Upload
kikistefanus
View
88
Download
14
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kasus mengenai autoimun tiroiditis hashimoto
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang
ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang
timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis
dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya.
Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada
tiroid (1).
Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis
akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut,
tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi
menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang
tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan oleh
karena obat-obatan. Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel, dan
infeksiosa kronis (1).
Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang
paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto
pada tahun 1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut pula sebagai
tiroiditis autoimun kronis dan merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah
yang iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-
50 tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi,
infiltrasi limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid.
Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan (1).
Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap
tiroglobulin dalam darah. Antibodi tirogobulin, bertindak sebagai autoantigen,
dalam serum penderita penyakit Hashimoto sehingga terjadi inflamasi akibat
autoimun, kerusakan dan penurunan fungsi tiroid yang luas dapat menyebabkan
hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa membesar membentuk nodul goiter. Sekali
mulai timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap sehingga diperlukan terapi
hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta memperkecil
ukuran goiter (1).
Mengingat pentingnya pengetahuan tentang penyakit Tiroiditis Hashimoto
ini, maka penulis mencoba memaparkan mengenai aspek patofisiologi, gejala
klinis, diagnosis, dan pengobatan dari Tiroiditis Hashimoto ini berdasarkan
sebuah kasus.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Ny. P
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Pandanari, Semarang
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Sudah menikah
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Swasta
Tanggal masuk RS : 4 September 2014
No. RM : 007692
II. ANAMNESA
A. Keluhan Utama
Benjolan di leher sejak 2 bulan lalu
B. Keluhan Tambahan
Suara serak, sulit BAB, nyeri kepala belakang, tidak nafsu makan, berat
badan bertambah
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit RSUD Kota Semarang dengan
keluhan tumbuh benjolan di leher sejak 2 bulan SMRS. Benjolan
dirasakan semakin lama semakin membesar. Benjolan dirasakan sebesar
bola pingpong tidak nyeri, dan ikut bergerak saat menelan.
3
Pasien merasakan sulit BAB sejak 1 bulan lalu, pasien merasakan
BAB nya menjadi keras dan BAB menjadi sulit hanya 1 kali dalam 2
hari.
Peningkatan berat badan sebanyak 5 kg juga dirasakan oleh
pasien sejak 1 bulan yang lalu, padahal pasien merasa tidak nafsu makan
dan lemas. Dalam 1 hari pasien makan hanya 1 kali dan sangat sedikit
porsinya.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah suara yang menjadi
serak sejak 2 bulan lalu, nyeri kepala di bagian belakang kepala kira-kira
2 bulan lalu dan makin memberat sakitnya. Sejak mengalami gejala-
gejala ini pasien menjadi malas bangun dan beraktivitas. Pasien merasa
hanya ingin tidur-tiduran seharian
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan bahwa sebelumnya keluhan seperti ini belum
pernah dirasakan. Tidak ada penyakit kronis yang diderita pasien seperti
Diabetes, Hipertensi dan asma. Sebelumnya pasien belum pernah cek
kadar kolesterol. Riwayat penyakit jantung pun disangkal oleh pasien
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah pasien memiliki riwayat penyakit jantung koroner dan
darah tinggi. Riwayat kencing manis, hiperlipidemi, gangguan fungsi
ginjal dan hepar tidak dimiliki keluarga.
F. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan rutin jogging sebelum mengalami
gejala. Pasien memiliki kebiasaan makan makanan yang tinggi lemak.
Pasien sama sekali tidak mengonsumsi obat apapun secara rutin.
Riwayat foto thorax berulang disangkal oleh pasien. Paparan radiasi
yang lama disangkal. Pasien selalu makan dengan menggunakan garam
beriodium.
4
III. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Sikap : Kooperatif
Status Gizi :
BB : 64 kg
TB : 165 cm
BMI : 23,5 = Gizi Berlebih
2. Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 72 kali/menit
Pernapasan : 16 x/menit
Suhu : 36,2 0C
3. Status Generalis
a. Kesadaran
GCS : E4M6V5 = 15 ( Compos Mentis )
b. Kulit : Warna sawo matang, tidak ikterik maupun
Sianosis, teraba kasar dan kering
c. Kepala : Bentuk normal, normocephali, rambut
hitam distribusi merata.
d. Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik
(-)/(-), pupil bulat isokhor dengan diameter
3mm / 3mm, reflex cahaya (+)/(+), reflex
cahaya tak langsung (+)/(+), oedema
palpebra (-)/(-)
e. Telinga : Normotia, secret (-)/(-), darah (-)/(-)
5
f. Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum,
darah (-)/(-), pernapasan cuping hidung (-)
g. Mulut :
Bibir : bentuk normal, simetris, mukosa warna
merah muda, basah, tidak pucat,
tidak sianosis
Gigi dan gusi : gigi geligi lengkap, oral hygine baik.
