52
BAB I PENDAHULUAN Wajah adalah ikon seseorang. Melalui wajah, karakter seseorang dapat dikenali, sebab wajah mengandung banyak arti. Wajah tersusun dari beragam tulang, yang terdiri dari tulang mandibula, maksila, zigoma, nasal dan otot-ototnya. Apabila suatu kejadian atau kecelakaan menyebabkan suatu jejas di daerah wajah yang menyebabkan patah tulang wajah (fraktur maxilofacial), maka dapat dipastikan bentuk wajah akan berubah menjadi kurang proposional. Terjadinya berbagai macam kecelakaan di Indonesia yang dapat menyebabkan gangguan pada wajah, merupakan masalah yang seharusnya mendapat perhatian yang lebih karena fungsi kepala dan leher, khususnya wajah untuk dapat dilakukan penanganan yang baik secara cepat sehingga menghindarkan terjadinya kecacatan atau perburukan kecacatan. Cacat pada wajah bukan sekedar mengganggu penampilan tetapi lebih dari itu karena di daerah wajah banyak struktur penting, maka trauma maxilofacial juga berhubungan dengan gangguan penglihatan, gangguan bicara, gangguan menelan, gangguan jalan nafas, sampai cedera otak. Begitu banyak struktur penting di wajah inilah, maka penatalaksaan trauma maxilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai hasil yang memuaskan baik dari segi kosmetik maupun perbaikan fungsi. Penatalaksanaan penderita fraktur maxilofacial dengan cara terapi pembedahan. Terapi ini dimaksudkan untuk mengatasi 1

Trauma Maksilofasial JADI!!

Embed Size (px)

DESCRIPTION

trauma maxilofasial

Citation preview

Page 1: Trauma Maksilofasial JADI!!

BAB I

PENDAHULUAN

Wajah adalah ikon seseorang. Melalui wajah, karakter seseorang dapat dikenali, sebab

wajah mengandung banyak arti. Wajah tersusun dari beragam tulang, yang terdiri dari tulang

mandibula, maksila, zigoma, nasal dan otot-ototnya. Apabila suatu kejadian atau kecelakaan

menyebabkan suatu jejas di daerah wajah yang menyebabkan patah tulang wajah (fraktur

maxilofacial), maka dapat dipastikan bentuk wajah akan berubah menjadi kurang

proposional.

Terjadinya berbagai macam kecelakaan di Indonesia yang dapat menyebabkan

gangguan pada wajah, merupakan masalah yang seharusnya mendapat perhatian yang lebih

karena fungsi kepala dan leher, khususnya wajah untuk dapat dilakukan penanganan yang

baik secara cepat sehingga menghindarkan terjadinya kecacatan atau perburukan kecacatan.

Cacat pada wajah bukan sekedar mengganggu penampilan tetapi lebih dari itu karena

di daerah wajah banyak struktur penting, maka trauma maxilofacial juga berhubungan dengan

gangguan penglihatan, gangguan bicara, gangguan menelan, gangguan jalan nafas, sampai

cedera otak. Begitu banyak struktur penting di wajah inilah, maka penatalaksaan trauma

maxilofacial perlu terus dikembangkan guna mencapai hasil yang memuaskan baik dari segi

kosmetik maupun perbaikan fungsi.

Penatalaksanaan penderita fraktur maxilofacial dengan cara terapi pembedahan.

Terapi ini dimaksudkan untuk mengatasi morbiditas yang terjadi, seperti cacat tulang muka

(dishface deformity); deformitas hidung (deviasi ke lateral atau ke dalam/pesek); obstruksi

ductus nasolacrimalis yang menyebabkan epiphoria (mata berair); destruksi nervus

olfactorius menyebabkan anosmia (hilangnya pembauan); kelainan mata seperti diplopia

(penglihatan dobel); enophtalmus (mata masuk ke dalam), perubahan dari garis pupil kedua

mata (pupil tidak simetris), sampai dengan kebutaan; maloklusi; dysaestesia oleh karena

gangguan nervus infra orbitalis dan nervus alveolaris superior. Terapi fraktur maxilofacial

perlu memperhatikan pengembalian oklusi yang baik serta mobilisasi lebih awal sehingga

perbaikan fungsi bisa terjadi lebih cepat. Di dalam referat ini, akan dibahas lebih dalam

mengenai fraktur maxilofacial.

1

Page 2: Trauma Maksilofasial JADI!!

BAB II

DEFINISI, EPIDEMIOLOGI, DAN ETIOLOGI

2.1 Definisi

Definisi trauma sangatlah susah untuk diuraikan dengan tepat dan bentuknya tidak

dapat dikenali secara langsung dengan kasat mata, namun hanya dapat diketahui dengan

melihat gejala-gejala yang diakibatkan oleh trauma. Menurut Peter A. Livine (1998):

“Sebuah trauma disebabkan oleh stress, yang bergerak di luar pengalaman normal atau di luar

kesadaran manusia dan menimpa hampir setiap orang yang menderita beban yang berat” .

Ringkasnya, seperti ancaman keras terhadap kehidupan atau ancaman terhadap integritas

tubuh manusia.

2.2 Klasifikasi Cedefa Maxilofacial

2.2.1 Cedera Jaringan Lunak

a. Abrasi kulit, tusukan, laserasi, tatoo

b. Cedera saraf, cabang saraf facial

c. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen

d. Cedera kelopak mata

e. Cedera telinga

f. Cedera hidung

Evaluasi dan penanganan cedera jaringan lunak secara dini mutlak perlu untuk

mendapatkan hasil kosmetik dan fungsional yang memuaskan dalam rekosntruksi wajah.

Pemeriksaan fisik awal termasuk evaluasi lengkap dari seluruh luka, meskipun jika perlu

dilakukan anestesi lokal. Perhatian khusus harus diberikan untuk memastikan luas cedera

pada daerah-daerah di sekitar mata, daerah nasolakrimalis, di dekat ataupun melibakan

saraf facialis, dan di sekitar duktus parotis. Semua jaringan harus ditangani dengan sangat

hati-hati dan semua benda aasing dikeluarkan dengan irigasi menggunakan garam steril.

Mungkin diperlukan penyikatan dengan sikat bedah, untuk mencegah terbentuknya tatoo,

yaitu bila mana debris ataupun kotoran telah melekat pada kulit. Debridement wajah

harus dilakukan seminimal mungkin. Karena wajah yang kaya suplai darah, maka

fragmen-fragmen kecil jaringan yang akan mati pada bagian tubuh lainnya, dapat

2

Page 3: Trauma Maksilofasial JADI!!

bertahan pada wajah. Laserasi harus dijahit menurut lapisan anatomi, dimulai pada bagian

dalam luka dengan benang yang dapat diserao dan diteruskan hingga ke permukaan,

dimana dibuat jahitan subkutan berupa jahitan permanen ataupun dengan benang yang

dapat diserap. Jahitan sub kutikuler ataupun kulit yang permanen dapat dipakai untuk

menutup kulit dan perlu diangkat. Penutupan kulit perlu dilakukan dengan cermat dan

halus agar parut minimal. Setelah ditutup maka laserasi wajah dapat disokong dengan

plester pemutup kulit selama beberapa minggu atau bulan untuk meminimalkan jaringan

parut. Keputusan untuk memberi antibiotik harus diseuaikan dengan masalah tiap-tiap

kasus, apakah terkontaminasi, terutnda ditutup, dan pertimbangan lainnya. Luka yang

terkontaminasi luas, atau luka yang mencapai tulang oerlu diatasi dengan antibiotik.

2.2.2 Cedera tulang

a. Fraktura sepertiga atas muka

b. Fraktura sepertiga tengah muka

i. Fraktura hidung

ii. Fraktura maksilari

Le Fort I, fraktura maksilari transversa

Le Fort II, fraktura piramidal

Le Fort III, disjunksi kraniofasial

iii. Fraktura zigomatika

iv. Fraktura orbital

c. Fraktura sepertiga bawah muka

2.3 Epidemiologi

Jumlah kendaraan bermotor di Indonesia makin lama makin meningkat dengan

konsekuensi bertambahnya kecelakaan lalu lintas. Dari data yang dilaporkan ternyata cidera

daerah kepala dan leher cukup tinggi. Trauma maksilofasial merupakan salah satu dari aspek

dari trauma keala dan leher yang perlu mendapat perhatian.

Dari data penelitian itu menunjukan bahwa kejadian trauma maksilofasial sekitar 6%

dari seluruh trauma. Kejadian fraktur mandibula dan maksila terbanyak diantara 2 tulang

lainnya, yaitu masing-masing sebesar 29,85%, disusul dengan fraktur zygoma 27,64%, dan

fraktur nasal 12,66%. Pemderita fraktur maksilofasial ini terbanyak pada laki-laki usia

3

Page 4: Trauma Maksilofasial JADI!!

produktif yaitu usia 21-30 tahun, cedera otak ringan sampai berat ekitar 56%, dan trauma

penyerta terbanyak adalah cedera.

2.4 Etiologi

a. Kecelakaan lalu lintas

b. Kecelakaan kerja

c. Perkelahian

Etiologi secara khusus akan dibahas dalam maing-maing pembahasan.

4

Page 5: Trauma Maksilofasial JADI!!

