Upload
rifqi-alif
View
57
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
penyakit tyroid pada leher atau di sebut gondok
I.1 Latar Belakang
Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan
yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya
keadaan yang timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat
pada tiroid. Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau
penampilan klinisnya. Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit
dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid (1).
Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas
tiroiditis akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis
infeksiosa akut, tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis
subakut dibagi menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de
Quervain, sedangkan yang tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis
limfositik subakut, post partum, dan oleh karena obat-obatan. Tiroiditis
kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel, dan infeksiosa kronis (1).
Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun
yang paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru
Hashimoto pada tahun 1912, dengan istilah lain struma
limfomatosa. Disebut pula sebagai tiroiditis autoimun kronis dan
merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah yang iodiumnya
cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-50 tahun.
Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi, infiltrasi
limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid.
Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan
(1,2,3).
Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap
tiroglobulin dalam darah. Pada tahun 1956, Roitt dkk untuk pertama
kalinya menemukan antibodi terhadap tirogobulin, yang bertindak
sebagai autoantigen, dalam serum penderita penyakit Hashimotosehingga
terjadi inflamasi akibat autoimun. Perjalanan penyakitnya sendiri pada
awalnya mungkin dapat terjadi hipertiroid oleh adanya proses inflamasi,
tetapi kemudian kerusakan dan penurunan fungsi tiroid yang luas dapat
menyebabkan hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa membesar
membentuk nodul goiter. Sekali mulai timbul hipotiroid maka gejala ini
akan menetap sehingga diperlukan terapi hormon tiroid yang bertujuan
mengatasi defisiensi tiroid serta memperkecil ukuran goiter (1,4,5).
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang penyakit Tiroiditis
Hashimoto ini, maka penulis mencoba memaparkan mengenai aspek
patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan pengobatan dari Tiroiditis
Hashimoto ini.
I.2 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah untuk
mengetahui aspek patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, dan
pengobatan dari penyakit Tiroiditis Hashimoto.
I.3 Manfaat
Pada penulisan referat ini penulis berharap dapat memberikan
pengetahuan pada pembaca mengenai Tiroiditis Hashimoto secara lebih
mendalam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Kelenjar Tiroid
II.1.1 Struktur Kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah
kartilago krikoid, disamping kiri dan kanan trakhea. Pada orang dewasa
beratnya lebih kurang 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu
lobus kiri kanan yang dipisahkan oleh isthmus. Masing-masing lobus
kelenjar ini mempunyai ketebalan lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan
panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus mempunyai lobuli yang di masing-
masing lobuli terdapat folikel dan parafolikuler. Di dalam folikel ini
terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa
(1,6,7).
Gambar 2.1. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid mendapat sirkulasi darah dari arteri tiroidea superior
dan arteri tiroidea inferior. Arteri tiroidea superior merupakan
percabangan arteri karotis eksternal dan arteri tiroidea inferior
merupakan percabangan dari arteri subklavia. Lobus kanan kelenjar tiroid
mendapat suplai darah yang lebih besar dibandingkan dengan lobus kiri.
Dipersarafi oleh saraf adrenergik dan kolinergik. Saraf adrenergik berasal
dari ganglia servikalis dan kolinergik berasal dari nervus vagus (6,7).
Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat,
berupa ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk
gepeng, kubus sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel
tiroid ini dipengaruhi oleh aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu
sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng
dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila kelenjar dalam keadaan aktif.
Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi kolumnar dan
sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid (7,8) .
Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen
eosinofilik. Variasi densiti dan warna daripada koloid ini juga memberikan
gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis
berhubungan dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik
yang tebal dan banyak dijumpai pada folikel dalam keadaan inaktif dan
beberapa kasus keganasan. Pada keadaan yang belum jelas diketahui
penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah menjadi sel-sel yang besar
dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang dengan inti
hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle
cells (7,8 ).
Gambar.2.2 Histologi kelenjar tiroid normal
Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yaitu T3, T4 dan
sedikit kalsitonin. Hormon ini diangkut oleh protein pengangkut, protein
pengangkut itu adalah TBG (thyroxine binding globulin), TBPA (thyroxine
binding prealbumin), T3U (T3 resin uptake) dan TBI (thyroxine binding
index). Peningkatan protein pengangkut TBG menyebabkan peningkatan
hormon T4 dan penurunan protein pengangkut T3U. Peningkatan TBG
disebabkan oleh pengobatan estrogen, perfenazin, kehamilan, bayi baru
lahir, hepatitis infeksiosa dan peningkatan sintesis herediter. Sedangkan
penurunan kadar TBG dipengaruhi oleh pengobatan steroid anabolik dan
androgen, sakit berat atau pembedahan, sindroma nefrotik dan defisiensi
kongenital (6,7,8).
Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar
hormon tiroid. Mekanisme pengaturan sekresi hormone tiroid tersebut
dapat dilihat pada gambar 2.2. Hipotalamus (terletak tepat di atas
kelenjar hipofisa di otak) menghasilkan thyrotropin-releasing
hormone(TRH), yang menyebabkan kelenjar hipofisa
mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai dengan
namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan hormon
tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu,
maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih
sedikit, sebaliknya jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka
kelenjar hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut
mekanisme umpan balik (7,8).
Gambar 2.3. Pengaturan sekresi hormon tiroid.
II.1.2 Proses Pembentukan Hormon Tiroid
Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh folikel sedangkan kalsitonin
dihasilkan oleh parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon
ini adalah yodium yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium
yang dikomsumsi akan diubah menjadi ion yodium (yodida) yang masuk
secara aktif ke dalam sel kelenjar dan dibutuhkan ATP sebagai sumber
energi. Proses ini disebut pompa iodida, yang dapat dihambat oleh ATP-
ase, ion klorat dan ion sianat. Sel folikel membentuk molekul glikoprotein
yang disebut tiroglobulin yang kemudian mengalami penguraian menjadi
monoiodotironin (MIT) dan diiodotironin (DIT). Selanjutnya terjadi reaksi
penggabungan antara MIT dan DIT yang akan membentuk triiodotironin
atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk tetraiodotironin atau
tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH namun dapat
dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil kaptoimidazol.
Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk PBI
(protein binding iodine) (1,7,8,9).
Gambar 2.4. Sintesis hormon tiroid pada folikel tiroid
II.1.3 Fungsi Kelenjar Tiroid
Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah (1,7,8,9) :
a. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya
meningkatkan metabolisme karena peningkatan komsumsi oksigen dan
produksi panas. Efek ini pengecualian untuk otak, lien, paru-paru dan
testis.
b. T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat
dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat
dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.
c. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya
pertumbuhan saraf dan tulang.
d. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin.
e. Efek kronotropik dan inotropik terhadap jantung yaitu menambah
kekuatan kontraksi otot dan menambah irama jantung.
f. Merangsang pembentukan sel darah merah.
g. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi
tubuh terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolisme.
h. Bereaksi sebagai antagonis insulin.
i. Tirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama
menurunkan kadar kalsium serum dengan menghambat reabsorpsi
kalsium di tulang. Faktor utama yang mempengaruhi sekresi kalsitonin
adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum yang rendah akan
menekan pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium
serum akan merangsang pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tambahan
adalah diet kalsium dan sekresi gastrin di lambung.
II.2 Definisi Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis berasal dari kata tiroid yaitu kelenjar tiroid sedangkan –
itis menandakan adanya proses peradangan (inflamasi) dengan beragam
penyebab. Bila dilihat dari aspek waktu kejadian maka tiroiditis dibagi
menjadi tiroiditis akut (muncul mendadak atau durasi penyakit singkat),
tiroiditis subakut (antara akut dan kronik) dan tiroiditis kronik (durasi
penyakit lama) (1,10).
Berdasarkan penyebabnya, tiroiditis dibagi menjadi tiroiditis
karena infeksi, tiroiditis autoimun, tiroiditis pasca persalinan, tiroiditis
karena obat-obatan dan tiroiditis Riedel. Berdasarkan ada atau tidaknya
nyeri, dibagi menjadi tiroiditis dengan nyeri dan tiroiditis tanpa nyeri.
Tiroiditis yang paling sering ditemukan adalah tiroiditis Hashimoto dan
tiroiditis postpartum (timbul setelah melahirkan) (1,10).
Tiroiditis Hashimoto adalah tiroiditis yang disebabkan oleh proses
autoimun dan berdasarkan waktu kejadian termasuk tiroiditis kronik. Jika
jaringan tiroid yang mengalami tiroiditis diperiksa dibawah mikroskop
maka akan tampak gambaran peradangan berupa infiltrasi sel-sel limfosit
(1,5,10).
Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara
30 – 50 tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras,
membesar difus, tak nyeri. Pasien biasanya eutiroid atau hipotiroid dan
jarang hipertiroid. Hipotiroid terjadi jika hormon tiroid yang diproduksi
tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Kelenjar tiroid juga bisa membesar
membentuk goiter (4,5).
II.3 Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks,
dengan faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang
suseptibel dengan faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon
autoimun terhadap antigen tiroid (2).
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum
diketahui, berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik
sangat berperan dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada
PTAI terjadi kerusakan seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui
mekanisme imun humoral dan seluler yang bekerja secara
bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T tersensitisasi
(sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan dengan
membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.
Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi
antitiroid yang bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di
membran sel tiroid yang bertindak sebagai autoantigen (2,11).
Gambar 2.4 memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya
PTAI, diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang
memiliki gen suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan autoantigen
tiroid menimbulkan tiroiditis Hashimoto atau penyakit Graves atau
pembentukan antibodi antitiroid tanpa gejala klinik (asymptomatic
autoimmune thyroid disease).