Lidah : bentuk normal, simetris, tidak ada deviasi,
permukaan tidak kotor, tepi tidak
hiperemis
Uvula : letak di tengah, tidak tremor, tidak
hiperemis, tidak membesar
Faring : tidak hiperemis
Tonsil : T1 / T1 tenang
h. Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 ± 4 cmH20,
distensi vena jugularis dextra (+),
trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak
teraba, sebuah benjolan dengan ukuran
sebesar bola pingpong
i. Paru
Inspeksi : Bentuk normal, gerakan napas simetris,
tidak ada retraksi sela iga
Palpasi : Vocal fremitus simteris di kedua lapang
paru
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler di kedua lapang
Paru (+)/(+), wheezing (-)/(-), ronchi (-)/(-)
j. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 garis
6
midclavicula sinistra
Perkusi :
Batas kanan di ICS III-V garis sternalis kanan
Batas kiri di ICS V dua jari lateral dari garis
midklavikularis kiri
Pinggang jantung di ICS II garis parasternalis kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular,
murmur (-)/(-), gallop (-)/(-)
k. Abdomen
Inspeksi : Bentuk normal, tidak ada kelainan kulit
yang bermakna
Auskultasi : Bising usus (+) 1x/menit
Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen,
Shifting dullness (-)
Palpasi : Supel (+), Tidak teraba pembesaran organ,
nyeri tekan (-), ballottement (-)/(-)
l. Ekstremitas
Atas : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat
CRT < 2 detik, pitteing oedem (-)/(-)
Bawah : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat,
CRT < 2 detik, Pitting oedem (-)/(-).
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
7
a. Pemeriksaan Laboratorium
5 September 2015
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Darah Rutin
Jumlah leukosit 8.500/ uL 5.000 – 10.000/uL Dbn
HCT 40,2% 40-54% Dbn
Hemoglobin 12,8 g/dL 13 – 16 g/dL Dbn
Eritrosit 5.08 juta/uL 4-6 juta/uL Dbn
Hitung Jenis
Basofil 0% <1% Dbn
Eosinofil 2% 1-3% Dbn
Neutrofil batang 2% 2-6% Dbn
Neutrofil segmen 67% 52-70% Dbn
Limfosit 21% 20-40% Dbn
Monosit 8% 2-8% Dbn
Jumlah hematokrit 44.2 % 40 – 48 % Dbn
Jumlah trombosit 187.000/uL 150.000 – 400.000 /uL Dbn
MCV 86.9 fL 82-92 fL Dbn
MCH 28.7 pg 27-32 pg Dbn
MCHC 33.1 % 32-37 % Dbn
GDS 99 mg/dL 60-110 mg/dL Meningkat
AST (SGOT) 25 U/L <37 U/L Dbn
ALT (SGPT) 23 U/L < 41U/L Dbn
Ureum 23,2 mg/dL 30-40 mg/dL Dbn
Kreatinin 0,8 mg/dL 1-1,5 mg/dL Dbn
5 Septemner 2014
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interptretasi
Asam urat 2,4 mg/dL 2.2-6.2 mg/dL Meningkat
8
Kolesterol total 228 mg/dL < 200 mg/dL Meningkat
TSH 44,97 mlU/ml 0,3-5 mlU/ml Meningkat
FT 4 5,21 pmol/L 9-20 pmol/L Penurunan
Antibodi TPO >10.000 <5,61 Meningkat
V. RESUME
Pasien datang ke Rumah Sakit RSUD Kota Semarang dengan
keluhan tumbuh benjolan di leher sejak 2 bulan SMRS. Benjolan
dirasakan semakin lama semakin membesar. Benjolan dirasakan sebesar
bola pingpong tidak nyeri, dan ikut bergerak saat menelan.
Pasien merasakan sulit BAB sejak 1 bulan lalu, pasien merasakan
BAB nya menjadi keras dan BAB menjadi sulit hanya 1 kali dalam 2
hari.
