Upload
harum-putri-p
View
445
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
Tugas Sejarah Perkembangan Arsitektur Nusantara
RUMAH TINGGAL ADAT BALI
Kelompok 10:
Andita Dyah S 39211
Anggraeni Kusuma D 39178
Efrita Nur W 39994
Elsana Bekti N 40254
Dika Ardi I 39698
Niswatush Sholihah 39026
Rakha Dewanto 39040
Widasari Yunida P 40022
Jurusan Teknik Arsitektur
Universitas Gadjah Mada
2012
DAFTAR ISI:
I. BAB I PENDAHULUAN
1. Latar belakang
2. Ruang lingkup
3. Maksud dan tujuan penulisan
II. BAB II PEMBAHASAN
III. BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
IV. Daftar Pustaka
I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Esensi dari wujud rumah adat tradisional adalah perwujudan ruang untuk menampung
aktivitas kehidupan manusia dengan pengulangan bentuk dari generasi ke generasi
berikutnya. Proses penurunan tradisi dan perwujudan ruang tersebut hanya sedikit sekali
mengalami perubahan, yang dilatar belakangi oleh norma-norma agama dan dilandasi adat
setempat . Secara spesifik dalam regional Bali terdapat 8 dasar konsep ruang, diantaranya :
• Keseimbangan kosmologis (Tri Hita Karana)
• Hirarki tata nilai (Tri Angga)
• Orientasi kosmologis (Sanga Mandala)
• Konsep ruang terbuka (Natah)
• Proporsi dan skala
• Kronologis dan prosesi pembangunan
• Kejujuran struktur (clarity of structure)
• Kejujuran pemakaian material (truth of material)
Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan Asta Kosala – Kosali yang
memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan
ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan
sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah
dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang mempunyai kewenangan
membantu membangun rumah atau pura.
Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada
ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan
menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan
mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak
tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang
terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari
kiri ke kanan.
1. Pola Tata Ruang Tradisional
Pola tata ruang Bali dilandasi oleh falsafah Tri Hita Karana.Konsep itu merupakan
implikasi agama Hindu dengan kehidupan masyarakat.Agama Hindu mengajarkan keselarsan
antara bhuana agung (makro kosmos) dengan bhuana alit (mikro kosmos), atau manusia
mengharmoniskan diri dengan lingkungan. Keseimbangan diatur melalui unsur2 Panca
Mahabhuta: apah, teja, bayu, akhasa dan pertiwi (cairan, sinar, angin, udara, zat padat).
Manusia (bhuana alit) sebagai isi dari alam semesta (bhuana agung), senantiasa dalam
keadaan harmonis dan selaras seperti manik (bayi) dalam cucupu (rahim ibu).Rahim sebagai
tempat hidup dan berkembang bagi janin, demikian dengan alam semesta sebagai tempat
hidup manusia (manik ring cucupu) .Dengan demikian tiap lingkungan buatan harus
memenuhi konsep tri hita karana. Seperti keseimbangan dalam diri manusia, dalam
pemukiman tradisional Bali konsep keseimbangan Tri Hita Karana diterjemahkan sbb :
Foto 1: Atma (parhyangan)
Foto 2: Prana (pawongan)
Foto 3: Angga (palemahan)
2. Orientasi
Selain memberikan nilai secara vertikal, Tri Angga juga memiliki nilai Hulu-
Teben. Konsep Hulu-Teben mempunyai beberapa orientasi :
a. Orientasi dengan konsep sumbu ritual, Kangin-Kauh
b. Orientasi dengan konsep sumbu bumi, Kaja-Kelod
c. Orientasi dengan Konsep Akasa Pertiwi, atas bawah
d. Orientasi Sumbu Ritual, Kangin-Kauh
- Kangin (matahari terbit)-luan, utama
- Kauh (matahari tenggelam)-teben, nista
e. Orientasi Sumbu Bumi, Kaja-Kelod
- Kaja (arah gunung)-luan, utama
- Kelod (arah laut)-teben, nista
f. Orientasi Akasa Pertiwi
- Alam atas – Akasa
- Alam bawah – Pertiwi
- Konsep Akasa Pertiwi diterapkan pada ruang kosong (open space) disebut
natah.
Foto 4: Orientasi
3. Sanga Mandala/ Nawa Sanga
Foto 5: Nawa Sanga
Lahir dari sembilan manisfestasi Hyang Widhi, yaitu Dewata Nawa Sanga
yang menyebar di delapan arah mata angin dan satu di tengah sebagai penjaga
keseimbangan semesta. Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi
pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Navigasi tradisional Bali ini
merupakan gabungan konsep sumbu bumi arah utara-selatan (Kaja-Kelod) dan konsep
sumbu ritual timur– barat (Kangin-Kauh).
Foto 6: Konsep rumah adat Bali
II. PEMBAHASAN
Orang Bali yang terdiri dari beberapa lapisan (kasta) menyebut rumah dengan istilah
yang berbeda-beda. Bagi kasta Brahmana, rumah disebut Geria. Golongan Ksatria menyebut
dengan istilah Puri dan Jero.
