Trauma Oral Dan Maksila

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Trauma Oral dan Maksila Referat

Citation preview

Trauma Oral dan MaksilofasialKetan P. Parekh dan Cecil S. Ash

Tujuan

1. Tinjauan patofisiologi dari trauma maksilofasial.

2. Diskusi pertimbangan pembedahan untuk pasien dengan trauma fasialis, termasuk fraktur tulang maksilla dan mandibula, orbita, laserasi wajah, serta fraktur mid fasialis (Fraktur Lefort).

3. Tinjauan keterlibatan infeksi kepala dan leher, termasuk angina Ludwig.

PENDAHULUANDokter bedah mulut dan maksilofasial (OMS = oral and maksilofacial surgeon) adalah spesialisasi bedah dari profesi kedokteran gigi. Keahlian bedah dan pemahaman menyeluruh tentang estetika dan fungsi anatomis menjadi syarat bagi mereka untuk mendiagnosa, menangani, dan mengelola kondisi, defek, cedera, dan aspek estetika dari jaringan keras dan lunak rongga mulut dan maksilofasial.

Sebagai seorang ahli bedah mulut dan maksilofasial, sejumlah pelatihan kedokteran gigi dan medis di lingkungan rumah sakit sangat diperlukan untuk menangani dan memperbaiki cedera pada wajah. Dokter bedah mulut dan maksilofasial memiliki keahlian dalam menangani trauma fasialis, termasuk fraktur tulang maksilla dan mandibula, orbita serta manajemen kosmetik pada cedera fasialis. Wewenang seorang OMS juga meluas hingga rekonstruksi kompleks maksilofasial dan kraniofasial.

Hal yang penting dari pelatihan OMS adalah dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tingkat lanjut serta metode kontrol nyeri yang kompleks, termasuk sedasi intravena (IV) dan anestesi umum rawat jalan. Seorang residen bedah mulut dan maksilofasial menjalani 6 bulan pengalaman anestesi umum di ruang operasi bersama dokter ahli anestesi medis. Selain itu, OMS mendapatkan pelatihan dan pengalaman yang luas dalam hal perawatan awal dan definitif pasien trauma, manajemen infeksi odontogenik kepala dan leher yang luas, manajemen lesi patologis oral (seperti kista dan tumor rahang), diagnosis dan pengelolaan abnormalitas dentofasial (kongenital, developmental, atau akuisita), bedah maksilofasial pra prostetis kompleks (termasuk penggunaan implan gigi), rekonstruksi dengan bone graft pada bagian rahang yang hilang, dan pengelolaan nyeri pada wajah dan gangguan artikulasio temporomandibular.

Cedera pada wajah memberikan pengaruh emosional, serta trauma fisik yang besar kepada pasien. Ilmu dan seni dalam menangani cedera ini membutuhkan pelatihan khusus yang melibatkan pengalaman langsung / hands on dan pemahaman tentang bagaimana perawatan yang diberikan akan mempengaruhi fungsi dan penampilan jangka panjang bagi pasien. Ada beberapa kemungkinan penyebab trauma fasialis. Kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera akibat olahraga, kekerasan fisik, dan yang berhubungan dengan pekerjaan adalah penyebab trauma fasialis yang paling sering. Jenis cedera fasialis dapat berariasi dari cedera gigi hingga cedera kulit dan tulang wajah yang sangat parah (lihat Gambar 27.1 - 27.7). Biasanya, cedera fasialis diklasifikasikan sebagai cedera jaringan lunak sederhana atau kompleks (kulit dan gusi), cedera tulang (fraktur), atau cedera pada daerah khusus (seperti mata, saraf, atau kelenjar ludah).

CEDERA DENTOALVEOLAR

Cedera yang terbatas pada gigi cukup sering terjadi dan mungkin memerlukan sejumlah keahlian spesialis gigi. OMS biasanya terlibat dalam menangani fraktur tulang penyokong atau reimplantasi gigi yang telah bergeser atau "terlepas." Jenis cedera ini dapat dirawat dengan salah satu dari sejumlah bentuk perawatan "splinting" (menstabilkan gigi dengan kawat atau mengikat sejumlah gigi). Jika gigi terlepas, maka harus ditempatkan dalam air garam, susu, atau cairan Hank bila tersedia. Semakin cepat gigi dimasukkan kembali ke dalam soket gigi, maka prognosis semakin baik. Trauma dentoalveolar dapat diklasifikasikan ke dalam kategori yang didasarkan pada protokol penanganan. Kategori ini meliputi avulsi gigi, luksasi dan ekstrusi gigi, fraktur enamel dan mahkota gigi, intrusi gigi, konkusi dan subluksasi gigi, fraktur akar gigi, dan fraktur tulang alveolar. Cedera pada gigi dan prosesus alveolaris harus dipertimbangkan sebagai suatu kondisi darurat, karena outcome yang baik bergantung pada penanganan yang cepat untuk cedera. Oleh karena itu, pasien harus memeriksakan diri ke dokter gigi atau OMS sesegera mungkin. Sangat penting bahwa setiap gigi pasien sebelum kecelakaan harus dicatat. Jika selama pemeriksaan klinis, gigi atau mahkota gigi dinyatakan hilang dan riwayat pasien tidak menunjukkan hilangnya gigi tersebut, maka diperlukan pemeriksaan radiologi pada jaringan lunak rongga mulut dan dada serta daerah perut untuk menyingkirkan bahwa bagian gigi yang hilang tersebut menempati jaringan atau rongga tubuh lainnya.

Gambar 27.1. Laserasi wajah full thickness pada duktus glandula parotis. Perhatikan kesulitan dalam mengidentifikasi duktus pada laserasi tersebut.