BAB III

FRAKTUR MAKSILOFASIAL

Trauma pada tulang dan jaringan lunak pada wajah dapat ditanganin oleh beberapa

ahli, antara lain ahli bedah plastik, ahli bedah mulut, dan ahli THT. Namun yang terbanyak

dilakukan olehspesialis THT karena membutuhkan kemampuan dalam merestorasi dan

mengembalikan baik dalam fungsi maupun kosmetiknya.

Bila terjadi trauma pada jaringan lunak saja, penanganannya dilakukan debridement

berdasarkan prinsip operasi dengan menggunakan teknik-teknik khusus dengan

mempertimbangkan pula faktor kosmetik dan efek komplikasi pasca operasi. Namun fraktur

pada tulang wajah dapat terjadi tanpa laserasi pada jaringan lunak, tapi biasanya akan

terdapat laserasi atau kerusakan pada jaringan lunaknya.

3.1 Penanganan Emergensi

Fraktur pada tulang-tulang wajah penyebab terbesarnya adalah karena kecelakaan.

Jika pasien tidak sadar, disertai trauma pada dada, perut, ataupun ekstremitas, maka

setidaknya perlu kita curigai apakah ada kemungkinan yang menyebabkan pula terjadinya

fraktur pada tulang-tulang wajah.

Bila area tempat terjadinya fraktur yang terletak pada tulang-tulang wajah, dan

ternyata kita menemukan pasien dalam keadaan tidak sadar, maka setidaknya ada 2 hal yang

harus kita perhatikan, yaitu:

1. Membuka jalan nafas (airways)

2. Mengontrol perdarahan yang ada

Hal itu dikarenakan apabila kita menemukan perdarahan dari trauma laserasi yang

berat, maka kemnungkinan besar akan dapat menyebabkan obstruksi pada jalan nafasnya.

Pada pasien dengan keluhan fraktur pada mandibula maka kemungkinan paien sedang

dalam kondisi tidak sadar, dan kita harus mengontrol keadaan mandibulanya. Pada pasien

tersebut, jalan nafas harus tetap kita yakinkan dalam kondisi bebas. Untuk

mempertahankannya kita lakukan pertahanan terhadap jalan nafas secara adekuat denang

5

Page 6: Trauma Maksilofasial JADI!!

menggunakan traksi lidah, yang bisa kita lakukan dengan menggunakan pakaian pasien yang

nanti akan diikat pada ujung lidah pasien.

3.2 Diagnosis

Diagnosis pada trauma harus dilakukan sebelum rencana penanganan pasien, karena

kesalahan dalam diagnosis dapat memperberat trauma. Bila ada trauma berupa abrasi laserasi

harus kita periksa perinspeksi, palpasi, dan irigasi. Kita juga harus mencurigai adanya trauma

pada duktus nasolakrimalis.

Sering terjadi adanya laserasi yang beratpada bagian leher yang diikuti dengan adanya

kerusakan pada nervus fasialis, maka sangatlah perlu kita lakukan pemeriksaan status nervus

VII ini. Fraktur pada tulang wajahpun dapat diketahui per palpasi di kedua bagian wajah

dimulai dari bagian:

Frontal

Supraorbital

Orbita

Nasal

Zygoma

Malar eminen

Mandibula

Apabila pada pemeriksaan per palpasi ternyata kita temukan tanda-tanda adanya

krepitasi atau false motion, maka tindakan per palpasi harus dilakukan dengan tekanan yang

lebih keras untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Bila ada dental oklusi maka juga

harus kita lakukan pemeriksaan pada giginya dengan lebih akurat.

Bila kita temukan edema pada pasca trauma fraktur, yang juga bisa menyertai adanya

trauma tulang harus kita lakukan pemeriksaan penunjang dengan menggunakan rontgen sinar

x dan tindakan eksplorasi dengan menggunakan general anestesi.

Adanya rhinorea yang berupa cairan cerebrospinal (LCS) merupakan indikasi dari

adanya fraktur pada sinus etmoidalis dan harus kita pikirkan adanya kemungkinan infeksi

pada meningealnya. Pada mulut dan laringnya juga harus dilakukan pemeriksaan karena bila

kita menemukan adanya gigi yang patah maka kita harus segera mencurigai bahwa nanti akan

ada kemungkinan aspirasi benda asing ke saluran nafas.

6

Page 7: Trauma Maksilofasial JADI!!

3.3 Penangnan pada Trauma Jaringan Lunak

Untuk menangani fraktur tulang wajah, yang harus kita perhatikan adalah:

1. Penanganan terhadap jaringan lunaknya

2. Penanganan terhadap tulang-tulang yang terkena

Apabila pada reposisi tulang sulit kita lakukan, maka reposisi pada jaringan lunak

harus kita dahulukan, hal ini banyak terjadi pada kasus fraktur tulang wajah. Komplikasi

biasanya akan segera muncul bila dalam jangka waktu lebih dari 12 jam tidak dilakukan

tindakan. Secara situasional, dapat kita lakukan penanganan awal berupa reposisi tulang dan

fiksasi.

Penanganan pada jaringan lunak dilakukan dengan cara membersihkan daerah trauma,

kemudian dilakukan irigasi dan scrabing dengan tujuan untuk menghilangkan benda asing

yang ada pada luka tersebut. Selain itu kita bisa melakukan debridement dengan melakukan

insisi pada jaringan kulit yang mengalami prois nekrosis. Insisi ini harus dilakukan

berdasarkan garis-garis pada kulit (langer’s skin).

3.4 Penanganan

Penanganan yang kita lakukan pada lokasi trauma luka dimulai dari luka yang paling

dalam ke arah luka yang paling luar. Instrumen yang kita gunakan merupakan faktor yang

penting untuk dipersiapkan karena kita akan menggunakannya dalam perbaikan pada jaringan

fraktur tersebut.

Peralatan lain yang digunakan adalah benang yang baik dan yang mempunya dampak

minimal terhadap iritasi jaringan kulit. Cara penjaitan luka bisa kita lakukan dengan dua cara,

yaitu dengan menggunakan menggunakan benang ub kutikuler dan benang interrupted.

Bila menggunakan benang yang interrupted, maka benang tersebut harus kita angkat

48 – 72 jam setelah dilakukan penjaitan. Lalu diberikan kassa yang diplester. Sedangkan

apabila menggunakan benang subkutikuler kita tidak perlu melepas benangnya karena akan

menyatu dengan kulit dalam hitungan minggu. Apabila ada tanda-tanda infeksi maka kita

harus memberikan antibiotik.

7

Page 8: Trauma Maksilofasial JADI!!

Penanganan pada Fraktur Tulang

Imobilisasi pada fragmen-fragmen tulang harus dilakukan sampai terjadi

penyambungan tulang dan fungsinya berangsur membaik kembali. Pada simple fracture

biasanya hanya dilakukan imobilisasi dan tidak perlu reposisi, sedangkan pada fraktur

komplit kita harus merujuk ke ahli untuk penanganan lebih lanjut. Hal itu dikarenakan fiksasi

eksternal untuk imobilisasi fraktur, sulit untuk kita lakukan. Terdapat beberapa fraktur yang

tidak dapat dikembalikan ke posisi awal dengan hanya menggunakan intermaxillary dan

fiksasi internal.

3.5 KLASIFIKASI FRAKTUR

3.5.1 Fraktur Nasal

Anatomi Hidung

Hidung Luar

Bagian superior dari hidung luar meliputi tulang hidung, prosesuss frontalis dari

maxilla. Sedangkan pada bagian inferiornya terdiri dari kartilago yang ditutupi oleh kulit dan

jaringan konektif. Kartilago hidung luar, terdiri dari kartilago hidung lateral, kartilago ala

mayor, kartilago ala minor, septum kartilago dari magin naterior dan kartilago sesamoid.

Kartilago berdinding tipis dan fleksibel untuk menutupi kedua dinding hidung medial dan

lateral. Kolumela yang memisahkan nares dibentuk oleh margin inferior dari spetal kartilago,

dua kartilago ala mayor media, tulang hidung anterior bersama dengan kulit.

Hidung Dalam

Hidung dalam merupakan ruangan untuk pertukasran udara dan air conditioner yang

terdiri dari septum dan turbinet. Dinding dan dasar hidung dalam kaku, dengan ukuran lebar 3

inchi dan tinggi 3 inchi. Atap hidung dalam dari depan hingga belakang memiliki dasar yang

bertingkat-tingkat. Hidung dalam berisi septum dan turbinet yang membentuk ronga udara

yang ireguler, yang merupakan tempat aliran udara. Septum membagi rongga hidung dalam

menjadi dua bagian dengan ukuran yang sama.

Septum

8

Page 9: Trauma Maksilofasial JADI!!

Septum berukuran tipis terdapat di tengah dan membagi hidung dalam menjadi dua

rongga. Tulang septim terdiri dari tulang kartilago atau quardangular, perpendikular dibawah

ethmoid, vomer pada tulang spenoid posterior, jembatan yang membentuk cruz maxilla dan

cruz palatine.

Aliran darah

Arteri Sphenopalatina merupakan cabang dari arteri maxillaris interna yang

memperdarahi konka, meatus, dan septum. Cabang anterior dan posterior arteri ethmoidalis

berasal dari arteri ophtlamika yang memperdarahi sinus ethmoidalis dan sinus frontalis dan

atap dari rongga hidung. Cabang superior dari arteri labialis superior dan infra orbita dan

arteri alveolar merupakan cabang dari arteri maxillaris interna yang memperdarahi sinus

maxillaris. Vena hidung berasal dari pleksus cavernosus yang terletak di bawah membrane

mukosa. Pleksus ini meliputi konka media, konka inferior, dan bagian inferior dari septum.

