43
Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara RUMAH TINGGAL ADAT BALI Kelompok 10: Andita Dyah S 39211 Anggraeni Kusuma D 39178 Efrita Nur W 39994 Elsana Bekti N 40254 Dika Ardi I 39698 Niswatush Sholihah 39026 Rakha Dewanto 39040 Widasari Yunida P 40022 Jurusan Teknik Arsitektur

Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

RUMAH TINGGAL ADAT BALI

Kelompok 10:

Andita Dyah S 39211

Anggraeni Kusuma D 39178

Efrita Nur W 39994

Elsana Bekti N 40254

Dika Ardi I 39698

Niswatush Sholihah 39026

Rakha Dewanto 39040

Widasari Yunida P 40022

Jurusan Teknik Arsitektur

Universitas Gadjah Mada

2012

Page 2: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

DAFTAR ISI:

I. BAB I PENDAHULUAN

1. Latar belakang

2. Ruang lingkup

3. Maksud dan tujuan penulisan

II. BAB II PEMBAHASAN

III. BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

2. Saran

IV. Daftar Pustaka

Page 3: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

I. PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Esensi dari wujud rumah adat tradisional adalah perwujudan ruang untuk menampung

aktivitas kehidupan manusia dengan pengulangan bentuk dari generasi ke generasi

berikutnya. Proses penurunan tradisi dan perwujudan ruang tersebut hanya sedikit sekali

mengalami perubahan, yang dilatar belakangi oleh norma-norma agama dan dilandasi adat

setempat . Secara spesifik dalam regional Bali terdapat 8 dasar konsep ruang, diantaranya :

• Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana)

• Hirarki tata nilai (Tri Angga)

• Orientasi kosmologis (Sanga Mandala)

• Konsep ruang terbuka (Natah)

• Proporsi dan skala

• Kronologis dan prosesi pembangunan

• Kejujuran struktur (clarity of structure)

• Kejujuran pemakaian material (truth of material)

Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan Asta Kosala – Kosali yang

memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan

ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan

sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah

dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai kewenangan

membantu membangun rumah atau pura.

Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada

ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan

menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan

mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak

tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang

terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari

kiri ke kanan.

Page 4: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

1. Pola Tata Ruang Tradisional

Pola tata ruang Bali dilandasi oleh falsafah Tri Hita Karana.Konsep itu merupakan

implikasi agama Hindu dengan kehidupan masyarakat.Agama Hindu mengajarkan keselarsan

antara bhuana agung (makro kosmos) dengan bhuana alit (mikro kosmos), atau manusia

mengharmoniskan diri dengan lingkungan. Keseimbangan diatur melalui unsur2 Panca

Mahabhuta: apah, teja, bayu, akhasa dan pertiwi (cairan, sinar, angin, udara, zat padat).

Manusia (bhuana alit) sebagai isi dari alam semesta (bhuana agung), senantiasa dalam

keadaan harmonis dan selaras seperti manik (bayi) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim sebagai

tempat hidup dan berkembang bagi janin, demikian dengan alam semesta sebagai tempat

hidup manusia (manik ring cucupu) .Dengan demikian tiap lingkungan buatan harus

memenuhi konsep tri hita karana. Seperti keseimbangan dalam diri manusia, dalam

pemukiman tradisional Bali konsep keseimbangan Tri Hita Karana diterjemahkan sbb :

Foto 1: Atma (parhyangan)

Foto 2: Prana (pawongan)

Page 5: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 3: Angga (palemahan)

2. Orientasi

Selain memberikan nilai secara vertikal, Tri Angga juga memiliki nilai Hulu-

Teben. Konsep Hulu-Teben mempunyai beberapa orientasi :

a. Orientasi dengan konsep sumbu ritual, Kangin-Kauh

b. Orientasi dengan konsep sumbu bumi, Kaja-Kelod

c. Orientasi dengan Konsep Akasa Pertiwi, atas bawah

d. Orientasi Sumbu Ritual, Kangin-Kauh

- Kangin (matahari terbit)-luan, utama

- Kauh (matahari tenggelam)-teben, nista

e. Orientasi Sumbu Bumi, Kaja-Kelod

- Kaja (arah gunung)-luan, utama

- Kelod (arah laut)-teben, nista

f. Orientasi Akasa Pertiwi

- Alam atas – Akasa

- Alam bawah – Pertiwi

Page 6: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

- Konsep Akasa Pertiwi diterapkan pada ruang kosong (open space) disebut

natah.

Foto 4: Orientasi

3. Sanga Mandala/ Nawa Sanga

Foto 5: Nawa Sanga

Lahir dari sembilan manisfestasi Hyang Widhi, yaitu Dewata Nawa Sanga

yang menyebar di delapan arah mata angin dan satu di tengah sebagai penjaga

keseimbangan semesta. Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi

pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Navigasi tradisional Bali ini

merupakan gabungan konsep sumbu bumi arah utara-selatan (Kaja-Kelod) dan konsep

sumbu ritual timur– barat (Kangin-Kauh).