Cedera pada gigi anak-anak dapat menimbulkan stress bagi pasien dan orang tua mereka. Periode puncak untuk trauma pada gigi primer adalah usia 18 sampai 40 bulan, karena pada usia ini adalah waktu peningkatan mobilitas untuk balita yang relatif tidak terkoordinasi. Cedera pada gigi primer biasanya karena terjatuh dan tabrakan saat anak belajar berjalan dan berlari. Trauma gigi juga dapat diakibatkan oleh perkelahian, penganiayaan anak, atau penyebab lainnya. Penanganan yang tepat sangat penting untuk kesehatan jangka panjang dari suatu cedera gigi. Mendapatkan perawatan gigi dalam waktu 30 menit dapat membuat perbedaan antara menyelamatkan atau kehilangan gigi anak.

Gambar 27.2. Propofol digunakan untuk mengidentifikasi duktus setelah kanulasi lewat mulut.

Setelah gigi permanen tumbuh, anak laki-laki usia sekolah dapat mengalami trauma rongga mulut hampir dua kali lebih sering dibanding anak perempuan usia sekolah. Kecelakaan akibat olahraga dan perkelahian adalah penyebab paling sering dari trauma gigi pada remaja. Dens insisivus sentral atas (maksiler) adalah gigi yang paling sering mengalami cedera. Gigi maksiler yang menonjol lebih dari 4 mm, dua sampai tiga kali lebih mungkin untuk mengalami trauma gigi dibandingkan dengan gigi dengan aligment yang normal.Salah satu penyebab keluhan paling sering terhadap anestesi adalah trauma gigi selama intubasi. Warner dkk. [26] menemukan bahwa frekuensi kontak gigi dengan Macintosh blade biasa meningkat secara signifikan dengan peningkatan skor klasifikasi untuk Mallampati, subluksasi mandibula, pergerakan kepala dan gerakan, interincisor gap, dan kondisi gigi atas. Trauma gigi selama intubasi memerlukan suatu konsultasi gigi langsung untuk evaluasi dan penanganan. Kemungkinan risiko trauma gigi harus didiskusikan dengan pasien. Konsultasi dokter gigi juga dapat dilakukan sebelum intubasi pada ruang praoperasi. Tujuan penanganan cedera dentoalveolar adalah mendapatkan kembali bentuk dan fungsi aparatus mastikasi / pengunyahan yang normal serta estetika.

Gambar 27.3. Trauma jaringan lunak wajah bagian bawah setelah luka tembak.

Gambar 27,4. Setelah trakeostomi dan refleksi flap, tampak trauma jaringan lunak, jaringan keras, dan dentoalveolar yang luas.

Gambar 27.5. Cedera scalp degloving kompleks pada pengendara motor yang tidak menggunakan helm.

Gambar 27,6. Tissue realigned, dan rotational flaps.

Gambar 27,7. Rekonstruksi Primer pada laserasi scalp.

FRAKTUR TULANG MANDIBULA KlasifikasiSejarah fraktur tulang mandibula telah dicatat pada tahun 1600 SM dalam papirus Edwin Smith yang dikenal sebagai dokumen dunia medis awal. Bahkan kutipan Hippocrates saat menjelaskan tentang pemakaian perban fraktur sebagai alat stabilisasi dicatat pada tahun 400 SM. Saat ini, prinsip imobilisasi yang pertama kali digunakan oleh Hippocrates digabungkan dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal yang lebih modern untuk menangani berbagai fraktur tulang mandibula. Saat ini, fraktur tulang mandibula masih menyajikan masalah yang sangat unik untuk seorang OMS (Gambar 27.8).

Mandibula adalah tulang wajah kedua yang paling sering mengalami fraktur setelah tulang hidung. Pada fraktur tulang ini, bagian angulus adalah lokasi fraktur yang paling sering terjadi, diikuti oleh korpus, kondilus, simfisis, ramus, koronoidalis, dan alveolus. Rasio fraktur tulang mandibula terhadap fraktur tulang zygomatikus serta tulang maksilla dilaporkan sebesar 6: 2:1. Pada suatu makalah yang ditulis oleh Ellis [8] dari 4.711 pasien yang dirawat akibat dengan fraktur fasialis, 45 persen diantaranya mengalami fraktur tulang mandibula. Dia menemukan bahwa kekerasan fisik adalah mekanisme yang paling umum, diikuti oleh kecelakaan lalu lintas, terjatuh, dan kecelakaan akibat olahraga. Laki-laki tiga sampai enam kali lebih mungkin untuk mengalami fraktur tulang mandibula daripada perempuan. Empat puluh sampai enam puluh persen dari fraktur mandibula berhubungan dengan cedera lainnya. Sepuluh persen diantaranya bersifat letal. Cedera yang paling sering dikaitkan diantaranya adalah dada, dan cedera servikal (C-spine) yang terkait dengan 2,59 persen dari fraktur tulang mandibula. Meskipun insiden cedera servikal yang berhubungan dengan fraktur tulang mandibula cukup rendah, namun lolosnya cedera ini dari pengamatan dapat merugikan. Fraktur kondiloideus yang dapat menyertai dapat mengalami pergeseran ke arah superior dengan herniasi fragmen tulang melalui atap fossa glenoideus ke dasar fossa kranialis media, yang dapat dikaitkan dengan kebocoran dura.

Gambar 27.8. Lokasi fraktur mandibula. (dimodifikasi dari: Dolan KD, Jacoby CG, Smoker WR. The radiology of facial fractures. Radiographics 1984;4:575-663).