Peningkatan berat badan sebanyak 5 kg juga dirasakan oleh
pasien sejak 1 bulan yang lalu, padahal pasien merasa tidak nafsu makan
dan lemas. Dalam 1 hari pasien makan hanya 1 kali dan sangat sedikit
porsinya.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah suara yang menjadi
serak sejak 2 bulan lalu, nyeri kepala di bagian belakang kepala kira-kira
2 bulan lalu dan makin memberat sakitnya. Sejak mengalami gejala-
gejala ini pasien menjadi malas bangun dan beraktivitas. Pasien merasa
hanya ingin tidur-tiduran seharian.
Riwayat penyakit dahulu tampak tidak berhubungan dengan
keurigaan. Pasien memiliki kebiasaan makan makanan berlemak dan
mengonsumsi gara beriodium tiap hari
VI. DIAGNOSA KERJA
Tiroiditis Hashimoto
Dislipidemia
9
VII. DIAGNOSA BANDING
Tumor tiroid
Carcinoma tiroid
Limfoma
Tiroiditis infeksi
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Non Medika Mentosa
IVFD Ringer Laktat 20 tpm /24 jam
B. Medika Mentosa
Problem:Benjolan di Leher Disertai Rasa Kencang di Belakang Kepala ,
TERAPI :
Euthymax 1 x 100 mcg
Injeksi Amikasin 2 x 500 -> Pycin 2 x750 (alergi Amikasin)
Injeksi Ketorolac 2 x 1 ->(stop tanggal 6/9/2014)
Meloxicam 15mg 2x1
Problem: Spondylosis Cervical
Terapi:
• TENS,
• MWD
Problem: Dislipidemia
Terapi:
• Atorvastatin 1x20 mg
X. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad Bonam
Ad functionam : ad Bonam
Ad sanationam : ad Bonam
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
11
II.1 Kelenjar Tiroid
II.1.1 Struktur Kelenjar tiroid
Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah kartilago
krikoid, disamping kiri dan kanan trakhea. Pada orang dewasa beratnya lebih
kurang 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu lobus kiri kanan yang
dipisahkan oleh isthmus. Masing-masing lobus kelenjar ini mempunyai ketebalan
lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus mempunyai
lobuli yang di masing-masing lobuli terdapat folikel dan parafolikuler. Di dalam
folikel ini terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa (2)
Gambar 2.1. Anatomi Tiroid
Kelenjar tiroid mendapat sirkulasi darah dari arteri tiroidea superior dan
arteri tiroidea inferior. Arteri tiroidea superior merupakan percabangan arteri
karotis eksternal dan arteri tiroidea inferior merupakan percabangan dari arteri
12
subklavia. Lobus kanan kelenjar tiroid mendapat suplai darah yang lebih besar
dibandingkan dengan lobus kiri. Dipersarafi oleh saraf adrenergik dan kolinergik.
Saraf adrenergik berasal dari ganglia servikalis dan kolinergik berasal dari nervus
vagus.
Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa
ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus
sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh
aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan
inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila
kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi
kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid (2) .
Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen
eosinofilik. Variasi densitas dan warna daripada koloid ini juga memberikan
gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan
dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak
dijumpai pada folikel dalam keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada
keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah
menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang
dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle
cells (3).
13
Gambar.2.2 Histologi kelenjar tiroid normal (3)
Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yaitu T3, T4 dan sedikit
kalsitonin. Hormon ini diangkut oleh protein pengangkut, protein pengangkut itu
adalah TBG (thyroxine binding globulin), TBPA (thyroxine binding prealbumin),
T3U (T3 resin uptake) dan TBI (thyroxine binding index).
Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar
hormon tiroid. Mekanisme pengaturan sekresi hormone tiroid tersebut dapat
dilihat pada gambar 2.3. Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di
otak) menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH), yang menyebabkan
kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai
dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan
hormon tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu,
maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit,
14
sebaliknya jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar
hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan
balik.
Gambar 2.3. Pengaturan sekresi hormon tiroid.(3)
II.1.2 Proses Pembentukan Hormon Tiroid
Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh sel folikular sedangkan kalsitonin
dihasilkan oleh sel parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon ini
adalah yodium yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium yang
dikomsumsi akan diubah menjadi ion yodium (yodida) yang masuk secara aktif ke
dalam sel kelenjar dan dibutuhkan ATP sebagai sumber energi. Proses ini disebut
15
pompa iodida, yang dapat dihambat oleh ATP-ase, ion klorat dan ion sianat. Sel
folikel membentuk molekul glikoprotein yang disebut tiroglobulin yang kemudian
mengalami penguraian menjadi monoiodotironin (MIT) dan diiodotironin (DIT).
