus ini kita dapat memberikan penanganan yang

tepat kepada penderita.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta :

FKUI.

2.      Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease

susceptibility genes : from gene mapping to gene function. Endocrine

Rev.2003;24(5):694-717.

3.      Chen HI, Akpolat I, et al. Restricted κ/λ ight chain ratio by flow

cytometry in germinal center b cells in hashimoto thyroiditis. Am J Clin

Pathol. 2006;125:42-48

4.      Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in

Hashimoto’ s disease (lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820-

821.

5.      Hashimoto’s Thyroiditis. www.thyroidawareness.com

6.      http://elisa.ugm.ac.id/files/ariana/KFNunveC/35.%20Kelenjar

%20Tiroid.pdf

7.      Barrett, E.J. The thyroid gland. In Boron WF, Boulpaep EL. Medical

physiology.A cellular and molecular approach. Ist Edition. Saunders.

Philadelphia. 2003 : 1035- 1048.

Page 24: tiroiditis autoimun

8.      Magner JA : Thyroid stimulating hormone: biosynthesis, cell biology and

bioactivity. Endocr Rev 1990; 11:354

9.      Glinoer D. Regulation of maternal thyroid during pregnancy. J Clin

Endocrinol Metab 1990;71: 276

10.  Wall JR. Autoimmune thyroid disease. Endocrinol Metab Clin North Am

1987;229:1

11.  Prummel MF, Strieder T, Wiersinga WM. The environment and

autoimmune thyroid diseases.Eur J Endocrinol 2004;150:605-618.

12.  Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor,

and PTPN22 gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity :

back to the future. J Autoimmun 2007;28:85-98.

13.  Ridgway EC, Tomer Y, McLachlan SM. Update in Thyroidology. J Clin

Endocrinol Metab 2007;92:3755-3761.

14.  Tomer Y, Davies TF. Infection, Thyroid Disease, and Autoimmunity.

Endocrine Rev. 1993;14(1):107-120.

15.  Rapoport B, McLachlan SM. Thyroid autoimmunity. J Clin Invest

2001;108:1253-1259.

16.  The National Academy of Clinical Biochemistry. Laboratory Medicine

Practice Guidelines; Laboratory Support for the Diagnosis and Monitoring

of Thyroid Disease. Thyroid 2003;13(1):45-56.

17.  Ludgate M, Emerson CH. Metamorphic thyroid autoimmunity. Thyroid

2008;18(10):1035- 1037.

18.  Van Ouwerkerk BM, Krening EP, Docter R, Benner R, Hennemann G.

Autoimmunity of thyroid disease. With emphasis on Graves’ disease. Neth

J Med 1985;28:

19.  Amino N. Autoimmunity and hypothyroidism. Clin Endocrinol Metab

1988;2(3):591-617.

20.  Wang SH, Baker JR. The role of apoptosis in thyroid

autoimmunity.Thyroid 2007;17(10):975-9.

21.  Weetman AP, Ajjan RA. Cytokines and autoimmune thyroid disease. Hot

Thyroidology. www. hotthyroidology.com. June 1, 2002.

Page 25: tiroiditis autoimun

22.  Perros P, McCrimmon R, Shaw G, Frier B. Frequency of thyroid

dysfunction in diabetic patients ; value of annual screening. Diabet Med

1995;7:622-627

23.  Wu P. Thyroid disease and diabetes. Clinical Diabetes 2000;18(1):38-39.

24.  Gerstein HC. Incidence of postpartum thyroid dysfunction in patients with

Type 1 diabetes mellitus. Ann Intern Med 1993;118(6):419-423.

25.  Carella C, Maziotti G, Morisco F, Manganella G, Rotondi M, Tuccillo C, et

al. Long-Term outcome of interferon-alfa- induced thyroid autoimmunity

and prognostic influence of thyroid autoantibody pattern at the end of

treatment. J Clin Endocrinol Metab 2001;86;1925-1929.

26.  Jenkins RC, Weetman AP. Disease associations with autoimmune thyroid

disease. Thyroid 2002;12(11):977-988.