Gambar 2.5. Gambar skematik mekanisme terjadinya PTAI.
Auto-Ag’s: Thyroid Autoantigens; Tab’s : Thyroid antibodies
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini
dilihat dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan
proses autoantigen dan autoantibodi tiroid, ditambah adanya peran
sitokin serta mekanisme apoptosis yang diperkirakan terjadi pada proses
penyakit ini.
a. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur
respon imun sepertimajor histocompatibility complex (MHC), reseptor sel
T, serta antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen
sasaran seperti tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium,
TSHR (TSH Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru
enam gen yang dapat diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T
Lymphocyte Antigen-4), CD40, HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22,
tiroglobulin, dan TSHR (2,12).
Gambar 2.6 Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC). APC memunculkan
antigen peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan peptid ini dikenal
oleh reseptor sel T.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul
kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen
Presenting Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan
mempresentasikan peptide antigen yang terikat protein HLA kelas II pada
permukaan reseptor sel T. Sinyal kostimulator berasal dari beberapa
protein yang diekspresikan pada PC (seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan
berinteraksi dengan reseptor (CD28, CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan
limfosit T CD4+ pada waktu presentasi antigen (2).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang
dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun
lain. CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI
(tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi
antitiroid), dan dengan penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1,
penyakit Addison, dan myasthenia gravis (2).
Asosiasi antara tiroiditis Hashimoto dengan antigen HLA tidak begitu
jelas. Hal ini menyangkut masalah definisi penyakit tiroditis Hashimoto
yang sering kontroversial. Spektrum klinik tiroiditis Hashimoto bervariasi
mulai dari hanya ditemukan antibodi antitiroid dengan infiltrasi limfositik
fokal tanpa gangguan fungsi (asymptomatic autoimmune thyroiditis),
sampai pembesaran kelenjar tiroid (struma) atau tiroiditis atrofik dengan
kegagalan fungsi tiroid. Beberapa peneliti melaporkan asosiasi antara
tiroidits Hashimoto dengan HLA-DR3 dan HLA-DQw7 pada ras Kaukasus.
Pada non-Kaukasus dilaporkan asosiasi antara tiroiditis Hashimotodengan
HLA-DRw53 pada bangsa Jepang dan dengan HLA-DR9 pada bangsa Cina
(2).
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan
sebagai penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir
rendah, kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas,
penggunaan obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi,
mikrochimerisme fetal, stres, variasi musim, alergi, rokok, kerusakan
kelenjar tiroid akibat radiasi, serta infeksi virus dan bakteri (11).
Di samping itu penggunaan obat-obat seperti lithium, interferon-α,
amiodarone dan Campath-1H, juga meningkatkan risiko autoimunitas
tiroid. Pada Tabel 2.1 disajikan beberapa faktor yang terlibat dalam
etiologi PTAI, berikut ringkasan mekanisme dan fenotipenya.
Tabel 2.1 Faktor lingkungan yang terlibat dalam patologi tiroiditis
autoimun
Faktor Lingkungan Mekanisme Fenotipe
Berat lahir rendah Maturasi thymik tidak
sempurna
Antibodi TPO
Ekses iodium Tidak terjadi escape
effect Wolff-Chaikoff; Jod-
HT
Basedow GD
Defisiensi selenium Tidak diketahui; viral? HT
Jarak proses
reproduktif yang
panjang
Efek estradiol HT
Kontraseptif oral Protektif Antibdi TPO
Mikrokhimerisme
fetal
Sel laki-laki di sel tiroid
menimbulkan efek antitiroid
HT dan GD
Stress Upregulasi sumbu HPA GD
Alergi Tidak diketahui; kadar IgE
tinggi
GD
Rokok Hipoksia?; Kadar IgE tinggi GD; terutama GO
Infeksi Yersinia
enterocolitica
Mimikri molekuler GD
Keterangan : HT : Hashimoto thyroiditis
GD : Graves’ disease
GO : Graves’ ophthalmopathy
Berat badan lahir bayi rendah merupakan faktor risiko beberapa
penyakit tertentu seperti penyakit jantung kronik. Kekurangan makanan
selama kehamilan dapat menyebabkan intoleransi glukosa pada
kehidupan dewasa, serta rendahnya berat thymus dan limpa
mengakibatkan menurunnya sel T supresor. Mungkin ada faktor
intrauterin tertentu yang menghambat pertumbuhan janin, yang
merupakan faktor risiko lingkungan pertama yang terpapar pada janin
untuk terjadinya PTAI di kemudian hari (11).
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid.
Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan
dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di
daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di
daerah cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman
kegagalan tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan
iodium berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita
yang mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan
iodium dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas
dari efek Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom
fungsional atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium
berlebihan akan menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow).
Pada kedua fenomena tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan
presentasi antigen tiroid pada sistem imun, yang pada gilirannya akan
menimbulkan reaksi autoimun. Oleh karena itu iodium sebenarnya
merupakan pula faktor risiko terjadinya PTAI (11).
