21
PERAWATAN LUKA DALAM KONTEKS TRAUMA MUSKULOSKLETAL & CEDERA SISTEM SARAF PUSAT Saldy Yusuf., MHS.,ETN Chronic Wound Division, Kanazawa University-Japan Griya Afiat Makassar, Wound Care and Home Care Seminar Nasional Keperawatan “Kegawatdaruratan dan penanganan luka pada system muskuloskletal dan system saraf pusat dengan pendekatan emergency nursing” Graha Pena, Makassar Ahad 2 Juni 2013

Traumatic Wound

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Traumatic Wound

Citation preview

PERAWATAN LUKA DALAM KONTEKS

TRAUMA MUSKULOSKLETAL &

CEDERA SISTEM SARAF PUSAT

Saldy Yusuf., MHS.,ETN

Chronic Wound Division, Kanazawa University-Japan

Griya Afiat Makassar, Wound Care and Home Care

Seminar Nasional Keperawatan

“Kegawatdaruratan dan penanganan luka pada

system muskuloskletal dan system saraf pusat

dengan pendekatan emergency nursing”

Graha Pena, Makassar

Ahad 2 Juni 2013

A. PENDAHULUAN

Bencana Tsunami tahun 2004 di kawasan Asia Tenggara menewaskan

setidaknya 225.000 juta jiwa (Maegele et al., 2006)1. Di Iran, insiden Traumatic

Spinal Fraktur (TSF) dilaporkan sebesar 16.35 % per 100.000 penduduk,

dimana pria lebih beresiko dua kali lipat disbanding perempuan(Moradi-Lakeh

et al., 2011). Di Jepang, pasca tsunami 2011 di Fukushima, ada tiga jenis

penyakit; infeksi saluran pernapasan, luka infeksi dan infeksi lain (keracunan,

measles dll)(Takahashi, Goto, Yoshida, Sumino, & Matsui, 2012)

Lebih lanjut luka trauma adalah alasan kedua terbanyak kenapa pasien

masuk ke UGD. Di Amerika Serikat setidaknya ada 11 juta kasus luka trauma di

UGD dan masalah utama pada luka trauma adalah memburuknya luka hingga

infeksi. (Weiss, Oldham, Lin, Foster, & Quinn, 2013) yang kemudian berujung

pada resiko amputasi ekstrimitas bawah yakni sebesar 60 % (Omoke & Nwigwe,

2012) dimana salah satu penyebab utamanya adalah ischemia jaringan (Moller,

Solund, & Hansen, 1985). Oleh karena itu penanganan luka secara tepat saat

terjadi injury menentukan keberhasilan proses penyembuhan.

B. PROSES PENYEMBUHAN LUKA

Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh dan memiliki fungsi yang sangat

kompleks. Luka adalah peristiwa kehilangan jaringan sebagian atau total yang

dapat terjadi secara tiba-tiba (akut) atau perlahan-lahan (kronis).

Adapun proses penyembuhan luka merupakan proses yang dinamis dan

melibatkan kerjasama seluler melalui proses perbaikan (repair) dan regeneresi

jaringan (Reinke & Sorg, 2012).

1. Tahapan pertama proses penyembuhan adalah homestatis yang bertujuan

untuk menghentikan perdarahan local serta melokalisir daerah yang

1

cedera. Proses ini berlangsung sesaat setelah trauma hingga beberapa

jam.

2. Proses kedua adalah inflamasi, dimana neutrofil bergerak menuju

jaringan luka yang bertujuan untuk melakukan proses fagositosis.

3. Tahapan ketiga adalah proliferasi untuk menutup defek luka melalui

pembentukan jaringan baru (granulasi) dan jalinan pembuluh darah abru

(angiogenesis).

4. Proses ke empat, re-epitelisasi, dimana fibroblast mulai menyebrang

melintasi jalinan fibrin untuk membentuk epitelisasi baru dari kedua tepi

luka.