Fraktur tulang mandibula biasanya terjadi pada dua atau lebih lokasi karena bentuk tulang U yang unik. Dalam menangani fraktur tulang mandibula, aturan yang digunakan adalah dugaan adanya fraktur kedua sampai dibuktikan sebaliknya. Fraktur dapat terjadi pada lokasi terpisah dari lokasi trauma langsung. Fraktur tulang mandibula sering diklasifikasikan menjadi favorable (menguntungkan) atau non-favorable (tidak menguntungkan), yang tergantung pada angulasi fraktur dan kekuatan tarikan otot proksimal dan distal dari fraktur (Gambar 27.9). Muskulus maseter, pterygoideus medial, pterygoideus lateral, dan temporalis adalah otot-otot mastikasi yang memiliki aksi untuk menghasilkan mobilitas, sokongan, dan fungsi mandibula. Arah tarikan otot-otot mastikasi ini akan menentukan stabilitas pola fraktur tertentu. Muskulus maseter dan temporalis menghasilkan tarikan ke atas pada sudut mandibula yang akan mengalihkan beberapa fraktur unfavorable horizontal dalam dimensi vertikal. Otot-otot pterygoideus medial dan lateral menghasilkan tarikan medial pada ramus mandibula dan akan mengalihkan fraktur unfavorable vertikal ke arah medial. Karena kekuatan otot-otot ini, fraktur displaced sering tidak dapat dikoreksi tanpa penggunaan obat pelumpuh otot.

Gambar 27,9. Tulang kepala tampak lateral menunjukkan tarikan muskulus maseter pada pola fraktur unfavorable pada gambar kiri dan fraktur favorable di sebelah kanan.

Mandibula juga dapat mengalami dislokasi dari fosa mandibularis tanpa disertai fraktur (Gambar 27.10). Dislokasi mandibula dapat terjadi spontan dan terjadi selama menguap lebar-lebar. Pasien biasanya ke gawat darurat (ED) atau klinik OMS dengan keluhan nyeri bermakna. Karena muskulus maseter dan pterygoideus dapat mengalami spasme, maka kondilus diarhjkan ke atas depan dari eminensia artikular untuk mencegah penutupan mulut yang normal. Penanganan masalah ini biasanya didasarkan pada frekuensi dan atau kemampuan pasien untuk melakukan pencegahan dibandingkan kebutuhan bantuan OMS untuk mengurangi dislokasi. Reduksi mandibula dapat dicapai dengan sedasi lokal atau IV dan pada kasus yang jarang dibutuhkan anestesi umum dengan penggunaan obat pelumpuh otot. Pada kasus yang gawat, dapat diindikasikan operasi sendi terbuka (sering bilateral). Dengan operasi, ligamentum artikulasio temporomandibularis (TMJ) dapat diperketat dan sendi dapat dibentuk kembali untuk mengurangi dislokasi masa yang akan datang.

PenangananEvaluasi awal dari fraktur fasialis merupakan bagian dari survei sekunder ketika melakukan protokol Advance Trauma Life Support (ATLS). Perlindungan jalan napas mungkin memerlukan trakheostomi pada cedera mandibula bilateral berat dimana lidah menutupi jalan napas. Jika tidak ditemukan adanya obstruksi jalan napas pada fraktur tulang mandibula, mandibula dievaluasi setelah pasien stabil dan cedera akut yang mengancam jiwa telah ditangani.

Gambar 27.10. Dislokasi mandibula - Kondilus (c) terletak anterior dari eminensia artikular (e). (Dimodifikasi dari Dolan KD, Jacoby CG, Smoker WR. The radiology of facial fractures. Radiographics 1984;4:575-663).

Gambar 27.11. Foto rontgen panoramic atau panorex dari fraktur tulang mandibula.

Gambar 27.12. CT scan pasien yang sama pada Gambar 27.11 dengan fraktur simfisis dan subkondiler mandibula.

Setelah pasien distabilisasi, pemeriksaan kepala dan leher lengkap diperlukan untuk mengevaluasi pasien trauma fasialis. Pada palpasi, adanya deformitas step off, maloklusi, deformitas open bite, hematoma atau ekimosis dasar rongga mulut, krepitasi, serta perasaaan kebas pada dagu dan bibir sering ditemukan pada pemeriksaan pasien dengan fraktur tulang mandibula. Hilangnya gigi dapat mengindikasikan perlunya foto rontgen dada dan leher lateral ungtuk memeriksa benda asing jalan napas atau esofagus. Riwayat penyakit asma, gangguan kejiwaan, kejang, kekurangan gizi, dan kelainan gastrointestinal yang menyebabkan mual dan muntah juga dapat menghalangi ahli bedah untuk melakukan fiksasi mandibulomaksiler (pemasangan kawat gigi berkelompok). Dilakukan reduksi dan fiksasi darurat di unit gawat darurat untuk manajemen nyeri dan stabilisasi fraktur sampai penanganan definitif berhasil.

Evaluasi dan interpretasi pemeriksaan radiologi adalah langkah berikutnya untuk memastikan diagnosis. Pemeriksaan "Gold Standard" ntuk fraktur tulang mandibula adalah pemeriksaan radiologis panorex (lihat Gambar 27.11). Pemeriksaan radiologis ini memungkinkan untuk mengevaluasi fraktur tulang mandibula secara keseluruhan dalam satu tampilan. Selain itu, stabilitas dan kesehatan gigi dapat dievaluasi. Suatu pemeriksaan radiologis verteks submental berguna untuk mengevaluasi kondilus dan daerah subkondiler. Foto serial mandibula dapat dilakukan jika panorex tidak tersedia. Jika pasien dicurigai mengalami fraktur mid fasialis, maka computerized tomography scan (CT) pada tulang wajah dapat digunakan untuk mengevaluasi mandibula (Gambar 27.12 dan 27.13).

Penanganan fraktur tulang mandibula awalnya memerlukan booster tetanus toksoid jika diindikasikan berdasarkan riwayat imunisasi. Hampir semua fraktur mandibula dapat dianggap terbuka karena biasanya berbatasan langsng dengan kulit, atau rongga mulut. Bakteri yang terlibat pada infeksi terkait fraktur tulang mandibula termasuk flora normal rongga mulut yaitu kokus gram positif aerob, kokus gram positif anaerob, dan bakteri anaerob gram negatif berbentuk batang. Pasien secara rutin diterapi dengan penisilin atau klindamisin, selama minimal tujuh sampai sepuluh hari. Perawatan mulut sebaiknya dengan cairan hidrogen peroksida konsentrasi menengah, atau dengan klorheksidin 0,12% untuk membantu menghilangkan bakteri superfisial.