Selenium merupakan trace element yang esensial untuk sintesis
selenocysteine, yang juga disebut sebagai 21st amino acid. Selenium
mempengaruhi sistem imun. Defisiensi selenium akan menyebabkan
individu lebih rentan terhadap infeksi virus seperti virus Coxsackie,
mungkin karena limfosit T memerlukan selenium (13).
Di samping itu, selenium merupakan suatu antioksidan dan
mengurangi pembentukan radikal bebas. Selenium berperan penting
dalam sintesis hormon tiroid, karena dua enzim yaituselenoprotein
deiodinase dan gluthatione peroxidase, berperan dalam produksi hormon
tiroid. Kekurangan selenium dapat meningkatkan angka keguguran dan
kematian akibat kanker (cancer mortality rate). Kadar selenium rendah di
dalam darah akan meningkatkan volume tiroid dan hipoekogenisitas,
suatu petanda adanya infiltrasi limfosit. Dari suatu penelitian dilaporkan
pemberian sodium selenite 200 ug (peneliti lain memberikan 200
ug selenium methionine) pada penderita hipotiroid subklinik akan
menurunkan titer antibodi anti-TPO serta juga meningkatkan kualitas
hidup, tanpa mempengaruhi status hormon tiroid (11).
Stress mempengaruhi sistem imun melalui jaringan neuroendokrin.
Saat stress sumbu hypothalamic-pituitaryadrenal (HPA) akan diaktivasi,
menimbulkan efek imunosupresif. Stress dan kortikosteroid mempunyai
pengaruh berbeda terhadap sel-sel Th1 dan Th2, mengarahkan sistem
imun menjadi respons Th2, yang akan menekan imunitas seluler dan
memfasilitasi keberadaan virus tertentu (seperti Coxsackie B), sedangkan
imunitas humoral meningkat. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa
penyakit autoimun tertentu seringkali didahului oleh stress, dan salah
satu contohnya adalah penyakit Graves. Belum diketahui apakah penyakit
Hashimoto juga terkait dengan faktor stress (11).
Faktor infeksi baik virus maupun bakteri juga berperan dalam
patogenesis PTAI. Ada tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi
bertindak sebagai faktor pencetus PTAI seperti yang digambarkan pada
Gambar 2.7 (14).
Gambar 2.7. Tiga kemungkinan mekanisme agen infeksi sebagai
pencetus PTAI.
A. Mimikri molekuler antara epitop antigenik dengan reseptor TSH;
B. Induksi molekul MHC kelas II untuk mempresentasikan autoantigen oleh
tirosit pada sel T;
C. Molekul superantigen yang dibentuk oleh agen infeksi menginduksi sel T
autoreaktif.
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker
paru, juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi
aktivasi poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2),
dan juga menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko
kekambuhan penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah
pengobatan dengan iodium radioaktif (12).
c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan
perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan
seluler.Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi
(sensitized) dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel,
menyebabkan lisis sel dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi
karena kerja autoantibodi yang bersifat stimulator atau blocking pada
reseptor di membran sel. Ada tiga autoantigen spesifik yang dominan
pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO), tiroglobulin, danthyrotropin
receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai ”thyroid microsomal
antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam hormogenesis
tiroid (15).
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T
cells merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak
menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi
tersebut berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai
petanda(marker) penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya
hipotiroid. Di lain pihak beberapa studi menduga antibodi anti-TPO
mungkin bersifat sitotoksik terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat
dalam proses destruksi jaringan yang menyertai hipotiroid pada
tiroiditisHashimoto dan tiroiditis atrofik (15,16).
Gambar 2.8. Perubahan kadar antibodi anti-TPO dan terjadinya disfungsi tiroid pada
PTAI.
Pada gambar 2.8 di atas diperlihatkan perubahan kadar antibodi anti-
TPO yang mendahului terjadinya disfungsi tiroid pada individu dengan
predisposisi genetik yang dipicu faktor lingkungan, sejalan dengan
bertambahnya waktu (umur) (16).
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup
iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap
penentuan kadar Tg, karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu
metode penentuan kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium,
penentuan kadar antibodi anti-Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada
penderita struma nodusa dan pemantauan hasil terapi iodida pada struma
endemik (15,16).
Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi
antitiroid, khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon
Receptor). Misalnya dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator;
LATS-P = Long Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin
Stimulating Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor
Immunoglobulin; TSBAb =Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan
TRAb=Thyrotropin Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi
TSHR dikelompokkan menjadi (17, 18) :
1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon
tiroid;
2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam
merangsang sintesis hormon tiroid;
3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang
pertumbuhan sel folikel;
4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang
pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan
terjadinya diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan
fungsinya; ada penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya
normal atau rendah, atau sebaliknya (18).