Dinding lateral

Dinding lateral dari hidung dalam, permukaannya ireguler. Reangan diantara konka

inferior, konka media, dan konka superior dan dinding lateral disebut meatus inferior, meatus

mediam dan meatus superior. Osteum dari sinus frontalis, maxillaris, dan ethmoidalis anterior

terdapat di meatus media.

Definisi Fraktur Nasal

Fraktur nasal adalah fraktur yang merupakan insiden terbesar yang terjadi pada

fraktur-fraktur tulang wajah. Hal ini dikarenakan pada tulang nasal tidak terlindungi dari luar

dan merupakan bagian yang menonjol dari tulang wajah. Kejadian yang sering terjadi adalah

simple fractur dan dislokasi yang biasanya terjadi bersamaan.

Klasifikasi fraktur pada nasal

1. Simple depresi

2. Lateral displacement dari jembatan tulang hidung, dengan adanya pemiasahan

artikulasi dari kedua sisi di antara tulang hidung dan tulang maksila, jadi dapat terlihat

adanya deviasi septum.

3. Pendataran daari jembatan hidung disertai adanya dislokasi dan fraktur cominutive.

Selain itu, fraktur tulang hidung juga dapat dibagi atas 3 macam, yaitu:

9

Page 10: Trauma Maksilofasial JADI!!

1. Fraktur hidung sederhana

2. Fraktur tulang hidung terbuka

3. Fraktur tulang hidung nasoethmoid

Gejala dari fraktur nasal adalah:

1. Pembengkakan pada hidung luar dengan disertai atau tidak disertai adanya deformitas

2. Ekimosis

3. Epistaksis

4. Krepitasi

Diagnosis

Diagnosi dari pasien dengan fraktur nasal adalah dengan menggunakan pemeriksaan

fisik pada lokalisasi di hidung, kemudian ditunjang dengan pemeriksaan rontgen. Namun,

pemeriksaan rontgen hanya memberikan sedikit informasi dibandingkan dengan pemeriksaan

fiik pada hidung.

Penatalaksanaan

Melakukan reduksi pada pasien dengan emnggunakan anestesi lokal ataupun general

Anestesi yang dilakukan secara general mempunyai efek lebih baik bila dibandingkan

dengan anestei lokal terutama bila pasien tidak koperatif.

Anestesi lokal dilakukan dengan menggunakan dua obat. Cocain, digunakan untuk

memblok saraf pada mukosa hidung dan procain untuk memblok saraf pada bagian

hidung luar.

Anestesi yang dilakukan secara general sering dilakukan pada pasien anak-anak.

Teknik operasi

1. Elevator diletakkan di antara septum hidung dan tulang yang terdepresi

2. Dengan gerakan mengangkat, tulang yang fraktur dikembalikan ke posisi awal

3. Jika terdapat displacement, dilakukan penekanan dengan jempol untukk

mengembalikan tulang hidung ke posisi awal

4. Kombinasi gerakan no. 2 dan 3 tersebut akan mengembalikan tulang hidung ke posisi

awal

5. Bila ada deformitas pada dorsum hidung yang menyebabkan hidung defleksi, maka

dapat dilakukan reduksi fragmen fraktur ke posisi awal

10

Page 11: Trauma Maksilofasial JADI!!

6. Bila ada deviasi septum maka kita menggunakan elevator dari samping untuk

mengembalikan septum ke posisi semula

7. Pada fraktur kominutif dari tulang nasal dan septum nasal, diperlukan penanganan

khusus berupa reduksi terbuka dari tulang nasal dan septum nasal dengan fiksasi

langsung dan tidak langsung

8. Stainless steel wire diperlukan untuk memperbaiki jembatan hidung

9. Penggunaan jahitan pada hidung yang berulang-ulang pada sudut nasifacial dapat

memperburuk fraktur cumminuted

10. Penggunaan strapping pada telinga luar yang ditambah metal nasal splint eksternal

dapat melindungi fraktur nasal sampai terbentuk jaringan fibrosa union paada tulang

dan septum.

Tulang nasal harus diimobilisasi dalam 10-14 hari untuk mendukung fase penyembuhan.

Alat-alat yang digunakan pada tindakan reduksi fraktur tulang hidung adalah:

Elevator tumpul yang lurus

Cunam Asch

Cunam Walscham

Spekulum hidung pendek dan panjang (kilian)

Pinset hidung yang panjang.

Tampon

Fraktur Septum Nasal

Penanganan trauma hidung yang salah dapat menyebabkan trauma pada kartilago

septum hidung. Diagnosa ditegakkan dengan palpasi dengan menggunakan jari pada dorsum

hidung untuk dicari kemungkinan adanya depresi di bawah dorsum tulang yang merupakan

tanda adanya comminuted fracture dan atau dislokasi dari septum kartilago.

Pada fraktur septum nasal dapat ditemukan adanya udem dan hematom pada dorsum

dan ujung hidung yang dapat menyebabkan deformitas dan obstruksi saluran pernafasan.

Fraktur kartilago nasal memerlukan penanganan yang segera berupa reduksi terbuka,

penyatuan kemabali atau alignment dan fiksasi pada septum intra nasal yang terkena. Saat

diperlukan penanganan segera yang adekuat koreksi berupa rhinoplasty, dan septoplasti dapat

ditunda untuk mendapatkan hasil akhir yang terbaik.

11

Page 12: Trauma Maksilofasial JADI!!

Komplikasi – komplikasi yang disebabkan oleh fraktur pada tulang hidung anatara lain:

1. Komplikasi neurologic

a. Robeknya duramater

b. Keluar cairan LCS dengan kemungkinan timbulnya meningitis

c. Penaumocefalus

d. Laserasi otak

e. Afulsi N. Olfaktorius

f. Hematoma epidural/subdural

g. Konstusio otak dan nekrosis jaringa otak

2. Komplikasi pada mata

a. Telakantus traumatika

b. Hematoma pada mata

c. Kerusakan n. Opticus

d. Epifora

e. Ptosis

f. Kerusakan bola mata

3. Komplikasi pada hidung

a. Perbahan bentuk hidung

b. Obstruksi rongga hidung

c. Gangguan penciuman

d. Epistaksis posterior yang hebat

e. Kerusakan duktus nasofrontalis dengan efek terjadinya sinusitis

3.5.2 Fraktur orbita

Anatomi Orbita

Area orbita sebenarnya adalah bagian dari otolringologi, tetapi sering rancu dengan

bagian lain. Orbita dapat ikut serta pda kelainan yang terdapat di hidung, sinus paranasal,

dan beberapa prosedur pembedahan dapat terjadi di area ini baik yang terencana maupun

tidak. Bagaimanapun, dengan memahami anatomi dan pemeriksaan klinis dan radiologi yang

baik, ahli THT dapat melakukan pembedahan pada area ini dengan nyaman.

Hal terpenting dari anatomi orbita bukan bagian-bagian dari orbita itu sendiri

melainkan hubungannya dengan organ-organ lain, fosa cranialis anterior yang berada di

12

Page 13: Trauma Maksilofasial JADI!!

atasnya, kavum nasal dan labirin ethmoid di medial, antrum maxilla di bawah, dan

infratemporal dan fossa cranialis medial di lateral.

Ini dideskripsikan seperti piramid dengan dasar yang lebar dan bagian lateral ke atas

yang mengecil. Volume rata-rata kavum orbita adalah 26ml, 70%nya pada orang normal

ditempati oleh struktur retrobulbar dan peribulbar. Orbita difikasioleh kavum yang bertlang

dan peningkatan volume orbital ebanyak 4ml mengakibatkan proptosis 6mm.

Margin orbital membuat batas yang memproteksi bola mata yang lebih kuaat dari

dinding orbita. Apabila orbita terbentur oleh rentetan benda dengan tubrukan yang

banyak/melebar, sekeliling orbita terpaksa benar-benar bertahan. Bagaimanapun, kompresi

dari isi orbita akan mengakibatkan fraktur ‘’blowout’ dari dinding inferior atau medial.

Dinding superior

Atap disusun oleh lapisan orbita pada tulang frontalis, yang dibelakangnya merupakan

sayap dari sphenoid. Tulangnya tipis (umumnya kurang dari 3mm) kecuali di area sphenoid

dan terus menipis seirting umur. Perpanjangan dari invasi sinus frontalis dan ethmoidalis

bervariasi dan dapat terus bertambah seiring dengan proses zigomatikum dan foramen

optikum yang dapat dikelilingi oleh sel-sel ethmoidalis. Takikan orbita superior sekitar 5mm

dari margin orbita di bidang parasagital, yang menghubungkan foramen mentalis dengan

foramen infraorbital.

Insisi harus ditempatkan dengan menghindari takikan orbital superior dan otot levator

palpebra superior. Ini dilakukan dengan merencanakan insisi etinggi mungkin, diseksi pada

sudut kanan ke kulit turun ke pinggiran orbital superior. Dinding superior dipertemukan

selama trepinasi sinus frontalis, frontoethmidektomi, dekompresi orbital, eksplorasi fraktur,

eksisi glandula lakroimalis dan exenterasi orbital.