Puri dipergunakan jika rumah tersebut ditempati oleh kaum Ksatria yang memegang
pemerintahan rumah mereka disebut dengan nama Jero. Puri dibagi menjadi beberapa bagian
Fungsi masing- masing bagian yaitu Ancak saji sebagai halaman pertama untuk
mempersiapkan diri masuk ke Puri (kelod kauh); Semanggen untuk area upacara pitra
yadnya/kematian (kelod); Rangki untuk area tamu-tamu paseban/persiapan sidang,
pemeriksaan, dan pengamanan (kauh); Pewaregan untuk area dapur dan perbekalan (kelod
kangin); Lumbung untuk penyimpanan dan pengolahan bahan perbekalan/padi dan prosesnya
(kaja kauh); Saren kaja untuk tempat tinggal istri-istri raja (kaja); Saren kangin/saren agung
untuk tempat tingal raja (kangin); Paseban untuk area pertemuan/sidang kerajaan (tengah);
dan Pamerajan agung untuk tempat suci perhyangan (kaja kangin).
Jero merupakan tempat tinggal untuk kasta Ksatria yang tidak memegang
pemerintahan secara langsung. Pola ruang dan zoning, serta bangunannya umumnya lebih
sederhana daripada Puri. Sesuai fungsinya, pola ruang jero dirancang dengan triangga yaitu
Pamerajan sebagai parhyangan, Jeroan sebagai area rumah tempat tinggal, dan Jabaan
sebagai area pelayanan umum atau halaman depan. Jero juga menempati zoning utama kaja,
kangin, atau kaja kangin yang umumnya berada di pusat desa.
Rumah tinggal juga disebut dengan istilah Umah, khususnya bagi mereka yang
berasal dari kasta Wesia dan sudra.
Pada rumah tradisional bali sendiri Tipologi bangunannya disesuaikan dengan
tingkat-tingkat golongan utama, madya, dan sederhana(nista). Tingkatan-tingkatan tersebut
yang sesuai dengan Tri Angga yang merupakan sebuah pembagian area pada rumah
tradisional bali. Di mana utama merupakan bagian yang diposisikaun pada kedudukan yang
paling tinggi, kepala. Lalu Madya, bagian yang terletak di tengah, badan, dan sederhana atau
nista, bagian yang terletak di bagian bawah, kotor, rendah, kaki.
Tempat yang merupakan bagian utama adalah ruang untuk tempat pemujaan atau
kegiatan adat. Tempat yang merupakan bagian madya adalah ruang tidur atau bale
meten(tempat tidur), sedangkan yang termasuk bagaian sederhana atau nista yaitu piyasan,
kelod kauh bila difungsikan untuk paon, ada pula fungsinya sebagai jineng atau lumbung,
sumanggen, untuk fungsinya sebagai piyasan di pemerajan diletakkan membujur kangin
kauh, atau bale dauh diletakkan kaja kelod
Adapun tipe-tipenya adalah sakepat, sakenem, sakutus, sakaroras. Dalam bangunan
Bali ada pula yang disebut kari dan penyengkar. Kori adalah pintu masuk ke pekarangan,
sedangkan penyengkar adalah batas pekarang.
a. BANGUNAN SAKEPAT
Bangunan sakapat dilihat dari luas ruang tergolong bangunan sederhana
( nista) yang luasnya sekitar 3 m x 2,5 m, bertiang empat denah segi empat. Satu bale-
bale mengikat tiang. Atap dengan konstruksi kampiah atau limasan. Variasi dapat
ditambahkan dengan satu tiang parba dan satu atau dua tiang pandak. Dapat pula
tanpa bale-bale dalam fungsinya untuk Bale Patok atau fungsi lain yang tidak
memerlukan adanya bale-bale. Konstruksinya cecanggahan, sunduk, atau
canggahwang.
Foto 7: Gambar canggahwang
Foto 8: Sumber: I Nyoman Gelebet, 1986
Letak bale sakepat dalam pekarangan rumah berada di sebelah timur untuk fungsinya
sebagai sumanggen, di sisi barat pemerajan untuk fungsinya sebagai piyasan, kelod kauh
bila difungsikan untuk paon. Ada pula fungsi bale sakepat sebagai jineng atau lumbung.
Foto 9: Bangunan Jineng
Unit bangunan Jineng terletak di bagian Tenggara natah umah, dan sering pula
disebut dengan Kelumpu, atau yang memiliki ukuran lebih besar disebut Gelebeg. Fungsi
Jineng ini adalah untuk tempat menyimpan padi (lumbung). Sedangkan yang disebut
Gelebeg, selain dipakai untuk mnyimpan padi, juga dapat digunakan sebagai tempat
beristirahat atau bekerja, seperti menenun kain atau membuat lawar/ mebat, sebab di
bawah ruang simpannya berisi bale-bale di bagian tengah. Bentuk Bangunan Jineng
adalah persegi panjang, dan menggunakan saka/ tiang yang terbuat dari kayu yang dapat
berjumlah 4 (sakepat) dan 6 (sakenem). Bangunan Jineng adalah tempat untuk
menyimpan padi yang memakai bebaturan dengan lantai yang lebih rendah dari paon.
b. BANGUNAN SAKENEM
Bangunan sakanem dalam perumahan tergolong sederhana(nista) bila bahan dan
penyelesaiannya sederhana. Dapat pula digolongkan madya bila ditinjau dari
penyelesaiannya untuk sakanem yang ditinjau dari penyelesaiannya untuk sakanem yang
dibangun dengan bahan dan penyelesaiannya madya. Bentuk sakanem segi empat
panjang, dengan panjang sekitar tiga kali lebar. Luas bangunan sekitar 6 m x 2 m,
mendekati dua kali luas sakapat.