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap
koloid kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel
selain reseptor TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta
antibodi terhadap antigen membran otot mata (disebut
sebagaiophthalmic immunoglobulin) (19).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi
hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid
autoimmunity. Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada
penderita yang sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit
Hashimoto, dan konversi dari tirotoksikosis menjadi eutiroid secara
spontan pada penderita Graves; beberapa mekanisme mungkin berperan
(17).
d. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan
dalam PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada
CD4(+), CD25(+) T regulatory cells akan merusak(breaks)
toleransi host dan menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan
menfasilitasi apoptosis. Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi
proses apoptosis pada HT dan GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi
tirosit sedangkan apoptosis pada GD akan mengakibatkan
kerusakan thyroid infiltrating lymphocytes. Perbedaan mekanisme
apoptotik tersebut akan mengakibatkan dua bentuk respons autotimun
berbeda yang akhirnya akan menimbulkan manifestasi tiroiditis
Hashimoto dan penyakit Graves (20).
e. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun;
sitokin dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit
CD4+ Thelper terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ
(IFNγ) dan interleukin-2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun langsung
pada sel (cellmediated immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan
terutama IL-4, IL-5, dan IL-13 yang akan mempromosikan respons imun
humoral. Sel Th3 menghasilkan terutama TGFβ yang mempunyai peranan
protektif dan pemulihan dari penyakit autoimun (21).
Sitokin dapat meningkatkan reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T
dan B intratiroid dan menginduksi perubahan pada sel folikel tiroid
termasuk upregulasi MHC kelas I dan II, serta ekspresi molekul adhesi.
Sitokin juga merangsang sel folikel tiroid untuk menghasilkan sitokin,Nitric
Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang selanjutnya akan meningkatkan
reaksi inflamasi dan destruksi jaringan. Molekul ini juga memodulasi
pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang secara langsung akan
berimplikasi terhadap disfungsi tiroid (21).
Sitokin mempunyai peranan pula dalam penyulit ekstratiroid,
terutama thyroid-associated ophthlamopathy (TAO). Sel T terkumpul di
jaringan retrobulbar pada penderita dengan TAO; sel T tersebut akan
diaktivasi dan menghasilkan sitokin, yang akan memperluas proses
inflamasi melalui beberapa mekanisme termasuk peningkatan MHC kelas
II, Heat Shock Protein (HSP), molekul adhesi, dan ekspresi TSH-R di
jaringan retrobulbar. Sitokin akan meningkatkan proliferasi fibroblast
secara lokal dan membantu pembentukan sel-sel radang baru,
meningkatkan reaksi inflamasi, serta juga meningkatkan akumulasi
matriks ekstraseluler di jaringan orbita melalui efek stimulatorik pada
glycosaminoglycan (GAG) dan produksi inhibitor metalloproteinase oleh
fibroblast retrobulbar. Berdasarkan hal-hal di atas, memodulasi produksi
sitokin atau menghambat kerja sitokin di jaringan retrobulbar dapat
dipertimbangkan untuk menangani oftalmopati yang sampai saat ini sukar
diobati (21).
II.4 Gejala Klinis Tiroiditis Hashimoto
Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama
bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran
kelanjar tiriod atau hasil pemeriksaan darah yang abnormal pada
pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala yang berkembang berhubungan
dengan efek tekanan lokal pada leher yang disebabkan pembesaran
kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar hormon tiroid dalam
darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak tidak nyeri
pada leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran
kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan (1,5).
Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi,
tergantung pada tingkat keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis
awalnya didahului dengan gejala-gejala hipertiroid (kadar hormon tiroid
meningkat) lalu normal (eutoroid) dan akhirnya berubah menjadi
hipotiroid (kadar hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya,
mungkin gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan, atau
tanda-tanda menua. Tetapi semakin lama penyakit berlangsung, gejala
dan tanda makin jelas (1,4).
Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid
biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan,
sering mengantuk, jadi pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal,
rambut dan kuku yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot,
penambahan berat badan, peningkatan sensitivitas terhadap banyak
pengobatan, menstruasi yang banyak, peningkatan frekuensi keguguran
pada wanita yang hamil (1,5).
II.5 Penegakan Diagnosis
Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui
dengan identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil
pemeriksaan laboratorium (1,5).
Peningkatan antibodi antitiroid merupakan bukti laboratorik paling
spesifik pada tiroiditis Hashimoto, namun tidak semuanya dijumpai pada
kasus. Pemeriksaan hormon tiroid biasanya diperiksa kadar TSH dan FT4.
Dikatakan hipotiroid apabila peningkatan kadar TSH disertai penurunan
FT4 (5).
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis
melalui biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam – macam
yaitu antara lain infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan
fibrosis. Aspirasi jarum halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita
tiroiditis ini, namun dapat dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada
kasus yang sulit dan merupakan prosedur yang dibutuhkan jika nodul
tiroid terbentuk (1,4,5,10).
