51
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya. Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada tiroid (1) . Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut, tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan oleh

Tiroiditis Hashimoto

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kasus mengenai autoimun tiroiditis hashimoto

Citation preview

Page 1: Tiroiditis Hashimoto

BAB I

PENDAHULUAN

 

I.1 Latar Belakang

Tiroiditis merupakan istilah yang mencakup segolongan kelainan yang

ditandai dengan adanya inflamasi tiroid. Termasuk di dalamnya keadaan yang

timbul mendadak dengan disertai rasa sakit yang hebat pada tiroid. Tiroiditis

dapat dibagi berdasar atas etiologi, patologi, atau penampilan klinisnya.

Penampilan klinis dilihat dari perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit pada

tiroid (1).

Berdasarkan penampilan klinis tersebut, maka tiroidis dibagi atas tiroiditis

akut, subakut, dan kronis. Tiroiditis akut contohnya tiroiditis infeksiosa akut,

tiroiditis karena radiasi, dan tiroiditis traumatika. Tiroiditis subakut dibagi

menjadi yang disertai rasa sakit seperti tiroiditis de Quervain, sedangkan yang

tidak disertai rasa sakit seperti tiroiditis limfositik subakut, post partum, dan oleh

karena obat-obatan. Tiroiditis kronis meliputi tiroiditis Hashimoto, Riedel, dan

infeksiosa kronis (1).

Tiroiditis Hashimoto merupakan salah satu penyakit tiroid autoimun yang

paling umum dan bersifat organ-specific. Ditemukan oleh Hakaru Hashimoto

pada tahun 1912, dengan istilah lain struma limfomatosa. Disebut pula sebagai

tiroiditis autoimun kronis dan merupakan penyebab utama hipotiroid di daerah

yang iodiumnya cukup. Penyakit ini sering mengenai wanita berumur antara 30-

50 tahun. Hampir semua pasien mempunyai titer antibodi tiroid yang tinggi,

Page 2: Tiroiditis Hashimoto

infiltrasi limfositik termasuk sel B dan T, dan apoptosis sel folikel tiroid.

Penyebabnya sendiri diduga kombinasi dari faktor genetik dan lingkungan (1).

Tiroiditis Hashimoto ini ditandai oleh munculnya antibodi terhadap

tiroglobulin dalam darah. Antibodi tirogobulin, bertindak sebagai autoantigen,

dalam serum penderita penyakit Hashimoto sehingga terjadi inflamasi akibat

autoimun, kerusakan dan penurunan fungsi tiroid yang luas dapat menyebabkan

hipotiroidisme. Kelenjar tiroidnya bisa membesar membentuk nodul goiter. Sekali

mulai timbul hipotiroid maka gejala ini akan menetap sehingga diperlukan terapi

hormon tiroid yang bertujuan mengatasi defisiensi tiroid serta memperkecil

ukuran goiter (1).

Mengingat pentingnya pengetahuan tentang penyakit Tiroiditis Hashimoto

ini, maka penulis mencoba memaparkan mengenai aspek patofisiologi, gejala

klinis, diagnosis, dan pengobatan dari Tiroiditis Hashimoto ini berdasarkan

sebuah kasus.

2

Page 3: Tiroiditis Hashimoto

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : Ny. P

Umur : 46 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Pandanari, Semarang

Agama : Islam

Suku Bangsa : Jawa

Status Perkawinan : Sudah menikah

Pendidikan : Tamat SMA

Pekerjaan : Swasta

Tanggal masuk RS : 4 September 2014

No. RM : 007692

II. ANAMNESA

A. Keluhan Utama

Benjolan di leher sejak 2 bulan lalu

B. Keluhan Tambahan

Suara serak, sulit BAB, nyeri kepala belakang, tidak nafsu makan, berat

badan bertambah

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit RSUD Kota Semarang dengan

keluhan tumbuh benjolan di leher sejak 2 bulan SMRS. Benjolan

dirasakan semakin lama semakin membesar. Benjolan dirasakan sebesar

bola pingpong tidak nyeri, dan ikut bergerak saat menelan.

3

Page 4: Tiroiditis Hashimoto

Pasien merasakan sulit BAB sejak 1 bulan lalu, pasien merasakan

BAB nya menjadi keras dan BAB menjadi sulit hanya 1 kali dalam 2

hari.

Peningkatan berat badan sebanyak 5 kg juga dirasakan oleh

pasien sejak 1 bulan yang lalu, padahal pasien merasa tidak nafsu makan

dan lemas. Dalam 1 hari pasien makan hanya 1 kali dan sangat sedikit

porsinya.

Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah suara yang menjadi

serak sejak 2 bulan lalu, nyeri kepala di bagian belakang kepala kira-kira

2 bulan lalu dan makin memberat sakitnya. Sejak mengalami gejala-

gejala ini pasien menjadi malas bangun dan beraktivitas. Pasien merasa

hanya ingin tidur-tiduran seharian

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan bahwa sebelumnya keluhan seperti ini belum

pernah dirasakan. Tidak ada penyakit kronis yang diderita pasien seperti

Diabetes, Hipertensi dan asma. Sebelumnya pasien belum pernah cek

kadar kolesterol. Riwayat penyakit jantung pun disangkal oleh pasien

E. Riwayat Penyakit Keluarga

Ayah pasien memiliki riwayat penyakit jantung koroner dan

darah tinggi. Riwayat kencing manis, hiperlipidemi, gangguan fungsi

ginjal dan hepar tidak dimiliki keluarga.

F. Riwayat Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan rutin jogging sebelum mengalami

gejala. Pasien memiliki kebiasaan makan makanan yang tinggi lemak.

Pasien sama sekali tidak mengonsumsi obat apapun secara rutin.

Riwayat foto thorax berulang disangkal oleh pasien. Paparan radiasi

yang lama disangkal. Pasien selalu makan dengan menggunakan garam

beriodium.