Konstruksi bangunan terdiri atas 6 berjajar tiga-tiga pada ke dua sisi panjang.
Keenam tiang disatukan oleh satu bale-bale atau empat tiang pada satu bale-bale, dan dua
tiang di teben pada satu bale-bale dengan dua saka pandak. Hubungan bale-bale dengan
konstruksi perangkai sunduk waton, Likah, dan galar. Dalam variasinya, sakanem dengan
satu bale-bale yang hanya mengikat empat tiang dan dua tiang di teben sehingga memakai
canggahwang karena tidak ada sunduk pengikat.
Dalam komposisi bangunan perumahan, sakenem menempati bagian Kangin atau
Kelod untuk fungsinya sebagai Sumanggen. Jika sakanem difungsikan sebagai Paon
ditempatkan di bagian Kelod Kauh. Sakenem yang difungsikan sebagai Bale Piyasan di
Sanggah atau di Pamerajan ada pula yang disederhanakan. Dua tiang di tengah diganti
sati tiang dengan canggahwang panjang disebut Bale Panca Sari. Konstruksi atap dengan
kampiah atau limasan. Bahan bangunan dan penyelesaiannya disesuaikan dengan fungsi
dan tingkat kualitasnya.
Foto 10: Sumber: I Nyoman Gelebet, 1986
BALE PAON/DAPUR
Foto 11: Bangunan Paon
Paon ini terletak di bagian Selatan/Delod natah umah, sehingga sering pula
disebut dengan Bale Delod. Fungsi Paon ini adalah untuk tempat memasak dan juga
dapat digunakan sebagai tempat tidur. Fasilitas di dalam bangunan Paon ini adalah 1
buah bale-bale yang terletak di bagian dalam dan tungku tradisional sebagai tempat
untuk memasak. Bentuk Bangunan Paon adalah persegi panjang, dan menggunakan
saka/ tiang yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem).
Foto 12: Site rumah adat Bali
Bale Paon / Pewaregan ini adalah sebutan dapur pada rumah tradisional Bali. Pada
umumnya, Bale Paon terletak di sebelah selatan, berada pada area Nista karena Bale Paon
merupakan tempat suatu keluarga menyimpan peralatan-peralatan untuk menyembelih hewan
maupun menebang pohon mosalnya pisau, paramg, kapak, dan lain-lain. Paon bisa juga
diartikan sebagai api, oleh sebab itu diletakkan di sebelah selatan rumah Bali karena Dewa
Api mempunyai kekuasaan di daerah selatan Pulau Bali. Bale Paon terdiri dari dua bagian,
yang pertama bagian yang terbuka, yang merupakan dapur yang sebenarya, disebut Jalikan.
Bagian kedua adalah ruangan untuk menyimpan makanan dan alat-alat utuk memasak.
JINENG
Seperti yang sudah dijelaskan pada informasi di atas, Jineng / Lumbung adalah tempat
untuk menyimpan padi. Lumbung ini berada di belakang Sake Enem, di dekat Bale Paon.
Jineng ini ditempatkan lebih tinggi daripada bangunan lain di dalam rumah. Pada tiap sudut
Jineng, terdapat suatu sculpture yang menyerupai rumah merpati besar dengan pintu.
Biasanya terdapat tangga kayu, atau bisa disebut dengan Jan / Gerejak untuk masuk ke lantai
dua tempat menyimpan beras. Sedangkan pada lantai satu dapat digunakan untuk bersantai.
Foto 13: foto Jineng
BALE DAUH
Bale dauh merupakan bagian rumah Bali yang diperuntukkan untuk semua anggota
keluarga, kecuali bagi orang tertua yang tinggal di rumah. Bale Dauh terletak di area Madya,
di bagian barat rumah Bali. Bale Dauh terdiri dare beberapa kamar tidur dan terdapat teras di
depannya. Bale Dauh biasanya juga dibuat lebih besar dari pada yang lainnya. Ukuran berupa
tanaman sangat umum ditemukan di berbagai bagian di Bale Dauh karena tanaman
mengisyaratkan akan kemakmuran dan kesatuan anggota keluarga.
BALE DANGIN/BALE GEDE
Foto 14: Bale Dangin
Bale dangin merupakan bangunan tradisional bali yang terletak di timur dari halaman
yang berhadapan dengan bale daja. Bale dangin disebut juga dengan balegede apabila
bertiang 12. Fungsi bale dangin ini adalah untuk tempat upacara dan bisa jugadifungsikan
sebagai tempat tidur.
Bentuk bangunan bale dangin adalah segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat
Menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang bisa berjumlah 6 (sakenem), 8
(sakutus/astasari), 9 (sangasari) dan 12 (saka roras/bale gede). Bangunan bale dangin adalah
rumah tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah halaman,
namun lebih rendah dari bale meten.