Makna klinis penentuan antibodi antitiroid
Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik
adalah TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody), TPOAb (anti TPO antibody),
TgAb (ATA: anti Tg antibody), dan penentuan berbagai antibodi lainnya
lebih bersifat minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid
tidak selalu ditemukan dalam serum penderita PTAI, antara lain
disebabkan oleh sensitivitas metoda assay (16).
TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau
sedang menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat
melewati sawar plasenta, TRAb merupakan faktor resiko disfungsi tiroid
fetal maupun neonatal. Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada
penderita penyakit autoimun organ specific lain seperti DM tipe 1 dan
anemia pernisiosa, serta juga dengan bertambahnya umur (prevalensi
PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya umur) (16).
Antibodi anti-TPO merupakan faktor resiko disfungsi tiroid, termasuk
tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat
tertentu. Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan
pada hipotiroidi akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95%
penderita tiroiditis Hashimoto dan sekitar 85% penderita penyakit Graves
mempunyai antibodi anti-TPO (16).
Pada tabel 2.2 tercantum indikasi penentuan kadar antibodi anti-
TPO menurut rekomendasi National Academy of Clinical
Biochemistry tahun 2003 (16).
Tabel 2.2 Indikasi penentuan antibodi anti-TPO
Diagnosis PTAI
Faktor risiko untuk PTAI
Faktor risiko untuk hipotiroid pada pengobatan dengan Interferon α, IL-2 &
lithium
Faktor risiko disfungsi tiroid pada pengobatan Amiodarone
Faktor risiko hipotiroid pada penderita Sindrom Down
Faktor risiko disfungsi tiroid selama kehamilan dan tiroiditis post-partum
Faktor risiko untuk keguguran dan kegagalan fertilisasi in-vitro
Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai
pelengkap penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil
pengobatan karsinoma tiroid berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg
yang positif akan menganggu penentuan kadar tiroglobulin. Antibodi anti-
Tg positif pada penderita karsinoma tiroid berdiferensiasi yang telah
dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam waktu 1-4 tahun,
sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai petunjuk awal
rekurensi (16).
II.6 Penatalaksanaan
Jika penyakit Hashimoto dengan goiter tiroid, atau menyebabkan
kekurangan hormon tiroid, penderita memerlukan terapi penggantian
hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta
mengecilkan ukuran nodul goiter. Pengobatan dengan penggunaan
sehari-hari dari hormon tiroid sintetis sepertii levotiroksin (levothroid,
Levoxyl, Synthroid). Levotiroksin sintetis identik dengan tiroksin, versi
alami hormon ini dibuat oleh kelenjar tiroid (5).
Kadang tidak diperlukan pengobatan karena strumanya kecil dan
asimtomatik. Bila kelenjar tiroid sangat besar mungkin diperlukan
tindakan pengangkatan, sebaiknya operasi ini ditunda karena kelenjar
tiroid tersebut dapat mengecil sejalan dengan waktu. Pemberian tiroksin
dapat mempercepat hal tersebut. Disamping itu tiroksin juga dapat
diberikan pada keadaan hipotiroidisme (1,4).
Pada pasien usia tua, dosis dimulai dengan yang rendah dan
ditingkatkan secara bertahap. Pasa pasien usia muda, dapat langsung
dimulai dengan dosis besar. Aksi hormon tiroid sangat lambat pada tubuh,
sehingga pengobatan memerlukan waktu beberapa bulan sambil melihat
perkembangan gejala atau ukuran goiter. Karena secara umum gejala
hipotiroid pada penyakit ini bersifat menetap, maka kadang dibutuhkan
pengobatan seumur hidup dengan dosis yang disesuaikan dari waktu ke
waktu sesuai keadaan individual pasien (5).
Dosis yang tidak adekuat dapat mengakibatkan bertambah
besarnya goiter, dan gejala hipotiroid terus-menerus. Kondisi ini
dihubungkan pula dengan peningkatan kolesterol serum, peningkatan
resiko atherosklerosis dan penyakit jantung. Sedangkan apabila dosis
berlebihan, dapat menimbulkan gejala hipertiroid, mengakibatkan kerja
jantung yang berlebihan dan meningkatkan resiko osteoporosis (5).
Bila terjadi hipertiroidisme dapat diberikan obat antitiroid.
Pemberian glukokortikoid dapat menyebabkan regresi struma dan
mengurangi titer antibodi. Tetapi mengingat efek samping dan kenyataan
bahwa aktivitas penyakit dapat kambuh kembali sesudah pengobatan
dihentikan, maka pemakaian obat golongan ini tidak dianjurkan pada
keadaan biasa (1,10).
II.7 Kelainan Lain yang Berhubungan dengan Tiroiditis Hashimoto
Beberapa penyakit tertentu dilaporkan terkait dengan penyakit
tiroid autoimun (PTAI), walaupun beberapa diantaranya masih
kontroversial seperti yang terlihat pada tabel 2.3 (5).