Page 7: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 6: Konsep rumah adat Bali

Page 8: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

II. PEMBAHASAN

 Orang Bali yang terdiri dari beberapa lapisan (kasta) menyebut rumah dengan istilah

yang berbeda-beda. Bagi kasta Brahmana, rumah disebut Geria. Golongan Ksatria menyebut

dengan istilah Puri dan Jero.

Puri dipergunakan jika rumah tersebut ditempati oleh kaum Ksatria yang memegang

pemerintahan rumah mereka disebut dengan nama Jero. Puri dibagi menjadi beberapa bagian

Fungsi masing- masing bagian yaitu Ancak saji sebagai halaman pertama untuk

mempersiapkan diri masuk ke Puri (kelod kauh); Semanggen untuk area upacara pitra

yadnya/kematian (kelod); Rangki untuk area tamu-tamu paseban/persiapan sidang,

pemeriksaan, dan pengamanan (kauh); Pewaregan untuk area dapur dan perbekalan (kelod

kangin); Lumbung untuk penyimpanan dan pengolahan bahan perbekalan/padi dan prosesnya

(kaja kauh); Saren kaja untuk tempat tinggal istri-istri raja (kaja); Saren kangin/saren agung

untuk tempat tingal raja (kangin); Paseban untuk area pertemuan/sidang kerajaan (tengah);

dan Pamerajan agung untuk tempat suci perhyangan (kaja kangin).

Jero merupakan tempat tinggal untuk kasta Ksatria yang tidak memegang

pemerintahan secara langsung. Pola ruang dan zoning, serta bangunannya umumnya lebih

sederhana daripada Puri. Sesuai fungsinya, pola ruang jero dirancang dengan triangga yaitu

Pamerajan sebagai parhyangan, Jeroan sebagai area rumah tempat tinggal, dan Jabaan

sebagai area pelayanan umum atau halaman depan. Jero juga menempati zoning utama kaja,

kangin, atau kaja kangin yang umumnya berada di pusat desa.

Rumah tinggal juga disebut dengan istilah Umah, khususnya bagi mereka yang

berasal dari kasta Wesia dan sudra.

Pada rumah tradisional bali sendiri Tipologi bangunannya disesuaikan dengan

tingkat-tingkat golongan utama, madya, dan sederhana(nista). Tingkatan-tingkatan tersebut

yang sesuai dengan Tri Angga yang merupakan sebuah pembagian area pada rumah

tradisional bali. Di mana utama merupakan bagian yang diposisikaun pada kedudukan yang

paling tinggi, kepala. Lalu Madya, bagian yang terletak di tengah, badan, dan sederhana atau

nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.

Page 9: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Tempat yang merupakan bagian utama adalah ruang untuk tempat pemujaan atau

kegiatan adat. Tempat yang merupakan bagian madya adalah ruang tidur atau bale

meten(tempat tidur), sedangkan yang termasuk bagaian sederhana atau nista yaitu piyasan,

kelod kauh bila difungsikan untuk paon, ada pula fungsinya sebagai jineng atau lumbung,

sumanggen, untuk fungsinya sebagai piyasan di pemerajan diletakkan membujur kangin

kauh, atau bale dauh diletakkan kaja kelod

Adapun tipe-tipenya adalah sakepat, sakenem, sakutus, sakaroras. Dalam bangunan

Bali ada pula yang disebut kari dan penyengkar. Kori adalah pintu masuk ke pekarangan,

sedangkan penyengkar adalah batas pekarang.

a. BANGUNAN SAKEPAT

Bangunan sakapat dilihat dari luas ruang tergolong bangunan sederhana

( nista) yang luasnya sekitar 3 m x 2,5 m, bertiang empat denah segi empat. Satu bale-

bale mengikat tiang. Atap dengan konstruksi kampiah atau limasan. Variasi dapat

ditambahkan dengan satu tiang parba dan satu atau dua tiang pandak. Dapat pula

tanpa bale-bale dalam fungsinya untuk Bale Patok atau fungsi lain yang tidak

memerlukan adanya bale-bale. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau

canggahwang.

Page 10: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 7: Gambar canggahwang

Foto 8: Sumber: I Nyoman Gelebet, 1986

Letak bale sakepat dalam pekarangan rumah berada di sebelah timur untuk fungsinya

sebagai sumanggen, di sisi barat pemerajan untuk fungsinya sebagai piyasan, kelod kauh

bila difungsikan untuk paon. Ada pula fungsi bale sakepat sebagai jineng atau lumbung.

Page 11: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 9: Bangunan Jineng

Unit bangunan Jineng terletak di bagian Tenggara natah umah, dan sering pula

disebut dengan Kelumpu, atau yang memiliki ukuran lebih besar disebut Gelebeg. Fungsi

Jineng ini adalah untuk tempat menyimpan padi (lumbung). Sedangkan yang disebut

Gelebeg, selain dipakai untuk mnyimpan padi, juga dapat digunakan sebagai tempat

beristirahat atau bekerja, seperti menenun kain atau membuat lawar/ mebat, sebab di

bawah ruang simpannya berisi bale-bale di bagian tengah. Bentuk Bangunan Jineng

adalah persegi panjang, dan menggunakan saka/ tiang yang terbuat dari kayu yang dapat

berjumlah 4 (sakepat) dan 6 (sakenem). Bangunan Jineng adalah tempat untuk

menyimpan padi yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari paon.

b. BANGUNAN SAKENEM

Bangunan sakanem dalam perumahan tergolong sederhana(nista) bila bahan dan

penyelesaiannya sederhana. Dapat pula digolongkan madya bila ditinjau dari

penyelesaiannya untuk sakanem yang ditinjau dari penyelesaiannya untuk sakanem yang

dibangun dengan bahan dan penyelesaiannya madya. Bentuk sakanem segi empat

panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebar. Luas bangunan sekitar 6 m x 2 m,

mendekati dua kali luas sakapat.