Dinding Medial

Dinding ini merupakan yang paling berarti bagi ahli THT. Empat tulang bersatu oleh

sutura vertikal:

1. Processus frontalis dari maxilla

2. Tulang lakrimal

3. Bidang orbital dari ethmoid

4. Bagian kecil dari badan sphenpoid

13

Page 14: Trauma Maksilofasial JADI!!

Aturan 24-12-6 dapat diaplikasikan pada dinding media orbita, merepresentasikan

masing-masing jarak rat-rata dalam milimeter dari puncak lakrimalis anterior ke foramen

ethmoidalis anterior, dari foramen ethmoidalis anterior ke posterior, dari ethmoidalis

posterior ke kanalis optikum. Bagaimanapun, keadaanya dapat bervariasi dengan 16% pasien

tidak punya foramen ethmoidalis anterior, 30% foramen ethmoidalis multipel. Sebagai

tambahan, tingkat dari bidang cribiformis bervariasi sehingga foramen ethmoidalis anterior

hanya bia sebagai perkiraan petunjuk.

Dinding medial yang tipis adalah barrier yang lemah terhadapa infeksi pada simnus

paranasal denga potensi komplikasi selulitis orbital dan abses, neuritis optik, dan trombosis

sinus kavernosus. Pemahaman terhadap anatomi regio ini merupakan kunci untuk beberapa

operasi:

1. Ligasi pembuluh darah ethmoid

2. Eksplorasi fraktur dinding medial

3. Frontoethmoidektomi eksternal

4. Dekomprei orbital

5. Transethmosphenoidektomi dan hypophysectomy

6. Penmutupan kebocoran cairan cerebrospinal

7. Rhinotomy lateral

Dinding Inferior

Dasar ini disusun oleh tiga tulang:

1. Bidang orbital terhadap maxilla

2. Bidang orbital sygomatiku di bagian anterolateral

3. Prosessus orbitalis dari tulang palatina

Foramen infraorbital sejajar dengan takikan orbital superior, berjalan setangah dari

pinggiran dan berlanjut sebagai kanalis infraorbital anterior dan terkadang media, saraf

alveolar superior keluar dari kanal yang jika terjadi kerusakamn dapat meyebabkan denervasi

dari pertumbuhan gigi bagian atas.

Lateral dari kanalis nasolakrimalis adalah lubang dari tempat asal dari otot obliquus

inferior yang merupakan satu-satunya otot ekstrinsik yang berasal dari bagian depan orbita

dan dipertemukan di ethmoidectomy Patterson eksterna. Sebanyak 9% asal dari otot adalah

14

Page 15: Trauma Maksilofasial JADI!!

intraperiosteal yang tidak ada hubungan dengan pertulangan yang memfasilitasi operasi.

Hubungan dengan pertulangan yang membuka sakus lakrimalis juga bervariasi dan bisa

sampai berjarak 5mm. Bagian lateral dari dasar orbita lebih aman untuk dieksplore daripada

medial karena otot rekstus inferior dan obliquus inferior lebih ke bagian medialorbit.

Jarak dari foramen infraorbita dan kanalis optikus juga bervariasi dengan jarak rata-

rata 46mm. Dinding posterior dari maxila sekitar 25mm dari foramen ini.

Dinding Lateral

Terdiri dari:

1. Permukaan orbita dari sayap besar sphenoid posterior

2. Permukaan orbita dari zygioma bagian anterior

Ini dapat dipertemukan selama dekompresi orbital, pembedahan foss infratemporal,

eksplorasi fraktur dan reseksi kraniofasial yang dimodifikasi termasuk orbitotomi lateral.

Dalam prosedur infraorbital, bahaya dari kerusakan fissura orbitali superior atau nervus

optikus minimal sepanjang fisura orbitalis superior pada apeks orbita melintas nervu

III,IV,VI, cabang opthalmikus dari nervus V, dan vena opthalmikus. Fisura didapati tidak

lebih dekat dari 26mm dari pinggiran sutura zygomatik frontal. Melihat bentuk alami dari

orbita dan akses terbatas ke area ini, akan sulit dan tidak perlu diproses pada kedalaman ini

untuk semua prosedur intraorbital.

Definisi Fraktur Orbita

Trauma pada wajah bisa menyebabkan fraktur pada tulang-tulang yang

membentuk orbita. Ada beberapa fraktur tulang orbita yang bisa menyebabkan gangguan

penglihatan.

Etiologi

Fraktur maksila sangat erat hubungannya dengan timbulnya fraktur orbita

terutama pada penderita yang menaiki kendaraan bermotor. Akhir-akhir ini fraktur tulang

orbita dan fraktur maskila sangat sering terjadi akibat ketidakhati-hatian di dalam

mengendarai kendaraan. Penggunaan sabuk pengaman, kecepatan kendaraan yang tidak

15

Page 16: Trauma Maksilofasial JADI!!

sesuai, tidak meminum alkohol dan obat yang mengganggu kesadaran sangat penting untuk

dihindarkan. Lantai orbita sangat rentan terhadap sejenis fraktur yang disebut blowout

fractures. Dorongan dari suatu benda tumpul yang berukuran lebih besar dari lubang orbita

bisa menyebabkan blowout fractures. Fraktur ini biasanya disebabkan oleh bola, tinjuan, atau

dashboard (pada kecelakaan lalulintas) yang mengenai mata. Disamping itu, trauma pada

orbita juga dapat disebabkan oleh trauma akibat operasi.

Gejala Klinis

1. Enophthalmos

2. Exophthalmos

3. Diplopia

Ketiga kelainan bentuk mata tersebut harus diperiksa denga teliti dan dilakukan

rekonstruksi dari tulang yang fraktur. Hal ini biasanya dilakukan oleh spesialis mata.

4. Memar di sekitar mata

5. Proptosis

6. Mati rasa pada daerah pipi atau geraham atas

7. Asimetri pada muka

Kelainan ini tidak lazim terdapat pada penderita dengan blowout fracture dari dasar

orbita. Kelainan ini sangat spesifik, terdapat pada fraktur yang meliputi pinggir orbita

inferior atau fraktur yang menyebabkan dislokasi zigoma.

8. Gangguan saraf sensoris

Hipestesia dan anestesia dari saraf sensoris nervus infra orbitalis berhubungan erat

dengan fraktur yang terdapat pada dasar orbita. Bila pada fraktur timbul kelainan ini,

sangat mungkin sudah mengenai kanalis infra orbitalis. Selanjutnya fungsi nervus

infra orbita sangatmungkin disebabkan oleh timbulnya kerusakan pada rimaorbita.

Bila timbul anesthesia untuk waktu yang cukup lama, harus dilakukan eksplorasi dan

dekompresi nervu infra orbitalis.

Diagnosa

Dilakukan pemeriksaan mata lengkap untuk mengetahui adanya kerusakan pada

mata. Pemeriksaan ini meliputi penilaian otot mata. CT scan dilakukan untuk menilai luasnya

fraktur.

16

Page 17: Trauma Maksilofasial JADI!!

Pengobatan

Jika fraktur menjepi saraf atau otot, atau mendorong bola mata ke belakang,

dilakukan perbaikan tulang wajah dengan operasi. Jika fraktur tidak menimbulkan kerusakan

pada struktur yang vital, dilakukan reposisi tulang dengan bantuan lempengan logam kecil

dan sekrup atau kawat.

3.5.3 BLOWOUT FRACTURE

DEFINISI

Blowout fracture disebabkan karena trauma langsung pada bola mata yang menyebabkan

tekanan intra orbital meningkat dan dekompresi melalui fraktur pada dasar orbita.

(gambar 2)

LOKASI

Blowout fracture terjadi pada dasar orbita atau pada dinding medial orbita.

GEJALA KLINIS

Didapatkan ekimosis periorbital, penyempitan celah palpebra, orbital emfisema dan diplopia.

Diplopia terjadi pada sebagian besar kasus karena mengenai muskulus rectus inferior dan m.

oblique inferior sehingga terjadi hematoma pada n. okulomotorius.

Dapat juga terjadi ptosis dan enolftalmus karena herniasi orbita. Adapun test-test yang dapat

dilakukan adalah:

a) Traction test

Tujuannya membedakan kelainan otot yang berasall dari parese nervus atau trauma.

Caranya :

Diberikan tetrakain 0,5% pada daerah luka

Dengan forcep konjungtiva m. rectus inferior dan insersinya kita genggam.

Bola mata dinaikkan ke superior dengan forcep

Hasillnya jika boa mata dapat bergerak bebabs berarti tidak ada kelainan otot.

Jika tidak dapat begerak bebas berarti bisa ada kalainan saraf.

b) Radiografi

17

Page 18: Trauma Maksilofasial JADI!!

Dapat dilakukan rontgen posisi waters oksipitomental dan Cald well oksipitofrontal

yang gambarannya terdapat fraktur pada dasar orbita. Dapat ditemukan juga sinus

maksilaris dan sinus ethmoidalis yang suram.

c) Politomografi

Gambaran yang ditemukan adalah bulging dasar orbita inferior sampai antrum

maksilaris

d) CT-Scan

Terdapat gambaran tear drop appearance jika terjadi fraktur pada dasar orbita.

(gambar 2)

TERAPI

Tujuan dari perbaikan dari blowout fractures adalah memulihkan pergerakan mata

normal dan mencegah atau mengurangi enofthalmus. Koreksi secara operasi diindikasikan

jika diplopia tidak hilang setelah dua minggu terjadinya trauma dan jika enofthalmus. Terapi

yang segera sebaiknya meliputi penilaian penglihatan penderita dan evaluasi ophthalmologic.