Prinsip dasar bedah ortopedi juga berlaku untuk penanganan fraktur tulang mandibula, termasuk reduksi, fiksasi, imobilisasi, dan terapi suportif: penyatuan segmen fraktur hanya akan terjadi tanpa adanya mobilitas. Stabilitas segmen fraktur adalah kunci untuk penyembuhan yang tepat, dan tujuan dari penanganan adalah untuk mengembalikan fungsi yang tepat dengan memastikan penyatuan segmen fraktur.

Pilihan penanganan fraktur tulang mandibula dapat berupa fiksasi rigid, fiksasi semirigid, nonrigid (reduksi tertutup), atau observasi. Diet ketat mungkin merupakan satu-satunya penanganan yang diperlukan untuk fraktur kondilus nondisplaced unilateral, jika oklusi masih normal. Jika pasien mengalami maloklusi dan atau nyeri, dia mungkin perlu mendapatkan fiksasi maksilomandibular (MMF = maksilomandibular fixation) (Gambar 27.14). MMF atau reduksi tertutup juga digunakan untuk fraktur komunitifa berat yang dapat sembuh dengan baik jika periosteum utuh. MMF juga dapat dilakukan pada pada anak-anak, di mana reduksi terbuka dapat merusak perkembangan tunas gigi. Fraktur kondiler yang ditangani dengan reduksi terbuka juga dapat menyebabkan kerusakan struktur dan fungsi artikulasio temporomandibular. Fraktur ini juga ditangani dengan MMF. MMF dikontraindikasikan pada penderita epilepsi, pecandu alkohol, penderita asma, dan pasien gangguan kejiwaan dan pasien lemah yang tidak dapat mentoleransi penutupan rahang mereka dengan kawat. Mandibula harus diimobilisasi selama 2 sampai 6 minggu untuk kebanyakan fraktur mandibula. Penurunan berat badan rata-rata adalah 10 sampai 15 pon (4,5 sampai 6,8 kg).

Gambar 27.13. Tampilan intraoral pasien trauma.

Gambar 27,14. Tampilan klinis pasien terpasang fiksasi maksilomandibular.

Fiksasi Maksilomandibular melibatkan penempatan lempengan melengkung ke gingiva dari rahang dan mandibula. Lempengan ini difiksasi dengan kawat 24 G ke ruang interdental dari gigi molar pertama hingga molar pertama lainnya. Setelah lempengan distabilkan dan fraktur dapat tereduksi dengan oklusi pasien normal, fish loop yang terbuat dari kawat 26 G ditempatkan diantara kawat mandibula dan maksilla berdasarkan oklusi yang diinginkan. Penggunaan Fish loop dapat mengoreksi gigi secara bersamaan. Alat ini dapat digunakan pada anak dengan pertumbuhan gigi campuran, pada pasien ompong sebagian yang akan mendapatkan tambahan fiksasi, dan pada pasien yang membutuhkan oklusi jika digunakan bersama metode lain seperti plate atau fiksasi pin eksternal.

Pada fiksasi true rigid, penyembuhan primer terjadi tanpa pembentukan kalus, yang memungkinkan kembalinya fungsi awal. Indikasi klasik untuk reduksi terbuka termasuk adanya maloklusi meskipun telah dilakukan MMF. Metode yang dianggap fiksasi rigid adalah lag screw technique, compression plating, reconstruction plates dan fiksasi pin eksternal. Fiksasi Miniplate dan fiksasi kawat adalah jenis fiksasi semirigid. Reduksi terbuka dengan fiksasi nonrigid lebih tidak stabil dan lebih mudah untuk dipasang, tetapi masih membutuhkan MMF dan berguna untuk fraktur angulus dan parasimfisis mandibularis. Fiksasi pin eksternal biasanya diperlukan untuk fraktur kominutif misalnya cedera luka tembak pistol (GSW) (Gambar 27.15-27.17).

FRAKTUR MID-FASIALISKlasifikasiFraktur mid fasialis adalah jenis fraktur paling sering dikaitkan dengan trauma fasialis. Penyebab utama dari cedera ini adalah kecelakaan lalu lintas, diikuti serangan fisik, jatuh, cedera akibat olahraga, kecelakaan industri, dan luka tembak. Untuk sejumlah alasan, diagnosis dan penanganan fraktur fasialis penting bagi OMS. Fraktur dari tulang wajah dapat mengubah penampilan fisik pasien dan mungkin dapat mengganggu fungsi sistem mastikasi pasien, sistem okular, sistem penciuman dan saluran napas hidung, dan sebagainya. Reduksi anatomi yang tepat dan fiksasi fraktur tersebut memberikan outcome fungsional dan kosmetik yang lebih baik baik pasien.

