Translate Breakthrough Pain in Cancer Patients (Gledies Gosal)

Embed Size (px)

Citation preview

BAGIAN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIFJOURNAL READINGSEPTEMBER 2015

DAN MANAJEMEN NYERIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

BREAKTHROUGH PAIN IN CANCER PATIENTPrevelance, Mechanism, and Treatment Options

Oleh: Gledies Theresye GosalKonsulen:dr. Nur Surya Wirawan, M.Kes, Sp.AnDIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU ANESTESI, PERAWATAN INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR2015Breakthrough pain pada pasien kanker: Prevalensi, Mekanisme, dan Pilihan Terapi

Sebastiano Mercadante

Tujuan artikelTujuan penulisan artikel ini adalah untuk membahas definisi, karakteristik, dan terapi breakthrough cancer pain (BTP) pada pasien kanker dengan metode peninjauan kritis terhadap literatur-literatur terbaru.Penemuan-penemuan terbaruBTP harus didefinisikan dalam artian yang lebih benar, yaitu suatu episode nyeri dengan intensitas yang berat pada pasien yang mendapatkan terapi opioid adekuat minimal yang dapat memberikan efek analgesia ringan. BTP merupakan suatu kondisi heterogen dalam bentuk episode yang bervariasi antar individu yang satu dengan lainnya. BTP dapat diklasifikasikan menjadi dua gambaran yang berbeda: nyeri tipe spontan dan nyeri tipe insidental. Prinsip terapi farmakologis pada BTP adalah pemberian opioid yang dibutuhkan. Beberapa artikel terbaru menunjukkan bahwa preparat fentanyl transmukosa dapat menghasilkan efek analgesia yang lebih baik dan lebih cepat, dibandingkan dengan pemberian placebo pada 30 menit pertama setelah pemberian. Beberapa studi perbandingan mengenai beberapa produk fentanyl telah dilakukan. Akhirnya, meskipun titrasi dosis telah direkomendasikan selama bertahun-tahun, dosis yang bermakna berdasarkan level toleransi opioid dapat memperkuat keuntungan dari produk obat tersebut.RingkasanBTP merupakan salah satu masalah serius yang dilaporkan oleh banyak pasien kanker meskipun mendapatkan terapi opioid reguler. Beberapa kelompok kecil pasien BTP telah diidentifikasi. Beberapa modalitas intervensi farmakologis yang berbeda telah tersedia. Studi-studi lebih jauh harus dilakukan untuk menilai efek baik dari obat-obatan ini dengan dukungan dalam proses pembuatan keputusan (decision-making) oleh pasien, dokter, dan pihak yang berkewajiban dalam pembiayaan, berdasarkan kondisi klinis individual.Kata-kata kuncibreakthrough pain, nyeri kanker, preparat fentanyl

PENDAHULUANBreakthrough cancer pain (BTP) telah dilaporkan sebagai suatu masalah yang berhubungan dengan pasien kanker yang menderita nyeri. BTP telah dilaporkan secara bervariasi dalam literatur, pada sekitar 4080% pasien kanker dengan nyeri, berdasarkan pada keadaan dan definisi yang digunakan untuk mengidentifikasinya [1]. Setelah bertahun-tahun, informasi yang tersedia semakin bertambah, meskipun banyak aspek dalam masalah ini yang masih membutuhkan klarifikasi lebih jauh.