Selanjutnya terjadi reaksi penggabungan antara MIT dan DIT yang akan
membentuk triiodotironin atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk
tetraiodotironin atau tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH
namun dapat dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil
kaptoimidazol. Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk
PBI (protein binding iodine) (3).
Gambar 2.4. Sintesis hormon tiroid pada folikel tiroid
II.1.3 Fungsi Kelenjar Tiroid
Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah (3) :
a. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya
meningkatkan metabolisme karena peningkatan konsumsi oksigen dan
produksi panas.
16
b. T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat
dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat
dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.
c. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya
pertumbuhan saraf dan tulang.
d. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin.
e. Efek kronotropik dan inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan
kontraksi otot dan mempercepat irama jantung.
f. Merangsang pembentukan sel darah merah.
g. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh
terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolisme.
h. Bereaksi sebagai antagonis insulin.
i. Tirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama
menurunkan kadar kalsium serum. Faktor utama yang mempengaruhi sekresi
kalsitonin adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum yang rendah akan
menekan pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium serum
akan merangsang pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tambahan adalah diet
kalsium dan sekresi gastrin di lambung.
II.2 Definisi Tiroiditis Hashimoto
Tiroiditis Hashimoto adalah Peradangan tiroid kronis yang disebabkan
oleh proses autoimun yang menyebabkan hipotiroidisme primer (4)
Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara 30 – 50
tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras, membesar difus, tak
nyeri. Pasien biasanya eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid
17
terjadi jika hormon tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.
Kelenjar tiroid juga bisa membesar membentuk goiter akibat rangsangan TSH
yang terus menerus pada kelenjar tiroid akibat kurangnya feedback negatif dari
perifer.
II.3 Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan
faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan
faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen
tiroid (5).
Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,
berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan
dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan
seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler
yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T
tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan
dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.
Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang
bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang
bertindak sebagai autoantigen.
Gambar 2.4 memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya PTAI,
diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen
suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan autoantigen tiroid menimbulkan
18
tiroiditis Hashimoto atau penyakit Graves atau pembentukan antibodi antitiroid
tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune thyroid disease).
Gambar 2.4. Gambar skematik mekanisme terjadinya PTAI.(5)
Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat
dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen
dan autoantibodi tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis
yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit ini.
19
a. Faktor genetik
Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon
imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta
antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti
tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH
Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat
diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD40,
HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.
Gambar 2.5 Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC).
APC memunculkan antigen peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan
peptid ini dikenal oleh reseptor sel T.
Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul
kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting
Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide
antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T.
20
Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC
(seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28,
CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi
antigen (5).
CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang
dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain.
CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis
Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan
penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan
myasthenia gravis.
b. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai
penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah,
kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan
obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres,
variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta
infeksi virus dan bakteri (5).
Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid.
Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan
dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di
daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah
cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan
tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium
21
berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang
mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium
dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek
Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional
atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan
menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena
tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid
pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun.
Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya
PTAI (5).
Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru,
juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi
poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga
menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan
penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan
iodium radioaktif (6).
c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid
Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan
perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.
Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized)
dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel
dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi
yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga
22
autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO),
tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai
”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam
hormogenesis tiroid (5).
Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells
merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak
menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut
berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker)
penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak
beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik
terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang
menyertai hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik (5).
Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup
iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan
kadar Tg, karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan
kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-
Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodusa dan
pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik.
Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid,
khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya
dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long
Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating
Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor Immunoglobulin;
23
TSBAb = Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin
Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan
menjadi :
1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon
tiroid;
2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam
merangsang sintesis hormon tiroid;
3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang
pertumbuhan sel folikel;
4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang
pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).
Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya
diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada
penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau
sebaliknya.
Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid
kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor
TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap
antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin).
Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi
hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity.
Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada penderita yang
sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto, dan konversi dari
24
tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa
mekanisme mungkin berperan.
d. Mekanisme apoptosis
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam
PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+),
CD25(+) T regulatory cells akan merusak (breaks) toleransi host dan
menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis.
Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan
GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan autoantibodi pada
GD akan menempati reseptor dari TSH (TSH-R) sehingga hotmon tiroid
dihasilkan dan disekresi terue menerus. Perbedaan mekanisme tersebut akan
mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang akhirnya akan
menimbulkan manifestasi yang berbeda antara tiroiditis Hashimoto dengan
penyakit Graves (7).
e. Peran sitokin
Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin
dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper
terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-
2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun langsung pada sel (cellmediated
immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13
25
yang akan mengaktivasi respons imun humoral. Sitokin dapat meningkatkan
reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan menginduksi
perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulation MHC kelas I dan II,
serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel makrofag lokal
untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang
selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan.
Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang
secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.
II.4 Gejala Klinis Tiroiditis Hashimoto
Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama
bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran kelanjar
tiriod atau hasil pemeriksaan darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan
rutin. Gejala yang berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada leher
yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar
hormon tiroid dalam darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak
tidak nyeri pada leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran
kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan (8).
Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi, tergantung pada
tingkat keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis awalnya didahului tanpa
adanya tanda perubahan kadar tiroid (eutoroid) dan akhirnya berubah menjadi
hipotiroid (kadar hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya, mungkin
26
gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan. Tetapi semakin lama
penyakit berlangsung, gejala dan tanda makin jelas (8).
Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid
biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan, sering
mengantuk, jadi pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku
yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan,
peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi yang banyak,
peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang hamil (8).
II.5 Penegakan Diagnosis Hipotiroidisme
27
Gambar 2.9
Alur pemeriksaan pada kasus hipotiroidisme (9)
Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat
diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui dengan
identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil pemeriksaan
laboratorium.
Setelah seorang pasien secara klinis diduga menderita hipotiroidisme,
pasien dapat langsung diperiksa kadar TSH dalam darah atas indikasi. Hasil
pemeriksaan TSH bisa didapati tiga kemungkinan. Pertama, kadar TSH normal,
jika kadar TSH normal maka pasien dapat dikatakan eutiroid. Kedua, jika hasil
28
TSH menurun dan gejala mengarah ke arah hipotiroidisme, dapat diduga adanya
hipotiroidisme sekunder atau tersier di mana terdapat defek pada hipotalamus
maupun kelenjar hipofisis. Jika hasil TSH meningkat, lakukan pemeriksaan FT 4.
Jika hasil FT 4 normal berarti pasien mengalami hipotiroid subklinis. Hipotiroid
subklinis dapat diterapi dengan levotiroksin jika salah satu dari syarat-syarat
berikut terpenuhi: Kadar TSH > 10mlU/L; Titer antibodi TPO meningkat; pasien
sedang hamil; terdapat gejala-gejala hipotiroidisme. Jika hasil pemeriksaan FT 4
rendah, berarti pasien telah mengalami hipotiroidisme primer dan dapat
ditatalaksana langusng dengan levotiroksin. (9)
Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis melalui
biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam – macam yaitu antara lain
infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan fibrosis. Aspirasi jarum
halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita tiroiditis ini, namun dapat
dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada kasus yang sulit dan merupakan
prosedur yang dibutuhkan jika nodul tiroid terbentuk.
Makna klinis penentuan antibodi antitiroid
Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik adalah
TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody), TPOAb (anti TPO antibody), TgAb
(ATA: anti Tg antibody), dan penentuan berbagai antibodi lainnya lebih bersifat
minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid tidak selalu ditemukan
dalam serum penderita PTAI, antara lain disebabkan oleh sensitivitas metoda
assay.
29
TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang
menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar
plasenta, TRAb merupakan faktor resiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal.
Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada penderita penyakit autoimun organ
specific lain seperti DM tipe 1 dan anemia pernisiosa, serta juga dengan
bertambahnya umur (prevalensi PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya
umur).
Antibodi anti-TPO merupakan faktor resiko disfungsi tiroid, termasuk
tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat tertentu.
Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan pada hipotiroidi
akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95% penderita tiroiditis Hashimoto dan
sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai antibodi anti-TPO (sumber).
Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai pelengkap
penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil pengobatan karsinoma tiroid
berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg yang positif akan menganggu
penentuan kadar tiroglobulin. Antibodi anti-Tg positif pada penderita karsinoma
tiroid berdiferensiasi yang telah dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam
waktu 1-4 tahun, sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai
petunjuk awal rekurensi.
