Upload
arestya-andini
View
150
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS MAKALAH
ETIKA PROFESI HUKUM
“INDEPENDENSI DAN PROFESIONALITAS HAKIM”
DISUSUN OLEH :
Firman Dwipinto Pattopang
NPM : 11010024p
PROGRAM STUDI HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PROF. HAZAIRIN, SH BENGKULU
2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku terhadap hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Sebagai salah satu unsur aparat penegakan hukum, tugas seorang
Hakim sungguh sangat berat. Hakim merupakan pengemban hukum praktis
yang menjadi tulang punggung dalam kegiatan penalaran dan penegakan
hukum.
Diantara para penegak hukum yang lain posisi hakim cukup istimewa.
Menurut Wahyuni (2012) hakim merupakan konkretisasi hukum dan keadilan
yang abstrak, bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil tuhan
dibumi untuk menegakkan hukum dan keadilan. Namun, dibeberapa dekade
terakhir, terutama setelah reformasi profesi hakim mendapatkan gugatan dari
berbagai elemen masyarakat karena dianggap hakim masih sering
menggadaikan profesionalitasnya untuk kepentingan sesaat dan jangka
pendek. Pelaksanaan hukum, penegakan rule of law, merupakan syarat
mutlak bagi berdirinya sebuah bangunan demokrasi. Salah satu syarat pilar
pokok suatu negara hukum adalah badan kehakiman atau peradilan yang
bebas dan tidak memihak. Peradilan harus bersifat independen serta impartial
(tidak memihak).
Peradilan yang bebas pada hakekatnya berkaitan dengan untuk
memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan
1
kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan
pihak lain. Hakim diharapkan dapat menjadi benteng atau pelarian terakhir
(the last place) bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu dalam posisi
seperti ini, Hakim dituntut harus mempunyai sikap independensi, kemampuan
profesional, serta moral dan integritas yang tinggi yang mencerminkan rasa
keadilan, memberikan manfaat dan menjamin kepastian hukum.
Menurut Gultom (2012) independensi dan profesionalitas seorang hakim
sangat penting dalam memeriksa dan membuat putusan suatu perkara di
pengadilan. Hal tersebut dicermati dalam tulisan “Penguatan Fungsi Komisi
Yudisial” yang didalamnya diungkapkan mengenai perbedaan pendapat
antara KY dengan MA terkait dengan rekomendasi penjatuhan sanksi non
palu selama enam bulan terhadap majelis hakim yang memeriksa kasus
Antasari Azhar. Keputusan tersebut diambil setelah KY menyimpulkan
bahwa terdapat pengabaian fakta hukum atau alat bukti dalam putusan hakim
yang diperiksa sehingga dianggap telah melanggar prinsip profesionalitas
hakim dalam memutus perkara.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mencermati
lebih lanjut tentang pokok bahasan independensi dan profesionalitas hakim
secara komprehensif, sehingga pada akhirnya dapat menambah pandangan
dan referensi dalam mewujudkan hakim yang berkualitas.
2
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah tulisan ini adalah:
1. Bagaimana cara menjaga independensi dan profesionalitas seorang
hakim?
2. Apakah kendala yang mengancam independensi dan profesionalitas
hakim?
3. Bagaimana idealnya putusan seorang hakim yang independen dan
profesional?
3
LANDASAN TEORI
A. Independensi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, Depdiknas 2005)
tidak ditemukan istilah independen tetapi ditemukan istilah netral. Kata
independen umumnya kita terjemahkan dengan ‘bebas tidak terikat kepada
pihak lain’. Kata netral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (hal.780-781)
antara lain diberi penjelasan “tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu
salah satu pihak)”. Independensi juga diartikan sebagai kemerdekaan,
kebebasan dan ketakterikatan. Istilah independen dan netral dapat digunakan
dalam berbagai lapangan kehidupan politik, jurnalistik, seni budaya,
ekonomi, hukum, organisasi dan sebagainya.