Konstruksi bangunan terdiri atas 6 berjajar tiga-tiga pada ke dua sisi panjang.

Keenam tiang disatukan oleh satu bale-bale atau empat tiang pada satu bale-bale, dan dua

tiang di teben pada satu bale-bale dengan dua saka pandak. Hubungan bale-bale dengan

konstruksi perangkai sunduk waton, Likah, dan galar. Dalam variasinya, sakanem dengan

Page 12: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

satu bale-bale yang hanya mengikat empat tiang dan dua tiang di teben sehingga memakai

canggahwang karena tidak ada sunduk pengikat.

Dalam komposisi bangunan perumahan, sakenem menempati bagian Kangin atau

Kelod untuk fungsinya sebagai Sumanggen. Jika sakanem difungsikan sebagai Paon

ditempatkan di bagian Kelod Kauh. Sakenem yang difungsikan sebagai Bale Piyasan di

Sanggah atau di Pamerajan ada pula yang disederhanakan. Dua tiang di tengah diganti

sati tiang dengan canggahwang panjang disebut Bale Panca Sari. Konstruksi atap dengan

kampiah atau limasan. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi

dan tingkat kualitasnya.

Foto 10: Sumber: I Nyoman Gelebet, 1986

Page 13: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

BALE PAON/DAPUR

Foto 11: Bangunan Paon

Paon ini terletak di bagian Selatan/Delod natah umah, sehingga sering pula

disebut dengan Bale Delod. Fungsi Paon ini adalah untuk tempat memasak dan juga

dapat digunakan sebagai tempat tidur. Fasilitas di dalam bangunan Paon ini adalah 1

buah bale-bale yang terletak di bagian dalam dan tungku tradisional sebagai tempat

untuk memasak. Bentuk Bangunan Paon adalah persegi panjang, dan menggunakan

saka/ tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem).

Foto 12: Site rumah adat Bali

Page 14: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Bale Paon / Pewaregan ini adalah sebutan dapur pada rumah tradisional Bali. Pada

umumnya, Bale Paon terletak di sebelah selatan, berada pada area Nista karena Bale Paon

merupakan tempat suatu keluarga menyimpan peralatan-peralatan untuk menyembelih hewan

maupun menebang pohon mosalnya pisau, paramg, kapak, dan lain-lain. Paon bisa juga

diartikan sebagai api, oleh sebab itu diletakkan di sebelah selatan rumah Bali karena Dewa

Api mempunyai kekuasaan di daerah selatan Pulau Bali. Bale Paon terdiri dari dua bagian,

yang pertama bagian yang terbuka, yang merupakan dapur yang sebenarya, disebut Jalikan.

Bagian kedua adalah ruangan untuk menyimpan makanan dan alat-alat utuk memasak.

JINENG

Seperti yang sudah dijelaskan pada informasi di atas, Jineng / Lumbung adalah tempat

untuk menyimpan padi. Lumbung ini berada di belakang Sake Enem, di dekat Bale Paon.

Jineng ini ditempatkan lebih tinggi daripada bangunan lain di dalam rumah. Pada tiap sudut

Jineng, terdapat suatu sculpture yang menyerupai rumah merpati besar dengan pintu.

Biasanya terdapat tangga kayu, atau bisa disebut dengan Jan / Gerejak untuk masuk ke lantai

dua tempat menyimpan beras. Sedangkan pada lantai satu dapat digunakan untuk bersantai.

Foto 13: foto Jineng

BALE DAUH

Bale dauh merupakan bagian rumah Bali yang diperuntukkan untuk semua anggota

keluarga, kecuali bagi orang tertua yang tinggal di rumah. Bale Dauh terletak di area Madya,

di bagian barat rumah Bali. Bale Dauh terdiri dare beberapa kamar tidur dan terdapat teras di

Page 15: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

depannya. Bale Dauh biasanya juga dibuat lebih besar dari pada yang lainnya. Ukuran berupa

tanaman sangat umum ditemukan di berbagai bagian di Bale Dauh karena tanaman

mengisyaratkan akan kemakmuran dan kesatuan anggota keluarga.

BALE DANGIN/BALE GEDE

Foto 14: Bale Dangin

Bale dangin merupakan bangunan tradisional bali yang terletak di timur dari halaman

yang berhadapan dengan bale daja. Bale dangin disebut juga dengan balegede apabila

bertiang 12. Fungsi bale dangin ini adalah untuk tempat upacara dan bisa jugadifungsikan

sebagai tempat tidur.