Meskipun trauma fasialis memang merupakan cedera serius, hasil pemeriksaan dan penanganan fraktur fasialis biasanya dapat ditunda sampai masalah yang lebih penting telah ditangani, seperti stabilisasi jalan napas, hemodinamik, dan evaluasi serta penanganan cedera lain pada kepala , leher, dada, perut, dan kaki yang lebih serius. Pada pasien dengan trauma fasialis yang luas dengan kemungkinan cedera basis kranii, intubasi endotrakeal mungkin dikontraindikasikan dan sehingga harus dipertimbangkan bedah jalan napas. Untungnya, hanya sejumlah kecil pasien dengan trauma fasialis yang luas memerlukan krikotiroidotomi atau trakheostomi untuk manajemen jalan nafas mereka. Kemudian, seorang pasien yang diduga kemungkinan besar mengalami cedera fasialis harus diasumsikan mengalami cidera servikal sampai terbukti sebaliknya. Epistaksis mungkin dapat menimbulkan masalah dan penting dalam hemodinamik pasien. Syok hipovolemik atau gangguan jalan napas dapat diakibatkan oleh pendarahan yang banyak. Meskipun epistaksis dapat bersumber dari perdarahan anterior atau posterior, namun paling sering berasal dari rongga hidung anterior. Pendarahan rongga hidung biasanya berespon baik terhadap tindakan pertolongan pertama seperti kompresi. JIka epistaksis tidak dapat diatasi dengan langkah-langkah sederhana, sumber perdarahan harus diidentifikasi dan ditangani dengan tepat. Perawatan yang dapat dipertimbangkan meliputi vasokonstriksi topikal, kauter kimia, elektrokauter, tampon hidung anterior (nasal tampon atau kasa dengan petroleum jelly), tampon kasa posterior, penggunaan sistem balon (termasuk kateter Foley yang dimodifikasi), dan ligasi arteri atau embolisasi. Gambar 27.15. A. Tampilan pasien luka tembak pada unit trauma. Pasien diintubasi dengan Life Flight sebelum kedatangan. B, Kerusakan jaringan keras dan jaringan lunak mandibula, tampilan ekstraoral.C. Pemandangan intraoral pada cedera maksiler.

Setelah pasien distabilkan dengan protokol ATLS, evaluasi sekunder dengan penelusuran riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik pasien yang akurat dapat dilakukan. Pada pemeriksaan fisik, kita harus mendokumentasikan keberadaan dan lokasi luka, ekimosis, asimetri, krepitasi, nyeri tekan, bony step-off, dan gangguan tendon canthal. Pemeriksaan oftalmologis dapat disebutkan secara khusus dalam diagnosis dan penanganan trauma fasialis. Ketajaman visual adalah tes oftalmologis yang paling penting dan harus dilakukan segera. Neuropati optik traumatis, cedera bola mata terbuka, dan hematoma retrobulbar adalah keadaan darurat oftalmologis. Diplopia monokuler merupakan indikator dari kemungkinan cedera bola mata unilateral atau cedera retinal serta membutuhkan konsultasi oftalmologis langsung. Penting untuk mencatat ketajaman visual, fungsi pupil, dan mobilitas okular serta memeriksa adanya perdarahan bilik mata depan (hifema) dan fundus untuk gangguan bola mata luas. Evaluasi gerakan luar mata / extraocular movement (EOM) mungkin sulit atau dibatasi akibat adanya edema dari jaringan lunak. Kadang-kadang, diperlukan forced duction testing jika terdapat kemungkinan entrapment orbital. Ini dilakukan dengan menahan sklera di daerah forniks dan mekanis gerakkan bola mata. Adannya hambatan gerakan bola mata menjadi indikasi adanya entrapment dan eksplorasi mungkin diperlukan (Gambar 27.18, lihat juga halaman berwarna setelah hal. 294. Dan Gambar 27.19). Setelah evaluasi oftalmologis telah dilakukan, selanjutnya wajah, telinga, hidung, mulut, dan mandibula harus diperiksa secara sistematis. Periksa ada tidaknya asimetri wajah, pemendekan wajah, mid fasialis mobile, step-off, battle sign (ekimosis belakang telinga), racoon eyes (kontusio/ekimosis periorbital), fraktur basis kranii atau Lefort II, paresthesia, rhinorrhea atau otorrhea, kebutaan traumatis , hemotimpanum, EOM terbatas, hematoma septum, trismus, dan maloklusi gigi.

Meskipun pemeriksaan fisik adalah yang terbaik, pemeriksaan radiologis tetap merupakan langkah penting dalam evaluasi pasien trauma fasialis. Jika diduga adanya fraktur fasialis, CT scan resolusi tinggi untuk rekonstruksi dua atau tiga dimensi adalah prosedur pilihan. Pemeriksaan CT scan pada fraktur mid fasialis menawarkan peningkatan pencitraan yang bermakna dari rontgen biasa, sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Tulang tengkorak dan wajah secara kolektif membentuk daerah anatomi tulang yang paling kompleks dalam tubuh manusia. Anatomi yang kompleks dan fraktur tulang wajah ini ditampilkan dengan sangat detail dengan CT-scan, dan komplikasi jaringan lunak dapat dievaluasi dengan ketelitian yang jauh lebih besar dengan CT-scan (Gambar 27.20, lihat juga halaman berwarna setelah hal 294. Dan Gambar 27.21). Rekonstruksi CT-scan tiga dimensi cukup berguna ketika merencanakan penanganan atau untuk menjelaskan trauma pada pasien atau keluarga.

Gambar 27.16. CT-scan tiga-dimensi menunjukkan kerusakan jaringan keras dan dentoalveolar yang luas.

Gambar 27.17. Tampilan pasien enam minggu pasca operasi dengan fiksasi pin-eksternal / distraktor di tempat.

Gambar 27.18. Tampilan klinis pasien dengan fraktur dasar orbita, dengan tampilan ke arah superior yang terbatas.

Gambar 27.19. CT-scan potongan koronal pasien yang sama seperti pada Gambar 27.18 dengan fraktur dasar orbita.

Gambar 27.20. Tampilan klinis pasien pada unit trauma dengan trauma mid fasialis yang luas.

Gambar 27.21. CT-scan tiga-dimensi pada pasien yang sama seperti Gambar 27.20 sebelum (A) dan setelah (B) perbaikan.

Fraktur fasialis paling sering terjadi pada laki-laki muda. Perbandingan insiden laki-laki dan perempuan dari fraktur fasialis adalah 4:1. Fraktur fasialis yang paling sering adalah fraktur tulang nasal, diikuti oleh kompleks zigomatikomaksiler (fraktur tripod), dan Lefort I-II-III jika mengacu pada fraktur mid fasialis tersebut. Fraktur fasialis jarang terjadi pada populasi anak-anak (kurang dari 10%), mungkin karena fleksibilitas tulang wajah seorang anak atau dimensi mid fasialis anak-anak lebih kecil dibandingkan dengan kranium.