4

Page 5: Tiroiditis Hashimoto

III. PEMERIKSAAN FISIK

1. Keadaan Umum

Kesan sakit : Tampak sakit sedang

Sikap : Kooperatif

Status Gizi :

BB : 64 kg

TB : 165 cm

BMI : 23,5 = Gizi Berlebih

2. Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Nadi : 72 kali/menit

Pernapasan : 16 x/menit

Suhu : 36,2 0C

3. Status Generalis

a. Kesadaran

GCS : E4M6V5 = 15 ( Compos Mentis )

b. Kulit : Warna sawo matang, tidak ikterik maupun

Sianosis, teraba kasar dan kering

c. Kepala : Bentuk normal, normocephali, rambut

hitam distribusi merata.

d. Mata : Konjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik

(-)/(-), pupil bulat isokhor dengan diameter

3mm / 3mm, reflex cahaya (+)/(+), reflex

cahaya tak langsung (+)/(+), oedema

palpebra (-)/(-)

e. Telinga : Normotia, secret (-)/(-), darah (-)/(-)

5

Page 6: Tiroiditis Hashimoto

f. Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum,

darah (-)/(-), pernapasan cuping hidung (-)

g. Mulut :

Bibir : bentuk normal, simetris, mukosa warna

merah muda, basah, tidak pucat,

tidak sianosis

Gigi dan gusi : gigi geligi lengkap, oral hygine baik.

Lidah : bentuk normal, simetris, tidak ada deviasi,

permukaan tidak kotor, tepi tidak

hiperemis

Uvula : letak di tengah, tidak tremor, tidak

hiperemis, tidak membesar

Faring : tidak hiperemis

Tonsil : T1 / T1 tenang

h. Leher : Pembesaran KGB (-), JVP 5 ± 4 cmH20,

distensi vena jugularis dextra (+),

trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak

teraba, sebuah benjolan dengan ukuran

sebesar bola pingpong

i. Paru

Inspeksi : Bentuk normal, gerakan napas simetris,

tidak ada retraksi sela iga

Palpasi : Vocal fremitus simteris di kedua lapang

paru

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler di kedua lapang

Paru (+)/(+), wheezing (-)/(-), ronchi (-)/(-)

j. Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 garis

6

Page 7: Tiroiditis Hashimoto

midclavicula sinistra

Perkusi :

Batas kanan di ICS III-V garis sternalis kanan

Batas kiri di ICS V dua jari lateral dari garis

midklavikularis kiri

Pinggang jantung di ICS II garis parasternalis kiri

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular,

murmur (-)/(-), gallop (-)/(-)

k. Abdomen

Inspeksi : Bentuk normal, tidak ada kelainan kulit

yang bermakna

Auskultasi : Bising usus (+) 1x/menit

Perkusi : Timpani di seluruh region abdomen,

Shifting dullness (-)

Palpasi : Supel (+), Tidak teraba pembesaran organ,

nyeri tekan (-), ballottement (-)/(-)

l. Ekstremitas

Atas : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat

CRT < 2 detik, pitteing oedem (-)/(-)

Bawah : Simetris, kuku sianosis (-), akral hangat,

CRT < 2 detik, Pitting oedem (-)/(-).

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

7

Page 8: Tiroiditis Hashimoto

a. Pemeriksaan Laboratorium

5 September 2015

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi

Darah Rutin

Jumlah leukosit 8.500/ uL 5.000 – 10.000/uL Dbn

HCT 40,2% 40-54% Dbn

Hemoglobin 12,8 g/dL 13 – 16 g/dL Dbn

Eritrosit 5.08 juta/uL 4-6 juta/uL Dbn

Hitung Jenis

Basofil 0% <1% Dbn

Eosinofil 2% 1-3% Dbn

Neutrofil batang 2% 2-6% Dbn

Neutrofil segmen 67% 52-70% Dbn

Limfosit 21% 20-40% Dbn

Monosit 8% 2-8% Dbn

Jumlah hematokrit 44.2 % 40 – 48 % Dbn

Jumlah trombosit 187.000/uL 150.000 – 400.000 /uL Dbn

MCV 86.9 fL 82-92 fL Dbn

MCH 28.7 pg 27-32 pg Dbn

MCHC 33.1 % 32-37 % Dbn

GDS 99 mg/dL 60-110 mg/dL Meningkat

AST (SGOT) 25 U/L <37 U/L Dbn

ALT (SGPT) 23 U/L < 41U/L Dbn

Ureum 23,2 mg/dL 30-40 mg/dL Dbn

Kreatinin 0,8 mg/dL 1-1,5 mg/dL Dbn

5 Septemner 2014

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interptretasi

Asam urat 2,4 mg/dL 2.2-6.2 mg/dL Meningkat

8

Page 9: Tiroiditis Hashimoto

Kolesterol total 228 mg/dL < 200 mg/dL Meningkat

TSH 44,97 mlU/ml 0,3-5 mlU/ml Meningkat

FT 4 5,21 pmol/L 9-20 pmol/L Penurunan

Antibodi TPO >10.000 <5,61 Meningkat

V. RESUME

Pasien datang ke Rumah Sakit RSUD Kota Semarang dengan

keluhan tumbuh benjolan di leher sejak 2 bulan SMRS. Benjolan

dirasakan semakin lama semakin membesar. Benjolan dirasakan sebesar

bola pingpong tidak nyeri, dan ikut bergerak saat menelan.

Pasien merasakan sulit BAB sejak 1 bulan lalu, pasien merasakan

BAB nya menjadi keras dan BAB menjadi sulit hanya 1 kali dalam 2

hari.

Peningkatan berat badan sebanyak 5 kg juga dirasakan oleh

pasien sejak 1 bulan yang lalu, padahal pasien merasa tidak nafsu makan

dan lemas. Dalam 1 hari pasien makan hanya 1 kali dan sangat sedikit

porsinya.

Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah suara yang menjadi

serak sejak 2 bulan lalu, nyeri kepala di bagian belakang kepala kira-kira

2 bulan lalu dan makin memberat sakitnya. Sejak mengalami gejala-

gejala ini pasien menjadi malas bangun dan beraktivitas. Pasien merasa

hanya ingin tidur-tiduran seharian.

Riwayat penyakit dahulu tampak tidak berhubungan dengan

keurigaan. Pasien memiliki kebiasaan makan makanan berlemak dan

mengonsumsi gara beriodium tiap hari

VI. DIAGNOSA KERJA

Tiroiditis Hashimoto

Dislipidemia

9

Page 10: Tiroiditis Hashimoto

VII. DIAGNOSA BANDING

Tumor tiroid

Carcinoma tiroid

Limfoma

Tiroiditis infeksi

VIII. PENATALAKSANAAN

A. Non Medika Mentosa

IVFD Ringer Laktat 20 tpm /24 jam

B. Medika Mentosa

Problem:Benjolan di Leher Disertai Rasa Kencang di Belakang Kepala ,

TERAPI :

Euthymax 1 x 100 mcg

Injeksi Amikasin 2 x 500 -> Pycin 2 x750 (alergi Amikasin)

Injeksi Ketorolac 2 x 1 ->(stop tanggal 6/9/2014)

Meloxicam 15mg 2x1

Problem: Spondylosis Cervical

Terapi:

• TENS,

• MWD

Problem: Dislipidemia

Terapi:

• Atorvastatin 1x20 mg

X. PROGNOSIS

Ad Vitam : ad Bonam

Ad functionam : ad Bonam

Ad sanationam : ad Bonam

10

Page 11: Tiroiditis Hashimoto

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

11

Page 12: Tiroiditis Hashimoto

II.1 Kelenjar Tiroid

II.1.1 Struktur Kelenjar tiroid

Kelenjar tiroid terletak pada leher bagian depan, tepat di bawah kartilago

krikoid, disamping kiri dan kanan trakhea. Pada orang dewasa beratnya lebih

kurang 18 gram. Kelenjar ini terdiri atas dua lobus yaitu lobus kiri kanan yang

dipisahkan oleh isthmus. Masing-masing lobus kelenjar ini mempunyai ketebalan

lebih kurang 2 cm, lebar 2,5 cm dan panjangnya 4 cm. Tiap-tiap lobus mempunyai

lobuli yang di masing-masing lobuli terdapat folikel dan parafolikuler. Di dalam

folikel ini terdapat rongga yang berisi koloid dimana hormon-hormon disintesa (2)

Gambar 2.1. Anatomi Tiroid

Kelenjar tiroid mendapat sirkulasi darah dari arteri tiroidea superior dan

arteri tiroidea inferior. Arteri tiroidea superior merupakan percabangan arteri

karotis eksternal dan arteri tiroidea inferior merupakan percabangan dari arteri

12

Page 13: Tiroiditis Hashimoto

subklavia. Lobus kanan kelenjar tiroid mendapat suplai darah yang lebih besar

dibandingkan dengan lobus kiri. Dipersarafi oleh saraf adrenergik dan kolinergik.

Saraf adrenergik berasal dari ganglia servikalis dan kolinergik berasal dari nervus

vagus.

Unit struktural daripada tiroid adalah folikel, yang tersusun rapat, berupa

ruangan bentuk bulat yang dilapisi oleh selapis sel epitel bentuk gepeng, kubus

sampai kolumnar. Konfigurasi dan besarnya sel-sel folikel tiroid ini dipengaruhi oleh

aktivitas fungsional daripada kelenjar tiroid itu sendiri. Bila kelenjar dalam keadaan

inaktif, sel-sel folikel menjadi gepeng dan akan menjadi kubus atau kolumnar bila

kelenjar dalam keadaan aktif. Pada keadaan hipertiroidism, sel-sel folikel menjadi

kolumnar dan sitoplasmanya terdiri dari vakuol-vakuol yang mengandung koloid (2) .

Folikel-folikel tersebut mengandung koloid, suatu bahan homogen

eosinofilik. Variasi densitas dan warna daripada koloid ini juga memberikan

gambaran fungsional yang signifikan; koloid eosinofilik yang tipis berhubungan

dengan aktivitas fungsional, sedangkan koloid eosinofilik yang tebal dan banyak

dijumpai pada folikel dalam keadaan inaktif dan beberapa kasus keganasan. Pada

keadaan yang belum jelas diketahui penyebabnya, sel-sel folikel ini akan berubah

menjadi sel-sel yang besar dengan sitoplasma banyak dan eosinofilik, kadang-kadang

dengan inti hiperkromatik, yang dikenal sebagai oncocytes (bulky cells) atau Hürthle

cells (3).

13

Page 14: Tiroiditis Hashimoto

Gambar.2.2 Histologi kelenjar tiroid normal (3)

Kelenjar tiroid menghasilkan tiga jenis hormon yaitu T3, T4 dan sedikit

kalsitonin. Hormon ini diangkut oleh protein pengangkut, protein pengangkut itu

adalah TBG (thyroxine binding globulin), TBPA (thyroxine binding prealbumin),

T3U (T3 resin uptake) dan TBI (thyroxine binding index).

Tubuh memiliki mekanisme yang rumit untuk menyesuaikan kadar

hormon tiroid. Mekanisme pengaturan sekresi hormone tiroid tersebut dapat

dilihat pada gambar 2.3. Hipotalamus (terletak tepat di atas kelenjar hipofisa di

otak) menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH), yang menyebabkan

kelenjar hipofisa mengeluarkan thyroid-stimulating hormone (TSH). Sesuai

dengan namanya, TSH ini merangsang kelenjar tiroid untuk menghasilkan

hormon tiroid. Jika jumlah hormon tiroid dalam darah mencapai kadar tertentu,

maka kelenjar hipofisa menghasilkan TSH dalam jumlah yang lebih sedikit,

14

Page 15: Tiroiditis Hashimoto

sebaliknya jika kadar hormon tiroid dalam darah berkurang, maka kelenjar

hipofisa mengeluarkan lebih banyak TSH. Hal ini disebut mekanisme umpan

balik.