PREVALENSI DAN DEFINISIPenelitian-penelitian awal mendefinisikan BTP sebagai suatu peningkatan nyeri transitorik menjadi lebih berat dibandingkan intensitas yang moderat yang terjadi pada nyeri dasar dengan intensitas moderat atau lebih ringan [2&&]. Definisi ini kedengarannya ambigu, karena intensitas background pain dan BTP dapat saling tumpang tindih, sehingga dalam menentukan pilihan terapi menjadi lebih sulit. Definisi lebih jauh kemudian diajukan, dengan memperkenalkan variabel kedua, yaitu pemberian opioid dalam dosis yang stabil mampu dalam pengendalian nyeri dasar( baseline pain)[3,4]. Sayangnya, prevalensi fenomena ini sering dinilai tanpa menggunakan definisi yang sesuai. Berbagai penelitian epidemiologis tidak menyediakan definisi yang bersifat a priori (berdasarkan prasangka), sehingga dilaporkan adanya variasi yang luas pada fenomena ini dalam tinjauan terbaru di mana artikel-artikel digabungkan tanpa mempertimbangkan set data minimal untuk mendeskripsikan BTP [5]. Berbagai perbedaan dalam evaluasi nyeri dasar / baseline dan episode BTP, serta pemberian analgesik non-opioid secara dramatis telah mengacaukan gambaran epidemiologis fenomena ini [613].POIN-POIN PENTING Sekitar 75% pasien dengan analgesik dasar (background analgesic) yang adekuat mengalami episode BTP. BTP harus didefinisikan dalam artian yang lebih benar yaitu sebagai suatu episode nyeri dengan intensitas yang berat pada pasien yang mendapatkan terapi opioid adekuat yang minimal dapat memberikan efek analgesia ringan. Breakthrough pain merupakan suatu kondisi heterogen dalam bentuk episode-episode yang bervariasi antarindividu. Prinsip terapi farmakologis BTP adalah pemberian opioid yang dibutuhkan. Preparat transmukosa fentanyl menghasilkan efek analgesia yang lebih baik dan lebih ceoat jika dibandingkan dengan placebo dan opioid oral pada 30 menit pertama setelah pemberian.

Perangkat diagnostik untuk membantu penegakan diagnosis BTP telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir. Perangkat tersebut mengajukan kepada dokter hal-hal yang harus dilakukan selama masa pemeriksaan pasien untuk dapat menegakkan diagnosis klinis, berdasarkan beberapa langkah sederhana [14,15]. Sulit untuk mendapatkan gagasan yang jelas mengenai fenomena yang kompleks ini tanpa evaluasi yang bersifat prospektif dan pendekatan analgesik yang optimal. Untuk alasan-alasan tersebut, BTP tampaknya harus diartikan secara lebih benar, yaitu sebagai suatu episode nyeri dengan intensitas yang berat pada pasien yang mendapatkan terapi opioid adekuat yang minimal dapat memberikan efek analgesia ringan [16,17]. Baru-baru ini ditemukan pula bahwa pada pasien dengan nyeri dasar / baseline dengan intensitas ringan (4/10 pada skala numerik 010), intensitas nyeri yang bermakna yang harus membutuhkan terapi BTP adalah sekitar 7/10 [18]. Aspek ini memiliki implikasi yang serius, baik dari sudut pandang epidemiologis maupun terapeutik. Pada suatu kelompok pasien yang telah mencapai efek analgesia baseline dengan opioid, dalam rentang nyeri ringan, prevalensi BTP masih relatif tinggi, yaitu sekitar 75%. Oleh karena itu, BTP harus didefinisikan dalam artian yang lebih benar yaitu sebagai suatu episode nyeri dengan intensitas yang berat pada pasien yang mendapatkan terapi opioid adekuat minimal yang dapat memberikan efek analgesia ringan [14,15]. Dalam suatu kelompok kecil pasien dengan penyakit abdomen, diestimasi bahwa sekitar 55% pasien dengan riwayat nyeri (background pain) yang terkendali dengan baik akan mengalami episode BTP. Persentase ini lebih tinggi (sekitar 90%) pada pasien dengan riwayat nyeri (background pain) yang tidak terkontrol, yang mendasari kebutuhan akan karakterisasi pasien BTP yang lebih baik, hanya setelah nyeri dasar / basal dioptimalisasi dengan cermat, seperti yang dipertimbangkan dari definisi BTP [19].