Rene Lefort, seorang berkebangsaan Prancis, pada tahun 1901 mempublikasikan makalah yang sekarang terkenal untuk klasifikasi fraktur fasialis. Karya Lefort yang menggambarkan garis kelemahan dalam tulang wajah dimana fraktur paling banyak terjadi. Garis-garis di mana tulang wajah mengalami fraktur akibat trauma dikenal sebagai Lefort I, II, dan III. Karya ini menjadi batu loncatan untuk pengembangan bedah mulut dan maksilofasial. Selain itu, garis-garis fraktur juga menjadi panduan untuk osteotomi wajah yang digunakan untuk mengoreksi anomali wajah posttraumatis dan bawaan (Gambar 27.22A, B).

Fraktur Lefort I pada dasarnya memisahkan mandibula, termasuk ridge alveolar dan gigi, dari bagian mid-fasial lainnya. Fraktur ini secara klasik berjalan melalui bagian inferior apertura piriformis. Fraktur ini memisahkan maksilla dari plate pterygoideus dan struktur hidung serta zygomatikus. Temuan karakteristiknya adalah anterior open bite yang disebabkan oleh traksi kearah medial dan inferior dari pterygoids medial dan lateral pada fragmen maksilla yang mobile. Maksilla dapat bersifat mobile tetapi sering mengalami sedikit dampak. Fraktur Lefort I kadang-kadang disebut sebagai fraktur piramida karena bentuknya. Jenis fraktur ini meliputi seluruh apertura piriformis pada daerah mid fasialis yang terganggu. Fraktur Lefort II paling sering diakibatkan oleh gaya yang diberikan setinggi tulang hidung. Fraktur Lefort III, juga disebut sebagai fraktur disasosiasi kraniofasial, terdiri dari garis fraktur yang melewati orbita superior bagian lateral hingga zygoma yang melekat pada maksilla. Tulang mid-fasial tersebut pada dasarnya mengalami disartikulasi dari kranium, memberikan karakteristik tampilan dish face appearance. Seringkali fraktur midfacial adalah kombinasi dari cedera yang disebutkan sebelumnya, seperti campuran kompleks Lefort II / Lefort III.

Hidung adalah struktur wajah yang paling sering mengalami cedera, tak dapat disangkal karena posisi yang mencolok pada wajah. Pemeriksaan fisik yang paling akura bila dilakukan sebelum edema pasca trauma. Palpasi tulang hidung dapat menunjukkan adanya mobilitas atau krepitasi yang menunjukkan adanya fraktur tulang nasal. Setiap gumpalan darah yang didapatkan harus disedot dengan hati-hati dan pendarahan kecil dapat diatasi dengan preparat topikal. Inspeksi visual septum harus dilakukan untuk menyingkirkan hematoma septum. Hematoma septum memerlukan evakuasi dan drainase segera saat ditemukan. Jika tidak ditangani, hematoma septum dapat menyebabkan fibrosis dan penyempitan saluran hidung, distorsi septum, dan atau pembentukan abses. Keadaan ini juga dapat menyebabkan nekrosis septum akibat tekanan, yang mengarah ke perforasi septum dan berjung pada nekrosis dengan pembentukan deformitas hidung pelana. Sebagian besar cedera hidung dapat diidentifikasi setelah timbulnya resolusi edema yang signifikan pada pasien multitrauma. Oleh karena itu, dengan pengecualian fraktur displaced hebat, fraktur terbuka, dan hematoma septum, penanganan fraktur tulang nasal dapat ditunda tiga sampai sepuluh hari untuk memungkinkan resolusi edema.

Tulang zygoma sendiri adalah tulang yang relatif kuat dan berfungsi sebagai penopang dari tulang wajah. Suatu fraktur zygoma sendiri adalah kasus yang cukup langka, dan merupakan fraktur yang paling berhubungan dengan baris jahitan yang lemah pada arkus zygomatikus. Fraktur zygoma tersebut lebih sering dikaitkan dengan trauma lateral yang bertolak belakang dengan Fraktur Lefort yang lebih diakibatkan oleh trauma fasialis anterior. Karena adanya artikulasi zygoma dengan maksilla, tulang frontal, dan tulang temporal, pola fraktur di daerah ini kadang-kadang disebut sebagai kompleks zigomatikomaksiller (ZMC), tripod, atau fraktur tulang trimalar. Karena adanya hubungan zygoma dengan orbita, fraktur tulang zygoma dapat menyebabkan fraktur tulang orbita. Jenis fraktur tulang orbita yang paling sering menjadi fraktur adalah dasar orbita atau fraktur "blow-out". Jenis fraktur ini paling sering akibat suatu objek yang mengenai prominensia tulang zigoma dan batas orbita serta meneruskan gayanya langsung ke bola mata. Hal ini kemudian menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler yang, pada gilirannya menyebabkan fraktur dasar atau dinding medial tulang orbita. Yang lebih jarang adalah fraktur dinding lateral dan superior dari orbita.

Gambar 27.22. A. Tampilan frontal dari fraktur tulang kompleks Lefort I, II, dan III. B. Tampilan lateral dari fraktur kompleks Lefort I, II, dan III. (dimodifikasi dari Dolan KD, Jacoby CG, Smoker WR. The radiology of facial fractures. Radiographics 1984;4:575-663.)