Laserasi kelopak mata sebaiknya ditutupl

(gambar)

KOMPLIKASI

Trauma orbital, kebutaan, diplopia permanen dan enofthalmus adalah komplikasi dari

blowout fractures. Operasi pada enofthalmus jarang berhasil dengan baik, walaupun operasi

dilakukan dengan segera setelah terjadi trauma mata.

3.5.4 FRAKTUR TULANG ZIGOMATIKUM

Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang dibentuk oleh tulang temporal,

frontal, tulang sphenoid dan tulang maxilla.. Fraktur zigoma merupakan salah satu fraktur

midfacial yang paling sering terjadi, ini disebabkan karena letak tulang zigoma yang lebih

menonjol. Trauma pada tulang zigoma bisa menyebabkan fraktur pada seluruh bagian zigoma

atau hanya pada arkus zigoma saja.

18

Page 19: Trauma Maksilofasial JADI!!

Predileksi fraktur zigoma terutama pada laki-laki, dengan perbandingan 4:1 dengan

perempuan. Penyebab yang paing sering adalah dikarenakan kecelakaan kenderaan bermotor.

Fraktur zigoma bilateral jarang terjadi, hanya sekitar 4% dari 2067 kasus yang diteliti oleh

Ellis et al.Zigoma mempunyai peran penting dalam membentuk struktur wajah, disrupsi pada

posisi zigoma dapat mengganggu fungsi ocular dan mandibular; oleh karena itu trauma pada

zigoma harus didiagnosa secara tepat dan ditangani secara adequate.

KLASIFIKASI FRAKTUR KOMPLEK ZIGOMATIKUM

Fraktur zigoma diklasifikasikan berdasarkan rotasi dari os zigoma yang fraktur

terhadap sumbu vertical dan horizontal. Sumbu vertical dimulai antara satura

frontozigomatikum dan molar pertama, sedangkan sumbu horizontal melintang pada arcus

zigomatikus.

1. Fraktur stable after elevation :

Hanya arkus (pergeseran ke medial)

Rotasi pada sumbu vertical, bisa ke medial atau ke lateral

2. Fraktur unstable after elevation :

Hanya arkus (pergeseran ke medial)

Rotasi pada sumbu vertical, medial atau lateral

Dislokasi en loc, inferior, medial, posterior, atau lateral

Comminuted fracture

GEJALA DAN TANDA FRAKTUR ZIGOMA

Pipi menjadi lebih rata dibandingkan dengan sisi kontralateral atau sebelum trauma

Deformitas yang dapat diraba pada lingkar bawah orbita

Diplopia saat melirik ke atas karena hancurnya dasar orbita yang cedera pada nervus

infraorbita

Terbatasnya gerakan bola mata

Edema periorbita dan ekimosis periorbita

Perdarahan subkonjungtiva

Enoftalmus (fraktur dasar orbita atau dinding orbita)

Ptosis

Terdapat hipestesia atau anesthesia pada pipi karena kerusakan infraorbitalis

Terbatasnya gerakan mandibula

Emfisema subkutis

19

Page 20: Trauma Maksilofasial JADI!!

Epistkasis karena perdarahan yang terjadi pada antrum

DIAGNOSIS

Fraktur zigoma dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan radiologi.

Anamnesis

Adanya riwayat trauma pada wajah terutama pada tulang pipi dapat menyebabkan

fraktur zigoma. Tanyakan kronologis kejadian, arah dan kekuatan dari trauma untuk

memperkirakan jenis fraktur. Trauma dari arah lateral sering mengakibatkan fraktur akut

zigoma terisolasi atau fraktur zigoma komplek yang terdislokasi inferomedial. Trauma

dari arah frontal sering mengakibatkan fraktur yang terdislokasi posterior maupun

inferior. Selain itu didapatkan gejala-gejala fraktur zigoma seperti diplopia, epistaksis dan

hipestesia disepanjang daerah yang dipersarafi nervus infraorbital, otot-otot ekstraokuli

atau didaerah yang dipersarafi nervus III

Pemeriksaan fisik

Pada inspeksi diobservasi pendataran dari tonjolan prominent daerah zigomaticus

yang merupakan tanda khas faktur zigoma dengan asimetri wajah dan ekimosis

periorbital. Kantus lateral dari mata terlihat inferior dari normal yang menyebabkan tinggi

pupil asimetris, dan ptosis akibat herniasi isi orbital. Sedangkan gejala-gejala lainnya

terjadi akibat pergeseran tulang zigoma terhadap jaringan lunak sekitarnya.

Pada palpasi teraba bagian lunak dan diskontinuitas dari pinggir inferior dan

lateral orbita. Arkus zigomatikus biasanya teraba mendatar. Penekanan keatas

zigomatikus dengan cara palpasi intraoral menimbulkan nyeri. Garis fraktur sepanjang

maksila dapat juga teraba.

(gambar)

Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologis seperti foto rontgen dan ct-scan sangat membantu

untuk diagnosis, menentukan luasnya kerusakan dan mengevaluasi

20

Page 21: Trauma Maksilofasial JADI!!

penatalaksanaan. Foto rontgen posisi waters merupakan jenis posisi yang

terbaik untuk melihat zigoma secara keseluruhan. Posisi waters dapat dilihat

pergesaran pada tepi orbita inferior, maksila, dan bodi zigoma. Foto posisi

submental-vertex dan tangensial baik untuk mengevaluasi arkus zigomatikus.

Ct-scan potongan axial maupun koronal merupakan gold standard pada pasien

dengan kecurigaan fraktur zigoma. Ct – scan dapat menilai pola fraktur,

derajat pergeseran dan evaluasi jaringan lunak orbital.

PENANGANAN FRAKTUR ZIGOMA

Fraktur midfasial merupakan tantangan dibidang THT karena struktur anatomi yang

kompleks dan padat. Tujuan utama dari perawatan farktur zigoma adalah untuk

mengembalikan kontur wajah menjadi normal dan untuk mencegah limitasi pergerakan

mandibula. Pupil harus sejajar, dan fungsi otot-otot pergerakan bola mata menjadi normal

kembali.

Penangan fraktur zigoma harus ditunda sampai peradangan minimal dan untuk lebih

memantapkan evaluasi medis pasien. Pengompresan dengan ice packs dan memposisikan

pasien dengan posisi semi-Fowler dapat mempercepat pengurangan edema.

Penatalaksanaan fraktur zigoma tergantung pada derajat pergeseran tulang, segi

estetika dan deficit fungsional. Kira-kira 6% fraktur tulang zigoma tidak menunjukkan

kelainan, fraktur jenis ini tidak membutuhkan reduksi.

Perbaikan fraktur zigoma terkadang dilakukan dengan tehnik reduksi tertutup, namun

lebih sering memerlukan tehnik reduksi terbuka. Reduksi dari fraktur zigoma difiksasi

dengan kawat baja atau mini plate.

1. Reduksi tidak langsung dari fraktur zigoma ( oleh Keen dan Goldthwaite)

Pada cara ini reduksi farktur dilakukan melalui sulcus gingivobukalis. Dibuat sayatan

kecil pada mukosa bukal dibelakang tuberositas maksila. Elevator melengkung

dimasukkan dibelakang tuberositas tersebut dan dengan sedikit tekanan pada tulang

zigoma yang fraktur dikembalikan pada tempatnya. Cara reduksi fraktur ini mudah

dikerjakan dan memberikan hasil yang baik.

2. Reduksi terbuka dari tulang zigoma

21

Page 22: Trauma Maksilofasial JADI!!

Tulang zigoma yang patah tidak bisa diikat oleh kawat baja dari Kirschner harus

ditanggulangi dengan cara reduksi terbuka dengan menekan kawat atau miniplate.

Laserasi yang ada atas zigoma dapat dipakai sebagai tanda melakukan insisi

permulaan pada reduksi.

PERAWATAN POST OPERASI

Pada pasien post operasi oral hygine harus benar-benar dijaga. Staf keperawatan

membersihkan mulut pasien 3 kali satu hari dengan diluted hydrogen peroxide lalu dianjutkan

dengan aqueus chlorhexine. Perlu diperhatikan juga peradangan lokasi pada gusi. Dibuat juga

perencanaan pemasangan protese untuk mengganti apabila ada gigi yang tanggal.

3.5.5 FRAKTUR TULANG MAKSILARIS ( MID- FACIAL FRACTURE )

Anatomi tulang maksilaris

Tulang maksila memiliki beberapa fungsi diantaranya sebagai tempat melekatnya

gigi, membentuk atap dari rongga mulut, merupakan dasar dan melekatnya pada dinding

lateral dan atap dari rongga hidung, merupakan dasar dari sinus maksilaris, dan juga berperan

pada rima orbita inferior dan merupakan dasar dari orbita. Dua tulang maksila bersatu digaris

tengah untuk membentuk tulang wajah tengah ke tiga.

Permukaan inferior

Pada pertengahan permukaan anterior os maksila ditemukan penonjolan yang disebut

spina nasalis anterior dengan rima concave di bagian lateral yang disebut nasal notch yang

membentuk dasar dari piriform aperture. Dibagian dasarnya, processus alveolar pada maksila

merupakan tempat melekatnya gigi, termasuk inciscivus sentralis, caninus, 2 premolar dan 3

molar pada gigi dewasa.