Page 16: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Bentuk bangunan bale dangin adalah segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat

Menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang bisa berjumlah 6 (sakenem), 8

(sakutus/astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras/bale gede). Bangunan bale dangin adalah

rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman,

namun lebih rendah dari bale meten.

BALE METEN

Foto 15: Bale Meten

Bale Meten terletak di bagian utara di sebelah barat sanggah. bentuk bangunan ini

persegi panjang dan dapat mengunnakan tiang atau saka yang terbuat dari kayu yang

berjumlah 8(sakutus) dan 12 (saka roras). fungsi bale meten yaitu sebagai tempat tidur untuk

orang tua atau kepala keluarga yang terletakdi bale sebelah kiri. sedangkan di bale sebelah

kanan digunakan untuk ruang suci, tempat sembhayang,dan tempat menyimpan alat-alat

upacara. Bangunan bale meten ini memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari

Page 17: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

tanah halaman ±75-100cm. Bale meten adalah bangunan yang memiliki tempat tertinggi dari

seluruh bale dalam satu pekarangan.

SANGGAH

Foto 16: Sanggah

Sanggah merupakan tempat suci atau pemujaan kepada tuhan dan roh suci leluhur.

Pada bangunan sanggahi ini terdapat beberapa bangunan dengan fungsinya masing – masing

serta jumlah bangunan-bangunan ini sangat bervariasi dan tergantung dari pemilik. Namun

demikian, yang mutlak terdapat dalam bangunan ini terdiri dari: penglurah, Kemulan,

padmasari atau padmasana, peliangan, taksu dan piyasan.

Page 18: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Ada beberapa macam sanggah, salah satunya adalah :

Sanggah Tutuan

Foto 17: sanggah tutuan

Sanggah tutuan terbuat dari bambu yang berbentuk segi empat sama sisi dan biasanya

memakai atap ijuk, dan pada sumbu atas dibentuk simpul yang menyerupai kerucut seperti

rambut. sanggah tutuan sebagai symbol seorang wiku yang mempunyai makna yaitu sanggah

merupakan sumber dan tutuan yang di maknai yang dituakan atau penggelisir. Contoh

sanggah tutuan dipergunakan dalam upacara mecaru panca kelud.

Sanggah Kemulan

Foto 18: Sanggah Kemulan

Sanggah kemulan merupakan tempat berstananya bhatara hyang guru, yang juga

merupakan tempat pemujaan tri murti. Fungsi sanggah kemulan adalah sebagai tempat suci

Page 19: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

untuk memuja bhatara-bhatari leluhur atau dewa pitara, sedangkan kedudukannya sebagai

pura kawitan yaitu tempat suci pemujaan dimana para penyungsungnya terikat dalam satu

garis keturunan.

Sanggah Merajan Atau Pamerajan

Foto 19: Pamerajan

Sanggah pamerajan berasal dari kata sanggah, artinya sanggar yaitu tempat suci,

sedangkan pamerajan berasal dari kata praja yang berarti keluarga. Jadi sanggah pamerajan

adalah tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Secara singkat, orang menyebutnya sanggah,

atau merajan.

Padmasana

Page 20: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 20: Padmansana

Di bali bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat

pemujaan tuhan yang maha esa. Dengan demikian, pada suatu pura biasanya dilengkapi

dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana terletak di arah timur laut pada sebuah

pura, yang dipandang sebagai tempat sanghyang siwa raditya, dan sangat disucikan oleh umat

hindu. Padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa.

Dilengkapi dengan berbagai bentuk motif hias yang terinspirasi dari bentuk-bentuk yang ada

di alam.

Tinggi padmasana sekitar 3- 4 meter dengan dasar segi empat atau bujur sangkar,

lebar sisi-sisinya sekitar 2- 3 meter, bentuknya mengecil ke arah atas. Struktur bangunannya

terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, bagian badan atau disebut batur, dan bagian

kepala yang disebut sari.

Dilihat dari bentuk bangunan padmasana, jenis padmasana terdiri dari:

1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang

2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada

dua ruang.

3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu

ruang.

Page 21: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

4. Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya

ada satu ruang.

5. Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya

ada satu ruang.

SAKATUS

Bangunan sakatus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi tunggal

sebagai tempat tidur yang disebut Bale Meten. Letaknya di bagian Kaja menghadap Kelod ke

natah berhadapan dengan Sumanggen. Dalam proses membangun rumah, sakatus merupakan

bangunan awal yang disebut paturon. Jaraknya delapan tapak kaki dengan mengurip

angandang, diukur dari tembok pekarangan sisi Kaja. Selanjutnya bangunan-bangunan

lainnya ditentukan letaknya dengan jarak-jarak yang diukur dari Bale sakatus.

Bentuk bangunan segi empat panjang dengan luas sekitar 5 m x 2,5 m. Konstruksi

terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua bale-bale. Masing-masing

bale memanjang Kaja Kelod dengan kepala ke arah luan Kaja. Tiang-tiang dirangkaikan

dengan sunduk, waton, likah, dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus

sunduk dengan lubang tiang. Canggahwang tidak terdapat pada bangunan sakutus.