Fraktur tulang Naso-orbital-ethmoid (NOE) adalah trauma yang paling sering dikaitkan dengan trauma pada sentral mid fasialis. Fraktur NOE terjadi pada kerangka tulang yang kompleks termasuk tulang orbita, maksilla, hidung, dan kranium. Fraktur di daerah ini melibatkan beberapa fraktur fasialis yang paling sulit dan menantang didiagnosis dan ditangani. Fraktur NOE dapat berdiri sendiri atau paling sering ditemukan terjadi bersama dengan fraktur Lefort atau pan fascial frakture (maksilla dan mandibula). Fraktur di daerah ini dapat menyebabkan kolaps dan telescoping dari tulang hidung dan ethmoid dan dapat menyebabkan fraktur lamina kribrosa. Pada kasus tersebut, insersi tabung nasogastrik akan berisiko karena kemungkinan dapat merusak lamina kribrosa dengan insersi tabung ke ruang intrakranial. Komplikasi ini dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Penempatan tabung nasogastrik di ruang intrakranial telah dilaporkan beberapa kali dalam literatur, namun penempatan intrakranial dari tabung nasotrakhea telah dilaporkan hanya dua kali. Pada kebanyakan kasus, tabung nasotrakhea terlalu lebar untuk menembus lamina kribrosa. Tingkat kecurigaan juga ditingkatkan pada kasus dimana terdapat rhinorrhea cairan serebro spinalis (CSS) pada semua fraktur NOE. Temuan paling sering yang terkait dengan fraktur tulang NOE kominutif adalah telekantus traumatis akibat gangguan tendon canthai media. Penanganan dan reduksi yang tidak memadai sering menyebabkan telekantus permanen, hidung plana, dan penumpulan fisura palpebralis.

Fraktur sinus frontalis mewakili cedera yang kurang mempengaruhi tulang wajah. Insiden berkisar antara 5 sampai 15 persen dari semua fraktur fasialis. Namun, karena daerah frontal membentuk bagian dari otak, potensi kematian dari cedera ini jauh lebih besar dibandingkan dengan fraktur fasialis lainnya (Gambar 27.23, lihat juga halaman berwarna setelah hal 294. Dan Gambar 27.24). Selama evaluasi semua pasien dengan fraktur sinus frontalis harus dianggap sebagai cedera kepala. Cedera intrakranial yang signifikan terjadi lebih sering dengan cedera pada sinus frontalis (12-17% dari waktu) dibandingkan dengan cedera pada mandibula atau mid fasialis. Sehinggan pemeriksaan neurologis menyeluruh sangat penting. Konsultasi bedah saraf harus dilakukan segera saat didapatkan abnormalitas pada pemeriksaan neurologis, perubahan status mental, atau CT scan otak.

PenangananTujuan dari penanganan bedah adalah untuk menstabilkan kembali hubungan antar tulang serta memulihkan dan menjaga fungsi struktur organ vital. Yang paling penting adalah pemulihan oklusi gigi, fungsi mastikasi, fungsi hidung, posisi mata, mobilitas okular, dan volume orbital. Estetika juga merupakan hal penting tapi setelah fungsionalitas. Setiap kali terjadi fraktur fasialis, penanganan harus diarahkan pada rehabilitasi maksimal terhadap pasien. Waktu yang tepat untuk rekonstruksi fraktur fasialis adalah subyek perdebatan dan bervariasi antar ahli bedah yang menangani. Dimana rekonstruksi awal dapat dilakukan pada pasien yang stabil, namun penundaan 7 sampai 10 hari memungkinkan penurunan edema dan memberikan manipulasi tulang dan jaringan lunak menjadi lebih mudah selama bedah rekonstruksi. Penundaan lebih dari 14 hari tidak dianjurkan karena dapat terjadi pembentukan jaringan fibrosa pada segmen tulang fraktur, sehingga rekonstruksi luas tertunda adalah hal yang lebih sulit jika tidak dikatakan mustahil. Kondisi yang dapat menjadi alasan bedah rekonstruksi tertunda adalah pasien tidak stabil, peningkatan tekanan intrakranial (ICP), kebocoran CSS, Skor Glasgow Coma (GCS) 5 atau kurang, bukti perdarahan intrakranial, pergeseran garis tengah intrakranial, dan penipisan sisterna basalis pada CT.

Gambar 27.23. Tampilan saat pembedahan pasien dengan fraktur sinus frontalis.

Adapun fraktur mid fasialis, dasar pemikiran yang digunakan mirip dengan fraktur tulang mandibula. Suatu fraktur kominutif displaced minimal dapat ditangani dengan MMF atau dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal (ORIF) jika enam minggu MMF bukanlah pilihan yang tepat bagi pasien. Untuk fraktur kominutif lanjut atau fraktur mid fasialis displaced, status mandibula mungkin penting untuk penanganan fraktur. Secara klasik, penanganan kebanyakan fraktur fasialis adalah dimulai dengan reduksi fraktur tulang mandibula ke arah superior melalui mid fasialis tersebut. Alasannya adalah bahwa mandibula adalah tulang yang yang paling mudah distabilkan, dan oklusi tulang wajah lainnya dapat diatur untuk mandibula yang telah direduksi. Namun, dengan adanya kemajuan teknik fiksasi rigid, penanganan fraktur fasialis dapat dimulai di daerah di mana fraktur tulang dapat paling mudah distabilkan dan selanjutnya ke fraktur yang paling tidak stabil. OMS berusaha untuk merekonstruksi wajah kembali berdasarkan konsep bahwa struktur tulang wajah tertentu memberikan dukungan utama ke arah vertikal dan anterioposterior.

Beberapa pendekatan yang sering diperlukan untuk mendapatkan lapangan pandang yang baik di mana ORIF diperlukan. Dapat dilakukan Metode akses langsung melalui cedera fasialis bila memungkinkan. Rute operasi yang sering lainnya adalah koronal, hemikoronal, degloving mid fasialis, transkonjungtifa, subsilier, pendekatan Caldwell-Luc, nasoantral window, labiobukal, gillies, dan sayatan alis lateral. Rincian deskripsi dari pendekatan ini tidak akan dibahas. Terlepas dari jenis fraktur fasialis atau pendekatan bedah yang digunakan, prosedur awal harus menempatkan gigi pada oklusi yang tepat, kemudian mereduksi fraktur tulang.