Fase Inflamasi

Fase Proliferasi

Fase Re-epitelisasi

Perlu dipahami bahwa proses penyembuhan luka berlangsung secara simultan,

artinya proses kedua dimulai sebelum proses pertama berakhir (Franz, 2001)

C. TRAUMA MUSKULOSKLETAL

Persoalan trauma telah menjadi masalah pandemic baik di Negara maju

maupun di Negara berkembang (Noordin, Wright, & Howard, 2008) dan

memberikan kontribusi pada tingginya angka kecacatan (Mock & Cherian,

2008) padahal resiko trauma dapat dicegah melalui program edukasi.

Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab trauma muskuloskletal terbesar,

selain bencana alam, keracunan, perang, terjatuh dll (Rossi, Pozzobon, & De

Coppi, 2010). Sifat trauma yang terjadi secara tiba-tiba menimbulkan luka

akut yang bisa berkembang menjadi luka kronis apabila tidak tertangani

dengan baik.

D. TRAUMA SARAF PUSAT

Stroke, traumatic brain injury (TBI), dan spinal cord injury (SCI) adalah

contoh kerusakan irreversible system saraf (Wootla, Denic, Warrington, &

Rodriguez, 2013). Meskipun onsetnya terjadi di saraf, namun tanda dan

gejala bisa saja ditemukan didaerah perifer tubuh. Trauma mekanis atau

ischemic yang memanjang pada otak atau saraf spinal akan mengakibatkan

kerusakan irreversible pada neuron, glia dan endotel yang mengakibatkan

perdarahan, demyelination dan nektorik seluler.

E. KLASIFIKASI INJURY

Ada beberapa system klasifikasi injury, diantaranya(Skaga, Eken, Hestnes,

Jones, & Steen, 2007):

1. Abbreviated injury Scalse (AIS).

2. Injury Severity Score (ISS).

3. The New Injury Severity Score (NISS).

F. MASALAH PADA LUKA TRAUMA

1. INFEKSI

Seeprti dijelaskan sebelumnya bahwa infeksi merupakan komplikasi

umum pada luka trauma. Oleh karena itu tujuan perawatan adalah

bagaimana mencegah perluasan infeksi dari kontaminasi hingga ke

infeksi sistemik. Gambar berikut memperlihatkan tahapan proses infeksi

(Ayello & Cuddigan, 2004)

Namun yang jadi pertanyaan di klinis adalah bagaimana mendiagnosa

status infeksi pada luka. Oleh karena itu, tahun 2006 diusulkan NERDS

dan STONES sebagai alat pengkajian untuk mendiagnosa status infeksi

pada luka (Sibbald, Woo, & Queen, 2007):

2. BIOFILM

Salah satu keistimewaan mikroorganisme adalah kemampuannya untuk

bekerjasama satu sama lain meskipun diantara spesies yang berbeda

untuk meningkatkan virulensinya. Kondisi luka kronis yang bersifat

polymikrobial berdampak pada resiko tinggi pembentukan biofilm,

diperkirakan 60 -80 % luka kronis mengandung biofilm.

Biofilm terbentuk dari hasil komunikasi diantara bakteri dan membentuk

matriks polisakarida yang menyerupai “mantel” pelindung yang

membuat mikroorganisme tahan 1000 kali lipat dibandingkan tanpa

adanya mantel pelindung.

Untuk kasus trauma muskuloskletal, pembentukan biofilm salah satunya

akibat penggunaan implant seperti artificial joint (sendi buatan), plates

(plat besi), dan screw (baut) yang berujung pada prosthetic implant

infection (PII)(Brady, H., Leid, & Shirtliff, 2008)

3. NYERI

Untuk pasien dewasa kita dapat menggunakan skala nyeri numeric,

namun pada anak mungkin agak sulit. Blake Bulloch, et al (2009)

menawarkan Colour Analog Scale (CAS) untuk mengevaluasi nyeri pada

anak baik trauma maupun non trauma dengan nilai repeatability (r=

0.97)(Bulloch, GArcia-Filion, Notricia, Bryson, & Mcconahay, 2009)

G. WOUND BED PREPARATION

Wound bed preparation atau persiapan dasar luka adalah paradigma

universal dan sistematis dalam perawatan luka (Schultz et al., 2003) yang

juga sesuai untuk luka yang sulit sembuh (Ligresti & Bo, 2007). Tahun 2003

wound bed preparation direvisi dalam akronim TIME (Schultz, Barillo,

Mozingo, & Chin, 2004):

Elemen Intervensi

T Tissue Management Debridement

I Inflamation/Infection Topikal/Systemik Antimikrobial

M Moisture Balance Moisture retentive dressing

E Edge of Wound Reasses cause

Tahun 2007, diusulkan penambahan “keseimbangan oksigen” sebagai

elemen wound bed preparation (Sibbald et al., 2007), sehingga algoritma

wound bed preparation menjadi:

H. PEMILIHAN BALUTAN

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan balutan.