30
II.6 Penatalaksanaan
Setelah diagnosis hipotiroidisme ditegakan maka terapi pilihan adalah
levotiroksin. Sebelum memberikan levotiroksin ada beberapa hal yang harus
diperhatikan yang berhubungan dengan populasi khusus dari pasien. Jika pasien
adalah orang berusia di atas 50 tahun maka dosis levotiroksin harus dimulai dari
dosis yang rendah terlebih dahulu. Selain usia, faktor lain yang harus
dipertimbangkan adalah ada atau tidaknya penyakit jantung yang mendasari pada
pasien, jika ada, maka dosis harus diberikan sama seperti pemberian pada pasien
berusia di atas 50 tahun. Dosis yang dianjurkan adalah 25-50 mcg per hari, dosis
ditingkatkan sebanyak 25 mcg setiap 3-4 minggu sampai kadar TSH normal. Jika
dosis sudah ditingkatkan sebanyak 2-3 kali namun belum ada perbaikan kadar
TSH maka pasien perlu dirujuk kepada ahli endokrinologi. Populasi khusus lain
yang harus diperhatikan adalah pasien yang sedang hamil. Pada keadaan hamil,
pasien membutuhkan kadar hormon tiroksin yang lebih tinggi untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Anjuran pemberian adalah dengan dosis normal
yaitu 1,6 mcg/kgBB/hari, namun diberikan sebanyak 9 dosis dalam satu minggu,
yang artinya dalam 2 dari 7 hari dalam satu minggu, pasien diharuskan
mengonsumsi levotiroksin dengan dosis dua kali lipat. Jika pasien bukan
merupakan populasi khusus maka dapat diberikan dosis 1,6 mcg/kgBB/hari.
Setelah pemberian tersebut pasien diminta untuk kontrol setiap 3 bulan sekali
untuk melakukan pemeriksaan kadar TSH.
Saat kontrol, jika pemeriksaan TSH menunjukan hasil yang normal, pasien
dianjurkan tetap mengonsumsi obat dan kontrol dapat dijarangkan menjadi 1
31
tahun sekali. Jika hasil pemeriksaan TSH masih meningkat, berarti pasien
mengalami under replaced yang dapat disebabkan oleh kurangnya dosis obat, cara
pemberian yang salah atau interaksi dengan obat lain (9). Pada pasien yang under
replaced dosis dapat dikurangi sebanyak 25 mcg per hari, begitu juga halnya
dengan pasien yang kadar TSH nya menurun saat kontrol, pasien seperti ini
kemungkinan mengalami over replaced dan dosis dapat diturunkan sebanyak 25
mcg per hari. Setelah penyesuaian dosis pasien diminta kontrol ulang 3 bulan
kemudian.
32
BAB IV
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ specific,
dengan penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang mempunyai
predisposisi genetik dengan pemicu faktor lingkungan. Pada tiroiditis Hashimoto
antibody anti-TPO merupakan petanda utama. Manifestasi klinis awalnya
mungkin saja asimtomatik hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas pada
kelenjar tiroid menyebabkan hipotiroid yang menetap. Pengobatan Hashimoto
dengan obat antitiroid dan pemberian l-tiroksin bukan bersifat kuratif, artinya
tidak mengubah patogenesis penyakitnya. Diharapkan di masa datang dengan
perkembangan dalam bidang biomolekuler dan pemahaman yang lebih mendalam
tentang respons imun dari antigen spesifik, penanganan penyakit tiroiditis
autoimun akan lebih mendasar dan bersifat kausal.
III.2. Saran
Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi
klinis diharapkan dapat memahami memahami penyebab terjadinya, patofisiologi,
serta bagaimana mendiagnosis Tiroiditis Hashimoto dan bagaimana
penanganannya sehingga diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus ini kita
dapat memberikan penanganan yang tepat kepada penderita.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta :
FKUI.
2. Snell R Clinical Anatomy by Regions 9th ed. Baltimore: Lippincott Williams
& Wilkins; 2012
3. Sherwood L. Human Physiology: From Cell to System 7th ed. Belmont:
BROOKS/COLE CENGAGE Learning; 2010
4. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland Ed.3. Jakarta : EGC;
2010
5. Zaletel K, Gaberscek S. Hashimoto’s Thyroiditis From Genes to the Disease.
Curr Genomics. 2011 Dec; 12(8): 576–588.
6. Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor,
and PTPN22 gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity : back
to the future. J Autoimmun 2007;28:85-98.
7. Mc Lachlan SM, Nagayama Y, Pichurin PN, Mizutori Y, Chen CR, Mishari
A, et al. The link between Graves' disease and Hashimoto's thyroiditis: a role
for regulatory T cells. Endocrinology. 2007 Dec;148(12):5724-33.
8. Lee SL. Hashimoto Thyroiditis. [cited Dec 2nd 2015]. [updated Sep 8th 2014].
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/120937-overview
9. Gaitonde DY, Rowley KD, Sweeney LB. Hypothyroidism: An Update. AAFP.
2012 Aug: 86 (3): 244-50
34
35