Gambar 2.3. Pengaturan sekresi hormon tiroid.(3)

II.1.2 Proses Pembentukan Hormon Tiroid

Hormon T3 dan T4 dihasilkan oleh sel folikular sedangkan kalsitonin

dihasilkan oleh sel parafolikuler. Bahan dasar pembentukan hormon-hormon ini

adalah yodium yang diperoleh dari makanan dan minuman. Yodium yang

dikomsumsi akan diubah menjadi ion yodium (yodida) yang masuk secara aktif ke

dalam sel kelenjar dan dibutuhkan ATP sebagai sumber energi. Proses ini disebut

15

Page 16: Tiroiditis Hashimoto

pompa iodida, yang dapat dihambat oleh ATP-ase, ion klorat dan ion sianat. Sel

folikel membentuk molekul glikoprotein yang disebut tiroglobulin yang kemudian

mengalami penguraian menjadi monoiodotironin (MIT) dan diiodotironin (DIT).

Selanjutnya terjadi reaksi penggabungan antara MIT dan DIT yang akan

membentuk triiodotironin atau T3 dan DIT dengan DIT akan membentuk

tetraiodotironin atau tiroksin (T4). Proses penggabungan ini dirangsang oleh TSH

namun dapat dihambat oleh tiourea, tiourasil, sulfonamid, dan metil

kaptoimidazol. Hormon T3 dan T4 berikatan dengan protein plasma dalam bentuk

PBI (protein binding iodine) (3).

Gambar 2.4. Sintesis hormon tiroid pada folikel tiroid

II.1.3 Fungsi Kelenjar Tiroid

Fungsi dari hormon-hormon tiroid antara lain adalah (3) :

a. Mengatur laju metabolisme tubuh. Baik T3 dan T4 kedua-duanya

meningkatkan metabolisme karena peningkatan konsumsi oksigen dan

produksi panas.

16

Page 17: Tiroiditis Hashimoto

b. T3 lebih cepat dan lebih kuat reaksinya tetapi waktunya lebih singkat

dibanding dengan T4. T3 lebih sedikit jumlahnya dalam darah. T4 dapat

dirubah menjadi T3 setelah dilepaskan dari folikel kelenjar.

c. Memegang peranan penting dalam pertumbuhan fetus khususnya

pertumbuhan saraf dan tulang.

d. Mempertahankan sekresi GH dan gonadotropin.

e. Efek kronotropik dan inotropik terhadap jantung yaitu menambah kekuatan

kontraksi otot dan mempercepat irama jantung.

f. Merangsang pembentukan sel darah merah.

g. Mempengaruhi kekuatan dan ritme pernapasan sebagai kompensasi tubuh

terhadap kebutuhan oksigen akibat metabolisme.

h. Bereaksi sebagai antagonis insulin.

i. Tirokalsitonin mempunyai jaringan sasaran tulang dengan fungsi utama

menurunkan kadar kalsium serum. Faktor utama yang mempengaruhi sekresi

kalsitonin adalah kadar kalsium serum. Kadar kalsium serum yang rendah akan

menekan pengeluaran tirokalsitonin dan sebaliknya peningkatan kalsium serum

akan merangsang pengeluaran tirokalsitonin. Faktor tambahan adalah diet

kalsium dan sekresi gastrin di lambung.

II.2 Definisi Tiroiditis Hashimoto

Tiroiditis Hashimoto adalah Peradangan tiroid kronis yang disebabkan

oleh proses autoimun yang menyebabkan hipotiroidisme primer (4)

Tiroiditis autoimun yang terserang terutama wanita berusia antara 30 – 50

tahun dan dicirikan dengan adanya kelenjar tiroid yang keras, membesar difus, tak

nyeri. Pasien biasanya eutiroid atau hipotiroid dan jarang hipertiroid. Hipotiroid

17

Page 18: Tiroiditis Hashimoto

terjadi jika hormon tiroid yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan tubuh.

Kelenjar tiroid juga bisa membesar membentuk goiter akibat rangsangan TSH

yang terus menerus pada kelenjar tiroid akibat kurangnya feedback negatif dari

perifer.

II.3 Patofisiologi Tiroiditis Hashimoto

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) adalah penyakit yang kompleks, dengan

faktor penyebab multifaktorial berupa interaksi antara gen yang suseptibel dengan

faktor pemicu lingkungan, yang mengawali respon autoimun terhadap antigen

tiroid (5).

Walaupun etiologi pasti respon imun tersebut masih belum diketahui,

berdasarkan data epidemiologik diketahui bahwa faktor genetik sangat berperan

dalam patogenesis PTAI. Selanjutnya diketahui pula pada PTAI terjadi kerusakan

seluler dan perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler

yang bekerja secara bersamaan. Kerusakan seluler terjadi karena limfosit T

tersensitisasi (sensitized T-lymphocyte) dan/atau antibodi antitiroid berikatan

dengan membran sel tiroid, mengakibatkan lisis sel dan reaksi inflamasi.

Sedangkan gangguan fungsi terjadi karena interaksi antara antibodi antitiroid yang

bersifat stimulator atau blocking dengan reseptor di membran sel tiroid yang

bertindak sebagai autoantigen.

Gambar 2.4 memperlihatkan secara skematik mekanisme terjadinya PTAI,

diawali paparan faktor pemicu lingkungan pada individu yang memiliki gen

suseptibel. Interaksi antara sel-sel imun dengan autoantigen tiroid menimbulkan

18

Page 19: Tiroiditis Hashimoto

tiroiditis Hashimoto atau penyakit Graves atau pembentukan antibodi antitiroid

tanpa gejala klinik (asymptomatic autoimmune thyroid disease).