Independensi adalah suatu keadaan atau posisi dimana seseorang atau
lembaga tidak terikat dengan pihak manapun. Arti keberadaan tersebut
adalah mandiri, tidak mengusung kepentingan pihak tertentu atau organisasi
tertentu. Khususnya dalam bidang penegakan hukum, lembaga-lembaga
hukum tersebut mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan hukukm yakni
menciptakan tata tertib di dalam masyarakat. Salah satunya adalah lembaga
kehakiman sebagai lembaga dengan kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan
bebas dari campur tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk
4
menyelenggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum. Oleh
karenanya dalam Pasal 4 ayat (3) UU R.I. Nomor 4 tahun 2004, Pasal 3 ayat
(2) UU Nomor 48 Tahun 2009 ditentukan bahwa segala campur tangan dalam
urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945. Dalam hal ini hakekat independensi
perlu diwujudkan agar dapat menyelaraskan tujuan lembaga kehakiman yang
diwakili oleh sikap seorang hakim.
B. Profesionalitas
Profesional pada hakikatnya bermakna suatu sikap moral yang dilandasi
oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan
kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan,
keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong
terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu
pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja,
sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan secara efektif dan
efisien. Dalam hal ini, sebaik apapun pedoman perilaku hakim jika tidak
diterapkan secara konsisten, maka ia hanya bernilai hukum yang dicita-
citakan (ideal norm). Penerapan secara konsekuen dan konsisten tentang
pedoman perilaku hakim, pada gilirannya diharapkan akan dapat mendorong
timbulnya integritas yang tinggi di kalangan para hakim.
5
Pengembangan profesionalitas hakim sangat dipengaruhi paling tidak
oleh dua hal yaitu model pendidikan dan latihan, serta sistem pendidikan
hakim secara umum (Mukhlas, 2012). Pendidikan tinggi hukum di Indonesia
yang menganut civil law, menghasilkan produk yang memiliki kesenjangan
dengan kualifikasi di level praktis. Walaupun dari segi regulasi, lembaga-
lembaga pendidikan hukum itu telah mengalami banyak kemajuan, yakni
dengan penyempurnaan kurikulum serta masuknya mata-mata kuliah
pendukung, tetapi hal itu belum dapat menjamin keluaran yang profesional
dan siap pakai.
C. Hakim
Hakim adalah aparat penegak hukum/pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh undang undang untuk mengadili/memutus suatu
perkara atau pejabat yang memimpin persidangan. Istilah "hakim" sendiri
berasal dari kata Arab (hakima) حكم yang berarti "aturan, peraturan,
kekuasaan, pemerintah". Dia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang
dituntut. Seorang Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan
pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Kekuasaan hakim
berbeda-beda di berbagai negara. Di indonesia Hakim adalah pegawai negeri
sipil yang mempunyai jabatan fungsional. Kode etik hakim disebut juga kode
kehormatan hakim. Hakim juga adalah pejabat yang melaksanakan tugas
kekuasaan kehakiman yang syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian
dan pelaksanaan tugasnya ditentukan oleh undang-undang.
6
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan mempunyai kewajiban
yaitu:
1. Menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat.
2. Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat baik dan buruk dari tertuduh
dalam menentukan dan mempertimbangkan berat ringannya pidana.
Adapun tanggung jawab seorang hakim adalah sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Hakim Kepada Penguasa
Tanggung jawab hakim kepada penguasa (negara) artinya telah
melaksanakan peradilan dengan baik, menghasilkan keputusan bermutu,
dan berdampak positif bagi bangsa dan negara.
a. Melaksanakan peradilan dengan baik. Peradilan dilaksanakan sesuai
dengan undang-undang, nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masayarakat, dan kepatutan (equity).
b. Keputusan bermutu. Keadilan yang ditetapkan oleh hakim
merupakan perwujudan nilai-nilai undang-undang, hasil penghayatan
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, etika moral masyarakat,
dan tidak melanggar hak orang lain.
c. Berdampak positif bagi masyarakat dan negara. Keputusan hakim
memberi manfaat kepada masyarakat sebagai keputusan yang dapat
dijadikan panutan dan yurisprudensi serta masukan bagi
pengembangan hukum nasional.