Tabel 2.3 Beberapa penyakit yang dilaporkan terkait dengan PTAI
Penyakit Autoimun Keganasan Lain-Lain
Organ-Spesific Non-organ-
specific
Penyakit celiac SLE Kanker
Payudara
Sarcoidosis
Penyakit Addison Artritis
reumatoid
Leukemia Helicobacter
pylori
Vitiligo Sklerosis
sistemik
Kanker Gastric IBD
DM tipe 1 Sindrom
Sjogren
Hepatitis C
Defisiensi ACTH Juvenile
Artritis kronik
Polimyalgia
rheumatica
Anemia
pernisiosa
Giant cell
arteritis
Alopecia areata Cushing’s
disease
Premature
ovarian failure
Urtikaria
kronik
Sklerosis multipel
Myasthenia
gravis
Primary biliary
cirrhosis
Sind.Goodpasture
Hepatitis kronik
aktif
Hubungan dengan penyakit autoimun lain sudah lama ditengarai,
mungkin terjadi karena adanya kesamaan faktor genetik dan patogenesis.
Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikannya. Beberapa
contoh penyakit yang berhubungan dengan PTAI disampaikan berikut ini.
a. DM tipe 1
Baik penyakit tiroid autoimun maupun diabetes mellitus tipe 1 (DM1)
merupakan penyakit autoimun yang organ specific. DM1 sering ditemukan
bersamaan dengan penyakit autoimun lain, termasuk penyakit tiroid
autoimun. Perros et al (1995) melaporkan prevalensi disfungsi tiroid pada
DM1 sekitar 31.4%, sedangkan pada DM tipe 2 hanya sekitar 6.8%. Perlu
perhatian khusus dalam mengelola penderita DM1 yang disertai penyakit
tiroid autoimun, karena disfungsi tiroid juga akan mempengaruhi
homeostasis glukosa. Disfungsi tiroid ditemukan pada sekitar 30% wanita
DM1 terutama yang berusia tua, biasanya dalam bentuk hipotiroidi atrofik
primer dantiroiditis Hashimoto. Wanita DM1 juga beresiko tinggi
menderita disfungsi tiroid postpartum; tiroiditis post-partum ditemukan 3
kali lebih sering pada penderita diabetes dibanding wanita normal
(22,23,24).
b. Hepatitis C dan Interferon-α
Terdapat peningkatan prevalensi PTAI pada penderita hepatitis C.
Infeksi virus hepatitis C dapat menyebabkan PTAI, mungkin melalui
peningkatan kecenderungan non-spesifik terhadap proses autoimunitas
atau langsung dari infeksi virusnya sendiri (25,26).
Interferon-α merupakan pengobatan standar Hepatitis C. Autoimunitas
tiroid dilaporkan merupakan efek samping pengobatan Interferon-α,
dengan kejadian antara 2.5%-45.3%. Carella menyimpulkan bahwa (1).
tidak ada autoantibodi tiroid setelah pengobatan interferon-α merupakan
faktor protektif terhadap terjadinya PTAI beberapa tahun setelah
pengobatan interferon-α dihentikan; (2). PTAI akibat interferon-α tidak
semuanya reversible karena beberapa di antaranya menjadi tiroiditis
khronik; (3). Kadar antibodi antitiroid tinggi pada akhir pengobatan
interferon-α berhubungan dengan risiko terjadinya PTAI khronik; dan, (4).
adanya antibodi anti-Tg dan anti-TPO secara bersamaan pada akhir
pengobatan interferon-α merupakan faktor prediktif untuk disfungsi tiroid,
walaupun subklinik, beberapa tahun setelah IFN-α dihentikan (25).
c. Myasthenia Gravis
Dari data penelitian terungkap bahwa 10,4% penderita myasthenia
gravis juga menderita PTAI, dan sekitar 5.4% adalah penyakit Graves.
Myasthenia gravis yang disertai PTAI dilaporkan mempunyai perjalanan
klinik lebih ringan, lebih sering okuler, frekuensi penyakit timus lebih
rendah, serta frekuensi antibodi reseptor asetilkolin lebih rendah,
menyiratkan adanya interaksi antara kedua keadaan. Walaupun datanya
masih kontroversial, asumsinya adalah bahwa prevalensi penyakit Graves
memang meningkat pada myasthenia gravis (26).
d. Vitiligo
Terdapat hubungan antara PTAI dengan vitiligo, yang merupakan
stigmata autoimun. Sejumlah 6,8% penderita PTAI mempunyai vitiligo,
dan 7,8% penderita vitiligo di Jerman menderita PTAI (26).
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ
specific, dengan penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang
mempunyai predisposisi genetik dengan pemicu faktor lingkungan.
Pada tiroiditis Hashimoto antibody anti-TPO merupakan petanda utama.