KARAKTERISTIK BREAKTHROUGH PAINBreakthrough pain merupakan suatu kondisi heterogen sebagai episode-episode yang bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya dan juga yang ditemukan dalam kelompok individu tersebut. Secara umum, breakthrough pain dapat diklasifikasikan menjadi dua gambaran yang berbeda, yaitu BTP tipe spontan dan tipe insidental. Tipe spontan terjadi tanpa ada faktor pencetus yang spesifik. Tipe insidental terjadi ketika terdapat faktor pencetus yang jelas yang mempresipitasi episode yang terjadi. BTP tipe spontan (biasa disebut sebagai BTP idiopatik) tidak dapat diprediksi dan terjadi tanpa faktor pencetus yang dapat diidentifikasi. Secara umum, onset dan durasi BTP spontan lebih panjang [17,20&]. Umumnya, tiga hingga empat episode dalam sehari dianggap dapat diterima ketika pada sebagian besar waktu pada hari tersebut pasien mendapatkan penanganan nyeri yang adekuat. Namun demikian, terdapat beberapa episode tipikal yang dicetuskan oleh beberapa faktor, contohnya, nyeri insidental yang disebabkan oleh metastasis tulang, yang dapat terjadi lebih sering, dan terapi harus berfokus pada keseimbangan aktivitas dan konsumsi analgesik dasar (background analgesia). Pasien dengan nyeri tipe insidental memiliki waktu yang lebih singkat untuk mencapai intensitas nyeri yang tertinggi dengan durasi nyeri yang pendek pula. Sebagian besar episode BTP ini ditimbulkan oleh pergerakan tubuh pasien dengan metastasis tulang. Episode-episode ini memiliki potensi untuk membaik dengan sendirinya, tergantung pada niat dan usaha pasien untuk memelihara aktivitas dan istirahatnya, yang merupakan pilihan pasien itu sendiri, meskipun durasi nyeri tidak dapat diprediksi, bahkan setelah aktivitas dihentikan. Sebagai konsekuensinya, pasien sering melakukan intervensi pada kegiatan sehari-harinya, karena mereka lebih memilih untuk membatasi aktivitas mereka untuk mencegah terjadinya BTP; atau menggunakan strategi individual dalam kegiatan sehari-hari mereka untuk mencegah terjadinya BTP.Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menilai karakteristik BTP tanpa menyeleksi pasien dengan algoritma diagnostik spesifik, penelitian-penelitian terkini, dengan menggunakan definisi BTP yang jelas, telah menunjukkan gambaran BTP yang lebih bermakna, dengan komponen-komponen variabelnya. Dalam suatu penelitian besar yang melibatkan 1412 pasien, 80.6% pasien melaporkan bahwa BTP memiliki pengaruh yang negatif secara signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Angka rata-rata episode yang terjadi adalah 2.4 per hari dengan intensitas rata-rata 7.4/10. Onset BTP lebih sering terjadi dengan cepat (10 menit) (sekitar 69%) bukan secara bertahap (>10 menit). Pada pasien yang melaporkan onset BTP yang cepat, hal ini dapat diprediksi pada sekitar setengah dari jumlah kasus, sedangkan BTP dengan onset bertahap (>10 menit) lebih sulit diprediksi. Durasi rata-rata episode BTP yang tidak diterapi adalah sekitar 30 menit [20&]. Karakteristik-karakteristik ini dapat berubah selama perjalanan penyakit. Contohnya, pasien lanjut usia yang sedang mendapatkan terapi paliatif, memiliki angka Karnofsky yang lebih rendah, dengan episode BTP yang lebih jarang dalam sehari, onset BTP yang lambat, dan BTP yang lebih sulit diprediksi, dibandingkan dengan pasien yang yang diperiksa pada klnik perawatan nyeri atau bangsal onkologi. Penelitian-penelitian epidemiologis besar lainnya menunjukkan bahwa waktu rata-rata untuk mencapai intensitas nyeri tertinggi adalah 10 menit, meskipun nyeri pada pergerakan mungkin memiliki onset yang lebih pendek dengan durasi 60 menit [17].