7
2. Tanggung Jawab Kepada Tuhan
Tanggung jawab hakim kepada Tuhan Yang Maha Esa artinya telah
melaksanakan peradilan sesuai dengan amanat Tuhan yang diberikan
kepada manusia, menurut hukum kodrat manusia yang telah ditetapkan
oleh Tuhan melalui suara hati nuraninya.
Independensi dan profesionalitas merupakan sikap hidup yang harus
dipegang oleh setiap hakim. Kedua kata ini merupakan kunci bagi perubahan,
perkembangan, dan kemajuan suatu bangsa terutama dalam hal penegakan
hukum. Jadi, bila negara ingin mewujudkan prinsip negara hukum yang maju
dan berkembang, maka kedua prinsip ini harus dikedepankan.
8
PEMBAHASAN
A. Menjaga Independensi dan Profesionalitas Hakim
Menurut Gultom (2012), terdapat dua kategori independensi, yaitu
independensi institusional dan independensi hakim sendiri. Dalam
independensi institusional memiliki pengertian kebebasan kelembagaan
peradilan dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lain, khususnya para pihak
eksekutif dan legislatif. Selanjutnya independensi hakim itu pada dasarnya
melekat dalam pribadi hakim itu sendiri yang mana harus bebas atau
independen dalam mengadili dan memutus perkara yang ditanganinya. Letak
profesionalitas seorang hakim terdapat pada independensinya dalam
memeriksa dan mengadili perkara. Hal ini menjadikan konsep independensi
dan profesionalitas sulit dipisahkan karena pada dasarnya seorang hakim
dapat dikatakan memiliki profesionalitas dengan independensinya. Oleh
karena itu saat terjadi permasalahan antara KY dan MA setelah KY menilai
ada pelanggaran kode etik dan perilaku hakim dalam kasus Antasari Azhar,
menunjukkan bahwa konsep independensi dan profesionalitas masih
menyatu.
Pada akhirnya, dalam tulisan Gultom (2012) menyarankan untuk
mengkaji kembali terkait prinsip kode etik perilaku hakim khususnya masalah
profesionalitas. Prinsip profesionalitas perlu dihapuskan dalam hal ini agar
tidak menimbulkan makna ganda karena pada dasarnya prinsip
profesionalitas tidak terpisahkan dari independensi seorang hakim dalam
mengadili dan memutus perkara. Kejelasan dalam kode etik perilaku seorang
9
hakim sangat mempengaruhi terciptanya lembaga peradilan yang berkualitas
dengan adanya hakim yang independen dan profesional.
Dalam rangka mewujudkan lembaga penegakan hukum yang adil agar
dapat dipercaya masyarakat, independensi dan profesionalitas seorang hakim
perlu dijaga. Untuk menjaga independensi, seorang hakim harus bebas dari
campur tangan pihak-pihak lain yang dalam hal ini bebas dari pengaruh setiap
pekerjaan dalam mengadili dan memberi putusan atas suatu perkara, tidak
memihak kepada siapapun, dan tidak terlibat dalam pertentangan kepentingan
dengan pihak yang terkait perkara. Selain itu juga seorang hakim harus
mampu menahan godaan dan tekanan yang dapat mengganggu
independensinya dalam bertugas. Pada akhirnya apabila independensi sudah
terpelihara dengan baik, maka prinsip profesionalitas akan sejalan terwujud.
B. Kendala yang Mengancam Independensi dan Profesionalitas Hakim
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa independensi
hakim berada dalam alam misterius pikiran dan nurani seorang hakim, yang
peraturan perundang-undangan sekalipun tidak dapat mendeterminasi mutlak
seorang hakim. Dalam proses penyelesaian suatu perkara oleh hakim yang
bebas (independence of judge), kemungkinan timbulnya kekeliruan,
kesalahan atau ketidaksetujuan atas suatu tindakan yustisial hakim dalam
proses peradilan, tidak dapat dikoreksi oleh pemerintah secara administratif.
Kemungkinan timbulnya kekeliruan, kesalahan atau ketidaksetujuan yang
bersifat peradilan, hanya dapat dikoreksi melalui upaya hukum dan bukan
upaya administratif. Dengan demikian hakim harus bebas dalam menjalankan
10
tugas peradilannya. Oleh karena itu tidak diperbolehkan adanya tindakan baik
preventif maupun represif yang bersifat mempengaruhi, terkecuali melalui
upaya hukum yang tersedia menurut undang-undang.