Kemampuan praktisi untuk membaca dan memahami masalah yang ada

pada luka menentukan keberhasilan perawatan selanjutnya. Status

eksudat merupakan hal yang krusial dalam pemilihan balutan, berikut

contoh panduan dalam pemilihan balutan (Ayello & Cuddigan, 2004):

Tidak ada Sedikit Sedang Banyak

Film

Hydrogels

Hydrocolloid

Alginate

Foam

I. TERAPI

Perkembangan ilmu dan pengetahuan telah mengantarkan penemuan

modalitas baru dalam pemanfaatan teknologi untuk perawatan luka.

Tissue engineering merupakan bidang interdisipliner yang memanfaatkan

penerapan prinsip-prinsip biology dan engineering untuk pengembangan

material pengganti jaringan atau organ.(Nicoli Aldini, Fini, & Giardino,

2008). Ada tiga strategi dalam pengembangan produk tissue-

engineering(Nicoli Aldini et al., 2008):

a. Penggunaan sel yang ditransplantasikan untuk mengganti fungsi

organ yang injuri.

b. Pengembangan polymer sintesis atau biomaterial lain dengan atau

tanpa penambahan protein, seperti growth factor dan cytokines.

c. Penggunaan sel dalam matriks tiga dimensi, seperti; bilayered skin

substitutes (mengandung keratinocytes dan fibroblast).

1. BIOLOGICAL DRESSING

Biological dressing dapat menjadi pilihan karena sifatnya yang non

kimiawi dan non toksik serta tidak menimbulkan resistensi. Salah

satu yang bisa menjadi pilhan adalah penggunaan maggot

debridement terapi. Husain melaporkan sebuah kasus dengan

traumatic degloving injury pada kaki dengan menggunaakan

maggot(Husain & Fallat, 2003)

2. ADVANCE DRESSING

Cultured Ephitelial Autografts (CEA) dapat digunakan pada luka

bakar post traumatic hingga > 60 % TBSA (Total Body Surface

Area) (Carsin et al., 2000) atau penggunaan dermal substitute.

Sayangnya beberapa balutan berbahan dasar collagen berasal dari

bovine (babi) (Wisser & Steffes, 2003)

3. HYDROTERAPI

Penggunaan hydroterapi dalam perawatan luka juga telah dikenal

sejak lama. Saat ini hydroterapi dengan menggunakan air

bertekanan tinggi dapat digunakan untuk debridement. Versajet

salah satu produk debridement yang efektif untuk jaringan

lunak.(Gurunluoglu, 2007)

Close up view versajet Container penampung

eksudat dan debris

Gurunluoglu, Raffi (2007) melaporkan bahwa penggunaan Versajet

efisien, aman dan cepat untuk debridement secara tepat dan akurat

pada jaringan nekrotik. Berikut beberapa laporan kasus penggunaan

Versajet(Gurunluoglu, 2007)

Dasar luka setelah dilakukan

debridement dengan

menggunakan Versajet

Debridement pada luka bakar

dengan menggunakan

Versajet

4. VACUUM TERAPI

Penggunaan vacuum atau juga dikenal sebagai Negative Pressure

Wound Therapy telah banyak direkomendasikan. Keuntungan

Vacum adalah mempercepat evakuasi eksudat, membantu

pertumbuhan jaringan granulasi dan kontraksi luka. Kanakaris, NK.,

et al menyimpulkan bahwa penggunaan teknologi vacuum sangat

efektif pada pasien trauma ekstrimitas bawah dan luka bakar bila

dibandingkan dengan balutan standar (Kanakaris et al., 2007). Untuk

korban tsunami 2004, teknologi ini telah digunakan.(Maegele et al.,

2006)

Kerusakan jaringan

luas pada panggul dan

ekstrimitas bawah

Aplikasi Vacuum Penyembuhan

setelah skin

grafting.