PILIHAN TERAPIPrinsip terapi farmakologis BTP adalah pemberian opioid sesuai dengan yang dibutuhkan. Opioid oral, terutama morfin oral, telah menjadi terapi utama BTP. Secara khusus, morfin oral telah digunakan selama bertahun-tahun dalam dosis opioid yang proporsional sebagai analgesik dasar (background analgesia) [21]. Namun demikian, onset dan durasi aksi opioid oral seperti morfin atau oksikodon kadang tidak sesuai sebagai untuk digunakan sebagai terapi banyak episode BTP dengan onset dan durasi yang singkat. Beberapa penelitian farmakokinetik menunjukkan korelasi yang tidak kuat antara efek analgesik opioid-opioid di atas dengan dinamika episode BTP tipikal [22]. Meskipun demikian, panduan NICE (website: www. nice.org.uk/cg140) menyarankan pemberian morfin oral sebagai obat lini pertama, berdasarkan pada perbedaan tipis yang dilaporkan dalam studi perbandingan dengan opioid onset cepat / rapid onset opioids (ROOs). Terdapat berbagai alasan metodologis untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan minimal yang dilaporkan dalam studi-studi komparatif (lihat di bawah). Sebagai contoh, durasi BTP biasanya terbatas pada waktu, dan karena sebagian besar episode membaik dengan sendirinya, opioid oral diharapkan dapat memberikan efek analgesik setelah 30-45 menit [22], dan jarang ditemukan perbedaan pada interval waktu ini, ketika sebagian besar episode BTP menghilang secara spontan. Belum ada penelitian yang pernah menguji efek opioid oral pada BTP, selain sebagai bahan pembanding dalam penelitian preparat fentanyl (lihat di bawah). Beberapa artikel terbaru mengemukakan bahwa ROOs menghasilkan efek analgesik yang lebih baik jika dibandingkan dengan efek placebo pada 30 menit pertama setelah pemberian, sedangkan morfin oral memberikan efek yang sedikit lebih baik dibandingkan placebo [23,24].Karena sebagian besar episode BTP mencapai puncak intensitas dalam beberapa menit dan bertahan selama 30-60 menit, kecepatan onset analgesik krusial sebagai terapi nyeri yang efektif. Berbagai jenis teknologi telah dikembangkan untuk memungkinkan tercapainya efek analgesik yang cepat dengan opioid poten, seperti fentanyl, yang diberikan via rute non-invasif. Fentanyl merupakan obat yang bersifat lipofilik kuat dan poten, yang sesuai untuk membantu jalur masuk obat melalui mukosa dan kemudian menembus sawar darah-otak untuk menghasilkan efek analgesia yang cepat.Beberapa generasi preparat fentanyl transmukosa yang berbeda-beda, dengan ciri khas dan availabilitasnya masing-masing, telah diperkenalkan pada pasar. Produk-produk ini dapat menghasilkan efek cepat yang dapat diobservasi secara klinis 1015 menit setelah obat dimasukkan. Karena produk-produk ini telah diujikan pada pasien-pasien yang dapat menoleransi opioid, seluruh penelitian mengenai pemberian ROOs telah merekomendasikan bahwa obat-obatan ini harus diberikan pada pasien yang mendapatkan terapi morfin oral dengan dosis ekuivalen minimal 60 mg. karakteristik opioid yang dapat digunakan sebagai terapi BTP dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Karakteristik opioid yang digunakan sebagai terapi BTPOnset AnalgetikAvailabilitasDwell time