Gambar 2.4. Gambar skematik mekanisme terjadinya PTAI.(5)

Berikut dijelaskan mengenai patofisiologi tiroiditis Hashimoto ini dilihat

dari faktor genetik dan lingkungan, yang kemudian melibatkan proses autoantigen

dan autoantibodi tiroid, ditambah adanya peran sitokin serta mekanisme apoptosis

yang diperkirakan terjadi pada proses penyakit ini.

19

Page 20: Tiroiditis Hashimoto

a. Faktor genetik

Gen yg terlibat dalam patogenesis PTAI adalah gen yang mengatur respon

imun seperti major histocompatibility complex (MHC), reseptor sel T, serta

antibodi, dan gen yang mengkode (encoding) autoantigen sasaran seperti

tiroglobulin, TPO (thyroid peroxidase), transporter iodium, TSHR (TSH

Receptor). Dari sekian banyak gen kandidat, saat ini baru enam gen yang dapat

diidentifikasi, yaitu CTLA-4 (Cytotoxic T Lymphocyte Antigen-4), CD40,

HLA-DR, protein tyrosine phosphatase-22, tiroglobulin, dan TSHR.

Gambar 2.5 Aktivasi sel T oleh Antigen Presenting Cell (APC).

APC memunculkan antigen peptid yang terikat molekul HLA kelas II, dan

peptid ini dikenal oleh reseptor sel T.

Cytotoxic T lymphocyte antigen-4 (CTLA-4) merupakan molekul

kostimulator yang terlibat dalam interaksi sel T dengan Antigen Presenting

Cells (APC). APC akan mengaktivasi sel T dengan mempresentasikan peptide

antigen yang terikat protein HLA kelas II pada permukaan reseptor sel T.

20

Page 21: Tiroiditis Hashimoto

Sinyal kostimulator berasal dari beberapa protein yang diekspresikan pada PC

(seperti B7-1, B7-2, B7h, CD40), dan berinteraksi dengan reseptor (CD28,

CTLA-4, dan CD40L) pada permukaan limfosit T CD4+ pada waktu presentasi

antigen (5).

CTLA-4 dan CD40 merupakan molekul kostimulator non-spesifik, yang

dapat meningkatkan suseptibilitas terhadap PTAI dan proses autoimun lain.

CTLA-4 berasosiasi dan terkait dengan berbagai bentuk PTAI (tiroiditis

Hashimoto, penyakit Graves, dan pembentukan antibodi antitiroid), dan dengan

penyakit autoimun lain seperti diabetes tipe 1, penyakit Addison, dan

myasthenia gravis.

b. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan telah dapat diidentifikasi berperan sebagai

penyebab penyakit tiroid autoimun, diantaranya berat badan lahir rendah,

kelebihan dan kekurangan iodium, defisiensi selenium, paritas, penggunaan

obat kontrasepsi oral, jarak waktu reproduksi, mikrochimerisme fetal, stres,

variasi musim, alergi, rokok, kerusakan kelenjar tiroid akibat radiasi, serta

infeksi virus dan bakteri (5).

Asupan iodium mempengaruhi prevalensi hipotiroid dan hipertiroid.

Hipotiroid lebih sering ditemukan di daerah cukup iodium dibandingkan

dengan daerah kurang iodium, dan prevalensi tirotoksikosis lebih tinggi di

daerah kurang iodium. Hipertiroidi Graves lebih sering ditemukan di daerah

cukup iodium, dan antibodi anti-TPO sebagai petanda ancaman kegagalan

tiroid lebih sering ditemukan di daerah kurang iodium. Asupan iodium

21

Page 22: Tiroiditis Hashimoto

berlebihan dapat menyebabkan disfungsi tiroid pada penderita yang

mempunyai latar belakang penyakit tiroiditis autoimun. Kelebihan iodium

dapat menyebabkan hipotiroid dan/ atau goiter akibat gagal lepas dari efek

Wolf-Chaikoff. Tetapi bila sebelumnya telah ada nodul autonom fungsional

atau bentuk subklinik penyakit Graves, asupan iodium berlebihan akan

menginduksi terjadinya hipertiroid (efek Jod-Basedow). Pada kedua fenomena

tersebut diduga terjadi destruksi kelenjar tiroid dan presentasi antigen tiroid

pada sistem imun, yang pada gilirannya akan menimbulkan reaksi autoimun.

Oleh karena itu iodium sebenarnya merupakan pula faktor risiko terjadinya

PTAI (5).

Rokok, selain merupakan faktor risiko penyakit jantung dan kanker paru,

juga mempengaruhi sistem imun. Merokok akan menginduksi aktivasi

poliklonal sel B dan T, meningkatkan produksi Interleukin-2 (IL-2), dan juga

menstimulasi sumbu HPA. Merokok akan meningkatkan risiko kekambuhan

penyakit Graves serta eksaserbasi oftalmopatia setelah pengobatan dengan

iodium radioaktif (6).

c. Autoantigen dan autoantibodi tiroid

Penyakit tiroid autoimun (PTAI) menyebabkan kerusakan seluler dan

perubahan fungsi tiroid melalui mekanisme imun humoral dan seluler.

Kerusakan seluler terjadi saat limfosit T yang tersensitisasi (sensitized)

dan/atau autoantibodi berikatan dengan membran sel, menyebabkan lisis sel

dan reaksi inflamasi. Perubahan fungsi tiroid terjadi karena kerja autoantibodi

yang bersifat stimulator atau blocking pada reseptor di membran sel. Ada tiga

22

Page 23: Tiroiditis Hashimoto

autoantigen spesifik yang dominan pada PTAI yaitu thyroid peroxidase (TPO),

tiroglobulin, dan thyrotropin receptor (TSHR). TPO, yang dulu disebut sebagai

”thyroid microsomal antigen”, merupakan enzim utama yang berperan dalam

hormogenesis tiroid (5).