5. TERAPI ELEKTRIK

Manfaat terapi elektrik telah dilaporkan sejak 50 tahun yang lalu.

Ada beberapa bentuk terapi elektrik yang dapat digunakan,

diantaranya; infra red, ultraviolet, low-energy laser irradiation.

Instrumen terapi listrik secara umum terdiri atas; sumber energy,

osilator dan output amplifier. Dosis stimulasi listrik yang diberikan

kepada pasien dinyatakan dalam satuan ‘current density”. EPUAP

telah merekomendasikan penggunaan terapi elektrik untuk

manajemen pressure ulcers.

J. PERAWATAN LUKA

1. Irigasi

Strategi perawatan luka yang pertama adalah irigasi. Tujuan dari

irigasi adalah untuk melepaskan debris, bakteri dan jaringan mati

lainnya dari dasar luka. Oleh karena itu agar tujuan ini dapat dicapai

secara efektif maka tekanan mekanis harus lebih besar dari daya

rekat material patologis pada permukaan luka namun jangan sampai

tekanan yang diberikan terlalu tinggi hingga merusak jaringan.

Jumlah tekanan yang diberikan saat irigasi sebaiknya 5-8 psi yang

bisa didapat dengan menggunakan spoit 35-60 ml dengan jarum 19 G

(Dulecki & Pieper, 2005), namun tekanan yang efektif saat irigasi

adalah 8 psi yang bisa dihasilkan dengan menggunakan spoit 35 ml

dan jarum 19 G (Dulecki & Pieper, 2005)

Perbandingan tekhnik irigasi dengan besaran tekanan yang dihasilkan

2. Larutan Pencuci Luka

Ada beberapa sayarat yang harus diperhatikan dalam pemilihan

larutan pencuci luka, yaitu (Dulecki & Pieper, 2005):

a. Cost effective.

b. Tersedia luas.

c. Isotonic.

d. Tidak toksis terhadap jaringan.

Penggunaan NaCl 0.9 % sebagai cairan pencuci luka dapat diterima

luas karena sifatnya yang isotonis. Namun perlu dipahami jangan

menggunakan NaCl sisa atau yang segelnya sudah terbuka karena

telah terkontaminasi.

Selain itu, penggunaan air ledeng telah lama dikenal efektif sebagai

larutan pengganti NaCl di Amerika, Australia, Eropa dan Jepang.

Beberapa riset telah mengkonfirmasikan efektifitas air ledeng

sebagai larutan pencuci luka (Weiss et al., 2013)

Untuk penerapan di Indonesia mungkin agak sulit mengingat kualitas

air ledeng kita yang tidak siap minum seperti di Negara-negara maju.

Oleh karena itu penggunaan air mineral kemasan dapat menjadi

alternatif pengganti.

Perbandingan efektifitas air ledeng dan NaCl 0.9 % terhadap infeksi

3. Debridement

Debridement atau nekrotomi ditujukan untuk melepaskan jaringan

mati (nekrotik) dari dasar luka termasuk pelepasan biofilm dari dasar

luka. Debridement secara berkala merupakan pendekatan

fundamental dalam perawatan luka (Kim & Steinberg, 2012)

Secara umum ada beberapa jenis debridement:

a. Surgical Debridement.

b. Sharp Debridement.

c. Autolytic Debridement.

d. Mechanical Debridement.

e. Maggot Debridement.

Setiap jenis debridement memiliki keuntungan tersendiri(Schultz et

al., 2003)

Penggunaan Maggot Debridement Terapi juga dilaporkan efektif

untuk luka kaki diabetic (Marineau, Herrington, Swenor, & Eron,

2011). Selain itu beberapa tekhnik debridement juga dikembangkan,

salah satunya adalah dengan menggunakan plasma (Nusbaum et al.,

2012)

K. KOMPLIKASI

Trauma Muskuloskeletal dan cerebral dapat berakhir dengan komplikasi

hingga kematian. Beberapa komplikasi terkait trauma medulla spinalis

(Waters et al., 1999):