Konstruksi atap dengan sistem kampiah bukan limasan, difungsikan sebagai sirkulasi

udara selain udara yang melalui celah antara atap dengan kepala dinding. Selain dalam

bentuk sakutus ada pula bangunan bertiang delapan, empat pada sudut dan empat pada sisi

masing-masing. Untuk lumbung yang besar selain Jineng dengan empat tiang terdapat juga

Kelingking atau Gelebeg dengan enam atau delapan tiang.

Dalam variasinya sakutus diberi atap tonjolan di atas depan pintu. Ada pula yang

dilengkapi dengan emper dengan empat tiang berjajar di depan dengan lantai emper yang

lebih rendah dari lantai utama. Lantai bale sakutus lebih tinggi dari bangunan lainnya

dimaksudkan sebagai estetika, filosofi, dan fungsinya.

SAKASANGA

Tiang sanga merupakan bangunan utama untuk perumahan utama. Letak tiang masing-

masing pada keempat sudut, tengah-tengah keempat sisi dan di tengah dengan kencut sebagai

kepala tiang. Satu balai-balai mengikat empat tiang lainnya dengan canggahwang. Konstruksi

atap limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang.

Page 22: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Fungsi utama untuk sumanggen letaknya di bagian kangin atau kelod disebut juga bale

dangin atau bale delod. Dinding tembok pada dua atau tiga sisi terbuka ke arah natah.

Bangunan tiang sanga dapat pula difungsikan sebagai ruang tidur dengan tembok di tengah

memisah ke arah luan balai-balai untuk ruang tidur dan ke arah teben untuk ruang duduk.

Untuk tiang sanga yang difungsikan sebagai tempat tidur umumnya menempati bagian barat

menghadap ke timur.

SAKARORAS

Sakaroras merupakan bangunan utama untuk perumahan utama. Bahan bangunan,

konstruksi dan penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bentuk bangunan berdenah bujur

sangkar dengan konstruksi atap limasan berpuncak satu. Petaka sebagai titik ikatan konstruksi

di puncak atap. Bangunan ini memiliki jumlah tiang 12 buah dengan pembagian empat-empat

sebanyak tiga deret dari luan ke teben. Dua bale-bale masing-masing mengikat empat tiang

dengan sunduk, waton, dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet di teben

dengan canggahwang sebagai stabilitas konstruksinya.

Bangunan tertutup di dua sisi dan terbuka ke arah natah. Ke arah teben tertutup

dengan dinding setengah terbuka namun ada pula yang terbuka. Letak bangunan di bagian

Kangin atau Kelod dan terbuka ke arah natah. Fungsi bangunan sakaroras sebagai

Sumanggen untuk kegiatan adat dan bangunan serba guna memiliki luas sekitar 6m x 6m,

mendekati enam kali luas sakepat, atau tiga kali luas sakenem atau satu setengah kali luas

tiang sanga. Dalam tipologi bangunan perumahan tradisional Bali, sakepat dengan bale-bale

sisi panjang sepanjang tiang dan sisi lebar dua pertiga panjang tiang merupakan modul dasar.

Panjang tiang ditentukan oleh sisi-sisi penampang tiang dan pengurip untuk masing-masing

jenis kasta, peranan penghuni, dan kecenderungan yang ingin dicapai.

Bangunan sakeroras juga disebut Bale Murdha bila hanya satu bale-bale mengikat

empat tiang dibagian tengah. Disebut Gunung Rata atau sakutus handling bila difungsikan

sebagai Bale Meten dengan dedeleg sebagai puncak atapnya. Letaknya di bagian Kaja

menghadap ke natah.

Page 23: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 21: Sakaroras

KUBU

Rumah tempat tinggal di luar pusat permukiman, di ladang, perkebunan atau tempat

lainnya disebut kubu atau pakubon. Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu

lingkungan permukiman. Penghuni rumah tinggal pakubon atau kubu adalah petani atau

nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah dengan kehidupan yang sederhana. Pola

ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa dengan pola rumah/umah. Dapur, tempat kerja,

lumbung, dan tempat tidur masing-masing berada di bawah satu atap/massa bangunan.

Konstruksi bangunan, pemakaian bahan dan penyelesaiannya sederhana dan umumnya tidak

permanen. Batas pekarangan menggunakan pagar hidup, bangunan berlantai tanah, tiang dan

rangka atap kayu atau bambu, dinding gedeg atap alang-alang. Detail-detail tanpa hiasan.

Untuk kegiatan spiritual, pengurusan atau bentuk-bentuk kehidupan tertentu pakubon

disebut pedukuhan. Penghuni pedukuhan umumnya adalah mereka yang sudah lanjut usia

dengan kegiatan yang mengarah pada sosial spiritual. Pedukuhan terletak di luar desa dengan

suasana lingkungan yang mendukung fungsinya.

Dalam kehidupan tradisional, jadwal waktu dipolakan dalam empat brahmacari masa

belajar, grehastha masa berumah tangga, wanaprastha masa pengabdian pengetahuan

pengalaman sosial dan bhiksuka masa pendekatan ke alam abadi. Pada periode wanaprastha

bertempat tinggal di pedukuhan.