Rima infra orbita dan prosesus frontalis

Bagian paling atas dari tulang maksila merupakan bagian yang menebal yang

membentuk rima infra orbita. Sekitar 5-7mm di bawah rima terdapat foramen infra orbita

22

Page 23: Trauma Maksilofasial JADI!!

yang mana dilalui oleh nervus dan pembuluh darah infra orbita. Rima infra orbita memanjang

kearah medial dan ke atas membentuk prosesus frontal pada tullang maksila. Prosesus

frontalis berhubungan dengan tulang frontalis pada daerah superior, ke arah medial dengan

tulang nasal, kea rah posterior dengan tulang lakrimal.

Permukaan lateral

Batas lateral dari tulang maksila berhubungan langsung dengan prosesus zigomatikus,

yang mana bersambungan dengan tulang zigomatikus membentuk permukaan lateral dari

rima orbita inferior. Dibagian medial, sinus maksilaris langsung berhadapan dengan ostium.

Yang bersambungan dengan tulang palatin di bagian posterior dan juga dengan tulang

etmoidalis, lakrimalis dan konka inferior di bagian medial. Di depan sinus maksilaris yang

terletak vertical pada duktus nasolakrimalis yang membentuk kanalis lakrimalis dengan

tulang lakrimalis di bagian posterior.

Permukaan superior

Permukaan superior dari tulang maksilla membentuk dasar medial dari rongga orbita.

Di bagian posterior, tepinya membentuk sekat di anterior dari fisura orbita inferior. Dibagian

medial, permukaa n orbital bersambung dengan permukaan orbital dari tulang zigomatikus.

Dan pada permukaan inferiornya, tulang maksila berhubungan dengan palatum secara

horizontal yang membentuk bagian terbesar dari palatum durum.

Frekuensi kejadian

Fraktur pada maksila terjadi sekitar 6-25% dari semua jenis fraktur fasial.

ETIOLOGI

Fraktur maksila sering terjadi akibat trauma dengan energy yang cukup tinggi yang

menyebabkan kerusakan pada tulang wajah. Hal ini sering terjadi pada trauma kecelakaan

kendaraan bermotor atau terjatuh.

KLASIFIKASI FRAKTUR MAKSILA

23

Page 24: Trauma Maksilofasial JADI!!

Fraktur maksila merupakan salah satu cedera wajah yang paling berat dan dicirikan oleh 1)

mobilitas atau pergeseran palatum, 2) mobilitas hidung yang menyertai palatum, 3) epistaksis

atau 4) mobilitas atau pergeseran seluruh bagian sepertiga tengah wajah.

Guerin membuat deskripsi fraktur maksila 35 tahun sebelum Le Fort membuat klasifikasi

fraktur maksila dalam 3 kategori dengan menggunakan namanya. Ke 3 kategori ini yaitu

fraktur Le Fort I,II,III dan masih dipakai sampai sekarang.

(gambar)

Fraktur maksila Le Fort I

(gambar)

Fraktur le fort I (fraktur Guerin) meliputi fraktur bagian bawah. Fraktur ini bisa

unilateral atau bilateral. Garis fraktur berjalan sepanjang maksila bagian bawah sampai

bagian bawah rongga hidung. Kerusakan yang mungkin terdapat pada fraktur le fort I adalah

kerusakan pada:

1. Prosesus arteroralis

2. Bagian dari sinus maksilaris

3. Palatum durum

4. Bagian bawah lamina pterigoid

Gerakan tidak normal akibat fraktur ini dapat dirasakan dengan menggerakkan dengan jari.

Garis fraktur yang mengarah ke vertical, yang biasanya terdapat pada garis tengah, yang

membagi muka menjadi 2 bagian.

Fraktur maksila le fort II

(gambar)

Garis fracture le fort II (fraktur pyramid) beerjalan melalui tulang hidung dan

diteruskan ke tulang lakrimalis, dasar orbita, pinggir infra orbita, dan menyebrang ke bagian

atas dari sinus maksillaris juga kea rah lamina pterigoid sampai ke fossa pterigopalatina.

Fraktur pada lamina cribiformis dan atap sel etmoid dapat merusak sistem lakrimalis. Karena

fraktur ini sangat mudah digerakkan maka disebut floating maksila.

Fraktur le fort III

24

Page 25: Trauma Maksilofasial JADI!!

Fraktur le fort III (craniofacial disfunction) adalah suatu fraktur yang memisahkan

secara lengkap antara tulang dan tullang cranial. Garis fraktur berjalan melaui sutura

nasofrontal diteruskan sepanjang ethmoid junction melalui sutura nasofrontal diteruskan

sepanjang ethmoid junction melalui fisura orbitalis superior melintang kea rah dinding lateral

ke orbita, sutura zigomatika frontal dan sutura temporozigomatik. Fraktur le fort 3 ini

biasanya bersifat kominutif sehingga disebut kelainan dishface. Fraktur maksila le fort 3 ini

sering menimbulkan komplikasi intracranial seperti timbulnya pengeluaran cairan otak

melalui atap sel ethmoid dan lamina cribiformis.

MANIFESTASI KLINIS

Perdarahan

Lebam/bengkak

Perubahan ketajaman penglihatan dan terjadi perubahan ukuran pupil sehingga terjadi

perubahan kepekaan terhadap cahaya

Sakit kepala, vertigo atau kehilangan keseimbangan saat berjalan

Mual dan muntah yang persisten

Kejang

Kesulitan berbicara, bernafas dan menelan

Perubahan sensasi pada wajah

Cidera pada mata (bengkak di sekitar mata, diplopia)

Kehilangan gigi geligi

Keluarnya cairan LCS melalui telinga atau hidung

Infeksi :

- Infeksi pada kulit (selulitis)

- Abses

- Infeksi pada tulang (osteomyelitis)

- Post traumatic sinusitis

- Meningitis

PEMERIKSAAN FISIK

Penilaian dan pemeriksaan tulang maksila dan tulang wajah sebaiknya dilakukan

hanya apabila keadaan pasien telah stabil dan cidera yang mengancam hidup telah

25

Page 26: Trauma Maksilofasial JADI!!

dikendalikan. Terutama dalam hal ini adalah jalan nafas atau kerusakan intracranial, yang

mana harus diprioritaskan dalam penanganannya.

Secara umum, pasien dengan fraktur fasial mengalami deformitas tulang wajah yang

disertai dengan pembengkakan jaringan lunak, ekimosis, perdarahan aktif dan hematoma.

Lokasi setempat pada edema atau hematom terkadang menunjukan tempat lokasi fraktur.

Edema periorbital dapat mengindikasi terjadinya fraktur le fort II atau III. Pada fraktur le fort

II atau III permukaan wajah tampak mendatar sehingga deformitas tersebut sering disebut

dishface atau panface. Segmen maksila mengalami perubahan tempat baik kea rah posterior

dan inferior. Hal ini menyebabkan kontak premature pada gigi-gigi molar, sehingga

menyebabkan mulut terbuka kea rah anterior (anterior open bite deformity). Pada beberapa

kasus, jalan nafas atas dapat tersumbat.

Tulang wajah dan tulang cranium harus dipalpasi untuk mendeteksi bentuk tulang

yang irregular, krepitasi dan gangguan sensoris. Mobilitas dari tulang tengah pada wajah

dapat diketahui dengan memegang arkus tulang alveolar bagian anterior dan menariknya

sementara dengan tangan yang lainnya melakukan fiksasi agar kepala tetap stabil tidak

bergerak. Ukuran dan lokasi segmen yang mobile atau bergerak dapat menentukan tipe-tipe

fraktur le fort yang terjadi. Namun apabila hanya sebagian kecil segmen tulang yang

bergerak, kemungkinan hanya tulang alveolar kecil atau procesus nasofrontal saja yang yang

mengalami fraktur. Dengan benturan yang kuat, fraktur pada maksila dapat berupa kominutif

atau impacted, yang mana menyebabkan tulang menjadi hancur atau remuk namun immobile.

Pemeriksaan melalui hidung dan intraoral juga harus dilakukan. Pada fraktur le fort II

tulang hidung sedikit mobile, diikuti dengan free floating pada seluruh segmen pyramid.

Pada pemeriksaan rhinoskopi didapatkan darah segar atau bekuan darah, hematom

pada septum atau rhinorhea berisi cairan serebrospinal.

Pada pemeriksaan intraoral ditemukan kelainan pada oklusi rahang, stabilitas dari

tulang alveolar dan palatum, serta jaringan lunak didalamnya. Palpasi dengan menggunakan

jari pada kontus tulang maksila secara intraoral dapat memberikan informasi tambahan

tentang integritas tulang nasomaksilaris, dinding sinus maksila anterior, dan tulang

zygomaticus.

Selama pemeriksaan pada mata dan rima orbita, lihat integritas dari rima orbita, dasar

rima orbita, visus, gerakan ekstraokuler, posisi bola mata, dan jarak interkantus. Tidak seperti

26

Page 27: Trauma Maksilofasial JADI!!

fraktur le fort II, fraktur le fort III berhubungan dengan rima bagian lateral, dan tulang

zigomatikus. Perubahan ketajaman pengihatan dapat terjadi karena kanalis optikus

mengalami kerusakan, atau lesi neurologic lainnya. Gangguan pada gerakan ekstraokular bola

mata atau enophthalmus dapat terjadi karena hancurnya dasar orbita.