Masih belum jelas apakah autoantibodi TPO atau TPO-specific T cells

merupakan penyebab utama inflamasi tiroid. Antibodi anti-TPO tidak

menghambat aktivitas enzimatik TPO, oleh karena itu bila antibodi tersebut

berperan pada inflamasi tiroid, hanya sebatas sebagai petanda (marker)

penyakit dan tidak berperan langsung dalam terjadinya hipotiroid. Di lain pihak

beberapa studi menduga antibodi anti-TPO mungkin bersifat sitotoksik

terhadap tiroid; antibodi anti-TPO terlibat dalam proses destruksi jaringan yang

menyertai hipotiroid pada tiroiditis Hashimoto dan tiroiditis atrofik (5).

Peranan antibodi anti-Tg dalam PTAI belum jelas; di daerah cukup

iodium, penentuan antibodi anti-Tg dilakukan sebagai pelengkap penentuan

kadar Tg, karena bila ada antibodi anti-Tg akan menganggu metode penentuan

kadar Tg. Sedangkan di daerah kurang iodium, penentuan kadar antibodi anti-

Tg berguna untuk mendeteksi PTAI pada penderita struma nodusa dan

pemantauan hasil terapi iodida pada struma endemik.

Dalam kepustakaan, terdapat beragam nomenklatur antibodi antitiroid,

khususnya terhadap TSHR (Thyroid Stimulating Hormon Receptor). Misalnya

dikenal istilah LATS = Long Acting Thyroid Stimulator; LATS-P = Long

Acting Thyroid Stimulator-Protector; TSI=Thyrotropin Stimulating

Immunoglobulin; TBII = Thyrotropin Binding Inhibitor Immunoglobulin;

23

Page 24: Tiroiditis Hashimoto

TSBAb = Thyroid Stimulating Blocking Antibody; dan TRAb=Thyrotropin

Receptor Antibody). Berdasarkan fungsinya antibodi TSHR dikelompokkan

menjadi :

1. Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI), meningkatkan sintesis hormon

tiroid;

2. TSI-blocking immunoglobulin, menghambat TSI (atau TSH) dalam

merangsang sintesis hormon tiroid;

3. Thyroid Growth Immunoglobulin (TGI), terutama merangsang

pertumbuhan sel folikel;

4. TGI blocking immunoglobulin, menghalangi TGI (atau TSH) merangsang

pertumbuhan seluler (misalnya pada miksedema).

Aktivitas berbagai antibodi TSHR tersebut dapat menjelaskan terjadinya

diskrepansi antara besar/ volume kelenjar tiroid dengan fungsinya; ada

penderita dengan kelenjar tiroid besar tetapi fungsinya normal atau rendah, atau

sebaliknya.

Antibodi lain yang juga dapat ditemukan adalah antibodi terhadap koloid

kedua (second colloid antigen), antibodi terhadap permukaan sel selain reseptor

TSH, antibodi terhadap hormon tiroid T3 dan T4, serta antibodi terhadap

antigen membran otot mata (disebut sebagai ophthalmic immunoglobulin).

Dapat terjadi fluktuasi fungsi tiroid berupa konversi dari hiper- menjadi

hipo-tiroidi, keadaan yang disebut metamorphic thyroid autoimmunity.

Contohnya konversi menjadi hipertiroid Graves pada penderita yang

sebelumnya menderita hipotiroid karena penyakit Hashimoto, dan konversi dari

24

Page 25: Tiroiditis Hashimoto

tirotoksikosis menjadi eutiroid secara spontan pada penderita Graves; beberapa

mekanisme mungkin berperan.

d. Mekanisme apoptosis

Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis berperan dalam

PTAI – tiroiditis Hashimoto dan penyakit Graves. Defek pada CD4(+),

CD25(+) T regulatory cells akan merusak (breaks) toleransi host dan

menginduksi produksi abnormal sitokin yang akan menfasilitasi apoptosis.

Terdapat perbedaan mekanisme yang memediasi proses apoptosis pada HT dan

GD, yaitu pada HT akan terjadi destruksi tirosit sedangkan autoantibodi pada

GD akan menempati reseptor dari TSH (TSH-R) sehingga hotmon tiroid

dihasilkan dan disekresi terue menerus. Perbedaan mekanisme tersebut akan

mengakibatkan dua bentuk respons autotimun berbeda yang akhirnya akan

menimbulkan manifestasi yang berbeda antara tiroiditis Hashimoto dengan

penyakit Graves (7).

e. Peran sitokin

Sitokin berperan penting dalam mengkoordinasikan reaksi imun; sitokin

dapat bersumber dari sistem imun maupun non-imun. Limfosit CD4+ Thelper

terdiri dari sel Th1, terutama memproduksi interferon-γ (IFNγ) dan interleukin-

2 (IL-2), yang menimbulkan respon imun langsung pada sel (cellmediated

immunity). Sebaliknya, sel Th2 menghasilkan terutama IL-4, IL-5, dan IL-13

25

Page 26: Tiroiditis Hashimoto

yang akan mengaktivasi respons imun humoral. Sitokin dapat meningkatkan

reaksi inflamasi melalui stimulasi sel T dan B intratiroid dan menginduksi

perubahan pada sel folikel tiroid termasuk upregulation MHC kelas I dan II,

serta ekspresi molekul adhesi. Sitokin juga merangsang sel makrofag lokal

untuk menghasilkan sitokin, Nitric Oxide (NO) dan Prostaglandin (PO), yang

selanjutnya akan meningkatkan reaksi inflamasi dan destruksi jaringan.

Molekul ini juga memodulasi pertumbuhan dan fungsi sel folikel tiroid, yang

secara langsung akan berimplikasi terhadap disfungsi tiroid.

II.4 Gejala Klinis Tiroiditis Hashimoto

Penyakit Hashimoto tidak memiliki tanda-tanda dan gejala selama

bertahun-tahun dan tidak terdiagnosis sampai ditemukannya pembesaran kelanjar

tiriod atau hasil pemeriksaan darah yang abnormal pada pemeriksaan kesehatan

rutin. Gejala yang berkembang berhubungan dengan efek tekanan lokal pada leher

yang disebabkan pembesaran kelenjar tiroid tersebut, atau akibat penurunan kadar

hormon tiroid dalam darah. Tanda pertama penyakit ini mungkin berupa bengkak

tidak nyeri pada leher depan bagian bawah. Efek tekanan lokal akibat pembesaran

kelenjar tiroid dapat menambah gejala seperti kesulitan menelan (8).