1. Infeksi luka operasi.

Penggunaan external pin dapat menjadi sumber infeksi. Berikut

system klasifikasi yang dapat digunakan terkait dengan infeksi

penggunaan pin(Santy & Lecturer, 2010):

Grade Penampakan

0 Normal Perawatan pin

mingguan

1 Inflamasi Perawatan pin

harian

2 Serous Antibiotik

3 Purulent Antibiotik

4 Osteolysis Lepaskan pin

5 Ring

sequestrum

Debridement

Staphylococus aureus merupakan jenis bakteri yang paling

bertanggung jawab pada infeksi operasi orthopedic, dimana 40 %

diantaranya berasal dari praktisi (dokter, anastesi, perawat)(Barbos,

Mognetti, & Veglio, 2010)

2. Pressure ulcers.

3. Deep vein thrombophlebitis.

Venous thromboembolism terjadi pada 5 %- 78 % pasien trauma.

Tingginya angka komplikasi ini tentunya memberikan gambaran

kualitas perawatan yang diberikan.(Huseynova, Xiong, Ray,

Ahmed, & Nathens, 2009)

4. Emboli pulmonal.

5. Pneumonia.

6. Atelektasis.

Komplikasi pressure ulcer sebagai akibat dari trauma medulla

spinalis berimplikasi pada lama rawat sektiar 73 hari, dengan

distribusi lokasi sacrum (69 %), trochanter (18 %), scalp (5 %),

tumit (1.5 %) dan 5 % pada lokasi lain(Iyun, Malomo, Oluwatosin,

Ademola, & Shokunbi, 2011). Selain itu terdapat hubungan antara

paraplegia dengan insidens pressure ulcers dimana 74 % pressure

ulcer terjadi pada tetraplegia, 18 % pada tetrapelgia incomplete dan

7 % pada complete paraplegia. Luas dan kedalaman luka juga

berkaitan dengan (Iyun et al., 2011)

Selain itu ada juga komplikasi yang berkaitan dengan tindakan.

Salah satunya adalah penggunaan VAC therapy pada pasien

dengan necrotizing fascitis(Citak, Backhaus, Meindl, Muhr, &

Fehmer, 2010), rehospitalisasi akibat komplikasi penyakit, seperti

infeksi saluran perkemihan, infeksi saluran pernapasan (pada

pasien tetra plegia 1-C8), pressure ulcer (pada pasien paraplegia

T1-S5).(Cardenas, Hoffman, Kirshblum, & Mckinley, 2004)

REFERENSI

Ayello, E. a, & Cuddigan, J. E. (2004). Conquer chronic wounds with wound bed preparation. The Nurse practitioner, 29(3), 8–25; quiz 26–7. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15021498

Barbos, M. P., Mognetti, B., & Veglio, S. P. W. P. V. (2010). Decolonization of orthopedic surgical team S . aureus carriers : impact on surgical-site infections, 47–49. doi:10.1007/s10195-010-0081-3

Brady, R. A., H., J., Leid, J. G., & Shirtliff, M. E. (2008). Infections of Orthopaedic Implants and Devices. In M. Shirtliff & J. Leid (Eds.), The

Role of Biofilms in Device-Related Infections (pp. 15–56). Springer.

Bulloch, B., GArcia-Filion, P., Notricia, D., Bryson, M., & Mcconahay, T. (2009). Reliability of the Color Analog Scale : Repeatability of Scores in Traumatic and. Acad Emerg Med, 16(5), 465–469. doi:10.1111/j.1553-2712.2009.00404.x

Cardenas, D. D., Hoffman, J. M., Kirshblum, S., & Mckinley, W. (2004). Etiology and Incidence of Rehospitalization After Traumatic Spinal Cord Injury : A Multicenter Analysis. doi:10.1016/j.apmr.2004.03.016

Carsin, Â., Ainaud, P., Bever, Â. Le, Rives, J., Lakhel, A., Lambert, Â., Perrot, J., et al. (2000). Cultured epithelial autografts in extensive burn coverage of severely traumatized patients : a ® ve year single-center experience with 30 patients, 26.