Manifestasi klinis awalnya mungkin saja hipertiroid akibat proses inflamasi
hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas pada kelenjar tiroid
menyebabkan hipotiroid yang menetap. Pengobatan Hashimoto dengan
obat antitiroid dan pemberian l-tiroksin bukan bersifat kuratif, artinya
tidak mengubah patogenesis penyakitnya. Diharapkan di masa datang
dengan perkembangan dalam bidang biomolekuler dan pemahaman yang
lebih mendalam tentang respons imun dari antigen spesifik, penanganan
penyakit tiroiditis autoimun akan lebih mendasar dan bersifat kausal.
III.2. Saran
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai
praktisi klinis diharapkan dapat memahami memahami penyebab
terjadinya, patofisiologi, serta bagaimana mendiagnosisTiroiditis
Hashimoto dan bagaimana penanganannya sehingga diharapkan nantinya
bila kita menemukan kasus ini kita dapat memberikan penanganan yang
tepat kepada penderita.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta :
FKUI.
2. Tomer Y, Davies TF. Searching for the autoimmune disease
susceptibility genes : from gene mapping to gene function. Endocrine
Rev.2003;24(5):694-717.
3. Chen HI, Akpolat I, et al. Restricted κ/λ ight chain ratio by flow
cytometry in germinal center b cells in hashimoto thyroiditis. Am J Clin
Pathol. 2006;125:42-48
4. Campbell PN, Doniach D, Hudson RV, Roitt IM. Autoantibodies in
Hashimoto’ s disease (lymphadenoid goiter). Lancet 1956;271(6947):820-
821.
5. Hashimoto’s Thyroiditis. www.thyroidawareness.com
6. http://elisa.ugm.ac.id/files/ariana/KFNunveC/35.%20Kelenjar
%20Tiroid.pdf
7. Barrett, E.J. The thyroid gland. In Boron WF, Boulpaep EL. Medical
physiology.A cellular and molecular approach. Ist Edition. Saunders.
Philadelphia. 2003 : 1035- 1048.
8. Magner JA : Thyroid stimulating hormone: biosynthesis, cell biology and
bioactivity. Endocr Rev 1990; 11:354
9. Glinoer D. Regulation of maternal thyroid during pregnancy. J Clin
Endocrinol Metab 1990;71: 276
10. Wall JR. Autoimmune thyroid disease. Endocrinol Metab Clin North Am
1987;229:1
11. Prummel MF, Strieder T, Wiersinga WM. The environment and
autoimmune thyroid diseases.Eur J Endocrinol 2004;150:605-618.
12. Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor,
and PTPN22 gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity :
back to the future. J Autoimmun 2007;28:85-98.
13. Ridgway EC, Tomer Y, McLachlan SM. Update in Thyroidology. J Clin
Endocrinol Metab 2007;92:3755-3761.
14. Tomer Y, Davies TF. Infection, Thyroid Disease, and Autoimmunity.
Endocrine Rev. 1993;14(1):107-120.
15. Rapoport B, McLachlan SM. Thyroid autoimmunity. J Clin Invest
2001;108:1253-1259.
16. The National Academy of Clinical Biochemistry. Laboratory Medicine
Practice Guidelines; Laboratory Support for the Diagnosis and Monitoring
of Thyroid Disease. Thyroid 2003;13(1):45-56.
17. Ludgate M, Emerson CH. Metamorphic thyroid autoimmunity. Thyroid
2008;18(10):1035- 1037.
18. Van Ouwerkerk BM, Krening EP, Docter R, Benner R, Hennemann G.
Autoimmunity of thyroid disease. With emphasis on Graves’ disease. Neth
J Med 1985;28:
19. Amino N. Autoimmunity and hypothyroidism. Clin Endocrinol Metab
1988;2(3):591-617.
20. Wang SH, Baker JR. The role of apoptosis in thyroid
autoimmunity.Thyroid 2007;17(10):975-9.
21. Weetman AP, Ajjan RA. Cytokines and autoimmune thyroid disease. Hot
Thyroidology. www. hotthyroidology.com. June 1, 2002.
22. Perros P, McCrimmon R, Shaw G, Frier B. Frequency of thyroid
dysfunction in diabetic patients ; value of annual screening. Diabet Med
1995;7:622-627
23. Wu P. Thyroid disease and diabetes. Clinical Diabetes 2000;18(1):38-39.
24. Gerstein HC. Incidence of postpartum thyroid dysfunction in patients with
Type 1 diabetes mellitus. Ann Intern Med 1993;118(6):419-423.
25. Carella C, Maziotti G, Morisco F, Manganella G, Rotondi M, Tuccillo C, et
al. Long-Term outcome of interferon-alfa- induced thyroid autoimmunity
and prognostic influence of thyroid autoantibody pattern at the end of
treatment. J Clin Endocrinol Metab 2001;86;1925-1929.
26. Jenkins RC, Weetman AP. Disease associations with autoimmune thyroid
disease. Thyroid 2002;12(11):977-988.