Alat-alat yang dapat mendukung pemeriksa dalam melakukan penilaian pada trauma

maksilofasial diantaranya adalah lampu kepala atau kaca, spatel tongue, alat suction,

speculum hidung dan otoskop. Foton rontgen ini dapat membantu daam perencanaan

preoperative dan konseling pada pasien.

PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

Stabilkan kondisi pasien dan penanganan serius pada jalan nafas, sistem

neurologi, tulang belakang servikal, toraks dan abdomen selama terapi definitive dari

tulang maksilofasial

Pembedahan

Prinsip dasar dalam penatalaksanaan fraktur maksilaris adalah fiksasi

fragmen-fragmen fraktur secara kuat pada bagian rangka wajah yang utuh dengan

teknik pemasangan kawat secara langsung atau memakai kawat penyangga internal.

Plat tulang yang kecil juga dapat dipakai imobilisasi segmen-segmen fraktur sebagai

pengganti kawat pengikat. Seperti yang ditekankan pada pembahasan fraktur

mandibula, pemakaian flat stabilisasi dapat menggantikan kebutuhan untuk fiksasi

lengkung gigi atas dan bawah pasca operasi. Berbagai pendekatan bedah mungkin

diperlukan dalam penanganan fraktur maksila. Insisi yang berhati-hati memungkinkan

paparan seluruh kerangka wajah, dengan hanya meninggalkan parut yang minimal

pasca operasi. Bila dengan teknik reduksi terbuka dan fiksasi interna memakai kawat

tidak member reduksi atau fiksasi yang memuaskan, maka mungkin dapat digunakan

alat fiksasi eksterna untuk membuat traksi lateral atau anterior juga diperlukan.

Diketahui sebelumnya, bingkai hallo juga dapat dipakai.

Karena kebanyakan fraktur maksilaris bersifat majemuk ( compound )

melibatkan baik rongga mulut ataupun hidung, maka pemberian antibiotic sangatlah

tepat. Penisilin merupakan obat pilihan pada pasien yang tidak alergi.

27

Page 28: Trauma Maksilofasial JADI!!

Jika kondisi pasien cukup baik setelah trauma tersebut, reduksi fraktur maksila

biasanya tidak sulit dikerjakan kecuali kerusakan pada tulang sangat atau terdapatnya

infeksi. Reduksi fraktur maksia mengalami kesulitan jika pasien datang terlambat atau

kerusakan sangat hebat dan disertai dengan fraktur servikal atau tterdapatnya kelainan

pada kepala yang tidak terdeteksi. Garis fraktur yang timbul harus diperiksa dan

dilakukan fiksasi.

Penanggulangan fraktur maksila sangat ditekankan agar rahang atas dan

rahang bawah dapat menutup. Dilakukan fiksasi intermaksilar sehingga oklusi gigi

menjadi sempurna. Pada tindakan ini banyak digunakan kawat baja atau miniplate

sesuai garis fraktur.

Fiksasi yang dipakai pada fraktur maksila ini dapat berupa :

1. Fiksasi intermaksilar menggunakan kawat baja untuk mengikat gigi

2. Fiksasi intermaksilar menggunakan kombinasi dari reduksi terbuka pada

pemasangan kawat baja atau miniplate

3. Fiksasi dengan pin

Pada cedera fraktur Le Fort III yang merupakan cedera paling berat dimana

seluruh perlekatan rangka wajah pada cranium terputus, biasanya diperlukan terapi

teknik reduksi terbuka dengan pemasangan kawat secara langsung bersamaan dengan

fiksasi intermaksilaris.

Operasi pada fraktur Maksila Le Fort I dan II :

Prinsipnya :

Intubasi nasotrakeal

Pasang tampon steril di hipo dan orofaring

Desinfeksi rongga mulut dengan larutan savlon dalam air

Desinfeksi lapangan operasi di sekitar rongga mulut dengan betadine atau

larutan hibitine

Lapangan operasi dipersempit dengan duk steril

Lakukan reposisi ( reduksi ) fragmen tulang maksila secara bimanual atau

menggunakan alat sedemikian rupa sampai posisinya kembali seperti semula

Lakukan pemasangan Arch bar pada deretan gigi atas dan bawah ( dental arch

bar ). Beberapa ahli lebih menyukai menggunakan metal atau acrylic splints

28

Page 29: Trauma Maksilofasial JADI!!

( mis. Cash silver alloy cap spliny )terutama bila penderita tidak mempunyai

gigi yang lengkap

( edentulous)

Lakukan penggantungan dengan menggunakan kawat stainless ( Ǿ 0,4 mm-0,5

mm ) ke arkus zigomatikus os frontalis. Teknik operasi ini disebut sebagai

circumzygomatic wiring, zygomaticomaxillary suspension atau

zyggomaticocircumferential wiring suspension

Arch bar dideretan gigi bawah dan ats diikat dengan kawat ( fiksasi

intermaksilaris )

Operasi pada Fraktur Maksila Le Fort III

Dinegara maju,sudah sejak lama untuk fiksasi fraktur maksila menggunakan

pat dan sekrup misalnya AO Plate ( tebal 2,7 mm dan 2 mm ), compression plate

( tebal 2 mm ) dan miniplate (tebal 1 mm dan 0,8 mm). Plat ini sangat kuat karena

dibuat stainless steel, vitallium dan titanium. Berbeda dengan plat sederhana atau

konvesional yang mempunyai lobang dengan tepi lurus, plat-plat yang terakhir ini

mempunyai lobang dengan tepi yang agak mengerucut sehingga bila sekrup dipasang

akan terjadi kompresi antar fragmen tulang. Banyak ahli lebih sering menggunakan

miniplate oleh karena mempunyai beberapa kelebihan yaitu dapat dibengkokkan

sesuai bentuk permukaan tulang, mudah, aman, fiksasi lebih stabil, keci dan tipis

( tidak menonjol) dan tidak perlu fiksasi interdental atau intermaksila ( interdental-

intermaxillary wiring ). Dengan tidak dilakukannya fiksasi intermaksila akan

diperoleh beberapa keuntungan antara lain intake peroral lebih baik, hygiene mulut

lebih baik, tidak terjadi gangguan ( kekakuan, ankilosis ) sendi temporomandibular

dan terhindar dari rasa tidak enak atau rasa sakit akibat kawat yang menonjol atau

menusuk mukosa mulut. Miniplate yang terbuat dari titanium mempunyai

bioaviabilitas paling tinggi ( inert ) sehingga tidak perlu dilakukan pengangkatan

kembali. Kerugian penggunaan miniplate hanya harganya yang relatif mahal.

KOMPLIKASI

29

Page 30: Trauma Maksilofasial JADI!!

Fraktur maksila Le Fort III sering menimbulkan komplikasi intracranial

seperti timbulnya pengeluaran cairan melalui atap se ethmoid dan lamina

cribriformis.

Komplikasi jaringan lunak terjadi karena proses penutup luka. Umumnya dapat terjadi

pada penutupan daerah kulit yang diinsisi dengan 2 lapisan, dengan benang yang

depat di serap diletakkan lebih dalam untuk mengurangi ketegangan kulit.

PROGNOSIS

Dengan penatalaksanaan yang terencana dan teknik pembedahan yang baik,

fraktur maksila mempunyai prognosis yang baik. Umumnya terjadi infeksi sekitar 60

%.

Sedikit penelitian yang potensial membuat ukuran hasil dari penatalaksanaan

fraktur maksila menjadi sullit dinilai. Perbaikan fraktur maksila yang sederhana dapat

mengembalikan bentuk estetika dan fungsi tulang. Sedangkan pada fraktur maksila

yang kompleks sering meninggalkan gangguan fungsi dan bentuk estetika tulang tidak

dapat kembali sempurna. Pembedahan awal yang dilakukan dengan cermat dapat

memberikan hasil yang baik sehingga dapat mengembalikan kondisi pretrauma.

3.5.6 FRAKTUR MANDIBULA

Fraktur mandibula merupakan fraktur tulang wajah yang paling sering terjadi. Hal ini

disebabkan oleh kondisi mandibula yang terpisah dari kranium.

Anatomi

Fraktur mandibula ini sangat penting dihubungkan dengan adanya otot yang bekerja

dan berorigo atau berinsersio pada mandibula ini. Otot tersebut ialah otot elevator, otot

depresor dan otot protusor

Otot elevator mandibula

30

Page 31: Trauma Maksilofasial JADI!!

Otot masseter berjalan sepanjang arkus zygomatikus ke mandibula bagian lateral.

Otot masseter ini mengangkat mandibula. Otot temporalis yang berpangkal pada fossa

temporal turun ke medial ke arkus zygoma dan berinsersio di tempat tesebut, berfungsi

mengangkat dan menarik mandibula. Otot pteregoid medialis terdapat di bagian medila

pterigoid plate. Otot ini bekerja mengangkat mandibula, mendorong mandibula k depan dan

menarik ke dalam.

Otot depresor mandibula

Otot geniohioid berasal dari badan os hioid dan berinsersio di bagian tengah dan

melekat pada mandibula. Otot ini mendorong mandibula ke bawah. Otot digestrikus

mendorong mandibula ke bawah dan menarik ke bawah dan menarik mandibula ke belakang.