Gambar 27.24. CT-scan tiga-dimensi pascaoperasi setelah repair fraktur sinus frontalis.

Meskipun waktu repair fraktur mungkin berbeda, namun tujuan dalam penanganan fraktur fasialis tetap sama: mengembalikan fungsi dan kosmetik serta pencegahan komplikasi awal dan akhir termasuk malunion, kebocoran CSS, cedera bola mata, gangguan gerakan luar bola mata (EOM), epifora, cedera lakrimalis, pembentukan mucocele, abses otak, osteomyelitis, serta sinusitis akut dan kronis.

INFEKSI KEPALA DAN LEHER Infeksi kepala dan leher adalah salah satu masalah yang paling sulit untuk ditangani oleh OMS. Infeksi ini dapat timbul berkaitan dengan trauma fasialis karena kontaminasi, terutama dengan penanganan tertunda. Infeksi dapat bersifat ringan, baik lokal yang hanya membutuhkan perawatan minimal hingga infeksi daerah wajah berat yang mengancam jiwa. OMS biasanya bertangguang jawab untuk menangani infeksi kepala dan leher yang berasal dari gigi. Bahkan setelah munculnya antibiotik dan meningkatnya perawatan kesehatan gigi, infeksi odontogenik yang serius kadang-kadang masih mengakibatkan kematian. Kematian ini terjadi ketika infeksi mencapai daerah distal dari prosesus alveolaris. Untungnya, sebagian besar infeksi odontogenik biasanya ringan dan mudah ditangani oleh penanganan bedah lokal dan pemberian antibiotik.

Infeksi kepala dan leher odontogenik paling sering disebabkan oleh bakteri komensal yang merupakan bagian dari flora normal mulut. Terutama bakteri aerob kokus gram positif, anaerob kokus gram positif, dan anaerob gram negatif bentuk batang. Penting untuk diingat bahwa sebagian besar infeksi ini bersifat polimikrob, dan tidak jarang akan ditemukan sampai delapan spesies yang berbeda dalam infeksi tertentu. Penggunaan antibiotik sebagai terapi tambahan dalam menangani pasien dengan infeksi odontogenik. Pembedahan tetap menjadi metode penanganan utama pada kebanyakan pasien.

Gambar 27.25. Tampilan klinis pasien dengan angina Ludwig, nasal trumpet diinsersikan untuk membantu jalan napas pasien sementara.

Gambar 27.26. Gambaran CT scan pasien yang sama dengan angina Ludwig.

Bila berasal dari gigi, infeksi kemudian meyebar melalui korteks prosesus alveolaris. Kaidah umum adalah bahwa infeksi akan mengikis tulang yang paling tipis. Kebanyakan infeksi odontogenik menembus tulang menjadi abses vestibular (lokal), dan dapat menyebar ke dalam rongga fasialis. Rongga fasialis primer meliputi rongga kaninus, maksilla, bukal, submandibula, dan sublingual. Infeksi maksillaris odonotogenik yang menyebar ke superior dapat menyebabkan selulitis orbita atau trombosis sinus kavernosus. Jika mengenai rongga submandibular, sublingual, dan submental bilateral, ini dikenal sebagai angina Ludwig, suatau infeksi yang mengancam jiwa (gambar 27.25 dan 27.26). Jika tidak dilakukan perawatan yang tepat untuk infeksi dari rongga fasialis primer, infeksi dapat meluas ke posterior melibatkan rongga fasialis sekunder. Pada titik ini infeksi menjadi lebih parah, menyebabkan komplikasi dan morbiditas yang lebih besar. Infeksi yang melibatkan rongga ini sangat sulit untuk ditangani tanpa intervensi bedah. Rongga fasialis sekunder meliputi rongga maseter, rongga pterygomandibular, dan rongga temporal. Perluasan di luar rongga fasialis sekunder jarang terjadi. Namun dapat terjadi perluasan ke rongga leher dalam. Infeksi rongga leher dalam adalah masalah serius dan mengancam nyawa serta memerlukan konsultasi OMS segera dan kemungkinan intubasi endotrakeal. Rongga leher dalam termasuk diantaranya rongga faring lateral dan rongga retrofaringeal. Infeksi di daerah-daerah ini dapat menimbulkan potensi komplikasi berat: abses basis kranii / abses otak, obstruksi jalan napas bagian atas, aspirasi nanah ke dalam paru-paru serta sesak napas, dan infeksi rongga thoraks berat.

Manajemen dari infeksi sedang hingga berat berdasarkan lima standard goal: dukungan medis pasien, penanganan dengan antibiotik yang tepat, operasi pengangkatan sumber infeksi, drainase bedah dengan penempatan drain, dan reevaluasi. Namun, infeksi rongga fasialis membutuhkan manajemen yang lebih luas dan agresif. Pemeriksaan CT Scan awal akan menunjukkan lokasi edema dan potensi gangguan jalan napas dengan tepat, modalitas ini sangat penting untuk OMS dan ahli anestesi. Namun, pasien yang berpotensi mengalami sumbatan jalan napas harus dibawa langsung ke ruang operasi karena risiko intubasi yang timbul di ruang radiologi. Di ruang operasi, intubasi nasotrakhea (dengan persiapan untuk trakeostomi atau krikotirotomi) juga merupakan metode yang dapat dipilih. Dokter anestei perlu juga mempersiapkan intubasi nasoendotrakea fiber optic, yang kemungkinan diperlukan saat pasien terjaga karena adanya faktor yang membatasi perlindungan saluran napas selama intubasi. Satu penelitian melaporkan bahwa 67 persen pasien dengan angina Ludwig memerlukan intubasi, baik terencana mapun emergensi.