Page 24: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

UMAH

Umah merupakan tempat tinggal kasta Wesia atau mereka yang bukan dari kasta

Brahmana dan Ksatria. Kedua kasta tersebut hanya sekitar 10% dari penduduk Bali. Sebagian

besar penduduk desa-desa dipegunungan dan pantai bukanlah kasta Brahmana atau Ksatria,

sehingga rumah-rumah yang ada di daerah tersebut hanyalah umah. Lokasi umah dalam

perumahan di suatu desa dapat menempati sisi-sisi utara, selatan, timur atau barat dari jalan

desa. Pusat-pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale banjar di pusat-pusat

sub lingkungan.

Unit-unit umah dalam perumahan berorientasi ke natah sebagai halaman pusat aktivitas

rumah tangga. Umah di dalam perumahan tradisional merupakan susunan massa-massa

bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan

dengan kori pintu masuk ke pekarangan. Ruangan dapur, tempat kerja, lumbung, dan tempat

tidur di bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa-massa bangunan

umah tempat tinggal menempati bagian-bagian utara, selatan, timur, dan barat membentuk

halaman natah di tengah.

KORI

Pada umumnya, kebanyakan dari masyarakat yang tinggal di Bali dan menganut

kebudayaan Bali tentunya ingin mempunyai bangunan yang berarsitektur Bali, yang

kaidahnya telah mengikuti aturan-aturan yang digunakan dalam membuat rumah arsitektur

tradisional bali, yang didasari oleh lontar Asta Kosali dan Asta Bumi.

Hendaknya dalam membuat bangunan yang bergaya ataupun berkonsep arsitektur

tradisional bali hendaknya menggunakan jasa yang dapat terpercaya, dalam hal ini Undagi

(arsitek tradisional Bali). Karena besarnya resiko (kutukkan Sang Hyang Anala) yang diambil

jika kita dengan gampang menggunakan ukuran-ukuran ataupun jarak-jarak dalam

membangun rumah, walaupun resiko itu bisa saja terjadi ataupun tidak terjadi menurut

kepercayaan masing-masing.

Dalam membuat Kori yang biasanya menjadi pedoman dalam ukuran dan tata

letaknya adalah tembok pembatas dari bangunan atau halaman. Besar ukuran Kori tergantung

dari keperluan, ukuran tubuh pemilik dan jabatan (warna dan wangsa) pemilik. Berikut

adalah tata letak kori menurut aturannya:

1. Apabila pintu menghadap ke Timur, tembok diukur dari Timur Laut ke

Tenggara.

Page 25: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

2. Apabila pintu menghadap ke Selatan, tembok diukur dari Tenggara ke Barat

Daya.

3. Apabila pintu menghadap ke Barat, tembok diukur dari Barat Daya ke Barat

Laut.

4. Apabila pintu menghadap ke Utara, tembok diukur dari Barat Laut ke Timur

Laut.

Kemudian panjang tembok yang telah diukur itu dibagi menjadi lima atau sembilan

menurut kesenangan, tapi kebanyakan orang-orang menggunakan pembagian sembilan.

Adapun tiap-tiap pembagian tersebut dapat dijelaskan kebaikan dan keburukan yang di

timbulkan sebagai berikut:

Dibagi Lima:

1. Karta : Sentosa

2. Karti : Baik

3. Kala : Buruk

4. Kali : Susah

5. Sanggara : Menderita

Dibagi Sembilan:

i. Pintu yang menghadap ke Timur:

1. Berputra

2. Sering susah

3. Buruk

4. Pandai

5. Kematian

6. Sentaosa

7. Kaya

8. Dicela

9. Beruntung

ii. Pintu yang menghadap ke Selatan:

1. Berdosa

2. Beristri

3. Mendapat Pangan

Page 26: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

4. Tercapai Maksudnya

5. Sederhana

6. Sering susah

7. Bimbang

8. Sentaosa

9. Kecurian

iii. Pintu yang menghadap ke Barat:

1. Sering sakit

2. Kedatangan orang tua

3. Berputra

4. Dikuasai oleh istri

5. Kecurian

6. Beruntung

7. Sentaosa

8. Berdosa karena anak

9. Miskin

iv. Pintu yang menghadap ke Utara:

1. Mendapat uang tidak sah (seperti korupsi)

2. Kaya

3. Berputra

4. Dihormati sesama

5. Sering susah

6. Kaya

7. Kaya karena istri

8. Susah karena orang lain

9. sering susah.

Page 27: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 22: Kori

Pintu masuk ke sebuah pekarangan disebut kori atau Kori Agung untuk tempat-tempat

yang diagungkan, di beberapa tempat disebut Aring atau Angkul-angkul. Sesuai dengan

fungsinya untuk pintu masuk atau keluar, maka disebut pula pemesuan dalam bentuknya

yang sederhana atau pemedalan untuk perumahan dari penghuni yang berkasta brahmana atau

ksatria.

Bentuk masa bangunan adalah pasangan masif dengan lubang masuk beratap. Atap

kori bisa merupakan pasangan lanjutan dari bagian badan, dapat pula merupakan konstruksi

rangka penutup atap serupa dengan atap bangunan rumah. Dalam bentuknya yang tradisional,

lengkap dengan anak tangga, baik anak tangga naik maupun turun.