Morfin oral30-4530NA

Oksikodon oral30-4540-50NA

OTFC15-305015

FBT156515

SLF10-15702

FBSF 15652-5

INFS5-1080-90NA

FPNS5-1070NA

BTP, breakthrough cancer pain; FBSF, fentanyl buccal soluble film; FBT, fentanyl buccal tablet; FPNS, fentanyl pectyn nasal spray; INFS, intranasal fentanyl spray; OTFC, oral transmucosal fentanyl cytrate; SLF, sublingual fentanyl.Sitrat fentanyl transmukosa oral / oral transmucosal fentanyl citrate (OTFC) merupakan produk pertama yang diterima sebagai terapi BTP. Satu unit dosis obat ini berbentuk menyerupai lollipop atau benda berbentuk belah ketupat (pastiles; lozange) dengan gagang / stick, dan terdiri dari lozange yang diberi rasa manis, yang berisi fentanyl, pada handle / gagang plastiknya. Lozange itu kemudian digosokkan pada mukosa buccal hingga benar-benar larut/hancur (yang tidak boleh lebih dari 15 menit, jika digunakan dengan sesuai). Produk-produk generasi kedua terbukti lebih baik dari placebo dan morfin oral. Tablet buccal fentanyl memfasilitasi absorpsi fentanyl melalui mukosa oral dengan menggunakan teknologi absorpsi effervescent (berbuih, bergelembung) yang lebih canggih [25]. Formulasi fentanyl sublingual yang dapat larut dalam beberapa menit telah dikembangkan. Formulasi ini terdiri dari tablet kecil yang terbuat dari campuran partikel-partikel obat yang aktif dan partikel-partikel karier yang larut dalam air yang dilapisi oleh suatu agen yang bersifat mucoadhesive. Baru-baru ini, teknologi spray sublingual dikembangkan. Akhirnya, suatu selaput tipis (film) yang dapat diserap oleh mukosa buccal pun dipasarkan, dengan karakterisasi teknologi penghantaran obat muko-adesif yang bersifat bioerodible. (karakteristik dengan teknologi bioerodible muco-adhesive delivery) [25].Pemberian fentanyl intranasal dapat memberikan beberapa keuntungan, contohnya pada pasien dengan kerusakan mukosa atau disfungsi sistem salivatorik. Dua formulasi fentanyl nasal telah dikembangkan, larutan akuos (INFS) dan juga sistem pemberian obat berdasarkan pectin dalam bentuk gel yang dirancang untuk diaplikasikan pada permukaan mukosa untuk mengoptimalisasi absorpsi obat [25].Penelitian komparatif di antara produk-produk fentanyl masih kurang. Pada suatu survei terbaru. Modalitas pemberian dan waktu untuk mencapai efek analgesik dari OTFC relatif ditekankan [26]. OTFC, yang diformulasikan sebagai obat yang dapat dikonsumsi sendiri oleh pasien dalam bentuk matriks obat yang solid, membutuhkan disiplin dan fokus dari pasien, yang dapat menyebabkan berkurangnya kepatuhan terapi pasien, terutama pasien dengan gejala lemah pada tubuh, yang merupakan gejala umum pada stadium lanjut suatu penyakit. Di lain pihak, tampaknya penggunaan OTFC dapat dihentikan jika efek analgesia yang cukup telah tercapai, karena unit obat dapat dikeluarkan dari mulut dengan mudah dengan menggunakan handle obat. Fleksibilitas seperti itu tidak ditemukan dalam pemberian ROOs. Manfaat yang tidak lazim ini belum pernah dipelajari secara ilmiah Lebih jauh lagi, pendekatan ini harus dilakukan oleh pasien yang trampil dan tidak dapat dilakukan oleh pasien usia lanjut atau pasien dengan penyakit berat. Pemberian ROOs lain diterima baik oleh pasien dalam hal kemudahan dan modalitas pemberian, rasa, serta kesan secara keseluruhan. Terlepas dari efektivitasnya, yang telah diteliti dalam percobaan kontrol BTP [25], generasi kedua ROOs tampaknya memiliki karakteristik yang lebih baik dalam beberapa masalah praktis. Hal ini merupakan aspek yang fundamental mengenai penggunaan obat-obatan ini, karena pendidikan dan kepatuhan pasien dalam terapi merupakan faktor yang paling penting dalam penggunaan obat-obatan ini [26].Saat ini, hanya terdapat dua penelitian komparatif mengenai ROOs. INFS lebih baik dari OTFC dari segi onset dan efektivitas [27]. INFS dan PFNS dapat menghasilkan profil analgesik yang sama jika diberikan dalam dosis yang diperkirakan merupakan dosis ekuianalgesik, meskipun berbeda dari segi availabilitas obat [28].