Hakim bebas dalam memeriksa dan memutus suatu perkara
(independence of judiciary). Namun, kebebasan tersebut tidak bersifat
mutlak, karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-
dasar serta asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang
dihadapkan kepadanya, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia (Penjelasan Pasal 1 UU No.4 Tahun 2004). Hal tersebut
berarti kebebasan hakim dibatasi oleh Pancasila, undang-undang, kepentingan
para pihak dan ketertiban umum. Dengan kata lain, putusan hakim tidak boleh
menyimpang dari Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
negara dan bangsa Indonesia.
Kebebasan hakim dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik,
ekonomi dan lainnya. Hakim adalah manusia biasa yang dalam melaksanakan
wewenang dan tugasnya tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan dan
pengaruh sekelilingnya, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga
dan sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of
interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau
perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim, misalnya seorang hakim menunjukkan sikap dan
perilaku yang memihak kepada salah satu pihak yang bersengketa dalam
11
menjalankan tugas yustisialnya. Dengan kata lain, hakim tidak terpengaruh
oleh dorongan perilaku internal yang dapat membuatnya harus mengambil
putusan yang tidak imparsial dan netral akibat pikiran dan nuraninya tidak
lagi mampu berbahasa kejujuran. Dalam menghadapi keadaan demikian
hakim harus dan dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang
tidak tercela, jujur, adil, dan profesionalitas dalam menjalankan wewenang
dan tugasnya. Keadaan tersebut menjelaskan mengenai adanya kendala yang
memungkinkan akan menghampiri independensi dan profesionalitas seorang
hakim.
C. Idealnya Putusan Seorang Hakim yang Independen dan Profesional
Putusan Hakim menurut Sudikno Mertodikusumo dalam Bakti (2009)
adalah “…suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk
mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para
pihak. Putusan Hakim sebagai proses akhir dalam penegakan hukum
merupakan kegiatan yang paling problematis, dilematis dan mempunyai
tingkat kontroversi yang tinggi. Upaya untuk mencari, menemukan dan
menerapkan hukum inilah yang kerapkali menimbulkan rasa tidak puas di
kalangan masyarakat. Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim
memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya.
Kebebasan Hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan
12
menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi
landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga
keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat
Indonesia. Dengan kata lain, kebebasan Hakim berarti harus memperhatikan
Pancasila, undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum.
1. Pandangan mengenai putusan hakim yang ideal:
a. Putusan Hakim Dalam Perspektif Tuntutan Sosial
Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh pandangan
sosial mengenai hukum akan berkata: “Hakim yang baik adalah
Hakim yang memutus sesuai dengan kenyataan atau tuntutan sosial
yang ada dalam masyarakat”.
b. Putusan Hakim Dalam Perspektif Kepastian Hukum
Bagi penganut teori atau konsep yang dipengaruhi oleh kepastian
mengenai hukum akan berkata: “Putusan Hakim yang baik adalah
putusan yang menjamin kepastian hukum.”. Menurut pandangan ini,
hukum harus diterapkan sebagaimana adanya. Tidak boleh ada
pandangan pribadi dalam memutus perkara. Hukum adalah hukum.
c. Putusan Hakim Dalam Perspektif Perpaduan Antara Tuntutan Sosial
Dan Kepastian Hukum
Teori ini menganut pendapat Celcus yang menganggap Hukum adalah
seni (dalam menerapkan) nilai kebaikan dan kepatutan. Apabila terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan
kemanfaatan masyarakat, dengan cara dikembalikan pada keadaan
yang senyatanya terjadi dan apa yang dikehendaki oleh masyarakat.
13
Proses mengadili dalam kenyataannya bukanlah proses yuridis semata.
Proses peradilan bukan hanya proses menerapkan pasal-pasal dan
bunyi undang-undang, melainkan proses yang melibatkan perilaku-
perilaku masyarakat dan berlangsung dalam suatu struktur sosial
tertentu.
d. Putusan Hakim Dalam Perspektif Intelektual
Menurut Bagir Manan adalah bahwa: “Hakim yang baik adalah yang
mampu memadukan antara pertanggungjawaban dengan kepuasan”.