BALE METEN
Foto 15: Bale Meten
Bale Meten terletak di bagian utara di sebelah barat sanggah. bentuk bangunan ini
persegi panjang dan dapat mengunnakan tiang atau saka yang terbuat dari kayu yang
berjumlah 8(sakutus) dan 12 (saka roras). fungsi bale meten yaitu sebagai tempat tidur untuk
orang tua atau kepala keluarga yang terletakdi bale sebelah kiri. sedangkan di bale sebelah
kanan digunakan untuk ruang suci, tempat sembhayang,dan tempat menyimpan alat-alat
upacara. Bangunan bale meten ini memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari
tanah halaman ±75-100cm. Bale meten adalah bangunan yang memiliki tempat tertinggi dari
seluruh bale dalam satu pekarangan.
SANGGAH
Foto 16: Sanggah
Sanggah merupakan tempat suci atau pemujaan kepada tuhan dan roh suci leluhur.
Pada bangunan sanggahi ini terdapat beberapa bangunan dengan fungsinya masing – masing
serta jumlah bangunan-bangunan ini sangat bervariasi dan tergantung dari pemilik. Namun
demikian, yang mutlak terdapat dalam bangunan ini terdiri dari: penglurah, Kemulan,
padmasari atau padmasana, peliangan, taksu dan piyasan.
Ada beberapa macam sanggah, salah satunya adalah :
Sanggah Tutuan
Foto 17: sanggah tutuan
Sanggah tutuan terbuat dari bambu yang berbentuk segi empat sama sisi dan biasanya
memakai atap ijuk, dan pada sumbu atas dibentuk simpul yang menyerupai kerucut seperti
rambut. sanggah tutuan sebagai symbol seorang wiku yang mempunyai makna yaitu sanggah
merupakan sumber dan tutuan yang di maknai yang dituakan atau penggelisir. Contoh
sanggah tutuan dipergunakan dalam upacara mecaru panca kelud.
Sanggah Kemulan
Foto 18: Sanggah Kemulan
Sanggah kemulan merupakan tempat berstananya bhatara hyang guru, yang juga
merupakan tempat pemujaan tri murti. Fungsi sanggah kemulan adalah sebagai tempat suci
untuk memuja bhatara-bhatari leluhur atau dewa pitara, sedangkan kedudukannya sebagai
pura kawitan yaitu tempat suci pemujaan dimana para penyungsungnya terikat dalam satu
garis keturunan.
Sanggah Merajan Atau Pamerajan
Foto 19: Pamerajan
Sanggah pamerajan berasal dari kata sanggah, artinya sanggar yaitu tempat suci,
sedangkan pamerajan berasal dari kata praja yang berarti keluarga. Jadi sanggah pamerajan
adalah tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Secara singkat, orang menyebutnya sanggah,
atau merajan.
Padmasana
Foto 20: Padmansana
Di bali bangunan padmasana memiliki fungsi yang cukup penting sebagai tempat
pemujaan tuhan yang maha esa. Dengan demikian, pada suatu pura biasanya dilengkapi
dengan bangunan padmasana. Bangunan padmasana terletak di arah timur laut pada sebuah
pura, yang dipandang sebagai tempat sanghyang siwa raditya, dan sangat disucikan oleh umat
hindu. Padmasana digambarkan dalam bentuk bunga teratai sebagai alas duduk patung dewa.
Dilengkapi dengan berbagai bentuk motif hias yang terinspirasi dari bentuk-bentuk yang ada
di alam.
Tinggi padmasana sekitar 3- 4 meter dengan dasar segi empat atau bujur sangkar,
lebar sisi-sisinya sekitar 2- 3 meter, bentuknya mengecil ke arah atas. Struktur bangunannya
terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, bagian badan atau disebut batur, dan bagian
kepala yang disebut sari.
Dilihat dari bentuk bangunan padmasana, jenis padmasana terdiri dari:
1. Padma Anglayang, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang
2. Padma Agung, memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada
dua ruang.
3. Padmasana, memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu
ruang.
4. Padmasari, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya
ada satu ruang.
5. Padma capah, tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya
ada satu ruang.
SAKATUS
Bangunan sakatus diklasifikasikan sebagai bangunan madia dengan fungsi tunggal
sebagai tempat tidur yang disebut Bale Meten. Letaknya di bagian Kaja menghadap Kelod ke
natah berhadapan dengan Sumanggen. Dalam proses membangun rumah, sakatus merupakan
bangunan awal yang disebut paturon. Jaraknya delapan tapak kaki dengan mengurip
angandang, diukur dari tembok pekarangan sisi Kaja. Selanjutnya bangunan-bangunan
lainnya ditentukan letaknya dengan jarak-jarak yang diukur dari Bale sakatus.
Bentuk bangunan segi empat panjang dengan luas sekitar 5 m x 2,5 m. Konstruksi
terdiri dari delapan tiang yang dirangkai empat-empat menjadi dua bale-bale. Masing-masing
bale memanjang Kaja Kelod dengan kepala ke arah luan Kaja. Tiang-tiang dirangkaikan
dengan sunduk, waton, likah, dan galar. Stabilitas konstruksi dengan sistem lait pada pepurus
sunduk dengan lubang tiang. Canggahwang tidak terdapat pada bangunan sakutus.