DOSIS OBATDosis kebutuhan ROO yang harus diresepkan kepada pasien masih merupakan perdebatan dalam literatur. Terdapat suatu rekomendasi bahwa dosis harus dititrasi melawan efek yang dimulai dengan dosis terrendah yang tersedia [29]. Alasan dari temuan ini tidak dijelaskan dengan jelas, mengingat bahwa adanya toleransi terhadap obat tertentu harus menjadi dasar pemberian dosis proporsional obat-obatan yang diberikan sebagai analgesia dasar (background analgesia), sebagaimana penggunaan tradisional opioid oral [21]. Dari segi praktikal, penggunaan berbagai unit atau spray ROOs yang berbeda sebagai terapi bagi setiap episode kemungkinan memakan banyak waktu, melebihi durasi spontan BTP yang dapat berkurang secara spontan, seperti yang dibuktikan pada pasien yang diterapi dengan placebo [30,31]. Selain itu, titrasi dosis dapat mempersulit penggunaan praktis ROOs dalam aktivitas sehari-hari, terutama di rumah atau di klinik rawat jalan. Sebagian besar pasien mungkin enggan untuk mencoba dosis ini dan menghindari penggunaan obat-obatan tersebut, dan pada akhirnya memilih penggunaan morfin secara tradisional [26].Data yang dilaporkan dalam literatur harus diinterpretasikan secara akurat. Indikasi untuk melakukan titrasi pada dosis berawal dari beberapa penelitian yang sebenarnya dirancang untuk kepentingan lain, misalnya untuk membandingkan produk fentanyl dengan placebo atau opioid oral. Pada pasien yang berhasil menjalani terapinya, dosis yang dapat segera melepaskan pasien dari keluhannya (dosis penyelamatan / rescue) bersifat cukup prediktif terhadap dosis OTFC yang efektif. Dalam salah satu penelitian kontrol OTFC, hubungan antara dosis OTFC dan pemberian opioid yang terjadwal dengan pasti telah ditemukan, dan dosis rescue reguler cukup bersifat prediktif terhadap dosis OTFC yang efektif. Namun demikian, hanya 19% dari variabilitas dosis akhir OTFC yang dijelaskan dengan dosis basal opioid, berdasarkan nilai low-R-square dari model yang digunakan [30,31]. Selain itu, data yang dikumpulkan dari berbagai percobaan OTFC menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara dosis breakthrough dan dosis around-the-clock, meskipun terdapat variabilitas antarindividu yang relevan pada kebutuhan dosis pasien sebagai terapi BTP [32]. Penelitian-penelitian ini memiliki rancangan yang lebih kaya, yang mengeksklusi pasien yang tidak memberikan respon terhadap titrasi dosis atau ketika dosis maksimum dicapai. Dari sudut pandang ilmiah yang murni, tidak terdapat bukti akan kebutuhan titrasi dosis, karena pernyataan muncul sebagai akibat dari observasi sekunder yang menyatakan bahwa tidak ditemukan adanya korelasi antara regimen opioid basal dan dosis ROO yang berhasil setelah dititrasi. Dengan kata lain, kebutuhan akan titrasi tidak pernah dinyatakan dalam penelitian komparatif yang nyata antara strategi titrasi obat dan strategi non-titrasi. Sebaliknya, beberapa studi perbandingan yang telah ada menunjukkan bahwa dosis ROOs sebanding dengan regimen opoid dasar lebih efektif daripada strategi titrasi tanpa memikirkan efek samping yang tinggi. [33].Penelitian-penelitian ini telah mengonfirmasi hal ini sebelumnya, dan survei yang bersifat konfirmatorik menunjukkan keamanan pendekatan ini pada sejumlah besar pasien tanpa efek samping yang dapat mengancam nyawa, bahkan pada pasien usia lanjut atau pasien yang sedang diterapi dengan opioid dosis tinggi [27,28,3339]. Depresi nafas, yang merupakan efek samping yang paling ditakutkan, belum pernah terjadi sejauh ini, dan kasus gawat darurat pun belum pernah terjadi [36]. Di lain pihak, dalam studi di dunia nyata, pasien-pasien yang diterapi dengan morfin oral dosis rata-rata, yaitu 132 mg, membutuhkan 800 mg OTFC [10], menunjukkan bahwa proses titrasi dosis bahkan memungkinkan pemberian dosis yang lebih besar dibanding dosis yang diperkirakan dari pemberian dosis proporsional regimen opioid basal.Dari sudut pandang klinis, pasien yang mendapatkan opioid dosis tinggi sebagai regimen analgesik basalnya memiliki kemungkinan merasakan efek samping yang merugikan jika dilakukan titrasi dosis dengan dosis ROOs awal yang minimal, karena pasien-pasien tersebut bersifat toleran terhadap opioid. Proses ini dapat memakan waktu lama dan dapat menurunkan kepatuhan terapi pasien. Sembari menunggu isu kontroversial ini dipecahkan dalam penelitian lebih lanjut,kompromi yang terpercaya bisa dimulai dengan dosis yang relatif lebih tinggi dari ROO pada pasien yang sangat toleran, sampai informasi lebih lanjut akan tersedia untuk menyelesaikan pertanyaan.

KESIMPULANBTP merupakan salah satu masalah serius yang dilaporkan terjadi pada sekitar 70% pasien kanker, meskipun telah mendapatkan terapi opioid reguler serta memiliki riwayat nyeri yang terkontrol dengan baik. Terdapat beberapa modalitas intervensi farmakologis yang bergantung pada pilihan dan karakteristik individu. Perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih jauh untuk menilai efek baik yang murni dari ROOs untuk membantu proses pembuatan keputusan / decision-making oleh pasien, dokter, dan pihak yang bertanggung jawab dalam proses pembiayaan, berdasarkan kondisi klinis individu [33]. Pemberian dosis yang bermakna, berdasarkan tingkat toleransi opioid dapat memperkuat efek-efek obat yang menguntungkan, karena pendekatan ini dapat menghasilkan efektivitas yang lebih baik dan lebih cepat. Risiko ketergantungan opioid akibat penggunaan jangka panjang harus dipelajari pada penelitian-penelitian di masa depan.