Citak, M., Backhaus, M., Meindl, R., Muhr, G., & Fehmer, T. (2010). Rare complication after VAC-therapy in the treatment of deep sore ulcers in a paraplegic patient, 1511–1514. doi:10.1007/s00402-010-1091-6

Dulecki, M., & Pieper, B. (2005). Irrigating Simple Acute Traumatic Wounds: A Review of the Current Literature. Journal of Emergency Nursing, 31(2), 156–160. doi:10.1016/j.jen.2005.01.005

Franz, M. G. (2001). Current Problems in Surgery, 38(2).

Gurunluoglu, R. (2007). Experiences with waterjet hydrosurgery system in wound debridement. World journal of emergency surgery : WJES, 2, 10. doi:10.1186/1749-7922-2-10

Husain, Z. S., & Fallat, L. M. (2003). Maggot Therapy for Wound Debridement in a Traumatic Foot-Degloving Injury : A Case Report, 42(6), 6–11. doi:10.1053/j.jfas.2003.09.005

Huseynova, K., Xiong, W., Ray, J. G., Ahmed, N., & Nathens, A. B. (2009). Venous Thromboembolism as a Marker of Quality of Care in Trauma. ACS, 208(4), 547–552.e1. doi:10.1016/j.jamcollsurg.2009.01.002

Iyun, A. O., Malomo, A. O., Oluwatosin, O. M., Ademola, A., & Shokunbi, M. T. (2011). Pattern of presentation of pressure ulcers in traumatic spinal cord injured patients in University College Hospital , Ibadan. International

wound journal, 1–8. doi:10.1111/j.1742-481X.2011.00877.x

Kanakaris, N. K., Thanasas, C., Keramaris, N., Kontakis, G., Granick, M. S., & Giannoudis, P. V. (2007). The efficacy of negative pressure wound therapy in the management of lower extremity trauma: review of clinical evidence. Injury, 38 Suppl 5, S9–18. doi:10.1016/j.injury.2007.10.029

Keller, B. P. J. A., Lubbert, P. H. W., Keller, E., & Leenen, L. P. H. (2005). Tissue-interface pressures on three different support-surfaces for trauma patients, 946–948. doi:10.1016/j.injury.2004.09.017

Kim, P. J., & Steinberg, J. S. (2012). Wound care: biofilm and its impact on the latest treatment modalities for ulcerations of the diabetic foot. Seminars in

vascular surgery, 25(2), 70–4. doi:10.1053/j.semvascsurg.2012.04.008

Ligresti, C., & Bo, F. (2007). Wound bed preparation of difficult wounds: an evolution of the principles of TIME. International wound journal, 4(1), 21–9. doi:10.1111/j.1742-481X.2006.00280.x

Maegele, M., Gregor, S., Yuecel, N., Simanski, C., Paffrath, T., Rixen, D., Heiss, M. M., et al. (2006). One year ago not business as usual: wound management, infection and psychoemotional control during tertiary medical care following the 2004 Tsunami disaster in southeast Asia. Critical care

(London, England), 10(2), R50. doi:10.1186/cc4868

Marineau, M. L., Herrington, M. T., Swenor, K. M., & Eron, L. J. (2011). Maggot debridement therapy in the treatment of complex diabetic wounds. Hawaii medical journal, 70(6), 121–4. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=3233395&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

Mock, C., & Cherian, M. N. (2008). The global burden of musculoskeletal injuries: challenges and solutions. Clinical orthopaedics and related

research, 466(10), 2306–16. doi:10.1007/s11999-008-0416-z

Moller, B. N., Solund, K., & Hansen, S. L. (1985). Clinical and Experimental Forum Wound Infection After Lower Extremity Amputation Because of Ischemia, 262–264.

Moradi-Lakeh, M., Rasouli, M. R., Vaccaro, A. R., Saadat, S., Zarei, M. R., & Rahimi-Movaghar, V. (2011). Burden of traumatic spine fractures in Tehran, Iran. BMC public health, 11, 789. doi:10.1186/1471-2458-11-789

Nicoli Aldini, N., Fini, M., & Giardino, R. (2008). From Hippocrates to tissue engineering: surgical strategies in wound treatment. World journal of

surgery, 32(9), 2114–21. doi:10.1007/s00268-008-9662-1

Noordin, S., Wright, J. G., & Howard, A. W. (2008). Global relevance of literature on trauma. Clinical orthopaedics and related research, 466(10), 2422–7. doi:10.1007/s11999-008-0397-y