Konstruksi atap dengan sistem kampiah bukan limasan, difungsikan sebagai sirkulasi
udara selain udara yang melalui celah antara atap dengan kepala dinding. Selain dalam
bentuk sakutus ada pula bangunan bertiang delapan, empat pada sudut dan empat pada sisi
masing-masing. Untuk lumbung yang besar selain Jineng dengan empat tiang terdapat juga
Kelingking atau Gelebeg dengan enam atau delapan tiang.
Dalam variasinya sakutus diberi atap tonjolan di atas depan pintu. Ada pula yang
dilengkapi dengan emper dengan empat tiang berjajar di depan dengan lantai emper yang
lebih rendah dari lantai utama. Lantai bale sakutus lebih tinggi dari bangunan lainnya
dimaksudkan sebagai estetika, filosofi, dan fungsinya.
SAKASANGA
Tiang sanga merupakan bangunan utama untuk perumahan utama. Letak tiang masing-
masing pada keempat sudut, tengah-tengah keempat sisi dan di tengah dengan kencut sebagai
kepala tiang. Satu balai-balai mengikat empat tiang lainnya dengan canggahwang. Konstruksi
atap limasan dengan puncak dedeleg, penutup atap alang-alang.
Fungsi utama untuk sumanggen letaknya di bagian kangin atau kelod disebut juga bale
dangin atau bale delod. Dinding tembok pada dua atau tiga sisi terbuka ke arah natah.
Bangunan tiang sanga dapat pula difungsikan sebagai ruang tidur dengan tembok di tengah
memisah ke arah luan balai-balai untuk ruang tidur dan ke arah teben untuk ruang duduk.
Untuk tiang sanga yang difungsikan sebagai tempat tidur umumnya menempati bagian barat
menghadap ke timur.
SAKARORAS
Sakaroras merupakan bangunan utama untuk perumahan utama. Bahan bangunan,
konstruksi dan penyelesaiannya sesuai dengan peranannya. Bentuk bangunan berdenah bujur
sangkar dengan konstruksi atap limasan berpuncak satu. Petaka sebagai titik ikatan konstruksi
di puncak atap. Bangunan ini memiliki jumlah tiang 12 buah dengan pembagian empat-empat
sebanyak tiga deret dari luan ke teben. Dua bale-bale masing-masing mengikat empat tiang
dengan sunduk, waton, dan likah sebagai stabilitas ikatan. Empat tiang sederet di teben
dengan canggahwang sebagai stabilitas konstruksinya.
Bangunan tertutup di dua sisi dan terbuka ke arah natah. Ke arah teben tertutup
dengan dinding setengah terbuka namun ada pula yang terbuka. Letak bangunan di bagian
Kangin atau Kelod dan terbuka ke arah natah. Fungsi bangunan sakaroras sebagai
Sumanggen untuk kegiatan adat dan bangunan serba guna memiliki luas sekitar 6m x 6m,
mendekati enam kali luas sakepat, atau tiga kali luas sakenem atau satu setengah kali luas
tiang sanga. Dalam tipologi bangunan perumahan tradisional Bali, sakepat dengan bale-bale
sisi panjang sepanjang tiang dan sisi lebar dua pertiga panjang tiang merupakan modul dasar.
Panjang tiang ditentukan oleh sisi-sisi penampang tiang dan pengurip untuk masing-masing
jenis kasta, peranan penghuni, dan kecenderungan yang ingin dicapai.
Bangunan sakeroras juga disebut Bale Murdha bila hanya satu bale-bale mengikat
empat tiang dibagian tengah. Disebut Gunung Rata atau sakutus handling bila difungsikan
sebagai Bale Meten dengan dedeleg sebagai puncak atapnya. Letaknya di bagian Kaja
menghadap ke natah.
Foto 21: Sakaroras
KUBU
Rumah tempat tinggal di luar pusat permukiman, di ladang, perkebunan atau tempat
lainnya disebut kubu atau pakubon. Lokasi kubu tersebar tanpa dipolakan sebagai suatu
lingkungan permukiman. Penghuni rumah tinggal pakubon atau kubu adalah petani atau
nelayan yang berpendapatan sedang atau rendah dengan kehidupan yang sederhana. Pola
ruang kubu sebagai rumah tinggal serupa dengan pola rumah/umah. Dapur, tempat kerja,
lumbung, dan tempat tidur masing-masing berada di bawah satu atap/massa bangunan.
Konstruksi bangunan, pemakaian bahan dan penyelesaiannya sederhana dan umumnya tidak
permanen. Batas pekarangan menggunakan pagar hidup, bangunan berlantai tanah, tiang dan
rangka atap kayu atau bambu, dinding gedeg atap alang-alang. Detail-detail tanpa hiasan.
Untuk kegiatan spiritual, pengurusan atau bentuk-bentuk kehidupan tertentu pakubon
disebut pedukuhan. Penghuni pedukuhan umumnya adalah mereka yang sudah lanjut usia
dengan kegiatan yang mengarah pada sosial spiritual. Pedukuhan terletak di luar desa dengan
suasana lingkungan yang mendukung fungsinya.