Otot protusor dari mandibula

Otot pterigoid lateral berfungsi menggerakkan ( rotasi ) mandibula dengan demikian

mulut dapat terbuka lebih lebar. Otot milohioid berperan bila terdapat fraktur simfisis atau

badan mandibula dan berfungsi mendekatkan fraktur yang terjadi.

KLASIFIKASI

Digman mengklasifikasi fraktur mandibula secara simple dan praktis. Mandibula

dibagi menjadi tujuh regio yaitu : badan, simfisis, sudut, ramus, prosesus koronoid, prosesus

kondilar, prosesus alveolar. Fraktur yang terjadi dapat satu, dua atau lebih pada regio

mandibula.

Frakur prosesus cindylus merupakan fraktur mandibula yang paling sering terjadi.

Trauma pada dagu dapat menyebabkan fraktur prosesus condylus bilateral. Trauma sebelash

sisi mandibula biasanya fraktur badan mandibula ipsilateral dan leher mandibula kontralateral

GEJALA

Diagnosis fraktur mandibula tidak sulit, ditegakkan berdasarkan adanya riwayat

kerusakan rahang bawah dengan memperhatikan gejala berikut : maloklusi gigi, gigi dapat

digerakkan, laserasi intraoral, nyeri mengunyah, deformitas tulang. Fraktur amndibula dapat

disertai dengan gejala lainnya, antara lain :

o Pembengkakan dan ekimosis pada kulit yang meliputi mandibula

o Rasa sakit yang disebabkan oleh kerusakan pada nervus alveolaris inferior

31

Page 32: Trauma Maksilofasial JADI!!

o Anasthesia yang terjadi pada satu bibir bawah, pada gusi atau gigi dimana nervus

alveolaris inferior manjadi rusak

o Gangguan morbilitas atau adanya krepitasi

o Malfungsi berupa trismus, rasa sakit waktu mengunyah dan lain-lain.

o Gannguan jalan nafas

Keruskan hebat pada mandibula menyebabkan perubahan posisi, trismus, hematoma,

edema pada jaringan lunak. Kalau terjadi obstruksi yang hebat dari jalan nafas harus

dilakukan trakeostomi.

o Fraktur condylus bilateral menyebabkan tertariknya otot pteriogois eksternal sehingga

mandibula tertarik ke depan. Akibatnya, oklusi gigi molar tidak sempurna.

PEMERIKSAAN FISIK

Pada pemeriksaan fisik dilihat apakah terdapat fraktur pada geligi dan penilaian dapat

dilakukan dengan menanyakan ataupun langsung memeriksa oklusi geligi pasien. Umumny

pasien dapat menyatakan dengan tepat apakah rangkain geligi atas dan bawah dapat pas

mengatup, dan pemeriksaan dapat mengungkapkan kontur lengkung gigi atas atau bawah

yang tidak tepat. Pemeriksaan intraoral dapat memperlihatkan laserasi di atas mandibula atau

mungkin deformitas mandibula yang jelas terlihat atau dapat diraba, dimana kedua keadaan

ini memberi kesan fraktur. Bagian mandibula yang paling sering fraktur adalah kondilus dan

angulus mandibula.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Lokasi fraktur ditentukan dengan pemeriksaan radiografi. Pemeriksaan dapat

dilakukan dengan foto polos pada posisi posteroanterior, lateral, Towne, lateral obliq, kiri dan

kanan. Jikalau diperlukan pada hal-hal yang kurang jelas, dilakukan pemeriksaan tomografi

komputer.

PENATALAKSANAAN

Penanganan fraktur mandibula ini sangat penting terutama untuk mendapatkan efek

kosmetik yang memuaskan, oklusi gigi yang sempurna, proses mengunyah dan menelan

sempurna.

Pada fraktur parasimfisis bilateral yang diikuti oleh jatuhnya lidah kebelakang ke

dalam faring harus dihindari terjadinya obstruksi jalan nafas. Dan hilangnya atau lepasnya

32

Page 33: Trauma Maksilofasial JADI!!

gigi harus di hitung karena bisa tertelan. Segera setelah kondisi pasien membaik, sebaiknya

perbaiki fraktur mandibula unyuk membuat pasien lebih nyaman dan untuk mengurangi

infeksi.

Perbaikan fraktur mandibula menerapkan prinsip-prinsip umum pembidaian

mandibula dengan geligi ituh terhadapa maksila dengan geloigi yang utuh juga. Fraktur

mandibula yang lebih kompleks mungkin memerlukan reduksi terbuka dan pemasangan

kawat ataupun plat secara langsung pada fragmen-fragmen guna mencapai stabilitas,

disamping melakukan fiksasi intermaksilaris dengan batang-batang lengkung.

Antibiotik penisilin merupakan obat terpilih perlu diberikan pada semua pasien

fraktur mandibula oleh karena mukoperiosteum mandibula menempel erat pada mandibula,

sehingga fraktur mandibula merupakan fraktur compound . antibiotik harus diberikan sejak

saat fraktur hingga mukoperiosteum menyembuh dan menjadi stabil.

Perawatan awal segera setelah fraktur mandibula harus memperhatikan higiene mulut

dengan melakukan penghisapan dan obat kumur, pemberian antibiotik, analgesik, demikian

juga tindakan stabilisasi darurat pada fraktur yang sangat tidak stabil. Elastik angka delapan

atau balutan Barton di sekeliling kepala lazim dilakukan untuk menyongkong mandibula,

menstabilkan fragmen-fragmen fraktur dan mengurangi nyeri. Makanan dapat diberikan

lewat mulut asalkan dalam bentuk sangat lunak, meskipun cedera berat memerlukan

pemberian makanan dengan tuba ataupun intravena. Perawatan pasien setelah dilakukan

reduksi fraktur mandibula ditekankan pada pemberian makanan dan hiegene mulut. Diet

pasca reduksi haruslah bergizi normal dan mencakup sebagian besar makanan yang

dikonsumsi sebelum cedera. Higene mulut harus dipelihara dan paling baik dilakukan dengan

semprot air bertenaga jet ( water pink ) atau larutan hidrogen ( kekuatan separuh ) juga dapat

sebagai obat kumur.

Komplikasi

Trismus , maloklusi dan hilangnya gigi merupakan komplikasi yang mungkin terjadi

pada fraktur mandibula. Walaupaun jarang, osteomilitis pada mandibula dapat terjadi.

33

Page 34: Trauma Maksilofasial JADI!!

BAB IV

KESIMPULAN

Wajah tersusun oleh otot-otot wajah dan tulang-tulang wajah, yaitu orbita, nasal,

mandibula, maksila, dan zigoma. Wajah yang merupakan karakteristik tiap orang mempunyai

salah satu fungsi yaitu sebagai estetika, jika terjadi gangguan pada wajah, maka seseorang

merasa sangat terganggu.

Trauma wajah merupakan jenis trauma yang cukup sering terjadi akibat kecelakaan.

Luka tau jejas yang terjadi harus cepat ditangani agarr tidak terjadi komplikasi atau

perburukan keadaan sehingga menimbulkan kecacatan atau perburukan lainnya.

Penanganan pertma pada emergensi fraktur maksilofasial adalah membuka jalan nafas

(airways) apabila tersumbat atau mempertahankan jalan nafas smapai oertolongan

selanjutnya dilakukan, kemuadian breathing dan sirkulasi darah pasien, lalu mengontrol

perdarahan yang ada agar tidak terjadi syok pada pasien.

Terakhir baru dapa dilakukan tindakan bedah rekonstruksi atau plastik untuk

merehabilitasi fungsi-fungsi yang ada sekalian memperbaiki estetika pasien. Oleh sebab

terdapatnya komplikasi dan gangguan pada trauma maksilofasial, maka lebih baik menjaga

agar tidak terjadi trauma maksilofasial tersebut.

34

Page 35: Trauma Maksilofasial JADI!!

DAFTAR PUSTAKA

1. Boies, Hilger, Pries. Fundamental of otolaryngology a textbook of ear, nose & throat

disease. Fourth edition, 1964. London : W.B Sounders Company

2. Soepardi. A, Iskandar, N. 2001. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorokan Kepala Leher. Ed. V. FKUI. Jakarta

3. Fraktur Maksilofasial. Diunduh dari : www.niasonline.net/2007/03/28/html. pada 17

Juni 2009 pukul 14.30

4. Fraktur Maksilofasial. Diunduh dari :

www.anglefire.com/ne/neurosurgery/penyerta.html. pada tanggal 17 Juni 2009 pukul

14.45

5. Fraktur Maksilofasial. Diunduh dari : www.farmacia.com . pada tanggal 17 Juni 2009

pukul 14.50

6. Graham W, Scott-Brown. 1987. Scott-Brown’s Otolaryngology. Ed. V Butterworth &

Co.UK.

7. Katz, Arnold E. 1986. Manual Of Otolaryngology Heal and Neck theurapeutics. Lea

& Febiger . philadelphia. Hal 22-25

8. Patah Tulang Orbita diunduh dari :

http://medicastore.com/penyakit/854/Patah_Tulang_Orbita.html pada tanggal 17 Juni

2009 pukul 17.30

9. Fraktur Zygoma. Diunduh dari : http://www.skweezer.com/s.aspx/-/usebrains-

wordpress-com/2008/09/14/fraktur-zygoma/. Assesed: june,17th 2009

10. Fraktur zygoma. Diunduh dari :

http://www.primary-surgery.org/ps/vol2/html/sect0812.html&usg=_if98fYHvalsZWZ

3GOssTwjKg

35