Dalam perkembangannya, dengan adanya sepeda motor keluar masuk kori, tangga-

tangga dilengkapi dengan lintasan roda atau anak tangga dihilangkan. Lobang kori tingginya

apanyujuh (tangan direntangkan ke atas) dan lebar kori apajengking (tangan bercekak

pinggang). Dengan adanya lintasan kendaraan, lebar lobang kori disesuaikan dengan apa

yang melintasinya.

Page 28: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 23: Kori

Dalam variasinya kori dibangun dengan berbagai kemungkinan untuk keindahan

sesuai dengan fungsi dan lingkungannya, untuk kori yang tergolong utama di perumahan,

kori dipergunakan sebagai pintu formal untuk upacara-upacara resmi, sedangkan sebagai

pintu sehari-hari dibangun pintu harian disamping pintu utama yang disebut betelan atau

peletasan.Untuk pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madia juga dibangun kori

untuk pintu betelan ke arah samping atau belakang. Letak kori pada bagian tertentu disisi

pekarangan menghadap ke jalan depan rumah.

Page 29: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Foto 24: Kori

Sedangkan pada tempat-tempat yang diagungkan seperti Pura, kori umumnya

bergandengan dengan tembok penyengker dengan 4 paduraksa pada keempat sudutnya.

Adapun kori pada pura berfungsi sebagai pintu gerbang yang membagi komplek pura

menjadi beberapa bagian :

1. Kori I disebut Candi Bentar, adalah simbul dari pecahnya Gunung Kailaca tempat

Dewa Ciwa bertapa. Diluar Candi Bentar ini (halaman luar) biasanya terdapat Bale

Kulkul dan Wantilan.

Page 30: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

2. Kori II biasanya merupakan Candi Kurung (Kori Agung) adalah untuk memasuki

halaman dalam (Jeroan) dan disebelahnya dibuatkan Betelan dengan dikanan kirinya

diisikan arca-arca Dwara Pala.

Diatas Kori Agung diisi hiasan Kala sebagai putra Ciwa, Candi Bentar merupakan

simbolis dari mulut yang ternganga dan Candi Kurung simbolis daripada Klep (Cadik

Kerongkongan) yang disebut juga dengan istilah : “Rahasia Muka†yang ada dimulut�

sebelum kedalam untuk mendapatkan rahasia yang ada didalamnya.

Dalam halaman jeroan terdapat pelinggih-pelinggih sbb :

5. Meru (maha Meru) merupakan tempat dewa-dewa berstana.

6. Gedong adalah stana dari pada sakti-sakti paripada dewa-dewa yang disebut

Dwei (Betari) seperti Gedong untuk Dewi Sri dll.

7. Menjangan Sluang untuk mengenang danmenghubungkankita dengan Mpu

Kuturan

- Padmasana : Stana Sang Hyang Widhi

8. Pengarungan : Tempat sementara untuk diaturi aci-aci (turun dari

pelinggihnya masing-masing)

9. Piyasan : tempat menghias arca-arca dalam rangkaian upacara

10. Balai Peselang : untuk menghaturkan sesajen

11. balai Pewedang ; tempat untuk pendeta menghaturkan sesajen

12. Tugu Capah : tempat Bhuta Kala dalam hubungan penjaga pura dalam alam

niskala.

PENEMPATAN KORI

Untuk penempatan Kori dipakai pedoman sebagai berikut :

Pertama-tama lebar tembok (panjang muka pekarangan) yang akan dibangun kori

diukur seluruhnya, setelah itu dibagi 9. Setiap bagian itu mempunyai nama dan makna

tersendiri. Penempatan kori itu ada ketentuan masing-masing sesuai denganmuka rumah

(halaman) kita menghadap ke arah mana, misalnya :

1. Pintu Gerbang menghadap ke Timur harus memperhatikan ketentuan muka sebelah

Utara (Timur Laut) dengen sebutan sbb : 1. Wekasih Perih, 2. Kena Bakten, 3. Suka

Page 31: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Mageng, 4. Kena Bakten, 5. Kebrahman, 6. Dana Werdi 7. Nohan, 8. Stri Jahat, 9.

Dirga Yusa

Dari nama-nama dan makna tsb, dipilih lokasi pada perhitungan ke berapa sesuai

dengan makna yang kita kehendaki, sebagai contoh pilihlah nomor ke #9, yaitu Dirga Yusa.

2. Pintu menghadap ke Selatan, maka diukur dari ujung Timur (Tenggara) ; 1. Baya

Agung, 2. Tan Panak, 3. Suka Mageng 4. Brahma Stana, 5. Dana werdi, 6. Tan Werdi

Sugih, 7. Tan Werdi, 8. kepaten paten, 9. Ke Geringan

3. Kori menghadap ke Barat, diatur dengan mengukur dari ujung Barat Daya (Utara) ke

Tenggara memakai perhitungan dengan sebutan sbb : 1. Baya Agung, 2. Musuh

Makuweh, 3. Werdi Emas, 4. Werdi Guna, 5. Danawan, 6. Brahma Stana, 7. Suka

Mageng, 8.Kapyutangan, 9.Karogan Kala.