Dalam kehidupan tradisional, jadwal waktu dipolakan dalam empat brahmacari masa
belajar, grehastha masa berumah tangga, wanaprastha masa pengabdian pengetahuan
pengalaman sosial dan bhiksuka masa pendekatan ke alam abadi. Pada periode wanaprastha
bertempat tinggal di pedukuhan.
UMAH
Umah merupakan tempat tinggal kasta Wesia atau mereka yang bukan dari kasta
Brahmana dan Ksatria. Kedua kasta tersebut hanya sekitar 10% dari penduduk Bali. Sebagian
besar penduduk desa-desa dipegunungan dan pantai bukanlah kasta Brahmana atau Ksatria,
sehingga rumah-rumah yang ada di daerah tersebut hanyalah umah. Lokasi umah dalam
perumahan di suatu desa dapat menempati sisi-sisi utara, selatan, timur atau barat dari jalan
desa. Pusat-pusat orientasi adalah pempatan agung pusat desa atau bale banjar di pusat-pusat
sub lingkungan.
Unit-unit umah dalam perumahan berorientasi ke natah sebagai halaman pusat aktivitas
rumah tangga. Umah di dalam perumahan tradisional merupakan susunan massa-massa
bangunan di dalam suatu pekarangan yang dikelilingi tembok penyengker batas pekarangan
dengan kori pintu masuk ke pekarangan. Ruangan dapur, tempat kerja, lumbung, dan tempat
tidur di bawah satu atap merupakan satu massa bangunan. Komposisi massa-massa bangunan
umah tempat tinggal menempati bagian-bagian utara, selatan, timur, dan barat membentuk
halaman natah di tengah.
KORI
Pada umumnya, kebanyakan dari masyarakat yang tinggal di Bali dan menganut
kebudayaan Bali tentunya ingin mempunyai bangunan yang berarsitektur Bali, yang
kaidahnya telah mengikuti aturan-aturan yang digunakan dalam membuat rumah arsitektur
tradisional bali, yang didasari oleh lontar Asta Kosali dan Asta Bumi.
Hendaknya dalam membuat bangunan yang bergaya ataupun berkonsep arsitektur
tradisional bali hendaknya menggunakan jasa yang dapat terpercaya, dalam hal ini Undagi
(arsitek tradisional Bali). Karena besarnya resiko (kutukkan Sang Hyang Anala) yang diambil
jika kita dengan gampang menggunakan ukuran-ukuran ataupun jarak-jarak dalam
membangun rumah, walaupun resiko itu bisa saja terjadi ataupun tidak terjadi menurut
kepercayaan masing-masing.
Dalam membuat Kori yang biasanya menjadi pedoman dalam ukuran dan tata
letaknya adalah tembok pembatas dari bangunan atau halaman. Besar ukuran Kori tergantung
dari keperluan, ukuran tubuh pemilik dan jabatan (warna dan wangsa) pemilik. Berikut
adalah tata letak kori menurut aturannya:
1. Apabila pintu menghadap ke Timur, tembok diukur dari Timur Laut ke
Tenggara.
2. Apabila pintu menghadap ke Selatan, tembok diukur dari Tenggara ke Barat
Daya.
3. Apabila pintu menghadap ke Barat, tembok diukur dari Barat Daya ke Barat
Laut.
4. Apabila pintu menghadap ke Utara, tembok diukur dari Barat Laut ke Timur
Laut.
Kemudian panjang tembok yang telah diukur itu dibagi menjadi lima atau sembilan
menurut kesenangan, tapi kebanyakan orang-orang menggunakan pembagian sembilan.
Adapun tiap-tiap pembagian tersebut dapat dijelaskan kebaikan dan keburukan yang di
timbulkan sebagai berikut:
Dibagi Lima:
1. Karta : Sentosa
2. Karti : Baik
3. Kala : Buruk
4. Kali : Susah
5. Sanggara : Menderita
Dibagi Sembilan:
i. Pintu yang menghadap ke Timur:
1. Berputra
2. Sering susah
3. Buruk
4. Pandai
5. Kematian
6. Sentaosa
7. Kaya
8. Dicela
9. Beruntung
ii. Pintu yang menghadap ke Selatan:
1. Berdosa
2. Beristri
3. Mendapat Pangan
4. Tercapai Maksudnya
5. Sederhana
6. Sering susah
7. Bimbang
8. Sentaosa
9. Kecurian
iii. Pintu yang menghadap ke Barat:
1. Sering sakit
2. Kedatangan orang tua
3. Berputra
4. Dikuasai oleh istri
5. Kecurian
6. Beruntung
7. Sentaosa
8. Berdosa karena anak
9. Miskin
iv. Pintu yang menghadap ke Utara:
1. Mendapat uang tidak sah (seperti korupsi)
2. Kaya
3. Berputra
4. Dihormati sesama
5. Sering susah
6. Kaya
7. Kaya karena istri
8. Susah karena orang lain
9. sering susah.
Foto 22: Kori
Pintu masuk ke sebuah pekarangan disebut kori atau Kori Agung untuk tempat-tempat
yang diagungkan, di beberapa tempat disebut Aring atau Angkul-angkul. Sesuai dengan
fungsinya untuk pintu masuk atau keluar, maka disebut pula pemesuan dalam bentuknya
yang sederhana atau pemedalan untuk perumahan dari penghuni yang berkasta brahmana atau
ksatria.