Nusbaum, A. G., Gil, J., Rippy, M. K., Warne, B., Valdes, J., Claro, A., & Davis, S. C. (2012). Effective method to remove wound bacteria: comparison of various debridement modalities in an in vivo porcine model. The Journal of surgical research, 176(2), 701–7. doi:10.1016/j.jss.2011.11.1040

Omoke, N. I., & Nwigwe, C. G. (2012). An analysis of risk factors associated with traumatic extremity amputation stump wound infection in a Nigerian setting. International orthopaedics, 36(11), 2327–32. doi:10.1007/s00264-012-1641-3

Reinke, J. M., & Sorg, H. (2012). Wound repair and regeneration. European

surgical research. Europäische chirurgische Forschung. Recherches

chirurgicales européennes, 49(1), 35–43. doi:10.1159/000339613

Rossi, C. A., Pozzobon, M., & De Coppi, P. (2010). Advances in musculoskeletal tissue engineering: moving towards therapy. Organogenesis, 6(3), 167–72. Retrieved from http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=2946049&tool=pmcentrez&rendertype=abstract

Santy, J., & Lecturer, E. N. B. S. (2010). A review of pin site wound infection assessment criteria. International Journal of Orthopaedic and Trauma

Nursing, 14(3), 125–131. doi:10.1016/j.ijotn.2009.11.002

Schultz, G. S., Barillo, D. J., Mozingo, D. W., & Chin, G. A. (2004). Wound bed preparation and a brief history of TIME, 1(1), 19–32.

Schultz, G. S., Sibbald, R. G., Falanga, V., Ayello, E. a, Dowsett, C., Harding, K., Romanelli, M., et al. (2003). Wound bed preparation: a systematic approach to wound management. Wound repair and regeneration : official

publication of the Wound Healing Society [and] the European Tissue

Repair Society, 11 Suppl 1(Figure 1), S1–28. Retrieved from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12654015

Sibbald, R. G., Woo, K. Y., & Queen, D. (2007). Wound bed preparation and oxygen balance--a new component? International wound journal, 4 Suppl

3(3), 9–17. doi:10.1111/j.1742-481X.2007.00388.x

Skaga, N. O., Eken, T., Hestnes, M., Jones, J. M., & Steen, P. A. (2007). Scoring of anatomic injury after trauma : AIS 98 versus AIS 90 –— do the changes affect overall severity assessment ?, 997, 84–90. doi:10.1016/j.injury.2006.04.123

Suhonen, R., Berg, A., Idvall, E., Kalafati, M., Katajisto, J., Land, L., & Lemonidou, C. (2008). Individualised care from the orthopaedic and trauma patients ’ perspective : An international comparative survey. International

journal of nursing studies, 45, 1586–1597. doi:10.1016/j.ijnurstu.2007.12.005

Takahashi, T., Goto, M., Yoshida, H., Sumino, H., & Matsui, H. (2012). Infectious Diseases after the 2011 Great East Japan Earthquake. Journal of

Experimental & Clinical Medicine, 4(1), 20–23. doi:10.1016/j.jecm.2011.11.013

Waters, R. L., Meyer, P. R., Adkins, R. H., Felton, D., Rl, A. W., Jr, M. P. R., Rh, A., et al. (1999). Emergency , Acute , and Surgical Management of Spine Trauma.

Weiss, E. A., Oldham, G., Lin, M., Foster, T., & Quinn, J. V. (2013). Water is a safe and effective alternative to sterile normal saline for wound irrigation prior to suturing: a prospective, double-blind, randomised, controlled clinical trial. BMJ open, 3(1). doi:10.1136/bmjopen-2012-001504

Wisser, D., & Steffes, J. (2003). Skin replacement with a collagen based dermal substitute , autologous keratinocytes and fibroblasts in burn trauma, 29, 375–380. doi:10.1016/S0305-4179(03)00013-5

Wootla, B., Denic, A., Warrington, A. E., & Rodriguez, M. (2013). Need for paradigm shift in therapeutic approaches to CNS injury. Expert Rev

Neurother, 12(4), 409–420. doi:10.1586/ern.12.24.Need