Dalam kenyataan, suatu putusan bertanggungjawab adalah putusan
yang mempunyai tumpuan-tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum
yang kuat, alasan dan pertimbangan-pertimbangan (hukum dan atau
non hukum) yang kuat. Orang boleh berbeda terhadap putusan
semacam ini, tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan karena diputus
atas dasar konsep yang kuat. Jadi, harus dibedakan antara
pertanggungjawaban dengan rasa puas atau tidak puas terhadap suatu
putusan. Pertanggungjawaban adalah untuk Hakim. Puas atau tidak
puas untuk pencari keadilan.
14
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Independensi dalam wujud profesionalitas merupakan harga mati seorang
hakim karena hanya dengan seorang hakim dan pengadilan yang
independen, hakim dapat memeriksa dan memutus suatu perkara secara
adil. Putusan yang memenuhi rasa keadilan adalah mahkota terindah bagi
seorang hakim.
2. Independensi dan profesionalitas seorang hakim memungkinkan
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan lainnya yang
menjadi kendala, termasuk kepentingan pribadi, kepentingan keluarga dan
sebagainya. Keadaan demikian rentan dan dapat menimbulkan conflict of
interest bagi pribadi hakim yang bersangkutan, sehingga perbuatan atau
perilaku hakim demikian dapat menodai kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim
3. Dalam mewujudkan cita-cita pengadilan sebagai pengayom masyarakat,
Hakim memegang peran sentral. Baik atau buruknya citra pengadilan
banyak tergantung pada putusan yang dibuat oleh para Hakim. Dalam
membuat putusan tersebut, Hakim tidak hanya terlingkupi oleh faktor
yuridis saja, melainkan terlingkupi pula oleh variabel sosiologis yang
amat kompleks.
15
B. Saran
1. Dalam menjaga independensi dan profesionalitas hakim dalam negara
yang demokratis, komitmen harus menjadi prioritas. Pengadilan harus
memiliki kekuatan menolak segala godaan dan intervensi dari manapun
yang dapat mempengaruhinya.
2. Untuk meminimalisir adanya kendala dalam hal pengaruh dari lingkungan
sekitarnya, perbaikan kesejahteraan hakim dapat menjadi alternatif dakam
membentuk setiap individu hakim sebagai “hakim yang berjiwa hakim”,
yakni hakim yang mampu secara cermat mengidentifikasi dan kemudian
memfiltrasi dirinya terhadap segala apa pun bentuk forum atau kegiatan
yang patut dipandangnya akan berpotensi mengganggu kebebasan dan
objektifitasnya dalam mengemban profesi luhur sebagai hakim.
3. Untuk menciptakan hasil putusan yang bermutu berbanding lurus dengan
peningkatan independensi dan profesionalitas para hakim. Oleh karena itu,
profesionalitas seorang hakim harus dipelihara dan didukung secara
komprehensif peningkatannya agar dapat menghasilkan hakim yang
berkualitas dengan putusan yang independen.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bhakti, Teguh Satya. 2009. “Kriteria Putusan Hakim Yang Ideal”. [Artikel online]. Tersedia: http://teguhalexander.blogspot.com diakses 17 April 2013.
Goesniadhie S. Kusnu. 2009. “Prinsip Pengawasan Independensi Hakim”. Artikel. Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Balai Pustaka, Depdiknas.
M. Gultom, Binsar. 2012. “Pandangan Kritis Seorang Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia”. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Mukhlas, Sunaryo. 2012. “Integritas dan Profesionalitas Korps Penegak Hukum di Indonesia”. [Artikel Online]. Tersedia: http://www.fshuinsgd.ac.id diakases 17 april 2013.
Wahyuni, Fitri. 2012. “Independensi Kekuasaan Kehakiman Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia”. [Artikel online]. Tersedia: http://fakultashukumunisi.blogspot.com diakses 17 April 2013.
Undang-Undang R.I. Nomor 4 tahun 2004 Pasal 4 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 3 ayat (2)
17