Bentuk masa bangunan adalah pasangan masif dengan lubang masuk beratap. Atap
kori bisa merupakan pasangan lanjutan dari bagian badan, dapat pula merupakan konstruksi
rangka penutup atap serupa dengan atap bangunan rumah. Dalam bentuknya yang tradisional,
lengkap dengan anak tangga, baik anak tangga naik maupun turun.
Dalam perkembangannya, dengan adanya sepeda motor keluar masuk kori, tangga-
tangga dilengkapi dengan lintasan roda atau anak tangga dihilangkan. Lobang kori tingginya
apanyujuh (tangan direntangkan ke atas) dan lebar kori apajengking (tangan bercekak
pinggang). Dengan adanya lintasan kendaraan, lebar lobang kori disesuaikan dengan apa
yang melintasinya.
Foto 23: Kori
Dalam variasinya kori dibangun dengan berbagai kemungkinan untuk keindahan
sesuai dengan fungsi dan lingkungannya, untuk kori yang tergolong utama di perumahan,
kori dipergunakan sebagai pintu formal untuk upacara-upacara resmi, sedangkan sebagai
pintu sehari-hari dibangun pintu harian disamping pintu utama yang disebut betelan atau
peletasan.Untuk pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madia juga dibangun kori
untuk pintu betelan ke arah samping atau belakang. Letak kori pada bagian tertentu disisi
pekarangan menghadap ke jalan depan rumah.
Foto 24: Kori
Sedangkan pada tempat-tempat yang diagungkan seperti Pura, kori umumnya
bergandengan dengan tembok penyengker dengan 4 paduraksa pada keempat sudutnya.
Adapun kori pada pura berfungsi sebagai pintu gerbang yang membagi komplek pura
menjadi beberapa bagian :
1. Kori I disebut Candi Bentar, adalah simbul dari pecahnya Gunung Kailaca tempat
Dewa Ciwa bertapa. Diluar Candi Bentar ini (halaman luar) biasanya terdapat Bale
Kulkul dan Wantilan.
2. Kori II biasanya merupakan Candi Kurung (Kori Agung) adalah untuk memasuki
halaman dalam (Jeroan) dan disebelahnya dibuatkan Betelan dengan dikanan kirinya
diisikan arca-arca Dwara Pala.
Diatas Kori Agung diisi hiasan Kala sebagai putra Ciwa, Candi Bentar merupakan
simbolis dari mulut yang ternganga dan Candi Kurung simbolis daripada Klep (Cadik
Kerongkongan) yang disebut juga dengan istilah : “Rahasia Muka†yang ada dimulut�
sebelum kedalam untuk mendapatkan rahasia yang ada didalamnya.
Dalam halaman jeroan terdapat pelinggih-pelinggih sbb :
5. Meru (maha Meru) merupakan tempat dewa-dewa berstana.
6. Gedong adalah stana dari pada sakti-sakti paripada dewa-dewa yang disebut
Dwei (Betari) seperti Gedong untuk Dewi Sri dll.
7. Menjangan Sluang untuk mengenang danmenghubungkankita dengan Mpu
Kuturan
- Padmasana : Stana Sang Hyang Widhi
8. Pengarungan : Tempat sementara untuk diaturi aci-aci (turun dari
pelinggihnya masing-masing)
9. Piyasan : tempat menghias arca-arca dalam rangkaian upacara
10. Balai Peselang : untuk menghaturkan sesajen
11. balai Pewedang ; tempat untuk pendeta menghaturkan sesajen
12. Tugu Capah : tempat Bhuta Kala dalam hubungan penjaga pura dalam alam
niskala.
PENEMPATAN KORI
Untuk penempatan Kori dipakai pedoman sebagai berikut :
Pertama-tama lebar tembok (panjang muka pekarangan) yang akan dibangun kori
diukur seluruhnya, setelah itu dibagi 9. Setiap bagian itu mempunyai nama dan makna
tersendiri. Penempatan kori itu ada ketentuan masing-masing sesuai denganmuka rumah
(halaman) kita menghadap ke arah mana, misalnya :
1. Pintu Gerbang menghadap ke Timur harus memperhatikan ketentuan muka sebelah
Utara (Timur Laut) dengen sebutan sbb : 1. Wekasih Perih, 2. Kena Bakten, 3. Suka
Mageng, 4. Kena Bakten, 5. Kebrahman, 6. Dana Werdi 7. Nohan, 8. Stri Jahat, 9.
Dirga Yusa
Dari nama-nama dan makna tsb, dipilih lokasi pada perhitungan ke berapa sesuai
dengan makna yang kita kehendaki, sebagai contoh pilihlah nomor ke #9, yaitu Dirga Yusa.
2. Pintu menghadap ke Selatan, maka diukur dari ujung Timur (Tenggara) ; 1. Baya
Agung, 2. Tan Panak, 3. Suka Mageng 4. Brahma Stana, 5. Dana werdi, 6. Tan Werdi
Sugih, 7. Tan Werdi, 8. kepaten paten, 9. Ke Geringan
3. Kori menghadap ke Barat, diatur dengan mengukur dari ujung Barat Daya (Utara) ke
Tenggara memakai perhitungan dengan sebutan sbb : 1. Baya Agung, 2. Musuh
Makuweh, 3. Werdi Emas, 4. Werdi Guna, 5. Danawan, 6. Brahma Stana, 7. Suka
Mageng, 8.Kapyutangan, 9.Karogan Kala.