Tanda-tanda dan gejala hipotiroidisme sangat bervariasi, tergantung pada

tingkat keparahan kekurangan hormon. Gambaran klinis awalnya didahului tanpa

adanya tanda perubahan kadar tiroid (eutoroid) dan akhirnya berubah menjadi

hipotiroid (kadar hormon menurun) berkepanjangan. Pada awalnya, mungkin

26

Page 27: Tiroiditis Hashimoto

gejala jarang terlihat, seperti kelelahan dan kelesuan. Tetapi semakin lama

penyakit berlangsung, gejala dan tanda makin jelas (8).

Pasien tiroiditis Hashimoto yang berkembang mengalami hipotiroid

biasanya menunjukkan tanda dan gejala meliputi kelelahan dan kelesuan, sering

mengantuk, jadi pelupa, kesulitan belajar, kulit kering dan gatal, rambut dan kuku

yang rapuh, wajah bengkak, konstipasi, nyeri otot, penambahan berat badan,

peningkatan sensitivitas terhadap banyak pengobatan, menstruasi yang banyak,

peningkatan frekuensi keguguran pada wanita yang hamil (8).

II.5 Penegakan Diagnosis Hipotiroidisme

27

Page 28: Tiroiditis Hashimoto

Gambar 2.9

Alur pemeriksaan pada kasus hipotiroidisme (9)

Pada tiroiditis Hashimoto, pemeriksaan goiter yang terbentuk dapat

diidentifikasi melalui pemeriksaan fisik, dan keadaan hipotiroid diketahui dengan

identifikasi gejala dan tanda fisik yang khas, serta melalui hasil pemeriksaan

laboratorium.

Setelah seorang pasien secara klinis diduga menderita hipotiroidisme,

pasien dapat langsung diperiksa kadar TSH dalam darah atas indikasi. Hasil

pemeriksaan TSH bisa didapati tiga kemungkinan. Pertama, kadar TSH normal,

jika kadar TSH normal maka pasien dapat dikatakan eutiroid. Kedua, jika hasil

28

Page 29: Tiroiditis Hashimoto

TSH menurun dan gejala mengarah ke arah hipotiroidisme, dapat diduga adanya

hipotiroidisme sekunder atau tersier di mana terdapat defek pada hipotalamus

maupun kelenjar hipofisis. Jika hasil TSH meningkat, lakukan pemeriksaan FT 4.

Jika hasil FT 4 normal berarti pasien mengalami hipotiroid subklinis. Hipotiroid

subklinis dapat diterapi dengan levotiroksin jika salah satu dari syarat-syarat

berikut terpenuhi: Kadar TSH > 10mlU/L; Titer antibodi TPO meningkat; pasien

sedang hamil; terdapat gejala-gejala hipotiroidisme. Jika hasil pemeriksaan FT 4

rendah, berarti pasien telah mengalami hipotiroidisme primer dan dapat

ditatalaksana langusng dengan levotiroksin. (9)

Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan secara histopatologis melalui

biopsi. Kelainan histopatologisnya dapat bermacam – macam yaitu antara lain

infiltrasi limfosit yang difus, obliterasi folikel tiroid, dan fibrosis. Aspirasi jarum

halus biasanya tidak dibutuhkan pada penderita tiroiditis ini, namun dapat

dijadikan langkah terbaik untuk diagnosis pada kasus yang sulit dan merupakan

prosedur yang dibutuhkan jika nodul tiroid terbentuk.

Makna klinis penentuan antibodi antitiroid

Tiga antibodi yang paling sering ditentukan kadarnya di klinik adalah

TRAb (Thyrotropin Receptor Antibody), TPOAb (anti TPO antibody), TgAb

(ATA: anti Tg antibody), dan penentuan berbagai antibodi lainnya lebih bersifat

minat akademik. Perlu diketahui bahwa autoantibodi tiroid tidak selalu ditemukan

dalam serum penderita PTAI, antara lain disebabkan oleh sensitivitas metoda

assay.

29

Page 30: Tiroiditis Hashimoto

TRAb ditemukan pada sebagian besar penderita yang pernah atau sedang

menderita penyakit Graves. Selama kehamilan, karena dapat melewati sawar

plasenta, TRAb merupakan faktor resiko disfungsi tiroid fetal maupun neonatal.

Prevalensi antibodi antitiroid meningkat pada penderita penyakit autoimun organ

specific lain seperti DM tipe 1 dan anemia pernisiosa, serta juga dengan

bertambahnya umur (prevalensi PTAI meningkat seiring dengan bertambahnya

umur).

Antibodi anti-TPO merupakan faktor resiko disfungsi tiroid, termasuk

tiroiditis postpartum dan penyulit autoimun akibat penggunaan obat-obat tertentu.

Antibodi anti-TPO merupakan kelainan yang pertama ditemukan pada hipotiroidi

akibat tiroiditis Hashimoto. Lebih dari 95% penderita tiroiditis Hashimoto dan

sekitar 85% penderita penyakit Graves mempunyai antibodi anti-TPO (sumber).

Penentuan antibodi anti-tiroglobulin terutama dilakukan sebagai pelengkap

penentuan kadar Tg serum pada pemantauan hasil pengobatan karsinoma tiroid

berdiferensiasi pascaablasi; antibodi anti-Tg yang positif akan menganggu

penentuan kadar tiroglobulin. Antibodi anti-Tg positif pada penderita karsinoma

tiroid berdiferensiasi yang telah dinyatakan sembuh akan menjadi negatif dalam

waktu 1-4 tahun, sedangkan peningkatan kadarnya dapat digunakan sebagai

petunjuk awal rekurensi.