4. Kori menghadap ke Utara, diukur dari sudut Barat (Barat Laut) ke Arah Timur dengan

sebutan sbb; 1. Tan Panak, 2. Kawikanan, 3. Nohan, 4. Kadalih, 5. Danawan,6.

Kapyutang, 7. Suka Mageng,8. Kawisesan, 9. Kawignan

Selain arti tersebut yang sangat berpengaruh bagi pemiliknya, terdapat pula babarapa

pantangan/larangan seperti misalnya :

1. Letak Meten (tempat tidur) tidak boleh berpasangan dengan Dapur (pawon)

2. Pekarangan tidak boleh “ditumbak†lorong, yaitu pekarangan tepat berada di�

ujung lorong

3. Kalau Pawon terletak di selatan/Barat, (bungut Pawon yaitu tempat lubang api dapur

harus menghadap ke Utara.

Rumah adat Bali yang lengkap merupakan suatu komplek perumahan yang harus

dapat menunjang sebagian besar aspek kehidupan penghuninya. Merupakan suatu syarat juga

bahwa perumahan adat Bali itu dilingkari dengan tembok. Temboknya diperkuat dengan

pilar-pilar kokoh pada masing-masing sudutnya yang disebut Paduraksa. Paduraksa yang 4

buah banyaknya mempunyai nama-nama :

1. Sudut sebelah Tenggara disebut Aji Raksa,

2. Sudut sebelah Barat Daya disebut Ludra Raksa,

3. Sudut sebelah Barat Laut disebut Kala Raksa,

4. Sudut sebelah Timur Laut disebut Sri Raksa.

Page 32: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

Tembok dan Paduraksa itu berfungsi sebagai batas rumah dan melindungi dari

gangguan luar dan juga berfungsi menghubungkan dengan penguasa Asta Loka yang masing-

masing sudut memiliki kekuatan yang seolah-olah merentangkan tangannya saling

berpegangan menghadap ke dalam menjaga dan melindungi penghuninya. Dalam pengertian

Paduraksa tembok penyengker yang dilengkapi dengan penguripnya. Masing-masing

Paduraksa terbagi atas elemen-elemen kepala, badan dan kaki seperti halnya bangunan Bali

lainnya.

Page 33: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

III. DAFTAR PUSTAKA

http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=1603

http://budayanusantara2010.wordpress.com/kebudayaan-tradisional-indonesia/rumah-adat/rumah-adat-bali/

http://blueskyplanet.blogspot.com/2010/06/tipologi-bangunan-tradisional-bali.html

http://fariable.blogspot.com/2010/11/desa-adat-penglipuran-bali.html

http://klicksambara.blogspot.com/2010/10/typologi-bangunan-pada-rumah.html

http://indahjayanthi.blogspot.com/2011/12/bale-dangin.htmlhttp://gajahpare.blogspot.com/2012/03/bentuk-fungsi-dan-material-bangunan.html

http://repo.isi-dps.ac.id/216/1/bentuk_fungsi_dan_material_bangunan_rumah_tinggal_tradisional_bali_madya_i.pdf

http://arsundwi.wordpress.com/2011/04/04/pengabdian-masyarakat-di-ayunan/bale-meten-2/

http://2.bp.blogspot.com/-rw5jr0dqksg/t1mhaibktwi/aaaaaaaaabq/9i2z55yidum/s1600/sanggah.jpghttp://fotografi.blog.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/11/50409379_sanggah1.jpghttp://uparenggacanangsari.blogspot.com/2010/12/sanggah-tutuan.html

http://cakepane.blogspot.com/2010/04/tempat-suci-didalam-pekarangan-rumah.html

http://i1239.photobucket.com/albums/ff515/dewibedulu/merajan.jpg

http://id.wikipedia.org/wiki/berkas:padmasana-solo_baru.jpg

http://batubalilestari.wordpress.com

http://www.babadbali.com/pura/plan/mendala/padmasana.jpg

http://mercumahadiblogspot.blogspot.com/2012/12/bangunan-padmasana-di-bali.html

http://blisekenbali.com/wacana/padmasana

dps.ac.id/216/1/Bentuk_Fungsi_dan_Material_Bangunan_Rumah_Tinggal_Tradisional_Bali_Madya_I.pdf

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=pakubon&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CF0QFjAI&url=http%3A%2F%2F27maret.blogspot.com%2F2009%2F12%2Fciri-khas-arsitektural-bali-2.html&ei=SN0xUfSrN8LyrQeiw4AQ&usg=AFQjCNE_peJL4_whgekmYdPU8E6Ij7YfjA&bvm=bv.43148975,d.bmk

http://www.putumahendra.com/kori/

http://winpurge.blogspot.com/2008/11/kori.html

https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/asta-kosala-kosali-arsitektur-bali-fengshui-membangun-bangunan-di-bali/357005384322114

Page 34: Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara

http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND.TEKNIK_SIPIL/197605132006041-NURYANTO/arsitektur_vernakular.pdf