4. Kori menghadap ke Utara, diukur dari sudut Barat (Barat Laut) ke Arah Timur dengan
sebutan sbb; 1. Tan Panak, 2. Kawikanan, 3. Nohan, 4. Kadalih, 5. Danawan,6.
Kapyutang, 7. Suka Mageng,8. Kawisesan, 9. Kawignan
Selain arti tersebut yang sangat berpengaruh bagi pemiliknya, terdapat pula babarapa
pantangan/larangan seperti misalnya :
1. Letak Meten (tempat tidur) tidak boleh berpasangan dengan Dapur (pawon)
2. Pekarangan tidak boleh “ditumbak†lorong, yaitu pekarangan tepat berada di�
ujung lorong
3. Kalau Pawon terletak di selatan/Barat, (bungut Pawon yaitu tempat lubang api dapur
harus menghadap ke Utara.
Rumah adat Bali yang lengkap merupakan suatu komplek perumahan yang harus
dapat menunjang sebagian besar aspek kehidupan penghuninya. Merupakan suatu syarat juga
bahwa perumahan adat Bali itu dilingkari dengan tembok. Temboknya diperkuat dengan
pilar-pilar kokoh pada masing-masing sudutnya yang disebut Paduraksa. Paduraksa yang 4
buah banyaknya mempunyai nama-nama :
1. Sudut sebelah Tenggara disebut Aji Raksa,
2. Sudut sebelah Barat Daya disebut Ludra Raksa,
3. Sudut sebelah Barat Laut disebut Kala Raksa,
4. Sudut sebelah Timur Laut disebut Sri Raksa.
Tembok dan Paduraksa itu berfungsi sebagai batas rumah dan melindungi dari
gangguan luar dan juga berfungsi menghubungkan dengan penguasa Asta Loka yang masing-
masing sudut memiliki kekuatan yang seolah-olah merentangkan tangannya saling
berpegangan menghadap ke dalam menjaga dan melindungi penghuninya. Dalam pengertian
Paduraksa tembok penyengker yang dilengkapi dengan penguripnya. Masing-masing
Paduraksa terbagi atas elemen-elemen kepala, badan dan kaki seperti halnya bangunan Bali
lainnya.
III. DAFTAR PUSTAKA
http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=1603
http://budayanusantara2010.wordpress.com/kebudayaan-tradisional-indonesia/rumah-adat/rumah-adat-bali/
http://blueskyplanet.blogspot.com/2010/06/tipologi-bangunan-tradisional-bali.html
http://fariable.blogspot.com/2010/11/desa-adat-penglipuran-bali.html
http://klicksambara.blogspot.com/2010/10/typologi-bangunan-pada-rumah.html
http://indahjayanthi.blogspot.com/2011/12/bale-dangin.htmlhttp://gajahpare.blogspot.com/2012/03/bentuk-fungsi-dan-material-bangunan.html
http://repo.isi-dps.ac.id/216/1/bentuk_fungsi_dan_material_bangunan_rumah_tinggal_tradisional_bali_madya_i.pdf
http://arsundwi.wordpress.com/2011/04/04/pengabdian-masyarakat-di-ayunan/bale-meten-2/
http://2.bp.blogspot.com/-rw5jr0dqksg/t1mhaibktwi/aaaaaaaaabq/9i2z55yidum/s1600/sanggah.jpghttp://fotografi.blog.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/11/50409379_sanggah1.jpghttp://uparenggacanangsari.blogspot.com/2010/12/sanggah-tutuan.html
http://cakepane.blogspot.com/2010/04/tempat-suci-didalam-pekarangan-rumah.html
http://i1239.photobucket.com/albums/ff515/dewibedulu/merajan.jpg
http://id.wikipedia.org/wiki/berkas:padmasana-solo_baru.jpg
http://batubalilestari.wordpress.com
http://www.babadbali.com/pura/plan/mendala/padmasana.jpg
http://mercumahadiblogspot.blogspot.com/2012/12/bangunan-padmasana-di-bali.html
http://blisekenbali.com/wacana/padmasana
dps.ac.id/216/1/Bentuk_Fungsi_dan_Material_Bangunan_Rumah_Tinggal_Tradisional_Bali_Madya_I.pdf
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=pakubon&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CF0QFjAI&url=http%3A%2F%2F27maret.blogspot.com%2F2009%2F12%2Fciri-khas-arsitektural-bali-2.html&ei=SN0xUfSrN8LyrQeiw4AQ&usg=AFQjCNE_peJL4_whgekmYdPU8E6Ij7YfjA&bvm=bv.43148975,d.bmk
http://www.putumahendra.com/kori/
http://winpurge.blogspot.com/2008/11/kori.html
https://www.facebook.com/notes/hindu-bali/asta-kosala-kosali-arsitektur-bali-fengshui-membangun-bangunan-di-bali/357005384322114
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND.TEKNIK_SIPIL/197605132006041-NURYANTO/arsitektur_vernakular.pdf