30

Page 31: Tiroiditis Hashimoto

II.6 Penatalaksanaan

Setelah diagnosis hipotiroidisme ditegakan maka terapi pilihan adalah

levotiroksin. Sebelum memberikan levotiroksin ada beberapa hal yang harus

diperhatikan yang berhubungan dengan populasi khusus dari pasien. Jika pasien

adalah orang berusia di atas 50 tahun maka dosis levotiroksin harus dimulai dari

dosis yang rendah terlebih dahulu. Selain usia, faktor lain yang harus

dipertimbangkan adalah ada atau tidaknya penyakit jantung yang mendasari pada

pasien, jika ada, maka dosis harus diberikan sama seperti pemberian pada pasien

berusia di atas 50 tahun. Dosis yang dianjurkan adalah 25-50 mcg per hari, dosis

ditingkatkan sebanyak 25 mcg setiap 3-4 minggu sampai kadar TSH normal. Jika

dosis sudah ditingkatkan sebanyak 2-3 kali namun belum ada perbaikan kadar

TSH maka pasien perlu dirujuk kepada ahli endokrinologi. Populasi khusus lain

yang harus diperhatikan adalah pasien yang sedang hamil. Pada keadaan hamil,

pasien membutuhkan kadar hormon tiroksin yang lebih tinggi untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme tubuh. Anjuran pemberian adalah dengan dosis normal

yaitu 1,6 mcg/kgBB/hari, namun diberikan sebanyak 9 dosis dalam satu minggu,

yang artinya dalam 2 dari 7 hari dalam satu minggu, pasien diharuskan

mengonsumsi levotiroksin dengan dosis dua kali lipat. Jika pasien bukan

merupakan populasi khusus maka dapat diberikan dosis 1,6 mcg/kgBB/hari.

Setelah pemberian tersebut pasien diminta untuk kontrol setiap 3 bulan sekali

untuk melakukan pemeriksaan kadar TSH.

Saat kontrol, jika pemeriksaan TSH menunjukan hasil yang normal, pasien

dianjurkan tetap mengonsumsi obat dan kontrol dapat dijarangkan menjadi 1

31

Page 32: Tiroiditis Hashimoto

tahun sekali. Jika hasil pemeriksaan TSH masih meningkat, berarti pasien

mengalami under replaced yang dapat disebabkan oleh kurangnya dosis obat, cara

pemberian yang salah atau interaksi dengan obat lain (9). Pada pasien yang under

replaced dosis dapat dikurangi sebanyak 25 mcg per hari, begitu juga halnya

dengan pasien yang kadar TSH nya menurun saat kontrol, pasien seperti ini

kemungkinan mengalami over replaced dan dosis dapat diturunkan sebanyak 25

mcg per hari. Setelah penyesuaian dosis pasien diminta kontrol ulang 3 bulan

kemudian.

32

Page 33: Tiroiditis Hashimoto

BAB IV

PENUTUP 

III.1. Kesimpulan

Tiroiditis Hashimoto merupakan penyakit autoimun kronik organ specific,

dengan penyebab multifaktorial, terjadi pada individu yang mempunyai

predisposisi genetik dengan pemicu faktor lingkungan. Pada tiroiditis Hashimoto

antibody anti-TPO merupakan petanda utama. Manifestasi klinis awalnya

mungkin saja asimtomatik hingga akhirnya terjadi kerusakan yang luas pada

kelenjar tiroid menyebabkan hipotiroid yang menetap. Pengobatan Hashimoto

dengan obat antitiroid dan pemberian l-tiroksin bukan bersifat kuratif, artinya

tidak mengubah patogenesis penyakitnya. Diharapkan di masa datang dengan

perkembangan dalam bidang biomolekuler dan pemahaman yang lebih mendalam

tentang respons imun dari antigen spesifik, penanganan penyakit tiroiditis

autoimun akan lebih mendasar dan bersifat kausal.

III.2. Saran

Berdasarkan apa yang telah dipaparkan diatas maka kita sebagai praktisi

klinis diharapkan dapat memahami memahami penyebab terjadinya, patofisiologi,

serta bagaimana mendiagnosis Tiroiditis Hashimoto dan bagaimana

penanganannya sehingga diharapkan nantinya bila kita menemukan kasus ini kita

dapat memberikan penanganan yang tepat kepada penderita.

33

Page 34: Tiroiditis Hashimoto

DAFTAR PUSTAKA

1. Tim Penyusun. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta :

FKUI.

2. Snell R Clinical Anatomy by Regions 9th ed. Baltimore: Lippincott Williams

& Wilkins; 2012

3. Sherwood L. Human Physiology: From Cell to System 7th ed. Belmont:

BROOKS/COLE CENGAGE Learning; 2010

4. Dorland, W.A Newman. Kamus Kedokteran Dorland Ed.3. Jakarta : EGC;

2010

5. Zaletel K, Gaberscek S. Hashimoto’s Thyroiditis From Genes to the Disease.

Curr Genomics. 2011 Dec; 12(8): 576–588.

6. Jacobson EM, Tomer Y. The CD40, CTLA-4, thyroglobulin, TSH receptor,

and PTPN22 gene quintet and its contribution to thyroid autoimmunity : back

to the future. J Autoimmun 2007;28:85-98.

7. Mc Lachlan SM, Nagayama Y, Pichurin PN, Mizutori Y, Chen CR, Mishari

A, et al. The link between Graves' disease and Hashimoto's thyroiditis: a role

for regulatory T cells. Endocrinology. 2007 Dec;148(12):5724-33. 

8. Lee SL. Hashimoto Thyroiditis. [cited Dec 2nd 2015]. [updated Sep 8th 2014].

Available at: http://emedicine.medscape.com/article/120937-overview

9. Gaitonde DY, Rowley KD, Sweeney LB. Hypothyroidism: An Update. AAFP.

2012 Aug: 86 (3): 244-50

34

Page 35: Tiroiditis Hashimoto

35